Anda di halaman 1dari 18

STUDI PROFIL PEKERJA DI SEKTOR INFORMAL

DAN ARAH KEBIJAKAN KE DEPAN

Direktorat Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi


E-mail : firnandy@bappenas.go.id

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan dan


pertumbuhan pekerja sektor informal di Indonesia periode tahun 1998 sampai dengan
2002. Selain itu mencoba menganalisis arah kebijakan pengembangan sektor informal
sekarang dan ke depan, sekaligus memberikan rekomendasi bagi rencana pelaksanaan
program pengembangan kegiatan di sektor informal.
Metode kajian yang digunakan bersifat deskriptif analitis dan bersandar pada
data sekunder survei angkatan kerja nasional (Sakernas) 1998 dan 2002 dari BPS. Hasil
kajian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja (65,40 persen) di Indonesia tahun
1998 berusaha di sektor informal; sisanya bekerja di sektor formal (34,60 persen).
Keadaan ini tidak semakin membaik pada tahun 2002. Dapat dikatakan bahwa selama
masa pemulihan ekonomi Indonesia periode 1998-2002, tidak ada perkembangan yang
berarti dalam penyerapan tenaga kerja yang bekerja di sektor formal. Sebaliknya justru
sektor informal yang menyerap tenaga kerja. Kesimpulan lain adalah peran sektor
informal relatif sangat tinggi dibanding sektor formal dalam menyerap pekerja untuk
jenis pekerjaan utama sebagai tenaga usaha penjualan.
Kajian ini merekomendasikan bahwa arah kebijakan pengembangan sektor
informal memerlukan intervensi langsung atapun tidak langsung dari pemerintah. Namun
mengingat keterbatasan kemampuan pemerintah dalam hal pendanaan, maka
pemerintah mesti menekankan intervensi tidak langsung.

1. LATAR BELAKANG

Keberadaan dan kelangsungan kegiatan sektor informal dalam sistem ekonomi


kotemporer bukanlah gejala negatif, namun lebih sebagai realitas ekonomi kerakyatan
yang berperan cukup penting dalam pengembangan masyarakat dan pembangunan
nasional. Setidaknya, ketika program pembangunan kurang mampu menyediakan
peluang kerja bagi angkatan kerja, sektor informal dengan segala kekurangannya
mampu berperan sebagai penampung dan alternatif peluang kerja bagi para pencari
kerja.
Gelombang ketidakpuasan kaum miskin dan para penganggur terhadap
ketidakmampuan pembangunan menyediakan peluang kerja, untuk sementara dapat
diredam lantaran tersedia peluang kerja di sektor informal. Begitupun ketika kebijakan
pembangunan cenderung menguntungkan usaha skala besar, sektor informal kendati
tanpa dukungan fasilitas sepenuhnya dari negara, dapat memberikan subsidi sebagai
penyedia barang dan jasa murah untuk mendukung kelangsungan hidup para pekerja
usaha skala besar. Bahkan, tatkala perekonomian nasional mengalami kemunduran
akibat resesi, sektor informal mampu bertahan tanpa membebani ekonomi nasional,

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


1
sehingga roda perekonomian masyarakat tetap bertahan. Peran sektor informal ini telah
berlangsung sejak lama dalam pasang surut perkembangan masyarakat dan dinamika
perkembangan ekonomi.
Sampai saat ini, pengertian sektor informal sering dikaitkan dengan ciri-ciri
utama pengusaha dan pelaku sektor informal, antara lain: kegiatan usaha bermodal
utama pada kemandirian rakyat, memanfaatkan teknologi sederhana, pekerjanya
terutama berasal dari tenaga kerja keluarga tanpa upah, bahan baku usaha kebanyakan
memanfaatkan sumber daya lokal, sebagian besar melayani kebutuhan rakyat kelas
menengah ke bawah, pendidikan dan kualitas sumber daya pelaku tergolong rendah.
Meskipun pertumbuhan ekonomi selama pembangunan jangka panjang pertama
berkisar antara 5-8 persen per tahun, proporsi pekerja sektor informal, khususnya di
perkotaan cenderung meningkat. Pada 1971 proporsi pekerja sektor informal terhadap
jumlah angkatan kerja di kota mencapai sekitar 25 persen. Angka ini meningkat menjadi
sekitar 36 persen pada 1980 dan menjadi 42 persen pada tahun 1990. Tahun 2000 angka
tersebut menjadi sekitar 65 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor informal masih
cukup dominan menyerap angkatan kerja khususnya di perkotaan. Selain itu
perkembangan ekonomi belum dapat mengatasi persoalan klasik keterbatasan peluang
kerja.
Di satu segi sektor informal masih memegang peranan penting menampung
angkatan kerja, terutama angkatan kerja muda yang masih belum berpengalaman atau
angkatan kerja yang pertama kali masuk pasar kerja. Keadaan ini dapat mempunyai
dampak positif mengurangi tingkat pengangguran terbuka. Tetapi di segi lain
menunjukkan gejala tingkat produktivitas yang rendah, karena masih menggunakan
alat-alat tradisional dengan tingkat pendidikan serta keterampilan yang relatif rendah.
Mengingat peran sektor informal yang cukup positif dalam proses
pembangunan, sudah sewajarnya nasib para pekerjanya dipikirkan. Beberapa kebijakan,
baik langsung maupun tidak, untuk membantu pengembangan masyarakat melalui
pembinaan kegiatan usaha pekerja di sektor informal memang sudah dilakukan. Namun
ada kecenderungan kegiatan ekonomi di sektor informal dan nasib pekerja sektor
informal belum banyak mengalami perubahan. Tanpa bermaksud mengurangi arti
pentingnya kebijakan yang telah ada, kebijakan yang biasa diberikan kepada pengusaha
besar mungkin dapat dikurangi, kemudian prioritas diberikan pada kegiatan sektor
informal dan memihak pada kepentingan masyarakat.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, studi ini berusaha memaparkan
kegiatan pekerja di sektor informal dan menyediakan pemikiran untuk pembinaan
sektor informal dan pengembangan kegiatan usaha informal, termasuk dalam rangka
memberikan perlindungan bagi pekerjanya.

2. TUJUAN
Studi ini bertujuan sebagai berikut,
1. Mendapatkan gambaran tentang keadaan dan pertumbuhan pekerja sektor informal
di Indonesia periode tahun 1998 sampai 2002.
2. Mencoba menganalisis dan menjawab pertanyaan berikut: (1) berapa jumlah
pekerja sektor informal di Indonesia pada tahun 1998 dan 2002? (2) bagaimana
persentase distribusi pekerja sektor informal menurut lapangan usaha di daerah
perkotaan, pedesaan, laki-laki maupun perempuan? (3) adakah pertambahan atau

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


2
penurunan jumlah pekerja sektor informal selama periode 1998–2002, jika ada di
dalam lapangan usaha apa saja? (4) bagaimana peranan masing-masing lapangan
usaha dalam menyerap pertambahan pekerja sektor informal? (5) bagaimana
pertumbuhan rata-rata per tahun selama periode 1998–2002, sektor mana yang
paling tinggi angka pertumbuhan rata-rata pekerja sektor informalnya? Dan (6) jenis
pekerjaan apa yang mengalami penambahan atau pengurangan jumlah pekerja, jenis
pekerjaan apa yang paling dominan dalam menyerap pekerja sektor informal?
3. Menganalis arah kebijakan pengembangan sektor informal sekarang dan ke depan.
4. Memberi rekomendasi bagi rencana pelaksanaan program pengembangan kegiatan
di sektor informal

3. METODOLOGI
3.1 Metode Pelaksanaan Kegiatan
Studi ini menggunakan metode analisis deskriptif terhadap pekerja di sektor
informal di Indonesia dalam periode 1998–2002 dengan menggunakan data sekunder.
Studi ini merupakan analisis terhadap jumlah, persentase, pertambahan bersih serta
pertumbuhan rata-rata tahunan pekerja sektor informal selama periode 1998–2003.
Kajian ini difokuskan pada analisis pekerja menurut lapangan pekerjaan dan menurut
jenis pekerjaan. Masing-masing dirinci menurut daerah perdesaan dan perkotaan serta
jenis kelamin.
Analisis terhadap studi ini dimulai dengan menjabarkan angka-angka pekerja di
sektor informal yang diperkirakan jumlahnya meningkat sampai dengan tahun 2002.
Selanjutnya dilakukan: pertama, identifikasi pekerja di sektor informal menurut
lapangan usaha dan jenis pekerjaan, termasuk di pedesaan, perkotaan dan jenis
kelamin.. Kedua, telaah dan diskusi arah kebijakan yang terkait dengan kegiatan
ekonomi sektor informal. Ketiga, menganalisis prospek pengembangan sektor informal
sebagai alternatif kesempatan kerja menggunakan analisis SWOT. Keempat, kesimpulan
dan rekomendasi arah kebijakan pengembangan sektor informal.

3.2 Data
Data yang digunakan adalah hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas)
tahun 1998 dan 2002 yang diterbitkan secara resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta.

4. HASIL KAJIAN
4.1 Jumlah Pekerja di Sektor Informal
Tabel 1 menampilkan pekerja Indonesia tahun 1998 dan 2002 menurut status
pekerjaan utama. Pada tabel tersebut tampak bahwa sekitar sepertiga pekerja (34,60
persen pada tahun 1998 dan 30,37 persen pada tahun 2002) berstatus sebagai
buruh/karyawan dan berstatus berusaha dengan buruh tetap. Yang lain bekerja dengan
status pekerjaan berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain (23,41 persen pada tahun
1998 dan 19,24 persen pada tahun 2002), pekerja keluarga (19,53 persen pada tahun
1998 dan 26,36 persen pada tahun 2002), serta status pekerjaan berusaha dengan
dibantu anggota rumah tangga/buruh tidak tetap (22,46 persen pada tahun 1998 dan
24,03 persen pada tahun 2002).

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


3
Tiga macam status pekerjaan yaitu berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain,
berusaha dengan dibantu anggota rumah tangga/buruh tidak tetap, pekerja keluarga,
sering dipakai sebagai proksi pekerja sektor informal. Sedangkan dua status pekerjaan
yang lain, yaitu buruh/karyawan, berusaha dengan buruh tetap, dianggap sebagai proksi
pekerja sektor formal. Studi ini juga menggunakan pendekatan status pekerjaan untuk
melihat jumlah pekerja sektor informal dan formal.
Bila proksi pekerja informal di atas diterapkan untuk data Tabel 1 tampak bahwa
sebagian besar (65,40 persen) pekerja di Indonesia tahun 1998 berusaha di sektor
informal dan sisanya merupakan pekerja sektor formal (34,60 persen). Keadaan ini
tampaknya justru tidak semakin membaik pada tahun 2002. Hal ini tampak dari data
bahwa pekerja di sektor informal yang mencapai 69,63 persen dari seluruh jumlah
pekerja, sedangkan sisanya sebesar 30,37 persen bekerja di sektor formal. Peningkatan
pekerja informal pada tahun 2002 terjadi pada status pekerjaan berusaha dengan dibantu
anggota rumah tangga/buruh tidak tetap, yakni dari 22,46 persen pada tahun 1998
menjadi 24,03 persen pada tahun 2002; serta pada status pekerjaan sebagai pekerja
keluarga dari 19,53 persen pada tahun 1998 menjadi 26,36 persen pada tahun 2002.

Tabel 1
Pekerja Menurut Status Pekerjaan
1998 dan 2002
1998 % 2002 %
Status Pekerjaan Jumlah Jumlah
Berusaha Sendiri tanpa bantuan 20.523.338 23,41 17.632.909 19,24
orang lain
Berusaha dengan dibantu anggota 19.690.059 22,46 22.019.393 24,03
rumah tangga/buruh tidak tetap
Berusaha dengan buruh tetap 1.525.625 1,74 2.786.226 3,04
Buruh/Karyawan 28.805.421 32,86 25.049.793 27,33
Pekerja Keluarga *) 17.128.006 19,53 24.158.845 26,36

Jumlah 87.672.449 100,00 91.647.166 100,00


Sumber: Sakernas 1998 dan 2002 - BPS.
Catatan *) Pekerja Keluarga (2002) termasuk Pekerja Bebas Pertanian dan Non Pertanian.

4.2 Pekerjaan Utama di Sektor Informal


Berikutnya Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar (65,4 persen) pekerja
Indonesia pada 1998 berusaha di sektor informal. Menurut lapangan usaha atau
pekerjaan utama, tampak bahwa peranan sektor informal jauh lebih tinggi dibanding
sektor formal. Hal ini berlaku di lapangan usaha pertanian, kehutanan, perburuan,
perikanan (85,61 persen pekerja berada di sektor informal), dan pada lapangan usaha
perdagangan besar, eceran, rumah makan (82,48 persen pekerja berada di sektor
informal). Kondisi ini juga tidak mengalami perubahan berarti, karena tahun 2002
tampak bahwa peranan sektor informal jauh lebih tinggi dibanding sektor formal di
lapangan usaha pertanian, kehutanan, perburuan, perikanan (91,92 persen pekerja
berada di sektor informal), dan pada lapangan usaha perdagangan besar, eceran, rumah
makan (78,07 persen pekerja berada di sektor informal).

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


4
Tabel 2
Pekerja Sektor Formal dan Informal
Menurut Lapangan Usaha
1998 dan 2002
1998 2002

Lap. Usaha Formal Informal Total Formal Informal Total Formal Informal Total Formal Informal Total
% % % % % %

Pertanian 5.674.348 33.740.417 39.414.765 14,39 85,61 100 3.281.861 37.351.766 40.633.627 8,08 91,92 100
Pertambangan 382.768 291.829 674.597 56,74 43,26 100 276.852 354.950 631.802 43,82 56,18 100
Industri 6.152.120 3.781.502 9.933.622 61,93 38,07 100 7.745.354 4.364.643 12.109.997 63,96 36,04 100
Listrik 128.995 18.854 147.849 87,25 12,75 100 161.101 17.178 178.279 90,36 9,64 100
Bangunan 2.829.228 692.454 3.521.682 80,34 19,66 100 1.962.207 2.311.707 4.273.914 45,91 54,09 100
Perdagangan 2.862.075 13.952.158 16.814.233 17,02 82,98 100 3.902.501 13.892.529 17.795.030 21,93 78,07 100
Angkutan 1.692.692 2.461.015 4.153.707 40,75 59,25 100 1.598.606 3.073.978 4.672.584 34,21 65,79 100
Keuangan 589.418 28.294 617.722 95,41 4,59 100 931.529 60.216 991.745 93,93 6,07 100
Jasa Lainnya 10.019.402 2.374.870 12.394.272 80,83 19,17 100 7.976.008 2.384.180 10.360.188 76,99 23,01 100

Jumlah 30.331.046 57.341.403 87.672.449 34.60 65.40 100 27.836.019 63.811.147 91.647.166 30,37 69,63 100

Sumber: Sakernas 1998 dan 2002-BPS

Sedangkan pada tabel 3 menunjukkan bahwa peran sektor informal pada tahun
1998 relatif sangat tinggi dibanding peran sektor formal dalam penyerapan pekerja
untuk jenis pekerjaan utama sebagai tenaga usaha penjualan (85,61 persen pekerja
berada di sektor informal) dan jenis pekerjaan sebagai tenaga usaha pertanian,
perburuan, perikanan (85,85 persen pekerja berusaha di sektor informal). Jenis
pekerjaan sebagai tenaga tata usaha dan tenaga yang sejenis merupakan jenis pekerjaan
yang relatif rendah (2,15 persen) persentase pekerja sektor informalnya. Demikian juga
dengan jenis pekerjaan sebagai tenaga professional, teknisi dan yang sejenis (7,07
persen pekerja berusaha di sektor informal).

Tabel 3
Pekerja Sektor Formal dan Informal
Menurut Jenis Pekerjaan Utama
1998 dan 2002
1998 2002

Jenis Pekerjaan Formal Informal Total Formal Informal Total Formal Informal Total Formal Informal Total
% % % % % %

Tenaga Profesional, 3.000.960 228.264 3.229.224 92,93 7,07 100 2.917.705 143.608 3.061.313 95,31 4,69 100
Teknisi dan yang sejenis
Tenaga Kepemimpinan 383.468 27.390 410.858 93,33 7,67 100 194.197 7.748 201.945 96,16 3,84 100
dan Ketatalaksanaan
Tenaga Tata Usaha dan 4.027.370 88.454 4.115.824 97,85 2,15 100 4.271.914 116.466 4.388.380 97,35 2,65 100
tenaga yang sejenis
Tenaga Usaha Penjualan 2.319.647 13.800.533 16.120.180 14,39 85,61 100 2.822.070 13.689.282 16.511.352 17,09 82,91 100
Tenaga Usaha Jasa 3.369.234 1.072.075 4.441.309 75,86 24,14 100 2.735.485 1.239.923 3.975.408 68,81 31,19 100
Tenaga Usaha 5.549.506 33.675.823 39.225.329 14,15 85,85 100 3.066.358 37.262.160 40.328.518 7,60 92,40 100
Pertanian, Perburuan,
Perikanan
Tenaga Produksi 11.680.861 8.448.864 20.129.725 58,03 41,97 100 11.449.651 11.351.476 22.801.127 50,22 49,78 100
Operator Alat-alat
angkutan, Pekerja Kasar
Lainnya 378.639 484 379.123 99,87 0,13 100

Jumlah 30.331.046 57.341.403 87.672.449 34,60 65,40 100 27.836.019 63.811.147 91.647.166 30,37 69,63 100
Sumber: Sakernas 1998 dan 2002 – BPS.

Keadaan tahun 2002 juga tidak banyak mengalami perubahan. Peran sektor
informal relatif masih sangat tinggi dibanding sektor formal dalam penyerapan pekerja
untuk jenis pekerjaan utama sebagai tenaga usaha penjualan (82,91 persen pekerja
berada di sektor informal), dan jenis pekerjaan sebagai tenaga usaha pertanian,
perburuan, perikanan (92,40 persen pekerja berusaha di sektor informal). Jenis
pekerjaan sebagai tenaga tata usaha dan tenaga yang sejenis merupakan jenis pekerjaan
yang relatif rendah (2,65 persen) persentase pekerja sektor informalnya. Demikian juga
dengan jenis pekerjaan sebagai tenaga profesional, teknisi dan yang sejenis serta tenaga

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


5
kepemimpinan dan ketatalaksanaan masing-masing sebesar (4,69 persen dan 3,84
persen pekerja berusaha di sektor informal).

4.3 Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan


Pada tabel 4 ditampilkan pekerja Indonesia tahun 1998 menurut tingkat
pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan peran sektor formal maupun informal dalam
menyerap pekerja menurut klasifikasi pendidikan. Tampak bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan, semakin rendah persentase pekerja sektor informalnya. Sebagian
besar (84,44 persen), pekerja dengan predikat tidak pernah sekolah berusaha di sektor
informal. Peranan sektor informal masih tetap besar hingga tingkat pendidikan Sekolah
Menengah Tingkat Pertama (SMTP). Sekitar 63,19 persen pekerja tamatan SMTP
berusaha di sektor informal.
Peranan sektor informal tampak relatif lebih rendah untuk pekerja tamatan
SMTA Kejuruan (28,51 persen pekerja berusaha di sektor informal) dibanding dengan
pekerja tamatan SMTA Umum (41,41 persen berusaha di sektor informal). Akhirnya
pada tingkat pendidikan SMTA ke atas, peran sektor informal terus berkurang dan
peranan dalam penyerapan pekerja digantikan oleh sektor formal. Jadi terdapat
hubungan positif antara peran sektor informal dengan tingkat pendidikan pekerja.

Tabel 4
Pekerja Sektor Formal dan Informal
Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
1998 dan 2002

1998 2002
Tingkat Pendidikan
Tertinggi Yang Formal Informal Total Formal Informal Total Formal Informal Total Formal Informal Total
Ditamatkan % % % % % %

Tidak Pernah Sekolah 1.236.347 6.710.659 7.947.006 15,56 84,44 100 423.654 6.210.376 6.634.030 6,39 93,61 100
Tidak/Belum Tamat SD 3.546.694 13.095.750 16.642.444 21,31 78,69 100 1.835.155 12.760.576 14.595.731 12,57 87,43 100
Sekolah Dasar 8.779.547 24.081.274 32.860.821 26,72 73,28 100 6.644.366 27.961.272 34.605.638 19,20 80,80 100
SMTP 4.489.714 7.708.620 12.198.334 36,81 63,19 100 5.128.757 10.213.713 15.342.470 33,43 66,57 100
SMTA Umum 5.272.596 3.726.196 8.998.792 58,59 41,41 100 5.890.033 4.183.259 10.073.292 58,47 41,53 100
SMTA Kejuruan 3.961.425 1.583.889 5.545.314 71,49 28,51 100 4.057.191 1.957.879 6.015.070 67,45 32,55 100
Diploma I/II/III 1.476.300 175.968 1.652.268 89,35 10,65 100 1.737.939 226.570 1.964.509 88,47 11,53 100
Universitas 1.568.423 259.047 1.827.470 85,82 14,18 100 2.118.924 297.502 2.416.426 87,69 12,31 100

Jumlah 30.331.046 57.341.403 87.672.449 34,60 65,40 100 27.836.019 63.811.147 91.647.166 30,37 69,63 100

Sumber: Sakernas 1998 dan 2002 -BPS.

Selanjutnya kondisi tahun 2002 dibanding tahun 1998, seperti tampak pada tabel
di atas juga tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Tahun 2002 persentase
pekerja di sektor informal menurut tingkat pendidikannya cenderung mengalami
peningkatan. Hal ini tampak bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin rendah
persentase pekerja sektor informalnya. Sebagian besar (93,61 persen), pekerja dengan
predikat tidak pernah sekolah berusaha di sektor informal. Peranan sektor informal
masih tetap besar hingga tingkat pendidikan SMTP. Sekitar 66,57 persen pekerja
berpendidikan tamatan SMTP berusaha di sektor informal.
Kemudian peranan sektor informal tampak relatif lebih rendah untuk pekerja tamatan
SMTA Kejuruan (32,55 persen pekerja berusaha di sektor informal) dibanding pekerja
tamatan SMTA Umum (41,53 persen berusaha di sektor informal). Akhirnya sejak
tingkat pendidikan SMTA ke atas, peran sektor informal terus berkurang dan peranan
dalam penyerapan pekerja digantikan oleh sektor formal. Jadi dengan demikian dapat
dikatakan bahwa terdapat hubungan positif antara peran sektor informal dengan tingkat
pendidikan pekerja, baik keadaan pada tahun 1998 maupun pada tahun 2002.

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


6
4.4 Pertumbuhan Pekerja Sektor Informal
Berikutnya, pada 1998 pekerja sektor informal sebagian besar (58,84 persen)
bekerja di sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan (Tabel 5). Persentase
pekerja sektor informal yang berusaha di sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan
perikanan menurun menjadi 58,53 persen pada tahun 2002. Namun demikian, dilihat
dari jumlahnya, pekerja informal di sektor pertanian meningkat dari 33,74 juta orang
tahun 1998 menjadi 37,35 juta orang pada tahun 2002. Dengan demikian pekerja
informal di sektor pertanian bertambah sebesar 3,61 juta orang. Sedangkan pada sektor
perdagangan besar, eceran, rumah makan pada tahun 1998 menyerap 24,33 persen dan
menurun menjadi 21,77 persen pada tahun 2002.

Tabel 5
Jumlah, Persentase dan Pertumbuhan Pekerja Sektor Informal
Menurut Lapangan Usaha
1998 – 2002
Perubahan Jumlah Pekerja
Lapangan 1998-2002 Pertmb.
Usaha *) 1998 2002 1998 2002 Peningkatan Penurunan Rata2
Jumlah Jumlah % % Jumlah % Jumlah % 1998-2002
1 33.740.417 37.351.766 58,84 58,53 3.611.349 55,30 2,1
2 291.829 354.950 0,51 0,56 63.121 0,97 4,3
3 3.781.502 4.364.643 6,59 6,84 583.141 8,93 3,1
4 18.854 17.178 0,03 0,03 1.676 2,73 -1,8
5 692.454 2.311.707 1,21 3,62 1.619.253 24,79 46,8
6 13.952.158 13.892.529 24,33 21,77 59.629 92,27 -0,1
7 2.461.015 3.073.978 4,29 4,82 612.963 9,39 5,0
8 28.304 60.216 0,05 0,09 31.912 0,49 22,5
9 2.374.870 2.394.180 4,15 3,74 9.310 0,13 0,2

Jumlah 57.341.403 63.811.147 100 100 6.531.049 100 61.305 100 2,3
Sumber: Sakernas 1998 dan 2002 – BPS.
Catatan: *) Lapangan Usaha
1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan, Perikanan
1. Pertambangan dan Penggalian
2. Industri Pengolahan
3. Listrik, Gas dan Air Minum
4. Bangunan
5. Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan
6. Angkutan, Pergudangan, Komunikasi
7. Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah, Jasa Perusahaan
8. Jasa Kemasyarakatan

Sementara itu, selama periode 1998 – 2002 (Tabel 6), terdapat empat jenis
pekerjaan yang mengalami pertambahan pekerja di sektor informal, yaitu pada jenis
pekerjaan tenaga tata usaha dan tenaga yang sejenis bertambah 28 ribu orang (0,42
persen dari jumlah peningkatan), jenis pekerjaan sebagai tenaga usaha jasa bertambah
0,16 juta orang pekerja (2,51 persen), jenis pekerjaan sebagai tenaga usaha pertanian,
kehutanan, perburuan dan perikanan bertambah dengan 3,58 juta orang (53,65 persen),
dan jenis pekerjaan sebagai tenaga produksi, operator alat angkutan, pekerja kasar
bertambah dengan 2,90 juta orang (43,42 persen).

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


7
Tabel 6
Jumlah, Persentase dan Pertumbuhan Pekerja Sektor Informal
Menurut Jenis Pekerjaan Utama
1998 – 2002
Perubahan Jumlah Pekerja
1998-2002 Pertmb.
Lapangan 1998 2002 1998 2002 Peningkatan Penurunan Rata2
Usaha *) 1998-2002
Jumlah Jumlah % % Jumlah % Jumlah %
0/1 228.264 143.608 0,39 0,23 84.656 39,19 -7,4
2 27.390 7.748 0,05 0,01 19.642 9,09 -14,3
3 88.454 116.466 0,15 0,18 28.012 0,42 6,3
4 13.800.533 13.689.282 24,07 21,45 111.251 51,50 -0,2
5 1.072.075 1.239.923 1,87 1,94 167.848 2,51 3,1
6 33.675.823 37.262.160 58,73 58,40 3.586.337 53,65 2,1
7/8/9 8.448.864 11.351.476 14,73 17,79 2.902.612 43,42 6,9
x/00 - 484 - 0,00 484 0,22

Jumlah 57.341.403 63.811.147 100 100 6.684.809 100 216.033 100 2,3
Sumber: Sakernas 1998 dan 2002 – BPS.
Catatan: *) Jenis Pekerjaan
0/1 Tenaga Profesional, tekhnisi dan yang sejenis
2 Tenaga Kepemimpinan dan ketatalaksanaan
3 Tenaga tata usaha dan tenaga yang sejenis
4 Tenaga usaha penjualan
5 Tenaga usaha jasa
6 Tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, perikanan
7/8/9 Tenaga produksi, operator alat angkutan, pekerja kasar
x/00 Lainnya

Sudah banyak studi empiris mengenai pentingnya sektor informal sebagai


sumber alternatif kesempatan kerja, bahkan sering dijuluki sebagai the last resort bagi
banyak orang di Indonesia. Artinya, harapan atau pilihan terakhir bagi penduduk miskin
atau pengangguran untuk mendapat penghasilan, walaupun sering kali pas-pasan adalah
sektor informal.
Pada hampir semua sektor-sektor ekonomi terdapat sektor informal, seperti
perdagangan, jasa, industri manufaktur, pertanian, bangunan dan transportasi. Di sektor
industri manufaktur, sektor informal mencakup mulai dari industri kecil 1 dan industri
rumah tangga hingga unit paling kecil yakni self-employment. Di sektor perdagangan,
sektor informal mencakup pemilik toko kecil atau warung hingga pedagang asongan. Di
sektor jasa, mencakup bengkel sepeda dan alat-alat listrik dan toko mesin. Di sektor
pertanian, termasuk petani kecil atau buruh tani. Di sektor bangunan, termasuk tukang
yang bekerja sendiri. Sedangkan di sektor angkutan, kegiatan sektor informal mencakup
taksi gelap dan ojek.
Karakteristik yang melekat pada sektor informal bisa merupakan kelebihan atau
kekuatannya yang potensial. Di sisi lain pada kekuatan tersebut tersirat kekurangan atau
kelemahan yang justru menjadi penghambat perkembangannya (growth constraints).
Kombinasi dari kekuatan dan kelemahan serta interaksi keduanya dengan situasi
eksternal akan menentukan prospek perkembangan sektor informal di Indonesia.

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


8
4.5 Kekuatan Sektor Informal
Beberapa kekuatan yang dimiliki sektor informal sebagai berikut:
4.5.1. Daya Tahan
Selama krisis ekonomi, terbukti sektor informal tidak hanya dapat bertahan,
bahkan berkembang pesat. Hal ini disebabkan faktor permintaan (pasar output) dan
faktor penawaran. Dari sisi permintaan, akibat krisis ekonomi pendapatan riil rata-
rata masyarakat turun drastic dan terjadi pergeseran permintaan masyarakat, dari
barang-barang sektor formal atau impor (yang harganya relatif mahal) ke barang-
barang sederhana buatan sektor informal (yang harganya relatif murah). Misalnya,
sebelum krisis terjadi, banyak pegawai-pegawai kantoran, mulai dari kelas
menengah hingga tinggi makan siang di restoran-restoran mahal di luar kantor. Di
masa krisis, banyak dari mereka merubah kebiasaan dari makan siang di tempat
yang mahal ke rumah-rumah makan sederhana atau warung-warung murah di sekitar
kantor mereka.
Dari sisi penawaran, akibat banyak orang di-PHK-kan di sektor formal selama
masa krisis, ditambah lagi dengan sulitnya angkatan kerja baru mendapat pekerjaan
di sektor formal, maka suplai tenaga kerja dan pengusaha ke sektor informal
meningkat. Selain itu, relatif kuatnya daya tahan sektor informal selama krisis, juga
dijelaskan oleh tingginya motivasi pengusaha di sektor tersebut mempertahankan
kelangsungan usahanya. Sebab, bagi banyak pelaku, usaha di sektor informal
merupakan satu-satunya sumber penghasilan mereka. Karena itu, berbeda dengan
rekan mereka di sektor formal, pengusaha-pengusaha di sektor informal sangat
adaptif menghadapi perubahan situasi dalam lingkungan usaha mereka.

4.5.2 Padat Karya.


Dibanding sektor formal, khususnya usaha skala besar, sektor informal yang
pada umumnya adalah usaha skala kecil bersifat padat karya. Sementara itu
persediaan tenaga kerja di Indonesia sangat banyak, sehingga upahnya relatif lebih
murah jika dibandingkan di negara-negara lain dengan jumlah penduduk yang
kurang dari Indonesia. Dengan asumsi faktor-faktor lain mendukung (seperti
kualitas produk yang dibuat baik dan tingkat efisiensi usaha serta produktivitas
pekerja tinggi), maka upah murah merupakan salah satu keunggulan komparatif
yang dimiliki usaha kecil di Indonesia.

4.5.3 Keahlian Khusus (Tradisional).


Bila dilihat dari jenis-jenis produk yang dibuat di industri kecil (IK) dan industri
rumah tangga (IRT) di Indonesia, dapat dikatakan bahwa produk-produk yang
mereka buat umumnya sederhana dan tidak terlalu membutuhkan pendidikan formal,
tetapi membutuhkan keahlian khusus (traditional skills). Di sinilah keunggulan lain
sektor informal, yang selama ini terbukti bisa membuat mereka bertahan walaupun
persaingan dari sektor formal, termasuk impor sangat tinggi. Keahlian khusus tersebut
biasanya dimiliki pekerja atau pengusaha secara turun temurun, dari generasi ke
generasi.2
4.5.4 Permodalan
Kebanyakan pengusaha di sektor informal menggantungkan diri pada uang
(tabungan) sendiri, atau dana pinjaman dari sumber-sumber informal (di luar sektor

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


9
perbankan/keuangan) untuk kebutuhan modal kerja dan investasi mereka.
Walaupun banyak juga pengusaha-pengusaha kecil yang memakai fasilitas-fasilitas
kredit khusus dari pemerintah. Selain itu, investasi di sektor informal rata-rata jauh
lebih rendah daripada investasi yang dibutuhkan sektor formal. Tentu, besarnya
investasi bervariasi menurut jenis kegiatan dan skala usaha.

4.6 Kelemahan Sektor Informal


Selain faktor-faktor kekuatan tersebut di atas, masa depan perkembangan sektor
informal di Indonesia juga sangat ditentukan kemampuan sektor tersebut, dibantu
maupun dengan kekuatan sendiri, menanggulangi berbagai permasalahan yang mereka
hadapi sehari-hari. Dengan kata lain, mampu tidaknya sektor informal bersaing dengan
sektor formal atau barang-barang impor, juga tergantung pada seberapa serius dan sifat
serta bentuk dari kelemahan-kelemahan yang dimiliki sektor informal. Kelemahan
sektor informal tercermin pada kendala-kendala yang dihadapi sektor tersebut, yang
sering sekali menjadi hambatan-hambatan serius bagi pertumbuhan dan
perkembangannya.
Kendala-kendala yang banyak dialami pengusaha-pengusaha di sektor informal
terutama adalah keterbatasan modal, khususnya modal kerja. Kendala lain adalah
kesulitan pemasaran dan penyediaan bahan-bahan baku, keterbatasan sumber daya
manusia, pengetahuan minim mengenai bisnis, dan kurang penguasaan teknologi.
Sebagian besar industri kecil, terlebih industri rumah tangga di Indonesia adalah
sektor informal. Masalah paling besar yang dialami mereka adalah keterbatasan modal
dan pemasaran. Masalah lainnya adalah pengadaan bahan baku (misalnya tempat beli
terlalu jauh, harga mahal, dan tidak selalu tersedia), kurang keahlian dalam jenis-jenis
teknik produksi tertentu (misalnya tenaga ahli/perancang sulit dicari atau mahal), dan
kurang keahlian dalam pengelolaan. Yang juga jadi persoalan adalah mereka
menghadapi persaingan yang tajam dan kemampuan mereka berkomunikasi sangat
rendah, termasuk akses mereka ke fasilitas-fasilitas untuk berkomunikasi sangat
terbatas.
Dalam hal persaingan, industri kecil dan industri rumah tangga menghadapi
mendapat persaingan sangat ketat, baik dari industri menengah dan besar (IMB)
maupun dari barang-barang impor. Persaingan itu tidak saja dalam hal kualitas dan harga,
tetapi juga dalam pelayanan-pelayanan setelah penjualan dan penampilan produk. Dengan
berbagai keterbatasan yang ada, mulai dari keterbatasan dana, skills, hingga kesulitan
mendapatkan bahan baku dengan kualitas baik, membuat banyak industri kecil dan
indurstri rumah tangga di Indonesia kesulitan meningkatkan kualitas produk mereka agar
mampu bersaing di pasar domestik dan ekspor. Apalagi ketika mereka harus menangani
masalah-masalah tersebut sendirian.

4.7 Tantangan Sektor Informal


Tantangan yang dihadapi sektor informal saat ini dan di masa dating, terutama dalam
aspek-aspek berikut ini:
4.7.1 Persaingan Makin Bebas
Dengan diterapkannya sistem pasar bebas dengan pola atau sistem persaingan yang
berbeda dan intensifitas lebih tinggi, 3 ditambah lagi dengan perubahan tenologi dan selera
masyarakat akibat pendapatan masyarakat yang terus meningkat, maka setiap pengusaha di
sektor informal, baik di sektor industri manufaktur, sektor perdagangan, maupun di sektor

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


10
jasa ditantang apakah mereka sanggup menghadapi/menyesuaikan usaha mereka dengan
semua perubahan ini. Misalnya, dengan makin banyaknya orang menyukai fast food
services, maka pemilik-pemilik warung dan rumah makan tradisional harus memikirkan
strategi agar tetap dapat bertahan di pasar yang sama (walapun di dalam segmen yang
berbeda).
4.7.2 Perkembangan Pesat Teknologi
Perubahan teknologi mempengaruhi ekonomi atau dunia usaha, dari dua sisi, yakni
sisi penawaran dan sisi permintaan. Dari sisi penawaran, perkembangan teknologi
mempengaruhi antara lain metode atau pola produksi, komposisi serta jenis material/input
dan serta kualitas produk yang dibuat. Sedangkan, dari sisi permintaan, perubahan
teknologi membuat pola permintaan masyarakat berubah. Munculnya restoran-restoran
yang menyajikan fast food services juga tidak lepas dari kemajuan teknologi di bidang
makanan. Durvival capability sektor informal sangat tergantung pada tingkat
fleksibilitasnya dalam melakukan penyesuaian-penyesuian di segala bidang yang berkaitan
dengan perubahan teknologi. Di sini, antara lain penguatan SDM sangat penting.

4.8 Peluang Sektor Informal


Peluang sektor informal untuk tetap bertahan atau berkembang, dapat dilihat dari
dua sisi. Dari sisi penawaran, seperti yang telah dibahas sebelumnya, masih ada persoalan
struktural ketenagakerjaan di dalam negeri memberi peluang besar bagi pertumbuhan
sektor informal. Dengan adanya krisis ekonomi, peluang tersebut semakin besar. Terbukti
krisis ekonomi selama tahun 1998 lalu memberi sejumlah dorongan positif bagi
pertumbuhan output (bukan produktivitas) di sektor tersebut lewat labour market effect,
yakni pertumbuhan jumlah unit usaha, pekerja dan pengusaha akibat meningkatnya jumlah
pengangguran (akibat banyak pekerja di sektor formal yang di PHK-kan).
Dorongan positif lainnya dari sisi penawaran (produksi) adalah munculnya tawaran
dari sektor formal untuk melakukan mitra usaha atau aliansi dengan sektor informal karena
kondisi memaksa. Dengan lain kata, muncul kesempatan besar untuk melakukan
kemitraan atau misalnya subcontracting antara industri besar dengan industri kecil 4
Selain itu, krisis ekonomi dengan kondisi nilai tukar rupiah merosot besar terhadap dollar
AS, sebenarnya dapat memberi kesempatan ekspor lebih besar bagi industri kecil.
Walaupun kenyataannya perkembangan ekspor Indonesia secara umum dan perkembangan
industri kecil pada khususnya, tidak terlalu signifikan selama.
Dari sisi permintaan (pasar output), selama sebagian besar penduduk Indonesia
berpendapatan rendah, permintaan terhadap produk-produk (barang maupun jasa) dari
sektor informal tetap besar. Jadi, dapat dikatakan bahwa sektor informal berfungsi sebagai
the last resort, tidak hanya dilihat dari sisi kesempatan kerja (pasar buruh) tetapi juga dari
sisi penjaminan ketersediaan kebutuhan pokok bagi masyarakat miskin (pasar output).

4.9 Faktor Penentu di Sektor Informal


Dari pembahasan sebelumnya di atas, maka dapat dirangkum bahwa eksistensi atau
pertumbuhan (unit usaha, volume produksi atau jumlah tenaga kerja/pengusaha) sektor
informal sangat ditentukan oleh kombinasi yang kompleks antara faktor-faktor dari sisi
permintaan (pasar output) dan faktor-faktor dari sisi pasar tenaga kerja. Demand factors
yang penting adalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan, yang dapat dilihat dari
tingginya rasio Gini, 5 tingkat kemiskinan, dan relatif murahnya harga dari produk-produk
buatan sektor informal. 6

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


11
Tabel 7
Nilai Rasio Gini di Indonesia dan Menurut Daerah Perkotaan dan Pedesaan
1965-1997
Tahun Kota Desa Kota + Desa

1965 0,34 0,35 0,35


1970 0,33 0,34 0,35
1976 0,35 0,31 0,34
1978 0,38 0,34 0,40
1980 0,36 0,31 0,34
1981 0,33 0,29 0,33
1984 0,32 0,28 0,33
1986 0,32 0,27 0,33
1987 0,32 0,26 0,32
1990 0,34 0,25 0,32
1993 0,33 0,26 0,34
1994 0,34 0,26 0,34
1995 0,35 0,27 0,35
1996 0,35 0,27 0,36
1997 0,35 0,26 0,37
Sumber: BPS (SUSENAS)

Dalam hal distribusi pendapatan, perkembangan nilai koefisien Gini sejak 1965
hingga tahun 1997 menunjukkan bahwa pada tingkat nasional kesenjangan tidak
membaik; walaupun sempat ada perbaikan pada dekade 1980-an (Tabel 15). Apabila
rasio Gini pada tahun 1998 dan seterusnya tetap sama seperti pada tahun 1997, atau
bahkan diperkirakan meningkat akibat krisis ekonomi, maka paling tidak dapat dibuat
hipotesis bahwa kegiatan-kegiatan ekonomi atau jumlah kesempatan kerja di sektor
informal akan tetap eksis atau bahkan bertambah besar di dalam perekonomian
Indonesia.
Tetapi, fakta mengenai rasio Gini di atas berbeda dengan data BPS mengenai
tingkat kemiskinan. Perbedaan ini memang bisa terjadi (dengan asumsi bahwa data yang
ada memang menggambarkan yang sebenarnya, alias dapat dipercaya) dan tidak harus
selalu ada korelasi positif antara tingkat kesenjangan dan tingkat kemiskinan. Pada
tingkat nasional, jumlah orang miskin menurun dari sekitar 54 juta orang pada tahun
1976 menjadi 49,5 juta orang pada tahun 1998; secara persentase menurun sebanyak
hampir 50 persen. Dari sisi penawaran, supply factors penting adalah jumlah
pengangguran dan tingkat gaji yang rendah di sektor informal. Selain itu, keinginan
pribadi untuk membuka usaha sendiri juga merupakan salah satu faktor penting dari sisi
penawaran.

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


12
Gambar 1
Skema Mengenai Faktor-faktor Utama dari Sisi Permintaan
dan Sisi Penawaran, dan Kebijakan Pemerintah
yang Mempengaruhi Sektor Informal

Kebijakan
(Pemerintah)

Supply Factors
Demand Factors
(Pasar Tenaga Kerja)
(Pasar Output)

Sektor - Pengangguran
- Distribusi Pendapatan
Informal - Gaji/Upah
- Kemiskinan
- Keiinginan membuka
- Harga Relatif
usaha sendiri

Sedangkan pengaruh kebijakan (pemerintah) terhadap perkembangan sektor


informal dapat bersifat tidak langsung melalui efek terhadap pasar output (sisi permintaan)
dan pasar tenaga kerja (sisi penawaran), yang berarti akan mempengaruhi determinant
factors tersebut di atas, dan bersifat langsung ke sektor tersebut (Gambar 1).
Berikutnya kalau pemerintah menganggap bahwa sektor informal sangat
diperlukan, terutama sebagai sumber alternatif (atau the last resort) penciptaan
kesempatan kerja, maka pertanyaan-pertanyaan berikutnya adalah:
1. Jika masalahnya adalah bagaimana menciptakan full employment, mengapa sektor
informal harus menggantikan (walaupun tidak sepenuhnya) posisi sektor formal
sebagai sumber kesempatan kerja?
2. Berkaitan dengan pertanyaan pada butir 1, apakah sektor formal sudah mencapai
kapasitas maksimum dalam menciptakan kesempatan kerja? Pertanyaan ini ada
kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi (atau pertumbuhan sektor formal) dan
pemilihan teknologi atau metode produksi yang menentukan orientasi
pengembangan sektor formal: labour intensive versus capital intensive.
3. Jika sektor informal ingin dikembangkan karena banyak menyerap tenaga kerja,
apakah hanya sebagai sumber alternatif full employment atau productive
employment? Kalau tujuannya hanya agar tidak ada pengangguran, akibatnya sektor
informal bisa menciptakan banyak kesempatan kerja, namun tidak produktif atau
dengan tingkat pendapatan riil yang rendah; dan ini berarti sektor informal menjadi
salah satu sumber kemiskinan. Sementara itu kalau tujuan kebijakan pengembangan
sektor informal adalah sumber alternatif productive employment, maka muncul
pertanyaan berikut, yakni
4. Apakah tujuan jangka panjangnya adalah mengembangkan sektor informal menjadi
sektor formal? Kalau memang demikian, berarti sebenarnya masih ada kesempatan
untuk mengembangkan sektor formal, dan berarti kembali ke pertanyaan butir 2 di

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


13
atas, yang artinya kapasitas sektor formal untuk menciptakan kesempatan kerja
belum mencapai tingkat maksimum.
Pertanyaan-pertanyaan di atas sangat penting, karena sekali lagi, ini menyangkut
opportunity cost kebijakan pemerintah dalam pengembangan sektor informal dalam
perekonomian Indonesia. Yang harus jelas adalah, apakah kebijakan pengembangan sektor
informal adalah suatu kebijakan jangka pendek (sebagai sumber alternatif kesempatan
kerja sementara) atau jangka panjang (pengembangan sektor informal menjadi sektor
formal).
Jika sektor informal ingin dikembangkan menjadi suatu sumber kesempatan kerja
yang produktif dengan intervensi langsung, pemerintah tidak bisa membantu semua unit
usaha di dalam sektor tersebut. Karena jumlahnya sangat banyak, mulai dari pedagang
asongan, pemilik warung hingga pengusaha industri kecil dan industri rumah tangga.
Karena itu, perlu kriteria-kriteria yang jelas untuk memilih segmen-segmen mana pada
sektor informal yang mempunyai nilai tambah besar (atau yang mengandung opportunity
cost yang rendah) untuk dikembangkan.
Kriteria-kriteria tersebut adalah misalnya: (1) unit usaha yang membuat barang-
barang yang mempunyai potensi besar untuk ekspor; (2) unit usaha yang membuat barang-
barang atau jasa yang mempunyai potensi besar untuk menggantikan produk-produk
impor; (3) unit usaha yang melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi yang dapat membantu
meningkatkan overall efficiency di dalam subsektor atau sektornya dan; (4) unit usaha
yang mempunyai potensi besar sebagai pemasok yang efisien dan produktif bagi sektor
formal.

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


5.1 Kesimpulan
Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Sebagian besar (65,40 persen) pekerja di Indonesia tahun 1998 berusaha dalam
sektor informal dan sisanya merupakan pekerja sektor formal (34,60 persen).
Keadaan ini tidak membaik pada tahun 2002. Hal ini ditunjukkan oleh data bahwa
pekerja di sektor informal mencapai 69,63 persen dari seluruh jumlah pekerja;
yang bekerja di sektor formal sebesar 30,37 persen. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa selama masa pemulihan ekonomi Indonesia periode 1998-2002
tidak ada perkembangan yang berarti dalam penyerapan tenaga kerja yang bekerja
di sektor formal. Sektor modern yang diharapkan dapat menampung pekerja
formal dalam perekonomian Indonesia, ternyata mempunyai daya serap sangat
terbatas dan hanya dapat menyerap kurang dari sepertiga pekerja. Sebaliknya
sektor informal menyerap tenaga kerja begitu besar.
2. Membandingkan keadaan tahun 1998 dan 2002, tampak bahwa lapangan usaha di
sektor pertanian banyak peranannya menyerap pekerja di sektor informal. Pada
tahun 1998 berkisar pada angka 85,61 persen, sedangkan tahun 2002 meningkat
persentasenya menjadi 91,92 persen dari seluruh jumlah pekerja di sektor
pertanian.
3. Peran sektor informal relatif sangat tinggi dibanding sektor formal dalam
menyerap pekerja untuk jenis pekerjaan utama sebagai tenaga usaha penjualan
(82,91 persen pekerja berada di sektor informal), dan jenis pekerjaan sebagai
tenaga usaha pertanian, perburuan, perikanan (92,40 persen pekerja berusaha di
sektor informal).

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


14
4. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin rendah persentase pekerja
sektor informalnya. Sebagian besar (84,44 persen), pekerja dengan predikat tidak
pernah sekolah berusaha di sektor informal. Peranan sektor informal masih tetap
besar hingga tingkat pendidikan SMTP. Sekitar 63,19 persen pekerja dengan
pendidikan tamatan SMTP berusaha di sektor informal.
5. Selama periode 1998–2002, sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan
mengalami pertambahan pekerja sektor informalnya paling besar dibandingkan
dengan sektor lainnya, yaitu bertambah dengan 3,61 juta orang pekerja (55,30
persen dari jumlah peningkatan).

5.2 Rekomendasi

1. Arah kebijakan pengembangan sektor informal memerlukan bentuk intervensi


langsung atapun tidak langsung. Jika pemerintah ingin membantu perkembangan
sektor informal tanpa intervensi langsung, maka satu-satunya yang dapat dilakukan
pemerintah adalah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk menciptakan
suatu lingkungan berusaha (eksternal) yang kondusif bagi perkembangan kegiatan-
kegiatan ekonomi di sektor tersebut. Termasuk menciptakan sistem persaingan bebas
tetapi sehat dan menghilangkan segala macam distorsi dan hambatan-hambatan
lainnya. Disini tugas pemerintah hanya sebagai promotor, stimulator, facilitator,
regulator, dan stabilisator.
2. Mengingat keterbatasan kemampuan pemerintah dalam hal pendanaan, maka
pemerintah mesti menekankan pada intervensi tidak langsung. Sebab, selama ini
fakta menunjukkan bahwa segala bantuan langsung dari pemerintah tidak ada
artinya, atau tingkat efektivitasnya rendah, selama lingkungan eksternal tidak
mendukung. Yang diperlukan seorang pengusaha adalah ada akses ke pasar output
dan pasar input, termasuk akses kepada informasi, teknologi dan pendidikan. Yang
dapat dilakukan pemerintah lewat intervensi langsung hanya dalam penyediaan
fasilitas-fasilitas pendidikan, pelatihan dan kredit dengan harga yang disubsidi.
Namun kebijakan ini hanya untuk jangka pendek dan dengan kriteria yang jelas
atau seleksi yang ketat berdasarkan prinsip/kaidah ekonomi, bukan atas dasar
pertimbangan politik.
3. Orientasi pembinaan unit-unit sektor informal antara lain melalui usaha
peningkatan keterampilan, pendidikan dan penataan performa usaha.
4. Program untuk sektor informal harus dapat menciptakan kepercayaan, membantu
mereka dalam menetapkan kebutuhannya atas berbagai bentuk bantuan,
mengetahui hubungan antara berbagai bentuk bantuan dan menilai kemampuan
mereka untuk menyerap bantuan.
5. Melibatkan lembaga-lembaga sukarela atau LSM-LSM yang dapat memainkan
peranan positif untuk membantu sektor informal. Pelibatan mereka diperlukan agar
dapat membantu mengidentifikasikan berbagai bentuk bantuan (misalnya: kredit,
keterampilan, peralatan, teknologi, pemasaran, prasarana) dan memberikan paket
yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan mereka.
6. Perlu adanya penataan aturan kelembagaan yang seimbang untuk menghindarkan
perlakuan yang sewenang-wenang terhadap pelaku sektor informal termasuk
perlindungan bagi pekerja sektor informal.

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


15
CATATAN BELAKANG

1
Berbeda dengan industri rumah tangga dan self-employment, tidak semua
industri kecil masuk dalam kategori sektor informal. Banyak juga industri kecil yang
terdaftar dan bahkan membayar pajak (sektor formal).
2
Tetapi, di era perdagangan bebas nanti, tingkat persaingan pasar di dalam
maupun di luar negeri akan sangat tinggi. Jika pengusaha di sektor informal hanya
menggantungkan diri pada keahlian tradisional saja tanpa pendidikan tambahan
(formal), terutama mengenai pemasaran global dan manajemen modern, maka keadaan
itu bisa menjadi salah satu kendala utama bagi sector informal di Indonesia untuk dapat
bersaing atau bertahan.
3
Pola persaingan yang berbeda dengan sebelumnya juga disebabkan peraturan-
peraturan WTO/GATT yang menyangkut lingkungan dan hak cipta, serta diterapkannya
standarisasi produksi dan proses produksi yang sudah baku seperti ISO 9000, dan
sebagainya.
4
Akibat biaya overhead dan produksi meingkat yang disebabkan oleh krisis ini,
IB terpaksa merevisi kembali strategi bisnisnya. Salah satu perubahannya adalah
melakukan strategic alliance dengan IK. Atau, yang tadinya IB lebih banyak
menggunakan produk-produk impor, sekarang akibat krisis tersebut mulai memakai
produk-produk buatan dalam negeri, dan ini berarti suatu peluang pasar yang besar bagi
IK di dalam negeri
5
Nilai Gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Rasio Gini = 0: menunjukkan
kemerataan yang sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan,
dan bila rasio Gini = 1: berarti terjadi ketidakmerataan yang sempurna dalam
pembagian pendapatan. Dalam perkataan lain, satu orang (atau satu kelompok
pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut.
6
Banyak orang membeli produk-produk tertentu di sektor informal bukan
karena orang itu miskin, tetapi semata-mata karena harganya relatif murah daripada
harga produk yang sama di sektor formal. Misalnya antara makanan yang dijual di pasar
tradisional dengan di pasar swalayan.

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


16
DAFTAR PUSTAKA

Ananta, Aris. 1996. "Pasar Indonesia Tahun 2000: Analisis Demografi," Warta Demografi,
26 (6).
Bellante, D. and Jackson, M. 1983. Labor Economics. New York: McGraw Hill.
BPS. 1999. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia. Jakarta: PT Citra Mawana Patamaro.
BPS. 1999. Keadaan Pekerja/Karyawan di Indonesia. Jakarta: PT Citra Mawana
Patamaro.
BPS. 2000. Pengangguran Terbuka dan Setengah Pengangguran di Indonesia 1997-
1999. Jakarta: CV Dua Putra Sarko.
BPS. 2003. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia. Jakarta: CV Rioma.
BPS. 2003. Keadaan Pekerja/Buruh/Karyawan di Indonesia. Jakarta: CV Rioma.
BPS. 2003. Pengangguran Terbuka dan Setengah Pengangguran di Indonesia 2000-
2002. Jakarta: CV Rioma.
Islam, I. 2002. Poverty, Employment and Wages: An Indonesian Perspective. Jakarta:
ILO.
ILO. 1993. "Development of the Rural Informal Sector: Policies and Strategies (A
Discussion Paper)," makalah dalam Asian Sub-regional Seminar on Employment
Policies for the Rural Informal Sector in East and Southeast Asia, 24-28 May,
Yogyakarta.
ILO. 1998. Employment Challenges of the Indonesian Economic Crisis, June, Jakarta:
United Nations Development Programme.
Iryanti, Rahma. 2000. “Pengembangan Sektor Informal sebagai Alternatif Kesempatan
Kerja Produktif,” kumpulan makalah, Jakarta.
Korten, D. 1986. Pembangunan yang Memihak Rakyat, Jakarta: Lembaga Studi
Pembangunan.
Maloney, William F. (1995), "The Informal Sector in Mexico: A Dynamic Aproach,"
Washington D.C.: The World Bank.
Maloney, William F. (1999), "Self-Employment and Labor Turnover", Policy Research
Working Paper No. 2102, April, Latin America and the Caribbean Region, Poverty
Reduction and Economic Management Unit, Washington, D.C.: The World Bank.
Priyono, E. 1999. "Mengapa Angka Pengangguran Rendah di Masa Krisis Ekonomi?"
Jakarta: Lembaga Demografi FEUI.
Rahardjo, Dawam, M. 2003. Peranan Pekerja dalam Pembangunan Ekonomi, Jakarta:
LSPEUI.
Sjaifudin, Hetifah, Dedi Haryadi dan Maspiyati. 1995. Strategi dan Agenda Pengembangan
Usaha Kecil. Bandung: AKATIGA.
Standing, G. 1981. Labour Force Participation and Development. Geneva: ILO
Tambunan, Mangara dan Edy Priyono. 1999. "Urban-Rural Non-Farm Informal Sector:
Role, Linkages and Issue of Formalization." makalah Seminar Strategy for
Employment-Led Recovery and Reconstruction", 23-25 November, Jakarta:
ILO/Depnaker/Bappenas.
Tambunan, Tulus. 1998a. Krisis Ekonomi Indonesia. Penyebab &
Penanggulangannya, Jakarta: LP3E KADIN Indonesia & Yayasan Indonesia
Forum.
Tan, Mely G. 1999. "Social Protection on Women Workers in The Informal Sector",
makalah seminar Strategy for Employment-Led Recovery and Reconstruction, 23-
25 November, Jakarta:ILO/Depnaker/Bappenas.

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


17
Widianto, B. 2003. Kebijakan Upah Minimum dan Perluasan Kesempatan Kerja.
Jakarta: Bappenas.
World Bank. 2003. Indonesia: Beyond Macro-Economic Stability. Jakarta: World Bank-
Report No. 27374-IND.

Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan


18

Anda mungkin juga menyukai