Mardinal Tarigan
Siti Irna Fadillah
Nisa Febriyanti Tanjung
Santi Sari Devi Manurung
Miftahul Jannah
Abstrak
Kata Kunci: Salah satu pembahasan yang tidak bisa dilepaskan pada
Orientasi pembelajaran filsafat ialah pembicaraan terkait orientasi
Ontologis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis keilmuan, ini menjadi
Epistemologis, pembahasan dasar pada studi filsafat yang akan mengantarkan
Aksiologis para peminat filsafat untuk memahami bentuk filsafat, sebab pun
ini menjadi objek kajian filsafat, daripada itu alangkah
mustahilnya seseorang bisa dikatakan berfilsafat sementara
mereka sendiri tidak memahami dengan baik tentang orientasi
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Dengan demikian
siapapun yang ingin mempelajari filafat maka ini menjadi
bahasan wajib baginya. Daripada itu, menyusun sebuah
pembahasan secara benar tentang itu adalah hal yang begitu
fundamental sekali. Adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam pembahasan ini yakni definisi ontologis, epitemologis, dan
aksiologis? pokok pembahasan ontologis, epistemologis, dan
aksiologis,? Polemik seputar ontologis, epistemologis, dan
aksiologis?. Tujuan yang diharapkan pada pembahasan ini ialah
dimana kita memiliki kemampuan untuk memahami secara
benar ontologis, epistemologis, dan aksiologis keilmuan sehingga
akan memudahkan kita untuk menguasai studi filsafat secara
mendalam. Pembahasan ini menggunakan metodologi analisis
dan bersifat subjektif. Dengan demikian kesimpulan yang
didapat akan lebih bersifat representatif yang bersifat positif-
konstruktif.
92
Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi
PENDAHULUAN
Filsafat merupakan sebuah studi yang tidak bisa untuk dilupakan sepanjang
sejarah kehidupan ini, peranan-Nya begitu fundamental sekali dalam sejarah
peradaban dunia. Mereka yang menekuni bidang ini diklaim memiliki banyak sekali
nilai prestasi padanya, daripada itu menjadikan mereka negara yang disegani oleh
bangsa-bangsa yang lain. Yunani menjadi salah satu bukti sejarah yang kuat untuk
membuktikan hal itu, orang-orang tersohor padanya yakni Socrates, Aristoteles dan
Plato memiliki pengaruh yang luar biasa sekali bagi perkembangan peradaban
kehidupan ini. Begitu pula kaum muslimin, yang menekuni bidang filsafat
menjadikan mereka dikenang sepanjang sejarah kehidupan, misalkan saja Ibnu Sina
yang pemikiran-Nya sampai saat ini menjadi rujukan utama dalam bidang
kedokteran, dan tentu masih banyak lagi. Hal itu tentu tidak mengherankan
mengapa kebanyakan mereka yang menekuni bidang filsafat menjadikan mereka
orang yang memiliki pemikiran begitu berpengaruh, sebab pada filsafat sendiri
memiliki objek kajian yang amat luas sekali, yakni ontologis, epistemologis, dan
aksiologis.
Pada pembahasan ini, kami mencoba untuk mengulas secara komprehensif
tentang ontologis, epistemologis, dan aksiologis itu. Namun sebelum melangkah
pada pembahasan tersebut, disini kami akan menerangkan terlebih dahulu apa yang
disebut dengan filsafat, ini akan menjadi sebuah pengantar yang tidak boleh
dilewatkan pada pembahasan ini. Apa yang disebut dengan filsafat adalah berasal
dari bahasa Yunani ‘philosophia’ dan terdiri dari dua suku kata yakni ‘philo’ dan
‘sophia’, kata ‘philo’ memiliki arti cinta dan kata ‘sophia’ memiliki arti pengetahuan.1
Jadi secara dapat disimpulkan bahwa secara etimologi filsafat ialah cinta
pengetahuan. Kata filsafat ‘philosophia’ banyak diserap kedalam beragam bahasa
misalkan saja, dalam bahasa Arab disebu dengan ‘falsafah’, dalam bahasa Inggris
1
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1984), Cet. IV, hlm. 13.
Jurnal Studi Sosial dan Agama, Volume 2, Nomor 2, Tahun 9
Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi
disebut ‘philosophy’, dalam bahasa Latin disebut ‘philosophia’, dalam bahasa Jerman,
Belanda, Perancis disebut dengan ‘philosophie’. Seluruh term yang disebut itu
semuanya adalah bahasa serapan yang bersumber pada bahasa Yunani
‘philosophia’.2 Ketenaran kata ‘philosophia’ bermula pada Heraklitos (540-480 SM).
Diman ia memberikan pandangan bahwa seorang filsuf ialah orang yang memiliki
pengetahuan yang amat luas sekali. Kendati Heraklitos yang membuat istilah itu
terkenal, Disini kami menemukan bahwa orang yang pertama sekali
mengemukakan kata ‘philosophia’ bukanlah Heraklitos melainkan Phytagoras, hal
ini dapat ditemukan dalam tilikan Diogenes Laerto dan Cicero, menurut mereka
kata ‘philosophia’ itu pertama sekali digunakan oleh Phytagoras untuk menyebut
gerak kebijaksanaan demikian pula kebenaran.3
Secara terminologi, filsafat itu adalah mempelajari sebuah pertanyaan-
pertanyaan penting terkait sebuah eksistensi dari kehidupan dengan titik akhir
pada pencerahan dan pemahaman ‘illumination and understanding’. Filsafat sendiri
dalam melakukan kegiatan-Nya menitik tekankan pada nalar, persepsi, imajinasi,
dan intuisi dalam rangka mengklarifikasi konsep-konsep, memberikan analisis,
memberikan konstruksi argumentasi dan teori untuk menyajikan jawaban-jawaban
terhadap permasalahan perenial yang dikaji.4 Plato memberikan sebuah definisi dari
filsafat yakni: “sebuah ilmu pengetahuan yang berminat mencari hakikat kebenaran
yang asli”.5
2
Abdul Chalik, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran), hlm. 22.
3
Zaprulkhan, Pengantar Filsafat Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), hlm. 19.
4
Ibid., hlm. 18.
5
Abu Hanifah, Rintisan Filsafat, Filsafat Barat Ditilik dengan Jiwa Timur (Jakarta: Balai Pustaka,
1947), hlm. 16.
PEMBAHASAN
A. Orientasi Ontologis
1. Seputar Pengertian Ontologi
Bagi mereka yang menggemuli bidang filsafat tentu sudah tidak asing lagi
dengan ontologi, ontologi adalah bagian dari ruang lingkup kajian filsafat yang akan
menentukan arah objek kajian filsafat itu sendiri. Kata ontologi ialah sebuah kata
yang diambil dari bahasa Yunani yakni ‘To On Hei On’, kata ‘On’ adalah sebuah kata
netral dari kata ‘Oon’ yang memiliki bentuk genetif ‘Ontos’ dimana kata itu
memiliki arti “yang ada sebagai yang ada”. Kata ‘Ontos’ sendiri adalah bentuk
partisipatif yang berasal dari kata kerja ‘einai’ yang memiliki arti “ada/pengada”.
Sedangkan secara istilah, ontologi ialah studi mengenai ciri dari esensial atas yang
ada pada dirinya sendiri, dengan menempatkan keberadaan berbeda pada yang ada
secara khusus. Mempersoalkan yang ada dalam bentuk yang begitu abstrak dengan
melahirkan persoalan; apa itu ada pada dirinya sendiri? Apa hakikat ada sebagai
ada?.6
Dari definisi tersebut, sudah dimengerti bahwa dalam ontologi itu
memberikan pembahasan mengenai seluruh yang ada, jadi apa pun yang bersifat
materi maka itu menjadi objek kajian filsafat, misalkan saja hewan, tumbuh-
tumbuhan, dan bahkan manusia itu sendiri. Dalam sebuah perspektif kami
menemukan pulah bahwa ontologi bukanlah sekadar membatasi pada apa yang
bersifat materi melainkan lebih daripada itu, bahkan yang bersifat immaterial
termasuk kedalamnya. Immaterial diartikan sebagai yang mungkin ada, dan hal
yang mungkin ada dalam ontologi terkategorikan sebagai yang ada.7 Ini terjadi
karena yang mungkin ada memiliki sebuah tanda-tanda untuk menunjukkan
6
Mohamad Anas, Ilhamuddin Nukman, Filsafat Ilmu: Orientasi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis Keilmuan (Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 2018), hlm. 21-22.
7
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filasafatnya (Depok: Rajawali Pers, 2019), hlm. 6.
dulu dengan masa kini, memiliki perbedaan yang jelas, perbedaan-Nya ialah
terletask pada kemajuan keilmuan-Nya. Materialime memperoleh sebuah ilmu,
mengembangkan-Nya pada prinsip yang lebih bersifat umum, dan menerima itu
kedalam studi kefilsafatan yang dianut. Daripada itu, tapak untuk pijakan kaum
materialisme ialah hasil keilmuan modern. Term dasar dari segala dasar yang
melandasi ajaran dari materialisme ialah materi, term yang digunakan untuk proses
pengembangan-Nya ialah evolusi.
Ketiga, Idealisme. Secara umum, terdapat dua klasifikasi kaum idealis yakni
spiritualis dan dualis. Kaum spiritualis memandang bahwa alam bisa dikembalikan
kepada roh yang ada, mereka memahami alam semesta sebagai keseluruhan yang
bertingkat dan kita manusia sebagai pusat rohani yang memiliki kesinambungan
pada tingkatan yang lain. Oleh sebab manusia adalah pusat rohani dan
berkesinambungan dengan tingkatan rohani yang lain maka dapat diambil
kesimpulan bahwa tingkatan yang lain pun merupakan pusat rohani juga. Namun
pendirian semacam ini dibantah oleh kaum idealis macam kedua. Kedua, Dualisme.
Dalam perspektif dualisme, bahwa yang terdalam ialah jiwa semesta, mereka
memandang pula bahwa secara umum alam merupakan tatanan yang memiliki
tingkatan yang saling berbeda, alam adalah tatanan yang tersusun atas tingkatan
yang saling berbeda dimana itu memang saling berkesinambungan, namun secara
esensial bahwa yang satu tidak bisa dikembalikan pada yang lain, materi itu
tidaklah berasal dari jiwa kendati materi berkesinambungan dengan jiwa.
Keempat, Hylomorfisme. Kata hylomorfisme diambil dari bahasa Yunani
‘hylo’ yang memiliki arti materi atau substansi dan ‘morph’ yang memiliki arti
bentuk. Gambaran umum dari ini ialah, tentang gagasan objek adalah senyawa yang
terdiri atas materi dan hakikat bentuk. misalkan saja kita meletakkan objek pada
manusia, maka manusia ialah terdiri dari materi dan bentuk yang dapat dilihat.
Segala yang bereksistensi pasti memiliki esensi, namun segala hal yang beresensi
dapat dipisahkan dari eksistensi, sebab adanya esensi tidak mesti adanya eksistensi
meskipun adalah hal yang mustahil jika ada eksistensi tanpa adanya esensi.
B. Orientasi Epistemologis
1. Seputar Pengertian Epistemologi
Landasan dari epistemologis menyajikan kepada kita mengenai pembahasan
tentang cara kerja dari sebuah ilmu pengetahuan untuk merealisasikan kegiatan
ilmiah melalui langkah, metode, dan sarana yang sejalan atas sasaran dari keigiatan
ilmiah.9 Secara etimologi, kata epistemologi diambil dari bahasa Yunani yang terdiri
dari dua suku kata yakni ‘episteme’ yang memiliki arti pengetahuan dan ‘logos’ yang
memiliki arti ilmu atau penjelasan, dengan demikian, maka epistemologi adalah
penjelasan tentang ilmu.10
Secara terminologi, epistemologi adalah salah satu cabang dari filsafat yang
menyajikan pembahasan secara umum terkait sebuah pengetahuan, sumber
pengetahuan, otoritas, validitas, terkhusus cara yang digunakan dalam memperoleh
pengetahuan.11 Secara umum epistemologi dapat diklasifikasikan pada dua hal:
pertama, epistemologi dasar ‘general epistemology’, yakni menyajikan pembahasan
terkait teori-teori mengenai pengetahuan demi ‘qua’ pengetahuan, kebenaran dan
kepastian ‘qua’ kebenaran dan kepastian, pengetahuan dan kepentingan-Nya demi
pengetahuan itu sendiri dengan cakupan ‘origin of knowledge’, ‘method of
knowledge’, ‘structure of knowledge’ yang terakhir ialah ‘validity of knowledge’.
Kedua, epistemologi khusus ‘special epistemology’, spesial epistemologi membatasi
diri pada pengetahuan yang bersifat khusus, misalkan saja ilmu, metode dan
9
Paulus Wahana, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka Diamond, 2016), hlm. 6.
10
Sumarto, Filsafat Ilmu (Jambi: Pustaka Ma’arif Press, 2017), hlm. 11.
11
Saifullah Idris, Fuad Ramly, Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu (Yogyakarta:
Darussalam Publishing, 2016), hlm. 129.
12
Mohamad Anas, Ilhamuddin Nukman, Filsafat Ilmu: Orientasi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis Keilmuan (Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 2018), hlm. 65-66.
dalam artian sebuah pengetahuan yang boleh disifati yang ilmiah maka ia harus
memiliki metode dan logika didalamnya dalam menemukan pengetahuan tersebut.
Intersubjektivitas, dalam artia kebenaran-Nya tidak bersifat pribadi akan tetapi
disepakati oleh para saintis.
Kedua, pengetahuan non-ilmiah. pengetahuan dalam macam ini hanya
diperuntukkan pada pembawaan untuk mempertahankan hidup. Misalkan saja
binatang, ia dapat dipastikan memiliki pengetahuan. Seekor tikus, pasti memiliki
pengetahuan bahwa kucing itu berbahaya bagi dirinya, seekor tupai pasti
mengetahui mana buah yang bagus dan busuk.
4. Validitas Pengetahuan
Pada bagian ini yang ditelisi ialah bagaimana sesuatu itu dapat disebut
sebagai kebenaran. Sekurang-kurangnya terdapat tiga tola ukur kebenaran.
Pertama, koherensi. Maksudnya ialah suatu proposisi itu harus saling berhubungan
dengan seluruh fakta-fakta yang ada. Kedua, korespondensi. Maksudnya ialah suatu
proposisi itu sesuai dengan realitas objektif. Ketiga, pragmatis. Dalam artian sesuatu
dapat disebut benar bila hasilnya itu memuaskan, dapat dibuktikan melalui
eksperimen, serta berguna bagi kehidupan biologis.
C. Orientasi Aksiologi
14
Yudi Santoso, Kamus Filsafat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 77.
nilai, dan kata ‘logos’ yang memiliki arti ilmu. Daripada itu disimpulkanlah bahwa
aksiologi itu adalah nilai ilmu.15 Secara terminologi, aksiologi adalah sebuah nilai
mengenai kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.16 Apa yang disebut dengan
ilmu diliputi oleh nilai-nilai ‘values’ yang bersifat normatif pada pemberian sebuah
makna atas kebenaran atau sebuah kenyataan. Nilai yang ditunjukkan oleh
aksiologi ialah sebagai ‘conditio sine qua non’ yang harus dipatuhi dalam aktivitas
manusia, baik pada bagian penelitian yang dilakukan atau pada penerapan ilmu.
Dalam sejarah perkembangan filsafat ilmu, filsafat ilmu turut memberikan sebuah
arahan pada strategi akan pengembangan ilmu yang berkaitan oleh ‘etik’ juga
‘heuristik’, lebih daripada itu yakni pada dataran kebudayaan untuk memperoleh
tidak serta merta keguaan ilmu, namun juga arti maknanya dalam kehidupan ini. 17
Permasalahan umum yang diajukan pada aksiologi ini meliputi pertanyaan-
pertanyaan berikut:18
1. Apa Kegunaan ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan ilmu pengetahuan atas kaidah
moral?
3. Bagaimana penentuan objek yang ditelisik berdasarkan pilihan-pilihan
moral?
4. Bagaimana keterkaitan antara teknik prosedural sebagai operasionalisasi
metode ilmiah oleh norma-norma?
15
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu (Bogor: PT. Penerbit IPB Press, 2016), hlm. 106.
16
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010), hlm. 234.
17
Nanu Burhanuddin, Filsafat Ilmu (Jakarta: Prenada Media Group, 2018), hlm. 214.
18
Paham Ginting, Syafrizal Helmi, Filsafat Ilmu dan Metode RIset (Medan: USU Press, 2008),
hlm. 15.
KESIMPULAN
Ontologi adalah studi mengenai ciri dari esensial atas yang ada pada dirinya
sendiri, dengan menempatkan keberadaan berbeda pada yang ada secara khusus.
Mempersoalkan yang ada dalam bentuk yang begitu abstrak dengan melahirkan
persoalan; apa itu ada pada dirinya sendiri? Apa hakikat ada sebagai ada?. Ontologi
ini memiliki aliran naturalisme, materialisme, idealisme, dan hylomorfisme.
Epistemologi adalah salah satu cabang dari filsafat yang menyajikan pembahasan
secara umum terkait sebuah pengetahuan, sumber pengetahuan, otoritas, validitas,
terkhusus cara yang digunakan dalam memperoleh pengetahuan. Landasan dari
epistemologis menyajikan kepada kita mengenai pembahasan tentang cara kerja
dari sebuah ilmu pengetahuan untuk merealisasikan kegiatan ilmiah melalui
langkah, metode, dan sarana yang sejalan atas sasaran dari keigiatan ilmiah.
Aksiologi adalah sebuah nilai mengenai kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Nilai yang ditunjukkan oleh aksiologi ialah sebagai ‘conditio sine qua non’ yang
harus dipatuhi dalam aktivitas manusia, baik pada bagian penelitian yang dilakukan
atau pada penerapan ilmu.
DAFTAR PUSTAKA