Anda di halaman 1dari 7

Modul kuliah 3

Kewirausahaan dari Perspektif Ekonomi: Peluang Usaha

Avin Fadilla Helmi & Muhammad Sulkhan

A. Pengantar
Kewirausahaan dalam perspektif ekonomi dapat dijelaskan dari peluang usaha.
Titik fokus pertama dalam kegiatan berwirausaha adalah apakah seseorang melihat
peluang usaha di sekitarnya. Peluang usaha ini akan dibahas 3 hal yaitu:
1. Dua perspektif besar peluang usaha yaitu Schumpeterian (1934) dan Kiznerian
(1973)
2. Tiga sumber utama peluang usaha yaitu perkembangan teknologi, perubahan
kebijakan/ politik, dan perubahan sosial/ demografi.
3. Bentuk lain dari peluang usaha seperti organisasi baru, pasar baru, proses bisnis
baru dll

B. Peluang Usaha
Merupakan situasi dimana orang memungkinkan menciptakan kerangka fikir baru dalam
rangka menkreasi dan mengkombinasikan sumberdaya, ketika pengusaha merasa
yakin terhadap keuntungan yang diperoleh (Shane, 2003).

Perbedaan utama antara peluang kewirausahaan dengan situasi yang lain adalah dalam
peluang usaha adalah orang mencari keuntungan yang membutuhkan suatu kerangka
fikir yang baru dari pada sekedar mengoptimalkan kerangka fikir yang telah ada.

C. Peluang usaha: Schumpeterian (1934) dan Kiznerian (1973)


Schumpeter (19340 percaya bahwa informasi baru merupakan suatu yang
penting dalam menjelaskan eksistensi peluang usaha. Perubahan teknologi, tekanan
politik, faktor-faktor lingkungan makro dan kecenderungan sosial dalam menciptakan
informasi baru yang dapat digunakan pengusaha untuk mendapatkan dan
mengkombinasikan kembali sumber daya dalam bentuk yang lebih bernilai.
Kizner (1973) berpendapat bahwa peluang kewiarusahaan hanya membutuhkan
cara baru untuk membuat inovasi berdasarkan informasi yang telah tersedia yaitu belief
mengenai cara menggunakan sumber daya yang seefisien mungkin.
Table 1. Perbedaan antara peluang Schumpeterian vs Kiznerian

Schumpeterian Kiznerian
Disequilibrating Equilibrating
Requires new information Does not requires new information
Very innovative Less innovative
Rare Common
Involves creation Limited to discovery

Berdasarkan perbedaan tersebut terlihat bahwa Kiznerian lebih mengutamakan


peluang dari sesuatu yang telah mapan (cateris paribus). Informasi yang diperlukan
bukan informasi yang bersifat radikal sehingga inovasi yang muncul biasa terjadi.
Sangat berlainan dengan Schumpeterian, peluang terjadi dalam situasi
ketidakseimbangan. Dalam situasi ini, informasi yang didapatkan banyak dan sering kali
bersifat radikal. Sifat radikal ini menyebabkan inovasi jarang terjadi karena situasi yang
radikal juga jarang terjadi.

D. Sumber Peluang usaha: Schumpeterian (1934)


Ada tiga kategori sumber peluang usaha yaitu:
1. perubahan teknologi
2. perubahan politik dan kebijakan
3. perubahan sosial dn demografi
ke tiga sumber ini menunjukkan perubahan dalam membuat perbedaan nilai sumber
daya tertentu dan menciptakan keuntungan yang menjanjikan.

1. Perubahan Teknologi
Perubahan teknologi merupakan sumber penting dalam kewirausahaan karena
memungkinkan untuk mengalokasikan sumber daya dengan cara yang berbeda dan
lebih potensial (Casson, 1995). Faksimili, surat, dan telepon sering digunakan sebelum
ditemukannya e-mail. Email ternyata lebih produktif untuk mengirim informasi
dibandingkan tipe yang lain. Penemuan internet ini memungkinkan orang membuat
kombinasi sumber daya baru yang disebabkan perubahan teknologi.
Blau (1978) meneliti wirausahawan mandiri di AS selama dua dekade dan
menemukan bahwa perubahan teknologi meningkatkan jumlah wirausahawan mandiri.
Demikian juga dengan hasil penelitian Shane (1996) memperlihatkan bahwa jumlah
organisasi dari tahun ke 1899 sampai dengan 1988 meningkat seiring dengan
meningkatnya perubahan teknologi.

2. Perubahan politik dan kebijakan


Perubahan politik dan kebijakan terkadang menjadi sumber peluang
kewirausahaan karena perubahan tersebut memungkinkan rekombinasi sumber daya
agar lebih produktif.
Beberapa kejadian empiris mendukung argumen bahwa perubahan politik adalah
peluang usaha. Delacoxroix dan Carool (1993) meneliti Koran Argentina dari tahun 1800
- 1900 dan Koran Irlandia 1800 – 1925 yang menemukan bahwa ada hubungan positif
antara perubahan politis dengan meningkatnya pertumbuhan perusahaan baru. Bahkan
perang pun dapat menjadi peluang usaha dengan menyediakan peralatan perang. Di
Indonesia dengan perubahan dalam Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, baik
ditingkat nasional, propinsi, dan kaputen/ kota memberikan ruang berwirausaha sablon,
percetakan, dll.
Kebijakan juga dapat menumbuhkan minat berwirausaha. Regulasi ini penting
karena menyangkut legalitas sebuah perusahaan. Studi yang dilakukan oleh Kelly &
Kelly dan Amburgey (1991) menemukan bahwa pertumbuhan airline di Amerika
meningkat setelah adanya paket deregulasi airline. Demikian juga di Indonesia, jika
jaman orde baru hanya didominasi dengan 2 atau 3 airline, dalam era reformasi ini lebih
dari 10 airline. Sebelum terkena banjir lumpur, Sidoarjo adalah kabupaten yang
menerapkan layanan satu atap. Hasilnya memang mampu mendorong iklim usaha
karena kemudahan wirausaha mendapatkan ijin usaha. Pengalaman sukses ini telah
diadopsi oleh kabupaten yang lain seperti halnya Kota Yogyakarta dan kabupaten
Sragen.

3. Perubahan demografi
Struktur demografi mempengaruhi pola usaha. Kita ambil contoh Yogyakarta.
Yogyakarta selain dikenal sebagai kota pelajar dan budaya, juga dikenal sebagai daerah
tujuan bagi pensiunan. Hal ini membawa dampak bagi jenis usaha yang dikembangkan
di kota Yogyakarta.
E. Institusi Pendidikan
Institusi pendidikan adalah sumber peluang usaha karena sebagai pusat
penelitian. Hasil-hasil penelitian tersebut menjadi dasar peluang usaha. Zucker dkk
(1998) meneliti tentang berdirinya perusahaan bioteknologi. Mereka menemukan bahwa
jumlah ilmuwan dan universitas ternama dalam suatu daerah tersebut meningkatkan
stok dan peningkatan jumlah perusahaan bioteknologi. Universitas bergengsi
menghasilkan hak paten yang lebih banyak. UGM dengan Research University
merupakan salah satu langkah menghasilkan penelitian-penelitian yang dapat
menghasilkan paten dan dapat diterima di pasar.

F. Bahan Diskusi
Perhatikan jenis usaha yang berkembang di daerah Yogyakarta? Apa saja? Kaitkan
jenis usaha tersebut dengan struktur demografi di Yogyakarta.

Disarikan dari Shane, S. 2003. A General Theory of Entrepreneurship.the Individual-


opportunity Nexus. USA: Edward Elgar.
Kasus diambil dari Koran Kedaulatan Rakyat, 11 Mei 2005

IKLIM INVESTASI YANG SUSTAINABLE

Meski tahun 2003, dua tahun yang lalu, sudah dicanangkan sebagai Tahun Investasi,
namun laporan Bank Dunia menyebutkan, iklim investasi di Indonesia terus memburuk, bahkan
masuk kelompok terburuk di dunia. Data menunjukkan, Indonesia berada di urutan ke 138 dari
146 negara yang disurvei terhadap foreign direct investment untuk periode 1998-2000. Dari segi
investasi investment risks, Negara ini paling berisiko dibanding Filipina, Korea, Thailand, dan
Malaysia. Ada sejumlah masalah yang disorot Bank Dunia. Misalnya, korupsi dan birokrasi yang
tidak efisien. Indonesia dinilai sudah menyandang reputasi korup sejak lama, namun sekarang
semakin memburuk, yang mengakibatkan biaya tinggi dalam bisnis.

Ketika Indonesia dipimpin Soeharto, tulis laporan itu, korupsi terorganisasi. Sehingga
bisnis lebih pasti, karena cukup membayar kepada orang yang tepat. Tetapi sekarang, pungutan
liar berkembang menjadi lebih acak, yang sulit diperkirakan besarnya. Sementara itu, ada
berbagai keluhan dilontarkan pebisnis asing dan domestik yang melakukan ekspansi ke daerah,
tetapi mengurungkan investasinya. Menurut penuturannya, ada dua masalah, yakni: persepsi
masyarakat yang menganggap pelaku bisnis sebagai rich fat cat, dan regulasi di daerah lewat
Perda-Perda yang berorientasi pada peningkatan PAD.

Lalu bagaimanakah upaya kita mengeliminir gejala umum desentralisasi itu untuk tidak
merambah ke DIY? Sebelumnya marilah kita telusuri dulu hal-hal apa yang menjadi daya tarik
bagi calon investor untuk menanamkan modalnya di suatu daerah. Jawabnya adalah tingkat daya
saing yang dimiliki oleh daerah tersebut. Artinya, semakin tinggi tingkat daya saing suatu daerah
akan menjadi lokasi pilihan penanaman modal. Selain itu, juga mempersyaratkan tingkat risiko
investasi yang rendah, agar memberikan jaminan kelangsungan usaha yang berkelanjutan.
Kedua syarat utama itu berhubungan erat dengan pelayanan birokrasi, insentif pajak, harga
tanah dan tingkat produktivitas tenaga kerja, ketersediaan SDM dan sumber bahan baku, serta
dukungan pra sarana ekonomi. Maka dalam kaitan ini, saya mengajak kepada para Birokrat
daerah untuk secara kreatif mencari dan menemukan skema insentif yang kompetitif, sekaligus
untuk menaikkan rating daerah, agar calon investor berminat melakukan penanaman modal ke
DIY.

Garry Hammer dalam bukunya, “Competing the Future” memaparkan bahawa untuk
memenangkan persaingan harus dikembangkan keunggulan kompetensi, baik yang secara
alamiah dimiliki oleh suatu Negara atau daerah, maupun hasil kerja keras dan ketekunan yang
konsisten dan berkesinambungan dari para Birokrat maupun Usahawannya. Dengan keunggulan
kompetensi telah membuat produk industri Jepang tidak dapat digantikan oleh produk Negara
lain, yang meski harganya naik pun, tetap saja dibeli konsumen. Terbentuknya daya saing suatu
daerah yang berbasis pada kompetensi harus terbuka kesempatan yang luas bagi siapa pun
untuk melakukan apa pun yang konstruktif. Setelah itu diperlukan tersedianya pekerja terampil,
birokrasi dan politisi profesional yang mampu melahirkan Perda-Perda yang kondusif bagi iklim
bisnis dan investasi. Padahal, elite poloitik kita tampaknya cukup tinggi tingkat kompetisinya,
namun tingginya tingkat kompetisi itu tidak berbanding lurus dengan tingkat kompetensi
Indonesia sebagai bangsa disbanding Negara lain.

Dalam Seminar: Birokrasi Daerah dan Upaya Peningkatan Iklim Bisnis dan Investasi di
Era Otonomi” beberapa waktu lalu saya menyatakan, era globalisasi telah menunjukkan situasi
dunia yang serba terbuka yang dicirikan oleh adanya hubungan saling ketergantungan. Dalam
konteks regional, maka interdependensi antardaerah otonom menjadi suatu keniscayaan yang
tak terelakkan. Interdependensi tersebut pada akhirnya bermuara pada dua kutub yang saling
bertolak belakang. Kutub pertama mengarah pada iklim kompetisi antardaerah, seperti dalam
perebutan pasar untuk produk-produk unggulan, menarik investasi, perekrutan SDM, serta
kompetisi dalam pengelolaan asset-asset potensial milik daerah. Sebaliknya kutub kedua
mengarah pada terbentuknya iklim kolaborasi yang memerlukan kerjasama ekonomi antar
daerah otonom yang saling berbatasan.

Agar dapat merespon secara positif berbagai dinamika dalam iklim ko-operatitif tersebut,
yaitu paduan antara kompetisi dan kolaborasi, maka diperlukan suasana pembangunan yang
kondusif.

Pertama, adanya kepastian hukum bagi para investor untuk meminimalkan risiko
investasi dan berbagai ketidakpastian. Kedua, menurut kapabilitas good govemance, terutama
dalam pelayanan bisnis dan investasi. Ketiga, penerapan instrument insentif, baik yang berbasis
fiskal, misalnya pengembalian pungutan retribusi atau pajak daerah kepada investor, maupun
non-fiskal dalam hal regulasi atau kebijakan khusus. Keempat, menyangkut kemampuan daerah
yang berdekatan untuk bekerjasama dalam pengembangan ekonomi regional, sehingga secara
sinergis saling menguatkan sesuai prinsip managed competition. Kelima, pembangunan
prasarana dan sarana wilayah lintas batas, misalnya pelayanan transportasi yang menjamin
efektivitas dan efisiensi mobilitas orang dan barang dari sentra-sentra produksi menuju outlet-
outlet pemasaran, selain itu juga membuka akses wilayah terisolir dan terbelakang.

DIY secara keseluruhan kini gencar membangun image sebagai wilayah alternative
untuk investasi yang sustainable di Indonesia, karena adanya tradisi sikap mutual trust, mutual
respect dan peaceful masyarakatnya terhadap kehadiran investasi. Di samping itu, faktor
keamanan lebih merupakan jaminan yang berjangka panjang, sehingga dapat menutup
“kekurangan” DIY yang tidak memiliki pelabuhan ekspor dan industrial park. Oleh sebab itu harus
diinformasikan sejak dini, bahwa peluang serta prospek investasi dan bisnis yang didorong
Pemerintah Daerah dengan preferensi, karena masih kompetitif, adalah jenis-jenis industri yang
non-poluted, non-volumetric dan berbobot ringan, serta jasa-jasa pelayanan software yang
berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sekarang tidak bisa lagi kita menawarkan sesuatu potensi yang maya sifatnya. Karena
jika pada kenyataannya berbeda dengan apa yang dipromosikan, justru akan menjadi bumerang
yang berefek domino bagi kita sendiri.

Anda mungkin juga menyukai