Anda di halaman 1dari 14

PERKEMBANGAN TEORI LINGUISTIK SAUSSURE

DALAM KAJIAN EPISTIMOLOGI

Makalah

dikumpulkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu


Dosen pengampu : Drs. Mulyono, M. Hum.

disusun oleh :
Ameen O Saleh Almanafi
Eko Heriyanto
Athiyah Salwa
Arum Suryaningsih B
Diana Hardiyanti
Dwiyani Septiana

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER LINGUISTIK


UNIVERSITAS DIPONEGORO
2010
I. Epistimologi dalam Ilmu Filsafat

1
A. Definisi Epistimologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme
yang berarti ilmu pengetahuan (Plato mendifinisikan sebagai
ilmu pengetahuan yang benar-benar sempurna)
dan logos (teori yang membicarakan tentang ilmu). Sehingga
diperoleh definisi secara etimologi bahwa epistemolgi
merupakan ilmu yang mempelajari tentang pengetahuan itu
sendiri. Sedangkan menurut istilah Epistemologi merupakan
cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan
jenis pengetahuan.
Definisi lain yakni, epistemologi (filsafat ilmu) Epistimologi
adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang
filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber
pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh
pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah).
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung
jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap
manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca
indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode
deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.

B. Bagaimana manusia memperoleh Ilmu Pengetahuan


Topik ini termasuk salah satu yang paling sering
diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya
tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya,
macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan
keyakinan. Selain itu, epistemologi juga sering
memperdebatkan tentang bagaimana pengetahuan itu
diperoleh, dengan sarana apa manusia mendapatkan
pengetahuan, dan validitas dari ilmu pengetahuan itu
sendiri.

2
Para filusuf yang memperdebatkan tentang asal
muasal ilmu pengetauan antara lain adalah Plato dan Rene
Descartes yang berasal dari aliran Nativisme. Mereka
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan diperoleh sejak
manusia lahir dibumi atau merupakan bawaan sejak lahir.
Francis Bacon, John Locke dan Tomas Hobbes menyatakan
bahwa pengalaman merupakan sumber atau asal muasal
ilmu pengetahuan. Mereka kemudian digolongkan dalam
para filusuf aliran Empiris. Namun, Ki Hajar Dewantara
menggabungkan keduanya, yakni pengetahuan berasal dari
bakat, pengalaman atau pendidikan dan lingkungan.
Kolaborasi dari ketiganya akan membentuk pengetahuan
yang sebenarnya. Beliau kemudian termasuk dalam filusuf
Konvergensi.
Perbedaan landasan ontologik menyebabkan perbedaan dalam
menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan
yang benar. Akal, akal budi, pengalaman, atau kombinasi akal dan
pengalaman, intuisi, merupakan sarana mencari pengetahuan yang dimaksud
dalam epistemologik, sehingga dikenal model-model epistemologik seperti
rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dan
sebagainya.
Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan dan
kelemahan suatu model epistemologik be serta tolok ukurnya bagi
pengetahuan (ilmiah), seperti teori koherensi, korespondesi pragmatis, dan
teori intersubjektif. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara
benar dan dipercaya. Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu
melalui pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan
kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan,
cenderung bersifat kabur dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan
yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan analisis
dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar
yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan statistika.
Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga

3
menjadi jembatan penghu-bung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian
yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun
pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris
ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak.
Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau juga
naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.
Kebenaran pengetahuan dilihat dari kesesuaian artinya dengan fakta yang
ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui kebenarannya dan
tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia.
Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan maka cara,
sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut
harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak
benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa
yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita
mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan
selalu berubah-ubah dan berkembang.

II. Biografi Singkat Saussure


Ferdinand de Saussure lahir di Genewa pada tanggal 26 November
1857 dari keluarga Protestan Perancis (Huguenot) yang ber-emigrasi dari daerah
Lorraine ketika perang agama pada akhir abad ke-16. Sejak kecil, Saussure
memang sudah tertarik dalam bidang bahasa. Pada tahun 1870, ia masuk Institut
Martine, di Paris. Dua tahun kemudian (1872), ia menulis “Essai sur les
langues” yang ia persembahkan untuk ahli linguistik pujaan hatinya (yang
menolong dia untuk masuk ke Institut Martine, Paris), yakni Pictet. Pada tahun
1874 ia belajar fisika dan kimia di universitas Genewa (sesuai tradisi
keluarganya), namun 18 bulan kemudian, ia mulai belajar bahasa sansekerta di
Berlin. Rupanya, Saussure semakin tertarik pada studi bahasa, maka pada 1876-
1878, ia belajar bahasa di Leipzig; dan pada tahun 1878 -1879 di Berlin. Di
perguruan tinggi ini, ia belajar dari tokoh besar Linguistik, yakni Brugmann dan
Hübschmann.
Ketika masih mahasiswa, ia telah membaca karya ahli Linguistik
Amerika, William Dwight Whitney yang membahas tentang The Life and
Growth of Language: and outline of Linguistic Science (1875); buku ini sangat

4
mempengaruhi teori linguistiknya di kemudian hari. Pada tahun 1878, Saussure
menulis buku tentang Mémoire sur le systéme Linguisti des voyelles dans les
langues indo-européennes (Catatan Tentang Sistem Vokal Purba Dalam Bahasa-
bahasa Indo-Eropa). Pada tahun 1880 ia mendapat gelar Linguis (dengan prestasi
gemilang: summa cum laude) dari universitas Leipzig dengan
disertasi: Del’emploi du génetif absolu en sanscrit ( Kasus Genetivus Dalam
Bahasa Sansekerta) dan pada tahun yang sama, ia berangkat ke Paris.

Tahun 1881 menjadi dosen di salah satu universitas di Paris. Setelah


lebih dari sepuluh tahun mengajar di Paris, ia dianugrahi gelar Linguist dalam
bidang bahasa Sansekerta dan Indo-Eropa dari Universitas Genewa. Kemudian
ia pindah ke Jenewa dan meneruskan belajar sanskerta dan Lingusitik
komparatif. Berkali-kali ia menolak untuk mengembangkan pandangan-
pandangan teorisnya, namun pada akhirnya ia terpaksa harus mengikuti kuliah
linguistik umum karena guru besar yang bersangkutan berhenti sebelum
waktunya.
Sekalipun sumbangannya bagi Linguistik historis sungguh besar,
namun ia lebih dikenal karena sumbangannya dalam Linguistic umum. Tiga seri
kuliahnya tentang Linguistik umum dikumpulkan oleh beberapa mahasiswanya
dan diterbitkan pada tahun 1916. Kumpulan kuliahnya yang berjudul Cours de
Linguistique Generale, itulah yang menjadikannya sebagai peletak dasar
Linguistik modern. Berkat ketekunanya mendalami struktur dan filsafat bahasa,
Saussure didaulat sebagai bapak strukturalis. Menurut beliau, prinsip dasar
strukturalisme adalah bahwa alam semesta terjadi dari relasi (forma) dan bukan
benda (substansial).

III. Perkembangan Teori Linguistik Saussure dalam Kajian Epistimologi


A. Sinkronik Versus Diakronik : Perkembangan Studi Penelitian
Bahasa
Selain perbedaan langue dan parole, signifiant dan signifie,
sintagmatik dan paradigmatik, ada satu bahasan lain yang menjadi
pandangan De Saussure yaitu pandangan tentang telaah bahasa secara
sinkronik dan diakronik. Yang dimaksud dengan telaah bahasa secara
sinkronik adalah mempelajari suatu bahasa pada suatu kurun waktu tertentu

5
saja. Misalnya, mempelajari bahasa Indonesia yang digunakn pada zaman
Jepang atau pada tahun lima puluhan. Sedangkan telaah bahasa secara
diakronik adalah telaah bahasa sepanjang masa, atau sepanjang zaman
bahasa itu digunakan oleh para penuturnya. Jadi, kalau mempelajari bahasa
Indonesia secara diakronik, maka harus dimulai sejak zaman kerajaan
Sriwijaya sampai zaman sekarang ini.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa telaah bahasa secara
diakronik adalah jauh lebih sukar dari pada telaah bahasa secara sinkronik.
Sebelum terbit buku course de linguistique generale, telaah bahasa selalu
dilakukan orang dengan diakronik tidak pernah secara sinkronik. Para linguis
pada waktu itu belum sadar bahwa bahasa dapat diteliti secara sinkronik.
Inilah salah satu pandangan Saussure yang sangat penting sehingga sekarang
ini kita dapat memberikan pemerian terhadap suatu bahasa tertentu tanpa
melihat sejarah bahasa itu.

Mengapa bahasa itu dapat diteliti secara sinkronik ?


Hal ini dapat dilakukan karena bahasa merupakan kenyataan
sosial yang dapat dipelajari tanpa menghubungkannya dengan sejarah.
Bahasa juga merupakan system tanda, dan dapat diperiksa bentuk dan
maknanya pada satu waktu. Satu waktu tersebut bersifat relatif, artinya
adanya jangka waktu yang stabil bagi bahasa ynag bersangkutan. Jangka
waktu tersebut dapat berlangsung lama bagi bahasa yang sudah mapan
seperti bahasa Inggris atau Jerman, tapi bagi bahasa Indonesia yang sedang
mengalami perkembangan yang tinggi, jangka waktu kestabilan itu mungkin
hanya berkisar 5 sampai 10 tahun. Singkatnya, jangka waktu kestabilan itu
tidak memberikan kesempatan bagi suatu bahasa untuk mengadakan
perubahan.

Dapatkah studi diakronik dapat dipelajari tanpa didahului oleh studi


sinkronik ?
Jika bahasa dan ujaran, paradigmatik dan sintagmatik, signifiant
dan signifie tidak dapat dipisah-pisahkan, tidaklah demikian dengan
sinkronik dan diakronik. Sebenarnya menurut pendapat Saussure, dia
membalikkan kedua hal itu, maksudnya, bahwa disangsikan sekali bila

6
diakronik dapat dipelajari tanpa didahului oleh studi sinkronik. Logisnya,
bila kita ingin mengenali sosok professor bahasa A, pertama yang kita
lakukan adalah melihat orangnya (paling tidak gambar professor tersebut)
serta mempelajari aktivitasnya saat itu (di kampus). Kemudian baru
diperluas dengan kehidupan pribadinya; lahir dimana, tahun berapa, dan lain-
lain. Selain itu, bahasa sebenarnya berubah terus menerus, walaupun si
pemakai mungkin tidak menyadarinya dan menganggap perubahan-
perubahan itu seperti yang dialaminya sebagai pemilihab gaya bahasa di
antara pemakaian-pemakaian uyang terdapat secara sinkronik. Ada
pandangan lain; pandangan pemakai bahasa, yang menyatakan bahwa bahasa
itu tidak tampak berubah.

B. Langue dan Parole


De Saussure telah meneliti dan membedakan antara Langue,
Parole dan Langage dalam kajiannya tentang objek linguistik. Kendatipun
dalam bahasa Indonesia ketiganya dikenal dengan istilah ‘bahasa’ namun
sebenarnya mempunyai pengertian yang lebih spesifik. Parole adalah bahasa
konkret yang keluar dari mulut pembicara, bersifat konkret dan dapat
didengar. Langue adalah bahasa tertentu sebagai sistem tertentu,dan bersifat
abstrak; hanya ada di otak manusia. Contoh: bahasa Indonesia, bahasa
Inggris. Langage adalah bahasa pada umumnya dan berfungsi sebagai alat
interaksi manusia. Langage juga bersifat abstrak
De Saussure beranggapan bahwa objek penelitian dari kajian
linguistik adalah langue bukan parole ataupun langage, hal ini disebabkan
karena :
 Dalam linguistik, aspek langue merupakan aspek sosial dari bahasa,
langue inilah yang memungkinkan berlangsungnya komunikasi
simbolik manusia lewat bahasa, karena langue ini “dimiliki”
bersama. Agar pesan yang hendak disampaikan mencapai sasarannya
maka Parole yang diwujudkan seorang individu harus berada dalam
sistem langue tertentu. Sebab jika aspek langue diabaikan, maka
akan membuat kabur pesan yang hendak disampaikan
 Langue bersifat abstrak dan tersembunyi di dalam otak , sedang
Parole bergantung pada kemauan penutur dan bersifat intelektual.

7
 Langue itu pasif dan parole aktif.

Berdasarkan fakta di atas, De Saussue berpendapat bahwa


linguistik haruslah mengkaji langue karena langue adalah fakta sosial
sedangkan parole merupakan perlakuan individual, dan merupakan embrio
dari langage. Dengan kata lain, apa yang keluar dari mulut penutur dalam
bentuk kalimat-kalimat selalu berubah-ubah dan bersifat idiosinkretis,
sehingga tidak layak dijadikan kajian linguistik.
Pada perkembangannya, teori langue ini dikembangkan lebih
lanjut oleh De Saussure menjadi kajian tentang signifie’ dan signifiant.
Langue mempertalikan masyarakat penggunanya dan menciptakan suatu
average yang merupakan tanda atau lambang yang arbitrer dan digunakan
untuk menyatakan ide-ide dan mempunyai aturan, sehingga langue
merupakan satu sistem nilai murni yang terdiri dari pikiran yang tersusun
yang digabungkan dengan bunyi dan bukan mempersatukan nama dengan
benda seperti nama ‘buku’ dengan sebuah buku sebagai bendanya. Konsep
tentang langue , parole dan langage masih dijadikan kajian dalam linguistik
sampai sekarang.

C. Signifiant dan Signifie


Ilmu yang membahas tentang tanda disebut semiotik (the study of
signs). Masyarakat selalu bertanya apa yang dimaksud dengan tanda?
Banyak tanda dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti tanda-tanda lalu
lintas, tanda-tanda adanya suatu peristiwa atau tanda-tanda lainnya. Semiotik
meliputi studi seluruh tanda-tanda tersebut sehingga masyarakat berasumsi
bahwa semiotik hanya meliputi tanda-tanda visual (visual sign). Awal
mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui
dikotomi sistem tanda.
Saussure mendefinisikan tanda (sign) sebagai kesatuan dari satu
penanda (signifiant) dan satu signifie (petanda), sebelumnya, tanda (sign)
disebut sebagai kesatuan antara citra akustik dan satu konsep (Barthes, 2007:
37-38). Citra akustis (image acoustique) bersangkutan dengan ingatan atau
kesan bunyi yang dapat kita dengar dalam khayal, bukan dalam ujaran yang
diucapkan. Salah satu manfaat konsep citra akustis adalah bahwa

8
komponennya jelas batasnya. Citra akustis dapat digambarkan dengan
tulisan secara cermat, sedangkan bunyi tidak (contohnya: bunyi gemuruh,
bagaimana menuliskannya dengan kata-kata?). Citra bunyi adalah
keseluruhan unsur fonem yang jumlahnya terbatas dan dapat diwujudkan
dengan lambang tertulis yang jumlahnya sepadan. Konsep lebih abstrak
daripada citra akustis. Konsep bersifat pembeda semata-mata, dan secara
langsung bergantung pada citra bunyi. Itulah sebabnya Saussure mengatakan
bahwa tanda mempunyai dua muka yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain: konsep itu signifie (yang ditandai atau petanda) dan citra akustis
itu signifiant (yang menandai atau penanda). Tanda adalah konkret dalam
arti tidak ada satupun yang ditinggalkan dari defenisi yang diperlukan oleh
sudut pandangnya karena sudut pandangnya itulah yang menciptakan objek:
sudut pandang menentukan apa yang dianggap konkret (menyeluruh) sebagai
lawan dari abstrak (sebagian). Saussure berpendapat bahwa tanda adalah
berupa kalimat, klausa, frasa, morfem (afiks, inflektif, derivatif).
Ada dua jenis tanda: tanda tunggal dan tanda sintagma. Semua
tanda tersebut memiliki sifat utama, yakni: Pertama, prinsip
arbitrer (kesemenaan). Kesemenaan tanda bahasa dalam arti tidak ada
motivasi aspek bunyi dalam benda yang ditandainya dan hanya terdapat
dalam tanda tunggal. Sedangkan dalam sintagma, seperti kata majemuk,
frasa terdapat motivasi relatif, misalnya bentuk inflektif (perubahan nada
suara) diwujudkan secara sama untuk memenuhi hubungan makna yang
sama atau konstruksi sintaksis yang dipergunakan dalam situasi yang sama
diwujudkan secara sama pula. Kesemenaan merupakan bentuk umum dari
kemampuan biologis manusia untuk mengkoordinasikan dan
mengasosiasikan (pada waktu yang sama) sehingga melahirkan sistem
bahasa yang berbeda bagi setiap masyarakat. Dengan kata lain, kesemenaan
adalah tempat manusia membuat sejarah pada dirinya. Tetapi harus
diperhatikan bahwa ciri lambang tidak selalu semena, tidak hampa. Sebab,
ada suatu dasar dari ikatan alami antara penanda dan petanda. Misalnya,
lambang keadilan, timbangan, tidak mungkin diganti dengan sembarang
lambang, misalnya dengan lambang kereta. Walaupun demikian, semena
bukan berarti penanda tergantung dari pilihan bebas penutur melainkan
semena adalah tanpa motif.

9
Untuk mengerti bagaimana suatu kata disebut semena, marilah
kita ikuti uraian ini: tiba-tiba saya berteriak kepada ayah saya yang kebetulan
lewat di depan saya “ayah, tunggu aku!”. Kata ayah di situ bersifat semena
atau tanpa motif karena untuk menyebut kata “ayah” tentu saya tidak perlu
berpikir terlebih dahulu dan tidak perlu saya mencari-cari kata apa yang
harus saya serukan untuk memanggil laki-laki yang lewat di depan saya; dan
tidak mungkin saya berkata: ya sudah, saya panggil saja ayah saya sebagai
“ibu”, tidak mungkin. Walaupun demikian, jika dalam bentuk
kalimat, langue tidak seluruhnya semena karena langue adalah suatu sistem;
dan sistem memiliki nalar tertentu. Misalnya: Saya makan nasi (S+P+K),
tidak mungkin saya balik: makan nasi saya. Tetapi justru karena alasan inilah
masyarakat tak mampu mengubah langue sesuka hatinya.
Kedua, prinsip kelinearan tanda bahasa. Hal ini paling nampak
dalam signifiant, yaitu dalam rangkain wicara. Dan, hal ini yang
membedakan bahasa dengan tanda lain (entah parole dan juga langage).
Penanda akustis hanya ada dalam garis waktu; unsur-unsurnya terungkap
satu persatu. Semua itu membentuk suatu rangkaian.
Ketiga, prinsip tak tertukarkan (ketakterubahan). Saussure
memberi 4 alasan mengapa tanda tak tertukarkan: 1) karena tanda bersifat
arbitrer; 2) walaupun ada kemungkinan orang ingin mengubah sistem tulisan
yang sifatnya arbitrer karena unsur-unsurnya terbatas, namun karena tanda
bahasa tak terbatas jumlahnya, maka ketakterbatasan tersebut menghalangi
perubahan bahasa; 3) bahasa merupakan sistem yang sangat rumit; 4) bahasa
adalah satu-satunya sistem sosial yang dipergunakan semua orang. Oleh
sebab itu, di antara penutur terdapat sikap konservatif dalam menghadapi
perubahan kebiasaan bahasa. Dengan kata lain, bahasa diwarisi. Dan
penerima warisan itu menerima begitu saja (pasif) dan bahkan menjadi
bahasa konvensional. Penanda seolah dipisah secara bebas tetapi jika
dipandang dari masyarakat bahasa yang memakainya, penanda bahasa tak
bebas, ia dipaksakan. Penanda yang dipilih oleh langue tidak mungkin
diganti dengan yang lain. Contoh: pilihlah!, tidak mungkin saya ganti tanda
bahasa di dalam kata itu menjadi “pilihlah?”. Jadi, masyarakat tidak dapat
memaksakan kemauannya pada satu kata, masyarakat terikat pada langue
seperti apa adanya.

10
Singkatnya, langue tidak dapat diikat dengan suatu kontrak dan
justru karena itulah tanda bahasa begitu menarik untuk diteliti. Sebab, kalau
kita ingin memperlihatkan bahwa hukum yang diterima dalam
suatu masyarakat sebagai sesuatu yang kita turuti dan bukan aturan yang
ditetapkan secara bebas oleh individu, langue-lah yang paling cocok sebagai
analoginya. Lambang bahasa atau langue tidak tunduk pada kemauan kita; ia
adalah warisan dari abad sebelumnya. Misalnya, pemerian nama pada benda
atau hal, merupakan warisan dari zaman dahulu. Jadi, langue juga
merupakan hasil dari faktor historis, dan itu sebabnya langue tak terubahkan.
Keempat, prinsip tertukarkan (keterubahan): sifat ini terjadi jika
kita menggunakan sudut pandang historis yang menimbulkan pergeseran
hubungan antara signifiant dan signifiésebagai akibat perubahan bunyi dalam
pergeseran analogi. Tanda selalu berganti karena tanda bersifat sinambung.
Pergantian tanda selalu mengakibatkan perubahan hubungan antara petanda
dan penanda. Misalnya, kata “nēcare” (Latin) dikemudian hari berubah
menjadi “necare”. Atau contoh lain adalah kata “dritteil” (kata Jerman
klasik) berubah menjadi “drittel” (kata Jerman modern). Jadi, penanda
berubah, baik secara material maupun secara gramatikal.
Namun, sebuah langue sama sekali tidak berkekuatan untuk
mempertahankan diri terhadap faktor-faktor yang setiap waktu mengubah
hubungan antara penanda dan petanda; hal ini adalah salah satu konsekuensi
dari kesemenaan lambang. Prinsip dasar bahasa adalah tata nama. Artinya,
sebuah kata mewakili “hal” atau “benda”. Prinsip ini mengandaikan adanya
“benda” sebelum ada kata. Tetapi kata tak jelas apakah berwujud bunyi atau
psikis.

D. Sintagmatik dan Paradigmatik


Menurut Saussure kalimat apapun adalah satu rangkain tanda-
tanda, yang satu sama lainnya mempunyai perbedaan dan setiap tanda itu
memilki arti atas makna keseluruhan. Bisa juga disebutkan bahwa struktur
kalimat dari bahasa manapun pasti terdapat relasi di antara komponen-
komponen penyusunnya. Dengan dasar itulah, Saussure mengenalkan istilah
Sintagmatik dan Paradigmatik (asosiatif). Pembahasan struktur kalimat
seperti ini –sintaksis- merupakan bagian dari parole. Parole inilah yang

11
diamati langsung oleh para linguis, dari pengamatan inilah dapat
disimpulkan aturan yang melandasi yaitu langue.

Relasi sintagmatik-paradigmatik

Seperti yang diungkapkan Hoed (dalam Christommy 2002:6),


relasi sintagmatik merupakan relasi antar komponen dalam struktur.
Sedangkan Saussure (1988:16), dalam terjemahan Kridalaksana,
mengungkapkan bahwa relasi sintagmatik adalah hubungan antar mata rantai
dalam suatu ujaran. Adapun relasi paradigmatik atau asosiatif adalah relasi
antara relasi antara suatu komponen dalam struktur tertentu dengan entitas
lain di luar struktur tersebut.

Untuk memaparkan relasi antara sintagmatik dan paradigmatik


dengan lebih jelas, berikut adalah contoh penerapannya dalam kalimat:

(1) (2) (3) (4)

a. Amir  must  study  now

b. He  will  go  tomorrow

c. the baby  should  sleep  at noon

Masing-masing kalimat tersebut terdiri dari empat tanda dan


masing-masing mempunyai kedudukan yang berbeda. Kalimat diatas
memberikan satu gagasan utuh yang didukung oleh keempat tanda tadi.
Relasi sintagmatik antar keempat tanda itu diabstraksikan sebagai : N +
auxiliary verb + main verb + adverb of time atau kata benda + kata kerja
bantu + kata kerja utama + keterangn waktu.

12
Relasi (1-2-3-4) tersebut sah, karena sesuai dengan kaidah tata
bahasa Inggris. Jika relasi dari keempat tadi ditukar, misalnya (4-3-1-2),
relasi itu tidak akan sah karena tidak ada dalam langue bahasa Inggris (tidak
sesuai dengan sistem kaidah tata bahasa inggris).

Tiap tanda di atas adalah satu anggota dari kesatuan jenis katanya,
misalnya Amir, He, the baby adalah anggota dari kesatuan jenis kata nomina.
Setiap angggota kesatuan jenis kata ada relasinya dengan aggota lainnya dari
kesatuan yang sama, artinya setiap anggota kesatuan bisa menempati posisi
pada kalimat di atas. Relasi ini dinamai relasi paradigmatik.

IV. Simpulan
a) Pengkajian bahasa dapat dilakukan tanpa mengetahui asal usul bahasa
tersebut. Hal inilah yang menjadi pemikiran Saussure dalam mengkaji
bahasa.
b) Saussue berpendapat bahwa Linguistik haruslah mengkaji langue karena
langue adalah fakta sosial sedangkan parole merupakan perlakuan
individual, dan merupakan embrio dari langage.
c) Tanda adalah berupa kalimat, klausa, frasa, morfem (afiks, inflektif,
derivatif). Dengan demikian, dalam sebuah bahasa pasti mempunyai sistem
tanda.
d) Setiap hari kita berbicara dengan berbagai pola kalimat. dengan adanya relasi
sintagmatik dan paradigmatik kita dapat membuat sejumlah kalimat yang
tak terhingga jumlahnya karena kejadian (nikmat Tuhan) di dunia tidak
terhingga. Di samping itu, dengan adanya relasi sintagmatik dan
paradigmatik, bahasa menjadi suatu yang sangat produktif hingga saat ini.

V. Referensi
Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer,Abdul.2009. Psikolinguistik. Jakarta : Rineka Cipta

13
Dardjowidjojo,Soenjono.1987.Linguistik:Teori & Terapan.Lembaga Bahasa
Universitas Atmajaya.
Mulyono. 2008. Pengantar Filsafat Sistemik. Semarang: Fakultas Sastra Undip.
Pengantar Linguistik Umum. 1993. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Samsuri. 1988. Berbagai aliran linguistic abad XX. Jakarta: Departemen
pendidikan dan kebudayaan direktorat jenderal pendidikan tinggi PPLPTK.
Sampson, Geoffery.1980.Schools of Linguistics. Stamford University Press.

14

Anda mungkin juga menyukai