Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN Autisme adalah gangguan neuropsikiatrik dengan karakteristik utama adanya penyimpangan atau keterlambatan perkembangan keterampilan sosial,

komunikasi, dan kognitif. Autisme terjadi karena kombinasi berbagai faktor, termasuk faktor genetik yang dipicu faktor lingkungan. Beberapa faktor yang memungkinkan sebagai penyebab autisme adalah : Genetik Pestisida Obat obatan Usia Orang Tua Perkembangan Otak (Anna, 2011)

Melalui makanan, orang tua dapat melakukan terapi bagi anak-anak dengan gejala autis. Makanan yang disajikan tentu terdiri atas bahan-bahan yang bebas dari zat-zat pemicu autisme. Dari hasil berbagai penelitian diketahui bahwa terapi bagi gangguan autisme dilakukan secara komprehensif, yaitu terapi biomedikal. Pengaturan makan merupakan bagian dari terapi biomedikal. Anak dengan autisme umumnya alergi terhadap makanan. Pengalaman dan perhatian orangtua dalam mengatur makanan dan mengamati gejala yang timbul akibat makanan tertentu sangat bermanfaat dalam terapi (Anonim, 2009) Alergi yang menjadi perhatian khusus adalah alergi terhadap gluten dan kasein. Untuk itu, penderita autis harus menghindari bahan makanan yang mengandung kedua zat tersebut. Selain itu, mereka harus mendapat asupan komponen komponen tertentu yang dapat mendukung kesehatan dan perkembangan mereka serta juga berhati hati dalam mengkonsumsi makanan lainnya (Anonim, 2009)

DIET MAKANAN UNTUK PENDERITA AUTIS Telah disebutkan sebelumnya, bahwa penderita autis dapat mengalami alergi terhadap komponen tertentu dalam bahan pangan. Dua komponen yang memperoleh perhatian khusus yaitu gluten dan kasein. Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam keluarga wheat seperti tepung terigu, oat, barley. Selanjutnya, kasein merupakan protein yang terdapat dalam susu dan olahannya, seperti keju, dan yoghurt (Anonim, 2009) Alergi terhadap gluten dan kasein terjadi karena enzim utama (DPP-1V) untuk mencerna subtansi tersebut tidak ada (karena genetik) atau tidak aktif (mekanisme autoimun) yang menyebabkan terjadinya akumulasi opioid. Sewaktu dicerna, banyak protein yang dipecah menjadi asam amino tunggal, yang lainnya dibawa sebagai rantai yang sedikit lebih besar. Ketika protein yang diserap hanya dicerna sebagian, yang tertinggal adalah rantai peptida yang lebih panjang. Pada anak autis, protein dan peptida yang tidak dapat dicerna berasal dari casein dan gluten. Peptida yang tidak bisa diterima tubuh dapat memasuki aliran darah dan apabila terbawa ke otak akan memiliki efek seperti opioid. Terdapat korelasi antara jumlah opioid di dalam tubuh anak-anak autis dengan tingkat keparahan kerusakan yang terjadi di dalam tubuh mereka. Penumpukan dan akumulasi dari substansi-substansi ini menyebabkan anak seperti tidak sadar (spaced out) atau kecenderungan tidak peduli dengan orang lain dan terlihat seperti hidup di dunianya sendiri (Yuliana & Emilia, 2006). Saat gluten dari gandum atau biji - bijian dicerna, gluteomorphins yang dibentuk di dalam perut. Kasein pun juga mengalami hal yang serupa saat dicerna, yaitu membentuk Peptida casomorphime. Kedua zat tersebut memiliki sifat opioid. Oleh karena itu, pola makan bebas gluten dan kasein (ditambah bebas kedelai karena kedelai sering mendatangkan reaksi alergi) merupakan satu-satunya tindakan yang paling efektif (Yuliana & Emilia, 2006). Proses pola makan bebas gluten dapat dimulai secara perlahan lahan dengan cara sebagai berikut.

Menyingkirkan makanan yang mengganggu satu demi satu sambil berangsur Membuat makanan dengan variasi bahan dan variasi dalam pengolahan serta Gluten lebih lama hilang dari sisten pencernaan dibandingkan kasein. Dengan

angsur memperkenalkan makanan pengganti baru. menarik dalam penyajian. demikian, konsumsi susu harus dihindari terlebih dahulu. Kemudian, setelah beberapa minggu, konsumsi produk susu dan olahan susu mulai dihindari. Setelah itu, produk berbahan dasar gandum dihindari. Menghindari produk kedelai, kecuali tes hipersensitivitas menunjukkan bahwa Mematuhi pola makan bebas gluten, kasein, kedelai dengan ketat, minimal penderita autis tidak alerg terhadap kedelai. selama 6 bulan karena pemberian makanan yang mengandung gluten dan kasein, meskipun dalam jumlah yang sedikit, dapat menyebabkan kemunduran pada kesehatan penderita dimana penderita mengalami diare berhari hari. Membiasakan diri membaca label pada kemasan makanan atau tandai makanan yang mengandung kasein dan gluten (Yuliana & Emilia, 2006). Berikut ini adalah makanan makanan yang harus dihindari penderita autis dalam diet gluten dan kasein berdasarkan Soenardi & Soetardjo (2009). :

Makanan yang mengandung gluten, yaitu semua makanan dan minuman yang

dibuat dari terigu, havermuth, dan oat misalnya roti, mie, kue-kue, cake, biscuit, kue kering, pizza, macaroni, spageti, tepung bumbu, dan sebagainya.

Produk-produk lain seperti soda kue, baking soda, kaldu instant, saus tomat dan

saus lainnya, serta lada bubuk, yang dimungkinkan juga menggunakan tepung terigu sebagai bahan campuran.

Makanan sumber kasein, yaitu susu dan hasil olahnya misalnya, es krim, keju, Daging, ikan, atau ayam yang diawetkan dan diolah seperti sosis, kornet, nugget,

mentega, yogurt, dan makanan yang menggunakan campuran susu.

hotdog, sarden, daging asap, ikan asap, dan sebagainya. Tempe juga tidak dianjurkan terutama bagi anak yang alergi terhadap jamur karena pembuatan tempe menggunakan fermentasi ragi.

Buah dan sayur yang diawetkan seperti buah dan sayur dalam kaleng.

Selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan gizi penderita autis dalam diet gluten dan kasein, disarankan mengkonsumsi makanan makanan sebagai berikut : Makanan sumber karbohidrat dipilih yang tidak mengandung gluten, misalnya beras, singkong, ubi, talas, jagung, tepung beras, tapioca, ararut, maizena, bihun, soun, dan sebagainya. Makanan sumber protein dipilih yang tidak mengandung kasein, misalnya susu kedelai, daging, dan ikan segar (tidak diawetkan), unggas, telur, udang, kerang, cumi, tahu, kacang hijau, kacang merah, kacang tolo, kacang mede, kacang kapri dan kacang-kacangan lainnya. Sayuran segar seperti bayam, brokoli, labu siam, labu kuning, kangkung, Buah-buahan segar seperti anggur, apel, papaya, mangga, pisang, jambu, tomat, wortel, timun, dan sebagainya. jeruk, semangka, dan sebagainya. (Soenardi & Soetardjo, 2009).

KONSUMSI

ZAT

DAN

MAKANAN

YANG

DISARANKAN

UNTUK

PENDERITA AUTIS Selain melakukan diet terhadap zat zat tertentu, penderita autis juga harus mendapat asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhannya. Menurut jurnal yang ditulis Kurtis & Patel (2007), penderita autis kekurangan magnesium, seng, selenium, vitamin A, vitamin B-kompleks, vitamin D dan E, asam lemak omega-3 dan carnitine. Melalui berbagai studi, dapat diketahui bahwa memberikan asupan nutrisi yang kurang pada penderita autis dapat membantu mereka. Penderita autis menunjukkan kemajuan saat diberi asupan vitamin B6, folat, omega-3 dan vitamin C. Bahkan suplementasi vitamin B6 dan magnesium dapat meningkatkan interaksi sosial, komunikasi dan intelektual dari penderita autis. Dalam makalah ini, 3 jenis zat yang akan dibahas adalah vitamin B6, magnesium dan asam lemak omega 3. Vitamin B6 dan Magnesium Penderita autis menunjukkan rendahnya aktivitas vitamin B6 (42%) yang berpengaruh terhadap tingginya kadar Cuprum dalam serum. Selain itu ha1 ini menyebabkan menurunnya fungsi vitamin B6 (82%) yang berpengaruh pada rendahnya kadar empat jenis asam amino (tyrosine, carnosine, lysine, dan hydroxyline) (Yuliana & Emilia, 2006). Untuk itu, perlu dilakukan pemberian asupan makanan yang mengandung vitamin B6. Vitamin B6 adalah vitamin larut air yang sensitif terhadap cahaya dan basa. Vitamin ini memegang peranan penting dalam glikolisis pada tubuh manusia. Piridoksin (vitamin B6) sangat penting dalam sintesis RNA dan DNA serta bertanggungjawab dalam pembentukan 60 enzim. Selain itu, produksi sel darah merah serta sel sistem imun juga tergantung pada ketersediaan vitamin B6. Vitamin ini dapat berperan sebagai koenzim dalam pemanfaatan dan pemecahan lemak, karbohidrat, protein (Anonim, 2008). Piridoksin ini diserap melalui usus dan secara khusus disimpan pada otot. Vitamin ini bersifat larut air sehingga ekskresinya dilakukan melalui urin. Maka, vitamin B6 harus

digantikan atau diasup setiap 5 6 jam (Anonim, 2008). Selanjutnya, di dalam tubuh, vitamin B6 akan diubah ke bentuk pyroxidal-5-phosphate (PLP). PLP inilah yang akan membebaskan energi dari karbohidrat dan pati serta memecah protein. Selain itu, PLP ini digunakan pula untuk pembentukan senyawa senyawa kimia penting di otak (Anonim, 2009). Namun, dalam mengkonsumsi vitamin ini, diperlukan pula batas optimum-nya agar tidak mengalami defisiensi maupun kelebihan konsumsi (Anonim, 2008). Vitamin B6 dapat diperoleh melalui berbagai makanan yaitu alpukat, hati, kacang, ayam, ikan, dan pisang dimana bahan bahan tersebut merupakan sumber vitamin yang sangat baik. Selain itu, vitamin B6 dapat pula diasup melalui suplemen. Suplemen ini ada yang berbentuk tablet dan ada pula yang berbentuk cair. Dalam mengkonsumsi suplemen, perlu diperhatikan dosisnya. Dalam berbagai penelitian, nampak bahwa asupan vitamin B6 pun diiringi dengan asupan magnesium. Magnesium adalah mineral esensial yang penting untuk kesehatan setiap sel di dalam tubuh, termasuk mendukung fungsi otak dan sel otot. Defisiensi magnesium pada orang normal jarang terjadi, namun melalui penelitian, dapat diketahui bahwa magnesium yang terdapat pada penderita autis memiliki level yang rendah (Anonim, 2009). Magnesium dapat ditemukan dalam berbagai jenis makanan pula, terutama pada sayuran hijau, biji bijian, kacang kacangan. Magnesium pun dapat dikonsumsi dalam bentuk suplemen. Namun, sama seperti sebelumnya, dosis-nya harus diperhatikan dan terlebih dahulu melakukan konsultasi (Anonim, 2009) Alasan mengapa konsumsi vitamin B6 penting secara khusus yakni enzim yang bekerja untuk memecah vitamin B6 menjadi PLP tidak dapat bekerja sebaik enzim pada orang normal. PLP sangat dibutuhkan untuk pembentukan senyawa senyawa kimia pada otak, salah satunya adalah dopamin yang penting untuk mendukung sifat dan tingkah laku (behaviour) seseorang. Karena itu, suplementasi dan konsumsi vitamin B6 yang

intensif diperkirakan dapat membantu meningkatkan produksi PLP ke level yang normal (Anonim, 2009) Untuk magnesium, telah disebutkan sebelumnya bahwa penderita autis juga mengarami kekurangan zat ini terutama pada rambut dan pada sel darah. Asupan magnesium diperkirakan dapat pula memberikan efek menenangkan pada penderita autis. Selain itu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa saat vitamin B6 dan magnesium diasup bersama sama, maka efek samping dari suplementasi vitamin B6 dapat dihilangkan oleh magnesium. Namun, hal ini masih terus diteliti kebenarannya (Anonim, 2009). Asam Lemak Omega-3 Autisme dapat pula dipengaruhi oleh kondisi organik di dalam tubuh termasuk di dalamnya gangguan terhadap energi metabolisme otak. Karena itu, dibutuhkan zat zat yang mampu menunjang energi pada otak yaitu dengan asupan asam lemak tidak jenuh / polyunsaturated fatty acids atau yang sering disebut sebagai PUFA. Zat zat yang termasuk PUFA antara lain linoleat, alpha linolenat, arachidonic (AA), dan docosahexaenoic acid (DHA) (Mostafa, et al 2005) Asam lemak omega 3 merupakan PUFA. Berdasarkan penelitian, dapat diketahui bahwa asam lemak omega 3 pada penderita autis lebih rendah 20% dibandingkan orang normal. Asam lemak ini merupakan salah satu nutrien penting untuk otak. Kekurangan PUFA pada penderita autis ini dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain diet yang tidak seimbang, disfungsi enzim, mutasi genetik dan lainnya (Mostafa, et al 2005). Selain termasuk dalam PUFA, asam lemak omega 3 termasuk dalam asam lemak esensial. Asam lemak esensial ini merupakan komponen yang tidak dapat dibuat sendiri oleh tubuh namun sangat dibutuhkan untuk proses proses biokimiawi penting dalam tubuh. Asam lemak esensial ada 2 yaitu asam lemak omega 3 dan asam lemak omega 6. Dalam melakukan treatment terhadap penderita autisme, asam lemak omega 3 lah yang berperan lebih penting dibandingkan asam lemak omega 6 (Anonim, 2009).

Asam lemak ini terdiri dalam 3 bentuk yaitu asam alpha-linolenat (ALA), asam eicosapentaenoat (EPA), dan asam dokosaheksaenoat (DHA). terutama ikan (Hajirostamloo & Mahbobeh, 2010). Asam lemak omega 3 dapat diperoleh dari berbagai sumber bahan pangan. Selain itu, tubuh membutuhkan jumlah yang memadai. Berikut ini adalah tabel mengenai sumber bahan pangan untuk masing masing jenis asam lemak omega 3 serta rekomendasi pemenuhannya : Jenis asam lemak Asam -linolenat (ALA) Sumber Minyak canola, Rekomendasi minyak 1,6 gram untuk pria (19 1,1 gram untuk wanita (19 ALA lebih banyak diperoleh dari tumbuh tumbuhan sedangkan EPA dan DHA lebih banyak dari hewan,

kedelai, walnut, sayuran hijau tahun atau lebih tua) tua, flaxseed tahun atau lebih tua) Asam eicosapentaenoat Ikan ikanan seperti salmon, 200 mg untuk orang (EPA) tuna, mackerel, rainbow trout, dewasa herring, haribut, dan sarden, ayam, telur, daging Asam docosahexaenoat Ikan ikanan seperti salmon, 500 (DHA) herring, haribut, dan sarden, ayam, telur, daging (Hajirostamloo & Mahbobeh, 2010). Tabel di atas menunjukkan rekomendasi konsumsi untuk orang normal. Rekomendasi untuk penderita autis belum dapat ditentukan secara khusus. Dimungkinkan karena kebutuhan setiap penderita autis berbeda, maka diperlukan konsultasi khusus untuk memenuhi asupan gizinya. Selain mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung asam lemak omega 3, cara memperoleh asam lemak omega 3 pun dapat melalui makanan suplemen, berupa minyak ikan. Suplemen ini dapat dikonsumsi setiap hari. Namun, belum ada dosis khusus yang diterapkan untuk penderita autis, hanya dapat diperkirakan sekitar 1 2 gram setiap harinya (Anonim 2009). mg untuk orang

tuna, mackerel, rainbow trout, dewasa

Seharusnya, tubuh manusia mampu untuk mengkonversi ALA menjadi EPA dan DHA. Hal ini terutama saat tubuh manusia dalam keadaan sehat dan suplai ALA memadai. Dapat diketahui pula bahwa selain melalui ALA, suplai DHA dan EPA dapat diperoleh secara langsung melalui ikan, ayam, telur, maupun daging. Kemudian, konversi itu dapat terjadi pula pada DHA dan EPA sendiri, dimana DHA dapat dikonversi menjadi EPA dan sebaliknya EPA dapat dikonversi menjadi DHA (Kim, 2009). Namun, telah disebutkan sebelumnya bahwa penderita autis mengalami gangguan metabolisme asam lemak esensial, sehingga dapat diperkirakan bahwa penderita autis juga mengalami kesulitan mengkonversi ALA menjadi DHA dan EPA serta konversi konversi lainnya. Maka, konsumsi asam lemak esensial dengan tujuan untuk memenuhi DHA dan EPA lebih banyak diberikan secara langsung melalui makanan yang memang mengandung DHA dan EPA. Selain itu, hal ini juga didukung dengan suplemen suplemen dengan dosis tertentu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa autisme disebabkan oleh problem

metabolisme asam lemak esensial. Individu yang mengidap autis tidak dapat mengkonversi asam lemak esensial pada makanan ke dalam bentuk yang diperlukan reaksi biokimiawi. Baik asam lemak omega 3 DHA maupun EPA, keduanya dapat berpengaruh pada fungsi otak. Dalam percobaan menggunakan tikus, nampak bahwa perubahan banyaknya EPA dan DHA yang dikonsumsi menyebabkan perubahan gen tertentu pada otak. Dapat disimpulkan pula bahwa masalah mood dan behaviour disebabkan oleh kekurangan asam lemak omega 3. PENUTUP Penderita autis membutuhkan perhatian ekstra dalam asupan gizi dan dietnya. Asupan gizi ini diharapkan dapat membantu fungsi otaknya bekerja dengan lebih baik. Untuk itu, perlu dilakukan pula konsultasi dengan ahli gizi maupun dengan dokter untuk memberikan asupan gizi yang optimum. DAFTAR PUSTAKA

Anna, Lusia Kus. (2011). http://health.kompas.com

Lima

Faktor

Penyebab

Autisme.

Diakses

di

Anonim. (2008). Evidence-based Vitamin B6 Usage. www.crcbermuda.com/pdf/nutrition/vitamin%20b06-pyrodoxine.pdf

Diakses

di

Anonim. (2009). Essential Fatty Acids and Children with Autism. Diakses di http://autism.healingthresholds.com/therapy/essential-fatty-acids-efa Anonim. (2009). Terapi Makanan Untuk http://www.p3gizi.litbang.depkes.go.id/index.php? option=com_content&task=view&id=52&Itemid=2 Anak Autis. Diakses di

Anonim. (2009). Vitamin B6 and Magnesium Therapy for Children with Autism. Diakses di http://autism.healingthresholds.com/therapy/vitamin-b6-andmagnesium Curtis, Luke T & Kalpana Patel. (2008). Nutritional and Environmental Approaches to Preventing and Treating Autism and Attention Defficit Hyperactivity Disorder (ADHD). The Journal of Alternative and Complementary Medicine. Hajirostamloo, Bahareh & Mahbobeh Hajirostamloo. (2010). The Omega-3 Fatty Acids Content of Some Iranian Fresh Water Fish Species. Kim, Ben. (2009). Making Sense of Omega-3 Fatty Acids. Mostafa, Gehan A; Hanan El Gamal; Amany S.E El Wakkad; Omar E. El Shorbagy; Magda M. Hamza. (2005). Polyunsaturated Fatty Acids, Carnitine, and Lactate as Biological Markers of Brain Energy in Autistic Children. The International Journal of Child Neuropsychiary. Soenardi, Tuti & Susirah Soetardjo. (2009). Terapi Diet pada Gangguan Autisme. Diakses di www.autis.info Yuliana & Esi Emilia. (2006). Penanganan Anak Autis Melalui Terapi Gizi dan Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No 061, Tahun ke 012.

Anda mungkin juga menyukai