A. UMUM
VIII – 2
Di bidang kedudukan dan peranan perempuan meliputi:
peningkatan kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, dan peningkatan kualitas peran dan
kemandirian organisasi perempuan.
VIII – 3
tenaga kesehatan sekitar 70 persen; (4) cakupan pelayanan antenatal,
postnatal dan neonatal sekitar 80 persen; (5) persentase keluarga yang
mengkonsumsi garam beryodium dengan cukup sebesar 78,5 persen;
(6) keluarga yang menggunakan air bersih di perkotaan dan perdesaan
mencapai 80 persen; dan (7) keluarga yang menggunakan jamban
yang memenuhi syarat kesehatan di perkotaan dan perdesaan
mencapai 68 persen.
VIII – 4
informasi, terbatasnya pemahaman terhadap peraturan perundangan
serta struktur organisasi kesehatan yang tidak konsisten.
Rencana tindak lanjut pembangunan kesehatan yang akan
ditempuh antara lain: (1) meningkatkan upaya promosi kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan; (2)
meningkatkan upaya pemeliharaan, perlindungan/keselamatan,
peningkatan kesehatan dalam rangka peningkatan status kesehatan dan
status gizi terutama keluarga miskin dan kelompok rentan; (3)
meningkatkan upaya pencegahan dan penyembuhan penyakit; (4)
meningkatkan upaya lingkungan sehat di kawasan pariwisata, industri,
perumahan dan permukiman serta perbaikan sarana sanitasi dasar
untuk permukiman kumuh dan keluarga miskin; (5) meningkatkan
kualitas, keterjangkauan, dan pemerataan pelayanan kesehatan di
fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan terutama bagi
keluarga miskin, kelompok rentan dan penduduk di daerah terpencil,
perbatasan dan rawan bencana/konflik; (6) meningkatkan upaya dan
kecepatan penanggulangan masalah kesehatan akibat terjadinya
wabah, Kejadian Luar Biasa (KLB), konflik dan bencana; (7)
meningkatkan upaya pemerataan dan profesionalisme sumber daya
manusia kesehatan; (8) meningkatkan upaya percepatan pelaksanaan
desentralisasi bidang kesehatan serta peningkatan manajemen
pembangunan kesehatan; (9) meningkatkan perumusan
kebijakan/program pembangunan kesehatan berdasarkan hasil
penelitian dan pengembangan kesehatan; (10) meningkatkan upaya
penyediaan dan pemanfaatan obat esensial; (11) menjamin mutu,
keamanan dan khasiat/kemanfaatan produk terapetik/obat, obat
tradisional, kosmetik, produk komplemen, dan produk pangan yang
beredar; dan (12) melindungi kesehatan dan keselamatan konsumen,
sekaligus untuk meningkatkan daya saing industri Indonesia di bidang
farmasi, obat bahan alam, kosmetika dan makanan.
VIII – 5
modal usaha. Sekitar 9,3 ribu KK miskin di lingkungan kumuh
perkotaan telah mendapatkan bantuan bahan bangunan rumah dan
peralatan guna perbaikan rumah. Penanggulangan masalah pengungsi
juga telah berhasil dilaksanakan melalui pemberian bantuan tanggap
darurat dan pemulangan pengungsi ke tempat asal semula, ataupun
relokasi bagi yang tidak dapat kembali. Penanganan anak terlantar
termasuk anak jalanan juga telah diupayakan melalui upaya
pemberdayaan. Hingga 2003, sekitar 192,4 ribu anak terlantar dan
142,3 ribu anak jalanan telah mendapatkan pelayanan pemberdayaan
sosial. Pelayanan rehabilitasi juga telah diberikan bagi penyandang
cacat, anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika, wanita tuna
susila, gelandangan, pengemis, dan bekas narapidana. Selain itu,
sekitar 30 ribu lanjut usia telah menerima santunan sosial.
VIII – 6
Dalam pembangunan kependudukan dan keluarga
berencana, jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus
meningkat meskipun laju pertumbuhannya semakin menurun.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) 1990 dan 2000, jumlah
penduduk Indonesia sebesar 179,4 juta jiwa dan 206,2 juta jiwa,
dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen pada periode
1990-2000, atau lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk periode
1980-1990 (1,97 persen). Keberhasilan dalam pengendalian
pertumbuhan penduduk ditunjukkan dengan menurunnya tingkat
kelahiran yang cukup bermakna. Pada tahun 1997, angka kelahiran
total (TFR) diperkirakan 2,8 anak per wanita usia reproduksi, dan
telah turun menjadi 2,6 anak pada tahun 2002 (Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia-SDKI, 2002). Penurunan TFR ini antara lain
merupakan akibat dari meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi
(prevalensi) pada pasangan usia subur. Angka prevalensi 57 persen
pada tahun 1997, telah meningkat menjadi 60 persen pada tahun 2002
(SDKI 2002-03). Guna penataan dan pengembangan sistem informasi
administrasi kependudukan, telah dilakukan ujicoba di 13
Kabupaten/Kota di 6 propinsi (Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I.
Yogyakarta, Bali, dan Sulawesi Utara). Di samping itu, telah disusun
dukungan peraturan perundang-undangan berupa penyusunan RUU
Administrasi Kependudukan dan naskah akademis perlindungan data
pribadi penduduk.
VIII – 7
penduduk Indonesia cenderung semakin menua. Sementara itu, tertib
administrasi kependudukan belum dilaksanakan secara menyeluruh.
VIII – 8
Untuk menjawab permasalahan dan tantangan tersebut, kebijakan
pembangunan kebudayaan diarahkan pada upaya sebagai berikut: (1)
mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia
yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional
yang mengandung nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya
kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa;
(2) merumuskan nilai-nilai kebudayaan Indonesia, sehingga mampu
memberikan rujukan sistem nilai terhadap totalitas perilaku kehidupan
ekonomi, politik, hukum dan kegiatan kebudayaan dalam rangka
pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kualitas
berbudaya masyarakat; (3) mengembangkan sikap kritis terhadap
nilai-nilai budaya dalam rangka memilah-milah nilai budaya yang
positif dan serasi untuk menghadapi tantangan pembangunan bangsa
di masa depan; (4) mengembangkan kebebasan berkreasi dalam
berkesenian untuk mencapai sasaran sebagai pemberi inspirasi bagi
kepekaan rasa terhadap totalitas kehidupan dengan tetap mengacu
pada etika, moral, estetika dan agama, serta memberikan perlindungan
dan penghargaan terhadap hak cipta dan royalti bagi pelaku seni dan
budaya; (5) mengembangkan dunia perfilman Indonesia secara sehat
sebagai media kreatif yang memuat keberagaman jenis kesenian untuk
meningkatkan moralitas agama serta kecerdasan bangsa, pembentukan
opini publik yang positif dan peningkatan nilai tambah secara
ekonomi; (6) melestarikan apresiasi nilai kesenian dan kebudayaan
tradisional serta menggalakkan dan memberdayakan sentra-sentra
kesenian untuk merangsang berkembangnya kesenian nasional yang
lebih kreatif dan inovatif, sehingga menumbuhkan rasa kebanggaan
nasional; dan (7) menjadikan kesenian dan kebudayaan tradisional
Indonesia sebagai wahana bagi pengembangan pariwisata nasional
dan mempromosikannya ke luar negeri secara konsisten sehingga
dapat menjadi wahana persahabatan antarbangsa.
VIII – 9
politik, pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, kesejahteraan
sosial, dan lingkungan hidup, serta pengembangan kegiatan khusus
untuk peningkatan kualitas hidup perempuan.
VIII – 10
meningkatnya jumlah wirausahawan muda yang mengikuti pelatihan
keterampilan dan manajemen; terlaksananya upaya untuk
meningkatkan peran aktif pemuda dalam penanggulangan narkoba,
HIV/AIDS, kriminalitas termasuk tawuran di kalangan pelajar dan
pemuda; dan terlaksananya upaya untuk meningkatkan pemahaman
dan penghormatan terhadap supremasi hukum dan HAM.
VIII – 11
VIII – 12
B. PROGRAM-PROGRAM
PEMBANGUNAN
VIII – 13
lingkungan di perkotaan dan perdesaan; (5) tercapainya
permukiman dan lingkungan perumahan yang memenuhi syarat
kesehatan di perdesaan dan perkotaan termasuk penanganan
daerah kumuh; (6) terpenuhinya persyaratan kesehatan di tempat-
tempat umum termasuk sarana dan cara pengelolaannya; (7)
terpenuhinya lingkungan sekolah dengan ruang yang memadai
dan kondusif untuk menciptakan interaksi sosial dan mendukung
perilaku hidup sehat; (8) terpenuhinya persyaratan kesehatan di
tempat kerja, perkantoran, dan industri, termasuk bebas radiasi;
(9) terpenuhinya persyaratan kesehatan di seluruh rumah sakit
dan sarana pelayanan kesehatan lain termasuk pengolahan
limbah; (10) terlaksananya pengolahan limbah industri dan polusi
udara oleh industri maupun sarana transportasi; (11) menurunnya
tingkat paparan pestisida dan insektisida di lingkungan kerja
pertanian dan industri serta pengawasan terhadap produk-
produknya untuk keamanan konsumen; (12) meningkatnya
perwujudan kepedulian perilaku hidup bersih dan sehat dalam
kehidupan bermasyarakat; (13) menurunnya prevalensi perokok,
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
(NAPZA), serta meningkatnya lingkungan sehat bebas rokok, dan
bebas NAPZA di sekolah, tempat kerja dan tempat-tempat umum;
(14) menurunnya angka kematian dan kecacatan akibat
kelahiran/persalinan, kecelakaan dan rudapaksa; (15) menurunnya
prevalensi dan dampak gangguan jiwa masyarakat; (16)
meningkatnya keterlibatan dan tanggung jawab laki-laki dalam
kesehatan keluarga; dan (17) berkembangnya sistem jaringan
dukungan masyarakat, sehingga pada akhirnya, kebutuhan
masyarakat terhadap pelayanan masyarakat dapat meningkat.
VIII – 14
terhadap perilaku hidup bersih dan sehat; (7) meningkatkan
kepedulian terhadap proses perkembangan dini anak; (8)
meningkatkan upaya anti tembakau dan NAPZA; (9)
meningkatkan pencegahan kecelakaan dan rudapaksa; (10)
meningkatkan upaya kesehatan jiwa masyarakat; dan (11)
memperkuat sistem jaringan dukungan masyarakat sesuai dengan
potensi dan budaya setempat.
b. Pelaksanaan
VIII – 15
iii. Tindak Lanjut
VIII – 16
Sasaran yang akan dicapai adalah (1) menurunnya angka
kesakitan penyakit demam berdarah dengue (DBD) menjadi
kurang dari 5 per 100.000 penduduk; angka kesakitan malaria
menurun 75 persen dari kondisi tahun 2000; angka kesembuhan
penyakit tuberculosis (TB) paru lebih dari 85 persen; prevalensi
human immunodeficiency virus (HIV) kurang dari 1 persen;
angka kematian pneunomia balita menurun menjadi 3 per 1000;
angka kematian diare pada balita menurun menjadi 1,25 per 1000;
eliminasi penyakit kusta; pencapaian Universal Child
Immunization (UCI) 90 persen; dan eradikasi polio; serta
mencegah masuknya penyakit-penyakit baru seperti Ebola, dan
radang otak; (2) menurunnya kejadian penyakit tidak menular
seperti penyakit jantung, stroke, gangguan mental, dan kematian
akibat kecelakaan; (3) meningkatnya rasio tenaga dan fasilitas
pelayanan kesehatan dibanding penduduk; terjangkaunya 90
persen masyarakat di daerah rawan kesehatan oleh pelayanan
kesehatan; dan meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan
kesehatan; (4) meningkatnya persentase fasilitas pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan yang memenuhi standar baku mutu
(quality assurance), dan meningkatnya kepuasan masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan; (5) meningkatnya penggunaan
obat secara rasional; (6) meningkatnya cakupan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan menjadi 69,0 persen; cakupan
penanganan komplikasi kasus obstetri minimal 20 persen dari
seluruh persalinan; cakupan pembinaan kesehatan balita dan anak
usia pra-sekolah menjadi 80 persen, cakupan pelayanan antenatal,
postnatal, dan neonatal menjadi 90 persen; (7) menurunnya angka
kematian akibat perubahan kondisi matra seperti angka kematian
jemaah haji dan pengungsi; (8) berkembangnya pelaksanaan
sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa (KLB), pencegahan
dan penanggulangan bencana secara terpadu dan melibatkan
peran serta aktif masyarakat; dan (9) berkembangnya pelayanan
kesehatan rehabilitasi bagi kelompok penderita kecacatan, dan
pelayanan kesehatan bagi kelompok lanjut usia.
VIII – 17
(2) meningkatkan upaya pemberantasan penyakit tidak menular;
(3) meningkatkan upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan
yang terdiri atas pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan
kesehatan rujukan; (4) meningkatkan pelayanan kesehatan
penunjang; (5) membina dan mengembangkan pengobatan
tradisional; (6) meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi;
(7) meningkatkan pelayanan kesehatan matra; (8)
mengembangkan survailans epidemiologi; dan (9) melaksanakan
penanggulangan bencana dan bantuan kemanusiaan.
b. Pelaksanaan
VIII – 18
karena fasilitas kesehatan seperti puskesmas belum
sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat, terutama
terkait dengan biaya dan jarak transportasi; (6) sistem
rujukan pelayanan kesehatan perorangan belum dapat
berjalan dengan optimal; (7) terbatasnya dukungan sumber
daya kesehatan, terutama kualitas dan pemerataan tenaga
kesehatan; dan (8) belum optimalnya dukungan sistem
informasi kesehatan, termasuk pencatatan dan pelaporan
terutama di daerah.
VIII – 19
melakukan fasilitasi dan pembinaan dalam penyelenggaraan
kegiatan upaya kesehatan perorangan; (5) melakukan kajian
dan monitoring dan evaluasi kegiatan upaya kesehatan
perorangan; (6) melengkapi sarana, prasarana dan alat UPT
vertikal; (7) memberikan bantuan/dukungan pada RS afiliasi
dan RS satelit pendidikan dan daerah terpencil dan
pemekaran; dan (8) memberikan dukungan administrasi dan
operasional program.
VIII – 20
menjadi kurang dari 5 persen; (3) menurunnya anemia gizi besi
(AGB) pada ibu hamil menjadi 40 persen, dan kurang energi
kronis (KEK) ibu hamil menjadi 20 persen; (4) tidak ditemukan
kurang vitamin A (KVA) klinis pada balita dan ibu hamil; (5)
mencegah meningkatnya prevalensi gizi lebih, menjadi kurang
dari 10 persen; (6) menurunnya prevalensi bayi berat lahir rendah;
(7) meningkatnya jumlah rumah tangga yang mengkonsumsi
garam beryodium menjadi 90 persen; (8) meningkatnya
pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif menjadi 80 persen; (9)
meningkatnya pemberian makanan pendamping ASI yang baik
mulai usia bayi 4 bulan; (10) tercapainya konsumsi gizi seimbang
dengan rata-rata konsumsi energi sebesar 2.200 kkal per kapita
per hari dan protein 50 gram per kapita per hari; dan (11)
sekurang-kurangnya 70 persen keluarga telah mandiri sadar gizi.
b. Pelaksanaan
VIII – 21
lain: (1) prevalensi gizi kurang pada balita adalah 26,1 persen
dan 27,5 persen; (2) prevalensi ibu hamil kurang energi
kronik (KEK) 20,1 persen dan 16,7 persen; (3) prevalensi ibu
hamil anemia gizi besi (AGB) 40,1 persen dan 45 persen; (4)
prevalensi balita yang mengalami kekurangan vitamin A
(KVA) 0,33 persen; (5) rumah tangga yang mengkonsumsi
garam yodium 64 persen dan 78,5 persen; dan (6) pemberian
air susu ibu (ASI) eksklusif pada bayi 0 – 4 bulan sebesar 52
persen dan 53 persen. Hasil pencapaian indikator kinerja
lainnya dapat dilihat pada matriks terlampir.
VIII – 22
1.4 Program Sumber Daya Kesehatan
VIII – 23
mengembangkan sistem pembiayaan pra-upaya; dan (4)
mengembangkan sarana, prasarana dan dukungan logistik
pelayanan kesehatan.
b. Pelaksanaan
VIII – 24
iii. Tindak Lanjut
VIII – 25
produk farmakes yang beredar; (6) terhindarnya masyarakat dari
informasi penggunaan farmakes yang tidak objektif dan
menyesatkan; (7) tercapainya tujuan medis penggunaan obat
secara efektif dan aman sekaligus efisiensi pembiayaan obat; (8)
diterapkannya Good Regulatory Practice; (9) terlaksananya Good
Management Practice (GMP) melalui peningkatan pelayanan
perizinan/registrasi yang profesional dan tepat waktu; (10)
terakuinya kemampuan pengujian PPOM/BPOM dalam sistem
Akreditasi Internasional; (11) meningkatnya potensi daya saing
industri nasional menghadapi globalisasi; (12) terjaminnya mutu
sarana cara produksi obat yang baik (CPOB), pengadaan dan
penyaluran produk farmasi dan alat kesehatan (farmakes) yang
beredar; (13) terjaminnya kecukupan obat esensial generik bagi
pelayanan kesehatan dasar di sektor publik; dan (14) terjaminnya
mutu pengelolaan obat di kabupaten/kota dalam rangka
desentralisasi.
b. Pelaksanaan
VIII – 26
kesalahgunaan obat, narkotika, psikotropika dan zat adiktif
(NAPZA) mencapai 100 persen dari kasus yang diproses
pada tahun 2003; (2) pemeriksaan terhadap 65 persen sarana
produksi dan distribusi farmakes dalam rangka Good
Management Practice (GMP) tahun 2003; (3) penerapan
konsepsi obat esensial (Daftar Obat Esensial
Nasional/DOEN) sebagai instrumen untuk mengendalikan
penggunaan obat yang lebih rasional dan “cost effective”; (4)
penetapan daftar obat dan harga patokan tertinggi obat
pelayanan kesehatan dasar sebagai pedoman bagi
kabupaten/kota dalam pengadaan obat; dan (5) pengadaan
buffer stock obat generik essensial untuk menanggulangi
kekosongan obat di kabupaten/kota akibat bencana alam,
kerusuhan sosial, wabah dan sebagainya. Di samping itu pada
tahun 2003 melalui program kompensasi pengurangan
subsidi bahan bakar minyak (PKPS-BBM) telah
direalisasikan pengadaan obat untuk keluarga miskin. Hasil
pelaksanaan program berdasarkan indikator kinerja dapat
dilihat pada matriks pencapaian indikator kinerja.
VIII – 27
iii. Tindak Lanjut
VIII – 28
meningkatkan dukungan administrasi dan operasional
program.
VIII – 29
Melalui program pengembangan obat asli Indonesia,
kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain meliputi: (1)
menyusun kerangka kebijakan pengembangan obat asli
Indonesia; (2) mendorong dan memfasilitasi pengembangan
dan penelitian tanaman obat unggulan mulai dari uji pre-
klinik termasuk toksisitas, uji klinis dan pengembangan
formulasi produk jadi; (3) memperkokoh jaringan kerjasama
antar lembaga penelitian dan industri terkait; (4)
mengembangkan monografi dan standar mutu, baik simplisia
maupun ekstraknya termasuk penyusunan farmakope herbal
Indonesia; (5) mengembangkan data base tanaman obat
mencakup survey etno-farmacognosi, pemetaan budidaya
tanaman obat serta penggunaan simplisia; (6) meningkatkan
promosi pemanfaatan obat bahan alam Indonesia; dan (7)
meningkatkan dukungan administrasi dan operasional
program.
VIII – 30
bidang kesehatan; (3) tersedianya sumberdaya manusia di bidang
kesehatan yang mampu melakukan berbagai kajian kebijakan
kesehatan; (4) berjalannya sistem perencanaan kesehatan melalui
pendekatan wilayah dan sektoral dalam mendukung
desentralisasi; (5) terciptanya organisasi dan tatalaksana di
berbagai tingkat administrasi sesuai dengan azas desentralisasi
dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik; (6) tertatanya
administrasi keuangan dan perlengkapan yang efisien dan
fleksibel di seluruh jajaran kesehatan; (7) terciptanya mekanisme
pengawasan pengendalian di seluruh jajaran kesehatan; (8)
tersusunnya berbagai perangkat hukum di bidang kesehatan
secara menyeluruh; (9) terlaksananya inventarisasi, kajian dan
analisis secara akademis seluruh perangkat hukum yang berkaitan
dengan penyelenggaraan upaya kesehatan; (10) tersedianya
perangkat hukum guna dilaksanakannya proses legislasi dan
mitigasi dalam penyelesaian konflik hukum bidang kesehatan;
(11) tersedianya informasi kesehatan yang akurat, tepat waktu,
dan lengkap sebagai bahan dalam proses pengambilan keputusan
dalam pengelolaan pembangunan kesehatan, serta menyediakan
informasi untuk perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi
program kesehatan dan meningkatkan kewaspadaan di semua
tingkat administrasi; dan (12) tersusunnya kebijakan dan konsep
pengelolaan program mendukung desentralisasi.
VIII – 31
b. Pelaksanaan
VIII – 32
iii. Tindak Lanjut
VIII – 33
lingkungannya, serta memperbaiki kualitas hidup, dan
kesejahteraan penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Sasaran kinerja program ini adalah: (1) terpenuhinya hak-hak
anak untuk tumbuh kembang; (2) terlindunginya anak, lanjut usia,
dan perempuan dari tindak kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan
salah; (3) tersedianya pelayanan sosial dan kemudahan untuk
mengakses fasilitas umum bagi penduduk lanjut usia, veteran, dan
penyandang cacat; (4) meningkatnya kemampuan penyandang
cacat agar dapat melakukan fungsi sosialnya secara layak dan
menjadi sumber daya manusia yang produktif; (5) terlindunginya
hak-hak penyandang cacat ganda untuk hidup secara wajar; (6)
terpeliharanya nilai-nilai kearifan penduduk lanjut usia dan
veteran secara berkesinambungan pada generasi muda dan
masyarakat umum; (7) pulih, terbebas, dan berdayanya anak
nakal dan korban narkotika dari kenakalan dan penyalahgunaan
narkoba; (8) pulihnya kemauan dan kemampuan tuna susila untuk
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar; (9) mandirinya fakir
miskin dan kelompok rentan sebagai sumber daya produktif; (10)
meningkatnya kemampuan masyarakat termasuk dunia usaha
untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam penyelamatan
penyandang masalah sosial, korban akibat bencana, termasuk
korban kerusuhan sosial, dan warga masyarakat yang bermukim
di daerah rawan bencana; (11) meningkatnya pendayagunaan
potensi dan sumber-sumber sosial masyarakat dalam mencegah
dan menangani permasalahan sosial; dan (12) dikembangkannya
program jaminan, perlindungan, dan asuransi sosial.
VIII – 34
sosial bagi tuna sosial; (8) memberdayakan perempuan rawan
sosial ekonomi, keluarga miskin, dan komunitas adat terpencil;
(9) memberikan bantuan bagi korban bencana baik bencana alam
maupun akibat ulah manusia; (10) meningkatkan jumlah dan
kemampuan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat (TKSM),
relawan sosial, organisasi sosial kemasyarakatan, LSM, karang
taruna, organisasi kepemudaan, lembaga-lembaga perlindungan
sosial, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, dan kelompok-
kelompok tingkat lokal; (11) melakukan penyuluhan sosial bagi
masyarakat dan dunia usaha; (12) memberikan penghargaan bagi
pihak-pihak yang berperan aktif menyelenggarakan pelayanan
sosial; (13) meningkatkan sumbangan sosial masyarakat; dan (14)
mengembangkan program jaminan, perlindungan, dan asuransi
kesejahteraan sosial.
b. Pelaksanaan
VIII – 35
sekitar 18 ribu TKSM, 3 ribu orsos dan LSM, dan 4 ribu
Karang Taruna terlibat dalam pencegahan dan
penanggulangan masalah-masalah sosial; dan (9) pengkajian
pengembangan dan uji coba program jaminan, perlindungan,
dan asuransi kesejahteraan sosial.
VIII – 36
darurat; (7) kurangnya koordinasi yang lebih baik antara
instansi terkait dan dunia usaha, dalam pemberian bantuan
kesejahteraan sosial bagi lansia terlantar; (8) lemahnya
jaringan kerja antara TKSM, orsos, LSM, dan Karang
Taruna; dan (9) belum ditemukannya model perlindungan
sosial dalam bentuk asuransi sosial yang dapat bertahan dan
berkembang (sustainable) bagi penduduk miskin.
VIII – 37
lansia terlantar dan peningkatan promosi gerakan
kesetiakawanan sosial; (8) fasilitasi upaya penguatan jaringan
kerja TKSM, orsos, LSM, dan Karang Taruna; dan (9)
pengembangan model perlindungan sosial dalam bentuk
asuransi sosial yang dapat bertahan dan berkembang
(sustainable) bagi penduduk miskin.
VIII – 38
b. Pelaksanaan
VIII – 39
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka tindak lanjut
yang diperlukan adalah: (1) peningkatan jumlah tenaga
pelatih/pengajar dengan kualitas tinggi dan peningkatan
sarana dan fasilitas untuk mendukung peningkatan
kemampuan TKSM, orsos, LSM, dan Karang Taruna dalam
hal pencegahan dan penanggulangan masalah-masalah sosial;
(2) peningkatan koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah
daerah dalam rangka pengembangan model pada skala yang
lebih besar hingga skala nasional; (3) peningkatan cakupan
dan pilihan media informasi yang dapat diakses masyarakat
luas terutama penduduk miskin dan sosialisasi dan promosi
pada dunia usaha di bidang media massa dalam rangka
peningkatan dukungannya; dan (4) peningkatan koordinasi
dengan instansi pemerintah, LSM, dan anggota legislatif
yang terkait dalam rangka percepatan proses penyusunan
perundang-undangan bidang kesejahteraan sosial yang sesuai
dengan kebutuhan penanganan masalah-masalah sosial yang
tidak diskriminatif.
VIII – 40
dan informasi mengenai masalah-masalah sosial; (2) melakukan
pengkajian dan analisis data dan informasi mengenai masalah-
masalah sosial; (3) merumuskan besaran masalah dalam
penanganan masalah-masalah sosial; (4) melakukan pengkajian
kebijakan publik dalam penanganan masalah-masalah sosial; (5)
menyampaikan rekomendasi kebijakan publik pada instansi yang
terkait: (6) merumuskan kebijakan publik dalam penanganan
masalah-masalah sosial; (7) melaksanakan kebijakan publik dan
melakukan sosialisasi kebijakan publik dalam penanganan
masalah-masalah sosial; dan (8) melakukan pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan kebijakan publik dalam penanganan
masalah-masalah sosial.
b. Pelaksanaan
VIII – 41
iii. Tindak Lanjut
VIII – 42
b. Pelaksanaan
VIII – 43
1.11 Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan
Kependudukan
VIII – 44
Indonesia (PNBAI); dan (9) membentuk Komisi Perlindungan
Anak.
b. Pelaksanaan
VIII – 45
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak (KPA); (2)
tersusunnya indikator dan profil KPA yang menggambarkan
analisis situasi ibu dan anak (SITAN) di 9 propinsi; (3)
ditetapkannya Keppres No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana
Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial
Anak dan Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana
Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking)
Perempuan dan Anak; (4) kampanye nasional akta kelahiran
cuma-cuma (gratis); (5) pembagian akte kelahiran secara
cuma-cuma kepada 10.000 anak sekolah; (6) tersusunnya
dokumen Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI)
2015 yang merupakan program anak berskala nasional yang
mencakup bidang pendidikan, kesehatan, perlindungan anak,
dan penanggulangan HIV/AIDS; dan (7) terbentuknya
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tingkat
nasional pada tahun 2003 melalui Keppres No. 77 Tahun
2003.
VIII – 46
Sedangkan permasalahan yang dihadapi dalam
mewujudkan kesejahteraan dan memastikan perlindungan
anak antara lain adalah: (1) belum adanya arahan kebijakan
khusus anak yang dapat mendukung pelaksanaan program
pembangunan anak; (2) belum adanya peraturan pemerintah
yang menjabarkan UU Perlindungan Anak; (3) masih
terbatasnya pemahaman anak, keluarga, masyarakat, dunia
usaha, dan aparatur hukum tentang hak-hak anak dan
pentingnya pemenuhan dan penghormatan hak-hak anak; (4)
belum adanya kesesuaian antara peraturan daerah dan UU
Perlindungan Anak, terutama mengenai penyediaan akte
kelahiran bagi anak; (5) belum terbentuknya wadah-wadah
yang mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan
anak; (6) belum terbentuknya koordinasi yang efektif
antarinstansi pusat, antara instansi pusat dan pemerintah
daerah dalam menjalankan program pembangunan anak; (7)
belum terbangunnya sistem informasi khusus permasalahan
anak dan belum terintegrasinya data anak dalam survai dan
sensus nasional; dan (8) belum semua pemerintah daerah
memiliki unit yang khusus menangani masalah anak.
VIII – 47
penduduk; (5) memantapkan perencanaan kependudukan
sebagai dasar perencanaan pembangunan nasional yang
berwawasan kependudukan; dan (6) meningkatkan
pembekalan tentang wawasan kependudukan bagi pengelola
program di pusat dan daerah.
VIII – 48
1.12 Program Pemberdayaan Keluarga
VIII – 49
b. Pelaksanaan
VIII – 50
meliputi pengasuhan dan penumbuhkembangan anak secara
baik serta pembentukan karakter sejak dini, melalui
peningkatan kemampuan keluarganya. Jumlah Bina Keluarga
Balita (BKB) yang tercatat pada tahun 2000 mencapai 113,0
ribu kelompok, dan pada tahun 2004 (Maret) telah dilakukan
pembinaan pada sebanyak 89,2 ribu kelompok.
VIII – 51
kelompok masyarakat tertentu serta pelatihan dan
pemagangan usaha ekonomi mikro. Pembinaan dan
pengembangan BKB, BKR, dan BKL dilakukan dengan
mengembangkan jaringan pelayanan yang lebih terintegrasi
dan dukungan institusi masyarakat.
VIII – 52
b. Pelaksanaan
VIII – 53
Informasi lain dari survai ini adalah adanya remaja kawin
usia 15-19 tahun, yaitu sebanyak 8,0 persen di antaranya
pernah melahirkan dan 2,0 persen sedang hamil anak
pertama. Lebih lanjut diungkapkan pula terjadinya penurunan
remaja kawin usia 15-19 tahun yang hamil/melahirkan dari
12,2 persen pada SDKI 1997 turun menjadi 10,3 persen pada
SDKI 2002-2003.
VIII – 54
pengembangan forum koordinasi dan kerjasama antar
lembaga pemerintah, institusi masyarakat dan LSM.
b. Pelaksanaan
VIII – 55
juta setiap tahun selama 5 tahun terakhir (2000 - 2004 sampai
dengan bulan April 2004). Pada tahun 2004, pencapaian
peserta KB baru selama 4 bulan pertama (Januari sampai
dengan April 2004) secara nasional sebanyak 1,08 juta
peserta atau 17,5 persen dari sasaran sebanyak 6,19 juta
peserta. Sementara itu pencapaian peserta KB aktif pada
tahun 2004 (Maret 2004) tercatat sebanyak 26,7 juta peserta
dari sasaran tahun 2004 sekitar 27,2 juta peserta, atau telah
dipenuhi sekitar 98,5 persen dari sasaran.
VIII – 56
needs ini terlihat adanya kecenderungan yang makin
mengecil pula dalam lima tahun terakhir, yaitu dari 9,2
persen pada SDKI 1997 turun menjadi sekitar 8,6 persen
pada SDKI 2002-2003.
VIII – 57
kabupaten/kota dalam menyelenggarakan kewenangan
pelayanan program KB dalam rangka desentralisasi. Masalah
pengarusutamaan gender dalam program KB juga masih
perlu mendapat perhatian, terutama berkaitan dengan
masalah kesejajaran hak antara suami dan istri dalam
menentukan kesertaan ber-KB dan pemilihan alat KB-nya.
VIII – 58
Diperlukan pendekatan sosial budaya termasuk kepada
tokoh informal untuk mengantisipasi pergeseran pemahaman
tentang KB yang berkembang dalam masyarakat. Di samping
itu perlu dibuat terobosan dalam upaya peningkatan
peranserta dan partisipasi kesertaan ber-KB pria serta
memberikan prioritas pelaksanaan pencabutan implant bagi
akseptor yang telah melewati batas waktu pemakaian implant
tersebut.
VIII – 59
b. Pelaksanaan
VIII – 60
KB yang memperoleh alat/obat kontrasepsi dari fasilitas
pelayanan KB swasta. Dari hasil survai SDKI, peserta KB
yang dilayani melalui jalur swasta ini terus meningkat
proporsinya yaitu dari 41,9 persen pada SDKI 1997 menjadi
62,5 persen pada SDKI 2002-2003, dan mayoritas pelayanan
KB swasta ini dilakukan oleh peran Bidan Praktek Swasta.
VIII – 61
pengelolaan program, di antaranya di bidang pembinaan
peserta KB, KIE serta permasalahan pelembagaan program
KB di lapangan yang berkaitan dengan pelaksanaan sistem
desentralisasi.
VIII – 62
dalam usaha meningkatkan sistem pengolahan dan pelayanan
data informasi program.
2. Kebudayaan
VIII – 63
b. Pelaksanaan
VIII – 64
1,8 juta koleksi, alih media ke dalam mikrofilm pustaka
langka sebanyak 18.610 judul dan transformasi digital
sebanyak 1.600 lembar; (18) penyusunan Rancangan
Undang-Undang tentang Sistem Nasional Perpustakaan; (19)
pemasyarakatan minat baca; (20) pengembangan sistem
informasi kebudayaan; (21) penyusunan strategi kebudayaan
yang komprehensif dan aplikatif; (22) penyusunan konsep
perlindungan terhadap hak cipta kolektif bangsa; (23)
pengembangan kesenian dan perfilman yang mendukung
pengembangan karakter bangsa; (24) peningkatan
pemanfaatan media untuk pengembangan kebudayaan; (25)
pemetaan kebudayaan; (26) peningkatan sistem pengelolaan
pelestarian aset budaya; (27) penyelenggaraan paket film
kompetitif; dan (28) pengembangan statistik kebudayaan.
VIII – 65
gejala mondial yang tidak mungkin bisa dihindari. Interaksi
antarbangsa di era global yang sangat intens telah
mempermudah proses pertukaran nilai-nilai budaya antara
satu bangsa dengan bangsa lainnya. Tidak semua nilai
budaya asing itu relevan dan positif bagi perkembangan
budaya bangsa Indonesia, sehingga masyarakat perlu
memiliki alat pengendali dan penyeleksi atas derasnya arus
budaya asing tersebut. Apabila masyarakat tidak mampu
memilah antara nilai budaya asing yang negatif dan positif,
maka bangsa Indonesia bisa kehilangan identitas nasional.
Dalam perspektif demikian, maka masyarakat Indonesia
seyogianya mampu memperkuat ketahanan budaya bangsa.
VIII – 66
dengan itu diperlukan dialog intensif lintas sektor dan lintas
pelaku, pusat dan daerah.
3. Kedudukan dan Peranan Perempuan
VIII – 67
b. Pelaksanaan
VIII – 68
laki agar berpartisipasi aktif dalam program keluarga
berencana. Pelayanan metode kontrasepsi pria ditingkatkan,
dan pendekatan pembangunan keluarga berencana telah
dikembangkan dengan lebih menekankan pada kesehatan dan
hak-hak reproduksi. Kebijakan ini dilakukan sejak tahun
2000, dan lebih diintensifkan pelaksanaannya pada tahun-
tahun berikutnya.
VIII – 69
Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), yang
dilakukan di 6 propinsi. Melalui Program Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir (PPMP), telah disalurkan bantuan
pengembangan usaha ekonomi produktif untuk kelompok-
kelompok UPPKS di daerah pantai. Melalui Program KUB
telah dijangkau 780 kelompok yang digunakan untuk
pemberian bantuan modal kelompok pada remaja putri putus
sekolah dan ibu rumah tangga. Upaya peningkatan ekonomi
perempuan juga ditingkatkan dengan mengikutsertakan
sistem perbankan, melalui pembentukan unit kerja yang
khusus menangani kredit kepada UKM, pemberdayaan sektor
riil kelompok pengusaha perempuan, pemetaan potensi
usaha, pendampingan, dan fasilitasi hubungan keuangan
(kredit dan tabungan) antara pengusaha perempuan dan
perbankan.
VIII – 70
keterbatasan data terpilah menurut jenis kelamin; dan masih
rendahnya pemahaman tentang pengarusutamaan gender di
kalangan pengambil keputusan.
VIII – 71
(2) terumuskannya dan terlaksananya kebijakan pembangunan
pemberdayaan perempuan yang serasi antara kebijakan
pemberdayaan perempuan di tingkat nasional dan kebijakan
pemberdayaan perempuan di tingkat daerah.
b. Pelaksanaan
VIII – 72
perundang-undangan yang meliputi: UU No.9 tahun 1992
tentang Keimigrasian, UU No. 58 tahun 1962 tentang
Kewarganegaraan, UU No. 9 tahun 1995 tentang Usaha
Kecil, UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, dan UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
VIII – 73
sedangkan pada tahun 2004 telah meningkat menjadi 38
program yang responsif gender.
Dalam bidang perlindungan perempuan, upaya-upaya
yang telah dilakukan pada tahun 2001-2004 adalah
melakukan koordinasi dan kerjasama dengan berbagai pihak
terkait dalam penyusunan kebijakan perlindungan tenaga
kerja perempuan termasuk buruh migran perempuan,
perlindungan perempuan korban trafiking termasuk fasilitasi
perlindungan buruh migran korban trafiking, dan
perlindungan perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga. Untuk melindungi para tenaga kerja Indonesia (TKI),
terutama TKI perempuan yang bekerja di luar negeri,
berbagai upaya terus ditingkatkan, seperti: pembangunan
pelayanan bagi TKI di kedutaan besar di negara-negara
penerima; penyempurnaan perjanjian perlindungan TKI
dengan negara penerima; pembenahan proses rekrutmen
hingga kepulangan; penanganan korban, repatriasi, dan
rehabilitasi; dan penyiapan RUU tentang Penempatan Tenaga
Kerja ke Luar Negeri.
VIII – 74
kentalnya nilai budaya yang bias gender juga sebagai salah
satu masalah dalam pembangunan pemberdayaan perempuan,
selain kelangkaan data terpilah menurut jenis kelamin serta
belum adanya peta masalah maupun potensi kualitas hidup
perempuan.
VIII – 75
pusat maupun di daerah, terwujudnya berbagai alat dan metode
untuk melaksanakan pengarusutamaan gender, serta tersedianya
data dan informasi gender dalam berbagai bidang pembangunan;
dan (3) meningkatnya peran, kualitas dan kemandirian lembaga-
lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan, terutama
organisasi perempuan.
VIII – 76
b. Pelaksanaan
VIII – 77
beberapa kabupaten dan 163 Ruang Pelayanan Khusus
(RPK) di 19 Polda dan Polres di seluruh Indonesia. Di
samping itu juga dilakukan pendidikan reserse wanita
penanganan kasus korban tindak kekerasan terhadap
perempuan yang melibatkan polisi wanita (Polwan) dari 21
Polda di seluruh Indonesia. Penyebaran informasi tentang
penghapusan kekerasan terhadap perempuan dilakukan
melalui pengembangan web-site serta iklan layanan
masyarakat di berbagai media elektronik dan media cetak.
VIII – 78
perempuan. Pelaksanaan kegiatan ini didukung oleh
organisasi masyarakat. Di samping itu, juga dibentuk kaukus
perempuan untuk politik dan untuk parlemen di tingkat
nasional dan di beberapa propinsi.
VIII – 79
secara optimal karena masih terbatasnya ketersediaan data
terpilah menurut jenis kelamin.
iii. Tindak Lanjut
VIII – 80
inovatif; (2) melaksanakan pengkajian dan menyempurnakan
peraturan perundang-undangan yang aspiratif dan akomodatif
untuk mendukung perkembangan olahraga nasional yang dinamis
dan kompetitif; dan (3) melakukan pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan kebijakan olahraga.
b. Pelaksanaan
VIII – 81
Dengan memperhatikan permasalahan yang terjadi
dalam penyelenggaraan kebijakan keolahragaan, maka
tantangan yang dihadapi dalam pembangunan olahraga
adalah bagaimana mengupayakan langkah-langkah untuk
meningkatkan sumberdaya manusia di bidang keolahragaan,
dan terciptanya sistem koordinasi antarunit terkait, baik di
tingkat pusat sampai di tingkat daerah, sehingga dapat
mewujudkan adanya keserasian dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengendalian kebijakan olahraga.
VIII – 82
penyandang cacat, lanjut usia, dan olahraga tradisional; dan (3)
meningkatnya jumlah sarana dan prasarana pendukung kegiatan
kesegaran jasmani dan olahraga, baik di tempat kerja, maupun
fasilitas umum.
b. Pelaksanaan
VIII – 83
ii. Permasalahan dan Tantangan
VIII – 84
4.3 Program Pemanduan Bakat dan Pembibitan Olahraga
VIII – 85
melaksanakan pelayanan KIE dan advokasi bagi olahragawan
berbakat; (10) memberikan penghargaan bagi insan olahraga
yang berdedikasi dan berprestasi; (11) melakukan pembinaan
manajemen organisasi olahraga; (12) meningkatkan partisipasi
masyarakat dan dunia usaha untuk mendukung pendanaan
olahraga; dan (13) melakukan pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan program pemanduan bakat dan pembibitan olahraga.
b. Pelaksanaan
VIII – 86
Tantangan untuk meningkatkan upaya pemanduan bakat
dan pembibitan olahraga adalah bagaimana menciptakan
suatu sistem pemanduan bakat dan pembibitan olahraga, baik
lewat jalur sekolah maupun prestasi olahraga, dengan
didukung oleh tenaga-tenaga yang profesional dan
penanganan yang terpadu.
VIII – 87
4.4 Program Peningkatan Prestasi Olahraga
VIII – 88
mendukung pendanaan dan pembinaan olahraga prestasi; (10)
meningkatkan jaminan kesejahteraan bagi masa depan atlet,
pelatih, dan teknisi olahraga.
b. Pelaksanaan
VIII – 89
Tantangan untuk meningkatkan prestasi olahraga
adalah: (1) bagaimana meningkatkan daya saing Indonesia
dalam event-event olahraga, baik di tingkat regional maupun
internasional; dan (2) meningkatkan peran pembangunan
olahraga sebagai suatu industri (sport industry).
VIII – 90
4.5 Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan
Kepemudaan
b. Pelaksanaan
VIII – 91
pemuda nasional, regional, dan lokal; (2) terlaksananya
kajian kebijakan penanggulangan kenakalan remaja, tawuran
pelajar, penanggulangan penyalahgunaan narkoba, minuman
keras, dan HIV/AIDS; (3) tersusunnya data dan informasi
kepemudaan; (4) tersusunnya berbagai materi KIE dan
advokasi bagi pemuda; (5) diterbitkannya buku indikator
kepemudaan; (6) tersusunnya mekanisme koordinasi
perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan
pemuda; (7) tersusunnya bahan-bahan naskah akademik
masukan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan
kepemudaan; (8) terlaksananya dialog kepemudaan di
tingkat nasional dan daerah.
VIII – 92
kepemudaan; dan (3) mengintegrasikan kebijakan
pembangunan kepemudaan secara terpadu, baik di tingkat
nasional maupun daerah.
VIII – 93
pemuda yang diarahkan bagi peningkatan kompetensi,
kemandirian, dan profesionalisme; (4) mengembangkan
kewirausahaan pemuda yang berorientasi global dengan
memperhatikan kompetensi dan produk unggulan di setiap
daerah; (5) meningkatkan pemahaman dan kesadaran pemuda
tentang manfaat penggunaan iptek dan informasi dalam
meningkatkan keunggulan daya saing pemuda; dan (6)
meningkatkan partisipasi dan kepedulian pemuda dalam
pengelolaan lingkungan hidup dan pelestarian sumber daya alam,
untuk kesejahteraan dan kesinambungan pembangunan.
VIII – 94
b. Pelaksanaan
VIII – 95
ketahanan budaya dan kepribadian nasional di kalangan
pemuda, karena cepatnya perkembangan dan kemajuan
teknologi komunikasi sebagai akibat derasnya arus informasi
global; dan (3) masih rendahnya tingkat pendidikan di
kalangan pemuda, dan minimnya ruang-ruang publik bagi
kalangan pemuda untuk mengekspresikan dirinya.
VIII – 96