Anda di halaman 1dari 5

Agama Hindu Dharma

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Agama Hindu Dharma atau Agama Tirtha ("agama Air Suci")[1] adalah sejenis agama Hindu yang umumnya diamalkan oleh kebanyakan orang Bali di Indonesia. Agama Hindu di Bali merupakan sinkretisme unsur-unsur Hindu aliran Siwa, Waisnawa, dan Brahma dengan kepercayaan lokal (local genius) orang Bali.

Sejarah
Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke-4 Masehi, yang ditandai dengan penemuan 7 buah yupa di Kutai, Kalimantan Timur, sekaligus juga mengakhiri zaman prasejarah di Indonesia.[2] Masuknya Agama Hindu ke Bali diperkirakan sekitar abad ke-8, yang ditandai dengan penemuan arca Siwa di Bedulu, Gianyar,[3] yang coraknya mirip dengan arca Siwa yang ditemukan pada abad ke-8 di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah.

Catur Warna
Di Bali berlaku sistem Catur Varna (Warna), yang mana kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata Catur berarti empat dan kata warna yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kualitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Warna Brahmana: Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan. Warna Ksatrya: Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara. Warna Waisya: Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain). Warna Sudra: Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan. Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur Warna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah. Padahal Catur Warna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.

Hari Raya Agama


Upacara Agama Hindu Hari raya keagamaan bagi pemeluk agama Hindu Dharma, umumnya di hitung berdasarkan wewaran dan pawukon. Kombinasi antara Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Namun adapula Hari raya yang menggunakan penanggalan Saka.

Hari Raya Berdasarkan Wewaran


y y y y y

Galungan Jatuh pada: Buda, Kliwon, Dungulan Kuningan Jatuh pada: Saniscara, Kliwon, Kuningan Saraswati Jatuh pada: Saniscara, Umanis, Watugunung. Hari Ilmu Pengetahuan, pemujaan pada Sang Hyang Aji Saraswati. Banyupinaruh Jatuh pada: Redite, Pahing, Shinta Pagerwesi

Hari Raya Berdasarkan Kalender Saka


y y

Siwaratri Nyepi

Upacara Keagamaan
Upacara keagamaan yang dilakukan dalam Agama Hindu Dharma, berkolaborasi dengan budaya lokal. Ini menjadi kekayaan dan keunikan yang hanya ditemukan di Bali.

Manusa Yadnya
y y

Otonan / Wetonan, adalah upacara yang dilakukan pada hari lahir, seperti perayaan hari ulang tahun, dilakukan 210 hari. Upacara Potong Gigi, adalah upacara keagamaan yang wajib dilaksanakan bagi pemeluknya. Upacara ini dilakukan pada pemeluk yang telah beranjak remaja atau dewasa. Bagi wanita yang telah mengalami menstruasi, dan bagi pria yang telah memasuki akil balik.

Pitra Yadnya
y

Upacara Ngaben, adalah prosesi upacara pembakaran jenazah, Sebagaimana dalam konsep Hindu mengenai pembakaran jenazah, upacara ini sebagai upaya untuk mempercepat pengembalian unsur-unsur/zat pembentuk dari raga/wadag/badan kasar manusia.Ada empat lontar utama yang memberi petunjuk tentang adanya upacara Pitra yadnya, yaitu Yama Purwa Tatwa (mengenai sesajen yang digunakan), Yama Purana Tatwa (mengenai filsafat pembebasan atau pencarian atma dan hari baik-buruk melaksanakan upacara), Yama Purwana Tatwa (mengenai susunan acara dan bentuk rerajahan kajang), dan Yama Tatwa (mengenai bentuk-bentuk bangunan atau sarana upacara).

MEMAKNAI HARI RAYA KEAGAMAAN

Akhir tahun 2003 dan awal tahun 2004, umat beragama secara beruntun merayakan hari raya keagamaan. Bulan Oktober-November 2003, umat Muslim melakukan ibadah puasa yang diakhiri dengan hari raya Idul Fitri sebagai puncaknya. Akhir Desember 2003 ini, umat Kristiani merayakan hari Natal dan seluruh umat manusia di dunia merayakan datangnya tahun baru 2004 Masehi. Demikian juga umat Hindu tanggal 14 dan 24 Januari 2004, merayakan hari raya Galungan dan Kuningan. Sedangkan 20 Januari 2004 sebelum hari raya Kuningan, umat Hindu merayakan hari raya kesadaran rohani (Pajagran) yang disebut dengan hari raya Siwa Ratri. Demikianlah datangnya hari raya keagamaan itu beruntun. Umat Hindu di Bali menyebutkan hari raya keagamaan itu dengan rerahinan. Istilah ini kemungkinan besar berasal dari kata ''rarahina''. ''Ra'' dalam kata Rarahina itu artinya sangat terhormat. Seperti kata ''ra'' dalam kata ''Raja'' yang artinya kelahiran yang terhormat. Sedangkan kata ''rahina'' artinya hari. Dari ''ra-rahina'' terus menjadi Rerahinan dalam bahasa lisan. Dalam istilah Indonesia disebut hari raya, artinya hari besar. Kata ''raya'' artinya besar. Mengapa setiap agama memiliki hari raya atau hari yang dibesarkan? Dalam hal inilah umat beragama seyogianya secara terus-menerus melakukan proses evaluasi dalam merayakan hari besar keagamaannya. Sudahkah tepat cara kita merayakan hari besar keagamaan? Sejauh mana hari besar keagamaan itu dapat didayagunakan oleh umat untuk memajukan taraf hidupnya? Sudahkah hari besar keagamaan itu berfungsi untuk melakukan proses transformasi rohani dalam mewujudkan nilai-nilai keagamaan itu dalam hidup ini? Sebelum hari besar keagamaan itu datang, umat beragama seyogianya melakukan penajaman ulang dalam memahami makna utama hari besar keagamaan tersebut. Proses penajaman ulang itu dilakukan secara individual maupun melalui kelompoknya masing-masing. Proses tersebut sangat penting agar jangan terjadi secara terus-menerus kesalahpahaman dalam memaknai hari besar keagamaan. Sebab, selama ini hari besar keagamaan masih lebih menonjol dirayakan dengan pesta pora yang bernuansa duniawi daripada nilai rohaninya. Bagi umat Hindu merayakan hari besar keagamaan itu memang harus dilakukan dengan konsep Sekala-Niskala. Harus ditradisikan suatu sistem kontrol di kalangan umat agar konsep Sekala-Niskala dalam merayakan hari besar keagamaan itu dapat berjalan secara tepat. Kalau perayaan itu tidak sesuai dengan teksnya sebagaimana dinyatakan dalam Sastra sucinya, maka lama-kelamaan perayaan hari keagamaan itu akan kehilangan makna utamanya. Keadaan seperti itu sudah cukup banyak terjadi. Umat pun menjadi mubazir atau lebih banyak sia-sianya dalam merayakan hari besar keagamaan. Padahal merayakan hari besar keagamaan adalah suatu momentum untuk menanamkan nilai-nilai suci keagamaan yang universal pada umat. Saat hari raya keagamaan itulah nilai-nilai tersebut ditanamkan lebih dalam pada lubuk hati nurani umat. Karena itu, perlu ada pembenahan terus-menerus atau Nutana Dharma pada sistem beragama.

Pembenahan tersebut untuk mendapatkan sistem yang selalu sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Dengan demikian sistem beragama tidak pernah terlambat menyiapkan kekuatan moral dan daya tahan mental untuk menghadapi berbagai persoalan hidup yang demikian dinamis dan multidimensi. Sistem beragama harus selalu dinamis menyajikan nilai-nilai spiritual agama sabda Tuhan dalam menghadapi perubahan zaman yang demikian cepatnya. Kehidupan manusia akan terus-menerus mengalami ketidakseimbangan kalau sistem beragama terlambat menanamkan nilai-nilai agama pada lubuk hati sanubari manusia. Merayakan hari besar agama harus dilihat sejauh mana hari besar itu didayagunakan untuk membesarkan kekuatan spiritual dalam diri setiap umat. Persoalan akan menjadi terbalik apabila hari besar agama itu dijadikan momentum untuk membesarkan gejolak hawa nafsu dan egoisme keagamaan. Dalam kemajuan zaman ini, hal ini semestinya menjadi perhatian kita bersama. Kalau benar hari besar keagamaan menjadi suatu momentum untuk membesarkan kekuatan spiritual, maka aparat keamanan justru pada hari besar keagamaan akan bekerja secara santai. Karena kekuatan spiritual agama yang besar dalam diri manusia akan mengekspresikan perilaku mulia dan daya tahan mental yang tangguh. Kekuatan spiritual agama yang besar itu akan berfungsi mencegah kebut-kebutan, mabukmabukan, sombong-sombongan pada hari raya. Demikian juga tidak akan terjadi pengumbaran nafsu pada hari raya keagamaan itu. Umat pun tidak perlu memaksakan diri mengeluarkan biaya besar dalam merayakan hari besar keagamaan, apalagi sampai berutang. Kalau yang dibesarkan pada hari raya keagamaan itu penampilan kehidupan duniawi, maka hari raya keagamaan justru akan menjadi beban yang memberatkan berbagai pihak. Justru dekat-dekat hari raya semakin banyak orang kehilangan. Konon pencurinya mencari biaya untuk merayakan hari besar keagamaannya. Rumah sakit kedatangan pasien kecelakaan meningkat tajam, karena kebut-kebutan saat hari raya. Seyogianya hari raya keagamaan lebih banyak mendatangkan nilai rohani.

Pengertian Hari Besar Keagamaan

Nama Anggota : 

Anda mungkin juga menyukai