Anda di halaman 1dari 2

Perkawinan Gelahang Bareng / Negen

Perkawinan Gelahang Bareng/“Negen Dadua” disetiap tempat / wilayah di Provinsi Bali


mempunyai nama yang berbeda. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Peneliti
Perhimpunan Dosen Hukum Adat (Pershada) Bali, 2008, telah ditemukan nama lain dari
Perkawinan Gelahang Bareng/Negen adalah Perkawinan Pada Gelahang, Perkawinan
Mepanak Bareng, Perkawinan Nadua Umah, Perkawinan Mekaro Lemah, Negen, atau Negen
Ayah, Perkawinan Magelar Warang, “Perkawinan Parental, Perkawinan Mekaro Lemah atau
Madue Umah “.Perkawinan Nyentana (Nyeburin) dengan perjanjian tanpa upacara mepamit,

Umumnya Perkawinan Gelahang Bareng/Negen tidak terlalu sering dilaksanakan. Terbukti


dari survei yang dilakukan oleh LSM tertentu, bahwa ada 28 pasutri di bali yang
melaksanakan system Perkawinan Gelahang Bareng/Negen. Dan mungkin saja masih banyak
pasutri yang melaksanakan sistem ini yang tidak tersurvei.

Perkawinan Gelahang Bareng/Negen adalah salah satu sistem perkawinan di Bali yang
berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa. Dari hasil
wawancara yang dilakukan oleh penulis, terdapat berbagai factor yang menyebabkan
terjadinya sistem Perkawinan Gelahang Bareng/Negen, yaitu: calon istri merupakan anak
semata wayang sehingga tidak ingin kawitan di sanggahnya terputus begitu saja atau baik
calon suami maupun istri merupakan anak semata wayang, Jika calon suami memiliki
saudara laki-laki, namun di dalam desa,kala,patra keluarga suami tidak lazim mengadakan
sistem Nyentana (hanya istri yang berperan senagai Purusa), sehingga dilaksanakan sistem
Perkawinan Gelahang Bareng/Negen.

Perkawinan “Negen Dadua” merupakan pergeseran budaya yang positif, yaitu dari
Perkawinan “Negen Dadua” telah memunculkan hak anak / anak-anak perempuan di Bali
untuk mendapatkan hak waris dari orang tuanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem
perkawinan ini merupakan persamaan derajat yang menjungjung tinggi HAM (Hak Azasi
Manusia), khususnya terhadap anak/anak-anak yang lahir perempuan karena Masyarakat Bali
menganut sistem patrilinial.

Sebagai syarat sahnya Perkawinan “Negen Dadua” dapat disimpulkan apabila telah
melakukan beberapa prosesi secara Agama Hindu dan Adat Bali, yaitu : sudah dilangsungkan
Upacara Pebyakaonan, dan tidak dilakukan Upacara Mepamit, serta sudah disepakati oleh
Mempelai, Orang Tua (Ayah, Ibu kedua belah pihak )

Ahli Weda, Prof. Drs. I Made Titib, Ph.D. dalam seminar “Lembaga Perkawinan Negen
Dadua Mapanak Bareng” menegaskan jenis Perkawinan Gelahang Bareng/ Negen dibenarkan
dalam Ajaran Weda. Selain itu akan Perkawinan Gelahang Bareng/Negen berguna untuk
menyelamatkan keturunan bagi mereka yang tidak memiliki anak laki-laki, manakala
mempelai pria juga tidak berkenan untuk nyentana.

Pada dasarnya hukum adat menyatakan bahwa sesorang sudah dianggap dewasa dalam
hukum adat, apabila seseorang sudah kuat gawe atau mampu untuk bekerja secara mandiri,
cakap mengurus harta benda serta keperluannya sendiri, serta cakap untuk melakukan segala
tata cara pergaulan hidup kemasyarakatan termasuk mempertanggungjawabkan segala
tindakannya dalam tataran kehidupan sosialnya di masyarakat serta jika melakukan koitus
(senggama) dan menghasilkan keturunan maka mereka dinyatakan dewasa, dan jika tidak
menghasilkan keturunan maka mereka belum dikatakan belum dewasa.
Dr. Wayan P. Windia, S.H, M.Hum, ahli hukum adat Bali dari FH Unud menyatakan bahwa
pada hukum adat Bali, jika seseorang mampu negen (nyuun) sesuai beban yang diujikan,
mereka dinyatakan loba sebagai orang dewasa. Ia menyatakan perkawinan gelahang bareng
masih relatif baru dalam masyarakat Bali.

Perkawinan Gelahang Bareng /Negen tidak bertentangan dengan Adat Bali maupun Ajaran
Agama Hindu. Banyaknya konflik yang muncul di permukaan,diakibatkan oleh sistem
perkawinan ini yang masih baru dan pemahaman masyarakat yang masih sempit. Didalam
kitab Suci Manawa Dharmasastra atau Weda Smrti, Buku IX, tentang Atha
Nawanodhayayah, sloka 132, 133, 134, 135 dan 136, telah mengatur tentang pengangkatan
wanita menjadi status purusa. Dengan begitu,Weda sangat menjunjung tinggi keberadaan
wanita dan setiap pria harus menghormati wanita baik ibunya, saudara maupun istrinya.

masyarakan singaraja jarang yang melaksanakan sistem perkawinan sepert ini. Akibat yang
ditimbulkan dari dilangsungkannya Perkawinan “Negen Dadua” adalah mempelai perempuan
berstatus purusa, sehingga merupakan pelanjut darah/ keturunan dirumah orang tuanya.
Begitu juga mempelai laki-laki tetap berstatus purusa atau pelanjut darah keturunan dirumah
orang tuanya.

Anak yang dilahirkan dari Perkawinan “Negen Dadua” dihadapankan dengan status
kepurusa, yang kemudian menimbulkan kewajiban (swadarma) dan hak (swadikara) dan/atau
hubungan pergaulan dengan masyarakat setempat (pasidikaraan) akan ditentukan sesuai
kesepakatan kedua belah pihak.

Adapun dampak secara nyata dari sistem perkawinan ini yaitu: pasutri memiliki beban
gandan dalam melaksanakan kewajiban dalam desa pakraman seperti ayah-ayahan di
pura,banjar,dll, Jika pasutri hanya memiliki satu anak, maka beban anak akan berlipat ganda
apalagi anak tersebut akan menikah.

Anda mungkin juga menyukai