Anda di halaman 1dari 23

Penelitian STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA

BAB III. Dampak Kegiatan Penambangan Emas terhadap Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat di Bombana
oleh: Tri Nuke Pudjiastuti 1. Latar Belakang Bombana, sebagai kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Buton, merupakan kabupaten yang sarat dengan persoalan ketatawilayahan dan masyarakatnya dewasa ini. Luas kabupaten yang hanya sekitar 331,6 ha dan beribukota di Rumbia adalah wilayah yang sebagian
menunjukkan

besar berupa

ahan kering dan hutan.

Peta

lokasi

di bawah

bahwa jarak yang cukup jauh, yaitu dari Kendari ke Bombana sekitar 230 kilometer, yang hanya bisa ditempuh via darat (peta Kab bombana dalam sultra) dengan alat transpotasi umum yang sangat terbatas jumlahnya. Wilayah Bombana dikenal pada tahun 1980-an merupakan wilayah transmigrasi, yang kemudian menjadi area Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Barito Pasific Timber. Meskipun baru sebagai kabupaten, dengan 89,55 persen laki-laki dan 47,03 persen wanita dari penduduk Bombana usia produktif,1 kehidupan masyarakat di Bombana sebenarnya telah berkembang sejak jaman Belanda. Hubungan dagang yang dibangun dari
1

Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional dalam Kabupaten Bombana dalam Angka 2007/2008, Biro Pusat Statistik Kabupaten Bombana.

para pedagang Bugis lewat laut telah membuat wilayah tersebut tidak sepenuhnya terisolir dari dunia luar. Dengan kekuatan suku bangsa lokal dan Bugis yang menetap dan turun temurun di Bombana, wilayah tersebut tumbuh sebagai kawasan pertanian dan tangkapan ikan yang melimpah.2 Selain juga, Bombana berpotensi pada hasil perkebunan dan kekayaan alam, yaitu jambu, kelapa dan kakao dalam jumlah besar. Dari awal ketiga komoditi tersebut merupakan modal tersendiri untuk membangun dan mengembangkan dirinya sebagai sebuah kabupaten yang maju. Kekuatan tersebut juga merupakan salah satu alasan kuat untuk memisahkan diri dari Kabupaten Buton. Perubahan setelah pemekaran pada tahun 2003 tidak terlalu banyak terjadi di Bombana, tetapi tidak demikian halnya setelah ditemukannya bongkahan tanah yang mengandung emas di wilayah tersebut. Setelah terjadinya penambangan emas di kawasan tersebut pada pertengahan menjelang akhir tahun 2008 ternyata keyakinan atas ketiga komoditi tersebut di atas menjadi surut. Menjadi suatu perkara yang tidak mudah bagi kabupaten tersebut mempertahankan, apalagi meningkatkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki sebelumnya, mengingat daya tarik penambangan emas yang luar biasa. Orientasi masyarakat maupun pemerintahnya pun berubah. Kabupaten yang awalnya menyandarkan pendapatan asli daerahnya di bidang pertanian-perkebunan dan juga perikanan, ternyata sejak tahun 2009 ini mengalami perubahan arah pembangunan secara cepat dan mendasar, setelah adanya penambangan emas di wilayahnya yang dilakukan oleh masyarakat mulai akhir tahun 2008. Kabupaten tersebut menitikberatkan atau bertumpu pada pertambangan untuk PAD kabupaten tersebut. Perubahan yang cepat yang tidak diikuti dengan penataan sarana prasarana serta kebijakan yang cukup membuat Bombana memasuki fase cheos. Kesulitan membangun sarana dan prasarana, hilangnya tenaga kerja yang menggarap lahan, sawah, kebun maupun nelayan. Akibatnya kebutuhan pokok masyarakat melonjak drastis di awal tahun 2009. Lebih buruk lagi tingginya mobilitas masyarakat dari sekitar Bombana dan dari luar propinsi Sulawesi Tenggara yang melakukan penambangan sudah tidak terkontrol, meskipun beberapa upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten, ternyata tidak membuahkan banyak perubahan.

Hasil wawancara dengan Tokoh Adat Moronene (Mokolele generasi terakhir) di Kendari tanggal 15 Agustus 2009.

Untuk itu, maka bab ini akan memetakan dan menunjukkan pengaruh dan kemungkinan-kemungkinan ke depan terkait aktivitas penambangan yang dilakukan masyarakat di kabupaten Bombana. Analisis yang dilakukan lebih pada tataran masyarakat. Adapun masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang melakukan penambangan maupun masyarakat umum yang tidak melakukan penambangan. 2. Dinamika Masyarakat Sebelum Berlangsung Kegiatan Penambangan Dulunya wilayah Bombana lebih dikenal sebagai wilayah Moronene, karena mayoritas etnis Moronene yang menetap di wilayah tersebut. Sebagai salah satu etnis di Sulawesi Tenggara, secara umum etnis tersebut berkembang tidak hanya di jazirah Sulawesi Tenggara, tetapi juga di pulau Kabaena. Pada jaman Belanda, mereka berkembang, membentuk wilayah-wilayah otonom yang dipimpin oleh Mokole-Mokole.3 Etnis Moronene berkembang hingga sekarang sebagai petani-petani penggarap lahan kering. Setelah tahun 1965, perkembangan etnis Moronene menjadi surut, masyarakat tercerai berai dan struktur sosial masyarakat Moronene hancur. Meskipun saat ini dari sisi jumlah mereka telah berkurang sekali,4 tetapi adat istiadat mereka masih bisa dilihat ketika upacara pernikahan atau kematian. Sementara itu, adanya para nelayan dan usaha laut berkembang, diawali dengan datangnya masyarakat Bugis dan Buton ke wilayah tersebut untuk berdagang. Banyak dari masyarakat Bugis yang menetap dan berkembang secara turun temurun di wilayah tersebut. Oleh karena itu, secara etnis tidak mengherankan bila etnis Bugis menjadi lebih banyak berperan dalam perdagangan dan pemerintahan dibandingkan dengan etnis Moronene, yang cenderung tidak banyak berkembang.5 Sementara itu, secara sosiologis masyarakat kabupaten Bombana merupakan masyarakat pertanian, bukan masyarakat penambang. Hal itu terlihat dari data yang menunjukkan bahwa sebelum adanya penambangan emas di kawasan tersebut hasil pertanian kebun dan perikanan merupakan andalannya. Pola kehidupannya yang berproses
3 4

Mokole adalah sebutan dan sekaligus gelar yang diberikan Raja bagi penguasa suatu wilayah. Etnis Moronene kehidupannya di Bombana terganggu, ketika terjadi peristiwa DI/TII. Beberapa kawasan Bombana diduduki oleh pasukan DI/TII, yang mengakibatkan desa-desa yang telah mereka bangun di sekitar Rumbia di tinggalkan dan semua berlindung menjadi satu di Kasipute.. Pada tahun 1965 militer mengembangkan wilayah Bombana menjadi ditrik-distrik. Demikian pula tata pemerintahan dilakukan dalam keseragaman pola dengan kawasan yang rawan konflik lainnya. Rendahnya tingkat keamanan membuat mereka banyak yang pergi meninggalkan Bombana. 5 Hasil Wawancara dengan dengan Tokoh Adat Adat Moronene (Mokolele generasi terakhir) di Kendari tanggal 15 Agustus 2009.

mulai dari masa pengolahan tanah, tanam, perawatan hingga mengambil hasil. Proses yang panjang tersebut, juga membentuk pola hidup masyarakat yang cenderung tidak banyak gejolak dalam kehidupan bermasyarakatnya. Meskipun tidak ada data yang menyebutkan secara pasti besar prosentase masyarekat bekerja pada bidang tertentu, tetapi dari data-data statistik lainnya dapat diperbandingkan. Data tersebut mampu menunjukkan bahwa pertambangan bukanlah merupakan bidang yang sejak awal telah digeluti oleh masyarakat Bombana. Tabel nomor satu di bawah menunjukkan bahwa banyaknya pekerjaan yang tersedia dan yang sudah terisi didominasi dengan lapangan usaha pertanian, dibandingkan dengan pertambangan dan galian merupakan lapangan usaha yang sedikit sekali. Tabel 1. Banyaknya Lowongan Kerja yang Terdaftar, Terpenuhi dan Belum Terpenuhi Menurut Lapangan Usaha Tahun 2007
No . 1 2 3 4 5 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan/Peng galian Keuangan, Asuransi, Persewaan, Bangunan Usaha jasa sosial/ Kemasyarakatan/Per orangan Kegiatan lainnya Jumlah Sisa 2006 621 2 22 418 1.063 Terdaf tar 2007 865 8 20 542 1.435 Jumlah Terdaf tar 1.486 10 42 980 2.498 Terpen uhi 812 8 99 508 1.364 Belum Terpen uhi 674 2 3 452 1.131

Sumber: Dinas Nakertrans dan Dissos Kabupaten Bombana, 2007.

Demikian pula, tabel nomor dua di bawah, diketahui bahwa angka tidak merupakan jaminan semakin besar adalah semakin banyak masyarakat yang kerja di bidang tersebut. Namun setidaknya dapat diantikan bahwa perikanan, perkebunan dan kehutanan menjadi tumpuan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di kawasan itu. Selain mendengar cerita dan pendapat masyarakat asli Bombana,6 data tersebut dapat dipastikan bahwa bahwa bukan pertambangan yang menjadi tumpuan bagi kabupaten tersebut untuk mengembangkan perdagangannya.

Wawancara dengan masyarakat yang telah tinggal turun temurun dari berbagai kalangan di wilayah Bombana pada bulan Desember 2008 dan tanggal 10 13 Agustus 2009.

Tabel 2. Volume (Ton) dan Nilai Perdagangan Antar Pulau (Rp. 000,-) Hasil Bumi dan Tambang Tahun 2007
No . 1 2 3 4 5 6 Hasil Bumi, Laut, Tambang Pertanian tanaman pangan Perkebunan Peternakan Perikanan Kehutanan Hasil tambang Volume 38 40 300 1500,5*) Nilai 368 2.468.000 7.545.000 2.715.000 -

Sumber: Dinas Perindagkop&Penanaman Modal Kab. Bombana, 2007 *) dalam m2

Sementara itu jenis hasil tambang di Bombana ternyata selama ini tertumpu pada pertambangan galian C. Hal itu terlihat dari pendapatan pajak di kabupaten Bombana, yang mana jenis penerimaan pajak pengambilan dan pengolahan galian C pada tahun 2007 mencapai sekitar 54 juta, yang hanya seperempat dari pajak pemanfaatan hasil-hasil perkebunan dan hasil ikutannya.7 Berkaitan dengan besarnya angkatan kerja dari jumlah penduduk mencapai 66,92 persen. Sedangkan angkatan kerja yang bekerja dibandingkan dengan tidak bekerja mencapai 96,48 persen dan hanyalah 3,5 persen yang tidak bekerja. Yang tidak bekerja atau pencari kerja tingkat pendidikan masyarakat Bombana secara umum masih berimbang dengan tingkat pendidikan yang setingkat dengan SLTA yaitu 59,29 persen, dan yang pencari kerja yang berpendidikan di atas SLTA mencapai 40,48 persen.8 Fenomena statistik di atas menunjukkan bahwa Bombana memiliki tingkat pengangguran yang rendah dan masih mempunyai peluang dalam beberapa lapanganan kerja. Persoalannya dengan masih besarnya lowongan pekerjaan di pertanian juga menunjukkan bahwa bidang pertanian bukan lagi menjadi bidang yang diminati oleh sebagian masyarakat Bombana. Namun demikian dari trend yang berkembang dalam struktur ekonomi di Bombana tidak mengalami perubahan yang berarti, meskipun ada peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 sebesar 7,14 persen dibandingkan tahun sebelumnya, pertanian masih tetap menjadi unggulan lapangan usaha bila dilihat dari PDRB perkapitanya, yaitu mencapai 58,56 persen dari total. Keunggulan Bombana atas hasil pertanian dari perkebunan rakyat pada tahun 2007 yaitu kelapa dalam (11.486 ton), jambu mete (10.676 ton) dan kakao (8.853 ton),
7 8

Kabupaten Bombana dalam Angka 2007/2008, Badan Pusat Statestik Kabupaten Bombana, 2008, 290. Ibid., 105-107.

merupakan tiga komoditi unggulan wilayah tersebut. Namun perubahan iklim dan juga persoalan perawatan lahan membuat masyarakat Bombana kesulitan mengembangkan hasil pertanian lahan kering tersebut secara lebih baik. Menurut beberapa narasumber di lapangan, menurunnya hasil kebun berdampak serius pada pendapatan yang mereka terima. Sebenarnya persoalan menurunnya hasil pertanian tersebut sudah menjadi bahasan di tingkat pemerintah Bambana, namun masyarakat merasa belum ada tindakan yang berarti yang mampu menyelesaian persoalan mereka. Menurunnya pendapatan masyarakat berdampak pada kesulitan-kesulitan ekonomi lainnya, termasuk untuk menyekolahkan anak dan biaya kesehatan. Di beberapa wilayah Bombana banyak masyarakat petani mulai turun ke kota untuk menjadi buruhburuh kasar (pekerja informal). Selain itu juga, bila diperhatikan lebih jauh, daerah penghasil ketiga komoditi di atas, ternyata tidak merata di setiap kecamatan, ketiganya hanya di Kabaena, Kabaena Timur, Rarowatu, Poleang Timur, Poleang dan Poleang Barat. Kecamatan-kecamatan tersebut agaknya kecamatan-kecamatan tersebut merupakan juga penghasil bagi jenis tanamanan rakyat lainnya, sepeti pala, kemiri, kopi dan pala. Berbeda halnya dengan sayur-sayuran bisa di dapat di kecamatan-kecamatan lainnya.9 3. Kegiatan Penambangan oleh Masyarakat Awal perubahan perhatian masyarakat setelah tanggal 5 September 2008 ditemukan sebongkah emas oleh warga setempat di Sungai Tahi Ite, dan sejak saat itulah penambangan emas mulai dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Bombana.10 Tingginya antusias masyarakat tidak hanya dari propinsi Sulawesi Tenggara, tetapi juga dari berbagai penjuru Indonesia untuk mengadu nasib bekerja sebagai penambang emas di Bombana, ternyata dalam berbagai sisi menimbulkan banyak perubahan. a. Lokasi Penambangan Lokasi penambangan tersebar di beberapa wilayah sekitar kota Rumbia dalam 5 kecamatan, yaitu: kecamatan Rarowatu dan Poleang Utara, Rarowatu Utara dan Lantari Jaya serta kecamatan Rumbia. Lokasi penambangan tersebut tepatnya pertaman kali mulai di Sungai Tahi Ite, lalu berkembang desa Rau-Rau, sungai Wabubangka, desa
9

Ibid. Lihat Forum Kendari dan Kompas Online pada bulan September 2008: http://www.forum. kendari.info/viewtopic.php// (diunduh pada Desember 2008) dan http://www.kompas.com/read/ berita_bombana// (diunduh pada Desember 2009)
10

Hukaeya dan SP 8, SP1, SP9 dan SP2.11 Pada umumnya mereka melakukan penambangan pada aliran sungai, seperti di aliran sungai Tahi Ite, SP-8 dan SP-9. Namun sejak bulan Oktober 2008 sebagian masyarakat yang kebanyakan berasal dari Kolaka melakukan penambangan di lokasi baru, yaitu di lokasi Gondrong (mencakup Bukit Penyesalan atau Bukit Tobat, yang pencapaian lokasinya memerlukan waktu sekitar 5 hingga 6 jam berjalan kaki dari sungai Tahi Ite). Penambangan dilakukan tidak terbatas hanya dengan mendulang pasir pada aliran sungai, tetapi mereka juga melakukan penggalian pada DAS (Daerah Aliran Sungai) dan kemudian meluas ke lahan di sekitar pinggiran sungai yang umumnya adalah areal perkebunan coklat. Dari waktu ke waktu, ternyata lokasi penambangan yang dilakukan masyarakat terus berkembang, bergerak seluruh aliran sungai yang terkait. Melihat peta lokasi di bawah, dapatlah dipahami bahwa lokasi sungai. Kemudian menjadi lokasi berikutnya bagi masyarakat, karena antara sungai satu dengan sungai satunya lagi menyambungnyambung.

(Peta titik-titik lokasi penambangan )

Persoalan menjadi lebih kompleks karena terkait dengan status lokasi tersebut. Sebenarnya, dari data pemerintah menunjukkan bahwa lokasi tersebut pada dasarnya adalah kawasan perkebunan, hutan produksi dan hutan lindung maupun lahan kebun masyarakat, seperti yang terjadi di sekitar sungai Tahi Ite, yang merupakan tanah-tanah kebun warga masyarakat setempat. Sedangkan seperti di SP 8 dan SP 9, lokasi tersebut dulunya adalah lokasi transmigran lokal, namun karena ternyata
11

Waktu tempuh dari kota Rumbia ke kawasan-kawasan tersebut pada umumnya membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor.

tanahnya tidak subur, maka pemerintah memindahkan lokasi pemukimannya, sehingga kemudian lokasi tersebut ditinggalkan begitu saja. Setelah kembali menjadi tanah negara, maka sebagian besar, khususnya di SP 9 lokasi tersebut sempat dimanfaatkan sebagai hutan produksi oleh perusahaan PT Barito Timber Pacific. Dalam perkembangannya, ternyata lokasi tersebut ditetapkan menjadi hutan lindung, sehingga tidak mungkin untuk dimanfaatkan oleh pemerintah setempat. b. Pola Mobilitas Data pemerintah kabupaten Bombana menunjukkan bahwa selain masyarakat Sulawesi Tenggara yang mencoba mengadu nasib, sebagian besar datangnya dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Kalimantan dan Jawa Timur.12 Sementara itu, kebijakan yang diambil pemerintah ternyata hanya bersifat pendataan tanpa mengatur dengan seksama dalam suatu sistem pertambangan rakyat yang efisien, efektif dan berwawasan lingkungan. Pada sisi lain, walaupun kegiatan ini menghasilkan uang secara instan, namun kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka tidak mengalami peningkatan kesejahteraan yang berarti pada para penambang tersebut, sementara keahlian yang mereka miliki sangat terbatas sehingga selain kegiatan tersebut banyak bersifat spekulatif, juga banyak diantara mereka yang akhirnya tewas terkubur dalam lobang galian mereka sendiri. Mobilitas masyarakat yang tinggi menjadikan penambang diikuti pula oleh mobilitas masyarakat penjual jasa dan pedagang. Di beberapa tempat strategis, seperti di tempat transit, lokasi pemukiman yang sekaligus penambangan, banyak masyarakat yang menjual jasa berdagang bahan makanan maupun makanan yang sudah dimasak ataupun kebutuhan penambangan dan lainnya. Sebagaimana foto di bawah ini, mereka mencoba mengadu nasib berjualan di lokasi masuk area penanganan di SP 2 dan SP 8. Mereka tumbuh menjadi suatu komunitas tersendiri yang diikuti dengan peningkatan secara tajam harga-harga kebutuhan, baik sembako apalagi barang-barang yang terkait dengan aktivitas penambangan seperti wajan untuk pendulangan, bensin/solar untuk mesin penyemprot, selang, tenda plastik, dll.

12

Penjelasan Dinas Pertambangan Bombana pada tgl .. Desember 2008.

(foto pasar di SP 2 dan SP 8)

Masyarakat yang melakukan penambangan sangat bervariasi. Pada akhir tahun 2008 data pemerintah lokal menunjukkan bahwa penambang yang melakukan aktivitas penggalian di sungai Tahi Ite, SP8 dan SP 9 serta di beberapa wilayah di sepanjang sungai, diperkirakan mencapai berjumlah 80 ribu orang, meskipun yang terdaftar sebagai penerima KIMP sebanyak 63 ribu orang. Komposisi warga masyarakat yang terlibat adalah 59.826 orang penduduk Sultra dan 4.034 penduduk non-Sultra. Akan tetapi tidak ada data resmi yang menunjukkan jumlah penduduk Kabupaten Bombana yang terlibat. Beberapa sumber mengatakan terdapat sekitar 40 persen dari penduduk Sultra tersebut adalah penduduk Bombana. Besarnya keterlibatan warga masyarakat non-Bombana tidak terlepas dari peran para aparat pemerintah maupun keamanan di wilayahnya. Sebagai contoh, apa yang dilakukan Dinas Tenaga Kerja Pemkab Kendari, sampai memberangkatkan 250 penambang ke Bombana dalam dua gelombang. Itu belum termasuk ribuan penambang liar dari Konawe Selatan, Kolaka, Kolaka Utara, dan Muna, yang berinisiatif pergi sendiri tanpa luar koordinasi dengan pemkabnya. Semua itu tidak lebih untuk mencari keuntungan. Keuntungan disini tidak hanya yang diinginkan oleh masyarakat, tetapi keuntungan yang ingin diraup oleh pemerintah setempat. Hal itu terlihat adanya suatu upaya pembatasan pendulang oleh Pemkab Bombana sejak 1 November 2008. Pemkab memberlakukan pungutan per pendulang mulai Rp 300 ribu (untuk warga Bombana) hingga Rp 1 juta (warga di luar Bombana) plus uang bulanan Rp 500 ribu. Meskipun alasannya untuk penertiban, namun terlihat kepentingan untuk mendapatkan dana retribusi lebih diutamakan dibandingkan penertiban itu sendiri. Sementara itu, di Bombana dapat ditemui dimana-mana beberapa atau dengan konvoi belasan sepeda motor yang membawa peralatan sama: ransel pakaian, wajan besar, sekop, linggis, jerigen, dan tenda terpal, seperti gambar di bawah ini. Baik pengemudi maupun pemboncengnya rata-rata berpakaian lusuh oleh sisa lumpur, yang

mengindikasikan seperti baru selesai menambang. Beberapa kebiasaan mobilitas yang muncul dari mereka, adalah: 1. Datang dengan membawa perlengkapan untuk menggali dan logistiknya; 2. Pulang bila logistik habis, atau bila ingin menjual butiran emasnya. 3. Pulang untuk bersitirahat. Adapun siklus dari kelompok penambang satu dengan yang lain tidak sama, ada yang seminggu sekali, dua minggu sekali ataupun sebulan sekali. Pada umumnya yang berasal dari luar Sulawesi Tenggara mereka sebulan atau pun dua bulan sekali.

(foto sepeda motor dan konvoi)

c. Mekanisme Kerja Kelompok Untuk dapat melakukan proses dari awal hingga akhir penambangan, biasanya para penambang tidak bekerja sendirian, tetapi berkelompok. Meskipun ada beberapa yang melakukan sendirian. Dengan membentuk kelompok yang minimal 3 orang dan maksimal bisa lebih dari sepuluh orang, mereka membagi tugas untuk mempercepat dan mempermudah mereka bekerja. Dalam satu kelompok, ada pembagian tugas seperti menggali tanah, menyediakan air, mendulang, dan menyiapkan logistik. Pembentukan kelompok dimungkinkan karena material tanah yang mengandung butiran emas biasanya pada kedalaman tertentu. Adakalanya berada pada kedalaman satu meter bahkan kurang. Namun, seperti di Wububangka, penambang baru mendapatkan material pada kedalaman 4-6 meter. Material itu lantas dikumpulkan untuk didulang dengan menggunakan air.13 Dari praktek di Bombana yang ada

13

Lihat bab pengengalian dan pengolahan

10

diperkirakan sekitar 80 persen proses pendulangan dilakukan di kawasan aliran sungai. Dari pendulangan akhirnya dihasilkan serbuk dan buliran emas. Kedatangan puluhan ribu penambang emas benar-benar menyulap wajah lahan transmigran di Sentra Permukiman Delapan (SP 8). Kawasan padang ilalang yang dulu tak terjamah itu pun berubah menjadi sebuah kota baru. Pusat keramaian Bombana seolah pindah ke SP-8. Dalamnya emas memang sulit diduga. Ada yang baru menggali dua meter sudah mengumpulkan material emas. Tapi, ada juga penambang yang baru dapat setelah berpeluh-peluh menggali hingga kedalaman enam meter. Material diambil dari sebuah lubang berukuran sekira 1,5 x 1,5 meter. Kalau material di sebuah lubang galian dianggap sudah habis, para penambang pindah ke lokasi baru. Lubang yang lama plus tanah sisa galian dibiarkan begitu saja. Di lokasi penambangan tedapat banyak lubang sisa galian yang mencapai ratusan ribu jumlahnya. Emas kadang membutakan segalanya, termasuk risiko nyawa. Mau hemat ongkos dan tenaga, ada penambang yang nekat membuat terowongan antarlubang untuk mencari material baru.

(foto SP8)

Semakin banyak orang yang datang, semakin kecil jumlah pendapatan yang diperoleh setiap harinya. Ada yang hanya mendapat 1-2 kaca perhari ada sampai beberapa gram. Biasanya bila dihitung dalam kelompok, bila mendapat lima gram emas dan satub kelompok berangota 10 orang, maka diperkirakan akan diperoleh satu seperempat juta rupiah. Dari jumlah tersebut kemudian dibagi rata seluruh anggota kelompok, maka per orang 125 ribu rupiah per hari. ratusan pengepul emas siap membeli dengan harga bersaing.
11

Namun proses penambangan secara berkelompok, bukan hanya dilakukan diantara masyarakat saja, tetapi masyarakat yang bekerja dalam perusahaan. Di lokasi penambangan ternyata pemerintah mengeluarkan izin kuasa pertambangan (KP)eksplorasi kepada PT Panca Logam Makmur (PLM). Perusahaan itu bekerja pada lokasi seluas 1.200 hektare. Mereka masih tahap eksplorasi. PT PLM menggunakan alat berat, seperti ekskavator (untuk menggali material), dump truck (pengangkut material ke lokasi pendulangan), empat mesin molen (untuk mempercepat pendulangan), hingga ekstraktor (pengumpul serbuk emas). Khusus alat ekstraktor didatangkan dari Kanada. Para pendulang yang teridiri dari masyarakat merupakan mitra kerja mereka dengan sistem bagi hasil 70:30. Artinya, apabila dalam sehari mendapatkan 100 gram, bagian PT PLM sebanyak 70 gram dan sisanya milik pekerja.
d. Kegiatan Multiplier Effect

Suatu kegiatan ekonomi tidak pernah berdiri sendiri, cenderung saling mempengaruhi. Masyarakat penambangan biasanya tinggal di pinggiran Sungai Tahi Ite serta lahan SP-8 ada puluhan ribu pendulang yang membangun tenda (kemah) sebagai rumah sementara. Ribuan tenda itu umumnya seragam: berbahan terpal biru. Dengan banyaknya tenda membuat lokasi tersebut mirip perkampungan. Bahkan, khusus di SP-8 sebagai lokasi terpadat malah mirip sebuah kota. Di sana ada pasar yang menjajakan segala kebutuhan para penambang. Mulai beras hingga linggis. Bahkan, praktik lokalisasi liar pun tersedia. Perputaran uang di SP-8 dan Desa Raurau bisa mencapai miliran rupiah per hari. Sebab, setiap pendulang rata-rata mendapatkan 1 gram emas per hari, maka saat itu juga dia pegang uang kontan Rp 250 ribu. Jika di dua kawasan penambangan terdapat 60 ribu penambang, total uang kontan yang berputar bisa mencapai Rp 15 miliar per hari. Itu dengan asumsi seluruh pendulang menjual emasnya tidak di luar lokasi penambangan. Tingginya perputaran uang dan jauhnya lokasi penambangan membuat harga kebutuhan sehari-hari menjadi mahal. Harga mi rebus plus telur, misalnya, bisa mencapai Rp 15.000 per porsi. Air dalam kemasan ukuran 1,5 liter yang biasanya Rp 3 ribu dijual dengan harga tiga kali lipat. Harga ayam bisa mencapai Rp 200 ribu per ekor. Terbatasnya uang kontan sering memaksa penambang menggunakan emas sebagai mata uang baru. Khususnya, ketika mereka terbentur oleh kebutuhan mendesak. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum, transaksi seks menggunakan tarif gram-graman emas.
12

Selain sepeda motor, sesekali mobil berpenggerak empat roda (four-wheeldrive/4WD) beraneka merek, seperti Mitsubishi Strada, Toyota Hillux, dan Ford Ranger merambah wilayah-wilayah penambangan. Para pemilik mobil bertenaga besar itu adalah pada umumnya mereka suplier kebutuhan air bersih, bahan makanan maupun para cukong berkantong tebal yang punya anak buah di lokasi penambangan. Menjadi sulit disebut penambangan masyarakat untuk kelompok kategori ini, mengingat produksi yang mereka lakukan bukan semata-mata untuk hidup. Bahkan lebih dengan dengan pola penambangan skala kecil tetapi dilaksanakan secara ilegal. Meskipun kemudian bila menilik kaidah suatu pertambangan rakyat tidak dilaksakanan semuanya, maka semuanya dapat dikatakan penambangan liar yang direstui pemerintah. 4. Masyarakat Pasca Maret 2009 Bulan Maret tahun 2009, tepatnya tanggal tujuh belas, merupakan hari-hari yang kelam bagi masyarakat. a. Cheos di Lokasi Penambangan Setelah 6 bulan dan berakhirnya masa berlaku KIMP pada tanggal 17 Maret 2009, maka pemerintah kabupaten berencana menutup dan mengosongkan lokasi yang dipergunakan rakyat untuk menambang. Dalam pelaksanaannya ternyata dipercepat dua hari yaitu tanggal 15 Maret. Menurut Ketua Tim Penertiban Tambang Emas Kabpaten Bombana, waktu itu merupakan deadline terakhir bagi puluhan ribu pendulang untuk meninggalkan lokasi pertambangan baik di Wububangka, Tahi Ite, serta berbagai lokasi lain. Tidak terkecuali bagi seribuan pedagang yang berjualan di kawasan tambang emas. Untuk mengefektifkan pengosongan itu mulai 6-9 Maret dilakukan sosialisasi disertai dengan penutupan lubang-lubang tikus yang jadi peninggalan puluhan ribu pendulang. Sedangkan tanggal 10-14 Maret merupakan penindakan bagi para pendulang dan pedagang untuk segera meninggalkan lokasi pertambangan rakyat. Kemudian disusul dengan pemutusan jalur-jalur alternatif yang jadi pintu masuk pendulang selama ini, kecuali dua jalur yaitu Tahi Ite dan SP2.14 Ada beberapa alasan memeprcepat penutupan tersebut yaitu:

14

Kendari Pos, 3 Maret 2009.

13

Masa berlaku Kartu Ijin Masuk Penambang (KIMP) sudah tak diperpanjang lagi setelah masa berlakunya berakhir pada tanggal 17 Maret 2009. Adanya pesta demokrasi Pilpres maupun Pilcaleg. Kerusakan lingkungan di lokasi pertambangan sudah sangat luar biasa. Pada kenyataan, pada tanggal 17 Maret masih banyak para penambang yang

tetap bertahan di lokasi. Akibatnya, Petugas penertiban yang dibantu aparat kepolisian mengusir mereka secara paksa dari kawasan tambang. Meskipun dalam sepekan sebelum tanggal 17 Maret sudah puluhan ribu masyarakat yang melakukan penambangan meninggalkan lokasi tambang emas dan kembali ke daerah masingmasing. Pengusiran tersebut diawali dengan pembakaran ribuan tenda para penambang yang masih bertahan dalam beberapa hari terakhir sebelum tanggal 17 tersebut. Tendatenda para penambang yang di dalamnya masih terdapat tas pakaian, uang dan berbagai perlengkapan lainnya, dibakar tanpa kompromi. Padahal, kartu izin penambangan yang dibayar Rp 500.000 plus retribusi Rp 300.000 per bulan baru akan berakhir masa berlakunya pada hari Selasa tanggal 17 Maret 2009. Beberapa penambang yang tendanya dibakar menangis histeris karena di dalam tenda masih terdapat pakaian dan sejumlah uang.15 Masyarakat yang menambang emas saat ini masih banyak yang bertahan, tetapi mereka bersembunyi di kawasan hutan sekitar lokasi penambangan. Mereka yang masih bertahan bersembunyi di dalam kawasan hutan melalui jalan-jalan tikus. Penambang yang bersembunyi di dalam kawasan hutan diperkirakan jumlahnya tetap mencapai ribuan orang. Kalaupun satu dua orang ketahuan petugas, mereka masih bisa negosiasi. Makanya, sampai kapan pun, petugas akan sulit bisa menghentikan aktivitas penambangan emas yang dilakukan oleh masyarakat di Bombana. Upaya penutupan tersebut ditanggapi masyarakat secara beragam. Sekelompok massa yang menamakan diri Forum Aspirasi Masyarakat pemilik lahan tambang dan peternak sapi wilayah Kecamatan Rarowatu ini menyampaikan jika mereka merasa tidak dihargai karena tak pernah dilibatkan untuk bermusyawarah dalam pengambilan keputusan baik oleh Pemkab Bombana maupun pihak investor pdalam hal pengelolaan tambang emas khususnya yang masuk dalam cakupan lahan milik mereka.
15

Mereka meminta agar diakui

secara defakto bahwa lahan-lahan

Penjelasan salah seorang penambang emas asal Kota Baubau pada http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/ dinamika/artikel.php

14

tambang di wilayah Bombana adalah sebagian besar milik masyarakat yang telah lama dipelihara dengan dibuktikan berbagai jenis tanaman. Kemudian kepada para investor yang sudah memperoleh izin KP diminta melakukan koordinasi secara transparan terhadap pemilik lahan tambang untuk selanjutnya dijadikan bahan pertimbangan oleh Bupati dan DPRD dalam pengambilan keputusan. Mereka juga mengungkapkan kekesalan atas banyaknya izin KP yang dikeluarkan Pemkab Bombana yang sudah mencapai 11 investor, sehingga sebagian besar lahan sudah dikuasai investor tanpa ada disisakan untuk penambangan rakyat. Mereka berkeinginan sesuai dengan janji Bupati, dimana masyarakat tetap dapat menambang dengn cara bermitra. Maka mereka menuntut bagi investor yang sudah mendapat izin KP tapi ternyata tidak terjalin kesepakatan dan kerjasama yang baik dengan pemilik lahan, maka diminta Pemda Bombana mencabut izin tersebut. b. Keterlibatan Oknum Aparat Pada saat pasca penertiban diketahui bahwa bukan hanya masyarakat saja yang mencuri-curi untuk melakukan penambangan, tetapi yang lebih mencolok adalah para oknum pejabat di Bombana pun kembali memasukan mesin dulang secara ilegal. Ditemukan sekitar 50 mesin pendulang yang beroperasi pasca penertiban di SP-9. Untuk itu Gubernur Sultra memerintahkan untuk dilakukan pembersihan semua alat pendulang ilegal tersebut. Hal itu dimaksudkan agar timbul rasa keadilan dari semua pihak sehingga tidak ada asumsi hanya masyarakat biasa saja yang dikeluarkan. Terkait penutupan tambang emas Bombana, Nur Alam mengaku harus tetap dilakukan untuk memetakan kembali sistem pengelolaannya, mana wilayah yang boleh digunakan rakyat dengan tertib dan lokasi yang dipersiapkan sebagai industri berskala besar. Sebab tidak dapat dipungkiri kehadiran industri besar itu banyak manfaat yang diterima. Selain membuka lapangan kerja baru juga ada royalti dan sering profit. Namun sayang karena terkendala kendaraan serta kurangnya personil, puluhan mesin-mesin penyedot itu tidak langsung diangkat untuk diamankan sebagai barang sitaan. Tim penertiban hanya melumpuhkan barang temuan mereka dengan membongkar panel vital mesin. Masuknya mesin-mesin itu di SP 9, Berbagai sumber mengatakan alat-alat tersebut diangkut melalui akses umum yang kerap dilalui dan bukan lewat jalur tikus.

15

c. Permainan Hak Ulayat

Terkait dengan penutupan tambang tersebut, para penambang tidak lagi bebas menggali lubang untuk menambang. sejumlah tokoh Suku Moronene mulai memberlakukan pungutan terhadap penambang. Mereka menganggap para penambang itu beraktivitas di wilayah tanah ulayat mereka. Khusus terkait dengan PT PLM yang telah mengantongi KP dari bupati yang beroperasi di wilayah mereka, mereka mengajukan protes kepada DPRD dan Bupati. Puluhan warga yang menamakan diri Forum Masyarakat Rumpun Pewaris Tanah Adat Rarowatu-Rarowatu Utara dengan korlap, Mansur Lababa yang disertai Asrin Thayeb. Mereka mendesak Bupati Bombana menolak dan mencabut semua rekomendasi KP yang sudah dikeluarkan karena dinilai telah merugikan masyarakat pewaris tanah adat khususnya di wilayah Rarowatu dan Rarowatu Utara. Tak diketahui berapa nilai kompensasi dari pemanfaatan tanah ulayat tersebut. Yang jelas, sejak ramainya pendulang, pungutan mengatasnamakan masyarakat setempat mulai marak. Para penambang bahkan dikenai pungutan lebih sekali dalam sehari. Nilainya bervariasi. Yang termurah Rp 10.000 setiap penambang per tiga hari. Selain pungutan, pemilik tanah ulayat menerapkan bagi hasil bagi penambang liar. Misalnya, yang dilakukan Budirman, tokoh setempat, yang menetapkan bagi hasil 5:2 terhadap para penambang. Artinya, setiap 5 gram emas yang diperoleh pendulang, 2 gram diserahkan kepada Budi sapaan Budirman. Budaya kegiatan menambang yang dilakukan oleh masyarakat cenderung berbeda dengan dengan budaya petani di sawah, di kebun maupun sebagai nelayan, dimana proses menjadi faktor utama dalam untuk mendapatkan hasil dan uang, membutuhkan proses dan ketekunan tersendiri. Sementara itu, kegiatan menambang hasilnya cenderung instan, karena bila hari ini mendapatkan hasil maka hari itu juga bisa memperoleh uang dalam jumlah jauh lebih besar bila dibandingkan dengan hasil sebagai petani ataupun nelayan dan buruh bangunan. Akibatnya, ketika hal itu terus berlangsung dan masyarakat terbiasa dengan pola yang demikian, maka mereka akan mengalami perubahan budaya dari budaya proses kepada budaya instan yang dalam jangka panjang akan sangat merugikan. Sementara itu, di sisi lain Dinas Pertambangan Kabupaten Bombana juga mengeluarkan izin KP kepada dua perusahaan, yakni PT Panca Logam Makmur (PLM) dan PT Tiran Indonesia. Izin KP itu untuk proses eksplorasi alias penelitian belum sampai
16

pada tahap eksploitasi. Di pasar Kasipute berderet sejumlah kios bertuliskan beli emas yang siap membeli emas hasil penambangan. Harga yang dipatok biasanya seragam, yakni Rp 250.000 per gram. Harga ini jauh lebih mahal dibanding saat pekan-pekan pertama ditemukannya emas yang hanya dihargai sekitar Rp 180.000 per gram. 5. Perubahan Kondisi Masyarakat Perubahan yang terjadi sangat cepat dan berpengaruh kuat pada kehidupan sosial ekonomi dan tata sosial budaya masyarakat tidak dapat dielakkan lagi. Hal itu tidak hanya berlaku bagi masyarakat yang melakukan penambangan, tetapi juga masyarakat umum yang berada di sekitar penambangan dan di Bombana secara umumnya. a. Dampak Sosial-Ekonomi Besarnya perhatian dan kepentingan, membuat informasi tentang tambang emas yang dapat diambil oleh masyarakat pun beragam, tetapi cepat sekali menyebar luas di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari sejak tanggal 5 September 2008 ditemukan sebongkah emas oleh warga setempat di Sungai Tahi Ite, secara cepat pula ribuan penambang dadakan yang berbondong-bondong menuju Bombana. Dari hasil wawancara dengan para penambang, meskipun informasi hanya sepotong dari mulut ke mulut, telah mampu membuat mereka meninggalkan daerahnya dan pekerjaannya, yang umumnya petani, nelayan dan pedagang. Perubahan perhatian tentang adanya kegiatan penambangan emas di Bombana, telah jadi pembicaraan sejak orang pertama kali mendarat di Bandara Monginsidi, karena bandara tersebut adalah satu-satunya lokasi pendaratan terdekat bagi para penambang dari luar Sultra. Bahkan menurut Dinas Perhubungan Pemprov Sultra, rata-rata isian pesawat yang menuju Kendari mencapai 90 persen. Sriwijaya Air, misalnya, yang pada 10 Desember 2008 atau berselang dua bulan sejak ditemukannya emas, menambah jadwal kursi penerbangan dari 125 seat menjadi 144 seat per hari. Garuda Indonesia benrsaha mempercepat rencana membuka rute baru KendariJakarta melalui Makassar dari Maret 2009 menjadi 16 Januari lalu.16 Sejak adanya tambang emas, kondisi Kota Kasipute mendadak berubah drastis. Aktivitas ekonomi menggeliat kencang. SPBU yang sebelumnya sepi pembeli, belakangan diserbu berbagai kendaraan. Mulai sepeda motor yang rata-rata baru,
16

Kaltim Pos, Januari 2009.

17

hingga mobil 4WD yang akan menuju lokasi penambangan. Saat stok bensin di SPBU habis, pengendara tak punya pilihan selain membeli dari penjual eceran dengan harga Rp 10.000 per liter. Berbendong-bondongnya masyarakat ke wilayah penambangan untuk mengadu nasibnya, tidak hanya masyarakat yang memang telah berprofesi sebagai penambang di wilayah lain, tetapi juga masyarakat lokal Bombana berusaha mengambil bagian. Dari hasil penjelasan pihak pemda maupun masyarakat di Bombana, banyak petani lebih suka pergi mendulang emas daripada mengurus hasil panen. Nelayan juga enggan melaut. Demikian juga para sopir, pengojek, dan pedagang. Bahkan, saat itu sejumlah perkantoran juga sepi ditinggal karyawannya untuk pergi menambang. Banyak sekali warga ramai-ramai hijrah ke lokasi penambangan. Namun demikian. besarnya jumlah masyarakat yang melakukan aktivitas penambangan dari Sulawesi Tenggara dan non-Sulawesi Tenggara telah membawa persoalan sosial, budaya dan ekonomi yang signifikan di wilayah tersebut. Daya tarik untuk mendapatkan penghasilan yang tinggi dalam waktu singkat dari kegiatan menambang telah menyebabkan beralihnya profesi masyarakat dari sebelumnya petani, pedagang atau nelayan menjadi penambang. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya kegoncangan keseimbangan perekonomian di Kabupaten Bombana, khususnya di kota Rumbia. Warga masyarakat yang selama ini memenuhi kebutuhan hidupnya dari petani, nelayan ataupun dari para buruh, sekarang sulit untuk mendapatkan bahan kebutuhan hidup sehari-hari seperti beras, ikan dan bahkan tenaga buruh bangunan pun sudah sulit untuk didapatkan.17 Hampir semua sektor tenaga kerja menjadi lumpuh karena terjadinya alih profesi besar-besaran menjadi penambang, tanpa kecuali pegawai negeri sipil, sehingga proses produksi di sektor lainnya menjadi tidak berjalan. Dampaknya, berbagai lapangan kerja yang ditinggalkan tersebut menjadi lumpuh dan berimbas kepada mandegnya suplai berbagai kebutuhan masyarakat, hingga berujung pada kelangkaan persediaan dan naiknya harga-harga kebutuhan tersebut.Dikeluhkan bahwa pasar dan pelabuhan di Kasipute tak ada orang yang berdagang. Pegawai negeri sipil (PNS) pun nekat bersama teman-temannya sekantor membolos beberapa hari untuk mendulang. Beberapa polisi yang seharusnya mengamankan Kasipute juga ada yang menambang.
17

Hasil wawancara dengan beberapa warga kota Rumbia pada bulan Desember 2008 dan Agustus 2009.

18

Di tengah euforia itu, Bupati Bombana Atikurrahman maupun Kapolres Bombana AKBP Yan Sultra membolehkan anak buahnya mendulang. Sejumlah warga tetangga Kabupaten Bombana juga tersedot ke SP-8 dan Sungai Tahi Ite.18 Demikian pula, para pengojek jarang beroperasi sejak ditemukan penambangan emas. Mereka lebih suka mendulang emas. Pilihan tersebut dapat dipahami, ketika mereka memberikan alasan bahwa dalam sekali mendulang emas, mereka dapat mengantongi 0,5 gram hingga 1 gram. Itu setara dengan sepuluh kali lipat dari penghasilannya sebagai tukang ojek. Kalaupun ada pengojek, itu pun hanya satu dua. Mereka mematok tarif mahal. Sebagai contoh, bila akan ke lokasi penambangan di SP-8 tarif yang dipatok hingga sampai tiga lipat bahkan lebih dari tarif biasanya, yaitu Rp 400 ribu untuk menyewa ojek setengah hari berkeliling SP-8 dan Sungai Tahi Ite. Bahkan ada beberapa tukang ojek asli dari Rumbia yang juga pendulang, tetapi sedang berlibur. erubahan yang signifikan adalah penjualan kendaraan roda dua. Warga Bombana banyak yang membelanjakan uang hasil penambangannya untuk kendaraan bermotor. Sebelum ada penambangan emas, jumlah penjualan sepeda motor sangat rendah, tetapi setelah dibuka penambangan sejak 1 November 2008, banyak sepeda motor dan mobil baru dengan rata-rata berpelat nomor mulai bulan Oktober-November 2008 yang umumnya membeli kendaraan dengan uang tunai. Bahkan menurut pengelola Hotel Yayad, pada bulan-bulan itu hingga Maret banyak dealer yang kehabisan persediaan. Mereka minta tambahan ke Makassar bahkan ke Surabaya. Bahkan, untuk mempermudah bagi pembeli beberapa dealer sengaja membuka showroom di pinggir jalan. Namun demikian, tingginya transaksi uang tunai acapkali tidak diimbangi dengan perluasan layanan perbankan. Tiga bank yang ada, yakni Bank BRI, Bank Muamalat, dan BPD Sultra, selalu ramai diantre nasabah. Bahkan, satu-satunya ATM milik BPD Sultra sering macet. Akibat sulitnya transaksi dengan uang tunai, maka banyak yang melakukan transaksi dengan menggunakan butiran emas. Transaksi dengan emas ternyata banyak digunakan pada aktivitas transaksi PSK. Menurut para penambang, tarif mereka antara 1-2 gram emas, tergantuk kemolekannya.19 Tingkat hunian hotel juga meningkat drastis. Mayoritas hotel di Kasipute penuh oleh calon penambang atau pembeli emas dari luar Bombana. Padahal,
18

Penjelasan beberapa warga Kasipute, pejabat pemda maupun berita yang tertulis di Kaltim Pos, Januari 2009. 19 Penjelasan penambang dari Lamongan, Jatim, pada tanggal 10 Agustus 2009.

19

pengelola hotel sudah menaikkan harga menginap hingga 100 persen dari hari biasanya. Selain itu juga, dalam beberapa bulan jumlah hotel yang ada di Rumbia dengan cepat bertambah. Dengan fasilitas yang sama dengan kategori hotel melati, pemilik hotel tersebut memasang rate harga hotel seperti hotel bintang layaknya. b. Dampak Sosial-Budaya Perubahan sosial budaya masyarakat di Bombana terlihat masih relevan didekati dengan pemikiran Selo Soemarjan, yang menekankan bahwa perubahan sosial yang dialami suatu masyarakt bukan suatu yang salah, mengingat perubahan sosial merupakan variasi dan cara hidup yang diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun adanya penemuan baru (difusi) dalam masyarakat, seperti yang terjadi di Bombana. Perubahan tersebut dapat mencakup segala sistem sosial yang berkembang, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok masyarakat.20 Sistem sosial yang awalnya dibangun adalah siatu sistem buaya masyarakat petani maupun masyarakat nelayan, dimana hal itu berbeda dengan budaya kegiatan menambang yang dilakukan oleh masyarakat. Budaya petani ataupun nelayan dalam menjalankan aktivitasnya secara membutuhkan proses dan ketekunan tersendiri. Sementara itu, kegiatan menambang hasilnya cenderung instan, karena bila hari ini mendapatkan hasil maka hari itu juga bisa memperoleh uang dalam jumlah jauh lebih besar bila dibandingkan dengan hasil sebagai petani ataupun nelayan dan buruh bangunan. Akibatnya, ketika hal itu terus berlangsung dan masyarakat terbiasa dengan pola yang demikian, maka mereka akan mengalami perubahan budaya dari budaya proses kepada budaya instan yang akan sangat merugikan dalam jangka panjang. c. Dampak Kesehatan, Keselamatan dan Lingkungan
Dampak Kesehatan:

Terlalu banyaknya para pendulang, aliran sungai di sana menjadi mampet. Bahkan, badan sungai tidak berbentuk lagi. Mirip kubangan besar. Itu disebabkan banyak pendulang yang nekat menggali dasar atau pinggir sungai yang mengandung material emas. Yang memprihatinkan, seluruh aktivitas keseharian penambang
20

Selo Soemarjan, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964.

20

tersebut dilakukan di kubangan itu. Mulai membangun kemah, makan-minum, beristirahat, hingga buang air besar. Tak sedikit pendulang yang terkena diare karena kondisi kotor tersebut. Ditemui banyak masyarakat yang melakukan penambangan di lokasi-lokasi SP maupun di sungai Tahi Ite mengalami gatal-gatal dan diare. Hal ini bisa dimengerti bagaimana rendahnya tingkat sanitasi dan kebersihan di lokasi yang terbatas tetapi dijadikan tempat aktivitas manusia dalam jumlah puluhan ribu orang. Air bersih serta MCK merupakan aspek yang terabaikan yang bertanggungjawab terhadap penyakit tersebut di atas.
Dampak Keselamatan:

Masyarakat yang melakukan penambangan dengan cara pendulangan tersebut, pada umumnya tidak memiliki pemahaman tentang bagaimana cara menambang yang baik dan benar. Ketika mereka mendulang pada aliran sungai, hampir tidak ada resiko yang mengancam nyawa mereka. Namun ketika pasir yang akan didulang tersebut tidak lagi mereka temukan pada aliran sungai, maka mereka mulai melakukan penggalian di sepanjang bantaran sungai. Walaupun lobang penggalian mereka hanya mencapai kedalaman sekitar 4-5 meter, namun karena mereka mencoba membuat terowongan pada kedalaman tersebut, sementara tanah penutupnya merupakan material lepas, maka banyak diantara mereka yang kemudian terkubur ketika terowongan itu ambruk atau amblas. Tidak ada data akurat tentang jumlah penambang yang mengalami kecelakaan dan meninggal akibat longsoran. Data di Kabupaten mencatat 39 orang telah meninggal dunia akibat tertimbun longsoran, sedangkan data di Propinsi menyebutkan 40 orang. Namun informasi di lapangan SP3 yang diperoleh dari penambang menyebutkan bahwa tidak kurang dari 100 orang yang sudah meninggal hanya di SP3 sejak pertambangan tersebut dimulai.
Dampak Lingkungan:

Dampak lingkungan yang terjadi saat ini sudah cukup mengkhawatirkan karena kegiatan penggalian dan pendulangan yang dilakukan oleh para penambang tersebut telah menyebabkan hancurnya sistem sungai dan ekologinya. Pada saat ini, sudah sangat sulit untuk dapat mengenali aliran sungai asal karena semua badan sungai tersebut sudah diacak-acak oleh lobang penggalian masyarakat. Semua wilayah yang tadinya bantaran sungai sekarang sudah berubah menjadi deretan
21

lobang-lobang yang berjejer teratur dan nyaris tanpa antara lagi. Air menjadi sangat keruh dan sebagian besar tergenang membentuk kolam kubangan dan hanya pada bagian tertentu saja yang masih mengalir. Selain itu, lahan-lahan produktif yang tadinya berupa kebun coklat di tebing sungai, sekarang berubah menjadi kumpulan lobang-lobang dan tanah timbunan yang jelas tidak dapat lagi dimanfaatkan begitu saja untuk perkebunan. 6. Kesimpulan Guna meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM atau human indexs development) di suatu wilayah, maka yang akan menjadi fokus perhatian adalah pendidikan, kesehatan dan ekonomi atau tingkat kesejahteraan masyarakat. Pada kasus masyarakat di Bombana, dapat dipastikan IPMnya tidak akan banyak meningkat bila dibandingkan sebelum ada penambangan di kawasan tersebut. Bila melihat pola penambangan dan relasi yang dibangun maka kesejahteraan lebih banyak didapat oleh para pemodal atau trader nya. Sementara itu, masyarakatnya sangat tergantung keberuntungannya saja dan sangat fluktuatif. Perubahan sosial masyarakat tidak lagi dapat dianggap sebagai dampak yang dapat diterima begitu saja, tetapi suatu dampak yang serius. Perubahan sistem sosial masyarakat akan mempengaruhi pola kehidupan suatu masyarakat di suatu wilayah dan akan dapat berpengaruh secara nasional.

22

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik, Kabupaten Bombana dalam Angka 2007/2008, Rumbia: Badan Pusat Statestik Kabupaten Bombana, 2008. Chambers, Robert, Poverty and Livelihoods: Whose Rality Counts?, dalam Uner Kirdar dan Leonard Silk (eds.). People: from Inpoverishment to Empowerment, New York: New York University Press, 1995. Delors, Jacques, Questions Concerning Europian Security, Brussels, Address, International Institute for Strategic Studies, September, 1993. Kartasasmita, Ginandjar, Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: CIDES, 1996. Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988. Sasono, Adi, Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan paper yang disampaikan dalam Konferensi Internasional Ekonomi Jaringan: Menuju Demokratisasi Ekonomi di Indonesia di Hotel Shangri-La, 6-7 Desember 1999, Jakarta, Indonesia, 1999. Soemarjan, Selo. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964. Sosialismanto, Duto, Hegemoni Negara: Ekonomi Politik Pedesaan Jawa, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001. Yuliati, Yayuk dan Poernomo, Mangku, Sosiologi Pedesaan, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2003. Zulkarnain, Iskandar dkk., Dinamika dan Peran Pertambangan Rakyat di Indonesia, Jakarta: Riset Kompetitif LIPI, 2007. Zulkarnain, Iskandar dkk., Konflik di Kawasan Pertambangan Timah, Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif Solusi, Jakarta: Riset Kompetitif Pengembangan Iptek LIPI, 2005. Zulkarnain, Iskandar dkk., Panduan Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Pertambangan, Jakarta: Riset Kompetitif Pengembangan IPTEK LIPI, 2006 Zulkarnain, Iskandar dkk., Potensi Konflik di Daerah Pertambangan: Kasus Cikotok dan Pongkor, Jakarta: Riset Kompetitif Pengembangan Iptek LIPI, 2003.

23

Anda mungkin juga menyukai