Anda di halaman 1dari 4

Berbagi Peran Berbagi Beban

Rieke Permanasari

Pada sebagian kalangan masyarakat, berlaku anggapan bahwa istri bertugas


melahirkan anak dan suami bertugas mencari nafkah. Namun bagaimanakah dengan
keluarga yang belum atau tidak memiliki anak, apakah istri tidak perlu dinafkahi?
Dimanakah peran suami?

Sebelum memutuskan untuk menikah, banyak orang yang hanya memikirkan diri
sendiri. Tapi kondisi tersebut akan sulit dipertahankan ketika mereka mulai membangun rumah tangga.
Setelah menikah, tenggang rasa dan sikap saling bantu amat dituntut pada setiap pasangan. Baik bagi
mereka yang baru mendirikan rumah tangga, atau yang sudah lama menjalani kehidupan bersama.

Oleh karena itu sebaiknya sebelum menikah, konsep hubungan suami istri sudah dibicarakan dan
disetujui bersama demi kepentingan bersama pula. Tak jarang kompromi untuk menyiasati perbedaan
suami istri itu, berupa pembagian peran dan tangggung jawab yang kaku. Namun pembagian tugas dan
peran istri dan suami yang terlalu kaku, dapat membawa implikasi psikologi dan sosial yang sangat
kompleks. Ketika role expectation dari masing-masing pihak tak terpenuhi, kondisi tersebut berpotensi
menjadi pemicu masalah.

Psikolog keluarga dan perkawinan Rosdiana S Tarigan MPSi, MHPEd dari Rumah Sakit Pluit Jakarta
mengatakan, pembagian peran antara suami istri, bergantung pada perjanjian awal ketika menikah.
“Namun perlu ditekankan bahwa tugas utama untuk menghidupi keluarga ada pada suami,” ujar
Rosdiana. Istri bisa saja mengemban tugas itu, tetapi hal itu karena sesuatu hal yang di luar dugaan. Tapi
meskipun istri bekerja, perlu disadari bahwa tugasnya hanya sebagai penopang atau penambah. ”Jadi
kalau pun penghasilan istri lebih besar dari suami, si istri tidak boleh sombong karena perlu adanya
mutual-respecr,” Rosdiana menjelaskan.

Suami, lanjut Rosdiana, sebagai kepala keluarga mempunyai tugas untuk mencari nafkah dan
bertanggung jawab terhadap keluarga. Namun selain bertugas mengayomi, melindungi, dan bijak
terhadap istri dan anak-anaknya, suami juga dapat membantu pekerjaan istri, yaitu mengurus pekerjaan
rumah tangga. Begitu pula istri, selain bertanggungjawab terhadap pekerjaan rumah tangga ia juga
berperan untuk selalu mendukung dan menolong suami ketika ia mengalami kesulitan. Istri dapat menjadi
orang yang paling berpengaruh dalam setiap keputusan yang diambil suami.

Mengenai pembagian peran suami istri ini, konselor manajemen keluarga Dra Puspita Zorawar MPsiT
dari Learning Center ExcellencIA, mengatakan bahwa hubungan suami istri yang ideal berupa hubungan
“partnership”. Hubungan kemitraan, menurutnya, paling ideal dalam era perubahan, dan berbagai
tuntutan yang muncul dewasa ini. Namun penerapan hubungan tersebut juga harus secara fleksibel.
“Meski suami sebagai kepala keluarga merupakan final decision maker, namun setiap keputusan yang
diambil harus demi kepentingan keluarga,” kata Puspita. Ditambahkannya, hubungan partnership akan
lebih banyak berperan pada pembagian tugas dalam keluarga, seperti mendidik dan membimbing anak,
mendelegasikan pekerjaan rumah tangga ke pembantu, dan lain-lain.

Tanggung Jawab

“Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Menghadapi tuntutan hidup yang semakin besar saat ini,
suami istri dituntut untuk melakukan tugas bersama-sama, apalagi bila keduanya bekerja. Seorang istri
yang bekerja harus memiliki konsep manajemen rumah tangga yang baik. Dengan demikian
kepentingan-kepentingan rumah tangga tidak boleh terabaikan, karena perhatian dan energi sang istri
lebih didominasi oleh pekerjaan. Namun suami tidak bisa sepenuhnya mengharapkan istri adalah orang
yang satu-satunya bertanggungjawab terhadap anak. Namun pekerjaan apa yang harus dikerjakan,
semua itu tergantung dari kesukaan dan minat masing-masing.
”Misalnya ada suami yang tidak suka beres-beres tapi dia suka masak, maka saat libur dia bisa memasak
dan istri yang beres-beres rumah. Begitu juga pada saat pembantu tidak ada,” kata Rosdiana. Suami istri
sebaiknya menyadari bahwa tugas rumah tangga merupakan tanggung jawab bersama. Tanpa
kesadaran tersebut, maka kedamaian di dalam rumah bisa sering terganggu.

Puspita juga menyarankan, jika salah satu dari pasangan tidak dapat menjalankan tugasnya (misalnya,
mengecek PR anak) karena tuntutan pekerjaan, maka pasangan lainnya dapat menggantikan. Saling
menggantikan tugas mendidik anak ini, merupakan bentuk tanggung jawab bersama. “Oleh karena itu,
komunikasi antara suami dan istri menjadi sangat penting. Hal ini sangat mudah dilakukan mengingat
ketersediaan fasilitas dan teknologi komunikasi yang kian maju,” lanjutnya.

Dia menambahkan, salah satu syarat dalam rumah tangga adalah mengembangkan relasi terbuka.
Artinya keduanya harus membiasakan diri mengungkapkan apapun yang dirasakan dan diinginkan, tanpa
khawatir salah satu pihak merasa sakit hati. Saling menghargai bisa terwujud kalau komunikasi antar
pasangan berjalan baik dan efektif. Istri menceritakan apa pun yang dilakukannya, suami juga melakukan
hal yang sama. Komunikasi yang lancar biasanya membuat suami istri merasa saling membutuhkan.

Saat ini sudah tidak lagi berlaku pembagian tugas rumah tangga secara gender. Sudah bukan hal aneh
lagi, bila suami melakukan sejumlah tugas rumah tangga seperti belanja ke supermarket, atau
menjemput anak di sekolah. Demikian pula dalam hal mendidik anak. “Mendidik anak harus dilakukan
berdua, karena anak harus mendapat figure ayah sebagai pemimpin keluarga dan ibu sebagai
pendampingnya,” ujar Puspita. Sehingga peran suami istri lebih pada ‘spirit’, bahwa seorang Ibu lebih
sebagai ‘direktur operasional’ di dalam keluarga, sedangkan Ayah sebagai ‘presiden direktur’ yang
membawa seluruh keluarga kepada tujuan yang hendak dicapai dan sebagai pemegang keputusan final.

Selain tanggung jawab, Rosdiana menambahkan, hal utama yang perlu diterapkan oleh pasangan adalah
komunikasi dan toleransi. Jika istri merasa tidak nyaman dengan beban pekerjaan rumah tangga yang
diembannya, maka ia harus membicarakannya kepada suami. Sebaliknya seorang istri yang ingin
”menegur” suami haruslah memilih waktu dan masa yang tepat, seperti ketika hendak tidur atau waktu
istirahat pada petang hari. Pada saat-saat itulah suami biasanya berpikiran tenang dan terbuka. ”Istri juga
perlu bersikap toleran dan menghargai keadaan suami. Bila suami tiba-tiba tidak bisa melakukan
tugasnya, maka istrilah yang harus menggantikannya,” imbuh Rosdiana.

Dengan adanya pengaturan tugas masing-masing pasangan, maka tak sepantasnya lagi suami
mengharapkan istri menjadi satu-satunya pihak yang bertanggungjawab atas segala sesuatu yang
berkaitan dengan anak. Mulai dari perhatian, pengajaran, makanan, hiburan, sampai dengan kebersihan
rumah. Dengan menerapkan sikap toleransi di dalam rumah tangga maka permasalahan akibat saling
menggantungkan terhadap pasangan tidak mungkin terjadi. ”Bila suami sudah bersedia menolong istri,
ucapan terima kasih perlu sentiasa diucapkan supaya si suami merasa dirinya dihargai,” tandas
Rosdiana.

Kerja Sama Antar Anggota

Pada dasarnya pembantu rumah tangga bukan pekerja yang bisa mengerjakan seluruh tugas rumah
tangga. Sesuai sebutannya, ia bukan pengganti fungsi orangtua bagi anak. Jangan sampai pembantu
menjadi pemisah hubungan orang tua dan anak. Hal ini perlu ditanamkan kepada anak-anak, agar
hubungan emosional tetap terjalin kepada orangtua sejak anak-anak masih kecil. “Begitu juga dengan
pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, sebaiknya tetap harus memprioritaskan komunikasi kepada
anak. Berusaha semaksimal mungkin agar mereka dapat menjadi panutan anak-anak, sehingga anak-
anak tidak mencari panutan di tempat lain,” ungkap Puspita.

Pembagian tugas di dalam rumah tangga tidak melulu dilakukan oleh suami istri. Mereka yang
mempunyai anak cukup besar bisa melibatkan anak-anak dalam pekerjaan rumah, namun cukup yang
ringan-ringan saja. Anak-anak dapat diberi pengertian bahwa semua orang yang ada di dalam rumah
dapat berperan, misalnya merapikan bekas mainannya atau tempat tidurnya.

Anak-anak perlu diberi batasan tugas dan tanggung jawab yang besar kecilnya disesuaikan dengan
kematangan usianya. ”Dalam proses perkembangan anak, memberi contoh adalah cara yang paling
efektif untuk mengharapkan anak melakukan sesuatu. Misalnya menerapkan konsep hidup sehat,”
ungkap Puspita. Di sini orang tua dapat memberi contoh bagaimana mengatur keseimbangan hidup
melalui makan yang sehat, cara hidup yang sehat, olah raga teratur, berpikir yang positif dan optimis,
mengerjakan sesuatu dengan penuh ketekunan untuk menghasilkan sesuatu yang besar, dan lain-lain.
Tugas dan tanggung jawab kepada anak harus selalu diingatkan agar nilaitersebut dapat diinternalisasi
pada masing-masing individu anak.
Melepas Ketergantungan Pembantu

Ada sebagian pasangan menikah ‘kelimpungan’ saat pembantu dirumah pulang kampung atau
mendadak ijin karena sakit. Tiba-tiba saja rumah Anda menjadi ”porak poranda” karena tidak terurus.
Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi jika anggota keluarga sudah terbiasa berbagai tugas melakukan
pekerjaan rumah.

Rosdiana menambahkan bahwa pemilik rumah dengan pembantu memiliki hubungan mutualisme,
dimana pembantu mengerjakan pekerjaan rumah, sedangkan si pemilik mendapatkan hasilnya. Namun
keadaan ini tidak terlalu baik jika sepenuhnya pekerjaan diserahkan kepada pembantu. Jika memang
pembantu perlu ada didalam rumah, maka ia hanya cukup melakukan pekerjaan rumah saja, sedangkan
pekerjaan mengasuh anak tetap dilakukan oleh suami istri. “Sebagai orangtua, kita tetap mempunyai
tugas untuk mengurus anak. Belanja bulanan, mengatur menu, pekerjaan sekolah (PR) anak-anak, dan
lain-lain juga dapat dilakukan oleh orangtua. Hal itulah yang bisa dibagi dengan anggota keluarga
lainnya,” lanjut Rosdiana.

Begitu pula ketika menghadapi Hari Raya. Pembantu yang mudik atau pulang kampung tidak perlu
meresahkan atau malah menjadi beban yang amat berat bagi pasangan menikah. Hal ini justru menjadi
ajang bagi suami istri untuk menjalin hubungan menjadi lebih erat lagi. Misalnya mencuci mobil bersama-
sama, memasak bersama, membereskan rumah dan lain sebagainya. “Dengan membagi tugas antara
pasangan, pekerjaan apa saja yang harus dilakukannya justru akan menambah keharmonisan di dalam
keluarga,” seru Puspita.

Tips bagi pasangan dalam berbagi tugas

• Kompromi dengan melakukan komunikasi terbuka dengan pasangan, pekerjaan dan tugas rumah
tangga apa yang harus dilakukan masing-masing.
• Dalam membagi tugas atau pekerjaan tersebut, sebaiknya disesuaikan dengan minat dan
kesukaan pasangan masing-masing.
• Jangan memaksakan pasangan kita untuk melakukan pekerjaan yang tidak disukainya.
• Jangan menganggap pekerjaan rumah adalah pekerjaan yang amat berat.
• Kurangi standar hasil pekerjaan. Misalnya ketika ada pembantu lantai bersih kinclong, maka bila
pembantu tidak ada bersih saja pun cukuplah. Menu masakan yang biasanya lima macam dalam
satu hari jika dimasak pembantu, ketika harus masak sendiri bisa dikurangi menjadi tiga macam
menu saja.
• Selain suami, libatkan juga anak-anak agar keharmonisan dalam keluarga bisa lebih terjalin.
• Jangan terlalu mengharapkan hasil yang sempurna dengan hasil pekerjaan yang dilakukan oleh
suami. Bagaimanapun juga diperlukan proses dalam melakukan semuanya itu.
• Jika suami enggan membantu menguruskan rumah tangga, isteri haruslah bijak untuk
memainkan peranan dengan menegur sikap suami dengan cara baik dan lembut. Pilih waktu dan
saat yang tepat.
• Ucapkan terima kasih kepada pasangan Anda seusai ia melakukan tugasnya. Agar ia merasa
dihargai.
• Kesetaraan dalam melakukan tugas rumah tangga bisa berhasil apabila pasangan saling
menghargai. Misalnya, suami bangga dan mendukung karier istri di luar rumah. Sebaliknya, istri
pun menghargai keterlibatan suami dalam mengelola tugas rumah tangga.

Anda mungkin juga menyukai