Anda di halaman 1dari 2

The one-shot case study

Leo Sutrisno

Seorang pembaca meminta dikomentari tentang penelitian yang dilakukannya. Pembaca ini seorang ibu
guru. Beliau mencoba menerapkan PAKEM di kelasnya, kelas III SD selama tiga bulan. Hasilnya?!
Mengagumkan! Nilai anak didiknya meningkat semua. Disarankan agar para guru, semua saja, menerapkan
PAKEM dalam pembelajaran.

Sebelum memberikan komentar tentang penelitian ini, ada baiknya kepada pembaca diingatkan kembali
bahwa PAKEM itu singkatan dari Pembelajaran (yang) Aktif, Kretatif, Efektif, (dan akibatnya)
Menyenangkan. PAKEM merupakan salah satu bentuk pembelajaran dalam tradisi konstruktivisme.

Dalam tradisi konstruktivisme pembelajaran berfokus pada siswa. Tidak berfokus pada guru. Artinya,
segala daya upaya diarahkan pada keberhasilan siswa. Karena itu, belajar didefinisikan sebagai suatu proses
aktif siswa. Para guru mengakui otonomi siswa. Para guru menyadari bahwa setiap siswa memiliki
kehendak dan tujuan sendiri.

Para guru juga memberi motivasi pada siswa-siswinya. Para murid didorong agar memiliki keinginan
selalu mencari tahu, agar selalu berusaha untuk ‘menyelidiki’ sesuatu. Mereka juga didorong agar
mengembngkan insiatifnya masing-masing.

Para guru juga mengakui bahwa setiap muridnya memiliki kepercayaan sendiri. Para guru juga menerima
kanyataan bahwa setiap siswa memiliki sikap tertentu terhadap pelajaran yang diikuti. Para guru juga
mengakui bahwa setiap siswa mempunyai konsepsi sendiri tentang bahan yang sedang dipelajarai.

Pendek kata, PAKEM merupakan pembelajaran yang membuat siswa menjadi aktif belajar. PAKEM juga
memberi ruang agar para siswa mengembangkan kreativitasnya. Dan, akhirnya, para siswa merasa senang
terlibat pada kegiatan pembelajaran yang mereka ikuti.

Kembali kepada pokok soal. Ibu guru ini selama tiga bulan menerapkan PAKEM dalam kegiatan di
kelasnya. Hasilnya, nilai semua muridnya meningkat. (Tentu tidak berlaku bagi mereka yang sebelumnya
telah mendapat nilai 10, ya?). Karena itu, Ibu guru ini menyarankan agar semua teman sejawat, para guru,
melaksanakan PAKEM.

Sebelum para guru menerima anjuran ibu guru ini mari kita telaah lebih dahulu tentang penelitian yang ia
lakukan. Model penelitian seperti itu dalam istilah penelitian disebut “The one-shot case study”. Dalam
penelitian semacam ini, peneliti secara sengaja melakukan sesuatu untuk beberapa waktu. Kemudian,
dilihat akibatnya. Perubahan yang terjadi ‘dianggap’ sebagai akibat. Dan, sesuatu yang telah dilakukannya
itu dianggap sebagai ‘sebab’.

Dalam contoh penelitian ibu guru ini yang menjadi akibat adalah nilai murid-muridnya meningkat semua.
Sedangkan penyebabnya adalah penerapan PAKEM. Dengan kata lain ‘penerapan PAKEM’ menyebabkan
’nilai semua murid meningkat’.

Mari kita cermati dengan seksama penelitian ini. Kita dapat mengajukan pertanyaan ’Betulkah kesimpulan
itu?’ Betulkah bahwa penerapan PAKEM membuat nilai semua murid meningkat?. Pertanyaan semacam
ini dalam penelitian menyangkut ’validitas internal’ dari sebuah penelitian.

Validitas internal suatu penelitian menjawab pertanyaan apakah temuan itu sungguh sama dengan yang
terjadi di lapangan. Dalam konteks ibu guru ini, apakah peningkatan nilai semua siswa sungguh disebabkan
PAKEM yang diterapkannya.
Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa hal yang dapat dipikirkan. Yang pertama berkaitan dengan
peristiwa tertentu yang terjadi selama percobaan dilangsungkan. Jika peristiwa itu berpengaruh secara
signifikan pada subjek yang berpartisipasi dalam penelitian maka juga akan menyebabkan perubahan.

Hal seperti ini disebut faktor ’history’. Dari pembicaraan per telpon untuk mengklarifikasi yang dilakukan
terungkap bahwa di akhir aktivitas PAKEM ibu guru tadi menyediakan hadiah, bagi mereka yang nilainya
berada pada lima urutan teratas. Nah, tentu, penyediaan hadiah ini mendorong setiap siswa ’berlomba’
untuk memperoleh nilai tertinggi. Dengan demikian, menjadi wajar jika, nilai setiap siswa meningkat.

Hal yang kedua berhubungan perubahan yang terjadi pada subjek yang terlibat dalam percobaan. Secara
alamiah, selama percobaan berlangsung dalam jangka waktu tertentu, emosi subjek yang terlibat juga
berubah, mungkin mnjadi semakin antusias, semakin senang, semakin merasa puas atau justru sebaliknya,
semakin bosan.

Perubahan yang terjadi dalam diri subjek selama penelitian berlangsung disebut faktor ’maturation’.
PAKEM menjadikan murid sebagai fokus kegiatan pembelajaran. Karena itu, semua daya upaya diarahkan
pada para murid itu. Karena itu, para murid menjadi semakin senang. Akibatnya, tentu semakin senang juga
untuk belajar lebih giat. Nah, tidak heran jika nilai mereka meningkat.

Hal yang ketiga berhubungan dengan perubahan jumlah siswa yang turut kegiatan ini. Dalam istilah
penelitian disebut ’mortality’. Secara alamiah, dalam suatu percobaan yang memakan waktu cukup lama
tentu ada subjek yang tidak dapat terlibat terus-menerus. Ada yang ’mengundurkan diri’ dari kegiatan itu.

Dari klarifikasi dengan ibu guru ini diketahui bahwa ada tiga orang siswa di kelas itu yang pindah ke
sekolah lain karena mengikuti perpindahan orang tuanya. Secara kebetulan, ketiga siswa itu tergolong yang
’nakal’ dan agak tertinggal. Nah, apa yang mungkin terjadi dengan nilai ketiga murid ini jika tidak pindah?
Mungkin tidak meningkat secara signifikan.

Tiga faktor ini: history, maturation dan mortality, ternyata dapat mempengaruhi nilai para siswa yang
mengikuti pembelajaran PAKEM. Karena itu, kita tidak dapat ’tergesa-gesa’ menyimpulkan bahwa
peningkatan nilai semua murid kelas itu disebabkan oleh penerapan PAKEM.

Inilah komentar kita tentang penelitian yang ibu guru lakukan itu. Sudah baik dilakukan, namun,
kesimpulan yang ditarik masih perlu direnungkan dengan cermat. Ibu tentu dapat memperbaiki lagi. Bagi
pembaca yang lain jika menggunakan model penelitian yang mirip dengan yang dilakukan ibu guru ini
sebaiknya faktor: history, maturation dan mortality diikutkan dalam pembahasannya. Semoga!

Anda mungkin juga menyukai