Anda di halaman 1dari 2

Jakarta Tak ada lagi bangunan khas Cina di Jl Gadjah Mada 211-212, Jakarta Barat.

Tempat eks Kedubes Cina pernah berdiri itu telah berganti wajah. Sekitar setengah tahun lalu, puing-puing bangunan eks Kedubes Cina itu telah diratakan. Sebagai gantinya, di atas tanah yang lama digunakan sebagai tempat parkir itu akan didirikan bangunan baru, Galeria Glodok. Galeria Glodok adalah konsep bangunan yang menggabungkan apartemen, perkantoran, pusat makanan dan minuman, pusat hiburan, serta ruko. Lokasinya tepat berada di depan Pasar HWI Lindeteves. Ketika detikcom datang ke tempat itu, Kamis (5/7/2007), puluhan pekerja bangunan sedang sibuk bekerja. Tanah ini awalnya merupakan eigindom verponding atas nama Khouw Oen Kiam. Tahun 1900-an, didirikan bangunan yang akhirnya dijadikan Kantor Kedubes Cina. Setelah hubungan diplomatik Indonesia-Cina putus pada tahun 1960-an, aset itu diambil alih Pemda. Selanjutnya terbit hak guna bangunan (HGB) atas nama PT Duta Anggada. Sejarahnya, Mayor Khouw Kim An pernah memimpin masyarakat Cina di Jakarta. Dia adalah orang yang sangat kaya. Kekayaannya antara lain sawah ratusan hektar dan tempat penggilingan beras. Dia membangun beberapa gedung antara lain yang kini menjadi SMU 2 Jakarta dan bangunan yang pernah menjadi Kedubes Cina. Lahan di Jl. Gadjah Mada 211-212 ini mendadak jadi berita setelah Cina mengklaim sebagai asetnya. Pemerintah Indonesia menyeriusi klaim Cina ini. Bahkan, pada Januari 2007 lalu, pemerintah membentuk tim dan diterbangkan ke Beijing untuk membahas klaim tanah ini. Siapa sebenarnya yang memiliki lahan ini? Belum diketahui pasti. Namun, Deplu memastikan bahwa lahan ini bukalah milik Cina, tapi milik negara Indonesia. Informasi yang didapatkan detikcom, pada 1984 muncul gugatan atas tanah tersebut oleh orang yang mengaku ahli waris pemilik eigindom verponding. Kasus sengketa ini pun dimejahijaukan pada 1984. Gubernur DKI sebagai tergugat memenangkannya. Kini kasus tersebut masih berlanjut di tingkat banding

Jakarta (ANTARA News) - Ahli waris pemilik tanah eks Kedubes RRC di Jl Gajah Mada No 211, Glodok, Jakarta Barat, mendesak Pemerintah DKI Jakarta untuk segera menyerahkannya kembali karena hak tanah itu masih tetap dipegang ahli waris dan belum dipindahtangankan. Hengky Sumantri, salah satu ahli waris pemilik tanah eks Kedubes China ,menyampaikan hal itu di Jakarta, Jumat dengan didampingi kuasa hukumnya, Sudjanto Sudiana. "Kami sudah melayangkan surat sekali ke Pemda DKI Jakarta agar tanah itu diserahkan ke ahli waris yang berhak. Karena surat pertama tidak ditanggapi maka kami akan melayangkan surat ke dua," kata Sudjanto. Jika surat kedua itu tidak ada tanggapan, katanya, pihak ahli waris pemilik tanah itu akan melaporkan kasus ini secara pidana. "Kalau ada unsur korupsi, kami akan lapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan kalau ada unsur pidana lain seperti penyerobotan atau yang lain maka kami akan melaporkan ke Mabes Polri," kata Sudjanto. Ia mengatakan, tanah seluas 7.230 M2 itu awalnya adalah milik sah Khouw Oen Kiam dengan bukti akte verponding no 8405 yang ditulis oleh notaries Geroge Herman Thomas tertanggal 19 Oktober 1939. Pada tahun 1958, Kiam meminjamkan tanah itu ke pemerintah RRC untuk dipakai sebagai kantor Kedubes di Indonesia dengan batas waktu sampai ngara itu memiliki kantor sendiri. Namun, dengan meletusnya G 30 S/PKI, tahun 1965, kantor Kedubes RRC ditinggalkan stafnya sebagai akibat pembekuan hubungan diplomatik Indonesia dengan RRC. Tahun 1983, katanya, tanah itu dikuasai oleh Pemda DKI Jakarta tanpa ijin dari pemerintah RRC. Pemda DKI kemudian berhasil mendapatkan Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan No 1 tertanggal 20 Desember 1983 setelah mendapatkan penetapan pengadilan Jakarta Barat. Pada 30 September 1992, Pemda DKI bekerja sama dengan PT Duta Anggada untuk memanfaatkan tanah itu. Dengan kerja sama itu, PT Duta Anggada lalu mendapatkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) no 1251 tertanggal 16 September 2007. Sudjanto mengatakan, karena Kedubes RRC sudah tidak menggunakan tanah itu maka otomatis hak tanah akan kembali ke pemilik semula, yakni ahli waris Khouw Oen Kiam. "Kami memiliki bukti yang kuat bahwa ahli waris Oen Kiam adalah pemilik sah lahan itu," katanya. Ia mengatakan, penguasaan tanah pada tahun 1983 oleh Pemda DKI Jakarta adalah tidak sah karena dilakukan secara sepihak padahal tanah itu belum dipindahtangankan. Menurut dia, Biro Pemda DKI dalam surat No 499/1.711.9 tertanggal 19 Oktober 2001 juga menyebutkan bahwa tanah itu milik ahli waris Oen Kiam. "Saat ini kami masih berupaya meminta secara kekeluargaan agar tanah itu dikembalikan. Kalau tidak, ya maka kami lapor ke KPK atau Mabes Polri," katanya.(*)

Sebuah lahan seluas sekitar 1,2 hektar yang terletak di Jalan Gajah Mada 211-212, terlihat mulai bebenah. Rencananya di atas lahan tersebut akan dibangun gedung Galeria Glodok, yang menggabungkan konsep apartemen, perkantoran, pusat makanan dan minuman, pusat hiburan, serta ruko, dalam satu kawasan. Lokasi lahan tersebut tepat berada di depan Pasar HWI Lindeteves. Di lahan itu juga kini dipagari triplek yang bergambar rancang bangun gedung Galeria Glodok. Tidak itu saja, di depan pos keamanan yang ada persis di mulut pintu masuk terlihat beberapa pria berkulit hitam dan berbadan tegap sedang berjaga-jaga. Suasana ini memang tidak biasanya. Sebab sebelumnya lahan tersebut kosong melompong. Hanya sebuah bangunan tua yang tak terawat berdiri di lahan itu. Selebihnya adalah hamparan tanah merah berkerikil yang ditumbuhi rumput ilalang. Dahulu di lokasi ini dijadikan area parkir bagi konsumen yang ingin ke pusat perdagangan Glodok dan Harco. Enam bulan belakangan lahan itu mulai dibangun oleh PT Duta Anggada. Namun belum juga tiang pancang berdiri, beberapa pihak mulai mempermasahkan lahan tersebut. Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC)mengklaim tanah itu adalah aset miliknya. Pasalnya, di lokasi itu dulunya adalah tempat kedutaan besar (kedubes) RRC. Setelah peristiwa G 30 S PKI berkobar, gedung itu kemudian dikosongkan. Untuk menjalankan kegiatan diplomatiknya di Indonesia, RRC kemudian mempercayakan urusannya kepada Kedubes Rumania. Sedangkan aset kedubes, yang porak-poranda dihancurkan masyarakat, Oktober 1965, dibiarkan begitu saja. Nah saat inilah pemerintah RRC menganggap sebagai waktu yang tepat untuk mengambil kembali aset yang ditinggalkan tersebut. Namun keinginan itu ditentang pemerintah Indonesia. Pemerintah menganggap, karena ada pemutusan hubungan diplomatik, maka lahan itu diambil alih dari sisi hukum. Apalagi berdasar UU Pokok Agraria orang asing memang tidak punya hak milik aset . "Kita bukan akan tolak permintaan mereka, tapi minta klarifikasi. Berikan bahan dan penjelasan," kata Hassan Wirajuda kepada wartawan beberapa waktu lalu. Nasionalisasi aset bekas milik asing/ China dimulai sejak 1958 dengan dikeluarkannya UU 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan bekas Belanda. Kedubes RRC berada di kawasan ini hingga akhir 1969-an saat hubungan diplomatik Indonesia-RRC dibekukan. Belum juga jelas sengketa tanah antara pemerintah RI-RRC, seorang warga bernama Jimmy Khouw ikutan mengklaim tanah itu. Yang diklaim adalah tanah seluas 7.230, yang dulunya dipakai kedubes RRC. Menurutnya, tanah tersebut adalah milik leluhurnya yang bernama Khouw Oen Kiam. Bukti kepemilikan tanah diperkuat Akte Verbonding No. 8405 oleh Notaris GH Thomas tertanggal 19 Oktober 1939 dan Akte Verbonding No. 1088 oleh Notaris Joan Cornelis Meyer tanggal 16 Oktober 1939. Dahulu dikatakan, lahan milik Khouw Oen Kiam seluas 12.230. Namun sebagian tanah itu, yakni seluas 5.000 meter persegi dijual ke sebuah perusahaan bernama Haw Par Brother, yang berdomisili di Singapura. Selanjutnya, pada 16 Maret 1940, Kiam menghibahkan tanah sisanya yang seluas 7.230 meter persegi itu kepada Marcus Antonio Khouw. Markus adalah anak dari Khouw Wie Seng, adik Khouw Oen Kiam. Surat hibah tersebut disalin oleh Wees en Boedelkamer. "Kiam mewariskan tanah tersebut ke adiknya karena dirinya tidak punya anak laki-laki. Menurut adat Tiongkok tidak boleh mewariskan tanah kepada anak perempuan. Untuk itulah Kiam kemudian mewariskannya kepada Marcus, keponakannya" jelas Sudjanto Sudiana, seorang pengacara yang mewakili Hengky Sumantri rekan bisnis Jimmy Khouw. Kenapa yang muncul nama Hengky dalam permohonan pembebasan lahan tersebut? Sudjanto beralasan, kalau Jimmy yang maju akan banyak yang nembak untuk menawarkan kerjasama. Dia juga enggan menyebut perusahaan apa yang saat ini dipegang oleh Jimmy dan Hengky. "Nanti kalau sudah waktunya akan dibuka semuanya" katanya saat berbincang dengan detikcom, 5 Juli lalu. Pastinya, lanjut Sudjanto, setelah tanah itu dihibahkan, pemerintah RRC meminjam pakai tanah tersebut tahun 1958. Sayangnya, kesepakatan pinjam pakai itu tanpa disertai surat perjanjian tertulis. Begitu peristiwa G 30 S PKI meletus, kedubes tersebut dihancurkan massa. Selanjutnya hubungan diplomatik antara RI dan RRC terputus. Alhasil, tanah dan bangunan bekas kedubes RRC bagai tanah tak bertuan. Tidak diketahui siapa dan dimana pemiliknya berada. Sudjanto mengatakan, karena Kedubes RRC sudah tidak menggunakan tanah itu maka otomatis hak tanah akan kembali ke pemilik semula, yakni ahli waris Khouw Oen Kiam. "Kami memiliki bukti yang kuat bahwa ahli waris Oen Kiam adalah pemilik sah lahan itu," ujarnya. Tapi bagi Pemda DKI Jakarta, lain lagi. Lahan itu tetap dianggap tidak bertuan. Untuk itu pemda mengambil alih lahan tersebut dan memagarinya, tahun 1983. Upaya legalisasi juga dilakukan dengan memohon penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat, berdasarkan afwezigheid(ketidakhadiran pemilik lahan) tahun 1984. Sedangkan untuk hak pengelolaanya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) kemudian menerbitkan Hak Pengelolaan (HPL) No. 1 seluas 7.230 meter persegi kepada Pemda DKI Jakarta. Namun azas afwezigheid tahun 1984 yang dipakai Pemda untuk menguasai lahan dinilai keluarga Khouw Oen Kiam keterlaluan. Soalnya pemilik lahan sama sekali tidak tahu kalau ada pemanggilan. Hal senada juga dikatakan pihak Haw Par Brother, yang lahannya juga ikut diambil alih Pemda. Untuk itu keluarga Khouw Oen Kiam dan Haw Par Brother mengajukan gugatan bantahan terhadap Putusan Penetapan N0.0017/1984, terkait tanah eks Kedubes RRC. Gugatan mereka kemudian dimenangkan di tingkat kasasi Mahkamah Agung, tahun 1988. Kemenangan itu rupanya tidak diterima begitu saja oleh Pemda DKI, berbagai langkah hukum dilakukan untuk membatalkan putusan kasasi yang memenangkan Khouw Oen Kiam Cs dan Haw Par Brother. Tapi upaya itu selalu kandas. Mahkamah Agung di tahun 1993 justru menguatkan kemenangan Khouw Oen Kiam Cs dan Haw Par Brother kemudian memutus perkara yang diajukan Pemda DKI Jakarta, terkait putusan kasasi sebelumnya. Namun di saat upaya hukum tengah berjalan, Gubernur DKI Jakarta Soejadi Soedirja, tahun 1992, justru meneken perjanjian kerjasama pengelolaan lahan tersebut dengan PT Duta Anggada (DA). Oleh PT DA, lahan tersebut kemudian diajukan lagi ke BPN untuk disertifikasi. Sebagai landasan permohonan sertifikat adalah surat perjanjian dan rekomendasi dari Gubernur DKI Jakarta Surjadi Sudirdja. Anehnya permohonan sertifikasi di atas yang tengah bersengketa itu disetujui BPN, dengan dikeluarkannya sertifikat HGB No.1251/Glodok, tertanggal 16 September 1997 a.n PT Duta Anggada. Dalam HGB itu disebutkan, lahan yang dikelola PT DA luasnya 10.480 meter persegi. Alhasil, sebidang tanah di kota tua Jakarta kini jadi rebutan banyak pihak. Masing-masing pihak mengaku punya bukti yang kuat dan berhak atas lahan itu. Bahkan belakangan pemerintahan negeri tirai bambu juga ikutan ingin menguasai lahan tersebut

Anda mungkin juga menyukai