Anda di halaman 1dari 14

Jurnal Studi Sosial dan Agama (JSSA)

Pusat Kajian dan Publikasi Patron Institute Sumatera Utara


http://jurnalpatronisntitute.org/index.php/jssa
Volume 2, Nomor 2 Tahun 2022
ISSN: 2477-524X

Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi Keilmuan

Mardinal Tarigan
Siti Irna Fadillah
Nisa Febriyanti Tanjung
Santi Sari Devi Manurung
Miftahul Jannah

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Abstrak

Kata Kunci: Salah satu pembahasan yang tidak bisa dilepaskan pada
Orientasi pembelajaran filsafat ialah pembicaraan terkait orientasi
Ontologis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis keilmuan, ini menjadi
Epistemologis, pembahasan dasar pada studi filsafat yang akan mengantarkan
Aksiologis para peminat filsafat untuk memahami bentuk filsafat, sebab pun
ini menjadi objek kajian filsafat, daripada itu alangkah
mustahilnya seseorang bisa dikatakan berfilsafat sementara
mereka sendiri tidak memahami dengan baik tentang orientasi
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Dengan demikian
siapapun yang ingin mempelajari filafat maka ini menjadi
bahasan wajib baginya. Daripada itu, menyusun sebuah
pembahasan secara benar tentang itu adalah hal yang begitu
fundamental sekali. Adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam pembahasan ini yakni definisi ontologis, epitemologis, dan
aksiologis? pokok pembahasan ontologis, epistemologis, dan
aksiologis,? Polemik seputar ontologis, epistemologis, dan
aksiologis?. Tujuan yang diharapkan pada pembahasan ini ialah
dimana kita memiliki kemampuan untuk memahami secara
benar ontologis, epistemologis, dan aksiologis keilmuan sehingga
akan memudahkan kita untuk menguasai studi filsafat secara
mendalam. Pembahasan ini menggunakan metodologi analisis
dan bersifat subjektif. Dengan demikian kesimpulan yang
didapat akan lebih bersifat representatif yang bersifat positif-
konstruktif.

92
Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi

PENDAHULUAN

Filsafat merupakan sebuah studi yang tidak bisa untuk dilupakan sepanjang
sejarah kehidupan ini, peranan-Nya begitu fundamental sekali dalam sejarah
peradaban dunia. Mereka yang menekuni bidang ini diklaim memiliki banyak sekali
nilai prestasi padanya, daripada itu menjadikan mereka negara yang disegani oleh
bangsa-bangsa yang lain. Yunani menjadi salah satu bukti sejarah yang kuat untuk
membuktikan hal itu, orang-orang tersohor padanya yakni Socrates, Aristoteles dan
Plato memiliki pengaruh yang luar biasa sekali bagi perkembangan peradaban
kehidupan ini. Begitu pula kaum muslimin, yang menekuni bidang filsafat
menjadikan mereka dikenang sepanjang sejarah kehidupan, misalkan saja Ibnu Sina
yang pemikiran-Nya sampai saat ini menjadi rujukan utama dalam bidang
kedokteran, dan tentu masih banyak lagi. Hal itu tentu tidak mengherankan
mengapa kebanyakan mereka yang menekuni bidang filsafat menjadikan mereka
orang yang memiliki pemikiran begitu berpengaruh, sebab pada filsafat sendiri
memiliki objek kajian yang amat luas sekali, yakni ontologis, epistemologis, dan
aksiologis.
Pada pembahasan ini, kami mencoba untuk mengulas secara komprehensif
tentang ontologis, epistemologis, dan aksiologis itu. Namun sebelum melangkah
pada pembahasan tersebut, disini kami akan menerangkan terlebih dahulu apa yang
disebut dengan filsafat, ini akan menjadi sebuah pengantar yang tidak boleh
dilewatkan pada pembahasan ini. Apa yang disebut dengan filsafat adalah berasal
dari bahasa Yunani ‘philosophia’ dan terdiri dari dua suku kata yakni ‘philo’ dan
‘sophia’, kata ‘philo’ memiliki arti cinta dan kata ‘sophia’ memiliki arti pengetahuan.1
Jadi secara dapat disimpulkan bahwa secara etimologi filsafat ialah cinta
pengetahuan. Kata filsafat ‘philosophia’ banyak diserap kedalam beragam bahasa
misalkan saja, dalam bahasa Arab disebu dengan ‘falsafah’, dalam bahasa Inggris

1
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1984), Cet. IV, hlm. 13.
Jurnal Studi Sosial dan Agama, Volume 2, Nomor 2, Tahun 9
Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi

disebut ‘philosophy’, dalam bahasa Latin disebut ‘philosophia’, dalam bahasa Jerman,
Belanda, Perancis disebut dengan ‘philosophie’. Seluruh term yang disebut itu
semuanya adalah bahasa serapan yang bersumber pada bahasa Yunani
‘philosophia’.2 Ketenaran kata ‘philosophia’ bermula pada Heraklitos (540-480 SM).
Diman ia memberikan pandangan bahwa seorang filsuf ialah orang yang memiliki
pengetahuan yang amat luas sekali. Kendati Heraklitos yang membuat istilah itu
terkenal, Disini kami menemukan bahwa orang yang pertama sekali
mengemukakan kata ‘philosophia’ bukanlah Heraklitos melainkan Phytagoras, hal
ini dapat ditemukan dalam tilikan Diogenes Laerto dan Cicero, menurut mereka
kata ‘philosophia’ itu pertama sekali digunakan oleh Phytagoras untuk menyebut
gerak kebijaksanaan demikian pula kebenaran.3
Secara terminologi, filsafat itu adalah mempelajari sebuah pertanyaan-
pertanyaan penting terkait sebuah eksistensi dari kehidupan dengan titik akhir
pada pencerahan dan pemahaman ‘illumination and understanding’. Filsafat sendiri
dalam melakukan kegiatan-Nya menitik tekankan pada nalar, persepsi, imajinasi,
dan intuisi dalam rangka mengklarifikasi konsep-konsep, memberikan analisis,
memberikan konstruksi argumentasi dan teori untuk menyajikan jawaban-jawaban
terhadap permasalahan perenial yang dikaji.4 Plato memberikan sebuah definisi dari
filsafat yakni: “sebuah ilmu pengetahuan yang berminat mencari hakikat kebenaran
yang asli”.5

2
Abdul Chalik, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran), hlm. 22.
3
Zaprulkhan, Pengantar Filsafat Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), hlm. 19.
4
Ibid., hlm. 18.
5
Abu Hanifah, Rintisan Filsafat, Filsafat Barat Ditilik dengan Jiwa Timur (Jakarta: Balai Pustaka,
1947), hlm. 16.

Jurnal Studi Sosial dan Agama, Volume 2, Nomor 2, Tahun 9


Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi

PEMBAHASAN
A. Orientasi Ontologis
1. Seputar Pengertian Ontologi
Bagi mereka yang menggemuli bidang filsafat tentu sudah tidak asing lagi
dengan ontologi, ontologi adalah bagian dari ruang lingkup kajian filsafat yang akan
menentukan arah objek kajian filsafat itu sendiri. Kata ontologi ialah sebuah kata
yang diambil dari bahasa Yunani yakni ‘To On Hei On’, kata ‘On’ adalah sebuah kata
netral dari kata ‘Oon’ yang memiliki bentuk genetif ‘Ontos’ dimana kata itu
memiliki arti “yang ada sebagai yang ada”. Kata ‘Ontos’ sendiri adalah bentuk
partisipatif yang berasal dari kata kerja ‘einai’ yang memiliki arti “ada/pengada”.
Sedangkan secara istilah, ontologi ialah studi mengenai ciri dari esensial atas yang
ada pada dirinya sendiri, dengan menempatkan keberadaan berbeda pada yang ada
secara khusus. Mempersoalkan yang ada dalam bentuk yang begitu abstrak dengan
melahirkan persoalan; apa itu ada pada dirinya sendiri? Apa hakikat ada sebagai
ada?.6
Dari definisi tersebut, sudah dimengerti bahwa dalam ontologi itu
memberikan pembahasan mengenai seluruh yang ada, jadi apa pun yang bersifat
materi maka itu menjadi objek kajian filsafat, misalkan saja hewan, tumbuh-
tumbuhan, dan bahkan manusia itu sendiri. Dalam sebuah perspektif kami
menemukan pulah bahwa ontologi bukanlah sekadar membatasi pada apa yang
bersifat materi melainkan lebih daripada itu, bahkan yang bersifat immaterial
termasuk kedalamnya. Immaterial diartikan sebagai yang mungkin ada, dan hal
yang mungkin ada dalam ontologi terkategorikan sebagai yang ada.7 Ini terjadi
karena yang mungkin ada memiliki sebuah tanda-tanda untuk menunjukkan

6
Mohamad Anas, Ilhamuddin Nukman, Filsafat Ilmu: Orientasi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis Keilmuan (Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 2018), hlm. 21-22.
7
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filasafatnya (Depok: Rajawali Pers, 2019), hlm. 6.

Jurnal Studi Sosial dan Agama, Volume 2, Nomor 2, Tahun 9


Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi

eksistensinya. Jika terdapat sebuah tanda-tanda untuk menunjukkan eksistensi dari


yang dimaksud maka tidaklah bisa ia terkategorikan sebagai mustahil ada. Misalkan
saja terkait masalah eksistensi Tuhan, pertanyaan dasar ialah siapakah orang di
masa sekarang yang pernah melihat Tuhuan? maka jawaban-Nya ialah tentu tidak
ada yang pernah melihat Tuhan, maka jika kita nilai secara empiris bahwa tidak ada
yang pernah melihat Tuhan lantas apakah bisa kita menginterpretasikan bahwa
Tuhan tidak ada? tentu tidak bisa kita mengatakan bahwa Tuhan tidak ada, sebab
faktualnya alam semesta ini ada, sedang terdapat hukum kausalitas yakni hukum
sebab-akibat, maka argumen terbangun disini, jika alam ada siapa yang
mengadakan alam?.
Oleh sebab itulah yang mungkin ada termasuk kedalamnya sebagai yang ada.
Istilah ontologi ini pada abad ke-17 dibentuk pemaduan antara ontologi dan
metafisika sehingga disimpulkan bahwa ontologi menjadi cabang dari metafisika. 8
Memang istilah metafisika juga diambil dari bahasa Yunani dan memiliki ikatan
pula pada ‘to on hei on’. Oleh sebab terjadinya pemaduan itu maka daripada itulah
titik tekan-Nya dibatasi pada yang telah ada yakni hakikat dari eksistensi.
2. Permasalahan Kajian Ontologi
Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam orientasi ontologi ini
agaknya amat sulit untuk menemukan permasalahan yang begitu esensial. Daripada
itu penulis hanya akan memaparkan beberapa pokok bahasan inti yang telah
menjadi kesepakatan bersama. Menilik kepada Bakker, sekurang-kurangnya terdapa
lima permasalahan padanya yakni:
1. Apakah yang ada banyak atau satu?
2. Apakah yang ada terdapat ciri transenden atau imanen?
3. Apakah yang ada bersifat permanen atau kebaruan?
4. Apakah yang ada memiliki dimensi jasmani atau rohani?
5. Apakah kehadiran yang ada itu bernilai atau tidak?
8
Simon Balckburn, Kamus Filsafat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 622.

Jurnal Studi Sosial dan Agama, Volume 2, Nomor 2, Tahun 9


Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi

Pada bagian ini dijelaskan bahwa, untuk dapat menyelesaikan permasalahan


itu hendaklah berpacu pada manusia yang dipahami sebagai makhluk berjenjang,
dalam artian fisik-kimia, biotis-vegetatif, psikis-naluri, dan dimensi humanitas.
Seluruh jenjang yang ada tidak saling berlawanan, namun justru tiap-tiap jenjang
saling berkomenetrasi dengan tidak kehilangan kesendirian-Nya. Jenjang paling
bawah dijadikan sebagai dasar atas konstruksi jenjang yang paling tinggi, demikian
sebaliknya bahwa jenjang yang paling tinggi memberikan pembudayaan pada
jenjang dibawahnya.
3. Aliran Dalam Ontologi
Dalam pembahasan ontologi terdapat sebuah pemahaman yang membentuk
sebuah aliran, adapun yang dimaksudkan ialah aliran naturalisme, materialisme,
idealisme, dan hylomorfisme. Kesemuanya itu akan dijelaskan pada pembahasan
dibawah ini: Pertama, Naturalisme. Dalam perspektif naturalisme dewasa kini
segala sesuat yang dinamakan kenyataan itu bersifat kealaman, beranggapan bahwa
klasifikasi pokok untuk memberikan kejelasan terkait kenyataan ialah kejadian.
Kejadian dipandang sebagai suatu hakikat terdalam dari yang namanya kenyataan,
daripada itu yang namanya kepastian terklasifikasikan pada alam. Term yang
digunakan oleh naturalisme ‘kenyataan’ dimaksudkan pada ‘apa yang ada’,
sedangkan penggunaan term ‘alam’ ialah dimaksudkan pada kata sifat. Pada bagian
ini segala yang mungkin untuk bereksistensi bisa diklasifikasikan pada kenyataan.
Sekarang persoalan yang diharuskan kita menemukan definisi yang jelas ialah apa
yang dimaksdukan dengan kenyataan?. Naturalisme memahami bahwa kenyataan
adalah suatu proses-proses kualifikasi, memiliki kausalitas, yang dikaji melalui
pendekatan empiris terhadap kejadian yang ada.
Kedua, Materialisme. Dalam perspektif materialime, alam semesta terdiri
dari zat-zat renik den berpendapat bahwa alam semesta bisa dijelaskan dengan
hukum dinamika. Era kini, materialime memegang rumus E = MC² dimana tenaga E
berkedudukan mampu bertukar dengan massa M. Pada kaum materialisme tempo

Jurnal Studi Sosial dan Agama, Volume 2, Nomor 2, Tahun 9


Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi

dulu dengan masa kini, memiliki perbedaan yang jelas, perbedaan-Nya ialah
terletask pada kemajuan keilmuan-Nya. Materialime memperoleh sebuah ilmu,
mengembangkan-Nya pada prinsip yang lebih bersifat umum, dan menerima itu
kedalam studi kefilsafatan yang dianut. Daripada itu, tapak untuk pijakan kaum
materialisme ialah hasil keilmuan modern. Term dasar dari segala dasar yang
melandasi ajaran dari materialisme ialah materi, term yang digunakan untuk proses
pengembangan-Nya ialah evolusi.
Ketiga, Idealisme. Secara umum, terdapat dua klasifikasi kaum idealis yakni
spiritualis dan dualis. Kaum spiritualis memandang bahwa alam bisa dikembalikan
kepada roh yang ada, mereka memahami alam semesta sebagai keseluruhan yang
bertingkat dan kita manusia sebagai pusat rohani yang memiliki kesinambungan
pada tingkatan yang lain. Oleh sebab manusia adalah pusat rohani dan
berkesinambungan dengan tingkatan rohani yang lain maka dapat diambil
kesimpulan bahwa tingkatan yang lain pun merupakan pusat rohani juga. Namun
pendirian semacam ini dibantah oleh kaum idealis macam kedua. Kedua, Dualisme.
Dalam perspektif dualisme, bahwa yang terdalam ialah jiwa semesta, mereka
memandang pula bahwa secara umum alam merupakan tatanan yang memiliki
tingkatan yang saling berbeda, alam adalah tatanan yang tersusun atas tingkatan
yang saling berbeda dimana itu memang saling berkesinambungan, namun secara
esensial bahwa yang satu tidak bisa dikembalikan pada yang lain, materi itu
tidaklah berasal dari jiwa kendati materi berkesinambungan dengan jiwa.
Keempat, Hylomorfisme. Kata hylomorfisme diambil dari bahasa Yunani
‘hylo’ yang memiliki arti materi atau substansi dan ‘morph’ yang memiliki arti
bentuk. Gambaran umum dari ini ialah, tentang gagasan objek adalah senyawa yang
terdiri atas materi dan hakikat bentuk. misalkan saja kita meletakkan objek pada
manusia, maka manusia ialah terdiri dari materi dan bentuk yang dapat dilihat.
Segala yang bereksistensi pasti memiliki esensi, namun segala hal yang beresensi

Jurnal Studi Sosial dan Agama, Volume 2, Nomor 2, Tahun 9


Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi

dapat dipisahkan dari eksistensi, sebab adanya esensi tidak mesti adanya eksistensi
meskipun adalah hal yang mustahil jika ada eksistensi tanpa adanya esensi.

B. Orientasi Epistemologis
1. Seputar Pengertian Epistemologi
Landasan dari epistemologis menyajikan kepada kita mengenai pembahasan
tentang cara kerja dari sebuah ilmu pengetahuan untuk merealisasikan kegiatan
ilmiah melalui langkah, metode, dan sarana yang sejalan atas sasaran dari keigiatan
ilmiah.9 Secara etimologi, kata epistemologi diambil dari bahasa Yunani yang terdiri
dari dua suku kata yakni ‘episteme’ yang memiliki arti pengetahuan dan ‘logos’ yang
memiliki arti ilmu atau penjelasan, dengan demikian, maka epistemologi adalah
penjelasan tentang ilmu.10
Secara terminologi, epistemologi adalah salah satu cabang dari filsafat yang
menyajikan pembahasan secara umum terkait sebuah pengetahuan, sumber
pengetahuan, otoritas, validitas, terkhusus cara yang digunakan dalam memperoleh
pengetahuan.11 Secara umum epistemologi dapat diklasifikasikan pada dua hal:
pertama, epistemologi dasar ‘general epistemology’, yakni menyajikan pembahasan
terkait teori-teori mengenai pengetahuan demi ‘qua’ pengetahuan, kebenaran dan
kepastian ‘qua’ kebenaran dan kepastian, pengetahuan dan kepentingan-Nya demi
pengetahuan itu sendiri dengan cakupan ‘origin of knowledge’, ‘method of
knowledge’, ‘structure of knowledge’ yang terakhir ialah ‘validity of knowledge’.
Kedua, epistemologi khusus ‘special epistemology’, spesial epistemologi membatasi
diri pada pengetahuan yang bersifat khusus, misalkan saja ilmu, metode dan

9
Paulus Wahana, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka Diamond, 2016), hlm. 6.
10
Sumarto, Filsafat Ilmu (Jambi: Pustaka Ma’arif Press, 2017), hlm. 11.
11
Saifullah Idris, Fuad Ramly, Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu (Yogyakarta:
Darussalam Publishing, 2016), hlm. 129.

Jurnal Studi Sosial dan Agama, Volume 2, Nomor 2, Tahun 9


Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi

seterusnya. Pada bagian inilah yang namanya filsafat pengetahuan memili


hubungan erat dengan filsafat ilmu.
Dalam filsafat ilmu, objek kajian-Nya ialah dengan kembali mempersoalkan
secara pasti terkait landasan juga asas yang dengan-Nya dimungkinkan suatu ilmu
dapat menyatakan kebenaran pada dirinya sendiri juga terkait yang dianggap benar.
Sebenarnya filsafat ilmu tidak mencukupkan dirinya pada pertumbuhan,
perkembangan, dan penyelenggaraan dari ilmu pada konsepsi realitas, namun juga
mencakupkan pada bagian metodologis yang membahas suatu asas juga faktor yang
menjadikan ilmu memperoleh pengetahuan ilmiah. Jika kita menelisik lebih dalam
mengenai masalah ini maka kita akan menemukan dua hal.
Pertama, filsafat ilmu memiliki lapangan penyeldikian yang sifatnya ilmiah.
Pada bagian ini, yang namanya filsafat ilmu memiliki keterkaitan dengan filsafat
pengetahuan sebab keduanya itu menelisik syarat-syarat serta bentuk-bentuk dari
pengetahuan manusia. Kedua, filsafat ilmu memiliki ikatan yang kuat dengan logika
dan metodologi, dari sinilah yang namanya filsafat ilmu kemudian dikembangkan
pengertian-Nya dengan metodologi. Usaha dalam menemukan pengetahuan yang
ilmiah, fokus penelisikan pada kerangka metodologis juga susunan logika,
keberurutan juga keterkaitan antara unsur dan struktur pada penerapan
pengetahuan ilmiah atau mempersoalkan sebuah metode ilmiah, pendorong teori,
dan lain sebagainya. Daripada itu, meskipun eksistensi epistemologi dan filsafat
ilmu dinilai agak tumpang tindih, namun antara keduanya terdapat sebuah
landasan ontologis demikian pua cara kerja yang berbeda. 12
2. Sumber dan metode pengetahuan
Membahas masalah sumber pengetahuan, maka hal yang fundamental sekali
dalam pembahasan ini ialah dengan apakah pengetahuan itu diperoleh. Umumnya
dalam memperoleh pengetahuan itu terdapat dua cara. Yakni empirisme dan

12
Mohamad Anas, Ilhamuddin Nukman, Filsafat Ilmu: Orientasi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis Keilmuan (Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 2018), hlm. 65-66.

Jurnal Studi Sosial dan Agama, Volume 2, Nomor 2, Tahun 10


Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi

rasionalisme. Kaum empirisme beranggapan bahwa manusia itu memperoleh


pengetahuan melalui indera. Artinya seluruh pengetahuan itu diambil dari
pengalaman indrawi. Pada paham positivisme, disebutkan bahwa pengetahuan
manusia itu tidaklah boleh melampaui dari fakta-fakta, empirisme inggris
berpandangan pula bahwa, namun pada empirisme inggris bahwa intuisi
merupakan bagian dari hal yang empirik.13
Empirisme ini perlu diketahui mengarah pada bentuk pemikiran logika
induktif. Sedangkan kaum rasionalisme, berpendirian bahwa manusia itu
memperoleh pengetahuan melalui akal, memang indra dibutuhkan disini, namun ia
hanyalah sebuauh perantara bagi manusia dalam memperoleh pengetahuan,
sedangkan untuk membuat terjemahan pada apa yang ditangkap oleh indera
manusia itu membutuhkan akal untuk dapat mengartikan-Nya secara benar.
Rasionalisme ini dipelopori oleh Rene Descrates. Bentuk pemikiran rasionalisme ini
mengarah pada bentuk pemikiran logika deduktif.
3. Pengetahuan Ilmiah dan Non-Ilmiah
Selurhunya memang bisa diklasifikasikan pada pengetahuan, namun apakah
seluruh pengetahuan yang diperoleh bisa terklasifikasikan sesuai klasifikasi
pengetahuan yang ada? tentu tidak. Pengetahuan itu ada yang bersifat ilmiah dan
non-ilmiah. Bermain catur dan melukis itu adalah pengetahuan, namun itu
bukanlah pengetahuan yang bisa disifati pengetahuan yang ilmiah. Lantas
bagaimana membedakan pengetahuan ilmiah dengan yang non-ilmiah? Berikut
adalah penjelasan-Nya. Pertama, pengetahuan ilmiah. Terdapat persyaratan yang
harus dipenuhi untuk suatu pengetahuan bisa disifati ilmiah, yakni metodis,
merupakan langkah-langkah ketat dan sistematis.
Adapaun yang dimaksudkan ialah universalitas, keberlakuan atas segala
ruang dan waktu. Objektivitas, dalam artian dibimbing oleh sebuah objek
penelitian dan tidak adanya interpretasi dari pihak subjektif. Metode dan logika,
13
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm. 77-78.

Jurnal Studi Sosial dan Agama, Volume 2, Nomor 2, Tahun 10


Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi

dalam artian sebuah pengetahuan yang boleh disifati yang ilmiah maka ia harus
memiliki metode dan logika didalamnya dalam menemukan pengetahuan tersebut.
Intersubjektivitas, dalam artia kebenaran-Nya tidak bersifat pribadi akan tetapi
disepakati oleh para saintis.
Kedua, pengetahuan non-ilmiah. pengetahuan dalam macam ini hanya
diperuntukkan pada pembawaan untuk mempertahankan hidup. Misalkan saja
binatang, ia dapat dipastikan memiliki pengetahuan. Seekor tikus, pasti memiliki
pengetahuan bahwa kucing itu berbahaya bagi dirinya, seekor tupai pasti
mengetahui mana buah yang bagus dan busuk.
4. Validitas Pengetahuan
Pada bagian ini yang ditelisi ialah bagaimana sesuatu itu dapat disebut
sebagai kebenaran. Sekurang-kurangnya terdapat tiga tola ukur kebenaran.
Pertama, koherensi. Maksudnya ialah suatu proposisi itu harus saling berhubungan
dengan seluruh fakta-fakta yang ada. Kedua, korespondensi. Maksudnya ialah suatu
proposisi itu sesuai dengan realitas objektif. Ketiga, pragmatis. Dalam artian sesuatu
dapat disebut benar bila hasilnya itu memuaskan, dapat dibuktikan melalui
eksperimen, serta berguna bagi kehidupan biologis.

C. Orientasi Aksiologi

Manusia mencoba berusaha berpikir untuk mendapatkan sebuah


pengetahuan, dari pengetahuan itu diharapkan manusia mampu untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik. Jadi peradaban manusia itu bergantung
pada ilmu pengetahuan yang diperoleh dan pemanfaatan-Nya dalam kehidupan.
Secara praktis, gambaran itu sudah memuat tentang pengertian dari aksiologi,
bahwa aksiologi adalah studi tentang nilai.14
Bila diuraikan secara teoretis tentang aksiologi, maka secara etimologi
aksiologi merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani ‘axios’ yang memiliki arti

14
Yudi Santoso, Kamus Filsafat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 77.

Jurnal Studi Sosial dan Agama, Volume 2, Nomor 2, Tahun 10


Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi

nilai, dan kata ‘logos’ yang memiliki arti ilmu. Daripada itu disimpulkanlah bahwa
aksiologi itu adalah nilai ilmu.15 Secara terminologi, aksiologi adalah sebuah nilai
mengenai kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.16 Apa yang disebut dengan
ilmu diliputi oleh nilai-nilai ‘values’ yang bersifat normatif pada pemberian sebuah
makna atas kebenaran atau sebuah kenyataan. Nilai yang ditunjukkan oleh
aksiologi ialah sebagai ‘conditio sine qua non’ yang harus dipatuhi dalam aktivitas
manusia, baik pada bagian penelitian yang dilakukan atau pada penerapan ilmu.
Dalam sejarah perkembangan filsafat ilmu, filsafat ilmu turut memberikan sebuah
arahan pada strategi akan pengembangan ilmu yang berkaitan oleh ‘etik’ juga
‘heuristik’, lebih daripada itu yakni pada dataran kebudayaan untuk memperoleh
tidak serta merta keguaan ilmu, namun juga arti maknanya dalam kehidupan ini. 17
Permasalahan umum yang diajukan pada aksiologi ini meliputi pertanyaan-
pertanyaan berikut:18
1. Apa Kegunaan ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan ilmu pengetahuan atas kaidah
moral?
3. Bagaimana penentuan objek yang ditelisik berdasarkan pilihan-pilihan
moral?
4. Bagaimana keterkaitan antara teknik prosedural sebagai operasionalisasi
metode ilmiah oleh norma-norma?

15
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu (Bogor: PT. Penerbit IPB Press, 2016), hlm. 106.
16
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010), hlm. 234.
17
Nanu Burhanuddin, Filsafat Ilmu (Jakarta: Prenada Media Group, 2018), hlm. 214.
18
Paham Ginting, Syafrizal Helmi, Filsafat Ilmu dan Metode RIset (Medan: USU Press, 2008),
hlm. 15.

Jurnal Studi Sosial dan Agama, Volume 2, Nomor 2, Tahun 10


Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi

KESIMPULAN

Ontologi adalah studi mengenai ciri dari esensial atas yang ada pada dirinya
sendiri, dengan menempatkan keberadaan berbeda pada yang ada secara khusus.
Mempersoalkan yang ada dalam bentuk yang begitu abstrak dengan melahirkan
persoalan; apa itu ada pada dirinya sendiri? Apa hakikat ada sebagai ada?. Ontologi
ini memiliki aliran naturalisme, materialisme, idealisme, dan hylomorfisme.
Epistemologi adalah salah satu cabang dari filsafat yang menyajikan pembahasan
secara umum terkait sebuah pengetahuan, sumber pengetahuan, otoritas, validitas,
terkhusus cara yang digunakan dalam memperoleh pengetahuan. Landasan dari
epistemologis menyajikan kepada kita mengenai pembahasan tentang cara kerja
dari sebuah ilmu pengetahuan untuk merealisasikan kegiatan ilmiah melalui
langkah, metode, dan sarana yang sejalan atas sasaran dari keigiatan ilmiah.
Aksiologi adalah sebuah nilai mengenai kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Nilai yang ditunjukkan oleh aksiologi ialah sebagai ‘conditio sine qua non’ yang
harus dipatuhi dalam aktivitas manusia, baik pada bagian penelitian yang dilakukan
atau pada penerapan ilmu.

Jurnal Studi Sosial dan Agama, Volume 2, Nomor 2, Tahun 10


Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi

DAFTAR PUSTAKA

Anas, Mohamad, Ilhamuddin Nukman, 2018. Filsafat Ilmu: Orientasi Ontologis,


Epistemologis, dan Aksiologis Keilmuan. Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya.
Balckburn, Simon, 2013. Kamus Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bertens, K., 1984. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
, 2012. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Burhanuddin, Nanu, 2018. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenada Media
Group. Chalik, Abdul, 2015. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Arti Bumi
Intaran.
Ginting, Paham, Syafrizal Helmi, 2008. Filsafat Ilmu dan Metode Riset. Medan: USU
Press.
Hanifah, Abu, 1947. Rintisan Filsafat, Filsafat Barat Ditilik dengan Jiwa Timur.
Jakarta: Balai Pustaka.
Idris, Saifullah, Fuad Ramly, 2016. Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi
Ilmu. Yogyakarta: Darussalam Publishing.
S., Jujun Suriasumantri, 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Santoso, Yudi, 2013. Kamus Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suaedi, 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: PT. Penerbit IPB Press.
Sumarto, 2017. Filsafat Ilmu. Jambi: Pustaka Ma’arif Press.
Wahana, Paulus, 2016. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Diamond.
Zaprulkhan, 2019. Pengantar Filsafat Islam. Yogyakarta: IRCiSoD.
Zar, Sirajuddin, 2019. Filsafat Islam: Filosof dan Filasafatnya. Depok: Rajawali Pers.

Jurnal Studi Sosial dan Agama, Volume 2, Nomor 2, Tahun 10

Anda mungkin juga menyukai