Anda di halaman 1dari 5

1.

Edi Hendri Mulyana. 2005. Asesmen dalam Penbelajaran Sains di SD. Jurnal Pendidikan dan Budaya. (Online). Volume 3 Nomor 2 Edisi Desember,

(http://educare.e-fkipunla.net, diakses 15 September 2008). Paparan dalam artikel ini difokuskan pada penilaian hasil belajar Sains di tingkat Sekolah Dasar. Dijelaskan bahwa proses penilaian yang dilakukan selama ini semata-mata hanya menekankan pada penguasaan konsep yang dijaring dengan tes obyektif dan subyektif sebagai alat ukurnya. Pengujian yang dilakukan baru mengukur penguasaan materi saja itu pun hanya meliputi ranah kognitif tingkat rendah. Keadaan semacam ini merupakan salah satu penyebab guru enggan melakukan kegiatan pembelajaran yang memfokuskan pada pengembangan keterampilan proses anak. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan umumnya hanya terpusat pada penyampaian materi dalam buku teks. Keadaan faktual ini mendorong siswa untuk menghapal pada setiap kali akan diadakan tes harian atau tes hasil belajar. Padahal untuk anak jenjang sekolah dasar yang harus diutamakan adalah bagaimana mengembangkan rasa ingin tahu dan daya kritis anak terhadap suatu masalah. Proses pembelajaran Sains di SD menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif dan bertujuan agar penguasaan dari kognitif , afektif, serta psi-komotorik terbentuk pada diri siswa, maka alat ukur hasil belajarnya tidak cukup jika hanya dengan tes obyektif atau subyektif saja. Dengan cara penilaian tersebut keterampilan siswa dalam melakukan aktivitas baik saat melakukan percobaan maupun menciptakan hasil karya belum dapat diungkap. Demikian pula tentang aktivitas siswa selama mengerjakan tugas dari guru. Baik berupa tugas untuk melakukan percobaan, peragaan maupun pengamatan.

Sistem penilaian yang benar adalah yang selaras dengan tujuan dan proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran Sains SD pada kurikulum 2006, dapat dirangkum ke dalam tiga aspek sasaran pembelajaran yaitu penguasaan konsep Sains, pengembangan keterampilan proses/kinerja siswa, dan pena-naman sikap ilmiah. Oleh karennya agar informasi tentang hasil belajar siswa dapat mengungkap secara menyeluruh, maka perlu melakukan pengukuran terhadap ketiga aspek tersebut di atas. Dengan demikian sasaran dari penilaian hasil belajar di SD meliputi semua komponen yang menyangkut proses dan hasil belajar.

2.

Erman Suherman. 2007. Asesmen Portofolio. Jurnal Pendidikan dan Budaya. (Online). Volume 5 Nomor 1 Edisi Agustus, (http://educare.e-fkipunla.net, diakses 15 September 2008). Artikel ini membahas tentang asesmen portofolio sebagai salah satu cara dalam penilaian hasil belajar. asesmen portofolio merupakan salah satu bentuk dari asesmen yang otentik. Asesmen otentik yang akurat dan objektif merupakan dambaan semua pihak termasuk guru dan siswa. Asesmen ini berkenaan dengan system penilaian yang berkenaan dengan proses dan hasil belajar. melalui asesmen otentik hakikat penilaian sebagai penghargaan atas setiap usaha dan aktivitas siswa dapat terwujud, karena penilaian hasil belajar direncanakan dan dilaksanakan dengan berbagai cara dan meliputi berbagai aspek. Salah satu cara yang bisa meliputi hal-hal tersebut adalah dengan menggunakan asesmen portofolio. Asesmen portofolio adalah penilaian terhadap kumpulan berkas sebagai bukti fisik dari setiap aktivitas siswa selama dan sesudah pembelajaran berlangsung. Berkas tersebut bisa berupa dokumen hasil tes, tugas-tugas, hasil karya, catatan tentang sikap dan minat, keterampilan serta kompetensi siswa.

3.

Maksimus Adil, 2006. Penilaian dan Evaluasi Hasil Belajar. (Online). Jurnal Pendidikan dan pembelajaran. Volume 13 Nomor II Edisi Oktober,

(http://jurnal.um.ac.id, diakses 10 oktober 2008). Artikel dalam jurnal ini membahas tentang Penilaian dan evaluasi belajar yang merupakan bagian integral dan tak terpisahkan dari seluruh proses pembelajaran. Model penilaian dan evaluasi belajar sangat dipengaruhi oleh filosofi yang dianut oleh masingmasing lembaga pendidikan. Suatu sistem penilaian dan evaluasi belajar harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada tiap unsur yang terkait, seperti siswa, orang tua murid, dan bahkan masyarakat luas pada umumnya. Untuk itu penilaian terhadap hasil belajar siswa harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan valid. Banyak piranti yang dapat dipakai oleh guru untuk menilai hasil belajar siswa yaitu test dan kuis, project, report, presentasi, informal checks for understanding, anecdotal notes, dan lain sebagainya. Piranti yang dipakai untuk menilai hasil pekerjaan siswa haruslah sudah direncanakan bahkan sebelum guru men-design proses belajar yang diinginkan.

Tolak ukur yang dipakai guru untuk menilai adalah rubric, di mana di dalamnya berisi kriteria yang mesti ada dan atau dicapai siswa dari setiap bentuk evaluasi yang diadakan. Untuk mempermudah guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dengan sistem student centered dan kemudian dapat membuat evaluasi dan penilaian dengan baik, di sekolah High/Scope diterapkan suatu strategi yang disebut Understanding by Design. Salah satu aspeknya adalah konsep backward design, dimana guru mesti pertama-tama menentukan hasil yang diharapkan dari siswa dari suatu proses belajar sebelum menentukan proses belajarnya sendiri. Penilaian terhadap hasil belajar harus memperhiungkan keseluruhan proses yang mencakup tiga unsur, yakni produk, proses, dan progress.

4.

Ngadirin. 2004. UAN sebagai Issue Kritis Pendidikan. Jurnal Pendidikan Inovatif. Volume1 Nomor I Edisi September. (http://jurnaljpi.wordpress.com/category/jpivolume-1-nomor-1/,diakses 10 Oktober 2008). Artikel ini mengkritisi keberadaan UAN sebagai evaluasi hasil belajar. Evaluasi hasil belajar merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali. Ujian akhir nasional (UAN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah untuk menilai hasil belajar siswa. Evaluasi yang diterapkan seharusnya dapat menjawab pertanyaan tentang ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Evaluasi harus mampu mengukur tingkat pencapaian setiap komponen yang tertuang dalam tujuan pendidikan. Apabila dihadapkan dengan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku siswa maka pelaksanaan UAN sebagaimana yang dipraktekkan belum menjawab pertanyaan sejauh mana mutu pendidikan di Indonesia, apakah menurun atau meningkat dari tahun sebelumnya. Mutu pendidikan terkait dengan semua mata pelajaran dan pembiasaan yang dipelajari dan ditanamkan di sekolah, bukan hanya pengetahuan kognitif saja. UAN tidak akan dapat menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan anak didik dalam mengenal seni, olah raga, dan menyanyi. UAN tidak akan mampu melihat mutu pendidikan dari sisi

percaya diri dan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata lain, UAN tidak akan mampu menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu pendidikan. Artinya tujuan yang diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan penyelenggaraan UAN.

5.

SB. Wahyono. 2007. Kegagalan Guru dalam Melakukan Evaluasi Hasil Belajar. Jurnal Pendidikan PENABUR. No.09/VI/Desember, (http://www.bpkpenabur.or.id/jurnal, diakses 10 Oktober 2008). Artikel ini menyoroti tentang kemampuan guru melakukan evaluasi hasil belajar. Dalam dunia pendidikan pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan selalu akan mengadakan evaluasi. Artinya pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan, selalu mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun oleh pendidik. Menurut wahyono guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui pencapaian tujuan yang telah dirumuskan. Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar, hendaknya terus-menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu kewaktu. Kenyataannya masih ada guru yang enggan melaksanakan evaluasi hasil belajar secara benar dengan berdalih keterbatasan waktu yang ada. Bila evaluasi merupakan salah satu dasar memperbaiki sistem pengajaran, sesungguhnya pelaksanaan evaluasi harus bersifat kontinyu. Setiap kali dilaksanakan proses pangajaran, harus dievaluasi (formatif). Sebaliknya bila evaluasi hanya dilaksanakan di akhir suatu program (sumatif) maka tidak banyak berarti, sebab telah banyak proses terlampaui tanpa revisi. Agar evaluasi memberi manfaat yang besar terhadap sistem pengajaran hendaknya dilaksanakan setiap kali proses belajar mengajar untuk suatu topik tertentu. Namun demikian evaluasi sumatif pun perlu dilaksanakan untuk pengembangan sistem yang lebih luas.

6.

Ki. Gunawan. 2003. UAN dalam Perspektif Desentralisasi pendidikan. (Online) Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran. Volume 10 Nomor 2 Edisi juni, (http://jurnal.um.ac.id, diakses 10 Oktober 2008). Artikel dalam jurnal ini memaparkan tentang kontroversi Ujian Akhir Nasional (UAN) yang banyak diresahkan oleh masyarakat. UAN sebagai alat evaluasi hasil belajar

bagi siswa kelas akhir mulai dari SLTP dan SMU/SMK dalam kenyataannya tidak lain merupakan manifestasi keengganan pusat dalam melepaskan kewenangannya dalam pengelolaan pendidikan. Menurut Gunawan, ujian bukan merupakan bentuk evaluasi yang bermakna, karena evaluasi bermakna harus dilakukan secara terus menerus, komprehensif dan berkelanjutan terhadap kemampuan siswa selama proses pembelajaran.

Penilaian berkelanjutan mengacu kepada penilaian yang dilaksanakan oleh guru itu sendiri dengan proses penilaian yang dilakukan secara transparan, komprehensif dan mencakup aspek kompetensi akademik dan keterampilan hidup. Ditinjau dari pemberdayaan guru dan siswa, UAN sama sekali tidak berguna. Otoritas guru untuk merencanakan, menyusun, dan memberikan penilaian kepada siswa-siswanya sebagai bagian integral dari tugasnya telah dirampas. Mestinya UAN yang jelas-jelas bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip desentralisasi pendidikan dan menghabiskan dana yang lumayan besar mulai tahun depan dihapus. Biarkan sekolah mengevaluasi sendiri hasil kerjanya. Kalau Pemerintah ingin melakukan kontrol terhadap kualitas pendidikan dapat saja setiap tahun terhadap siswa-siswa setiap kelas di semua jenjang pendidikan diberikan semacam tes standar dengan pemilihan sekolah peserta tes diambil dengan cara random sample di tiap daerah yang dianggap dapat mewakili rata-rata nasional. Tes standar semacam ini selain untuk mengetahui kualitas pendidikan juga dapat

Anda mungkin juga menyukai