Anda di halaman 1dari 35

* Home

* About
* Archives
Essay-essay Pemikiran Pendidikan
PERAN PEMERINTAH DALAM PENDIDIKAN
Aug 15
Pendahuluan
Pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia membutuhkan sinergi antarkomponen
dan membutuhkan kesepahaman visi seluruh stake holder yang terlibat. Komponen pe
ndidikan yang meliputi raw material (input siswa) , tools (alat-alat dan sarana
prasarana), serta process (metode pembelajaran) adalah sebuah sistem yang akan m
enentukan kualitas out put (lulusan), sedangkan stake holder yang terdiri atas s
iswa, guru, kepala sekolah, wali murid, dinas terkait dan pemerintah daerah haru
s sevisi dan sinergi sehingga memperlancar dan mempermudah pencapaian tujuan bai
k tujuan akademis maupun pembentukan moral.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini dinilai banyak pihak belum berkualitas
, sebagai indikatornya adalah kualitas Human Development Index (Indeks Kualitas
Manusia) berada di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singgapura,
Thailand, bahkan Vietnam. Ada beberapa faktor penyebab rendahnya kualitas pendi
dikan di tanah air antara lain: proses pembelajaran belum memperoleh perhatian o
ptimal, guru lebih banyak bekerja sendirian, forum MGMP (Musyawarah Guru Mata Pe
lajaran) belum berfungsi optimal, sekolah belum menjadi pusat belajar bagi guru.
Berdasar UU No 14 Tahun 2005 guru dituntut untuk profesional. Indikator keprofes
ionalan guru mencakup empat hal yakni kompetensi pedagogik, kompetensi profesion
al, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.Untuk mencapai keempat kompete
nsi tersebut selama ini ditempuh secara konvensional yakni melalui diklat dan pe
nataran. Akan tetapi model konvensional tersebut belum menunjukkan hasil yang op
timal karena materi penataran akan dilupakan begitu saja setelah sampai di sekol
ah. Dari hal ini perlu dibentuk komunitas belajar sehingga diperoleh hasil yang
optimal.
Berdasar latar belakang di atas makalah ini akan menguraikan kebijakan pemerinta
h kota Sumedang dalam pengembangan komunitas belajar di sekolah melalui aktifita
s Lesson Study.
Pembahasan
Konsep Lesson Studi
Tujuan lesson study adalah memotivasi peserta didik aktif belajar mandiri. Belaj
ar mandiri merupakan usaha individu pembelajar untuk mencapai suatu kompetensi a
kademis. Dengan demikian dalam belajar mandiri pembelajar menentukan tujuan pemb
elajarannya, merencanakan prosesnya, menggunakan sumber belajar yang dipilihnya,
membuat keputusan-keputusan akademis, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang dipi
lihnya untuk mencapai tujuan belajar (Brookfield dalam Paulinna Pannen, dkk. 200
1). Model belajar mandiri adalah student centered, berpusat pada siswa. Tugas gu
ru dalam belajar mandiri sebagai fasilitator dan mediator, tidak lagi memposisik
an diri sebagai aktor utama yang mendominasi pembelajaran.
Realitas menunjukkan, sampai dengan sekarang belajar mandiri kurang berjalan den
gan baik. Sepanjang pengamatan penulis, beberapa faktor penghambat dalam belajar
mandiri adalah:
Kurangnya inovasi dalam pembelajaran sehingga cenderung menggunakan pola lama ya
kni pembelajaran yang berpusat pada guru.
Kurangnya pemanfaatan sumber daya sekitar baik sumber daya alam maupun sumber da
ya manusia.
Belum terbentuknya komunitas keilmuan di lingkungan sekolah sehingga minim kegel
isahan akademik baik pada level guru maupun siswa.
Ketiadaan program sister school yang berorientasi pada kualitas peningkatan pemb
elajaran.
Komunitas guru antarsekolah dalam program MGMP belum berjalan dengan optimal, pr
ogram yang dilaksanakan sebatas pemenuhan administrasi profesi.
Siklus Lesson Study
Ada tiga siklus dalam lesson study. Prinsipnya siklus selalu kontinyu, berulang
untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Menurut Hendayana (dalam Parmin, 2008) t
iga siklus dalam lesson study berupa plan (merencanakan), do (melaksanakan), dan
see (merefleksi). Secara skematis digambarkan sebagai berikut:

Rencana yang dimaksud dalam siklus ini adalah rencana pembelajaran. Rencana pemb
elajaran merupakan rencana jangka pendek untuk memperkirakan atau memproyeksikan
apa yang akan dilaksanakan dalam pembelajaran (Khaerudin dan Mahfud Junaedi, 20
07). Dalam perencanaan beberapa hal yang harus diperhatikan adalah: kompetensi d
asar, materi standar, indikator hasil belajar, dan penilaian.
Dalam perencanaan terdapat beberapa prinsip yang dapat dikembangkan yakni:
Kompetensi yang dirumuskan dalam perencanaan pelaksanaan pembelajaran harus jela
s.
Rencana yang disusun harus sederhana dan fleksibel.
Kegiatan yang disusun dan dikembangkan dalam rencana pelaksanaan menunjang keter
capaian kompetensi yang digariskan.
Utuh dan menyeluruh.
Dikoordinasikan dengan lingkungan dan seluruh stakeholder sekolah.
Rencana pembelajaran yang disusun lebih mengerucut lagi dalam rencana pelaksanaa
n pembelajaran. Dalam rencana pelaksanaan pembelajaran berisi garis besar apa ya
ng akan dikerjakan oleh guru dan peserta didik. Dengan demikian RPP menekankan p
ada action guru dan murid. Agar model pembelajaran guru variatif maka diperlukan
MCL (Model Creative Learning).
Do (melaksanakan) berangkat dari perencanaan. Melaksanakan merupakan bentuk tind
akan yaitu tindakan yang dilakukan secara sadar dan terkendali, yang merupakan v
ariasi praktik yang cermat dan bijaksana (Suwarsih Madya, 1994). Dalam praktikny
a tindakan atau pelaksanaan dituntun oleh perencanaan, namun tidak mutlak mengik
uti perencanaan karena yang dihadapi adalah dunia nyata (siswa di kelas atau lab
oratorium).
Dalam siklus kedua ini dilakukan observasi. Observasi dilaksanakan untuk mendoku
mentasikan pengaruh tindakan terkait, artinya tindakan sebagai buah dari perenca
naan diobservasi sebagai bahan refleksi sekarang dan sebagai pijakan pada siklus
berikutnya. Observasi penting dilaksanakan karena dalam praktik senantiasa terb
atas oleh kendala dan terdapat celah untuk perbaikan.
Siklus yang ketiga adalah see (merefleksikan). Refleksi adalah mengingat dan mer
enungkan kembali suatu tindakan persis seperti yang telah dicatat dalam observas
i. Refleksi berusaha memahami proses, masalah, dan kemungkinan-kemungkinan yang
dapat dikembangkan dalam perencanaan dan tindakan.
Kebijakan pemerintah kota Sumedang dalam Lesson Study
Program pemerintah dalam upaya peningkatan komunitas belajar di kabupaten Sumeda
ng dengan mengefektifkan program lesson study melalui proyek SISTTEMS (Sumar Hen
diyana, 2008). Proyek ini dimulai sejak tahun 2006 dan masih berjalan dengan bai
k sampai sekarang.
Proyek ini sesungguhnya proyek kerja sama antara pemerintah daerah dengan LPTK.
Pemerintah kabupaten Sumedang melalui dinas pendidikan kabupaten mendanai semua
kegiatan lesson study, sedangkan LPTk dalam hal ini UPI (Universitas Pendidikan
Indonesia) sebagai konsultan yang mendesain dan mengelola pelaksanaan lesson stu
dy.
Berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari contoh program peran pemerintah kabup
aten Sumedang diperoleh hasil sebagai berikut:
? Guru lebih berani membuka diri untuk diobservasi dan dikritisi
? Guru model lebih percaya diri dan menjadi motivator/ sumber inspirasi bagi tem
annya
? Guru belajar dari open lesson dan menerapkannya di sekolah masing-masing
? Guru lebih kreatif memanfaatkan local materials untuk mengembangkan pembelajar
an yang berpusat pada siswa
? Guru menghasilkan karya ilmiah berbasis penelitian kelas
? Siswa memperoleh kesempatan berkreatifitas dalam pembelajaran matematika dan I
PA
? Siswa termotivasi dan senang belajar matematika dan IPA
Dari pengalaman ini maka pemerintah Kabupaten Sumedang menganggarkan secara ruti
n untuk melaksanakan program peningkatan kualitas guru melalui kegiatan lesson s
tudy dengan kemitraan antara dinas pendidikan, kepala sekolah, dan pengawas pend
idikan.
Kesimpulan
Dalam upya peningkatan kualitas mutu pendidikan di tanah air dapat dilakukan den
gan multi pendekatan. Salah satunya adalah peningkatan kualitas guru sebagai uju
ng tombak proses belajar di sekolah. Cara yang lebih baik dibanding peningkatan
kualitas melalui kegiatan diklat atau penataran adalah melalui komunitas belajar
di sekolah atau antarsekolah.
Pemerintah kabupaten Sumedang sangat perhatian dalam masalah ini, sehingga merea
lisasikan proyek pengembangan kualitas guru melalui lesson study. Proyek ini dap
at diadopsi pemerintah daerah lainnya di Indonesia, karena terbukti memberi kont
ribusi positif dalam pengembangan kualitas belajar di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
Paulinna Pannen, Konstruktivisme dalam Pembelajaran, Jakarta: UT, . 2001
Khaerudin dan Mahfud Junaedi, KTSP untuk Madrasah, Yogyakarta: Pilar Media, 2007
Paulinna Pannen, Konstruktivisme dalam Pembelajaran, Jakarta: UT, . 2001
Sumar Hendiyana, Makalah dalam KGI, 2008
Suwarsih Madya, Penelitian Tindakan Kelas, Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1994
Saturday, August 15, 2009 | |

0 comments:
Post a Comment
Links to this post
Create a Link
Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)
* Ningrat atau Umum ?!
* Soft Skills : Unsur Penting yang Terlupakan
* Korupsi di Lembaga Pendidikan
* Pemimpin yang Hebat
* Apa yang Harus Diketahui Oleh Seorang Pemimpin
* Ikhwal Kepemimpinan
* PERAN PEMERINTAH DALAM PENDIDIKAN STUDI KEBIJAKAN PEMERINTAH TINGKAT II SU
MEDANG
* ANALISIS BUTIR SOAL
* Daya Tahan Profesionalitas Guru
* Ujian Nasional: Baik atau Burukkah ?!
* Modifikasi Perilaku bagi Peserta Didik
* Urgensi School for Life
* Merindukan Lahirnya Pedagog Kritis
* Belajar dari Fenomena Alam
* Membangun Budaya Bersih di Angkutan Umum
About Me
My Photo
Barnawi
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pe
ndidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerba
ng, Rindang, dan detik.com serta okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah k
elompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelaj
aran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Gur
u Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International confere
nce on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih seb
agai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK Depdiknas.Buku: 1. Kebijakan Pu
blik Bidang Pendidikan. 2. Be The Great Teacher
View my complete profile
* lomba web log
* pendidikan
* SEAMOLEC
* sekolah
My Blog List
*
KECaKOT Andy
Memalas - Ini kosa kata baru nan aneh. Yang jelas asal katanya dari malas.
Saya pertama menemukan kosa kata memalas di Plurk-nya Mbak Kania yang mungkin k
arena sedan...
16 hours ago
*
Catatan Sawali Tuhusetya
W3 Total Cache: Plugin Cache Powerfull - Sudah lama saya mencari fitur ata
u tool yang bisa dipakai untuk mempercepat speed blog. Maklum, blog ini tergolon
g berat kalau diakses akibat banyaknya gam...
17 hours ago
*
Gunungkelir
Hasil Pilkada Purworejo Putaran 2 - Pilkada Kab Purworejo pada putaran ke
dua ini menyisakan dua calon , kandidat Bupati dan Wakil Bupati untuk Kab Purwor
ejo yaitu Bpk Maksum Zain yang berpas...
2 days ago
*
Jalan Santai Surabaya Bumiayu
Jangan Lupakan Kami, Kalianlah Yang Kami Miliki Sekarang - Ummu Taqi, seor
ang ummahat dari Gaza, Palestina diwawancarai oleh Islam Channel beberapa waktu
lalu. Setelah wawancara, Ummu Taqi menulis sebuah surat dala...
2 months ago
*
IRONI KEHIDUPAN SI YUMMY
IRONI SANTRI DODOL - Emang yang namanya orang kelaperan mah ngga pandang w
aktu n tempat y. Kaya saya n temen2 saya, ngga pandang waktu banget tuh si laper
, dateng2Â jam 12 mal...
4 months ago
* Novi Blog
* Detik com
* Malhikdua school
* Blog Malhikdua com
Blog Archive
* ? 2008 (34)
o ? January (23)
o ? May (4)
+ sertifikasi guru dan bisnis sertifikat
+ istighasah hadapi un, perlu?
o ? September (1)
+ Antara Kognitif dan Metakognitif
o ? October (5)
+ MANFAAT BLOG SEKOLAH DALAM MEMONITORING HASIL SISW...
+ RENCANA PROGRAM PEMBELAJARAN (RPP) MAN BREBES 2 ...
+ RENCANA PEMBELAJARAN No. 5 Mata Pelajaran ...
+ RENCANA PROGRAM PEMBELAJARAN (RPP) MAN BREBES 2 ...
+ RENCANA PEMBELAJARAN No. 14 Mata Pelajaran: Ket...
o ? November (1)
+ PENGELOLAAN SEKOLAH TERINTEGRASI DENGAN MENGGUNAKA...
* ? 2009 (31)
o ? February (1)
+ Hypermaskulinitas di sekolah
o ? March (14)
+ Deschooling Society: Mungkinkah ?
+ Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik
+ Sekolah Masa Depan
+ Profil Guru Madrasah Ideal
+ Puasa Dan Peningkatan Intelektualitas siswa
+ CConcept Mapping dalam Penyelesaian Soal Integral
+ Contoh Proposal
+ Ayo Lestarikan Hutan
+ Implementasi Lesson Study dengan Pendekatan Multy ...
+ Bio Energi: Bukan Sekedar energi Alternatif
+ JOB DESKRIPSI STRUKTUR MA .. TAHUN PELAJARAN .
+ Bab I :Proposal las
+ SILABUS LAS
+ JADWA;L LATIHAN
o ? May (1)
+ SEKOLAH UNGGULAN ISLAMI
o ? July (1)
+ Antithesis Atas Kekuasaan
o ? August (6)
+ Sekolah Para Juragan
+ Karakteristik Generasi Sukses di Masa Depan
+ Belajar dari Novel Perampok
+ Sukses Adalah Harapan Semua Orang
+ PERAN PEMERINTAH DALAM PENDIDIKAN
+ Menyadari Keunikan Diri
o ? September (4)
+ Pengabdian, Keberkahan, dan Fenomena Gelas Kaca
+ Catatan Pelaksanaan Akreditasi Sekolah
+ Narsis, Perlu atau Tidak ?
+ Membangun Budaya Bersih di Angkutan Umum
o ? October (1)
+ Belajar dari Fenomena Alam
o ? December (3)
+ Merindukan Lahirnya Pedagog Kritis
+ Urgensi School for Life
+ Modifikasi Perilaku bagi Peserta Didik
* ? 2010 (10)
o ? February (4)
+ Ujian Nasional: Baik atau Burukkah ?!
+ Daya Tahan Profesionalitas Guru
+ ANALISIS BUTIR SOAL
+ PERAN PEMERINTAH DALAM PENDIDIKAN STUDI KEBIJAKAN ...
o ? June (6)
+ Ikhwal Kepemimpinan
+ Apa yang Harus Diketahui Oleh Seorang Pemimpin
+ Pemimpin yang Hebat
+ Korupsi di Lembaga Pendidikan
+ Soft Skills : Unsur Penting yang Terlupakan
+ Ningrat atau Umum ?!

Smashing Magazine Blogger Templates


Blog Serba Ada
arti kehidupan....ketika hidup bermakna bagi orang lain...dan kehidupan orang la
in bermakna bagi kita
Powered By Blogger
Label
* artikel pendidikan (32)
* Bola (2)
* foto (4)
* PANDUAN BOS (4)
* Peraturan Ttg DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) (6)
* Perundangan (10)
* video (4)
Apakah pendidikan di Indonesia sudah maju??
Daftar Blog Saya
*
DIKNAS.GO.ID - Pusat Informasi Pendidikan Nasional
-
*
SMP N9 TANJUNGBALAI
Klasik Musik Memacu Aktifitas Belajar - Musik............, Bicara tentang
yang satu ini ....so pasti terbayang pada kita suatu dunia enterteinment .... ka
li ini penulis membahas ...
1 minggu yang lalu
*
Tips Trik Blog-Komputer-Internet
Cara Membuat Daftar Isi Blog - Membuat daftar isi blog ini sudah pernah sa
ya posting sebelumnya. Kalo sobat ingin melihatnya dapat dilihat disini dan disi
ni.Cara membuat dafta isi blog kal...
5 bulan yang lalu
*
Tuah Manurung
FIFA WORLD CUP 2010 AFRIKA SELATAN DAN TV LIVE - Tanpa terasa hanya tingga
l hitungan jam lagi FIFA WORLD CUP 2010 AFRIKA SELATAN (south africa) akan dimul
ai. FIFA WORLD CUP (piala dunia) selalu dinantikan...
3 bulan yang lalu
Cari Blog Ini
didukung oleh
Powered By Blogger
Blog ini
Di-link Dari Sini
Daftar Blog Saya
link koe
Web
Blog ini

Di-link Dari Sini

Daftar Blog Saya

link koe

Web

Rabu, 03 Maret 2010


Konsep Dasar Kebijakan dalam Pendidikan
Konsep Dasar Kebijakan dalam Pendidikan
Oleh:
DR. H. Suherli, M.Pd.
Dalam pemberlakuan Otonomi Daerah terjadi perubahan mendasar dalam penyelenggara
an pendidikan. Hal itu bertolak dari kesadaran penentu kebijakan bahwa sektor pe
ndidikan merupakan investasi jangka panjang dalam menyiapkan sumber daya manusia
. Selain itu, fenomena krisis yang melanda bangsa kita menunjukkan bahwa pendidi
kan dianggap belum berhasil dalam menyiapkan SDM yang unggul, kompetitif, dan be
riman. Oleh karena itu, sangat tepat jika dilakukan perubahan paradigma penyelen
ggaraan pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik.
Desentralisasi pendidikan merupakan alternatif model pemberdayaan masyarakat. Sa
lah satu implementasi dari desentralisasi pendidikan adalah dihidupkannya peran
serta masyarakat untuk ikut menyelenggarakan dan mengawasi pendidikan. Program y
ang digulirkan pemerintah untuk keperluan ini adalah School Based Management ata
u Manajemen Berbasis Sekolah.
Program MBS menyiratkan konsep mendasar atas penyelenggaraan pendidikan dengan p
rinsip desentralisasi pendidikan. Landasan filosofis yang perlu diperhatikan dal
am memahami konsepsi ini bertolak dari terminologi desentralisasi dan otonomi. D
esentralisasi adalah penyerahan otoritas pusat ke daerah-daerah; dekonsentrasi a
dalah penyerahan tanggung jawab layanan sektor tertentu pada perwakilan pemerint
ah pusat di daerah; delegasi adalah pengalihan tanggung jawab untuk membuat kepu
tusan dan mengatur pengelolaan layanan publik kepada pemerintah daerah; privatis
asi adalah pengalihan otoritas sektoral kepada usaha-usaha swasta; dan otonomi m
erupakan arah balik dari desentralisasi (yang berangkat dari otoritas pusat yang
diserahkan kepada daerah), dan merupakan pengakuan atas otoritas daerah (Rondin
elli, 1998; Jalal, 2001:75). Dengan demikian, desentralisasi bidang pendidikan b
erarti penyerahan kewenangan (otoritas) pemerintah pusat ke pemerintah daerah da
n masyarakat.
Dari terminologi tersebut maka desentralisasi pendidikan menganut prinsip good g
overnance is less governing (penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah lebih
kurang mengatur). Desentraliasi pendidikan adalah penyerahan wewenang penyeleng
garaan pendidikan kepada masyarakat, karena jika wewenang pusat hanya dipindahta
ngankan ke daerah, maka yang akan terjadi adalah oversentralisasi pada tingkat k
abupaten/kota. Oleh karena itu Program MBS merupakan pola implementasi pembagian
porsi wewenang penyelenggaraan pendidikan antara pemerintah pusat, propinsi, ka
bupaten, dan masyarakat (sekolah) yang bobotnya lebih besar kepada masyarakat da
n stakeholder pendidikan.
Perubahan ini dirasakan sangat drastis karena selama 35 tahun sebelumnya, kita t
idak merasakan perubahan yang sangat signifikan dalam dunia pendidikan. Besarnya
peranan pemerintah dalam turut mengatur terlalu banyak hal-hal teknis dalam dun
ia pendidikan dianggap sebagai biang keladi dari semua keterpurukan kualitas pen
didikan bangsa Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Dari itu, denga
n berbekal konsep desentralisasi pendidikan seiring dengan era reformasi yang se
dang bergulir, berbagai perubahan mendasar pengelolaan pendidikan diserahkan kep
ada stakeholder pendidikan. Pemerintah hanya berperan sebagai pengatur, sesuai d
engan prinsip dasar desentralisasi. Namun, kadang-kadang program yang digulirkan
pemerintah seringkali masih membingungkan masyarakat pendidikan, karena kita be
lum biasa.

A. Kebijakan Pendidikan Sentralistik


Kebijakan pendidikan yang sentralistik dialami dalam tiga periode, yaitu pada ma
sa Pra-Orde Baru, Masa Orde Baru, dan Masa Transisi. Kebijakan pada masa Pra-Ord
e Baru masih berorientasi politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) b
ahwa kebijakan pendidikan di masa ini diarahkan kepada proses indoktrinasi dan m
enolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan
bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar mel
ainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang seko
lah dasar sampai perndidikan tinggi diarahkan untuk perngembangan sikap militeri
sme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada
saat itu.
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman. Tilaar (200
2:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau kese
ragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal da
ri organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarak
at yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingg
a melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini pertu
mbuhan ekonomi yang dijadikan panglima dengan tidak berakar pada ekonomi rakyat
dan sumber daya domestik serta ketergantungan pada utang luar negeri sehingga me
lahirkan sistem pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produkt
if. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak
diikutsertakan di dalam manajemennya. Pendidikan yang mengingkari kebhinekaan d
engan toleransi yang semakin berkurang serta semakin dipertajam dengan bentuk pr
imordialisme. Penerapan pendidikan tidak diarahkan lagi pada peningkatan kualita
s melainkan pada target kuantitas. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah walaup
un diterapkan prinsip link and match .
Pada masa transisi, kebijakan pendidikan merupakan masa refleksi terhadap arah p
endidikan nasional. Tilaar (2000:5) menjelaskan bahwa pada masa krisis membawa m
asyarakat dan bangsa kepada keterpurukan dari krisis moneter membuat menjadi kri
sis ekonomi dan berakhir pada krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menja
di warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa saat itu. Oleh karena pend
idikan merupakan proses pembudayaan, maka krisis kebudayaan yang dialami merupak
an refleksi dari krisis pendidikan nasional. Pada masa ini direfleksi berbagai p
emikiran dalam memajukan sistem pendidikan kita, sehingga berbagai perubahannya
dirasakan sangat drastis, dan sebagian pelaku pendidikan tercengang dan masih gala
u dalam menjalankan kebijakan baru.
B. Kebijakan Pendidikan Desentralistik
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan, bahwa kebijakan desentralisas
i berpengaruh cukup signifikan terhadap kemajuan dan pembangunan pendidikan. Set
idaknya, terdapat empat dampak positif yang dapat dikemukakan untuk mendukung ke
bijakan desentralisasi pendidikan, yaitu: (1) peningkatan mutu, (2) efisien keua
ngan, (3) efisien administrasi, dan (4) perluasan/pemerataan.
1. Peningkatan Mutu
Desentralisasi pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam pemberian oton
omi pada sekolah, akan meningkatkan kapasitas dan memperbaiki manajemen sekolah.
Dengan kewenangan penuh yang dimiliki sekolah, maka sekolah lebih leluasa menge
lola dan mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki, misalnya, keuangan, t
enaga pengajar (guru), kurikulum, sarana prasarana, dan lain-lain. Dengan demiki
an, desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memperbaiki
mutu belajar-mengajar, karena proses pengambilan keputusan dapat dilakukan lang
sung di sekolah oleh guru, kepala sekolah, dan tenaga administratif (staf manaje
men). Bahkan yang lebih penting lagi, desentralisasi dapat mendorong dan membang
kitkan gairah serta semangat mereka untuk bekerja lebih giat dan lebih baik. Pen
galaman di New Zealand, misalnya, desentralisasi berdampak positif terhadap mina
t belajar siswa. Sementara di Brazil, siswa kelas tiga dapat memperbaiki nilai a
tau angka hasil ulangan untuk mata pelajaran dasar (bidang studi pokok).
2. Efisiensi Keuangan
Desentralisasi dimaksudkan untuk menggali penerimaan tambahan bagi kegiatan pend
idikan. Hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan
mengurangi biaya operasional. Untuk itu, perlu eksplorasi guna mencari cara-cara
baru dalam membuat channelling of fund, misalnya, dengan menggunakan mekanisme
vouchers, atau matching grant, dan "sponsorship dunia usaha" dalam pembiayaan pe
ndidikan. Mekanisme ini sudah lazim digunakan di negara-negara sedang berkembang
dan anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Penga
laman di Brazil, misalnya, desentralisasi telah menurunkan biaya dan pelayanan p
endidikan menjadi lebih baik, mulai dari pemeliharaan sekolah, pelatihan guru, s
ampai pemberian makanan tambahan bagi anak di sekolah.
3. Efisiensi Administrasi
Desentralisasi memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan
prosedur bertingkat-tingkat. Kompleksitas birokrasi seperti tercermin dalam pena
nganan pendidikan dasar, yang melibatkan tiga institusi (Depdiknas, Depdagri, da
n Depag), tak akan terjadi. Desentralisasi akan memberdayakan aparat tingkat dae
rah dan lokal, dan membangkitkan motivasi aparat penyelenggara pendidikan bekerj
a lebih produktif. Ini berdampak pada efisiensi administrasi. Pengalaman di Cile
, misalnya, desentralisasi secara signifikan berhasil menurunkan biaya administr
asi, yang ditandai dengan perampingan jumlah pegawai pada Departemen Pendidikan.
4. Perluasan dan Pemerataan
Secara teoritis, desentralisasi membuka peluang kepada penyelenggara pendidikan
di tingkat daerah dan lokal untuk melakukan ekspansi sehingga akan terjadi prose
s perluasan dan pemerataan pendidikan. Desentralisasi akan meningkatkan perminta
an pelayanan pendidikan yang lebih besar, terutama bagi kelompok masyarakat di s
uatu daerah yang selama ini belum terlayani. Memang ada kemungkinan munculnya da
mpak negatif, yaitu, bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam
dan potensi SDM, akan berkembang jauh lebih cepat sehingga meninggalkan daerah l
ain yang miskin. Namun, pemerintah pusat dapat melakukan intervensi dengan membe
ri dana khusus berupa block-grant kepada daerah-daerah miskin itu, sehingga dapa
t berkembang secara lebih seimbang.
C. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi D
aerah dan sejalan dengan itu UU No. 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan konsekuensi dari keinginan era reformasi u
ntuk menghidupkan kehidupan demokrasi. Maka Di era otonomi daerah kebijakan stra
tegis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1
) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang mem
beri kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu s
ecara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas (comm
unity based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan
masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunak
an paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar
atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangka
n pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembek
alan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pend
ekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang
berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar
akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masuka
n baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan
hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia
akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Progra
m ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders)
dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususn
ya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite S
ekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah te
rsebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat dan pemerintah
an di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan kualita
s penyelenggaraan dan layanan pendidikan (quality insurance) yang disusun secara
bersama-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya me
mbantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan membantu
pula mengawasi dan mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya, dih
arapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS)
. Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua
siswa untuk membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan.
Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak,
terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai duku
ngan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkata
n kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kese
jahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar
(SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program be
rikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sang
at baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, seh
ingga dapat membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan.
Namun, wacana yang dikembangkan adalah Sekolah Gratis sehingga mengubur kepedulia
n masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal
di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para p
endidik masih kurang, menganggap seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilita
s pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Maka, tidak
heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite
sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, funding father yaitu pemerinta
h.
Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih terdapat beberapa masalah. Peng
elolaan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu (sekolah) menjadi kewenangan
kepala sekolah. Demikian pula, penyelenggaraan pendidikan di kelas memang seluru
hnya harus menjadi kewenangan guru. Berdasarkan kewenangan profesionalnya, guru
bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran. Namun, pad
a SMTP dan SMTA sebagian kewenangan meluluskan hasil belajar siswa masih menjadi
projek pemerintah pusat dengan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan. Demikian
pula pada tingkat SD di kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi kewenangan di
nas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih ikut-ikutan pemerintah pusat mengendal
ikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau dari hakikat pengajaran dan se
jalan dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian dari tugas pen
gajaran seorang guru, sehingga kewenangan itu jangan direbut oleh birokrasi pendid
ikan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yang
masih setengah hati diserahkan.
Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terforma
t secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dala
m melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini hasil dari k
ebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai inprovisasi di daerah telah menun
jukkan warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang telah dija
lankan di Samarinda, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningka
tan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat di
implementasikan sebagai berikut :
(1) Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
(2) Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
(3) Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP
(4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru
(5) Pemberian insentif kepada guru-guru negeri
(6) Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah
(7) Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk me
ngikuti program Pascasarjana Universitas Mulawarman.
Peningkatan mutu pendidikan tersebut berkaitan dengan peningakatan SDM di daerah
sehingga selalu dilakukan perbaikan berbagai kebijakan pada tataran meso sebaga
i rencana program oleh pemerintah daerah melalui dinas pendidikan.
D. Kebijakan Pendidikan di Kabupaten/Kota
Dengan berdasar pada keempat indikator sistem pendidikan nasional yaitu populari
sasi, sistematisasi, profileralisasi dan politisasi pendidikan nasional, maka us
ulan program pengembangan pendidikan, sebagaimana tercantum dalam Tilaar (2000:7
7-790 sebagai berikut :
(1) Mengembangkan dan mewujudkan pendidikan berkualitas;
(2) Menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu;
(3) Menciptakan SDM pendidikan yang profesional dengan penghargaan yang wajar;
(4) Melakukan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap
, mulai tingkat provinsi dengan sekaligus mempersiapkan sarana, SDM, dan dana ya
ng memadai pada tingkat kabupaten;
(5) Melakukan perampingan birokrasi pendidikan dengan restrukturisasi departemen
pusat agar lebih efisien;
(6) Menghapus berbagai peraturan perundangan yang menghalangi inovasi dan eksepe
rimen, dengan melaksanakan otonomi lembaga pendidikan;
(7) Merevisi atau mengganti UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasion
al dengan peraturan perundangan dan pelaksanaannya
(8) Menumbuhkan partisipasi masyarakat, terutama di daerah dalam kesadarannya te
rhadap pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk membangun masyarakat Indonesia
baru. Suatu wadah masyarakat diperlukan untuk menampung keterlibatan masyarakat
tersebut.
(9) Menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia usaha
(10) Melakukan depolitisasi pendidikan nasional, dengan menciptakan komitmen pol
itik dari masyarakat dan pemerintah untuk membebaskan pendidikan sebagai alat pe
nguasa;
(11) Meningkatkan harkat profesi pendidikan dengan meningkatkan mutu pendidikan,
syarat-syarat serta pemanfaatan tenaga profesional, disertai dengan meningkatka
n renumerasi profesi pendidikan yang memadai secara bertahap.
Berdasarkan pada prinsip otonomi, maka kebijakan pendidikan di daerah dapat ditu
angkan ke dalam Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan. Namun demikian, tampak
nya daerah masih terus saja berbenah diri dalam hal kebijakan politik dan kepega
waian yang juga mengalami perubahan yang sangat drastis. Beberapa hal yang masih
menjadi pekerjaan kantor bidang pendidikan di daerah adalah:
1) Peningkatan Mutu Pendidikan
Pemerintah daerah harus terus mendorong dan mengembangkan sekolah menerapkan kon
sep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yakni usaha peningkatan mu
tu pendidikan dengan menggalang segala sumber daya yang ada di sekolah dan lingk
ungannya, baik guru, orangtua siswa, pemerintah setempat maupun swasta agar terk
oordinasi dan terencana dalam menunjang peningkatan mutu pendidikan di sekolahny
a.
2) Perluasan Kesempatan Belajar
Dalam rangka mempercepat penuntasan program wajib belajar Pendidikan Dasar 9 tah
un dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapa
tkan pendidikan maka dapat ditempuh usaha baru sebagai berikut :
(1) Pembangunan Unit Sekolah baru (USB)
(2) Pembangunan Ruang Kelas baru (RKB)
(3) Pemasayarakatan SLTP Terbuka (SLTPT)
(4) Kampanye/Penyuluhan Wajib Belajar Pendidikian Dasar
(5) Pemberian Beasiswa dan dana bantuan Operasional (DBO)
(6) Pendidikan bagi SD/MI, SLTP/MTs dan SMU/MA
(7) Pemberian Dana Operasional Pendidikan bagi SD/MI
(8) Pemberian bantuan perlengkapan belajar bagi siswa SD/MI dari keluarga tidak
mampu;
(9) Membina dan mendorong penyelenggaraan pendidikan luar sekolah oleh masyaraka
t dalam bentuk Pusat Kegiatan Belajar (yang menyelenggaraka Paket A, KF, Paket B
, dan Paket C).
3) Efisiensi dan Efektivitas
Untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang efisien dan efektif maka penyel
enggara pendidikan formal perlu dibekali dengan pengetahuan tentang :
(1) Pengelolaan dan penyelenggaraan Administrasi Sekolah
(2) Pengelolaan dan penyelenggaraan Administrasi Perkantoran
(3) Kemampuan manajerial
(4) Kemampuan Pengelola Proyek
(5) Pengelolaan dan perencanaan pendidikan
(6) Kemampuan Monitoring dan Evaluasi
4) Menyusun Peraturan Daerah Pendidikan;
Perda tentang pendidikan di Kabupaten/Kota merupakan dasar hukum yang dapat digu
nakan oleh seluruh masyarakat Kabupaten/Kota tersebut sebagai kelanjutan dari Un
dang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003. Bertolak dari aturan ini m
aka beberapa kebijakan meso maupun mikro dapat dibuat dalam rangka menjalankan a
manat Pembukaan Undang-undang Dasar 45.
5) Angka Rata-rata Lama Sekolah;
Dalam rangka meningkatkan Indeks Pendidikan (Education Index) partisipasi masyar
akat dalam mengikuti pendidikan harus terus dipacu. Berdasarkan laporan BPS dike
tahui bahwa Angka RLS masyarakat Jawa Barat hanya 6,8 tahun atau setara dengan s
iswa SMP Kelas satu. Dengan demikian diperlukan perjuangan yang sangat erat bagi
dinas pendidikan untuk meningkatkan wajib belajar 9 tahun. Padahal wajib belaja
r 9 tahun sudah dikumandangkan sejak lama. Oleh karena itu, diperlukan optimalis
asi pendidikan dasar, baik melalui SD/MI dan SMP/MTs, maupun SMP Terbuka, dan Pa
ket A dan B untuk dapat mengakselerasi Wajar Dikdas 9 tahun.
6) Angka Melek Huruf
Penopang lain dari Indeks Pendidikan adalah Angka Melek Huruf (AMH). Semula kita
menduga bahwa di Kabupaten/Kota di Jawa Barat sudah tidak ada lagi yang masih B
uta Huruf (tidak bisa baca-tulis-bicara bahasa Indonesia), namun setelah dilakuk
an pendataan ulang di Jawa Barat telah diketahui terdapat sekitar 251.234 yang m
asih kurang dalam baca-tulis-bicara bahasa Indonesia. Tentu saja, mereka harus s
egera dientaskan melalui program yang fungsional (Keaksaraan Fungsional).
(7) Partisipasi dan Peranserta Masyarakat;
Pada Pasal 56 UUSPN 20/2003 diungkapkan bahwa masyarakat berperan dalam peningka
tan mutu pelayanan pendidikan melalui dewan pendidikan, komite sekolah atau madr
asah. Sebagaimana diketahui bahwa Dewan Pendidikan di Kabupaten/Kota pada umumny
a belum banyak dirasakan perannya dalam peningkatan mutu pendidikan di kabupaten
/kota, bahkan dalam proses pembentukannya pun dikuasai pihak-pihak tertentu yang
kurang menguasai masalah pendidikan. Demikian pula dengan Komite Sekolah/Madras
ah, di antara mereka masih kurang memiliki pemahaman yang mantap tentang MBS dan
bahkan ada di antara mereka yang hanya berfungsi sebagai stempel bagi sekolah d
alam melegitimasi pungutan dari orangtua siswa.
(8) Otonomi Sekolah
Dalam menjalankan MBS, sekolah memiliki otorita dalam mengelola pendidikan pada
tingkat satuan pendidikan. Sekolah diberi kewenangan untuk mengelola input pendi
dikan, melaksanakan proses pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil pendidikan
. Namun, dalam beberapa hal pemerintah daerah harus melakukan pengawasan secara
ketat untuk memberikan jaminan kualitas layanan yang diberikan sekolah kepada pe
serta didik. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme sistem kontrol yang aku
rat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Sistem kontrol itu, b
ukan penyeragaman buku laporan pendidikan atau melakukan Ulangan Umum Bersama me
lainkan menciptakan suatu mekanisme yang sahih.
(9) Kualitas SDM Pendidikan
Dalam menyikapi berbagai perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan, tentu s
aja harus diiringi dengan peningkatan kualitas tenaga pendidik dan tenaga kepend
idikan. Harus diakui bahwa tenaga kependidikan yang saat ini tersedia merupakan
produk dari LPTK yang belum mengantisipasi reformasi dalam bidang pendidikan. Da
lam beberapa hal para guru masih menggunakan paradigma transfer of knowledge dal
am penyelenggaraan pendidikan. Padahal pola pikir ini telah lama ditinggalkan ol
eh kalangan innovator pendidikan. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang
masih hanya berfungsi sebagai guru, menyampaikan materi pelajaran kepada siswa.
Konsep learning based experience dan learning by doing masih belum secara mantap
diterapkan para guru. Apalagi konsep dasar pengembangan kompetensi yang seharus
nya dijadikan dasar bagi pengembangan kurikulum di sekolah.
(10) Kesejahteraan Tenaga Kependidikan
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan kinerja tenaga kependidika
n salah satu penyebabnya adalah rendahnya kesejahteraan yang diterima (take home
pay). Dari gaji yang diterima para guru, mereka harus rela membagi penggunaanny
a dengan biaya transportasi dan konsumsi (terutama jika harus mengajar sampai de
ngan siang). Dengan demikian take home pay yang diterima para guru semakin kecil
dan tidak manusiawi. Berbeda dengan profesi lain, untuk keperluan transportasi
dan konsumsi biasanya tersedia pada institusi tersebut, sedangkan profesi guru h
arus merogoh saku gajinya. Dalam menyikapi hal ini, tampaknya pemerintah daerah
harus segera memikirkan insentif atau tunjangan profesi yang dapat diberikan kepad
a guru agar kinerja mereka meningkat dalam rangka mempersiapkan SDM pendidikan d
i Kabupaten/Kota yang lebih baik. Pada daerah-daerah tertentu, hal ini sudah dil
aksanakan, misalnya Kota Bandung, DKI Jakarta, Kutai Kertanegara, Propinsi Sumat
era Barat, dan sebagainya. Mungkin jika Anggaran Pendidikan di Kabupaten Ciamis
dapat diungkit hingga 20%, para guru dapat segera diberi insentif supaya memacu
mereka dalam berkompetensi meningkatkan mutu pendidikan.
(11) Organisasi Penjamin Kualitas
Untuk melakukan jaminan kualitas pendidikan di Kabupaten/Kota, tampaknya diperlu
kan organisasi kedinasan, setara dengan eselon III yang membidangi peningkatan k
ualitas pendidikan dan tenaga kependidikan. Lembaga ini harus mampu memberikan j
aminan kualitas hasil pendidikan dan melakukan pelatihan dan pembinaan terhadap
tenaga kependidikan. Sudah tidak sesuai lagi apabila lembaga penjamin kualitas p
endidikan yang memberikan pelatihan kepada tenaga pendidikan dilaksanakan oleh B
adan Kepegawaian Daerah. Lembaga ini dapat berfungsi melatih dan membina tenaga
pemerintah daerah, namun untuk tenaga kependidikan harus dilaksanakan secara khu
sus agar dapat memberikan pelatihan terhadap tenaga kependidikan (guru) mengarah
kepada profesionalisasi sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Nomor 14/2005 t
entang Guru dan Dosen. Untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelatihan, le
mbaga ini perlu mengundang educational expert dari Lembaga Pendidikan Tinggi Ten
aga Kependidikan.
(12) Penggunaan Buku Teks Pelajaran
Ketentuan tentang Buku Teks Pelajaran sebagaimana dituangkan dalam Permen 11/200
5 masih belum diterapkan secara menyeluruh di sekolah. Berdasarkan ketentuan itu
, Sekolah (guru dan kepala sekolah) dan Komite Sekolah dilarang menjual buku di
sekolah. Demikian pula, penerbit tidak boleh menjual buku langsung ke sekolah. U
ntuk keperluan peserta didik, para guru dapat menganjurkan kepada orangtua atau
peserta didik untuk menggunakan buku Teks Pelajaran yang telah berstandar nasion
al. Pemerintah telah menyampaikan kebijakan tentang Buku Teks Pelajaran, bahwa P
emerintah Pusat tidak akan lagi menerbitkan atau membagikan Buku Teks Pelajaran
untuk sekolah. Pemerintah hanya menetapkan buku-buku berstandar nasional yang da
pat dipilih oleh sekolah untuk digunakan sebagai buku teks pelajaran di sekolah.
Dalam memilih buku ini, sekolah harus mengajak dan melibatkan Komite Sekolah (s
ebagai wakil masyarakat). Kenyataan di lapangan, masih ada sekolah atau guru men
jual paksa buku kepada siswa, menjual LKS kepada siswa, penerbit masih mengedrop
buku ke sekolah, penentuan buku teks pelajaran tidak mengajak komite sekolah. M
asih banyak persoalan tentang buku teks ini, mungkin karena low inforcement yang
masih lemah di daerah, serta kesadaran masyarakat yang masih lemah.
(13) Pengembangan Kurikulum Sekolah
Kebijakan pemerintah yang terbaru, tahun 2006, yaitu Permen 22 tentang Standar I
si dan Permen 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan Permen 24 tentang Pelak
sanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan masih sangat multi tafsir. Ban
yak di antara tenaga kependidikan menyebutnya dengan Kurikulum 2006, padahal dal
am ketentuan itu diungkapkan bahwa kurikulum itu harus disusun oleh sekolah deng
an mengikutsertakan komite sekolah. Ada pula yang menyebutnya dengan Kurikulum T
ingkat Satuan Pendidikan (KTSP), padahal itu peristilah yang diberikan bagi kuri
kulum tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut, sekolah harus mengembangkan kuri
kulumnya, sehingga kelak akan ada Kurikulum SD Negeri 8 Jatinagara atau Kurikulu
m SMP Ma arif Banjarsari. Dalam tataran kebijakan, pemerintah daerah harus dengan
segera menyusun rambu-rambu pengembangan KTSP sehingga dapat dijadikan acuan pen
gembangan kompetensi lokal yang harus dikembangkan di daerah. Oleh karena itu, t
ampaknya masih sangat diperlukan sosialisasi secara mantap dan menyeluruh bagi t
enaga kependidikan di daerah, sehingga pengembangan kurikulum dapat mulai dipers
iapkan oleh semua pihak dengan mengikutsertakan pakar di daerah yang menguasai b
idang ini.
Bertolak dari kenyataan masih banyak persoalan yang dihadapi serta masih banyak
pekerjaan bidang pendidikan yang belum diimplementasikan, tampaknya perlu segera
kita kaji kembali secara saksama. Mungkinkah konsep desentralisasi pendidikan i
ni masih menyiratkan berbagai persoalan atau mungkin pula kita yang salah dalam
menapsirkan dan memahaminya. Akan sangat bijak, apabila kita coba berpikir denga
n jernih, bahwa pendidikan adalah sebuah investasi jangka panjang dalam mempersi
apkan SDM yang unggul dan kompetitif.
Pendidikan merupakan projek masa depan mempersiapkan bangsa berkualitas. Oleh ka
rena itu, sebaiknya marilah kita memposisikan diri pada fungsi, kewenangan, dan
peran masing-masing sesuai kemampuan dan kompetensi dalam pendidikan. Perencanaa
n pendidikan di Kabupaten/Kota memerlukan kesungguhan dan peranserta dari berbag
ai pihak, karena pendidikan merupakan sektor yang telah diotonomkan kepada pemer
intah Kabupaten/Kota. Berbagai kebijakan pendidikan terkini, tampaknya harus seg
era diakses oleh semua pelaku pendidikan agar kita tidak tertinggal dengan kebij
akan makro, meso, maupun kebijakan mikro dalam bidang pendidikan.
(Penulis adalah Dosen Program Pascasarjana Universitas Galuh dan Konsultan Ahli
pada Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional).
Diposkan oleh Tuah Manurung di 3/03/2010 11:42:00 PM
Label: artikel pendidikan
0 komentar:
Poskan Komentar
Link ke posting ini
Buat sebuah Link
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
Ada kesalahan di dalam gadget ini
Daily Calendar
My Profile
Foto Saya
Tuah Manurung
Tanjungbalai, Sumatera Utara, Indonesia
Tuah Manurung, lahir di Tanjungbalai 27 Februari 1978, dari pasangan Abdul R
ahman Manurung (Alm) dan Safinah Sitorus (Alm). Pendidikan formal yang pernah di
tempuh dimulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD)yaitu di SD Negeri No. 132403 Keca
matan Tanjungbalai Selatan dan tamat pada tahun 1990. Saat ini sedang melanjutka
n pendidikan di Program Pascasarjana Prodi Administrasi Pendidikan di Universita
s Negeri Medan ( UNIMED) Angkatan XV Tahun 2008.Menikah pada tanggal 24 April 20
07 dengan Fitri Diana Batubara, S.Pd Pada Tahun 2005 diterima menjadi PNS ( Guru
) dan ditempatkan di SMP Negeri 9 Kota Tanjungbalai sebagai Guru Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam sampai sekarang, Organisasi Masyarakat yang pernah ditek
uni : Pada tahun 1997- 2002 aktif di HMI Komisariat Fak.Tabiyah IAIN-SU Medan ,A
ktif di LSM Mandiri (NGO) Kota Tanjungbalai sebagai Directur Eksecutive, 2006-se
karang Bendahara Umum ICMI-Muda Kota Tanjungbalai. 2008-sekarang Bendahara MUI K
ec. Sei Tualang Raso Kota Tanjungbalai. Lain-lain : Tim Pengembang Kurikulum (TP
K) di Dinas Pendidikan Kota Tanjungbalai, Dewan Penyunting Majalah Edukasi Dinas
Pendidikan Kota Tanjungbalai.
Lihat profil lengkapku
Arsip koe
Anda Pengunjung Yang ke:
generic viagra
buy viagra generic
link koe
* goeroe indonesia
* incek uwah
* kompas
* Shalat Sempurna
Baris Video
didukung oleh
Tampilan slide
Loading...
Pengikut
saya selesai menonton
MultiplyLogo Join Multiply to get updates from abdullah
abdullah faqih
* Home
* Blog
* Photos
* Video
* Music
* Calendar
* Links

Blog Entry Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Apr 29, '07 12:29 PM
for everyone
Upaya peningkatan mutu pendidikan menjadi agenda penting pemerintah (depdiknas)
beberapa tahun terakhir menyusul hasil penilaian internasional, seperti PISA 200
3 (Programme for International Student Assessment) dan TIMSS 2003 (Trends in Int
ernational Mathematics and Sciences Study), yang menempatkan Indonesia pada posi
si buntut dalam hal mutu pendidikan.
Lebih dari itu, laporan terkini dari UNDP tentang Indeks Pembangunan Manusia tah
un 2006 juga masih menempatkan Indonesia pada ranking ke-108 dari 177 negara, ja
uh di bawah negara-negara tetangga, seperti Singapura (25), Brunei Darussalam (3
4), dan Malaysia (61).
Berbagai terobosan dan kebijakan penting telah diambil oleh depdiknas dalam rang
ka meningkatkan akses pendidikan yang merata dan bermutu sejalan dengan komitmen
yang digariskan oleh UNESCO melalui program Education for All (EFA). Ujian Nasi
onal (UN) yang belum lama ini kembali digelar oleh depdiknas dan kebijakan perub
ahan kurikulum dari kurikulum 1994 ke KBK, dari KBK ke KTSP adalah bagian penting
dari terobosan penting itu. Sejauhmana kebijakan-kebijakan tersebut mampu mening
katkan mutu pendidikan?
Alih-alih menjadi strategi peningkatan mutu pendidikan, kebijakan UN sesungguhny
a telah mengaburkan hakikat pendidikan bermutu. Parameter kebermutuan pendidikan
tidak lagi didasarkan pada kebermaknaan individu dalam berperan di dalam kehidu
pan masyarakat, melainkan melulu didasarkan pada sejauhmana peserta didik mampu
mensiasati sederetan soal dalam UN.
Lebih dari itu, kebijakan UN tidak lagi berpihak pada kepentingan siswa, tetapi
lebih banyak mendukung kepentingan kekuasaan. Hasil UN setidaknya bisa menjadi a
lat legitimasi pemerintah untuk mengklaim peningkatan mutu pendidikan yang pada
gilirannya bisa menjadi nilai tawar tersendiri bagi pemerintah di mata dunia int
ernasional. Di sinilah, makna kualitas pendidikan telah dimonopoli sedemikian ru
pa oleh kepentingan pemerintah dan bahkan kepentingan global.
Salah Resep
Penerapan UN sebagai salah satu resep peningkatan mutu pendidikan mencerminkan s
ebuah kebijakan yang tidak didasarkan pada akar persoalan pendidikan yang sebena
rnya. Problem utama merosotnya mutu pendidikan sebenarnya tidak disebabkan oleh
lemahnya sistem evaluasi dan kurikulum, melainkan terletak pada rendahnya kualit
as guru secara umum dan tidak meratanya persebaran guru-guru profesional.
Menurut laporan Balitbang Depdiknas, misalnya, hanya sekitar 30 persen dari kese
luruhan guru tingkat SD di Indonesia yang mempunyai kualifikasi untuk mengajar.
Hal yang sama juga terjadi di satuan pendidikan menengah, terutama di lingkungan
madrasah. Data Departemen Agama (2006) menyebutkan bahwa sekitar 60 persen guru
madrasah tidak mempunyai kualifikasi mengajar. Inilah sebenarnya akar persoalan
pendidikan kita.
Namun, seperti yang kita lihat, selama ini kebijakan pemerintah dalam upaya perb
aikan mutu pendidikan belum sepenuhnya didasarkan pada akar persoalan di atas. M
alah, pemerintah cenderung sibuk dengan kebijakan salah resep , seperti penerapan U
N dan perubahan kurikulum yang sebenarnya belum terlalu mendesak untuk dilakukan
.
Terkait dengan kebijakan perubahan kurikulum, penting dicatat bahwa inovasi kuri
kulum tanpa didukung oleh ketersediaan guru yang mumpuni yang notabene sebagai ag
en pelaksana kurikulum di kelas malah hanya akan semakin membuat runyam mutu pend
idikan.
Padahal kalau kita mau belajar dari keberhasilan model pendidikan Finlandia yang
berdasarkan laporan PISA 2000 dan 2003 menempatkan negara welfare state itu pada
ranking pertama dalam hal ketercapaian kompetensi aplikatif siswa berumur 15 ta
hun dalam bidang literasi dan numerasi, justru faktor inovasi kurikulum, sebagai
mana dikatakan Simola (2005), tidak berperan signifikan dalam menunjang keberhas
ilan pendidikan di Finlandia. Ketersediaan guru yang kompeten lah sebenarnya yan
g merupakan kunci sukses pendidikan di negara tersebut.
Kebijakan strategis
Lalu, apa yang bisa kita lakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan na
sional? Setidaknya ada empat kebijakan strategis yang bisa dilakukan.
Pertama, perlunya dilakukan semacam ujian nasional bagi semua guru dari tingkat SD
sampai SMA. UN guru ini digunakan sebagai langkah pemetaan terhadap kompetensi gu
ru secara nasional. Program ini juga penting sebagai upaya melihat sejauhmana pe
rsebaran guru-guru yang benar-benar kompeten di bidangnya.
Kebijakan pemerintah tentang sertifikasi guru sebagai implementasi UU 14/2005 te
ntang Guru dan Dosen sesungguhnya bisa diarahkan pada tujuan di atas. Namun saya
ngnya, kebijakan tersebut terkesan terlalu akomodatif terhadap tarik ulur kepent
ingan politis. Semestinya kebijakan tersebut harus benar-benar diarahkan pada up
aya menjaring bibit-bibit guru profesional, bukan sekedar untuk balas budi terhada
p lamanya pengabdian para guru senior .
Kedua, perlunya kebijakan persebaran guru-guru berkualitas. Selama ini guru-guru
berkualitas banyak tersebar di sekolah-sekolah favorit (effective schools) di p
erkotaan. Hal ini wajar karena mereka melihat jaminan baik dari sisi ekonomi maup
un karier yang lebih menjanjikan di sekolah-sekolah itu. Hal inilah sebenarnya ya
ng melahirkan kesenjangan kualitas pendidikan antara urban schools dengan rural
schools.
Karena itu, sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan yang menguntungkan sekola
h-sekolah di daerah terpencil berupa kebijakan persebaran guru-guru berkualitas.
Hal ini bisa dilakukan dengan cara memberikan daya tarik yang lebih kepada mere
ka yang mengajar di sekolah-sekolah pinggiran tersebut, misalnya, dengan ditamba
hkannya insentif perumahan dan fasilitas pendukung lainnya. Pola pembinaan karir
terutama guru-guru PNS bisa diarahkan pada kebijakan ini.
Dalam hal ini, ada baiknya kita mengadopsi sistem pembinaan karier model militer
, di mana kader-kader terbaik harus ditempa terlebih dahulu di daerah-daerah yan
g penuh tantangan yang tidak mudah (contexts of stringency).
Ketiga, sebagai jangka panjang, perlu dilakukan strategi untuk mencari bibit ung
gul dalam profesi keguruan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan peng
akuan dan penghasilan yang lebih kompetitif bagi profesi guru, sehingga hal ini
bisa memikat para lulusan terbaik dari SMA untuk melanjutkan ke program keguruan
. Keberhasilan pendidikan Finlandia, sebagaimana disebutkan di atas, tidak bisa
dilepaskan dari faktor ini. Simola (2005) mensinyalir bahwa program keguruan di
Finlandia termasuk jurusan paling diminati oleh para lulusan terbaik SMA, sehing
ga wajar jika kebanyakan guru Finlandia merupakan bibit unggul yang berkualitas.
Keempat, pemerintah juga perlu melakukan restrukturisasi menyeluruh terhadap lem
baga-lembaga keguruan di tanah air, terutama dari segi rekruitmen mahasiswanya,
sehingga jaminan kualitasnya semakin unggul dan bisa dipertanggungjawabkan.
Kebijakan-kebijakan strategis di atas seharusnya menjadi pijakan pemerintah dala
m usaha meningkatkan mutu pendidikan nasional. Meskipun strategi-strategi itu ha
silnya tidak bisa langsung kelihatan, tapi itu akan lebih efektif daripada strat
egi penerapan kebijakan UN yang terkesan hanya mengambil jalan pintas peningkata
n mutu pendidikan yang hasilnya pun masih diragukan banyak pihak.
Prev: Poligami dalam Perspektif Alquran
Next: Pendidikan Multikulturalisme dan Keadaban Demokrasi
reply share
3 CommentsChronological Reverse Threaded
sohadi
reply
sohadi wrote on Aug 18, '07
salam kenal Mas. Makasih artikelnya yaa.. boleh di copy ya buat temen2 yang lain
;-)
sdntarumanagara
reply
sdntarumanagara wrote on May 4, '09
Terima kasih, Bung! Selamat berjuang untuk pendidikan yang lebih baik!
koesknadi
reply
koesknadi wrote on Nov 29, '09
dapat juga ni referensinya, makasih ya.....
audio reply video reply
Add a Comment
For:
Add a comment to this blog entry, for everyone
Send abdullahfaqih a personal message
Subject:

-
Quote original message

abdullahfaqih
abdullahfaqih
* Photos of abdullah
* Personal Message
* RSS Feed [?]
* Report Abuse

© 2010 Multiply · English · About · Blog · Terms · Privacy · Corporate · Advertise · Transl
· Contact · Help

Comments RSS Comments


Site RSS Site
Log in
Ilmu Pendidikan.net
»
S
I
D
E
B
A
R
«
§ MENU
* Diary
* Kumpulan Makalah Seminar
* Refreshing
* Tentang Kami
* Tragedi Pendidikan
§ KATEGORI
* Bedah Buku
* Jalan-jalan
* Makalah Pilihan Seminar
* Renungan
* Wacana
§ Pencarian
Google
Custom Search
§ Login
* Log in
* Entries RSS
* Comments RSS
* WordPress.org

Strategi Pembelajaran Inovatif untuk Peningkatan Mutu Pendidikan


March 16th, 2010 by admin
* Add Comment
* Trackback
* Comments Feed
Strategi Pembelajaran Inovatif untuk Peningkatan Mutu Pendidikan:
Suatu Tinjauan Konseptual dengan Pendekatan Teknologi Pendidikan
Prof. Dr. Atwi Suparman
Dr. Suratinah, M.Ed.
Dra. Andayani, M.Ed.
Abstract
Education, that is conducted in order to fulfill the demand of the 1945 Constitu
tion to educate the nation, is a very complex process. Internationally, we are s
till unable to compete and lag behind education-wise. Nevertheless, government o
f Indonesia has always given their utmost attention to the quality of education
by finding new approach to teaching and learning. A variety approach such as Dev
elopment Program of Instructional System (PPSI), Student Active Learning (CBSA),
Competency Based Curriculum (KBK), and Level of Education Curriculum (KTSP) wer
e applied once in a time to find instructional strategy that suit to the demand
of the era. Unfortunately, we have yet to improve the quality of instruction tha
t we dream about.
This paper presents an innovative instructional strategy that focuses on instruc
tional vision, systematical approach, and valid and reliable measurement in orde
r to facilitate students to fulfill the required goals. Furthermore, this paper
also discusses the need of visionary educational strategy that is able to help s
tudents to create their future dream.
At the end, the paper presents the important of the user, the school, and the st
udents, or otherwise known as the safety triangle that represents stakeholders,
in setting the level of education relevance.
Key words: quality of education, innovative instructional strategy, safety trian
gle
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pendidikan yang di selenggarakan dalam rangka memenuhi amanat UUD 1945, yaitu me
ncerdaskan kehidupan bangsa, adalah proses yang sangat kompleks. Sebagai suatu s
ub sistem dalam pembangunan bangsa, di dalamnya terintegrasi komponen siswa, pen
gajar, kurikulum dan pembelajaran, sarana dan prasarana, tata kelola penyelengga
raan, dan keuangan. Keberhasilan mewujudkan amanat tersebut tidak dapat berdiri
sendiri, tetapi perlu dukungan secara integratif dari sub sistem lain. Amanat ya
ng sekaligus merupakan cita-cita luhur mencerdaskan kehidupan bangsa itu sulit d
icapai bila fenomena yang berlawanan dengan praktek pendidikan terus mengemuka d
i dalam masyarakat. Perilaku politik yang mengatasnamakan demokrasi namun menamp
ilkan kekerasan dan kekasaran, perilaku ekonomi yang belum mensejahterakan tetap
i masih menampilkan kemiskinan, perilaku hukum yang menampilkan ketidakadilan da
n tidak mampu melindungi masyarakat dari penganiayaan, pertahanan negara yang me
nampilkan ketidak mampuan melindungi wilayah, dan praktek-praktek lain yang seca
ra keseluruhan tidak mampu mengangkat citra dan harga diri bangsa, adalah contoh
fenomena yang berlawanan tersebut. Dengan fenomena seperti itu pendidikan acapk
ali ditempatkan sebagai tumpuan harapan untuk mengatasi masalah kehidupan bangsa
tersebut.
Di dunia internasional pendidikan nasional kita dipandang masih ketinggalan dan
tidak mampu bersaing. Besarnya jumlah masyarakat yang masih buta huruf dan tidak
menamatkan pendidikan dasar 9 tahun, masih rendahnya daya tampung perguruan tin
ggi dan masih sedikitnya perguruan tinggi Indonesia yang mencapai kelas dunia ad
alah ungkapan yang mengemuka baik di media massa maupun seminar-seminar pendidik
an. Prestasi belajar sekelompok siswa dan mahasiswa kita di berbagai ajang lomba
internasional masih belum mampu mengangkat citra rendahnya kualitas pendidikan
di tanah air, karena masih sedemikian besarnya jumlah peserta didik, jumlah seko
lah, jumlah perguruan tinggi yang masih disebut berkualitas rendah. Oleh karena
itu perlu dicari strategi yang dapat mengangkat kualitas pendidikan kita secara
nasional.
B. Masalah Mutu dan Relevansi Pendidikan
Setiap kita membahas permasalahan pendidikan tampaknya kita sepakat pada dua fok
us utama yaitu pertama kualitas atau mutu dan relevansi, kedua kuantitas dan day
a jangkau yang mengarah pada pemerataan.
Berdasarkan perspektif penulis, mutu dan relevansi pendidikan berfokus pada empa
t hal sebagai berikut.
1. kurikulum dan Strategi pembelajaran;
2. kompetensi lulusan;
3. kesesuaian 1 dan 2 dengan kebutuhan tenaga kerja;
4.kesesuaian pendidikan tinggi dengan tantangan pengembangan terakhir ilmu penge
tahuan dan teknologi.
Namun, bahasan dalam makalah ini dibatasi pada fokus kurikulum dan strategi pemb
elajaran saja.
II. Mencari Kurikulum dan Strategi Pembelajaran
A. Pengalaman dari Waktu ke Waktu
Dari masa kemasa pemecahan masalah mutu dan relevansi pendidikan dilakukan denga
n perbaikan dan penambahan seluruh komponen seperti: sarana prasarana sekolah; k
ualitas, kuantitas, kesejahteraan, dan sebaran penempatan pendidik dan tenaga ke
pendidikan; kurikulum dan pembelajaran; serta penilaian hasil belajar. Namun ko
ntroversi tentang ketepatan pemecahan masalah itu selalu mencuat dan membuahkan
pomeo ganti pejabat ganti kurikulum, ganti pejabat ganti kebijakan. Kontroversi
itu seolah merefleksikan ketidakpercayaan publik terhadap pendekatan yang sedang
diberlakukan, padahal semua aspek dalam sistem pendidikan telah dipikirkan, dir
encanakan, dan dilaksanakan.
Secara singkat berikut ini berbagai perubahan pendekatan yang pernah kita laksan
akan untuk mencari strategi pembelajaran dan pendidikan yang tepat:
1. Program Pengembangan Sistem Instruksional ( PPSI )
Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) adalah salah satu pendekatan d
alam mendesain suatu program pembelajaran khususnya berguna sebagai acuan untuk
menyusun Rencana Pembelajaran atau Satuan Pembelajaran oleh guru (Hamalik, 2005)
. Nama PPSI mulai popular seiring dengan pemberlakuan kurikulum 1975. Pendekatan
yang digunakan dalam penerapan kurikulum 1975 memang berorientasi pada tujuan.
Sistem ini senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang khusus, dapat diuk
ur, dan dirumuskan dalam bentuk perilaku peserta didik. Kata Sistem Instruksional
dalam PPSI merujuk pada suatu sistem, yang terdiri dari komponen-komponen yang b
erhubungan satu dengan yang lain dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. P
embelajaran sebagai sebuah sistem terdiri dari berbagai komponen, seperti bahan
atau materi, kegiatan pembelajaran, dan alat evaluasi, merupakan beberapa kompon
en yang saling berpengaruh untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetap
kan (Harjanto, 1997). Harapannya, dengan diterapkannya PPSI, guru dapat mencapai
tujuan pembelajaran yang efektif dan efisien. Beberapa langkah pengembangan dar
i PPSI yang digunakan guru sebagai kerangka pikir dalam menyusun sebuah Rencana
atau Satuan Pembelajaran adalah Perumusan Tujuan Pembelajaran, Pengembangan alat
Evaluasi, Perencanaan Kegiatan Pembelajaran, Pengembangan Program kegiatan, dan
Pelaksanaan Program.
Terdapat kritik terhadap implementasi PPSI dikalangan para guru. Prosedur ini me
mbawa konsekuensi terhadap beban kerja guru dan juga Kepala Sekolah bertambah di
bidang pengadministrasian dokumen seperti penyusunan satuan pembelajaran yang d
etil, termasuk penyusunan alat evaluasi yang harus dapat mengukur tujuan pembela
jaran. Sehingga bukannya tidak mungkin, guru harus merevisi rancangan atau satua
n pembelajarannya agar seluruh komponen sesuai dan yakin dapat dilaksanakan seca
ra efektif dan efisien. Pada saat itu, hal tersebut dirasakan cukup berat dikait
kan dengan pendapatan yang tidak seimbang (Hamalik, 2005). Juga yang dikemukakan
oleh Soedijarto dalam penerapan PPSI saat pelaksanaan kurikulum 1975, yang terl
alu menaruh harapan tinggi terhadap guru yang menerapkan PPSI yang sebenarnya ha
rus dilakukan oleh tenaga profesional, sehingga dibutuhkan peningkatan kompetens
i dan keahlian yang mendasar dari profesi guru (http://www.jakartateachers.com/4
429.htm).
2. Cara Belajar Siswa Aktif ( CBSA )
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau dalam bahasa Inggris disebut student active
learning adalah satu pendekatan belajar yang memfokuskan pembelajaran pada sisw
a. Pendekatan ini mulai dikenal pada pertengahan tahun 80an sebagai jawaban terh
adap keluhan masyarakat bahwa pembelajaran di kelas lebih teacher oriented denga
n banyak menggunakan metode ceramah sehingga siswa cenderung pasif. Dalam CBSA,
siswa terlibat aktif baik secara fisik, mental, intelektual, dan emosional guna
memperoleh hasil belajar yang optimal. Dengan adanya keterlibatan mental, intele
ktual, dan emosional memungkinkan terjadinya proses asimilasi dan akomodasi kogn
itif dalam mencapai pengetahuan. Dengan menerapkan CBSA, pembelajaran diarahkan
kepada proses yang mampu memberikan siswa pengetahuan dan kemampuan berfikir kri
tis, logis, dan sistematis, serta keterampilan dalam menerapkan hasil-hasil ilmu
pengetahuan; mampu memupuk kemauan dan kebiasaan untuk terus menerus belajar; s
erta memberikan keterampilan menerapkan hasil belajar untuk kepentingan orang la
in atau masyarakat. Karyadi (2005) menjelaskan bahwa terdapat empat prinsip CBSA
yang harus dipehatikan dalam menerapkannya. Keempat prinsip tersebut adalah ket
erlibatan siswa dan keterlibatan guru dalam proses pembelajaran, bahan kajian ya
ng diajarkan, serta situasi pembelajaran. Keterlibatan siswa dapat dilihat dari
keberanian mewujudkan minat, keinginan, dan gagasan, peran serta siswa dalam per
siapan proses pembelajaran, kemampuan dan kreativitas dalam melaksanakan kegiata
n belajar, rasa aman dan bebas melakukan sesuatu, serta rasa ingin tahu. Sementa
ra itu, keterlibatan guru dapat dilihat dari cara guru memberikan kesempatan kep
ada siswa untuk melakukan berbagai macam kegiatan belajar, menciptakan berbagai
situasi belajar, mendorong siswa menjadi peserta aktif dalam proses belajar, men
dorong siswa agar lebih banyak berinteraksi di kelas, mendorong siswa menjadi kr
eatif, memberikan pelayanan kepada perbedaan individu, menggunakan berbagai sumb
er belajar, memberikan balikan, serta menilai hasil belajar siswa dengan berbaga
i cara. Tujuan pembelajaran dn bahan kajian, serta program pendidikan yang tidak
kaku merupakan prinsip CBSA yang dilihat dari bahan kajian yang diajarakan, sed
angkan situasi belajar yang menrapkan prinsip CBSA terlihat pada adanya interaks
i yang hangat dan adanya kegembiraan dan kegairahan belajar.
3. Kurikulum Berbasis Kompetensi ( KBK )
Kurikulum 2004 yang dikembangkan untuk memperbaiki dan memperbaharui kurikulum 1
994 dikenal sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Munculnya KBK sebagai p
endekatan belajar adalah sebagai implikasi diterapkannya Manajemen Berbasis Seko
lah (MBS). Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based Management (SBM) a
dalah model pengelolaan yang memberikan otonomi atau kemandirian kepada sekolah
dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan seluruh masyara
kat sekolah secara langsung sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (Susilan
a, 2009). MBS mendorong sekolah untuk berinovasi, mendesain kembali organisasi s
ekolah, serta menciptakan perubahan dalam proses pembelajaran. Sesuai amanat MBS
yakni mencipatakan perubahan dalam proses pembelajaran, KBK merupakan jawaban u
ntuk perubahan tersebut. Dengan pendekatan ini, kurikulum lebih menekankan pada
kompetensi yang diharapkan dapat dikuasai siswa. Artinya, yang diperlukan bukanl
ah banyaknya bahan materi yang diajarkan seperti pada kurikulum berbasis isi, na
mun lebih pada kompetensinya. KBK berisi kompetensi atau kemampuan dasar yang ha
rus dicapai oleh peserta didik melalui materi pokok dan indikator pencapaian has
il belajar yang telah ditetapkan. Kompetensi dasar ini terdiri dari empat kompet
ensi yakni kompetensi akademik, kompetensi okupasional, kompetensi kultural, dan
kompetensi temporal. Selanjutnya, KBK memiliki karakteristik sebagai pendekatan
yang menitikberatkan pada pencapaian target kompetensi, mengakomodasi beragam k
ebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia, dan memberikan kebebasan yang
lebih luas kepada pelaksana pendidikan di lapangan untuk mengembangkan dan mela
ksanakan program-program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan.
4. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP )
Sejarah KTSP dimulai dari lahirnya kurikulum 2004 yang disebut juga Kurikulum Be
rbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum 2004 sendiri hadir seiring dengan dikeluarkan
nya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang m
enyiratkan semangat desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Dalam perjalanann
ya dan disesuaikan dengan tuntutan perkembangan dari kebijakan desentralisasi, o
tonomi, fleksibilitas, dan keluwesan penyelenggaraan pendidikan, Pemerintah mela
kukan penyempurnaan KBK melalui pengembangan Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan
(KTSP). Penyusunan KTSP di setiap satuan pendidikan tetap mengacu pada standar
nasional pendidikan yang mencakup standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenag
a kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pen
didikan. Dua dari kedelapan standar itu yaitu standar isi dan standar kompetensi
lulusan merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kuriku
lum. Menurut E. Mulyasa ( 2006 : 22 ), secara umum tujuan diterapkannya KTSP ada
lah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian oto
nomi kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan
keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum. Di balik semangat m
endorong kreativitas pengajar untuk melakukan inovasi dalam pengembangan pembela
jaran, terdapat kritik terhadap implementasi KTSP. Kande (2008) menguraikan apab
ila dikaitkan antara standar isi dengan standar kelulusan, seharusnya keduanya b
erjalan serasi. Namun ketika kompetensi yang ditetapkan tersebut hanya diukur da
ri satu sudut pandang saja melalui Ujian Nasional dengan sangat mengecilkan arti
dari ketentuan dalam PP Nomor 19 tahun 2005 Pasal 27 Ayat 1 bahwa peserta didik
dinyatakan lulus tidak hanya diukur dari hasil Ujian nasional saja, maka implem
entasi KTSP masih tidak sesuai dengan aturan. http://re-searchengines.com/freder
ik0608.html
Bila kecenderungan membuat kebijakan yang mewajibkan pengajar menerapkan srategi
pembelajaran tertentu akan terus berlanjut pada masa yang akan datang maka peng
ajar akan pasif dan tidak inovatif. Sementara itu pembuat kebijakan akan terus d
isibukkan mencari dan menginstruksikan penerapan kebijakan baru dari waktu ke wa
ktu agar disebut inovatif. Di sisi lain para guru tidak pernah mendapat kesempat
an mengaplikasikan kebijakan tersebut karena keterbatasan waktu dan sumberdaya p
endukung di sekolah masing masing.
B. Adakah yang Salah ?
Jawabnya mungkin tidak ada yang salah, namun ketidakpuasan pemangku kepentingan
selalu muncul dan mengemuka. Satu pendekatan masih belum diterapkan secara manta
p oleh seluruh sekolah sudah datang pendekatan baru lagi. Siklus yang sama dilak
ukan lagi, yaitu penataran tentang pendekatan baru, pelaksanaan oleh sekolah sekol
ah. Kemudian, muncul ketidakpuasan baru serta dikenalkan pendekatan yang lebih b
aru. Sementara itu kurikulum pada lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
harus terus disesuaikan agar tidak ketinggalan jaman dari kebijakan tentang pend
ekatan baru. LPTK seolah tidak punya pilihan yang lebih akademis (baca ilmiah) d
ari pada sekedar mengajarkan pendekatan yang ditentukan oleh penentu kebijakan (
Pemerintah). Fungsi LPTK yang seharusnya sebagai penghasil ilmu pendidikan terma
suk penemu pendekatan baru dalam pembelajaran tidak sempat hadir. Tidak ada pend
ekatan yang bermula dari hasil/temuan penelitian LPTK yang kemudian digunakan se
bagai kebijakan pendidikan atau setidaknya mampu memberikan inspirasi untuk digu
nakan secara nasional. Berbagai pakar pendidikan yang cukup vokal menyebutnya se
bagai tanda tanda meredupnya sinar ilmu pendidikan di tanah air. Mereka mengajukan
berbagai pertanyaan pertanyaan kritis. Sampai kapan LPTK harus tetap begini tanpa
berdaya ikut menentukan arah perubahan pendidikan ? Mereka risau dengan proses
instruktif dan top down dari pemerintah ke sekolah sekolah, dalam penggunaan pende
katan pembelajaran di tanah air. Mereka mendambakan timbulnya ruang yang luas un
tuk munculnya kreativitas guru dalam pembelajaran. Mereka tidak rela membiarkan
para guru bernyanyi seperti paduan suara tentang keseragaman pendekatan pembelaj
aran di ruang kelas mereka pada hal sumberdaya pendukung mereka tidak setara ant
ara satu dengan yang lain.
Salahkah pembuat kebijakan ? Mungkin tidak sepenuhnya salah, tetapi LPTK tentu t
idak boleh mengelak dari posisinya sebagai penyebab keadaan tersebut. LPTK tidak
berani inovatif, sehingga tidak mampu memberikan perubahan dalam skala nasional
.
C. Konsep Dasar Teknologi Pembelajaran: Kemana ?
Teknologi pembelajaran dikenal sebagai cara cara yang sistemik dan sistematik da
lam memecahkan masalah pembelajaran secara efektif dan efisien. Kalau definisi i
ni disimak di dalamnya ada beberapa pengertian: Pertama, teknologi pembelajaran
menawarkan berbagai cara, bukan satu cara. Kedua, teknologi pembelajaran menawar
kan cara yang sistemik ( bersistem ) bukan parsial, tetapi menyeluruh dan integr
atif dengan melibatkan semua komponen pembelajaran. Seperti uraian Suparman (200
4) bahwa suatu sistem lebih sekedar gabungan dari bagian-bagian; ia harus mempun
yai tujuan tertentu yang tidak dapat dicapai oleh fungsi dari satu atau beberapa
bagian darinya. Ketiga, teknologi pembelajaran menawarkan cara yang runtut atau
sistematik, tidak acak acakan. Keempat, teknologi pembelajaran menawarkan cara ya
ng terbukti efektif dan efisien, melalui uji coba dalam skala terbatas sebelum d
igunakan dalam skala nasional. Kelima cara cara itu terfokus pada rangkaian intera
ksi antara peserta didik dengan sumber belajar dalam skala luas, termasuk pengaj
ar dan berbagai media sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditentukan sebelum
nya tercapai. Dengan pemanfaatan media televisi atau program video, situasi pemb
elajaran dapat berlangsung lebih efisien serta pengendaliannya akan lebih efekti
f. Cara seperti ini dapat memelihara minat, pemahaman, serta pengayaan semua pen
galaman siswa (Sujana dan Rivai, 1989)
Definisi itu menjanjikan terjadinya solusi dalam memecahkan masalah pembelajaran
melalui lima konsep dasar yang sangat indah.
Kalau janji itu benar, kemana teknologi pendidikan itu berjalan selama ini ? Men
gapa rekam jejaknya tidak pernah mengemuka sebagai suatu ilmu terapan yang diaku
i secara luas tentang keterandalannya di tanah air?
Pertanyaan pertanyaan seperti ini menggugat keberadaan (eksistensi) teknologi pend
idikan sebagai ilmu terapan dan sekaligus mempertanyakan keberadaan para pemikir
, peneliti dan praktisi profesional dalam bidang teknologi pembelajaran. Berapa
tebalkah tembok ruang kuliah, ruang kelas dan ruang kerja mereka sehingga kinerj
anya terkurung rapat dalam ruang kedap suara sehingga nyaris tak terdengar ? Di
tanah air sudah ada ribuan lulusan S1, S2 dan S3 Teknologi Pendidikan, baik hasi
l pendidikan di dalam maupun luar negeri. Kemana saja mereka itu sehingga kiprah
nya ibarat lenyap ditelan bumi Nusantara dan bersembunyi di balik lebatnya hutan
pendidikan nasional kita ? Jawabnya mungkin ada, hanya saja mereka pendiam dan
tidak sempat menjadi pusat perhatian masyarakat pendidikan.
III. Srategi Pembelajaran yang Inovatif
Pembelajaran disebut efektif bila dapat memfasilitasi peserta didik untuk mencap
ai tujuan pembelajaran yang ditentukan. Untuk itu pengajar perlu menyusun strate
gi yang sesuai dengan karakteristik peserta didik dan mampu membuatnya mencapai
kompetensi yang di tentukan dalam tujuan pembelajaran. Suparman (2004) menjelask
an tentang pengembangan strategi instruksional yang dapat dilakukan oleh pengaja
r untuk menciptakan situasi pembelajaran yang mendukung pencapaian kompetensi ya
ng telah ditetapkan. Berikut langkah-langkah pengembangan strategi instruksional
.
URUTAN KEGIATAN INSTRUKSIONAL METODE MEDIA WAKTU
PENDAHULUAN DESKRIPSI SINGKAT:
RELEVANSI:
TIK:
PENYAJIAN URAIAN:
CONTOH:
LATIHAN:
PENUTUP TES FORMATIF:
UMPAN BALIK:
TINDAK LANJUT:
A. Visi Pembelajaran : Melihat Makna Kompetensi Masa Depan dan Bebas Berkreasi.
Hal yang penting harus diyakini bersama oleh pengajar dan peserta didik adalah m
akna kompetensi yang terkandung dalam tujuan pembelajaran. Kompetensi dalam tuju
an pembelajaran itu bukan saja perlu dipahami artinya tetapi juga diyakini manfa
atnya oleh peserta didik bagi kehidupannya sekarang dan terutama masa datang. ya
ng Dalam memahami dan menghayati makna tersebut peserta didik harus sampai pada
taraf mendapatkan harapan baru, cita cita baru, dalam hidupnya pada masa depan. Ba
gi pengajar itulah visi dalam sistem pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya
, yaitu pembelajaran yang mampu menciptakan impian ke masa depan bagi peserta di
diknya. Penjelasan dari pengajar tentang visi pembelajaran itu bukan sekedar ver
balistik, tetapi harus mampu membawa peserta didik ke angan angan yang indah dan p
enuh harapan. Disinilah diperlukan pengajar profesional yang inovatif, sabar, da
n selalu berorientasi ke depan, ke arah masa depan yang lebih baik, lebih cerah,
lebih bersemangat, lebih positif, bukan sebaliknya, menciptakan peserta didik y
ang pesimis, negatifis, skeptis, rendah diri, dan tidak mampu melihat masa depan
nya. Caranya ? Pengajar bebas berkreasi, bebas mengekspresikan pikiran dan peras
aannya menurut situasi saat pembelajaran terjadi. Pengajar tidak perlu diharuska
n mematuhi buku pintar tentang satu satunya bimbingan teknis yang mengikat dan mem
belenggu kreativitasnya. Biarkan pengajar mencari sendiri cara yang dipandang te
rbaik dalam menyampaikan visi pembelajaran tersebut dan menguasai berbagai cara
yang dipilihnya setiap saat. Yang harus tetap hidup dalam dada peserta didik ada
lah dicapainya keyakinan tentang makna kompetensi yang akan dicapainya bagi kehi
dupannya yang lebih baik saat ini dan terutama masa depan.
Apa modal penting bagi pengajar agar ia mampu menciptakan pembelajaran seperti i
tu ? Jawabnya kuasai pendekatan sistem dan perkaya keterampilan mengajar.
B. Pendekatan Sistem : Sumber Belajar yang Konsisten dengan visi.
Yang perlu dikuasai pengajar adalah digunakannya pendekatan sistem dalam melaksa
nakan pembelajaran. Pengajar perlu mempunyai dan menerapkan wawasan bersistem, b
ahwa untuk mewujudkan visi pembelajaran itu diperlukan cara-cara tentang mendaya
gunakan semua sumber belajar yang sudah ada dan bila perlu yang harus diadakan o
lehnya agar interaksi peserta didik dengan sumber belajar tersebut dapat berlang
sung dengan aktif, lancar, menarik, menyenangkan, menantang, dan akhirnya mengha
silkan kompetensi yang telah ditentukan. Cara-cara itu dapat diciptakan secara b
ebas oleh pengajar dan dapat diubah-ubah sewaktu-waktu sesuai dengan daya cipta,
keinginan, perasaan yang ada padanya. Disamping penguasaan materi yang di ajark
an, perbendaharaan tentang pengetahuan dan keterampilan menggunakan berbagai met
ode, dan media yang diperoleh dari berbagai pelatihan, diperkaya dengan pengalam
annya dalam menggunakan berbagai urutan kegiatan penyajian, metode dan media pem
belajaran, dan manajemen waktu dalam pembelajaran merupakan referensi bagi penga
jar dalam menciptakan cara-cara tersebut agar sesuai dengan karakteristik pesert
a didik, yang dihadapinya dan visi pembelajaran yang ditentukan. Cara-cara itu d
isebut strategi pembelajaran. Melalui pengalaman secara kumulatif, setiap pengaj
ar akan kaya strategi bahkan setiap saat dapat menciptakan strategi baru yang se
muanya membuat peserta didik berinteraksi dengan sumber belajar secara efektif d
an efisien dalam mewujudkan visi pembelajaran. Dengan kata lain pengajar dimungk
inkan menemukan strategi yang paling efektif dan efisien serta disenangi untuk m
ewujudkan visi pembelajaran yang di cita-citakan. Inovasi dalam strategi pembela
jaran dapat terjadi setiap saat oleh setiap pengajar. Modal awalnya adalah penge
tahuan dan keterampilan menggunakan berbagai metode dan media yang diperolehnya
dari berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau yayasan pengel
ola pendidikan.
C. Keberhasilan Mewujudkan Visi : Pengukuran yang Valid dan Reliabel oleh Siapa?
Dari uraian butir A dan B tersebut di atas, pengajar boleh bahkan bebas seluas-l
uasnya untuk berkreasi selama proses pembelajaran, tidak harus mengikuti satu st
rategi sepanjang waktu. Pengajar dapat mengubah strategi pembelajaran dari waktu
ke waktu agar ia tidak jenuh, peserta didik tidak bosan tetapi senang, dan munc
ul gagasan-gagasan baru dalam strategi pembelajaran. Yang tidak boleh berubah-ub
ah adalah visi pembelajaran saja yaitu: kompetensi yang diharapkan dicapai setel
ah pembelajaran, karena kompetensi itu telah dirumuskan dan ditetapkan sejak awa
l. Visi inilah yang menjadi panduan dan fokus bagi pengajar dan peserta didik. V
isi yang semula merupakan impian bagi peserta didik, berkat kemampuan pengajar d
alam meyakinkannya diikuti dengan strategi pembelajaran yang berfokus kepada vis
i tersebut. Impian indah itu pada akhirnya harus berwujud kompetensi yang dikuas
ai peserta didik. Bagaimana kita tahu bahwa visi itu sudah terwujud? Untuk menja
wabnya tentu perlu pengukuran. Apa yang harus diukur? Yang harus diukur adalah s
etinggi apa kompetensi yang dikuasai peserta didik? Dalam pengukuran ini muncul
berbagai pertanyaan:
1. Perlukah pengukuran itu? Untuk apa?
2. Bagaimana bentuk alat ukurnya?
3. Siapa yang punya kewenangan melaksanakan pengukuran?
Pertama, perlu tidaknya pengukuran terhadap pencapaian visi. Para pemikir dan pr
aktisi pendidikan tidak selalu sepakat dalam menjawab pertanyaan ini. Yang menja
wab perlu dilakukan pengukuran mempunyai argumentasi bahwa visi yang berupa cita
-cita dan impian itu bukanlah sekedar alat untuk memicu dan memacu proses pembel
ajaran tetapi juga untuk memberikan kepuasan dan kepastian terhadap tercapai tid
aknya impian itu. Lebih dari itu, derajat ketercapaian tersebut merupakan akunta
bilitas proses pembelajaran kepada para pemangku kepentingan pendidikan. Pada ak
hir proses pembelajaran harus ada bentuk kongkrit dari impian itu, yaitu biasa d
isebut prestasi belajar. Tanpa pengukuran, peserta didik dan pengajar tidak puny
a dasar untuk mengaku berhasil atau gagal dalam memberi makna dalam proses pembe
lajaran.
Yang menjawab tidak perlu dilakukan pengukuran mempunyai argumentasi bahwa sepan
jang proses pembelajaran sudah terjadi sesuai rencana maka biarlah semuanya dian
ggap selesai dan dianggap sukses. Bukankah yang paling penting dalam pembelajara
n itu terjadinya proses yang dilakukan dengan sebaik-baiknya?
Tentang derajat ketercapaian tidak dapat dibebankan kepada pengajar sebab faktor
-faktor lain seperti ketersediaan sarana dan prasarana, ketercukupan penghasilan
pengajar, ketersediaan kesempatan pengajar untuk mengembangkan diri, dan sebaga
inya. Bagi pihak yang menganggap perlu dilakukan pengukuran, masih ada pertanyaa
n lanjutan yaitu: bagaimana alat ukurnya? Buku-buku pintar tentang cara membuat
alat ukur yang berkenaan dengan kompetensi kognitif dan psikomotor sudah banyak
dan dapat dijadikan pedoman oleh pengajar dalam mengembangkan alat ukur yang val
id dan reliable. Yang sangat sulit adalah mengukur kompetensi yang berkenaan den
gan kompetensi afektif atau karakter setiap peserta didik. Cheklist yang dikombi
nasikan dengan skala sikap dapat digunakan sebagai alat observasi dan penilaian
sikap atau karakter setiap peserta didik. Namun keberatan terhadap alat dan cara
pengukuran terhadap kompetensi afektif ini adalah akurasinya. Walau digunakan m
elalui observasi jangka panjang masih besar kemungkinan meleset. Peserta didik y
ang tampak sebagai manusia yang berkarakter baik acapkali terbukti sebaliknya, y
aitu menjadi penipu, pembunuh dan penjahat bahkan kadang-kadang sangat ulung dan
kejam. Pengukuran karakter dari setiap peserta didik ini tidak cukup hanya dila
kukan oleh pengajar selama berada di depan kelas. Keterbatasan dalam melaksanaka
n pengukuran seperti itu benar-benar membuat pengajar acapkali tidak sanggup mel
akukannya.
Untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dan pengajar, pengukuran keberhasilan pem
belajaran dilakukan oleh pengajar secara otonom. Pengukuran secara otonom dan ma
ndiri sudah dapat memenuhi rasa ingin tahu tentang efektivitas pembelajaran dan
sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban pengajar secara internal baik kepada
sekolah maupun kepada peserta didik. Namun untuk memenuhi kepentingan yang lebi
h besar yaitu tanggung jawab terhadap masyarakat luas dan Pemerintah, pengukuran
keberhasilan perlu dilakukan oleh pihak luar, tidak cukup hanya oleh pengajar y
ang bersangkutan. Disinilah letak perlunya ada ujian akhir nasional (UAN ) yang
diselenggarakan oleh Pemerintah. Pemerintah dalam hal ini adalah pihak luar diti
njau dari pihak pengajar, siswa dan sekolah.
Melalui penyelenggaraan UAN baik peserta didik maupun pengajar diukur keberhasil
an mewujudkan visi pembelajarannya secara lebih independen. Bagi Pemerintah kepe
ntingan penyelenggaraan UAN sekaligus sebagai cara untuk memotivasi peserta didi
k, pengajar, dan pimpinan sekolah untuk menyelenggarakan strategi pembelajaran y
ang paling sesuai dengan memperhitungkan karakteristik peserta didik dan keterse
diaan sumberdaya pendukung. Hasil UAN ini dapat digunakan pula sebagai dasar ole
h Pemerintah atau lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat untuk menga
dakan sumber daya yang ideal di setiap sekolah, seperti sarana prasarana, keseja
hteraan pendidik dan tenaga kependidikan, dan peningkatan kualitas tenaga pendid
ik dan kependidikan. Dengan demikian penyelenggara UAN mempunyai dampak positif
walaupun melalui pemberian tekanan kepada semua pihak baik guru, peserta didik,
sekolah, pemerintah dan masyarakat untuk berperan dan bertanggungjawab di bidang
masing-masing dalam penyelenggaraan pendidikan. Semua pihak itu harus berupaya
mengelola tekanan yang acapkali berwujud stress sebaik-baiknya agar visi pembela
jaran tercapai.
IV. Relevansi Pendidikan
Membahas kualitas pendidikan tanpa menyentuh relevansinya tampaknya ibarat makan
sayur tanpa garam. Pendidikan berkualitas namun tidak relevan dengan kebutuhan
tenaga kerja menjadikan pendidikan itu kehilangan makna. Bagi pendidikan tinggi,
pendidikan itu harus relevan pula dengan kebutuhan pengembangan ilmu dan teknol
ogi agar para lulusanya dapat berkiprah sebagai ilmuan.
A. Kurikulum dan Pembelajaran yang Bagaimana? Segi Tiga Pengaman?
Fenomena yang muncul menjadi bahan perdebatan adalah kompetensi lulusan tidak se
suai dengan kebutuhan tenaga kerja dan dikaitkan dengan besarnya jumlah pengangg
uran terdidik. Debat itu acapkali terus melompat ke arah dugaan tidak relevannya
kurikulum, karena lulusan sarjana suatu program studi tidak mampu bekerja dibid
ang yang dipelajarinya. Mereka harus dilatih lebih dahulu dengan kompetensi yang
lebih spesifik agar siap bekerja.
Untuk menjamin relevansi kurikulum dengan kebutuhan dunia kerja sebenarnya ada c
ara yang sistematik dalam disain pembelajaran (sebagai bagian dari teknologi pem
belajaran). Tiga pihak pemangku kepentingan dalam program studi harus terlibat d
alam merancang kurikulum dan pembelajaran. Ketiganya adalah pengguna lulusan (ma
syarakat dan pemerintah) peserta didik atau lulusan yang sudah bekerja sesuai de
ngan bidang studi yang pernah ditempuhnya, dan penyelenggara pendidikan. Mereka
harus duduk bersama sepanjang proses pengembangan kurikulum mulai dari penentuan
visi atau tujuan program studi, tujuan setiap matapelajaran/matakuliah, dan str
ategi pembelajaran. Harles dalam Suparman (2004) menggambarkan hubungan ketiga p
ihak antara masyarakat, peserta didik, dan pengajar sebagai hubungan segitiga ya
ng saling terkait yang semuanya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Hubungan t
ersebut dideskripsikan melalui gambar berikut.
Gambar 2.
Hubungan kerjasama dan partisipasi ketiga pihak dalam mengidentifikasi kebutuhan
instruksional
Tiga pihak tersebut adalah kunci utama pada tahap awal program pendidikan agar r
elevan dengan kebutuhan. Ketiganya ibarat segitiga pengaman. Namun apa yang terj
adi dalam praktek? Penyelenggara pendidikan mengerjakan sendiri semua yang berhu
bungan dengan pengembangan kurikulum, bahan ajar, media lain dan cara penilaiann
ya. Pada tahap berikutnya, pada saat pendidikan itu dilaksanakan diperlukan pula
keterlibatan masyarakat pengguna lulusan dalam bentuk bantuan tenaga pengajar d
an atau kesempatan berpraktek/praktikum di dalam lingkungan masyarakat pengguna.
Disinilah letak terwujudnya relevansi pengetahuan, keterampilan dan sikap lulus
an dengan kebutuhan masyarakat pengguna. Namun sekali lagi apa yang biasa terjad
i? Penyelenggara pendidikan bertindak sendiri karena merasa paling tahu dan pali
ng mempunyai kewenangan dalam proses pendidikan dan bahkan satu-satunya pihak ya
ng berhak melakukan penilaian hasilnya. Sikap otoriterian ini pula yang menyebab
kan pengguna lulusan tidak percaya kepada kualitas lulusan.
Topik diskusi menarik terkait dengan relevansi pendidikan adalah ketidak siapan
lulusan sarjana untuk langsung bekerja di tempat yang sesuai dengan bidang studi
yang telah diselesaikannya. Mereka harus diberi pelatihan dulu di tempat kerja
tersebut. Kelompok yang mengkritik habis keadaan tersebut mempersalahkan perguru
an tinggi yang menghasilkan sarjana siap pakai, pada hal perguruan tinggi manapu
n di dunia, yang terbaik sekalipun, tidak akan dapat menghasilkan sarjana siap p
akai manakala terkait dengan kultur atau sistem dan prosedur kerja pada organisa
si tempatnya bekerja. Sarjana baru itu harus diadaptasikan dulu dengan budaya or
ganisasi tempatnya bekerja, apalagi bila menyangkut penggunaan teknologi yang be
rbeda dengan yang dipelajarinya selama belajar.
Hal lain yang sering dikaitkan dengan relevansi adalah munculnya fenomena besarn
ya jumlah pengangguran terdidik. Pendapat sekelompok orang menyatakan bahwa kare
na kompetensi lulusan itu kurang relevan dengan kebutuhan tenaga kerja maka mere
ka menganggur. Mungkin pernyataan ini ada benarnya. Kemungkinan lain adalah rekr
utmen dan penempatan tenaga kerja acapkali melalui seleksi yang kurang akurat. P
ara manajer sumberdaya manusia (SDM) atau kepegawaian yang bertugas merekrut peg
awai baru acapkali menerima pegawai dari hasil seleksi tertulis dan wawancara ya
ng fokusnya pada psikotes khususnya intelegensi dan motivasi. Penguasaan bidang
studinya acapkali kurang diperhatikan atau bahkan ditinggalkan dengan asumsi hal
tersebut dapat dilatihkan dalam beberapa bulan sebelum mulai bekerja. Pendekata
n seperti ini mengabaikan pentingnya penghayatan terhadap bidang ilmu yang seben
arnya menjadi basis pembentukan pribadi yang diakhiri darah filosofis bidang ilm
u.
Salah satu contoh kongkrit ada rekrutmen tenaga pendidik yang tidak mempunyai da
rah keguruan tetapi cukup dengan penguasaan bidang studi ditambah penguasaan car
a mengajar. Dengan lain perkataan cukup dengan kompetensi profesional saja, tida
k perlu kompetensi kepribadian.
V. Catatan Akhir
1. Upaya peningkatan kualitas pembelajaran selalu menjadi kepedulian Pemerintah.
Dari waktu ke waktu diterbitkan berbagai kebijakan dan proyek-proyek yang menye
ntuh semua komponen yang terkait dalam sistem pembelajaran, seperti peningkatan
kualitas tenaga pendidik dan kependidikan, penyediaan sarana dan prasarana pendi
dikan, pendayagunaan pendekatan pendidikan baru, peningkatan kesejahteraan guru,
tata kelola pendidikan baru, dan sebagainya. Namun kebijakan-kebijakan baru ter
sebut acapkali diwarnai dengan nuansa menyalahkan pendekatan lama dan ingin meng
ganti dengan pendekatan baru. Pada hal pendekatan baru mungkin lebih bernuansa a
lternatif lain yang menambah khasanah pendekatan pembelajaran yang sudah ada. Ke
tidakpuasan pengajar, para pemikir, dan pengelola sekolah terhadap setiap pendek
atan baru selalu muncul sedangkan kualitas pembelajaran yang diimpikan seolah-ol
ah tidak muncul.
2. Teori apapun yang menjadi landasan setiap pendekatan akan lebih mantap dan be
rkelanjutan bila:
a. Visi pembelajaran yang mengarah pada terujudnya tujuan pembelajaran dipahami
dan diyakini manfaatnya oleh peserta didik dan pengajar sejak awal pembelajaran.
Pengajar haruslah visioner.
b. Menggunakan pendekatan sistem dengan menempatkan kegiatan pembelajaran sebaga
i titik sentralnya sedangkan komponen lain menjadi pendukungnya sehingga harus r
elevan dengan titik sentral tersebut. Pendekatan Sistem ( system approach ) adal
ah salah satu konsep dasar teknologi pendidikan.
c. Pengajar perlu di beri kebebasan seluas-luasnya untuk menciptakan strategi pe
mbelajaran yang dipandang baik sepanjang mengarah pada tercapainya visi pembelaj
aran dengan menggunakan sumber belajar yang tersedia dan dapat disediakan ditemp
atnya mengajar. Untuk ini, modal utama yang diperlukan pengajar adalah penguasaa
n pengetahuan dan ketrampilan tentang berbagai metode dan media pembelajaran yan
g dapat diperoleh melalui pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerint
ah atau yayasan pendidikan tempatnya bekerja. Penggunaan sumber belajar seluas lua
snya adalah konsep dasar yang lain dalam teknologi pendidikan.
3. Pengukuran terhadap ketercapaian visi pembelajaran diperlukan, baik yang seca
ra intensif oleh pengajar dan sekolah maupun pada saat akhir program yang disebu
t UAN, oleh Pemerintah, sebagai bentuk akuntabilitas pengajar dan sekolah kepada
peserta didik, masyarakat, dan Pemerintah. Pengukuran terhadap hasil belajar bu
kan saja hak setiap pengajar tetapi juga hak pemangku kepentingan untuk mengetah
ui hasilnya. Untuk itu pengajar mempunyai kewajiban untuk mempublikasikan hasiln
ya.
4. Relevansi pendidikan ditentukan oleh keterlibatan tiga mitra yaitu, pengguna
lulusan, penyelenggara pendidikan dan peserta didik atau lulusan yang sudah beke
rja dalam bidangnya. Mereka adalah segitiga pengaman yang mewakili pemangku kepe
ntingan dalam menentukan tingkat relevansi pendidikan.
Pustaka
Drost, J. (2005). Dari KBK sampai MBS. Jakarta:Kompas
Hamalik, Oemar. (2005). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Ja
karta:PT Bumi Aksara
Harjanto. (1997). Perencanaan Pengajaran. Jakarta:PT Rineka Cipta
Kande, Fredrik (2008). Membedah Kekuatan dan Kelemahan KTSP, diambil 17 Oktober
2009 dari http://re-searchengines.com/frederik0608.html
Karyadi, Benny. (2005). Penerapan Konsep CBSA di Sekolah Dasar. Dalam IGAK Warda
ni, dkk., Kurikulum dan Pembelajaran (Buku Materi Pokok Universitas Terbuka). Ja
karta:Universitas Terbuka
Mulyasa, E. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda K
arya.
Soedijarto (2008). Kemampuan Profesional Guru Yang Sesuai Dengan Upaya Peningkat
an Relevansi Dan Mutu Pendidikan Nasional Serta Jaminan Kesejahteraan Dan Perlin
dungan Yang Diperlukan Pendidik Profesional (Makalah yang disajikan dalam Semina
r Nasional Tentang Perlindungan Bagi Profesi Guru), diambil 17 Oktober 2009 dari
http://www.jakartateachers.com/4429.htm
Sudjana, Nana, dan Rivai, Ahmad. (1989). Teknologi Pengajaran. Bandung:CV Sinar
Baru
Suparman, Atwi. (2004). Desain Instruksional. Jakarta:Universitas Terbuka
Susilana, Rudi (2009). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dalam Asep H. Hernawan, dk
k.,Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran (Buku Materi Pokok Universitas Terbuk
a). Jakarta:Universitas Terbuka
Wijaya, Cece, Djadjuri, Djadja, dan Rusyan, A. Tabrani (1991). Upaya Pembaharuan
dalam Pendidikan dan Pengajaran. Bandung:PT Remaja Rosda Karya
Popularity: 78% [?]
Makalah Pilihan Seminar
Leave a Reply
Name (required)
Mail (will not be published) (required)
Website
Click here to cancel reply.
» Substance: WordPress » Style: Ahren Ahimsa

Mau? - Gratis Pelajaran Spiritual


Berguna untuk pengobatan, keselamatan, kepercayaan diri, wibawa dan ketenangan b
atin.
Tenaga Dalam bisa dibuktikan, Click disini

DOWNLOAD GRATIS KUMPULAN MAKALAH


FERERENSI TUGAS & MATERI KULIAH

HOME | INDEX | GO
Pendidikan

Pendidikan Gratis dan Badan Hukum Pendidikan (Melacak Akar Legalitas Privatisasi
Pendidikan di Indonesia)

RENCANA Depdiknas untuk membagi jalur pendidikan menjadi dua kanal; jalur pendid
ikan formal mandiri dan formal standar, menuai banyak protes. Yang menjadi keber
atan khalayak, bukan saja itu dinilai berdasarkan atas perbedaan kelas sosial da
n ekonomi, namun juga atas dasar kemampuan akademik, yang berasumsi bahwa manusi
a bodoh tidak punya hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu dan berkualitas.
Alhasil, yang terjadi, pendidikan dikelola bak perusahaan di mana pendidikan yan
g berkualitas diperuntukan bagi pihak yang punya kemampuan finansial. Sementara
orang miskin akan tetap dengan kondisinya. Dari sini pemerintah terkesan ingin m
elepas tanggung jawab atas terwujudnya pendidikan (khususnya pendidikan dasar) g
ratis, bermutu, dan berkualitas bagi rakyat Indonesia. Ujung semua ide Depdiknas
, pada Kabinet Indonesia Bersatu, sepertinya menuju pada terwujudnya privatiasi
pendidikan, di mana tanggung jawab pemerintah terkurangi, bahkan dilepas sama se
kali.
Nuansa "privatisasi" atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyel
enggarakan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun se
cara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dim
ulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat "
kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar raky
at, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Si
sdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sum
ber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi
kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pe
ndidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang
yang ada.
Penurunan derajat kewajiban pemerintah juga terlihat di Pasal 11 UU Sisdiknas, A
yat (1) dan (2). Dengan halus, pasal ini secara bertahap ingin menurunkan kadar
"kewajiban" pemerintah menjadi "sunnah", dengan kata-kata "menjamin terselenggar
akannya" pendidikan dari suatu "keharusan". Lengkapnya dinyatakan dalam Ayat (1)
, "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, sert
a menjamin terselenggarakannya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara
tanpa diskriminasi", dan juga Ayat (2), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
menjamin tersedianya dana guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga
negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun".
Padahal, masih dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentu
an umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daer
ah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar b
agi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah progra
m pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggun
g jawab Pemerintah dan pemerintah daerah".
Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan
secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti pendi
dikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di Ayat (4),
"Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian, diperj
elas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas P
asal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar
berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut
biaya".

KEMBALI kepada penerapan undang-undang di bawah UUD 1945 yang mengamanatkan pela
ksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan k
etidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah N
asional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyed
iakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4).
Kemudian, pengakuan yang sama juga terungkap dalam Rancangan Peraturan Pemerinta
h (RPP) tentang Wajib Belajar, di mana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat d
alam pembiayaan sekolah dasar. Hal itu diungkap pada Pasal 13 Ayat (3), ""Masyar
akat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar p
ada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, m
aupun masyarakat".
Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan, terlihat dalam RUU Badan Hukum Pend
idikan (BHP). Dalam RUU tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam pen
yelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Hal itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, "Badan Hukum Pend
idikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerint
ah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsi
p nirlaba, dan otonom". Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pem
erintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengopera
sian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat m
aupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri.
Bahkan, pemerintah secara gamblang mereposisi posisinya dari penanggung jawab tu
nggal pendidikan dasar gratis menjadi hanya "fasilitator". Lengkapnya terungkap
dalam bab pertimbangan pada butir (b) di awal RUU BHP yang berbunyi, "bahwa pene
rapan prinsip otonomi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem
pendidikan nasional, menuntut perlunya reposisi peran pemerintah dari penyeleng
gara menjadi pendiri dan fasilitator untuk memberdayakan satuan pendidikan dalam
menyelenggarakan pendidikan". Dengan berlakunya RUU BHP, terkesan pemerintah in
gin mereposisi perannya yang sudah baku di UUD 1945 Pasal 31 dengan melepas tang
gung jawab atas penanganan pendidikan dasar yang gratis dan bermutu.
Dengan sejumlah legalitasnya, ke depan akan tampak di hadapan mata sejumlah mode
l privatisasi pendidikan, baik yang nyata maupun terselubung. Bentuk nyata yang
sudah terjadi ialah adanya cost sharing, di mana pembiayaan pendidikan menjadi t
anggung jawab bersama masyarakat, seperti dibentuknya komite sekolah.
Selain itu, munculya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. D
alam hal ini, sekolah "dipaksa" untuk melengkapi dirinya dengan komputer dan per
alatan canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat samp
ingan dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah
penerima bantuan block grant di Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan me
ngalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik (Kompas, 9 A
pril 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan KBK.
Dari sini timbul kesan bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap infrastrukt
ur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.
Kemudian, pada sisi lain, pemerintah juga memberlakukan sistem "guru kontrak". K
e depan, tenaga pengajar layaknya pekerja pabrik yang bisa diputus kerja bila ko
ntraknya selesai, sementara pemerintah tidak mau menanggung biaya di luar itu. S
elain itu, kebijakan otonomi daerah juga menjadi alasan pemerintah untuk berbagi
beban dalam pendanaan pendidikan. Walaupun dalam pelaksanaan otonomi daerah, ya
ng terjadi pengalihan kekuasaan dari pusat ke pemerintah daerah. Alhasil, pelaks
anaan pendidikan dasar gratis dan bermutu kini berada di persimpangan jalan, seb
ab kelangsungannya sebagian menjadi wewenang pemerintah daerah.
Apalagi dengan adanya RUU BHP, pendidikan malah dijadikan sarana untuk menjadi p
enambahan pendapatan asli daerah (PAD). Hal itu dimungkinkan karena dengan adany
a RUU tersebut, nantinya semua satuan pendidikan-termasuk pendidikan dasar dan m
enengah-wajib menjadi Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM), seperti
yang tertera dalam Pasal 46 Ayat (4). Dengan menjadi BHPDM, maka pihak sekolah
wajib meminta izin kepada pihak pemda. Di sinilah kekhawatiran akan pemanfaatan
perizinan pendidikan menjadi pemasukan PAD akan terjadi.
Terakhir, dengan berubahnya status satuan pendidikan menjadi BHPDM maka nantinya
tidak ada lagi sekolah dasar negeri, namun yang tersisa ialah sekolah yang dimi
liki masyarakat ataupun pemda. Sementara pemerintah, di sisi lain, lepas tangan
dan berkonsentrasi mengurusi biaya beban utang luar negeri yang kian membengkak.
Di sinilah hal penting sedang terjadi, yaitu pelanggaran terhadap UUD 1945, khu
susnya Pasal 31, secara nyata dilakukan dengan sistematis oleh para penyusun UU
dan PP, serta RUU di bawah UUD 1945.
Bila pemerintah ingin melepaskan tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan pendidik
an dasar gratis dan bermutu, maka UUD 1945 Pasal 31 perlu diamandemen. Bila hal
itu tidak dilakukan, maka bagi yang tidak menjalankannya dianggap melanggar UUD
1945....
M FirdausAktivis Jaringan Pendidikan untuk Keadilan
sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/18/Didaktika/1689073.htm

Gratis - Asmak Malaikat, Ilmu Spiritual Warisan Sunan Muria


Berguna untuk pengobatan, keselamatan, kepercayaan diri, wibawa dan ketenangan b
atin.
Click disini
Kebijakan Pemerintah di Bidang Pendidikan
Senin, 11 Mei 2009
Pendidikan merupakan salah satu faktor utama untuk
dapat mencapai kemakmuran suatu negara, sebagaimana diatur secara tegas dalam
pasal 31 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa
setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) menegaskan bahwa
setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya. Ayat (3) menetapkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang.
Â
Sedangkan ayat (4) menugaskan negara untuk
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan daerah (APBD
)
untuk mememenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Â
Aturan yang termuat dalam Ayat (4) tersebut
menunjukkan betapa penting dan betapa prioritasnya bidang pendidikan di bumi
nusantara ini. Sebanyak 20 persen atau seperlima anggaran pemerintah pusat dan
seperlima anggaran pemerintah daerah harus dialokasikan untuk menyelenggarakan
pendidikan.
Â
Dengan demikian, jelaslah bahwa negara kita
menempatkan pendidikan pada prioritas pertama dengan mengalokasikan anggaran
terbesar dari semua sektor. Pendidikan merupakan sektor yang memang perlu
diprioritaskan negara karena menyentuh langsung hak masyarakat, dan sangat
terkait erat dengan pembangunan sumber daya manusia masa depan.
Â
Dalam upaya meningkatan
aksesibilitas dan mutu pendidikan nasional, sejak beberapa tahun lalu
pemerintah telah mengucurkan bantuan dana pembangunan pendidikan dalam
bentuk Dana
Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan.
Â
Capaian
Kinerja Depdiknas
Â
Sekretariat Negara Republik Indonesia
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 25 September, 2010
, 14:40
Sebagaimana disinggung diatas bahwa pendidikan
merupakan program pemerintah yang paling prioritas. Capaian kinerja Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas) selama Kabinet Indonesia Bersatu, antara lain,
dapat digambarkan dalam tabel â Capaian Kinerja 2005 â 2008 dan Target 2009â dibawah i
Â
Tabel tersebut menunjukkan
bahwa realisasi dari sejumlah program mampu melebihi target. Misalnya, Angka
Partisipasi Murni untuk SD/MI/SDLB/Paket A pada tahun 2008 telah mencapai
95,14%. Angka ini telah melampaui target yang ditetapkan untuk tahun 2009,
yaitu 95,00%. Demikian juga dengan rata-rata nilai ujian nasional untuk SD dan
SLTA yang dicapai siswa pada tahun 2008, yaitu secara berturut-turut sebesar
7,03 dan 7,17. Angka ini telah melampaui target yang ditetapkan pada tahun
2009, yaitu secara berturut-turut sebesar 5,50 dan 7,00. Guru yang memenuhi
kualifikasi S-1/D-4 pada tahun 2009 ditargetkan sebanyak 40,00%, namun angka
ini telah terlewati pada tahun 2008 dengan capaian sebesar 47,04%.
Â
Â
Â
Selain indikator yang
tertera dalam tabel, Departemen Pendidikan Nasional juga melaporkan sejumlah
indikator lain yang menunjukkan hasil yang menggembiarakan juga telah dicapai.
Misalnya, pencapaian target rintisan sekolah madrasah yang bertaraf internasiona
l
yang mencapai 1.043 sekolah pada tahun 2008. Perolehan medali emas pada
berbagai olimpiade internasional juga membanggakan karena pelajar Indonesia
meraih 117 medali emas dalam berbagai kompetisi tingkat dunia pada tahun 2008. P
erguruan tinggi berkelas
dunia dengan ukuran 100 besar Asia atau 500 besar dunia selalu melampaui target
dengan baik. Pada tahun 2008, Universitas Indonesia naik peringkat dari 395
pada 2007 menjadi 287, Institut Tenologi Bandung naik ke peringkat 315 dari
semula 369, sedangkan Universitas Gadjah Mada naik ke peringkat 316 dari 360.
Â
Untuk tahun 2010, Depdiknas telah membuat beberapa
Rancangan Kegiatan Prioritas, mencakup peningkatan kualitas Dikdas 9 tahun yang
merata; peningkatan akses, kualitas dan relevansi pendidikan menengah dan
tinggi; peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan non formal serta
peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan pendidik.
Â
Semoga dengan peningkatan anggaran pendidikan,
sumber daya manusia Indonesia akan semakin meningkat daya saing nya
Sekretariat Negara Republik Indonesia
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 25 September, 2010
, 14:40
Â
( Ibnu Purna / Hamidi / Elis )
Sekretariat Negara Republik Indonesia
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 25 September, 2010
, 14:40

Anda mungkin juga menyukai