01. A.Rahman Al Hakim (ARAska) - Pesta Sebuah Jalan Bebas Waktu Sepanjang 46
- Musim Alam Terzholim Tangisan Waktu Kilometer
- Prasasti Kehancuran Alam - Dendam Sungai
- Tubuh Alam Tercabik - Stasiun Waktu Kilometer Lima puluh lima
Kerongkongan-kerongkongan kering
H2O menjadi asing
Air keruh teracuni
Hasil olah limbah indrustri
sadarlah !
kami rumput rumput kering merintih
minta langit beri keadilan lingkungan tersisih
sadarlah !
jangan sisakan alam yang telah kurus
pada kami generasi penerus
sadarlah !
bila suatu hutan telah digunduli
mungkin 150 tahun sampai dengan 1000 tahun lagi
kerimbunan mungkin baru akan muncul kembali
tapi kami tiada hidup selama ini
karena tuan tuan telah siapkan lubang lubang kubur
yang menganga di atas bukit dan gunung gunung yang dulunya subur
hanya untuk tambang tambang nafsu perut tuan yang takabur
lubang kubur untuk kami pergi berlibur
di taman taman longsor
pesta air bah hidangan lumpur bubur
sadarlah !
bila kita menzholim alam di sayat-sayat
alam akan membalas dengan qisas yang lebih dasyat
dan tuan tuan yang terhormat
tersenyum selamat dibelakang meja kekuasaan
sementara kami pikul bencana warisan penderitaan
sadarlah !
Pohon pinus terakhir yang kian menguning
daun-daunnya berjatuhan meratapi bumi hening
batang yang tumbang dan rebah di atas tanah kering
yang kian menjadi padang gersang asing
badak terakhir akan tampak jelas hidup menyendiri
merana tiada lagi pasangan birahi
Kayu-kayuku Hutan-hutanku
Kayu-kayu meranti
hutanku hutan hijau pesona tanah tenteram
atap dedaunannya, merindangi lantai-lantainya
beribu satwa, beribu puspa langka
Banjarmasin, 1994
____________
Arus Barito
Banjarmasin, 1994
Adjim Arijadi
Arutmin oh Arutmin
Liang kubur kesengsaraan
Kau tatah emas sepuhan
semegah masjid, gereja, madrasah
kemanusiaan dan jembatan
aspal jalanan
iming-iming boneka mainan
industri usaha
di sebatas liang kuburan
Satui
Kintap
Mulia
Batulicin
Asam-asam
Semenanjung Senakin
Liang kuburmu
Liang tambangmu sungguh elok
Tongkang-tongkang berkemampuan
teknologi canggih
meraup mengangkut
emas hitam penghuni hutan
menumpuk menggunung
di Pulau Laut di Utara sana
Arutmin oh Arutmin
kau angkut pusaka karun
nini datu turunan
dikemas dipajang
di pasaran seantero bumi
North Pulau Laut Coal Terminal
Keren dan Wangi
semerbak cendana orang mati
Arutmin oh Arutmin
Riwayatmu di awal perjanjian
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Mengibarkan panji-panji Republik ini
Bertepuk dada pongah
dengan apa yang kau sebut Mutu
Kalori Tinggi katanya
kandungan Abu Rendah
tak ada lawan
dongak dagu
Akulah Indonesia
Arutmin oh Arutmin
dendangmu di irama sarunai
kematian
kau ancam kehidupan
anak cucu Adam Banua
kedahsyatanmu tak sedahsyat Tuhan
kau ciptakan sendiri
hari akhir zaman.
Adjim Arijadi (Kabupaten Banjar, 7 Juli 1940). Penyair, dramawan, sutradara, penulis
naskah teater, film dan sinetron ini adalah pendiri sekaligus pimpinan Sanggar Budaya
Kalimantan Selatan yang masih eksis hingga kini sejak didirikan tahun 1970-an.
Sajaknya terdapat dalam sejumlah antologi bersama, seperti Air Bah (1970), Jabat Hati
(1973), Jejak Berlari (1974), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).
Ahmad Fitriadi F
Lelaki
Lelaki itu menuju puncak gunung batu
ditikamnya rembulan
dipadamkannya matahari
dibungkamnya halilintar
maka bagi dia ada pesta suka-cita
Wahai saudaraku,
Hari ini kemenanganku, kemenangan kita, kemenangan
para leluhur, dedemit, hantu-hantu, dan para jin
Puncak gunung batu telah kita taklukkan
Rengkuhlah kenikmatan segera
Requiem Meratus
Bagi Joko Pekik
Madah Meratus
Nyanyian Hutan
2006
A. Kusairi (Rantau, 11 Januari 1959). Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Terbuka. Menulis sajak, cerpen, naskah drama, dan esai, sejak 1979. Sajak-
sajaknya terhimpun dalam antologi bersama Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Jejak
Sunyi Tsunami (2005), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).
Ali Syamsudin Arsi
Sebamban – Batulicin
Dendam Hutan
Andi Jamaluddin AR. AK (Pagatan, 14 Februari 1964). Penyair, guru, dan aktivis ini
sudah aktif menulis sajak sejak tahun 1980-an. Sekarang menjabat Kepala SD Negeri
Rantau Panjang, Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu. Buku kumpulan
sajak tunggalnya Kehidupan, Domino, Losmen, Matahariku, Pidato Seekor Kakap, dan
Bersujud. Beberapa sajaknya juga termuat dalam antologi bersama Wasi (1999). ZikZai,
adalah buku puisi tunggalnya yang siap diterbitkan.
Aria Patrajaya
Hutan Kemarau
11 September 1997
Aria Patrajaya (Banjarmasin, 8 Mei 1962). Penyair, cerpenis, dan seorang guru. Kerap
memenangkan lomba penulisan sajak dan cerpen se-Kalimantan Selatan. Sajak-sajaknya
dimuat dalam antologi bersama Festival Puisi Kalimantan (1992), Gerbang Pemukiman
(1998), Wasi (1999), Cakrawala (2000), dan Narasi Matahari (2002). Sekarang bergiat
di komunitas Kilang Sastra Batu Karaha, Banjarbaru.
Arsyad Indradi
Rangka Kenyah
Rangka Kenyah dangsanak etam
Dangsanak puaka puaka di riam riam
Darahnya getah kayu talikan
Rangka Kenyah cucu Damang Ebbeh
Pemimpin legendaris pegunungan meratus
Mengajarkan pada etam
Bagaimana mencintai alam
Mengharamkan kotoran narkoba
Mengharamkan budaya ngerpe
Dan segala tipu muslihat
Mengingatkan pada etam
Jangan terbuai dengan hasil teknologi
Karena etam hanya bisa membeli dan memakai
Tetapi tidak bisa menciptakannya sendiri
Mengajarkan pada etam
Jangan menyusahkan guru guru etam
Jangan bikin pusing masyarakat lingkungan
Rangka Kenyah
Rangka Kenyah putra Indonesia
Telah tuan tuan lupakan
Tanah ladang Rangka Kenyah
Tuan gusur tanpa belas kasihan
Kemudian tuan buat pemukiman trans
Tanpa beretika sama sekali
Rangka Kenyah
Seribu Rangka Kenyah menatap langit
Nyanyian seribu duka
Di puncak puncak pegunungan meratus
Dangsanak
Pegunungan meratus inilah
Tumpah-darah etam yang tersisa
Dari titis nenek moyang
Maka janganlah dangsanak bikin
Eksploitasi kawasan hutan lindung
Karena dangsanak menciptakan wabah anak sima
yang berlidah halimatak
yang melatik latik di daun daun kehidupan etam
Dan janganlah dangsanak bikin
Pertambangan batubara di tanah banyu etam
Karena dangsanak menciptakan wabah bumburaya
Yang bertaring babi hutan
Yang mengaduk ladang kehidupan etam
Yang membongkar kubur kehidupan etam
Maka dengarkanlah suara hati nurani etam
Demi Indonesia tercinta
Banjarbaru, 2000
_____________
Yulan ya lalalin
Dahan mana aku berhinggap
Awan mana aku bersayap
Matahari mana aku berterang
Sawang jadi bayangbayang
Yulan ya lalalin
Ke mana senyap ke mana ratap
Ke mana kepak ke mana retak
Dalam sembilu mesin gergaji
Yulan ya lalalin
Hutan beratus tahun
Dibabat habis
Batubara dikikis
Untuk kekayaan tuantuan
Kami tercampak
Ke lembahlembah pengasingan
Terusir ke padangpadang perburuan
Kabibitak
Anak sima
Halimatak
Bumburaya
O apa bedanya dengan tuantuan
Ladang kehidupan
Kubur kehidupan
Ruh nenek moyang menyumpah
Kalimantanku punah
Banjarbaru, 2002
Arsyad Indradi
Banjarbaru, 2001
Arsyad Indradi (Barabai, 31 Desember 1949). Penyair, seniman tari dan musik ini
menyandang dua gelar kesarjanaan dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(STKIP) PGRI Banjarmasin, jurusan Bahasa Indonesia dan Seni, dan FKIP Unlam
Banjarmasin, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sekarang pengajar mata kuliah seni
tari dan drama FKIP jurusan PGTK/PGSD Unlam Banjarbaru. Karya sajaknya terbit
dalam sejumlah buku kumpulan tunggal, seperti Romansa Setangkai Bunga (2005),
Nyanyian Seribu Burung (2006), dan Narasi Musafir Gila (2006). Sajak-sajaknya juga
dimuat dalam antologi bersama Jejak Berlari (1970), Tamu Malam (1992), Jendela
Tanah Air (1995), Rumah Hutan Pinus (1996), Gerbang Pemukiman (1997), Bentang
Bianglala (1998), Cakrawala (2000), Bahana (2001), Tiga Kutub Senja (2001), Bulan
Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Baturai Sanja (2004), Dimensi (2005),
Garunum (2006), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), dan 142 Penyair Menuju Bulan –
Antologi Puisi Penyair Nusantara (2006). Kini bergiat di Kelompok Studi Sastra
Banjarbaru dan mengelola penerbitan buku-buku sastra.
Bakhtiar Sanderta
Mantera Terakhir
Mancar Mahatala, Mahatala mancar
Hancur daging, mengalir dalam darah wenang Mahatala
Uria empunya kata Mahatala yang dikata
Siapa yang aku tunduk yang aku dalam daging
Siapa yang aku tunduk yang aku dalam darah
Mustahil Mahatala tunduk kepadamu
Mustahil yang dikata tunduk kepadamu
_____________
dangsanak = Saudara
Kucapa = Orasi
Bakhtiar Sanderta
Apakah para pewaris cuma dia, cuma mereka, cuma orang-orang itu
Ketika rakus dan tamak bersembunyi di balik panggung birokrasi
Duh, lelahnya generasi-generasi dididik supaya bisa digiring
Sambil mulut dibungkam, lalu Meratus pun digadaikan
dan seisinya, seludesnya diangkut ke sana
Sebagian dan sebagian untuk para penggadai
Kebodohan macam apa, macam mana ketika anak-anak digilas sejarah
Sejarah orang-orang gila!
Bakhtiar Sanderta (Awayan, 4 Juli 1939). Sarjana Fakultas Keguruan Unlam dan
mantan Kepala Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan (1985-1995) ini menguasai
hampir semua cabang seni, khususnya seni tradisional lisan Kalsel, seperti mamanda,
lamut, bakisah, dan wayang gong. Selain sajak yang ditulisnya dalam bahasa Indonesia
dan daerah (Banjar), ia juga produktif menulis cerpen berbahasa Banjar, pantun, dan
naskah drama sekaligus menyutradarainya. Kumpulan sajak tunggalnya Pasar Terapung,
Telabang Loksado, Bunda dengan Lentera di Tangan, dan Pohon Maksiat. Sajak-
sajaknya ikut dimuat dalam berbagai antologi bersama, seperti Panorama (1974),
Dengarlah Bicara Kami (1984), Kelahiran Sang Cahaya (1985), Banjarmasin dalam
Puisi (1987), Festival Puisi Kalimantan (1992), Jendela Tanah Air (1995), Puisi Banua
Banjar (1998), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006). Tahun 2008, menerima
penghargaan dari Pemerintah RI melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
sebagai maestro seni tradisi. Kini bergiat di Lembaga Budaya Banjar. Penyair ini
meninggal di Banjarmasin, 6 Maret 2008.
Burhanuddin Soebely
Konser Kecemasan
-- iiii...laaahhh
batang tajunjung batang sasangga
daunnya maharing langit
iii...laaahhh
di langit bajunjung kaca
di tanah barunta anggit --
hutan-hutan tiada
huma-huma tiada
tanah-tanah rekah
mengalirkan nanah
pancur-pancur jelaga
sungai-sungai berbisa
-- iiii...laahhh
langit baputar langit baguncang langit baradin
tanah bargana bakumpang hati carincing gading
basamban darah batunjuk parang batunggang angin –
____________
Megatruh
iiii...laaahh
Nining Bahatara
Urang panjanji maut panjanji nyawa
Di ruang sungkul di ruang balai
“ iiii...laaahhh
panjampaian janji panutusan hajat
maut dunia maut karama
sambut ka Nining Raja Kuasa
Loksado, 2004
_____________
Bumi Menggerutu
Dwi Putri Ananda (Pamekasan, 10 Februari 1987). Alumni SMA Negeri 1 Banjarbaru
ini di samping produktif menulis sajak juga aktif berteater dan musikalisasi puisi. Sajak-
sajaknya diikutsertakan dalam antologi penyair Banjarbaru Bumi Menggerutu (2005).
Kini bergiat di komunitas Kilang Sastra Batu Karaha.
D. Zauhidhie
Hutan
Orang Gunung
D. Zauhidhie (Muara Teweh, Kalteng, 24 Agustus 1934). Menulis sajak, cerpen, esai,
dan naskah drama. Antologi sajaknya yang telah terbit adalah Imajinasi (1960) dan Hari
Sudah Senja (1986). Antologi bersama yang memuat sajaknya, antara lain Perkenalan
Dalam Sajak (1963), Pesta Seni 1974 (Dewan Kesenian Jakarta, 1974), Festival
Desember (DKJ, 1975), Tanah Huma (Pustaka Jaya, Jakarta, 1978), Antologi Puisi
ASEAN (DKJ, 1978), Temu Penyair 10 Kota (DKJ, 1982), Tonggak II (PT. Gramedia
Widya Sarana, Jakarta, 1989), dan Festival Puisi Kalimantan (1992). Penyair ini
meninggal di Kandangan, 12 Juni 1984.
East Star from Asia
Banjarbaru, 1990
East Star from Asia, adalah nama pena dari Qinimain Zain (Kandangan, 21 Mei 1965).
Sarjana Fakultas Pertanian Unlam Banjarbaru juga dikenal sebagai ahli strategi dengan
istilah ‘paradigma TQZ (Total Qinimain Zain)’. Menulis sajak, cerpen, esai, dan opini
sejak tahun 1980-an. Beberapa sajaknya dimuat dalam antologi bersama Taman
Banjarbaru (2006).
Eddy Wahyuddin, S.P.
Meratus Berduka
meratus berduka
satwanya menangis
meratusku berduka
ketika kemerdekaan dihanyutkan
meratusku berduka
meratusku terluka
meratusku
ketika burung-burung meninggalkan sarangnya
Kotabaru, 1996
Eko Suryadi WS
Di stasiun waktu
Kilometer lima puluh lima
Kita menjual mimpi
melupakan doa dan kasih sayang para leluhur
hutan telah kita punahkan
rumah-rumah kita gergaji
sungai-sungai kita sempitkan kuburnya
kota kita tenggelamkan
Kotabaru, 2005
Eko Suryadi WS
Dendam Sungai
Mei 2000
Eko Suryadi WS (Kotabaru, 12 April 1959). Lulusan pasca sarjana Universitas Dr.
Soetomo, Surabaya, dan sekarang bekerja di lingkungan Pemerintah Kabupaten
Kotabaru. Buku sajak tunggalnya yang telah terbit adalah Di Balik Bayang-bayang
(1982), Sebelum Tidur Berangkat (1983), dan Di Batas Laut (2005). Sejumlah sajaknya
juga termuat dalam antologi bersama Dahaga – B. Post 1981 (1982), Ulang Tahun
(1984), Tamu Malam (1993), Kesaksian (1996), Wasi (1999), Kasidah Kota (2000),
Jembatan (2000), Reportase (2004), Stasiun Waktu Kilometer Lima puluh lima (2005),
dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006). Kini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia
(KSI) Kabupaten Kotabaru, sebagai Ketua.
Eza Thabry Husano
1983
Eza Thabry Husano
Banjarbaru, 2000
Eza Thabry Husano
Siklus
1985
Eza Thabry Husano (Kandanga, Kabupten HST,, 3 Agustus 1938). Menulis sajak,
cerpen, naskah drama, dan esai. Buku sajak tunggalnya Rakit Bambu (1984), Surat Dari
Langit (1985), Clurit Dusun (1993), dan Aerobik Tidur (1996). Sejumlah antologi
bersama juga memuat sajak-sajaknya, antara lain Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat
(1982, antologi berdua dengan Hamami Adaby), Festival Puisi Kalimantan (1992),
Jendela Tanah Air (1995), Getar (1995), Getar II (1996), Bangkit III (1996), Gerbang
Pemukiman (1997), Wasi (1999), Datang Dari Masa Depan (1999), Cakrawala (2000),
Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (2000), Bahana (2001), Tiga Kutub Senja (2001), Narasi
Matahari (2002), Sajadah Kata (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), La Ventre de
Kandangan (2004), Baturai Sanja (2004), Bulan Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman
(2004), Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005), Perkawinan Batu (DKJ, 2005), dan
Seribu Sungai Paris Barantai (2006). Kini bergiat di komunitas Kilang Sastra Batu
Karaha yang didirikannya sejak 1996.
Fitryani
Sebatung Menangis
Pedih perih
Kubawa berlari
Berlari tak punya kaki
Napas pun tiada
Karena aku hanya
Tanah yang menonjol
Dari perut bumi
Temanku ada
Rumput semak belukar pepohonan
Mereka bernapas
Tak bisa jalan
Aku terlindung
Teduh dan tenang
Kini, temanku dibabat habis
Diterkam macan bergigi besi
Perutku dibongkar
Dikeruk dikikis
Katanya emas hitam
Membawa rezeki
Tak peduli perutku robek
Lubang-lubang menganga
Penebang liar
Penambang liar
Tak peduli
Asal kantong berisi
Temanku ditebang habis
Mati
Megaku berangsur pupus
Kulitku gundul
Temanku penyanggah banjir
Kini, aku menangis
Merana merintih pilu
Ke mana mengadu?
Kotabaru, 2005
Hujan turun
Tanah berdebu
Gunung-gunung menjelma lembah
dan bukit-bukit berubah arah
Menangislah!
Menangislah sekarang,
mumpung ceritaku belum jadi kenyataan
Rumah-rumah di sebelah
rumah kita, dan rumah kita tentunya,
adalah gunung-gunung baru
di tengah kota
Orang-orang memindahkannya
batu demi batu; tanah, pasir
Hajriansyah (Banjarmasin, 10 Oktober 1979). Penyair dan pelukis produktif ini adalah
alumni MSD (Modern School of Design) Jogjakarta dan ISI (Institut Seni Indonesia)
Jogjakarta, Program Studi Seni Lukis. Semasa kuliah menjadi Ketua Keluarga
Mahasiswa Seni Lukis (KMSL) ISI, dan sering berpameran tunggal lukisan-lukisannya.
Jejak Air merupakan buku sajak tunggal pertamanya yang terbit tahun 2007. Antologi
sajaknya bersama penyair M. Nahdiansyah Abdi adalah Jejak-jejak Angin (2007). Kini
mengelola Tahura Media, sebuah lembaga dengan visi pengelolaan sumber daya ekonomi
untuk pengembangan budaya Banjar, penerbitan dan event organizer.
Hamami Adaby
Aku Menulis
3 Mei 2005
Hamami Adaby (Banjarmasin, 5 Mei 1942). Pensiunan PNS yang pernah menjabat
Kepala Kantor Departemen Penerangan di Kabupaten Tabalong dan Kabupaten Barito
Kuala, Kalimantan Selatan ini menghimpun sajak-sajaknya dalam antologi Desah (1984),
Senja (1994), Iqra (1997), Kesumba (2001), Dunia Telur (2001), Nyanyian Seribu Sungai
(2001), dan Bunga Angin (2002). Antologi bersama yang memuat sajaknya adalah
Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat (1982), Bunga Api (1994), Bahalap (1995),
Pelabuhan (1996), Jembatan Asap (1998), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000),
Tiga Kutub Senja (2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam
(2003), Anak Zaman (2004), Uma Bungas Banjarbaru (2004), Baturai Sanja (2004),
Bulan Ditelan Kutu (2004), Dimensi (2005), Bumi Menggerutu (2005), Garunum (2005),
Seribu Sungai Paris Barantai (2006), dan 142 Penyair Menuju Bulan (2006). Kini
bergiat di Kelompok Studi Sastra Banjarbaru.
Hardiansyah Asmail
Malam Malaris
Meratus Berduka
Ritus Meratus
Kandangan, 2006
Hardiansyah Asmail
dan bertindak atas dasar hukum tiang layar yang memegang teguh
pada praduga kecipak riak tepi pantai
Sekarang aku ingin bertanya apakah satu juta hektar hutan yang kau
babat dalam sekali kepak sayapmu berdasar pada aspirasi
burung-burung atau demi menegakkan keberadaan hukum tiang
layar yang kau agungkan itu
Hardiansyah Asmail (Kandangan, Kabupten HST, 1 Oktober 1960). Guru SMP Negeri
7 Kandangan. Buku sajak tunggalnya Bawanang (1996) dan Kembara (1997). Sajak-
sajaknya antara lain terhimpun dalam antologi Jendela Tanah Air (1995), Meratus
Berduka (2000), Jembatan (2000), La Ventre de Kandangan (2004), dan Seribu Sungai
Paris Barantai (2006). Kini bergiat di Posko La-Bastari Kandangan.
Harie Insani Putra
Harie Insani Putra (Banjarmasin, 25 Februari 1981). Selain sajak juga produktif
menulis cerpen. Cerpennya “Rahasia Sedih tak Bersebab” menjadi pemenang pertama
lomba menulis cerita pendek se-Kalimantan Selatan 2006, dan dimuat dalam antologi
Kau tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih tak Bersebab (2006). Sajaknya juga ikut
dalam antologi Dimensi (2005). Kini bergiat di Kelompok Studi Sastra Banjarbaru dan
redaktur di buletin sastra WaTas.
Hijaz Yamani
Dalam Pesawat
(Banjarmasin – Kotabaru)
1980
Hijaz Yamani
Riwayat 1
1982
Hijaz Yamani (Banjarmasin, 23 Maret 1933). Menulis sajak, cerpen, naskah drama, esai
sastra dan budaya. Pendiri Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalimantan Selatan
ini juga mengasuh Ruang Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni, serta Ruang Sastra dan
Budaya pada RRI Nusantara III Banjarmasin hingga akhir hayatnya. Di tahun 1980-an
juga menjadi redaktur ruang sajak ‘Dahaga’ harian Banjarmasin Post. Sajak-sajaknya
terhimpun dalam beberapa antologi bersama, di antaranya Perkenalan di Dalam Sajak
Penyair Kalimantan (1963), Panorama (1974), Pesta Seni (Dewan Kesenian Jakarta,
1974), Pesta Puisi (DKJ, 1975), Tanah Huma (Pustaka Jaya, Jakarta, 1978), Temu
Penyair 10 Kota (DKJ, 1982), Kilau Zamrud Khatulistiwa (1984), Tonggak (Jilid II,
editor Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987), Bosnia Kita (1992), Tamu Malam
(1992), dan Jendela Tanah Air (1995). Percakapan Malam merupakan kumpulan sajak
tunggalnya yang diterbitkan tahun 1997. Sebagai seorang politisi, ia pernah menjadi
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kota Banjarmasin
dan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang pertama di
Kalimantan Selatan. Selama 25 tahun lebih berkiprah di lembaga legislatif sebagai wakil
rakyat. Meninggal dunia di Banjarmasin, 17 Desember 2001.
Ibramsyah Amandit
Jembatan Asap
Meratus Bertutur
Cinta, belajarlah untuk mencinta. Jika hari ini burung-burung enggan beterbngan, dan
hutan-hutan tak lagi memperdulikan rimbunnya dedaunan, engkau yang mengurai air
mataku diantara hitamnya batu-batu, menakar aroma nafasmu di cawan-cawan
peradaban
Tapi perawanku telah pergi, menyisakan debu-debu yang luruh dalam banjir air mata
anak cucu kita, lahan-lahan kosong, gersang, dan terbuang, memformulasikn bahasanya
untuk meratapi keangkuhan gedung-gedung yang menggerayangi wajahnya yang
semakin tak berdaya
“Bakarlah indahnya dedaunan dan kicau riang populasi hewan-hewan!” teriakmu
(kita senantiasa dikeramas roh pohon-pohon ketika mesin air matanya mengantarkan
sesaji ke meja-meja purba yang memetakan nafas kekuasan di laci-lacinya)
Ribuan anak-anak berlarian di antara perih dan lapar, memahat cinta di lahan-lahan
kering dan aroma kemiskinan yang tak juga selesai, kemarau menaburkan daun-daun
kering di atas jenazah sungai
“siapa yang peduli?” desaknya pada irama nasib yang mempertaruhkannya pada rumah-
rumah kaca yang kian menambah volume panas di wajah bumi
Oh, pedih nian traktor-traktor keserakahan merampas denyut nadi kehidupan hutan-
hutan kita, jelmakan lahan-lahan terbuka tanpa nama!
Imraatul Zannah, dengan nama pena Annisa (Kandangan, Kabupten HST, 2 Mei 1982).
Dari Madrasah Aliyah Darul Ulum Kandangan, melanjutkan ke PONPES Darussalam
Martapura. Buku kumpulan sajak tunggalnya adalah Epilog Hari Ini (2002), dan Jika
Cinta Telah Menyapa (2004). Sajaknya yang terhimpun dalam antologi bersama antara
lain Potret Tiga Warna (2002), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam
(2003),Bulan Ditelan Kutu (2004), Bumi Menggerutu (2005), Seribu Sungai Paris
Barantai (2006), Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006),
Kugadaikan Luka. (2007). Kini dia sudah kembali kekampung halamannya di
Kandangan.
Kandangan, 12 Desember 2008
Isuur Loeweng S
Ibu, Sebenarnya
Hutan Ini Milik Siapa?
ibu
kenapa
sekepak mata memandang
tak lagi aku
melihat indah jajar galam
ulin dan gaharu
ibu
kenapa tanah-tanah disayat-sayat
dikeruk, lalu
batu-batu
diangkut dengan kotak-kotak
yang meraung gila
kenapa kita
diam!
kapan kita akan hentikan
makhluk-makhluk bengis
yang merebut milik kita
ibu?
ah, ibu
coba lihat,
kenapa yang berdiri di tanah-tanah kita
bukan nenek-moyang kita
tapi
orang-orang tak sedarah dengan kita
ibu
bukankah hutan-hutan ini
punya nenek-moyang kita
tapi!
oh ibu
sebenarnya, ini hutan siapa punya
hutan ini milik siapa
ibuu!
kalau saja,
kami masih punya semangat
untuk menciptakan bibit ulin
tanah sebelah mana
yang harus kami gali
bopeng-bopeng berhamburan
di setiap sudut katulistiwa,
seakan ada perjanjian!
di sini kita harus timbun
air mata
padahal tanah-tanah
itu hak anak-cucu kita
lalu esok
ke mana mereka meneduhkan hati
Menangisi Airmatamu
2000
Jamal T. Suryanata
2000
Meratus
Lisa Yuliani, puisinya dalam antologi ini adalah puisi yang masuk dalam 10 puisi
nominasi nonranking lomba cipta puisi pelajar se-kabupaten Balangan tahun 2008. kini
bermukim di Paringin, kabupaten Balangan.
Maman S. Tawie
begitulah
ceracau anggang yang kusekap dalam butah
menuntun langkahku meretas tanah basah
22 April 2000
Maman S. Tawie
Di Lembah Meratus
___________
Ning Diwata : sebutan untuk Tuhan bagi suku Dayak Bukit
di pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan.
butah : wadah dari anyaman purun, bamban atau rotan.
banua lima : sebutan untuk lima Kabupaten di Kalimantan Selatan
yang terdapat di sepanjang lereng pegunungan
Meratus sebelah barat, yaitu: Tapin, Hulu Sungai
Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara
dan Tabalong.
andesit : jenis batu gunung
Turun dayang : nama jenis anggrek di lembah Meratus
patilarahan : alam gaib tempat roh-roh para leluhur Dayak Bukit.
bawanang : pesta kemenangan
sintak : tarik (bahasa Banjar).
balai : rumah panjang adat Dayak Bukit.
balian : dukun.
Mambur : konon adalah raja dukun suku Dayat Bukit
yang dianggap setingkat dewa.
bilaran : jenis tumbuhan merambat/menjalar.
lilihi : bunga khas pegunungan Meratus.
kasturi : jenis buah asam yang dijadikan maskot flora
Kalimantan Selatan.
Maman S. Tawie (Lokpaikat, Kabupaten Tapin, 25 September 1957). Selain sajak juga
menulis cerpen, esai dan kritik sastra. Menghimpun sajak-sajaknya dalam beberapa
manuskrip Sajak-sajak Dahaga (1981), Dinding Kaca (1982), dan Kebun Di Belakang
Rumah (1995). Nyanyian Dusun merupakan buku kumpulan sajak pilihannya yang
sedang dalam proses untuk diterbitkan. Sajak-sajaknya dimuat pula dalam beberapa
antologi bersama Dahaga – B. Post (1981), Terminal (1984), Elit Penyair Kalsel 1979-
1985 (1986), Banjarmasin Dalam Puisi (1987), Puisi Indonesia 87 (1987), Harkat
Kemanusiaan (1990), Tamu Malam (1992), Festival Puisi Kalimantan (1992),
Pemberontak yang Gagal (1998), Wasi (1999), Datang Dari Masa Depan (2000), Malam
Palestina (2000), Perkawinan Batu (2005), Aku Cuma Punya Kata (2006), dan Seribu
Sungai Paris Barantai (2006). Tahun 1996 mendirikan “Forum Diskusi Sastra”
(FORDIAS) dan menjabat Ketua hingga sekarang. Di samping ketekunannya mengelola
dokumentasi sastra, ia juga menjadi Redaktur Pelaksana majalah bulanan Tunggal
Dharma Visudha (TDV) yang diterbitkan Humas Polda Kalsel.
Micky Hidayat
Hutan di Mataku
sebuah hutan
tak bernama
tak berpeta
tak terbaca
terhampar di anganku
sebuah hutan
tak berpohon
tak berakar
tak berdahan
tak beranting
tak berdaun
terbakar di jantungku
sebuah hutan
menjerit-jerit
melolong-lolong
mengerang-erang
meraung-raung
merintih-rintih
terkapar
di lorong jiwaku
sebuah hutan
menjelma jadi api, asap,
bara, dan puing
berserakan
di ruang
sunyiku
sebuah hutan
adalah luka adalah duka
sebuah hutan
adalah perih adalah pedih
sebuah hutan
menjadi hujan di mataku
menderaskan bencana
berkepanjangan
Banjarmasin,2005
Micky Hidayat
Terimalah gelegak air bah amarahku ini sebagai tumbal dan ganjaran atas
keserakahan, kerakusan dan kesewenang-wenangan manusia
memerlakukan keseimbangan dan kelestarian alam. Jangan kau sesali dan
tangisi lagi tragedi alam ini. Segalanya kulumatkan, kululuhlantakkan,
kuhancur-leburkan! Jangan kau cari tempat mengungsi ke bukit-bukit dan
gunung-gunung, sebab bukit dan gunung pun sudah lenyap
kutenggelamkan. Tiada guna lagi kau cari kapal Nuh penyelamat
nyawamu. Jangan kau cari lagi rahim kehidupan, sebab kehidupan telah
tiada. Semuanya telah kutuntaskan!
Banjarmasin, 2007
Micky Hidayat
O, Meratus nestapa
Masih pantaskah aku menyebutmu cantik rupawan
Teguh mempertahankan tradisi warisan
Petuah para leluhur-moyang
Menjaga mahkota keperawanan tegar bertahta
Terhindar dari segala marabahaya dan bencana
O, Meratus sengsara
Aku pun tersentak mendengar keluh dan isak-tangismu
Telah aku saksikan hutan dan isi perutmu dijarah membabi-buta,
tanpa akal dan nurani. Telah aku saksikan raungan gergaji mesin
dengan buasnya menyembelihmu tanpa ampun. Telah aku
saksikan buldoser mengerang-erang menumbangkan
keperkasaanmu, tanpa kompromi, dengan bahasa keserakahan
dan kesombongan manusia. Maka aku pun tak sanggup lagi
bertanya tentang hari depanmu. Karena hari depanmu adalah
buldoser, eksavator, chainsaw, dump truk, tronton raksasa,
kontiner, tongkang, ekspor nonmigas, dan mesin-mesin
peradaban. Karena hari depanmu telah menjelma virus teknologi
super canggih yang bersemayam di jantungku. Karena hari
depanmu hanyalah sebuah kehancuran; erosi, longsor,
kolam-kolam raksasa galian batubara tanpa reklamasi, banjir
bandang, kobaran api, kabut asap, suara bising, keputusasaan,
rasa dendam dan amarah purba.
Karena hari depan bagimu hanyalah ketidakberdayaan
Bahkan sejarah pun tak lagi mencatat
Bahwa keperkasaan alam pernah kau miliki
Juga hamparan hutan yang asri.
Banjarmasin, 2000
Micky Hidayat (Banjarmasin, 4 Mei 1959). Semasa kuliah di Fakultas Teknik Unlam
aktif di MAPALA (Mahasiswa Pencinta Alam) dan LSM Kompas Borneo. Selain sajak
juga menulis esai sastra, kritik sastra, dan reportase. Tulisannya dipublikasikan di
berbagai media massa lokal dan nasional. Kumpulan sajak tunggalnya Percakapan dalam
Diam (1982), Jalan Sunyi (1985), dan Meditasi Rindu sedang dalam proses penerbitan.
Sejumlah sajaknya juga dimuat dalam antologi bersama, antara lain Penyair ASEAN
(Bali, 1983), Puisi Indonesia ’87 (Dewan Kesenian Jakarta, 1987), Kul Kul (Bali, 1992),
Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia (Solo, 1995), Datang Dari Masa Depan
(Tasikmalaya, 2000), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (Jakarta, 2000), Ragam Jejak Sunyi
Tsunami (Medan, 2005), Perkawinan Batu (DKJ, Jakarta, 2005), Kolaborasi Nusantara
dari Banjarbaru (Jogjakarta, 2006), 142 Penyair Menuju Bulan (Banjarbaru, 2006),
Medan Puisi – Antologi Temu Penyair Internasional (Medan, 2007), Cinta Disucikan,
Kehidupan Dirayakan (Bali, 2007), dan beberapa antologi bersama penyair Kalsel.
Selama sepuluh tahun lebih menjadi pengurus di Dewan Kesenian Kalimantan Selatan
(Ketua Komite Sastra), kemudian mengundurkan diri dan kini lebih berkonsentrasi
mengelola Pusat Dokumentasi Sastra, serta bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI)
Banjarmasin dan KSI Pusat periode 2008-2011, menjabat Ketua III.
M. Nahdiansyah Abdi
Sekali latah
Ramai-ramai menghujat koruptor
Ramai-ramai menghujat pembalak
2007
M. Nahdiansyah Abdi
2007
***
Sepetak huma di lereng bukit menjala sepi musim matahari.
Lelaki sederhana melambai dan tersenyum padaku. “Inilah
kehidupan kami: Sebuah pondok tak berdaun pintu.”
Hanya dari puncak bukit dapat kau saksikan bagaimana
angin membersihkan langit.
Meratus, 2000
M. Rifani Djamhari (Margasari, 8 Juli 1959). Alumni Jurusan Tanah Fakultas Pertanian
Unlam Banjarbaru ini adalah seorang praktisi di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup
Universitas Lambung Mangkurat (PPLH-Unlam) Banjarbaru. Menulis sajak, cerpen, esai
sastra, artikel kebudayaan dan lingkungan hidup yang dipublikasikan di media cetak lokal
dan nasional. Buku sajak tunggalnya adalah Oda dan Doa (1977), Lanskap Laut (1979),
Sajak-sajak (1980), Sajak Jambon Buat Dik Ami (1981), Luka (1982), dan Surat Terbuka
dari Laki-laki dengan Vonis Mati (2004). Antologi bersama yang memuat sajak-sajaknya,
antara lain Tiga Karangan Sajak Perjuangan Sayembara Mengarang Hari Pahlawan
(1977), Bandarmasih (1980), Pesta Baca Puisi (1980), Antologi Puisi Penyair Fakultas
Pertanian Unlam Banjarbaru (1986), Tamu Malam (1992), Festival Puisi Kalimantan
(1992), Jendela Tanah Air (1995), Rumah Hutan Pinus (1996), Gerbang Pemukiman
(1997), Wasi (1999), Bahana (2001), Anak Zaman (2004), Taman Banjarbaru (2006),
dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006). Kini bergiat di Keluarga Penulis Banjarbaru
(KPB), Forum Taman Hati (FTH) Banjarbaru, dan mengelola Pusat Dokumentasi Sastra
Budaya dan Lingkungan (PDSBL) Jerami Banjarbaru.
M.S. Sailillah
Yang hilang
Yang tenggelam
Yang digelontor dikikis
Yang hanyut disapu banjir
Adalah kau saudaraku
Wajah Telanjang
wajah-wajah niskala
telah menenggelamkan matahari sebelum senja
dihijabkannya mata di belantara birahi
dan menangislah hutanku
masya allah,
tersapu banjir di belia usia waktu
yang telah mempertaruhkan senyum dengan cekikikan iblis
maka terbukalah pintu neraka
kotaku terbenam air di mana pun datang
masya allah,
aurat siapa yang menggelepar di kolam neraka
disaksikan gapai-gapai bara membakar
tapi tak ada tangan mengulur
karena mulut telah lama terkunci
wahai
sebelum Allah sentakkan benang kasih rahimnya
dari sulaman sutra hatimu
tutuplah pintu durjana dengan iman
tanpa menoleh tanpa lirik
lalu senyumlah dengan istigfar
banjir dan air adalah tanda teguran
M.S. Sailillah (Pelaihari, 19 Juni 1953). Sarjana FISIP Universitas Islam Kalimantan
(UNISKA) Banjarmasin ini juga seorang aktivis teater. Menulis sajak, cerpen, esai sastra,
dan naskah drama. Antologi sajak tunggalnya Titian (1981) dan Saat-saat yang Perih
(1982). Sajaknya juga terhimpun dalam antologi bersama Bingkisan (1981), Tamu Malam
(1992), Festival Puisi Kalimantan (1992), Bunga Api (1994), Jendela Tanah Air (1995),
Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia (1995), dan Seribu Sungai Paris
Barantai (2006). Kini bekerja di Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Banjarmasin
dan penyiar di Radio ‘Abdi Persada’ Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.
M. Syarkawi Mar’ie
Hutan
Hanya Cermin
Di danau itu
hanya cermin balik menyilau perjanjian
yang disepakati, mencari dan menghitung
dari sisa-sisa galian
yang dikorbankan atas nama benua
yang memerkosa benuanya
Mudjahidin S (Banjarmasin, 14 Juli 1946). Menulis sajak, cerpen, dan esai sastra sejak
1970-an. Sebagai aktivis teater, ia juga banyak menulis naskah drama, pelakon sekaligus
menyutradarainya. Sajak-sajaknya dimuat dalam antologi bersama Panorama (1974),
Terminal (1984), Dengarlah Bicara Kami (1984), Bunga Api (1994), Wasi (1999), dan
Seribu Sungai Paris Barantai (2006). Antologi sajak tunggalnya adalah Pakem-pakem
Kehidupan (2006). Pensiunan PNS di Badan Informasi dan Komunikasi Pemerintah Kota
Banjarmasin ini sekarang bergiat di Lembaga Seni Qasidah Indonesia (LASQI)
Kalimantan Selatan dan konsultan LASQI Pusat.
Muhammad Radi
Kandangan, 2004
Muhammad Radi (Kandangan, Kabupten HST, 17 April 1962). Sarjana FKIP Unlam
Banjarmasin jurusan MIPA. Semasa kuliah pernah mengikuti program Pertukaran
Pemuda Indonesia-Australia ke wilayah New South Wales, Victoria, dan Australian
Capital Territory. Juga mengikuti forum science dan kebudayaan di Victoria, Osaka,
Yokohama, Lyon, Marsielle, dan Koln. Sajaknya terhimpun dalam antologi bersama Bah,
Tis! Gaung Kami (1985), Jendela Tanah Air (1995), La Ventre de Kandangan (2004),
dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).
Nailiya Nikmah
Rindu Peri
Aku rindu
Pada bau daun di pagi hari
Ketika kau suguhkan aku secangkir kopi
Lalu kita berbincang tentang peri
Katamu peri tinggal di hutan
Makanya jangan rusak hutan, kasihan peri
Aku tertawakanmu geli
Aku rindu
Pada bau rumput seusai hujan
Ketika kau sangakan aku sepiring gumbili
Lalu kita berbincang tentang negeri ini
Katamu negeri ini umpama intan
Harusnya kita bangga dan lindungi
Banjarmasin, 2007
______________
sangakan : gorengkan
gumbili : ketela
banyu : air
Nailiya Nikmah
Maaf, hadirin
Aku lupa bagaimana hijaunya daun
Aku ragu bagaimana kokohnya dahan
Aku gagu bagaimana gemerisik rimbun
Forum gemuruh,
seolah ambil ancang hendak membunuh
Maaf, hadirin
yang kutahu sakitnya paru
gara-gara udara yang tabu
karena debu dan asap beradu
Banjarmasin, 2007
Nailiya Nikmah (Banjarmasin, 9 Desember 1980). Sarjana (S1) dan Pascasarjana (S2)
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID) FKIP Unlam Banjarmasin.
Koordinator Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah Kalimantan Selatan ini selain menulis
sajak juga produktif menulis cerpen dan novel. Kini menjadi pengajar di Politeknik
Negeri Banjarmasin. Sajak, cerpen, dan novelnya sedang dalam persiapan untuk
diterbitkan.
Noor Aini Cahya Khairani
Vignet Kalimantan
1
di atas sungai hitam
hutan dan gunung berjalan
menuju mantra kekuasaan
2
antara hutan larangan dan cerobong industri
membentang kabel-kabel kekuasaan
sementara krisis bergayutan di tengahnya
ratusan titik api mengepung bayi-bayi
3
di sini tak pernah unjuk rasa sebenarnya
karena penduduknya begitu berbakti
meski kekuasaan mengajarkan kecemasan
namun selalu ditelan bersama pil kb
4
kami naik dari perahu
karena sungai tak lagi biru
kami dipindahkan dari pedalaman
karena hutan kami yang menawan
kami kehabisan sungai dan bukit
dan tenggelam di langit
5
di sini matahari padam di timur
dan pulau tidak milik kami
maka ketika ia kehilangan pesona
flora dan fauna berderak tanpa arti
Noor Aini Cahya Khairani
Noor Aini Cahya Khairani (Banjarmasin, 10 Januari 1959). Menulis sajak, cerpen, esai
sastra dan kritik seni. Ia sering menjadi pemenang pertama lomba penulisan sajak dan
cerita pendek se-Kalimantan Selatan. Sajak-sajaknya terhimpun dalam beberapa antologi
bersama, antara lain Antologi 4 Penyair Muda Banjarmasin (1984), Banjarmasin Kota
Kita (1985), Elite Penyair Kalsel. 1979-1985 (1986), Puisi Indonesia ’87 (1987),
Perjalanan (1990), Festival Puisi XIII PPIA (1992), Jendela Tanah Air (1995), Refleksi
Setengah Abad Indonesia Merdeka (1995), dan API – Antologi Puisi Indonesia (1997).
Antologi sajak tunggalnya adalah Sungai Hitam Semesta Berkabut (2004). Penyair ini
wafat di Banjarmasin, 4 Agustus 2003.
Rahmatiah
Langit basah
Berapa banyak pesan yang disampaikan
rintih akar dan denyut tanah?
Aminkan saja doa-doa
yang terlepas dari busurnya
agar genangan air mata tak lagi
tenggelamkan rumah anai-anai kita
Rahmatiah (Nusa Tenggara Barat, 3 Juli 1979). Pendidikan terakhir D III Keperawatan,
kini bekerja di Direktorat POLTEKKES Banjarmasin, dan bermukim di Banjarbaru.
Sajaknya dimuat dalam antologi bersama Kau tidak akan pernah tahu rahasia sedih tak
bersebab (2006).
Rahmiyati
Kami tak lagi punya kekuatan sehingga hanya bisa ikut menangis
Tangis karena sedikit dari kami yang berkhianat
Terlalu naif dan lebih memilih diam lalu menyerah
Pada yang kusebut tajam melukaimu
Hanya rintihan kecil yang begitu samar
Nyaris tak terdengar
Sementara siang terlalu tuli
Dan hijaumu semakin tak tampak
Rahmiyati (Rantau, 8 Juni 1983). Sarjana FKIP Unlam jurusan PBSID. Semasa kuliah
aktif pula berteater di Komunitas Ilalang FKIP Unlam. Sajaknya dimuat dalam antologi
bersama Kau tidak akan pernah tahu rahasia sedih tak bersebab (2006).
Roeck Syamsuri Saberi
Raja Gundul
Roeck Syamsuri Saberi (Banjarmasin, 11 Juni 1949). Menulis sajak, cerpen, artikel
kebudayaan, dan naskah drama. antologi sajak tunggalnya Tembang buat Ida, Puisi-puisi
Mantra Jajarat dan Kariau (2003), Nyanyian Kuala (2003), dan Rumah Anakku (2003).
Sajak-sajaknya juga dimuat dalam antologi bersama: Banjarbaru Kotaku (1974), Riak-
riak Barito (1979), Kuala (1984), 7 Penyair Marabahan (1984), Menatap Cermin (1987),
Tembang Sungai Lirik (1993), Rimbun Tulang (1994), Bunga Api (1994), Bahalap
(1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Gardu (1998), Jembatan Asab (1998),
Sajak-sajak Bumi Selidah (2005), Ragam Jejak Sunyi Tsunami (2005), Seribu Sungai
Paris Berantai (2006). Pensiun PNS Pada Kantor Departemen Penerangan dan mantan
anggota DPRD Barito Kuala ini sekarang bergiat di Dewan Kesenian Kabupaten Barito
Kuala, menjabat Ketua.
Roestam Effendi Karel
Roestam Effendi Karel (Alabio, Kabupaten HSU, Kalsel., 1938). Penyair dan wartawan
yang pernah pernah menjabat Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Kalimantan Selatan ini selain menulis sajak juga menulis cerpen, esai sastra, dan naskah
drama sejak tahun 1950-an.
Sahdi Anak Amid
Hutan Bertutur
Sahdi Anak Amid (Kandangan, Kabupaten HST, 19 Februari 1951). Nama aslinya
Noor Sjahdi. Menulis sajak dalam berbagai bahasa, di antaranya Indonesia, Inggris,
Rusia, Thailand, Jepang, dan Banjar. Sajak-sajaknya berbahasa Thai dimuat dalam Asia
Pasific Scout Forum Bulletine (Bangkok, 1985). Sajaknya juga dimuat dalam antologi
bersama penyair Banjarbaru Bahana (2001). Purna tugas pegawai negeri sebagai Kepala
Dinas Pariwisata Kota Banjarbaru. Mantan Ketua Dewan Kesenian Banjarbaru ini
sekarang mengabdikan diri sebagai dosen di Fakultas Pertanian Universitas Islam
Kalimantan, Banjarbaru.
Sainul Hermawan
Rumahku Rawaku
Rumahku di rawa-rawa
Dari kayu yang mudah bersenyawa dengan bara
Saat kemarau tiba
Dan kelalaian kita tak pernah sirna:
Betapa mahalnya menjadikan nasib sebagai hiburan
Menjelang pemilu atau perebutan kekuasaan
Rumahku di rawa-rawa
Kemarau: asap dan penyakit tenggorokan
Penghujan: musim bencana bertunas muda
Seperi jamur
Subur
Makmur
Bersama nasib yang tak mujur
Banjarmasin, 9/12/2007
Sainul Hermawan
Banjarmasin, 9/12/2007
Chico Mendes
lelaki liat hutan Amazonia
meradang
menghadang deru gergaji siang malam
meski akhirnya tumbang ditembus peluru bayaran
di tanah basah ia rebah
…,
dan kita membaca
seorang teman mengenangnya, Luis Sepulveda
pada buku Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta
Sandi Firly (Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, Kalteng, 16 Oktober 1975). Alumni
FISIP jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Banjarmasin ini
sekarang menjadi Redaktur Pelaksana dan merangkap sebagai Redaktur Cakrawala Sastra
dan Budaya serta kolomnis di harian Radar Banjarmasin. Menulis sajak, cerpen, esai
sastra dan kebudayaan. Sajak-sajaknya dimuat dalam antologi bersama Bulan Ditelan
Kutu (2004) dan Taman Banjarbaru (2006). Mantan aktivis Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan ini sekarang bergiat di Rumah Cerita Banjarbaru
dan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru.
Shah Kalana Al-Haji
tangisan
kesedihan
ketakutan
adalah risau sunyi pedalaman
riau-kapuas-bontang-banua, 2006
Shah Kalana Al-Haji (Samarinda, Kaltim, 23 November 1970). Sajaknya dimuat dalam
antologi bersama Taman Banjarbaru (2006). Kini bergiat di komunitas Front Budaya
Godong Kelor Banjarbaru dan redaktur buletin sastra WaTas.
Syafiqotul Machmudah
entahlah,
cinta mana yang kau bicarakan
kasih dan ketulusan mana yang kau berikan
yang terlihat hanya kau yang terpenjara oleh nafsu
menguasainya
yang terdengar hanya ribut kicaumu tentang
keserakahan menginginkannya
yang terasa hanya tangan-tanganmu sajalah yang
dengan leluasa menghancurkannya
Hingga
Mereka bernyanyi dengan hati dan suara yang terbata
hingga hampir tak tertata karena jiwa mereka telah kau
jadikan bara
yang hilang seketika terbawa udara yang kau hirup
dengan percuma
Burung-burung negeriku
bila kau tak mau kena peluru pemburu
atau pemulut menebar jala gala rindu
terbanglah kau ke hutan menuju hulu
di sana kau dapat beranak-cucu
Burung-burung negeriku
bila waktu datang juga pemburu
perambah liar, penebang pilih atau penebang
habis beratus ribu
mengungsilah kau ke semenanjung atau ke
hutan lindung bertengger di pokok kayu
tapi relakan anak-cucumu
yang tertinggal hidup mati tak menentu
Burung-burung negeriku
bila waktu datang juga pemburu
perambah liar, penebang pilih atau penebang
habis beratus ribu
mengungsilah kau ke awan atau ke langit biru
bila terpaksa serahkan diri pada tuhanmu.
S. Surya (Negara, Kabupaten HSS, Kalsel., 14 Mei 1945). Nama lengkapnya Sofyan
Hadi Surya Negara. Selain penyair dikenal juga sebagai pelukis, penyanyi, dan
dramawan. Antologi sajak tunggalnya yang sudah terbit adalah Sepi, Sajak Burung-
Burung Negeriku (1997), dan Nyanyian Anak Seribu Sungai (1998). Antologi bersama
yang memuat sajaknya adalah Panorama (1974). Penyair ini meninggal dunia di
Banjarmasin
Taufiq Ht
Kuputari jalan-jalanmu
garis tanah terdengar rintih, sehening maut
di ranting rapuh, burung bicara lewat biru langit
mengabarkan rumah sangkar terburai lebar
berbaur teduh di ubun tanah, hilanglah segala tabiat
Taufiq Ht (Barabai, 17 Juli 1982). Alumnus Perguruan Tinggi Negeri UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, jurusan Aqidah Filsafat. Semasa Kuliah, selain aktif di organisasi
kampus, ia berkecimpung di Sanggar Teater Eska UIN SUKA angkatan XV (binaan
Hamdy Salad dan Teater Garasi UGM Yogyakarta.
Yuniar M. Ary
Balada Banjarbaru
sore ini
kuguncang jantungku
dengan iringan truck iblis
dari gunung
yang datang membonceng angin tenggara
gemuruh menghempas dalam gelap
teriakan suara knalpot bercampur
asap solar
membakar pandang menyesak nafas
sore ini
air mancur simpang empat
berhenti muncrat
tidak ada bianglala yang bertebar
yang membentuk fenomena lorong gaib
laron dan belalang
mengungsi ke bukit
cahaya lampu yang berbinar
temaram redup gejolak perasaan berontak
di dada ada bara api
yang tak pernah padam
karena kotaku sayang
diperkosa dan diobrak-abrik
truck iblis
dari gunung
sore ini
kubasuh wajahku
dengan air mata wangi cendana
getaran dimensi kehidupan
memancarkan energi penyejuk
walaupun mendung
menggelantung di langit kita
Yuniar M. Ary
Mega Putih
sudah lama
mega putih tak berarak
di langit Banjarbaru
berpendar dihantam
angin puting beliung
dari hembusan
hidung kerbau pejabat kota
nafas-nafas tahi kuda
berkumpul di meja runding
kelabu menumpuk
mengotori cakrawala
kapan
mega putih berarak lagi
di langit Banjarbaru?
hanya
Tuhan yang tahu
Yuniar M. Ary
tadi pagi
raksasa penjaga hutan
lagi ngorok
kekenyangan makan bakpao
reboisasi
lapor pak menteri
hutan sudah dihijaukan
sepuluh ribu hektar
kentut
Yuniar M. Ary (Banjarmasin, 19 September 1942). Akhir tahun 1968 hijrah dan
bermukim di Surabaya serta bergabung dengan penyair Muhammad Ali, D. Zawawi
imron dan Sabrot D. Malioboro. Pernah menjabat Ketua Seni Sastra dan Research
Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) Banjarmasin (1967-
1968). Tahun 1999 pulang ke Kalimantan Selatan dan menetap di kota Banjarbaru. Sajak-
sajaknya dimuat dalam antologi bersama penyair Banjarbaru Notasi Kota 24 Jam (2003),
Bulan Ditelan Kutu (2004), dan Bumi Menggerutu (2005). Kini bergiat di komunitas
Kilang Sastra Batu Karaha Banjarbaru.
Y.S. Agus Suseno
Kuala
2000
Y.S. Agus Suseno
2004
Y.S. Agus Suseno (Banjarmasin, 23 Agustus 1964). Menulis sajak, cerpen, esai sastra,
naskah teater, dan reportase seni budaya. Ia juga pemerhati dan aktivis teater di
Banjarmasin. Antologi sajak tunggalnya adalah Di Bawah Langit Beku (1991). Sajak-
sajaknya terhimpun dalam antologi bersama, antara lain Dahaga – B. Post 1981 (1982),
Forum Empat Penyair Muda Banjarmasin (1984), Elite Penyair Kalsel 1979-1985
(1986), Perjalanan (1990), Potret Pariwisata Indonesia Dalam Puisi (1991), Sahayun
(1994), Cerita Dari Hutan Bakau (1994), Wasi (1999), Seribu Sungai Paris Barantai
(2006), dan Taman Banjarbaru (2006). Kini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI)
Banjarmasin.