Anda di halaman 1dari 9

Seminar Nasional Biologi 2010

PERANAN BIOLOGI FORENSIK DALAM MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA Kombes Pol Drs. Siswanto Kepala Laboratorium Forensik BARESKRIM POLRI Cabang Semarang Pendahuluan Perkembangan teknologi serta arus globalisasi di satu sisi dan minimnya tingkat kesejahteraan masyarakat memicu meningkatnya tingkat kejahatan dengan modus dan operandi yang baru. Disisi lain, asas presumption of innocence, menempatkan seseorang yang patut diduga melakukan sebuah tindak kejahatan harus teteap dilindungi hak-haknya. Kedua hal tersebut menuntut pengembangan teknik dan metode pendekatan penyidikan yang baru. Crime Science Investigation (CSI) adalah suatu metode pendekatan penyidikan dengan mengedepankan berbagai disiplin ilmu pengetahuan guna mengungkap suatu kasus yang terjadi. Dengan menggunakan metode CSI, pengakuan tersangka ditempatkan pada urutan terakhir dari alat bukti yang akan diajukan ke pengadilan, sebab metode CSI menitikberatkan analisis yang melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan guna mengungkap suatu tindak kejahatan. Membuat barang bukti (benda mati) atau Tempat Kejadian Perkara (TKP) berbicara tentang suatu tindak kejahatan yang terjadi merupakan pokok bahasan dari bidang Forensik. Forensik berasal dari bahasa Latin yaitu forum yang berarti tempat untuk melakukan transaksi. Pada perkembangan selanjutnya, forensik diperlukan pada pengungkapan suatu kasus tindak pidana dengan cara menyusun kembali (rekontruksi) suatu tindak pidana itu dapat terjadi, sudah barang tentu berdasarkan bukti-bukti yang ada. Ilmu Forensik dikatagorikan ke dalam ilmu pengetahuan alam dan dibangun berdasarkan metode ilmu alam. Dalam padangan ilmu alam sesuatu sesuatu dianggap ilmiah jika didasarkan pada fakta atau pengalaman (empirisme), kebenaran ilmiah harus dapat dibuktikan oleh setiap orang melalui indranya (positivesme), analisis dan hasilnya mampu dituangkan secara masuk akal, baik deduktif maupun induktif dalam struktur bahasa tertentu yang

36

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

Seminar Nasional Biologi 2010

mempunyai makna (logika) dan hasilnya dapat dikomunikasikan ke masyarakat luas dengan tidak mudah atau tanpa tergoyahkan (kritik ilmu). Cabang-cabang ilmu forensik lainnya adalah: kedokteran forensik, toksikologi forensik, odontologi forensik, psikiatri forensik, entomologi forensik, antrofologi forensik, balistik forensik, fotografi forensik, dan serologi / biologi molekuler forensik. Biologi molekuler forensik lebih dikenal dengan DNAforensic.

Sejarah Forensik Tercatat pertama kali pada abad ke 19 di Perancis Josep Bonaventura Orfila pada suatu pengadilan dengan percobaan keracunan pada hewan dan dengan buku toksikologinya dapat meyakinkan hakim, sehingga menghilangkan anggapan bahwa kematian akibat keracunan disebabkan oleh mistik. Sementara itu, Alphonse Bertillon (1853-1914) adalah seorang ilmuwan yang pertamakali secara sistematis meneliti ukuran tubuh manusia sebagai parameter dalam personal indentifikasi. Sampai awal 1900-an metode dari Bertillon sangat ampuh hingga dikenal sebagai bapak identifikasi. Francis Galton (1822-1911) pertama kali meneliti sidik jari dan mengembangkan metode klasifikasi dari sidik jari. Hasil penelitiannya sekarang ini digunakan sebagai metode dasar dalam personal identifikasi. Leone Lattes (1887-1954) seorang profesor di institut kedokteran forensik di Universitas Turin, Itali. Dalam investigasi dan identifikasi bercak darah yang mengering a dried bloodstain, Lattes menggolongkan darah ke dalam 4 klasifikasi, yaitu A, B, AB, dan O. Dasar klasifikasi ini masih kita kenal dan dimanfaatkan secara luas sampai sekarang. Pada perkembangan selanjutnya, pengertian forensik adalah suatu kesatuan dari beberapa ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membuat terang suatu kasus tindak pidana, sehingga penyidikan yang dilakukan oleh polisi berdasarkan kepada Crime Science Investigation. Pada dekade terakhir muncul banyak sekali sub disiplin ilmu yang mendukung forensik diantaranya komputer forensik, psikologi forensik, kedokteran forensik, kimia forensik dan biologi

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

37

Seminar Nasional Biologi 2010

forensik. Di bidang Biologi muncul kajian Ilmu entomologi forensik, toksikologi forensik, botani forensik, mikrobiologi forensik, molekuler forensik, dan masih banyak lagi.

Sejarah Laboratorium Forensik POLRI Perjalanan panjang Laboratorium Forensik POLRI dimulai pada tanggal 15 Januari 1954 dengan dikeluarkan surat Kepala Kepolisian Negara Nomor : 1/VIII/1954, dibentuklah Seksi Interpol dan Seksi Laboratorium, di bawah Dinas Reserse Kriminil. Akan tetapi pada tahun 1960, dengan peraturan Menteri Muda Kepolisian Nomor : 1/PRT/MMK/1960 tanggal 20 Januari 1960, Seksi Laboratorium dipisahkan dari Dinas Reserse Kriminil Markas Besar Polisi Negara dan ditempatkan langsung di bawah Komando dan Pengawasan Menteri Muda Kepolisian dengan nama Laboratorium Departemen Kepolisian. Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1963, dengan Instruksi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian No. Pol : 4/Instruksi/1963 tanggal 25 Januari 1963, dilakukan penggabungan Laboratorium Departemen Kepolisian dengan Direktorat identifikasi menjadi Lembaga Laboratorium dan Identifikasi Departemen Kepolisian. Perubahan kembali terjadi pada tahun 1964, dilakukan pemisahan kembali Direktorat Identifikasi dengan Laboratorium Kriminal dengan Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian No. Pol :

11/SK/MK/1964 tanggal 14 Pebruari 1964. Pada tahun 1970, Laboratorium Kriminal yang berada langsung dibawah Kepala Kepolisian Negara dikembalikan di bawah Komando Utama Pusat Reserse dengan nama Laboratorium Kriminil Koserse dengan Surat Keputusan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Nomor: Skep/A

/385/VIII/1970. Pada tahun 1992 terjadi perubahan nama dari Laboratorium Kriminal menjadi Laboratorium Forensik berdasarkan Surat Keputusan Pangab No. Kep/11/X/1992, tanggal 5 Oktober 1992. Dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/53/X/2002 terjadi perubahan nama dari Korserse menjadi Bareskrim maka sampai sekarang Puslabfor berkedudukan di bawah Bareskrim Polri atau menjadi Puslabfor

38

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

Seminar Nasional Biologi 2010

Bareskrim Polri, dan sampai saat ini Puslabfor telah mempunyai 6 Labforcab yang tersebar di seluruh Indonesia. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Laboratorium Forensik Cabang Surabaya (didirikan tahun 1957) Laboratorium Forensik Cabang Medan (didirikan tahun 1972) Laboratorium Forensik Cabang Semarang (didirikan tahun 1982) Laboratorium Forensik Cabang Makasar (didirikan tahun 1985) Laboratorium Forensik Cabang Denpasar (didirikan tahun 1999) Laboratorium Forensik Cabang Palembang (didirikan tahun 1999)

Sesuai dengan Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/53/X/2002 pada tiap-tiap laboratorium cabang memiliki empat unit dengan didukung oleh beberapa disiplin ilmu pengetahuan, unit tersebut adalah : 1. 2. 3. 4. Unit Balistik dan Metalurgi Forensik. Unit Dokumen dan Uang Palsu Forensik. Unit Kimia dan Biologi Forensik. Unit Fisika, Instrumen dan Komputer Forensik. Sementara itu berbagai disiplin ilmu yang dibutuhkan untuk memeperkuat pemeriksaan di Laboratorium Forensik POLRI antara lain adalah ilmu Biologi, Kimia, Fisika, Metalurgi, Komputer, Teknik Kimia, Teknik Arsitektur, Teknik Sipil, Teknik Elektro, Farmasi, Analis Kesehatan, Kesehatan Masyarakat.

Peranan Ilmu Biologi dalam bidang Forensik Seperti telah diketahui pada Pasal 184 ayat 1 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah : 1. 2. 3. 4. 5. Keterangan saksi Keterangan ahli Surat Petunjuk Keterangan terdakwa Hal inilah yang menuntuk pemeriksa pada Laboratorium Forensik bekerja, membuat suatu barang bukti, Tempat Kejadian Perkara (TKP), dan petunjuk-

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

39

Seminar Nasional Biologi 2010

petunjuk yang lain dalam suatu kasus tindak pidana untuk berbicara. Setelah dilakukan pemeriksaan secara in situ (di TKP) maupun ex situ (di laboratorium) maka hasil dari pemeriksaan tersebut dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (surat) atau bila dianggap perlu maka pemeriksa di Laboratorium Forensik dapat dipanggil di pengadilan sebagai saksi ahli (keterangan ahli). Mengingat pentingnya hal diatas, maka seorang pemeriksa di

Laboratorium Forensik POLRI haruslah memiliki kekuatan ilmu dasar yang kuat, berpandangan holistik terhadap suatu kasus, ketekukan, sifat pantang menyerah, inisiasi yang sempurna dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya ke dalam suatu kasus yang ditanganinya. Hal ini dikarenakan tanggungjawab yang diemban oleh seorang pemeriksa forensik akan dipertanggungjawabkan baik di depan pengadilan dan akan menentukan nasib seseorang (tersangka), apakah dia terlibat tindak pidana ataukah tidak. Kesalahan dalam menentukan metode pemeriksaan yang akan dipakai akan berakibat pada kesalahan kesimpulan yang akan diambil, sebab forensik bekerja pada tataran barang bukti yang dipaksa bicara dan tidak mengandalkan pengakuan dari tersangka. Hal ini juga terjadi pada sarjana-sarjana Biologi yang bekerja di Laboratorium Forensik POLRI. Penguasaan terhadap ilmu yang dimilikinya merupakan sesuatu yang wajib dan harus mengakar dalam tubuhnya. Baik itu ilmu mengenaik biokimia, entomologi, histologi, fisiologi, anatomi, mikrobiologi, toksikologi, ekologi bahkan biologi molekuler. Bila tidak memiliki kemampuan di bidang tersebut seorang biolog yang terjun dalam suatu lingkungan forensik akan sulit sekali menentukan langkah apa yang harus diambil untuk menguak suatu kasus tindak pidana. Ilmu dasar yang dimiliki di lingkungan forensik bak sebilah pisau, ketajamannya sangat diperlukan, akan tetapi apalah arti sebilah pisau yang tajam bila sang pemegang pisau tidak dapat menggunakannya. Banyak contoh kasus yang dapat diselesaikan dengan pendekatan ilmu Biologi, baik itu kasus pembunuhan, penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, toksikologi lingkungan (pencemaran), atau bahkan keracunan.

40

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

Seminar Nasional Biologi 2010

1. Kasus Pembunuhan Romo Wasi, Purworejo Banyak contoh kasus di lingkungan Laboratorium Forensik POLRI yang terpecahkan dengan menggunakan analisis dari ilmu biologi. Salah satu kasus yang ditengani dengan mengedepankan aspek biologi adalah kasus pembunuhan seorang pemuka agama di Purworejo, Romo Wasi, pada tahun 2004. Korban ditemukan pada pukul 06.00 WIB di depan garasi mobil sebuah rumah peristirahatan (ret ret) umat nasrani oleh seorang tukang kebun dan dilaporkan olehnya ke Polres Purworejo. Korban meninggal dunia akibat luka di kepala akibat benda tumpul yang menyebabkan darah keluar dari mulut, mata dan hidung korban. Titik cerah pengungkapan kasus tindak pidana ini diperoleh setelah ditemukannya satu helai daun dari famili Gramineae di tubuh korban (menempel pada lengan kiri korban), padahal di tempat ditemukannya korban tidak ada tumbuhan anggota dari famili Gramineae. Hal ini menggugah penyidik akan locus delicti (tempat terjadinya tindak pidana) dari kasus ini tidak berada ditempat tersebut. Pemeriksaan TKP dikembangkan ke tampat lain dengan petunjuk tumbuhan dari famili Gramineae tersebut. Dari pengembangan TKP ditemukan ada empat tempat yang tumbuh tumbuhan dari famili Gramineae, dari empat tempat tersebut ada satu tempat yang juga ditemukan noda yang diduga darah, menempel pada salah satu daun dari tumbuhan anggota Gramineae. Pengenalan, identifikasi dan penetapan fisiologi noda yang diduga darah yang telah mengering dengan metode Leone Lattes mentukan apakah darah tersebut adalah darah korban. Dari pemeriksaan tersebut didapatkan bahwa noda yang melekat pada daun tumbuhan famili Gramineae tersebut adalah darah korban. Pengembangan TKP tidak berhenti sampai disini, di dekat lokasi ditemukan daun tersebut diidentifikasi bahwa tempat itu adalah kamar dari tukang kebun rumah peristirahatan umat nasrani tersebut. Maka pemeriksaan dengan metode Leone Lattes juga dilakukan di kran air di dalam kamar, baju yang digunakan, jari-jari tangan dan kaki, dan alas kaki tukang kebun tersebut. Hasilnya, ditemukan bahwa darah korban tertransfer ke kran air, ruitsletting celana, sela-sela kuku tangan dan kaki, serta palu milik tukang kebun

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

41

Seminar Nasional Biologi 2010

yang berada di dalam kamar. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya noda darah kering diantara tegel antara daun yang terdapat noda darah (dibelakang rumah ret ret) hingga tempat ditemukannya korban, sehingga dimungkinkan korban diseret dari samping kamar tukang kebun hingga di depan garasi mobil, hal ini dilakukan untuk mengecoh penyidik agar seolah-olah telah terjadi perampokan di rumah ret ret tersebut. Sehingga dengan keyakinan dan dalam waktu kurang dari 12 jam maka penyidik menetapkan tukang kebun tersebut sebagai pelaku pembunuhan terhadap Romo Wasi, padahal tukang kebun itu sendiri yang melaporkan tindak pidana tersebut ke Mapolres Purworejo.

2. Kasus Keracunan di Kecamatan Grabag Magelang Kasus lain adalah kasus toksikologi, keracunan massal di Kecamatan Grabag Kabupaten Purworejo pada pertengahan tahun 2007. Kejadian ini mengakibatkan 10 orang meninggal dunia dalam waktu 3 hari, karena dipandang meresahkan masyarakat maka diturunkanlah tim Laboratorium Forensik POLRI bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Jawa Tengah. Pemeriksaan di TKP yang dilakukan oleh Laboratorium Forensik meliputi vegetasi di (satu-satunya) sumber air di daerah tersebut, sample air, sampel udara, makanan, muntahan, dan autopsi korban yang meninggal dunia. Pemeriksaan vegetasi dengan menggunakan instrument AAS menyimpulkan bahwa tidak ditemukan

akumulasi logam berat pada daerah tersebut. Sampel air diperiksa kualitas dan kuantitasnya, meliputi BOD, COD, logam terlarut, conductivity dan beberapa parameter lainnya. Sementara itu, makanan, muntahan dan analisis lambung korban yang telah meninggal dilakukan untuk mengetahui makanan apa saja yang masuk ke tubuh korban dalam waktu 3 jam terakhir. Data terakhir yang dikumpulkan adalah dari autopsi, dengan membuat preparat histologi untuk organ otak, lambung, hepar, paru-paru dan ginjal untuk korban yang telah meninggal. Dari semua data tersebut diperoleh kesimpulan bahwa kematian yang terjadi diakibatkan oleh Pseudomonas sp. dan insektisida secara bersamaan. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya kelainan pada pemeriksaan histologi dari hepar,

42

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

Seminar Nasional Biologi 2010

otak dan paru-paru. Selain itu pemeriksaan sampel air juga ditemukan adanya insektisida dalam jumlah diluar ambang batas dan di sampel makanan dan muntahan (analisis lambung korban dengan metode biokimia-mikrobiologi) juga ditemukan Pseudomonas sp.

3. Kasus Kasus Lingkungan Untuk kasus ekologi, pemeriksaan limbah seringkali dilakukan

Laboratorium Forensik POLRI untuk beberapa perusahaan. Bersama instansi terkait Laboratorium Forensik POLRI mengambil sampel di inlet, outlet, upstream dan downstream. Penentuan titik sampel harus benar2 dimengerti sebab sautu ketika upstream suatu perusahan merupakan downstream dari perusahaan lainnya. Pengertian limbah domestik dari suatu perusahaan dan limbah dari proses industri menentukan dimana kita akan menentukan inlet dari perusahaan tersebut. Selain itu pemahaman tentang modul dari AMDAL juga sangat diperlukan di dalam bidang pemeriksaan limbah industri. Pengambilan sampel ini dilanjutkan dengan pemeriksaan di laboratorium meliputi beberapa parameter seperti yang telah ditetapkan oleh UU Lingkungan Hidup maupun PERDA. Masih banyak sekali kasus-kasus yang dipecahkan dengan

mengedepankan analisis dalam aspek Biologi. Saat ini sedang dikembangkan penanda molekuler untuk barang bukti ganja. Hal ini dilakukan untuk menghentikan peredaran gelap ganja yang semakin marak di Indonesia. Dengan pengembangan penanda molekuler ganja maka akan didapatkan beberapa cluster peredaran di Indonesia dan hal ini dapat dijadikan evaluasi terhadap jaringan yang berkembang. Beberapa aspek yang saat ini menjadi trend di dunia forensik adalah mikrobiologi forensik, entomologi forensik, botani forensik dan ekologi forensik. Dari contoh-contoh diatas menunjukkan bahwa ilmu Biologi sangat diperlukan guna mendukung dalam proses pengungkapan suatu kasus tindak pidana dengan menggunakan dasar Crime Science Investigation. Kemampuan dalam mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah merupakan syarat mutlak untuk menjadi seorang perwira pemeriksa forensik, sebab seorang perwira pemeriksa forensik nantinya dituntut untuk dapat menentukan arah pemeriksaan

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

43

Seminar Nasional Biologi 2010

yang akan dilakukan guna membuat terang suatu tindak pidana dalam waktu secepat-cepatnya. Penentuan arah pemeriksaan tersebut meliputi dari metode yang akan digunakan, analisis dan evaluasi terhadap hasil yang akan diperoleh dari metode tersebut, hingga kepada penentuan tersangka, waktu, dan tempat kejadian suatu tindak pidana itu terjadi. Setelah hal tersebut ditentukan oleh perwira pemeriksa forensik maka penyidik di kewilayahan akan melanjutkan kepada tingkatan pemberkasan selanjutnya diajukan ke pengadilan. Dalam rangka meningkatkan mutu laboratorium, maka Laboratorium Forensik POLRI terus melakukan pembenahan meliputi peningkatan sumber daya manusia, peningkatan teknis pemeriksaan di laboratorium (meliputi pengadaan instrument terbaru, pengembangan metode pemeriksaan dan refresh teknis dan teknik pemeriksaan kepada anggota) dan melakukan kerjasama dengan instansi terkait. Peningkatan sumber daya manusia meliputi rekruitment anggota melalui jalur Perwira Polri Sumber Sarjana (PPSS) dan atau pengembangan keilmuan pada anggota yang telah ada melalui kerjasama dengan Sekolah Pasca Sarjana di beberapa Universitas di Indonesia maupun di luar negeri. Karena penguasaan kemampuan ilmu dasar bagi perkembangan teknik dan teknis penyidikan berdasarkan metode Crime Science Investigation sangat mutlak diperlukan di lingkungan forensik pada umumnya dan Laboratorium Forensik POLRI (Labfor POLRI) pada khususnya.

44

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

Anda mungkin juga menyukai