Anda di halaman 1dari 14

TULISAN INI ADALAH BAGIAN DARI SKRIPSI SARJANA SAYA DI ILMU FILOLOGI

Dalam khazanah budaya masyarakat Jawa, cerita tentang tokoh yang bernama Ajisaka bisa dikatakan cukup populer. Ia juga disebut-sebut sebagai salah satu diantara sekian banyak silsilah nenek moyang dari masyarakat di Jawa, karena pada dasarnya masyarakat selalu bermain simbol[1] termasuk dalam penelusuran sejarah mereka. Bahkan tokoh ini banyak dikaitkan dengan asal-usul penduduk yang bermukim di pulau Jawa hingga saat ini. Sosok Ajisaka sering diabadikan pada kisah-kisah dongeng atau mitos, yang melatarbelakangi hadirnya aksara carakan yang berjumlah dua puluh, dengan segelintir kisah yang melingkupinya.[2] Menurut hipotesis sementara para ahli, tokoh Ajisaka hanyalah fiktif belaka dan kisahnya merupakan sebuah cerita dongeng, atau simbol yang dipakai untuk memudahkan ingatan susunan abjad Jawa.[3] Diperkirakan juga munculnya tokoh ini sebagai bagian dari pergelutan Islamisasi yang melanda pulau Jawa, bahkan ada kecenderungan kisah ini dianggap sebagai bentuk supremasi sastra atas perubahan besar-besaran yang terjadi di Jawa, yaitu dengan adanya peralihan kekuasaan dari jaman Hindu-Majapahit ke jaman Islam-Demak yang terjadi sekitar tahun 1572 Masehi sampai pada puncaknya nanti Mataram, atau bahkan simbolisasi munculnya penguasa baru setelah runtuhnya Majapahit,[4] yang jelas munculnya tokoh ini menjadi mediator antara budaya lama Jawa dengan hegemoni Islam.

Kisah Ajisaka ini terdapat dalam banyak naskah yang berjudul Ajisaka, akan tetetapi, tokoh ini juga disinggung dalam beberapa naskah lain yang menyertakan atau menyinggung kisahnya. Teks Ajisaka dalam naskah PB. A36/S16 koleksi museum Sanabudaya yang kemudian dalam tulisan ini disebut teks A2[5] adalah salah satu naskah yang di dalamnya bercerita tentang kisah Ajisaka. Kisah Ajisaka ini tidak saja berkembang pada tradisi tulis namun juga berkembang melalui tradisi lisan . Tradisi lisan merupakan bagian dari foklor, sedangkan foklor sendiri merupakan disiplin ilmu yang mencakup segala aspek kebudayaan.[6] Foklor terbagi dalam dua cakupan menurut unsur-unsur budaya yang dirangkumnya yaitu ; golongan unsur budaya yang materinya bersifat lisan, serta golongan unsur budaya yang berupa upacara-upacara.[7] Foklor terbagi dalam tiga bagian yang masing-masing memiliki ahli, yaitu ahli foklor humanitis yang berlatar belakang ilmu bahasa dan kesusastraan ; ahli foklor antropologi yang berlatar belakang ilmu antropolog, dan ahli foklor modern yang berlatar belakang ilmu-ilmu interdisipliner.[8] Foklor dianggap penting dalam penelitian filologi,[9] karena banyak unsurunsur foklor terdapat dalam teks-teks lama, seperti halnya: cerita rakyat, mitos, legenda dan lain sebagainya yang diadopsi dalam bentuk cerita dalam sebuah teks. Teks A2 tergolong dalam jenis sastra sejarah atau babad. Dan untuk menangani teks-teks jenis ini diperlukan latar belakang pengetahuan foklor[10] termasuk dalam

pengkajian terhadap teks A2 dengan melihat tradisi lisan tentang Ajisaka yang berkembang di Tengger. Menurut pengamatan Hefner cerita lisan tentang Ajisaka ini bukan hanya merupakan sebuah gambaran tentang Islam dan Budha atau Hindu sebagai sebuah doktrin agama, namun lebih pada penekanan hubungan timbal balik atau merupakan gambaran evolusi budaya Jawa.[11] Menurut cerita lisan masyarakat Tengger, yang kemudian dalam tulisan ini disebut TL A, Ajisaka adalah seorang tokoh yang mewakili budaya asli masyarakat Jawa dan Tengger pada khususnya. Kemudian beranjak dari asumsi seperti disampaikan di atas tadi, maka melalui studi katalog dilakukan penelusuran asal teks di mana tokoh Ajisaka sering dimunculkan dalam khazanah sastranya. Sehingga pada perjalanan penelitian nantinya merujuk dan mengerucut pada sebuah teks yang pada bab tiga tulisan ini didekati melalui pendekatan filologis. Penting kiranya apabila dalam latar belakang penelitian disampaikan, bahwa kecenderungan langkah filologis yang diambil tidak ditekankan pada penelusuran kesejarahan teks yang diteliti, tetapi mencoba untuk melihat lebih pada teks obyek sebagai teks utuh. Teks obyek tersebut mempunyai fungsi serta kedudukannya sendiri dalam khazanah pernaskahan yang satu genre dengan teks-teks serupa. 1.1 Rumusan Masalah Beranjak dari beberapa uraian di atas tadi maka terdapat beberapa masalah yang perlu dirumuskan, yaitu :

1.

Adanya tradisi lisan dan tulis yang menceritakan kisah Ajisaka dalam tataran wacana.

2. Adanya perbedaan wacana yang berkembang antara tradisi tulis dan lisan. 3. Ajisaka dalam konteks kultural masyarakat Jawa. 1.2 Tujuan Penelitian Dari permasalahan tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut : 1) Menyajikan teks Ajisaka seperti yang termuat dalam Teks A2. 2) Pengkajian terhadap teks A2 dimaksudkan untuk melihat sekilas pada wacana yang berkembang pada teks A2 dengan TL A yang berkembang di Tengger. 3) Mencari keberadaan Ajisaka dengan analisis wacana melalui pendekatan dari segi konteks kultural dan situasi serta aspek gramatikal dan pemaknaannya. Sehingga diharapkan hasil dari penelitian ini bisa memberikan sumbangan yang berguna untuk pengembangan sastra di masa yang akan datang. 1.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah teks A2 pupuh I bait 1 48, penelitian terhadap satu pupuh teks A2 dimaksudkan untuk melihat penokohan Ajisaka serta beberapa paparan naratif tentang gambaran kondisi lokasi ketika Ajisaka dimunculkan dalam wacana tekstualnya. Prolog dari teks A2, menyatakan bahwa cerita Ajisaka yang disajikan dalam bentuk tekstual ini tidak utuh sebagai kesatuan cerita, kemungkinan ada beberapa cerita yang sengaja tidak disampaikan oleh penggubah naskah, apabila kita kembali pada TL A maka ada wacana yang tidak disampaikan secara detil.[12] Cerita Ajisaka dalam teks A2 rupa-rupanya berlanjut sampai dengan Banjaransari serta kisah peperangan adipati-adipati bang wetan melawan prabu Banjaransari dari Galuh.[13] Pelacakan naskah yang memuat teks A2 didasarkan pada judul yang terpampang. Namun demikian, dalam hal ini penelitian tentang naskah-naskah tersebut dibatasi. Baik pembatasan tempat naskah tersebut disimpan ataupun jenis naskah itu sendiri, baik yang berupa prosa (gancaran) maupun puisi (puisi). Adapun naskah yang akan diteliti lebih lanjut hanya naskah yang tersimpan di museum Sanabudaya yaitu : 1. Srat Ajisaka S 15/ SK 57. Dalam bahasa Jawa prosa Aksara Jawa, dalam tulisan ini disebut teks A1.

2. Srat Ajisaka dengan kode naskah S 16/ PB A.36. Dalam bahasa Jawa macapat aksara Jawa, dalam tulisan ini disebut teks A2. 3. Srat Ajisaka kode naskah S 17/SB 3. Dalam bahasa Jawa prosa aksara Jawa, dalam tulisan ini disebut teks A3. 4. Srat Ajisaka kode naskah S 18/SK 11. Dalam bahasa Jawa macapat aksara Jawa, dalam tulisan ini disebut teks A4. Dari keempat Naskah tersebut, terdapat masing-masing dua yang berujud prosa (gancaran) maupun puisi (macapat). Dalam hal ini kedua naskah yang berbentuk prosa tidak diteliti secara detil kecuali dideskripsikan singkat, karena naskah yang akan diteliti adalah berbentuk puisi. Teks A2 terdiri dari dua puluh tiga pupuh, namun demikian hanya pupuh I dari dua puluh tiga teks ini yang dijadikan dasar suntingan. Pupuh I dari teks A2 ini disusun dalam metrum Dhandhanggula terdiri dari 48 bait.

1.4

Tinjauan Pustaka Ajisaka telah dibicarakan oleh beberapa penulis, dalam berbagai pendekatan

ilmu dan teori. Adapun penelitian atau pembahasan yang berhubungan dengan Ajisaka sebagai berikut ;

1)

Robert W. Hefner., 2004 Hindu Javanese. Culture Challenge and Culture Hero : The Tale of Ajisaka and Mohammad. Sebuah buku yang menyajikan kisah Ajisaka, dalam tradisi lisan masyarakat Tengger. Di dalam salah satu sub bukunya ini, Hefner menyajikan kisah Ajisaka dalam bentuk lisan yang berkembang di Tengger. Hefner menggunakan pendekatan foklor dan antropologi budaya.

2) Budiono Herusatoto (2001), dalam bukunya Simbolisme dalam Budaya Jawa. Sedikit memberi titik terang bagaimana kisah Ajisaka harus diperlakukan, hal ini tentu saja mengingat bentuk kisah itu sendiri yang berupa Srat bukan sebuah catatan sejarah seperti halnya babad Dipanegara ataupun babad-babad yang lain. Hingga kisah Ajisaka pun bisa jadi merupakan simbol (pralampita) sebuah jaman, yang kemudian diabadikan dalam sebuah karya sastra. Herusatoto sedikit mengupas simbolisme dalam Srat Ajisaka, namun masih dangkal. Kajiannya secara mendalam adalah tentang nilai filsafati yang terkandung dalam tokoh Ajisaka. Dan dalam tulisannya ini Tokoh Ajisaka dimunculkan hanya sebagai pengantar saja.

1.5

Landasan Teori Pembahasan teks A2 sebagai obyek penelitian ini menggunakan teori filologi

dan teori sastra yang disebut analisis wacana. Pemakaian teori filologi digunakan

untuk dasar penyuntingan naskah dan teori sastra melalui analisis wacana untuk mencari relevansi hadirnya teks A2. Sehingga diharapkan dari hasil kajian secara filologi dan analisis wacana ini dimungkinkan bisa memberi titik terang tentang wacana Ajisaka yang berkembang dalam teks A2. Adapun penjabaran teori tersebut adalah : 1) Teori Filologi Naskah adalah semua bahan tulisan tangan.[14] Mengingat bahwa naskah yang mengandung teks-teks klasik indonesia disimpan atau tersimpan dalam perpustakaan maka diperlukan studi katalog untuk melacak keberadaan sebuah naskah. Pada awal perkembangannya Filologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang dirasa bisa membantu dalam merekonstruksi sebuah teks.[15] Merekonstruksi sebuah naskah apabila naskah tersebut mengalami kerusakan serta mengalami banyak varian yang menjadikan naskah tersebut jauh dari naskah asli yang dijadikan sumbernya. Teks A2 secara filologis akan di deskripsikan, dan untuk keperluan terbitan teks digunakan metode kritik mengarah pada teks dengan ejaan yang standar. Tujuannya untuk mendapatkan teks Ajisaka yang mendekati ketaatasaan bacaan, yaitu dengan membetulkan kesalahan tulis apabila diperkirakan terjadi salah salin atau salah tulis dari teks sumbernya.[16] Dan untuk mendapatkan sebuah suntingan teks yang dapat dibaca dan dipahami oleh masyarakat ketika teks tersebut disunting adalah dengan melalui

standarisasi ejaan yang akan digunakan dalam penyuntingan, hal ini bisa didasarkan pada teks sumber penyuntingan yang ejaannya kadang tidak konsisten.[17] Teori Filologi yang digunakan dalam penelitian ini tidak mengarah pada pencarian terhadap naskah yang mendekati aslinya, namun memandang naskah sebagai sebagai bentuk mandiri yang diperlakukan sama dengan naskah-naskah sejenis tanpa memberikan penilaian dari segi varian yang muncul, karena varian yang ada dianggap sebagai kreativitas sang penyalin. Menurut pandangan beberapa sarjana abad pertengahan, filologi di Indonesia khususnya Jawa, akan lebih penting apabila naskah-naskah yang ada diteliti, dikaji, dipahami sebagai variasi yang mempunyai hak sendiri,[18]daripada merunut kesejarahan ataupun mencari keaslian dari masing-masing naskah. Sehingga menurut pandangan ini naskah salinan tidak diperlakukan sebagai bagian duplikasi dari naskah asli namun lebih pada penyalinan naskah dengan menyesuaikan terhadap konteks budaya di mana naskah tersebut disalin.

2) Teori Analisis Wacana Karya sastra merupakan salah satu bentuk komunikasi bahasa artinya, di dalam komunikasi tersebut, hubungan antara komunikator (pengarang, penyair) dengan komunikan (pembaca karya sastra, masyarakat) mengandung ketidakpastian

sebab pengarang tidak pernah tahu persis siapa penanggapnya. Interaksi yang tercipta akhirnya adalah interaksi antara penanggap (pembaca) dengan karya sastra. [19] Karya sastra itu sendiri ialah sebuah karya yang bersifat rekaan. Sebuah karya sastra meskipun bahan inspirasinya diambil dari dunia nyata, tetetapi sudah diolah sedemikian rupa oleh pengarangnya melalui imajinasinya sehingga tidak dapat diharapkan sesuai dengan kenyataan. Sebab kenyataan yang ada dalam karya sastra sudah ditambah oleh pengarang, sehingga apa yang ada dalam karya sastra tersebut adalah sesuatu yang ideal menurut pengarangnya.[20] Melalui analisis wacana, keberadaan komunikasi yang tersekat pada subyektifitas pengarang bisa dikomunikasikan dengan penanggap, sehingga terjadi komunikasi yang komunikatif. Karya sastra merupakan bentuk komunikasi tanpa komunikasi.[21] Melalui bahasalah tokoh Ajisaka dimunculkan dalam sebuah wacana baik berupa tulis maupun lisan. Rancang bangun dari sebuah alur komunikasi yang dijembatani oleh adanya aspek-aspek kebahasan yang melekat. Karya sastra merupakan bangunan bahasa yang utuh dan lengkap pada dirinya sendiri, mewujudkan dunia rekaan, mengacu pada dunia nyata atau rekaan, serta dapat dipahami berdasarkan kode norma yang melekat pada sistem sastra, bahasa, dan sosial budaya tertentu.[22] Sementara itu wacana muncul karena adanya komunikasi serta interaksi sosial melalui bahasa dalam wujud konkret.[23] Kemudian teori analisis wacana yang digunakan untuk mendekati teks A2 ini, seperti batasan pengertian wacana serta ruang lingkup analisis wacana selain

merujuk pada wujud obyektif paparan bahasa berupa teks, juga berkaitan dengan dunia acuan, konteks, dan aspek pragmatik yang ada pada penutur maupun penanggap,[24] sedangkan dalam usaha pengamatan selanjutnya dimanfaatkan hasil penelitian mengenai penerapan teori ini dalam Analisis Wacana Puisi Jawa Jaka Ijo & Tresnawulan Karya N. Sakdani Tinjauan dari Segi Konteks Kultural dan Situasi serta Aspek Gramatikal dan Leksikal.[25] Beberapa hal yang akan dikupas melalui analisis wacana ini adalah ; analisis konteks, analisis aspek gramatikal, serta pemaknaan. 1.6 Metode Penelitian Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[26] Metode dalam sebuah penelitian adalah sebuah langkah kerja yang harus dilakukan. Adapun metode yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Filologi, yang meliputi antara lain ; Inventarisasi Naskah melalui studi katalog, deskripsi naskah, pemilihan naskah, penyuntingan naskah, serta penerjemahan.[27] Adapun analisis teks A2 dilakukan melalui analisis wacana yang ditinjau dari segi konteks kultural dan situasi serta aspek gramatikal serta pemaknaan. Sehingga diharapkan apa yang tersimpan serta tersembunyi dibalik kisah tersebut dapat sedikit terungkap dari sisi lain. 1.7 Sistematika Penyajian

Sistem penyajian dalam penulisan penelitian ini meliputi ; empat bab yang disusun sebagai berikut : Bab pertama memuat, antara lain pendahuluan, terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, dan sistematika penyajian. Bab kedua merupakan deskripsi naskah-naskah Ajisaka, inventarisasi dan deskripsi naskah, pemilihan naskah dan dasar suntingan, deskripsi teks Ajisaka,. Selanjutnya bab ketiga adalah suntingan dan terjemahan yang meliputi ; pengantar suntingan, pedoman dan suntingan, pengantar terjemahan, terjemahan, dan catatan terjemahan. Kemudian bab keempat, berisi analisis teks Ajisaka melalui analisis wacana ditinjau dari segi konteks kultural dan situasi serta aspek gramatikal serta pemaknaan, Tradisi Lisan Ajisaka, Cerita Lisan Ajisaka Versi Tengger dan Perbandingan Teks A2 dengan TL A. Dilanjutkan bab kelima kesimpulan.

[1] [2] [3] [4]

Herusatoto, 2001:9. Ibid, 2001:45. Ibid, 2001:45. Ricklefs, 1999:55.

[5] Lihat hal. 6.

[6] [7]

Abrams, 1981:66 dalam Baried, 1983:29., Ahimsa (Et. al), 2003:77-78. Ibid, 1983:29. 1984:6-7.

[8] Danandjaja, [9]

Ibid, 1983:29 . Baried, 1983:29. Hefner, 2004:241.

[10] [11] [12]

Dalam cerita lisan dikemukakan cerita asal-usul Ajisaka yang ternyata merupakan seorang anak dari Bambang Dursila, karena bapaknya meninggal sebelum Ajisaka lahir maka setelah lahir ia diasuh oleh kakeknya yang bernama Ki Kures. Lalu oleh Antaboga cucu Ki Kures diberi nama Aji dan disuruhnya belajar ke tanah Arab berguru pada Muhammad. Setibanya di Mekah ia menjadi sahabat Muhammad, nama Aji menjadi Ajisaka setelah ia mendapat nama tambahan dari Muhammad, kemudian Ajisaka pulang ke tanah Jawa untuk mengajarkan ilmu yang didapatnya ketika di Arab. Lih. Hlm. 84. Pada tradisi lisan kisah Ajisaka berakhir setelah Dewatacengkar berhasil dihalau ke pesisir pantai Selatan. Di pantai Selatan inilah Dewatacengkar berubah menjadi seekor buaya putih. Lih. Hlm. 88.
[13] [14] [15] [16] [17]

Robson, 1978:26. Baried, 1985:6-7. Robson, 1994:25-26. Robson, 1978:31-32.

[18] Teeuw , 1994:99. [19] [20] [21] [22] [23] [24]

Sumarlam, 2003:57. Noor, 2005:11. Ibid, 2003:57. Ibid, 2005:11. Ibid, 2003:4. Aminudin, 1989 dalam Sumarlam, 2003:9-10.

[25] [26] [27]

Ibid, 2003:57. Tim Penyusun, 1993:580. Djamaris, 2004:10-13.

Anda mungkin juga menyukai