Anda di halaman 1dari 109

Catatan Sepanjang Tahun:

Kumpulan Tulisan Blog 2009


oleh Anggi Hafiz Al Hakam

Diterbitkan oleh:
Book Division - ALHakam Private Service
Jl. Agastya VI Q3 No. 4 Pharmindo, Cimahi Selatan 40534
podomakmur@hotmail.com

Desain sampul oleh InLib Design Studio

Penggunaan dalam pengutipan tulisan isi harus disertai nama penulis

Terbit pertama kali, Desember 2009

Dicetak menggunakan Adobe Acrobat 6.0 Professional


Catatan Sepanjang Tahun:
Kumpulan Tulisan Blog 2009

Pengantar Penulisan

Kelahiran sebuah tulisan perlu dikaitkan antara semua sebab-sebab yang


menyebabkan kelahiran itu sendiri. Bertabrakannya ide-ide di dalam kepala penulis
menjadi satu latar belakang yang paling masuk akal dari hampir semua proses
penulisan suatu karya tulis. Tak terkecuali dalam kumpulan tulisan yang sedang
anda saat ini. Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata,
suatu cara untuk menyapa-meskipun resikonya adalah juga kematian, pada saat
yang diperlukan.1

Kehadiran blog di zaman Web 2.0 ini telah menjadi semacam media ekspresi
alternatif terutama untuk ragam budaya tulis. Banyak pribadi yang menjadikan
media ini sebagai ruang ekspresi dan berkarya baik untuk mereka yang ingin
mendapatkan pengakuan dan eksistensi maupun mereka yang merasa cukup untuk
menerbitkan idenya saja. Kumpulan tulisan ini menghimpun semua tulisan yang
terbit di blog pribadi penulis, selendangwarna.blogspot.com sepanjang tahun
2009. Dari situ harus dimaklumi kiranya oleh pembaca bahwa kumpulan tulisan ini
memang mengandung tendensi yang sangat pribadi (Self-appreciation) terutama
untuk alasan pendokumentasian tulisan yang bersifat reflektif.

Saya sadar bahwa saya tidak bisa sepenuhnya mengandalkan sistem


pendokumentasian default milik Blogger. Tulisan-tulisan yang telah diterbitkan
dalam blog tersebut bisa saja hilang tanpa bisa dicari lagi jejaknya. Blog bukan satu-
satunya alat dokumentasi tulisan-tulisan saya. Tidak ada yang tahu sampai kapan
sebuah blog bisa bertahan terutama setelah muncul kabar penutupan beberapa
alamat blog oleh Yang Terhormat Bapak Menteri Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia karena alasan menyinggung keyakinan agama tertentu. Saya
juga cukup sadar untuk menyadari bahwa bisa saja blog saya ditutup untuk alasan-
alasan yang tidak masuk akal, barangkali karena salah kaprah UU ITE yang telah
menjerat Prita Mulyasari dan Luna Maya. Kalaupun demikian, tentu tidak ada
gunanya. Lha wong infotainment mana yang mau meliput saya kalau saya memang
terjerat UU ITE itu kan?

*****

1
“Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”, Seno Gumira Ajidarma, Bentang Pustaka, 2005,
hal. 130.

i
Ide awal penulisan kembali tulisan-tulisan tersebut muncul ketika saya
membuka kembali buku “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara” karya
Seno Gumira Ajidarma. Buku itu berisi tentang kumpulan-kumpulan tulisan yang
hampir semuanya membahas perkara Insiden Dili 1991 dan implikasinya terhadap
kebebasan pers. Sehingga, boleh dibilang pada masanya tulisan-tulisan didalam
buku itu cukup kontroversial karena berhadapan langsung dengan kontrol ketat
media massa versi Orde Baru.

Hubungannya dengan Catatan Sepanjang Tahun ini tentu bukan terletak


pada kekuatan konten atau isi yang kontroversial. Namun, pada sebuah alasan
bahwa tulisan-tulisan yang terbit di dalam bukunya Seno itu ujung-ujungnya adalah
atas nama dokumentasi semata. Dengan demikian, makna dan pesan yang ingin
disampaikan oleh Seno maupun saya adalah untuk sekedar mengingatkan berbagai
pertanda zaman yang telah kita lalui bersama dan dianggap sebagai sejarah.

Berbagai tulisan yang hadir dalam kumpulan tulisan ini adalah sebagai
konteks konstruksi fiksi, non-fiksi (fakta), dan realitas yang membaur dan padu
dalam bentuk tulisan bebas dan cerpen. Fakta maupun fiksi hanyalah cara manusia
memberi makna kepada dunia dan kehidupannya. Di dalam makna itulah
terkandung tanggapan dan tafsiran manusia. Fakta bisa merentang dari sekedar
sebuah laporan jurnalistik sampai kepada hasil penelitian yang paling ilmiah. Fiksi
dalam peradaban manusia telah memperkenalkan seribu satu macam bentuk. Fakta
diterima berdasarkan suatu konsensus yang telah disetujui bersama, itulah
konsensus tentang bagaimana caranya segala hal yang masuk akal diterima sebagai
kenyataan. Fiksi tidak mempunyai konsensus, karena tidak ada kategori dan kriteria
apa pun yang bisa berlaku bagi imajinasi, namun tetap ada suatu konsensus bahwa
dengan suatu cara tafsir-menafsir dalam persetujuan tertentu, maka fiksi dianggap
mencerminkan kembali kenyataan.2

*****

Kumpulan tulisan ini merupakan sebuah dokumen personal yang bisa


membuat Pembaca memeriksa hubungan antara penulis dan masyarakat luas. Agar
khalayak ramai dapat mengolah dan menginterpretasi pendapatnya sendiri.

Mohon Pembaca yang budiman maklum adanya.

Anggi Hafiz Al Hakam


Pharmindo, Cimahi, 29 Desember 2009

2
Ibid, hal. 153.

ii
DAFTAR ISI
Pengantar Penulisan ……………………………………………………………….i
Daftar Isi ……………………………………………………………………………iii

Kumpulan Tulisan
Catatan dari Aninda ……………………………………………………………….1*
Bayangan Sepanjang Perjalanan ………………………………………………….2*
Tentang Tuhan di Facebook ……………………………………………………… 5*
Cerita Untuk Sebuah Nama ………………………………………………………..7*
Pada Suatu Pagi …………………………………………………………………….9*
Hanya Sekedar Cerita ………………………………………………………………12*
Haji dan Babi ………………………………………………………………………. 16*
Perlawanan dari Catalan ……………………………………………………………19*
Yang Belum Terkirim (1): Saya, Jombang, dan Emha ……………………………23
Yang Belum Terkirim (2): Tetapkan Hatimu, Sayang …………………………….26*
Yang Belum Terkirim (3): Jilbabku, Jilbabmu ……………………………………..29
Tentang Dua Perempuan …………………………………………………………..31*
Catatan di Hari Jum’at (Kemarin) …………………………………………………..35*
Catatan Politik Seorang Rakyat …………………………………………………….39
Tentang Debat Semalam ……………………………………………………………43*
Nobody’s Note ………………………………………………………………………46
JK: Jaga Kemaluan(mu) ………………………………………………………………49
JK: Jaga Kehormatan(mu) ……………………………………………………………52
Olenka ………………………………………………………………………………..54
Pada Suatu Pagi ……………………………………………………………………..55*
3 Malam, 3 Cerita (puisi) ……………………………………………………………58
Kita Adalah Teroris ………………………………………………………………….60
We Hate It When Our Friends Become Successful ………………………………..62
Puasa di Jakarta (dan sedikit cerita lainnya) ………………………………………..65*
Tentang Ia yang Ternyata Itu Aku ………………………………………………….68*
Mudik ………………………………………………………………………………..70*
Batik, Identitas, dan Bencana ………………………………………………………72
Golkar dan AC Milan ………………………………………………………………..76
Cintaku Kandas di Tapal Batas Ambalat …………………………………………...80*
Golkar dan Kekuasaan ………………………………………………………………84
Kita Ini ………………………………………………………………………………..86*
Cinta Dalam Sepotong Artikel ……………………………………………………..88*
Potongan E-mail dan Sumpah Pemuda ……………………………………………91*
Pembangunan dan Perubahan ………………………………………………………93
Kemenangan Guru, Kemenangan Pendidikan? ……………………………………..95
Karir dan Kadal ………………………………………………………………………..98
Patung dan Eksistensi ……………………………………………………………….100

* Tulisan berbentuk cerpen iii


Januari
Catatan dari Aninda
Masuk di Tahun 2009 seakan semuanya nyaris seperti biasa. Teriakan
resolusi tahun baru menggema dimana-mana. Ramal-meramal masih menjadi
bahan berita dan kalau perlu jadi bahasan diskusi panel. Saling bertukar pesan
selamat tahun baru masih jadi kebiasaan yang rutin dan kalau perlu masih harus
dipertahankan sampai dunia ini nanti tutup usia. Sebelum mengakhiri tahun 2008
tidak terlintas untuk menyusun sebuah resolusi. Malam itu yang penting adalah
kesan. Kesan yang didapat bersama siapa ketika tahun akhirnya betul-betul
berganti. Sampai akhirnya aku membaca sebuah tulisan:

"Aku tidak tahu harus menulis apa malam ini. Aku benar-benar tidak tahu.
Sudah beberapa bulan ini engkau tidak lagi menulis disini. Aku memang tidak
sedang menunggumu. Tapi, entah mengapa setiap hari setelah tulisan terakhir
disini membuatku mendadak ingat padamu. Maka, engkau pun sudah tahu, esok
harinya aku menunggumu disini. Barangkali engkau menuliskan sesuatu.

Nyatanya, tidak satu huruf pun engkau tuliskan. Tidak ada lagi cerita yang
engkau tuliskan. Kemanakah engkau? Engkau yang selalu menuliskan cerita
untukku. Kemanakah engkau yang selalu memujaku sambil menyanyikan lagu
itu? Sudah nyaris 2 bulan ini engkau menghilang. Kau tahu rasanya kehilangan?
Rasanya seperti itu.

Sudah tak terhitung waktu untuk melupakanmu tapi tetap saja aku tak
mampu menahan perasaanku sendiri. Aku tahu aku ini memang bukan siapa-
siapa untukmu dan kau juga tahu perasaanku padamu. Tapi kenapa, sirkuit
kemelut ini malah menemuiku hanya karena dirimu. Karena Dirimu. Dirimu!

Aku ingin tertawa pada kebodohanku untuk menunggu tulisanmu. Aku


malah menanyakan apa yang ada didalam kepalamu sehingga untuk menuliskan
catatan saja rasanya susah sekali. Aku tahu engkau sudah tidak lagi di kota ini.
Engkau telah jauh meninggalkanku. Meninggalkan semuanya. Semuanya."

Bandung, 31 Desember 2008

Aninda

1
Februari
Bayangan Sepanjang Perjalanan
Kemanapun aku pergi
Bayang bayangmu mengejar
Bersembunyi dimanapun
S'lalu engkau temukan
Aku merasa letih dan ingin sendiri *)

Aku ingat pada senyuman itu. Dengan wajah berseri dan selalu bersuara
"Selamat pagi...". Ia duduk disitu dekat jendela. Ia ditemani dua murid kecilnya
yang sudah menunggu. Aku ingat semuanya. Aku perlahan tersenyum sendirian.
Sialan. Memori itu masih ada dibenakku.

Aku kini sedang berada dalam bis malam yang akan membawaku ke
Surabaya. Malam mulai meninggi. Jalanan sudah sepi. Hanya keremangan
malam yang menemaniku. Aku lihat tidak banyak penumpang yang masih
terjaga. Kecuali aku dan seseorang di dekat toilet. Kondektur dan sopir pun
seakan khusyuk sekali memandang jalanan di depan.

Sepanjang perjalanan aku hanya bisa tertegun bila mengingatnya. Entah


darimana datangnya. Bayangan tentangnya masih saja menemuiku. Raungan
mesin diesel Hino masih memecah kebisuan di sepanjang jalanan yang masih
juga sepi. Aku masih melamun. Aku hanya memandangi jendela saja.

***

Kepergianku ke Surabaya bukan untuk sekedar perjalanan dinas atau


kunjungan biasa. Aku telah memutuskan untuk pindah ke Surabaya. Aku terima
tawaran dari sebuah sekolah disana. Sekolah yang levelnya diatas sekolahku
yang lama.

Beginilah keadaannya. Aku tidak pernah merasa berat hati untuk


meninggalkan apapun yang telah kulalui. Bahkan dirinya sekalipun. Aku tidak
pernah merasa menyesal atas apapun. Sejenak masih melamun. Bayangannya
datang lagi ketika aku mengingat kembali senyumannya. Oh Tuhan, apa yang
telah aku lakukan? Aku memanggilnya kembali. Begitu lekatnya hingga tak ingin
pergi.

Dia bukan apa-apa. Maksudku, dia hanya seorang guru, dan hanya itu
saja. Kita dipertemukan oleh takdir yang sudah seharusnya terjadi. Aku
mengenalnya karena sering bertemu saja. Lainnya, tidak ada. Tapi mengapa

*)
Dari lirik lagu “Aku Ingin Pulang” dinyanyikan oleh Ebiet G. Ade

2
saat ini seakan aku merasa dekat sekali dengannya. Aku bisa rasakan
hembusan nafasnya dibelakang tengkuk leher ini. Hmm, aku jadi merinding.

Aku merasa ia sedang duduk di sebelahku. Sama-sama memandang


sayu pada jendela yang bertuliskan Jakarta-Surabaya via Kediri. Aku merasa ia
disana dan sedang memegangi tanganku dengan dingin yang mengalir dari sela
jari-jarinya.

Aku segera tersadar bahwa aku hanya tertidur sesaat. Itu pun kalau
bukan karena klakson bis malam yang berpapasan. Aku menghela nafas
panjang. Aku lihat disekelilingku hanya aku saja yang masih terjaga. Aku ingin
terus terjaga.

***

Lewat dini hari aku tidak tahu sudah sampai mana. Yang pasti bis akan
memasuki kota Madiun. Semuanya masih gelap. Hanya keremangan lampu
jalanan saja yang menemani. Aku masih menatap jendela. Aku merasa sangat
lelah. Tekanan darahku yang diatas normal agaknya mempengaruhi keadaan
fisik sekarang ini. Aku tidak tahu perkara pastinya. Apa karena Soto Ambengan
kemarin malam, atau karena Gulai Sapi kemarin siangnya. Ah, aku tidak ingin
memikirkannya.

Aku hanya ingin meninggalkan semuanya. Aku tidak pernah merasa


memiliki cinta pada apa pun sehingga aku bebas melakukan apa saja. Aku tahu
ada seseorang yang memperhatikanku dan akhirnya memilih untuk mencintaiku.
Aku tahu dia tidak akan pernah rela atas kepergianku ini. Tapi, apa kuasa dia
untuk hidupku yang sudah memang seperti ini? Tidak ada.

Dia telah menjelma menjadi sebuah buku yang bisa dibaca kapanpun aku
menginginkannya. Dia adalah buku itu yang hanya dibaca saat weekend.
Tentunya, dia menghasilkan sebuah perasaan yang menyenangkan dan
menenangkan. Tetapi rupanya dia ingin lebih dari itu. Dia inginkan sesuatu yang
bernama komitmen. Komitmen. Sekali lagi komitmen.

Tahu apa dia tentang komitmen? Memikirkan untuk memiliki "komitmen"


buatku tak lebih dari memilih buku di rak pajangan toko buku. Dilihat, dibaca
sebentar, lalu ambil kalau berkenan dan letakkan kembali di rak bila memang tak
ingin. Aku tidak ingin berkata, "Ya, aku akan berkomitmen denganmu mulai saat
ini...bla bla bla dan seterusnya." Aku tidak mengerti kenapa ia selalu
menginginkan yang lebih. Tapi bukankah manusia memang seperti itu?

Perlahan bayangan tentangnya muncul kembali. Bagai hujan di musim


badai seperti ini yang tak pernah berucap kapan waktunya tiba. Dia dan dia.
Bagus. Apa lagi ini? Sementara perjalanan masih lumayan jauh, aku hanya
berkutat dengan dia dan bayangan dia. Siapakah dia dan dia yang tidak pernah

3
mau pergi ini. Untuk apa mereka ada saat ini? Aku sedang tidak melarikan diri
dari mereka tapi kenapa seakan dia dan dia tidak rela untuk ditinggalkan.

***

Aku bersandar pada jok. Mengambil nafas panjang dan keluarkan


perlahan sambil memejamkan mata. Aku merasa lebih tenang sekarang. Aku
merasa sendirian. Sendirian saja di dalam bis malam yang penumpangnya
penuh. Aku hanya melihat titik-titik berwarna putih. Perlahan semakin banyak
dan menutupiku.

Pegangsaan Dua, 5 Februari 2009, 11.47

4
Tentang Tuhan di Facebook
Pada suatu sore yang mendung di Kelapa Gading, ada satu SMS yang
berkata:"Temui aku di dekat pintu masuk La Piazza, tepat 17.00". Siapa
pengirimnya, aku tak tahu. Barangkali, seseorang yang memang kenal denganku
dan kebetulan juga ia sedang kehabisan pulsa. Lagipula, aku tidak keberatan.
Mungkin saja ada kejutan disana. Siapa tahu.

Aku berjalan kaki saja sepanjang jalan Boulevard Barat. Sore ini, tidak
seperti biasanya. Dealer mobil banyak yang tutup. Jalanan lengang. Memang
tidak seperti biasanya. Sore itu nampak mendung masih menutupi kawasan
sekitar Kelapa Gading. Aku terus berjalan dalam sore yang semakin mendung.

Dari kejauhan aku melihat seseorang yang sedang bermain gitar tidak
jauh dari La Piazza. Sepertinya seseorang yang sudah aku kenal. Semakin
dekat, semakin jelas bahwa ia bukanlah orang biasa. Tuhan sedang turun ke
bumi dan menjelma menjadi seseorang. Untuk apa ia datang lagi? Pasti ada
sesuatu yang membuatnya gundah diatas sana sehingga ia mesti turun sampai
ke bumi. Pasti ada sesuatu yang penting sekali sehingga ia tidak butuh malaikat
untuk menyampaikannya.

Ia hanya duduk saja di halaman depan toko yang sudah tutup. Ia tahu aku
datang. Ia langsung menyodorkan secarik kertas. Semacam tulisan. Aku baca
catatan di kertas itu:

Emha Ainun Nadjib tentang Tuhan


Dikutip dari buku “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki”, Penerbit Buku Kompas, 2007

Hal 57:
Negara punya kekuasaan hampir mutlak atas anda, sementara Tuhan tak punya
negara. Tuhan tidak diperkenankan oleh hamba-hambaNya untuk secara formal
mengatur kehidupan manusia. Tuhan dilarang menerapkan nilai dan hukumNya
pada system nilai negara. Tuhan dicekal Memanifestasikan aspirasiNya ke
dalam pasal-pasal hukum formal negara.
Kalau peraturan negara dilanggar, pelanggarnya dihukum. Kalu peraturan Tuhan
dilanggar, secara resmi manusia dilarang menghukum pelanggarnya.

Hal 59:
Kita boleh pakai peci, meskipun sehari-hari kita nyopet. Kita boleh pakai surban,
meskipun kita penjahat. Kita boleh menyelempangkan sajadah di badan, meski
kita koruptor besar.

Belum aku selesai membaca, sayup-sayup aku mendengar Tuhan


bernyanyi. "....dan anehnya, banyak penggemarnya...*)".

*)
Dari potongan lirik lagu “Penyanyi Tua” dinyanyikan oleh Koes Plus

5
Setelah selesai membaca, aku duduk disampingnya dan bersandar.
Apakah karena tulisan dari penulis yang bermukim di Kadipiro, Yogyakarta itu
Tuhan jadi tersinggung?. Aku tidak tahu pasti. Tuhan hanya berkata pelan,"
Silakan liat sendiri di Facebookmu, lihat mereka yang mengaku-ngaku menjadi
Fans padaku, dan bandingkan dengan tulisan itu".

Apa karena Tuhan benar-benar tidak punya kuasa untuk manusia


ciptaanNya? Manusia yang Tuhan ciptakan untuk membangun negara ini.
Negara yang pada masa pemindahan kekuasaan dari birokrasi Pemerintah
Hindia Belanda ke tangan birokrasi baru Negara Indonesia yang mayoritas
lulusan SMA?**)

Kasihan Tuhan. Sudah tidak punya negara tapi malah banyak juga
manusia yang mengaku-ngaku menjadi penggemarnya. Mirip dengan manusia
fansnya Mick Jagger. Kita mengaku seperti itu cuma supaya jadi identitas kalau
kita ini orang Islam. Kita mengaku hanya karena ingin supaya dilihat "baik" dan
"alim" oleh orang lain disekitar kita. Kita mengaku hanya karena kepalsuan
belaka. Dan hebatnya, ada manusia yang menjadikannya objek. Tidak hanya
Tuhan saja, tetapi juga Muhammad SAW, Ka'bah, bahkan Al-Qur'an sekalipun.

Kita boleh mengaku jadi Fans Allah SWT, walaupun ternyata kita sendiri
tidak pernah tahu seberapa dekat Allah SWT dengan hambaNya. Kita boleh
mengaku menjadi Fans Nabi Muhammad SAW, padahal kita tidak pernah
bershalawat dan melaksanakan segala sunahnya. Kita boleh mengaku menjadi
Fans Al-Qur'an padahal tidak ada satupun dari ayatnya yang kita amalkan dalam
kehidupan sehari-hari.

Tuhan masih saja bersenandung ketika aku menoleh padanya. Aku


pandangi kertas itu sekali lagi. Dan ketika aku menoleh lagi padanya, Tuhan
telah tiada. Tuhan sudah pergi, entah kemana. Barangkali, sudah selesai
urusannya.

Pegangsaan Dua, 18 Februari 2009, 10.49

**)
Penggalan kalimat ini bisa ditemukan dalam Pengantar Bab I dalam buku “Kebebasan Pengarang dan
Masalah Tanah Air”, Iwan Simatupang, Penerbit Kompas, 2004.

6
Maret
Cerita Untuk Sebuah Nama *)
Mengapa jiwaku mesti bergetar
Sedang musikpun manis kudengar
Mungkin karena kulihat lagi
Lentik bulu matamu
Bibirmu dan rambutmu yang kau biarkan
Jatuh berderai di keningmu
Makin mengajakku terpana
Kau goreskan gita cinta

Ya, mengapa harus jiwaku yang bergetar kala melihatmu disana. Lagu itu
mengalun lagi, menambah haru jiwa padamu. Sungguh aku lihat engkau disana.
Lengkap dengan bulu mata yang lentik, dan rambut panjangmu yang terikat. Aku
terpana. Sungguh terpana. Semakin aku larut dalam pesonamu semakin aku
menginginkanmu.

Bagaimana tak lepas aku memandangimu. Sedang kau bermain didepan


kedua mataku ini. Kau masih ada disana dan menggoreskan sedikit rasa pada
hati ini.

Mengapa aku mesti duduk disini


Sedang kau tepat didepanku
Mestinya ku berdiri berjalan kedepanmu
Kusapa dan kunikmati wajahmu
Atau kuisyaratkan cinta
Tapi semua tak kulakukan
Kata orang cinta mesti berkorban

Mengapa aku mesti duduk disini? Sudah memang takdirku hanya bisa
duduk disini. Tepat dihadapanmu. Aku duduk hanya untuk melihatmu saja.
Bukan menatap kosong pada layar LCD yang penuh angka-angka sialan itu. Aku
hanya ingin duduk disini saja, melihatmu dari kejauhan.

Harusnya aku berdiri lalu melangkah kehadapanmu. Kusapa dirimu lalu


mulailah basa-basi yang selalu berakhir penuh tanya. Sambil bicara, tentunya
akan kusisipkan semua cita yang ada untukmu. Semuanya hanya isyarat, entah
kau bisa menangkapnya lalu menafsirkannya.

Tapi seperti yang sudah-sudah, aku tidak pernah melakukan itu. Aku
menginginkanmu tapi tidak pernah berusaha untuk menunjukkannya. Aku hanya

*)
Adaptasi dari judul lagu Ebiet G. Ade, “Lagu Untuk Sebuah Nama”

7
bisa seperti itu saja, menatapmu dari kejauhan dan terkadang cuma curi-curi
pandang saja kala engkau ada didekatku.

Mengapa dadaku mesti bergoncang


Bila kusebutkan namamu
Sedang kau diciptakan bukanlah untukku
Itu pasti tapi aku tak mau perduli
Sebab cinta bukan mesti bersatu
Biar kucumbui bayanganmu
Dan kusandarkan harapanku
Jatuh berderai dikeningmu**)

Ada getar yang terasa kala mendengar ataupun melihat namamu. Ada
yang merasa, entah hatiku yang sebelah mana. Semuanya terasa begitu
menggetarkan dengan sama getirnya dengan kehilangan yang paling
menyakitkan sekalipun. Aku tidak pernah peduli engkau tahu apa tidak. Takdir
pun sudah menyaratkan bahwa kau memanglah bukan untukku. Aku tidak
peduli.

Kalau ini bisa dibilang cinta, apalagi yang akan aku katakan? Apa aku
harus ikut-ikutan bilang, "Cinta tak selalu harus memiliki", "Mencintai tidak harus
selalu memiliki", dll. Tidak, aku tidak akan seperti itu. Aku tahu engkau dan aku
takkan bersatu maka kucukupkan sampai disini saja. Aku cukupkan untuk hanya
merasakanmu lewat pertemuan-pertemuan kita yang selalu biasa seperti itu.

Kalau memang cinta punya bayangan, akan seperti apa jadinya? Tentu
dunia ini akan penuh dengan bayang-bayang cinta yang wujudnya tidak terlihat
tetapi bayang gelapnya terlihat. Untung saja cinta tidak pernah berbayang walau
pernah berbekas. Karena itu pula, hanya akan kucumbui bayanganmu.
Bayanganmu yang ada dikepalaku saja. Bayanganmu yang selalu hadir dalam
mimpi-mimpi malam. Adapun tentang harapan-harapan itu, akan kubiarkan
mereka terbang larut bersama angin dan debu yang selalu menerpa wajahmu itu
hingga mereka akhirnya jatuh berderai membelai keningmu.

Pegangsaan Dua-Kelapa Gading, 6 Maret 2009, 15.04

**)
Lirik lagu didalam tulisan ini diambil dari lagu yang sama (Lagu Untuk Sebuah Nama).

8
April
Pada Suatu Pagi
Pada gerimis pertama di Bulan Mei. Dalam kabut tebal menutupi
keremangan pagi. Matamu masih terpejam bersama nyanyian pagi dari burung-
burung yang hinggap di dahan pohon itu. Engkau masih saja melanjutkan mimpi
yang terpenjara karena ruang dan waktu. Selimutmu masih melingkari lekuk
tubuhmu, mengingatkanku pada Megan Fox yang telanjang ria didalam selimut
kala photoshoot untuk sebuah majalah. Tapi, tentu kau bukan dia. Kau hanyalah
kau seorang. Seperti yang ada didalam kepalaku.

Aku beranjak menyambut pagi. Dengan secangkir kopi panas dan roti sisa
semalam. Aku duduk di teras sambil menatap kosong pada jalanan yang sepi.
Kabut masih ada Cuma tipis saja. Aku biarkan pintu jendela terbuka supaya kau
terjaga. Dalam pagi yang seperti ini apa yang akan aku lakukan, aku tidak tahu.
Aku hanya ingin menikmatinya saja.

Mendung masih menjagal pagi ini. Aku pikir hujan akan turun sebentar
lagi. Aku masuk ke dalam sebentar, ia masih tertidur. Lelap. Rasanya, tak ada
beban yang hinggap di matanya. Semoga kedamaian menghiasi tidurnya.
Perlahan waktu beranjak. Aku tidak ingin melakukan apa-apa. Aku habiskan kopi
dan roti itu. Lumayan, sekedar pengganti sarapan.

Aku ingin menikmati hari liburku ingin dengan santai saja. Entah kenapa
aku seperti ingin berjalan-jalan. Baiklah, aku akan jalan keluar sebentar, sekedar
menyapa tetangga yang sedang nongkrong di teras sambil baca koran atau
menyapu halaman. Tapi, aku harus meninggalkan dia. Tak apa. Hanya sebentar
saja.

Aku mengambil jaket. Nyalakan sebatang rokok. Lalu melangkah perlahan


menyusuri jalanan yang semakin sepi. Aku lihat banyak penghuni rumah yang
sudah bangun. Lampu jalanan sudah dimatikan. Namun, agaknya mereka hanya
beraktivitas didalam ruangan saja. AKu masih menghisap rokok yang semakin
hambar ini. Aku terhenti pada suatu persimpangan. Ada semacam pos ronda
disana. Maka aku duduk sebentar.

Aku tidak sedang merokok. Hanya diam saja termenung sendirian sambil
menyandar pada dinding bilik yang basah karena embun. Dalam lembap, seribu
tanya menghujam. Tiba-tiba saja aku teringat dia. Dia yang sedang kutinggalkan
sendirian di rumah. Dia yang kutinggalkan dalam tidurnya yang hening. Aku
belum benar-benar mengenal dia. Siapa dia, darimana asalnya, aku belum tahu.
Aku belum tahu apa memang aku yang lupa? Aku tidak yakin.

9
Rasanya kemarin tidak ada seorang perempuan pun yang tidur di kasur
itu. Lalu kenapa pagi ini dia ada disitu? AKu malah tambah bingung. Aku benar-
benar tidak ingat kejadian semalam. Padahal semalam aku tidak mampir
kemana-mana, langsung pulang setelah bekerja. Aku hanya ingat kalau pagi ini
aku bangun setelah tertidur diatas sofa. Tak ada perasaan aneh kala melihat dia
ada di tempat tidur. Apa yang telah terjadi semalam? Aku bangun sambil masih
mengenakan baju yang kupakai seharian kemarin. Lalu, dia masih tertidur
dengan pakaian yang lengkap-tidak telanjang. Tidak ada botol minuman hanya
ada gelas-gelas bekas minum kopi yang belum dicuci.

Aku masih mereka-reka sambil mengingat beberapa kejadian semalam.


Apakah kita semalam memang tidur bersama lalu terpisah setelahnya? Apakah
yang benar-benar terjadi semalam? Tidak ada petunjuk. Aku masih tidak yakin.
Perasaanku semakin gelisah. Hati kecilku berkata sekedar untuk menenangkan
bahwa tidak ada yang benar-benar terjadi.

Aku melangkah pulang. Pagi masih mendung. Gerimis masih turun. Tak
ada sinar matahari. Kabut menipis. Burung-burung masih diam di dahan seperti
enggan untuk terbang. Perutku mulai lapar, tandanya minta sarapan.

Aku tiba di rumah. Dia masih tertidur. Tidak terganggu dengan jendela
yang kubiarkan terbuka. Semakin kutatap wajahnya, semakin aku tidak ingin
membangunkannya. Tidak ada yang ingin kulakukan dengannya. Maka aku
biarkan saja. Radio kunyalakan, beritanya masih seputar pemilu dan jalanan
yang macet. Resiko hidup di kota besar. Televisi...ah tidak ingin aku
menontonnya. Lagipula, pag-pagi seperti ini acaranya hanya penuh omong
kosong ala selebriti. Aku membuat sarapan pagi. Seperti biasa hanya nasi dan
telur dadar saja.

Sepertinya, akan lebih baik jika dia saja yang membuatkan sarapan
untukku. Alangkah nikmatnya hidup kalau seperti itu. Tidak perlu lagi
melakukannya sendirian. Hahaha. Tapi memang hidupku ya begini ini.
Semuanya harus kulakukan sendirian.

Sambil menikmati sarapan, aku terus memandanginya. Cantik juga


rupanya. Kau bisa lihat dari alis matanya, lalu lekuk bibirnya. Badannya pun
bagus, seperti lekukan Mercy C-Class. Tegas namun lembut. Tapi sayang, aku
tidak pernah tahu makhluk seperti apa dia ini. Selesai sarapan, aku
mendekatinya. Aku duduk tepat disampingnya. Aku gerakkan tanganku didepan
hidungnya. Aku rasakan nafasnya. Artinya, dia ini benar-benar manusia.

Gila. Seorang perempuan yang tidak jelas asal-usulnya tidur di rumah


seorang bujangan. Aku tidak takut terhadap pandangan orang yang aneh setiap
melihat kasus yang seperti ini. Buatku ini tiada bedanya. Hanya, sekarang ada
seorang perempuan yang sedang tertidur di rumahku. Itu saja. Lagipula, aku

10
tidak mengenalnya. Dan yang paling penting, aku tidak melakukan apa-
apa dengannya.

Pagi mulai beranjak. Udara mulai menghangat. Kabut perlahan


menghilang. Jalanan masih sepi. Mentari mulai nampak, sinarnya masuk lewat
jendela kamar. Aku lihat sinarnya menepuk pipi perempuan itu. Ia masih tertidur
juga. Sekarang aku yang bingung. Apa yang telah terjadi pada perempuan ini
sehingga tidurnya begitu lelap? Pilihlah jawabanmu sendiri, seperti kau memilih
wakilmu di Pemilu.

Kelapa Gading-Cijerah, 8 April 2009, 11.22

11
Hanya Sekedar Cerita
Apa yang bisa dikira dari sebuah senyuman manis di pagi hari?
Senyuman yang biasakah? Atau sekedar senyuman pelapis rasa hormat pada
atasan dan rekan sejawat?

Pagi-pagi sekali ia sudah datang menungguku. Perempuan itu lagi. Ia


hanya menatapku sekilas lalu berlalu begitu saja. Entah kemana, aku tidak perlu
tahu dan itu bukan urusanku. Aneh. Entah sudah berapa lama ia menunggu, lalu
setelah bertemu denganku ia malah berlalu meninggalkanku. Siapa dia? Aku
rasa aku mengenalnya.

Hari-hari selanjutnya aku tidak pernah lagi bertemu dengan perempuan


itu. Aku terlalu sibuk untuk sekedar berpikir siapa dan darimana asalnya. Aku
tidak peduli. Tiba-tiba saja aku merasa tidak harus mengerjakan semua
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku. Aku lebih senang berdiam diri saja.
Tapi bagaimana caranya dalam ruanganku yang dikelilingi oleh jendela tanpa
tirai.

Dalam kesepian yang Cuma sekilas itu aku memutar kembali memori
kepadanya. Aku merasa pernah melihatnya dalam sebuah pertemuan. Aku lupa
entah dimana, namun aku masih ingat lekuk wajahnya.Ah, aku hentikan saja
pikiranku. Aku tidak ingin pikiranku terbang melayang kesana.

Aku masih melamun. Aku tidak mau melanjutkan pekerjaan. Aku tidak
tahu lagi harus bagaimana. Maka, akan lebih baik diam saja. Dalam diam aku
teringat lagi padanya. Bukankah ia perempuan yang waktu itu tidur di rumahku?
Bisa saja. Pertemuan bisa terjadi kapan saja dimana saja dengan siapa saja.

Ya, aku ingat. Ia adalah perempuan yang waktu itu dirumahku. Aku ingat
sekarang. Dunia ternyata terlalu sempit sampai kita selalu bertemu dengan
seseorang yang itu-itu lagi. Ada gejolak dalam hatiku yang ingin bicara
dengannya. Tapi, aku kira aku tidak harus melakukannya. Aku tidak ingin
membuka sekedar percakapan dengannya. Aku anggap pertemuan yang aneh
itu hanya romantika hidup belaka.Aku sama sekali tidak ingin mengenalnya
lantas mengajaknya bercinta. Tidak, aku tidak ingin.

Aku hanya inginkan hidup yang biasa saja. Tidak perlu ada kejutan juga
tidak apa-apa. Yang jelas segala sesuatunya sudah begitu adanya sehingga tak
perlu lagi ada banyak tanya mengghinggap. Kalau suatu saat hidup ini ternyata
penuh kejutan maka akan kuterimakan juga sebelum ternyata kusadari bahwa
kejutan adalah bagian dari hidupku juga. Apakah hidup ini terlalu
membosankan? Tidak juga. Hidup ini tidak pernah terasa membosankan jika kau
tahu bagaimana membuatnya menjadi menyenangkan. Hidup adalah permainan.
Ada yang menang, selalu ada yang kalah. It’s just a game. Yeah...lets play.

12
Mainkan apa saja dalam hidupmu. Bolehlah sekali-kali supaya tidak stuck
di pekerjaanmu yang sekarang ini. Anggap saja pekerjaanmu itu Cuma main-
main. Buatlah aturanmu sendiri. Tidak usah ikuti aturan atasan atau perusahaan.
Your game, your rules! Buatlah semacam itu, agar engkau merasa nyaman
dengan dirimu sendiri. Mainkan saja peranmu. Jalankan strategi. Cari banyak
kawan lalu kalahkan musuh. Mengalah untuk menang. Menikam dari belakang.

Lalu tentang perempuanmu, apakah engkau juga harus menjadikannya


sebagai objek permainan? Aku rasa itu tergantung penilaianmu terhadapnya.
Apakah ia memang layak dibegitukan? Mengapa tidak kau mainkan saja
permainan cinta yang paling dahsyat untuknya? Berikan ia ciuman paling
beringas yang kau punya. Berikan pula ia kenikmatan yang hanya bisa kau
berikan. Bukan dari lelaki lain. Buat ia merasa bahwa kaulah segalanya. Berikan
ia segala yang ia inginkan lalu kau tinggalkan. Bukankah itu semua hanya bagian
dari permainan? Hahaha. Aku tidak sedang mengajarimu untuk berbuat kurang
ajar. Aku hanya sekedar menjelaskan padamu bagaimana caranya bermain.

Kembali pada hidupku. Aku rasa aku sudah selesai dengan perempuan
itu. Yang penting aku sudah benar-benar yakin bahwa memang itu dia. Selesai
sudah. Tak usah diperpanjang. Tak usah kau tanyakan lagi siapa dia yang tidur
dirumahku, apa yang telah aku lakukan padanya. Tidak usah lagi ada
pertanyaan.

*****

Hidup ternyata hanya berlalu begitu saja. Setidaknya buatku, aku tidak
tahu apa-apa tentang hidupmu. Dalam keadaan seperti ini aku selalu merasa
harus pergi. Aku akan pergi. Jauh dari hidup yang sekarang ini. Aku akan
membuka lagi lembaran baru sejarah. Aku pergi bukan karena aku merasa
bosan pada keadaanku yang sekarang. Bukan pula karena perempuan itu.
Perempuan yang kutemukan di pagi hari yang berkabut. Tiada kesan khusus.

Aku telah bersiap untuk memulai perjalanan kembali. Aku belum tahu
kemana tujuanku. Aku tidak lagi bangun pagi-pagi dengan mata yang perih. Aku
tidak lagi tergesa-gesa untuk sarapan. Aku tidak perlu lagi bersusah payah
mengerjakan seluruh file-file yang berserakan di meja keparat itu. Aku tidak perlu
lagi membuat laporan-laporan sialan yang akan segera jadi omong kosong. Aku
bersyukur untuk tidak perlu merasakannya lagi. Setidaknya untuk beberapa saat
karena aku tidak pernah tahu kemana takdir memaksaku.

Bisa saja setelah engkau membaca tulisanku ini aku akan kembali
terperangkap menjadi seorang pekerja lagi. Atau malah aku menjadi pembunuh
bayaran yang selalu disewa untuk membunuh seseorang. Bisa itu seorang caleg
pemenang suara terbanyak di Pemilu kemarin, atau juga Anggota DPR yang
sedang dalam proses penyidikan oleh KPK. Apalagi di waktu sekarang ini

13
sehabis Pemilu yang gombal dan krisis yang masih belum mau pergi. Apapun
bisa terjadi. Semua kemungkinan masih terbuka. Tiada yang tak mungkin.

Perjalanan ini telah dimulai. Lika-likunya mulai bisa kurasakan. Setiap


dengus nafasnya pun masih dapat kuraba. Aku memulai kembali perjalanan
yang entah apakah akan berujung pada suatu keniscayaan atau ketiadaan. Aku
belum tahu apakah perjalanan ini segera akan jadi saksi atas pilihanku.

Aku melangkah. Sekali, dua kali, terus melangkah dengan perasaan yang
biasa saja. Seperti sudah aku bilang, aku merasa harus segera pergi. Maka aku
terus melangkah maju. Tak ada yang kusesali. Semua telah kutinggalkan. Tiada
lagi tersisa bahkan mimpi kubawa.

*****

How if God was one of us...*)

Aku tidak pernah berharap untuk melibatkan Tuhan dalam setiap hal yang
kulakukan. Aku hanya jalani hidup yang Cuma begini ini. Aku tidak pernah tahu
agama itu apa. Aku punya agama hanya karena turunan dari orang tuaku saja,
selebihnya aku tidak pernah tahu agama itu untuk apa dan apa gunanya. Aku
pernah dengar bahwa Tuhan memang berkuasa atas segalanya. Aku tidak yakin.
Aku tidak pernah tahu Tuhan itu ada. Aku hanya tahu dunia ini sudah begini dari
sananya. Tidak ada sesuatu pun yang menjaganya.

Tapi, belakangan ini aku justru cenderung untuk berpikir bahwa Tuhan itu
memang ada. Aku belum belajar lagi tentang agama tapi seakan semua
pertanda jelas adanya. Tuhan memang selalu ada dalam setiap perkara yang ku
alami. Agaknya, aku mulai termakan omongan seorang teman. Temanku itu
bilang kalau Tuhan memang ada dan semua yang terjadi di dunia ini sudahlah
tentu dibawah kuasaNya. Hebat sekali omongannya bukan? Tahu darimana dia
tentang Tuhan. Sedang aku tahu sendiri kalau kelakuannya jauh dari apa yang
Tuhan ajarkan. Lho, tahu darimana aku tentang ajaran Tuhan. Sudahlah, aku
tidak mau mengingatnya lagi. Kalau memang Tuhan itu ada, biar Tuhan sendiri
saja yang mengingatkanku nanti. Sekali lagi, kalau memang Tuhan itu ada dan
Tuhan tidak lupa.

Jenuh aku berpikir tentang Tuhan. Aku tidak mau lagi memikirkannya.
Setidaknya, sampai suatu saat nanti dimana Tuhan benar-benar tidak lupa untuk
mengingatkanku. Dalam perjalanan ini banyak hal yang tiba-tiba menyeruak ke
dalam pikiranku. Semua kenangan, pahit, getir, manis, rindu, kehilangan,
kecewa, itu hanya sebagian saja. Aku menatap mereka kembali satu persatu
pada cermin masa lalu.

*)
Dari lirik lagu “One of Us”, dinyanyikan oleh Joan Osborne

14
Kenangan. Bicara tentang kenangan tanyakanlah pada Merbabu yang
menjadi saksi atas kerinduan yang tidak pernah tersampaikan. Tanyakan
padanya tentang bagaimana kenangan itu terbuat dari serpihan debu yang
bercampur dalam kabut kerinduan. Tanyakan padanya tentang siapa pula yang
telah menjadikan kenangan itu pernah menjadi berarti sebelum akhirnya tidak
jadi apa-apa. Aku terkenang padanya. Perempuan yang lahir di bulan Januari
yang pernah menyita perhatianku untuk beberapa masa. Aku terkenang padanya
kala membayangkan sore itu dengan Merbabu yang kini sedang tegak
dihadapanku. Waktu itu Merbabu memaksaku untuk merindukan seseorang dan
entah kenapa pilihannya ada perempuan itu.

Dalam bayangan pepohonan yang masih berkelebat di luar jendela aku


masih terbayang pada perempuan itu. Mengingat kembali padanya seakan
membuka sebuah ruang hampa yang telah terkubur lama. Kenangannya
berhembus bagaikan udara yang mengisi setiap ruang hampa untuk lalu melebur
kembali dalam semesta. Sayang sekali dia tidak pernah tahu. Aku terlalu malu
untuk mengatakannya. Aku tidak ingin dia tahu. Cukup aku dan hatiku saja yang
tahu, mungkin Tuhan juga tahu. Selebihnya aku tidak ingin tahu.

Bicara tentang kekecewaan, apalagi yang harus kuceritakan? Bukankah


kau sudah tahu semuanya. Aku memang belum pernah bercerita padamu, tapi
aku yakin kau pasti tahu lewat tulisanku. Aku tidak mau membahas cerita lalu itu.
Aku tidak ingin melihatmu mengasihaniku lewat cerita ini.Aku tidak ingin
membagi cerita itu padamu. Suatu saat nanti, kalau kau sudah tahu rasanya
bolehlah kita bertukar cerita.

Entah sudah sejauh mana perjalanan ini kutempuh. Dalam malam gelap
yang Cuma hitam disekelilingku ini. Malam bagaikan selimut tebal raksasa.
Pekat. Malam adalah misteri. Misteri dalam kegelapan yang menebal. Sekarang,
aku terjebak didalamnya. Aku berjalan kaki saja setelah turun dari bis. Aku
nyalakan rokok dan mulai menikmatinya.

Ada banyak cerita, ada banyak kisah. Semua terangkum jadi satu dalam
setiap lembaran memori. Banyak yang terungkap, ada yang tiba-tiba menyublim
dalam hening. Semuanya meradang jadi satu dalam debur hati yang tak pernah
berhenti terbantah oleh sepi.

Kelapa Gading, 17 April 2009

15
Mei
Haji dan Babi

Pada suatu sore yang biasa, aku membaca catatan:

Agaknya, selain isu siapa pendamping SBY di Pilpres, kasus Antasari


Azhar, dan merebaknya Flu babi yang kini masih menjadi most wanted news di
berbagai media, ada juga suatu kabar yang tidak kalah pentingnya. Tunggu dulu,
penting menurut siapa? Oh, tentu saja menurut pikiran saya. Rasanya penting
sekali untuk mengetahui tentang hal ini supaya tidak dibiarkan dan berlangsung
terus menerus. Bagi umat Islam ini menyangkut urusan yang paling detil yaitu
Halal dan Haram.

Babi dan haji, belakangan telah menjadi bintang baru dalam jagad
pemberitaan sebelum ketiga isu diatas menggantikannya. Babi dan haji, sekilas
adalah dua hal yang bertentangan. Tentu bila kita melihatnya dari sudut pandang
yang mana, kalau dari sudut pandang agama, sudah tentu bertentangan apabila
kita mencoba mengkaitkannya. Babi adalah binatang yang diharamkan secara
syar’i oleh Islam. Sedangkan, haji adalah ibadah rukun islam yang ke-5. Haji
adalah ibadah yang istimewa dan hanya dilakukan sekali dalam seumur hidup.
Kecuali, jika anda memang mampu untuk melaksanakannya berulang-ulang
dengan tidak melanggar prinsip-prinsip syar’i pelaksanaannya.

Babi dan haji menjadi saling berkaitan dengan terkuaknya penggunaan


unsur babi dalam vaksin meningitis yang diberikan kepada setiap calon jemaah
haji dan umroh asal Indonesia. Pemberian vaksin tersebut didasarkan kepada
Nota Diplomatik Dubes Saudi Arabia untuk Indonesia di Jakarta No.
211/94/71/577 tanggal 1 Juni 2006 (Harian Republika, 8 Mei 2009).

Penggunaan unsur babi dalam vaksin meningitis sempat menimbulkan


kontroversi. Pemerintah beralasan pemberian vaksin tersebut adalah dalam
keadaan darurat dimana belum ditemukan lagi unsur-unsur selain babi untuk
membuat vaksin meningitis. Pemberlakuan keadaan darurat itu sampai batas
waktu yang belum ditentukan. Hal ini tentu menimbulkan sebuah pertanyaan
besar: Apakah sejak diberlakukannya aturan itu (merujuk pada nota diplomatic)
hingga kini belum ditemukan unsur pengganti babi dalam vaksin meningitis?
Apabila kondisi seperti ini dibiarkan maka dikhawatirkan akan menodai kesucian
ibadah haji.

Ibadah yang kita lakukan adalah untuk Allah SWT, bagaimana bisa kita
mendapatkan pahalanya bila dalam ibadah itu masih tercampur dengan yang
haram? Sama saja dengan kita menyumbang dan menyandang dana
pembangunan masjid tetapi uangnya dari hasil korupsi, tipu sana-sini, dan malah

16
hasil judi. Nah, semuanya jadi percuma kan? Tidak akan berarti apa-apa. Ibadah
kok dicampur yang haram.

Mungkin, itulah sebabnya banyak haji yang tidak benar-benar mabrur


sekembalinya ke tanah air. Unsur babi yang sudah terlanjur bercampur didalam
darah mereka bertemu dengan sifat-sifat cinta duniawi. Perpaduan kedua unsur
tersebut menjadikan manusia itu kembali pada sifatnya yang semula. Ibadah haji
yang telah dilaksanakannya tidak lagi membawa pengaruh apa-apa bagi kualitas
ibadahnya bahkan kualitas hidupnya sekalipun. Haji hanyalah sebagai simbol.

Kalau merujuk pada tanggal keluarnya nota diplomatik itu maka


setidaknya sudah 3 kali musim haji vaksin tersebut digunakan. Kalau setiap
musim haji ada (kurang lebih) 200.000 jamaah, maka saat ini ada sekitar
600.000 orang yang dibadannya pernah mengandung unsur babi dari vaksin
meningitis. Tadinya, sebelum saya tahu bahwa vaksin meningitis itu diberikan
sejak musim haji 2006 saya maunya menggeneralisir keadaan ini dengan
menganggap setiap orang yang pergi haji pasti mendapatkan suntikan vaksin
meningitis. Sehingga, saya punya alasan yang tepat untuk menganggap negara
ini hanya menghasilkan haji-haji palsu, yang jumlahnya akan semakin bertambah
tetapi tidak membawa dan menghasilkan apapun demi kemaslahatan dan
kesejahteraan umat Islam di Indonesia ini.

Sudah berapa banyak haji dan hajjah yang pulang dari Tanah Haram
Mekkah, tapi justru tidak ada perubahan yang signifikan dalam tatanan hidup
masyarakat. Ataukah memang berhaji ke tanah suci itu hanya jadi syarat dan
sekedar status saja? Tanpa peduli bagaimana caranya memberikan
endorsement kepada masyarakat sekitar untuk lebih meningkatkan kualitas
hidupnya melalui ibadah.

Maka dari itu, kepada anda yang membaca tulisan ini, mari kita pikirkan
solusinya agar kesucian ibadah seperti ibadah haji ini tetap terjaga dan tidak
bercampur dengan hal-hal yang haram dan dilarang oleh syariat. Apakah selama
ini tidak ada usaha untuk mencari alternatif lain? Apakah kondisi darurat itu akan
masih terus diberlakukan? Sudah seharusnya pemerintah (dalam hal ini Depkes,
Depag, dan MUI) saling bekerjasama untuk mencari dan menemukan unsur-
unsur yang halal dan baik untuk vaksin meningitis, sehingga calon jamaah haji
tidak lagi khawatir akan kesucian ibadahnya.

Jangan sampai noda setitik macam ini mengotori kesucian niat dan
ibadah haji. Ibadah itu adalah semacam ungkapan terima kasih untuk Tuhan dan
Tuhan sendiri yang akan membalasnya. Masalahnya, kalau Tuhan tidak terima
ibadah kita Cuma gara-gara hal seperti ini, apa mau dikata?

*****

17
Hmm. Siapa pula manusia yang menulis catatan macam begini?

Kelapa Gading, 11 Mei 2009

18
Perlawanan dari Catalan
Selamat pagi. Apa kabar Anda hari ini , Bung? Semoga Tuhan selalu
memberkati dan merahmati. Bagaimana akhir pekan Anda kemarin? APakah
menyenangkan? Saya harap anda tidak hanya sekedar berdiam diri di rumah
saja. Mengantri di buffet lines bersama istri bisa jadi suatu momen yang lebih
menyenangkan dan membahagiakan bukan? Saya harap begitu.

Saya hanya menghabiskan akhir pekan kemarin dengan mengunyah


habis preview Final Liga Champions Eropa yang akan berlangsung esok lusa di
kandangnya para Gladiator, Roma, tepat pada tanggal Anda terima gaji.
Tentunya Anda akan berada disana kan? Anda akan terbang ke Roma via
Changi Airport, entah dengan Etihad, Emirates, atau malah Allitalia, karena
maskapai penerbangan Indonesia masih kena cekal larangan terbang dari Uni
Eropa. Jadi, sangat tidak mungkin Anda menaiki Garuda kesayangan itu. Saya
sudah bisa membayangkan Anda dan istri duduk mesra di tribun utama dan larut
bersama sekitar 70000 penonton yang lain. Anda akan mengenakan kostum
berwarna merah sebagai simbol dukungan untuk Manchester United.

Begitupun saya, Bung. Saya tentu tidak akan hadir disana dan
menyaksikan langsung bagaimana sepakbola indah ditampilkan oleh maestro
dari masing-masing tim finalis. Saya cukup menonton lewat TV di rumah saja.
Anda pun tahu, tak lama setelah Puyol atau Neville mengangkat trofi saya akan
kembali bergulat dengan rutinitas pekerjaan yang masih begitu-begitu saja.
Mungkin dengan mata yang masih pedas karena rasa kantuk yang masih
tertahan di kepala.

Suguhan Final musim ini rasanya lebih menarik daripada musim kemarin.
Anda tentu masih ingat bahwa musim kemarin terjadi All England Battle. Kalau
saja bukan karena John Terry yang tergelincir mungkin ceritanya akan lain.
Musim ini, raksasa dari Catalan, Spanyol kembali menantang Setan Merah dari
Manchester di final. Musim kemarin, keduanya bertemu di semifinal. Satu gol
dari Scholes sudah cukup untuk membungkam public Catalan dan
melenggangkan jalan United ke final. Kini, El Azulgrana kembali untuk
menghadang Setan Merah di final. Sebuah duel yang ideal sebagai pembuktian
talenta-talenta hebat yang dimiliki keduanya.

Memang hebat si Kakek dari Skotlandia itu. Memulai debutnya dengan


Setan Merah pada 6 November 1986, tanggal yang sama dengan debut saya di
Ibukota ini. Walaupun tanggal debut kami sama, tentu prestasinya lebih
membanggakan sekalipun saya terpilih sebagai Employer of the Year untuk 10
kali berturut-turut. Semenjak kedatangannya di Old Trafford, ia telah
menghadirkan 33 trofi dari semua gelar yang mungkin diraih oleh United. Liga
Premier, FA Cup, Charity Shield, Champions Cup, dan FIFA Club World.

19
Persaingan Liga Champions musim ini memang sangat ketat. Terbukti
dengan adanya 3 dari The Big Four Premiership di semifinal. United, Arsenal,
dan Chelsea. Anda tentu sudah tahu kalau diantara ketiganya saya lebih suka
untuk pegang United namun kalau ada Liverpool tentu ceritanya akan lain.
Awalnya, saya begitu yakin dan ikut mendukung United untuk jadi juara dua kali
berurutan dan menyempurnakan raihan gelar sebelumnya, Premiership dan
Piala Dunia Antar Klub.

Belakangan ini, saya memusatkan perhatian saya pada Barcelona. Saya


pernah menyukai Barcelona, namun tidak sebesar kecintaan saya pada Real
Madrid. Waktu itu, mereka masih punya Rivaldo. Kini, skuad mereka adalah
yang terkuat di Primera Spanyol. Tanpa Ronaldinho dan Deco. Namun, ditangan
Pep Guardiola, eks kapten yang kini jadi manajer, Barcelona menampilkan
sebuah kekuatan baru yang menakutkan bagi setiap defender lawan.
Mengandalkan kecepatan Henry, Eto’o dan Messi, Barcelona menjadi tim yang
paling produktif di Eropa. Sampai saat ini, di musim ini, kombinasi mereka telah
mencetak lebih dari 100 gol.

Barcelona, sebuah kota di semenanjung Catalan di selatan Spanyol.


Barcelona adalah tempat yang indah. Bukan karena saya pernah buat tulisan
yang judulnya, “Belok Kanan Barcelona, Belok Kiri Cirebon”. Bukan pula karena
saya sekarang sedang belajar bahasa Spanyol. Bapak saya pernah berkata
begitu. Kalau anda masih tidak percaya coba dengarkan lagu Barcelona dari
Fariz RM. Untuk bangsa Indonesia sendiri, Barcelona pernah punya cerita
tersendiri. Bukan dari sepakbola tapi dari cabang olahraga bulutangkis. Rasanya,
tidak mungkin kita lupa pada prestasi Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti di
Olimpiade Barcelona 1992. Mereka menyumbangkan medali emas untuk
kontingen Indonesia. Sebuah pencapaian yang semakin menegaskan
keunggulan Indonesia di jagad perbulutangkisan dunia.

Final musim ini bukan sekedar adu gengsi La Messias dari Argentina
dengan CR7 Made in Portugal. Bukan sekedar pertarungan khas Kick and Rush
versus Sepakbola Indah khas Matador. Bukan hanya adu pintar dua manajer,
yang tua versus yang muda. Ada sesuatu yang menggelitik pikiran saya dan
rasanya terlalu sayang untuk dilewatkan dan dibuang begitu saja.

Kalau anda buka lembaran sejarah Spanyol, maka anda akan


menemukan fakta bahwa Kerajaan Spanyol pernah mengalami periode yang
sama dengan Amerika Serikat dimana terjadi Perang Saudara. Itulah sebabnya
kenapa setiap negara bagian di Spanyol punya bendera masing-masing. Jangan
heran kalau anda lihat Fernando Alonso atau Jorge Lorenzo mengibarkan
bendera yang coraknya sedikit mirip dengan bendera Spanyol. Itulah simbol
mereka.

Bagi public Catalan, Barcelona adalah lambang perlawanan terhadap


kemapanan. Ada ikatan ideologis dan historis antara Barcelona sebagai klub

20
dengan public Catalan sebagai pendukungnya. Tidak semua public Catalan
adalah pendukung Barcelona. Mereka terbagi menjadi dua kelompok karena
Barcelona punya rivalitas dengan tim sekotanya, Espanyol. Persaingan yang
tentunya mirip dengan Internazionale dengan A.C Milan di Italia sana atau Persib
dengan Persikab untuk lebih gampangnya.

Layaknya di Italia. Setiap klub dari bagian selatan negeri adalah wakil dari
kaum kelas pekerja dan proletarian. Sedangkan, klub yang berada di utara
dianggap sebagai simbol kemapanan. Begitupun yang terjadi di Spanyol.
Barcelona adalah lambang perlawanan terhadap kemapanan yang terjadi di
ibukota negara kerajaan, Madrid dengan simbolnya Real Madrid. Tim sekota,
Espanyol pun dianggap sebagai cerminan dari kaum penguasa yang bermodal.
Dalam konteks keindonesiaan, musuhnya wong cilik.

Adanya ideologi tersebut konon terbentuk ketika Perang Saudara


berlangsung. Pada akhirnya, setelah perang usai konteks ideologis-historis tetap
melekat sebagai warisan dan budaya bagi public Catalan. Itulah mengapa, derby
Catalan Barcelona VS Espanyol, dan El Classico Barcelona VS Real Madrid
menjadi momen-momen yang ditunggu bagi public Catalan pendukung
Barcelona. Pertandingan tersebut bukan hanya pertaruhan gengsi dan prestise,
tetapi lebih kental dengan aroma idelogis-historis.

Sehingga menarik sekali bahwa yang terjadi bukan sekedar pertandingan


sepakbola biasa. 11 lawan 11. Tapi juga ada unsur perjuangan kelas-meniru
istilah dari Sosiologi. Anda tentu lebih paham hal itu, Bung. Anda tentu sudah
pernah membuat penelitiannya. Perlawanan kelas yang direpresentasikan dalam
sepakbola menghadirkan sensasi tersendiri dari berbagai esensi entitas yang
terlibat didalamnya. Dan karena sepakbola ikut melibatkan pendukung fanatik
dalam jumlahnya yang tidak sedikit maka itulah juga yang menyebabkan masih
menarik untuk terus diikuti. Setidaknya hingga saat ini.

Kekuatan modal atau kapitalisme yang terjadi didalam olahraga termasuk


sepakbola telah mengubah peta persaingan beberapa klub di Eropa. Beberapa
kenalan Anda ikut membuat sepakbola menjadi tambang emas yang tak pernah
henti berkilau. Sebut saja Abramovic, Tsar penguasa Chelsea, Malcolm Glazer,
Koboi Milyuner di United, dan Duet Hicks-Gillette di Liverpool. Belum lagi, Syekh
dari Timur Tengah yang bermimpi menyulap Manchester City menjadi Klub
Terbesar di Inggris. Di Spanyol sendiri, Real Madrid masih belum puas dengan
der Nederlands Soldier, Nistelrooy, Van der Vaart, Sneijder, dan Robben.
Mereka masih ingin Ricardo Icezson Santos Leite atau yang lebih terkenal
dengan Kaka’, pemain terbaik dunia 2007, berlabuh di Santiago Bernabeu.
Sesumbar capres Real Madrid, Florentino Perez yang bernafsu menjabat
Presiden Klub untuk menghadirkan Los Galacticos ver. 2.0.

Kekuatan modal ini juga lah yang menurut saya akan dan telah
menimbulkan suatu bentuk perlawanan. Kita boleh bilang bahwa model

21
perlawanan masih seputar perlawanan antara si miskin dan si kaya. Identiknya
seperti itu. Namun, konteks historis dan ideologis itu tadi masih punya peranan
penting. Begitu pun final esok lusa. Ada semangat perjuangan dan perlawanan
kelas yang akan mewarnai pertandingan. Anda masih ingat gol Iniesta yang
langsung menyentak publik Stamford Bridge. Chelsea menangis. Tim yang
dibangun dengan semangat kejayaan dan modal yang luar biasa banyaknya.
Chelsea dan United mewakili simbol dari kemapanan modern dalam sepakbola,
terutama di Eropa. Tidak hanya membeli pemain bintang, kucuran dana yang
tidak sedikit itu digunakan pula untuk ekspansi bisnis mereka. Liberalisasi dan
kapitalisasi memang telah menjadi bagian yang integral dari sepakbola modern.

Final hari Rabu nanti akan menyajikan sebuah tontonan yang menarik dan
berkualitas. Bukan karena aksi spektakuler Messi, Xavi, Iniesta, atau Rooney,
CR7, dan Giggsy. Publik Catalan akan menyerahkan sepenuhnya perjuangan
dan perlawanan mereka pada prajurit-prajurit Barca dengan komandannya,
Carles Puyol dan Jenderal Guardiola. Maka dari itu, resmilah saya menyatakan
dukungan saya untuk F.C Barcelona.

Salam hangat dari Kelapa Gading.

25 Mei 2009

NB: Kalau anda jadi capres di 2014 , mau deklarasi dimana?

22
Yang Belum Terkirim (1): Saya, Jombang, dan Emha

Hari ini, Rabu, 27 Mei 2009, setidaknya ada dua momen (selain gajian
tentunya) yang ada di catatan saya. Miladnya Emha dan Final Liga Champions
Eropa Season 08-09 di Roma sana. Kemarin, secara resmi saya telah
mempublikasikan dukungan saya pada F.C Barcelona lewat tulisan yang anda
semua bisa baca di selendangwarna.blogspot.com. Maka, tulisan ini akan
bercerita sedikit tentang Jombang dan Emha Ainun Nadjib. Bukan karena isu
bahwa Final di Roma sana akan dipindahkan dengan alasan keamanan ke
Stadion Brawijaya kandang Persik Kediri atau Si Jalak Harupat kebanggaan
masyarakat Soreang. Bukan juga karena tiket Manchester United Goes to
Senayan rata-rata naik Rp. 250.000. Ibarat murid yang sedang belajar menulis,
saya ini hanya bercerita saja tentang apa yang ada di kepala lalu saya jadikan
tulisan.

Jombang, sebuah kota kabupaten yang berbatasan dengan kota Madiun


di arah barat dan Mojokerto diarah timur. Jombang sendiri menyimpan suatu
fenomena sosiologis dimana ditempat ini terdapat banyak pesantren yang
didirikan sebagai tempat belajar ilmu kehidupan terutama ilmu agama Islam.
Sejarah perkembangan dan penyebaran agama Islam di Jawa Timur sendiri
tidak lepas dari peran pesantren-pesantren Jombang. Tentu dibutuhkan analisis
melalui penelitian yang menggunakan pendekatan historis-sosiologis-kultural
untuk menguji hipotesa diatas.

Jombang, 56 tahun yang lalu melahirkan putranya yang hanya manusia


biasa bernama Emha Ainun Nadjib pada hari Rabu Legi, 27 Mei 1953. Semoga
bukan kebetulan bahwa Tuhan telah mentakdirkan hari Rabu 56 tahun yang lalu
bertemu kembali dengan hari Rabu ini. Selamat ulang tahun, Emha. Semoga
Tuhan tetap dan terus merahmati anda untuk tetap berjuang dijalan-Nya.

Kalau ada yang saya ingat tentang Emha selain bukunya yang saya
punya, “Jejak Tinju Pak Kiai” dan “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki” adalah
album Emha bersama Kiai Kanjeng yang rilis waktu Orde Baru masih berkuasa
sekitar tahun 1997. Saya lupa judul albumnya karena saya tidak membawanya
ketika saya pindahan ke Ibukota ini. Kalau saya tidak salah, ada sepuluh lagu di
album itu. Semuanya bernuansa rohani yang kental dengan paduan puisi dan
lirik-lirik pujian.

Sebelum masyarakat kita ngeh sama lagu “Tombo Ati”nya Opick, Emha
sudah jauh-jauh hari sebelumnya menyanyikan lagu itu diiringi dengan musik
gamelan Kiai Kanjeng. Kalau anda sepintas mendengar akan terdengar seperti
musik keroncong. Tapi lebih daripada itu, komposisi yang dalam lagu “Tombo
Ati”nya Emha tetap menampilkan suatu penghayatan yang kuat atas penyerahan
jiwa manusia sepenuh hati kepada Tuhan.

23
Bedanya dengan yang punya Opick itu hanya dalam penerjemahannya
saja. Opick menyanyikan versi jowo terlebih dahulu diikuti dengan versi bahasa
Indonesia. Sehingga, masyarakat awam yang tidak mengerti bahasa Jawa pun
akan cepat paham. Sedangkan, Emha dan Kiai Kanjeng menyelipkan
terjemahannya di sampul kaset/CD. Maka, tak banyak dari kita yang tahu bahwa
lagu itu sudah duluan ada. Satu lagi yang berkesan kuat di dalam album itu
adalah performance mereka dalam komposisi instrumental berjudul “Parados”.
Tidak ada vokal. Hanya iringan musik saja, paduan gamelan dan musik modern
full band. Rasanya, layak disandingkan dengan komposisi intstrumental David
Foster.

Mendengarkan semua isi album itu tidak akan pernah membosankan


seperti layaknya membaca kembali semua tulisan dalam buku-bukunya. Seperti
pada tulisannya, musiknya pun mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan
ketuhanan. Ada sebuah lirik yang masih saya ingat: “…sesudah lagi, kepingin
lagi…” Lewat lirik lagu yang judulnya (lagi-lagi) saya lupa itu Emha menggugat
sifat kemanusiaan kita yang tidak pernah merasa cukup walau telah dipenuhi
atau terpenuhi segala kebutuhannya. Agaknya, kita telah lupa pada hakikat
bersyukur. Bersyukurlah kepadaku, niscaya kutambahkan nikmatmu. Begitu
Tuhan pernah bersabda.

Bapak saya dulu sengaja membeli album berbentuk kaset itu. Mungkin
karena mereka sama-sama orang Jawa Timur dan punya ikatan historis yang
kuat dengan tanah kelahiran Emha, Jombang. Dulu, Kakek sering mengajak
Bapak saya naik sepeda ontelnya boncengan berdua saja dari Pare, Kediri
sampai ke Jombang kurang lebih sejauh 29 KM. Waktu itu belum banyak
angkutan umum. Kebetulan kakek saya sering mengisi ceramah dan pengajian
di beberapa pesantren dan masjid di sekitar Jombang. Hingga wafatnya pun
Kakek saya dikuburkan di Jombang juga. Kini, Jombang seakan menyimpan
memori itu. Bahkan, setiap melintas Stasiun Jombang, saya masih bisa
merasakan ada sesuatu yang hilang, tersimpan dan tertinggal disana.

Sayang sekali, dalam beberapa kesempatan saya tidak pernah singgah di


Jombang untuk menikmati dan sedikit napak tilas jejak-jejak peninggalan Kakek.
Bahkan, ketika melakukan road tripping dengan rute melingkar Surabaya-
Mojokerto-Jombang-Madiun-Ngawi-Solo-Yogya-Magelang-Semarang-Kudus-
Tuban-Gresik-Surabaya pada awal tahun 2007. Begitu pun kedua kalinya,
Oktober 2007 ketika dalam misi perjalanan mengembalikan amanah ke
Surabaya. Saya menempuh jalur Bandung-Tasik-Yogya-Madiun-Jombang-
Mojokerto-Surabaya. Saya tidak pernah punya kesempatan untuk benar-benar
singgah. Waktu rasanya begitu cepat dan tidak menyisakan sedikit pun
bagiannya untuk saya.

Saya hanya pernah sekali singgah di Jalan Raya Bypass arah Madiun
untuk shalat maghrib. Itupun hanya sebentar saja. Jangan heran bila anda
melewati jalan itu anda melihat banyak masjid di pinggir jalan. Begitu adzan

24
berkumandang dan waktu shalat tiba masyarakat sekitar yang anak kecil,
remaja, pemuda, bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-nenek akan segera datang dan
memenuhi ruangan masjid. Itulah yang membuat saya takjub akan kota ini.
Istilahnya, berhenti dimana pun masih bisa minggir buat istirahat dan sholat
dengan suasana berjamaah yang khas warga Nahdliyin (sebut saja warga NU).
Saya hanya bisa berencana mudah-mudahan suatu saat saya bisa merasakan
goyangan air suspension*) Scania milik P.O Harapan Jaya untuk mengantarkan
saya ke Jombang. Lalu, disambung minibus ke Kediri dan Pare.

Begitulah kota Jombang meninggalkan sebuah ingatan yang tersimpan


rapih dalam memori. Mudah-mudahan, ingatan-ingatan tentang kota sebagai
tempat dengan konteks historis-sosiologis-kultural yang amat erat melekat akan
membangun kesejarahan kota dari sudut pandang mana pun. Baik warga
masyarakat yang mendiaminya atau masyarakat umum yang menaruh perhatian
padanya. Semoga dapat menjadi catatan berharga bagi generasi berikutnya.

Saya tutup tulisan ini dengan kutipan dari tulisan Emha. Semoga anda
dan saya bisa mengambil pelajaran.

“Kalau engkau berbuat baik seribu kali, bersiaplah untuk tidak menunggu satu
orang pun melirik seribu kebaikanmu itu satu kali saja pun. Sebaliknya, kalau
engkau berbuat buruk satu kali saja, bahkan sekedar diduga, dituduh atau
difitnah berbuat buruk satu kali saja, maka persiapkan dirimu untuk
mendengarkan seribu orang memperkatakan seribu keburukanmu yang mereka
karang-karang sebanyak seribu kali.” **)

Kelapa Gading, 27 Mei 2009

*)
Air Suspension adalah sistem suspensi yang menggunakan udara sebagai bantalannya menggantikan
cairan hidrolik/oli. Konsep ini telah digunakan oleh merek bis dan truk terutama yang berasal dari Eropa.
Belakangan, Hino telah mengadopsi konsep tersebut tetapi masih belum bisa menyaingi empuknya
suspensi Mercy.
**)
Emha Ainun Nadjib, dalam tulisan berjudul “Para Pendendam Indonesia” dalam buku “Kiai Bejo, Kiai
Untung, Kiai Hoki”, hal. 125, Penerbit Buku Kompas, 2007.

25
Yang Belum Terkirim (2): Tetapkan Hatimu, Sayang

Kau bertanya padaku tentang bagaimana rasanya jadi pegawai tetap?


Apa yang bisa diharapkan dari seorang pegawai tetap?. Pegawai tetap yang
tetap melakukan tugas yang sama setiap harinya. Tetap berada dalam
kejenuhan dan kebosanan meski dalam kadar yang berbeda. Tetap merasa
perlunya peningkatan kesejahteran yang dimaknai oleh para manajer sebagai
kenaikan gaji, tunjangan, bonus, dan kompensasi lainnya. Pegawai tetap yang
tetap begitu-begitu saja. Tetap mendapatkan penghasilan dan pendapatan yang
segitu-segitu saja. Tetap “dipaksa” untuk jadi kaki dengan kepala yang entah
dimana. Tetap begitu-begitu saja. Tetap melakukan yang itu-itu saja. Tetap
mendapatkan penghasilan yang segitu-segitu saja. Tetap bermimpi dan berharap
suatu hari nanti keadaan akan jauh lebih baik walau harus tetap begitu sampai
sepuluh tahun lagi.

Ketetapan itu mutlak milik perusahaan. Mereka hanya tahu anda


melakukan semua yang telah ditetapkan oleh yang punya perusahaan. Anda
bisa bilang bahwa perusahaan tahu yang dibutuhkan oleh pegawainya maka
perusahaan akan tetap membutuhkan pegawai seperti anda. Bagaimana kalau
jargonnya saya ganti, perusahaan tidak pernah benar-benar peduli atas apa
yang terjadi pada pegawainya. Jikalau anda sedang bersedih karena himpitan
masalah rumah tangga dan urusan personal anda dituntut untuk tidak
menampilkannya lewat raut muka anda. Perusahaan tidak pernah mau tahu apa
yang terjadi pada diri anda sebenarnya. Mereka hanya tahu bahwa anda akan
tetap bersikap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan kantor
dengan urusan-urusan lainnya. Kemampuan anda untuk beradaptasi dengan
keadaan yang tetap seperti itu juga sangat diperlukan. Tidak disarankan sama
sekali anda menjadi seorang yang keras kepala dan idealis. Jadilah seperti
Durna, yang punya lidah sejuta. Anda bisa jadi siapapun dimanapun bersama
siapapun tanpa harus kehilangan diri anda sendiri.

Tapi memang rupanya kita ini butuh sebuah ketetapan. Ketetapan status,
ketetapan penghasilan, dan ketetapan lainnya selain ketetapan untuk tetap
menjadi manusia tentunya. Ketetapan status sangat diperlukan setidaknya untuk
menjaga gengsi pribadi. Berangkat pagi hari, pakai kameja necis, pakai sepatu
hitam mengkilap, sambil menggendong tas yang ada tulisannya “Polo
Executive”, padahal Cuma mampu naik bis kelas eksekusi. Status menjadi
sangat penting ketika berhadapan dengan persepsi orang lain. Untuk anda yang
mampu mengendalikan persepsi orang lain berbahagialah karena anda telah
berhasil memukau mereka dengan segala yang ada pada diri anda-karir dan
kesuksesan. Ketetapan penghasilan menjadi penting kala berhadapan dengan
pihak lain yang akan segera jadi bagian dari diri anda. Entah berhadapan
dengan calon mertua ataupun untuk sekedar duduk manis di meja credit officer
perusahaan leasing yang memberi anda keleluasaan untuk memiliki Mercy seri C
keluaran terbaru-walau cicilannya belum tentu lunas saat anda pensiun nanti.

26
Yang paling penting adalah anda harus punya ketetapan bahwa anda
masih jadi manusia. Manusia yang diberkahi dan dilengkapi akal oleh
penciptanya. Tetap menjadi manusia artinya anda tidak punya naluri kehewanan
yang bersemayam dalam jiwa anda. Anda akan tetap menjadi manusia selama
anda merasa belum ada yang berubah dalam seluruh elemen entitas hidup.
Menjadi manusia adalah berkah tersendiri. Anda tidak perlu menjadi bagian dari
mereka yang mengaku berakal namun tidak pernah tahu apa yang dilakukannya.
Sudah cukup negeri ini dengan manusia macam mereka. Anda harus menjadi
manusia yang seutuhnya sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang
dasar negara ini.

*****

Tetap itu artinya ajeg, rigid, tidak berubah bentuk dan substansinya. Tidak
ada perubahan selama batas waktu tertentu juga bisa diartikan tetap. Pada satu
sisi, ketetapan membuat seluruh sistem dan sub-sistem yang berada didalamnya
berjalan sesuai dijalurnya masing-masing. Semua bergerak selaras, tidak ada
yang teriak protes. Sedangkan pada sisi lainnya ketetapan menimbulkan suatu
suasana yang sangat tidak menyenangkan. Sama tidak menyenangkannya
dengan bangun di pagi hari untuk berangkat ke kantor. Karena tekanan untuk
lepas dari ketetapan itu begitu hebatnya maka terjadilah sebuah perlawanan.

Perlawanan ini dimaksudkan untuk melepas jeratan ketetapan yang telah


menimbulkan perasaan semacam itu. Namun, perlawanan itu biasa diakhiri
dengan penciptaan sebuah wujud ketetapan model baru. Ketetapan dengan
wajahnya yang baru ini telah menjadi euphoria bagi mereka yang punya andil
dalam menciptakannya. Sementara itu, mereka yang memiliki keterbatasan
didalam tatanan ketetapan yang baru ini (lagi-lagi) melakukan perlawanan
namun tidak secara terang-terangan.

Perlawanan yang dilakukan dari dalam, sembunyi-sembunyi, akan


menggerus dan menggembosi semua kekuatan yang mendukung ketetapan dari
keadaan itu. Perlahan pilar-pilarnya akan segera hancur dan tumbang. Kau pasti
tahu kan bagaimana rayap-rayap menggerogoti kayu tempat tidurmu hingga kau
tidak pernah merasakan lagi kasur kapukmu itu? Maka ketika itu, perlawanan
dari dalam itu telah menimbulkan suatu perubahan yang luar biasa dahsyat dan
tidak pernah diduga sebelumnya. Kekuatan yang entah darimana asalnya itu
telah menjatuhkan otoritas yang menciptakan keadaan tetap.

Lagi-lagi, perubahan yang diusung sebagai new way atau new era itu
menciptakan suatu pemahaman tentang ketetapan model baru. Ketetapan yang
dinamis yang memungkinkan perubahan dalam sebuah ketetapan. Ketetapan
yang berubah-ubah menurut bentuk dan esensinya. Ketetapan yang statis
seperti hukum-hukum fisika hanya akan membahayakan ketetapan itu sendiri.
Dengan demikian pilihan akan jatuh pada ketetapan yang dinamis ini.

27
Ketetapan yang memungkinkan perubahan sewaktu-waktu ternyata tidak
lebih berbahaya dari ketetapan statis. Perubahan memang terjadi kapan saja.
Dalam hitungan detik dan milidetik semuanya bisa berubah. Ketetapan model ini
telah menjadi sebuah fenomena hingga dibutuhkan ilmu tersendiri untuk
mempelajari dan menafsirkannya. Ketetapan yang berlaku universal ini telah
menjadi inti dan pusat dari struktur kosmisnya. Sedangkan, ketetapan yang
dinamis ini telah menjadi pion-pion yang mengitarinya. Seperti Merkurius dan
Saturnus yang masih tetap mengelilingi matahari.

*****

Sayangku, apakah engkau masih membaca tulisanku ini? Apakah engkau


mengerti dan telah mengambil point-point dari tulisanku ini? Aku harap begitu,
sayangku. Aku hanya ingin kau mengerti tentang sebuah ketetapan. Seperti
hatiku yang masih berketetapan pada hatimu.

Kelapa Gading, 5 Juni 2009

28
Yang Belum Terkirim (3): Jilbabku, Jilbabmu

Jilbab adalah simbol. Simbol seorang perempuan muslim. Kalau kau


sedang hidup di zaman pemilu yang kesekian ini, ia bukan hanya menjadi
sekedar simbol. Ia telah menjelma menjadi sebuah wacana dan komoditas
politik-bisnis. Wacana tentang jilbab telah menjadi obrolan sehari-hari. Jilbab
adalah simbol perubahan. Orang-orang menyebutnya hijrah. Maka jangan
sampai heran kalau banyak temanmu yang berucap segala puji bagi Tuhan
setelah kau menyelenggarakan konferensi pers untuk mengumumkan hijrahmu
itu.

Kenyataannya sekarang jilbab sudah kehilangan fungsinya. Yang tadinya


menutupi aurat kini jilbab dikonstruksikan sebagai alat untuk mengorek
kekurangan orang lain. Kalau dihubungkan dengan konteks politik praktis, jilbab
kini telah kehilangan fitrahnya sebagai penutup aurat. Jilbab dengan sangat
terpaksa telah menemukan dirinya menjadi wacana politik. Sebagai sebuah
simbol ia dijadikan peluru untuk menyerang musuh politik. Tidak secara
langsung. Ada proses pembentukan persepsi melalui media. Itulah hebatnya
efek komunikasi massa.

Pun ketika jilbab yang wis kadung jadi komoditas politik dipadukan
dengan bisnis. Kekuatannya akan berubah lebih kuat dari sekedar peluru. Ia
akan menjadi racun dalam pikiran. Racun yang menyerang isi kepala orang
awam yang tidak pernah mengerti politik. Sampai disini anda masih mengerti apa
yang saya bahas kan?

*****

Jilbab memang sudah kehilangan fitrahnya. Bila dilihat kembali fungsinya,


jilbab adalah penutup aurat yang pada perkembangannya telah disesuaikan
dengan arus modernitas dan terlihat lebih adaptif dengan dunia fesyen. Jilbab
menutupi aurat, dimana aurat itu sudah tentu haram untuk dilihat apalagi sengaja
dipamerkan. Bahkan, untuk beberapa alas an, ada yang sengaja mengenakan
jilbab agar terlihat lebih menarik dari sebelumnya. Itu sah-sah saja.

Yang patut dihindari adalah menjadikan jilbab sebagai peluru, racun, dan
kendaraan politik. Jilbab dijadikan simbol keberhasilan kekuasaan. Bangunlah
semangat memakai jilbab sebagai sebuah budaya baru. Semangat untuk
menutupi aurat bangsa. Jadikanlah semangat jilbab ini untuk menutupi apa yang
sudah seharusnya tidak dilihat orang. Kemiskinan masih membayangi negara
yang pertumbuhan ekonominya paling tinggi di ASEAN sejak dilanda krisis ini.
Negeri yang implementasi pendidikan murahnya masih menjadi pertanyaan
besar dan sengketa pemerintah pusat dan daerah. Pengangguran angkanya
masih juga belum berkurang. Penanganan pasca bencana yang carut-marut.

29
Dan masih banyak lagi masalah yang belum reda dan usai. Jadikanlah
semuanya tertutupi oleh jilbab yang kita kenakan sebagai bangsa yang besar.

Insya Allah, bila jilbab dikembalikan kepada fitrahnya dan juga tanpa
kehilangan semangatnya negeri ini tidak akan lagi menjadi negeri yang
diremehkan dalam lingkungan pergaulan internasional. Kesuksesan dalam
memaknai jilbab yang bukan sekedar simbol ini akan berpengaruh besar bagi
budaya bangsa. Jadikanlah jilbab bukan sekedar komoditas politik-bisnis
semata. Jadikan semangat berjilbab ini sebagai mentalitas bangsa. Bahkan, ada
yang bilang bahwa kesuksesan seorang suami dalam mendidik istrinya terlihat
dari jilbab istrinya. Apabila sebelum berumah tangga istrinya masih belum
mengenakan jilbab dan setelah berumah tangga istrinya berjilbab barulah
seorang suami dicap sukses mendidik istri. Nah, kalo yang sebelum nikah sudah
berjilbab, bagaimana cara mengukur kesusksesannya? Saya belum tahu. itu
cuma obrolan warung kopi.

Kelapa Gading, 3 Juni 2009

30
Juni
Tentang Dua Perempuan

Mendung. Langit penuh gumpalan awan pekat. Angin menderu kencang.


Tak ada lagi hangat mentari. Gerimis. Basah. Perempuan itu masih berjalan
menyeka air matanya. Berteman payung kecil warna kuning. Tangisnya telah
reda namun tidak dengan badai dihatinya. Perempuan itu telah membuang
tissue terakhirnya. Langkahnya tegak kembali.

Sementara itu gerimis masih enggan untuk reda. Ia masih menerpa


perempuan itu bersama jutaan warga kota lainnya. Suasana seperti ini membuat
perempuan itu teringat kembali pada teman-temannya. Sahabat-sahabat terbaik
dalam hidupnya yang kini perlahan menghilang menuju takdirnya masing-
masing.

Masih diingatnya kala gerimis di kota kecil itu,mereka selalu duduk


bersama dibawah pohon beringin yang besar. Tidak seperti beringin yang selalu
ada ditemani bendera warna kuning, kotak segi lima, dan padi dan kapas. Lalu
mereka akan pulang berjalan kaki sembari memegang lembaran daun pisang
pengganti payung. Semua itu masih jelas melekat. Ia terkenang masa-masa itu.
Ingin ia kembali namun hanya bisa berharap saja karena semua itu tak mungkin
kembali, pikirnya.

Kini, ia hanya bisa mendapati dirinya didalam sebuah ruangan dengan


lampu temaram. Tak lama kemudian seorang pelayan membawakan minuman
hangat pesanannya, Jahe Susu. Bukan moccacino latte atau hot espresso.
Perempuan itu menikmati minuman hangatnya. Dalam hawa dingin seperti ini
jelas pilihannya bukanlah yang terbaik namun cukup untuk menenangkan
dirinya. Ia keluarkan sebatang rokok menthol, membakarnya, lalu menghirupnya.

Perempuan itu menikmati betul saat-saat seperti ini. Ia bersandar pada


kursinya. Menutup matanya sejenak. Terbayang kejadian sebelumnya. Ia
mendapati kekasihnya sedang bermanjaan dengan kekasih barunya.
Perjumpaan yang sekilas itu menyiratkan luka batinnya. Perempuan itu cemburu
pada kekasihnya karena ia tidak pernah begitu dimanjakannya. Perempuan itu
marah karena kekasih perempuannya jatuh cinta dengan lelaki barunya. Ia tidak
pernah tahu kalau kekasih perempuannya itu masih punya perasaan suka
terhadap laki-laki terutama setelah ia tahu bahwa mereka punya latar belakang
sakit hati yang sama terhadap makhluk Tuhan bernama laki-laki.

Perempuan itu masih duduk bersandar dengan mata yang telah terbuka.
Ia menghirup rokoknya lagi. Menatap kosong pada butiran hujan yang hinggap di
kaca. Segalanya tampak samar dihadapannya, ia tidak peduli. Dalam kosong

31
tatapannya itu ia kembali termenung. Masih lekat ingatannya pada kekasih
perempuannya itu. Ia tak bisa lagi merasa kecewa karena ia tahu bahwa semua
ini akan berakhir dengan cara yang menyakitkan atau malah biasa saja.

Setidaknya, ia pernah merasakan kasih sayang dari kekasih


perempuannya itu. Kekasih yang selalu menemaninya sepulang jam kerja yang
melelahkan. Kekasih yang memanjakannya setiap akhir pekan. Kekasih yang
memberikan pengalaman bercinta yang paling indah. Pengalaman-pengalaman
itulah yang kini menenangkannya. Tak ada lagi amarah. Ia tersenyum sendirian.

Perempuan itu mengalihkan pandangannya. Ia menatap sudut ruangan itu


satu persatu. Tampak beberapa meja saja yang ada penunggunya. Jam tangan
Bvlgari-nya menunjukkan waktu pukul 16.20. sore yang biasa dan masih akan
tetap begitu. Sebentar lagi bubaran kantor. Jalanan penuh sesak dalam gerimis
yang masih belum reda. Biasanya, kekasih perempuannya sudah menyiapkan
makan malam untuknya. Ia hanya tinggal pulang seperti biasa. Kekasihnya juga
lah yang selalu melepaskan seluruh pakaiannya untuk kemudian bercinta
dibawah siraman shower. Lantas, mereka makan malam berdua dan kembali
bercinta.

Kekasih perempuannya itu akan pulang tepat jam 22.00. Sebuah BMW
seri 7 akan segera menjemput kekasihnya. Maka, akan sangat bencilah ia kalau
mendengar suara mobil itu. Namun, ia tidak mampu menghalangi kekasihnya. Ia
sangat kelelahan karena menikmati percintaan yang begitu dahsyat dengan
kekasihnya. Bagaimana pun ia telah menikmati suatu kebahagiaan yang hanya
didapatkan dengan kekasihnya. Lainnya ia tidak mau peduli, tidak juga pada
siapa yang menjemput kekasihnya. Ia tidak pernah peduli. Ia tidak pernah mau
bertanya dan membahasnya. Justru itulah yang membuat ia tersadar, bahwa
kekasih perempuannya itu telah mengkhianatinya setiap malam setiap mereka
selesai bercinta. Lelaki yang mobilnya BMW itu menjemput kekasih
perempuannya. Kemudian, mereka akan hanyut bersama dalam permainan cinta
yang tak kalah dahsyatnya. Mereka akan kembali bercinta memacu emosi jiwa
dibawah langit Jakarta yang tidak pernah nampak terlalu tua.

*****

“Kini terasa sungguh, semakin engkau jauh, semakin terasa dekat” *)

Dalam keremangan senja seperti ini apalagi yang bisa dilakukan seorang
perempuan yang terjebak didalam kemacetan. Tidak ada yang bisa ia lakukan
selain menatap rintik gerimis yang segera disapu wiper mobilnya. Ia raih
handphone dari tasnya. Ketika sudah sampai pada nama orang yang akan
dihubunginya, ia malah melempar handphone itu. Hatinya serasa panas terbakar
dan pilu semakin menyayat bila ingat lagi pada satu nama itu. Nama seorang
perempuan yang pernah begitu mencintainya.
*)
Dari lirik lagu Nuansa Bening, Keenan Nasution dipopulerkan kembali oleh Vidi Aldiano

32
Mendadak ia sandarkan keningnya pada lingkaran setir. Ia pejamkan
kedua matanya. Ia hirup nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya lagi perlahan-
lahan dan teratur. Ia praktekkan latihan pernafasan ala yoga yang membuatnya
kembali tenang. Ia membuka matanya lalu bersandar. Kendaraan disekelilingnya
belum juga bergerak. Semuanya seakan bisu dalam macetnya Jakarta.

Setelah cukup tenang ia kembali membayangkan kebahagiaan yang


sempat ia rasakan dengan kekasih perempuannya. Ia tidak benar-benar
menginginkan kebahagiaan dari lelaki yang kini mencintainya. Ia tidak pernah
yakin akan cinta lelaki itu. Itu hanya sebuah alasan saja agar lelaki itu
mendapatkan kepuasan dan pengakuan atas kelaki-lakiannya. Tak lupa juga ia
jadikan itu sebagai pelampiasan saja. Ia tidak pernah benar-benar mencapai
klimaks kala bercinta dengan lelaki itu. Tidak seperti dengan kekasih
perempuannya.

Perempuan yang masih terjebak dalam macetnya Jakarta itu semakin


larut dalam lamunannya. Kebahagiaan memang pernah jadi miliknya bersama
dengan perempuan kekasihnya itu. Perempuan yang mencintainya dengan
begitu tulus apa adanya. Kekasihnya yang perempuan itu tidak pernah menaruh
curiga apabila ia ketahuan sedang dekat dengan seorang lelaki. Perempuan
yang pernah jadi kekasihnya itu selalu menenangkannya setiap kali permainan
cinta mereka telah dimulai. Betapa nikmatnya saat-saat itu. Ia kembali teringat
bagaimana wajah kekasihnya itu dalam siraman shower. Ia merasakan kembali
bagaimana kekasihnya itu memanjakan dirinya dengan kenikmatan yang hanya
bisa diberikan oleh seorang perempuan. Ia juga hafal betul wangi keringat
kekasihnya dalam setiap lekukan tubuhnya. Dalam senja yang masih mendung,
ia mendapati dirinya tersenyum bahagia. Kemudian, ia membuka jendela
mobilnya.

Semuanya telah hilang, pergi, dan berlalu dari hidupnya. Yang tertinggal
hanyalah hidupnya yang sekarang. Hidup yang hanya dimilikinya saja. Semua
kenangan indah bersama kekasih perempuannya ia simpan dan kubur dalam-
dalam dihatinya. Sedangkan perasaan sakit yang ia lampiaskan pada
kekasihnya yang lelaki ia biarkan berlalu dalam setiap hembusan angin yang
menerpa wajahnya. Gerimis perlahan masuk melalui jendela maka ia tutup lagi
jendelanya.

Lamunannya terhenti pada kata kebahagiaan dan perpisahan. Betapa kini


ia telah menikmati keduanya. Telah juga ia rasakan perasaan-perasaan atasnya.
Hari-hari yang telah dilaluinya dengan mudah kini tinggal kenangan saja.
Semuanya berlangsung atas dasar kebahagiaan. Karena perasaan bahagianya
itulah ia selalu siap untuk setiap kemungkinan terburuk. Kehilangan kekasih
adalah satu hal yang pernah membayanginya. Namun, rupanya ia telah siap
menerima semua itu.

33
Buatnya, kebahagiaan dan perpisahan adalah sama saja. Tidak ada yang
lebih indah. Semua punya kadarnya masing-masing. Lantas, ketika akhirnya
mereka berpisah pun keduanya sudah merasa sama-sama bahagia. Dan mereka
telah yakin bahwa hal itu akan terjadi menimpa mereka. Cepat atau lambat.
Perempuan yang masih diam dalam macetnya itu merasa semakin tenang. Tidak
ada beban lagi yang menggelayuti pikirannya.

Perempuan itu berharap perempuan yang pernah jadi kekasihnya itu pun
selalu merasa bahagia. Dimana pun bersama siapa pun. Kebahagiaan tidak
melulu harus bersama dengan orang-orang yang kita cintai. Kebahagiaan bisa
ditemukan dimana saja tergantung pada sejauh mana pengertian kita tentang
bahagia dan kebahagiaan itu sendiri. Begitulah harapan perempuan yang masih
terjebak dalam macetnya Jakarta itu. Bila Tuhan mengizinkan, ingin sekali ia
katakan itu dihadapan perempuan yang pernah jadi kekasihnya. Sambil
memeluk tubuhnya lalu mengecup keningnya. Sekali lagi. Sekali saja.

*****

Ia telah habiskan jahe susu pesanannya. Juga 5 batang rokok menthol


yang menemaninya. Aroma jahe dan menthol mengisi rongga mulutnya. Ia
berkaca pada kotak make-up yang selalu dibawanya. Dirapikannya rambut itu
dengan sisir hingga tergerai, dipolesnya lagi bibir itu dengan lipstik warna merah.
Lalu, ia berjalan meninggalkan tempat itu. Wangi menthol yang tertinggal beradu
dengan aroma parfum yang masih melekat padanya.

Gerimis belum juga reda. Jalanan dipenuhi kendaraan yang berserakan.


Senja mulai tenggelam. Lampu jalanan mulai menyala. Perempuan itu
melangkah keluar. Lipstiknya menyala, merah.

Kelapa Gading, 8 Juni 2009

34
Catatan di Hari Jum’at (Kemarin)

Pada senin pagi yang tidak pernah menyenangkan aku berangkat


menjalankan tugas seperti biasanya. Keresahan yang terbenam sepanjang
perjalanan aku jadikan sebagai kerinduan yang tertahan. Aku kembali menyusuri
jalanan yang selalu penuh sesak dijejali kendaraan. Beginilah, pagi hari di
ibukota. Semuanya berlomba mencapai tujuan. Termasuk aku yang terjebak
didalamnya.

Aku nyalakan radio. Aku tidak ingin mendengarkan berita. Aku ingin
mendengarkan lagu saja. Tetapi, apa yang telah terjadi pada dunia ini?
Semuanya menyiarkan berita yang sama di pagi ini. Kemacetan disana-sini,
harga minyak dunia yang diperkirakan akan bertahan di level $70 per barel
hingga akhir tahun ini, Prita Mayasari eh Prita Mulyasari yang masih akan
menjalani persidangan, kekhawatiran menggunakan e-mail, retorika isu ekonomi
dan politis untuk saling serang diantara tim sukses capres, dan bla bla bla
huekkkk.

*****

Aku tiba di kantor dengan perasaan yang sama tidak menyenangkannya.


Aku duduk dimejaku dan membuat beberapa catatan*):

Pidato Obama di Mesir

Pidato Obama dalam kunjungannya ke Timur Tengah ini menyiratkan suatu


pesan bahwa Amerika Serikat menginginkan sebuah hubungan baru dengan
dunia Islam. Hal ini merupakan suatu jawaban atas sentiment anti-Islam yang
marak setelah peristiwa 9/11. Kemudian, Obama mendukung pendirian negara
Palestina serta menilai bahwa pembangunan pemukiman Yahudi menyalahi
aturan.

Tidak ada yang tahu agenda sebenarnya dibalik kunjungannya ini. Hubungan
Amerika Serikat dan Islam (arab) masih menyisakan remeh-remeh yang belum
selesai. Iran masih dianggap sebagai sebuah ancaman bagi dunia dengan
program nuklirnya. Konflik di Afghanistan masih tak kunjung reda. Pendudukan
di Irak pun masih belum pulih benar dan mengembalikan Irak kepada rakyatnya.

Patut ditunggu apalagi kejutan yang akan dilakukan Obama sebagai pemimpin
negara adikuasa yang masih berstandar ganda itu. Jangan kaget bila suatu saat
ia mampir ke kantor anda sambil berkata bahwa ia mau istirahat sejenak
sebelum singgah di Menteng.

*)
Isu-isu diangkat dari Harian Republika, Jum’at, 5 Juni 2009

35
20 Tahun Tiananmen

Peringatan peristiwa penembakan demonstran di lapangan Tiananmen yang ke-


20 kalinya tahun ini ternyata masih menjadi semacam misteri yang tak boleh
terkuak oleh siapapun. Peliputan oleh wartawan asing pun masih dilarang.
Hingga kini, tidak ada yang tahu siapa dan berapa pastinya jumlah korban akibat
pembubaran demonstrasi yang dilakukan oleh pihak militer Cina.

Kejadian seperti ini mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia. Tindakan represif
dari aparat telah mencoreng muka bangsa ini dengan apa yang disebut sebagai
Hak Asasi Manusia. Tetapi, jauh sebelumnya, bangsa ini telah mencatat sejarah
kelam dengan hilangnya beberapa aktivis. Sama seperti korban Tiananmen yang
tidak pernah dirilis resmi berapa jumlahnya hingga saat ini pun keberadaan para
aktivis itu masih menjadi tanda tanya.

Begitulah sejarah mencatatkan kisahnya. Pengungkapannya tidak perlu


dilakukan sesegera mungkin namun perlahan akan ada yang terkuak. Entah hari
ini, esok, atau nanti.

Air France Collapse

Peristiwa lainnya yang sempat membuat heboh dunia penerbangan setelah


jatuhnya Hercules C-130 milik Indonesian Air Force adalah jatuhnya Airbus A330
milik maskapai Air France. Terbang dari Rio de Janeiro, Brazil dengan tujuan
akhir Paris. Penerbangan ini melintasi samudra atlantik. Namun, harus kandas
sebelum mendarat di tempat tujuan. Diberitakan bahwa pesawat ini telah
menabrak atau menghadapi badai.

Pesawat kemungkinan besar pecah di udara sehingga menewaskan seluruh


penumpang dan awaknya. Kejadian ini mirip dengan yang menimpa Boeing 737-
300 milik Adam Air yang jatuh di perairan Sulawesi tahun 2007 kemarin.
Kalaupun ada bedanya, sempat beredar rekaman dari kokpit sebelum pesawat
jatuh menabrak laut. Disadari atau tidak rekaman tersebut menjadi sebuah
polemik tentang kebenaran. Menteri Perhubungan jelas kebakaran jenggot
karena bocornya rekaman percakapan itu. Pak Menteri sepertinya sadar bahwa
bocornya rekaman itu mengindikasikan kelemahan pihaknya dalam menjaga
kerahasaiaan data penerbangan.

Sedangkan belum ada keterangan apapun yang menjelaskan jatuhnya Airbus,


para ahli penerbangan dunia masih mengembangkan teori tentang
kemungkinan-kemungkinan dan penyebab jatuhnya Airbus.

36
GM Bankruptcy

Dunia otomotif Amerika Serikat mencatat sejarah yang ditandai dengan


pernyataan bangkrut dari General Motor, perusahaan otomotif terbesar di negeri
itu. Pengumuman itu menyusul lesunya penjualan mobil sehingga GM tidak
punya cukup uang untuk mempertahankan bisnisnya. Konon, Hummer satu
merek mobil mewah milik GM sudah dijual ke perusahaan otomotif China,
Tengzhong. Sepertinya, Chrysler juga akan menyusul Hummer dan dijual ke
tangan FIAT.

Menarik sekali melihat kejadian ini. Lee Iacocca pernah mati-matian


mempertahankan Chrysler agar tidak kalah dari produsen mobil Jepang sebelum
ia sadar bahwa kini semua usahanya itu hanyalah menunda kekalahan. Krisis
keuangan yang melanda dunia telah membuat segala yang ia lakukan menjadi
sebuah omong kosong khas bisnis.

Plipres 2009: “SBY: Agama diatas politik”

Kalau memang harus demikian, agama diatas politik, lantas kemarin itu posisi
agama dimana? Apakah sama dengan politik atau malah dibawah politik.
Penempatan agama diatas politik ini harus dilandasi dengan semangat politik
yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Sebagai sebuah entitas yang berada
diatas politik agama harus mampu memberi pengaruh yang kuat terhadap politik
dan segala hal lainnya yang ada dibawahnya.

Agama tidak pernah menjadikan bangsa ini benar-benar yakin kepada Tuhan.
Agama hanya dijadikan simbol saja terutama bagi mereka yang menginginkan
kekuasaan. Agama bukan lagi pijakan untuk melakukan hal yang baik dan benar,
buruk dan salah.

Masalahnya, negara kita ini tidak peduli betul terhadap yang seperti ini. Siapa
peduli hal yang demikian di negara yang katanya berketuhanan ini tapi nyatanya
sekuler ini.

LSI: SBY menang mutlak

LSI mengumumkan hasil survey terbarunya yang melibatkan 3000-an lebih


responden se-Indonesia yang berujung dengan kesimpulan bahwa pasangan
capres-cawapres SBY-Boediono meraih kemenangan mutlak. Sebagai
gambaran hal ini boleh dijadikan gambaran hasil pemilu yang akan datang.

37
Tetapi, belakangan LSI menyebutkan nama FOX Indonesia sebagai satu pihak
yang mendanai survey tersebut. Pikiran awam kita akan segera mendatangkan
perasaan curiga bahwa ada kepentingan dibalik pengungkapan survey ini.
Sederhananya begitu. LSI menjadi mobil sewaan dari setiap pasangan capres-
cawapres untuk menilai progress dan popularitasnya.

Ambil positifnya, Bung! Berarti, masyarakat kita sudah mengerti betul dengan
siapa yang bakal jadi pemimpinnya.

Rencana Revisi UU 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat

Regulasi tentang pengelolaan zakat melalui UU 38/1999 masih akan mengalami


revisi. Pasal yang dianggap kritis adalah tentang lembaga pengelola zakat. Yang
lebih penting sebenarnya adalah bagaimana memberdayakan masyarakat untuk
mau membayar zakat. Percuma saja perangkat undang-undangnya diperbaiki
terus menerus tanpa ada effort dari masyarakat untuk membayar zakat. Biarlah
masyarakat sendiri yang menentukan zakatnya mau dibayar melalui lembaga
zakat yang mana. Kewajiban pemerintah adalah menciptakan situasi dan kondisi
yang membuat masyarakat aware dan mau untuk membayar zakat serta
mengawasi penyaluran zakatnya agar benar-benar amanah.

*****

Aku terbangun oleh suara handphone sialan itu yang menunjukkan nama
“kutukupret” dilayarnya. Mau apa lagi dia? Halo?

Kelapa Gading, 8 Juni 2009

38
Catatan Politik Seorang Rakyat

Semakin hari semakin riuh hingar bingar politik negeri ini. Disana-sini
dimana-mana terdengar janji-janji dan slogan para kontestan. Kampanye telah
bergulir untuk mereka yang menyatakan dirinya sebagai calon presiden dan
wakil presiden negara yang sejatinya bernama Republik Indonesia. Seluruh
bagian dari negeri ini dari yang terpadat jumlah penduduknya hingga desa-desa
kecil yang kekurangan penduduk ikut merasakannya serta tak luput jadi sasaran
lumbung suara pemilih.

Sementara itu, direktur lembaga survey sibuk meyakinkan berbagai


kalangan bahwa hasil survey yang mereka lakukan adalah murni tanpa
diboncengi kepentingan pemodal. Mereka sibukkan diri dengan membuat survey
yang seakurat mungkin tanpa ada tendensi pada satu atau lebih kontestan.
Mereka berlomba-lomba meyakinkan rakyat bahwa survey mereka memang
patut dijadikan sebagai acuan.

Media apapun bentuknya sibuk mengekspos segala tindak-tanduk figur


kontestan pemilu presiden. Mereka meliput, wawancara, bahkan membuat acara
khusus sebagai wahana penggiringan wacana oleh figur-figur tertentu. Para
pakar, analis, dan pemerhati politik juga habis-habisan memutar otak menggeber
habis akalnya untuk membaca, menganalisa, dan mengungkapkan. Pada
akhirnya, karena mereka terlatih untuk membuat kesimpulan maka kesimpulan
mereka akan menghiasi wajah media dalam bentuk serangkaian analisis yang
diwacanakan. Isinya sudah tentu tentang analisis kebijakan ekonomi dan politik
serta implikasinya terhadap kebutuhan rakyat banyak.

Anda sibuk apa Bung? Berapa persen waktu yang anda investasikan
untuk mengamati hal ini? Apakah anda sedang bersama rakyat? Mendidik
mereka untuk tahu caranya berpartisipasi dalam hajatan politik yang entah
keberapa pada tahun ini? Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada rakyat?
Rakyat. Kemanakah rakyat yang selalu dieluka-elukan dan menjadi jargon utama
dalam setiap kampanye. Rakyat adalah peluru emas untuk memperebutkan
senjata politik dan ekonomi semata. Senjata itu kemudian akan segera merubah
dirinya menjadi pusaka masa kini dan masa depan bagi mereka yang
memenangkannya dan bagi beberapa golongan yang merasa perlu bersatu
untuk tujuan dan kepentingan yang sama.

Rakyat negeri ini sudah pintar, Bung! Mereka tidak perlu lagi diberi
pelajaran dan mata kuliah mengenai pendidikan pemilih. Rakyat sudah terlalu
paham dan sangat mengerti carut-marut dunia politik negeri ini jauh sebelum
segelintir orang yang mengatasnamakan kaum muda berani mengajukan diri
sebagai calon presiden independen. Rakyat sudah tahu bagaimana caranya
menghadapi situasi politik yang tidak pernah menentu dibandingkan dengan
seorang ahli politik yang paling politis pikirannya sekalipun.

39
Betapa rakyat negeri ini telah mengalami segala konsekuensi yang
dimungkinkan oleh politik. Jatuh bangunnya mempertahankan kekuasaan dari
oposan, eksistensi kepemimpinan dan kekuasaan yang menimbulkan status quo,
hingga zaman neoliberal saat ini. Rakyat telah dikhianati oleh Orde Lama.
Kemudian terbuai dalam alunan wacana “pembangunan” dan “tinggal landas”
sebelum akhirnya tersadar bahwa selama 4 windu mereka dikempongi* oleh
Orde Baru.

Rakyat mengalami suka cita yang luar biasa saat menyambut makhluk
bernama reformasi. Reformasi selalu menempatkan rakyat sebagai subjek
utama politik di negeri ini. Apa-apa atas nama rakyat. Apa saja asal menyebut
nama rakyat pasti laku dan populer. Tapi justru itulah yang menyebabkan rakyat
kembali terkapar. Luka lama itu kembali menganga kala menyaksikan kelakuan
para pengiring reformasi yang ternyata tidak kalah serakahnya dari Orde Baru.
Mereka yang dulu ikut teriak dan sepakat mendukung reformasi telah menelan
kembali omongannya sendiri. Keadaan seperti ini menciptakan “kaum pesakitan”
model baru yang telah menjadi sebabnya.

“Kaum pesakitan” model baru ini anggotanya adalah orang-orang yang


tidak pernah mendapatkan dan menikmati keuntungan apa-apa baik secara
politik dan ekonomi selama Orde Baru berkuasa. Mereka berkumpul dan
menunggangi agenda reformasi untuk kemudian memuaskan libido nafsunya
yang tertahan oleh budaya Orde Baru yang terlanjur mengakar sangat kuat.
Tingkah laku “kaum pesakitan” model baru ini tidak lebih beradab dan lebih tidak
bertanggung jawab. Dikhawatirkan juga perilaku yang demikian hebat
pengaruhnya ini disebabkan oleh pil dan candu bernama demokrasi yang
mereka telan sebanyak mereka mampu tanpa memperhatikan dosisnya.

Korupsi asal dilakukan dengan cara yang demokratis diperbolehkan.


Kolusi dan gratifikasi dipersilahkan demi tegaknya demokrasi. Begitulah cara
mereka memuaskan dirinya sebelum pada akhirnya mereka tak tahan
mendengarkan teriakan rakyat yang menghujat mereka. Rakyat berteriak lantang
karena semerdu apapun nyanyian di ruangan sidang paripurna DPR belum ada
hasil yang nyata atas biaya rumah tangga dan biaya sekolah anak-anak mereka.
Rakyat pun mendapati bahwa mereka dan semua masalahnya tidak pernah jadi
agenda utama di persidangan itu.

Rakyat tidak ingin terlalu lama diajak berpikir apa itu neo-liberalisme yang
menjadi tren saat ini. Rakyat juga tidak ingin terlalu sering mendengarkan
nyanyian lagu ekonomi kerakyatan yang lagi-lagi mengatasnamakan mereka
padahal belum ada perubahan nyata atas keadaan ekonomi mereka. Tidak usah
kita berlama-lama lagi membahas tentang neoliberalisme, ekonomi kerakyatan,
dan ekonomi jalan tengah hingga ke akar-akarnya.

40
Liberalisme dalam ekonomi negeri kita ini sudah dimulai sejak
demokrasinya menganut demokrasi liberal mirip di negerinya Obama. Hanya
saja, kita tidak pernah dibiarkan untuk tahu dan sengaja tidak diberi tahu. istilah
neoliberalisme yang segera menjadi kosakata baru dalam obrolan sehari-hari itu
hanya pengembangan dari ide-ide sebelumnya tentang liberalisme. Cara-cara
baru dalam menyikapi perubahan dunia, globalisasi, hingga kapitalisasi
menyebabkan lahirnya aliran baru ini. Neoliberalisme ini sudah dimulai sejak
ditandatanganinya nota kesepakatan antara Pemerintah dengan IMF tahun
1999. Jadi, yang terjadi sekarang ini adalah buah dari kesepakatan yang lalu
tersebut.

Tidak perlu lagi kita menempeli label dedengkot neolib pada Boediono
kalau ternyata Sri Mulyani Indrawati, menteri yang pernah nongkrong di IMF itu
lebih neolib pemikirannya. Beliau tentu lebih mengerti bagaimana menciptakan
liberalisasi gaya baru ini dan meleburnya bersama kapitalisasi pasar sehingga
tidak perlu lagi teriak-teriak “ekonomi kita itu neolib lho….”

Ekonomi kerakyatan dan ekonomi jalan tengah pun hanyalah sebutan


belaka dan jargon semata bagi mereka yang meyakininya. Lupakanlah istilah-
istilah itu karena tidak akan berpengaruh apa-apa pada sejarah. Sejarah tidak
akan lagi mencatat Prabowo sebagai bapaknya ekonomi kerakyatan dan SBY
sebagai bapaknya ekonomi jalan tengah. Bung Hatta boleh marah-marah karena
idenya diambil dan ditiru serta diganti namanya jadi istilah ekonomi kerakyatan
yang lebih populer saat ini. Sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan sudah
dimulai sejak koperasi yang pertama berdiri di Indonesia tahun 1933.

Karena peristiwa itulah yang menyebabkan terpilihnya Bung Hatta


sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Pada masa itu koperasi selalu didengungkan
sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Realita saat ini menunjukkan bahwa
koperasi kalah bersaing dengan kapitalisasi pasar modern. Walaupun telah
dibentuk kementrian khusus yang menangani bidang perkoperasian namun tetap
saja koperasi belum mampu menjadi apa yang diamanatkan kepadanya sebagai
soko guru perekonomian. Koperasi telah lebih dahulu tiarap, menyerah dan
kalah kepada kekuatan ekonomi lain yang merajai pasar.

*****

Begitulah, Bung. Politik dan Ekonomi masih menjadi isu yang tidak pernah
berhenti untuk dibahas. Isu-isu seputar siapa menjadi siapa dan siapa makan
apa tetap selalu mengisi wajah media kita. Tidak usah kita bicara tentang
pendidikan. Pendidikan diperuntukkan bagi mereka yang merasa perlu saja.
Pendidikan tidak ada sangkut pautnya dengan agenda-agenda politik dan
kemapanan ekonomi. Pendidikan tidak mengurusi etika dan perilaku berpolitik.
Pendidikan tidak juga mengintervensi sistem ekonomi makro maupun mikro.
Jadi, jangan salah paham bila tidak ada satu pun pasangan capres-cawapres
yang menjadikan pendidikan sebagai satu dari sekian agenda utamanya.

41
Padahal kan Bung tahu sendiri, kalau pendidikan akan berimplikasi
terhadap banyak hal. Mulai dari kesadaran berpolitik hingga caranya mencari
makan. Saya setuju pada pendapat anda di seminar kemarin. Pendidikan adalah
kunci untuk kemajuan bangsa ini. Anda berani mengatakan itu ditengah orang-
orang yang disebut cendekiawan padahal tidak ada satupun dari mereka yang
berani mengkritik ide anda. Mereka yang mengaku kaum cendekiawan itu masih
setuju pada anggapan yang pernah anda bantah dahulu. Pendidikan akan
menjadi prioritas kala cari makan sudah jadi hal yang mudah. Saya tidak tahu
kelanjutannya. Bung tentu lebih tahu. Saya hanya rakyat yang biasa melihat ke
atas tanpa pernah terlihat dari dari atas. Saking seringnya saya melihat ke atas
saya hampir lupa untuk melihat keadaan sekitar kita. Semua sudah berubah.
Rakyat sudah berubah.

Kelapa Gading, 29 Juni 2009

42
Juli
Tentang Debat Semalam

This was a whole lot more than a simple affair. This was a love story.*)

Hanya itu saja yang bisa dia bilang tadi malam. Hanya beberapa kata
"Aku benci kamu!." Aku pun masih tidak mengerti sebabnya. Tidak ada
pertengkaran semalam. Hanya sebuah perdebatan saja. SBY dan JK sedang
bicara bagaimana caranya supaya RUU Tipikor dapat segera disahkan jadi UU,
lalu bagaimana mereka menghandle isu-isu tentang Hak Asasi Manusia, hingga
hutang luar negeri yang selalu jadi perdebatan sejak bangsa ini mengenal hingga
akhirnya bisa melunasi hutang dari IMF.

Sedangkan, aku dan dia berdebat panjang tentang urusan lebaran nanti.
Maunya, segala sesuatu sudah mulai dipersiapkan dari sekarang. Kue-kue
kaleng untuk tamu. Minyak Goreng yang harganya selalu melambung tinggi
menjelang lebaran. Baju baru, kerudung baru, dan segala tetek bengek lainnya
yang tidak pernah aku mau dengar. Aku hanya diam saja. Tak ada komentar
mengalir dari mulutku.

*****

Ternyata, dia malah tahu penyebab diamku.

"Kamu kok diem? Kamu nggak suka?

Aku tetap diam

"OK. Kamu boleh nggak suka dengan caraku, that will not stopping me!"

Aku masih diam. Mengikuti kemana saja langkahnya. Aku sengaja biarkan
dia yang memilih saja semua kebutuhan itu. Aku tidak peduli walau pada
akhirnya tagihan kartu kredit akan membengkak. Aku biarkan saja. Aku
menunggunya didalam mobil. Aku mencoba mencari kesibukan sendiri sambil
menunggu dia datang.

*****

Pikiranku mengarah pada perempuan itu. Perempuan yang kutemui


dalam sebuah jamuan makan malam di pesta ulang tahun sahabatku. Hanya dari

*)
Time Magazine, 13 July 2009, p.11

43
perkenalan semata, tapi aku serasa masih menginginkannya. Aku tahu ia sudah
bersuami, sama sepertiku yang sudah beristri. Kita saling memahami satu sama
lain. Seperti ketika suatu siang ia mengajakku lunch bersama. Obrolan yang kita
bahas bukan masalah kejenuhan berumah tangga atau pun hal-hal lainnya yang
masih berkaitan dengan keluarga dan rumah tangga.

Bukan saat yang tepat untuk berkeluh-kesah tentang keluarga dan rumah
tangga serta tetek bengeknya dengan seseorang yang baru kita kenal. Kita bisa
bicara panjang lebar tentang debat capres dan cawapres yang kehilangan
esensinya sebagai debat publik. Belum lagi tentang serangkaian manuver politik
kontestan pemilu capres. Ia terlihat paham sekali isu-isu yang berkembang saat
ini. Mulai dari bagaimana neo-lib menancapkan tiangnya di negeri ini hingga
konsep ekonomi kerakyatan yang tidak pernah menyentuh masalah rakyat yang
paling utama. Ia juga tidak suka dengan konsep pemilu yang satu putaran saja.
Tidak demokratis katanya.

Bukannya bermaksud membandingkan, tetapi itulah yang kusuka darinya.


Tidak seperti istriku yang tahunya hanya begitu-begitu saja. Semakin cepat
pemilu ini selesai, semakin cepat pula keadaan ekonomi akan membaik. Artinya,
ekonomi rumah tangga tidak akan terlalu banyak menemui hambatan terutama
masalah pembiayaan hidup ini yang tidak pernah henti-hentinya hanya untuk
meyakinkan bahwa kita berdua besok masih bisa makan nasi. Tidak ada
gunanya membahas visi dan misi capres, karena segala sesuatunya seperti
sudah ditetapkan sebelumnya. Makanya, aku tidak pernah lagi mau membahas
hal yang begituan dengannya.

Sudah dua bulan ini aku mengenalnya dan aku merasa dekat dengannya.
Setiap membayangkannya, aku ingin segera menemuinya. Aku ingin selalu
bersamanya kalau bukan karena bayangan istriku yang selalu menghujam
jantungku. Harus kuakui, masih lebih baik mengangkat batu ke puncak gunung
daripada bertengkar dengan istriku. Sangat tidak menyenangkan sekali rasanya
ketika harus menghadapi marah seorang istri. Mungkin itu sebabnya, banyak
suami yang kelihatan tangguh namun ternyata malah lebih takut sama istrinya
sendiri. Dan aku termasuk salah satunya.

Sampai saat ini, aku masih berhubungan dengannya. Aku tidak


berhubungan dengannya lewat facebook, e-mail, atau malah push-mail dari
Blackberry. Aku pun tidak pernah mengirimkan SMS padanya. Bukannya aku
menghindari hal-hal yang seperti itu. Aku hanya tidak ingin berlebihan dalam
menggunakannya. Hanya sesekali saja lewat telepon, hanya untuk mengajak
bertemu. Dalam suatu pertemuan denganku, ia bercerita bahwa ia sangat
menikmati hubungan ini. Aku pun demikian. Aku menikmati saat-saat seperti ini.
Aku rasa wajar saja bila aku melakukannya. Hanya pertemanan biasa saja, tidak
lebih. Dan itu tentu saja tidak akan membahayakan pernikahanku-juga
pernikahannya, walau tendensi menuju arah perselingkuhan selalu ada.

44
Semakin lama, semakin lucu. Tidak pernah ada rasa curiga dari istriku.
Aku masih bisa menyembunyikannya. Aku tidak sedang menuai badai karena
aku tidak (atau belum) melibatkan perasaanku dengan perasaannya. Tidak ada
cinta dalam hubunganku dengannya. Kemungkinan itu masih selalu ada, dan
aku tidak ingin memulainya duluan. Sudah beberapa hari ini aku semakin dekat
dengannya. Kita jadi lebih sering bertemu. Entah bagaimana pun caranya ada
saja kesempatan. Terlebih lagi istriku ternyata lebih senang menghabiskan
waktunya di rumah saja.

Kesempatan itu memang sudah begitu adanya atau memang diciptakan.


Waktu selalu membawaku bersamanya. Menghabiskan waktu menonton
Transformers 2 di Blitz Megaplex. Duduk bersebelahan sambil menenggak
Coca-cola Zero dan Pepsi Blue. Berlanjut hingga sekedar minum kopi di Kopi
Tiam Oey. Semua itu berlalu begitu saja. Tidak ada suara dering handphone
yang mengganggu. Pun ketika akhirnya bibirnya menempel pada bibirku hingga
aku bisa rasakan detak jantungnya. Semua itu terjadi dan berlalu begitu saja.

*****

Aku sedang menulis SMS hingga sebuah pukulan keras menghantam


kaca jendela mobilku. Rupanya istriku sudah datang dan menyuruhku untuk
membantunya mengangkat semua barang belanjaan. Aku masih belum beranjak
sampai SMS darinya tiba:

"weekend ke Bandung??? Hmmm… boleh juga tuh. You'll pick me right?


Miss u!"

Kelapa Gading, 3 Juli 2009

45
Nobody's Note
Cerita di Hari Jum’at: Ibroh dari Sebuah Suplemen

Adalah kebiasaan saya untuk membeli Koran Harian Republika setiap hari
Jum’at. Bila sedang tidak pulang ke Bandung tentu hal itu adalah menu wajib di
Jum’at petang. Alasan yang utama adalah segala intisari berita sepekan terakhir
terkadang direview dalam sebuah kesimpulan menjelang akhir pekan. Selain itu
juga, di edisi Jum’at, Republika menyertakan bonus suplemen Dialog Jum’at.
Lumayan, hitung-hitung untuk belajar agama dan meneguhkan iman yang makin
menipis ini seminggu sekali.

Pun, Jum’at kemarin (3/7) saya membeli Koran seperti biasa di kios
langganan. Pertama menyentuh rasanya seperti tidak biasa. Terasa lebih tebal.
Perasaan , suplemen Dialog Jum’at belum akan ditambah jatah halamannya.
Mungkin, ada rubrik lain. Itulah yang ada di benak saya kemudian. Saya tidak
sempat menengok seluruh halaman karena mengejar waktu shalat maghrib yang
selalu singkat. Saya hanya membaca headline yang berjudul “Satu Putaran
Panaskan Debat”.

Anda semua tentu menyimak debat terakhir di malam Jum’at itu kan?
Satu debat yang entah diposisikan sebagai debat yang berkonotasi saling serang
pendapat dari kontestan atau diskusi untuk mencari penyelesaian dan jalan
keluar. Sedikit mengulas kembali, tidak banyak yang berubah dalam debat
tersebut. Megawati masih dengan pendapat-pendapatnya yang terkesan sangat
normative. SBY yang masih tampil jaim, dan JK yang terlihat santai namun lebih
serius dalam pembahasan masalah.

Setelah shalat maghrib dan makan sebungkus nasi padang. Saya mulai
membuka halaman satu per satu. Beritanya masih dihiasi kabar dari kematian
tragis Michael Jackson yang membuat DEA (Drugs Enforcement Agency) turun
tangan, Franck Ribery yang keukeuh (ngotot-pen) ingin pindah ke Real Madrid,
Semifinal Wimbledon, dan yang paling menyita perhatian saya adalah Operasi
Khanjar (Operasi Tebasan Pedang) yang dilakukan oleh Marini AS di
Afghanistan , operasi militer terbesar dibawah kepemimpinan Barack Obama.

Alangkah terkejutnya ketika mengetahui sebab Koran hari ini berasa lebih
tebal. Terselip satu lagi suplemen yang berfungsi sebagai alat kampanye SBY-
Boediono dengan judul “Amanah untuk Rakyat”. Suplemen yang berjumlah 16
halaman ini bercerita tentang profil SBY dan Boediono dari mereka lahir hingga
mereka meniti karir masing-masing. Diceritakan bagaimana SBY lahir dan
tumbuh dalam lingkungan masyarakat pesantren, bersekolah negeri di Pacitan,
sekolah militer di AKABRI, hingga karir militer dan sipilnya sampai saat ini.
Begitu pun dengan pasangannya, Boediono. Cerita dimulai dengan masa kecil
Boediono yang santun dan sederhana sebagai anak pedagang batik di Blitar.

46
Lalu, diceritakan pula bagaimana perjalanan pendidikan dan karir Boediono
sampai saat ini pula.

Bagi saya apa yang terjadi hari ini adalah sebuah keanehan. Aneh karena
menurut saya media telah kehilangan independensinya. Media, terlebih di zaman
pemilu yang kesekian ini telah menjadi senjata yang ampuh bagi setiap insane
politik yang ingin menegaskan eksistensinya. Aneh. Sama anehnya ketika Metro
TV menjadi corong dan wahana pencitraan dari satu kandidat capres lainnya.
Begitu juga ketika menjelang pemilu legislative, masih di harian yang sama,
terpampang iklan full page dari PDIP yang menyangkal seluruh pencapaian di
masa pemerintahan SBY-JK demi menegaskan citra partai yang peduli wong
cilik yang juga tentu sudah terlanjur melekat pada partai berlambang banteng
ireng (banteng hitam) tersebut.

Entah teori komunikasi massa mana yang digunakan. Permainan dengan


media ini tentu bukan tanpa tujuan dan hasil yang ingin dicapai. Saya tidak
sempat membandingkan dengan media cetak lainnya. Apakah mereka juga
melakukan hal yang sama dengan kandidat yang lain, saya belum tahu. Saya
memandang hal ini sebagai konsekuensi yang wajar dari demokrasi yang selalu
kita banggakan dan nilai bisnis yang menggiurkan.

Dari sudut pandang demokrasi, kebebasan berpendapat melalui media


lebih terjamin tanpa adanya diskriminasi dan intimidasi pihak lain. Sedang dari
sisi bisnis, Koran butuh iklan sebagai pemasukan terbesarnya dan si pengiklan
butuh media untuk menyampaikan sesuatu yang mereka bawa (namanya juga
kampanye). Maka sangat wajar bila mereka menerima order untuk membuat
suplemen yang seperti itu agar profil si pengiklan mendapatkan exposure kepada
publik dan Koran mendapat pemasukan yang sudah tentu besar dari si
pengiklan.

Bila suatu hari nanti anda ada yang membacanya dan kagum dengan isi
suplemen tersebut tolong beri tahu saya. Itu artinya anda masih waras. Sama
seperti saya. Saya mengagumi kisah-kisah didalam suplemen tersebut. Tetapi,
dalam situasi politik saat ini bahasa penyampaian yang digunakan pun memang
bahasa dengan kesan positif yang pada akhirnya menggiring kesadaran
pembaca untuk kemudian bersimpati lalu memilih pasangan tersebut pada
pemilu 8 Juli nanti. Semuanya telah direncanakan dengan sedemikian matang.
Bukan tanpa alasan tim sukses SBY-Boediono menempatkan public profiling
tersebut pada harian Republika yang punya credo “Pegangan Kebenaran”.

Saya masih terkesima dengan kisah-kisah tersebut. Cukup ambil ibrohnya


(pelajaran) saja. Cukup ambil nilai-nilai yang terkandung didalamnya:kerja keras,
pantang menyerah, santun, sederhana, rendah hati, dll. Masalah pilihan, saya
kira anda semua sudah lebih pintar untuk menentukan siapa yang akan dipilih
pada pemilu mendatang. Biar hati nurani anda dan sepasang mata yang setajam

47
garuda dipadu dengan kecepatan berpikir menuntun anda semua untuk memilih
kandidat yang pantas untuk memimpin Indonesia.

Salam hangat dari Cakung.

Jakarta, 4 Juli 2009

48
JK: Jaga Kemaluan(mu)

Demikianlah Ya Allah. Telah engkau berikan suaramu pada pemilu


kemarin. Telah engkau pilihkan presiden kami. Kemenangan memang sudah di
depan mata. Tinggal menunggu waktu saja. Polling-polling terbaru tidak lagi jadi
patokan. Semuanya berubah di hari pemilihan. Menang mutlak. Itulah
pencapaian kemenangan yang sesungguhnya.

*****

Kemenangan yang demokratis, begitulah komentar para pakar yang entah


dibayar hanya untuk meyakinkan masyarakat bahwa pemenang pemilu adalah
pilihan terbaik untuk bangsa ini. Seakan pemahaman masyarakat dipersempit
bahwa sang pemenanglah yang akan menunjukkan jalan keluar dari segala
permasalahan bangsa ini. Pun ketika media televisi yang saling unjuk kekuatan
dengan quickcountnya masing-masing agar keabsahan yang menjadi bukti
legitimasi bagi si pemenang tetap terjaga dan mudah-mudahan terjaga pula
kredibilitasnya.

Media masih menari diatas arus pusaran berita suksesi incumbent yang
berhasil mengalahkan lawan politiknya dengan kemenangan mutlak. Berita-
berita seminggu kedepan akan masih dihiasi kilauan-kilauan kemenangan ini.
Masalah kisruh DPT, dan gugatan kecurangan lainnya mungkin hanya akan jadi
penggembira saja di headline-headline media cetak. Sementara, kandidat yang
kalah mungkin sedang mempersiapkan dirinya masing-masing untuk melakukan
apa yang terlanjur diucapkannya ketika tidak terpilih nanti dalam suatu debat.
Ada yang tetap berjuang dan ada yang akan pulang kampung. Untuk yang masih
berjuang, semoga Tuhan bersama anda yang terus membela kepentingan rakyat
kecil. Untuk yang akan pulang kampung, semoga kepulangannya membawa
manfaat dan berkah bagi kampung halaman.

Tidak usah bicara tentang bagaimana selebrasi dari tim sukses yang
benar-benar sukses mengantarkan kliennya meraih kursi presiden. Mereka tentu
sudah bosan karena dari tiap menit tidak ada perubahan yang signifikan pada
hasil quickcount. Paling tidak mereka baru akan melirik pada setiap statement
yang dilontarkan lawan politik mereka. Mereka dengarkan dan kalau perlu tidak
sekedar diamati, dicatat dan dianalisis. Kalau bisa, sumpah serapah dan segala
tudingan itu mereka buat jadi bom Molotov yang sewaktu-waktu mereka
lemparkan. Mungkin mereka hanya akan tertawa sambil bertepuk tangan untuk
menyenangkan hati mereka sendiri setelah melakukan pembalasan yang selalu
lebih indah.

Lagi kau bertanya tentang pembagian jatah kekuasaan alias bagi-bagi


posisi. Siapa yang duduk disini, siapa yang duduk disitu. Siapa menjabat apa,
siapa kebagian proyek apa. Kau masih berharap kebagian jatah? Lupakan saja,

49
Bung! Kecuali kalau memang anda kemarin memang menunggangi kendaraan
yang sama dengan para pecundang yang maunya main aman supaya kebagian
jatah menteri boleh saja. Memang tidak salah berjudi dengan menawarkan diri
untuk menunggangi mesin politik yang masih bertenaga. Belum lagi, tanpa ada
hambatan dan lawan yang berarti. Serasa ngebut di jalan tol Jagorawi di tengah
malam tentunya dengan Maseratti atau Cabriolet pujaan.

Kalau kau sadari, pihak mana yang sebenarnya diuntungkan dari pemilu
kemarin? Anda makin bingung? Atau malah mau menjawab bahwa sebenarnya
pihak-pihak yang paling dirugikan dari pemilu kemarin adalah mereka yang
menginginkan pemilu ini berjalan dua putaran. Mungkin ada benarnya. Pemilu
dua putaran seperti 2004. Tapi ingat juga Bung, waktu itu calonnya ada 5
pasangan, jadi dua putaran adalah hal yang wajar. Saya pun begitu. Saya
sangat ingin pemilu ini berjalan dua putaran. Tak perlu lah kita bahas
penghematan anggaran negara sebesar Rp. 25 Trilyun untuk kelancaran proses
demokrasi.

Apakah demokrasi negeri ini hanya seharga 25T saja? Namun, kenyataan
memang selalu berbeda. Rakyat seakan terbungkam oleh iklan-iklan dan
propaganda bahwa pemilu ini cukup satu putaran saja. Rakyat tentu tidak akan
berpikir panjang tentang proses demokrasi yang akan melegitimasi kekuasaan.
Mereka hanya tahu bahwa semakin cepat selesai mereka akan bisa focus
kembali pada apa yang telah mereka kerjakan. Mereka mungkin juga sudah tahu
bahwa apapun hasilnya, siapapun pemenangnya belum tentu ada perubahan
yang signifikan dalam kehidupan mereka. Yang penting besok masih bisa makan
nasi.

Indikasi tanpa rilis resmi sudah menyebar dimana-mana. Ucapan selamat


mengalir deras ke Cikeas. Sementara saya masih terperangkap dalam pekerjaan
saya. Kalau nanti malam anda mampir ke Cikeas, sampaikan salam saya untuk
Putra Pacitan yang kembali menjabat menjadi presiden kita. Bukan karena tak
rindu, tolong bilang saja saya sibuk-seperti biasa. Atau kalau anda cukup nekat,
bilang saja saya sedang belajar demokrasi la roiba fih*) bersama Emha Ainun
Nadjib di Kadipiro, Yogyakarta sana.

Dua putaran, kisruh DPT bermasalah, selebrasi kemenangan Pemilu, nilai


tukar rupiah menguat, MK bersiap menerima pengaduan, isu Munaslub Partai
Golkar yang lebih cepat lebih baik. Dunia masih belum berhenti berputar. Terlalu
cepat untuk berhenti sekarang. Lanjutkan saja langkah kita.

*****

Menyimak hasil pemilu kemarin membuat hati hamba menjadi kecut


padamu, Ya Allah. Hamba merasa sangat malu. Sungguh hamba ini malu Ya

*)
Demokrasi La Roiba Fih, Emha Ainun Nadjib, Penerbit Kompas, 2009

50
Allah, berteriak-teriak kesana kemari hanya untuk meyakinkan hati hamba
bahwa pemilu kemarin akan berjalan dua putaran. Hamba juga yang mengajak
kawan-kawan di facebook untuk bersama-sama menjadikan pemilu kemarin
supaya berjalan dua ronde. Hamba juga lah yang selalu bercerita pada setiap
kawan yang hamba temui bahwa pemilu dua putaran adalah pemilu yang ideal
untuk iklim demokrasi saat ini. Hamba sungguh tidak bisa menjaga kemaluan.
Sungguh tidak bisa. Sungguh hamba malu sekali Ya Allah. Hamba malu. Malu.
Malu sekali.

Kelapa Gading, 9 Juli 2009

51
JK: Jaga Kehormatan(mu)

Jum’at pagi, hampir semua wajah media cetak dipenuhi headline yang
serupa. JK ucapkan selamat pada SBY. Ucapan selamat tersebut sebagai reaksi
atas jumlah perolehan suara pemilu presiden via quickcount yang dikeluarkan
oleh berbagai lembaga survey. Sedangkan KPU sendiri masih baru akan
mengumumkan hasil resmi pemilu presiden pada 25 Juli 2009 nanti.

Perlu diakui bahwa kedewasaan dan kematangan dalam berpolitik


terutama untuk mengakui kekalahan adalah hal yang sulit dan berat untuk
dilakukan. Apalagi sambil mengingat ketatnya rivalitas demi menjaring suara
pemilih. JK dengan legowo dan semangat ksatria telah menunjukkan sikap yang
gentle untuk memberikan ucapan selamat terlebih dahulu tanpa harus menunggu
rilis resmi KPU.

Ucapan selamat itu juga mengandung makna bahwa kedewasaan dalam


berpolitik berarti juga menyambung silaturahmi yang sempat terputus gara-gara
rivalitas tadi. Bayangkan saja, partnership yang terbentuk selama hampir 5 tahun
harus diakhiri dengan rivalitas head-to-head. Rivalitas itu kini telah berakhir dan
pemenangnya masih berupa indikasi tanpa rilis resmi. Dengan demikian, ucapan
selamat itu adalah sebuah kemestian. SBY-JK belum akan expired dalam waktu
dekat ini. Mereka berdua masih jadi Presiden dan Wakil Presiden hingga
Oktober nanti, saat Presiden terpilih dilantik. Walau pelantikan itu bisa
dipercepat, SBY-JK tentu masih akan bersatu dan akan mengumpulkan semua
perangkat kabinet yang kemarin habis-habisan mengadu strategi, daya, dan
upaya untuk memenangkan kandidat capres masing-masing.

Kiranya, JK mulai realistis untuk menilai kekalahannya. Apapun dan


bagaimana pun caranya perolehan suara JK-WIN tidak akan bertambah secara
signifikan untuk menyaingi jumlah suara kedua rivalnya. JK juga mungkin
menyadari bahwa indikasi tanpa rilis resmi melalui quickcount dari berbagai
lembaga survey seringkali gambaran nyata dari hasil akhir pemilu.Bahwa pada
sebelum pemilu popularitas SBY mulai menurun dan elektabilitas JK meningkat
bukan lagi hal yang perlu didebatkan dan dibahas lagi. Kini semuanya sudah
terbukti. Tinggal menunggu hasil akhir. Kekalahan sudah didepan mata.

Tentu, mereka masih akan duduk bersama, satu meja dengan menteri-
menterinya untuk membahas perihal RAPBN 2010 serta keadaan politik, hukum,
ekonomi, dan keamanan pasca pemilu presiden. Kiranya, para menteri juga
masih akan menunjukkan dedikasi dan integritas moralnya tanpa harus grasak-
grusuk supaya nanti terpilih lagi untuk periode selanjutnya.

*****

52
Ucapan selamat di malam Jum’at dari Menteng ke Cikeas adalah sebuah
penghormatan. Penghormatan yang timbul dari kejujuran. Kejujuran untuk
mengakui kekalahan dan keadaan diri sendiri yang memang kurang berdaya
melawan saingannya. Sikap seperti itu tidak akan pernah menimbulkan suatu
tindakan perendahan diri. Tetapi, sikap yang demikian adalah sikap yang akan
menjaga kehormatan. Welcome back, Yudhoyono!

Cakung, 11 Juli 2009

53
Olenka

Olenka,
Seminggu sudah kau bersamaku. Seminggu itu pula kau telah tidur
bersamaku. Bersama kita menatap kelam langit Jakarta yang kadang ada bulan
menggantung disana. Selama itu pula aku belum menyentuhmu. Bagiku, apa
yang terdapat dibalik wajahmu yang baru masih sebuah misteri.

Olenka,
Seminggu sudah tanda tangan penciptamu menancap di kulit mukamu.
Seminggu itu pula aku semakin merasa yakin bahwa kau memang aneh dan
cukup memenuhi syarat untuk dianggap kontroversial. Pada zaman engkau lahir,
tentu belum banyak yang mengerti akan maksudmu. Mereka masih terpaku pada
pola pikir linier yaitu pola pikir yang masih menghendaki adanya benang merah
dan hubungan sebab akibat pada setiap sosok yang menyerupaimu. Namun,
engkau tidak begitu.

Olenka,
Aku pernah mengenalmu dalam balutan wajah lamamu. Aku pernah
menjamahmu tapi aku tidak dapat merasakan sebuah sensasi. Aku hanya
mencari-cari siapakah engkau yang sebenarnya. Adakah Olga Semyonovna
adalah wujud pasti dirimu? Atau mungkin, Olga Semyonovna telah
menghibahkan rahimnya untuk mengandungmu? Aku hanya mencari tahu siapa
engkau sesungguhnya. Tidak lebih.

Olenka,
Engkau tentu masih ingat siang yang tidak terlalu panas itu. Suatu siang
dimana engkau akhirnya berlabuh ke pelukanku. Aku memang sudah berniat
memboyongmu ke kamarku sejak mereka memasang namamu disitu.
Beruntunglah, Tuhan memberikanku kemampuan untuk sekedar mengajukan
pertanyaan pada penciptamu. Rupanya, Tuhan masih berbaik hati hingga
mengizinkanmu untuk benar-benar berada di genggamanku.

Olenka,
Aku masih menatapi wajahmu. Aku baru tersadar kalau Seno Gumira
Ajidarma menulis sesuatu di wajahmu. Kau pun tahu dia penulis favoritku kan?
Kiranya, setelah menulis catatan ini, ingin sekali aku menghabisimu. Menelan
setiap kata dan kalimat dalam dirimu. Sampai akhirnya aku benar-benar paham
siapa dirimu, Olenka.

Salam hangat dari Kelapa Gading,


Kelapa Gading, 14 Juli 2009

54
Pada Suatu Pagi (2)

Tenggelam lagi dalam kepulan asap rokok dan pekatnya kopi. Begitulah
yang kujalani akhir-akhir ini. Aku merasa tekanan ini begitu menghimpitku
sehingga butuh pelarian seperti itu. Padahal, itu tidak terlalu penting. Aku tidak
ingin merasa dibebani oleh pekerjaan kalau ternyata tekanan itu lebih
disebabkan oleh perasaan, Cuma oleh sekedar perasaan.

Kenapa perasaan seperti ini menyerangku lagi, setelah semua berjalan


apa adanya. Aku tidak tahu jelas apa yang menghinggapi pikiranku saat ini.
Entah jenuh atau Cuma sekedar bosan. Aku masih memejamkan mata ini sambil
berharap pikiran ini kembali seperti biasanya. Aku harap perasaan ini bukan
karena rinduku padanya. Asap rokok masih mengepul dalam pikiran yang
berkabut. Lagu dangdut dari radio butut masih mengalun pelan.

Selamat malam,...duhai kekasihku


Sebutlah namaku menjelang tidur*)

Mendengar lagu itu aku sedikit merasa lebih baik. Ingin sekali aku
memeluknya dimalam ini. Hilangkan gelisah setiap malam. Aku tahu dia pasti
merindukan kehadiranku. Dia selalu ada disana. Selalu menungguku untuk
menceritakan segala kepalsuan di dunia ini. Bila sudah begitu, seakan jauh
rasanya dari dosa yang selalu mengepungku.

Ini memang tidak adil padanya. Aku telah meninggalkannya tanpa


kerelaan apa pun. Tapi, perempuan itu tidak banyak bertanya. Ia hanya pasrah
saja menerima kenyataan ini. Dalam hatinya mungkin masih ada keyakinan
bahwa aku akan kembali pada suatu masa. Aku rasa dia tidak terlalu salah
karena malam ini setelah rokok terakhir kuhisap dan cangkir kopi terakhir
kuteguk habis aku akan kembali menemuinya. Hanya tinggal masalah waktu
saja. Aku ingin lihat apakah waktu masih memberikan kesempatan padaku. Aku
hanya ingin tahu apakah waktu masih mempunyai masa lalu yang bisa terulang
lagi. Aku hanya ingin tahu saja, tidak lebih.

Sementara, malam bertambah pekat dalam balutan sunyi sepi. Aku masih
sendiri. Aku merasa menjadi orang yang paling berbahagia malam ini. Betapa
bahagianya aku malam ini. Aku masih bisa merasakan tekanan perasaan yang
bertubi-tubi dan takkan pernah hilang walau teracuni kafein dan nikotin. Aku
masih bisa bahagia dalam bayangan senyumannya. Aku masih bisa berbahagia
walau hanya dengan hidup yang begini-begini saja, tanpa variasi. Aku masih
merasa bahagia walau hanya mengkhayal tentangnya.

*)
Dari lagu “Selamat Malam”, dinyanyikan oleh Evie Tamala

55
Rindu ini memang terasa berat. Andai aku bisa menjadikannya sebagai
puisi. Sudahlah, itu semua tidak mungkin. Tidak mungkin kalau aku akan kembali
menemuinya setelah sekian lama menghilang tanpa pesan. Kalaupun bisa aku
tidak akan pernah kembali padanya. Lagipula untuk apa kalau selama ini
ternyata sudah ada satu hati yang melengkapi hatinya yang lain.

Aku kembali dilanda sepi. Malam diluar jendela masih menampakkan


pekat dalam cahaya lampu jalanan yang menandakan kota ini belum tidur. Aku
menatap kosong keluar. Tidak ada lagi beban yang hinggap. Hanya ada sepi dan
diriku yang kerdil dihadapan pencakar langit itu. Diam-diam kunyalakan lagi
sebatang rokok. Radio butut itu kini terdengar jauh lebih merdu.

Malam ini tak ingin aku sendiri...


Kucari damai bersama bayanganmu...**)

Sebuah lagu lama yang kembali terdengar merdu dan mesra. Siapakah
yang ingin selalu ditemani kesendirian? Siapakah yang tak ingin ditemani dalam
malam yang sepi ini? Aku rasa jawabannya bukanlah aku. Aku tidak pernah tahu
jawaban itu. Terlalu subjektif. Aku dengarkan lagu itu sampai selesai. Radio
kumatikan sambil melangkah pulang.

Aku sampai di rumah dengan perasaan yang datar. Tidak ada yang aneh.
Aku memastikan semuanya baik-baik saja. Aku tidak ingin lagi terbangun dengan
keadaan tidak menentu lalu menemukan seorang perempuan lagi. Aku hanya
menemukan sebuah surat dibawah pintu. Entah dari siapa, tidak ada nama
pengirimnya. Sebuah amplop warna merah muda dengan bekas tanda ciuman
bibir. Aku bisa lihat dari sisa lipstik yang masih menempel pada amplop itu.
Sepertinya surat ini belum lama sampai.

Aku sama sekali tidak merasa penasaran. Aku simpan surat itu. Aku baca
besok pagi saja. Aku ingin segera tidur lalu lupakan semua yang terjadi. Namun,
rupanya paduan nikotin dan kafein dalam tubuhku mulai bekerja. Aku tidak bisa
tidur lelap, bahkan untuk memulainya saja pun tidak bisa. Aku merasakan detak
jantungku mengencang, tidak seperti biasanya. Lalu, mata ini belum mau
terpejam juga.

Aku duduk sambil melamun. Tiba-tiba, pikiranku terarah pada surat itu.
Aku akan segera membacanya.

Sayang,

Maafkan atas kelancanganku kemarin. Aku masuk ke rumahmu tanpa izin. Aku
tahu kamu pasti kaget melihatku ada di tempat tidurmu. Kamu tidak perlu tahu
aku ini siapa. Aku hanyalah seorang perempuan biasa, sama seperti yang biasa
kau temui di lingkungan kantormu. Aku sama seperti mereka.
**)
Dari lagu “Tak Ingin Sendiri”, dinyanyikan oleh Dian Pisesha

56
Malam itu kebetulan aku lewat depan rumahmu sebelum aku melihat ada
sesuatu yang aneh. Rumahmu memang aneh (aku harus akui itu). Pintu
masuknya terbuka, pagar tidak dikunci, belum lagi jendela yang selalu terbuka
karena angin. Ketika itu aku masuk. Dan tanpa sengaja aku langsung menuju
satu-satunya kamar. Lalu, aku duduk di tempat tidurmu.

Aku merasa nyaman sekali disitu. Udaranya begitu sejuk, mungkin karena kamu
pandai mengurusi tanaman di taman depan itu. Aku pun langsung merebahkan
tubuhku. Perlahan tapi pasti aku tertidur. Dalam tidurku itu aku merasa ada
seseorang lain di rumah ini. Aku bisa rasakan ia masuk kedalam kamar. Aku
masih tetap tertidur. Lalu, aku merasa seperti ada yang membuka kancing
kamejaku. Tak hanya itu, perlahan ia menciumi leherku. Perlahan juga aku
merasa payudaraku diremas-remas. Aku rasa aku sedang dalam permainan
cinta yang dahsyat. Aku merasakan sebuah kenikmatan namun masih dalam
keadaan tertidur.Nafsuku terbakar. Dadaku berdegup kencang. Aku tidak
sanggup membuka mata ini. Aku dikepung sejuta nafsu dalam kenikmatan. Aku
malu untuk bilang padamu kalau aku telah mencapai orgasme. Tapi, apa boleh
buat. Aku telah mengatakannya padamu.

Setelah itu, aku benar-benar kelelahan. Aku yakin kalau si pemilik rumah ini telah
memberiku kenikmatan yang paling dahsyat dalam hidupku. Aku tahu permainan
cinta macam apa yang paling disukai seorang wanita. Sudah berkali-kali aku
melakukannya. Tetapi tidak ada seperti yang kamu berikan. Kamu adalah lelaki
paling hebat. Hanya kamu saja yang pernah melakukannya. Tidak seperti yang
lain.

Aku hanya berharap suatu saat dapat kembali berada di kasur itu dan melakukan
hal yang sama denganmu. Ingat, hanya denganmu saja. Kita mainkan lagi
permainan cinta yang paling dahsyat yang hanya kamu saja yang punya. Kamu
tidak perlu menungguku. Aku akan datang kapanpun kamu mau.

Peluk hangat,

*****

GILA. Benar-benar gila.

Kelapa Gading, 28 Juli 2009

p.s: Pada Suatu Pagi bagian pertama dapat dilihat di edisi April

57
Agustus
3 Malam, 3 Cerita
Bird Song

I remember everything
Every joy and pain
Every hurts and tears
Every rain spots on the window

They're watching us
Walking down to easy winter evening
That's all going wet

We always love the moment


Just sat and watching the sun goes down
Surrounded by cludy and foggy air
Just both of us

Where are you now?


I'm just an empty glass spilled nowhere
I could only hear birds singing
A sad song, that everlasted, unselfish, and endless

March 16, 2009, Jakarta

*****

Another Kind of You

Everyone can go
Everything will leave
Only desire still remain
Keeping silences in reminiscing place
Where do i find you?

Is that you blinking with the stars?


Or just blended away by the wind?
I cound only hear a whisper
Saying, i'll always be with you, by breathing your name

March 16, 2009, Jakarta

*****

58
Titip Rindu buat Ibu*)

Rembulan merah mengambang


Langit Cikampek malam hari
Angin kemarau mengalun terbang
Hantarkan hasrat mimpi kembali

Debur rindu bawa kelam


Sejuta rindu bawa mimpi
Desiran ingin bakar malam
Jatiluhur terpatri sepi

Ibu... Si Anak meradang


Dalam sedu gemuruh hati
Ibu... anakmu pulang
Remuk redam hati terobati

Jakarta, 12 Agustus 2009

*)
Sama dengan judul novel Novia Syahidah, “Titip Rindu Buat Ibu”

59
Kita Adalah Teroris*)

Bom meledak lagi. Kemudian meledak lagi. Dan tetap meledak lagi. Bom
meledak, teroris tertawa. Bom kembali berjoget. Menebar ketakutan, menakar
kewaspadaan. Bom terlanjur jadi momok melebihi setan dan narkoba. Sudah
cukup bangsa ini melihat bom sebagai wujud teror. Teror yang dilakukan
segelintir manusia yang pikirannya ngawur.

Siapa yang tak kenal Amrozi, santri dari Pesantren yang tidak terkenal di
Lamongan itu telah tiada. Pun begitu dengan kompatriotnya, Imam Samudra dan
Doktor Azahari. Tapi bom masih juga meledak. Konon katanya, Noordin M Top
lah dalangnya. Detasemen khusus telah dibentuk untuk menanggulangi setiap
peristiwa yang berkaitan dengan teror bom. Interpol juga turun tangan untuk
membekuk manusia pengebom itu.

Akhir pekan lalu ketika Temanggung, kota kecil di Jawa Tengah tiba-tiba
jadi pusat perhatian dunia. Untuk masyarakat di Indonesia, mereka semua
penasaran bagaimana caranya Polisi untuk menangkap buronan paling dicari di
seantero jagad perIndonesiaan. Belum lagi, masyarakat internasional yang juga
ikut menaruh perhatian karena Noordin sudah terlanjur mereka nilai sebagai
pejuang penebar teror.

Sayang, sayang, sayang. Belakangan, ternyata bukan Noordin yang mati


di Temanggung, tapi Ibrohim. Sayang sekali. Mudah rasanya bagi kita dan Polisi
untuk terkecoh. Noordin atau bukan Noordin masalahnya akan tetap masih sama
saja. Teror adalah penyakit yang harus segera disembuhkan supaya kelak jiwa
kita tidak ikut rusak karenanya.

Teror ada dimana-mana. Ia hadir didalam hati, pikiran, dan tingkah laku
kita. Maka, kita pun bisa dengan mudah menjadi Noordin-Noordin yang baru.
Kita bisa dengan mudah menjadi seperti Noordin tanpa harus berilmu pada eks
mujahidin Afghanistan yang pernah merakit high explosive bomb dan C4 untuk
meledakkan tank-tank Rusia. Tidak perlu kita belajar teknologi bom nuklir di MIT
sana karena ternyata seorang Amrozi pun bisa membuat ledakan yang tak kalah
dahsyat dengan yang jatuh di Hiroshima dan Nagasaki. Dengan apa yang ada
pada diri kita saja sudah mudah bagi kita untuk menjadi teroris.

Fenomena teror muncul akibat pola resistensi kultural dan psikologis dari
mereka-kaum yang terbuang dan terpinggirkan dari arus zaman. Karena mereka
harus bertahan hidup maka masalah ideologis yang kental menjadi solusi
pemecahan masalah. Dalam perasaan terbuang dan terpinggirkan itu mereka

*)
Terinspirasi dari tulisan berjudul “Santri Teror” dalam buku “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki”
Penerbit Buku Kompas, 2007. Hal. 91

60
menanam dendam dalam hati dan jiwa mereka. Tubuh mereka terlanjur jadi bom
waktu yang bisa meledak seenaknya mereka. Kalau sudah begitu, tinggal
mencari pembenaran yang bisa melegalkan pikiran macam mereka sehingga
mereka tidak ragu lagi bahwa teror adalah semacam jalan perjuangan.

Tetapi, kita pun tidak perlu menunggu atau bahkan harus merasa
terbuang dan terpinggirkan lebih dahulu kalau mau jadi seperti mereka. Dalam
kondisi normal pun kita sudah bisa jadi pelaku teror. Mau naik jabatan, teror saja
saingan. Mau naik gaji, merongrong atasan dengan segenap alasan
produktivitas dan kinerja. Mau korupsi, teror saja polisi.

*****

Kita adalah teroris. Dimanapun kita berada kita dapat merubah diri
secepat mungkin. Berbagai jerat lingkungan yang menghiasi hidup kita bisa
menjadi penunjuk jalan kea rah sana. Berhati-hatilah, karena setiap
ketidakpuasan yang anda alami akan menggoyahkan jiwa dan pikiran anda.
Lebih parah, hati anda tergerak untuk melakukan sesuatu yang radikal seperti
teror itu tadi. Teror tidak selalu harus teror bom. Masih ada teror lainnya. Teror
psikologis, teror sosial, ataupun teror budaya.

Kita adalah teroris. Teroris pada diri sendiri. Selalu menolak pada
kemapanan sistem birokrasi yang terlanjur membudaya dan mengontrol tata
kosmos kehidupan ini. Jiwa-jiwa teroris dalam diri terbentuk dari keengganan
untuk beradaptasi. Jiwa-jiwa teroris ini tetap hidup dalam jiwa yang selalu
memberontak. Jiwa-jiwa teroris adalah jiwa yang melawan segala sistem yang
bobrok yang tidak lagi menjadikan manusia sebagai manusia. Bila Tuhan bisa
diteror, tentu akan kita teror juga. Sayangnya, Tuhan punya sistem peringatan
teror yang canggih dibanding dengan CIA sekalipun. Sebelum kita meneror
Tuhan, kita sudah keok duluan.

Kesatuan jiwa-jiwa teroris akan mengundang manfaat ketika digunakan


benar-benar pada hal yang sesuai pada tempatnya. Manfaatkan jiwa-jiwa teroris
untuk melawan segala sesuatu yang tidak memanusiakan manusia. Lawanlah
segala bentuk penindasan di era neoliberal ini hingga tegaknya keadilan bagi si
kaya dan si miskin. Jadikan manusia kembali pada fitrahnya. Jadikan, jiwa-jiwa
teroris sebagai kekuatan. Bersatu padu untuk melawan pembodohan-
pembodohan di sekitar kita.

Kelapa Gading, 14 Agustus 2009

61
We Hate It When Our Friends Become Successful*)

Mungkin kalimat judul diatas sanggup merepresentasikan perasaan JK


saat ini. Siapa yang tidak merasa iri kalau ternyata hasil membuktikan bahwa
teman dan kawan kita lebih berhasil dibandingkan dengan kita sendiri. Terlebih
lagi bila kawan kita ini terpilih (lagi) untuk jadi presiden. Sedangkan, kita hanya
bisa menjadi rival sesaat saja yang menunda-nunda waktu untuk kemudian
dinyatakan kalah.

Mungkin juga, saat tulisan ini ditulis, JK sedang menggumamkan lagu itu
sambil berkemas untuk meninggalkan rumah dinasnya dan kembali ke kampung
halamannya di Makassar sana. Sambil mendendangkan lagu itu juga, bisa saja
JK sedang duduk di kursi malasnya sambil membaca berita dari harian-harian
ibukota yang headlinenya dipenuhi polemik setelah usainya pemilu presiden. JK
tentu sedang fokus pada gugatan yang diajukannya pada MK dan itu pula yang
akan menjadi pusat perhatiannya.

Sebagai manusia, sudah fitrahnya untuk merasakan yang demikian itu.


Wajar sekali perasaan itu muncul sebagai reaksi atas kegagalan dan kekalahan
dalam persaingan. Apalagi, kalau ternyata kita baru tersadar bahwa yang
mengalahkan kita adalah kawan seperjuangan. Kawan yang selalu menemani
sejak zamannya kabinet Persatuan Indonesia dibawah kepemimpinan Gus Dur
dan Megawati hingga bersama berdua membentuk Kabinet Indonesia Bersatu,
yang akan segera expired sebentar lagi.

Adalah kawan kita juga yang mengalahkan kita, kawan yang pernah
bersama-sama menuntaskan kasus Balibo Five lalu membujuk Hassan Tiro
untuk menandatangani perjanjian perdamaian. Kawan kita juga yang menemani
di ruangan siding untuk bertukar pendapat mengenai masalah rakyat. Mulai dari
bagaimana caranya membagi subsidi minyak pada rakyat hingga menutup
semburan lumpur Lapindo.

Banyak pula pencapaian yang diraih semenjak kita memutuskan untuk


menjadi partner dan teammate. Sebagai contoh saja, swasembada beras yang
kembali dicapai sejak 1985. Kemudian, ternyata kawan kita juga menyetujui
penyaluran BLT sebagai satu cara mengurangi beban rakyat miskin padahal
banyak kalangan menganggap bahwa BLT hanya menjadikan rakyat sebagai
pengemis. Belum lagi, kawan kita ini juga mendukung program pendidikan BOP-
BOS yang sekarang ngetop dengan sebutan “Sekolah Gratis”. Di sisi lain,
partnership yang terjalin juga menjanjikan bagi stabilitas ekonomi makro maupun
mikro. Indikator pertumbuhan ekonomi terlihat membaik. Itu hanya beberapa
gambaran saja bahwa kawan kita ini tidak salah pilih kawan untuk menemaninya
duduk di singgasana tertinggi negeri ini.

*)
Dari lagu “We Hate It When Our Friends Become Successful”, dinyanyikan oleh Morissey

62
*****

Kalau bukan karena mesin politik yang mogok dan sedang turun mesin di
bengkel sebelah tentu akan jadi lain ceritanya. Sebab musabab mogoknya mesin
politik JK ini masih menjadi pertanyaan besar yang perlahan mulai terkuak.
Padahal, perolehan jumlah suara Partai Golkar di Pemilu Legislatif kemarin
cukup besar. Dengan menjadi runner-up dibelakang Partai Demokrat dan sedikit
diatas PDI-P, seharusnya jumlah perolehan suara JK di Pilpres tidak anjlok
secara drastis.

Kemungkinan terbesar sebagai penyebab mogoknya mesin politik Golkar


di Pilpres 2009 adalah hilangnya suara kader-kader Golkar di daerah. Ini adalah
dugaan yang paling masuk akal mengingat partai peninggalan Orde Baru ini
masih mempunyai basis pendukung yang loyal di beberapa daerah. Terbukti
ketika Pemilu Legislatif 2004, partai ini mendominasi perolehan suara baik di
pusat maupun di daerah. Namun, politik tidak butuh masa lalu. Kejayaan masa
lalu seketika akan menjadi omong kosong belaka karena kenyataan hari ini.
Kenyataan saat ini, Golkar kehilangan banyak suara. Suara Golkar pecah.
Diduga pecahan suara ini mengalir pada kubu Demokrat yang menusung SBY-
Boediono. Akar rumput Golkar ditebas habis oleh Demokrat.

Dengan kata lain, JK dan Golkar dikompori dan digembosi oleh kadernya
sendiri. Ketika hasil pemilu legislatif melalui quickcount merebak diberbagai
media, muncul isu dan wacana bahwa Golkar harus mengusung calon presiden
sendiri bila perolehan suaranya mampu melewati 20% electoral threshold. JK
sebagai Pemimpin Partai tentu saat itu sedang bingung. Jalan manakah yang
harus ditempuh. JK mungkin masih ingin menjadi pendamping SBY dengan ikut
berkoalisi ke Demokrat tetapi suara-suara dari daerah menyatakan bahwa
sebagai partai yang eksistensinya telah diakui (secara politis) harus mampu
mengusung calon presiden sendiri. Tidak asal sekedar berkoalisi. Dalam hatinya
mengisyaratkan bahwa ia masih ingin punya kuasa atas negeri ini.

Banyaknya desakan yang demikian kemudian membuat Partai Golkar


harus membuat pertemuan dengan mengumpulkan DPD-DPD se Indonesia di
markas besarnya di Slipi. Tentunya, perdebatan alot terjadi. Antara mereka yang
mendukung JK untuk naik sebagai capres dari Golkar dan mereka yang
mendukung koalisi dengan Demokrat. Hasilnya, sudah kita tahu sendiri. Golkar
merestui JK untuk naik sebagai capres ditemani dengan “pesakitan” Golkar yang
membentuk Partai Hanura, Wiranto.

Sebagai partai yang punya harga diri, Golkar telah memutuskan untuk
menceraikan JK dari SBY dan jadi the real contender for next presidential bid
(mengikuti istilah The Jakarta Post). JK pun menerima keputusan tersebut dan
maju jadi capres yang diusung koalisi Golkar dan Hanura. Saat itu, saya yakin JK
telah bersiap untuk menerima hasil yang terburuk sekalipun, yaitu kekalahan.

63
Kekalahan yang dimaksud adalah tidak lagi menjadi wakil presiden bersama
SBY lalu tidak kebagian posisi sentral dalam tata pemerintahan Kabinet
mendatang. Agaknya, inilah yang sempat membuat JK kelihatan ragu untuk maju
sebagai capres. Sebagian bisnis JK memang berurusan dengan negara.
Pemilihan Sofyan Jalil sebagai Meneg BUMN pun tidak lepas dari peran JK
untuk mengamankan bisnisnya.

Kini, hasil pemilu presiden dengan berbagai sengketanya sudah tinggal


memantapkan kemenangan SBY-Boediono. Tidak banyak pilihan bagi JK.
Pulang kampung, sebagaimana yang JK bilang kemarin adalah opsi yang paling
realistis saat ini.

*****

Putusan MK telah jatuh. MK menolak gugatan pasca pemilu. Dengan


demikian, SBY semakin memantapkan kemenangannya. Adapun JK yang
memang sudah siap untuk pulang kampung tidak perlu lagi pusing dengan
urusan partai: Golkar oposisi atau merapat ke Demokrat? Dimana mau diadakan
Munas? Sulsel atau Riau, siapa calon kuat Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie,
Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, atau Ferry Mursyidan Baldan. JK tidak perlu
repot lagi mengurusi yang demikian. JK cukup datang pada acara Munas nanti,
memberikan pertanggungjawabannya dan selesai urusan. Pulang kampung,
seperti yang JK bilang waktu debat capres.

Beberapa suara yang menahan kepulangannya dengan alasan figur JK


terlanjur melekat pada bangsa ini saya harap tidak jadi alasan menunda atau
bahkan menahan kepulangan JK ke kampung halamannya. Suara-suara itu
hanyalah bentuk ewuh pakewuh bangsa ini. Dan terlebih lagi dengan berbagai
tawaran posisi fungsional dan struktural bagi JK yang sudah menyatakan
pensiun sangat tidak layak karena hanya jadi simbolisasi belaka. Biarkan JK
pulang membangun Indonesia Timur yang lebih baik karena tidak aneh buat
pebisnis seperti JK bila harus sarapan Coto Makassar dan Es Palubutung, lalu
makan siang nasi timbel di Kampung Daun, Lembang, dan makan malam di J.W
Marriot Medan.

Kelapa Gading, 14 Agustus 2009

64
September
Puasa di Jakarta (dan sedikit cerita lainnya)

Bulan Ramadhan semakin beranjak melewati setengah rembulan. Masih


rembulan yang sama. Rembulan yang kadang berwarna kemerahan kala
menggantung di langit Cikampek bagaikan bola lampu raksasa di tengah jamuan
makan malam. Puasa di Jakarta adalah kerinduan. Kerinduan pada suasana
Ramadhan di kampung halaman. Rindu pada mushaf yang selalu dibaca
menjelang maghrib. Rindu pada suara muadzin-muadzin yang selalu diagungkan
menjelang waktu berbuka puasa. Rindu pada ceramah seusai Subuh yang
menambah kantuk semakin menjadi.

Seperti biasanya, tidak banyak yang terjadi padaku selama Ramadhan


kali ini. Aku masih sama seperti muslim lainnya yang sahur menjelang waktu
imsak dan berbuka puasa kala maghrib menjelang. Masalah kesehatan terutama
berat badan bukan lagi masalah serius yang harus diperhatikan. Sudah tentu
Ramadhan kali ini aku tidak makan tiga kali sehari. Paling banyak dua kali
sehari. Sahur dan buka. Sudah itu saja. Jadi, kemungkinan berat badan akan
turun bukan khayalan semata.

Ramadhan kali ini rasanya berlalu begitu saja. Sama seperti yang telah
kulalui pada tahun-tahun sebelumnya. Tiba-tiba sudah tengah bulan. Harus
kuakui kualitas ibadahku masih sama-sama saja. Aku masih menjalankan shalat
lima waktu, kadang-kadang ditambah shalat sunat rawatib. Tilawah qur’an
kadang-kadang sehabis maghrib. Itu pun melanjutkan bacaan yang tidak selesai
sejak Ramadhan-Ramadhan kemarin, bukan dimulai dari potongan ayat pertama
Al Fatihah. Disaat kawan yang lain berlomba mengkhattamkan Qur’an, aku
malah asyik menamatkan Plan of Attack dari Dale Brown yang tebalnya 510
halaman itu.

Rupanya, aku terbawa alur cerita buku itu yang bercerita tentang
proliferasi nuklir Rusia yang berimplikasi pada serangan udara pesawat bomber
Rusia ke target-target anti serangan di wilayah Amerika Utara, USA dan Canada.
Membaca buku itu ibarat menonton film perang buatan Hollywood. Kurang lebih
sama dengan ketika kau menonton Tom Cruise di film “Top Gun”. Mungkin itu
sebabnya, ada buku yang diangkat kisahnya untuk dijadikan film atau film yang
dibuat berdasarkan pelebaran jalan cerita pada suatu buku tertentu. Kisah
seorang pilot ternyata bisa lebih menarik dari tenggelamnya Fir’aun ditelan Laut
Merah.

Aku lihat status facebook dan ternyata telah banyak terjadi perubahan.
Status kawan-kawan kini lebih banyak dihiasi dengan ucapan syukur atau
minimal ucapan-ucapan lainnya yang menyertakan nama Tuhan disana. Ada

65
yang bahagia dan mengucap syukur. Ada yang kecewa sambil tetap optimis
bahwa Tuhan tidak akan pernah salah dalam member ujian. Ada yang tidak tahu
harus berbuat apalagi sehingga “memaksa” Tuhan untuk memberikan
petunjuknya. Ada juga yang cukup menulis juz yang sedang dibacanya sehingga
semua Jamaah Al Fasbukiyah mengetahui dan menulis komentar bernada
semangat untuk mengkhattamkan Qur’an. Aku rasa hal seperti itulah yang tidak
perlu. Soal ibadah biar diri sendiri dan Tuhan saja yang tahu. Khawatir menjadi
riya’. Bila sudah begitu percuma saja pahala yang sudah terkumpul lenyap begitu
saja bagai api memakan kayu bakar. Begitulah yang kupahami dari Guru Agama
waktu sekolah di SMA.

Cerita selanjutnya masih sama saja. Konsumerisme dan konsumtivisme


masih menjadi isu yang menarik untuk diangkat menjadi tema bulanan. Lihat
saja, banyak pusat perbelanjaan yang mengadakan special offer hingga sale
gila-gilaan. Bahkan, ada yang sampai mengklaim bahwa ditempatnya itulah
konsumen akan benar-benar menikmati shopping experience yang berbeda
untuk pertama kalinya di Indonesia. Sebagai implikasi menjelang lebaran hal ini
terlihat sangat lumrah. Selumrah kita meninggalkan kekhusyukan sepuluh hari
terakhir untuk saling berlomba memadati pasar-pasar dan tempat perbelanjaan.

Untuk yang masih muda, nongkrong dan belanja di distro masih akan jadi
budaya setidaknya 10 tahun lagi. Untuk yang beranjak dewasa, belanja barang
branded dengan harga sale bisa jadi pilihan utama ketika THR telah dibayarkan.
Untuk kaum dewasa menjelang tua dimana belanja bukan lagi kebutuhan utama
mereka hanya cukup menerima pemberian saja dari anak-anak atau keluarga
terdekat. Toh, dengan begitu lebaran masih akan tetap semarak.

Kalau ada yang sampai membuatku sibuk menjelang lebaran ini adalah
persiapan mudik. Aku akan bersama jutaan warga kota ini akan terlibat bersama
dalam sebuah ritual tahunan. Tujuanku tidak jauh, hanya sampai ke Bandung
saja. Namun, esensinya masih akan tetap sama. Mudik ya pulang ke kampung
halaman. Kira-kira begitu tafsirnya walau tentu berbeda dengan ketika pulang
pas bukan waktunya mudik. Kalau lebaran tahun ini tidak diundur dan di
suspend, Insya Allah ini akan jadi mudik pertama. Jadi aku belum akan terlalu
banyak cerita karena aku belum mengalaminya.

*****

Mestinya kau tak perlu buka buku harianku


Hanya akan membuat dirimu tersiksa dalam rasa curiga*)

Pelan lagu mengalun dari speaker. Sebuah lagu lama dari Krisdayanti
zaman dulu dia belum terkenal dan seheboh sekarang. Dulu lagu itu memang
hits. Aku masih ingat cuplikan video klipnya. Ternyata, dari zaman dulu selingkuh
itu memang sudah ada dan tercipta. Maka, aku tidak heran apabila sekarang
*)
Dari lagu “Terserah (Buku Harian)”, dinyanyikan oleh Krisdayanti. Ngetop pada zamannya.

66
cerita dalam lagu itu menimpa si penyanyinya. Aku memang tidak mengikuti
berita perceraian Krisdayanti. Aku hanya baru tahu kejelasan ceritanya dari
tulisan di kolom kecil The Jakarta Post hari ini. Anang mengaku kehilangan
separuh jiwanya. What a sad story. But that’s reality. Once you get betrayed,
you’ll get another betrayal. Kadang cinta dan pengkhianatan menjadi sebuah
ikatan yang utuh tanpa harus saling melepaskan. Dan inilah waktu yang tepat
untuk berkata "I'm sorry goodbye"**)

Lagu lainnya yang keluar dari speaker yang bermerek sama dengan nama
atasanku terdengar sedikit aneh.

Waktu aing datang ka imah sia


Ku indung sia dipareuman lampuna
kagok edan ku aing sagala dipacok
sihorengteh indung sia kabagean***)

Aku jadi teringat kisah seorang anak kecil. Ia selalu tidur bersama ibunya
setiap malam. Pada suatu purnama yang sempurna, ia terbangun dari tidurnya
dan tidak mendapati sang ibu disampingnya. Mungkin karena sudah menyimpan
rasa curiga ia pergi mengambil sebilah pisau di dapur. Kemudian, ia berjalan
keluar rumah diterangi purnama yang bagaikan bola lampu neon besar.Entah
bagaimana, dalam kegelapan kamar, ia kini mendapati ibunya sedang hanyut
dalam pelukan seorang lelaki yang tidak ia kenal. Keduanya tidak bangun dan
tidak tahu bahwa ada seorang anak kecil dengan sebilah pisau tengah menanti
mereka untuk memberi izin pada Izrail untuk mencabut nyawa keduanya. Singkat
cerita, si anak kembali pulang ke rumah dengan pisau berlumuran darah. Ia tidak
tahu apa-apa. Tidak ada pula teriakan kesakitan ketika akhirnya Izrail
melaksanakan tugasnya.

Mengerikan memang. Tapi, apapun masih bisa terjadi dalam hidup ini.
Semuanya kadang bisa jadi kejutan tanpa harus menunggu keajaiban.

*****

Senja telah turun di Jakarta. Matahari kini bagaikan bola merah membara.
Sinarnya kini menembus jendela ruanganku. Gemuruh terdengar tandanya
pekerja pulang ke rumah. Semua saling berlomba. Mengejar adzan maghrib
katanya. Aku tahu maghrib pun akan segera menghampiriku tepat dalam
macetnya Jakarta. Debu, cinta, dan rindu berkejaran menghiasi kota yang tidak
pernah diam sepi.

Kelapa Gading, 8 September 2009

**)
Dari lagu “I’m Sorry Goodbye”, dinyanyikan juga oleh Krisdayanti
***)
Dari lagu “Maklum Poek”, dinyanyikan oleh The Panas Dalam. Penampilan liriknya dalam bahasa
sunda tergolong cukup ekstrim tapi menghibur.

67
Tentang Ia yang Ternyata Itu Aku

Dia sudah sampai disitu setiap jam setengah tujuh pagi. Ia lalu berjalan
menuju gedung berlantai lima. Kemudian ia mengisi buku tamu yang untuk
sebulan mendatang bakal jadi kartu absennya. Setibanya di ruangan, ia akan
menyalakan komputernya. Lalu mengklik ikon kecil di sebelah tombol start.
menunggu sebentar, dan kemudian muncullah aplikasi yang selalu ia jumpai
setiap harinya. Ia ambil majalah satu persatu, ia buka dan kemudian ia mulai
mengetik apa yang dibacanya dari majalah tadi.

Entah berapa hari telah ia lalui, ia sendiri tak tahu pasti karena selama itu
pula ia tidak pernah mengisi lagi buku hariannya. Yang ia tahu hanya bangun
pagi, membukakan pintu garasi, nebeng mobil karyawan di gedung sate, turun di
kantor gubernur, kemudian berjalan menuju kantor perusahaan telekomunikasi
tempat ia melakukan Praktek Kerja Lapangan.

...how many hours and how many days....(MLTR-How Many Hours)

Alunan lagu itu terngiang di kepalanya. ia ingat betul karena tepat saat ini
ia sedang menulis kisah yang dialaminya setiap hari setidaknya sampai akhir
bulan ini. Banyak yang ia lewatkan setiap harinya, mulai dari highlights
sepakbola, berita pagi hingga breaking news bahkan gosip-gosip yang selalu
sama setiap harinya. Tak terkecuali waktu kumpul bersama keluarga, dan jadwal
rutin bermain futsal bersama teman sepermainannya. Ia tidak pedulikan itu
semua, karena untuknya, hari ini adalah apa yang akan terjadi semua ini sudah
terkehendak atas namanya sehingga ia anggap semua ini adalah kemestian.

Yang ia jalani sekarang adalah sebuah kemestian. Hari-hari yang telah


dilalui dan disebut sebagai masa PKL tidaklah lebih dari sebuah perjalanan yang
harus ditempuh. Maka tidaklah terlalu penting dimana dia sekarang. Orang lain
menganggapnya hebat karena ia diterima di sebuah perusahaan telekomunikasi
nasional.

Kadangkala ia jadi teringat pada sebuah buku yang didapatnya dari


sebuah kuis di radio. Buku itu berjudul "Kerja Santai, Hasil Oke" sebuah buku
terjemahan yang aslinya berbahasa Perancis dan menjadi best seller di
beberapa negara di Eropa sana. Kalau teringat pada buku itu, tentu ia akan
sangat terganggu pikirannya. Baginya, kesimpulan dari seluruh buku itu adalah
benar dimana seorang pegawai cuma jadi kacung dari sebuah permainan
besar/global. Dan atas hasil kerjanya ia mendapat upah yang 'layak' padahal
mengingat luasnya samudera bisnis upahnya itu sangat tidak layak.

At the otherside, ia tidak menampik kemungkinan bahwa ia akan menjadi


aktor dalam lakon buku itu. Ia masih ingin menerima uang bonus setiap
bulannya, menyetir sendiri mobil dinas yang diberikan kantornya, dan juga

68
menikmati beberapa fasilitas perusahaan lainnya. Itu semua cuma mimpi. Mimpi
yang diharapkan akan terlaksana tidak hanya olehnya tetapi oleh setiap 'calon
pengangguran' tentunya.

Dalam buku lainnya ia pernah menganggap benar pernyataan seorang


penulis yang sangat benci bangun pagi, bukan karena apa-apa tetapi karena
kesibukan orang-orang di pagi hari. Mereka bangun pagi kemudian mencari
sarapan, bila tak sempat, sarapan di mobil pun jadi, lalu jalanan pagi yang macet
menjadi rutinitas yang sudah pasti. Ia tahu bahwa ia memang pernah menjalani
rutinitas bangun pagi semasa sekolah di SMP dan SMA dulu, dan kini saat
kuliah, kadang-kadang ia menjalaninya walau tak setiap hari.

Banyak sekali pengaruh penulis itu terhadap dirinya. Awal tahun kemarin,
sekembalinya dari Surabaya, ia mau menjalani hidup dengan tidak peduli seperti
robot. Persis seperti pada buku yang ia biasa baca. Buku berjudul "Atas Nama
Malam" yang ia beli di sebuah toko buku besar di Bandung. Selama kurang lebih
3 bulan ia menjalani hidup yang seperti itu akhirnya ia bosan juga, karena pada
dasarnya ia tidak mendambakan hidup yang seperti itu.

Maka kembalilah ia pada kehidupan yang biasa, dimana ia biasa mengisi


buku hariannya pada jam 10 malam usai membereskan urusan transaksi dagang
pulsa. Didalam buku hariannya ia leluasa bercerita tentang apa yang telah ia
alami hari ini.

*****

Hari beranjak sore ditempat ia menulis kisah ini. Ruangan yang tadinya
sempat sepi sudah mulai ramai lagi dengan suara speaker komputer, maupun
tuts-tuts keyboard. Ia masih duduk disitu memikirkan apa lagi yang harus ia
ceritakan. Sebenarnya banyak sekali yang ingin ia tulis. Tentang kisah-kisahnya
yang lalu, tentang kelulusan SPMB yang membuatnya menangis sepanjang 6
km, tentang bagaimana mewujudkan keinginan agar bisa terwujud, tentang
nasibnya yang pernah seperti pemain sepakbola pinjaman, tentang kekecewaan
yang pernah ia alami hingga membuatnya kebal dan tak tahu rasanya kecewa,
setidaknya hingga saat ini

Banyak lagi yang ingin ia ceritakan padamu, entah hari ini, nanti, esok, ia
tak tahu. Yang ia tahu sekarang, ia harus segera turun ke masjid, solat ashar,
lalu bersiap pulang.

Jl. W.R. Supratman No.66 Bandung, 21 Agustus 2007


Originally written in Bandung, 21 Agustus 2007, 3.58 p.m diedit kembali di Kelapa Gading, 11
September 2009.

69
Mudik

Lebaran sekarang ku hanya titip salam, karena ku tak mampu pulang, ke


kampung halaman*)

Sayup terdengar kembali lagu itu menggelayuti pikiranku yang memang


sedang meradang. Meradang ingin pulang katanya. Entah kenapa, menjelang
lebaran seperti ini semua perhatian manusia Indonesia sedang tertuju pada
suatu kebiasaan yang terlanjur dianggap jadi ritual tahunan. Mudik. Pulang
kampung. Aku tidak tahu pastinya darimana kata "mudik" itu berasal. Yang aku
tahu, kalau lebaran tahun ini tidak diundur, diralat, atau dibatalkan sama sekali
besok akan jadi pengalaman mudik yang pertama.

Aku telah rasakan sendiri bagaimana kini kota yang tidak pernah sepi ini
tiba-tiba jadi sepi gara-gara ditinggal penggemarnya. Deru kota yang selalu
berseru kini hilang bingarnya. Perlahan seakan pasti kota ini semakin sepi.
Jutaan pemudik meretas mimpi untuk kembali. Aku lihat juga wajah-wajah penuh
semangat dan kerinduan pada kampung halaman. Lihat pula senyuman mereka
yang tidak ada beban sama sekali tersirat sekalipun beban hidup ini barangkali
sudah terlalu berat.

Aku telah lihat pula kegembiraan dan suka cita dalam menyambut hari
raya. Semuanya adalah hal yang biasa. Namun, kebiasaan itu juga adalah
sesuatu yang luar biasa setiap tahunnya sehingga selalu menimbulkan
kewajiban untuk melakukannya. Pekerja yang punya THR, bagi-bagi jatah. Yang
ini untuk mudik, yang ini untuk belanja, yang ini buat ngasih, selesai. Tidak
sampai disitu saja.

Aku masih belum akan berangkat mudik. Aku masih akan menyelesaikan
beberapa hal yang belum selesai. Urusan pekerjaan tentunya. Kau tahu sendiri
rasanya menahan rasa ingin pulang. Kurang lebih begitulah yang kurasakan.
Aku juga masih belum tahu mudik naik apa. Semuanya masih memungkinkan.
Entah dengan bis, kereta, pesawat terbang, atau sepeda motor.

*****

Hei, kau! Apa yang sudah kau siapkan untuk mudikmu yang sekarang?
Ingin sekali aku berteriak seperti itu supaya setiap orang sadar. Sadar bahwa
mereka sedang ada dalam balutan penuh kerinduan dan bisa jadi semu. Kalau
mudikmu cuma buat pamer tentang hidupmu di kota tolong buang saja niat
mudikmu itu. Entah siapa yang berteriak dalam kepalaku yang masih meradang
ini.

*)
Dari lagu “Mudik”, dinyanyikan oleh P Project. Album "O Lea... O Leo...."

70
Sampai disini aku tidak tahu apa yang harus kutulis lagi. Pahala Kencana
jurusan Jakarta-Madura melintasi didepanku. Ia bagaikan kereta kencana yang
akan mengantarkan mereka yang telah membenamkan mimpinya. Sementara,
Sinar Jaya masih jadi primadona untuk pemudik tujuan Jawa Tengah. Sebutan
Antar Kota Antar Kecamatan membuatnya tidak pernah kehilangan penggemar
setia.

Sedang apa kau disitu, Aninda? Sedangkah engkau menantikan


kedatanganku sambil berharap aku membawa uang yang banyak untuk modal
kita nikah nanti? Atau malah sibuk membantu ibumu membuat kue untuk lebaran
nanti? Ah, kau memang tahu saja kalau aku akan pulang dan tentu kau akan
sajikan kue-kue itu untukku kan? Bilang Ibumu, aku suka kue coklat seperti yang
lebaran kemarin.

*****

Sementara, untuk mereka yang masih sibuk dengan ibadahnya hari-hari


seperti ini adalah hari-hari kerinduan. Kerinduan untuk kembali berjumpa dengan
Ramadhan tahun depannya. Tidak ada yang pernah tahu kapan ajal memisah
jiwa sehingga selalu ada bintik-bintik penyesalan setiap menjelang Ramadhan
usai. Memudikkan hati untuk kembali pada jiwa yang fitri.

Kelapa Gading, 16 September 2009

71
Batik, Identitas, dan Bencana
“Merenungkan Indonesia adalah juga merenungkan identitas kebangsaan kita.”*)

Sekilas Sejarah Batik

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan


kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam
beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa
kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.

Jadi, kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan
Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya.
Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan
khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX.

Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX
dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun
1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah
pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik
menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan
perekonomian Belanda.

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang
menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu.
Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk
pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari
pengikut raja yang tinggal diluar keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh
mereka keluar keraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya
meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi
waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga
keraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun
pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan


asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga,
nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah
lumpur.

Zaman Majapahit, Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan


Majapahit, dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojokerto

*)
Jamal D. Rahman, dalam kolom Catatan Kebudayaaan, Majalah Horison, Edisi September 2009

72
adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa
dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit.

Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di


Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan di daerah ini, dapat
digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah
Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal
dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit
daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau
tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati,


Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa
yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara
dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo
atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian
membuat batik asli.**)

Identitas Bangsa

Batik menjadi tema hari ini, 2 Oktober 2009, dimana UNESCO sepakat
untuk menamakan batik sebagai world heritage kepunyaan Indonesia. Siapa
yang menyangka bahwa hari ini batik akan mendapatkan rekognisi dari
UNESCO? Kita sebagai bangsa Indonesia tentunya berbangga bahwa (akhirnya)
batik secara resmi telah mendapatkan klaim dari dunia internasional sebagai
warisan budaya nusantara. Hari ini juga seruan untuk mengenakan batik
merebak dimana-mana dan menjadi satu tren yang happening. Entah untuk
menghargai niat baik UNESCO atau kita memang masih menghargai warisan
budaya nenek moyang sendiri.

Pengukuhan ini juga membuat lega perasaan kita dari ancaman dan
rongrongan Malaysia yang selalu tanpa malu mengklaim beberapa dari budaya
Indonesia sebagai kepunyaannya. Perdebatan pun selalu meruncing dan tiba
pada satu guyonan bahwa Malaysia adalah Truly Maling Asia.Kita ini bangsa
Indonesia, bangsa yang punya identitas kuat baik secara sosiologis, historis, dan
kultural walau memang masih ada keterkaitan hubungan dengan bangsa
Melayu.

Budaya kita direpresentasikan dalam berbagai bentuk kesenian di tiap


daerah. Batik, hanyalah satu representasi dari sekian banyak elemen yang
menyusun dan membentuk identitas kebangsaan. Batik kini telah mengalami
pergeseran dalam nilai utilisasi atau penggunaannya. Terutama setelah cekcok
dengan Malaysia yang terang-terangan mengklaim batik sebagai milik mereka.
Bak anak kecil merebut mainan temannya sendiri.

**)
Sekilas tentang sejarah batik dikutip dari http://pesonabatik.site40.net/Sejarah_Batik.html

73
Batik tidak hanya digunakan dalam acara yang sifatnya resmi saja seperti
undangan pernikahan maupun jamuan resmi lainnya. Bahkan sejak lama pun
anak-anak sekolah sudah menggunakan batik setiap hari Jum’at. Kini, giliran
orang-orang kantoran pun mengikuti tren tersebut yang dimulai dengan PNS
yang selalu mengenakan batik KORPRI.

Bagaimana seandainya bila kemarin itu Malaysia tidak mengutak-atik


batik? Bagaimana bila kemarin itu Malaysia tidak melakukan self-recognition atas
segala sesuatu yang jadi milik kita bangsa Indonesia? Mengapa kita harus
menunggu saat dimana identitas kita terancam oleh bangsa yang terjebak di
persimpangan jalan dalam proses pencarian identitasnya?

Nasionalisme

Dalam pengamatan yang masih terbatas dan masih dapat terbantahkan


oleh tesis doktoral studi kebudayaan, kenyataan yang ada saat ini menunjukkan
bahwa kita masih terjebak dalam nasionalisme semu (pseudo-nationalism). Rasa
nasionalisme kita bukan lagi dibangun dan dipelihara dari peringatan Sumpah
Pemuda dan hari Kemerdekaan 17 Agustus.

Nasionalisme kita kita ini terbentuk dari perasaan khawatir. Khawatir akan
meledaknya bom akibat teroris keparat pelarian dari Negeri Jiran. Khawatir akan
dicaploknya Reog Ponorogo, Tari Pendet, dan Ambalat oleh negeri yang merasa
jadi pusatnya peradaban bangsa Melayu (dengan Kerajaan Melayu sebagai
basisnya). Karena perasaan khawatir itu terus menggelora dan dikhawatirkan
bila dibiarkan akan merusak sendi-sendi identitas kebangsaan maka kita pun
mulai sadar bahwa kita itu cenderung memandang remeh dan lengah pada apa
yang telah kita miliki dalam hal yang berhubungan dengan konteks sosiologis-
historis-kultural.

Berapa banyak dari kita yang mendukung gerakan Indonesiaunite?


Sebuah gerakan yang membawa pesan moral bahwa kita tidak takut dengan
segala ancaman yang mengancam bangsa ini. Sebuah gerakan yang
menggema setelah aksi The Last Bombing di Mega Kuningan yang
menyebabkan batalnya Timnas PSSI All Star untuk belajar sepakbola dari murid-
murid Sir Alex Ferguson.

Gerakan ini disebut-sebut sebagai Sumpah Pemuda 2.0 yang mencoba


membangkitkan semangat kita sebagai bangsa yang berdaulat dan mau
melakukan apa saja yang terbaik untuk negeri ini termasuk pemulihan citra
sebagai negara teror. Tersisa satu pertanyaan, bila Indonesiaunite dianggap
sumpah pemuda jilid 2 dan menjadi suatu semangat nasionalisme baru mengapa
judulnya harus menggunakan bahasa asing? Kenapa tidak menggunakan
bahasa Indonesia saja? Indonesia bersatu misalnya, walau sudah keduluan
sama SBY untuk menamai kabinetnya.

74
Identitas dan Nasionalisme

Nasionalisme yang berangkat dari kekhawatiran ini tentu akan sangat


berbahaya bagi identitas bangsa sebesar Indonesia. Perlahan hal ini akan
menggerogoti makna eksistensial dari identitas bangsa itu sendiri. Padahal,
identitas memberikan makna eksistensial bagi suatu komunitas sekaligus
menyadarkannya akan keberadaan komunitas lain di sisi mereka.

Bencana

Lupakan sejenak perdebatan tentang batik yang telah mendapatkan


pengakuan internasionalnya. Jelas itu bukan hal yang mudah untuk
mempertahankan dan mempertanggungjawabkannya. Berapa banyak dari kita
yang tahu jumlah motif dan corak batik di setiap daerah? Apa bedanya batik
Pekalongan, batik Madura, dan batik Trusmi. Lalu, adakah hubungan pola batik
dari batik Majalengka, Indramayu, Cirebon, dan Kuningan? Mari kita lupakan
sejenak yang demikian itu.

Negeri kita ini masih dirundung duka akibat bencana. 5 tahun yang lalu
saat SBY mengawali kepemimpinannya negeri ini dilanda Tsunami yang
menghanyutkan ribuan rakyat Aceh. 5 tahun kemudian bom dan gempa silih
berganti mewarnai kedukaan negeri ini. Gempa menjalar dari selatan Jawa Barat
hingga ke Pariaman dan Jambi lalu ke Manado.

Apakah Tuhan sedang menuntut kita untuk sama-sama membangkitkan


rasa nasionalisme dan menguji identitas bangsa dengan menolong sesama
saudara kita yang tertimpa musibah? Adalah hal yang logis bila Tuhan
menginginkannya. Mungkin juga Tuhan inginkan kita tunjukkan identitas kita
yang senang untuk berbagi dengan sesama dan saling bergotong royong serta
bahu membahu dalam membangun negeri ini. Tuhan tidak ingin kita terjebak
dalam hal-hal yang palsu dan semua karena semua itu tidaklah nyata adanya.

Penutup

Batik telah menjadi identitas satu bangsa yang kini sedang dilipur lara
akibat bencana. Mari kita berdoa kepada Tuhan secara vertikal, tidak tanggung-
tanggung, supaya doa kita tidak menggantung di langit dan diterima oleh Tuhan.
Mintakan agar bangsa ini tidak kehilangan identitas, rasa nasionalisme, dan
semangat dalam membangun negeri yang sedang ditimpa banyak ujian ini.

Kelapa Gading, 2 Oktober 2009

75
Golkar dan AC Milan

Golkar adalah sebuah sejarah yang sedang berlangsung. Satu partai yang
masa kejayaannya dimulai sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997 dengan
pendapatan jumlah suara sebesar 74,5 persen. Kemerosotan Golkar dimulai
sejak Pemilu 1999, Pemilu 2004 hingga anti-klimaksnya di Pemilu 2009 kemarin.
Berturut-turut Golkar hanya mendapatkan 22,4 %, 21,6 %, dan 14 %.

Semakin menurunnya perolehan suara Golkar telah menjadi isu yang


semakin meruncing dalam perdebatan untuk menentukan siapa yang layak,
mampu, dan bisa menegakkan beringin yang telah rapuh setelah lama berkuasa.
Membangun kembali Golkar adalah membangun kembali susunan akar rumput
penyangga kehidupan partai. Tanpa hal itu, takkan ada Golkar yang kuat. Yang
selalu jadi pemenang Pemilu hingga disegani.

Tidak adanya figur pemimpin dinilai sebagai penyebab kekalahan Golkar.


Oleh lawannya Golkar pun kini bukan lagi suatu entitas besar yang patut
diwaspadai manuvernya atau dicurigai gerak-geriknya. Beringin telah rubuh
tanpa meninggalkan suara. Pemilu 2009 meninggalkan luka yang sangat dalam
dalam tubuh partai beringin. Partai yang dikenal lewat jargonnya "Luber" alias
"Lubangi Beringin" zaman orde baru ini seakan tak kuasa menampik takdir.

Kenyataannya sekarang ini Munas Golkar di Pekanbaru yang bertujuan


mencari pemimpin ideal yang bisa membangun dan menegakkan kembali
beringin yang telah rubuh hanya jadi ajang pamer belaka. Semua kandidat saling
berlomba mengumpulkan dukungan. Ada yang berkelas dengan
menyelenggarakan turnamen Golf. Satu budaya peninggalan kaum pebisnis,
yang memiliki motto "di atas padang golf segala urusan dibicarakan, dari politik
hingga bisnis". Ada lagi yang datang dengan 5 pesawat carteran untuk
mengangkut para pendukungnya. Ada lagi yang datang hanya bermodal
kekuatan intelektualnya. Sedang, yang terakhir datang membawa keyakinan
semu yang dibalut kekuatan modal dengan gaya main seorang Mafia.

Adalah baik bila sebuah organisasi memiliki banyak calon pemimpin


potensial yang mampu membawa angin perubahan pada organisasinya kelak.
Kapabilitas kepemimpinan, integritas dan loyalitas mutlak dibutuhkan untuk
melawan rintangan yang tidak semakin mudah. Namun, semua itu menjadi tidak
berarti ketika modal dalam bentuk uang mulai turun tangan. Melalui kekuatan
uang setiap calon pemimpin Golkar beradu. Bukankah JK yang akan digantikan
itu juga seorang pengusaha penghasil uang dan kebetulan sedang naik daun
hingga terpilih jadi wakilnya SBY di Pemilu 2004 kemarin?

Pengaruh uang pada kekuasaan masih jadi perdebatan terutama


mengenai efeknya terhadap integritas organisasi. Tesis seorang doktor politik
harus membuktikannya bahwa uang adalah cara yang mudah untuk mencapai

76
pucuk kekuasaan. Sederhana saja, uang bisa membeli apapun termasuk
kekuasaan.

*****

AC Milan. Siapa yang tidak kenal klub sepakbola dari pusat mode di Italia
ini yang juga klub sekota rival Internazionale Milan. Sejarah telah menuliskan
Ruud Gullit, Van Basten, Frank Rijkaard, Franco Baresi, hingga Paolo Maldini
meraih puncak karirnya sebagai pemain di klub yang bermarkas di San Siro. AC
Milan telah menjadi suatu kekuatan yang pernah merajalela di Italia maupun di
Eropa. Pada saat itu, semua klub berusaha sebisa mungkin mengalahkannya.
Tak apa tak jadi juara. Asalkan bisa mengalahkan AC Milan itu sama rasanya
dengan jadi juara.

AC Milan telah mengalami suatu masa kejayaan di medio 90-an ketika


masih dilatih Don Fabio Capello. Di negerinya sendiri, waktu itu AC Milan adalah
raja kompetisi. Siapapun sangat bernafsu untuk mengalahkannya. Tidak perlu
sampai harus menjuarai seluruh kompetisi. Mengalahkan Milan dalam satu
matchday pun sudah merupakan kemenangan besar.

AC Milan juga adalah satu dari 10 klub paling kaya di dunia. Klub yang
dimiliki oleh politisi partai Forza Italia merangkap Perdana Menteri Italia, Silvio
Berlusconi tak hentinya membuat sensasi. Siapa yang kenal Ricardo Icezson
Santos Leite de Kaka medio 2003? Tidak banyak orang yang tahu siapa dan
bagaimana sepak terjangnya. Namun, final Liga Champions 2003 jadi bukti
bahwa membeli Kaka bukanlah keputusan yang terlalu salah. Milan juara
Champions 2003. Setelah kalah tragis di Final Liga Champions 2005 oleh
Liverpool, 2 tahun kemudian mereka membalasnya. Nama Kaka pun masuk
daftar buruan Real Madrid. Semuanya terjadi di masa kepelatihan Carlo
Ancelotti.

Setelah kepergian Kaka dan Ancelotti sebenarnya Milan punya modal


yang kuat untuk membangun dan membentuk skuad yang benar-benar kuat
untuk kembali berjaya di Eropa. dengan tidak hanya mengandalkan skuad mesin
tua mereka. Skuad saat ini sudah tergolong uzur secara usia menurut beberapa
pengamat. Uang hasil penjualan Kaka rasanya cukup untuk mendatangkan
playmaker idaman mereka sejak 2002 silam, Rafael van Der Vaart. Nasib van
der Vaart yang tidak menentu di Madrid harusnya jadi pertimbangan bagi
Berlusconi supaya Milan kembali pada kejayaannya. Namun, rupanya Sang
Perdana Menteri lebih percaya bahwa skuad yang ada sudah cukup mengingat
rencana comebacknya Beckham ke San Siro dan juga datangnya Milos Krasic,
winger CSKA Moskow di musim Dingin nanti.

*****

77
Nah, apa hubungannya Golkar dengan AC Milan. Keduanya sama-sama
punya modal (uang) yang banyak. Namun, keduanya juga masih terlihat sangat
hati-hati sekali dan terlalu pelit dalam menghamburkan uangnya. Bukankah uang
yang habis untuk kekuasaan akan mudah diperoleh kembali ketika nanti
berkuasa? Bila memang kekuasaan sudah mantap kejayaan itu akan datang
dengan sendirinya bukan?

Keduanya kini berada dalam persimpangan jalannya masing-masing.


Golkar sedang beradu dengan takdirnya. Akankah Munas di Riau nanti
membawa hasil yang tidak sekedar menjadikan Golkar sebagai entitas politik
biasa yang selalu meramaikan pemilu seperti biasanya. Golkar diharapkan
mampu keluar dari krisisnya dengan menguatkan basis pendukung (akar
rumput). Soliditas mutlak diperlukan agar Golkar mampu meraih suara maksimal
di Pemilu 2014 nanti.

Sedangkan, AC Milan juga harus segera melakukan perubahan besar


(kalau perlu dengan cara yang radikal) untuk mengembalikan Milan pada peta
persaingan juara di Italia dan Eropa. Leonardo, Ronaldinho dkk, harus berjuang
keras untuk meyakinkan publik San Siro bahwa mereka masih layak
diperhitungkan. Entah dengan penyempurnaan skuad yang ada, perubahan gaya
dan taktik permainan, bahkan kalau perlu hingga mengganti pelatih yang
sekarang. Jangan jadikan modal yang sudah ada jadi sia-sia. Kecuali bila
memang si Perdana Menteri lagi butuh uang buat kegiatan politiknya. Ingat,
politik juga butuh uang dan itu tidak sedikit.

Sepeninggal masa kejayaannya, baik Golkar ataupun AC Milan keduanya


tidak punya lagi figur yang bisa memimpin dan mendikte mereka jalan menuju
kejayaan. Selepas Orde Baru, Golkar tidak punya pemimpin kharismatik yang
benar-benar mencerminkan figur dari rakyat. Golkar selalu terjebak dalam
paradigma bahwa yang memimpin Golkar adalah harus dari kalangan birokrat
dan politisi.

Akibatnya, ketika birokrasi mengalami reformasi dan politisi digoyang dari


kabinet Golkar tidak mampu jadi beringin yang kuat yang mampu menahan
segala desakan itu. Maka, Golkar mengalami kemunduran. Ditambah lagi
dengan tidak lagi solidnya Golkar dari pucuk pimpinan hingga akar rumputnya.
Ini terlihat dari pecahnya dukungan untuk pasangan JK-Win di Pemilu 2009.
Basis suara Golkar yang diperkirakan dapat menembus kisaran 20% secara
nasional ternyata gagal. Suara Golkar pecah, tidak utuh. Mesin politik Golkar
mogok.

AC Milan pun demikian. Sepeninggal Ancelotti, Milan belum punya


pengganti yang (minimal) bisa menggantikan sosok Ancelotti. Adapun
keberadaan Leonardo di jajaran bangku cadangan Milan hanya dianggap
sebagai pelengkap formalitas semata mengingat berbagai hasil buruk yang
menimpa mereka. Dihajar habis oleh rekan sekota dan baru-baru ini

78
dipermalukan oleh tamu dari Zurich. AC Milan butuh sosok pemimpin yang bisa
membuat ide-ide dan terobosan baru dalam cara bermain. Tidak hanya sebagai
pelatih tapi juga sebagai pemain. Pelatih yang membuat kodenya, lalu pemain
yang menerjemahkannya.

*****

Yang terjadi pada Golkar dan AC Milan adalah juga cerminan bangsa ini.
Bangsa yang sejatinya bangsa yang besar namun masih dianggap bangsa yang
kerdil oleh tetangganya sendiri. Indonesia belum punya sosok yang mampu
menyatukan kehendak rakyat yang diwakilinya dalam suatu bentuk
pemerintahan yang benar-benar menjunjung tinggi UUD 1945. Indonesia masih
terjebak dalam permainan politis-birokratif karangan para politisi busuk yang
menghuni gedung MPR-DPR di Senayan sana.

Jangan sampai Indonesia terjebak dalam permainan kekuasaan seperti


yang dicontohkan Golkar. Jangan pula Indonesia kehilangan kejayaannya
karena rakyatnya cuma bisa main bola seperti yang diperagakan AC Milan.
Karena bagaimana pun politik dan sepakbola juga persamaan. Dua-duanya
butuh pendukung. Tidak ada pendukung, tidak ada persaingan menuju kejayaan.
Kalau kata iklan rokok, "Gak ada loe, gak rame..."

Kelapa Gading, 5 Oktober 2009

79
Cintaku Kandas di Tapal Batas Ambalat

Pada suatu ketika, perang telah berlangsung di blok Ambalat. Perang ini
konon disebabkan oleh Tentara Laut Diraja Malaysia yang selalu menerobos
perbatasan wilayah laut Indonesia tanpa izin. Awalnya, kedua negara yang
bersengketa, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menghindari perang.
Indonesia tidak punya dana yang cukup untuk berperang. Belum lagi alat tempur
yang semuanya sudah uzur. Meskipun di level prajurit mereka sudah siap untuk
mengibarkan Merah Putih di tanah Ambalat.

Malaysia pun demikian. Mereka tidak ingin berperang dengan saudara


tuanya. Mereka ingin pemecahan dan solusi lewat jalur diplomasi. Tentu dalam
hal ini mereka telah berpengalaman ketika akhirnya mendapatkan Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan yang telah lebih dulu mereka jadikan tempat wisata. Mereka
tentu akan mendapat dukungan dari negara persekutuan Commonwealth.
Namun, mentoknya diplomasi dari Departemen Pertahanan dan Departemen
Luar Negeri kedua belah pihak seakan jadi pembenaran untuk perang ini.

Negara-negara anggota Commonwealth menyatakan netral dan


menganggap apa yang terjadi di blok Ambalat adalah urusan resmi dua negara
yang bersengketa jadi mereka merasa tidak ada gunanya untuk terjun
berperang. Yang diuntungkan dari keputusan itu adalah pihak Indonesia karena
mendapat jaminan bahwa RAAF (Royal Australian Air Force-angkatan udaranya
Australia) tidak akan mengeluarkan bomber dan mengirimkan pasukannya untuk
menginfiltrasi Indonesia melalui Pulau Irian.

Begitupun pulau Sumatra tidak akan menjadi sasaran serangan karena


TNI AD dan TNI AL sudah lebih dari berpengalaman untuk menguasai teritori
sekitarnya. Sukhoi-Sukhoi yang dibeli dengan beras itu menjadi faktor utama
penentu kemenangan Republik Indonesia. Pilot-pilot terbaik lulusan Akabri Udara
berhasil menjadi bintang dalam pertempuran itu. Mereka tidak perlu khawatir
untuk gugur diatas peti mati tua yang bisa terbang*). Dua pilot yang biasa
menerbangkan F-16 yang ikut mengusir 3 unit F-18 milik USAF (United States
Air Force-angkatan udaranya AS) yang menyusup melalui Samudera Hindia ikut
pula dalam pertempuran udara itu.

Begitulah seterusnya. Perang terjadi juga. Rudal-rudal dari Sukhoi yang


menghantam F5Tiger dan F16E Malaysia bagaikan kembang api di langit
Ambalat sana. Rasanya bagai sedang berlangsung pesta kembang api besar.
Pecahannya bagaikan seribu kunang-kunang di Manhattan**). KRI-KRI yang
berkeliaran di sepanjang batas territorial perbatasan bagaikan semut-semut

*)
Peti mati tua yang bisa terbang, istilah ini popular setelah terjadi kecelakaan pesawat terbang Hercules C-
130 milik TNI AU di Magetan, Jawa Timur bulan Mei 2008.
**)
“Seribu Kunang-kunang di Manhattan”, sebuah judul kumpulan cerpen Umar Kayam.

80
hitam***) bila dilihat dari angkasa sana. Mereka siap dengan meriam dan long-
range missiles buatan Lockheed Engineering-perusahaan yang juga membuat
F16 Eagle. Sekali rudal jelajah itu melesat ia siap merontokkan apa pun
termasuk kapal-kapal perang Malaysia yang akhirnya kandas di perairan sebelah
barat daya Tarakan. Operasi kapal selam pun berhasil dipatahkan TNI AL.
Torpedo-torpedo berhulu ledak nuklir telah lebih dahulu menghancurkan
pangkalan Tentara Laut Diraja Malaysia.

*****

Pemenang perang berhak atas blok Ambalat yang katanya punya banyak
cadangan minyak. Sudah puluhan perusahaan minyak beserta kontraktor-
kontraktor pengeborannya datang dibawah koordinasi BP MIGAS. Ada
rombongan Chevron Pacific Indonesia, disusul kontingennya Schlumberger. Ada
juga Pertamina yang menggandeng Halliburton sebagai rekanan. Belum lagi
Petrobras, British Petroleum, CNOOC, ExxonMobil, Santander, Petrol Ofisi ,
Total EP, dan tak ketinggalan beberapa perusahaan lokal seperti Indika Energy,
Medco EP serta beberapa dari Timur Tengah. Tentu saja Petronas merasa
kecewa dengan hasil perang ini. Investasi yang sudah direncanakan kini tidak
lagi berarti.

Minyak yang dihasilkan di blok Ambalat sudah lebih dari cukup untuk
menjaga stok BBM nasional 150 tahun kedepan. Industri otomotif nasional
kembali bergairah dengan dibelinya beberapa anak perusahaan General Motors
yang menyatakan kebangkrutannya pada bulan Juni 2009. PT. Timor Putra
Nasional kembali bangkit dengan membeli Chevrolet. Konsorsium bentukan
Toyota-Daihatsu membeli GMC, Buick, dan Saturn yang kolaps bersama dengan
GM (bukan Gunawan Muhammad tentunya). Gaikindo pun turun dengan
membentuk perusahaan yang mengambil alih SAAB. Kejadian ini menyebabkan
Indonesia menempati urutan teratas dalam jumlah produksi kendaraan bermotor.

Bahkan bukan itu saja. Kelebihan uang dari penjualan minyak ini telah
dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur industri militer nasional. PT.DI
yang pernah berjaya dibawah nama IPTN kini telah menjadi pusat riset
kendaraan tempur termasuk pesawat terbang. PT. Pindad yang menjadi
perusahaan supplier untuk TNI kini lebih disegani dalam kancah industri militer
dan pertahanan secara global. Departemen riset Pindad telah mengembangkan
berbagai macam rudal jelajah dan beberapa torpedo berhulu ledak nuklir.
Pemerintah tidak pernah khawatir lagi oleh embargo senjata dari Amerika Serikat
walaupun untuk pesawat jet tempurnya masih disuplai oleh Rusia melalui
program “Rice for Sukhoi”.

Swasembada beras yang telah berlangsung selama beberapa periode


kepemimpinan telah menyebabkan BULOG tidak mempunyai gudang persediaan
yang cukup lagi. Beberapa diantaranya sudah diekspor ke luar negeri. Ada yang
***)
Dari judul lagu God Bless, “Semut Hitam”

81
juga yang dihibahkan untuk korban bencana alam di luar negeri sana. Maka dari
itu, kalaulah kelebihan beras ini sudah cukup untuk ditukar dengan satu pesawat
tempur Sukhoi 27 Flanker atau Sukhoi 30 Mk II itu artinya pengadaan pesawat
tempur tidak lagi membebani APBN. Dengan ide yang dilontarkan oleh Menteri
Pertanian itu pemerintah dapat mengalihkan biaya pengadaan alutsista untuk
dialokasikan pada sektor pendidikan.

Rencana pemerintah untuk memberikan pendidikan yang berkualitas dan


terjangkau oleh masyarakat sudah didepan mata. Pada setiap kota yang telah
memiliki RSBI (Rintisan Sekolah Berbasis Internasional) akan dikembangkan
menjadi sekolah internasional untuk masyarakat Indonesia-bukan ekspatriat.
Kurikulum dan sistem pendidikan disesuaikan dengan menggunakan GCSE-
CIPAT yang Cambridge-based dan iB atau International Baccalaureate untuk
mengejar ketertinggalan pendidikan.

Menteri Pendidikan Nasional melalui siaran persnya tidak pernah berhenti


meyakinkan khalayak bahwa sekolah semacam itu tidak akan membebani
semua siswanya. Pemerintah menjamin ketersediaan dana bagi berlangsungnya
pendidikan yang benar-benar murah, terjangkau, dan berkualitas. Peningkatan
kualitas guru pun menjadi satu program tersendiri yang ditargetkan untuk
menghasilkan guru-guru yang berkompetensi global. Konon, anggaran untuk
peningkatan kualitas guru dan sekolah itu tidak terbatas.

*****

Perang telah usai dan semua telah kembali pada keadaan semula. Aku
rindukan kekasihku yang jauh di Ambalat sana. Kandas di tapal batas. Sukhoi
yang diterbangkannya jatuh ditembak Tentara Darat Diraja Malaysia. Kata
teman-temannya, sebenarnya kerusakan pesawatnya tidak terlalu parah dan
masih bisa terbang kembali ke pangkalan namun ia lebih memilih untuk
mengakhiri hidupnya dengan cara yang sama seperti yang dilakukan pilot-pilot
Jepang pada waktu Perang Dunia II, harakiri. Aku tidak pernah tahu sejak kapan
TNI-AU mulai membiasakan diri dengan hal itu.

Kekasihku menabrakkan pesawatnya pada satu gudang yang diketahui


sebagai gudang logistik pasukan perang Malaysia. Akurasi data intelejen
memang tidak pernah salah. Kejadian itu mengakibatkan pecahnya konsentrasi
perang pasukan Malaysia. Antara menyelamatkan logistik atau mempertahankan
garis depan.

Perang memang telah usai namun badai masih menggulung hatiku. Aku
masih menatap matahari senja yang berkilauan. Aku harap ini bukan senja yang
terakhir. Bukan juga senja penghabisan. Aku menantap matahari yang bagaikan
bola emas raksasa. Sinarnya belum juga redakan badai hati ini.

82
Kekasihku, seorang pilot berpangkat kapten yang punya mata setajam
elang itu kini mungkin sudah sampai di pintu surga. Tuhan pernah menjanjikan
siapapun yang berangkat menunaikan tugas mempertahankan kedaulatan
bangsanya akan dimasukkan ke dalam golongan penghuni surga. Aku tahu
bahwa kekasihku melakukan sesuatu yang benar. Untuk negaranya, Untuk
cintanya-bukan padaku.

Kelapa Gading, 9 Oktober 2009

83
Golkar dan Kekuasaan
"Bargaining Golkar Sudah Lemah." *)

Kemenangan Aburizal Bakrie (AB) dalam memperebutkan kursi Ketua


Umum Partai Golkar adalah satu pertanda bahwa Gokar masih akan berada
dalam lingkaran kekuasaan negeri ini. Golkar adalah bagian dari sejarah
kekuasaan sehingga sulit sekali bagi mereka untuk melihat Golkar yang berada
diluar kekuasaan.

Golkar selalu berada dalam kekuasaan dan para elitenya pun


menghendaki pula hal yang demikian. Terlepas dari perdebatan siapa yang jadi
presidennya. Alasannya sederhana, partai ini dibuat dan dikembangbiakkan
untuk meraih, mendapatkan, dan mempertahankan kekuasaan.Situasi sekarang
tidaklah mudah. Golkar bukan lagi partai pemenang pemilu yang menguasai
kursi di DPR. Terpilihnya Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR pun ikut
melemahkan power Golkar.

Maka, ketika muncul wacana untuk jadi oposisi beberapa kadernya mulai
bereaksi dengan menggulirkan isu munas dengan tujuan untuk mengambil
langkah nyata dan sikap Golkar dalam pemerintahan SBY 2.0. Opsi untuk jadi
oposisi hanya akan semakin menjauhkan Golkar dari kekuasaan.

Pernyataan sikap Golkar yang menegaskan bahwa Golkar tidak koalisi


dan tidak oposisi mengindikasikan keinginan Golkar untuk masih berada
dibawah ketiak kekuasaan negeri ini. "Jika kebijakan pemerintah memperbaiki
rakyat, kita dukung. Bila tidak, Golkar akan mengkritik.", begitu kata Aburizal
Bakrie. Dan bila Presiden meminta kader Golkar masuk kabinet, Golkar tidak
keberatan, tambahnya.

Sikap yang demikian adalah wajar untuk negara dengan sistem kabinet
presidensial seperti Indonesia. Partai politik tidak perlu untuk menampakkan
wajahnya secara terang-terangan. Punya dua muka pun bukan hal yang salah.
Tentu akan berbeda bila sistem kabinet yang digunakan adalah kabinet
parlementer. Disitu diperlukan adanya dua sisi yang berbeda. Hitam dan putih.
Koalisi dan oposisi. Moderat dan konservatif.

Yang perlu diwaspadai oleh Golkar adalah pelaksanaan dari pernyataan


sikapnya itu tadi. Jangan sampai apapun keputusan pemerintah baik yang
mensejahterakan rakyat atau yang mengebiri hak-hak hidup rakyat diamini
begitu saja tanpa ada perlawanan. Seolah Golkar lupa janjinya untuk jadi tukang

*)
Tifatul Sembiring, Harian Republika 9 Oktober 2009

84
kritik. Lantas, jangan juga Golkar hanya bisa cuci tangan bila keputusan
pemerintah tersebut tidak berimplikasi apa-apa pada kualitas hidup rakyat.

Sebelum Golkar kembali ke puncak kekuasaan negeri ini alagkah baiknya


bila Golkar terlebih dahulu mengambil langkah retrospektif dalam menganalisa
dirinya sendiri. Golkar perlu menguatkan dirinya dahulu dari dalam sebelum
comeback ke arena. Perseteruan antar faksi yang menyeruak dalam Munas
kemarin mutlak perlu diselesaikan demi membangun Golkar yang dewasa dan
solid.

Bila Golkar benar-benar menginginkan kembali pada puncak kekuasaan


hendaknya Golkar melaksanakan sikapnya dengan penuh tanggung jawab.
Golkar harus memperjuangkan sikapnya ini untuk menghargai konstituen yang
mereka wakili sebagai satu instrumen politik di negeri ini. Golkar juga harus
mengoptimalkan fungsi kontrol serta check and balance agar kekuasaan yang
sedang dilangsungkan oleh pemerintahan saat ini berjalan dengan baik, lancar,
dan semestinya. Golkar harus tetap kritis atau hanya akan jadi penggembira
saja.

Kelapa Gading, 12 Oktober 2009

85
Kita Ini

Sambil bergegas menuju lift Bedul berkata, “Mau diakui atau tidak, kita ini
terlalu sibuk untuk menulis dan bercerita. Ternyata kita lebih senang
mengomentari status facebook kawan-kawan kita sambil mengcopy-paste tulisan
orang lain untuk kemudian diklaim sebagai buah pikiran kita. Tanpa disadari kita
sudah jadi seperti Malaysia yang asal caplok sesuka hatinya. Kita ini terlalu sibuk
untuk menyuarakan gagasan. Kita selalu punya sesuatu untuk dibahas walau
intinya masih itu-itu juga. Gempa Padang dan Jambi, Pelantikan Mewah Anggota
DPR, Penggembosan KPK, Skandal Bank Century, Uji coba rudal Iran, Soto Mie
Bogor, Blackpepper KFC, Pelantikan SBY, Taufik Kiemas lidahnya keseleo, dan
masih banyak lainnya.”

Sambil terus melangkah keluar lift Bedul masih terus mengoceh, “Kita ini
hanya menang status saja. Dianggap pekerja kantoran di ruangan yang berAC.
Berangkat pagi, pulang sore. Pakai kameja rapi bahkan kadang-kadang berdasi
dan menenteng BB (yang pasti bukan Batu Bata). Pakai parfum bermerek HB
yang tentunya bukan singkatan dari Hamengkubuwono dan belinya di tempat
refill pula. Juga memakai sepatu hitam mengkilat yang ada labelnya “YK” alias
Yongki Komarudin. Kita ini cuma menang status sebagai orang kantoran yang
kerjanya duduk menghadap layar LCD padahal hanya untuk buka facebook, YM,
email sambil sesekali ‘cuci mata’. Kau paham maksudku, kan?”

Sampai di halte bis, Bedul belum juga berhenti. Ia nyalakan sebatang


rokok lalu meneruskan cerita yang tiba-tiba tumpah dari kepalanya. “Kita ini
cuma disibukkan menjelang akhir bulan oleh jadwal deadline laporan, analisis,
dan konklusi dari semua yang telah dikerjakan. Semangat kita berkobar
setidaknya sampai pertengahan bulan dimana kadang kita perlu mengambil
nafas sejenak sembari menghitung kembali pengeluaran. Saat-saat seperti itu
rasanya bagaikan berada dibawah matahari yang membakar ubun-ubun kepala.
Terkadang ikat pinggang kita pun bisa lebih kencang daripada ikatan tali sepatu.
Harapan itu muncul kembali setiap tanggalan menunjukkan angka diatas 20.
Semakin dekat waktu gajian. Bayangan untuk melampiaskan nafsu yang
tertahan semakin tinggi. Alokasi anggaran pun jadi semakin rumit karena kita
tidak pernah tahu yang mana kebutuhan yang mana keinginan.”

“Kita ini disibukkan cuma untuk mengisi waktu sebelum tanggal gajian.
Percayalah, bahwa kita tidak pernah menginginkan semua ini. Kalau bisa kita
hanya ingin gajiannya saja tanpa perlu mengerjakan apa-apa sekalipun.
Persetan dengan motivasi, performance indicator, appraisal dan jargon-jargon
sialan lainnya. Kita mengenal semua omong kosong itu hanya karena kebetulan
saja pekerjaan memilih kita, padahal kita belum tentu atau malah tidak
menginginkannya sama sekali. Kita tidak pernah tahu alasan mengapa kita
terlibat didalamnya tetapi malah semakin menginginkannya supaya atasan tahu
kalau kita ini benar-benar kerja.”

86
Pun ketika akhirnya kami berdua duduk di bangku pojok PPD, Bedul
makin menjadi-jadi. “Kita ini terlalu sibuk untuk beribadah hingga larut dalam
segala omong kosong pekerjaan. Tidak ada lagi waktu untuk sekedar membaca
Al Fatihah, Alif laamiim, atau Ayat Kursi. Bila pun waktunya sempat kita
pamerkan di status Facebook. Ramadhan yang telah berlalu pun itu jadi
semacam kursus singkat untuk berpikir tentang akhirat. Kita masih terlalu sibuk
untuk memikirkan hal itu seakan semua itu telah jadi kebiasaan atau malah
pembenaran atas segala macam bentuk ibadah yang sudah ditunaikan.”

*****

Sambil pamit duluan, aku hanya tersenyum saja padanya seakan aku
membenarkan semua yang telah dikatakannya. Setelah aku turun dari bis, aku
tersenyum simpul sambil berkata dalam hati, “Kita? Loe aja kali….!”

Kelapa Gading, 21 Oktober 2009

87
Cinta Dalam Sepotong Artikel
From : Cinta (cinta@kantorberita.net.id)
To :bedul@kempos.com
Title : Article

Here's an article as you requested for your essay.


Hope to see your writing soon.
Love U.

Cinta

*****

Email yang datang sore ini sungguh mengejutkanku. Bagaimana tidak,


ternyata ia menganggap serius semua yang kami bahas kemarin malam. Dalam
pertemuan yang singkat itu tidak terlalu banyak yang kami bahas. Aku hanya
bercerita padanya kalau mungkin aku akan mulai menulis essay seputar konflik
internasional. Aku menemukan kembali passion untuk menulis terutama setelah
menyadari bahwa keadaan demokrasi di Afghanistan tidak jauh berbeda dengan
demokrasi di Indonesia pasca reformasi.

Ia hanya mengangguk saja dan tidak banyak bicara. Sorot matanya tajam
seakan ia tahu betul apa yang ada di pikiranku. Pun ketika akhirnya waktu
pertemuan kami habis ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum sambil
mempersilakanku keluar ruangan.

Rasanya pertemuan itu begitu hambar. Aku lanjutkan membaca artikel


yang dikirimnya.

A government-appointed commission in Afghanistan has ordered a run-off


vote to decide the country's divisive presidential election. But as two experts told
DW, it won't be easy to resolve the battle for power. Afghanistan's Independent
Election Commission (IEC) ruled on Tuesday that incumbent President Hamid
Karzai and his closest rival, former Foreign Minister Abdullah Abdullah, should
face off directly against one another in a second vote on Nov. 7.

In the first round of voting this August, which featured dozens of


candidates, Karzai initially got 54 percent of the ballots. But that election was
marred by fraud - with the UN-run Electoral Complaints Commision saying that
up to 90 percent of ballots cast at some polling stations shouldn't have counted.

Karzai and Adbullah have both said they welcome the IEC's ruling, while
world leaders, including US President Barack Obama and UN Sercretary General
Ban Ki Moon, also hailed the decision to hold second vote.

88
The German Foreign Ministry said Berlin was pleased that a way forward
had been found.

"It is important for all those involved to show responsibility, calm and
moderation during the current situation and ensure there is a credible
continuation of the electoral process," the ministry said in an official statement.

But Afghans living in Germany are skeptical about how credible any
election results can be.*)

*****

Demokrasi di Indonesia baru bisa dikatakan berjalan pasca reformasi.


Semua bidang dan sendi-sendi kehidupan mulai mengenal apa itu namanya
demokrasi. Asalkan ada demokrasinya pasti laku. Kebebasan media dianggap
sebagai penyebar virus buatan kaum intelektual Barat itu.

Kalau dihitung, Indonesia sudah menjalankan demokrasi yang betulan ini


11 tahun lamanya. Tidak jauh berbeda dengan Afghanistan. Afghanistan mulai
melek demokrasi semenjak menjadi pesakitan koboi bernama George W. Bush
yang menjadikan tanah Mujahidin sebagai ladang pembantaian massal atas
nama perang terhadap terorisme pada 2001. Dengan dalih mencari biang kerok
teroris pengebom WTC, Osama bin Laden, penghancuran massal pun dilakukan.

Selain upaya untuk menangkap dalang teroris rupanya imperialis modern


tidak lagi menggunakan gold, gospel, dan glory dalam melaksanakan misinya.
Sudah tentu, demokrasi kini menjadi bawaan wajib. Keadaan itu telah menguras
otak penduduk Afghanistan. Mereka yang dulunya konservatif dibawah pimpinan
rezim Taliban telah membuka matanya bahwa Taliban pun bisa diruntuhkan.

Invasi yang dilancarkan AS ternyata membuahkan hasil yang sepadan.


Rakyat Afghanistan mulai terbuka terhadap virus yang sengaja mereka
sebarkan. Buktinya, Hamid Karzai, terpilih sebagai presiden pada tahun 2004.
Terpilihnya Hamid pun bukan tanpa kontroversi karena ia lebih dianggap sebagai
boneka titipan asing. Sebagaimana yang sedang terjadi di Indonesia.
Penunjukkan Endang Rahayu sebagai Menteri Kesehatan pun dinilai sebagai
titipan asing alias AS.

8 tahun sudah demokrasi dilangsungkan di Afghanistan. Namun, belum


ada perubahan yang signifikan dalam tata kehidupan bernegara masyarakat
Afghanistan. Konflik horizontal antar etnis masih berlangsung. Taliban juga
masih menjadi momok yang menakutkan bagi pasukan pendudukan yang
bertugas di Afghanistan.

*)
Berita dikutip dari www.dw-world.de

89
Rupanya, Hamid Karzai tidak bisa menyatukan seluruh masyarakat
Afghanistan. Karzai kurang bisa menyatu dan menyublim dalam hati masyarakat
yang dipimpinnya. Sempat beredar dugaan bahwa kemenangannya di Pemilu
kemarin itu hanyalah omong kosong yang dikarangnya sendiri. Untung dia masih
sedikit legowo untuk menerima keputusan KPU-nya Afghanistan untuk
melaksanakan pemilu ulang.

Hamid Karzai tentu masih dibayangi kekhawatiran mengenai


kekalahannya. Karzai tidak bisa menghindari fakta bahwa bila seandainya bila
pemilu yang terlanjur dibatalkan hasilnya kemarin itu bisa jadi klimaks dari karir
politiknya. Bila pemilu kemarin berlangsung secara jujur dan terbuka, menurut
analis-analis Afghanistan di Jerman sana tidak akan mencapai 10%. Itu artinya ia
akan kalah maka ia segera lakukan tindakan preventif dengan
penggelembungan suara.

Agaknya, Afghanistan mesti belajar banyak dari Indonesia tentang


bagaimana mengelola demokrasi terutama dalam mempertahan kekuasaan
melalui cara yang demokratis. Cara-cara yang digunakan dalam pemilu di
Indonesia pun masih punya banyak celah untuk dilanggar. Ini adalah masalah
demokrasi di negara-negara berkembang.

*****

hitam dan putih akan kutempuh bahagia,


kututup mata rapat seperti berdoa,
rasa sepi kembali mengalir,
kesepian ini abadi **)**)

Otong Koil masih berteriak ketika aku tak tahu apalagi yang harus kutulis.
Aku cek email yang masuk sejak aku mulai menulis tadi. Beberapa komentar
atas tulisan sebelumnya, undangan pernikahan seorang sahabat, undangan
pembukaan pameran, dan informasi lomba karya tulis, semua jadi satu di
tumpukan berkas email.

Aku baca kembali email darinya yang entah untuk keberapa kalinya. Aku
berhenti pada kalimat terakhir. Aku baru menyadarinya kalau ada sesuatu yang
aneh disitu. Aku menahan nafas sejenak. Mengucek mata barangkali ada yang
salah dengan mataku. Namun, semuanya semakin jelas. Aku belum sampai
membaca kembali tulisanku. Aku masih terhenti pada email darinya Aku
menatap pesannya semakin dalam. Mencari arti dalam cinta yang ia titipkan
dalam potongan artikel itu.

Kelapa Gading, 23 Oktober 2009


**)
Dari lagu “Kesepian Ini Abadi”, dinyanyikan oleh Koil.

90
Potongan E-mail dan Sumpah Pemuda

"Memang Cikeas, beberapa Menteri dan Panitia Harkitnas pusat tidak kenal
wacana apapun kecuali 'merekrut' mereka: kaum muda yg bertekad
meneguhkan kebangkitan generasi muda mandiri itu. Bisa dipahami kenapa tak
pernah lahir manusia baru Indonesia, setiap yg tumbuh selalu diletakkan sebagai
ekor dari generasi sebelumnya.

Sebenarnya eksekusi movement mereka bisa dengan mudah dilaksanakan


andaikan mereka mau jadi 'boneka industri', karena ratusan perusahaan siap
mensponsori mereka. Tapi jadi batal 'dzat'nya, pilihan watak kemandirian
hidupnya.

Tapi saya percaya itu tak akan lantas kalah oleh tantangan dan halangan,
mereka tak akan menjebak diri menjadi benih2 murni nasionalisme yang balik ke
mainstream untuk hanya menjadi penempuh2 karier pribadi yg egosentris dan
primordial.

Thanks dan salam.”

*****

Satu email dari seorang sahabat yang juga 'orang dalam' di lingkungan
rumah tangga kepresidenan cukup mengejutkan. Ditengah situasi politik saat ini
yang membuat siapapun mau merapat lebih dekat dengan kekuasaan tiba-tiba
saja ia agak berontak. Mungkin ia sudah waras dan mulai paham serta sadar
posisinya. Ia mungkin sudah sadar bahwa yang ada disekelilingnya hanyalah
omong kosong belaka adanya. Budaya birokrasi yang terlanjur mengakar kuat
tanpa terasa telah menjerat semua urusan yang ada disana.

Pesan itu lebih cocok tendensinya kalau lagi musimnya bahas wacana
kebangkitan nasional yang selalu diperingati pada bulan Mei. Tapi, aku pikir ini
masih ada hubungannya dengan Sumpah Pemuda yang gegap gempitanya
hilang begitu saja hari ini oleh gemuruh yang selalu datang di akhir bulan,
apalagi kalau bukan gajian. Sumpah pemuda yang tak lagi muda. 81 tahun
sudah setelah para pemuda dari seluruh negeri berikrar untuk Indonesia yang
merdeka.

Sejak periode kebangkitan nasional, pemuda telah menjadi motor yang


menggerakkan seluruh perangkat mesin kebangsaan untuk sama-sama bercita-
cita merdeka. Maka tak heran bila kemudian mereka berkumpul untuk
mendeklarasikan cita-cita yang selalu diidamkan. Merdeka dari penjajahan.
Sumpah pemuda hanyalah sebuah peretas menuju jalan perjuangan
memperebutkan kemerdekaan.

91
Sumpah Pemuda mengandung makna tekad, upaya, dan ikhtiar pemuda
dalam meraih cita-cita kebangsaan melalui satu tanah air, satu bangsa, dan satu
bahasa: Indonesia. Melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 bangsa ini
memulai suatu pergerakan baru menuju Indonesia merdeka setelah diawali
dengan berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908.

Kondisi pasca kemerdekaan di zaman modern seperti saat ini, Sumpah


Pemuda hanyalah tinggal jadi satu penanda setiap tahunnya tanpa benar-benar
ada waktu khusus untuk menghayati kembali maknanya. Kita hanya tahu 28
Oktober itu adalah harinya Sumpah Pemuda. That’s all. Kita mungkin telah lupa
juga kalau hari itu pertama kalinya Indonesia Raya diperdengarkan.

Kaum muda selayaknya jadi generasi mandiri yang lahir menjadi manusia
baru Indonesia. Sayangnya, setiap mereka yang tumbuh selalu dijadikan ekor
dari generasi sebelumnya. Mereka sengaja diposisikan seperti itu oleh
bermacam-macam alasan dan kepentingan agar mindsetnya mentok Cuma
sebatas ekor atau pengikut saja tanpa ada breakthrough. Mereka hanya akan
mengikuti siapa yang lebih menguntungkan. Menguntungkan untuk karir pribadi-
pribadi yang sangat egosentris dan primordial.

Karena itu mereka telah menjadi ‘makhluk industri’ yang movementnya


bisa dieksekusi setiap saat. Tidak butuh waktu lama karena ratusan perusahaan
siap mensponsori mereka. Imbas dari perebutan kepentingan itu akibatnya
mengorbankan sikap-sikap dan pola pikir mandiri. Hasilnya, konsumerisme di
level kaum muda meningkat dan itu adalah ekspektasi kaum kapitalis.

Kalau sudah begitu itu berarti tanda bahaya untuk nasionalisme.


Nasionalisme yang terjalin utuh sejak Indonesia merdeka akan lebih kehilangan
esensinya. Nasionalisme bangsa ini naik turun. Kalau dicubit Malaysia baru
teriak “Ganyang Malaysia…”. Belum ada satu kejadian yang menyadarkan
masyarakat secara massal untuk menggelorakan nasionalisme sejati. Bukan
nasionalisme semu, bukan nasionalisme kesukuan. Nasionalisme Indonesia:
Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.

Kelapa Gading, 29 Oktober 2009

92
November
Pembangunan dan Perubahan
“Time goes on, people touch and they’re gone…”*)

Bung, masih sadarkah anda bahwa zaman pembangunan masih


berlangsung kendati sudah bukan zaman orde baru? Masih sadarkah anda
bahwa proses pembangunan secara fisik masih berlangsung di depan mata kita
sehari-hari? Masih sadarkah anda bahwa kita tidak bisa lepas dari makhluk yang
namanya pembangunan?

Saya baru sadar kemarin, ketika melihat truk molen pengaduk pasir beton
hilir mudik keluar masuk komplek. Oh ya, saya lupa kasih tahu Bung kalau saya
tinggal di sebuah komplek perumahan di pinggiran kota. Kebetulan dibelakang
komplek ini telah dibangun sebuah megaproyek untuk ukuran kota Cimahi.
Lahan yang dulunya adalah persawahan dengan hasil yang lumayan kini telah
berganti dengan deretan gedung. Tentu bukan deretan gedung seperti di ruas
Jalan Thamrin-Sudirman, Jakarta.

Entah sebuah proyek ambisius atau memang program pemerintah proyek


ini dinamakan Rusunami. Kurang lebih singkatan dari Rumah Susun untuk
Warga Miskin. Walaupun begitu, saya lebih suka menyebutnya dengan sebutan
apartemen bukan rusun atawa rumah susun. Saya masih belum bisa
membedakan antara rumah susun dengan apartemen seperti yang sedang anda
tempati saat ini. Apa karena status peruntukannya lantas rusunami versi
pemerintah tidak boleh disejajarkan minimal disamakan penamaannya dengan
apartemen megah buatan Agung Podomoro Group? Lain kali kita bahas.

Begitulah Bung. Setiap harinya 3-4 unit truk molen mengantri menunggu
giliran untuk melaksanakann tugasnya: menumpahkan adukan semen dan pasir.
Pemandangan serupa tentu bukan yang pertama kali saya lihat. Sudah ratusan
mungkin ribuan kali saya berpapasan dengan truk molen dengan label
perusahaan yang berbeda. Yang membuatnya terasa berbeda kali ini adalah
bahwa truk-truk itu kini beroperasi di dekat rumah saya tinggal lalu saya merasa
bahwa telah terjadi banyak perubahan. Terutama dalam waktu setahun terakhir
ini.

Saya melihat bahwa pembangunan yang kini semakin mendekat dan


nampak jelas di mata saya telah membawa dampak yang besar bagi sebagian
penduduk di komplek saya. Saya bisa merasakan gairah perekonomian yang
akan segera menggeliat dan menuju klimaksnya. Semua terasa lebih dinamis.

*)
Dari lagu “For Just a Moment” yang juga OST. St. Elmo’s Fire, dinyanyikan oleh David Foster & Olivia
Newton John,

93
Berbeda jauh dengan kondisi beberapa tahun ke belakang dimana suasana
komplek cenderung lebih statis dan monoton. Pembangunan rusunami itu akan
membuka akses yang lebih luas dengan komplek kami sebagai sentral dari
pertumbuhannya.

Sementara pembangunan masih terus berlangsung saya mengamati


perubahan-perubahan lainnya. Orang tua kami mulai memasuki masa
pensiunnya. Sebagian dari mereka ada yang menghabiskan uang pensiunnya
dengan naik haji ke Tanah Haram. Ada yang membeli mobil untuk disewakan
kembali. Ada yang membeli rumah untuk dikontrakkan kembali. Ada yang
membuka warung di teras rumahnya. Ada yang mencari aktivitas rutin di Masjid.
Ada yang senang di rumah saja barangkali sambil menghitung jumlah uang
pensiun yang masih tersisa.

Kemudian, kami yang seumuran dengan saya dan dengan Bung juga
mulai memasuki usia produktif menurut angkatan kerja. Beragam pekerjaan kami
jalani. Ada yang jadi kru event organizer, ada yang merantau ke luar kota, ada
yang jadi pekerja part-time, ada yang kerja di bank dan gajian setiap tanggal 25,
ada yang jadi guru olahraga, ada yang jadi guru TK, ada yang jadi staf marketing
dealer motor, ada yang kerjanya di rumah saja-seperti saya ini.

Perubahan lainnya yang bisa dibilang cukup drastis adalah kaum


remajanya. Entah karena pengaruh zaman yang semakin maju dengan
pembangunannya kini mereka tidak seperti kami ketika remaja dulu. Dengan
arus information superhighway membuat mereka lebih cepat belajar dan terbuka
terhadap suatu hal. Jangan heran bila Bung menemukan anak SD yang bertanya
siapa Miyabi itu. Semuanya jadi antitesis kami dahulu.

Begitulah, generasi-generasi baru terus dilahirkan dan membuat semarak


dunia ini. Sama halnya dengan pembangunan yang akan terus jadi tanda
perubahan. Tidak ada yang abadi. Perubahan itulah yang abadi.

Salam dari Pharmindo,

Cimahi, 25 November 2009

94
Kemenangan Guru, Kemenangan Pendidikan?

Selamat malam, Bung? Apa kabar anda hari ini? Apakah kopi yang anda
hirup pagi ini masih sama dengan ketika di warung kopi dulu? Saya harap anda
dapat menikmati bagian-bagian hidup anda bahkan yang terkecil sekalipun.
Sudah lama sekali saya tidak menjumpai anda lewat tulisan saya. Anda tentu
menganggap itu ada hubungannya dengan pensiunnya saya dari sekolah sialan
itu kan? Ada benarnya namun itu kita bahas nanti saja di warung kopi langganan
kita di pojok jalan itu.

Begini, Bung. Menjelang malam tadi sebuah berita masuk ke ruang


dengar saya. Satu berita tentang dimenangkannya gugatan terhadao Ujian
Nasional (UN) oleh Persatuan Guru Independen Indonesia (PGII) dan Forum
Aksi Guru Indonesia (FAGI). Saya tahu itu karena yang diwawancara adalah
gembongnya yang ternyata guru SMA saya. Namanya Pak Iwan. Kami dulu
mengenalnya sebagai sosok Guru Sosiologi yang paling sensasional dan
revolusioner. Saat perhatian semua guru masih berkutat pada masalah
kesejahteraan Pak Iwan sudah melepaskan semua hal itu dengan berpartisipasi
di FAGI yang kurang lebih seperti KAMI-nya gerakan mahasiswa.

Dulu, kami selalu melihatnya mengenakan topi hitam bertuliskan FAGI


lengkap dengan kacamata hitam mirip Don Johnson di Miami Vice, kumis mirip
Antasari Azhar dan motor Honda Supercup 700. Sayang, saya belum pernah
diajar olehnya. Saya hanya sering mendengar ceritanya dari kawan-kawan di
kelas IPS. Beberapa dari kami sempat bercanda dengan menambahkan dua
huruf “N” dan “A” pada topi kebanggaannya itu.

*****

Saya belum paham detail dari berita itu. Saya hanya mendengar berita
sepintas saja. Diberitakan bahwa mereka mengadakan syukuran untuk
kemenangan yang disahkan melalui putusan Mahkamah Agung. Bisa saya
bayangkan bahwa sorak-sorai perasaan gembira para guru yang menggugat
sama riuhnya dengan nyanyian kawan-kawan Imparsial pasca Pidato Presiden
SBY menanggapi kasus kriminalisasi KPK dan aliran dana Century.

Agaknya, keadaan sistem pendidikan nasional masih (dan selalu)


mengalami transformasi tanpa hasil akhir yang maksimal, rasional, dan
memuaskan. Tujuan pendidikan nasional pun yang bermuara pada
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya belum dapat dicapai. Ibarat kata
masih amburadul. Belum ada satu sistem pendidikan nasional yang ajeg dan
menyeluruh. Amanat UUD 1945 belum tunai.

Ajeg berarti statis, tegak. Artinya sistem pendidikan nasional harus


mampu berdiri tegak sebagai satu sistem yang padu dan tidak mudah untuk

95
dibongkar pasang oleh kekuatan apapun-termasuk kekuatan ekonomi.
Menyeluruh artinya sistem itu juga harus mampu memberikan esensi-esensi dari
pendidikan secara merata dan mendalam pada setiap jenjang pendidikan.

Sistem pendidikan nasional itu harus tercermin melalui penyelenggaraan


ujian yang lebih menekankan pada kemampuan dan kompetensi peserta didik.
Saya kurang setuju kalau UN dihapuskan. Bukan karena rasanya tidak pantas
kalau Negara menguji calon generasi penerusnya tetapi lebih kepada
pertimbangan kuantitatif terhadap kompetensi peserta didik.

Saya melihat dengan dihapuskannya UN maka penilaian terhadap


kemampuan dan kompetensi akan mempertimbangkan pada hal-hal yang
bersifat kualitatif. Penilaian tersebut tentu akan melibatkan semua hal yang
berbau subyektif. Kalau ada murid yang selalu dapat ranking 1 dengan nilai-nilai
yang memuaskan setiap ujian sumatif/formatif lalu kemudian ia gagal di UN
maka jangan lantas menyalahkan UN sebagai biang keroknya.

Perlu dilihat pula faktor-faktor lainnya. Faktor mental, psikis, dan kognitif
bisa menjadi sumber masalah lainnya yang belum sempat terdeteksi. Dalam
kasus yang demikian banyaknya, terdapat banyak hal yang bersifat emosional
dalam pengambilan keputusan. UN hanyalah satu tolak ukur sejauh mana
pemahaman peserta didik melalui ujian dengan kualitas soal standar kurikulum
yang berlaku.

Perlu diakui juga bahwa masih terdapat kesenjangan yang sangat jauh
antara proses pendidikan di kota-kota besar dengan di daerah-daerah terpencil.
Itu bukan alasan untuk sebuah penolakan atas satu grand design bernama UN.
Kesenjangan itu dapat diatasi dengan semakin banyaknya forum-forum dan
media sosialisasi guru. Sehingga aksesibilitas seharusnya tidak lagi jadi alasan
untuk sebuah kegagalan.

Jadi jangan heran generasi mendatang akan semakin menganggap


enteng gampang proses pendidikan. Asalkan nilai rata-rata harian tidak terlalu
jelek dan selalu berperilaku menyenangkan maka sudah cukup kriteria untuk
dinyatakan lulus. Malu rasanya mendengar setiap berita dari kondisi pendidikan
bangsa ini yang tak kunjung habisnya bagai perkara korupsi yang masih melilit
negeri ini. Pendidikan bagaikan permainan politik kaum birokrat yang selalu
berubah dalam jangka waktu tertentu. Pendidikan hanya jadi prioritas yang
kesekian saja walau dengan alokasi penyerap anggaran Negara terbesar.

Serius sekali ya, Bung. Lagi-lagi saya berpikir bahwa anda sedang
membaca tulisan saya ini sambil tersenyum. Entah tersenyum kagum atau sinis
karena tulisan ini ditulis oleh seseorang yang pernah menjadi objek pendidikan
dalam karir kependidikannya dan kebetulan pernah bekerja di satu institusi
pendidikan swasta penganut mazhab Cambridge aliran Singapura. Apapun

96
reaksi dari anda saya hargai itu dan saya anggap sebagai partisipasi anda dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa.

Salam dari Pharmindo,

Cimahi, 25 November 2009

NB: Kalau Bung nanti buka sekolah internasional, masih mau ngikutin sistemnya Diknas?

97
Desember
Karir dan Kadal

Mbak,
Tadinya saya mau bahas ini semua di kantor saja, namun entah mengapa
waktu saya main ke ruangan Mbak, saya tidak lihat Mbak disana. Mungkin saya
yang kepagian. Salah saya juga tidak kasih kabar kalau mau mampir.

Beginilah Mbak kegiatan saya akhir-akhir ini. Kalaupun bukan karena


telpon dari seorang kawan yang memberi tahu kalau di kampus kita itu sedang
ada job fair mungkin saya lebih baik meneruskan tidur saja. Karena saya masih
menganggur saya sedikit penasaran untuk sekedar tahu apa yang sedang terjadi
disana.

Seperti biasa, Mbak. Disana penuh sama orang-orang yang kelihatannya


serius benar untuk mencari kerja. Pakaian mereka rapih benar adanya. Mungkin
untukl sekedar menutupi tampang mereka yang benar-benar bertampang
pegawai. Seperti kita, saya dan anda.

Tidak ada salahnya memang berlaku seperti itu. Lagipula bukan untuk
menghadiri acara resmi seperti undangan resepsi pernikahan. Seperti biasa,
mereka nantinya akan menabur asa pada setiap lembar ijazah dan berkas surat
lamaran yang akan segera disebar pada stan-stan pemberi kerja sambil
berharap ada walk-in interview sehingga mereka pun langsung tanggap bahwa
mereka akan mengeluarkan segenap kemampuan terbaiknya.

Kalau dilihat dari perusahaan-perusahaan yang tampil untuk mengaudisi


calon pegawainya memang kelihatan bonafid. Mungkin itu tandanya imaging,
branding, dan positioning yang mereka lakukan dalam setiap kampanye produk
mereka telah berhasil mempengaruhi mindset kita semua. Sehingga kita tidak
perlu repot-repot untuk menentukan perusahaan mana yang punya prospek
bagus. Bukankah itu yang terjadi pada anda ketika memilih untuk berkarir di
sebuah bank swasta berlevel internasional?

Pengalaman saya membuktikan demikian adanya. Bahwa ketika pilihan


untuk berkarir telah diputuskan maka langkah selanjutnya adalah tinggal
menentukan perusahaan tempat dimana kita akan berkarir dan mewujudkan
segala impian professional. Beruntunglah kita hidup di zaman informasi yang
mengalir bagai angin ini. Tidaklah terlalu sulit untuk mencari perusahaan yang
akan mengakomodir semua kebutuhan kita untuk berkarir. Masalahnya tinggal
apakah kita memenuhi kualifikasi yang mereka butuhkan. Kalau memang ya
maka ada angin lalu berlayarlah kita mengarungi dunia karir.

98
Sejauh pengamatan saya, mereka memang membutuhkan orang yang
benar-benar mau untuk bekerja. Lebih-lebih lagi kalau ternyata banyak kandidat
yang masih muda dan baru lulus. Pengalaman bisa dinomorduakan melalui
serangkaian program training dan upgrading. Jadi karena begitu, ada banyak hal
yang menurut saya terlalu menguntungkan pihak perusahaan. Mereka selalu
menuntut produktivitas yang lebih dari pegawainya dengan atau tanpa
kompensasi tambahan yang dijargonkan sebagai “dedikasi dan profesionalisme”.
Ibaratnya mereka terlalu mudah dan gampang sekali untuk dikadalin apalagi di
masa ekonomi serba susah seperti sekarang. Maaf, ini tidak ada hubungannya
dengan adu reptil versi POLRI VS KPK.

Salam dari Pharmindo

Cimahi, 15 Desember 2009

99
Patung dan Eksistensi

Tentu anda semua sudah mendengar dan menyaksikan kabar tentang


Patung Barack Obama di Taman Menteng. Konon, patung itu dibuat untuk
mengenang masa kecil Barack Hussain Obama yang menghabiskan masa 4
tahun sekolah dasarnya di Menteng sana. Bahkan ada semacam joke yang
bilang kalau semua sekolah internasional di Jakarta hampir kehilangan muridnya
karena mereka semua ingin pindah ke SD Asisi Menteng tempat Obama
bersekolah dulu.

Menurut hemat saya, patung ini menandai semakin eratnya hubungan


diplomatik antara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat. Patung itu tidak
hanya menjadi simbol eksistensi Obama semata. Lebih jauh, patung itu menjadi
semacam monumen bagi pengakuan atas keberhasilan Amerika Serikat dalam
menanamkan benih-benih demokrasi dan HAM di Indonesia. Bisa juga patung itu
merupakan hadiah dari petinggi Kecamatan Menteng dan Gubernur DKI untuk
Obama yang sukses membuat nama Menteng dan Jakarta mendunia sehingga
memudahkan promosi pariwisata Enjoy Jakarta-nya DKI. Siapa tahu.

Rupanya bangsa ini telah kehilangan identitasnya sebagai bangsa yang


besar, dilihat dari bagaimana bangsa ini memperlakukan sejarah bangsanya
sendiri. Memang, para tokoh pengisi sejarah bangsa ini punya monumennya
masing-masing. Bung Karno dan Bung Hatta dibuatkan patungnya di Monumen
Proklamasi dan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Korban G30S PKI
dibuatkan Monumen Lubang Buaya.

Namun, mengapa patung Panglima Besar Jenderal Sudirman


ditempatkan di Jalan Sudirman sambil menghormat pada gedung-gedung
pencakar langit simbol keberhasilan kapitalisme? Tidakkah mereka peduli pada
hal ini? Kenapa bukan pahlawan asli Betawi macam Si Pitung itu atau malah Ali
Sadikin, sang gubernur yang benar-benar membangun Jakarta dengan penuh
kontroversi dibuatkan patungnya lalu ditempatkan di Taman Menteng sebagai
landmark Jakarta.

Tidak ada muatan dan esensi lokal dari patung Obama itu. Sehingga
kalau kini terdengar gugatan atasnya mudah-mudahan itu jadi tanda bahwa
nurani kita masih hidup untuk menggugah rasa nasionalisme dan patriotisme
dalam jiwa kita bukan sebagai penanda eksistensi belaka.

Siapakah Obama itu bagi Indonesia? Obama hanyalah Presiden Amerika


Serikat yang belum pernah sekalipun mengunjungi Indonesia. Obama juga
adalah seorang penerima Nobel Perdamaian yang penuh kontroversi karena ia
juga yang menyetujui penambahan 30.000 pasukan NATO di Afghanistan.
Mungkin karena itu juga ia menilai dirinya B+ untuk performancenya sejak

100
mengambil alih jabatan dari Bush Jr tahun lalu. Pada KTT Asean yang
berlangsung tahun ini di Singapura pun Obama tidak menyempatkan singgah di
Indonesia.

Kalau ia nanti jadi singgah apalagi yang akan Negara ini buat? Masih
ingat waktu Bush Jr mampir ke Istana Bogor sambil naik helikopter? Obama
sempat bilang bahwa ia akan berkunjung ke Indonesia tahun depan pada saat
anak-anaknya liburan sekolah. What a nice Daddy!

Kalau sekali nanti anda mampir ke kota Firenze di Italia sana yang ada
patungnya Gabriel Omar Batistuta anda bisa lihat bahwa patung itu dibuat bukan
karena alasan keberadaan dan eksistensi Batistuta yang melegenda di klub
Fiorentina tetapi lebih sebagai simbol penghargaan dan penghormatan kepada
Batigol (julukan Batistuta) yang telah membuat semarak kehidupan kota itu.
Semarak kehidupan yang berasal dari euphoria sepakbola yang menembus
celah-celah dan lorong-lorong gang kecil di setiap sudut kota Firenze.

Bahkan, Batistuta bisa dianggap sama sucinya dengan orang-orang


macam Macchiavelli dan Dante yang juga lulusan Firenze. Maka, ketika Batistuta
meninggalkan Fiorentina untuk bergabung dengan AS Roma tahun 2001,
seluruh Firenze bersedih karena ditinggal pahlawannya. Sempat muncul wacana
untuk menghancurkan patung tersebut namun batal karena mereka menghargai
sejarah-terlebih kehidupan sejarah sepakbola mereka.

Saya kira, begitu juga yang terjadi dengan patung-patung lainnya yang
ada di belahan dunia yang lain. Patung-patung itu dibuat dengan berbagai latar
belakang dan sejarah yang menghiasinya. Patung Lenin di Leningrad, Patung
Stalin di Stalingrad untuk memperingati aksi heroik Pasukan Merah Rusia ketika
mengusir Tentara Jermannya Hitler, Patung Kim Jung Il di Korea Utara sana,
Patung Napoleon, hingga Patung Pemain Sepakbola di Jalan Tamblong
Bandung, bukannya patung seorang yang menunggu kekasihnya*) buatan Seno
Gumira Ajidarma.

Pharmindo, Cimahi, 15 Desember 2009

*)
Cerita tentang patung ini bisa dibaca pada kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma “Iblis Tidak Pernah
Mati”, Galang Press, 2005.

101
CATATAN LAINNYA
Pulang
“Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu” *)

Setiap mau pulang ke Cimahi via Bandung, memang benar lirik lagu
diatas. Ada setangkup haru dalam rindu yang berkelebat. Aku dapat melihatnya
berkejaran sepanjang jalan tol yang membentang dari Jakarta-Cikampek, turun
naiknya ruas Cipularang, hingga datarnya ruas Padalarang-Cileunyi yang
berujung di Pintu Tol Pasir Koja. Perasaan itu begitu megah terasa. Perasaan itu
kian terbawa dalam riuh rendah mesin Hino Primajasa yang terus mengerang
sepanjang perjalanan. Ada sesuatu yang kembali.

Aku selalu datang di Bandung setiap Jum’at malam berada di waktu


dhuhanya. Malam masih perawan dan belum terlalu tinggi. Tapi malam tetap
saja masih gelap. Aku lanjutkan perjalanan pulang ini dengan menaiki angkot
(angkutan kota) Cimahi – Term. Leuwi Panjang yang sudah mengantri di pantat
Hino Primajasa. Menunggu kedatanganku bersama penumpang lainnya.

Ketika penumpang angkot sudah penuh, perjalanan kembali dilanjutkan


melintasi perempatan Pasir Koja yang selalu terendam air setinggi 40-50 cm
setiap kali hujan besar turun disitu. Kemudian, belok kiri ke arah Holis atau
Bunderan Jl. Jenderal Sudirman. Setibanya di Bunderan, aku harus belok kiri ke
arah Pal Tiga atau Cimahi. Kalau kau lurus dari situ kau menuju Jalan Elang,
dimana terdapat Terminal Elang (terminal bayangan) tempat berkumpulnya bis
kota DAMRI jalur 1 Cicaheum – Cibeureum AC/Ekonomi dan jalur 6 Elang –
Jatinangor Patas via Tol/via Cibiru.

Yang menarik, jalur itu bagaikan jalan raya di Amerika sana. Jalan Elang
yang membentang tak lebih dari satu kilometer itu memiliki jalur yang
berlawanan dengan jalur di Indonesia pada umumnya. Yang biasa di kanan, ada
di kiri. Begitupun sebaliknya. Itulah yang aku suka. Aku kenal sekali daerah itu.
Kurang lebih 4 tahun aku selalu menaiki bis kota favorit, DAMRI jalur 6, Elang –
Jatinangor via Tol, satu-satunya angkutan antar kota, antar kecamatan untuk
menuju kampus Unpad dibelahan bumi Jatinangor.

Aku akan mengajakmu jalan-jalan kesana, tapi aku harus menyelesaikan


ceritaku dulu. Setelah belok kiri ke arah Pal 3 itu akan banyak angkutan kau
temui. Macam-macam warnanya. Aku bisa turun disitu dan ganti angkot.
Pilihannya ada dua, Si Hijau Cijerah –Sederhana atau Si Merah Elang-Melong
Asih. Keduanya sama saja dari segi ongkosnya. Namun, Si Hijau mengambil rute
*)
Dari lirik lagu “Yogyakarta”, dinyanyikan oleh KLa Project

102
yang kelewat panjang karena harus melewati pusat kota Cijerah. Tapi, aku lebih
menyukai naik si Hijau ini walau harus sedikit lebih lama menahan rindu. Justru
karena aku ingin menikmati kembali saat-saat dulu waktu masih sekolah. Kisah
perjalananku tidak lepas dari Si Hijau ini.

Sesampainya di Blok 4, aku berhenti sejenak di gerobak pedagang Bubur


Kacang Hijau dan Ketan Hitam khas Madura. Sudah sekitar 2 tahun tukang
dagang itu ada disitu. Disitu juga aku dan Bapak pernah bicara empat mata
tentang sebuah hal. Aku sudah lupa tentang hal itu. Namun, aku tidak akan
pernah lupa sensasi rasanya. Disajikan dalam mangkuk kecil dengan tambahan
kuah santan yang manis seharga Rp. 2000. Lumayan untuk menambal perut
apalagi kalau cuaca Bandung dan sekitarnya sedang diselimuti malam yang
dingin.

Melanjutkan perjalanan, ada beberapa alternatif yang bisa digunakan. Ada


ojek, becak, atau angkot. Tapi karena sudah malam yang ada tinggal ojek atau
becak. Aku tidak pernah memilih satu dari mereka. Aku lebih baik jalan kaki saja.
Lagipula tidak terlalu jauh. Aku bisa rasakan denyut perubahan itu sepanjang
perjalanan melalui gerbang Pharmindo. Tanah lapang itu kini telah jadi ruko yang
berjajar. Ada apotik, studio band, salon, restoran, warnet, dan beberapa masih
kosong tidak terisi. Begitupun komplek real estate yang berada didepannya. Satu
dari penduduknya membuka warung jajan sehingga komplek itu terasa lebih
accessible. Bayangkan, sekitar3-4 tahun yang lalu pengelola komplek
menerapkan system keamanan yang sangat ketat. Bahkan, untuk sekedar
bermain sepeda pun tidak boleh. Apakah gerangan yang telah terjadi dengan
masyarakat disana? Apakah ketakutan dan privasi telah menjadi suatu hal yang
mahal?.

Berjalan kaki tentu akan membuat perutku semakin lapar. Energi yang
dihasilkan dari semangkuk kecil bubur kacang hijau pun rasanya belum cukup.
Namun, aku selalu sabar untuk terus berjalan melewati gang sempit jalan pintas
satu-satunya. Tak lama kemudian, terpampanglah “Jl. Agastya VI Cimahi 40534”
dengan message tambahan dari sponsor: “Hati-hati banyak anak kecil”. Pesan
tambahan itu seperti sudah menjadi budaya bagi penghuni sebuah komplek
perumahan. Tujuannya adalah memperingatkan pengendara agar berhati-hati.
Tapi, pernahkah terpikir olehmu bila suatu saat pesan itu bisa saja diganti jadi
begini: “Anak-anak dilarang main disini.” Untuk komplek perumahan dengan
system blok dan jalan yang lebarnya hanya 5 meter itu aku rasa itu tidak akan
pernah terjadi. Kecuali, dengan satu syarat bahwa penghuni jalan tersebut
semua adalah kakek-kakek dan nenek-nenek.

Terus berjalan, hingga terlihat pintu pagar berwarna orange dengan


pohon mangga yang menutupi tiang listrik. Itulah rumahku. Dari jauh kau bisa
dengar suara pompa akuarium yang tetap menggema dalam keheningan malam.
Setelah kau membuka pagar, mungkin juga kau akan temui seekor kucing yang
akan langsung melompat dari tidurnya dan menunggu di depan pintu masuk. Oh

103
ya, bila kau temui cahaya terang di sekitar teras rumahku yang tipe 36 itu kau
akan jumpai Arwana Irian memberi salam selamat datang padamu. Tentu tidak
dengan gaya yang seperti Tugu Selamat Datang yang menyambutmu di ibukota.
Atau bahkan mengikuti gaya Tukul di Bukan Empat Mata. Ia hanya akan melirik
padamu saja.

Aku mengucap salam dan membuka pintu masuk. Kucing tadi


mendahuluiku sambil berteriak didalam. Ahh… lega hati ini bisa bertemu kembali
dengan Ibu, Bapak, dan Adikku yang satu-satunya itu. Ada satu lagi kebiasaan
yang belum bisa kutinggalkan. Sehabis cium tangan, aku selalu membuka
tudung saji meja makan dan melihat ada menu apa. Hari ini, nampaknya tidak
sesuai harapanku. Hanya ada sayur saja. Tapi itu sudah cukup bagiku. Aku tidak
pernah berharap Ibu akan memasak menu spesial di hari kedatanganku. Aku
sudah tahu. Esok pagi, Ibu akan membuatkan tumis capcay kesukaanku untuk
sarapan.

Kelapa Gading, Jakarta. 26 Mei 2009.

Penulis: Anggi Hafiz Al Hakam


Domisili: Cimahi, Jawa Barat

Tulisan ini dibuat sebagai partisipasi dalam Diary Project Vol.2: Aku dan Kota
Tempat Tinggalku, sebuah online literacy project yang digagas oleh Komunitas
Tobucil Bandung.

104

Anda mungkin juga menyukai