Anda di halaman 1dari 17

Kasus X / Tahun III Oleh Pembimbing

: dr. Prima Ananda Madaze : dr.Nushrothul Lailiyya, Sp.S

Pasien an. perempuan , 11 tahun dirawat di ruang Kemuning dari tanggal 10/08/2011 sampai18/08/2011 dengan diagnosis masuk Suspek Subacute Sclerosing Panencephalitis dengan Tuberkulosis Paru dalam Terapi. Diagnosa akhir Suspek. Subacute Sclerosing Panencephalitis grade 2 dengan Tuberkulosis paru dalam terapi RM : 110701430
I.

ANAMNESIS (alloanamnesis dengan nenek dan ayah pasien) : Gerakan menyentak pada ke-empat anggota gerak

KU

RPS : Sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien dikeluhkan keluarga tampak gerakan menyentak pada ke-empat anggota gerak, awalnya pada gerakan menyentak pada ke-dua tangan kemudian pada ke-empat anggota gerak, gerakan ini tidak dapat ditahan oleh pasien. Gerakan seperti menyentak ini timbul setiap setengah jam sekali, hilang pada saat tidur semakin bertambah sering menjadi 15 menit sekali. Lamanya 1-2 detik. Keluhan lemah kedua tungkai yang dirasakan berat sehingga bila berjalan harus diseret, lama kelamaan pasien bila berjalan harus berpegangan dengan benda disekitarnya dan kedua tangan terlihat kurang kuat mengenggam benda, pasien sulit menulis dikarenakan tidak dapat memegang pensil. Pasien tetap sadar, namun bila diajak bicara sering tidak nyambung dan lebih menjadi pendiam. Keluhan mudah lupa tidak diperhatikan keluarga. Satu bulan sebelum masuk rumah sakit gerakan menyentak semakin bertambah dengan frekuensi 5 menit sekali. Keluhan kelemahan kedua tungkai semakin terlihat bertambah berat sehingga pasien tidak dapat berjalan dan kedua tangan semakin sulit untuk memegang benda, sehingga bila makan dan minum harus disuapi. Pasien hanya ditempat tidur saja. Pasien bila diajak bicara hanya diam saja atau terkadang tersenyum. Keluhan nyeri kepala tidak diketahui, muntah (-). Pasien tetap sadar. Buang air besar dan buang air kecil (+) biasa. Saat ini pasien bersekolah di kelas 5 SD, selama ini tidak ada keluhan penurunan prestasi belajar dikatakan prestasi belajar pasien rata-rata (tidak pernah tinggal kelas). Keluhan gangguan tumbuh kembang (-), riwayat vaksinasi dikatakan lengkap Kurang lebih 1 bulan yang lalu pasien dirawat di rumah sakit Al-Ihsan, dirawat selama 2 minggu dikatakan menderita epilepsi dan tuberkulosa. Pasien mendapat terapi Rifampisin 1x tablet, Isoniazid 1x tablet, pyrazinamid 1x 1 tablet, vitamin B6 1x1 tablet, Clobazam 1x10 mg, Depakote sirup 1x1 sendok teh (malam). Pasien telah dilakukan rekam otak.

Riwayat Penyakit Dahulu -

Riwayat penyakit campak sebelumnya disangkal Riwayat kejang demam disangkal/ riwayat kejang sebelumnya disangkal Riwayat panas badan, batuk/pilek, diare sebelumnya disangkal Riwayat kelemahan anggota gerak sebelumnya disangkal Riwayat keluhan yang sama seperti pasien dalam keluarga disangkal Riwayat batu-batuk lama (-)/ keringat malam (-)/ penurunan berat badan (+)/kontak dengan penderita tuberkulosis disangkal Riwayat trauma dan perubahan tingkah laku disangkal

II. PEMERIKSAAN FISIK Kesadaran : sadar kontak kurang Tekanan Darah : 100/60 mmHg ; Nadi=Heart rate : 80 x/mnt ; Respirasi : 20 x/mnt ; Suhu : 37C STATUS INTERNA Kepala Leher Thorax : Konjungtiva anemis-/-, sklera ikterik -/-,pulsasi a. Temporalis kiri = kanan, bruit -/: Jugularis Vena Pressure tak meninggi, KGB tak membesar, pulsasi a. Karotis kiri=kanan, bruit -/: Bentuk dan gerak simetris Cor : batas kiri lateral Lateral Mid Clavicula Sinistra, Bunyi Jantung murni regular Pulmo: Vesicular Breathing Sound kiri=kanan, ronkhi -/- , wheezing -/: Datar, lembut, Hepar/Lien tidak teraba, Bising usus (+) normal : Edema -/- , sianosis -/-

Abdomen Extremitas

STATUS NEUROLOGIS Rangsang Meningeal : Kaku Kuduk -, Laseque/Kernig tidak terbatas, Brudzinski I/II/III -/-/Saraf Otak : dalam batas normal Motorik : kesan tetraparese, myoclonic jerk (+) Sensorik/Vegetatif/Fungsi Luhur : sulit dinilai Reflek Fisiologi : Biceps Triceps Refleks +/+ Knee Pees Refleks +/+ Achilles Pees Refleks +/+ Reflek Patologis : -/+(Babinski)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratium Haemoglobin : 14.8 Hematokrit : 43 Lekosit : 9400 Trombosit : 225000 Ro. Thorax EKG : TB paru aktif : sinus rhytm Ureum : 23 Kreatinin : 0.76 GDS : 122 Natrium : 138 Kalium : 4.6

IV. DIAGNOSIS KERJA Subacute Sclerosing Panencephalitis Tuberkulosis paru dalam terapi

V. TERAPI Asam valproat sirup 3 x 4cc Rifampisin 1 x 300 mg Isoniazid 1 x 200 mg Pyrazinamid 1 x 600 mg Vitamin B6 1 x 50 mg

VI. FOLLOW UP DAN TINDAK LANJUT Tgl 10/0818/08/11 Hari R: 2-8 Pemeriksaan Laboratorium Diagnosis Kes: sadar,kontak kurang Tekanan Darah: 120/80mmHg ; Nadi=Heart Rate : 100 x/menit ; Respirasi : 20 x/menit ; Suhu : 36,8C Status neurologis : Rangsang Meningeal : Kaku Kuduk -, Laseque/Kernig tidak terbatas, Brudzinski I/II/III -/-/Saraf Otak : dalam batas normal Motorik : kesan tetraparese, myoclonic jerk (+) Sensorik/Vegetatif/Fungsi luhur : sulit dinilai Reflek Fisiologis : Biceps Triceps Reflek +/+, Knee Pees Reflek +/+, Achilles Pees Reflek +/+ Reflek Patologis : -/+(Babinski) Pemeriksaan EEG, tgl 22 Juni 2011 Abnormal III (bangun) 1. Gelombang tajam, regional frontal kanan 2. Gelombang tajam, regional frontal kiri 3. Perlambatan intermitten, regional temporal kanan 4. Perlambatan intermitten, regional temporal kiri 5. Perlambatan intermitten, regional frontal kiri 6. Perlambatan intermitten, regional frontal kanan Kesan:
Tindakan

-Diet biasa -Asam valproat syrup 3x5cc -Konsul rehabilitasi medik -Rencana EEG - Obat anti Tuberkulosa kategori I+B6 -Informed consent

Gambaran EEG saat ini menunjukkan disfungsi kortikal pada kedua daerah frontotemporal. Selama rekaman tampak beberapa kali pasien tersentak tanpa disertai perubahan gambaran EEG Pasien meminta pulang paksa (18/08/2011)

VII. DIAGNOSIS AKHIR - Suspek Subacute Sclerosing Panencephalitis grade II - Tuberkulosis paru dalam terapi VIII. TERAPI - Asam valproat sirup 3x 5cc - Rifampisin 1 x 300 mg - Isoniazid 1 x 200 mg - Pyrazinamid 1 x 600 mg - Vitamin B6 1 x 50 mg

IX. PROGNOSA Quo ad vitam Quo ad functionam : dubia ad malam : ad malam

X. RESUME Telah dirawat pasien seorang anak wanita, 11 tahun selama delapan hari dengan diangnosa akhir suspek Subacute Sclerosing Panencephalitis grade II dengan Tuberkulosa paru dalam terapi. Pada anamnesa didapatkan sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit gerakan menyentak pad keempat anggota gerak yang tidak didapat ditahan oleh pasien, gerakan menyentak ini timbul setiap 30 menit sekali dan hilang pada saat tidur. Satu bulan sebelemu masuk rumah sakit, gerakan menyentak semakin bertambah sering menjadi 15 menit sekali. Keluhan disertai dengan kelemahan ke-empat anggota gerak sehingga pasien hanya tiduran, makan dan minum harus dibantu. Pasien tetap sadar, namun tidak mengerti pembicaraan. Keluhan penurunan prestasi belajar disangkal, keluhan gangguan tumbuh kembang disangkal. Keluhan panas badan dan pernah menderita sakit campak disangkal. Riwayat vaksinasi dikatakan lengkap. Pada pemeriksaan fisik; tanda-tanda vital dan status interna dalam batas normal. Pada pemeriksaan neurologi didapatkan motorik kesan tetraparese dan myoclonic jerk (+), Reflek patologis -/+. Pada pemeriksaan penunjang: 1) elektroensefalografi didapatkan kesan adanya disfungsi kortikal paad kedua daerah frontotemporal. Selama rekaman tampak beberapa kali pasien tersentak tanpa ada perubahan gambaran EEG. 2) Rontgen thorak didapatkan gambaran Tb paru aktif. Pasien

mendapat terapi asam valproat 3x5 cc, Rifampisin 1 x 300 mg, Isoniazid Pyrazinamid 1 x 600 mg, Vitamin B6 1 x 50 mg

1 x 200 mg,

XI. PERMASALAHAN 1. Bagaimana cara menegakkan diagonsis klinis pada pasien yang dicurigai Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE)? 2. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan subacute sclerosing panencephalitis? 3. Apa komplikasi yang mungkin terjadi pada subacute sclerosing panencephalitis dan apa komplikasi yang terjadi pada pasien ini? 4. Bagaimana gambaran elektroensefalografi pada pasien SSPE? XII. PEMBAHASAN 1. Cara penegakan diagnosa klinis pasien yang dicurigai subacute sclerosing panencephalitis (SSPE) Diagnosa klinis pasien yang dicurigai subacute sclerosing panencephalitis berdasarkan anamnesa, kriteria klinis dan pemeriksaan penunjang antaralain pemeriksaan cairan serebrospinal, pemeriksaan elektroensefalografi dan pemeriksaan pencitraan. Pada anamnesa biasanya didapatkan riwayat morbili/campak yang sembuh total tanpa adanya komplikasi beberapa tahun sebelum onset. Interval rata-rata antara campak dengan onset SSPE adalah sekitar 7 tahun (range antara 3 bulan sampai 18 tahun). Umumnya pasien berobat dengan keluhan sering terjatuh atau adanya gerakan tersentak, kelemahan anggota gerak sehingga tidak dapat berjalan, gangguan bicara, perubahan tingkah laku dan penurunan prestasi belajar. Kejadian tersering pada usia 8-14 tahun. Pada pasien dari anamnesa terdapat keluhan kelemahan anggota berat yang progresif dan gerakan menyentak pada keempat anggota gerak yang progresif, kesulitan bicara hingga pasien tidak dapat bicara, adanya perubahan tingkah laku berupa bila diajak bicara pasien tidak nyambung dan lebih pendiam. Penurunan prestasi belajar tidak diketahui (pasien tinggal dengan neneknya, riwayat sakit campak disangkal. Usia pasien 11 tahun dari anamnesa dapat dicurigai pasien menderita subacute sclerosing panencephalitis. Terdapat beberapa kriteria perjalanan klinis subacute sclerosing panecephalitis, antara lain : A. Berdasarkan US International SSPE regitrasy, terbagi atas 4 stadium : - Stadium I perubahan tingkah laku, penurunan intelektual, tidak terdapat demam, fotofobia atau gejala ensefalitis lainnya.

Stadium II Mioklonik jerk repetitif yang masif, biasanya simetris. Terutama mengenai otot aksial dengan interval 5-10 detik - Stadium III Mioklonik cenderung hilang. Kadang terdapat gerakan abnormal seperti distonia, ataxia serebelar dan demensia - Stadium IV Penurunan kesadaran sampai stupor/koma. Kadang disertai dengan insufisiensi otonom, dapat ditemukan rigiditas atau spastik dengan pstur dekortikasi atau flaksid. B. Berdasarkan kriteria Risk & Haddad, SSPE terbagi dalam 5 stadium - Stadium I Perubahan tingkah laku, penurunan prestasi belajar dan kemampuan intelektual. Gangguan memori dan dan gangguan visuospasial, fluktuasi suasana hati - Stadium IIa Mioklonik jerk dengan ciri khasnya berkangsung 4-10x/menit sinkron dengan gambaran EEG, dapat mengenai satu atau semua anggota gerak. Serangan mioklonik ini ringan, pasien tidak sampai jatuh. Ataksia. - Stadium IIb Mioklonik jerk makin hebat sampai menyebabkan pasien terjatuh - Stadium IIc Mioklonik jerk makin hebat hingga pasien tidak dapat turun dari tempat tidur. Demensia timbul progresif sehingga mengganggu komunikasi , disartri dan disfagia. - Stadium III Penurunan kesadaran sampai stupor. Gangguan otonom dengan suhu berfluktuasi. Intensitas mioklonik jerk menurun sampai menghilang. Pasien dapat menetap pada stadium ini selama beberapa tahun - Stadium IV Dapat terjadi remisi atau stabilisasi. Dapat bertahan selama beberapa waktu sebelum terjadi relaps - Stadium V Manifestasi klinis berupa relaps. C. Berdasarkan kriteria Jabbour, SSPE terbagi dalam 4 stadium - Stadium I Terdapat perubahan kepribadian dan gangguan intelektual - Stadium II Penurunan kemampuan intelektualyang progresif disertai mioklonik jerk, ataksia, kehilangan kendali saat berjalan dan gangguan bicara - Stadium III -

Rigiditas dan hiperaktivitas Stadium IV Postur tubuh dekortikasi sampai koma.

Berdasarkan ketiga kriteria klinis diatas pasien dapat diduga sebagai Subacute Sclerosing Panencephalitis stadium II Diagnosis SSPE ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis yang terdiri dari : 1. Kriteria Mayor 1) Gambaran klinis yang tipikal atau atipikal. Gambaran klinis yang tipikal untuk SSPE dapat berupa akut progresif, subakut progresif, kronis progresif, kronis relaps-remisi. Sedangkan gambaran klinis yang atipikal dapat berupa stadium I yang panjang dan usia yang tak lazim (bayi atau orang dewasa) 2) Titer antibodi terhadap campak didalam cairan serebrospinalis yang meningkat 2. Kriteria minor 3) Gambaran EEG yang tipikal (kompleks periodik) 4) Peningkatan kadar Imunoglobulin G (IgG) dalam cairan serebropinal 5) Gambaran patologi menunjukkan adanya panensefalitis yang ditemukan pada pemeriksaan biopsi otak 6) Tes diagnostik molekuler yang mengidentifikasi genom virus campak yang telah bermutasi Diagnosis SSPE dapat ditegakkan bila memenuhi 2 kriteria mayor ditambah 1 kriteria minor, sedangkan untuk gambaran klinis yang atipikal perlu ditunjang oleh kriteria 5 atau kriteria 6. Berdasarkan kriteria diagnosis diatas, pada pasien hanya memenuhi 1 kriteria mayor yaitu gambaran klinis tipikal yang berlangsung subakut progresif. Kriteria minor berupa gambaran EEG yang tipikal (kompleks periodik) tidak terpenuhi, dikarenakan pada gambaran EEG pasien hanya didapatkan perlambatan intermitten pada daerah frontotemporal bilateral. Sebaiknya pemeriksaan EEG pasien diulang kembali pada saat perawatan, namun karena masalah biaya hal ini tidak dapat dilakukan. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita SSPE dapat berupa pemeriksaan darah dan cairan serebrospinal, elektroensefalografi, pemeriksaan pencitraan berupa CT scan kepala dan MRI kepala. Pada pemeriksaan darah didapatkan peningkatan titer antibodi terhadap virus campak (IgG dan IgM) dalam darah. Pemeriksaan cairan serebrospinal : jumlah sel biasanya normal atau sedikit meningkat, kadar glukosa normal, kadar protein normal atau sedikit meningkat dan ditandai dengan meningkatnya kadar gammaglobulin, biasanya >20% dari total protein cairan serebrospinal. Jika didapatkan peningkatan titer antobodi terhadap virus campak

1:256 atau lebih besar dalam serum dan 1:4 atau lebih besar dalam cairan serebrospinal dapat dipertimbangkan diagnosa SSPE. Karakteristik rasio kadar cairan serebrospinal terhadap kadar serum berkisar antara 1:40 sampai 1:128. Pemeriksaan elekroensefalogarfi, dapat mendukung diagnosis SSPE. Pada stadium awal gambaran EEG dapat normal atau hanya terdapat perlambatan sedang yang tidak spesifik. Pada stadium II, terdapat gambaran EEG berupa episode suppression burst. Pemeriksaan pencitraan pada SSPE tidak mempunyai korelasi dengan status klinis penderita SSPE dan mempunyai peranan terbatas pada diagnosis awal SSPE stadium. CT scan pada stadium awal biasanya normal. Pada stadium lanjut biasanya menunjukan ventrikel yang kecil dan obliterasi hemisfer dan fissura interhemisfer, gambaran atrofi dan didapatkan sedikit peningkatan pada daerah korteks dan basal ganglia.Pada pemeriksaan MRI didapatkan gambaran lesi hiperintens pada T2 untuk area kortikal,subkortikal, periventrikuler serta gambaran atrofi serebri. Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan analisa cairan serebrospinal, CT scan kepala/MRI kepala dikarenakan masalah biaya. Pada pasien hanya dilakukan pemeriksaan EEG yangmenunjukkan adanya perlambatan intermitten frontotemporal bilateral. Kemungkinan EEG dilakukan pada saat pasien dalam stadium 1. 2. Penatalaksanaan pasien dengan subacute sclerosing panenchalitis Gambaran Elektroensefalografi pada pasien SSPE

Gambaran

EEG

pada

SSPE

menunjukkan

karakteristik

tertentu

berupa

pola

kompleksperiodik yang bersifat : 1. Bilateral. 2. Biasanya sinkron dan simetris. 3. Stereotipik. 4. Biasanya terdiri dari dua atau lebih gelombang delta yang difasik, trifasik atau polifasik. 5. Mempunyai amplitudo 300-1500 mV. 6. Durasi 0,5-2 detik. 7. Berulang setiap 4-10 detik. 8. Sinkron dengan myoclonic jerks.

Kompleks periodik ini dapat ditemukan pada semua stadium klinis SSPE, tapi umumnya ditemukan pada stadium II dari penyakit. Pola kompleks periodik ini bervariasi pada tiap-tiap penderita SSPE dan dapat berubah dari waktu ke waktu pada penderita yang sama sesuai dengan stadium penyakitnya.

Pada stadium I, gambaran EEG dapat normal atau hanya terdapat perlambatan irama dasar yang tidak khas (nonspesifik).

Pada stadium II bisa ditemukan pola EEG klasik dengan karakteristik berupa paroxysmal bursts dari aktivitas difasik voltase tinggi berdurasi 2-3 detik yang kemudian diikuti oleh aktivitas mendatar. Pola tersebut dikenal dengan nama suppression bursts yang bisa ditemukan pada 80% penderita SSPE. Gambaran periodik dapat terlihat dengan latar belakang yang normal, berulang dengan interval yang ireguler dan dapat diprovokasi dengan stimuli eksternal. Suppression bursts dapat ditemukan bersamaan dengan myoclonic jerks akan tetapi pada saat tidur myoclonic jerks menghilang sedangkan gambaran suppression bursts pada EEG tetap bisa ditemukan. Sebaliknya tidak pernah ditemukan adanya myoclonic jerks tanpa adanya gambaran suppression bursts pada EEG. Abnormalitas EEG ini sudah bisa ditemukan lebih awal sebelum timbulnya myoclonic jerks dan obatobatan seperti diazepam dapat mengurangi munculnya myoclonic jerks namun tidak mempengaruhi kompleks periodik ini. Dalam perkembangan penyakit, EEG menunjukkan gambaran yang bervariasi yang terdiri dari perlambatan dan disorganisasi pada latar belakang atau latar belakang yang asimetris atau bisa ditemukan keduanya. Perubahan ini selanjutnya akan diikuti peningkatan abnormalitas slow-wave yang difus namun bisa juga bersifat fokal sesuai dengan area yang memiliki kerusakan terbesar.

Pada stadium III, gambaran EEG menunjukkan disorganisasi dengan gelombang amplitudo tinggi dan perlambatan aritmik. Latar belakang diantara kompleks EEG menjadi lambat dan interval antara kompleks yang satu dengan yang lain memendek. Gelombang epileptogenik yang bervariasi seperti gelombang paku, gelombang tajam dan kompleks spike-and-wave yang bersifat fokal ataupun difus dapat ditemukan pada stadium ini.

Pada stadium IV, pola EEG dapat berubah dimana amplitudo gelombang menurun sampai akhirnya suppression bursts menghilang dan perekaman hampir isoelektrik.

Gambar 1. Gambaran EEG pada penderita SSPE berusia 5 tahun memperlihatkan gambaran khas suppression bursts. Lead unipolar F , C , P , O masing-masing menyatakan lead frontal, sentral, parietal, dan oksipital kiri, sedangkan F , C , P , O menyatakan lead frontal , sentral, parietal, dan oksipital kanan3.

Gambar 2. Gambaran EEG menunjukkan pola periodik dari kompleks slow wave dengan interval 46 detik.

Terdapat 3 tipe abnormalitas EEG yang erat kaitannya dengan prognosis penderita SSPE. Klasifikasi EEG abnormal tipe I dapat ditemukan adanya kompleks periodik. Pada abnormal

tipe II, pola kompleks periodik dikarakteristik oleh giant delta waves yang periodik bercampur rapid spikes dengan aktivitas yang cepat. Pada tipe ini, latar belakang umumnya lambat. Sedangkan pada abnormal tipe III, pola kompleks periodik dikarakteristik oleh long spike-wave yang diinterupsi oleh giant delta waves. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yakub didapatkan bahwa monitoring dengan video-split EEG merupakan teknik yang sensitif untuk diagnosis dini dan mendeteksi adanya myoclonic jerks dihubungkan dengan gambaran EEG. Selain itu dikemukakan bahwa gambaran EEG abnormal tipe II mempunyai prognosis yang lebih baik dari tipe III dihubungkan dengan tingkat progresifitas penyakit. Pada saat awal penyakit, elektroensefalograf mungkin menunjukkan gambaran yang normal atau perlambatan meneyeluruh yang non spesifik. Gambaran EEG yang khas biasanya telihat pada fase mioklonik, berupa gambaran periodic complex, simetris dan sinkron bilateral, voltage tinggi (200-300mv) berupa burst polyphasic, gelombang delta stereotipik. Periodic complex berulang secara reguler dengan interval 4-10 detik dan perbandingan 1:1 dengan myoclonic jerk.

Hasil Pemeriksaan EEG, An. R, 10 th. (22 Juni 2011) Aktivitas Frekuensi Amplitudo
Irama dasar 9-10 L-M

Distribusi
Daerah posterior kepala, simetris Bifrontal. Simetris Daerah temporal kiri (T1-T3) Daerah kanan (T2) temporal

Keterangan
Kontinu, ritmis, berkurang dengan buka mata Kontinu, ritmis Intermitten

Beta Perlambatan 1

18-25 2-2,5

L H

Perlambatan 2

2-2.5

Intermitten

Perlambatan 3

1.5-2

Daerah frontal kiri (Fp1) Daerah frontal kanan ( Fp2) Daerah frontal kiri (Fp1)

Intermitten

Perlambatan 4

1.5-2

Intermitten

Gelombang tajam 1

Tampak beberapa kali selama rekaman bangun Tampak beberapa kali selama rekaman bangun

Gelombang tajam 2

Daerah frontal kanan (Fp2)

Tidur 0%

Aktivitas

Frekuensi

Amplitudo

Distribusi

Keterangan

Hiperventilasi tidak dilakukan karena pasien tidak kooperatif Aktivitas Frekuensi Amplitudo Distribusi Keterangan

Aktivitas
Photic driving Perlambatan 1 Perlambatan 2 Perlambatan 3 Gelombang tajam

Stimulasi photik bertahap 1-20 Hz Frekuensi Amplitudo Distribusi


5,10,15,20 2-2.5 2-2.5 1.5-2 1 L H H H H Bioksipital Daerah temporal kiri (Ti-T3) Daerah temporal kanan (T2) Daerah frontal kanan (Fp2) Daerah frontal kanan (Fp2)

Keterangan
Simetris Intermitten Intermitten Intermitten Tampak beberapa kali selama rekaman bangun

Keterangan : Frekuensi (Hz), Amplitudo L : <20V, M : 20-70 V, H : 70-150 V

Rekaman dilakukan dengan pemasangan elektrode tambahan pada bahu kiri Abnormal III (Bangun) 1. Gelombang tajam, regional frontal kanan 2. Gelombang tajam, regional frontal kiri 3. Perlambatan intermitten, regional temporal kanan 4.Perlambatan intermitten, regional temporal kiri 5.Perlambatan intermitten, regional frontal kiri 6. Perlambatan intermitten, regional frontal kanan Kesan : Gambaran EEG saat ini menunjukkan disfungsi kortikal pada kedua daerah frontotemporal. Selama rekaman tampak beberapa kali pasien tersentak tanpa disertai perubahan gambaran EEG

Pada pemeriksaan EEG pasien ini didapatkan gelombang tajam di daerah frontal kanan kiri dan perlambatan intermitten di daerah frontal kanan-kiri dan temporal kanan-kiri, hal ini menunjukkan disfungsi kortikal pada kedua daerah frontotemporal.

Pemeriksaan EEG pada pasien ini dilakukan 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Sehingga masih mungkin didapatkan gambaran EEG pada pasien ini tidak khas untuk suatu Subacute Sclerosing Panencephalitis. Berdasarkan hasil pemeriksaan EEG didapatkan SSPE stadium 1. Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis didapat myoclonic jerk dengan frekuensi kejang yang semakin sering. Sebaiknya pada pasien ini dilakukan pemeriksaan EEG ulang, sehingga kita dapat melihat adanya perubahan hasil EEG sebelumnya.

Kesimpulan Telah dibahas kasus, seorang anak perempuan umur 10 tahun dengan diagnosa SSPE dimana pada anamnesa didapatkan kejang dengan bentuk menyentak pada ke-empat anggota gerak, gerakan ini tidak dapat ditahan oleh pasien. Gerakan seperti menyentak ini timbul setiap setengah jam sekali, semakin bertambah sering menjadi 15 menit sekali. Lamanya 1-2 detik. Satu bulan SMRS gejala semakin bertambah dengan frekuensi 5 menit sekali. Kejang hilang pada saat tidur. Riwayat panas badan/riwayat campak/riwayat penurunan prestasi belajar disangkal. Pada Pemeriksaan klinis didapatkan myoclonic jerk (+). Pada EEG didapatkan gelombang tajam di daerah frontal kanan-kiri dan perlambatan intermitten di daerah frontal kanan-kiri dan temporal kanan-kiri. Pemeriksaan EEG dilakukan 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Sehingga dapat disimpulkan berdasarkan pemeriksaan EEG saat itu pasien dengan diagnosa Suspek SSPE stadium 1, namun pada saat pasein masuk rumah sakit secara klinis kemungkinan pasien dengan diagnosa Suspek SSPE stadium II, seharusnya pada pasien ini dilakukan pemeriksaan EEG ulang.

DAFTAR PUSTAKA
1. Gutierrez J, Issacson RS, Koppel BS. Subacute sclerosing panencephalitis : an update. Developmental medicine & child neurology. 2010 ; 52:901-7. 2. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor s principles of neurology. 8th ed. New York : Mc GrawHill ; 2005.p.650-53. 3. Maria BL, Bale JF Jr. Infections of the nervous system. In : Menkes JH, Sarnas HB, Maria BL, editors. Child Neurology. 7th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2006.p.499-51. 4. Griffin DE. Measles and rubella. In : Scheld WM, Whitley RJ, Marra ChM, editors. Infections of the central nervous system. 3rd ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2004.p.111-22. 5. Jubelt B. Viral infections. In : Rowland LP, editor. Merritt s neurology. 11th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2005.p.174-97. 4. Ikeda A, Klem GH, Lders HO. Metabolic, infectious and hereditary encephalopathies. In : Ebersole JS, Pedley TA, editors. Current practice of clinical electroencephalography. 3rd ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ;2003.p.348-77. 5. Gokcil Z, Odabasi Z, Aksu A, et all. Acute fulminant SSPE, clinical and EEG features. Clin Electroencephalogram. 1998;9:43-8. 6. Garg RK. Subacute sclerosing panencephalitis. Postgrad Med J. 2002;78:63-70. 7. Yakub BA. Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE) : early diagnosis, prognostic factors and natural history. J Neurol Sci. 1996;139:227-34

1.

Cara mendiagnosa pasien SSPE Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE) merupakan ensefalitis kronis dan persisten yangdijumpai pada masa anak-anak dan remaja sebagai akibat sekunder dari infeksi virus campak yang menyebabkan terjadinya demielinisasi luas pada susunan saraf pusat (SSP). Disebut SSPE karena penyakit ini umumnya berkembang dalam waktu kurang dari 9 bulan(subacute), gambaran patologi dari lesi (sclerosis) dan berdasarkan luas area dimana seluruh otakbisa terkena (panencephalitis).1 Anak yang menderita campak sebelum usia 5 tahun lebih beresiko untuk menderita SSPE.Setelah infeksi awal, perjalanan penyakit selanjutnya memasuki periode asimptomatik selama 6-8 tahun. Selanjutnya timbul gejala-gejala akibat degenerasi dari susunan saraf pusat berupa myoclonic jerks, gerakan involunter dan penurunan status mental. Diagnosis SSPE ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, gambaran elektroensefalogram (EEG), peningkatan titer antibodi terhadap campak dan gambaran biopsi yang sesuai dengan SSPE.1 11 Manifestasi klinis. Gejala biasanya dimulai pada usia anak-anak dan paling sering pada usia 5-15 tahun. Pada stadium awal terjadi perubahan perilaku yang

dapat berupa hiperaktivitas dan negativisme. Disamping itu, penderita mulai menunjukkan penurunan dalam kemampuan intelektual dan prestasi belajar. Gejala pada stadium ini kadang-kadang tidak terdeteksi karena onset dan progresifitasnya tidak terlalu menonjol, bahkan cenderung tersembunyi. Pada stadium ini terjadi kerusakan pada kortikal yang kemudian menyebar ke subkortikal. Gejala klinis umumnya baru bisa diidentifikasi bila sudah masuk ke stadium II. Dalam waktu kurang lebih 2 bulan sesudah awal onset mulai timbul myoclonic jerks yang dimulai dari kepala kemudian diikuti oleh badan dan anggota gerak. Kontraksi otot yang timbul kemudian diikuti oleh relaksasi selama 1-2 detik dimana pada fase ini potensial aksi dari otot menurun bahkan bisa hilang. Myoclonic jerks yang terjadi pada SSPE ini sifatnya nonspesifik dan unik, tidak seperti yang nampak pada epileptic seizure. Myoclonic jerks ini bersifat nonepileptik dan merupakan akibat dari gangguan ekstrapiramidal dimana bentuk gerakan lebih menyerupai gerakan involunter korea, atetosis, balismus dan distonia. Pada saat terjadi myoclonic jerks, kesadaran penderita tidak terganggu namun bisa ditemukan periodic dropping dari kepala dan jatuh. Myoclonic jerks ini dipresipitasi oleh aktifitas yang berlebihan dan menghilang bila pasien tidur. Pada tahap awal frekuensi myoclonic jerks masih jarang namun pada tahap lanjut myoclonic jerks dapat terjadi setiap 5-15 detik dan penderita masuk kedalam keadaan kejang parsial sederhana yang intraktabel. Kemampuan berbicara spontan menurun meskipun pemahaman relatif masih baik. Seiring dengan progresifitas penyakit, gejala akibat gangguan sistem ekstrapiramidal dan spastisitas semakin menonjol. Disamping itu dapat dijumpai penurunan visus yang progresif. Periode dari stadium II ini umumnya berlangsung dalam waktu 3-12 bulan. Selanjutnya pada stadium III, proses progresif telah melibatkan subkortikal dan batang otak sehingga menyebabkan deteriorisasi mental dan motorik yang progresif. Penderita hanya dapat berbaring ditempat tidur dalam postur deserebrasi atau dekortikasi. Penderita tetap sadar tetapi tidak mampu berkomunikasi dan menuruti perintah sederhana. Periode dari stadium III ini dapat berlangsung dalam waktu 3-18 bulan. Selanjutnya pada stadium IV dari SSPE, terjadi peningkatan tonus dari otototot ekstensor dan sikap tubuh menjadi deserebrasi. Myoclonic jerks dapat berkurang bahkan menghilang. Respirasi menjadi ireguler dan bisa dijumpai gejalagejala akibat disfungsi dari hipotalamus berupa instabilitas dari vasomotor, hipertermia serta keringat yang berlebihan. Akhirnya penderita dapat masuk dalam kondisi koma dan stadium vegetatif. Pada umumnya kematian terjadi pada stadium IV, akan tetapi resiko kematian dapat terjadi pada stadium mana saja tergantung dari progresifitas dan tingkat keparahan penyakit.

Pembagian stadium klinis SSPE berdasarkan Jabbour, terdiri dari 1. Stadium I : Terdapat perubahan kepribadian dan gangguan intelektual.

2. Stadium II : Penurunan kemampuan intelektual yang progresif disertai dengan myoclonic jerks, ataksia, kehilangan kendali saat berjalan dan gangguan bicara. 3. Stadium III : Rigiditas dan hiperaktivitas dari refleks. 4. Stadium IV : Postur tubuh menjadi dekortikasi sampai koma. Berdasarkan kriteria diagnosis SSPE terdiri dari : Diagnosis SSPE ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis yang terdiri dari : 1. Kriteria mayor 1) Gambaran klinis yang tipikal atau atipikal. Gambaran klinis yang tipikal untuk SSPE dapat berupa akut progresif, subakut progresif kronis progresif, kronis relaps-remisi. Sedangkan gambaran klinis yang atipikal dapat berupa stadium I yang panjang dan usia yang tidak lazim (bayi dan orang dewasa). 2) Titer antibodi terhadap campak didalam cairan serebrospinal yang meningkat. 2. Kriteria minor 3) Gambaran EEG yang tipikal (kompleks periodik). 4) Peningkatan kadar Imunoglobulin G (IgG) dalam cairan serebrospinal. 5) Gambaran patologi menunjukkan adanya panensefalitis yang ditemukan pada pemeriksaan biopsi otak. 6) Tes diagnostik molekular yang mengidentifikasi genom virus campak yang telah bermutasi. Diagnosis SSPE dapat ditegakkan bila terpenuhi 2 kriteria mayor ditambah 1 kriteria minor sedangkan untuk gambaran klinis yang atipikal perlu ditunjang oleh kriteria 5 dan atau kriteria 6.1 Pada pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) didapatkan pleiositosis, peningkatan gammaglobulin, kadar glukosa normal dan kadar protein total yang normal atau sedikit meningkat. Titer IgG terhadap virus campak berkisar 1:40 sampai 1:1280 dengan rasio CSS-serum berkisar 5:1sampai 40:1. Enzyme-linked immunosorbent assay untuk mengetahui kadar IgG terhadap virus campak merupakan pemeriksaan yang mempunyai sensitivitas 100% dan spesifitas 93,3%. Pemeriksaan CT scan pada stadium awal didapatkan gambaran ventrikel yang kecil dan obliterasi dari sulkus dan fisura interhemisfer sedangkan pada stadium lanjut didapatkan gambaran atrofi serebri. Pada pemeriksaan MRI didapatkan gambaran lesi hiperintens pada T2 untuk area yang terkena (kortikal, subkortikal, periventrikuler) serta gambaran atrofi serebri. Pada pasien dipikirkan diagnosa Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE), berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan elekteoensefalografi. Berdasarkan anamnesa didapatkan sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit terlihat gerakan menyentak pada ke-empat anggota gerak, gerakan ini tidak dapat ditahan oleh pasien, pasien tetap sadar. Keluhan disertai pasien menjadi tidak mengerti pembicaraan dan tidak dapat berbicara. Keluhan penurunan prestasi

belajar disangkal, saat ini pasien sekolah kelas 5 SD, riwayat panas badan disangkal, riwayat sakit campak sebelumnya disangkal, riwayat imunisasi dikatakan lengkap. Pada pemeriksaan fisik didapatkan myoclonic jerk (+). Pemeriksaan EEG pada pasien ini menunjukkan gambaran ...................... Pada pasien ini berdasarkan adanya anamnesa riwayat penyakit sebelumnya menyangkal pernah menderita penyakit campak. Penyakit campak diduga sebagai
Early in the course of the disease, the electroencephalogram (EEG) may be normal or show only moderate, non-specific generalised slowing

Anda mungkin juga menyukai