PENDAHULUAN
Tanah merupakan salah satu sumber daya yang menjadi kebutuhan dan
kepentingan semua orang, badan hukum, dan atau sektor-sektor pembangunan.
Kenapa demikian penting dan strategisnya? Tidak lain karena tanah sangat
dibutuhkan orang, badan hukum, dan sektor-sektor tersebut untuk melakukan
aktivitas hidupnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Itulah sebabnya,
tanah perlu diatur melalui kebijakan dan peraturan perundangan yang tepat,
konsisten, dan berkeadilan. Dengan demikian diharapkan tanah dapat menjadi
faktor pencapaian kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
Namun pada kenyataannya di Indonesia selama ini tidaklah demikian.
Yang ada adalah terjadinya banyak perselisihan dan sengketa dalam penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Bahkan jumlah sengketa tanah
tersebut cenderung meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Untuk itulah
diperlukan upaya nyata dan sungguh-sungguh dalam penyelesaian kasus atau
sengketa tanah yang telah ada selama ini. Sehingga, diperlukan adanya peluang
"gugatan sengketa tanah" yang diatur dengan mekanisme yang baik.
Sebagaimana dimaklumi sengketa agraria di Indonesia telah sampai pada
tahap yang mengkhawatirkan, baik dari segi jumlah maupun bobot sengketanya.
Menurut KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) terdapat sekitar 1.753 kasus
sengketa yang terjadi di 2.834 desa/kelurahan, 1.355 kecamatan dan 286
kabupaten/kota. Sebagai gambaran, bila digabungkan ribuan kasus itu mencakup
luas lahan sekitar 10.892.203 ha. Dengan intensitas konflik tertinggi di Jabar (484
kasus), DKI Jakarta (175 kasus), dan Jatim (169 kasus).
Kasus-kasus ini muncul saat penguasaan tanah di Indonesia dirasakan
terpusat pada sekelompok orang. Banyak tanah rakyat yang dijual ke tangan
pembeli bermodal besar maupun investor akibat desakan ekonomi. Lahan-lahan
pertanian mengalami konversi, akibat para petani menjual tanah kepada investor
yang kemudian tidak mengolah tanah tersebut. Banyaknya tanah telantar di
perkotaan maupun perdesaan mencolok sekali di tengah kebutuhan mendesak
akan pemukiman bagi warga, maupun kebutuhan akan lahan pertanian. Hal ini
membuat masyarakat merasa termarginalkan di daerahnya sendiri, dan kerapkali
menimbulkan konflik maupun sengketa di atas tanah tersebut.
Masyarakat yang menghadapi sengketa seringkali merasa tidak berdaya
di depan hukum, apalagi saat mereka berhadapan dengan pihak yang lebih
mengenal seluk-beluk hukum dan sengketa. Masyarakat seolah-olah selalu
mendapatkan posisi tawar yang lemah di hadapan hukum. Pemikiran ini yang
kemudian dapat saja membentuk pola pikir bahwa upaya perubahan peraturan
pertanahan oleh pemerintah di masa lalu, semakin memperlemah hak masyarakat
di dalam jaminan hukum. Akibatnya, banyak sengketa tanah dan tidak
terselesaikan dengan tuntas.Selama ini proses perolehan tanah terlihat begitu
rumit, namun yang nyata terjadi adalah masyarakat kurang mendapatkan
informasi mengenai hak-hak, kewajiban dan tata cara untuk memperoleh hak dan
kewajiban tersebut.
Hak masyarakat atas tanah yang diakui secara resmi tidak hanya hak
milik. Hak masyarakat atas tanah diatur dalam Undang-undang No 5 Tahun 1960
(UUPA) meliputi hak guna tanah yang terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha
(HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka
Tanah, dan Hak Memungut Hasil Hutan. Sedangkan hak lainnya yakni Hak Guna
Air, Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, serta Hak Guna Ruang Angkasa.
Bangsa Indonesia juga mengenal Hak Adat, di mana tanah dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dimiliki, dikuasai, digunakan bersama oleh
masyarakat adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
II. PERMASALAHAN