Dalam kertas posisi WALHI terhadap kasus lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo,
WALHI menyimpulkan bahwa telah terjadi kejahatan korporasi yang dilakukan oleh PT
Lapindo Brantas. Untuk itu, WALHI mendesak kepada pihak yang berwenang untuk
mengupayakan agar PT Lapindo Brantas mempertanggungjawabkan tindakannya di
depan pengadilan atas lumpur panas dan kebocoran gas yang telah merugikan masyarakat
dan lingkungan hidup yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo.
Dari hal tersebut di atas, maka timbul pertanyaan: apakah yang dimaksud dengan
kejahatan korporasi itu? Apakah sistem hukum Indonesia mengenal adanya kejahatan
korporasi? Apakah kasus lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo tersebut dapat dianggap
sebagai akibat dari kejahatan korporasi?
Korporasi dan Kejahatan Korporasi
Meski dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini tidak
dikenal istilah “korporasi”, namun demikian istilah “korporasi” dalam ranah hukum
pidana di Indonesia sebenarnya telah dicoba untuk diperkenalkan oleh para ahli hukum
pidana dalam Rancangan KUHP pada tahun 1987/1988 (BPHN: 1987), yang mana
korporasi diartikan sebagai “kumpulan terorganisasi dari orang atau kekayaan baik
merupakan badan hukum atau pun bukan”. Pengertian ini ternyata telah diadopsi dalam
beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini untuk menjelaskan pihak
yang menjadi pelaku tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan tersebut, seperti
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dengan demikian, berdasarkan pengertian tersebut di atas, secara ringkas dapat diambil
kesimpulan bahwa kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh kumpulan
terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum. Pengertian ini memberikan perbedaan yang tegas terhadap kejahatan yang
dilakukan oleh manusia atau individu.
Pada dasarnya, kejahatan korporasi telah dikenal dalam sistem hukum Indonesia sejak
diundangkannya Undang-Undang Darurat No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan
Barang-Barang (UU Drt. No. 17/1951) (Sjahdeini, 2006: 130). Dalam Pasal 11 ayat (1)
UU Drt. No. 17/1951 telah diatur ketentuan sebagai berikut: “Bilamana suatu perbuatan
yang boleh dihukum berdasarkan undang-undang ini, dilakukan oleh suatu badan hukum,
maka tuntutan itu dilakukan dan hukuman dijatuhkan terhadap badan-badan hukum itu
atau terhadap orang-orang termaksud dalam ayat (2) pasal ini, atau terhadap kedua-
duanya”. Dengan demikian, UU Drt. No. 17/1951 dan berbagai undang-undang khusus
lainnya di luar KUHP yang mengatur mengenai korporasi sebagai pelaku tindak pidana,
telah memperluas atau menambah subyek tindak pidana dari semula hanya terbatas
kepada manusia menjadi memasukkan pula korporasi sebagai subyek tindak pidana
(Muladi dan Priyatno, 1981: 30).
Dalam UU No. 23/1997 sendiri telah ditentukan bahwa apabila tindak pidana terhadap
lingkungan hidup dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka tuntutan pidana, sanksi
pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana ditentukan dalam UU No. 23/1997
dijatuhkan baik terhadap korporasi maupun terhadap mereka yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana tersebut dan/atau yang bertindak sebagai pemimpin
dalam perbuatan itu. Lebih lanjut ditentukan bahwa apabila tindak pidana terhadap
lingkungan hidup tersebut dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka ancaman
pidana denda diperberat dengan sepertiganya.
Selain sanksi pidana sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU No. 23/1997, pelaku
tindak pidana terhadap lingkungan hidup, termasuk korporasi, dapat pula dikenakan
tindakan tata tertib. Adapun tindakan tata tertib sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU
No. 23/1997 adalah: (i) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; (ii)
penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; (iii) perbaikan akibat tindak pidana; (iv)
mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; (v) meniadakan apa yang
dilalaikan tanpa hak; dan/atau (vi) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan
paling lama 3 (tiga) tahun.
Menurut Prof. Sutan Remy Sjahdeini (2006: 57), suatu korporasi dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana apabila sekalipun perbuatan korporasi dilakukan oleh orang-
orang yang menjalankan kepengurusan atau kegiatan korporasi, namun perbuatan itu
dilakukan dengan maksud memberikan manfaat, terutama berupa keuntungan finansial
atau pun menghindarkan/mengurangi kerugian finansial bagi korporasi yang
bersangkutan.
Dalam UU No. 23/1997 sendiri telah ditentukan bahwa tuntutan pidana dapat dilakukan
terhadap korporasi apabila tindak pidana terhadap lingkungan hidup dilakukan oleh atau
atas nama korporasi. Dengan demikian, apa yang disampaikan oleh Prof. Sutan Remy
Sjahdeini dan ketentuan dalam UU No. 23/1997 tersebut pada dasarnya dapat dijadikan
pertimbangan bagi aparat penegak hukum dalam menentukan pelaku tindak pidana dalam
kasus lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo tersebut, dengan tetap memperhatikan bukti-
bukti yang terdapat di lapangan.
Namun demikian, hal tersebut tidak boleh membuat aparat penegak hukum menjadi
bimbang dan ragu. Aparat penegak hukum harus berani mengambil sikap berdasarkan
pertimbangan yang matang, karena bagaimanapun juga hukum harus tetap ditegakkan
dengan upaya maksimal untuk memberikan keadilan bagi semua pihak.