Anda di halaman 1dari 156

Catatan harian seorang muslim

Ya Allah.. berilah kami ridlo-Mu


- Beranda
- Kami
- Sejarah/Manaqib
- Tentang Blog Ini
- Meta
o Daftar
o Masuk log
o RSS Entri
o RSS Komentar
o WordPress.com
- Dilihat
o 1,270,433 kali
- Hikmah
Rasul saw bersabda : "Dan aku demi Allah tidak merisaukan kalian akan musyrik setelah aku
wafat, tapi yg kutakutkan adalah keluasan duniawi atas kalian" (Bukhari Muslim)

Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam perkara baru yang baik maka baginya
pahala dari perbuatan tersebut juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya)
setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam
perkara baru yang buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut juga dosa dari orang yang
melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun (H.R.
Muslim) .
- Berita
o Detik
o Jawa Pos
o Okezone
o Suara Merdeka
- Blogroll
o Mas Warsun
o Nurul Indarti
- Mereka nge-link ke sini
o A Fikri Adriansyah
o Abi Haura
o Abou Fateh
o Alpheratz
o Ariefmas
o Asy Syifaa Wal Mahmuudiyyah
o Bang Parli
o Bicara Salafy
o Blog Casa
o Dunia Lain
o FFNA
o Gus Kacung
o Ijabah
o Jejak Wali
o Kajian Islam
o Kasih Mawar
o orangkuat
o PakAR
o PakAR Fisika
o pang5kholid
o PPSS Nurul Huda
o Rifaudin Ahmad
o RW 021
o Samaranji
o Solusi Umat
o suara hati..
o Ummati Press
o Wanita Shalihah
- Syafiiyah
o Bahrusshofa
o Majelis Rasulullah
o N U
o Ngudi Ilmu
- Kategori
Pilih Kategori

- Arsip
o Maret 2012
o Februari 2012
o Januari 2012
o Desember 2011
o November 2011
o Oktober 2011
o September 2011
o Agustus 2011
o Juli 2011
o Juni 2011
o Mei 2011
o April 2011
o Maret 2011
o Februari 2011
o Januari 2011
o Desember 2010
o November 2010
o Oktober 2010
o September 2010
o Agustus 2010
o Juli 2010
o Juni 2010
o Mei 2010
o April 2010
o Maret 2010
o Februari 2010
o Januari 2010
o Desember 2009
o November 2009
o Oktober 2009
o September 2009
o Agustus 2009
o Juli 2009
o Juni 2009
o Mei 2009
o April 2009
o Maret 2009
o Februari 2009
o Januari 2009
o Desember 2008
o November 2008
o Oktober 2008
o September 2008
o Agustus 2008
o Juli 2008
o Juni 2008
o Mei 2008
o April 2008
o Maret 2008
o Februari 2008
o Januari 2008
o Desember 2007
o November 2007
o Oktober 2007
o September 2007
o Agustus 2007
o Juli 2007
-
Cari

- Terbaru
o Wirdul-Latif
o Bahrain vs PSSI 10-0, Sebuah Catatan
o Sultan Hamengku Buwono VIII
o Pondok Pesantren Tertua di Indonesia
o Ormas Kekerasan itu tak sekedar FPI. Mereka Jauh Lebih Berbahaya.
o Indonesia Bisa Jadi Masalah Baru Bagi Asia
o Para Mantan Kapolda Metro Jaya
o Dengan Niat Amal Dunia Jadi Ladang Akhirat
o Bimbingan Untuk Para Penuntut Ilmu Kitab Talimul Mutaalim
o Ini Dia Gambar Pelaku Pemerkosa Angkot Mikrolet M26
o 6000 Lagu Bajakan Diunduh Tiap Menit
o Gerhana Bulan Total 10 Des 2011
o Tanda-tanda Ulama Akhirat
o Tujuh Kebiasaan Yang Sangat Efektif
o Pria 34 Tahun Punya 15 Anak dari 13 Wanita
- Aturan Komentar
Kami akan menghapus komentar yang:

Tak sopan, memakai HURUF BESAR, berupa caci maki, mengandung kata-kata kebun binatang,
debat kusir, provokasi, di luar konteks, berupa undangan/ reklame.

Komentar yang terlalu panjang, tanpa paragraf dan sulit dipahami. Terlalu banyak singkatan
huruf, mirip spam.

Komentar copy-paste, silakan di-link saja.

Isi komentar adalah tanggung jawab penulis komentar, bukan tanggung jawab pengelola
blog/situs ini.

Harap maklum.
- Komentar

Arif on Terjemah Maulid Diba

ahmad dzikri on 10 Pondok Pesantren Terbaik di

mario on Sejarah dan Perbedaan 4 Madzab

ajid on Ustadz Mahrus Ali (Mantan Kyai

patani darussalam me on Ibn Athailah al Sakandari

Agus Eka Prasetyo on Terjemah Maulid Diba

Terjemah Maulid Diba on Terjemah Maulid Simthud D

yt on Majelis Rasulullah tentang Tah

Generasi pejuang bad on Majelis Rasulullah tentang Tah

agus dj on 10 Pondok Pesantren Terbaik di

tri on Tutorial Cara Membuat Tem

tri on Tutorial Cara Membuat Tem

konni on Macam-Macam Shalawat

isman purwanto on Tahlilan, Tinjauan Sosial

pariyo on Macam-Macam Shalawat
- 12 Terpopuler
o Macam-Macam Shalawat
o 10 Pondok Pesantren Terbaik di Indonesia
o Macam-Macam Shalat Sunnah
o Sejarah Perang Salib
o Ijma dan Qiyas Adalah Juga Sumber Hukum Islam
o Sifat 20 Allah swt
o Berbagai Hadits Tentang Menuntut Ilmu
o Majelis Rasulullah tentang Tahlilan dan Yasinan
o Keutamaan Surat Yasin
o Terjemah Maulid Diba'
o Doa Khatam Al Qur'an
o Shalawat Syifa' (Tibil Qulub)
- Tamu kami

- ..$$..

Kritik Wahaby: Ibadah dan Bidah
Jamaah Tabligh
Tahlil dan tahlilan
Posted by orgawam pada Oktober 1, 2007
Ini komentarku di salah satu blog, yang membahas masalah tahlilan. Saya kutip lagi agar tidak
hilang.
1. Keutamaan tahlil:
Sabda Rasul SAW, Sesungguhnya doa yang terbaik adalah membaca: Alhamdulillaah.
Se-dang zikir yang terbaik adalah: Laa Ilaaha Illallaah.HR. At-Tirmidzi 5/462, Ibnu
Majah 2/1249, Al-Hakim 1/503. Menurut Al-Hakim, hadits tersebut adalah shahih. Imam
Adz-Dzahabi menyetujuinya, Lihat pula Shahihul Jami 1/362.
Keutamaan majelis dzikir:
Dari Abu Hurairah ra. dari Abu Said ra., keduanya berkata, Rasulullah saw. bersabda:
Tidakada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk dzikir kepada Allah
melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan
mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya. (Riwayat
Muslim)
Komentar oleh orang awam May 8, 2007 @ 1:07 am
2. Dalil perintah/anjuran berdoa:Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Kuperkenankan
bagimu (Q.S., Al-Mukmin: 60).
Dan apabila hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya Aku dekat.
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (Q.S., Al-Baqarah: 186).
Komentar oleh org awam May 8, 2007 @ 3:03 am
3. Dalil untuk mendoakan saudaranya:Dan orang-orang yang datang setelah mereka,
berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang
telah mendahului kami dengan beriman. (QS Al-Hasyr 59: 10)
Komentar oleh org awam May 8, 2007 @ 3:14 am
4. Taziyah, yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah dengan pahala-pahala yang
dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendoakan mereka dan mayitnyaImam Nawawi
rahimahullah mengatakan : Yaitu memotivasi orang yang tertimpa musibah agar lebih
bersabar, dan meghiburnya supaya melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan
himpitan musibah yang menimpanya
Kapan? Sebagian ulama Syafiiyah dan Hanbaliah membebaskannya waktunya. Sampai
kapan saja, tidak ada pembatasan waktunya. Sebab, menurut mereka, tujuan dari taziyah
ini untuk mendoakan, memotivasinya agar bersabar dan tidak melakukan ratapan, dan
lain sebagainya. Tujuan ini tentu saja berlaku untuk jangka waktu yang lama.
Komentar oleh org awam May 8, 2007 @ 3:19 am
5. Ketika seorang muslim mendapat musibah (ditinggal mati keluarga, kena gempa, dll),
adalah suatu kesunahan bagi saudara-saudaranya untuk datang takziah kepadanya, serta
menghibur agar bersabar dari cobaan.Tidak ada yang lebih baik dari menghibur serta
meringankan bebannya selain daripada mengajaknya berdzikir, mengingat Allah, dan
berdoa bersama-sama, mendoakan si mayit dan keluarga yg ditinggalkannya.
Inilah yang kemudian menjadi majelis tahlil (tahlilan), karena dalam majelis itu yang
dibaca terutama adalah kalimat tahlil. Dasarnya adalah #1.Mengenai waktu-nya bebas.
JIka tradisi masyarakat adalah hari 3,7,40 dst.. itu hanya tradisi, tidak ada masalah karena
tidak ada larangan dalam kaidah agama. Jika anda mau takziah hari ke 25 pun silahkan.
Yang dilarang itu adalah jika kita mewajibkan peringatan 3, 7, 40 hari dst sebagai
keharusan,.. karena tidak ada dalil yg mewajibkannya.
Komentar oleh org awam May 9, 2007 @ 9:44 am
Blognya ada di sini,
http://tausyiah275.blogsome.com/
Like this:
Suka
Be the first to like this post.
Entri ini dituliskan pada Oktober 1, 2007 pada 21:26 dan disimpan dalam dzikir. Anda bisa
mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Anda bisa tinggalkan
tanggapan, atau lacak tautan dari situsmu sendiri.
110 Tanggapan to Tahlil dan tahlilan
1.
solikin berkata
Oktober 4, 2007 pada 23:47
saya sangat setuju sekali dgn adanya tahlil ini
Balas
o
MangAndri berkata
Mei 1, 2009 pada 06:12
Hari ke 1 sampai 7 kemudian 40 kemudian 100 dan kemudian 1000, ada dalam
agama Hindu India.
Saya punya Bos keturunan India, mereka melaksanakan urutan tanggal tsb..seperti
tahlilan kita.
Apakah kita telah mengikuti ajaran mereka.?
MangAndri
> peringatan hari 3 7 40 dst sudah menjadi tradisi sebagian umat. Namun
mengerjakan tradisi ini bukan berarti mengikuti ajaran hindu. Ini hanyalah
tradisi. Sebuah tradisi tak memandang dari mana ia berasal. Dan sebuah tradisi
mau dikerjakan silakan, tidak pun tak apa. Hanya tradisi yg melawan syariat yg
tak boleh dikerjakan. Dan tahlilan di hari ke sekian2 itu sekarang (saat ini) isinya
adalah dzikir, dan sama sekali tak ada kaitan-nya dengan agama hindu. Tak ada
pula syariat yg dilanggar dalam hal tahlilan ini.
Ada sebuah contoh yang lebih parah. Hari minggu adalah hari besar umat
kristen/nasrani di negara2 Eropa. Mereka sejak dulu libur pada hari itu untuk
beribadah. Nahh .. kini semua umat islam di seluruh dunia ikut-ikutan libur hari
minggu. Apakah itu berarti kita mengikuti ajaran mereka?
Ada di antara umat islam yg mengisi hari minggunya dengan kegiatan2 positif,
spt pengajian, atau ikut majelis dzikir. Mestinya bertahlilan di hari minggu tak
menjadi bidah sesat hanya gara2 karena orang nasrani libur dan ber-misa di
hari yang sama.
Maaf kl tak berkenan
Balas

Supriyadi berkata
November 10, 2009 pada 13:40
Sebaiknya dikaji lagi ada unsur keyakinan tidak pada hari ke 7 , 40 , 100
dst, kalau ada unsur keyakinan didalamnya yg bertentang dng aqidah
Islam, jelas itu jadi masalah, karena tradisi yg bertentangan dgn Aqidah
Islam harus ditinggalkan . Islam itu diturunkan untuk meluruskan
keyakinan manusia yang sudah menyimpang dari ajaran tauhid.

kndy berkata
Maret 13, 2010 pada 05:23
beda nya islam dg agama lain adalah kt ibadah kpn saja..selain shalat,
puasa ramadhan dan haji yg ditentukan waktunya..tujuan ibadah kita kn
utk mendekatkan dan mengingat Allah swt..masa utk mengingat kt harus
ikut2 kaya agama laen (hindu , nasrani dll )yang ibadahnya ditentukan
mis pada nasrani hari minggu..jd jangan dsamakan dg agama laen..yang
jadi permasalahan kn knp saat kita mau beribadah atau mengingat Allah
swt harus pada waktu2 tertentu..tgl ini tgl itu tgl sekian..kecuali yg sdh d
tetapkan oleh syariat islam seperti yg td diatas (shalat,puasa
ramadhan,haji)..Nabi Muhammad saw mengajarkan kita utk berdzikir
dsaat kt tdr, berdiri, berjalan kapan saja tanpa batasan waktu..Apa yang
Alquran nyatakan Tentang Zikir-Allah
Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau
dalam keadaan berbaring (3:191)
o
mufari berkata
Maret 25, 2011 pada 06:12
sebenarnya tahlilan, peringatan 7,40,100,1000 itu cuma digunakan sarana
dakwah dan silaturahmi.jadi bukan termasuk ritual ibadah. orang banyak
mengatakan itu Bidah sesat padahal dalam kegiatan itu banyak sisi
positifnya
Balas

Muh.Shahrir berkata
September 25, 2011 pada 11:36
Setiap bidah adalah tercela. Inilah yang masih diragukan oleh sebagian
orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bidah itu sesat, ada pula
bidah yang baik (bidah hasanah). Untuk menjawab sedikit kerancuan ini,
marilah kita menyimak berbagai dalil yang menjelaskan hal ini.
[Dalil dari As Sunnah]
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma, beliau
berkata, Jika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah
matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah,
seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan
Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore. Lalu
beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Jarak antara pengutusanku
dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Amma badu. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wa
sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bidah) dan setiap
bidah adalah sesat. (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasai dikatakan,


Setiap kesesatan tempatnya di neraka. (HR. An Nasai no. 1578. Hadits
ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dhoif Sunan An
Nasai)
Diriwayatkan dari Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu, beliau
berkata, Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat
yang begitu menyentuh, yang
membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar
(takut). Lalu ada yang mengatakan,


Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa
yang engkau akan wasiatkan pada kami? Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,


Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap
mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah budak
Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka
dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib
berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rosyidin yang
mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia
dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-
adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bidah dan setiap
bidah adalah sesat. (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676.
Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa
Dhoif Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dhoif Sunan Tirmidzi)
[Dalil dari Perkataan Sahabat]
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata,


Setiap tahun ada saja orang yang membuat bidah dan mematikan
sunnah, sehingga yang hidup adalah bidah dan
sunnah pun mati. (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mujam
Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma Zawaid
bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Masud radhiyallahu anhu berkata,


Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam, pen), janganlah
membuat bidah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua
bidah adalah sesat. (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mujam
Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma Zawaid
bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Itulah berbagai dalil yang menyatakan bahwa setiap bidah itu sesat.
KERANCUAN: BIDAH ADA YANG TERPUJI ?
Inilah kerancuan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang
bahwa tidak semua bidah itu sesat namun ada sebagian yang terpuji yaitu
bidah hasanah.
Memang kami akui bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan
bidah (secara istilah) dengan mengatakan bahwa bidah itu ada yang
tercela dan ada yang terpuji karena bidah menurut beliau-beliau adalah
segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafii dari Harmalah bin
Yahya. Beliau rahimahullah berkata,


Bidah itu ada dua macam yaitu bidah yang terpuji dan bidah yang
tercela. (Lihat Hilyatul Awliya, 9/113, Darul Kitab Al Arobiy Beirut-
Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob
tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih.
Umar berkata,


Sebaik-baik bidah adalah ini. (HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bidah semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah
paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa bidah itu ada yang
baik (bidah hasanah) dan ada yang tercela (bidah sayyiah). Sehingga
untuk sebagian perkara bidah seperti merayakan maulid Nabi atau shalat
nisfu Syaban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya kurang tepat,
mereka membela bidah mereka ini dengan mengatakan Ini kan bidah
yang baik (bidah hasanah). Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil
yang telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu alaihi wa
sallam maupun perkataan sahabat, semua riwayat yang ada menunjukkan
bahwa bidah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali pembaca
sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat
mengetahui hakikat bidah yang sebenarnya.
SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN:
KETAHUILAH SEMUA BIDAH ITU SESAT
Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam
sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan
(dalam agama, pen), setiap bidah adalah sesat, dan setiap kesesatan
adalah di neraka serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-
adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu
alaihi wa sallam. Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan
makna berbagai hadits yang mencela setiap bidah. Barangsiapa
menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang
hina. (Iqtidho Shirotil Mustaqim, 2/88, Taliq Dr. Nashir Abdul Karim Al
Aql)
Tidak boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu alaihi wa
sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bidah adalah
sesat, lalu mengatakan tidak semua bidah itu sesat. (Iqtidho Shirotil
Mustaqim, 2/93)
Perlu pembaca sekalian pahami bahwa lafazh kullu (artinya: semua)
pada hadits,


Setiap bidah adalah sesat, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab
dikenal dengan lafazh umum.
Asy Syatibhi mengatakan, Para ulama memaknai hadits di atas sesuai
dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh
karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bidah
yang baik. (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida, hal. 91, Darul Ar Royah)
Inilah pula yang dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat ini.
Mereka menganggap bahwa setiap bidah itu sesat walaupun sebagian
orang menganggapnya baik. Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma
berkata,


Setiap bidah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.
(Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Juga terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Masud radhiyallahu
anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat
orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir,
bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Masud mengingkari
mereka dengan mengatakan,

- -

.
Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari
amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat
Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian
masih ada. Pakaian beliau shallallahu alaihi wa sallam juga belum rusak.
Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya,
apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya
Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bidah)?
.


Mereka menjawab, Demi Allah, wahai Abu Abdurrahman (Ibnu
Masud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.
Ibnu Masud berkata, Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan,
namun tidak mendapatkannya. (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain
Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Masud- memaknai
bidah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bidah yang baik
(hasanah) dan bidah yang jelek (sayyiah).
BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN
OLEH UMAR
[Sanggahan pertama]
Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia
bukanlah bidah secara syari. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau
shallallahu alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih
secara berjamaah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam.
Beliau juga pernah shalat secara berjamaah pada sepuluh hari terakhir
selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bidah secara syari.
Sehingga yang dimaksudkan bidah dari perkataan Umar bahwa sebaik-
baik bidah adalah ini yaitu bidah secara bahasa dan bukan bidah secara
syari. Bidah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan
kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.
Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah
menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah
beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak
dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu alaihi wa sallam wafat
(maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu alaihi wa
sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai
bidah secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan
muhdats/bidah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) sebagaimana
perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang
Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bidah di sini
adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para
Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho Shirotil Mustaqim,
2/93-96)
[Sanggahan Kedua]
Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bidah yang
baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits
Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela).
Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bidah adalah
sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bidah yang baik. Sikap
yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam yang mencela bidah secara umum tetap
harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho
Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan Ketiga]
Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan
dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang bersifat umum yang
menyatakan bahwa setiap bidah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan
mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bidah yang baik
(hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan
adalah bidah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Quran, As Sunnah
atau ijma kaum muslimin. Karena ingatlah berdasarkan kaedah ushul
fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap
kembali pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin
memasukkan amalan ini dalam bidah hasanah maka harus ada dalil dari
Al Quran, As Sunnah atau ijma. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan
benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap
perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bidah)
adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits
setiap bidah adalah sesat adalah termasuk lafazh umum yang tetap
dalam keumumannya (aam baqiya ala umumiyatihi) dan tidak
memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan
berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bidah.
Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana
yang dipakai oleh sahabat Umar?
Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman
Umar radhiyallahu anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di
generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka
tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bidah (tanpa
memahamkan apa bidah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan
kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan
istilah bidah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa,
maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.
Misalnya HP ini termasuk bidah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya
menyebut bahwa HP ini termasuk bidah karena hal ini bisa menimbulkan
kerancuan di tengah-tengah umat.
Kesimpulan: Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun
perkataan sahabat, setiap bidah itu sesat. Tidak ada bidah yang baik
(hasanah). Tidak tepat pula membagi bidah menjadi lima: wajib, sunnah,
mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat
menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
HUKUM BIDAH DALAM ISLAM
Hukum semua bidah adalah terlarang. Namun, hukum tersebut
bertingkat-tingkat.
Tingkatan Pertama: Bidah yang menyebabkan kekafiran sebagaimana
bidah orang-orang Jahiliyah yang telah diperingatkan oleh Al Quran.
Contohnya adalah pada ayat,


Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan
ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan
persangkaan mereka: Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala
kami. (QS. Al Anam [6]: 36)
Tingkatan Kedua : Bidah yang termasuk maksiat yang tidak
menyebabkan kafir atau dipersilisihkan kekafirannya. Seperti bidah yang
dilakukan oleh orang-orang Khowarij, Qodariyah (penolak takdir) dan
Murjiah (yang tidak memasukkan amal dalam definisi iman secara
istilah).
Tingkatan Ketiga: Bidah yang termasuk maksiat seperti bidah hidup
membujang (kerahiban) dan berpuasa diterik matahari.
Tingkatan Keempat: Bidah yang makruh seperti berkumpulnya manusia
di masjid-masjid untuk berdoa pada sore hari saat hari Arofah.
Jadi setiap bidah tidak berada dalam satu tingkatan. Ada bidah yang
besar dan ada bidah yang kecil (ringan).
Namun bidah itu dikatakan bidah yang ringan jika memenuhi beberapa
syarat sebagaimana disebutkan oleh Asy Syatibi, yaitu:
Tidak dilakukan terus menerus.
Orang yang berbuat bidah (mubtadi) tidak mengajak pada bidahnya.
Tidak dilakukan di tempat yang dilihat oleh orang banyak sehingga orang
awam mengikutinya.
Tidak menganggap remeh bidah yang dilakukan.
Apabila syarat di atas terpenuhi, maka bidah yang semula disangka
ringan lama kelamaan akan menumpuk sedikit demi sedikit sehingga
jadilah bidah yang besar. Sebagaimana maksiat juga demikian.
(Pembahasan pada point ini disarikan dari Al Bida Al Hawliyah,
Abdullah At Tuwaijiri, http://www.islamspirit.com)
Pembahasan berikut adalah jawaban dari beberapa alasan dalam membela
bidah. Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk Allah.
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimurojaah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel http://www.muslim.or.id

Imam berkata
September 25, 2011 pada 17:44
Untuk Saudara Muh.Shahrir ,
Silakan Saudara lihat tulisan saya di artikel berjudul Ustad Mahrus Ali,
semoga Anda bisa membedakan mana pendapat yang benar dan salah.
Sehingga mata hati Anda bisa terbuka. Terimakasih.
2.
Sigis berkata
Oktober 8, 2007 pada 03:21
Artikel yang bagus. Saya tertarik dengan kalimat yang terakhir : Yang dilarang itu
adalah jika kita mewajibkan peringatan 3, 7, 40 hari dst sebagai keharusan,.. karena tidak
ada dalil yg mewajibkannya.
Terjadi kesalahkaprahan di masyarakat kita (setidaknya yang saya tahu di Jawa) yang
mewajibkan peringatan tersebut sebagai hukum tak tertulis. Dan satu hal lagi, masyarakat
yang tidak mampu memaksakan diri mengadakan peringatan itu dengan mengadakan
jamuan-jamuan sedangkan yang mampu menyelenggarakannya secara berlebihan.
Padahal yang penting kan dzikirnya, bukan hidangannya.
> Setuju mas. Jika ada yg menganggap tradisi ini (3, 7, 40 hr dst) wajib, itulah yg perlu
diluruskan. Demikian juga dalam hal memaksakan diri. Tetapi kita tidak bisa memvonis
sesuatu (tradisi) sebagai bidah (sesat) hanya berdasar anggapan (salah-kaprah)
masyarakat. Pegangan dalam beragama (untuk hal2 yg baru) di zaman ini adalah fatwa
ulama. Setahu kami, tidak ada seorang ulama pun yg mengatakan itu wajib.
Adalah bidah (dlolalah) .. mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Demikian juga, bidah (dlolalah) .. mengharamkan sesuatu (kegiatan) yang
tidak ada hujah larangannya di dalam syariat. Ini adalah membuat syariat baru.
Sebagaimana keterangan syeikh Muhammad Alwi Al Maliki (ttg bidah yg sesat/dlolalah)
sbb:
dalam konteks (bidah) ini adalah adanya penambahan dalam urusan agama
supaya menjadi urusan agama, dan penambahan dalam masalah syariat supaya
menjadi suatu bentuk syariat, sehingga menjadi suatu syariat yang diikuti oleh umat
Islam dan disandarkan pada pemilik syariat (Nabi Muhammad Saw)
Maka, berfatwa mengatakan tradisi ini (peringatan kematian 3, 7, 40, 100 hr, dst)
sebagai kewajiban dlm agama adalah bidah dlolalah.
Demikian juga, berfatwa dengan mengharamkan (membidah sesatkan) tradisi ini adalah
bidah (dlolalah) itu sendiri, karena tidak ada dalil yang menyebabkan haramnya. Hal
ini sama saja membuat (menambah) syariat baru dalam agama.
Wallahu alam.
Balas
o
oni berkata
Mei 28, 2009 pada 04:02
barang siapa yang mudah menuduh sesat, bidah, masuk neraka, berarti sudah
termakan profokasi yahudi agar kita terpecah belah
Balas
o
uut berkata
Oktober 28, 2009 pada 00:58
info aja sebagai pencari kebenaran
BENARKAH Muhammad Alwi Al Maliki SEORANG MUHADDITSUL
HARAMAIN ?
Redaksi Al Furqon Menjawab :
http://www.mail-archive.com/assunnah@yahoogroups.com/msg16705.html

> Telah ku baca. Sebenarnya ku tak ingin menanggapi hal2 semacam ini.
Biarlah umat yang menilai sendiri. Sudah menjadi kebiasaan para wahabiyun
untuk merendah-rendahkan dan men-sesat-sesat-kan pada pihak yang berbeda
paham.
Setahu saya, syaikh Muhammad ibn Alwi Al Maliki mendapat gelar Ph.D di
bidang hadits dari Univ. Al Azhar, Kairo, Mesir. Mendapatkan gelar professor di
bidang yang sama. Selain itu, beliau juga belajar berguru pada ulama2 yang
lain.
Simaklah sejarah hidup beliau dari berbagai sumber, sebelum menilai.
Mohon maaf kl tak berkenan. Wallahu alam.
Balas

uut berkata
Oktober 29, 2009 pada 13:10
Sudah menjadi kebiasaan para wahabiyun untuk merendah-rendahkan dan
men-sesat-sesat-kan pada pihak yang berbeda paham.
benarkah demikian?
Salafy adalah Pemersatu bukan Pemecah-Belah
silahkan kunjungi situs jika kalian semua ingin mencari kebenaran,karena
saya semasa di Jawa timur merasakn kungkungan yang sangat hebat akan
ilmu yang luas ini.simak bantahan di
http://belasalafy.wordpress.com/2009/09/30/salafy-adalah-pemersatu-
bukan-pemecah-belah/

wawan berkata
Maret 25, 2011 pada 12:31
to simpatisan wahabi,
pernyataan wahabi itu pemersatu itu dasarnya apa? khayalan?
yg jelas2 fakta di lapangan aja, wahabi itu mencela NU, memusuhi
Muhammadiyah, dan ormas2 yg lain.. sesama wahabi pun mereka saling
cela..
mau contoh?
3.
bernardi berkata
Oktober 9, 2007 pada 07:59
Katakanlah yang haq itu haq dan yang batil itu batil. Jangan dibuat samar-samar.
Sehingga membingungkan umat. Pada dasarnya semua bidah itu sesat. Jadi semua
urusan ibadah yang tidak ada dalil (dasar) dalam Al Qur;an dan Al Hadits adalah Bidah.
Kita tidak dilarang membaca kalimat Tahlil (lailahailallah)tetapi yang tidak ada dalilnya
adalah mengadakan tahlilan dan mengharap pahala dari Allah dari kegiatan tahlilan itu.
> Tidak ada kami buat samar2. Pendapat kami tegas. Simaklah,
1. Imam Syafii rhm dan jumhur ulama ahlus sunnah wal jamaah membagi bidah
menjadi dua. Dan mengenai bidah yg sesat telah dijelaskan secara gamblang. Itulah
pegangan kami.
2. Benar..tidak ada dalil perintah mengadakan tahlilan (majelis tahlil), dan juga tidak
ada dalil larangannya.
Yang ada adalah dalil keutamaan dzikir (termasuk tahlil) dan majelis dzikir yang
disebutkan dalam banyak hadits. Mestinya ini berlaku juga untuk majelis tahlil (tahlilan).
Jika majelis dzikir (majelis tahlil, tahlilan) adalah sesuatu yg utama, maka mengadakan
kegiatan majelis ini mestinya berpahala.
3. Membidahkan (dengan konotasi sesat) tradisi (tahlilan) ini adalah bidah (sesat) itu
sendiri. Karena hal ini sama dengan mengharamkan sesuatu yg tidak ada larangan
dalam syariat. Mengharamkan hal yg halal adalah membuat syariat baru. Sedangkan
membuat syariat baru berarti menambah2 dalam urusan agama. Inilah bidah (sesat)
yang sejati.
4. Tahlilan ini adalah bukan ibadah mahdah. Maaf .. tampaknya anda rancu antara
ibadah mahdah dan bukan mahdah, sehingga salah persepsi ttg ibadah dan bidah. Coba
simak dulu ini dan ini
Balas
o
MangAndri berkata
Mei 1, 2009 pada 06:18
Hari ke 1 sampai 7 kemudian 40 kemudian 100 dan kemudian 1000, ada dalam
agama Hindu India.
Saya punya Bos keturunan India, mereka melaksanakan urutan tanggal tsb..seperti
tahlilan kita.
Apakah kita telah mengikuti ajaran mereka.?
Islam di India sendiri tidak ada urutan tahli 1-7 40 100 dll..mereka hanya
melaksankan tahlil cuma 5 hari. dan yg masak masakan adalah tetangganya,
bukan keluarga yg meninggal
MangAndri
Balas
4.
Nurcholis Arif berkata
Oktober 22, 2007 pada 09:46
Kita memandang Tahlilan bukanlah suatu bidah yang harus ditakuti oleh kalangan-
kalangan tertentu, pelarangannya adalah sebuah doktrin untuk menjahui kalangan
nahdiyin .

> majelis dzikir ini (tahlilan) tidak hanya diamalkan oleh kalangan nahdiyin
(Jawa/Indonesia) saja. Banyak umat islam di dunia ini juga mengamalkannya, walaupun
mungkin pelaksanaannya tidak sama persis.
Balas
o
Supriyadi berkata
November 10, 2009 pada 13:58
Mari kita kaji lagi apakah dijaman Rasul, sahabat/tabiin dan tabiit tabiin kegiatan
tahlilan (serangkaian acara dari pengiriman pahala alfateha, zikir dan doa) pada
hari tertentu di tempat kematian)pernah dilakukan. Kalo tidak pernah dilakukan 3
generasi islam yg dijamin surga itu, sebaiknya ditinggalkan saja. Mari
bersodaqah, berzikir dan berdoa / mendoakan orang lain sesuai tuntunan
Rasulullah SAW. Agar apa yang kita lakukan tidak sia-sia.
> Jika seperti itu, maka umat ini akan berhenti hanya sampai 3 generasi itu
saja. Ini tak boleh, itu tak boleh karena tak dilakukan 3 generasi pertama.
Mendengarkan pengajian lewat radio (ibadah), shalat bercelana panjang
(ibadah), haji pakai pesawat (ibadah), melempar jumrah (ibadah) dari lantai 3.
Beberapa waktu lalu, ada yg mengatakan, Kalau tak ada perintah .. tak
dikerjakan Nabi saw, maka itu sesat (tinggalkan). Kemudian dibuktikan bahwa
ada amal perbuatan yg dikerjakan sahabat dan tak dikerjakan baginda Nabi saw.
Nabi saw merestuinya. Kemudian diubah kriteria itu, Kalau tak dikerjakan para
sahabat Nabi saw, maka itu sesat. Kemudian terbukti pula ada yg dikerjakan di
zaman tabiin/tabiit tabiin yg tak dikerjakan para sahabat. Sekarang ada kriteria
baru seperti di atas, Kalau tak dikerjakan 3 generasi pertama islam, maka itu
sesat (tinggalkanlah). Sedangkan ada banyak bukti amal perbuatan (ibadah) di
zaman ini yg tak dilakukan 3 generasi awal islam. Contoh antara lain ada di atas
itu.
Maaf .. kriteria spt itu tak konsisten. Membingungkan.
Bagi kami sederhana saja. Menurut kami, yg tak boleh itu yang menentang
syariat. Sedangkan hal-hal baru yg tak bertentangan dgn syariat silakan. (Jadi
ingat definisi bidah dlalalah dan bidah hasanah nya imam Syafii)
Balas

uut berkata
November 14, 2009 pada 07:33
Kupas Tuntas Maulid Nabi & Tahlilan
http://kajian.net/kajian-
audio/Ceramah/Zainal%20Abidin%20Syamsudin/Kupas%20Tuntas%20M
aulid%20Nabi%20%2526%20Tahlilan
Silahkan kunjungi kajian Download berbagai macam Ceramah Audio
Kajian Islam MP3 dari mantan NU tambak beras di
http://kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Zainal%20Abidin%20Syamsudin
5.
cak_yud berkata
Oktober 26, 2007 pada 03:25
ya kalo da yang ga setuju ya itu wajar perbedaan itu kan adalah Ramhat.
kalo memang Anda adalah orang yang ga setuju dengan tahlilan, ya anda diam saja dan
ga usah membidahkan bahkan menyakiti hati orang yang suka tahlilan.
toh anda juga paham kalo kami ini punya dasar hukum, ya meskipun anda ga mau setuju
dan ga mau tau dg dasar hukum kami..
so, ana amaluna walakum amalukum..
salam kebangkitan Islam..
> Maaf mas.. anda salah sasaran
Balas
6.
bedjo berkata
Oktober 30, 2007 pada 06:38
orang yang pahalanya belum cukup untuk menutupi dosanya dilarang untuk tahlilan.
mengapa?
karena jika dia melakukan tahlilan lalu siapa yang akan menutupi dosa-dosanya?
anak-anaknya?
mana mungkin?
apakah dia bisa memastikan bahwa anak-anaknya tersebut matinya lebih akhir daripada
dia!
orangtuanya? apalagi mereka!
lalu siapa?
> Terus terang saya tidak paham maksud anda
Anyway.. melarang sesuatu hal yg tak ada sebab larangan adalah bidah (dlolalah).
Sedangkan tahlilan itu di dalamnya ada dzikir yang utama. Lihatlah fadlilah2 keutamaan
dzikir dan majelis dzikir di banyak hadits dan al quran. Ridlo Allah sangat dekat kepada
mereka. Saya copykan lagi hadits di atas,
Rasulullah saw. bersabda: Tidakada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis
untuk dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi
rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan
malaikat yang ada di sisi-Nya. (Riwayat Muslim)
Balas
o
Supriyadi berkata
November 10, 2009 pada 14:47
Mari kita baca ayat ini:

.
Sesiapa yang mengerjakan amal yang soleh maka untuk dirinya sendiri dan
sesiapa berbuat kejahatan maka (dosa-dosanya) atas dirinya sendiri dan tidaklah
Tuhanmu menganiaya hamba.
FUSHILAT, 41:46
Tidak ada larangan berzikir dan tidak ada larangan berdoa, itu Haq. Tapi
bagaimana kalo berzikir dan bedoa dilakukan dengan cara /dicampur dgn
keyakinan agama non ISLAM yg bertentangan Aqidah. Kenapa kita tidak
melakukan zikir dan doa sesuai contoh Rosulullah SAW saja.
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits Aisyah radhiallahu anha, Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam bersabda:


Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut
tertolak. (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan
perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun
manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik
untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum
tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu
alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya
radhiallahu anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu anhusalah seorang sahabat
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkata: Kami menganggap/
memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan
makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).
(H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
> Hal ini telah dibahas pula. Yang dimaksud meratap itu adalah adanya pesta.
Namun jika orang bertakziah bersama-sama, maka pastilah berkumpul.
Mendoakan/berdzikir bersama-sama adalah hiburan terbaik bagi keluarga.
Makanan sekedarnya yang dihidangkan adalah wajar.
Tentu anda dapat membedakan antara pesta dengan takziah dan mendoakan
sesama muslim.
Balas

Mahyudin berkata
Februari 24, 2010 pada 07:48
Pada kenyataannya , ya, jelas pesta, gimana kalo ga ada jamuan atau ga
ada duit utk bayar ustadnya mao ga ?
saya pernah ngadain tahlilan cuma sampe hari ke tiga karena dananya ga
cukup sudah kepake buat bayar penguburan, biaya mandiin mayat,biaya
sholat, beli perlengkapan mengkapani mayat dsteh.. malah dimusuhin
sama sodara dari almarhum bapak saya difitnah macem macem saya
dibilang ga sayang sama almarhum, saya dibilang aliran sesat, makan uang
selawatan ( uang baskom ),dituduh wahabi dst karena masyarakat sudah
mendarah daging menganggap tahlilan itu suatu keharusan yang tidak
boleh di langgar.Tahlilnya sih bagus,baca doa untuk yang meninggal saya
setuju, silaturahim jg cakep boleh di terusin, tapi ketika banyak embel-
embelnyasaya jadi ga sreg, menurut saya Tahlilan sangat banyak mudarat
banyak menimbulkan perbecahan umat islam itu sendiri.
o
ahmad berkata
April 7, 2011 pada 18:28
trs kalo yg mati tu ga punya anak, ga punya cukup harta unt amal jariyah
gimana?? apakah Islam sejahat itukah? dan dah jd tanggungjwb umat unt
mendoakannya, salah satunya ya lewat tahlilan itu
Balas
7.
hadi ipb berkata
Oktober 31, 2007 pada 08:18
mari kita perbanyak dzikir setiap hari..
buat mas bernardi : klo pemahaman semua bidah sesat pa ente akan mengatakan sesat
kebijakan sayyidina Umar untuk MEMBUKUKAN alquran..
soalnya gk da tuh kata kata perintah membukukan quran..
tetapi tu da dlm sejarah umat islam n gk da satupun sahabat nabi yg mengatakan bidah
sesat..
mari kita tu berbicara secara intelek..
majlis tahlil pa sich bedanya ma majlis zikir..sama2 berzikir kpd allah..so keduanya
sama2 amalan mulia..
> Salam kenal mas hadi.. Tentang bidah hasanah ada di sini, dan sejarah pembukuan
al quran ada di sini. Semoga manfaat.
Balas
o
ahmad berkata
April 7, 2011 pada 18:22
betul mas, masa semua hrs jd hafidh, mushaf tu kan jg dibaca ama mereka yg
suka nuduh bidah, pokoknya tahlil hrs jalan trss
Balas
8.
Lukman berkata
November 1, 2007 pada 08:41
Saya sangat stuju dengan smua pendapat yang membolehkan tahlilan, sbab yang tahu
niatan seseorang dalam melaksanakan ibadah adalah cuma Allah dan dia sendiri. Hal ini
saya sampaikan karena ada banyak sindiran miring yang salah satu diantaranya ada yg
mengatakan bahwa orang yang ikut tahlilan hanya mengharapkan makanan saja.
Mas Hadi ipb anda telah kemukakan contoh yg sangat baik. Sy sangat stuju.
> Adat ketimuran (Jawa khususnya), semelarat apapun .. malu untuk meminta-minta
secara langsung kepada tetangga. Tradisi berkat ini adalah salah satu sarana untuk
sedekah kepada sekitar. Namun sebagaimana komentar #2, jika yg meninggal adalah
keluarga saudara (tetangga) kita yg miskin .. maka tak perlu memaksakan diri. Dan baik
sekali jika ada saudara (tetangga) yang kaya yg justru membantunya.
Balas
9.
Lukman berkata
November 1, 2007 pada 08:49
Assalamualaikum
Satu hal lagi buat mas bedjo, apa anda yakin akan masuk surga hanya dengan bekal
amalan ibadah meski hidup anda hanya diperuntukan bagi beribadah terus ? mungkin
anda lupa bahwa masuknya seseorang kedalam surga adalah atas rahmat Allah semata,
namun Allah akan memberi rahmat kepada mereka yang mencintaiNya dan yang
dicintaiNya diantaranya adalah ahli dzikir.
Maaf saya asal nyelonong saja.
Wassalamualaikum
Balas
10.
ardun berkata
November 13, 2007 pada 11:43
prinsip-2 ajaran Islam yang hrs diamalkan dg bersih, utuh dan berjamaah, bersih
diantaranya bersih aqidah dr syirik, bersih ibadah dari bidah, biar amalnya jd ga sia-2, kl
ukurannya yg penting baik, baiknya hrs menurut Allah & rasulnya bukan baik menurut
ukuran masing-2
Sebagian muslimin ketika dinasihati untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan bidah
mereka, tidak jarang diantara mereka berdalih bahwa yang mereka lakukan adalah bidah
hasanah, sehingga mereka berkeras bahwa yang mereka lakukan adalah kebaikan. Artikel
ini menjelaskan bahwa semua bidah adalah sesat dan dijelaskan syubhat-syubhat yang
biasanya digunakan sebagai alasan pembenaran bidah mereka.
Telah disebutkan oleh Rasulullah bahwa:
Berhati-hatilah dari hal yang baru, karena setiap yang baru itu bidah dan setiap
kebidahan itu sesat.(HR. Tirmidji dan Ibnu Majah).
Barangsiapa yang membuat-buat dalam perkaraku(agamaku) ini, sesuatu yang bukan
darinya maka dia tertolak.(HR. Bukhari Muslim).
Barangsiapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya, maka dia
tertolak.(HR. Muslim).
xxxxxxxxxxx cut xxxxxxxxxxxxxxx
> Salam kenal mas ardun.. maaf komentar anda saya cut. Terlalu panjang dan hanya
copy paste. Silakan simak alasan kami.
Ada beberapa hal yang perlu ditanggapi,
1. Artikel panjang anda tidak menjawab argumen. Kami bahas majelis tahlil, sedangkan
anda menerangkan tentang bidah. Tidak pas kan.
2. Tahlil dan tahlilan ini bukan bidah sesat. Ada hujahnya. Bukankah awal tulisan ini
sendiri justru hujah yang menjadi dasar umat untuk mengamalkannya. Men-sesat-kan
kepada orang yang berdzikir (tahlil) adalah sesat itu sendiri. Simak komentar #2 dan #3.
Berhati-hatilah.
3. Artikel anda ini dibahas di Majelis Rasulullah. Jawaban habib munzir ada di sana.
Terbukti di artikel anda ada perbuatan licik gunting tambal thd ucapan para ulama
terdahulu. Ucapan para ulama itu dipotong sehingga makna-nya berbelok. Sudah berapa
banyak umat tertipu oleh artikel macam ini (termasuk mungkin mas ardun).
Perbuatan gunting tambal, serta membelokkan makna ucapan para ulama ini adalah
hal-hal baru yang tak ada tuntunan dari kanjeng Nabi saw, serta tidak mencontoh
akhlak beliau. Inilah contoh bidah sesat.
4. Kita diciptakan hidup di dunia ini adalah untuk beribadah. Sehingga semua perbuatan
kita seharusnya bernilai ibadah. Tampaknya anda tdk paham bahwa ada ibadah ghairu
mahdah. Silakan simak catatan kami tentang bidah dan konsep ibadah di sini, sini, sini,
dan sini.
Mohon maaf kalau tak berkenan.
Wallahu alam.
Balas
11.
hafidz berkata
November 14, 2007 pada 13:25
sy kira penjelasan diatas itu udah jelas. kita tdk dilarang untuk melakukannya, asal jangan
jadikan itu kewajiban, krn tidak ada dasar hukumnya untuk diwajibkan.
kalo ada yg masih mendebat, sy kira beliau2 ini masih pada mengedepankan egonya
masing2. kalo emang ada dasar hukum untuk mewajibkannya sy pengen tau. thxs
Balas
12.
Radhana Dwi Wibowo berkata
November 18, 2007 pada 14:22
Assalamu alaikum
Salam kenal dan salam ukhuwah sahabat.
Perbedaan pandangan di dalam melihat sebuah tahlilan akan tetap ada di kalangan umat
Islam Indonesia. Untuk melihat sebuah tahlilan, mungkin kita perlu flashback ke zaman
perjuangan Wali Songo, dimana tahlilan ini merupakan salah satu pilot project dakwah
Wali Songo. Mungkin dari situ kita bisa lebih obyektif memandang tahlilan.
Bagi yang tidak setuju, ya silahkan, kita punya dasar hukum yang sama, Al Quran dan
Hadits, tetapi pemahaman kita berbeda. Menyikapi masalah tahlilan, cara pandang kita
seperti melihat gelas yang berisi setengah penuh air. Kita bisa mengatakan gelas itu
setengah penuh, ataupun setengah kosong.
Bagi saya sendiri yang notabene juga orang nahdliyin, tidak pernah ada memang zaman
Rasulullah tahlilan itu. Tahlilan mulai dikenalkan oleh para Wali Songo. Dan di NU-pun
saya tidak pernah diajari tentang harus diadakan 3,7,40,100hr, dll. Di pesantren salaf
tradisional malah tahlilan biasa diadakan malam Jumat..mohon dipahami, saya
mengatakan biasanya, bukan diwajibkan. Kalo ngga gitu sekalian dibarengkan
istighotsah. Hal ini karena didasarkan pada keutamaan hari Jumat.
Mungkin antum semua bisa sedikit membaca tulisan ringan saya di:
http://anadhar.multiply.com/journal/item/9
> Waalaikum salam wrwb. Salam kenal mas radhana. Perbedaan itu akan selalu ada
dalam segala hal. Itu manusiawi bahwa tidak ada manusia persis sama. Yang
diharapkan adalah toleransi, dan keluhuran akhlak, sebagaimana telah dicontohkan oleh
junjungan kita Nabiyullah saw. Dan janganlah hukum syariat diubah-ubah sesuai selera,
hanya karena kita tidak suka (atau sangat suka) pada sesuatu hal.
Balas
13.
Dewasurya berkata
November 23, 2007 pada 07:49
Assalamualaikum. wr wb
Salam kenal..
senang sekali ada tulisan yg bisa menjelaskan bahwa tahlilan itu tidaklah sesat dengan
memberikan dalil2x yg terkait.
Mudah2xan ada penjelasan2x untuk hal seperti ini yg dirangkum menjadi buku yg dijual
di toko2x buku untuk mencounter dari buku2x yang banyak sekali beredar menuliskan
tentang bidah dan kesesatan2x umat islam, seperti masalah tahlilan, qunut dll.
> Waalaikum salam wrwb Salam kenal juga mas dewasurya. Coba hubungi majelis
rasulullah untuk buku yg dimaksud. Ada juga buku2 lain seperti 40 Masalah Agama-
nya KH Siradjudin Abbas.
Amien.. semoga doa anda dan kita dikabulkan Allah swt.
Balas
14.
orgawam berkata
November 23, 2007 pada 21:01
Tambahan dari MR
TAHLILAN
Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah
acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya
sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca
kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asmaul husna, shalawat
dan lain-lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau
namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa
ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan
berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan
memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal
itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?
Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha
puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yg Jelas dalam
Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yg telah
wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan
Muslim bahwa seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yg telah wafat, dan
Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk
dirinya dan untuk ummatnya, Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad
dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad (Shahih Muslim hadits no.1967).
dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur
(kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yg memungkirinya apalagi
mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam
Syafii, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : Kuhadiahkan, atau wahai Allah
kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini.., bila hal ini tidak disebutkan
maka sebagian Ulama Syafiiy mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk
mayiit, tapi berikhtilaf adalah pd Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yg
menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa min amalilghair (mendapat
manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : DAN TIADALAH BAGI SESEORANG
KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini
telah mansukh dg ayat DAN ORAN ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI
KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN,
Mengenai hadits yg mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah
amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yg bermanfaat, dan anaknya yg
berdoa untuknya, maka orang orang lain yg mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas
jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan
terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yg dihadiahkan untuk si mayyit, dan
juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Quran untuk mendoakan
orang yg telah wafat : WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI
DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM
KEIMANAN, (QS Al Hasyr-10).
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yg
memungkirinya, siapa pula yg memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya
syaitan yg tak suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat quran,
dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dg tujuan agar semua orang awam bisa
mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Quran dalam disket
atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda
ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk
mempermudah muslimin terutama yg awam.
Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alquran dengan
Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket,
atau sekumpulan kitab,
bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,
munculkan satu dalil yg mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin
untuk mendoakan yg wafat) tidak di Al Quran, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul
Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yg mengada ada dari
kesempitan pemahamannya.
Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil
yg melarangnya, itu adalah Bidah hasanah yg sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw,
justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yg melarang orang mengucapkan
Laa ilaaha illallah?, siapa yg alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan
dan pengikutnya ?, siapa yg membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?,
muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk
menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yg berdzikir pada hari
ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yg nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer,
handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yg ada
di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak
melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru
adat yahudi yg berpuasa pada hari 10 muharram, (shahih Bukhari) bahwa Rasul saw
menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas
selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa
as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula (HR Shahih Bukhari
hadits no.3726, 3727).
Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu
membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka ia
membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas
setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan
disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul
saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al
Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas akan membuatmu
masuk sorga (Shahih Bukhari).
Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia membuat
buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak melarangnya
bahkan memujinya.
Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu
ahli hadits yg telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum
matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pd Rasul saw :
Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : aku 60 kali
melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk
Rasulullah saw.
Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy
Assiraaj : aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yg pahalanya untuk
Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku
khatamkan 12.000 kali khatam Alquran untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh
amalku untuk Rasulullah saw.
ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yg
dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan
aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alquran 700 kali
khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
Walillahittaufiq
Balas
o
Abu Hafizh berkata
April 8, 2011 pada 16:39

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah mengutus hamba-
Nya yang mulia, Muhammad saw., sebagai pemberantas kesesatan dan aneka
kepercayaan jahiliyah yang kental dengan ashabiyah (fanatisme buta) dan
membawa agama Islam sebagai jalan hidup seluruh manusia untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Shalawat dan salam semoga senantiasa
dilimpahkan atas Rasul-Nya, Muhammad saw., keluarganya, para sahabat, tabiin,
tabiit tabiin, dan para pengikutnya yang tetap setia dan teguh dalam menegakkan
sunnahnya yang mulia ini sampai akhir zaman.
Ulasan Tahlilan: Bidah atau Sunnah? (Membedah Sikap Keberagamaan Umat
Islam), yang ada ditangan Anda ini, adalah ulasan singkat mengenai fenomena
tahlilan yang hingga hari ini selalu menjadi perselisihan dikalangan umat. Telah
kita maklumi bersama, tahlilan merupakan upacara ritual memperingati hari
kematian yang biasa dilakukan oleh umumnya masyarakat Muslim di negeri ini.
Dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang, maka
acara tersebut biasa dikenal dengan istilah tahlilan.
Sebenarnya ulasan ini penulis hadirkan lebih didasari pada upaya untuk
mendudukkan persoalan yang sesungguhnya mengenai tahlilan dalam mashadir
al-ahkam (landasan hukum yang disepakati, yakni al-Quran dan as-Sunnah
Rasulullah saw.) dan beberapa fatwa ulama mengenai fenomena tahlilan tersebut.
Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk menampilkan dalil dan hujjah baik
naqly maupun aqly yang argumentatif sertaInsya Allah, dapat dipertanggung-
jawabkan, karena semua dalil tersebut penulis ambil dari dua warisan Nabi saw.,
yakni al-Quran dan al-Hadits serta ijma ulama mengenai tahlilan itu sendiri.
Adanya perselisihan dalam memandang tahlilan ini lebih diakibatkan oleh
pemutarbalikan informasi sehingga masyarakat dengan yakin menganggap bahwa
tahlilan merupakan bagian dari Sunnah Nabi saw. Padahal jika ditelusuri asal-
usulnya secara seksama dan diteliti dalil yang melandasinya tidaklah demikian.
Ini bukan berarti penulis sengaja membuka kemarahan, aib, atau menimbulkan
kekacauan dikalangan umat. Sebab, mengungkapkan kebenaran informasi yang
sesungguhnya mengenai tahlilan ini selama dalam bingkai amar maruf nahi
munkar, Insya Allah ada nilai ubudiyahnya.
Saling memberi nasehat dalam kebenaran dan kesabaran adalah pesan Allah SWT
dalam kitab-Nya (QS. al-Ashr: 3). Adapun kenapa ada kata sabar dalam bingkai
nasehat tentu ada maksud dibalik itu. Karena ternyata, tidak semua orang dapat
bersabar dalam menerima nasehat. Oleh sebab itu, agar nasehat dapat diterima
dengan baik, maka harus berada dalam koridor kebenaran dan al-khairu, yakni
berlandaskan pada al-Quran dan as-Sunnah Rasulullah saw.
Itulah sebabnya, penulis sangat menyadari benar bahwa tidak semua nasehat bisa
diterima dengan lapang dada, apalagi terhadap suatu kebiasaan yang telah
mendarah daging dalam kehidupan seseorang atau masyarakat. Bisa jadi
penolakan itu lebih dikarenakan ketidaktahuan, menutup mata, menutup hati,
merasa paling benar dan besar, atau bahkan tidak mau tahu terhadap kebenaran
mashadir al-ahkam dan ijma ulama, atau bisa jadi juga karena kesombongan.
:
Rasulullah saw., bersabda: Sombong adalah menolak kebenaran dan
meremehkan orang lain. (HR. Muslim dari Ibnu Masud, lihat dalam Shahih
Muslim, Kitab al-Iman Bab Tahrimi al-Kibr wa Bayanih, Nomor Hadits 91).
Karenanya, sebagaimana pesan Nabi saw., agar kita diperintahkan untuk bergerak
menuju ketaatan, yakni ketaatan pada Allah (al-Quran) dan Nabi saw., (as-
Sunnah). Sebab, beliau menyatakan bahwa sesungguhnya ketaatan itu hanya
dalam masalah kebaikan (Shahih Bukhari nomor 7145 dan Shahih Muslim nomor
1840).
Selanjutnya penulis akan sangat berterima kasih dan menerima dengan tangan
terbuka sekiranya ada yang melakukan kritikan atas tulisan ini. Tentunya dengan
cara yang arif dan dewasa. Bukan dengan cara-cara yang tidak simpatik atau teror
yang tidak mendidik. Karena selain sama saja dengan menampakkan (maaf)
kebodohan sendiri, juga menjadi bukti nyata dan pengakuan secara tidak langsung
atas kebenaran tulisan ini. Dan alangkah tidak terpujinya jika penulis pun terjebak
ikut melayani tindakan bodoh dengan cara yang bodoh pula. Sebab, Allah SWT
telah mengingatkan:
#-:.t~e=e( t u&(cv
Dan menghindarlah kamu dari orang-orang yang bodoh. (QS. al-Araf: 199).
Dan juga sebagaimana sabda Nabi saw., yang perlu kita renungkan bersama:
Agama itu nasehat. (HR. Muslim dari Abu Hurairah, juga diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dari Tsauban dan al-Bazzar dari Ibnu Umar. Lihat Jami al-Ulum
wa al-Hikam yang ditahqiq oleh Wahbah al-Zuhaily). Dan penulis juga mengulas
fenomena ini tidak lain sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Hud: 88,
yakni:
#-}M=(=v~ )ee &_ )e|| 4 ?ouu.v=(M^ t=v.e 4 /e--!
)ee ?ou|(e+) uBt- 4 #-(It:o\|M^ Bt- &Pe=: u)e9o.e
Yang aku inginkan hanyalah perbaikan sebatas kemampuanku. Dan tidak ada
taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) dari Allah. Kepada-Nya aku
bertawakkal. Dan kepada-Nya jua aku kembali.
Tingkat kedewasaan dan keterbukaan Anda, pembaca yang terhormat, membuat
penulis yakin bahwa Anda bisa menerima tulisan ini dengan jiwa besar, lapang
dada, apa adanya, dan mau merenunginya. Dan penulis optimis, Anda bisa
menyimak tulisan ini lembar demi lembar dengan seksama, karena boleh jadi di
antara Anda, adalah guru penulis, saudara dan sahabat penulis, dan orang-orang
yang penulis kenal dengan baik.
Akhirnya, kepada Allah jua kita kembalikan kebenaran, karena Dia-lah Pemilik
Kebenaran atas segala sesuatu. Selamat Membaca. Wallahu alam bish-shawwab.
TAHLILAN: BIDAH ATAU SUNNAH?
(Membedah Sikap Keberagamaan Umat Islam)
Muqaddimah
Kata tahlilan sebenarnya berasal dari kata tahlil, yang dalam bahasa Arab berarti
mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah. Pada acara tahlilan, biasanya dibaca
beberapa kalimat dzikir, seperti tasbih, tahmid, dan tahlil. Karena tahlil adalah
dzikir yang paling utama, maka pertemuan itu disebut dengan istilah tahlilan.
Acara tahlilan, yakni acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/ruh,
merupakan tradisi yang telah melembaga di kalangan masyarakat Islam di negeri
ini. Tentu tatacara dalam penyelenggaraan tahlilan ini berbeda-beda antara satu
daerah dengan daerah lainnya, sebagaimana yang penulis amati dari Sabang
sampai Jayapura.
Persoalannya, dapatkah orang mati menerima ganjaran pahala atau dosa karena
amalan orang yang masih hidup? Dapatkah orang yang masih hidup mengirimkan
pahala bacaan al-Quran kepada orang yang sudah meninggal (mayit)? Untuk
menjawab dan membahas hal ini, penulis mengajak pembaca untuk
memperhatikan dan memahami keterangan-keterangan yang penulis paparkan
berikut ini.
1. al-Quran Surat an-Najm: 39, yakni:
u&| t4 Bt- )ee 9e~MET,~ 9v.+}
Dan sesungguhnya manusia tidak akan mendapatkan, melainkan (menurut) apa
yang telah ia usahakan.
2. al-Quran Surat an-Naba: 41, yakni:
||- u#-9+~ct~Me
Pada hari seseorang akan melihat apa yang telah diusahakan oleh kedua
tangannya.
Masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan kedua ayat tersebut, seperti
dalam al-Quran Surat al-Baqarah: 48, 185, dan 286; al-Ankabut: 6; al-Isra: 15;
Faathiir: 18; ath-Thur: 21, dan lain-lain.
Rasulullah saw., juga bersabda dalam sebuah hadits, yang berbunyi:
, , :

Apabila seorang anak Adam meninggal, putuslah semua amalnya kecuali tiga
hal, shadaqah jariyah, ilmunya yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang
mendoakannya. (HR. Muslim dalam Shahih-nya Hadits Nomor 3084; at-
Tirmidzi dalam Sunan-nya Hadits Nomor 1298; an-Nasai dalam Sunan-nya
Hadits Nomor 3591; Abu Daud dalam Sunan-nya Hadits Nomor 2494; dan Imam
Ahmad dalam al-Musnad-nya Hadits Nomor 8489).
Dari beberapa ayat dan hadits tersebut, jelas bahwa setiap orang hanya
bertanggung jawab atas hasil usahanya sendiri. Tetapi anehnya, banyak perilaku
umat Islam yang jauh dari konteks kesucian al-Quran dan Sunnah Rasulullah
saw. Tidak sedikit dari kalangan masyarakat Islam yang tidak menyadari bahwa
ada kebiasaan-kebiasaan yang telah menjamur dan melembaga ternyata sangat
diragukan kebenarannya.
Salah satunya adalah tahlilan. Jika tahlilan dikatakan bidah atau haram, pasti
banyak yang akan terkejut, tidak percaya, atau mungkin sampai pada tingkat
marah-marah. Dan orang yang mengatakan atau menginformasikan hal tersebut
tentu dianggap telah meresahkan masyarakat, atau dicap pembuat onar dalam
tatanan masyarakat. Sebab, bagaimana mungkin kebiasaan yang dilakukan oleh
jutaan orang tiba-tiba dikatakan bahwa tahlilan itu bidah atau haram? Bagaimana
mungkin dikatakan bidah atau haram sedangkan banyak ulama, teungku, ustadz,
atau orang-orang yang memiliki pengetahuan agama malah mengerjakannya
bahkan ikut melestarikannya?
Tapi tahukah Anda, Imam asy-Syafii yang banyak diikuti madzhabnya di negeri
ini, memvonis tahlilan itu sebagai perbuatan bidah atau haram? Tahukah kita,
bahwa Imam an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany, al-Hafizh Imam Ibnu
Katsir, Imam ar-Ramly, dan masih banyak lagi ulama-ulama Syafiiyah (madzhab
Syafii) juga memvonis atau menyatakan bahwa tahlilan itu perbuatan bidah atau
haram?
Untuk menjelaskan hal ini, penulis mengutip fatwa-fatwa para Ulama tersebut
secara apa adanya dari kitab mereka masing-masing.
1. Imam asy-Syafii dalam al-Umm, (juz 1/248; dan I/317-318):

Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan) kumpul-kumpul, yaitu berkumpul
di rumah (mayit) walaupun bukan untuk melakukan ratapan, karena
sesungguhnya yang demikian itu akan memperbarui kesedihan.
2. Muhammad al-Khathib asy-Syarbiny dalam al-Mughny al-Muhtaj, juz. 1 hal.
268:

Adapun menyediakan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpul beramai-
ramai di rumah mayit dalam acara tersebut (tahlilan), maka itu adalah bidah dan
bukan sunnah.
3. As-Sayyid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy dalam Ianah ath-Thalibin sebagai
syarah Fathul Muin, juz. 2 halaman 146:

:
Dan apa yang telah menjadi kebiasaan berupa menyediakan hidangan makanan
oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang orang-orang berkumpul di
rumah duka adalah bidah makruhah, karena terdapat hadits shahih (yang
menerangkan hal itu) dari sahabat Jarir ibn Abdullah ra., beliau berkata: Kami
(para sahabat) menganggap bahwa berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga
mayit dan menyiapkan makanan adalah (sama) dengan ratapan (niyahah). (HR.
Ahmad dalam al-Musnad-nya, jilid II, halaman 204. Silahkan baca juga Kitab
Tuhfatul Ahwadzi (IV: 67) yang ditulis oleh Muhammad Abdurrahman ibn
Abdurrahim).
4. Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim ala an-Nawawi, juz. 1 hal. 90:

: .
, : :
,
Adapun bacaan al-Quran (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka
yang masyhur dalam madzhab asy-Syafii, adalah tidak dapat sampai kepada
mayit yang dikirimiSedang dalilnya Imam asy-Syafii dan pengikut-
pengikutnya, yaitu firman Allah (yang artinya): Dan seseorang tidak akan
memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri, dan sabda Nabi saw., (yang
artinya): Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amal
usahanya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan
anak yang shalih (laki-laki/perempuan) yang berdoa untuknya (mayit).
5. Imam as-Subki dalam Takmilatul Majmu Syarah al-Muhadzab, juz. 10 hal.
426:


Adapun bacaan al-Quran dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan
mengganti shalatnya mayit, dan sebagainya, menurut Imam asy-Syafii dan
Jumhur Ulama adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi dan
keterangan seperti ini telah diulang-ulang oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya
Syarah Shahih Muslim.
6. Imam al-Haitami dalam Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, juz. 2 halaman 9:


:
Mayit, tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari
Ulama Mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit)
adalah tidak sampai kepadanya. Sebab, pahala bacaan itu adalah untuk
pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari yang
mengamalkan perbuatan itu, berdasarkan firman Allah (yang artinya): Dan
manusia tidak memperoleh melainkan pahala dari hasil usahanya sendiri (QS. an-
Najm: 39,pen.).
7. Imam an-Nawawi dalam al-Majmu Syarah al-Muhadzab, juz. 5 halaman 286:


Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqli-nya dan hal tersebut
merupakan perbuatan bidah yang tidak disunnahkan.
8. Imam al-Qalyuby dalam Hasyiyah al-Qalyuby, juz. 1 halaman 353:
,
.

Guru kita, Imam ar-Ramly telah berkata sesuai dengan apa yang dinyatakan di
dalam kitab ar-Raudhah (Imam an-Nawawi), sesuatu yang merupakan bagian dari
perbuatan bidah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa
dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk
mengumpulkan tetangga, baik sebelum, maupun sesudah hari kematian.
9. Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj, juz. 1 halaman 577:


Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan daripada penghidangan makanan
oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya
adalah bidah munkarah yang makruhah berdasarkan keterangan shahih dari Jarir
ibn Abdullah.
10. Muhammad al-Khathib asy-Syarbiny dalam al-Iqna Li asy-Syarbiny, (I/210):

Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut hukumnya bidah yang tidak disunnahkan.
11. Dalam Kitab ar-Raudhah ath-Thalibin, juz. 2 halaman 145:


Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan
masyarakat terhadap acara tersebut tidak ada dalil naqli-nya, bahkan perbuatan
tersebut hukumnya bidah yang tidak disunnahkan.
12. Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Azhim, jilid IV hal.
335, ketika menafsirkan QS. an-Najm: 38-39, beliau berkata:
, .
.
.

,
.
Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain,
demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil
amalnya sendiri. Melalui ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafii dan ulama-ulama
yang mengikutinya mengambil hukum bahwa pahala bacaan (al-Quran) yang
dihadiahkan kepada orang mati tidak dapat sampai kepadanya karena bukan dari
amal usahanya sendiri. Oleh karena itu, Rasulullah saw., tidak pernah men-
Sunnahkan umatnya dan menganjurkan mereka melakukan perbuatan tersebut,
serta tidak pula merujuk kepadanya (menghadiahkan bacaan kepada orang mati)
walaupun dengan satu nash (dalil) maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang
Sahabat Rasul pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau memang
perbuatan itu baik, tentu mereka (sahabat) lebih dahulu mengerjakannya. Padahal
amalan mendekatkan diri kepada Allah hanya terbatas yang ada nashnya (dalam
al-Quran dan as-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan
pendapat-pendapat.
13. Imam al-Muzani dalam Hamisy al-Umm, juz. 7 halaman 269:
,

Rasulullah saw., memberitahukan sebagaimana yang diberitakan Allah SWT,
bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalnya
adalah untuk dirinya sendiri dan bukan untuk orang lain dan tidak dapat
dikirimkan kepada orang lain.
14. Imam al-Khazin dalam Tafsir al-Jamal, juz. 4 halaman 236:

Dan yang masyhur dalam madzhab asy-Syafii, bahwa bacaan al-Quran (yang
pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepada mayit
yang dikirimi.
15. As-Sayyid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy (mengutip keterangan dari Kitab
al-Bazzaziyah) dalam Ianah ath-Thalibin, juz. 2 halaman 146:
.
Dan tidak disukai menyelenggarakan makan-makan pada hari pertama
(kematian), hari ketiga, sesudah seminggu, dan juga memindahkan makanan ke
kuburan secara musiman (peringatan khaul).
Demikianlah keterangan ulama-ulama dari kalangan madzhab asy-Syafii, yang
semuanya menyatakan pengharaman dan menganggap bahwa berkumpul di
rumah mayit yang dikenal dengan istilah tahlilan adalah bidah munkarah yang
makruhah.
Tentu, fatwa ulama-ulama yang dikagumi dan sangat berpengaruh dikalangan
Syafiiyah tersebut semuanya berlandaskan pada Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah saw., yakni sebagaimana termaktub dalam QS. an-Najm: 38-39 dan
juga keterangan shahih dari Jarir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad ibn Hanbal dalam al-Musnad-nya (II/204) dan Ibnu Majah (1/514, no.
1612) dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim. Dapat juga
diperiksa dalam Tuhfatul Ahwadzi (IV/67) yang ditulis oleh Muhammad
Abdurrahman ibn Abdurrahim.
Islam, sebagaimana yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, Muhammad saw.,
yang kemudian diteruskan kepada umatnya, adalah agama yang sudah dijamin
kesempurnaannya. Hal ini jelas sekali termaktub dalam QS. al-Maidah ayat 3,
dimana Allah SWT menyatakan bahwa:
e+o3'N| 9o3'N| &..0=(M^ #-9.uu|Ht e++- #-}M(=v~N,
9o3'N uu_M^ Pe\|0A |t=v.3'N| u&X.o0(M^
Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan
nikmat-Ku bagimu, dan Aku ridha Islam menjadi agamamu.
Karenanya, sebagai hamba Allah, tentu dalam beribadah kita tidak boleh
mengerjakan sesuatu tanpa ada landasan, karena Islam yang telah Allah ridhai ini
adalah Islam yang sempurna, tidak ada yang tertinggal sedikitpun. Bahkan dengan
sangat tegas Nabi saw., menyatakan bahwa kita tidak akan tersesat selama-
lamanya jika kita berpegang teguh kepada al-Quran dan as-Sunnah (HR. Malik
dalam al-Muwaththa, 3/93; juga dalam Tanwirul Hawalik Syarh al-Muwaththa,
oleh as-Suyuthi; dan dalam ar-Riyadhul Jannah, no. 31-33; asy-Syaikh al-Albani
berkata: Sanadnya hasan.).
Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah Rasulullah saw., bukan persangkaan atau
kira-kira atau menggunakan perasaan. Bagi seorang Muslim, tidak boleh ada
perasaan atau ungkapan: Ah, ini kan baikatau: Apa salahnya kita
kerjakandan lain-lain ungkapan. Sebab, Allah dan Rasul-Nya telah
menegaskan:
Be( /ee ;M uBt- #-:.tt,o Be, (._ e #-9^vs u)e|
( #-9^vs )ee tu|7e\u|t )e| ( |e=(OA v.-
Persangkaan itu sedikitpun tidak akan bermanfaat bagi kebenaran. (al-Quran
Surat an-Najm: 28).
,
Jauhilah olehmu sekalian persangkaan, karena persangkaan itu adalah perkataan
yang paling dusta. (HR. Bukhari dari Abdullah bin Yusuf, Imam Muslim dari
Yahya bin Yahya, Abu Daud dari al-Atabi, juga Imam Malik dari Abu Hurairah,
dan lafazh diatas adalah lafazh Imam Malik).
Oleh karena itu, cara yang paling baik dan selamat bagi kita dalam ber-Islam ini
adalah dengan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Walaupun kebanyakan
manusia berbuat sesuatu dalam ibadah, atau melakukan tatacara dalam ibadah
yang tidak berdasar petunjuk Sunnah, kita tetap tidak boleh mengikuti yang
demikian. Sebagaimana Allah nyatakan dalam QS. al-Araf: 3, yakni:
Be ?ou|7e\u#( ue +/ve3'O( Bie )e9o.3'N &PcAt Bt-!
#-?7e\u#( ?o.v|t B- o=eO 3 &|9eu-!'u
Pee
Ikutilah oleh kalian apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian.
Dan jangan kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain Dia. Sungguh sedikit
sekali kamu ingat kepada-Nya.
Juga sebagaimana sabda Nabi saw:

Barangsiapa yang mengerjakan suatu ibadah yang tidak ada dasar (tuntunannya)
dari kami, maka ia tertolak. (HR. Bukhari nomor hadits 2697 dan Muslim nomor
hadits 1718, dari Aisyah).

Barangsiapa yang menginginkan keridhaan manusia dengan membuat murka
Allah, maka Allah akan menjadikan dia bergantung pada manusia. (HR.
Tirmidzi, Qadhai, Ibnu Bisyran, dan lain-lain, sebagaimana dishahihkan oleh
asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam ash-Shahihah Hadits
Nomor 2311, juga termaktub dalam Kitab Takhrij al-Aqidah ath-Thahawiyyah).
Lalu, bagaimana dengan madzhab lainnya, seperti Malikiyah, Hanafiyah atau
Hanabilah? Apakah dalam ketiga madzhab itu ada tahlilan juga? Untuk
menjawabnya, berikut penulis paparkan fatwa-fatwa ulama-ulama dari ketiga
madzhab tersebut.
1. Hanafiyah (pendirinya: Imam Abu Hanifah Numan ibn Tsabit)
a. Muhammad Amin dalam Hasyiyah Radd al-Mukhtar ala ad-Dar al-Mukhtar,
juz. 2 halaman 240:
.
,
: . :
.
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena
hidangan hanya pantas disajikan dalam keadaan bahagia, bukan dalam keadaan
musibah, hukumnya bidah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam
Ahmad dan Ibnu Majah (lihat dalam Sunan Ibnu Majah, juz. 1 hal. 514)
meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari Jarir ibn Abdullah,
beliau berkata: Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di
rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan
bagian dari perbuatan niyahah. Dalam kitab al-Bazzaziyah dinyatakan bahwa
makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah
kematian makruh hukumnya.
b. Ahmad ibn Ismail ath-Thahthawy dalam Hasyiyah ala Muraqy al-Falah, juz. 1
halaman 409:
,


Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab Al-
Bazzaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan pada hari pertama, ketiga,
serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya.
c. Ibn Abdul Wahid al-Siewasy dalam Syarh Fath al-Qadir, juz. 2 halaman 142:
.
,
: .
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit karena
hidangan hanya pantas disajikan dalam keadaan bahagia, bukan dalam keadaan
musibah, hukumnya bidah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam
Ahmad dan Ibnu Majah (lihat Sunan Ibnu Majah, juz. 1 halaman 514)
meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari Jarir ibn Abdullah,
beliau berkata: Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di
rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan
bagian dari perbuatan niyahah.
2. Malikiyah (pendirinya: Imam Malik bin Anas)
Sebagaimana diterangkan oleh Abu Abdullah al-Maghraby dalam Mawahib Jalil
li Syarh Mukhtashar Khalil, juz. 2 halaman 228:


Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama. Bahkan
mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bidah karena tidak
didapatkan keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut dan keadaan tersebut
tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta).
3. Hanabilah (pendirinya: Imam Ahmad bin Hanbal)
a. Ibnu Qudamah al-Muqaddasy dalam al-Mughny, juz. 2 hal. 215 (cetakan baru
yang ditahqiq Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, juz 3 hal. 496-497):

:
: : . :
. : .
Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh
keluarga mayit hukumnya makruh. Karena telah menambah musibah baru kepada
keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus telah menyerupai apa yang
biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Dan diriwayatkan bahwa Jarir
mengunjungi Umar, lalu Umar bertanya: Apakah kalian suka meratapi mayit?
Jawab Jarir: Tidak. Umar bertanya: Apakah kalian suka berkumpul bersama
keluarga mayit yang kemudian menghidangkan makanan? Jawab Jarir: Ya.
Berkata Umar: Hal tersebut termasuk meratapi mayit (niyahah). (HR. Ibnu Abi
Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 halaman 487).
b. Abu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy dalam al-Furu wa Tash-hih al-Furu,
juz. 2 halaman 230-231:
. ( )
. .
Sesungguhnya, disunnahkan mengirimkan makanan itu apabila tujuannya untuk
keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang
sedang berkumpul disana, maka makruh hukumnya. Karena berarti telah
membantu terhadap perbuatan makruh, demikian pulan makruh hukumnya
apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit.
c. Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly dalam al-Mabda fi Syarah al-Miqna, juz. 2
halaman 283:
. , : .
.
Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari
niyahah dan sebagian lain mengatakan (berpendapat) haram. Sanad hadits tentang
masalah tersebut adalah tsiqat (terpercaya).
d. Manshur bin Idris al-Bahuty dalam ar-Raudhah al-Marbi, juz. 1 halaman 355:
.
Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada
para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Jarir.
e. Syaikhul Islam Imam Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dalam Kutub wa
Rasail wa Fatawa Ibnu Taimiyah fi al-Fiqh, juz. 24 halaman 316:

. :
Adapun penghidangan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit (dengan
tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan itu
bidah, berdasarkan perkataan Jarir ibn Abdullah: Kami semua (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan
makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah. (Note: fatwa
senada juga dapat disimak dalam Fathurrabbani Tartib al-Musnad al-Imam
Ahmad bin Hanbal, 8/95-96, oleh Syaikh Ahmad Abdurrahman al-Banna pen.).
Berdasarkan beberapa fatwa ulama-ulama dari madzhab lainnya (Malikiyah,
Hanafiyah, dan Hanabilah), terungkap dengan jelas adanya kesamaan fatwa
mereka mengenai bidahnya tahlilan ini seperti halnya fatwa Imam asy-Syafii
dan para pengikutnya. Para ulama mutaqaddimin tersebut mengeluarkan fatwa-
fatwa mereka dengan berlandaskan pada al-Quran dan as-Sunnah Rasulullah
saw., sebagaimana yang termaktub dalam QS. al-Baqarah: 48, 185, 286; an-Najm:
38-39; an-Naba: 41; al-Ankabut: 6; al-Israa: 15 dan lain-lain, juga berlandaskan
pada beberapa hadits berikut:
1. Imam Bukhari dalam Shahih-nya (juz. 1 hal. 23); Ibnu Hibban dalam Shahih-
nya (juz. 2 hal. 63); Baihaqy dalam Sunan al-Kubra (juz. 3 hal. 18); dan Imam an-
Nasai dalam al-Mujtaba (juz. 8 hal. 121-122) mengeluarkan hadits:

Sesungguhnya agama ini (Islam) mudah.
2. Yang diterima dari sahabat Jarir ibn Abdullah al-Bajaly, kemudian dikeluarkan
oleh Imam Ahmad ibn Hanbal (al-Musnad, juz. 2 halaman 204) dan Ibnu Majah
(Sunan Ibnu Majah, juz. 1 halaman 514, no. 1612), yaitu:
.
Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga
mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari
perbuatan niyahah.
3. Yang diterima dari Thalhah, kemudian dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah,
yaitu:
: . : :
. : . :
Dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar bertanya:
Apakah kalian suka meratapi mayit? Jawab Jarir: Tidak. Umar bertanya:
Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayit yang kemudian
menghidangkan makanan? Jawab Jarir: Ya. Berkata Umar: Hal tersebut
termasuk meratapi mayit (niyahah). (HR. Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam
Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 hal. 487).
4. Yang diterima dari Said bin Jabir dan dari Khaban (Abu Hilal) al-Bukhtary,
kemudian dikeluarkan oleh Abdul al-Razaq. Hadits tersebut dengan lafazh
berbeda dikeluarkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah melalui perjalanan sanad:
Fudhalah ibn Hashien dari Abdul al-Karim dari Said ibn Jabir, yaitu:

.
Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyah: niyahah, hidangan dari keluarga
mayit dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit. (Abdul al-Razaq
ash-Shanani dalam al-Mashhaf, juz. 3 hal. 550; Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam
Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 hal. 487).
Dengan lafazh yang berbeda tetapi maknanya sama, pada hal. 487, Ibnu Abi
Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, mengeluarkan dua hadits lain,
yaitu: Telah berbicara kepada kami, Waki bin al-Jarah dari Soufyan dari Hilal
bin Khabab dari Khabab al-Bukhtary, beliau berkata: Makanan yang
dihidangkan keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah, dan
niyahah (meratapi mayit) merupakan perbuatan jahiliyah.
Dan juga hadits berikut: Telah berbicara kepadaku Yanaqid bin Isa dari Tsabit
dari Qais, beliau berkata: Saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga
mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: Kalian akan (mendapat)
bencana dan akan merugi.
Lalu, bagaimana dengan ulama-ulama kontemporer (mutaakhirin)? Apakah
mereka juga ada membahas persoalan tahlilan ini? Untuk memuaskan keinginan
dan dalam rangka menunjukkan kebidahan tahlilan, maka berikut ini penulis
paparkan fatwa-fatwa ulama kontemporer tersebut dalam uraian berikut ini:
1. Ali Mahfuzh dalam al-Ibda fi Madlar al-Ibtida, halaman 229:

.
Tidak diperbolehkan menghidangkan makanan bagi orang-orang yang sedang
berkumpul di rumah keluarga mayit, bahkan hukumnya makruh karena berarti
telah membantu terhadap perbuatan makruh, yaitu berkumpul di rumah keluarga
mayitdemikian pula keluarga mayit dimakruhkan menghidangkan makanan
tersebut kepada orang-orang yang sedang berkumpul tadi.
2. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam Kitab at-Tauhid, halaman 109-110
menyatakan bahwa kebiasaan berkumpul menunjukkan perasaan al-matam (duka
cita), berikut penghidangan makanan dari keluarga mayit merupakan kebiasaan
orang kafir yang ditiru oleh umat Islam dan hal tersebut merupakan perbuatan
bidah.
3. Syaikh Dr. Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu,
halaman 1578-1579 menulis:
.

. :
Adapun penghidangan makanan untuk masyarakat yang dilakukan oleh keluarga
mayit adalah perbuatan bidah yang tidak ada asalnya dan yang dimakruhkan,
karena hal tersebut mengandung arti menambah beban musibahnya serta
menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyah, apabila biayanya berasal dari harta
waris yang diantara ahli warisnya terdapat anak yang belum baligh, maka haram
hukumnya melakukan penghidangan tersebut. Jarir bin Abdullah telah berkata:
Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga
mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari
perbuatan niyahah.
4. An-Nawawy al-Bantany dalam Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadiin, hal.
281:



,
.
Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara adalah dianjurkan.
Namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ketujuh atau hari-hari lainnya.
Sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan diantara orang-orang
yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari
kematiannya, atau hari ketujuh atau keduapuluh atau keempatpuluh atau keseratus
dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal itu semua
hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan
yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit
(biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumnya apabila biayanya berasal
dari harta anak yatim.
Catatan: Syaikh Nuruddin ar-Raniry dalam Shirathal Mustaqim juz. 2 hal. 50 dan
Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabil al-Muhtadin juz. 2 hal. 87
menyatakan bahwa itu termasuk kategori bidah.
5. Kesepakatan fatwa Nahdlatul Ulama dalam al-Mawaidz Edisi No. 13 halaman
200, dan Edisi No. 18 halaman 285-286, yang menyatakan sikap yang sebenarnya
terhadap kedudukan hukum tahlilan sebagai perbuatan yang membebani keluarga
mayit, bertolak belakang dengan hadits yang memerintahkan untuk mengirimkan
makanan kepada keluarga mayit, bukan sebaliknya (lihat dalam Sunan Abu Daud
3/195; Sunan al-Kubra al-Baihaqy 4/61; Sunan ad-Daraquthny 2/78; Sunan at-
Tirmidzi 3/323; al-Mustadrak al-Hakim 1/527; Sunan Ibnu Majah 1/514).
Berdasarkan keterangan as-Sayid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy dalam Kitab
Ianah ath-Thalibin, ternyata para ulama dari keempat madzhab telah menyepakati
bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut
dengan istilah nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dan sebagainya merupakan
perbuatan bidah yang tidak disukai oleh agama.
Ini diketahui bahwa sebenarnya yang menghukumi tahlilan sebagai perbuatan
bidah munkarah itu ternyata adalah ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah.
Kesimpulannya, bahwa hukum tahlilan yaitu bidah yang dimakruhkan dengan
makruh tahrim, bahkan dapat berubah menjadi haram li ghairihi (menjadi haram
dikarenakan sebab lain) apabila biaya tahlilan berasal dari tirkah mayit
(peninggalan mayit) yang diwariskan pada ahli waris yang belum baligh.
Sebelum penulis akhiri uraian ini, barangkali ada yang memprotes tentang tahlilan
ini. Namun, jika kita bertanya kepada yang mendukung tahlilan mengenai alasan
atau argumentasi mereka yang membolehkan tahlilan, maka yang kita temukan
jawabnya hanya berdasarkan istihsan belaka, seperti ungkapan: lho, kan itu
baikkenapa tidak boleh, kan ada doanyaini kan cuma silaturrahmiada nilai-
nilai shadaqah melalui hidanganteungku kami bilang boleh-boleh saja atau
ungkapan lainnya. Sangat jarang sekali (kalau tidak ingin dikatakan tidak pernah
ada) mereka berusaha memberikan dalil naqly yang shahih, atau dhaif bahkan
maudhu sekalipun tentang tahlilan ini.
Penulis pernah diberitahu adanya dalil naqly tentang bolehnya tahlilan dan
menghidangkan makanan bagi keluarga mayit yang penulis terima dari seorang
jamaah yang sering mendengar ceramah penulis. Adapun dalil tersebut
berdasarkan keterangan dari kitab Hasyiyah ala Muraqy al-Falah yang ditulis
oleh Ahmad ibn Ismail ath-Thahthawy juz. 1 halaman 409, juga berlandaskan
pada istihsan sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Fawakih ad-Diwani yang
ditulis oleh Ahmad bin Ghunaim bin Salim an-Nafrawy al-Maliky.
Kedua kitab itu menukil hadits sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad
bin Hanbal, Abu Daud, Baihaqy dan ad-Daraquthny. Hadits tersebut sebagaimana
ditulis dalam Hasyiyah ala Muraqy al-Falah (ath-Thahthawy) adalah sebagai
berikut:
:
,
.
Dari Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari laki-laki Anshar, ia berkata: Kami
bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak
pulang muncullah istri mayit mengundang untuk singgah kemudian ia
menghidangkan makanan. Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan
mencicipinya, kemudian para sahabat turut mencicipi pula.
Namun, setelah hadits yang dijadikan argumen oleh ath-Thahthawy dan yang
dijadikan pedoman oleh orang yang mendukung tahlilan tersebut diteliti dan
dicermati lagi dengan seksama dan penuh kehati-hatian, ternyata ditemukan
adanya perbedaan yang sangat signifikan dengan bunyi hadits aslinya. Berikut
penulis paparkan hadits dari Abu Daud yang penulis rujuk langsung dalam as-
Sunan-nya, juz. 3 halaman 244:



Perbedaannya dalam versi ath-Thahthawy dengan hadits aslinya sungguh teramat
jauh, ada lafazh yang diberi dlamir mudzakar ghaib (imra-atuhu) yang
mengandung arti: istrinya mayit. Sedangkan dalam Kitab aslinya (Sunan Abu
Daud, juz. 3 halaman 244) atau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqy
(Sunan al-Kubra, juz 5 halaman 335), Imam ad-Daraquthny (Sunan ad-
Daraquthny juz. 4 halaman 285), Imam Ahmad ibn Hanbal (al-Musnad juz 5
halaman 293 dan 408), dan Abu Jafar ath-Thahawy (Syarh Maany al-Atsar juz 2
halaman 293) menyatakan bahwa lafazh tersebut adalah imra-atun (tanpa diberi
dlamir mudzakar ghaib), yang artinya mutlak wanita.
Bahkan didalam salah satu hadits yang ditakhrijkan oleh Imam Ahmad ibn
Hanbal dinyatakan dengan jelas bahwa wanita yang menemui Rasulullah saw.,
tersebut adalah seorang wanita Quraisy yang menyampaikan pesan dari seorang
wanita yang tidak diketahui statusnya, yang didalam matan haditsnya diberi
identifikasi dengan klausul fulanah (lihat dalam al-Musnad juz 5 halaman 293).
Secara lafzhy, memang hadits tersebut ada hubungannya dengan masalah orang
mati, tetapi inti pesan hukum yang termaktub dalam hadits tersebut justru tidak
ada hubungannya dengan masalah orang mati. Karenanya, tidak ada satupun
hukum dari ulama-ulama madzhab yang membolehkan tahlilan dan
menghidangkan makanan oleh keluarga mayit.
Jika anda masih kurang paham dan mengerti juga, maka kami persilahkan untuk
memperhatikan dengan seksama dan benar-benar jujur terhadap hadits tersebut
dari segi penempatan permasalahannya. Kitab Sunan al-Kubra Baihaqy
menempatkannya dalam bab Muamalah, Sunan ad-Daraquthny menempatkannya
dalam Bab Makanan, dalam Kitab Syarh Maany al-Atsar yang ditulis Abu Jafar
ath-Thahawy ditempatkan dalam Bab Makanan (4/208), dan dalam Kitab Nishb
ar-Rayah juga ditempatkan dalam Bab Ghasab (4/168).
Bagaimana dengan alasan istihsan yang digunakan untuk menjustifikasi bolehnya
tahlilan? Sebenarnya jika kita mau jujur, dalam wilayah ushul fiqh, eksistensi
istihsan sendiri masih diperselisihkan. Jika ulama-ulama Hanafiyah membela
habis-habisan tentang istihsan karena ide istihsan ini muncul dari Imam Abu
Hanifah (terutama dari sahabat sekaligus muridnya, Abu Yusuf), maka ulama-
ulama Syafiiyah dan ulama-ulama Hanabilah (Hanbali) justru menentang dan
menolaknya tanpa kompromi.
Dalam kitab Ushul Fiqh (sebagaimana dikutip al-Banany dalam Hasyiyah al-
Banany ala Matn Jami al-Jawami, juz 2 halaman 353) dikatakan bahwa istihsan
yang diartikan berpindahnya hukum dari ketentuan dalil (al-Quran dan as-
Sunnah) kepada ketentuan kultur (budaya/tradisi) adalah ditolak. Bahkan dengan
sangat tegas Imam asy-Syafii menyatakan:

Barangsiapa yang mengamalkan istihsan, maka berarti ia telah menciptakan
hukum syara (baru). (lihat al-Banany dalam Hasyiyah al-Banany ala Matn
Jami al-Jawami juz. 2 halaman 353; lihat juga al-Ghazali dalam al-Mustashfa fi
Ilmi al-Ushul halaman 171).
Demikian tegasnya Imam asy-Syafii tentang hal ini, sehingga sungguh tidak
masuk akalbahkan sangat aneh, apabila ada orang yang mengaku bermadzhab
Syafiiyah, tetapi masih saja suka tahlilan, yang artinya adalah menciptakan
hukum syara baru tanpa mashadir al-ahkam (landasan hukum) yang telah
disepakati, yaitu al-Quran dan as-Sunnah.
Bahkan dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan lain-lain dari Aisyah dan
Abu Hurairah, Nabi saw., menyatakan bahwa membuat hukum syara baru
dianggap bidah dan mutlak tertolak. Bahkan perbuatan ini jelas-jelas menuduh
Rasulullah saw., menyembunyikan agama Islam, padahal tidak ada satupun yang
tidak disampaikan oleh Rasulullah saw., kepada umatnya.
Abdullah bin Masud ra., berkata: Ikutilah Sunnah Nabi saw., dan jangan kalian
melakukan bidah. Kalian telah memperoleh petunjuk yang cukup. Karenanya,
ikutilah jalan salaf (al-Mujam al-Kabir, ath-Thabari no. 8770). Abdullah bin
Abbas ra., juga berkata: Jangan kamu mengucapkan (sesuatu) yang menyalahi
al-Kitab dan as-Sunnah (Tafsir Ibnu Katsir, 4/205). Sungguh telah diketahui
secara dharury, bahwa hanya Allah SWT yang berhak menciptakan hukum syara,
sementara kita selaku manusia hanya sekedar meng-izhar-kan (menjelaskan saja)
hukum tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat kita pahami bahwa Imam asy-Syafii dan
pengikutnya menyatakan bahwa al-matam, yakni berkumpulnya orang-orang di
rumah keluarga mayit digolongkan dalam perbuatan niyahah, sedangkan
Rasulullah saw., menegaskan bahwa orang yang berperilaku niyahah bukan
termasuk umatnya karena dianggap menyerupai perilaku jahiliyah.
Kita juga tidak menerima satu pun keterangan mengenai diperbolehkannya
tahlilan dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, apakah itu berbentuk
hadits shahih dari Nabi saw., atau dari sahabat-sahabat beliau, atau dari Imam-
imam madzhab dan juga imam-imam lainnya (ahli tafsir dan ahli hadits)
sebagaimana dinyatakan dengan tegas oleh Ibnu Taimiyah dalam Kutub wa
Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (juz. 25 halaman 299-300).
Tahlilan merupakan salah satu perbuatan bidah munkarah yang makruhah, maka
menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk tidak mengerjakannya dan
mencegah keluarganya dan muslim lainnya terhadap perbuatan tersebut. Hal ini
berdasarkan fatwa Mufti Makkah al-Musyafarah, Syaikh Ahmad bin Zainy
Dahlan (sebagaimana dikutip dalam Ianah ath-Thalibin juz. 2 halaman 166),
yaitu:


Tidak diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bidah
munkarah tersebut mengandung arti menghidupkan Sunnah dan mematikan
bidah sekaligus membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu
keburukan.
Khatimah
Berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit hukumnya adalah bidah dengan
kesepakatan para sahabat dan seluruh imam dan ulama termasuk didalamnya
Imam yang Empat. Akan semakin bertambah bidah tahlilan ini bila ahli mayit
membuatkan makanan untuk para pentaziyah, dan dilakukan pada hari pertama,
kedua, ketiga, ketujuh, malam keempat puluh, dan khaul.
Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut Sunnah Rasulullah saw., adalah kaum
kerabat/sanak famili dan atau tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit
yang dapat mengenyangkan mereka sebagaimana hadits Nabi saw., ketika Jafar
bin Abi Thalib wafat (lihat hadits tersebut dalam al-Umm, 1/317; Abu Daud; at-
Tirmidzi; Ibnu Majah; dan Imam Ahmad, 1/205).
Saling memberi nasehat dalam kebenaran dan kesabaran adalah pesan Allah SWT
dalam kitab-Nya (QS. Al-Ashr: 3). Adapun kenapa ada kata sabar dalam bingkai
nasehat tentu ada maksud dibalik itu. Karena ternyata, tidak semua orang dapat
bersabar dalam menerima nasehat. Oleh sebab itu, agar nasehat dapat diterima
dengan baik, maka harus berada dalam koridor kebenaran dan al-khairu, yakni
berlandaskan pada al-Quran dan as-Sunnah.
Karenanya, sebagaimana pesan Nabi saw., agar kita diperintahkan untuk bergerak
menuju ketaatan, yakni ketaatan pada Allah (al-Quran) dan Rasulullah saw., (as-
Sunnah). Sebab, beliau menyatakan bahwa sesungguhnya ketaatan itu hanya
dalam masalah kebaikan (Shahih Bukhari Nomor 7145 dan Shahih Muslim
Nomor 1840).
ut(.e| #-!+ o(6e7|3'N (o--?7e\uPe #-!v ?\o7u|t
.'ZuO( )e| \~| u#-9+u #-!v &e\u#( \~| . +eO
^u\ u#-!+ 3 \Pu/t3'/| 9o3'/| .#-9.3o~e_t 'te= e #-!v
(o-e| ?ouu9vu|#( (o-e| (
Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu
berpaling, maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir. (QS.
Ali Imran: 31-32).
#-9.3 !o& ?o6tt Bt- /t\|e Be. #-9+uAt t-e,
uBt uP(#e&e ?ouu<+4 Bt- Puu!ke&e #-9.0o|BeZet
6e~ |u utu|6e( .Bt# u-!'uN( ( +N,
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisaa:
115).
&B.# uuu!\&. #-!+ o, )eo# Bo|BeZut> ue
9e0o|Be9 .|t uBt- uuu!o&. #-!v t\| uBt 3
&B.coeN| Be( #-:.e,uo' 9oN t3'u|t &| .B7eZ+-
_,=v~O _,~ (o)o(
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang
nyata.
Dengan mengucapkan penulis mengajak kepada siapapun
yang ingin membersihkan akal dan hatinya agar kembali kepada al-Quran dan as-
Sunnah yang shahih dengan pemahaman Salafush Shalihin, menegakkan
Tashfiyah, yakni memurnikan ajaran Islam dari segala noda syirik, bidah,
khurafat, takahyul, dan gerakan-gerakan serta pemikiran-pemikiran yang merusak
kemurnian ajaran Islam, melakukan gerakan Tarbiyah kepada umat Islam
berdasarkan ajaran Islam yang murni, menghidupkan pola pikir ilmiah
berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar dan tidak
menyimpang dari pemahaman Salafush Shalihin.
Demikianlah akhir dari tulisan ini, semoga Allah memberikan petunjuk dan
hidayah-Nya kepada kita semua. Wallahu alam bish-shawwab.
Balas
15.
sudiyanto berkata
Februari 25, 2008 pada 08:40
Assalamualaikum Wr. Wb.
saya sudiyanto, beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan SMS :
Amalan Harian:
Kepada pengunjung web, mari istiqamah dhuhanya. Minimal 4 dah. Tambahin dengan
baca Laa Hawla Walaa Quwwata Illaa Billaah 300x, istighfar & shalawat 100x, faatihah
1x, qulhu 3x, al falaq 1x, annaas 1x, al Baqarah ayat 1-5, 254-255 1x, dan 3 ayat
terakhirnya masing-masing 1x, laa ilaaha illallaah 100x, yaa fattaahu yaa rozzaaqu 111x.
Istiqamahkan ini. Insya Allah enteng. Ini kan kerjaan sehari semalam. Boleh dicicil. Dan
sempurnakan yg muakkadnya: qabliyah badiyah-nya di samping shalat tepat waktu dan
berjamaah. Mestinya, ini bukan sesuatu yg istimewa. Melainkan harus menjadi kewajiban
kita. Allah udah banyak memberi. Rasanya, dengan ini saja pun, masih tidak cukup bakti
kita ke Allah. Sekaligus menunjukkan cinta kita kepada Allah dan Rasul Nya.
Mohon do`a buat Ustadz Yusuf Mansur & Keluarganya.
Kemudian SMS tersebut saya posting ke blog saya
http://sudiyanto.wordpress.com/2008/02/20/amalan-harian/
dan saya mendapatkan komentar :
saya cuma mau tanya hadistnya ja atas tuntunan diatas
karena islam adalah kebenaran dalil, kalau kita melakukan amalan harus dengan contoh
dari rasullullah.
karena syarat diterimanya amalan adlah ikhlas dan sudah dicontohkan rasullullah
makasih.
untuk menanggapi komentar dari teman saya tersebut saya mohon bantuan dari ustadz
untuk memberikan dalil-dalil yang melandasi amalan harian tersebut supaya kami dalam
menjalankan amalan tidak lagi ragu-ragu.
terima kasih sebelumnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
(tolong kirim juga ke : sudiyanto.ujank@gmail.com)
> Waalaikum salam wrwb. Salam kenal mas Sudiyanto. Senang anda sudi berkunjung
ke sini. Ada yang perlu diralat saya bukan ustadz, saya hanyalah seorang muslim,
yang mencoba menggapai ridlo Ilahi. Saya sudah buka blog anda. Semoga anda dan kita
tetap istiqamah dalam beribadah.
Mengenai pertanyaan anda. Ada banyak fadilah-fadilah (keutamaan-keutamaan) dzikir-
dzikir tertentu, keutamaan surat-surat atau ayat-ayat tertentu di dalam al quran. Jika
anda ingin mengetahuinya, coba beli/baca kitab-kitab dzikir, seperti Al Adzkar karya
Imam Nawawi, dan lain-lain. Ada banyak kitab karya ulama-ulama terdahulu. Tinggal
kita rajin ke toko buku untuk menscanning dan membelinya. Maaf ..saat ini saya dalam
kondisi tidak membawanya.
Mengenai kalimat amalan harus dengan contoh dari rasullullah, apa maksudnya?
Ada banyak fadilah keutamaan dzikir bacaan2 tertentu, yang semuanya dari Nabi saw.
Apa itu masih belum cukup. Semua hal yang di atas bukan ibadah mahdah. Keutamaan
dzikir sudah disebutkan dibanyak hadits, pelaksanaannya diserahkan ke kita. Mau
sedikit..ok, mau banyak lebih baik. Kapan saja, di mana saja boleh, asal tidak melanggar
syariat yg telah ditetapkan (misal di WC).
Kesalahan biasanya adalah ada orang tidak bisa membedakan ibadah MAHDAH dan
ibadah GHAIRU MAHDAH. Maka orang semacam ini akan selalu mengejar contoh
Nabi, juklak Nabi, dsb. Jika tidak ada, maka dikatakannya bidah. Ada tulisan kami ttg
konsep ibadah yang membahas ibadah mahdah dan bukan mahdah. Simak-lah.
Ada cerita menarik mengenai Idul Adha kemarin. Sudah biasa orang bertakbir di hari
raya. Namun ada satu komentar bahwa bertakbir dengan dipimpin itu bidah (sesat),
tidak ada contoh Nabi saw. Katanya takbir itu bersama-sama, tidak ada pimpin-
pimpinan.
Maka persoalan bisa menjadi lebih luas. Bertakbir dengan nada tinggi itu tidak ada
contoh. Bertakbir dengan nada rendah tidak ada contoh. Bertakbir dengan pengeras
suara tidak ada contoh. Memakai baju batik waktu takbir tidak ada contoh. Bahkan
kalau dibalik.. bertakbir dengan tidak dipimpin itupun tidak ada contoh. Ada banyak hal
yg tidak ada contoh. Pelaksanaannya . tidak ada ketentuan nada, tidak ada ketentuan
pengambilan suara, dll. Apa kita tidak usah takbir saja karena tidak ada contoh/juklak
detail-nya? Padahal keutamaan bertakbir di hari raya sudah jelas dalilnya.
Kenyataannya adalah takbir dengan dipimpin itu adalah kebiasaan saja, sebagaimana
halnya tradisi 3,7,40 dst. Tidak ada orang/ulama menyakini itu sebagai kewajiban yg
harus demikian. Justru yang me-bidah2kan itulah yang membuat kekacauan. Dan itu
dilarang (dalam hal membuat kekacauan).
Demikian semoga manfaat. Wallahu alam.
Balas
16. Sudiyantos Weblog berkata
Februari 25, 2008 pada 08:51
[...] anjurkan oleh Ustdz. Yusuf Mansur (wisatahati.com) saya menemukan komentar
tentang tahlil di sebuah blog-nya orgawan, yaitu [...]
Balas
17.
Amat berkata
Maret 6, 2008 pada 14:03
Artikel sebelum ini sebenarnya mendedahkan satu lagi kemungkaran dalam kenduri
tahlil. Yang mana, bagi kita yang biasa atau pernah mengamalkan kenduri tahlil, antara
bacaan yang akhir-akhir dibaca ialah 3 Qul, di mana antara satu surah dengan surah yang
berikutnya akan dibaca tahlil dan takbir, yakni Laa ilaaha illAllaahu wAllaahu Akbar.
Nah, artikel sebelum ini telah membuktikan ianya tidak mempunyai dasar dalam Sunnah
yang sahih dan tidak pula diamalkan oleh para Sahabat. Justeru ianya bidah.
Antara perkara yang saya secara peribadi anggap lucu ialah masyarakat Melayu Islam,
khususnya di Singapura, Malaysia dan Indonesia, mengaku bermadzhab Syafii.
Bahkan ada yang mengaku amalan kenduri tahlil ini adalah dari madzhab Syafii!
SubhanAllah.. mungkin mereka belum pernah membaca sebuah riwayat bahawa Imam
Syafii rahimahullaah pernah melarikan diri dari kota Basrah kerana di situ terdapat
sekumpulan manusia yang mengamalkan suatu amalan yang diada-adakan di dalam
agama yang dinamakan tahlilan (yakni kenduri/majlis tahlil).
SubhanAllah.. Imam Syafii larikan diri dari kota Basrah kerana tidak mahu syubhat
sedikit pun dengan bidah tersebut. Beliau larikan diri dari bidah tersebut.
Akan tetapi, masyarakat Melayu Islam yang mengaku bermadzhab Syafii bukan
melarikan diri dari bidah tersebut tetapi lari untuk menghadiri majlis tersebut kerana
menganggapnya baik.
SubhanAllah..
Perlu kita ketahui bahawa Ibnu Umar radhiyAllahu anhu pernah berkata:
Setiap bidah (dalam agama) adalah sesat, sekalipun orang ramai menganggapnya baik.
Athar ini diriwayatkan oleh Abu Syamah dengan sanad hasan.
Siapakah Imam Abu Syamah rahimahullah? Beliau seorang ahli hadith yang bermadzhab
Syafii.
Lalu mengapa kita yang mengaku bermadzhab Syafii tidak mahu mengambil athar Ibnu
Umar yang diriwayatkannya, lalu menetapkan dengan tegas bahawa setiap bidah dalam
agama adalah sesat dan akan bawa ke neraka?
Kalau mungkin ada daripada kita yang belum mengetahui athar tersebut, maka sekarang
kita telah ketahui. Lalu nilailah.
Wallahu alam.
> Ttg fatwa Imam Syafii dll, tampaknya anda tak membaca komentar2 dan jawaban2
kami sebelum ini. Setahu kami, setiap amal bacaan (dari surah al fatihah, Qulhu,..dst,
sampai tahlil) dalam setiap tahlilan (kenduri tahlil, istilah anda), ada semua dalil yang
mendasarinya. Ada banyak fadilah2 bacaan dzikir. Semuanya dari kanjeng Nabi saw.
Tahlil adalah kalimat laa ilaa ha illallah. Tahlilan adalah majelis dzikir yang membaca
kalimat laa ilaa ha illallah sebagai dzikir utamanya. Ini amalan surga. Amalan yang
menyebabkan ridlo Ilahi.
Lalu bidahnya di mana? Apa yg menyebabkan anda bersikeras bahwa tahlilan itu sesat.
Tunjukkan salahnya, tunjukkan bidahnya, tunjukkan sesatnya di mana. Kemudian
tunjukkan seharusnya bagaimana .. ttg mengamalkan kalimat dzikir ini.
Jika anda tak bisa menunjukkannya, dan hanya mengatakan ini bidah .. itu sesat, maka
anda telah membidah-sesatkan orang- orang yang membaca dzikir laa ilaa ha illallah.
Itu adalah sesat itu sendiri. Hanya setan dan teman- temannya yang tidak suka tahlil,
tidak suka pada majelis dzikir. Mereka berusaha menghilangkannya dengan berbagai
cara. Berhati-hatilah.
wallahu alam.
Balas
o
Abu Hafizh berkata
April 8, 2011 pada 16:37
Ini ada tulisan yang saya susun ketika membedah tentang persoalan apakah
tahlilan itu sunnah atau bidah? diskusi ini berlangsung selama 3 hari, berikut
kami uraikan (mohon maaf jika ayat atau hadits atau fatwa ulama dalam bahasa
arab tidak tercantum dengan baik:

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah mengutus hamba-
Nya yang mulia, Muhammad saw., sebagai pemberantas kesesatan dan aneka
kepercayaan jahiliyah yang kental dengan ashabiyah (fanatisme buta) dan
membawa agama Islam sebagai jalan hidup seluruh manusia untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Shalawat dan salam semoga senantiasa
dilimpahkan atas Rasul-Nya, Muhammad saw., keluarganya, para sahabat, tabiin,
tabiit tabiin, dan para pengikutnya yang tetap setia dan teguh dalam menegakkan
sunnahnya yang mulia ini sampai akhir zaman.
Ulasan Tahlilan: Bidah atau Sunnah? (Membedah Sikap Keberagamaan Umat
Islam), yang ada ditangan Anda ini, adalah ulasan singkat mengenai fenomena
tahlilan yang hingga hari ini selalu menjadi perselisihan dikalangan umat. Telah
kita maklumi bersama, tahlilan merupakan upacara ritual memperingati hari
kematian yang biasa dilakukan oleh umumnya masyarakat Muslim di negeri ini.
Dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang, maka
acara tersebut biasa dikenal dengan istilah tahlilan.
Sebenarnya ulasan ini penulis hadirkan lebih didasari pada upaya untuk
mendudukkan persoalan yang sesungguhnya mengenai tahlilan dalam mashadir
al-ahkam (landasan hukum yang disepakati, yakni al-Quran dan as-Sunnah
Rasulullah saw.) dan beberapa fatwa ulama mengenai fenomena tahlilan tersebut.
Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk menampilkan dalil dan hujjah baik
naqly maupun aqly yang argumentatif sertaInsya Allah, dapat dipertanggung-
jawabkan, karena semua dalil tersebut penulis ambil dari dua warisan Nabi saw.,
yakni al-Quran dan al-Hadits serta ijma ulama mengenai tahlilan itu sendiri.
Adanya perselisihan dalam memandang tahlilan ini lebih diakibatkan oleh
pemutarbalikan informasi sehingga masyarakat dengan yakin menganggap bahwa
tahlilan merupakan bagian dari Sunnah Nabi saw. Padahal jika ditelusuri asal-
usulnya secara seksama dan diteliti dalil yang melandasinya tidaklah demikian.
Ini bukan berarti penulis sengaja membuka kemarahan, aib, atau menimbulkan
kekacauan dikalangan umat. Sebab, mengungkapkan kebenaran informasi yang
sesungguhnya mengenai tahlilan ini selama dalam bingkai amar maruf nahi
munkar, Insya Allah ada nilai ubudiyahnya.
Saling memberi nasehat dalam kebenaran dan kesabaran adalah pesan Allah SWT
dalam kitab-Nya (QS. al-Ashr: 3). Adapun kenapa ada kata sabar dalam bingkai
nasehat tentu ada maksud dibalik itu. Karena ternyata, tidak semua orang dapat
bersabar dalam menerima nasehat. Oleh sebab itu, agar nasehat dapat diterima
dengan baik, maka harus berada dalam koridor kebenaran dan al-khairu, yakni
berlandaskan pada al-Quran dan as-Sunnah Rasulullah saw.
Itulah sebabnya, penulis sangat menyadari benar bahwa tidak semua nasehat bisa
diterima dengan lapang dada, apalagi terhadap suatu kebiasaan yang telah
mendarah daging dalam kehidupan seseorang atau masyarakat. Bisa jadi
penolakan itu lebih dikarenakan ketidaktahuan, menutup mata, menutup hati,
merasa paling benar dan besar, atau bahkan tidak mau tahu terhadap kebenaran
mashadir al-ahkam dan ijma ulama, atau bisa jadi juga karena kesombongan.
:
Rasulullah saw., bersabda: Sombong adalah menolak kebenaran dan
meremehkan orang lain. (HR. Muslim dari Ibnu Masud, lihat dalam Shahih
Muslim, Kitab al-Iman Bab Tahrimi al-Kibr wa Bayanih, Nomor Hadits 91).
Karenanya, sebagaimana pesan Nabi saw., agar kita diperintahkan untuk bergerak
menuju ketaatan, yakni ketaatan pada Allah (al-Quran) dan Nabi saw., (as-
Sunnah). Sebab, beliau menyatakan bahwa sesungguhnya ketaatan itu hanya
dalam masalah kebaikan (Shahih Bukhari nomor 7145 dan Shahih Muslim nomor
1840).
Selanjutnya penulis akan sangat berterima kasih dan menerima dengan tangan
terbuka sekiranya ada yang melakukan kritikan atas tulisan ini. Tentunya dengan
cara yang arif dan dewasa. Bukan dengan cara-cara yang tidak simpatik atau teror
yang tidak mendidik. Karena selain sama saja dengan menampakkan (maaf)
kebodohan sendiri, juga menjadi bukti nyata dan pengakuan secara tidak langsung
atas kebenaran tulisan ini. Dan alangkah tidak terpujinya jika penulis pun terjebak
ikut melayani tindakan bodoh dengan cara yang bodoh pula. Sebab, Allah SWT
telah mengingatkan:
Dan menghindarlah kamu dari orang-orang yang bodoh. (QS. al-Araf: 199).
Dan juga sebagaimana sabda Nabi saw., yang perlu kita renungkan bersama:
Agama itu nasehat. (HR. Muslim dari Abu Hurairah, juga diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dari Tsauban dan al-Bazzar dari Ibnu Umar. Lihat Jami al-Ulum
wa al-Hikam yang ditahqiq oleh Wahbah al-Zuhaily). Dan penulis juga mengulas
fenomena ini tidak lain sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Hud: 88,
yakni:
Yang aku inginkan hanyalah perbaikan sebatas kemampuanku. Dan tidak ada
taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) dari Allah. Kepada-Nya aku
bertawakkal. Dan kepada-Nya jua aku kembali.
Tingkat kedewasaan dan keterbukaan Anda, pembaca yang terhormat, membuat
penulis yakin bahwa Anda bisa menerima tulisan ini dengan jiwa besar, lapang
dada, apa adanya, dan mau merenunginya. Dan penulis optimis, Anda bisa
menyimak tulisan ini lembar demi lembar dengan seksama, karena boleh jadi di
antara Anda, adalah guru penulis, saudara dan sahabat penulis, dan orang-orang
yang penulis kenal dengan baik.
Akhirnya, kepada Allah jua kita kembalikan kebenaran, karena Dia-lah Pemilik
Kebenaran atas segala sesuatu. Selamat Membaca. Wallahu alam bish-shawwab.
TAHLILAN: BIDAH ATAU SUNNAH?
(Membedah Sikap Keberagamaan Umat Islam)
Muqaddimah
Kata tahlilan sebenarnya berasal dari kata tahlil, yang dalam bahasa Arab berarti
mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah. Pada acara tahlilan, biasanya dibaca
beberapa kalimat dzikir, seperti tasbih, tahmid, dan tahlil. Karena tahlil adalah
dzikir yang paling utama, maka pertemuan itu disebut dengan istilah tahlilan.
Acara tahlilan, yakni acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/ruh,
merupakan tradisi yang telah melembaga di kalangan masyarakat Islam di negeri
ini. Tentu tatacara dalam penyelenggaraan tahlilan ini berbeda-beda antara satu
daerah dengan daerah lainnya, sebagaimana yang penulis amati dari Sabang
sampai Jayapura.
Persoalannya, dapatkah orang mati menerima ganjaran pahala atau dosa karena
amalan orang yang masih hidup? Dapatkah orang yang masih hidup mengirimkan
pahala bacaan al-Quran kepada orang yang sudah meninggal (mayit)? Untuk
menjawab dan membahas hal ini, penulis mengajak pembaca untuk
memperhatikan dan memahami keterangan-keterangan yang penulis paparkan
berikut ini.
1. al-Quran Surat an-Najm: 39, yakni:
u&| t4 Bt- )ee 9e~MET,~ 9v.+}
Dan sesungguhnya manusia tidak akan mendapatkan, melainkan (menurut) apa
yang telah ia usahakan.
2. al-Quran Surat an-Naba: 41, yakni:
||- u#-9+~ct~Me
Pada hari seseorang akan melihat apa yang telah diusahakan oleh kedua
tangannya.
Masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan kedua ayat tersebut, seperti
dalam al-Quran Surat al-Baqarah: 48, 185, dan 286; al-Ankabut: 6; al-Isra: 15;
Faathiir: 18; ath-Thur: 21, dan lain-lain.
Rasulullah saw., juga bersabda dalam sebuah hadits, yang berbunyi:
, , :

Apabila seorang anak Adam meninggal, putuslah semua amalnya kecuali tiga
hal, shadaqah jariyah, ilmunya yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang
mendoakannya. (HR. Muslim dalam Shahih-nya Hadits Nomor 3084; at-
Tirmidzi dalam Sunan-nya Hadits Nomor 1298; an-Nasai dalam Sunan-nya
Hadits Nomor 3591; Abu Daud dalam Sunan-nya Hadits Nomor 2494; dan Imam
Ahmad dalam al-Musnad-nya Hadits Nomor 8489).
Dari beberapa ayat dan hadits tersebut, jelas bahwa setiap orang hanya
bertanggung jawab atas hasil usahanya sendiri. Tetapi anehnya, banyak perilaku
umat Islam yang jauh dari konteks kesucian al-Quran dan Sunnah Rasulullah
saw. Tidak sedikit dari kalangan masyarakat Islam yang tidak menyadari bahwa
ada kebiasaan-kebiasaan yang telah menjamur dan melembaga ternyata sangat
diragukan kebenarannya.
Salah satunya adalah tahlilan. Jika tahlilan dikatakan bidah atau haram, pasti
banyak yang akan terkejut, tidak percaya, atau mungkin sampai pada tingkat
marah-marah. Dan orang yang mengatakan atau menginformasikan hal tersebut
tentu dianggap telah meresahkan masyarakat, atau dicap pembuat onar dalam
tatanan masyarakat. Sebab, bagaimana mungkin kebiasaan yang dilakukan oleh
jutaan orang tiba-tiba dikatakan bahwa tahlilan itu bidah atau haram? Bagaimana
mungkin dikatakan bidah atau haram sedangkan banyak ulama, teungku, ustadz,
atau orang-orang yang memiliki pengetahuan agama malah mengerjakannya
bahkan ikut melestarikannya?
Tapi tahukah Anda, Imam asy-Syafii yang banyak diikuti madzhabnya di negeri
ini, memvonis tahlilan itu sebagai perbuatan bidah atau haram? Tahukah kita,
bahwa Imam an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany, al-Hafizh Imam Ibnu
Katsir, Imam ar-Ramly, dan masih banyak lagi ulama-ulama Syafiiyah (madzhab
Syafii) juga memvonis atau menyatakan bahwa tahlilan itu perbuatan bidah atau
haram?
Untuk menjelaskan hal ini, penulis mengutip fatwa-fatwa para Ulama tersebut
secara apa adanya dari kitab mereka masing-masing.
1. Imam asy-Syafii dalam al-Umm, (juz 1/248; dan I/317-318):

Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan) kumpul-kumpul, yaitu berkumpul
di rumah (mayit) walaupun bukan untuk melakukan ratapan, karena
sesungguhnya yang demikian itu akan memperbarui kesedihan.
2. Muhammad al-Khathib asy-Syarbiny dalam al-Mughny al-Muhtaj, juz. 1 hal.
268:

Adapun menyediakan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpul beramai-
ramai di rumah mayit dalam acara tersebut (tahlilan), maka itu adalah bidah dan
bukan sunnah.
3. As-Sayyid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy dalam Ianah ath-Thalibin sebagai
syarah Fathul Muin, juz. 2 halaman 146:

:
Dan apa yang telah menjadi kebiasaan berupa menyediakan hidangan makanan
oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang orang-orang berkumpul di
rumah duka adalah bidah makruhah, karena terdapat hadits shahih (yang
menerangkan hal itu) dari sahabat Jarir ibn Abdullah ra., beliau berkata: Kami
(para sahabat) menganggap bahwa berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga
mayit dan menyiapkan makanan adalah (sama) dengan ratapan (niyahah). (HR.
Ahmad dalam al-Musnad-nya, jilid II, halaman 204. Silahkan baca juga Kitab
Tuhfatul Ahwadzi (IV: 67) yang ditulis oleh Muhammad Abdurrahman ibn
Abdurrahim).
4. Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim ala an-Nawawi, juz. 1 hal. 90:

. :
: , :
,
Adapun bacaan al-Quran (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka
yang masyhur dalam madzhab asy-Syafii, adalah tidak dapat sampai kepada
mayit yang dikirimiSedang dalilnya Imam asy-Syafii dan pengikut-
pengikutnya, yaitu firman Allah (yang artinya): Dan seseorang tidak akan
memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri, dan sabda Nabi saw., (yang
artinya): Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amal
usahanya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan
anak yang shalih (laki-laki/perempuan) yang berdoa untuknya (mayit).
5. Imam as-Subki dalam Takmilatul Majmu Syarah al-Muhadzab, juz. 10 hal.
426:


Adapun bacaan al-Quran dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan
mengganti shalatnya mayit, dan sebagainya, menurut Imam asy-Syafii dan
Jumhur Ulama adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi dan
keterangan seperti ini telah diulang-ulang oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya
Syarah Shahih Muslim.
6. Imam al-Haitami dalam Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, juz. 2 halaman 9:


:
Mayit, tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari
Ulama Mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit)
adalah tidak sampai kepadanya. Sebab, pahala bacaan itu adalah untuk
pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari yang
mengamalkan perbuatan itu, berdasarkan firman Allah (yang artinya): Dan
manusia tidak memperoleh melainkan pahala dari hasil usahanya sendiri (QS. an-
Najm: 39,pen.).
7. Imam an-Nawawi dalam al-Majmu Syarah al-Muhadzab, juz. 5 halaman 286:


Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqli-nya dan hal tersebut
merupakan perbuatan bidah yang tidak disunnahkan.
8. Imam al-Qalyuby dalam Hasyiyah al-Qalyuby, juz. 1 halaman 353:
,
.

Guru kita, Imam ar-Ramly telah berkata sesuai dengan apa yang dinyatakan di
dalam kitab ar-Raudhah (Imam an-Nawawi), sesuatu yang merupakan bagian dari
perbuatan bidah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa
dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk
mengumpulkan tetangga, baik sebelum, maupun sesudah hari kematian.
9. Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj, juz. 1 halaman 577:


Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan daripada penghidangan makanan
oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya
adalah bidah munkarah yang makruhah berdasarkan keterangan shahih dari Jarir
ibn Abdullah.
10. Muhammad al-Khathib asy-Syarbiny dalam al-Iqna Li asy-Syarbiny, (I/210):

Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut hukumnya bidah yang tidak disunnahkan.
11. Dalam Kitab ar-Raudhah ath-Thalibin, juz. 2 halaman 145:


Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan
masyarakat terhadap acara tersebut tidak ada dalil naqli-nya, bahkan perbuatan
tersebut hukumnya bidah yang tidak disunnahkan.
12. Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Azhim, jilid IV hal.
335, ketika menafsirkan QS. an-Najm: 38-39, beliau berkata:
. ,
.
.

,
.
Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain,
demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil
amalnya sendiri. Melalui ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafii dan ulama-ulama
yang mengikutinya mengambil hukum bahwa pahala bacaan (al-Quran) yang
dihadiahkan kepada orang mati tidak dapat sampai kepadanya karena bukan dari
amal usahanya sendiri. Oleh karena itu, Rasulullah saw., tidak pernah men-
Sunnahkan umatnya dan menganjurkan mereka melakukan perbuatan tersebut,
serta tidak pula merujuk kepadanya (menghadiahkan bacaan kepada orang mati)
walaupun dengan satu nash (dalil) maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang
Sahabat Rasul pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau memang
perbuatan itu baik, tentu mereka (sahabat) lebih dahulu mengerjakannya. Padahal
amalan mendekatkan diri kepada Allah hanya terbatas yang ada nashnya (dalam
al-Quran dan as-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan
pendapat-pendapat.
13. Imam al-Muzani dalam Hamisy al-Umm, juz. 7 halaman 269:
,

Rasulullah saw., memberitahukan sebagaimana yang diberitakan Allah SWT,
bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalnya
adalah untuk dirinya sendiri dan bukan untuk orang lain dan tidak dapat
dikirimkan kepada orang lain.
14. Imam al-Khazin dalam Tafsir al-Jamal, juz. 4 halaman 236:

Dan yang masyhur dalam madzhab asy-Syafii, bahwa bacaan al-Quran (yang
pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepada mayit
yang dikirimi.
15. As-Sayyid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy (mengutip keterangan dari Kitab
al-Bazzaziyah) dalam Ianah ath-Thalibin, juz. 2 halaman 146:
.
Dan tidak disukai menyelenggarakan makan-makan pada hari pertama
(kematian), hari ketiga, sesudah seminggu, dan juga memindahkan makanan ke
kuburan secara musiman (peringatan khaul).
Demikianlah keterangan ulama-ulama dari kalangan madzhab asy-Syafii, yang
semuanya menyatakan pengharaman dan menganggap bahwa berkumpul di
rumah mayit yang dikenal dengan istilah tahlilan adalah bidah munkarah yang
makruhah.
Tentu, fatwa ulama-ulama yang dikagumi dan sangat berpengaruh dikalangan
Syafiiyah tersebut semuanya berlandaskan pada Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah saw., yakni sebagaimana termaktub dalam QS. an-Najm: 38-39 dan
juga keterangan shahih dari Jarir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad ibn Hanbal dalam al-Musnad-nya (II/204) dan Ibnu Majah (1/514, no.
1612) dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim. Dapat juga
diperiksa dalam Tuhfatul Ahwadzi (IV/67) yang ditulis oleh Muhammad
Abdurrahman ibn Abdurrahim.
Islam, sebagaimana yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, Muhammad saw.,
yang kemudian diteruskan kepada umatnya, adalah agama yang sudah dijamin
kesempurnaannya. Hal ini jelas sekali termaktub dalam QS. al-Maidah ayat 3,
dimana Allah SWT menyatakan bahwa:
e+o3'N| 9o3'N| &..0=(M^ #-9.uu|Ht e++- #-}M(=v~N,
9o3'N uu_M^ Pe\|0A |t=v.3'N| u&X.o0(M^
Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan
nikmat-Ku bagimu, dan Aku ridha Islam menjadi agamamu.
Karenanya, sebagai hamba Allah, tentu dalam beribadah kita tidak boleh
mengerjakan sesuatu tanpa ada landasan, karena Islam yang telah Allah ridhai ini
adalah Islam yang sempurna, tidak ada yang tertinggal sedikitpun. Bahkan dengan
sangat tegas Nabi saw., menyatakan bahwa kita tidak akan tersesat selama-
lamanya jika kita berpegang teguh kepada al-Quran dan as-Sunnah (HR. Malik
dalam al-Muwaththa, 3/93; juga dalam Tanwirul Hawalik Syarh al-Muwaththa,
oleh as-Suyuthi; dan dalam ar-Riyadhul Jannah, no. 31-33; asy-Syaikh al-Albani
berkata: Sanadnya hasan.).
Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah Rasulullah saw., bukan persangkaan atau
kira-kira atau menggunakan perasaan. Bagi seorang Muslim, tidak boleh ada
perasaan atau ungkapan: Ah, ini kan baikatau: Apa salahnya kita
kerjakandan lain-lain ungkapan. Sebab, Allah dan Rasul-Nya telah
menegaskan:
Be( /ee ;M uBt- #-:.tt,o Be, (._ e #-9^vs u)e|
( #-9^vs )ee tu|7e\u|t )e| ( |e=(OA v.-
Persangkaan itu sedikitpun tidak akan bermanfaat bagi kebenaran. (al-Quran
Surat an-Najm: 28).
,
Jauhilah olehmu sekalian persangkaan, karena persangkaan itu adalah perkataan
yang paling dusta. (HR. Bukhari dari Abdullah bin Yusuf, Imam Muslim dari
Yahya bin Yahya, Abu Daud dari al-Atabi, juga Imam Malik dari Abu Hurairah,
dan lafazh diatas adalah lafazh Imam Malik).
Oleh karena itu, cara yang paling baik dan selamat bagi kita dalam ber-Islam ini
adalah dengan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Walaupun kebanyakan
manusia berbuat sesuatu dalam ibadah, atau melakukan tatacara dalam ibadah
yang tidak berdasar petunjuk Sunnah, kita tetap tidak boleh mengikuti yang
demikian. Sebagaimana Allah nyatakan dalam QS. al-Araf: 3, yakni:
Be ?ou|7e\u#( ue +/ve3'O( Bie )e9o.3'N &PcAt Bt-!
#-?7e\u#( ?o.v|t B- o=eO 3 &|9eu-!'u
Pee
Ikutilah oleh kalian apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian.
Dan jangan kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain Dia. Sungguh sedikit
sekali kamu ingat kepada-Nya.
Juga sebagaimana sabda Nabi saw:

Barangsiapa yang mengerjakan suatu ibadah yang tidak ada dasar (tuntunannya)
dari kami, maka ia tertolak. (HR. Bukhari nomor hadits 2697 dan Muslim nomor
hadits 1718, dari Aisyah).

Barangsiapa yang menginginkan keridhaan manusia dengan membuat murka
Allah, maka Allah akan menjadikan dia bergantung pada manusia. (HR.
Tirmidzi, Qadhai, Ibnu Bisyran, dan lain-lain, sebagaimana dishahihkan oleh
asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam ash-Shahihah Hadits
Nomor 2311, juga termaktub dalam Kitab Takhrij al-Aqidah ath-Thahawiyyah).
Lalu, bagaimana dengan madzhab lainnya, seperti Malikiyah, Hanafiyah atau
Hanabilah? Apakah dalam ketiga madzhab itu ada tahlilan juga? Untuk
menjawabnya, berikut penulis paparkan fatwa-fatwa ulama-ulama dari ketiga
madzhab tersebut.
1. Hanafiyah (pendirinya: Imam Abu Hanifah Numan ibn Tsabit)
a. Muhammad Amin dalam Hasyiyah Radd al-Mukhtar ala ad-Dar al-Mukhtar,
juz. 2 halaman 240:
.
,
: . :
.
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena
hidangan hanya pantas disajikan dalam keadaan bahagia, bukan dalam keadaan
musibah, hukumnya bidah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam
Ahmad dan Ibnu Majah (lihat dalam Sunan Ibnu Majah, juz. 1 hal. 514)
meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari Jarir ibn Abdullah,
beliau berkata: Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di
rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan
bagian dari perbuatan niyahah. Dalam kitab al-Bazzaziyah dinyatakan bahwa
makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah
kematian makruh hukumnya.
b. Ahmad ibn Ismail ath-Thahthawy dalam Hasyiyah ala Muraqy al-Falah, juz. 1
halaman 409:
,


Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab Al-
Bazzaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan pada hari pertama, ketiga,
serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya.
c. Ibn Abdul Wahid al-Siewasy dalam Syarh Fath al-Qadir, juz. 2 halaman 142:
.
,
. :
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit karena
hidangan hanya pantas disajikan dalam keadaan bahagia, bukan dalam keadaan
musibah, hukumnya bidah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam
Ahmad dan Ibnu Majah (lihat Sunan Ibnu Majah, juz. 1 halaman 514)
meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari Jarir ibn Abdullah,
beliau berkata: Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di
rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan
bagian dari perbuatan niyahah.
2. Malikiyah (pendirinya: Imam Malik bin Anas)
Sebagaimana diterangkan oleh Abu Abdullah al-Maghraby dalam Mawahib Jalil
li Syarh Mukhtashar Khalil, juz. 2 halaman 228:


Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama. Bahkan
mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bidah karena tidak
didapatkan keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut dan keadaan tersebut
tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta).
3. Hanabilah (pendirinya: Imam Ahmad bin Hanbal)
a. Ibnu Qudamah al-Muqaddasy dalam al-Mughny, juz. 2 hal. 215 (cetakan baru
yang ditahqiq Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, juz 3 hal. 496-497):

:
: : . :
. : .
Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh
keluarga mayit hukumnya makruh. Karena telah menambah musibah baru kepada
keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus telah menyerupai apa yang
biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Dan diriwayatkan bahwa Jarir
mengunjungi Umar, lalu Umar bertanya: Apakah kalian suka meratapi mayit?
Jawab Jarir: Tidak. Umar bertanya: Apakah kalian suka berkumpul bersama
keluarga mayit yang kemudian menghidangkan makanan? Jawab Jarir: Ya.
Berkata Umar: Hal tersebut termasuk meratapi mayit (niyahah). (HR. Ibnu Abi
Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 halaman 487).
b. Abu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy dalam al-Furu wa Tash-hih al-Furu,
juz. 2 halaman 230-231:
. ( )
. .
Sesungguhnya, disunnahkan mengirimkan makanan itu apabila tujuannya untuk
keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang
sedang berkumpul disana, maka makruh hukumnya. Karena berarti telah
membantu terhadap perbuatan makruh, demikian pulan makruh hukumnya
apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit.
c. Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly dalam al-Mabda fi Syarah al-Miqna, juz. 2
halaman 283:
. , : .
.
Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari
niyahah dan sebagian lain mengatakan (berpendapat) haram. Sanad hadits tentang
masalah tersebut adalah tsiqat (terpercaya).
d. Manshur bin Idris al-Bahuty dalam ar-Raudhah al-Marbi, juz. 1 halaman 355:
.
Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada
para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Jarir.
e. Syaikhul Islam Imam Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dalam Kutub wa
Rasail wa Fatawa Ibnu Taimiyah fi al-Fiqh, juz. 24 halaman 316:

. :
Adapun penghidangan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit (dengan
tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan itu
bidah, berdasarkan perkataan Jarir ibn Abdullah: Kami semua (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan
makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah. (Note: fatwa
senada juga dapat disimak dalam Fathurrabbani Tartib al-Musnad al-Imam
Ahmad bin Hanbal, 8/95-96, oleh Syaikh Ahmad Abdurrahman al-Banna pen.).
Berdasarkan beberapa fatwa ulama-ulama dari madzhab lainnya (Malikiyah,
Hanafiyah, dan Hanabilah), terungkap dengan jelas adanya kesamaan fatwa
mereka mengenai bidahnya tahlilan ini seperti halnya fatwa Imam asy-Syafii
dan para pengikutnya. Para ulama mutaqaddimin tersebut mengeluarkan fatwa-
fatwa mereka dengan berlandaskan pada al-Quran dan as-Sunnah Rasulullah
saw., sebagaimana yang termaktub dalam QS. al-Baqarah: 48, 185, 286; an-Najm:
38-39; an-Naba: 41; al-Ankabut: 6; al-Israa: 15 dan lain-lain, juga berlandaskan
pada beberapa hadits berikut:
1. Imam Bukhari dalam Shahih-nya (juz. 1 hal. 23); Ibnu Hibban dalam Shahih-
nya (juz. 2 hal. 63); Baihaqy dalam Sunan al-Kubra (juz. 3 hal. 18); dan Imam an-
Nasai dalam al-Mujtaba (juz. 8 hal. 121-122) mengeluarkan hadits:

Sesungguhnya agama ini (Islam) mudah.
2. Yang diterima dari sahabat Jarir ibn Abdullah al-Bajaly, kemudian dikeluarkan
oleh Imam Ahmad ibn Hanbal (al-Musnad, juz. 2 halaman 204) dan Ibnu Majah
(Sunan Ibnu Majah, juz. 1 halaman 514, no. 1612), yaitu:
.
Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga
mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari
perbuatan niyahah.
3. Yang diterima dari Thalhah, kemudian dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah,
yaitu:
: . : :
. : . :
Dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar bertanya:
Apakah kalian suka meratapi mayit? Jawab Jarir: Tidak. Umar bertanya:
Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayit yang kemudian
menghidangkan makanan? Jawab Jarir: Ya. Berkata Umar: Hal tersebut
termasuk meratapi mayit (niyahah). (HR. Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam
Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 hal. 487).
4. Yang diterima dari Said bin Jabir dan dari Khaban (Abu Hilal) al-Bukhtary,
kemudian dikeluarkan oleh Abdul al-Razaq. Hadits tersebut dengan lafazh
berbeda dikeluarkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah melalui perjalanan sanad:
Fudhalah ibn Hashien dari Abdul al-Karim dari Said ibn Jabir, yaitu:

.
Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyah: niyahah, hidangan dari keluarga
mayit dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit. (Abdul al-Razaq
ash-Shanani dalam al-Mashhaf, juz. 3 hal. 550; Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam
Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 hal. 487).
Dengan lafazh yang berbeda tetapi maknanya sama, pada hal. 487, Ibnu Abi
Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, mengeluarkan dua hadits lain,
yaitu: Telah berbicara kepada kami, Waki bin al-Jarah dari Soufyan dari Hilal
bin Khabab dari Khabab al-Bukhtary, beliau berkata: Makanan yang
dihidangkan keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah, dan
niyahah (meratapi mayit) merupakan perbuatan jahiliyah.
Dan juga hadits berikut: Telah berbicara kepadaku Yanaqid bin Isa dari Tsabit
dari Qais, beliau berkata: Saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga
mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: Kalian akan (mendapat)
bencana dan akan merugi.
Lalu, bagaimana dengan ulama-ulama kontemporer (mutaakhirin)? Apakah
mereka juga ada membahas persoalan tahlilan ini? Untuk memuaskan keinginan
dan dalam rangka menunjukkan kebidahan tahlilan, maka berikut ini penulis
paparkan fatwa-fatwa ulama kontemporer tersebut dalam uraian berikut ini:
1. Ali Mahfuzh dalam al-Ibda fi Madlar al-Ibtida, halaman 229:

.
Tidak diperbolehkan menghidangkan makanan bagi orang-orang yang sedang
berkumpul di rumah keluarga mayit, bahkan hukumnya makruh karena berarti
telah membantu terhadap perbuatan makruh, yaitu berkumpul di rumah keluarga
mayitdemikian pula keluarga mayit dimakruhkan menghidangkan makanan
tersebut kepada orang-orang yang sedang berkumpul tadi.
2. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam Kitab at-Tauhid, halaman 109-110
menyatakan bahwa kebiasaan berkumpul menunjukkan perasaan al-matam (duka
cita), berikut penghidangan makanan dari keluarga mayit merupakan kebiasaan
orang kafir yang ditiru oleh umat Islam dan hal tersebut merupakan perbuatan
bidah.
3. Syaikh Dr. Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu,
halaman 1578-1579 menulis:
.

. :
Adapun penghidangan makanan untuk masyarakat yang dilakukan oleh keluarga
mayit adalah perbuatan bidah yang tidak ada asalnya dan yang dimakruhkan,
karena hal tersebut mengandung arti menambah beban musibahnya serta
menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyah, apabila biayanya berasal dari harta
waris yang diantara ahli warisnya terdapat anak yang belum baligh, maka haram
hukumnya melakukan penghidangan tersebut. Jarir bin Abdullah telah berkata:
Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga
mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari
perbuatan niyahah.
4. An-Nawawy al-Bantany dalam Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadiin, hal.
281:



,
.
Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara adalah dianjurkan.
Namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ketujuh atau hari-hari lainnya.
Sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan diantara orang-orang
yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari
kematiannya, atau hari ketujuh atau keduapuluh atau keempatpuluh atau keseratus
dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal itu semua
hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan
yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit
(biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumnya apabila biayanya berasal
dari harta anak yatim.
Catatan: Syaikh Nuruddin ar-Raniry dalam Shirathal Mustaqim juz. 2 hal. 50 dan
Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabil al-Muhtadin juz. 2 hal. 87
menyatakan bahwa itu termasuk kategori bidah.
5. Kesepakatan fatwa Nahdlatul Ulama dalam al-Mawaidz Edisi No. 13 halaman
200, dan Edisi No. 18 halaman 285-286, yang menyatakan sikap yang sebenarnya
terhadap kedudukan hukum tahlilan sebagai perbuatan yang membebani keluarga
mayit, bertolak belakang dengan hadits yang memerintahkan untuk mengirimkan
makanan kepada keluarga mayit, bukan sebaliknya (lihat dalam Sunan Abu Daud
3/195; Sunan al-Kubra al-Baihaqy 4/61; Sunan ad-Daraquthny 2/78; Sunan at-
Tirmidzi 3/323; al-Mustadrak al-Hakim 1/527; Sunan Ibnu Majah 1/514).
Berdasarkan keterangan as-Sayid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy dalam Kitab
Ianah ath-Thalibin, ternyata para ulama dari keempat madzhab telah menyepakati
bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut
dengan istilah nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dan sebagainya merupakan
perbuatan bidah yang tidak disukai oleh agama.
Ini diketahui bahwa sebenarnya yang menghukumi tahlilan sebagai perbuatan
bidah munkarah itu ternyata adalah ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah.
Kesimpulannya, bahwa hukum tahlilan yaitu bidah yang dimakruhkan dengan
makruh tahrim, bahkan dapat berubah menjadi haram li ghairihi (menjadi haram
dikarenakan sebab lain) apabila biaya tahlilan berasal dari tirkah mayit
(peninggalan mayit) yang diwariskan pada ahli waris yang belum baligh.
Sebelum penulis akhiri uraian ini, barangkali ada yang memprotes tentang tahlilan
ini. Namun, jika kita bertanya kepada yang mendukung tahlilan mengenai alasan
atau argumentasi mereka yang membolehkan tahlilan, maka yang kita temukan
jawabnya hanya berdasarkan istihsan belaka, seperti ungkapan: lho, kan itu
baikkenapa tidak boleh, kan ada doanyaini kan cuma silaturrahmiada nilai-
nilai shadaqah melalui hidanganteungku kami bilang boleh-boleh saja atau
ungkapan lainnya. Sangat jarang sekali (kalau tidak ingin dikatakan tidak pernah
ada) mereka berusaha memberikan dalil naqly yang shahih, atau dhaif bahkan
maudhu sekalipun tentang tahlilan ini.
Penulis pernah diberitahu adanya dalil naqly tentang bolehnya tahlilan dan
menghidangkan makanan bagi keluarga mayit yang penulis terima dari seorang
jamaah yang sering mendengar ceramah penulis. Adapun dalil tersebut
berdasarkan keterangan dari kitab Hasyiyah ala Muraqy al-Falah yang ditulis
oleh Ahmad ibn Ismail ath-Thahthawy juz. 1 halaman 409, juga berlandaskan
pada istihsan sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Fawakih ad-Diwani yang
ditulis oleh Ahmad bin Ghunaim bin Salim an-Nafrawy al-Maliky.
Kedua kitab itu menukil hadits sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad
bin Hanbal, Abu Daud, Baihaqy dan ad-Daraquthny. Hadits tersebut sebagaimana
ditulis dalam Hasyiyah ala Muraqy al-Falah (ath-Thahthawy) adalah sebagai
berikut:
:
,
.
Dari Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari laki-laki Anshar, ia berkata: Kami
bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak
pulang muncullah istri mayit mengundang untuk singgah kemudian ia
menghidangkan makanan. Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan
mencicipinya, kemudian para sahabat turut mencicipi pula.
Namun, setelah hadits yang dijadikan argumen oleh ath-Thahthawy dan yang
dijadikan pedoman oleh orang yang mendukung tahlilan tersebut diteliti dan
dicermati lagi dengan seksama dan penuh kehati-hatian, ternyata ditemukan
adanya perbedaan yang sangat signifikan dengan bunyi hadits aslinya. Berikut
penulis paparkan hadits dari Abu Daud yang penulis rujuk langsung dalam as-
Sunan-nya, juz. 3 halaman 244:



Perbedaannya dalam versi ath-Thahthawy dengan hadits aslinya sungguh teramat
jauh, ada lafazh yang diberi dlamir mudzakar ghaib (imra-atuhu) yang
mengandung arti: istrinya mayit. Sedangkan dalam Kitab aslinya (Sunan Abu
Daud, juz. 3 halaman 244) atau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqy
(Sunan al-Kubra, juz 5 halaman 335), Imam ad-Daraquthny (Sunan ad-
Daraquthny juz. 4 halaman 285), Imam Ahmad ibn Hanbal (al-Musnad juz 5
halaman 293 dan 408), dan Abu Jafar ath-Thahawy (Syarh Maany al-Atsar juz 2
halaman 293) menyatakan bahwa lafazh tersebut adalah imra-atun (tanpa diberi
dlamir mudzakar ghaib), yang artinya mutlak wanita.
Bahkan didalam salah satu hadits yang ditakhrijkan oleh Imam Ahmad ibn
Hanbal dinyatakan dengan jelas bahwa wanita yang menemui Rasulullah saw.,
tersebut adalah seorang wanita Quraisy yang menyampaikan pesan dari seorang
wanita yang tidak diketahui statusnya, yang didalam matan haditsnya diberi
identifikasi dengan klausul fulanah (lihat dalam al-Musnad juz 5 halaman 293).
Secara lafzhy, memang hadits tersebut ada hubungannya dengan masalah orang
mati, tetapi inti pesan hukum yang termaktub dalam hadits tersebut justru tidak
ada hubungannya dengan masalah orang mati. Karenanya, tidak ada satupun
hukum dari ulama-ulama madzhab yang membolehkan tahlilan dan
menghidangkan makanan oleh keluarga mayit.
Jika anda masih kurang paham dan mengerti juga, maka kami persilahkan untuk
memperhatikan dengan seksama dan benar-benar jujur terhadap hadits tersebut
dari segi penempatan permasalahannya. Kitab Sunan al-Kubra Baihaqy
menempatkannya dalam bab Muamalah, Sunan ad-Daraquthny menempatkannya
dalam Bab Makanan, dalam Kitab Syarh Maany al-Atsar yang ditulis Abu Jafar
ath-Thahawy ditempatkan dalam Bab Makanan (4/208), dan dalam Kitab Nishb
ar-Rayah juga ditempatkan dalam Bab Ghasab (4/168).
Bagaimana dengan alasan istihsan yang digunakan untuk menjustifikasi bolehnya
tahlilan? Sebenarnya jika kita mau jujur, dalam wilayah ushul fiqh, eksistensi
istihsan sendiri masih diperselisihkan. Jika ulama-ulama Hanafiyah membela
habis-habisan tentang istihsan karena ide istihsan ini muncul dari Imam Abu
Hanifah (terutama dari sahabat sekaligus muridnya, Abu Yusuf), maka ulama-
ulama Syafiiyah dan ulama-ulama Hanabilah (Hanbali) justru menentang dan
menolaknya tanpa kompromi.
Dalam kitab Ushul Fiqh (sebagaimana dikutip al-Banany dalam Hasyiyah al-
Banany ala Matn Jami al-Jawami, juz 2 halaman 353) dikatakan bahwa istihsan
yang diartikan berpindahnya hukum dari ketentuan dalil (al-Quran dan as-
Sunnah) kepada ketentuan kultur (budaya/tradisi) adalah ditolak. Bahkan dengan
sangat tegas Imam asy-Syafii menyatakan:

Barangsiapa yang mengamalkan istihsan, maka berarti ia telah menciptakan
hukum syara (baru). (lihat al-Banany dalam Hasyiyah al-Banany ala Matn
Jami al-Jawami juz. 2 halaman 353; lihat juga al-Ghazali dalam al-Mustashfa fi
Ilmi al-Ushul halaman 171).
Demikian tegasnya Imam asy-Syafii tentang hal ini, sehingga sungguh tidak
masuk akalbahkan sangat aneh, apabila ada orang yang mengaku bermadzhab
Syafiiyah, tetapi masih saja suka tahlilan, yang artinya adalah menciptakan
hukum syara baru tanpa mashadir al-ahkam (landasan hukum) yang telah
disepakati, yaitu al-Quran dan as-Sunnah.
Bahkan dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan lain-lain dari Aisyah dan
Abu Hurairah, Nabi saw., menyatakan bahwa membuat hukum syara baru
dianggap bidah dan mutlak tertolak. Bahkan perbuatan ini jelas-jelas menuduh
Rasulullah saw., menyembunyikan agama Islam, padahal tidak ada satupun yang
tidak disampaikan oleh Rasulullah saw., kepada umatnya.
Abdullah bin Masud ra., berkata: Ikutilah Sunnah Nabi saw., dan jangan kalian
melakukan bidah. Kalian telah memperoleh petunjuk yang cukup. Karenanya,
ikutilah jalan salaf (al-Mujam al-Kabir, ath-Thabari no. 8770). Abdullah bin
Abbas ra., juga berkata: Jangan kamu mengucapkan (sesuatu) yang menyalahi
al-Kitab dan as-Sunnah (Tafsir Ibnu Katsir, 4/205). Sungguh telah diketahui
secara dharury, bahwa hanya Allah SWT yang berhak menciptakan hukum syara,
sementara kita selaku manusia hanya sekedar meng-izhar-kan (menjelaskan saja)
hukum tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat kita pahami bahwa Imam asy-Syafii dan
pengikutnya menyatakan bahwa al-matam, yakni berkumpulnya orang-orang di
rumah keluarga mayit digolongkan dalam perbuatan niyahah, sedangkan
Rasulullah saw., menegaskan bahwa orang yang berperilaku niyahah bukan
termasuk umatnya karena dianggap menyerupai perilaku jahiliyah.
Kita juga tidak menerima satu pun keterangan mengenai diperbolehkannya
tahlilan dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, apakah itu berbentuk
hadits shahih dari Nabi saw., atau dari sahabat-sahabat beliau, atau dari Imam-
imam madzhab dan juga imam-imam lainnya (ahli tafsir dan ahli hadits)
sebagaimana dinyatakan dengan tegas oleh Ibnu Taimiyah dalam Kutub wa
Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (juz. 25 halaman 299-300).
Tahlilan merupakan salah satu perbuatan bidah munkarah yang makruhah, maka
menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk tidak mengerjakannya dan
mencegah keluarganya dan muslim lainnya terhadap perbuatan tersebut. Hal ini
berdasarkan fatwa Mufti Makkah al-Musyafarah, Syaikh Ahmad bin Zainy
Dahlan (sebagaimana dikutip dalam Ianah ath-Thalibin juz. 2 halaman 166),
yaitu:


Tidak diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bidah
munkarah tersebut mengandung arti menghidupkan Sunnah dan mematikan
bidah sekaligus membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu
keburukan.
Khatimah
Berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit hukumnya adalah bidah dengan
kesepakatan para sahabat dan seluruh imam dan ulama termasuk didalamnya
Imam yang Empat. Akan semakin bertambah bidah tahlilan ini bila ahli mayit
membuatkan makanan untuk para pentaziyah, dan dilakukan pada hari pertama,
kedua, ketiga, ketujuh, malam keempat puluh, dan khaul.
Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut Sunnah Rasulullah saw., adalah kaum
kerabat/sanak famili dan atau tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit
yang dapat mengenyangkan mereka sebagaimana hadits Nabi saw., ketika Jafar
bin Abi Thalib wafat (lihat hadits tersebut dalam al-Umm, 1/317; Abu Daud; at-
Tirmidzi; Ibnu Majah; dan Imam Ahmad, 1/205).
Saling memberi nasehat dalam kebenaran dan kesabaran adalah pesan Allah SWT
dalam kitab-Nya (QS. Al-Ashr: 3). Adapun kenapa ada kata sabar dalam bingkai
nasehat tentu ada maksud dibalik itu. Karena ternyata, tidak semua orang dapat
bersabar dalam menerima nasehat. Oleh sebab itu, agar nasehat dapat diterima
dengan baik, maka harus berada dalam koridor kebenaran dan al-khairu, yakni
berlandaskan pada al-Quran dan as-Sunnah.
Karenanya, sebagaimana pesan Nabi saw., agar kita diperintahkan untuk bergerak
menuju ketaatan, yakni ketaatan pada Allah (al-Quran) dan Rasulullah saw., (as-
Sunnah). Sebab, beliau menyatakan bahwa sesungguhnya ketaatan itu hanya
dalam masalah kebaikan (Shahih Bukhari Nomor 7145 dan Shahih Muslim
Nomor 1840).
ut(.e| #-!+ o(6e7|3'N (o--?7e\uPe #-!v ?\o7u|t
.'ZuO( )e| \~| u#-9+u #-!v &e\u#( \~| . +eO
^u\ u#-!+ 3 \Pu/t3'/| 9o3'/| .#-9.3o~e_t 'te= e #-!v
(o-e| ?ouu9vu|#( (o-e| (
Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu
berpaling, maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir. (QS.
Ali Imran: 31-32).
#-9.3 !o& ?o6tt Bt- /t\|e Be. #-9+uAt t-e,
uBt uP(#e&e ?ouu<+4 Bt- Puu!ke&e #-9.0o|BeZet
6e~ |u utu|6e( .Bt# u-!'uN( ( +N,
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisaa:
115).
&B.# uuu!\&. #-!+ o, )eo# Bo|BeZut> ue
9e0o|Be9 .|t uBt- uuu!o&. #-!v t\| uBt 3
&B.coeN| Be( #-:.e,uo' 9oN t3'u|t &| .B7eZ+-
_,=v~O _,~ (o)o(
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang
nyata.
Dengan mengucapkan penulis mengajak kepada siapapun
yang ingin membersihkan akal dan hatinya agar kembali kepada al-Quran dan as-
Sunnah yang shahih dengan pemahaman Salafush Shalihin, menegakkan
Tashfiyah, yakni memurnikan ajaran Islam dari segala noda syirik, bidah,
khurafat, takahyul, dan gerakan-gerakan serta pemikiran-pemikiran yang merusak
kemurnian ajaran Islam, melakukan gerakan Tarbiyah kepada umat Islam
berdasarkan ajaran Islam yang murni, menghidupkan pola pikir ilmiah
berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar dan tidak
menyimpang dari pemahaman Salafush Shalihin.
Demikianlah akhir dari tulisan ini, semoga Allah memberikan petunjuk dan
hidayah-Nya kepada kita semua. Wallahu alam bish-shawwab.
Balas
18.
Ibnu Hasan berkata
Maret 16, 2008 pada 08:53
Memang ini adalah khilfiyah, kita rinci aja:
1. Dzikir berjamaah, ada yang bilang bidah seperti Imam Asy Syatibi, atau yang bilang
boleh seperti Imam Ibnu hajar.
2. Mengirim pahala bacaan Al fatihah, kata Imam Asy Syafii -justru- tidak sampai, juga
seperti yang dikatakan Imam Ibnu Katsir. tapi menurut Imam Ahmad, adalah sampai,
bahkan kata Imam ibnu Qudamah, telah ijma bahwa bacaan itu akan sampai pahalanya.
3. Mendoakan orang meninggal sesama muslim, maka seluruhnya bi laa khilaf, sepakat
dianjurkan mendoakan mereka. mereka berbeda hanya dalam cara mendoakannya. Jadi,
sepakat dalam pokok, namun berbeda dalam rincian atau cara ..
4. masalah makanannya, memang ada hadits yang melarang makanan yang disediankan
oleh mayit, dan itu dianggap niyahah (meratap) oleh Imam Asy Syafii. Tapi kata beliau,
jika makanan dari orang lain sebagai wujud taawun maka itu baik dan bagus. jadi,
makanan bagusnya dari orang lain supaya meringankan bebannya.
5. Nah kalau jumlah penentuan hari 3,7, 15, 40, itu merupakan sisa keyakinan Hindu.
Bukan kategori khilafiyah yang dibincangkan ulama. Saya pernah bertemu mantan
Hindu, dia kaget ternyata di islam masih ada ajaran sisa agamanya yang lama, yakni
3,7,15,40 hari jrenk!! saya pun kaget .. saya sudah tanya ke beberapa kiyai, kata
mereka memang seharusnya tidak ada .. sebab bukan bagian dari tahlilan .. kalau pemilik
situs ini mengatakan bahwa ndak apa-apa di hari ke 25, tapi Anda harus tahu faktanya
telah jadi semacam ijma sukuti dalam masyarakat kita bahwa kalau bukan hari 3,7,15,40
dst, seakan kurang afdhal .. . jadi, buat yang anti dan pro tahlilan jagalah ukhuwah
ternyata memang ini khilafiyah ,,, silakan cari pandangan yang lebih kuat, tetapi jangan
paksakan kehendak
> Thanks komentar-nya. Berikut tanggapan saya;
1. Dzikir berjamaah adalah hal yg mulia. Apakah saya harus berkali-kali menuliskan
dalil ini,
Tidakada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk dzikir kepada Allah
melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di turunkan
ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada di
sisi-Nya. (Riwayat Muslim)
Ada banyak hadits Rasul saw.
2. Fatwa Imam Syafii dan pendapat Ibnu Katsir ttg tidak sampainya pahala bacaan
dzikir, itu fatwa yang sengaja dipotong. Ini sudah berkali-kali dibahas. Simak antara lain
di sini.
3. Setuju.
4. Jika ada banyak tamu kemudian dihidangkan makanan, itu wajar. Meratap..?? sangat
jauh saya kira. Hati2 dengan mengutip fatwa-fatwa para ulama. Keadaan sekr sungguh
memprihatinkan. Ada banyak fatwa ulama sengaja dibajak, dipotong tambal. Forum
tanya jawab ini mungkin memperjelas.
5. Setuju bahwa 3, 7, 40 hr, dst adalah tradisi lokal (yang mungkin berasal dari Hindu,
pen). Tetapi apakah setiap tradisi lokal pasti selalu sesat? Nanti dulu. Di zaman Nabi
saw, bangsa Arab juga sudah memiliki tradisi. Tradisi Arab (Jahiliyah) ada yang
dilestarikan setelah diisi sunnah-sunnah Rasul saw, ada yang dimusnahkan jika
bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Di lain pihak, Jawa, Sunda, India, Maroko, Mesir, Eropa, dll, ms2 telah punya tradisi
sendiri-sendiri. Punya akar budaya sendiri, yang mungkin sama tua-nya dengan budaya
Arab kuno. Tradisi bisa terus lestari jika tidak bertentangan dengan islam, sdgkan yang
dihilangkan adalah yg bertentangan dengan ajaran islam. Ini masalah kemasyarakatan,
masalah muamalah. Ketika sebuah tradisi sudah diisi dengan dengan hal-hal yg utama,
yang selaras dengan ajaran islam, dan tidak ada unsur ke-jahiliyah-an sama sekali,
maka tidak ada alasan untuk di-vonis sesat.
3, 7, 40, dst adalah tradisi masyarakat (Jawa). Tradisi ini di masa sekarang diisi dengan
majelis dzikir (tahlilan). Maka .. mmg tradisi 3,7,40 dst bukan bagian dari tahlilan, tetapi
justru tahlilan lah yg menjadi isi dari tradisi ini. Bedakan antara wadah dengan isi.
Tahlilan dapat menjadi isi dari acara (kumpul2) apapun.. rapat RT, arisan, pertemuan
trah keluarga, pengajian mingguan, dll.
Contoh lain, ada cerita teman dari Somalia, bahwa di sana ada juga tradisi
memperingati kerabatnya yang telah meninggal, paling tidak satu kali setelah
meninggalnya (saya lupa namanya). Isi-nya.. baca Quran, majelis dzikir.
Wallahu alam. Maaf kalau ada salah.
Balas
19.
Syams al Ideris berkata
April 26, 2008 pada 09:52
Assalamu Alaikum Wr. Wb
Saya hanya ingin mengomentari salah satu komentar cak_yud Perbedaan adalah rahmat
yang oleh banyak kalangan di sebut bahwa perkataan itu berasal dari Nabi (hadits),
padahal menurut para ahli kritik hadits bahwa kalimat itu adalah perkataan sahabat
(bukan hadits/hadits palsu).
Mohon kepada saudaraku di forum ini jika ada yang lebih mengetahui tolong dijelaskan
masalah ini. Karena kalimat ini seolah menjadi senjata andalan untuk meredam gejolak
akibat banyaknya perbedaan pendapat dalam hal fikih furu di negeri kita.
terima kasihafwan
Semoga kita semua dirahmati Allah sehingga menemukan cahaya kebenaran yang telah
datang melalui Rasul-Nya. Amin.
> Waalaikum salam wrwb. Setelah searching sana-sini, kalimat tsb (Perbedaan
umatku adalah rahmat. ) terdapat di dalam Al Jaami ash- Shaghiir fii Ahadiits al-
Basyiir an-Nadziir, karya Imam Sayuthi (mohon koreksi jika salah). Ada di republika.
Di sana (republika itu) juga terdapat kata-kata bernada sama dari Imam Malik rhm
ketika khalifah Harun Al Rasyid akan menyeragamkan fikih umat islam, Wahai Amirul
Mukminin, perbedaan antara para ulama adalah rahmat Allah atas umat ini,
biarkanlah setiap orang mengikuti apa yang benar menurutnya. (Min Uquud al-Jumaan
dan Kasyf al-Khafaa).
Perbedaan di antara para ulama, demikian pula yg (pernah) saya dengar dari maksud
kalimat di atas. Bukan perbedaan atau perdebatan di antara orang yang awam.
Mohon maaf kl ada salah. Amien atas doanya.
Wallahu alam.
Balas
20.
farid berkata
Juni 4, 2008 pada 03:08
Assalamualaikum
Ane mo nanya nih, majelis dzikir kan bagus ya trus praktiknya gimana ya di jaman
nabi, trus sahabat, tabiin,,, kalau ada riwayat tentang cara praktiknya,,, sahih tidak
sanadnya
terima kasih atas jawabannya
> Waalaikum salam wrwb. Mas farid .. dalil ttg tahlilan telah kami tulis di atas, dan
ada lagi di topik tulisan dzikir berjamaah. Berdasar (antara lain) dalil itulah diamalkan
tahlilan. Kepada mereka yg menuduh tahlilan sebagai bidah sesat, dgn alasan tak
dicontohkan oleh Nabi saw, maka justru kami yang balik bertanya, (agar tidak dianggap
sesat)
trus praktiknya gimana ya di jaman nabi, trus sahabat, tabiin,,, kalau ada riwayat
tentang cara praktiknya,,, sahih tidak sanadnya
Balas
21.
gusjan berkata
Juni 14, 2008 pada 03:38
setelah saya membaca tulisan sdr.orgawam, saya menjadi ngeri. dari ulasan sdr, seolah2
dlm agama islam, apapun boleh, asal tidak dilarang. padahal yang saya tau, dalam hal
agama islam, apapun dilarang, kecuali yang diperintahkan. sebab kalau seperti yang
diyakini sdr.orgawam, kita boleh melakukan apaun asal tdk ada larangan, maka sudah
barang tentu para sahabat melakukan. pernahkah kita jumpai ada sahabat meninggal
kemudian ditahlili oleh Rosululloh? seperti di kebanyakan kita? kalau tidak, apakah
berarti kita lebih pintar dari Rosululloh dan para sahabat? kita lihat saja di Arab, sejak
dulu sampai sekarang, apakah ada tahlilan? padahal agama Islam lahir di Mekkah, apakah
kita libih pintar dari ulama2 Mekkah dan Madinah?
> Salam kenal gus. Ada kaidah2 dalam hukum fiqh yang apapun boleh, asal tidak
dilarang, dan juga apapun dilarang, kecuali yang diperintahkan. Masing-masing ada
saat-saat kapan dan kaidah mana yang dipakai. Para ulama lah sandaran kita.
Memang benar kata anda. Sepengetahuan saya, tidak ada riwayat sahabat meninggal
kemudian ditahlili junjungan kita Nabiyullah saw. Tetapi ada dalil bahwa hadiah pahala
adalah sampai. Kemudian ada berbagai bacaan dzikir dan kalimat mulia juga diajarkan
beliau. Semoga anda tak memungkiri hal ini.
Tahlilan adalah berusaha mengamalkan hal tersebut. So .. tidak ada hal yang
bertentangan dengan ajaran kitabullah dan junjungan kita yang mulia saw. Dan majelis
tahlil ini tidak mewajibkan ini dan itu, atau melarang ini dan itu yang menyebabkannya
berselisih dengan syariat agama kita. Yang terjadi adalah orang2 berdzikir demi si mati
dan keluarganya. Pahalanya didoakan untuk si mati. Keluarga si meninggal terhibur
hatinya.
Saudaraku .. mungkin memperingati anggota keluarga yg meninggal sudah menjadi
instink manusia untuk mengungkapkan rasa cintanya. Kita memperingati Hari
Pahlawan. Berbagai negeri meliburkan resmi hari meninggalnya (lahirnya) pemimpin
mereka. Berbagai negeri/ daerah yang muslim memperingati keluarganya yg sudah
meninggal. Mereka berdzikir, membaca Al Quran, dan berdoa bersama-sama. Mungkin
pelaksanaannya tidak sama persis. Namun intinya sama. Mereka tidak menamakannya
tahlilan, namun isinya bertahlil. Di Aceh dan berbagai lain daerah, saya pernah dengar
ada. Di Malaysia, kalau anda baca forum mereka, ada juga tentang topik majelis kenduri
arwah. Di Somalia .. teman pernah cerita .. ada. Di Irak, saya pernah baca sebuah berita
(suaramerdeka), berikut cuplikannya,
Putri sulung Saddam di pengasingan, Raghd Saddam, ikut hadir dalam acara
tahlilan yang diikuti ratusan pendukung di ibu kota Amman, Yordania. Raghd
dari tempat pengungsian di Amman ikut mengirim dana untuk tim pembela
Saddam. Sementara itu, para pelayat masih berdatangan di Desa Awja, dekat
Tikrit.
Ok-lah .. mungkin ada nuansa ngeri dan sedih ketika membicarakan memperingati
kematian. Kita ambil contoh yang menggembirakan. Memperingati kelahiran. Kita punya
anak yang masih kecil. Alangkah lucunya. Ketika dia berulang tahun, dia ingin
dirayakan. Kita sebagai orang tua menurutinya. Alangkah senangnya. Dia mengundang
teman2nya. Kemudian di dalam acara Ultah itu, kita selipkan doa-doa, membaca bacaan
al Quran sederhana, untuk juga mendidik mereka. Makanan, nasi kuning, roti, permen,
dll kita bagikan ke mereka. Termasuk anak2 tetangga yang miskin kebagian juga. Dan
mungkin kita selipkan lebih banyak makanan kepada mereka.
Anak-anak senang, tetangga tersenyum. Kita berbahagia. Ada bagian berdoa bersama-
sama, ada bagian membaca bacaan2 dzikir dan al Quran (sederhana) bersama. Ada
bagian sedekah, membagi makanan. Mereka juga bermain, bergembira.
Tidak ada yang berselisih dengan syariat dalam hal ini. Tidak ada yang mewajibkan
(atau larangan) kita merayakan ultah anak kita. Tidak ada yang mewajibkan acara ultah
harus ini dan itu. Sedangkan Nabi pun tak pernah merayakan Ultah putra atau cucu
beliau. Sahabat pun tidak. Namun ke semuanya itu saya kira diperbolehkan, selama tidak
terjadi hal2 yang melanggar aturan agama kita.
Maaf kalau ada salah. Wallahu alam.
Balas
22.
Mbah Jogo berkata
Juni 19, 2008 pada 13:32
Assalamualaikum.
Ternyata TAHLIL / TAHLILAN BANYAK PERBEDAAN DALAM
MENSIKAPINYA. MENJADI WACANA/ILMU YANG BERMANFAAT.
PERBEDAAN ITU MEMANG INDAH, APABILA DISIKAPI DENGAN IMAN.
PERBEDAAN AKAN TIMBUL PERDEBATAN.
PERDEBATAN TANPA IMAN AKAN MENJADI SESAT.
INGAT SALAH/BENAR ; NERAKA/SURGA ITU MILIK ALLAH.
KITA SERING KALI MELIHAT KULITNYA TANPA MEMAHAMI ISINYA.
JANGANKAN MENGARTIKAN BAHASA ARAB, SEDANG KITA SAMA-SAMA
BAHASA INDONESIA SAJA SERING SALAH FAHAM.
YANG PENTING WACANA/ILMU TETAP KITA PELAJARI.
WACANA/ILMU AKAN BISA DICARI DENGAN LIDAH YANG SUKA
BERTANYA DAN AKAL YANG SUKA BERFIKIR.
MUDAH2AN SEMUA ITU (PERBEDAAN) TUJUANNYA UNTUK NASEHAT
MENASEHATI DAN TETAP DALAM KESABARAN.
SALAM,
> Waalaikum salam wrwb. Mbah .. nuwun sewuu .. Hurufnya tolong diperkecil.
Balas
23.
Otong Abdurrahman berkata
Juli 30, 2008 pada 11:42
salam, diskusi soal tahlil, tahlilan, selamtan,seusia islam di Indoneia (konon, Islam masuk
ke Indonesia/nusantara abad 13 m),sudah tua sekali itu usia tahlil, tahlilan berkumandang
di langit nusntara, di atas arasy sana. bagi yang suka tahlil,tahlilan dan selamatan, apa sih
salahnya berbuat itu, lakukan saja. bagi yang tidak suka tidak melakukan juga tidak apa-
apa,kan tidak berdosa. Lebih baik mengumandangkan lafadz laa ilaha
illalloh..(subhanallooh) terus menerus dibandingkan dengan mengumandangkan lagu
dangdut, atau campur sari.atau lagu jaipongmeski berjilbab para penyanyi
danpendukungnya itu, diwaktu maghrib lagiseperti di tv-tv itu.naudzubillah.
> Setuju
Balas
24.
Muhammad Mubasyir berkata
Oktober 3, 2008 pada 19:36
Assalamualaikum wr wb.
Aduh kayaknya makin asyik aja.
Gini aja
IYA BENAR, MENURUT ANDA, TAPI MENURUT ALLOH?..(aku tak tau lah)
IYA SALAH, MENURUT ANDA, TAPI MENURUT ALLOH?..(tak tau juga lah)
cerita dikit boleh ya biar anyes.
Aku punya dua orang Anak, keduanya aku suruh untuk mengambilkan koper milikku di
meja, dengan penuh semangat keduanya pun melaksanakan perintah bapaknya ini, tetapi
setelah sampai di depan meja yang kebetulan jauh dari tempat aku berdiri mereka berdua
bingung karena mendapati banyak barang2 sejinis dengan koper di situ, mereka pun
saling berdebat tentang koper yang dimaksud bapaknya, maklum mereka masih kecil,
setelah berdebat sengit KARENA TAK INGIN SALAH AMBIL akhirnya mereka berdua
memutuskan untuk membawa koper menurut versi mereka masing2, dengan tergopoh2
dan RASA KUATIR KALAU SALAH dan SEKALIGUS HARAPAN AKAN
MENDAPAT SENYUM DARI AYAHNYA, akhirnya dengan mata tak berkedip
menatap wajahku keduanya pun membawa koper masing2 kepadaku sambil berkata
serempak setengah bertanya INI KOPERNYA KAN BAH?.. AKU PUN TAK KUASA
MENGECEWAKAN HATI MEREKA YANG IKHLAS YANG TERPANCAR DARI
MATA MEREKA YANG BENING TAK BERKEDIP MENATAPKU DENGAN
PENUH HARAP, aku pun tersenyum dan berkata pada mereka IYA KALIAN
BERDUA BETUL, ABAH MEMANG BUTUH DUA-DUA NYA, YANG SATUNYA
NANTI KALAU ABAH PULANG KANTOR BUAT BAWA OLEH2 UNTUK
KALIAN mereka berdua pun girang ASIIK TERIMAKASIH ABAH
>. Waalaikum salam wrwb. Cerita anda benar .. kedua anak itu rukun. Itulah yg harus
dijaga. Itu pula sebenarnya harapan kami.
Namun ketika salah satu anak menyodok saudaranya, mengatakan kamu anak jahil,
musyrik dan julukan menyakitkan lainnya, maka yg terjadi adalah perkelahian.
Kami di sini tak hendak menyodok saudara sesama muslim. Kami hanya
mempertahankan pendapat dan amalan kami, atas sodokan menyakitkan yg biasa kami
terima.
Benar kebenaran mutlak adalah kebenaran menurut Allah. Namun kebenaran menurut
Allah itu disebutkan ukuran (dalil-dalil) nya di dalam Q n H serta aqli, yg umat dapat
mengetahuinya.
Balas
25.
Elfizon Anwar berkata
November 6, 2008 pada 13:10
Inti tahlilan itu, mengirimkan amal bacaan kita kepada orang yang sudah meninggal
dunia. Yang jadi masalah, apakah kita yakin bahwa ayat-ayat yang kita baca itu, sudah
jelas ada amal-nya di sisi Allah SWT ?. Kalau belum yakin, ya kita berdoa saja, dan
jika berdoa, Insya Allah yang lebih dekat didengar Allah SWT adalah anak kandungnya
sendiri. Dalam membaca doa, sebaiknya dilakukan oleh kita masing-masing dan tak perlu
dituntun oleh orang lain, seperti ustadz atau syeh dll.
> Yang jadi masalah pula, apakah tuntunan anda ini jelas dalilnya, ataukah hanya
kira2/ ijtihad anda saja.
Balas
o
rivai berkata
April 5, 2011 pada 09:10
saya mau mengomentari elfizon
>anda sholat kan? kenapa anda bertanya masalah amalan dalam bacaan tahlilan di
terima atau tidak, sedangkan di dalam tahlilan ada bacaan al.fatihah, surat-surat
dalam al.quran & berselawat atas nabi.
saya mau tanya sama anda di dalam sholat anda baca apa?
sedangkan di dalam sholat wajib membaca al.fatihah klo anda sudah tidak yakin
dengan al.fatihan, berarti sholat & islam anda DIRAGUKAN karna tidak yakin
dengan al.fatihah sendiri.
>doa yang diterima hanya dari anak yang sholeh!!!
saya mau tanya orang yang ga punya anak, apa ga bolek dapet kiriman doa??
Balas
26.
R. Abd. Rachman berkata
November 26, 2008 pada 02:26
Lakukan syariat sesuai dengan keyakinan anda, saya yakin syariat yang benar adalah
yang mampu menjernihkan hati,
Balas
27.
adhi wiriana berkata
November 27, 2008 pada 06:19
Assalamu alaikum, salam kenal, saya juga orang awam yang sedang belajar memahami
agama-Islam, memang vonis bidah itu menyakitkan karena sama saja dengan
menyatakan orang yang berbuat bidah diancam dengan neraka, apalagi jika pernah atau
sering melakukan bidah (ibadah yang tidak dicontohkan nabi), kalimat tahlil adalah
kalimat yang baik, tapi selamatan ketika orang mati tidak pernah dicontohkan rasul,
sahabat, tabiin, tabiit tabiin dan memang pernah dan masih dilakukan di beberapa negara.
Apakah itu dibenarkan oleh syari? Wallahu alam.
masalah tahlilan bukan sekedar doa sampai atau tidak, namun masalah tahlilan
diharamkan dan bidah dikarenakan tahlil adalah bentuk niyahah (ratapan) yg sering
dilakukan oleh kaum wanita di zaman jahiliyah, dan Imam Syafii sendiri telah
menjelaskan bahwa berkumpul-2 di rumah duka sembari membagi-2 makanan adl suatu
bentuk niyahah, oleh karena itu tahlil adl bidah dholalah dan haramwalaupun tidak
ada yang menangis dalam majlis tersebut.
Adapun doa, maka doa kaum muslimin kepada muslim lainnya insya Allah maqbul
Bukankah Rasulullah telah mengajarkan kita dan sering dibacakan oleh khathib di
minbar-2 untuk berdoa : Allahummagh fir lil muslimiina wal muslimaat al-Ahyaai
minhum wal amwaat. Maka dalih teman antum itu pada hakikatnya adalah lemah,
bahkan lebih lemah ketimbang sarang laba-2. Kemudian yang dimaksud oleh Imam
Syafii sebagaimana antum nukil adalah, adat mengirimkan pahala bacaan al-Quran
bukanlah doa sebab orang yg tahlilan seringkali meyakini bahwa membacakan surat-2
al-Quran namun dipersembahkan bagi sang mayit, inilah maksud dari ucapan Imam
Syafii di dalam menafsirkan firman Allah, Dan seseorang tidak akan memperoleh,
melainkan pahala usahanya sendiri Wallahu alam
Balas
28.
adhi wiriana berkata
November 27, 2008 pada 06:39
Imam Asy SyafiI, yakni seorang imamnya para ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu,
pembela sunnah dan yang khususnya di Indonesia ini banyak yang mengaku bermadzhab
beliau, telah berkata dalam kitabnya Al Um (I/318) :
Aku benci al matam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada
tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan .
Dari pernyataan Imam Syafii di atas, beliau menerangkan bahwa berkumpul di rumah
ahli mayit (meskipun menurut kebiasaan) akan memperbaharui kesedihan (dengan kata
lain, si pemilik rumah, yg anggota keluarganya wafat, akan merasa sedih lagi, meskipun
tidak mesti menangis). JANGAN SALAH, ini bukan berarti kalau tidak sedih boleh
dilakukan. Sama sekali tidak! Perkataan Imam SyafiI diatas tidak menerima pemahaman
terbalik atau mafhum mukhalafah.
Dari beberapa sumber referensi, aku dapatkan pengertian bahwa : beliau (imam Syafii)
dengan tegas MENGHARAMKAN berkumpul-kumpul di rumah keluarga/ahli mayit. Ini
baru berkumpul saja, bagaimana kalau di sertai dengan apa yang kita namakan disini
sebagai Tahlilan ?
Sementara itu, Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Maaad (I/527-528) menegaskan
bahwa berkumpul-kumpul ( dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk taziyah dan
membacakan Quran untuk mayit adalah Bidah yang tidak ada petunjuknya dari Nabi
SAW.
Bahkan para ulama/imam empat (Imam Malik, Syafii, Hanafi dan Hambali) sepakat
dengan melarang hal tersebut (tahlilan). Mereka berempat tidak berselisih/berbeda
pendapat tentang larangan hal tersebut melainkan dalam masalah tingkatannya, haram
atau makruh saja. Dan tidak ada seorangpun dari mereka yang mengatakan bolehnya
tahlilan. Bahkan para sahabat g menggolongkan hal tersebut sebagai niyahah/ratapan
terhadap si mayit. Dan ulama telah sepakatkan keharaman niyahah.
Dengan demikian, TAHLILAN BUKANLAH AJARAN ISLAMmelainkan adopsi dari
agama Hindu. Aku yakin para Wali Sanga mempunyai alasan tertentu mengapa beliau2
tidak menghapus budaya ini. Salah satu alasan yg aku ketahui adalah untuk memudahkan
penyebaran agama Islam. Sebagaimana diketahui, masyarakat Indonesia (terutama Jawa)
sangat mencintai budayanya (bahkan cintanya berlebihan).
Wallahu alam
> Orang bertakziah pastilah berkumpul-kumpul juga. Inikah yg dimaksud imam Syafii?
Kalau begitu takziah haram hukumnya ? Berkumpul2 yg bagaimanakah yg dimaksud
oleh Imam Syafii untuk dilarang? Itulah yg tidak ditampilkan di argumen anda. Entah
anda sengaja atau tidak.
Kata anda, TAHLILAN BUKANLAH AJARAN ISLAMmelainkan adopsi dari agama
Hindu. Kata2 ini berarti men-syirik-kan orang2 yg berdzikir laailaaha illallah dalam
suatu majelis dzikir. Apakah anda tahu ajaran hindu, ajaran manakah dari agama Hindu
yang diadopsi ke dalam tahlilan ini?
Sudah ada artikel menjawab argumen anda ini di sini juga. Simak link-link di komentar2
sebelumnya.
Balas
29.
imam berkata
November 27, 2008 pada 08:59
Menanggapi Sdr.Elfizon anwar,
Amal ibadah seseorang tidak ada yang tahu apakah amalnya diterima oleh Allah atau
tidak, karena itu rahasia Allah. Tapi dalam beribadah/beramal Allah telah memberikan
rambu-rambunya, berupa Al-Qur`an dan Hadits. Kalau kita dalam beribadah berpegang
pada keduanya, maka amal kita Isya Allah diterima.
Dasar/ dalil sampainya kiriman pahala kepada si mayit, banyak sekali dan soheh antara
lain,
1. Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, telah datang laki2 kepada Nabi SAW,dan bertanya,
,
. . ,
Artinya, Wahai rosulallah sesungguhnya ibu saya telah meninggal dan atasnya hutang
puasa romadhon, apakah boleh saya bayar puasa untuk dia ? jawab rosul, Seandainya
ibumu mempunyai hutang apakah kamu bayar hutang ibumu ? jawabnya ya, kemudian
rosul bersabda, maka hutang terhadap Allah (puasa) lebih berhak untuk dibayar. HR.
Muslim.
2. Bahwa laki2 bertanya kepada Nabi SAW,
() ,
.
Artinya, Saya mempunyai dua orang tua yang saya berbakti kepada keduanya di masa
hidupnya, maka bagaimana saya berbakti kepada keduamya setelah matinya ? Nabi
menjawab, Sesungguhnya termasuk berbakti kepada kedua orang tua setelah
meninggal,hemdaknya kamu sholat untuk keduanya bersama sholatmu dan dan berpuasa
untuk keduanya bersama puasamu. HR. Darukutni. Bersambung.
Balas
30.
imam berkata
November 27, 2008 pada 09:25
3.
,
.
Sesungguhnya ahli fiqh telah berargumentasi atas kiriman pahala itu dapat sampai ke
orang yang sudah meninggal, dengan hadits bahwa Sesungguhnya ada seorang sahabat
bertanya kepada rosulallah SAW, tanyanya, wahai rosullah sesungguhnya kami
bersedekah untuk keluarga kami yang telah meninggal,kami melakukan haji untuk
mereka, dan kami berdo`a untuk mereka, apakah pahalanya dapat sampai kepada mereka
? Rosulallah bersanda : ya, Sungguh pahalanya pasti sampai kepada mereka, dan
sesungguhnya mereka benar2 bergembira sebab kiriman pahalanya itu, seperti
gembiranya seseorang di antara kamu sebab hadiah yang dikirimkan kepadanya.
Balas
31.
imam berkata
November 27, 2008 pada 09:48
Dalil tahlilan yang sudah menjadi tradisi kalangan nahdiyyin, seperti 7 hari, 40 hari dsb.
yang mempunyai tujuan untuk menghibur keluarga mayit sekaligus, berkirim pahala
untuk mayit dan mengambil ikhtibar bahwa kita juga akan menyusulnya (meninggal). dan
sekali lagi ini bukan merupakan kewajiban.
Dalilnya adalah,
,


Artinya :
Balas
32.
imam berkata
November 27, 2008 pada 10:02
Artinya :
Imam Thowus berkata : Sesungguhnya yang mati akan mendapatkan ujian dari Allah
dalam kuburnya selama 7 hari, untuk itu sebaiknya ( yang hidup ) mengadakan jamuan
makan ( untuk bersedekah ) untuknya selama hari2 itu. Berkata juga Shohabat Ubaid ibnu
Umair : Seorang mukmin dan seorang munafik sama2 akan mengalami ujian dalam
kuburnya.Untuk orang mukmin akan mendapat ujian selama 7 hari dan bagi orang
munafik akan mendapat ujian selama 40 hari di waktu pagi.
Jika suatu amaliyah sudah menjadi keputusan atau atsar/ amal shohabat ( yaitu Shohabat
Thowus ) maka hukumnya seperti hadits mursal yang sanadnya sampai kepada Tabi`in,
dan dikategorikan Shoheh dan telah dijadikan hujjah mutlak ( tanpa syarat ), ini menurut
tiga Imam ( Imam Maliki, Hanafi dan Hambali ).
Balas
33.
imam berkata
November 27, 2008 pada 15:48
Jadi jelaslah bahwa tahlilan ada dasarnya, bukan bid`ah dolalah/sesat, apalagi ada
golongan yang mengatakan sesat ke golongan lain ( `Audzubillah min dzalik ).
Kami senang tahlil dan Anda tidak senang tahlil bagi kami sama saja. Hormat
menghormati itu yang harus di kedepankan.
Mohon kepada rekan2 komentator topik ini bukalah kitab jangan hanya satu kitab yang
jadi acuan berkomentar, sehingga kita bisa membuka hati kita dan tidak membid`ahkan
orang lain/golongan lain. Terima kasih.
Balas
34.
Abu Fauzan berkata
Desember 4, 2008 pada 08:24
Imam Syafii juga melarang acara tahlilan dan yasinan, silahkan lihat disini
http://wahonot.wordpress.com/2008/11/19/fatwa-imam-syafii-tentang-kenduri-arwah-
tahlilan-yasinan-dan-selamatan/
Yang jelas, bidahnya acara tahlilan terletak pada tata-caranya (yang tidak ada dalilnya),
jumlah bilangannya (juga tidak ada dalilnya), dan juga menngunakan dalil-dalil yang
anda gunakan semuanya merupakan dalil muthlaqah, sedangkan acara tahlilan
membutuhkan dalil khusus yang memang menjelaskan tata-caranya.
Dan jangan lupa bahwa membaca tahlil itu termasuk ibadah qurbah, maka kembali
kepada prinsip ushul fiqh bahwa, Setiap perkara ibadah hukum asalnya haram, kecuali
ada dalil yang memerintahkan atau membolehkannya. Sedangkan setiap perkara
muamalah hukum asalnya boleh kecuali ada dalil yang melarangnya. Siapa bilang
kembali kepada tradisi.
> Tidak ada imam Syafii melarang majelis dzikir (yasinan atau tahlilan). Itu hanya
rekayasa anda atau kelompok anda saja.
Tunjukkan kepada kami hal-hal yg menyebabkan larangannya. Tunjukkan kepada kami
dalil larangannya. Jika tak bisa, maka anda telah mengharamkan hal yg tak terlarang
menurut syariat. Mengubah2 syariat adalah bidah sesat itu sendiri.
Balas
35.
imam berkata
Desember 6, 2008 pada 08:12
Untuk sdr Abu Fauzan, komentar # 34,
Sebelumnya saya akan menjelaskan makna tahlilan, Tahlilan berasal dari kata -
ankamreb iridnes uti nalilhat nakgnades ,hallalli ahaali aal acabmem itrareb
bacaan .Kalau dita`rif dapat bermakna suatu acara yang didalamnya terdapat
bacaan laa ilaaha illallah.
Tahlilan itu sendiri sesungguhnya adalah dzikir ( )tapi dikalangan masyarakat
Indonesia lebih masyhur di sebut tahlilan saja.
Seperti kata sholat,populer/masyhur di kalangan jawa disebut sembahyang.
Tahlilan, yang selanjutnya saya sebut dzikir /dzikrullah (saya kembalikan ke kata
asalnya/makna asal), itu mempunyai banyak dalil.
Berkata Syeh Muhammad Khusnin mahluf rohimahullahu ta`ala :


:

Artinya :
Ketahuilah, Bahwa dzikrullah adalah berjalan di atas jalan syareat, ia merupakan
sebaik2nya amal dan sebesar2nya pendekatan diri kepada Allah. Syareat (agama)
menganjurkan berdzikir karena dzikir mempunyai manfaat (atsar) dalam membersihkan
nafsu, menjadikan hati tenang,menyebabkan turunnya rahmat Allah,dan dapat
mengendalikan syahwat. Sama saja berdzikir dengan pelan (siri) maupun keras
(jahar),dengan berdiri ataupun duduk dan sama saja berdzikir sendirian (munfarid)atau
berjamaah, karena berdasarkan keumuman firman Allah, Ketahuilah, dengan berdzikir
kepada Allah
menjadikan hati tenang, dan firman yang lain , berdzikirlah kamu kepada saya maka
saya akan berdzikir (mengingatmu).
Dalam dzikir (tahlilan) biasanya dibacakan Surat Alfatihah,Surat Al-ikhlas,Surat Al-
falaq,Surat An-nas,Awal surat Al-Baqoroh,ayat kursi,Istighfar,Sholawat nabi,Hauqolah
dan lain2 semuanya itu ada dalilnya dan merupakan kesunahan, baik bersifat umum
maupun khusus.
Kekhususannya bisa saya contohkan berkaitan dengan bacaan Istighfar dan ini sangat
sesuai dengan tahlilan dalam rangka kematian ,dalam kitab Abwabul faroj, hal 255, Nabi
bersabda :

.
Artinya : , Barangsiapa membiasakan beristighfar maka Allah menjadikan kegembiraan
baginya dari segala kesusahan dan menjadikan jalan keluar dari semua kesempitan dan
akan memberikan rizki dari tempat yang tak terduga. HR. Abu Dawud, Nasai,Ibnu majah
dan Alhakim.
Orang ditinggal mati orang tua /suami/ kerabat akan menghadapi keadaaan seperti itu (
seperti dalam hadits), makanya dalam tahlil (dzikir) antara lain membaca Istighfar.
Balas
36.
imam berkata
Desember 6, 2008 pada 10:33
Dalam dzikir ( tahlilan) juga sesuai dengan namanya ada kalimat toyyibah( )
dan berbilang.
Dalam kitab Irsyadul ibaad ila sabiilir rosyad dalam babul Iman disebutkan,
()
.
:



Artinya :
Bersabda Rosulullahu SAW, Perbaharuilah iman kamu semua. Rosul
ditanya,bagaimana kami memperbarui iman kami ya Rosulallah? Jawab Rosul,
Pebanyaklah dari ucapan laa ilaaha illallah. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan
Alkhakim.
Hadits ini menerangkan kita disuruh memperbanyak ucapan laa ilaaha illallah, disitu
disebutkan Aktsiruu ( / perbanyaklah )tidak ada batasan berapa banyaknya.
Hadits dari Imam Thobroni dari Abi Darda, rosul bersabda,Tidaklah daari seorang
hamba mengucapkan laa ilaaha illallah 100 kali kecuali akan dibangkitannya pada hari
qiamat dan wajahnya seperti bulan purnama..atau membaca lebih dari itu.
Disini ada `adad / jumlah bilangan bacaan kalimat toyyibah 100 kali bahkan boleh lebih.
Dari Syeh Abu zaid Al-Qortubi berkata saya mendengar sebagian hadits bahwa
barangsiapa membaca laa ilaaha illallah 70.000 kali maka baginya dst.
Hadits ini juga menunjukkan `adad/bilangan bacaan.
Dalil2 seperti ini banyak sekali yang menunjukan manfaat dari misalnya bacaab tahlil,
tasbih, tahmid, takbir dan bilangan2 bacaannya masing2, bahkan disini di Saudi ada kitab
kecil tentang dzikir habis sholat ( ) yang isinya banyak kemiripan
dengan tahlil, dan juga bacaannya berbilang.
Dengan dalil apa saudara mengatakan dzikir berbilang (jumlah bacaannya) tidak ada
dalam hadits.Coba sebutkan dalilnya.
Hadits2 di atas tersebut, hanya sedikit bagian dari hadits2 yang menerangkan bacaannya
berbilang, masih banyak lagi hadits2 lainya. Kalau disebutkan disini semuanya, namanya
NGAJI.
Dzikir yang tersebut dalam hadits2 di atas tidak disebutkan / ditentukan,dalam kondisi
bagaimana dibacanya dan kapan waktunya.Karena begitulah sifat dzikir berbeda dengan
ibadah yang lain sudah ada ketetapan waktu dan tempatnya serta tata caranya.
Misalnya, Haji ,waktunya jelas dalam bulan dzulhijjah dan tempatnya di makkah,tata
caranya juga jelas. Sholat, waktunya ditentukan dzuhur, asyar.,caranya juga jelas.
dst,demikian juga puasa dan zakat.
Kemudian ada ibadah lain yaitu dzikir dan shodaqoh (diluar zakat), tidak ditentukan
waktunya, tempatnya dan caranya.
Boleh orang berdzikir di masjid,di rumah, dipasar (cara siri),di kantor dll, tidak ada
ketetapan harus berdzikir,waktunya bebas dan caranya bebas, boleh berdiri,
duduk,dikendaraan dll seperti kata syeh yang telah saya sebutkan.
Demikian juga dengan shodaqoh (diluar zakat),boleh banyak atau sedikit (tidak Bernisob
dan haul), boleh pagi,siang,malam, boleh sodaqoh sirri atau alaniah, boleh dengan
seyuman,boleh dengan harta,tenaga,bahkan dengan do`a,boleh dengan ilmu dsb.
Disana (dzikir dan shodaqoh)tidak ada ketetapan syar`i berupa waktu,tata caranya, dan
tempatnya, dengan ketetapan yang ketat seperti sholat,puasa dan haji yang berupa syarat2
dan rukun2nya.
Karena begitulah sunah mengajarkan kepada kita. Jadi dengan sunah itu sendiri memberi
peluang kebebasan dalam berdzikir dan shodaqoh berdasarkan keadaannya masing2.
Tapi yang jelas ada kesamaan berupa niat dan keihlasan dalam beribadah.
Balas
37.
imam berkata
Desember 6, 2008 pada 15:34
Kemudian saya sebutkan hadits berkaitan kiriman pahala,


Artinya :
Barangasiapa yang melewati pekuburan dan membaca Qul huwallahu ahad 11 kali
kemudian ia memberikan pahalanya kepada orang yang mati maka ia (mayit) mendapat
pahala sebanyak orang2 yang telah mati.
Dalam kitab fawaid disebutkan,
( )


Artinya :
Dari Abu Huraeroh berkata, Rosullullah bersabda, Barangsiapa masuk pekuburan
kemudian membaca surat Fatihatul kitab,dan Qul Huwallah dan Alhakumut takaatsur,
kemudian berkata sesungghnya saya jadikan pahala apa yang saya baca dari firman-Mu
untuk ahli kubur mukminin atau mukminat. Maka mereka akan menjadi pembela baginya
di hadapan Allah ta`ala.
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Jauzi (kedua tokoh ini sangat keras dalam memerangi khurafat
dan bi`ah) berpendapat bahwa pahala bacaan itu (Al-Quran) dapat sampai kepada mayit.
Bacaan dzikir ( termasuk juga Alqu`an) bisa di baca di kuburan atau dirumah tergantung
keadaannya.
Soal hidangan dalam tahlilan
Saya sebutkan dua hadits yang bertentangan (Ta`arudl)
1. .
Artinya : ,Kami menganggap berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan
setelah menguburnya termasuk niyahah (meratapi mayit). Dikeluarkan oleh Ibnu majah
dan Ahmad.
2. ( ) ( )

. ,
Artinya : ,Kita(para shahabat)keluar bersama Rosulallah SAW dalam acara janazah.
Aku melihat Rosulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur, lebarkan dari arah
kakinya, lebarkan dari arah kepalanya. Ketika beliau pulang, beliau dijemput oleh juru
undang dari perempuan (istri) mayit,beliau mengabulkan dan kami bersamanya. Maka di
datangkan makanan, beliau meletakkan tangannya (untuk mengambil)dan kaum (para
shahabat)juga seperti itu dan mereka makan bersama. HR Abu daud dan Imam Baehaqi.
Hadits pertama (hadits Jarir ra) mempunyai maksud adanya larangan menghidangkan
makanan setelah pemakaman.
Sedangkan hadits kedua ( hadits `Ashim bin kulaib ra. ) mempunyai maksud makan
hidangan dalam kematian diperbolehkan karena Rosul SAW dan para sahabat pernah
makan dirumah ahli mayit setelah pemakaman.
Maka untuk mengamalkan kita gunakan qoidah :

Apabila terjadi pertentangan antara penetapan (itsbat) dan meniadakan (Nafi), maka yang
didahulukan adalah yang menetapkan.
Hadits pertama TIDAK membolehkan menghidangkan makanan setelah kematian,
sedangkan hadits kedua MEMBOLEHKAN hidangan dan memakannya. Maka yang
didahulukan adalah membolehkan makan hidangan kematian (hadits kedua)karena ia
itsbat (penetapan).
Semoga bermanfaat. Tapi kiranya ada yang belum puas, saya bisa menambah keterangan
lain. Sukron lakum.
Balas
38.
ahmad berkata
Desember 27, 2008 pada 08:35
saya memang sangat setuju jika jika tahlil adalah bidah jika tahlil merupakan ibadah,
karena hukum dasar ibadah adalah haram jika tidak ada perintah dari al quran atapun al
hadis,
lain hal jika itu adalah merupakan kebiasaan atau adat istiadat, jika saja kebisaaan
tersebut tidak mengandung hal yang bermamfaat atau modhorat saja, itu menurutku tetap
boleh selama tidak melanggar syariat islam,apalagi jika kebiasaan tersebut di isi sesuatu
yang bermamfaat atau sesuatu yang mengundang pahala. itu sangat boleh sekali
> Tahlil sebagai dzikir, ianya adalah ibadah (ghairu mahdah). Ibadah bukan mahdah
adalah boleh-boleh saja kapan saja di mana saja, selama tak melanggar syariat.
Balas
39.
Beng berkata
Januari 23, 2009 pada 07:42
Halo,semua yng meyakinkan bahwasanya Tahlilan itu boleh,saya ini adalah orang yng
baru masuk kedalam petunjuk islam,di dalam agama sy dahulu,ada hal yng selalu
menggelitik saya,bahwa Tuhan saya dahulu,disalib untuk menebus dosa2 kami yng
percaya,juga termasuk dosa2 orang2 sebelum Dia lahir,melihat penjelasan2 para
pakar(spt anda)kenapa timbul pertanyaan besar bagi saya lagi,sehingga saya
berkesimpulan bahwasanya islam(menurut apa yng saya baca dari tulisan anda)tidak ada
bedanya dengan agama saya yng dahulu,yang bisa menebus dosa orang2 sebelum dan
sesudahnya,namun kali ini bentuknya saja yng berbeda,bukan penebusan,melainkan
PENGIRIMAN PAHALA dari kegiatan yng namanya TAHLILAN itu,pada prinsipnya
apalah beda antara PENEBUSAN DOSA dengan PENGIRIMAN PAHALA?,apakah
anda memahami 2 hal diatas sebagai sesuatu yng berbeda?,dahulu saya masuk kedalam
logika islam yng menurut saya sangat logik dimana orang akan bertanggung jawab atas
dirinya masing2 dan tidak adanya dosa turunan,sekarang dengan melihat tulisan
anda,menimbulkan pertanyaan yng besar bagi saya,apakah cara saya memahami islam
yng salah,atau anda sekalian yng lebih dahulu jadi orang islam,yng memang masih
dilumuri oleh pemahaman yng salah itu?,karena hal yng perlu anda ketahui adalah di
dalam agama saya dahulu,sebuah aturan(kaifiyat) dalam satu hal yng ber-nuansa
ibadah(penyanjungan,gerakan2 tubuh tujuannya kepada Tuhan)semua dilakukan atas
maunya dan enaknya kita,kita tidak pernah diajarkan pola pensucian tubuh sebagaimana
islam mencontohkan ketika hendak sholat dengan berwudhu,lalu bacaan2 memulai
sholat,bacaan2 di dalam sholat,bacaan2 setelah sholat,semua dicontohkan oleh
keterangan2 yng jelas yng bersumber dari nabi,kalau saya membaca tulisan2 anda,saya
melihat islam yng anda fahami,tidak lebih dari kami memahami agama kami
dahulu,dimana dosa bisa ditebus(pahala bisa dikirim) dan beribadah kpd Tuhan tanpa
petunjuk pelaksanaan yng jelas dari nabi.
Namun,sebagai orang yng berasal dari agama lain dahulu,saya sangat menghargai apa
yng anda tulis dan juga apa yng anda fahami,dalam kaitan ini,karena saya adalah orang
yng awam didalam memahami islam selain saya minta petunjuk Tuhan melalui anda,saya
juga akan meminta WARRANTY(jaminan) dari anda,bahwa apa yng anda tulis itu,anda
mau bertanggung-jawab di akherat kelak,atas kebenarannya dan kebolehannya! saya
minta jaminan itu,sukur2 anda berani memberi jaminan tsb,dan pasti saya akan menjalani
spt apa yng anda semua fahami dan lakukan.
Sekarang namaku sudah berganti menjadi faturahman.
Oh ya,jangan lupa statement jaminan anda itu! saya tunggu!,kalau anda tidak berani
memberi warranty itu,saya berteory di dalam fikiran saya,bahwasanya anda hanya berani
nulis saja,tetapi setahu saya tentang Tuhan saya yng sekarang ini(Allah),tidak ada yng
luput dari pandangannya sekecil apapun jua.
Salam
Bernardus Beng alias Faturahman
>Tentu saja kami bertanggung jawab dengan kata-kata n hujah2 kami. Demikian ilmu
yg kami pelajari dari para ulama.
Balas
o
Abu Hafizh berkata
April 10, 2011 pada 17:59
Assalamualaikum.
kepada Mas Fathurrahman. Alhamdulillah, anda telah mendapatkan hidayah Islam
dan semoga Allah menjadikan anda dalam golongan yang selamat dari berbagai
perbuatan tercela, hina, dan tidak diridhai-Nya.
tetaplah berpegang teguh kepada al-Quran dan Sunnah serta pemahaman yang
telah dijalankan oleh 3 generasi terbaik dari umat ini. Jangan anda sampai tergoda
untuk melakukan kebathilan dan kesesatan dalam menjalankan agama Allah yang
sangat sempurna, tetaplah di atas manhaj Rasulullah dan para sahabat.
sebagai suatu kebaikan, saya sampaikan sebuah hadits dari Rasulullah
shallallaahu alaihi wasallam:
Dari Sahal bin Saad diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda: Aku
adalah pendahulu kalian menuju telaga Haudh. Siapa saja yang melewatinya, pasti
akan meminumnya, dan barangsiapa yang meminumnya, niscaya tidak akan
dahaga selamanya. Nanti akan lewat beberapa orang yang melewati diriku. Aku
mengenali mereka dan mereka juga mengenaliku, namun mereka terhalang
menemui diriku. Aku berkata: (Ya Rabb) mereka termasuk golonganku. Namun
muncul jawaban (dari sisi Allah Azza wa Jalla): Engkau tidak mengetahui
bidah yang mereka ciptakan sepeninggalmu. Akupun berkata: Sungguh bodoh!
Sungguh bodoh orang yang berbuat bidah sepeninggalku. (HR. Bukhari, no.
6583; Muslim, no. 2290 dan 2297).
juga saya kutipkan ucapan dua Imam, Imam Malik bin Anas mengatakan,
Barangsiapa yang melakukan perbuatan bidah dalam Islam lalu ia menganggap
bidah itu sebagai kebaikan, berarti ia telah beranggapan bahwa Nabi Muhammad
saw., itu telah mengkhianati kerasulannya. Ketahuilah, apa yang bukan
merupakan agama pada masa beliau saw., hidup, maka pada hari ini juga bukan
merupakan agama. (al-Itisham, Imam asy-Syathibi, I/65).
Imam Ahmad bin Hanbal juga menyatakan, Pondasi ahlus Sunnah menurut kami
adalah berpegang pada jalan hidup para sahabat Rasulullah saw., mengikuti ajaran
Rasulullah saw., dan meninggalkan bidah karena setiap biah adalah sesat,
meninggalkan pertikaian dan jangan belajar bersama ahli bidah dan tidak
melakukan perdebatan dan adu argumentasi yang hanya merusak agama. (Syarah
Ushul Itiqad Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, al-Imam al-Lalikai, I/176).
Demikian, semoga kita dapat meneladani Rasulullah saw., dan para sahabatnya
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dan menghindarkan diri
dari perbuatan bidah juga ahlinya. Wallahu alam bish-shawwab.
Balas
o
wawan, pake_aza@yahoo.com berkata
April 11, 2011 pada 03:43
mas Faturrahman,
waspadalah pada pemikiran2 dangkal dalam Islam.
sebenarnya bukan Islamnya yg dangkal, tapi ada sementara orang/golongan
tertentu yg menfsirkan Islam dengan pemahaman yg sangat dangkal..
Ada anjuran Islam untuk berzikir mengingat Allah, tapi jangan bingung jika anda
akan disalahkan oleh sekelompok orang Islam ketika anda berzikir di waktu dan
tempat tertentu..
jangan bingung pula jika anda bertemu dengan sekelompok orang yg merasa
paling benar, namun mereka telah merubah redaksi
kata/memalsu/menghilangkan/mengedit beberapa kalimat dalam kitab2/buku2
Islam..
sehingga maksudnya sudah berbeda dengan maksud sang penulis..
jangan bingung pula jika anda dipaksa meyakini MATAHARI lah yg
MENGELILINGI BUMI, dan dicap sesat jika meyakini sebaliknya..
Balas
40.
Yusuf berkata
Januari 23, 2009 pada 19:29
Salam alaikum,
Penulis harus mencermati apa yng saudara kita,Beng tanyakan,dia meng-amsalkan
tentang sebuah rumus segitiga,yng dia tuntut itu adalah garansi anda terhadap teory anda
yng disandarkan atas para ulama tersebut,bukannya tanggung jawab seperti apa yng anda
maksud,kalau bisa saya fahami dari pertanyaan saudara beng,ada semacam DOUBLE
WARRANTY,yaitu semacam garansi TOKO gitu,itu artinya,selain garansi pabrik(para
ulama yng anda maksud) sdr Beng juga meminta garansi toko(pribadi anda)sebagaimana
seorang yng bernama KOKO menulis pada sanggahan atas tulisan anda ini,jadi kita juga
harus memahami apa yng dimaksud oleh kedua pe-respons tulisan anda mengenai
tahlilan ini,sebab dari apa yng saya baca dari ats,saya tidak mendapati dalil anda tentang
perbuatan tahlilan yng kita maksudkan,anda hanya menyandarkan secara dalil suatu
perbuatan(mungkin dari rasul,jika memang hadits tsb shahih) yng essensinya tidak seperti
tahlilan yng anda maksudkan.
Wallahu alam !
salam
ABU IMRAN
> Kami berusaha memaparkan ilmu yg kami punyai. Referensi rujukan kitab ataupun
sumber kami tampilkan.
Sumpah sungguh berat bagi kami. Kami hanya berharap ridlo-Nya. Dan kami tak tahu
(belum menguasai) masalah sumpah menyumpah. Jadi maaf kami tak kan layani.
Balas
41.
Yusuf berkata
Januari 24, 2009 pada 06:22
Salam alaikum,
Terimakasih atas jawaban anda,kalau boleh saya sarankan,adalah lebih baik lagi,jika anda
juga menampilkan referensi yng menolak perbuatan tsb,sehingga pembaca lebih bisa
memilih cara berfikir yng mana yng cocok dengan alam fikiran pembaca,sehingga terlihat
lebih netral,adalah sebuah resiko di kritik dan diminta tanggung jawab,ketika kita
menulis tentang satu makalah,yng hanya dari satu sisi sudut pandang,sebab sudah pasti
para pembaca juga berkesimpulan anda adalah lawan mereka,sebuah referensi yng baik
setidaknya tidak membahas dari sisi pro nya saja tetapi juga di bahas dari sisi yng
kontra,apalagi masalah tahlilan yng sangat membuka peluang terjadinya
perbedaan,sejauh ini saya melihat,belum ada usaha peng-kafiran satu dengan yng
lainnya,kalau saya membaca tulisan sdr KOKO yng menganggap hal spt ini adalah
sesuatu yng lebih berbahaya dari perbuatan yahudi,juga masih bisa diterima akal alasan
tuduhannya,kata ujungnya adalah baik penulis maupun sdr KOKO semuanya terlihat
berjuang mempertahankan sunnah rasul,KOKO lebih ber-hati2 sementara penulis juga
memiliki sandaran yng lumayan bisa dijadikan pertimbangan(jika tdk bertentangan dng
nash al-quran)
Wallahu alam
wassalam
ABU IMRAN
Balas
o
habib berkata
November 4, 2009 pada 02:07
saya rasa lebuh baik anda bercermin siapa diri anda dan apa yg sdh anda perbuat
untuk agama anda.
Balas
42.
indira berkata
Februari 27, 2009 pada 03:54
Saya lah yang benar ! (dari beberapa tulisan diatas) maaf.
Nafsu , jangan dikuasai nafsu, akhirnya jadi kesombongan.
Hanya Allah yang tahu salah dan benar.
Beribadah sesuai keyakinan masing masing.
Semoga didunia ini damai,
Kasih dan sayang sesama umat manusia semoga terjaga, kita
terlahir tidak tahu apa keyakinan yang akan kita pegang.
Balas
43.
FUAD berkata
Maret 18, 2009 pada 13:35
Semua kok pada ladenin orang yang ngomong sembarangan masalah bidah.. mereka itu
hanya belajar sediri dari buku-buku terjemahan..hehe.. saya kasihan banget dengan yang
begitu.
Balas
44.
Riansyah berkata
Maret 23, 2009 pada 08:35
Assalamualaikum..,saya ingin sekali mengetahui lebih dalam tentang dalil-dalil,alasan
orang yang pro dan kontra dengan tahlilan. untu itu saya ingin partisipasi yang pro dan
kontra menghubungi saya di nmr:081378969837. atas nama Rian.terima
kasih.Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Balas
45.
abusulaisy berkata
Maret 31, 2009 pada 21:51
Rasulullah saw. bersabda: Tidakada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk
dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di
turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada di
sisi-Nya. (Riwayat Muslim)
setahu saya hadits diatas berkenaan dengan majelis ilmu dimana orang-orang berkumpul
mengkaji islam, adapun berkumpul/bermajelis dengan maksud membaca kalimat Tahlil
secara bersama-sama di komando seorang imam, ini kenapa tidak ada asalnya? Jika
memang ini baik kenapa tidak pernah dilakukan oleh orang-orang terdahulu atau para
imam mahzab ? Dan setahu saya masyarakat yang mengikuti tahlilan tidak tahu jika
tahlilan itu tidak wajib sehingga tahlilan diberlakukan menjadi ibadah wajib dalam setiap
momen kematian, selametan, syukuran, malam jumatan dsb. Jadi Gimana ulama-ulama
NU menyikapi hal ini ? Sudahkah mereka menjelaskan bahwa setiap kematian tidak
harus diadakan tahlilan ? Gimana nih bos ??
> Hadits di atas banyak dikutib di berbagai buku/kitab yang menerangkan tentang
keutamaan dzikir. Memang majelis ilmu termasuk majelis dzikir, namun majelis yang
mengucap kalimat2 dzikir adalah majelis dzikir juga.
Tidak ada yang mewajibkan tahlilan pada setiap kematian. Itu hanya angan-angan anda
saja. Mewajibkan yang bukan wajib adalah bidah sesat. Demikian pula ..
mengharamkan dzikir yg merupakan ibadah sunnah adalah sesat pula. Tahlilan adalah
dzikir dengan kalimat tahlil sebagai dzikir utamanya. Sebagaimana saya tulis di awal-
awal komentar.
Jika anda keberatan bahwa dikomando dll adalah dilarang karena tak sesuai contoh
Nabi saw/tak ada asalnya, maka pertanyaan kami (sebagaimana berulang kali kami
tanyakan), berikan kami contoh acara dzikir yang sesuai contoh Nabi saw di zaman ini.
Praktekkan. Berikan dalilnya.
Sedangkan saya kira masalah dikomando dll itu hanyalah usaha/ teknik agar suara
menyatu sehingga menambah kekusyuan. Yang belum hapal/ tahu lafadz tetap bisa
mengikuti. Dll.
Wallahu alam.
Balas
46.
tadzo berkata
April 3, 2009 pada 07:44
AsLmmenarik sekaLi..
aku suka
mas/pak..makasih
Balas
47.
abusulaisy berkata
April 4, 2009 pada 20:31
memang berdzikir dengan kalimat tahlil bagi saya tidak ada masalah, kita semua dapat
melakukannya setiap saat, tidak ada larangan dengannya. Lalu bagaimana menurut ulama
terdahulu khususnya para Imam mahdzab apakah ada acara tahlilan sebagaimana yang
ditekuni oleh orang-orang sekarang, dan dari kecil saya ikut tahlilan hingga kini saya
tidak tahu ajaran dari siapa acara tahlilan dan yasinan itu ? Adakah kitab ulama yang
membahas atau memberikan petunjuk tata caranya seperti yang sudah mentradisi di saat
ini ? ataukah tahlilan ini hanya bertsifat regional di indonesia saja khususnya di jawa ?
> Syukurlah kl anda mengatakan tak ada masalah dalam dzikir.
Ada buku petunjuk tahlilan, namun itu hanyalah panduan, agar peserta lancar
melafadzkan dan mengikuti majelis dzikir ini. Tak ada aturan yg mewajibkan harus ini
harus itu. Pengalaman di berbagai daerah, pelaksanaan tidak sama persis.
Bagi kami, di manapun majelis dzikir ini populer/ada, alangkah mulianya para ulama
(baik terdahulu maupun terkemudian) anonymous yg telah berjuang berdakwah dan
mengajarkan masyarakat tentang dzikir ini.
wallahu alam.
Balas
48.
lyon berkata
April 17, 2009 pada 16:01
assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
TAHLILAN mempunyai 2 MAKNA: yang pertama adalah mengucapkan kalimat Laa
Ilaaha Illallah, dan yang kedua adalah upacara peribadatan. Mengapa saya katakan
upacara peribadatan (BUKAN ADAT!!!) karena dalam upacara itu ada bacaan2 dari
Al-Quran dan ada doa2, sedangkan adat adat nenek moyang bangsa kita adalah
animisme dan dinamisme / hindu
kalau saja mereka memahami makna Laa Ilaaha Illallah (TIDAK ADA ILAH (Yang
patut ditaati) kecuali Allah) yang mereka ucapkan beratus2 kali bahkan beribu2 kali,
pasti mereka akan meninggalkan upacara tersebut. Makna dari ucapan Tahlil itu adalah:
Tidak ada yang patut ditaati/disembah kecuali Allah, tidak boleh ada segala bentuk
peribadatan, kecuali aturan dari Allah
jadi jangan pernah mengatakan mana dalilnya jika dilarang?, untuk urusan ibadah,
semua bentuk yang berbau Islam adalah DILARANG, kecuali jika ada perintahnya.
adapun Dalil LARANGAN2 di dalam Al-Quran maupun Al-Hadits adalah untuk
MENEGASKAN bahwa hal itu HARUS SEGERA DIJAUHI
wahai saudara2ku, kembalilah ketika pertama engkau masuk Islam dengan mengucapkan
dua kalimah syahadah yang salah satunya adalah TAHLIL (Laa Ilaaha Illallah / Tidak
ada Ilah kcuali Allah). dalamilah maknanya, niscaya engkau akan menemukan dirimu
yang sebenarnya, ikutilah kejujuran hatimu, jangan ikuti hawa nafsumu
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
> Waalaikum salam wrwb.
Saya tidak tahu apa yang anda maksud dgn istilah upacara peribadatan. Jika itu
adalah suatu majelis yang berisi bacaan2 dari Al-Quran dan ada bacaan dzikir serta
doa2 di dalam majelis, maka inilah termasuk majelis dzikir. Majelis dzikir adalah
majelis penuh keridlaan dari Allah swt.
Kemudian mengenai ini,
untuk urusan ibadah, semua bentuk yang berbau Islam adalah DILARANG,
kecuali jika ada perintahnya.
OK.. sebelum mererapkan utk orang lain, terapkanlah untuk diri sendiri terlebih dahulu.
Adakah dalil perintahnya atas kriteria anda ini? Ini kriteria aneh. Apalagi tak cocok
untuk ibadah-ibadah sunnah.
Bagi kami sudah jelas sebagaimana tanggapan di awal2 komentar.
Melarang/mengharamkan perkara yg bukan haram (apalagi ibadah sunnah, seperti
dzikir) tanpa dalil adalah bidah sesat itu sendiri. Karena itu adalah mengubah-ubah
hukum syariat, yg ibadah sunnah diubah menjadi haram menurut hawa nafsunya sendiri
tanpa alasan yang syari.
Balas
49.
lyon berkata
April 21, 2009 pada 16:17
Wahai saudaraku,
Jangan khawatir soal menerapkan syariat Islam kepada diri sendiri. BETUL sekali yang
anda katakan bahwa kita harus menerapkan apa yang kita yakini pertama2 kepada diri
kita dulu, kemudian kepada keluarga kita, kerabat dekat, kerabat jauh, lalu baru kepada
saudara2 kita yang lain (termasuk anda).
Pertama2 saya batasi dulu bahwa kita sedang membahas tahlilan yang maksudnya
adalah upacara peribadatan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Sedangkan
masalah majlis dzikir, saya tidak akan membahas karena belum menguasai materi ini
penuh.
Dalil untuk kriteria di atas sangatlah mudah bahkan mungkin anda selalu membacanya
beratus2 kali atau beribu2 kali, akan tetapi mungkin hanya sekedar membaca saja atau
menghafal sehingga belum memahami maknanya secara mendalam yaitu: Laa Ilaaha
Illallah Dalam kaidah bahasa arab, penekanan kata diletakkan di awal kalimat, dalam
hal ini adalah LAA (TIDAK/TIDAK ADA). Maknanya adalah, kita harus meniadakan
tuhan2, sesembahan2, peribadatan2, dan seterusnya Setelah menghapus segalanya
maka barulah kita memberi pengakuan bahwa hanya Allah saja. Meniadakan Tuhan2,
sesembahan2 berarti pula bahwa kita harus mengubur dalam2 segala bentuk
peribadatan2, kemudian barulah kita mengambil syariat2Nya. Sehingga hanya
syariatNya sajalah yang diridhai.
Mengenai tahlilan dalam arti kata upacara peribadatan untuk mendoakan orang yang
sudah meninggal dunia, sebenarnya tidak pernaah dilakukan oleh Nabi Sallallahu Alaihi
Wa Saallama maupun para sahabat atau para tabiin. Upacara ini menurut sejarah, mulai
terjadi ketika para wali berdawah ke dataran jawa yang mana pada saat itu
masyarakatnya (nenek moyang kita) adalah penganut animisme dan dinamisme (hindu).
Untuk mereka yang tertarik kepada ajaran Islam tetapi masih belum mau meninggalkan
kepercayaan lamanya, maka oleh para wali dibiarkan. Salah satunya adalah upacara
menghormati roh orang yang sudah meninggal dunia (mereka meyakini bahwa roh2 itu
akan datang ketika hari ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 dst) Mereka mengumpulkan
orang2 untuk membaca mantera2, lama kelamaan oleh para wali (supaya lebih terlihat
Islami) maka mantera2 itu diganti dengan bacaan2 dari Al-Quran maupun doa2. Namun
sayang sekali niatan para wali belum terlaksana karena mereka keburu meninggal dunia
(semoga Allah Subhanahu Wa Taala merahmati mereka dan mengampuni dosa2
mereka). Nah, oleh pengikut2nya yang belum mengerti niat dari para wali akhirnya
diteruskan bahkan sampai sekarang dipertahankan seakan2 hal itu adalah ibadah.
Sekarang kita menengok ke zaman Nabi Sallallahu Alaihi Wasallama, selama beliau
hidup, belum pernah mengadakan upacara peribadatan semacam ini padahal orang yang
meninggal banyak, bahkan ketika anaknya meninggal dunia, tidak ada upacara2
peribadatan semacam ini. Maka apakah kita masih menganggap bahwa upacara ini adalah
ibadah/sunnah/apa sajalah istilahnya? Kalau hal itu adalah suatu kebaikan pasti Beliau
akan melakukannya, dan pasti hadits2 tentang tahlilan sangat banyak sekali, akan tetapi
nyatanya tidak demikian
Wahai saudaraku,
Islam telah sempurna, marilah sama2 beribadah yang diridhaiNya saja, jangan sampai
kita termasuk orang2 yang mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil. Allah
Subhanahu Wa Taala menguji manusia siapa saja diantara mereka yang Ahsanu
Amala (paling baik amalnya). Baik adalah sesuai dengan syariatNya. Maka
JANGANLAH kita mengatakan bahwa shalat zhuhur 8 rakaat lebih baik dari 4 rakaat
dengan alasan bahwa yang dibaca adalah ayat2 Al-Quran dan lebih banyak bacaannya
daripada yang 4 rakaat. TIDAK! Yang baik, adalah mengubur dalam2 adat lama yang
tidak jelas dasar hukumnya, lalu membersihkan hati dengan sejujur2nya sambil
senantiasa memohon hidayah kepadaNya.
Semoga kita semua dibukakan hatinya untuk menerima hidayah, dan jangan dikunci
hatinya karena akan membuat hidup kita sengsara di dunia dan di akhirat.
Wallahu Alam bishshawaab
> Ok.. jadi anda setuju dimulai dari diri sendiri. Sekarang kriteria anda diukur dulu. Di
mana disebutkanperintah baginda Nabi saw bahwa semua ibadah berbau islam
adalah dilarang kecuali ada perintah . ???
Kemudian ttg bahwa Nabi tak pernah melakukan upacara peribadatan untuk orang
meninggal. Kata siapa? Sedangkan istilah upacara peribadatan dari anda. Janganlah
bikin istilah sendiri, berasumsi sendiri, dan kemudian mengukur amalan2 dengan asumsi
sendiri tersebut. Kami belum pernah dengar istilah upacara peribadatan dari anda itu.
Kita pakai istilah standard dan sudah jelas definisinya.
Dalam majelis tahlil (tahlilan) .. bagian manakah yang baginda Nabi tak pernah
melaksanakannya, atau tak ada dalilnya? Kalimat tahlil .. jelas haditsnya. Kalimat2
tasbih, tahmid, takbir semua jelas ada sabda Nabi saw ttg keutamaannya. Demikian juga
Fatihah, al ikhlas, dan kalimat-kalimat dzikir lainnya .. yang semuanya diamalkan di
dalam majelis tahlil ini. Dalam hal mendoakan orang meninggal, baginda Nabi saw pun
mengamalkannya. Ada banyak hadits mengenai hal ini. Semua itulah yang diamalkan di
dalam majelis tahlil ini.
Sehingga klaim anda bahwa Nabi tidak pernah mengamalkannya .. gugur dengan
sendirinya.
Tahlilan itu isinya adalah dzikir. Sedangkan dzikir itu ibadah sunnah .. semakin banyak
mengamalkannya, di manapun n kapanpun, sambil berdiri berbaring duduk, di tempat
sepi atau beramai-ramai, maka semakin banyak pahalanya. Anda salah total mengukur
ibadah sunnah dengan ketentuan ibadah wajib (shalat wajib) yang sudah ditentukan
syarat rukunnya. Ibadah sunnah itu tak dibatasi jumlahnya mas ..
wallahu alam.
Balas
o
wawan berkata
Oktober 20, 2010 pada 14:00
mas Lyon,
para dai sebelum datang ke indonesia sudah mngenal dan mengamalkan majlis
dzikir, doa dan hadiah pahala yg bermanfaat untuk mayit, karena sudah
diterangkan dalam hadis Nabi (hadisnya ga usah saya kutip ya, soalnya dikutip jg
percuma toh ente2 pada ngotot memaksakan pendapat ente yg paling bener)
konsep itu jg telah diterangkan oleh para ulama pakar dari madzhab Hanafi,
Maliki, Syafii dan Hanbali..
ini beberapa ratus tahun sebelum para dai datang ke indonesia lho..
walaupun caranya berbeda, tapi intinya sama yaitu berdzikir dan menghadiahkan
pahala bacaan untuk mayit..
jadi argumen amalan dari Hindu itu agak susah dibenerkan..
logikanya, kalo bangsa inca di meksiko membuat bangunan mirip kaya piramid,
masa iya sih mereka dianggap MENIRU piramid mesir??
gimana logikanya?
Balas
50.
biyong berkata
April 22, 2009 pada 09:11
Assalamualaikum
Kalau yng saya cermati dari sdr lyon mengenai !semua ibadah berbau islam adalah
dilarang kecuali ada perintah . ???,menurut saya hal tsb dari kaidah ushul fiqih yng
mengatakan bahwa asal dari satu perbuatan dlm agama itu dilarang kecuali jika ada dalil
yng memalingkannya,kaidah ini berasal dari keterangan2 yng bersumber dari nash al-
quran dan hadits Nabi juga,sebagaimana kita membuat sebuah definisi tentang sebuah
bangun segitiga dimana definisi atau kaidahnya tidak pernah ada dalil yng mendahului
sebelum bangun itu dibuat,maka kita sepakat membuat kaidahnya yaitu:1.memiliki 3
buah sisi,2.ujung2 sisinya bertemu pada ujung2 sisi yng lain,3.jumlah ketiga sudutnya
adalah 180 drjt.
Nah,kaidah atau definisi spt ini memang tidak ada dalilnya,sebagaimana ilmu Nahwu dan
Syorof,atau juga ilmu Grammar dlm bhs inggris,kalau ditanya mana lebih dahulu
ilmu2(definisi2) tsb dengan bahasanya?,apakah tatabahasanya diciptakan duluan baru
bahasanya atau sebaliknya?
jawabnya adalah bahasanya duluan baru tatabahasanya menyusul,karena
tatabahasa(grammar,Nahwu,shorof)baru ada setelah bahasanya ada,begitu juga tentang
kaidah ushul fiqih tadi,bagaimana mungkin ada dalil tentang hal tsb ! kaidah itu ada
dikarenakan bukti dan fakta atas sesuatu,begitu pula halnya hukum agama ini,dari
dalil2(fakta nash dan hadits)barulah dibuat definisi tsb,ada hadits yng berbunyi
maakaana min amri diinikum failayya,wamaakaana minamri dunyakum antum alamu
bihi,ini memperkuat definisi atau kaidah tentang dilarangnya kita melakukan suatu
perbuatan yng bersinggungan dengan agama/ibadah yng Nabi tidak contohkan,tetapi
Nabi mempersilahkan kita berkreasi semaximal mungkin manakala hal tsb berkaitan
dengan keduniawian(hablum minannas),tentunya dalam hal ketaatan bukan hal
maksiat,semisal menggunakan mobil,atau pesawat terbang atau kemeja,atau kopiah dll
yng sejenis itu,tetapi hal berkaitan dengan sebuah kaifiyat atau tatacara suatu perbuatan
atau acara yng menyangkut sebuah peribadatan baik itu ibadah wajibatau sunnah maka
hal tersebut di warning oleh hadits diatas.
Dari banyak komentar dari atas,saya berkesimpulan,bahwa mereka yng tidak sefaham
dng penulis,masih memperlihatkan kepedulian,baik kpd tulisannya ataupun
pemahamannya,tentunya mereka berangkat dari rasa sayang kepada penulis,yng
mereka anggap bahwa penulis telah melakukan kekeliruan,itu sah2 saja,karena itulah
resiko ketika kita menulis,maka jika tidak mau dikritik,ya jangan menulis,atau mau
dibaca tulisannya,atau setidaknya penulis jangan menyediakan kolom
komentar,urusannya selesai !
Secara pribadi saya juga mengajak diri saya sendiri terutama,penulis dan yng lain,untuk
jangan berhenti untuk terus menuntut ilmu agar kita semua semakin mendekat kepada
yng benar2 sunnah rasulullah,karena hanya ada dua pilihan untuk kita menjadi seorang
ahli sunnah atau menjadi ahlul bidah
Semoga Allah menunjuki kita semua !
wassalam
Balas
51.
kndy berkata
April 27, 2009 pada 15:29
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan
umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan
kontra harus dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah
yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada
Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wataala telah
berfirman (artinya):
Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik
akibatnya. (An Nisaa: 59).
pertanyaannya apakah Rasul saw dan para sahabat terdahulu pernah melakukan acara
semacam ini ????.
> Setuju.. Dan jawaban pertanyaan sdh jelas dari tanggapan2 kami di atas. Majelis
dzikir adalah majelis yg mulia dan sunnah, dan tahlilan adalah termasuk dalam kategori
majelis dzikir. Al Quran memerintahkany untuk berdzikir. Dan majelis dzikir dilakukan
pada zaman Nabi saw.
Balas
o
kndy berkata
Oktober 28, 2009 pada 12:47
setuju apa?dzikir dalam Al Quran sendiri diterangkan klo kita berdzikir
( Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri, dan suara lembut.
Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas
(QS. al-Araf 55).
( Dan sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu, dengan merendahkan diri, dan rasa
takut, serta dan tidak mengeraskan suara, diwaktu pagi dan petang, dan janganlah
kamu termasuk orang orang lalai (QS.al- Araf 2O5).
pertanyaan sayaapakah benar ada hadist yang menerangkan utk berdzikir atau
berdoa beramai2, berkumpul2 seperti paduan suara jika kita memahami ayat
diatas..????
> Coba simak ini dan ini.
Balas

wawan, pake_aza@yahoo.com berkata
April 11, 2011 pada 01:57
to Kndy
ayat itu menyuruh kita untuk mengingat Allah di waktu PAGI dan
PETANg,
pertanyaannya saya untuk mas Kndy khususnya dan Mas2 Wahabi
umumnya :
jika saya mengingat Allah di SIANG BOLONG, apakah saya termasuk
pelaku bidah yg menyalahi Allah dan sunnah Rasul ???
ada yg bisa jawab???
o
Abu Hafizh berkata
April 10, 2011 pada 18:23
kepada sdr. orgawam dan yang mendukung anda.
say jadi heran, anda lebih banyak bermain dengan logika (manthiq) daripada
dengan dalil yang shahih dan sharih. pernahkah anda melakukan muhasabah
tentang semua dalil yang anda pakai itu? maaf, jika saya keliru, tapi sejak awal
saya menyimak dan mempelajari semua tulisan dan komentar anda, yang saya
dapati adalah anda tidak ada sedikitpun usaha untuk ittiba secara benar terhadp
semua dalil yang ada. tidakkah anda membaca dan mempelajari sirah Nabi
Muhammad saw., dan para sahabatnya? tidakkah anda paham dengan kalimat
yang ditulis Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Azhim, jilid
IV hal. 335, ketika menafsirkan QS. an-Najm: 38-39, beliau berkata:
. ,
.
.

,
.
Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain,
demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil
amalnya sendiri. Melalui ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafii dan ulama-ulama
yang mengikutinya mengambil hukum bahwa pahala bacaan (al-Quran) yang
dihadiahkan kepada orang mati tidak dapat sampai kepadanya karena bukan dari
amal usahanya sendiri. Oleh karena itu, Rasulullah saw., tidak pernah men-
Sunnahkan umatnya dan menganjurkan mereka melakukan perbuatan tersebut,
serta tidak pula merujuk kepadanya (menghadiahkan bacaan kepada orang mati)
walaupun dengan satu nash (dalil) maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang
Sahabat Rasul pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau memang
perbuatan itu baik, tentu mereka (sahabat) lebih dahulu mengerjakannya. Padahal
amalan mendekatkan diri kepada Allah hanya terbatas yang ada nashnya (dalam
al-Quran dan as-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan
pendapat-pendapat.
belajarlah lagi dengan baik, tetapi jangan pernah sedikitpun melakukan upaya
pembenaran terhadap diri sendiri, karena kebenaran mutlak milik Allah, dan Allah
sudah sempurnakan agama Islam ini bagi manusia (QS. al-Maidah: 3). jadi jangan
gunakan logika terbalik hanya karena ini dan itu.
benar, dzikir itu merupakan ibadah yang agung, tetapi dzikir juga harus mengikuti
bagaimana tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Silahkan baca lagi Tafsir Imam Ibnu
Katsir ketika beliau menafsirkan QS. al-Araf: 55. semoga menjadi pencerahan.
wallahu alam.
> Kami mengikuti para ulama yang mengikuti sunnah Rasul saw. mas .. anda
belum menjawab pertanyaan mas imam bahwa anda telah menggunting fatwa
ulama di artikel lain sejenis. Tolong itu dijawab dulu.
Jangan berpindah-pindah artikel dengan mengungkapkan hal yang sama tanpa
pertanggung jawaban. Tolong .. diskusilah dengan adab.
Balas

Imam berkata
April 11, 2011 pada 09:58
Abu Hafidz ,
Walaupun komentar saya belum dijawab tapi tidak ada salahnya saya
jawab komentar Anda yang diambil dari Ibnu Katsir yang telah disebutkan
Anda.
Pertanyaan ringan aja untuk Anda, apakah Anda sudah membaca tafsir Al-
qurtubu? kalau tidak salah juz 17, disana ada antara lain penafsiran Ibnu
Abbas tentang surat A-Najem ayat 38-39 dan diriwayatkan dari Ibnu
Abbas juga, ayat 39 telah dimansuh oleh ayat (tersebut dikomentar saya ):

.
Silakan Anda baca kitab itu sehingga hati Anda bisa terbuka tentang
masalah ini.
Baca juga kitab : Mirqoh Al-Mafatih Syarh Misykah Al-MAshobih pada
bab Mengubur mayit juz 3 : ( Saya nukil sedikit ) :
:

: : :
:
Imam Suyuthi berkata : Berbeda pendapat ( para Ulama) tentang
sampainya pengiriman pahala bacaaan Al-Quran untuk mayit, Maka
Jumhur ulama salaf dan Imam2 ketiga madzhab berpendapat
SAMPAINYA PAHALA BACAAN AL-QUR`AN, tetapi Imam Kami
Asy-Syafi`i tidak berpendapat demikian dengan berdalilkan ayat : (artinya
: dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya ), maka menjawab (ulama2) Al-Awwaluun tentang
ayat ini dengan berbagai wajah, salah satunya mengatakan bahwa ayat ini
( tersebut diatas) telah dimansuh dengan firman Alloh yang lain yaitu :

Kemudian, ternyata Anda juga masih tetap seneng memotong dan
membuang pendapat para ulama termasuk disini yang terdapat dalam kitab
tafsir Ibnu Katsir : padahal kalimat kelanjutannya dalam kitab itu masih
ada yaitu sbb:


DAN ADAPUN DOA DAN SEDEKAH MAKA PARA ULAMA TELAH
SEPAKAT AKAN SAMPAINYA PAHALA KEDUANYA (YANG
DIKIRIMKAN KE MAYIT) DAN TELAH JELAS DARI SYAREAT
MENGENAI KEDUANYA (DOA DAN SEDEKAH).
Abu Hafidz, kesalahan Anda selalu diulang dan diulang seperti
kebanyakan dari jamaah Anda.
Saya heran herandan heran, kenapa berdakwah tapi tidak amanah?
A`udzubillah min hadza maudhu`.
Saya memberi saran ke Anda buka hati Anda dan coba kaji lagi kitab2
yang ada. terimakasih.
52.
sandhi berkata
Mei 6, 2009 pada 09:23
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa selamatan kematian setelah hari
wafat, hari ketiga, ketujuh dll adalah : MAKRUH, RATAPAN BIDAH TERCELA
(BIDAH MADZMUMAH), OCEHAN ORANG-ORANG BODOH. Berikut apa yang
tertulis pada keputusan itu :
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABIUTS TSAANI 1345 H / 21
OKTOBER 1926
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada
mereka yang datang bertaziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan
maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah
tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya
MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari
tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab Ianatut Thalibin Kitabul Janaiz:
MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang
sengaja dihimpun untuk bertaziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai
dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: kami
menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada
mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG
DILARANG).
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah
tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju
kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG
DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK
PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN
DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang
dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah
wanita yang menghadiri proses taziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan
penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh
mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan
bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau
tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut
dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang
lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit
selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan
masyarakat harus dilaksanakan seperti wajib, bagaimana hukumnya.
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas
termasuk BIDAH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali
(bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan
untuk meratapi atau memuji secara berlebihan (rastsa).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal OCEHAN
ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan
makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak
menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di
atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan terhadap
seseorang yang batal (karena hadast)realisasi perintah Nabi shalatnya untuk menutup
hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga
kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum
dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun
ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu
digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
Selesai KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO. 18.
REFERENSI:
Lihat : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam,+ Keputusan Muktamar,
Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais
Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Talif wan Nasyr (LTN) NU
Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
Masalah+ Keagamaan Jilid 1 Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama
Kesatu/1926 s/d/ Ketigapuluh/2000, KH. A.Aziz Masyhuri, Penerbit PPRMI dan Qultum
Media.
Balas
53.
pak darlin berkata
Juni 2, 2009 pada 21:18
sekarang ini dan juga jaman dulu, banyak orang indonesia yang lebih suka, rajin berbicra
dari pada membaca, lebih suka komentar dari pada belajar. seakan-akan dirinya tahu
semuanya bahkan sepertinya mereka sudah kenal dengan penjaga syurga dan neraka
sehingga mufah mengatakan ini haram, itu haram sdt. padahal mereka itu baca fatihah
saja gak jelas juntrungnya, belum lagi tjwidnya, belum lagi nahwunya, belum lagi
balaghohnya, belum lagi tafsirnya dst-dst, tapi bicaranya, kementarnya, seakan-akan
mereka anaknya pengelola syurga!
Balas
54.
ahmad fauzi chairuddin berkata
Oktober 27, 2009 pada 02:26
Assalamualaikum Wr. Wb.
Saya setuju sekali dengan dengan Pak Darlin #53.
Maaf saya tidak membahas topik yang sedang diperdebatkan tapi saya menanggapi
perdebatan yg saudara2 lakukan, yaitu debat kusir yang tidak ada ujungnya, masalah ini
adalah masalah klasik, yang sejak dahulu sudah dipermasalahkan dan sekarang tumbuh
kembali yang pada akhirnya adalah memecah belah ummat, kadang kala kita tidak sadar
bahwa kita sedang menjadi wayang yang dimainkan oleh dalang yahudi.
Saya menghargai kedua belah pihak masing2 memiliki refrensi dalil2 yg menurut
saudara2ku itu tsiqah, shohih.
Orang yang bijak adalah orang yang Alim (orang yang menguasai ilmu Agama pen.),
orang yang Alim ketika melihat suatu permasalahan itu tidak langsung memvonis suatu
permasalahan dengan sebutan2 atau tindakan2 yang yg melukai hati saudaranya. mereka
pelajari dahulu permasalahannya, mereka kumpulkan referensinya (dalil2nya) yang
tsiqah tentunya, dan diungkap dengan ketelitian dan kejelian serta kejernihan,
santun dan baik.
Namun sebaliknya orang yang tidak/kurang berilmu diibaratkan orang baru belajar silat
baru jurus satu saja belum kelar sudah banyak tingkahnya dalam istilah betawi (pental
pentil)
sebagai mana Firman Allah (surat An-Nahl ayat 125)

125)
125. serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
[845] Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara
yang hak dengan yang bathil.
Juga kepada saudara2ku yang tidak sependapat dgn topik yang di angkat yaitu masalah
dzikir (tahlil) tidak serta merta memvonis dengan predikat2/sebutan2 yang tidak pantas
menurut takaran Alquran.
Maka kepada saudara2 ku seiman, seakidah yang mengimani dari pokok keimanan
(rukun Iman) disebut orang beriman. maka simak Firman Allah : Surah Al Hujuraat 11

11)
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan
pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang
direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan
memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman[1410] dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka
mereka Itulah orang-orang yang zalim.
[1409] Jangan mencela dirimu sendiri Maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin
karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
[1410] Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari,
seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik,
Hai kafir, Hai Ahlul Bidah dan sebagainya.
Sebenarnya perdebatan yang terjadi atas permasalahan yang diperdebatkan tidak
menjadikan kita menjadi paling Islami, paling benar menjalankan syariat, paling soleh,
paling mukmin, paling ahlu syurga dan paling2. coba renungkan ayat di atas bahwa
semua itu yang memiliki hak menilai adalah Yang Maha menilai, Yang Maha
Mengetahui, Yang Maha Melihat dari gerak hati,jiwa dan raga kita.
jangan mendahului Hak Allah.
Hargai Ijtihad Para Ulama sudahkah kita mengukur seberapa ilmu kita kalau di banding
dgn ilmu para ulama. jangan sok tau, jangan meremehkan Ulama, apalagi Ulama atau
Imama Mujtahid Mutlaq yang sudah masyhur keilmuannya dan diakui oleh seluruh kaum
muslimin sedunia.
Banyak belajar, dari berbagai Ulama melalui kitab2 karya2nya jangan hanya cuma satu
kitab, satu Ulama yang menjadikan kita picik dalam berfikir, dan gampang mengumbar
fatwa seolah2 hanya aku yang paling benar ijtihadnya, yang paling benar aqidahnya, yang
paling benar keislamannya, yang paling berhak masuk syurga.
Saya perhatikan perdebatan masalah tahlil ini, ya hanya berkutat didalam argument yang
itu-itu saja dan pemaparan dalil2nya pun itu-itu saja, tak berujung engkel-engkelannya.
bagi yang melakukan silahkan teruskan sepanjang tidak melanggar syariat dan yang
tidak silahkan diam atau lakukan amal kebajikan yang lainnya dan bermanfaat, maslahat
untuk ummat.
Semoga Allah menyatukan hati-hati kita.
Senantiasa dalam Ridho-Nya.
Wassalamualaikum Wr.Wr.
Balas
55.
uut berkata
Oktober 28, 2009 pada 00:50
Pendapat Imam as-Syafii rahimahullah
http://www.scribd.com/doc/13767927/Imam-Syafii-Tentang-Tahlilan-Kematian
hayo kita tingkatkan ilmiah untuk membaca kitab-kitab ulama
http://pdfdatabase.com/index.php?q=download+kitab+ulama+salaf&page=3
Balas
56.
suroto berkata
Desember 15, 2009 pada 17:07
ass wr wb. saya sependapat dgn sdrku achmad fauzi chairuddin.debat kusir ini tidak akan
ada habisnya atau tidak akan ada titik temunya.dan dalil yang dipakai ya itu-itu
saja,karena kedua belah pihak meyakini kebenaran masing2.Untuk itu kami usul/saran
buatlah suatu artikel misal dengan judul Tahlilan. Yang membolehkan dalilnya dari
alquran surat ini ayat sekian.dan dari hadits riwayat ini (syukur lengkap dengan perawi
dan sanatnya.Yang tidak membolehkan/melarang dalilnya dari alquran surat ini ayat
sekian dan dari hadits riwayat ini lengkap dengan perawi dan sanatnya, Insya Alloh tidak
akan terjadi debat kusir dan merupakan media dakwah yang sangat agung dan akan
diterima oleh orang awam seperti saya dengan penuh doa untuk penulisnya, dan akan
menjadi pencerahan kepada masyarakat.
akhir kata semoga pembaca dan penulis di blog ini selalu dalam rahmad dan ridho Alloh
SWT, Amin. matur nuwun.
> wangalaikum salam wrwb. Di sini kami telah berpendapat. Demikian pula, dalil-dalil
pendukung (sebagian) kami tampilkan. Jika ada yg berseberangan dan mencoba
membantahnya di sini, maka kami ber-argumen dengan ilmu-ilmu yang kami dapat.
Adalah salah menilai bahwa tanggapan kami adalah debat kusir. Kami ber-argumen
dengan dalil. Biar lah pembaca menilai dan memilih sendiri.
Amien atas doanya. terima kasih.
Balas
o
kndy berkata
Desember 18, 2009 pada 01:32
wah saya setuju sekali dg pendapat bpk suroto..agar di buat artikel atau forum yg
membolehkan dan melarang nya..jd biar diantara umat islam tidak lg ada
perdebatan atau perbedaan..krn islam itu satu..
Balas
57.
sandhikusuma berkata
Januari 26, 2010 pada 05:03
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
Keputusan Masalah Diniyyah No: 18 / 13 Rabiuts Tsaani 1345 H / 21 Oktober 1926
Tentang
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada
mereka yang datang bertaziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan
maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah
tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya
MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari
tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu. Tapi banyak
mudharatnya .
KETERANGAN :
1. Dalam kitab Ianatut Thalibin, Kitabul Janaiz:
MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang
sengaja dihimpun untuk bertaziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai
dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: Kami
menganggap berkumpul di ( rumah keluarga ) mayit dengan menyuguhi makanan pada
mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN ( YANG
DILARANG ).
2. Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah
tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju
kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan
pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang
lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada
genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang
menghadiri proses taziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan
penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh
mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan
bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau
tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut
dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang
lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit
selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan
masyarakat harus dilaksanakan seperti wajib, bagaimana hukumnya.
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas
termasuk BIDAH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali
(bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan
untuk meratapi atau memuji secara berlebihan (rastsa).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal OCEHAN
ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan
makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak
menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di
atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan terhadap seseorang yang
batalpahala setara dengan realisasi perintah Nabi (karena hadast) shalatnya untuk
menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk
menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum
dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun
ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu
digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
SUMBER: Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar,
Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), hal. 15-17, Pengantar: Rais Am
PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Talif wan Nasyr (LTN) NU Jawa
Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
Balas
58.
sandhikusuma berkata
Januari 26, 2010 pada 05:03
Madzhab Syafii berpendapat bahwa bacaan atau amalan yang pahalanya
dikirimkan/dihadiahkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai kepada si mayit. Lihat:
Takmilatul Majmu Syarah Muhadzab 10:426, Fatawa al-Kubro al-Fiqhiyah (al-
Haitsami) 2:9, Hamisy al-Umm (Imam Muzani) 7:269, al-Jamal (Imam al-Khozin) 4:236,
Tafsir Jalalain 2:19, Tafsir Ibnu Katsir ttg QS. An-Najm : 39, dll.
Imam An-Nawawi berkata di dalam Syarah Muslim 1: 90:
Adapun bacaaan Al-Quran (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang
mashyur dalam madzhab Syafii, adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi.
Adapun dalil Imam Syafii dan pengikutnya adalah firman Allah QS.An-Najm : 39: Dan
seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri dan , Apabila
manusia telah meninggal dunia, maka terputuslahsabda Rasulullah amal usahanya,
kecuali tiga hal yaitu: sedakah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang
berdoa untuknya.
Balas
59.
sandhikusuma berkata
Januari 26, 2010 pada 05:08
Lihat juga: Raudhatut Thalibin, Imam An-Nawawi 2:145, Mughnil Muhtaj 1: 268,
Hasyiyatul Qalyubi 1: 353, Al-Majmu Syarah Muhadzab 5: 286, Al- Fiqhu Alal
Madzahibil Arbaah 1:539, Fathul Qadir 2:142, Nailul Authar 4:148.
Berkata Imam Asy-Syafii di dalam Al-Umm 1: 248:
Aku membenci matam, yaitu berkumpul-kumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun
di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru.
Lebih lanjut di Kitab Ianatut Thalibin, Syarah Fathul Muin, juz 2, hal.145 disebutkan:
Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan
dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk BIDAH MUNGKARAT YANG
BAGI ORANG YANG MEMBERANTASNYA AKAN DIBERI PAHALA.
> Lihat link di #18, jawaban habib munzir.
KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA 2007/07/18 20:23
KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA SYAFIE
Assalammualaikum wr.wb.
Habib tolong beri penjelasan mengenai hal ini, karena ini dalil dari orang salafi untuk
berhujjah. semoga keberkahan Ilmu dapat meninggikan derat Habib di akhirat.
Mungkin ramai dari kalangan pengikut mazhab Syafie tidak menyedari bahawa bertahlil
dengan cara berkumpul beramai-ramai, membaca al-Quran, berzikir, berdoa dan
mengadakan hidangan makanan di rumah si Mati atau keluarga si Mati bukan sahaja
Imam Syafie yang menghukum haram dan bidah, malah ramai para ulama mazhab
Syafie turut berpendirian seperti Imam Syafie. Adapun antara meraka yang
mengharamkan kenduri arwah, yasinan, tahlilan dan selamatan ialah Imam Nawawi, Ibn
Hajar al-Asqalani, Imam Ibn Kathir, Imam ar-Ramli dan ramai lagi para ulama
muktabar dari kalangan yang bermazhab Syafie, sebagaimana beberapa fatwa tentang
pengharaman tersebut dari mereka dan Imam Syafie rahimahullah:

.
Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan) makan, iaitu berkumpul di rumah (si
Mati) walaupun bukan untuk tangisan (ratapan).[1]
Mengadakan majlis kenduri iaitu dengan berkumpul beramai-ramai terutamanya untuk
berzikir, tahlilan, membaca surah Yasin atau kenduri arwah sebagaimana yang
dilakukan oleh masyarakat Nusantara di rumah si Mati atau memperingati kematian,
maka semuanya itu benar-benar dihukum bidah yang mungkar oleh Imam Syafie
rahimahullah sebagaimana fatwa-fatwa beliau dan para ulama yang bermazhab Syafie
yang selanjutnya:


.
Adapun menyediakan makanan oleh keluarga si Mati dan berkumpul beramai-ramai di
rumah (si Mati) tersebut maka itu adalah bidah bukan sunnah.2 [1]
Di dalam kitab ( ) juz. 2 hlm. 146 ada disebut pengharaman
kenduri arwah, iaitu:



:
:

. (
.(
Dan apa yang telah menjadi kebiasaan manusia tentang menjemput orang dan
menyediakan hidangan makanan oleh keluarga si Mati adalah bidah yang dibenci,
termasuklah dalam hal ini berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga si Mati kerana
terdapat hadis sahih dari Jarir bin Abdullah berkata: Kami menganggap berkumpul
beramai-ramai (berkenduri arwah) di rumah si Mati dan menyiapkan makanan sebagai
ratapan.3 [1] (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibn majah dengan sanad yang
sahih).
Fatwa Imam Syafie dan para ulama muktabar yang bermazhab Syafie telah
mengharamkan berkumpul beramai-ramai dan menyediakan hidangan makanan di
rumah si Mati untuk tujuan kenduri arwah, tahlilan, yasinan dan menghadiahkan
(mengirim) pahala bacaan al-Quran kepada arwah si Mati Mereka berdalilkan al-
Quran, hadis dan athar-athar para sahabat yang sahih sebagaimana yang dikemukakan
oleh mereka melalui tulisan-tulisan di kitab-kitab mereka. Mereka tidak mungkin
mengharamkan atau menghalalkan sesuatu mengikut akal fikiran, pendapat atau hawa
nafsu mereka semata, pastinya cara mereka mengharamkan semua itu dengan
berdalilkan kepada al-Quran, as-Sunnah dan athar dari para ulama yang bermanhaj
Salaf as-Soleh.
_____________________________ __________
[1]. Lihat: Al-Umm. Juz 1. Hlm. 248.
[2]. Lihat: . Juz 1. Hlm. 268.
munzir
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Limpahan kebahagiaan dan kasih sayang Nya swt semoga selalu tercurah pada
hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
Hal itu merupakan pendapat orang orang yg kalap dan gerasa gerusu tanpa ilmu,
kok ribut sekali dengan urusan orang yg mau bersedekah pada muslimin?,




Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya
berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum
berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah
aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : Boleh (Shahih Muslim
hadits no.1004).



Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa
shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada
mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula
mereka bersepakat atas sampainya doa doa (syarh Imam Nawawi ala shahih
muslim juz 7 hal 90)
Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud
bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk
mayyit, demikian kebanyakan orang orang yg kematian, mereka menjamu tamu2
dengan sedekah yg pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah.
Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya,
dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :












riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud
dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar,
berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu
kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari
arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan
istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul
saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan,
lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan
kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan
Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL
Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka
datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa
Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama
sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan.
(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).
Lalu mana dalilnya yg mengharamkan makan dirumah duka?
Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus
untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak
disukai (ghairu Mustahibbah), bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya
haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan
hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi
haram.
2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :


mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah
hal Bidah Munkarah yg makruh (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg
menyuguhkan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh
berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yg
dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar
datang dan meramaikan rumah.
Entahlah para wahabi itu bodoh dalam bahasa atau memang sengaja
menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu bodoh
atas syariah dan menyelewengkan makna.
3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan Ittikhadzuddhiyafah, ini
maknanya membuat perjamuan besar, misalnya begini : Bupati menjadikan
selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan Ittikhadzuddhiyafah yaitu
mengadakan perjamuan. Inilah yg dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan
beliau tak mengatakannya haram, Inilah dangkalnya pemahaman orang orang
wahabi yg membuat kebenaran diselewengkan.
4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan
makan makan dirumah mayit hukumnya Bidah yg makruh. (Bukan haram
tentunya), dan maksudnya pun sama dg ucapan diatas, yaitu mengumpulkan
orang dengan jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak
sampai mengharamkannya.
5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru
berupa Wahsyah yaitu adat berkumpul dimalam pertama saat mayyit wafat
dengan hidangan makanan macam macam, hal ini makruh, (bukan haram).
dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yg dimaksud makruh adalah sengaja
membuat acara jamuan makan demi mengundang tamu tamu, ini yg ikhtilaf
ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan
pahalanya untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.
Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yg
pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yg memakruhkannya.
Sebagaimana Rasul saw makan pula, karena asal dari pelarangan adalah
memberatkan mayyit, namun masa kini bila anda hadir jenazah lalu mereka
hidangkan makanan dan anda katakan haram (padahal hukumnya makruh) maka
hal itu malah menghina dan membuat sedih keluarga yg wafat,
lihat Akhlak Rasulullah saw, beliau tahu bahwa pembuatan makan makan di
rumah duka adalah hal yg memberatkan keluarga duka, namun beliau
mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya,
kenapa?, tak mau mengecewakan keluarga duka, justru datang dan makan itu
bila akan menghibur mereka maka perbuatlah!, itu sunnah Muhammad saw.
Yg lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut
sambil berkata haram..haram dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah
uang atau hadiah untuk membantu mereka.
Sekali lagi saya jelaskan bahwa asal muasal pemakruhan adalah jika
menyusahkan dan memberatkan mayyit, maka memberatkan dan menyusahkan
mereka itulah yg makruh,
dan pelarangan / pengharaman untuk tak menghidangkan makanan dirumah
duka adalah menambah kesedihan si mayyit, bagaimana tidak?, bila keluarga
anda wafat lalu anda melihat orang banyak datang maka anda tak suguhkan
apa2..?, datang dari Luar kota misalnya, dari bandara atau dari stasion luar kota
datang dg lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa
seteguk airpun..???, tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan sangat
membuat mereka malu.
Selama hal ini ada riwayat Rasul saw memakannya dan mendatangi undangan
istri almarhum dan makan bersama sahabatnya, maka kita haram berfatwa
mengharamkannya karena bertentangan dg sunnah Nabi saw, karena hal itu
diperbuat oleh Rasul saw, namun kembali pada pokok permasalahan yaitu jangan
memberatkan keluarga duka, bila memberatkannya maka makruh, dan jangan sok
berfatwa bahwa hal itu haram.
Akhir dari jawaban saya adalah : semestinya orang yg berhati suci dan
menginginkan kebangkitan sunnah, mereka mengajak untuk bersedekah pada
keluarga duka bila ada yg wafat di wilayahnya, namun sebagian dari kita ini
bukan menghibur mereka yg kematian, malah mengangkat suara dg fatwa caci
maki kepada muslimin yg ditimpa duka agar jangan memberi makan apa apa
untuk tamunya, mereka sudah sedih dengan kematian maka ditambah harus
bermuka tembok pula pada tamu tamunya tanpa menyuguhkan apapun, lalu fatwa
makruh mereka rubah menjadi haram, jelas bertentangan dengan ucapan mereka
sendiri yg berhujjah bahwa agama ini mudah, dan jangan dipersulit.
Inilah dangkalnya pemahaman sebagian saudara saudara kita, mereka ribut
mengharamkan hal hal yg makruh dan melupakan hal hal yg haram, yaitu
menyakiti hati orang yg ditimpa duka.
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, maaf
saya menjawab pertanyaan ini bukan diarahkan pada anda, namun pada mereka,
mengenai ucapan Imam Nawawi itu makruh, mereka merubahnya menjadi
haram, entah karena bodohnya atau karena liciknya, atau karena kedua duanya,
demikian saudaraku yg kumuliakan,
wallahu alam
siliwangi
Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM 2007/07/19 02:19
Assalammualaikum wr.wb.
Semoga keberkahan ilmu menjadikan Habib Munzir di tinggikan derajatnya di
surga,Amin.
Habib , saya ini di istilahkan sebagai anak kecil yang polos selalu merengek-rengek
ketika meminta bantuan. daripada itu apa yang di utarakan oleh Habib di atas ternyata
sahabat saya dari Salafi telah membantahnya, saya nukil dengan berupa tanya jawab.
Habib : Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya,
dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :











riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam
sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami
keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw
memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah
kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi
saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami
bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di
makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan.
Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan
dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang
maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa
Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat
beliau saw setelah penguburan dan makan.
(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).
Abu Al-Jauzaa: Mari kita lihat riwayat yang ada di Sunan Abu Dawud. Hadits tersebut
ada di nomor 3332 :












Perhatikan kata berwarna merah yang ana garis bawahi. Nukilan dari Tuhfatul-Ahwadzi
tersebut tidak tepat sehingga berubah dari makna yang diinginkan. Dalam Nukilan Pak
Habib ditulis dengan imra-atihi yang berarti : istrinya/perempuan dari kalangan
keluarga si mayit; sedangkan lafadh asli dalam Sunan Abi Dawud tertulis imra-ah yang
berarti perempuan secara umum. Perubahan makna tentu sangat signifikan. Ketika kita
menggunakan nukilan lafadh Pak Habib, tentu seakan-akan kita diperbolehkan atau
bahkan disyariatkan untuk makan dan/atau menyediakan makan ketika ada orang
meninggal dari keluarga mayit. Padahal, bila kita tengok lafadh asli di Sunan Abi
Dawud, sama sekali tidak menunjukkan itu. Arti hadits dalam Sunan Abu Dawud tersebut
adalah (ana gunakan terjemahan Pak Habib dengan perubahan terjemahan di kata imra-
ah saja) : Kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu
kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah
kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang perempuan,
mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima
undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh
tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu
kesemuanyapun makan [selesai].
Nah, di dalam hadits di atas sama sekali tidak ada isyarat keluarga si mayit yang
mengundang makan. Perhatikan itu !! Dan ingat pula, jikalau ada perbedaan penukilan,
maka kita kembalikan kepada sumbernya. Dan sumbernya di sini adalah Sunan Abu
Dawud. lafadhnya adalah sebagaimana ana bawakan.
Pernyataan Pak Habib itu jelas bertentangan dengan riwayat-riwayat yang justru lebih
sharih daripada riwayat yang dibawakan Pak Habib yang menyatakan tidak
diperbolehkannya makan makanan di keluarga si mayit.
Jarir bin Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu anhu, ia berkata :


Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari
niyahah (meratapi mayit) (HR. Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).
Dari Thalhah radliyallaahu anhu, ia berkata :
: . :
: . : .
. : .
Jarir mendatangi Umar, kemudian Umar berkata : Apakah kamu sekalian suka
meratapi mayit ?. Jarir menjawab : Tidak. Umar berkata : Apakah diantara
wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan
hidangannya ?. Jarir menjawab : Ya. Umar berkata : Hal itu sama dengan
niyahah (meratapi mayit). (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).
Dari Said bin Jubair radliyallaahu anhu, ia berkata :
:

Merupakan perkara Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga mayit, dan
menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit (HR. Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu
Abi Syaibah dengan lafadh yang berbeda). Ketiga riwayat tersebut saling menguatkan.
Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda :


Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan meratapi
mayit (an-niyahah). (HR. Muslim nomor 67)
Tolong riwayat-riwayat sampaikan pada Pak Habib. Barangkali beliau melewatkannya.
Atau malah belum pernah membacanya ?
Habib : Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus
untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai
(ghairu Mustahabbah), bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal
Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahabbah, berarti bukan hal yg dicintai, ini
berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram.
Abu Al-Jauzaa: Ini namanya pembodohan umat. Bagaimana bisa perkataan Ghairu
mustahabbah hawuwa bidah bisa dimaknakan kepada mubah ? Aneh. Sepertinya Pak
Habib ini kurang mengerti bahasa Arab. Berikut lafadh aslinya :

.
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat
dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan
yang tidak disukai. (Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bidah (Al-Majmu Syarhul-
Muhadzdzab 5/186 Daarul-Fikr, Beirut, 1417).
Habib : 2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :


mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal
Bidah Munkarah yg makruh (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg menyuguhkan
makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat
makanan demi mengundang orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat
makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.
Abu Al-Jauzaa :Sama juga dengan di atas. Ana sampai heran plus geleng-geleng kepala
sama pengalihan makna Pak Habib ini. Perkataan bidatun munkaratun makruhatun
(Bidah yang diingkari lagi dibenci) bisa diartikan makruh biasa yang malah beliau
bawa pada makna mubah. Coba cermati perkataan Pak Habib di atas !! Perkataan
[ ]
sama sekali tidak khusus pada makna yang Pak Habib maui : membuat makanan untuk
mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah. Padahal artinya secara jelas
adalah Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari penghidangan makanan oleh
keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat. Tidak ada pengkhususan
harus banyak dan meramaikan rumah. Yang menjadi point Ibnu Hajar Al-Haitami
tersebut di atas adalah menghidangkankan makanan dan mengundang masyarakat untuk
hadir makan makanan tersebut. Dan kalimat bidatun munkaratun makruhatun (Bidah
yang diingkari lagi dibenci) di sini dalam Ushul Fiqh merupakan kalimat yang keras
dalam peringkat makruh. Makruh di sini maknanya Makna Tahrim (bermakna Haram).
Dan seterusnya tidak perlu ana teruskan. Pak Habib ini justru yang gak ilmiah. Gaak
ilmiah sama sekali.. Dan tolong sampaikan kepada Pak Habib, bahwa kata
makruh dalam syariat itu dapat bermakna Haram. Tolong dibuka mushhafnya. Dalam
QS. Al-Israa banyak menggunakan kata maruh yang bermakna haram.
Banyak sebenarnya kerancuan pendalilan Pak Habib ini yang perlu ditanggapi. Itung2
hemat energi.
siliwangi
Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM 2007/07/19 18:16
Habib dibawah ini sebagai penguat dari teman saya yang lainnya. tetapi sama
bermanhaj-kan Salaf.
KENDURI ARWAH
Majlis kenduri arwah lebih dikenal dengan berkumpul beramai-ramai dengan hidangan
jamuan (makanan) di rumah si Mati. Kebiasaannya diadakan pada hari kematian, dihari
kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, setahun dan lebih dari itu bagi mereka
yang fanatik kepada kepercayaan ini atau kepada si Mati. Malangnya mereka yang
mengerjakan perbuatan ini tidak menyadari bahwa terdapat banyak fatwa-fatwa dari
Imam Syafie rahimahullah dan para ulama besar dari kalangan yang bermazhab Syafie
telah mengharamkan dan membidahkan perbuatan atau amalan yang menjadi tajuk
perbincangan dalam tulisan ini.
Di dalam kitab ( ) juz 2. hlm. 146, tercatat pengharaman Imam
Syafie rahimahullah tentang perkara yang disebutkan di atas sebagaimana ketegasan
beliau dalam fatwanya:



Dan dilarang (ditegah/makruh) menyediakan makanan pada hari pertama kematian,
hari ketiga dan seterusnnya sesudah seminggu. Dilarang juga membawa makanan ke
kuburan.
Imam Syafie dan jumhur ulama-ulama besar ( )
yang berpegang kepada mazhab Syafie, dengan berlandaskan kepada hadis-hadis sahih,
mereka memfatwakan bahwa yang seharusnya menyediakan makanan untuk keluarga si
Mati adalah jiran/tentangga , kerabat si Mati atau orang yang datang menziarahi mayat,
bukan keluarga (ahli si Mati) sebagaimana fatwa Imam Syafie:



.Aku suka kalau
tetangga si Mati atau kerabat si Mati menyediakan makanan untuk keluarga si Mati pada
hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya itulah
amalan yang sunnah.
Fatwa Imam Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:
:

:

. ( )
Abdullah bin Jafar berkata: Ketika tersebar tentang berita terbunuhnya Jafar, Nabi
sallallahu alaihi wa-sallam bersabda: Hendaklah kamu menyediakan makanan untuk
keluarga Jafar, mereka telah ditimpa keadaan yang menyibukkan (kesusahan).
Dihasankan oleh at-Turmizi dan di sahihkan oleh al-Hakim.
Menurut fatwa Imam Syafie, adalah haram mengadakan kenduri arwah dengan
menikmati hidangan di rumah si Mati, terutama jika si Mati termasuk keluarga yang
miskin, menanggung beban hutang, meninggalkan anak-anak yatim yang masih kecil dan
waris si Mati mempunyai tanggungan perbelanjaan yang besar Tentunya tidak
dipertentangkan bahwa makan harta anak-anak yatim hukumnya haram. Telah
dinyatakan juga di dalam kitab ( ) jld. 2. hlm. 146:
:


Imam Syafie berkata lagi: Dibenci bertamu dengan persiapan makanan yang
disediakan oleh ahli si Mati kerana ia adalah sesuatu yang keji dan ia adalah bidah.
Seterusnya di dalam kitab ( ) juz. 2. hlm. 146 147, Imam
Syafie rahimahullah berfatwa lagi:




Dan antara bidah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa
kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai melalui upacara (kenduri arwah) dihari
keempat puluh (empat pulu harinya) pada hal semuanya ini adalah haram.
Ini bermakna mengadakan kenduri arwah (termasuk tahlilan dan yasinan beramai-
ramai) dihari pertama kematian, dihari ketiga, dihari ketujuh, dihari keempat puluh,
dihari keseratus, setelah setahun kematian dan dihari-hari seterusnya sebagaimana yang
diamalkan oleh masyarakat Islam sekarang adalah perbuatan haram dan bidah menurut
fatwa Imam Syafie. Oleh itu, mereka yang mengaku bermazhab Syafie seharusnya
menghentikan perbuatan yang haram dan bidah ini mematuhi wasiat imam yang agung
ini.
Seterusnya terdapat dalam kitab yang sama ( ) juz 2. hlm. 145-
146, Mufti yang bermazhab Syafie al-Allamah Ahmad Zaini bin Dahlan rahimahullah
menukil fatwa Imam Syafie yang menghukum bidah dan mengharamkan kenduri arwah:







.
Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang (mencegah) manusia dari perbuatan bidah
yang mungkar demi untuk menghidupkan sunnah dan mematikan (menghapuskan)
bidah, membuka banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu keburukan dan
(kalau dibiarkan bidah berterusan) orang-orang (awam) akan terbiasa (kepada
kejahatan) sehingga memaksa diri mereka melakukan perkara yang haram.
Kenduri arwah atau lebih dikenali dewasa ini sebagai majlis tahlilan, selamatan atau
yasinan, ia dilakukan juga di perkuburan terutama dihari khaul .() Amalan ini
termasuk perbuatan yang amat dibenci, ditegah, diharamkan dan dibidahkan oleh Imam
Syafie rahimahullah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beliau:


Apa yang diamalkan oleh manusia dengan
berkumpul dirumah keluarga si mati dan menyediakan makanan adalah termasuk
perbuatan bidah yang mungkar. Lihat: juz 2 hlm. 145.
Di dalam kitab fikh () juz. 1 hlm. 353 atau di kitab
(-( juz. 1 hlm. 414 dapat dinukil ketegasan Imam ar-Ramli
rahimahullah yang mana beliau berkata:
:








.
Telah berkata Syeikh kita ar-Ramli: Antara perbuatan bidah yang mungkar jika
dikerjakan ialah sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab Ar-Raudah yaitu
mengerjakan amalan yang disebut kaffarah secara menghidangkan makanan agar
dapat berkumpul di rumah si Mati sama sebelum atau sesudah kematian, termasuk
(bidah yang mungkar) penyembelihan untuk si Mati, malah yang demikian itu semuanya
haram terutama jika sekiranya dari harta yang masih dipersengketakan walau sudah
ditinggalkan oleh si Mati atau harta yang masih dalam hutang (belum dilunas) atau
seumpamanya.
Di dalam kitab ( ) jld.1 hlm. 539, ada
dijelaskan bahawa:



.
Termasuk bidah yang dibenci ialah apa yang menjadi amalan orang sekarang, yaitu
menyembelih beberapa sembelihan ketika si Mati telah keluar dari rumah (telah
dikebumikan). Ada yang melakukan sehingga kekuburan atau menyediakan makanan
kepada sesiapa yang datang berkumpul untuk takziyah.
Kenduri arwah pada hakikatnya lebih merupakan tradisi dan kepercayaan untuk
mengirim pahala bacaan fatihah atau menghadiahkan pahala melalui pembacaan al-
Quran terutamanya surah yasin, zikir dan berdoa beramai-ramai yang ditujukan kepada
arwah si Mati. Mungkin persoalan ini dianggap isu yang remeh, perkara furu, masalah
cabang atau ranting oleh sebahagian masyarakat awam dan dilebih-lebihkan oleh
kalangan mubtadi ( ) pembuat atau aktivis bidah sehingga amalan ini tidak
dipersoalkam oleh pengamalnya tentang haram dan larangana dari Imam Syafie
rahimahullah dan para ulama yang bermazhab Syafie.
Pada hakikatnya, amalan mengirim atau menghadiahkan pahala bacaan seperti yang
dinyatakan di atas adalah persoalan besar yang melibatkan akidah dan ibadah. Wajib
diketahui oleh setiap orang yang beriman bahawa masalah akidah dan ibadah tidak
boleh dilakukan secara suka sesui dengan hwa nafsunya (tanpa ada hujjah atau dalil
dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya), tidak boleh berdalilkan pada anggapan yang
disangka baik lantaran ramainya masyarakat yang melakukannya, kerana Allah
Subhanahu wa-Taala telah memberi ancaman yang tegas kepada mereka yang suka
bertaqlid (meniru) perbuatan orang banyak yang tidak ada dalil atau perintahnya dari
syara sebagaimana firmanNya:



Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka
bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkan diri kamu dari jalan Allah. Mereka tidak
lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta
(terhadap Allah).
Al-Anam, 6:116.
Begitu juga sesuatu amalan yang diangap ibadah sama ada yang dianggap wajib atau
sunnah, maka ia tidak boleh ditentukan oleh akal atau hawa nafsu, antara amalan
tersebut ialah amalan kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) maka lantaran ramainya
orang yang mengamalkan dan adanya unsur-unsur agama dalam amalan tersebut seperti
bacaan al-Quran, zikir, doa dan sebagainya, maka kerananya dengan mudah diangkat
dan dikategorikan sebagai ibadah. Sedangkan kita hanya dihalalkan mengikut dan
mengamalkan apa yang benar-benar telah disyariatkan oleh al-Quran dan as-Sunnah
jika ia dianggap sebagai ibadah sebagaimana firman Allah Azza wa-Jalla:


.
Kemudian Kami
jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan yang wajib ditaati) dalam urusan
(agamamu) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-
orang yang tidak mengetahui (orang jahil). Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan
dapat menolak diri kamu sedikitpun dari siksaan Allah.
Al-Jasiyah, 45:18-19.
Setiap amalan yang dianggap ibadah jika hanya berdalilkan kepada dhonn mengikut
perkiraan akal fikiran, perasaan, keinginan hawa nafsu atau ramainya orang yang
melakukan tanpa dirujuk terlebih dahulu kepada al-Quran, as-Sunnah dan athar yang
sahih untuk dinilai haram atau halal, sunnah atau bidah, maka perbuatan tersebut
adalah suatu kesalahan (haram dan bidah) menurut syara sebagaimana yang dijelaskan
oleh ayat di atas dan difatwakan oleh Imam Syafie rahimahullah. Memandangkan
polemik dan persoalan kenduri arwah kerapkali ditimbulkan maka ia perlu ditangani dan
diselesaikan secara syarii (menurut hukum dari al-Quran dan as-Sunnah) serta fatwa
para ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah dari kalangan Salaf as-Soleh yang muktabar.
Dalam membincangkan isu ini pula, maka ana tumpukan kepada kalangan para ulama
dari mazhab Syafie kerana mereka yang bermazhab Syafie menyangka bahwa amalan
kenduri arwah, tahlilan, yasinan atau amalan mengirim pahala adalah diajarkan oleh
Imam Syafie dan para ulama yang berpegang dengan mazhab Syafie.
Insya-Allah, mudah-mudahan tulisan ini bukan saja dapat menjawab pertanyaan bagi
mereka yang bertanya, malah akan sampai kepada mereka yang mempersoalkan isu ini,
termasuklah mereka yang masih salah anggap tentang hukum sebenar kenduri arwah
(tahlilan atau yasinan) menurut Ahli Sunnah wal-Jamaah.
munzir
Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM
2007/07/19 23:04
telah dijelaskan didalam Tuhfatul Ahmawdziy, bahwa dalam Al Misykaat
disebutkan dhamir dengan dhamir dhiafah, maka dalam hal ini shohibul
Misykaah mempunyai hujjah pula dalam riwayatnya, tidak bisa kita menafikan
hadits begitu saja dengan mengambil satu riwayat dan menghapus yg lainnya.

Ijtima; ila ahlilamyyit





Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara
maka diperbolehkan, karena Nabi saw menerima undangan wanita yg wafat
suaminya sebagaimana diriwayatkan pada sunan Abi dawud, namun bila untuk
orang orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan Makruh sebagaimana
hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.
(Syarh Sunan Ibn Majah Juz 1 hal 116)



Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang maka makruh, karena hal
itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru niru
perbuatan jahiliyah.
(Almughniy Juz 2 hal 215)
(MAKRUH.. BUKAN HARAM)
Lalu shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :



Bila mereka melakukannya karena ada sebab/hajat, maka hal itu diperbolehkan,
karena barangkali diantara yg hadir mayyit mereka ada yg berdatangan dari
pedesaan, dan tempat tempat yg jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak
bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu
(Almughniy Juz 2 hal 215)
(DISINI HUKUMNYA BERUBAH MENJADI MUBAH KARENA ADA HAJAT,
BUKAN JAMUAN UNTUK MENGUNDANG ORANG BANYAK)
nah.. inilah kebodohan para wahabi, bagaimana ucapan Ghairu Mustahibbah
dan adalah Bidah bisa dirubah jadi haram?, sedangkan makna Mustahibbah
adalah disukai untuk dilakukan dan disejajarkan dg makna sunnah secara
istilahi, yaitu yutsab ala filihi walaa yuaqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila
dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan),
didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, hasan, annafl, sunnah, Mustahab fiih
(mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala filihi
walaa yuaqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika
ditinggalkan).
Nah.. imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yg
bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa,
maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh,
Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah
payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb, beliau akan berkata haram
mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya,
Dan mengenai kata Bidah sebagaimana mereka menukil ucapan Imam
Nawawi, fahamilah bahwa Bid;ah menurut Imam Nawawi terbagi lima bagian,
yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (rujuk syarh nawawi ala shahih
Muslim Juz 6 hal 164-165),
maka sebelum mengambil dan menggunting Ucapan Imam Nawawi, fahami dulu
apa maksud bid;ah dalam ta;rif Imam Nawawi, barulah bicara fatwa Bidah oleh
Imam Nawawi,
bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam Bidah itu ada yg Mubah dan yg
makruh, maka ucapan Bidah Ghairu Mustahibbah bermakna Bid;ah yg
mubah atau yg makruh,
kecuali bila Imam Nawawi berkata Bidah Muharramah (Bidah yg haram).
Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka
hukumnya antara Mubah dan makruh.
Untuk Ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bidah Munkarah
Makruhah, (Bidah yg tercela yg makruh), karena Bid;ah tercela itu tidak
semuanya haram, sebagaimana masa kini sajadah yg padanya terdapat hiasan
hiasan warna warni membentuk pemandangan atau istana istana dan burung
burung misalnya, ini adalah Bidah munkarah yg makruh, tidak haram untuk
memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan sajadah semacam itu,
namun Bid;ah munkarah yg makruh, tidak haram,
Hukum darimana makruh dibilang haram, makruh sudah jelas makruh,
hukumnya yutsab ala tarkihi wala yuaqabu ala filihi (mendapat pahala bila
ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan),
Dan yg dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang,
beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.
Dijelaskan bahwa yg dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan
besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah
ada kematian, ini makruh hukumnya, namun beda dengan orang datang karena
ingin menjenguk, lalu sohibulbait menyuguhi ala kadarnya,
Bukan kebuli dan menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan
sedekah.
Kini saya ulas dengan kesimpulan :
1. membuat jamuan untuk mengundang orang banyak hukumnya makruh,
walaupun ada yg mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin
mengatakannya Makruh.
2. membuat jamuan dengan niat sedekah hukumnya sunnah, tidak terkecuali ada
kematian atau kelahiran atau apapun,
3. membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit
hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita
mengatakan pada Nabi saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat
pahala bila aku bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab : Betul (Shahih
Bukhari hadits no.1322)
4. menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yg datang saat kematian
adalah hal yg mubah, bukan makruh, misalnya sekedar the pahit, atau kopi
sederhana.
5. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dg
tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang, atau makanan.
6. makan makanan yg dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yg
mengharamkannya, bahkan sebagaimana dalam Syarh Sunan Ibn Majah
dijelaskan hal itu pernah dilakukan oleh Rasul saw,
munzir
Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT 2007/07/19 23:32
mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab Ianatutthaalibin itu wahai saudaraku,
yg diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar),
sebagaimana dijelaskan oleh tulisan anda sendiri dari ucapan itu karena hal itu
Syaraa lissurur, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan, bukan untuk
kematian,
nah.. adat orang jahiliyah masa lalu mereka menjamu tamu tamu dg jamuan
besar bila ada yg mati diantara mereka, ada yg menyembelih kerbau, ada yg
menyembelih kambing, ada yg menyembelih kerbau diatas kuburan si mayyit.
hal semacam itu yg diharamkan oleh Imam Syafii, dan Imam Syafii mengatakan
makruh apabila keluarga duka membuat hidangan2, (bukan haram),
yg diharamkan oleh Imam Syafii adalah menyembelih kerbau dan perayaan
setelah kematian hingga 40 hari.
sebagaimana dijelaskan didalam Almughniy dalam penjelasan saya yg terdahulu,
bila ia menyiapkan makanan untuk tam yg datang dari jauh, maka hal itu
tentunya diperbolehkan,
kesimpulannya, selama hal itu berupa suguhan suguhan ala kadarnya, sekedar
kopi dan teh, maka hal itu mubah, dan bila menjadi jamuan makan maka
hukumnya makruh, bila dibikin pesta maka hukumnya haram.
namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih seribu ekor kerbau
selama 40 hari 40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari
atau bahkan tiap hari sekalipun, hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat
pahala.
wahabi ini barangkali pelit saja, saya lebih suka orang yg kematian itu
bersedekah, pahalanya untuk mayyit, itu mestinya yg diangkat ke permukaan
ummat,
umumkan dan buat selebaran dan bagikan ke barat dan timur, bagi mereka yg
mau bikin kenduri kematian silahkan buat sebanyak banyaknya makanan, tapi
niatkan untuk sedekah dan pahalanya untuk mayyit..!, dan setiap tetangga
keluarga yg kematian, disarankan mengumpulkan sedekah atau uang untuk
keluarga mayyit..!
nah.. itu kan lebih baik, daripada nakal nukil gunting tambal ucapan para imam
dan mereka sendiri tidak memanut syafii.
kok anti amat sih pada orang berdzikir, masih untung mereka kumpul dzikir, saya
sangat mendukung upacara tahlil 3 hari, 7 hari, 40 hari, kalau perlu setiap hari
bagi keluarga mayyit, karena disitu ajang dakwah, banyak teman teman mayyit
yg tobat,
mereka para narkoba, atau koruptor, atau preman, atau kelompok gelap lainnya,
bila hadir di acara tahlilan kematian temannya kulihat mereka nunduk, ada yg
menangis, ada yg menyesal, ada yg tobat,
demi Allah berkali kali saya hadir di rumah duka tempat pemuda yg mati sebab
narkotika, saya datang dan pastilah teman2nya hadir, maka sudah bisa
dipastikan ada beberapa orang temannya yg tobat, mereka gentar melihat
temannya sudah dihadiahi surat yaasin, mereka risau mati seperti itu, mereka
ingat kematian,
duh.. sungguh hal seperti ini mesti dimakmurkan..
bukan dimusnahkan, naudzubillah dari dangkalnya pemahaman tentang maslahat
muslimin..
AlMuntazar
Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACAAN KEPADA MAYIT ? 2007/09/18 11:25
Assalamualaikum Ya Sayyidi,
Ana membaca tulisan-tulisan diatas hanya menjelaskan tentang acara KENDURI
ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA namun tidak menjelaskan
satupun mengenai sampai tidaknya pahala yang di kirimkan kepada si Mayit dari bacaan
yang dibaca pada acara tersebut .
Wassalam,
munzir
Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACAAN KEPADA MAYIT ? 2007/09/18
16:30
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Rahmat dan kesucian hari hari ramadhan semoga selalu menerangi hari hari
anda,
saudaraku yg kumuliakan, maaf kalau saya tak memperjelas, sungguh
pembahasan ini telah saya jelaskan di forum ini dg sejelas jelasnya, ucapan
diatas adalah memperjelas masalah tahlilan yg telah saya ulas di artikel di
halaman depan, dan diatas telah disebutkan bahwa hadits hadits shahih telah
memperjelas sampainya pengiriman amal, sedekah, dan para ulama telah sepakat
sampainya doa doa, dan tahlilan itu adalah doa.
namun jika anda perlu penjelasan lebih gamblang, maka saya tampilkan jawaban
saya sebelumnya di website ini sebelum tanya jawab diatas.
saudaraku yg kumuliakan,
Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan
untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama.
Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah
SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir,
tahlil, tasbih, Asmaul husna, shalawat dan lain-lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah
atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. Lalu bagaimana
hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang
berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah
pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu
bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?
Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau
Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yg
Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa seorang wanita bersedekah
untuk Ibunya yg telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw, dan adapula
riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa seorang sahabat menghajikan
untuk Ibunya yg telah wafat, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan
Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya,
Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga
Muhammad dan dari Ummat Muhammad (Shahih Muslim hadits no.1967).
dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan
Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yg memungkirinya
apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada
madzhab Imam Syafii, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz :
Kuhadiahkan, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau
ayat ini.., bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafiiy
mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal
untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pd Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah
yg menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa min amalilghair
(mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : DAN TIADALAH
BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra
menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dg ayat DAN ORAN ORANG YG
BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN,
Mengenai hadits yg mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka
terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yg bermanfaat,
dan anaknya yg berdoa untuknya, maka orang orang lain yg mengirim amal,
dzikir dll untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena
Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain
yg dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah
memerintahkan di dalam Al Quran untuk mendoakan orang yg telah wafat :
WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI
SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN,
(QS Al Hasyr-10).
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yg
memungkirinya, siapa pula yg memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?,
hanya syaitan yg tak suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat,
ayat quran, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dg tujuan agar semua
orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum
Al Quran dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani,
silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b,
maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yg awam.
Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alquran
dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah
CD atau disket, atau sekumpulan kitab,
bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,
munculkan satu dalil yg mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya
muslimin untuk mendoakan yg wafat) tidak di Al Quran, tidak pula di Hadits,
tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka
saja yg mengada ada dari kesempitan pemahamannya.
Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak
ada dalil yg melarangnya, itu adalah Bidah hasanah yg sudah diperbolehkan
oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yg
melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yg alergi dengan suara
Laa ilaaha illallah kalau bukan Iblis dan pengikutnya ?, siapa yg membatasi
orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi
hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak
pula ada larangan untuk melarang yg berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau
kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yg nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan
computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat orang kafir,
bahkan mimbar yg ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun
selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja
mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yg berpuasa pada hari
10 muharram, (shahih Bukhari) bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi
puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as,
dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu
beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula (HR Shahih Bukhari
hadits no.3726, 3727)
Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh dan para Imam imam mengirim
hadiah pd Rasul saw :
Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : aku
60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu
30 haji untuk Rasulullah saw.
Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq
Atssaqafiy Assiraaj : aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yg
pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk
Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alquran untuk
Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw, ia adalah
murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia memiliki 70 ribu masalah yg
dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas
dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alquran
700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
demikian saudaraku yg kumuliakan,
Walillahittaufiq
AlMuntazar
Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACAAN KEPADA MAYIT ? 2007/09/19 11:59
Assalamualaikum Ya Sayyidi,
Ada beberapa hal lagi yang menjadi ganjalan.
1. Imam Nawawi dalam Kitabnya SYARAH MUSLIM ( JUZ 1 HAL.90) dan Kitab
TAKLIMATUL MAJMU (JUZ 10 HAL 426) Membantah bahwa Pahala Bacaan dan
Sholat yang Digantikan bagi si mayit tidak akan sampai kepada si mayit. Kalo tidak
salah Imam Nawawi ini bermazhab Syafii (Koreksi jika Ana salah).
2. Al Haitami dalam Kitabnya AL FATAWA AL KUBRA AL FIGHIYAH ( JUZ 2 HAL 9 )
3. Imam Muzani dalam Hamisy AL UM, AS SYAFII ( JUZ 7 HAL 269)
4. Imam Al Khazin dalam tafsirnya Al Khazin , AL JAMAL (JUZ 4 HAL.236), lebih jelas
mengatakan :
DAN YANG MASYHUR DALAM MAZHAB SYAFII BAHWA BACAAN QURAN
(YANG PAHALANYA DI KIRIMKAN KEPADA MAYIT) ADALAH
TIDAK DAPAT SAMPAI KEPADA MAYIT YANG DIKIRIMI
Dan masih ada beberapa kitab ulama AHLU SUNNAH yang menjelaskan kurang lebih
sama dengan yang ada di atas.
Dari pengamatan Ana, kalau di lihat betul dari beberapa literatur Kaum AHLU
SUNNAHNYA PARA ALAWIYIN dan Syiah, bahwa Tradisi Kaum AHLU SUNNAHNYA
PARA ALAWIYIN (HABAIB) lebih banyak kemiripannya dengan tradisi kaum Syiah (
Cuman DI SYIAH SAHABAT YANG DIANGGAP MURSAL DI BUANG/ DICORET
DARI DAFTAR MEREKA ) dari pada dengan MEREKA yang ada di ke 4 mazhab SUNI.
WASSALAM,
munzir
Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACAAN KEPADA MAYIT ? 2007/09/19
13:17
saudaraku yg kumuliakan, saran saya anda belajarlah dengan guru yg
mempunyai sanad yg jelas, mengutip dari sana sini merupakan hal yg
menyesatkan,
anda berbicara dengan menukil ucapan orang wahabi, saya ragu anda membaca
buku buku itu sendiri, anda hanya mengambil saja dan barangkali anda belum
pernah melihat buku buku itu, kami mengenal siapa Imam Nawawi, kami
mempunyai sanad kepada Imam Nawawi, kami mengenal Imam syafii dan kami
mempunyai sanad kepada Imam syafii, demikian pula pada Imam Bukhari, Imam
Muslim, dan juga Imam Imam Muhaddistin lainnya, kami mempunyai sanad yg
bersambung kepada mereka, kami tidak menukil dan meraba raba dengan buku
buku terjemah,
pertanyaan anda sudah pernah saya jawab di web ini,
pertanyaan dari wahabi, anda jangan tersinggung dg jawaban dibawah ini
karena merupakan nukilan ulang dari jawaban saya yg lalu : dan saya jawab
sbgbr :
3 hal yg akan saya jawab dari ucapan mereka ini,
dan perlu saya jelaskan bahwa mereka ini adalah bodoh dan tak memahami
syariah atau memang sengaja menyembunyikan makna, atau kedua duanya, licik
bagaikan missionaris nasrani dan ingin membalikkan makna sekaligus bodoh
pula dalam syariah.
1. Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Juz 1 hal 90
menjelaskan :

































Barangsiapa yg ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas
nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah
itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf
diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa apa yg diceritakan
pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai
ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yg hanya bisa bicara tanpa
ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka
pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yg
mengingkari nash nash dari Alquran dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak
perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.
Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan
sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yg wajib
bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yg diizinkan
oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yg
lebih masyhur hal ini tak bisa, namun pendapat kedua yg lebih shahih
mengatakan hal itu bisa, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah
Taala.
Mengenai pahala Alquran menurut pendapat yg masyhur dalam madzhab Syafii
bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari kelompok Syafii yg
mengatakannya sampai, dan sekelompok besar ulama mengambil pendapat
bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan
Alquran, ibadah dan yg lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih
Bukhari pada Bab : Barangsiapa yg wafat dan atasnya nadzar bahwa Ibn
Umar memerintahkan seorang wanita yg wafat ibunya yg masih punya hutang
shalat agar wanita itu membayar(meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh
Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh
bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit,
telah berkata Syeikh Abu Saad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi
Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : kalangan
kita maksudnya dari madzhab syafii) yg mutaakhir (dimasa Imam Nawawi)
dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana
pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan
kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu
Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yg tertinggal) dan ini semua
izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji
(sebagaimana riwayat hadist2 shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat
yg sepakat para ulama.
Dan dalil Imam syafii adalah bahwa firman Allah : dan tiadalah bagi setiap
manusia kecuali amal perbuatannya sendiri dan sabda Nabi saw : Bila wafat
keturunan adam maka terputus seluruh amalnya kecuali tiga, shadaqah Jariyah,
atau ilmu yg bermanfaat, atau anak shalih yg mendoakannya. (Syarh Nawawi
Ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90)
Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua
pendapat, dan yg lebih masyhur adalah yg mengatakan tak sampai, namun yg
lebih shahih mengatakannya sampai,
tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih masyhur, Imam
nawawi menjelaskan bahwa yg shahih adalah
Balas
60.
abdullah alhabsyi berkata
Februari 3, 2010 pada 10:11
ciri-ciri SALAFIYYAH aliran WAHHABIYYAH
AQIDAH
1.Membahagikan Tauhid kepada 3 Kategori
1.Tauhid Rububiyyah
2.Tauhid Uluhiyyah
3.Tauhid Asma dan Sifat: Boleh menjerumus kepada tashbih dan tajsim
i. Menterjemahkan istawa sebagai bersemayam
ii. Merterjemahkan yadd sebagai tangan
iii. Menterjemahkan wajh sebagai muka
1.Tafwidh yang digembar-gemburkan oleh mereka adalah bersalahan dengan tafwidh
yang dipegang oleh ulama Ashairah
2.Memahami ayat-ayat mutashabihat secara zahir tanpa huraian terperinci dari ulama
mutabar
3.Menolak Ashairah dan Maturidiyyah yang merupakan majoriti ulama Islam dalam
perkara Aqidah
4.Sering mengkrititik Ashairah bahkan sehingga mengkafirkan Ashairah
5.Menyamakan Ashairah dengan Mutazilah dan Jahmiyyah atau Muaththilah dalam
perkara mutashabihat
6.Menolak dan menganggap sifat 20 sebagai satu konsep yang bersumberkan falsafah
Yunani dan Greek
7.Berselindung di sebalik mazhab Salaf
8.Sering menjaja kononnya Abu Hasan Al-Ashari telah kembali ke mazhab Salaf setelah
bertaubat dari mazhab Ashairah
9.Mendakwa kononnya ulama Ashairah tidak betul-betul memahami fahaman Abu
Hasan al-Ashari
10.Menolak tawil dalam bab Mutashabihat
11.Sering mendakwa bahawa ramai umat Islam telah jatuh ke kancah syirik
12.Mendakwa bahawa amalan memuliakan Rasulullah saw boleh membawa kepada
syirik
13.Tidak mengambil berat kesan-kesan peninggalan para anbiya, ulama dan solihin
dengan dakwaan menghindari syirik
14.Kefahaman yang salah berkenaan syirik sehingga mudah menghukum orang sebagai
membuat amalan syirik
15.Menolak tawassul, tabarruk dan istighathah dengan para anbiya serta solihin
16.Mengganggap tawassul, tabarruk dan istighathah sebagai sebagai cabang-cabang
syirik
17.Memandang remeh karamah para auliya
SIKAP
1.Sering membidahkan amalan umat Islam bahkan sampai ke tahap mengkafirkan
2.Mengganggap diri sebagai mujtahid (walaupun tidak layak)
3.Sering mengambil hukum secara langsung dari al-Quran dan hadis (walaupun tidak
layak)
4.Sering memperlekehkan ulama pondok dan golongan agama yang lain.
5.Ayat-ayat al-Quran dan Hadis yang ditujukan kepada orang kafir sering ditafsir ke atas
orang Islam.
6.Memaksa orang lain berpegang dengan pendapat mereka walaupun pendapat itu shazz
(janggal)
ULUM HADIS
1.Menolak beramal dengan hadis dhaif
2.Penilaian hadis yang tidak sama dengan ulama hadis yang lain
3.Mengagungkan Nasiruddin al-Albani di dalam bidang ini
4.Sering menganggap hadis dhaif sebagai hadis mawdhu
5.Perbahasan hanya kepada sanad dan matan hadis, dan bukan pada makna hadis. Oleh
kerana itu, perbincangan syawahid tidak diambil berat
6.Perbincangan hanya terhad kepada riwayah dan bukan dirayah.
ULUM QURAN
1.Menganggap tajwid sebagai menyusahkan dan tidak perlu (Sebahagian Wahhabi
Malaysia yang jahil)
FIQH
1.Menolak fahaman bermazhab kepada imam-imam yang empat; pada hakikatnya mereka
bermazhab TANPA MAZHAB
2.Mengadunkan amalan empat mazhab dan pendapat-pendapat lain sehingga membawa
kepada talfiq yang haram
3.Memandang amalan bertaqlid sebagai bidah; kononnya mereka berittiba
4.Sering mengungkit soal-soal khilafiyyah
5.Sering menggunakan dakwaan ijma ulama dalam masalah khilafiyyah
6.Sering bercanggah dengan ijma ulama
7.Menganggap apa yang mereka amalkan adalah sunnah dan pendapat pihak lain adalah
bidah
8.Sering mendakwa orang yang bermazhab sebagai tasub mazhab
9.Salah faham makna bidah yang menyebabkan mereka mudah membidahkan orang
lain
10.Sering berhujah dengan al-tark, sedangkan al-tark bukanlah satu sumber hukum
Najis
1.Sebahagian daripada mereka sering mempertikaikan dalil bagi kedudukan babi sebagai
najis mughallazah
Wudhu
1.Tidak menerima konsep air mustamal
2.Bersentuhan lelaki dan perempuan tidak membatalkan wudhu
Azan
1.Azan jumaat sekali; azan kedua ditolak
Solat
1.Menganggap lafaz usolli sebagai bidah
2.Berdiri secara terkangkang
3.Tidak membaca Basmalah secara jahar
4.Menggangkat tangan sewaktu takbir pada paras bahu
5.Meletakkan tangan di atas dada sewaktu qiyam
6.Menganggap perbezaan antara lelaki dan perempuan dalam solat sebagai perkara bidah
(sebahagian Wahhabiyyah Malaysia yang jahil)
7.Menganggap qunut Subuh sebagai bidah
8.Menganggap menyapu muka selepas solat sebagai bidah
9.Solat tarawih hanya 8 rakaat; yang lebih teruk lagi, mengatakan solat tarawih itu
sebenarnya adalah solat malam (solatul-lail) seperti yang dibuat pada malam-malam
biasa.
10.Zikir jahar di antara rakaat-rakaat solat tarawih dianggap bidah
11.Tidak ada qadha bagi solat yang sengaja ditinggalkan
12.Menganggap amalan bersalaman selepas solat adalah bidah
13.Menggangap lafaz sayyiduna (taswid) dalam solat sebagai bidah
14.Menggerak-gerakkan jari sewaktu tahiyyat awal dan akhir
15.Boleh jama dan qasar walaupun kurang dari dua marhalah
16.Memakai jubah dengan singkat yang melampau
17.Menolak sembahyang sunat qabliyyah sebelum Jumaat
Doa, Zikir dan Bacaan al-Quran
1.Menggangap doa beramai-ramai selepas solat sebagai bidah
2.Menganggap zikir dan wirid beramai-ramai selepas sembahyang atau pada bila-bila
masa sebagai bidah
3.Mengatakan bahawa membaca Sodaqallahul-azim selepas bacaan al-Quran adalah
bidah
4.Menyatakan bahawa doa, zikir dan selawat yang tidak ada dalam al-Quran dan Hadis
sebagai bidah
5.Menganggap amalan bacaan Yasin pada malam Jumaat sebagai bidah yang haram
6.Mengatakan bahawa sedekah pahala tidak sampai
7.Mengganggap penggunaan tasbih adalah bidah
8.Mengganggap zikir dengan bilangan tertentu seperti 1000, 10,000 dll sebagai bidah
9.Menolak amalan ruqiyyah shariyyah dalam perubatan Islam seperti wafa, azimat dll
10.Menolak zikir isim mufrad: Allah Allah
11.Melihat bacaan Yasin pada malam nisfu Syaban sebagai bidah yang haram
12.Sering mengkritik kelebihan malam Nisfu Syaban
13.Mengangkat tangan sewaktu berdoa adalah bidah
14.Mempertikaikan kedudukan solat sunat tasbih
Pengurusan Jenazah dan Qubur
1.Menganggap amalan menziarahi maqam Rasulullah saw, para anbiya, awliya, ulama
dan solihin sebagai bidah
2.Mengharamkan wanita menziarahi kubur
3.Menganggap talqin sebagai bidah
4.Mengganggap amalan tahlil, yasin bagi kenduri arwah sebagai bidah yang haram
5.Tidak membaca doa selepas solat jenazah
6.Sebahagian ulama mereka menyeru agar Maqam Rasulullah saw dikeluarkan dari
masjid nabawi atas alasan menjauhkan umat Islam dari syirik
7.Menganggap kubur yang bersebelahan dengan masjid adalah bidah yang haram
8.Doa dan bacaan al-Quran di perkuburan dianggap sebagai bidah
Munakahat
1.Talak tiga (3) dalam satu majlis adalah talak satu (1)
Majlis Sambutan Beramai-ramai
1.Menolak sambutan maulid nabi; bahkan menolak cuti sempena hari Maulid Nabi;
bahkan yang lebih teruk lagi menyamakan sambutan maulud nabi dengan perayaan
Kristian bagi nabi Isa a.s.
2.Menolak amalan marhaban
3.Menolak amalan barzanji.
4.Berdiri ketika bacaan maulid adalah bidah
5.Menolak sambutan Maal Hijrah
PEMBELAJARAN DAN PENGAJARAN
1.Ramai para professional menjadi ustaz-ustaz mereka (di Malaysia)
2.Ulama yang sering menjadi rujukan mereka adalah:
1.Ibnu Taymiyyah
2.Ibnu al-Qayyim
3.Muhammad Abdul Wahhab
4.Sheik Abdul Aziz Ibn Bazz
5.Nasiruddin al-Albani
6.Sheikh Soleh Ibn Uthaimin
3.Sering mewar-warkan untuk kembali kepada al-Quran dan Hadis (tanpa menyebut para
ulama)
4.Sering mengkritik Imam al-Ghazali dan kitab Ihya Ulumiddin
PENGKHIANATAN MEREKA KEPADA UMAT ISLAM
1.Bersepakat dengan Inggeris dalam menjatuhkan kerajaan Islam Turki Usmaniyyah
2.Melakukan perubahan kepada kitab-kitab turath yang tidak sehaluan dengan mereka
3.Ramai ulama dan umat Islam dibunuh sewaktu kebangkitan mereka
4.Memusnahkan sebahagian besar kesan-kesan sejarah Islam seperti tempat lahir
Rasulullah saw, telaga baginda, tempat lahir Sayyiduna Abu Bakr dll, dengan hujah
perkara tersebut boleh membawa kepada syirik
TASAWWUF DAN TAREQAT
1.Sering mengkritik aliran Sufi dan kitab-kitab sufi yang mutabar
2.Sufiyyah dianggap sebagai terkesan dengan ajaran Budha dan Nasrani
3.Tidak dapat membezakan antara amalan sufi yang benar dan amalan bathiniyyah yang
sesat
Perhatian:
Sebahagian daripada ciri-ciri di atas adalah perkara khilafiyyah. Namun sebahagiannya
adalah bercanggah dengan ijma dan pendapat mutamad empat mazhab. Sebahagian
yang lain adalah perkara yang sangat kritikal dalam masalah usul (pokok) dan patut
dipandang serius oleh ummat Islam.Ini adalah sebahagian daripada ciri-ciri umum
golongan Wahhabiyyah yang secara sedar atau tidak diamalkan dalam masyarakat kita.
Sebahagian daripada ciri-ciri ini adalah disepakati di antara mereka dan sebahagiannya
tidak disepakati oleh mereka. Ini adalah kerana di dalam golongan Wahhabiyyah ada
berbagai-bagai pendapat dan mazhab dalam berbagai peringkat. Apatah lagi apabila
setiap tokoh Wahhabiyyah cuba berijtihad dan mengenengahkan pendapat masing-
masing sehingga sebahagiannya terpesong terlalu jauh dari aliran Ahlus-Sunnah wal-
Jamaah. Kami terpaksa mengugurkan banyak lagi ciri-ciri lain yang berkaitan bagi
meringkaskan risalah ini. Wallahu Alam.
Balas
61.
MangAndri berkata
Maret 12, 2010 pada 14:23
Sekiranya anda seperti saya yg sekarang bekerja di perusahaan milik keluarta hindu
india
Pastilah akan meninggalkan tata cara tahlilan dg bilangan hari 3,7,40 100 1000.
saya tidak menyalahkan tahlilan, tapi saya hanya ingin membagi ceritabahwa mereka
yg beragama hindu ..bilangan 3,7 40 100 dan 1000 adalah bilangan ibadah mereka..untuk
mengenang yg meninggal.
kenapa kita tidak mengambil bilangan 5 harimisal!!!!
Hindu indonesia berasal dari hindu india.
Tidak termasuk golongan kami orang-orang yang menyerupai selain golongan kami.
[HR. at-Tirmidzi].
Balas
62.
MangAndri berkata
Maret 12, 2010 pada 14:28
oh..ya!
saya orang sekuler yg sedang belajar agama secara benar..
tolong jgn membuat bingung saya ya!
Balas
63.
Cah Slaranglor berkata
Juli 6, 2010 pada 03:48
Ikut sumbangsih:
Bersedekah atas nama mayit dengan cara yang sesuai dengan syara adalah dianjurkan,
tanpa ada ketentuan harus tujuh hari, lebih tujuh hari atau kurang dari tujuh hari.
Sedangkan penentuan sedekah pada hari-hari tertentu itu hanya merupakan kebiasaan
masyarakat saja. Sebagaimana difatwakan oleh sayyid Ahmad Dahlan. Sungguh telah
berlaku di masyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk untuk mayit pada hari ketiga
dari kematian, hari ke tujuh, dua puluh dan ketika genap empat puluh hari serta seratus
hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kemtiannya. Sebagaimana disampaikan
oleh syaikh kita Yusuf al-Sunbulawini. (Nihayah al-Zain,281)
Kesunahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang
tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam Suyuti, sekitar abad IX H) di MAkkah dan
MAdinah. YAng jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat NAbi
saw, sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama
(masa sahabat NAbi saw). (Al-HAwi Li, al-Fatawi, juz II, hal 194).
Balas
64.
lingkaranmu berkata
Agustus 23, 2010 pada 10:35
Maaf, saya juga baru mengetahui bahwa ritual yang dari Jawa itu ternyata banyak yang
mengadopsi Hindu
Saya mendengarkan dari radio RDS FM Solo dengan pembicara Ust Abdul Aziz seorang
mantan Hindu, menguasai kitab2 hindu, dan bisa menjelaskan dalilnya dalam kitab hindu.
Mungkin dari pembaca ada yang pernah merekamnya saya minta untuk mengupload,
karena pentingnya permasalahan ini agar dapat didudukkan pada porsinya.
Tausiyahnya sangat ilmiyah, disaksikan oleh ribuan banyak orang, dan mudah dicerna
oleh orang yang awam sekalipun.
Balas
65.
FIRMAN berkata
September 25, 2010 pada 06:40
Adakah seseorang yang pernah membuat penelitian tentang kondisi mayat pada hari ke 3,
7, dan 40.
Balas
66.
Omen berkata
Oktober 27, 2010 pada 04:01
Assalaamualaikum wr.wb.
Perkenankan saya yg bodoh ngasih gambaran sbb:
1.ada orang sholat sunah setelah sholat subuh/ashar
2.ada orang sholat pd saat takbirotul ikrom bacaannya diganti dg Allohussomad
3.ada orang membaca quran sambil berzina
4.ada orang sholat subuh 10 rokaat
5.ada orang berzikir keras2 di masjid sementara ada orang lg sholat
6. Ada orang puasa terus menerus tanpa berbuka
7.dan masih bnyk contoh lainnya.
dari yg saya contohkan mari kita sama2 merenung, siapa yg berani mengatakan kalo
sholat sunah itu jelek, siapa yg berani mengatakan membaca quran itu dilarang, siapa yg
berani melarang orang sholat subuh, selama itu pd aturan, waktu, tata cara yg sudah
diajarkan rosulluloh, tp pasti kita akan satu suara bila ada orang sholat pd saat takbirotul
ikrom diganti lafadznya jadi allohussomad, (bukankah membaca allohussomad bagus)
satu suara jika ada orang sholat subuh 10 rokaat, (semakin bnyk pahala) satu suara jika
ada yg sholat sunah bada subuh/ashar, (perbanyak sunah) padahal kita sama2 tau,
allohussomad itu bacaan yg mulia, atau mungkin lafalnya diganti bacaan tahlil, tp saya
berani jamin, semua orang islam entah itu nu, muhammadiyah, persis, sallafi, wahabi,
pasti satu suara, itu bidah, keblinger, edan, atau apalah.why? Bukankah membaca
tahlil itu dianjurkan, mulia, mendapat pahala, jawabnya ya kalo itu dilakukan pd
tempatnya dan pd aturannya, dan akan menjadi BIDAH bila itu dilakukan bukan pd
tempatnya, dan demikian juga dg yg lainnya, sholat,puasa,dzikir, baca quran dll, tentu
kita sepakat itu amalan bagus selama dilakukan pd tempat aturan yg ada,
kembali ke masalah tahlilan, tentu kita sangat setuju bahwa semua bacaan dlm tahlilan
semuaaaaaaaanya mulia, tujuannya mulia, selama dikerjakan sesuai yg diajarkan
rosulluloh, jadi menurut saya pokok masalah yg diperdebatkan bukan masalah sampai
tidaknya pahala ke si mayit, tp tentang aturan tata cara dan waktu dll dalam tahlilan itu
sendiri yg dibuat buat seolah itu amalan mulia, saya bertanya tolong dijawab, apabila
bacaan2 dalam tahlilan urutannya dirubah atau bacaanya diganti dg ayat quran yg lain
boleh ga, kalo ga boleh kenapa alasannya, bukankah rosululloh tdk membuat aturan
khusus urutannya ini, bacaannya ini, hr ke 3, 7, 40 dst. (amalan yg ditentukan tatacara
waktu dan lainnya bukankah termasuk peribadatan) *ga tau jg yg nentuin gini gitu siapa*,
niscaya kalau itu memang baik pastilah sudah dicontohkan rosululloh, sedangkan beliau
tidak melakukan perbuatan tsb, rosululloh tahlil (bukan tahlilan) kita tahlil, rosululloh
mendoakan arwah orang yg sudah mati kita ikut, rosululloh sedekah kita ikut, rosululloh
tdk TAHLILAN eh kita tahlilan, lho?!
Mudah2an Alloh memberi rahmatnya bg kita semua, amin.
Wassalam
> hanya catatan kecil .. selama ini banyak yg memahami bahwa semua hal baru itu
adalah bidah (sesat). Padahal bukan seperti itu, BIDAH yang sesat adalah semua hal
baru yang MELANGGAR syariat. Tentang tahlilan .. tak ada syariat yang dilanggar.
Semua sesuai tuntunan kanjeng Rasul Muhammad saw. Dalil-dalil bacaan tahlilan ada
di blog ini juga. Jika anda membantah hal ini, tunjukkan saja syariat mana yang
dilanggar dalam hal tahlilan. Tunjukkan saja bagian mana yang tidak pada
tempatnya.
Semua aturan yg anda sebut itu hanya kebiasaan. Tak dilakukan juga tak apa-apa. Apa
anda pernah menghadiri majelis seperti ini di berbagai daerah. Anda akan
mengetahuinya.
wallahu alam.
Balas
o
wawan berkata
Oktober 28, 2010 pada 15:42
mas omen,
pertama,
kami punya konsep pahala ibadah dikirim ke mayit, tahlilan itu cuma salah satu
bentuk dari aplikasi dari konsep itu dan kebetulan bentuk tahlilan inilah yg paling
populer.
masih banyak lagi bentuk2 lain dari konsep ini, yg saya jamin pasti akan bikin
Wahabi pusing.
ada yg baca Quran sendirian dirumah dengan niat pahalanya untuk mayit si fulan,
ada yg bagi2 nasi bungkus di lampu merah dengan niat pahalanya dikirim, dan
banyak lagi..
sampeyan mau ngasi mobil sampeyan ke saya dengan niat pahalanya buat
keluarga yg udah wafat juga bisa..
apapun bentuknya, tapi konsep awalnya tetap sama, dan menurut kami konsep itu
ga bermasalah dengan Islam kok,
jadi kalo seandainya sampeyan punya konsep yg berbeda dengan kami, selama
sesuai syariat Islam adalah hak sampeyan, kami ga ngotot kok..
yg jadi pertanyaan adalah :
klo kami punya konsep, sampeyan punya konsep, kita udah bertukar pikiran
mengenai dalil/dasar masing.. dan ternyata memang tetap beda, KENAPA
SAMPEYAN NGOTOT MEMAKSAKAN PENDAPAT SAMPEYAN?
sampai2 kami ini dibidahkan/dikafirkan??
kenapa mas? ada yg bisa jawab ga??
kedua,
mengenai kalimat sampeyan ini :
Bukankah membaca tahlil itu dianjurkan, mulia, mendapat pahala, jawabnya ya
kalo itu dilakukan pd tempatnya dan pd aturannya, dan akan menjadi BIDAH
bila itu dilakukan bukan pd tempatnya, dan demikian juga dg yg lainnya,
sholat,puasa,dzikir, baca quran dll, tentu kita sepakat itu amalan bagus selama
dilakukan pd tempat aturan yg ada
pertanyaan saya adalah : yg dimaksud pada tempatnya itu apa sih?
klo misalnya saya zikir/baca Quran di pesawat gimana?
klo saya baca salawat dideket orang sakit gimana?
mohon dijawab dengan bijak dan pikiran terbuka ya mas, trima kasih..
Balas
67.
M.kholid berkata
Maret 1, 2011 pada 01:44
Ass. Wr. Wb.
Alhamdulillah..dan terimakasih saya bisa membaca dan mencoba menganalisa semampu
kami..(kesempurnaan ilmu hanya milik Allah)
Sudah lama sekali saya mengharapkan pencerahan tentang hakekat kita hidup dan
beramal.
Dengan memohon mapunan Allah saya pingin menyampaikan pendapat dan unek-unek
saya tentang amaliyah/ibadah khususnya yang berkaitan dengan gencarnya Gerakan
pemurnian aqidah.
saya selaku orang awam salah satu yang saya pegangi (tentunya harus dikaitkan dengan
ayat lain sesuai kaidah yang ada seperti asbabul wurut dan asbabun nuzul suatau ayat yng
bersifat holistik). yakni Q.S Al-maidah ayat 3. yang terjemahan tekstualnya Pada hari
ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu dan telah Aku cukupkan nikmat Ku
bagimu dan telah Aku ridloi Islam sebagai Agamamu berpijak dari ayat ini tentunya
kami berpemahaman sudah tidak ada lagi embel-embel pemurnian akidah.
dan kalupun toh ada perbedaan hanya berkutat pada beberapa masalah furuiyah (
tahlilan, qunut, pembacaac bismilah)tetapi yang terjadi sekarang ini umat Islam
sekarang saling menghujat dan menyesatkan karena berdasarkan hadits maaf kalu salah
nulisnya Kullu bitatin dholalatun..wa kulli dholaltun finnarr..dengan dasar
ini..maka seolah2 amalan ibadah lain yang menjadi pilar dasar Islam (sahadat, Sholat,
Zakat, Puasa, haji) dan juga dasar keimanan (Iman kepada Allah, Malaikat, kitab, Rasul,
Kodokodar Allah, hari Akhir) menjadi terabaikan/termarjinalkan..padahal pada tataran
ini tidak bermasalah.
Kami hamba yang lemah, dhoif dan jahil ini mersa gelisah..betapa umat hanya sibuk
mengurusi hal-hal yang seharusnya bisa dihabiskan energi kita untuk beribadah, akhirnya
hanya capai mengoreksi dan memelototi ibadah orang lain, padahal hakekat ibadah kita
adalah mencari ridlodengan berdasar pada sumber pokok yakni Al-Quran dan
Hadits(secara menyeluruh)..Bukan berdasarkan satu dua ayat dan beberapa hadits..
Kita bisa melaksanakan sebagian kecil saja dng sungguh2/ikhlas sudah luar
biasa..misalkan rutin bangun malam dan tahajut apalagi ditambah suka
bersedekah..bermurah senyum..menjaga ukuwah..wah..tak terbayangkan betapa indahnya
Islam.
kadang-kadang kita menjadi takut dan tidak nyaman justru dari saudara kita sendiri yang
seiman..karena selalu..ditakut-takuti dengan amalan yang sia-sia..tidak bermanfaat dan
neraka jahanam tempatnya.
Hamba yang lemah ini yakin.sesuai sifatnya yang maha Rahman, maha Rahim..Allah
lebih tau tentang urusan hambanya Qul kullu ala syakilatihi farabbukun alamu biman
hua ahda syabiila
Dengan demikian segala sesuatu yang kita laksanakan tentu sudah diyakini dengan
sesungguhnya dan semata-mata berharab ridlo..Nya.semata. maslah perbedaan diantara
manusia dalam memaknainyumanggaakenSuwun.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Balas
68.
M.kholid berkata
Maret 1, 2011 pada 01:49
Demikian Matur suwun.
Balas
69.
Amoy berkata
Mei 21, 2011 pada 19:28
Numpang nimbrung nih
>mnurut sy tradisi dan agama harus d pisahkan krn akan mbuat bentuk2 pribadatan
baru,memang tak ada hadist yg mlarangnya krn mrupaka nbentuk pribadatan
baru,seharusnya tradisi jng d jadikan agama tapi agamalah yg harus d jadikan tradisi.
>kalau pahala bs d hadiahkan ke si mayit buat apa kt hidup mencari pahala sbnyak-
bnyaknya toh nanti kalau mninggal d kirimin pahala ga usah tkut msuk neraka.ini ga jauh
beda dng agama konghuchu mrk biasa mngirim hadiah brp sepeda,mtr,wnita cantik dsb
kpd si mayit.Demikian wasalamualaikum wrb.mhon maaf.
> maaf .. sekedar koreksi. Anda mengatakan, tradisi dan agama harus dipisahkan.
Tapi kemudian tak konsisten ketika juga mengatakan,seharusnya tradisi jangan
dijadikan agama tapi agamalah yang harus dijadikan tradisi. Saya setuju dengan yang
kalimat kedua, dan tak setuju dengan kalimat pertama. Itulah yang didakwahkan oleh
para wali (wali songo). Ajaran islam pun merasuk sehingga terbentuk perilaku
masyarakat yang kemudian menjadi tradisi.
yang kedua .. maaf, cukuplah dalil berikut dijadikan pedoman,
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya
berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum
berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah
aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : Boleh [Shahih Muslim]
Semoga berkenan.
Balas
70.
artikelislami berkata
Juni 18, 2011 pada 23:27
Sudahlah wahai Wahhabi! Berhentilah merisaukan soal ini syirik, itu bidah, mayoritas
kaum Muslimin sudah menjadi musyrik! Rasul tak merisaukan itu semua, karena
mayoritas ummat Islam akan selamat dari syirik. Jadi janganlah kalian menuduh yang
tidak-tidak kepada mayoritas kaum Muslimin. Justeru yang Rasul risaukan adalah kalian,
wahai Wahhabi! Orang-orang seperti kalianlah yang membuat beliau risau, karena kalian
saling hantam demi keduniaan.
Balas
71.
anto berkata
Juli 4, 2011 pada 13:13
SEBAGIAN UMAT NABI MUHAMMAD MELAKUKAN KESYIRIKAN
Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan
MEMPERSEKUTUKAN-NYA. (QS. Yusuf: 106).
Dan yang aku khawatirkan terhadap umatku tiada lain adalah para pemimpin yang
menyesatkan, dan apabila pertumpahan darah telah menimpa umatku maka tidak akan
berakhir sampai hari kiamat. Kiamat tidak akan terjadi sebelum terjadi suatu kaum dari
umatku yang mengikuti orang-orang musyrik dan beberapa kelompok dari umatku yang
menyembah berhala. (HR. Al Barqoni)
BIDAH
Salah satu sebab yang menjadi bidah syariat adalah menggunakan dalil umum untuk hal-
hal yg bersifat khusus.
Misalnya:
1. Ada orang yg berpuasa mutih, patigeni, ngalong, dsb dengan berdalil dari ayat Al-
Quran Al-Baqarah 183.
2. Ada orang yg sholat birul walidain dengan berdalil ayat-ayat Al-Quran tentang
perintah sholat.
3. Ada orang yg dzikir berjamaah suara keras dengan dalil ayat-ayat yg memerintahkan
berdzikir sebanyak-banyaknya.
4. Ada orang yang selamatan kematian/kenduri arwah dengan dalil hadits-hadits tentang
membaca tahlil atau bersedekah
5. Ada orang yg berdoa mengangkat tangan saat khotbah jumat dengan dalil hadits-
hadits mengangkat tangan saat berdoa.
Jika seseorang berdalil dgn nash-nash yg umum untuk hal-hal yg bersifat khusus maka
semakin terbuka lebarlah orang-orang untuk membuat ajaran sendiri-sendiri. Maka
seyogyanya seorang muslim untuk rajin membaca hadits-hadits dan atsar para sahabat yg
lebih rinci agar tidak berdalil dengan nash-nash umum saja, mempelajari secara lebih
detail kehidupan Rasulullah dan para sahabat.
Bukankah Rasulullah bersabda: Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada
Allah, patuh dan taat, walaupun dipimpin budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup
dari kalian, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah
kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk,
berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah
terhadap perkara-perkara baru (bidah), karena setiap perkara yang baru adalah bidah
dan setiap yang bidah adalah sesat. [Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Dari Abdullah bin Masud, ia berkata, Hendaklah kalian mengikuti, dan janganlah
kalian berbuat kebidahan. Sungguh kalian telah dicukupkan dalam beragama dengan
Islam ini.
Imam Al Auzai berkata,Bersabarlah kalian di atas sunnah. Tetaplah tegak sebagaimana
para sahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka telah katakan.
Tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya, dan ikutilah jalan
salafush shalih.
Yg aku khawatirkan nanti adalah, ada sekelompok orang yg sholat badiyah/qobliyah
Isya secara berjamaah dengan berdalil hadits: Sholat berjamaah itu pahalanya 27
derajat.
Balas
72.
susanto berkata
Juli 4, 2011 pada 13:26
BAGI ORANG YG MEMBENCI SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH
Ibnu Taimiyah adalah guru seorang ahli tafsir yg terkenal Al-Hafizh Ibnu Katsir yg
makam beliau berdekatan dengan gurunya.
Ibnu Taimiyah adalah guru dari ahli hadits Al-Hafizh Adz-Dzahabi, gurunya Ibnu Rajab
Al-Hanbali, dan Ibnul Qoyyim.
Berikut pujian para ulama thd Ibnu Taimiyah:
As-Suyuthi (pengarang Al-Itqan dan Tafsir Jalalain) mengatakan: Demi Allah, belum
pernah kedua mata saya melihat orang yang paling luas ilmunya dan paling kuat
kecerdasannya daripada seseorang yang bernama Ibnu Taimiyah, disertai sikap zuhudnya
dalam berpakaian, makanan, wanita dan senantiasa tegak bersama al-haq (kebenaran) dan
berjihad dengan segenap kemampuannya.
Kata beliau juga: Ibnu Taimiyah adalah seorang syaikh, imam, Al-Allamah, hafizh,
kritikus, ahli fiqih, mujtahid, pakar tafsir yang ulung, Syaikhul Islam. Simbol kezuhudan,
salah seorang tokoh yang langka di zamannya. Beliau adalah lautan ilmu, jenius dan ahli
zuhud yang sulit dicari tandingannya.
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu (ahli hadits/penulis Syarah Shohih Bukhori) juga
mengatakan (Fathul Bari 6/289): tambahan ini tidak ada sedikitpun dalam buku-buku
hadits. Hal ini telah diperingatkan oleh Al-Allamah Taqiyuddin Ibnu Taimiyah.
Di dalam kitab lainnya (At-Talkhishul Habir 3/179), Ibnu Hajar memuji beliau sebagai
Al-Hafizh.
Terakhir, perhatikanlah ucapan As-Subki (ayah Tajuddin As-Subki) tentang Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, ketika menegur orang yang mencerca Ibnu
Taimiyah: ?Demi Allah, hai Fulan. Tidaklah ada yang membenci Ibnu Taimiyah
melainkan orang yang jahil atau pengikut hawa nafsu. Adapun orang jahil, dia tidak tahu
apa yang dikatakannya. Sedangkan pengikut hawa nafsu, dia dihalangi oleh hawa
nafsunya dari al-haq setelah dia mengetahuinya.
Jadi, hanya ada dua kemungkinan pada diri orang-orang yang memusuhi Ibnu Taimiyah
rahimahullahu; orang jahil yang tidak mengerti apa yang dia katakan, atau orang yang
memperturutkan hawa nafsunya, sehingga ilmu dan kebenaran yang diketahuinya,
tentang pribadi Syaikhul Islam atau pemikirannya, terkubur oleh dendam kesumat,
kedengkian, dan kesesatan bid?ah yang diyakininya.
Balas
o
Imam berkata
Oktober 9, 2011 pada 15:14
Untuk Mas Susanto,
Bagaimana pendapat Anda kalau Ibnu Taimiyyah mengatakan sbb :
( dalam kitab majmu` fatawa : 1/161-162 ) :

.


Artinya :
Dan setiap kebid`ahan yang tidak masuk kategori wajib dan juga tidak masuk
kategori sunah maka ia ( bid`ah ) itu disebut bid`ah sayyi`ah ( jelek ) maka ia
sesat ( dolalah ) menurut kesepakatan muslimin. Barangsiapa berpendapat bahwa
ada sebagian bid`ah adalah hasanah (baik ), jika bid`ah itu berdiri atas dalil syar`i
bahwa ia adalah mustahabbah ,sedangkan bid`ah yang tidak masuk mustahab dan
juga tidak masuk wajib maka tidak ada seorangpun dari orang2 muslim
berpendapat bahwa bid`ah itu baik untuk mendekatkan diri kepada Alloh.
Ibnu Taimiyyah juga berkata dalam kitab `Itidlo` Ash-shirotil mustaqim : 297 :


Artinya :
Pengagungan maulid Nabi SAW dan memperingatinya pada musim2 tertentu
seperti dikerjakan sebagian manusia maka baginya pahala yang besar karena niat
baik dan karena juga pengagungan kepada Rosulalloh SAW.
Bagaimana mas ?
Balas
73.
elyas0202 berkata
Juli 11, 2011 pada 15:48
aku mau tanya
kalau kita berbicara masalah doa untuk orang yang meninggal sih jelas ada dasarnya.
tapi kalau kita lihat cara didalam upacara tersebut apakah ada dasar. bukannya setiap doa
yang dianjurkan itu ada tuntunannya?? aku bingung bagt nich. pencerahanya
dong..
intinya mengapa didalam tahlilan harus seperti itu doanya, dan apakah ada dasarnya????
kalau kita lihat bahwa pengertian ahlisunnah waljamaah kan bagi umat muslim yang
mengikuti perkataan dan mengikuti tingkah laku dari nabi muhammad serta
khulafaurrosidin.
mohon pencerahannya.
> upacara yg mana mas/mbak? Doa diperbolehkan apapun, bahkan bahasa apapun.
Pada dasarnya bebas membaca doa karangan sendiri, membaca doa dari al quran, atau
doa yang lain-lain.
Dalam hal ini, pak rais biasanya pengin praktis, sehingga mencontek saja doa yang
sudah ada. Tohh doanya sendiri (yg dicontek itu) sudah bagus dan sesuai tujuan,.. ada
doa ayat al quran, mendoakan si mayit, dll. So.. tak ada masalah kan.
Anda benar .. bahwa pengertian ahlisunnah waljamaah adalah umat muslim yang
mengikuti perkataan dan mengikuti tingkah laku dari nabi muhammad serta
khulafaurrosidin. Namun kita tak hidup di zaman Rasul saw ataupun khulafaurrosidin.
Maka perhatikanlah dari mana anda mengambil warisan baginda Nabi saw ini, karena
siapa pun saat ini dapat mengklaim sebagai mengikuti perkataan dan mengikuti tingkah
laku dari nabi muhammad serta khulafaurrosidin. Jangan terbuai oleh kerikil yg
tampak emas.
Ambilah pelajaran dari para ulama, dan atas petunjuk ulama. Karena mereka lah
pewaris Nabi saw. Dan jangan lupa.. berdoalah kepada Allah swt agar selalu diberi
jalan yang benar, jalan yang lurus, jalan yang mendapat ridlo-Nya. Semoga kita selalu
mendapat petunjuk-Nya. Amien.
Balas
74.
irhanudin berkata
Oktober 4, 2011 pada 02:24
Bagi saya, kita umat islam harus saling menghormati jangan saling
mengajak/membidah2kan yang suka tahlil, karena semua pakai dasar sendiri-sendiri
.was
Balas
75.
richo berkata
Oktober 8, 2011 pada 12:34
setelah membaca semua para penulis yg masing2 mengeluarkan dasarnya..baiknya
sesama muslim jangan saling memperdebatkan masalah khilafiyah..yg mengakibatkan
iman kita yg membacanya jadi turun..bukankah itu yg diharapkan umat diluar
islam,,karena mereka takut akan Islam rakhmatan lil alamin..bahkan ada agama sampai
dibela2in mengambil kitab ke barat (Al quran) yg filmnya diputar salah satu TV swasta
..kita yg punya itu kitab itu sendiri koq malah saling berantem..kalah dong sama yahudi
yg menciptakan bom atom berdasarkan surat Al fill..seperti tulisan saudara abdullah
alhabsyi diatasmaka kiranya perlu dicermati juga adanya
> Ini bukan saling memperdebatkan. Kami berusaha menampilkan hujah kami. Itu saja.
Hidup itu pilihan. Kalau saya diundang tahlil.. saya akan berangkat. Dalil, alasan, hujah
banyak kami ungkap di sini. Kami menghormati orang lain yg punya pilihan berbeda.
Kami tak ada masalah. Namun masalah kemudian terjadi ketika ada orang-mengolok-
olok pilihan yg kami buat. Bahkan ketika julukan-julukan buruk dialamatkan ke muka
kami.
Balas
76.
Iin dakwatul islamiyah berkata
November 1, 2011 pada 14:38
Assalamualaikuk wr wb..
Apa hukumnya mengadakan acara tahlil 1th org meninggal yg dilakukan di hari raya idul
adha?? Mohon jawabannya trima kasih
> waalaikum salam wrwb. sama seperti mengadakan acara lain di hari raya. Lihat
manfaat dan mudlaratnya mas..
Balas
77.
mastopo2004 berkata
November 19, 2011 pada 04:06
Tahlil adalah sarana kita berdzikir dalam majelis untuk berdoa kepada Allah SWT, agar
kita,keluarga kita,keluarga yang ditinggalkan diberikan pengampunan dan berkah dari
Allah SWT. Saya pribadi tahu sejarah pergerakkan dan dakhwah Islam di Indonesia saya
baca A sampai Z, terutama sejarah walisonggo .dan saya Alhamdulliha mendapatkan
ridho dan rahmat terbesar untuk bisa memeluk Islam.
Saya masih setuju tahlil untuk kita laksanakan dan tidak harus dibatasi waktu 3,7,40.100
dan 1000.(memang orang tua dulu punya filosofi kenapa ada tanggal tersebut,search di
google).jadi jangan kita saling menyerang ,mana yang memberikan kebaikan baik dari
sisi ibadah dan kemanfaatan umat. mari kita kembangkan ,jangan sampai nanti malah
tahlilan dipakai oleh orang non-muslim utk dahwah mereka. Semoga bisa kita
renungkan.mohon maaf bila kurang berkenan
Balas
78.
zulfikar berkata
November 24, 2011 pada 22:23
Saya sangat setuju dengan kegiatan tahlil, namun jangan di wajibkan kepada umat karena
akan jadi bidah, jadi silahkan saja orang melaksanakan tahlil. Namun kalau tidak juga
tidak apa2. Di sinilah permasalahan terjadi, sebagian ulama tidak akan berani
memberikan pengertian kepada umatnya bahwa tahlil itu tidak dilarang, namun jika tidak
dilaksanakan juga tidak apa2 ( khususnya tahlil pada orang meninggal ).
> saya kira klaim anda bahwa sebagian ulama tidak akan berani memberikan
pengertian.. perlu diuji lagi.
Menurut yg saya ketahui, para ulama sudah menjelaskan sedari dulu bahwa dzikir itu
jelas kesunnahannya (sunah itu diberi pahala bagi yg mengerjakan, tidak berdosa jika
ditinggalkan). Berdzikir dapat diamalkan di mana saja dan kapan saja.
Dan yg saya ketahui pula,.. tahlil termasuk salah satu dzikir, sehingga termasuk sunnah,
.. dapat diamalkan di mana saja dan kapan saja, termasuk di tempat orang meninggal.
Balas
79.
andika berkata
Januari 7, 2012 pada 00:58
tahlilan ok
Balas
Tinggalkan Balasan
guest

Enter your comment here...

Fill in your details below or click an icon to log in:
(wajib)(Address never made public)(wajib)( Log Out / Ubah )( Log Out / Ubah )( Log Out / Ubah ) Beritahu
saya balasan komentar lewat surat elektronik.
Kirim Komentar
82 0

1332397455

Kritik Wahaby: Ibadah dan Bidah
Jamaah Tabligh

Blog pada WordPress.com. | Theme: Andreas09 by Andreas Viklund.
Ikuti
Follow Catatan harian seorang muslim
Get every new post delivered to your Inbox.
Bergabunglah dengan 92 pengikut lainnya.
Enter your email addr

subscribe 1433458 http://orgawam.w loggedout-follow 86b25b80bd /2007/10/01/tahlil-

Sign me up

Powered by WordPress.com

Anda mungkin juga menyukai