Anda di halaman 1dari 4

Paleomagnetism Paleomagnetisme adalah studi tentang medan magnetic purba.

Konsepnya mengatakan bahwa banyak batuan merekam arah dan kekuatan medan magnet bumi pada saat batuan terbentuk. Kristal magnetit yang kecil dalam aliran lava yang membeku berkelakuaan seperti jarum-jarum kompas yang sangat kecil, mengandung rekaman kondisi medan magnet bumi pada saat lava tersebut membatu. Batuan sedimen yang mengandung unsure besi seperti batu pasir merah (red sandstone) yang dapat merekam kemagnetan bumi. Kemagnetan batuan tua dapat diukur untuk menentukan arah dan kekuatan medan magnet bumi dimasa lampau. Apa bukti geologi bahwa Nusantara dibentuk dari pertemuan sebagian kerak Asia dan Australia ? Satu-satunya hanyalah paleo-magnetisme yang didukung data umur radiometri. Ambil sampel batuan umur pra-Tersier di Sumatra atau Kalimantan atau Jawa atau Papua, dan ukur radiometri serta kemagnetan purbanya, bila ia menunjukkan posisi lintang di luar 6 degLU - 11 degLS, maka batuan itu bukan asli batuan yang terjadi di Indonesia, tetapi ia dibawa dari tempat lain dan dialihtempatkan ke wilayah Nusantara oleh proses tektonik yang sangat kompleks. Berikut ini adalah beberapa pengamatan yang keseluruhannya menunjukkan bahwa Indonesia "is a mosaic of terranes" . Paleozoic terranes. Batuan Karbon Akhir di Kepala Burung, Papua berasal dari 47 degLS, sementara yang berumur Perem Awal dari 46 deg LS, yang berumur Perem Akhir berasal dari 35 degLS. Kini batuan-batuan ini di tempatnya sekarang telah terputar melawan arah jarum jam sebanyak 60 deg. Batuan Perem di Timor berasal dari lokasi 20-30 deg LS dan telah terputar CCW 20-40 deg dari arah semula. Kita bisa cek atlas dan akan tahu di mana saat ini posisi 47 deg LS itu misalnya. Mesozoic terranes. Batuan Trias-Yura di Kepala Burung pun berasal dari tempat di 42 deg LS dan telah terputar CCW (counter clockwise) 60 deg. Batuan Trias di Seram berasal dari 9 deg LS (wilayah Timor sekarang) dan telah terputar 90 deg CCW (kita tahu bahwa ia terlibat dalam proses bending of Banda Arc). Batuan Trias di Sumatra berasal dari 15-20 degLS dan di kedudukannya kini telah terputar 40 deg CW (clock wise) ini membuktikan bahwa Sumatra memang telah terputar searah jarum

jam. Batuan Trias di Kalimantan, menariknya, posisinya dari dulu memang di situ, bisa dipahami sebab Kalimantan termasuk core of Sundaland, hanya telah terputar > 60 deg CCW - membuktikan bahwa Kalimantan memang terotasi CCW. Batuan Kapur di Kalimantan Barat pun sudah sejak Kapur memang di situ, hanya telah terputar 50 deg CCW. Tetapi, batuan Kapur di Sulawesi dan Misool berasal dari 16-20 degLS. Sedangkan, batuan Kapur di Halmahera berasal dari utaranya, 5 deg LU. Data kemagnetan purba pada zaman Tersier bias menunjukkan dinamika geologi Indonesia. Data paleo-magnetisme batuan Tersier menunjukkan bahwa rotasi CCW masih terjadi di Kalimantan Tengah selama Eosen, dan tidak terjadi lagi sejak Oligosen. Hanya sedikit rotasi CW masih teramati selama Oligosen dan Miosen di Sumatra. Data paleomagnetik di bagian timur Pulau Jawa menunjukkan bahwa bagian ini berasal dari posisi lebih selatan dari posisinya sekarang dan telah mengalami rotasi CCW ke posisinya sekarang. Data paleomagnetik Sumbawa-Flores menunjukkan posisi purba yang hampir sama dengan sekarang.

GPS penyebaran lempeng di dasar laut dapat diamati langsung dengan biaya besar dan cukup sulit di laut, ada satu tempat dimana banyak proses dapat dilihat di darat -

Islandia, satu-satunya pulau besar berada di atas sebuah mid-ocean ridge dan zona rift zona pengapungan. Penyebaran di Islandia terjadi pada tingkat yang sama dengan yang ditemukan di puncak punggung bukit pertengahan atlantic. Di Timur laut Islandia yang telah berusia 100 tahun, sampai keretakan vulkanik terbuka pada tahun 1975, dalam enam tahun, celah ini melebar dengan 5 m (17 kaki) sepanjang 80 km (50 mil) sepanjang puncak punggung bukit itu. Lebih dari 100 tahun ini tingkat penyebaran adalah 5 cm (2 inch) per tahun, yang berada dalam kisaran yang spesifik. Gerak menyebar antara lempeng tektonik kini dapat dipantau oleh satelit global positioning system satelit mendeteksi posisi titik kontrol tanah dengan akurasi besar. Recent GPS pengukuran di laut timur mediterranian menunjukkan bahwa lempeng Afrika bergerak ke utara di 10 mm (0,4 in) per tahun. Tektonik Lempeng dan Data Geodetik GPS Teknologi navigasi menggunakan satelit-satelit GPS (global positioning system) yang mulai berkembang pada pertengahan tahun 1980-an semakin banyak membantu analisis-analisis tektonik yang berdasarkan tektonik lempeng. Dengan menempatkan stasiun-stasiunpengukuran posisi geodesi yang akurasinya tinggi (cm-dm) di banyak titik di permukaan Bumi (di atas permukaan lempeng) dan mengukurnya secara teratur dalam frekuensi waktu tertentu (misalnya setahun sekali), maka diketahui bahwa posisiposisi stasiun geodesi ini bergerak. Data yang dikumpulkan selama bertahun-tahun kemudian dapat diproses untukmengetahui ke arah mana lempeng bergerak dan seberapa cepat (dimensi vektor).Pengukuran GPS dengan metode di atas membuktikan bahwa lempenglempeng yang posisinya dan gerakannya telah ditentukan pada tahun 1960-an pada saat teori tektonik lempeng dikembangkan, memang bergerak dengan arah seperti yang disimpulkan dalam teori. Indonesia misalnya pada saat ini terutama tengah ditekan ke utara timurlaut oleh lempeng samudra-benua Hindia-Australia yang bergerak dengan kecepatan sekitar 7

cm/tahun dan tertekan ke arah barat-barat laut oleh lempeng samudra Pasifik yang bergerak dengan kecepatan sekitar 10 cm/tahun. Indonesia pun turut aktif dalam kerja sama internasional untuk penelitian geodinamika menggunakan GPS yang memulai penelitiannya sejak pertengahan tahun 1990-an, misalnya dalam GEODYSSEA (European Community-ASEAN Plate Motions and Crustal Deformations Deduced from Space Geodetic Measurements for the Assessment of Related Natural Hazards in South East Asia). Hasil-hasil penelitian tektonik menggunakan data GPSini terutama diaplikasikan untuk keperluan penelitian kegempaan. Data GPS pun dapat dimanfaatkan untuk keperluan rekonstruksi tektonik dengan melakukan ekstrapolasi data

danmenggabungnya bersama data paleomagnetik

Anda mungkin juga menyukai