Anda di halaman 1dari 287

1

Opgedragen aan ... onze broeders en zusters in Indonesi en waar dan ook ... en in het bijzonder aan onze dochterjes: Jasmijn en Hannah die in Den Haag werden geboren.

ii

INDOCASE Press s-Gravenhage - Nederland Juli 2007


NBN 1184674216843 Koninklijke Bibliotheek Nederland

SEKAPUR SIRIH

emasuki abad ke-21 ini, persepsi bahwa Eropa adalah Dunia Lama (oude wereld) dan Amerika sebagai Dunia Baru (nieuwe wereld) mulai bergeser. Transformasi pemahaman tersebut terjadi sejalan dengan memudarnya dominasi dan hegemoni tunggal Amerika Serikat (AS) di arena internasional. Pergeseran hegemoni tadi adalah sebuah keniscayaan karena setiap peradaban manusia akan memposisikan dirinya pada noktah atau di puncak pilar sejarah jika peradaban tersebut memenuhi syarat-syarat untuk menjadi bintang zaman. Setiap peradaban mengenal pasang dan surut sehingga yang terjadi adalah pergiliran. Dengan demikian, secara umum fakta historis dan arkeologis memperlihatkan bahwa tidak ada keabadian dari sebuah peradaban, dari zaman yang sangat kuno hingga hari ini dan di masa depan, meskipun pada tataran genetis, sosiologis dan antropologis, serta teknologis secara umum terjadi kesinambungan antara suatu peradaban ke peradaban yang lain. Disamping itu tidak sedikit pula peradaban yang sudah punah atau musnah. Di zaman modern dan konteks tata dunia global pakem pergiliran tersebut tidak bisa diabaikan. Melalui prisma analisis level-ketiga dalam kajian politik internasional yaitu siklus perang dan damai dalam sistem global, dikenal long-cycle theory (George Modelski 1987)1 di mana terjadi pergiliran naik-turunnya kekuatan hegemoni dunia yang biasanya interval masa damai dan peralihan hegemoni dipisahkan dengan perang besar atau kekacauan (chaos). Perang dan damai; jatuh dan bangkitnya kekuatan dominan ini sesuai dengan hipotesis lelah berperang (war weariness hypothesis) bahwa negara yang telah lelah berperang akan kehabisan tenaga dan kehilangan semangat sehingga mencegahnya untuk terus berperang meskipun fenomena itu bersifat sementara karena begitu kekuatannya pulih

iii

Modelski, George. (1987) The Study of Long Cycles, 1-15 dalam George Modelski (ed.), Exploring Long Cycles. Boulder, Colorado: Lynne Rienner.

iv

negara tersebut cenderung terlibat kembali dalam peperangan. 2 Bahkan menurut sejarawan Italia, Luigi de Porto (1485-1529) bahwa perdamaian membawa kemakmuran; kemakmuran membangkitkan kebanggaan dan kesombongan; kedua faktor ini membangkitkan nafsu amarah; amarah menimbulkan perang; perang menyebabkan kemiskinan; kemiskinan akan membangun kemanusiaan; kemanusian akan mengembalikan perdamaian, kemudian proses ini mulai lagi dari awal. Menurut Modelski, sejak 1494-2000 siklus hegemoni di atas pernah diduduki oleh Portugis, Belanda, Inggris selama 2 abad berturutturut, kemudian AS pasca PD II.3 Karena siklus ini diyakini berganti setiap 100 tahun, maka masa surut itu akan berlaku pula terhadap hegemoni AS. Ini bukan sekedar pernyataan profetik tetapi didukung fakta historis dan kekinian. Meskipun di awal abad ke-21 AS masih sebagai adidaya ekonomi dunia, tetapi peran tersebut telah mengalami penurunan yang relatif signifikan.4 Tahun 1947 AS menguasai 50% produk dunia, tahun 1990-an menjadi kurang dari 20%. Kedua, AS di tahun 1980-an menjadi negara kreditor terbesar dunia, tetapi tahun 1990-an menjadi negara pengutang terbesar di dunia. Ketiga, meningkatnya piutang eksternal yaitu perbedaan nilai investasi AS di luar dan dalam negeri. Tahun 1999 nilainya mencapai U$1,24 trilyun. Keempat, meroketnya defisit perdagangan. Awal tahun 2000 defisit ini berjumlah US$271,3 milyar; tahun 2004 menjadi US$617,7 (CNN, 10/2/05). Kelima, savings rate-nya rendah dan kecilnya investasi di sektor pendidikan yang berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan struktur ekonomi dunia.

2 3 4

Lebih lanjut, lihat: Geoffrey Blainey (1988) The Causes of War, 3rd ed., New York: Free Press. Hanya saja, teori yang dikembangkan Modelski itu tidak mencakup periode sebelum 1494 sehingga tidak mencakup hegemon lain yang berkuasa sebelum periode tersebut. Lihat: C.W. Kegley Jr dan E.R. Wittkopf (2001) World Politics. Trends and Transformation. New York: Bedford/St. Martins.

Apalagi, sebagaimana diungkapkan komentator Newsweek, Fareed Zakaria, Untuk memulai re-orientasi strategi luar negerinya, pemerintah baru AS hasil pilpres 2008terlepas apakah berasal dari Demokrat atau Republikharus dimulai dari Irak. Jika AS tidak berhasil beranjak dari Irak, maka Washington tidak memiliki waktu, tenaga, sumber daya politik untuk mampu mendikte dan mengimplementasikan kebijakan internasionalnya padahal siapa pun tahu bahwa kebijakan AS di Irak telah gagal.5 Dalam perspektif realpolitik, jika terdapat penurunan sebuah hegemoni maka dipastikan ada hegemoni yang naik. Jika AS mengalami penurunan, maka Cina, India dan Uni-Eropa (EU) merupakan kekuatan yang bintangnya mulai cemerlang dalam world order dan sistem internasional yang semakin multipolar.6 Dalam konteks inilah, kita mesti melihat Eropa sekarang bukan lagi oude wereld yang terkebelakang, tetapi Eropa dengan maknanya yang baru sekaligus sebagai salah satu kekuatan dan aktor internasional alternatif yang juga sangat strategis bagi aspirasi politik luar negeri Indonesia. Dalam konteks hubungan antar-regional, pertanyaan selanjutnya adalah sejauhmana Eropa dikenal publik Indonesia. Kita tidak menyangkal bahwa banyak perwakilan dan multinasional dari negaranegara Eropa di Jakarta, serta sudah terdapat pusat-pusat studi dan riset tentang Eropa dan banyak alumni dari perguruan tinggi Eropa yang telah kembali ke tanah air. Tetapi kalau diukur dengan parameter bahwa Eropa telah dikenal oleh orang Indonesia setara dengan kenalnya mereka terhadap AS atau Jepang, misalnya, maka bisa dis-

5 6

Lebih lanjut, lihat: Fareed Zakaria (11/6/07) Beyond Bush, Newsweek. Per 1 Januari 2007, Bulgaria dan Romania secara resmi juga diterima bergabung sehingga anggota EU menjadi 27 negara. Belanda, Belgia, Italia, Jerman (Barat), Luxemburg dan Prancis (keenam negara ini bergabung dalam Masyarakat Batubara dan Baja Eropa 23 Juli 1952 dan Masyarakat Ekonomi Eropa 1 Januari 1958), Denmark, Inggris dan Irlandia (ketiga negara ini bergabung ke dalam Masyarakat Eropa 1 Januari 1973), Yunani (1 Januari 1981), Portugal dan Spanyol (1 Januari 1986), Austria, Finlandia dan Swedia (1 Januari 1995), Estonia, Hungaria, Latvia, Luthuania, Malta, Polandia, Republika Ceko, Siprus, Slovakia dan Slovenia (kesepuluh negara ini bergabung 1 Mei 2004).

vi

impulkan bahwa visibilitas7 publik terhadap EU di Indonesia relatif masih rendah. Untuk membantu memperjelas visibilitas EU di Tanah Air itu maka pasokan informasi yang relevan dengan berbagai perkembangan kawasan tersebut perlu dilipatgandakan. Penyusunan buku ini, disamping merupakan upaya dokumentasi refleksi kami terhadap perkembangan yang terjadi dari masa ke masa berupa pengkoleksian sebagian hasil karya Indonesian Centre for Actual Information and Studies on Europe (INDOCASE) yang berupa capita selecta hingga pertengahan 20078 , untuk memperkaya wawasan tentang Eropa sekaligus sebagai usaha mempertajam visibilitas terhadap Eropa berupa publikasi dan penyebaran informasi. Buku ini berisi 54 tulisan yang merupakan analisis dan refleksi dari berbagai isu dan perkembangan kontemporer di Eropa. Aspek yang diulas mencakup sisi-sisi sosial, historis, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan dengan tingkat ketajaman analisis yang bervariasi, dari yang ringan hingga yang serius, serta menggunakan medium Bahasa Indonesia, dan beberapa dalam Bahasa Inggris dan Belanda. Namun, penyusunan tulisan tidak berdasarkan kategori bidang-bidang tadi, tetapi secara kronologis. Pendekatan yang digunakan dalam tinjauannya pun bersifat lintas disiplin. Disamping itu, tinjauan itu tidak secara keseluruhan merupakan analisis dan ulasan terhadap Eropa an sich tetapidalam beberapa tulisan menyangkut pula implikasi perkembangan yang terjadi bagi Indonesia dan dunia internasional. Sebagian tulisan dalam buku ini telah pernah diterbitkan baik dalam media cetak maupun elektronik. Buku ini mencakup periode 2001-2007 merekam sebagian peristiwa penting yang terjadi sewaktu kami bermukim di beberapa kota di Zuid-Holland, salah satu dari 12 provinsi yang dimiliki Belanda. Kami sengaja menggunakan format penulisan yang populer untuk menjangkau spektrum pembaca yang lebih luas sebagai salah satu
7 8

Salah satunya bisa dibaca lebih lanjut: Gunaryadi (2005) European Union Visibility in Indonesia, Asia Europe Journal, Vol. 3, No. 1/Maret 2005. Meskipun INDOCASE dideklarasikan 10 September 2005, namun gagasan dan inspirasi tersebut sudah dimulai dikembangkan sejak 2001.

pendekatan agar Eropa bisa dikenal lebih dekat di Indonesia. Ini adalah upaya mengubah pepatah: Uit het oog, uit het hart, menjadi Dekat di mata, dekat di hati. s-Gravenhage, zomer 2007

vii

DAFTAR ISI
Sekapur Sirih.....................................................................................................................iii Daftar Isi ........................................................................................................................ viii 1. Media di Belanda ............................................................................................................. 1 Gunaryadi, 10 Juni 2001 ................................................................................................. 1 Media Cetak .............................................................................................................. 1 Media Audiovisual ...................................................................................................3 2. Dilema Imam Masjid dan Peran Media di Belanda ...................................................5 Gunaryadi, 14 Juni 2001 .................................................................................................5 Islam di Belanda ......................................................................................................11 Minim Komunikasi dan Pengenalan Medan ...................................................... 12 Eksploitasi Isu Islam oleh Media ......................................................................... 15 3. Yang Menanam Angin akan Menuai Badai .............................................................. 17 Gunaryadi, 29 Juni 2001 ............................................................................................... 17 Diculik atau Diserahkan? ...................................................................................... 18 Orang Kuat yang Kalah ....................................................................................... 19 4. Koran Belanda Sehari Setelah Gus Dur Lengser ...................................................... 22 Gunaryadi, 24 Juli 2001 ................................................................................................ 22 5. Tenaga Asing ke Eropa Barat? ....................................................................................30 Gunaryadi, 1 Agustus 2001 ..........................................................................................30 viii Kegusaran Eropa Barat........................................................................................... 32 6. Anti-Globalisasi atau Protes terhadap Ketidakadilan? ............................................34 Gunaryadi, 26 Agustus 2001........................................................................................34 Muatan Protes Mereka........................................................................................... 35 Dunia yang Timpang .............................................................................................38 7. Pemilu 2002: Belanda Bergeser ke Kanan? ................................................................ 40 Gunaryadi, 15 Mei 2002 .............................................................................................. 40 Wabah Pengunduran Diri .................................................................................... 42 Kemungkinan Koalisi ............................................................................................43 Beberapa Catatan ....................................................................................................45 8. Pemilu Jerman, 22 September 2002: Hasil dan Implikasinya ................................. 46 Gunaryadi, 2 Oktober 2002 ........................................................................................ 46 Kondisi Geografis dan Penduduk Jerman .......................................................... 46 Sejarah Ringkas...................................................................................................... 47 Sistem Pemerintahan ............................................................................................ 48 Sistem Elektoral..................................................................................................... 49 Partai Politik ...........................................................................................................50 Isu Kontroversial dan Bencana Banjir ................................................................. 51 Koalisi Merah-Hijau Jilid II ..................................................................................54 Beberapa Implikasi ................................................................................................. 55 9. Perluasan Eropa: Konsekuensinya terhadap Hubungan EU-Indonesia ................56 Gunaryadi, 8 April 2003 ..............................................................................................56

10. Runtuhnya Mitos Konglomerasi Kapitalis ............................................................. 60 Gunaryadi, 9 Mei 2003 ............................................................................................... 60 11. Revisiting President Mega Go-East Trip .............................................................. 66 Gunaryadi, 31 Mei 2003 .............................................................................................. 66 12 . Aboutaleb sebagai Wethouder? .................................................................................. 71 Gunaryadi, 2 September 2004..................................................................................... 71 Siapa Ahmed Aboutaleb? ......................................................................................72 Mengapa Aboutaleb? ..............................................................................................72 13. Presiden Baru dan EU ................................................................................................ 74 Gunaryadi, 8 Oktober 2004 ....................................................................................... 74 14. Dinamika, Konstelasi Elektoral, dan Masa Depan Integrasi Eropa .................... 78 Gunaryadi, Joko Yochanan, dan Dessy Nataliani, 25 November 2004................ 78 Pergeseran Preferensi Elektoral dalam Pemilu Nasional ................................. 78 Korelasi Pemilu Nasional dan Parlemen Eropa (EP) ....................................... 82 Implikasi terhadap Defisit Demokasi EU .......................................................... 84 Implikasi terhadap Masa Depan Eropa............................................................... 90 15. Disclosing Munirs Bump-off: An Acid Test to Indonesia-Netherlands Interplays ........................................................................................................................... 93 Gunaryadi and Dessy Nataliani, 2 Desember 2004 ................................................. 93 Prologue ................................................................................................................... 93 Munir as a Human Rights Activist ..................................................................... 94 Expected Disclosing Possibilities .........................................................................95 Implications to Indonesia-the Netherlands Relations ...................................... 96 Epilogue .................................................................................................................. 98 16. Predicting the Implications of Erasmus Programme and Bologna Process on Dutch Higher Education System .................................................................................. 99 Gunaryadi and Dessy Nataliani, 14 Mei 2005 ......................................................... 99 Socrates Action Programme ................................................................................101 The dynamics of Erasmus Programme ............................................................. 103 The Bologna Process ............................................................................................ 108 Implications of Erasmus Programme ................................................................ 109 Implications of the Bologna Process ...................................................................110 Conclusion.............................................................................................................. 112 17. De Pasar Malam Besar, Den Haag .........................................................................114 Gunaryadi, 7 Juni 2005 ...............................................................................................114 18. Damai untuk Aceh dan Peran EU ........................................................................... 117 Gunaryadi, 25 September 2005 .................................................................................. 117 19. Pemilu Jerman 2005 dan Hubungan Berlin-Jakarta ............................................... 121 Gunaryadi dan Dessy Nataliani, 8 Oktober 2005 ................................................... 121 Pemilu tanpa Pemenang ..................................................................................... 121 Implikasi terhadap Hubungan Jerman-Indonesia .............................................123 20. Bersepeda, Belajar dari Belanda ...............................................................................125 Gunaryadi, 18 Oktober 2005 ......................................................................................125

ix

21. Implikasi Pemilu Legislatif Polandia terhadap Hubungan Warsawa-Jakarta... 127 Gunaryadi dan Dessy Nataliani, 24 Oktober 2005 ................................................ 127 Pengaruh Pemilu terhadap Kebijakan Luar Negeri .......................................... 127 Sistem Pemilu di Polandia .................................................................................. 128 Partai Politik di Polandia ..................................................................................... 129 Performa dalam Pemilu ....................................................................................... 130 Beberapa Implikasi ................................................................................................ 131 Kesimpulan ............................................................................................................ 136 21. Megalomania (Resonansi terhadap Tajuk Rencana Harian Padang Ekspres) ... 137 Gunaryadi, 31 Oktober 2005 ...................................................................................... 137 23. Kerusuhan Prancis dan Eksesnya............................................................................ 140 Gunaryadi, 10 November 2005 ................................................................................. 140 Tiga perspektif .......................................................................................................141 Kegagalan elit ........................................................................................................ 143 24. Militer AS Kelebihan Beban ................................................................................... 144 Gunaryadi, 12 November 2005 .................................................................................. 144 25. Kerusuhan dan Pilpres Prancis 2007 ....................................................................... 147 Gunaryadi, 15 November 2005 .................................................................................. 147 Perspektif Politik: Pilpres Prancis 2007 ............................................................. 148 Bandul Elektorat Eropa ke Kanan ...................................................................... 149 26. Penyimpangan Dana Bantuan untuk Kosovo, dan Kita ....................................... 151 Gunaryadi, 16 November 2005 .................................................................................. 151 27. Turki, Black Sea Pipeline, dan Eropa......................................................................... 153 Gunaryadi, 19 November 2005 .................................................................................. 153 Pipa-gas Blue Stream ............................................................................................ 153 Implikasi terhadap Turki..................................................................................... 154 Pesan kepada Brussel............................................................................................. 155 28. Kanselir Merkel dan Poros Franco-Jerman ........................................................... 156 Gunaryadi, 25 November 2005 ................................................................................. 156 Poros Franco-Jerman dan Integrasi Eropa ........................................................ 157 Implikasi terhadap Poros Franco-Jerman .......................................................... 159 29. Belanda: Bersahabat dan Melawan Air .................................................................. 160 Gunaryadi, 25 Desember 2005 .................................................................................. 160 30. Implikasi Musibah di Buncefield ............................................................................ 162 Gunaryadi, 31 Desember 2005 ................................................................................... 162 Beberapa Perspektif .............................................................................................. 163 Kemungkinan Penyebab ...................................................................................... 165 31. Bukittinggi Summit: Poros Franco-Jerman ASEAN?.............................................. 166 Gunaryadi, 13 Januari 2006 ....................................................................................... 166 Poros Franco-Jerman dan Integrasi Eropa ........................................................ 166 Poros Dinamisator dalam Integrasi ASEAN ................................................... 167 32. ASEAN Charter dan Konstitusi Eropa.................................................................... 169 Gunaryadi, 14 Januari 2006 ....................................................................................... 169

Perspektif Genealogis .......................................................................................... 170 Aspek Kandungan ................................................................................................. 171 Implikasi terhadap Integrasi Regional ................................................................ 171 33. Prognosis Pemilu Legislatif Daerah Den Haag 2006 ............................................ 173 Gunaryadi, 4 Maret 2006 .......................................................................................... 173 Pendahuluan .......................................................................................................... 173 Hasil Pemilu Daerah 2002 ................................................................................... 174 Pemilu Daerah Den Haag 2006 ........................................................................... 175 Program dan Kebijakan 2006-2010 ...................................................................... 175 Prognosis Hasil Pemilu ....................................................................................... 176 Catatan Umum: Memilih, Dipilih, dan Yang Mana? ..................................... 178 34. Dimensi dan Pendekatan-Solusi terhadap Kontroversi Kartun Jyllands-Posten 179 Gunaryadi, 6 Maret 2006 .......................................................................................... 179 Problematika Multidimensi ................................................................................ 179 Pendekatan-Solusi .................................................................................................181 35. Catatan Kematian Penjagal dari Balkan dan Integrasi Eropa ........................... 183 Gunaryadi, 21 Maret 2006 ......................................................................................... 183 Implikasi Legal...................................................................................................... 183 Bekas Yugoslavia dalam Konteks Integrasi Eropa ........................................... 184 36. Sepatu Kayu Khas Nederland ................................................................................. 185 Gunaryadi, 28 April 2006 .......................................................................................... 185 37. Balancing game for RI over Irans nuclear program? ........................................... 187 Gunaryadi, 16 Mei 2006............................................................................................. 187 38. Mengapa Indonesia Mendukung Proliferasi Nuklir Iran? .................................. 189 Gunaryadi, 24 Mei 2006 ............................................................................................ 189 39. Indonesia in mounting economic ties with the Netherlands .............................. 193 Gunaryadi, 6 Juni 2006.............................................................................................. 193 40. Proliferasi Nuklir Iran dan Realpolitik ................................................................... 195 Gunaryadi, 31 Mei 2006 ............................................................................................. 195 41. Indonesi in sterkere positie?................................................................................... 199 Gunaryadi, 7 Juni 2006 .............................................................................................. 199 42. Jatuhnya Pemerintahan: Kasus Belanda dan Kita ................................................ 202 Gunaryadi, 14 Juli 2006 ............................................................................................. 202 43. Korvet Canggih, Kekuatan Laut Indonesia dan Geopolitik Regional ............... 208 Gunaryadi, 17 September 2006 ................................................................................ 208 Memprihatinkan: Kekuatan Laut Kita...............................................................209 Geopolitik Regional..............................................................................................209 44. Is Indonesias naval build-up a regional threat? ................................................... 210 Gunaryadi, 24 September 2006................................................................................. 210 45. Indonesia-EU Higher Education Partnership: Opportunities and Impediments ............................................................................................................................................213 Gunaryadi, 25 Oktober 2006 ......................................................................................213 Contexts and cooperation opportunities ........................................................... 214

xi

xii

Sources of impediments........................................................................................215 Some suggestions.................................................................................................. 216 46. Menyigi Isu Korupsi di Belanda ............................................................................. 218 Gunaryadi, 28 Oktober 2006 ..................................................................................... 218 Praktek dan Kasus Korupsi di Belanda .............................................................. 219 Membabat Gaya Belanda..................................................................................... 221 47. Integrasi Kebijakan Luar Negeri EU: Inspirasi bagi Indonesia dan ASEAN .. 222 Gunaryadi, 4 November 2006 .................................................................................. 222 Prolog ..................................................................................................................... 222 Evolusi menuju Kebijakan Luar Negeri Bersama ............................................. 223 Masa Depan CFSP dan Konstitusi Eropa ......................................................... 230 Epilog: Piagam ASEAN dan Pelajaran dari CFSP............................................231 48. Memutus Rantai Kekerasan Antar Pelajar (Membanding Indonesia dan Belanda) ........................................................................................................................... 234 Dessy Nataliani, 10 November 2006........................................................................ 234 Memutus rantai kekerasan, mungkinkah? ........................................................ 235 Apa yang menyebabkan seorang anak melakukan bullying? ........................... 236 National Education Protocol Against Bullying di Belanda .......................... 239 49. Peluang Indonesia dalam Konversi Bachelor-Master di Belanda ....................... 242 Gunaryadi, 31 Desember 2006 .................................................................................. 242 Struktur Ba-Ma di universitas dan hogescholen ............................................... 242 Peluang ................................................................................................................... 243 Optimalisasi ......................................................................................................... 244 50. Perspektif Transatlantik Hasil Pemilu-sela AS .................................................... 245 Gunaryadi, 31 Desember 2006 .................................................................................. 245 Perbedaan Elitis? .................................................................................................. 246 Dimensi demokrasi ..............................................................................................247 51. Quo Vadis Sekolah Indonesia di Luar Negeri? ...................................................... 248 Gunaryadi, 23 Januari 2007 ...................................................................................... 248 52. Kabinet Balkenende IV dan Masa Depan Kerjasama Pendidikan BelandaIndonesia ......................................................................................................................... 252 Gunaryadi, 24 Februari 2007 ..................................................................................... 252 Three levels of assessment .................................................................................. 252 Implikasi terhadap kerjasama pendidikan Belanda-Indonesia ....................... 253 53. Sarkozy atau Royal: Implikasi terhadap Politik Luar Negeri Prancis dan Indonesia ......................................................................................................................... 255 Gunaryadi, 26 April 2007 .......................................................................................... 255 Implikasi terhadap politik luar negeri Prancis .................................................. 256 Prancis-Indonesia ................................................................................................. 258 54. Strategi Menghadapi Pelarangan Maskapai RI dari Langit Eropa ..................... 259 Gunaryadi, 12 Juli 2007 .............................................................................................. 259 Tindakan Kuratif ................................................................................................. 260 Strategi Preventif ................................................................................................. 262

Indonesian Centre for Actual Information and Studies on Europe (INDOCASE) Selayang Pandang .......................................................................................................... 264 Rasional................................................................................................................. 264 Visi .........................................................................................................................269 Misi ........................................................................................................................269 Ruang Lingkup Aktivitas ....................................................................................270 Kontak ....................................................................................................................270

xiii

xiv

1. MEDIA DI BELANDA
Gunaryadi, 10 Juni 2001
Media Cetak

oran nasional Belanda menyerap 45% dari pasar media dengan total oplah per hari mencapai 2.080.000 eksemplar. Ada delapan koran nasional, semuanya berhalaman besar, tidak termasuk harian khusus seperti Financieel Dagblad (koran bisnis dan keuangan) dan Agrarisch Dagblad (untuk sektor pertanian). Dari delapan harian tersebut, ada dua harian Protestan-orthodoks (dengan tiras 58.000 dan 31.000) yang sepenuhnya tergantung pada sistem-langganan. Enam koran lainnya yang tirasnya mencapai 2.023.000 adalah De Telegraaf (850.000), Algemeen Dagblad (395.000), de Volkskrant (350.000), NRC Handelsblad (270.000), Trouw (112.000) and Het Parool (90.000). Empat yang disebutkan terakhir dinilai sebagai koran harian yang berkelas; sedangkan De Telegraaf dan Algemeen Dagblad dapat dikatakan berkualitas menengah, meskipun keduanya tidak bisa dikatakan harian yang sensasional. Tahun 1997 Het Parool mengubah orientasi editorialnya dan lebih berfokus pada wilayah metropolitan Amsterdam. Tetapi harian ini masih dianggap sebagai harian nasional karena pelanggan dan pembelinya berdomisili di berbagai kota di Belanda. Het Parool, NRC Handelsblad dan salah satu harian Protestan merupakan koran sore; selebihnya terbit pagi. Di Belanda belum pernah ada harian atau tabloid terbitan Minggu. Beberapa harian menyertakan suplemen mingguan yang diterbitkan dalam format tabloid yang biasa diedarkan pada hari Sabtu. Hingga akhir tahun 1960-an harian nasional Belanda terbagi menurut struktur sosial masyarakat Belanda yang berdasarkan pilar (verzuiling). Struktur ini bisa dirunut hingga akhir abad ke-19 yang merupakan diferensiasi sosial masyarakat berdasarkan keyakinan agama dan atau politik. Ini berarti bahwa koran-koran baik secara resmi ataupun tidak resmi berhubungan dengan salah satu dari empat pilar masyarakat (Katolik, Protestan, Sosialis, atau Liberal).

Dalam konteks ini, koran merupakan media untuk menyebarkan paham partai atau agama. Sejalan dengan proses de-pilarisasi pada akhir tahun 1960-an, ikatan antara koran-koran nasional dengan partai-partai politik dan gereja bisa dikatakan terputus. Sejak akhir tahun 1970-an sebagian besar koran memiliki Statuta Editorial, di mana data seperti identitas koran, aspek komersial, dana, serta kebebasan editorial dicantumkan dan dijamin. Disamping koran nasional terdapat pula koran regional. Tiras keseluruhan koran regional ini hampir mencapai 2.600.000 eksemplar per hari. Koran regional terbesar adalah Dagblad de Limburger dan De Gelderlander (keduanya bertiras 90.000), yang paling kecil adalah Goudsche Courant yang bertiras 16.000. Beberapa koran memiliki tambahan yang berupa koran juga, di mana hanya halaman depannya yang berbeda. Rasio koran regional yang terbit pagi dan sore adalah 50:50. Ada trend yang cukup menarik dalam perkembangan media cetak di Belanda, yaitu semakin berkurangnya pembaca yang tidak berlangganan koran nasional. Sirkulasi koran Belanda dalam beberapa tahun terakhir termasuk stabil, meskipun semua koran nasional memperlihatkan pertumbuhan yang lamban (secara total 2,8%). Sekitar 19 koran regional memperlihatkan penurunan sirkulasi, yang diantaranya bahkan mencapai 4,7%. Kategori harian yang ketiga adalah koran lokal yang diterbitkan per pekan, dua atau tiga kali per pekan. Terbitan ini biasanya tergantung dari pemasangan iklan yang mereka tawarkan kepada dunia usaha lokal, yang biasanya disirkulasi cuma-cuma dan diantar dari rumah ke rumah (door-to-door). Hingga saat ini koran-koran di Belanda dimiliki oleh empat perusahaan besar, kecuali untuk empat harian kecil independen Protestan. Yang terbesar adalah PCM, yang menguasai 31% pangsa pasar. Kemudian disusul oleh Holdingmij De Telegraaf (25%), VNU Dagbladengroep (18%), Wegener (16%), dan Noordelijke Dagblad Combinatie (7%). Hanya PCM dan Holdingmij De Telegraaf yang menerbitkan korankoran nasional (masing-masing enam dan satu koran). Koran regional memperlihatkan perubahan penting dalam tahun 1999. VNU Dagbladengroep melepas 18% pangsa pasarnya kepada

Holdingmij De Telegraaf (sekarang memegang 24%) dan kepada Wegener, yang sekarang memegang lebih dari separuh koran regional. Perubahan yang lain dalam tahun 1999 adalah hadirnya dua tabloid cuma-cuma, yang biasa dijumpai di stasiun-stasiun, terminal, dan kantor pos, dll. Tabloid tersebut adalah Metro, yang diterbitkan oleh anak-perusahaan Metro dari Swedia, dan tabloid Spits yang merupakan inisiatif dari De Telegraaf. Kedua tabloid ini mengambil beritanya dari kantor berita nasional Belanda (Algemeen Nederlands Persbureau - ANP) dan ditujukan terutama untuk yang berangkat kerja pagi dan sore. Disamping itu ada lebih dari 200 majalah yang terbit di Belanda. Majalah pembentuk opini yang terkemuka adalah Elsevier (133.000 eksemplar), Vrij Nederland (67.000), HP/De Tijd (41.000), De Groene Amsterdammer (17.500) dan Hervormd Nederland (14.000), yang semuanya memiliki spektrum politik tengah-kanan. Satu-satunya tabloid jurnalistik di Belanda, dan dapat dikatakan masih berkarakter lunak, bisa ditemukan pada beberapa mingguan gosip dan majalah show business seperti Story dan Priv.
Media Audiovisual

Sistem penyiaran di Belanda juga merupakan salah satu dari segelintir warisan pilarisasi. Asosiasi penyiaran dari keempat pilar bisa ditemukan dalam abad ke-20, di mana sebuah perusahaan penyiaran nasional yang netral yang berperan melakukan pengawasan (dan diberikan jadwal untuk menyiarkan programnya sendiri). Alokasi waktu tayang masing-masing asosiasi ditentukan oleh jumlah anggota yang membayar iuran, pertama terhadap radio (disahkan dengan undang-undang tahun 1930) dan kemudian terhadap televisi. Dalam tahun 1950-an terdapat dua saluran radio dan satu saluran televisi. Saluran radio ketiga ditambahkan tahun 1965, keempat dan kelima tahun 1975 dan 1985. Saluran televisi kedua ditambahkan tahun 1964 dan yang ketiga tahun 1988. Semua asosiasi awal ini seperti Vereniging van Arbeidersradioamateurs (VARA), Algemene Vereniging Radio-omroep (AVRO), Nederlandse Christelijke Radiovereniging (NCRV), Vrijzinnigprotestantse Radioomroep (VPRO), dan Katholieke Radio-omroep (KRO)

masih eksis. Tahun 1969 peluang juga diberikan kepada asosiasi publik yang baru. Pendatang baru tersebut adalah Evangelische Omroep (EO), sebuah Asosiasi Penginjil (1972), dan Televisie- en Radio-omroep Stichting (TROS) tahun 1969, serta Veronica/VOO (1976). Dua yang disebutkan terakhir merupakan asosiasi netral, yang berasal dari organisasi yang pernah secara ilegal disiarkan dari stasiun radio North Sea dalam tahun 1960-an dan awal 1970-an sampai kemudian mereka dilarang mengudara. Beberapa tahun kemudian beberapa asosiasi kecil bergabung ke dalam spektrum ini. Veronica/VOO berhenti dengan sistem publik tahun 1995 dan sekali lagi menjadi perusahaan komersial. Badan pemerintah yang mengontrol sistem publik dan menjadi penasehat pendiriannya adalah Komisi Media (Commissariaat voor de Media). Sistem penyiaran publik dibiayai dari lisensi tahunan yang dibayar oleh pemilik radio dan atau televisi, iuran anggota asosiasi dan iklan (sejak 1967 untuk televisi dan 1968 untuk radio). Programprogram baik yang diproduksi oleh asosiasi sendiri maupun oleh perusahaan produksi independen yang bekerja untuk stasiun komersial. Perusahaan produksi yang terkemuka adalah Endemol, Dits TV, dan IDTV. Program televisi harus memuat persentase jenis-jenis program yang tetap, misalnya untuk program budaya atau program yang diproduksi secara domestik. Sedangkan setiap saluran radio memiliki format yang baku misalnya persentase yang tetap dari musik atau jumlah-kata yang digunakan. Format terakhir diberlakukan tahun 1992. Organisasi penyiaran nasional dibagi ke dalam Nederlandse Programmastichting (NPS) untuk produksi program dan Nederlands Omroepproduktiebedrijf (NOB), sebuah perusahaan produksi, yang juga mengisi pasar radio en televisie (RTV). Perusahaan komersial tidak punya peluang dalam sistem penyiaran publik yang agak kompleks tersebut, meskipun perdebatan terus berlanjut dalam pemerintahan terhadap isu tersebut yang bahkan sempat menjatuhkan dukungan di parlemen tahun 1965. Dalam pertengahan 1980-an mulai masuk saluran stasiun asing melalui satelit dan sistem baru penyiaran yang menggunakan kabel. Televisi kabel dengan input komersial ini cukup berhasil, tetapi pemerintah Belanda tidak mengizinkan stasiun komersial berpangkalan

di Belanda hingga keluar Undang-undang Media yang baru tahun 1998. Radio-Tlvision Luxembourg (RTL) menjadi saluran televisi komersial Belanda yang pertama di akhir tahun 1998 tersebut, begitu pula Sky Radio dan Radio10 untuk saluran radio. Sekarang telah ada tujuh perusahaan penyiaran yang berbahasa Belanda yang punya jangkauan nasional yaitu RTL 4 dan 5, Net 5, Veronica (baru-baru ini diganti Yorin), SBS 6 and Fox 8 dengan program reguler dan saluran musik TMF, dan berbagai stasiun radio komersial. Sebuah saluran khusus untuk olahraga, Sport 7, mengalami kegagalan. Jumlah saluran televisi asing yang tersedia melalui jaringan kabel dalam bidangbidang tertentu tergantung pada kebijakan perusahaan pemberi layanan kabel di daerah setempat. Sementara itu radio komersial mengalami penurunan. Statistik pemirsa radio publik turun dari 90% menjadi 47% antara tahun 1986 dan 1993. Di Belanda terdapat 13 dan lebih dari 375 organisasi penyiaran regional dan lokal. Sejak 1990 penayangan iklan dibolehkan pada stasiun regional dan lokal. Beberapa stasiun lokal menyiarkan berita kabel, berita lokal dan regional yang hanya berupa teks, yang diselingi dengan penayangan iklan.

2. DILEMA IMAM MASJID DAN PERAN MEDIA DI BELANDA


Gunaryadi, 14 Juni 2001

ecara umum di Eropa, isu Islam masih sangat sensitif dan delikatif. Walaupun secara kuantitatif Islam telah menjadi agama kedua terbesar pemeluknya di Eropa Barat setelah Kristen (Katolik dan Protestan), dapat dikatakan bahwa tantangan dalam melaksanakan ajaran Islam di Eropa lebih berat daripada di negeri yang populasinya mayoritas Muslim. Di Belanda, misalnya, bulan April 2001 lalu, lamaran seorang muslimah, Ayse Kebaktepe, untuk menjadi asisten sekretaris (hulp-

griffier) pada Pengadilan Zwolle ditolak, karena dia mengenakan jilbab. Pengadilan Zwolle menganggap jilbab melanggar ketentuan pakaian petugas pengadilan tersebut. Seorang hulpgriffier harus mengenakan toga dan bef (tali toga). Tetapi di Pengadilan Amsterdam 2 orang griffier mengenakan jilbab (Zwolse recthbank wil geen hulpgriffier met hoofddoek, de Volkskrant, 27/4/2001. Kutipan-kutipan berita dalam tulisan ini berasal dari de Volkskrant. Harian ini adalah salah satu dari 7 surat kabar harian nasional Belanda disamping De Telegraaf, Algemeen Dagblad, Trouw, Het Parool, NRC Handelsblad, dan Haagse Courant. Ada pula satu terbitan nasional yang khusus meliput isu-isu ekonomi yaitu terbitan pagi Het Financiele Dagblad). Isu lain yang paling anyar dikaitkan dengan komunitas Muslim di Belanda adalah kasus Khalil El-Moumni, imam Masjid An-Nashr, Rotterdam. Kasus yang mendapat perhatian media massa, politisi dan sebagian publik Belanda ini berawal dari wawancara El-Moumni dengan NOVA (program aktual TV Belanda) yang ditayangkan tanggal 3/5/2001. Dalam wawancara tersebut, El-Moumni diminta pendapatnya tentang persoalan homoseksualitas di Belanda. NOVA mengaitkan pertanyaan itu dengan dugaan meningkatnya aksi kekerasan remaja Maroko Belanda terhadap kaum homo. Dalam wawancara itu, El-Moumni mengeluarkan ungkapan bahwa homoseks bersifat merusak bagi masyarakat. Homoseksualitas tidak hanya berhenti pada orang yang menderita penyakit itu saja, dan jika penyakit ini menyebar, maka ia akan bisa menular pada semua orang (Imam legaliseert geweld tegen homos, 5/5/2001). ElMoumni juga berpendapat bahwa jika penyakit itu menyebar di kalangan anak muda, maka itu bisa mengarah kepada kepunahan. Homoseksual, khususnya dalam masyakarat Belanda akan sangat merusak, apalagi dengan dilegalkannya perkawinan sejenis. Pendapat itu mengundang reaksi keras dari sebagian publik Belanda. Diantaranya dari John Blankenstein, ketua perwasitan Persatuan Sepakbola Kerajaan Belanda (Koninklijke Nederlandse Voetbalbond) yang mengaku homo, dan Blankenstein sudah mengajukan pengaduan kepada Polisi Den Haag, bertepatan dengan De Bevrijdingsdag, 5 Mei 2001, dengan delik pengaduan bahwa ungkapan ElMoumni itu diskriminatif (Scheidsrechter Blankenstein doet aangifte

tegen imam, 8/5/2001). Reaksi juga datang dari Kejaksaan Agung (Openbare Ministerie) di Rotterdam yang segera melakukan penyelidikan atas pendapat imam tersebut, apakah dengan itu El-Moumni bisa diseret ke pengadilan dengan hukum pidana (strafrecht). Bahkan Perdana Menteri Belanda, Wim Kok, tidak ketinggalan berkomentar bahwa pendapat El-Moumni itu sangat gawat dan menusuk (Kok: uitspreken imams kunnen niet in Nederland, 11/5/2001). Menurut Kok, para imam harus menyadari serta memahami normanorma dan hukum yang berlaku di Belanda. Dengan pendapat demikian para imam bisa, dengan atau tanpa maksud, mendorong meningkatnya aksi kekerasan terhadap kaum homo. Bahkan mayoritas anggota fraksi di Parlemen Belanda (Tweede Kamer) dari Partij van de Arbeid (PvdA-Partai Buruh/Sosial Demokrat), Volkspartij voor Vrijheid en Democratie (VVD-Partai Liberal), dan Christendemocratisch Appel (CDA-Partai Kristen Demokrat) berpendapat bahwa para imam seharusnya dicabut izin tinggalnya jika mereka diadili karena mengeluarkan pendapat yang diskriminatif. Ketua fraksi CDA, De Hoop Scheffer, mengatakan bahwa imam yang akan datang ke Belanda harus belajar tentang masyarakat dan bahasa Belanda sebelum diberikan izin tinggal (verblijfsvergunning). Ketua Fraksi VVD, Dijkstal, berpendapat bahwa para imam yang bekerja di Belanda harus mengikuti pendidikan imam di Belanda. Bentuk lain reaksi terhadap kasus ini ialah diadakannya diskusi panel di Laurenskerk, Rotterdam yang mengundang penulis Inggris, Karen Amstrong, ahli politik asal Syiria, Bassam Tibi, dan anggota parlemen PvdA keturunan Turki, Nebahat Albayrak. Dalam diskusi itu, Amstrong mengingatkan kembali bahwa ketakutan pada Islam (islamofobie) di Barat sudah dimulai sejak Perang Salib. Tetapi moderator diskusi tersebut, Michal Zeeman, dengan tidak sabar bertanya, Sampai kapan sebuah masyarakat yang toleran bisa mentolerir intoleransi? (Giftand fundamentalisme groeit dankzij de vrijheid. Debat over tolerantie en islamofobie, 14/5/2001). Diskusi itu sendiri hanya dihadiri oleh segelintir umat Islam Belanda. Atas reaksi yang diluar dugaannya itu, El-Moumni mengajukan permintaan maaf atas ungkapan yang dia gunakan dalam wawancara NOVA tersebut. Dia sama sekali tidak bermaksud untuk melukai

atau menghina masyarakat Belanda (Imam biedt excuses voor uitspraken, 14/5/2001). Tetapi permintaan maaf itu sepertinya sulit diterima pihak tertentu. Majalah mingguan Vrij Nederland, misalnya, mengeluarkan isu baru yaitu El-Moumni dilarang berkhutbah di negerinya, Maroko sejak 1991 oleh Kementerian Agama di sana, karena dianggap bersimpati dengan fundamentalisme. Waktu itu, menurut fitnah Vrij Nederland, El-Moumni menjadi imam Masjid Badr, dekat perbatasan Maroko-Aljazair. Media itu juga menyebutkan bahwa El-Moumni pernah di awal tahun 1990-an menghasut mahasiswa Muslim di Oudja untuk melakukan aksi kekerasan melawan gerakan komunis di sebuah universitas di sana. Vrij Nederland menyebutkan sumber informasi tersebut berasal dari ahli politik dan islamolog Maroko, Mohamed Darif (Rotterdamse imam El-Moumni heeft preekverbod in Maroko, 21/5/2001. Berita yang sama dimuat lagi dalam de Volkskrant keesokan harinya, 22/5/2001, dengan judul Omstreden imam mocht in Marokko niet meer preken). Vrij Nederland juga memuat bahwa dalam bundel ceramahnya yang berbahasa Arab terbitan tahun 1998 di Belanda, El-Moumni mengatakan, De westerse beschaving is een beschaving zonder moraal. In Nederland is het toegestaan dat homos met elkaar trouwen. De Europeanen staan lager dan honden of varkens (Peradaban Barat adalah peradaban tanpa moral. Di Belanda dibolehkan kaum homo menikah sesamanya. Orang-orang Eropa lebih rendah daripada anjing atau babi.) Tetapi tuduhan Vrij Nederland itu dibantah oleh El-Moumni dalam acara dialog antara wakil-wakil ormas Islam dengan Van Boxtel tanggal 23 Mei 2001. Sosiolog Belanda, Herman Vuijsje memuji bahwa reaksi yang keras terhadap El-Moumni sebagai tonggak sejarah dalam keberanian (Reactie op imam is mijlpaal in vrijmoedigheid, 19/5/2001). Tetapi di juga mengkritik bahwa orang Belanda lebih suka ribut tentang apa yang dikatakan orang, bukan terhadap apa yang diperbuat orang itu. Dia juga mengatakan bahwa sah-sah saja kalau Kejaksaan Agung menyeret Imam El-Moumni ke pengadilan, tetapi dia menyayangkan ketika anggota Hells Angels memukul seorang wartawan, tetapi tidak

ada tindakan dari pihak yustisi, meskipun klub motor besar tersebut mengatakan: Frits Barend adalah Yahudi tengik. Kasus ini juga membuat Dinas Intelijen Dalam Negeri Belanda (Binnenlandse Veiligheidsdienst - BVD) mengambil tindakan pemantauan dan pengawasan terhadap beberapa masjid dan organisasi Islam di Belanda dengan alasan bahwa mereka melawan kebijakan integrasi. Demikian yang dikatakan oleh Direktur Dinas Intelijen itu, S. van Hulst (BVD: imams tegen integratie ingezet, 21/5/2001). Tetapi Menteri Kebijakan Metropolitan dan Minoritas (Grote Stedenbeleid en Minderheden), Van Boxtel, masih ingin mencari titik temu. Dia ingin mengadakan dialog dengan para imam yang bekerja di Belanda tentang hukum dan nilai-nilai di negeri itu (Van Boxtel en moslims gaan praten over Nederlandse waarden, 15/5/2001). Dalam dialog tersebut Van Boxtel menyatakan bahwa pendapat El-Moumni tersebut tidak bisa diterima. Meskipun demikian, dia berpendapat bahwa El-Moumni tidak bisa diusir dari Belanda jika dia diadili karena mengeluarkan pendapat yang diskriminatif tentang homoseksualitas (Van Boxtel: Imam kan land niet uitgezet, 22/5/2001). Dalam dialog dengan Van Boxtel itu, wakil-wakil dari organisasi-organisasi Islam menyatakan puas. Menurut Van Boxtel, El-Moumni sekali lagi menyatakan permintaan maafnya atas kesalahpahaman yang tidak terduga dan akibat yang ditimbulkan oleh ungkapannya itu. Dalam pertemuan itu Bourzouk, juru bicara Masjid An-Nashr, menjamin bahwa ungkapan serupa itu tidak akan terjadi lagi di masjid tersebut. Van Boxtel mengatakan, Saat ini Kejaksaan Agung sedang mengkaji apakah pilihan-kata yang digunakan oleh El-Moumni itu bersifat diskriminatif. Saya sebagai pejabat tidak bisa memberikan keterangan lebih lanjut tentang hal itu. Tetapi permintaan salah seorang peserta dialog tersebut agar mencabut pemantauan BVD terhadap masjid dan organisasi Islam tertentu ditolak oleh Van Boxtel dengan alasan bahwa dialog tersebut bukan tentang pengawasan BVD, dan keamanan El-Moumni juga perlu mendapat perhatian karena sejak kasusnya mencuat, dia sudah menerima ancaman serangan secara fisik (Islamitische organisaties tevreden over gesprek met Van Boxtel, 23/5/2001).

10

Dalam konferensi pers setelah dialog yang dihadiri oleh 35 wakil dari ormas Islam itu, tidak seorang pun dari para pemimpin Muslim yang menyerang El-Moumni, walaupun mereka berpendapat bahwa aksi kekerasan terhadap kaum homo tidak bisa diterima dan Islam mengajarkan toleransi dan respek. Sebagian besar mereka mengatakan bahwa ada elemen dari wawancara dengan NOVA itu di mana El-Moumni tidak setuju dengan cara-cara kekerasan melawan homoseksualitas tetapi tidak disiarkan oleh NOVA. Hal itu diakui oleh Direktur Kepala NOVA, Dielessen. Tetapi Dielessen mengulas bahwa itu hanya sedikit saja dibandingkan dengan pendapat ElMoumni yang menyerang homoseksualitas. Tetapi para pemimpin ormas Islam Belanda setelah dialog dengan Van Boxtel menolak bahwa di kalangan mereka terdapat kebencian yang besar terhadap kaum homoseks. Haci Karacaer dari organisasi Islam Turki Milli Grs mengatakan bahwa banyak tokoh terkenal di Turki yang homoseks yang sangat disayangi oleh orang-orang. Penasehat masjid-masjid Maroko, Abdul Al-Hassan, merujuk pada angka-angka resmi tentang diskriminasi terhadap kaum homo. Di Rotterdam, di mana kasus ini berawal, dalam tahun lalu terjadi 21 laporan gangguan terhadap kaum homo, di mana hanya 5 diantaranya yang melibatkan remaja pendatang (allochtonen). Sedangkan di Amsterdam, keadaan lebih jelek, menurut Al-Hassan. Dari 31 laporan, 21 diantaranya melibatkan remaja pendatang. Ini bisa dibandingkan dengan remaja cowok yang mengganggu remaja putri di keretapi atau di kolam renang. Seandainya mereka sering datang ke masjid, niscaya hal itu akan kurang terjadi (Moslims: er is geen grote homohaat, 25/5/2001). Tetapi ada perkembangan baru dimana El-Moumni dalam kasusnya juga mendapat dukungan dari kaum remaja Muslim Belanda. Melalui sebuah website yang dibuat dan dikelola oleh sekelompok remaja Muslim yang sering datang ke Masjid An-Nashr, telah terkumpul 1.100 surat dukungan buat El-Moumni. Mereka juga mengajukan petisi kepada Van Boxtel. Para penyusun petisi itu mengatakan bahwa ungkapan El-Moumni itu diterjemahkan secara harfiah dari bahasa Arab, yang diikuti oleh salah penafsiran. Mereka juga

terkejut dengan citra negatif terhadap diri El-Moumni yang dibangun oleh media massa. Menurut pengalaman mereka El-Moumni selama ini telah berperan sebagai penengah dalam mencari solusi terhadap berbagai persoalan masyarakat. Dan selalu menekankan dalam setiap khutbahnya betapa pentingnya rasa hormat kepada sesama manusia (Ruim 1100 steunbetuigingen voor omstreden imam, 14 /6/2001).
Islam di Belanda

Saat ini ada sekitar 700.000 pemeluk Islam di Belanda. Sebagian besar berasal dari Turki dan Maroko. Selebihnya dari berbagai negara di Afrika, lalu Suriname dan Indonesia, dll. Muslim asal Indonesia sekitar 7.000, dan ada pula sekitar 6.000 Muslim kulit putih (Belanda), yang jumlahnya relatif meningkat dengan pesat. Menurut Ton Crijnen, rata-rata 3-4 bule per minggu yang memilih Islam sebagai agama mereka di Belanda dan Belgia (Veertien portretten van nieuwe Nederlandse en Vlaamse moslims, 1999). Generasi pertama Muslim pendatang di Belanda adalah para mahasiswa Indonesia yang dikirim untuk sekolah di Negeri Belanda di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Disamping itu ada juga pelaut-pelaut Indonesia yang datang ke Belanda. Para mahasiswa itu, walaupun tidak memilih untuk menetap, tetapi mereka datang gelombang demi gelombang, sehingga memungkinkan eksisnya komunitas kecil Muslim di Belanda. Tetapi pasca PD II jumlah mereka semakin kecil ketika sebagian besar mahasiswa itu memutuskan pulang untuk ikut serta dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Sebagian yang tinggal beserta anak-anak mereka yang lahir dan besar di Belanda seakan kehilangan kontak dengan Islam dan komunitas Muslim. Pada masa dekolonisasi, Belanda menerima kedatangan Muslim dari Indonesia, yaitu Muslim Maluku yang merupakan bagian kecil dari anggota Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) yang diangkut ke Belanda tahun 1951 (Muslim Maluku ini mendapat 2 masjid sumbangan dari Pemerintah Belanda: satu di Ridderkerk, satu lagi berlokasi di Naaldwijk.

11

12

Gelombang pendatang Muslim berikutnyayang datang dalam jumlah besaradalah para buruh (gastarbeiders) dari Turki dan Maroko yang didatangkan ke Belanda tahun 1950-an dan 1960-an. Dengan latar belakang sebagai pekerja kasar, intelektualitas dan taraf pendidikan mereka rendah, penguasaan bahasa Belanda minim, disamping pengetahuan dan pemahaman keislaman mereka juga terbatas. Setelah pensiun, sebagian besar dari mereka memutuskan menetap di Belanda. Kemudian banyak diantaranya membawa keluarga (isteri dan anak-anak) mereka untuk menetap di Belanda. Kecenderungan kembali kepada Islam baru muncul pada generasi kedua dan ketiga mereka yang besar dan lahir di Belanda ketika sebagian dari mereka menemukan jawaban terhadap identity crisis dalam masyarakat Belanda yang multikultural. Tingkat intelektualitas dan pengetahuan Islam inilah yang menjadi salah satu faktor pembeda perkembangan komunitas Muslim pendatang di Belanda dari Muslim pendatang di negara Eropa lainnya, seperti di Inggris. Di Inggris, pendatang Muslim yang mayoritas berasal dari Anak Benua India itu adalah kelompok yang cukup berpendidikan dan banyak dari kelas menengah, serta menguasai bahasa Inggris dengan baik. Ini menjadi alasan mengapa Islam sangat pesat perkembangannya di Inggris dan banyak Muslim yang menduduki posisi penting baik dalam pemerintahan maupun profesi. Kemunculan organisasi-organisasi Islam di Belanda adalah konsekuensi logis dari kebutuhan institusionalisasi. Pada umumnya organisasi dan yayasan yang dirikan berdasarkan negeri asal disamping berdasarkan pada pemahaman Islam dan orientasi politik. Biasanya masjid-masjid itu menjadi anggota atau berafiliasi dengan organisasiorganisasi tersebut
Minim Komunikasi dan Pengenalan Medan

Keberadaan para imam masjid di Belanda tidak terlepas dari eksistensi para pemukim Muslim di sana. Walaupun jumlah yang pasti tidak diketahui, tahun 1990 terdapat sekitar 300 buah masjid di Belanda (W.A.R. Shadid dan P.S. van Koningsveld, Moslims in Nederland, 1997).

Beberapa dari masjid itu dulunya adalah gereja atau sinagog. Masjid Muslim Indonesia, Al-Hikmah di Den Haag, sebagai contoh, dulunya adalah bekas gereja yang dibeli dan dijadikan masjid. Pada umumnya masjid di Belanda dikelola oleh yayasan atau asosiasi dengan pengurus harian. Di sini imam masjid bisa diklasifikasikan ke dalam 3 kategori: (1) imam informal, di masjid atau mushalla yang tidak begitu besar; (2) imam profesional; (3) imam profesional yang dikirim oleh negara masing-masing (biasanya dilakukan oleh sebagian masjid Turki dan Maroko). Peranan imam masjid cukup besar. Mereka tidak saja menjadi imam dalam setiap shalat jamaah, khatib dalam Shalat Jumat, Idul Fitri dan Adha, tetapi juga membimbing anak-anak dan remaja belajar membaca Al-Quran dan tentang keislaman (kira-kira serupa dengan kegiatan TPA di Indonesia). Bagi sebagian pendatang, mereka juga dipandang sebagai pemimpin spiritual yang menjadi pengikat dengan negeri asal sekaligus sebagai penjaga nilai-nilai Islam. Dari kasus El-Moumni ini terlihat bahwa komunikasi antara umat Islam, perwakilan ormas Islam dan para imam masjid dengan masyarakat dan pemerintah Belanda mesti ditingkatkan. Walaupun selama ini sudah ada komunikasi, tetapi masih sangat terbatas serta dalam suasana kaku. Melalui peningkatan intensitas dan kualitas komunikasi itu diharapkan perbedaan antara kedua belah pihak bisa dijembatani. Sebagian besar imam masjid di Belanda memperoleh pendidikan di negeri masing-masing. Penguasaan bahasa dan pengetahuan terhadap masyarakat Belanda secara sosiologis, antropologis, hukum, dan historis sangat terbatas. Ini yang sering menjadi penyebab kesalahpahaman (misverstand). Secara substansial, tidak ada yang keliru dalam pendapat ElMoumni tentang homoseksual dalam perspektif Islam. Perbuatan itu sangat dilarang (haram), karena salah satu tanda-tanda kebesaran Allah (SWT) adalah diciptakan-Nya manusia berpasang-pasangan, pria dan wanita, yang saling menggandrungi antara keduanya. Laknat Allah (SWT) kepada kaum homoseks di Negeri Sodom, adalah pelajaran bagi kaum pelanggar batas, yang tidak mematuhi ajakan Nabi

13

14

Luth (AS). Disamping aturan syari itu, homoseks juga dianggap perbuatan yang menyimpang oleh mayoritas umat manusia. Belum lagi eksesnya berupa penyakit kelamin, rusaknya garis keturunan, atau berhentinya fungsi reproduksi. Tetapi mengatakan hal demikian, apalagi ditambah dengan seruan aksi kekerasan terhadap homotuduhan yang dibantah oleh ElMoumnidi Belanda, adalah wajar mendapat reaksi keras dari sebagian publik. Di Belanda, sebagai sebuah negeri liberal dan sekuler, hak-hak individu dilindungi hukum. Belanda adalah negara yang pertama dan hingga saat ini masih satu-satunya di dunia yang melegalkan perkawinan kaum homoseks. Tetapi reaksi keras itu juga timbul akibat dari kuatnya organisasi dan lobby kaum homoseks ini. Di Belanda nampaknya perlu fiqhud dawah yang khas, tanpa melanggar substansi pesan Islam yang mesti dipertahankan dan disampaikan, sehingga para juru dawah tidak mudah terprovokasi dengan isu-isu yang sebenarnya sangat sensitif di negeri mana mereka menyampaikan pesan-pesan Islam di satu segi, dan kebenaran yang mesti disampaikan di sisi yang lain. Memang tidak ada kompromi terhadap inti pesan yang mesti disampaikan, yang mungkin adalah kompromi dalam metode dan timing penyampaian di lapangan. Tuntutan terhadap fiqhud dawah berdasarkan marifatul maydan ini akan semakin mendesak di masa mendatang sejalan dengan semakin terorganisir dan bertambahnya umat Islam di Belanda. Dalam keadaan yang demikian, ancaman Islam akan semakin nyata, sehingga tantangan dan perlawanan juga akan semakin keras. Menurut hemat penulis, tidak semua publik Belanda yang mengharapkan para imamkhusus di masjid-masjid Maroko syarat utama menjadi imam ialah hafal Al-Quran 30 juz dan punya pengetahuan keislaman yang luasmengeluarkan fatwa yang membolehkan homoseksual. Suatu hal yang mustahil. Apalagi hal itu disampaikan di masjid, bukan di tempat umum. Publik Belanda juga tahu bahwa Uskup Katolik Simonis Belanda dan bahkan Paus di Vatikan pun menentang homoseksual. Tetapi karena isu ini berkaitan dengan Islam, dampaknya bisa lain, apalagi dengan liputan dan sorotan media.

Eksploitasi Isu Islam oleh Media

Berita-berita dan opini yang berkaitan dengan Islam dalam media Barat sebagian besar bersifat negatif karena disamping memiliki nilai jual, juga karena alasan ideologis dan historis. Jarang sekali ada media Barat yang menyoroti segi-segi positif Islam seperti universalitas, moralitas, etika, kesetaraan, toleransi, keadilan, kehormatan dan harga diri, penekanan kepada nilai-nilai demokrasi melalui musyawarah (syura), institusi keluarga dan masyarakat, respek kepada orang tua, dll. Imej Barat terhadap Islam sangat dipengaruhi oleh stereotipe yang melekat di alam bawah sadar Barat terhadap Islam. Dalam hal ini imej dipahami sebagai salah satu bentuk persepsiapakah berdasarkan proses kognitif yang prefabricated atau otentikdan stereotipe adalah pola kognitif yang diperoleh yang berfungsi sebagai penyaring persepsi (Kai Hafez [Ed.], Islam and the West in the Mass Media Fragmented Images in a Global World, 2000). Eksploitasi isu Islam oleh media Barat adalah hal yang lumrah apalagi kalau ditinjau dari tesis konflik antara Islam dan Barat (Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations?, 1993). Dalam pandangan Huntington konflik antara Islam dan Barat itu akan menjadi pertarungan antar peradaban yang paling lama dalam sejarah. Memang terdapat konflik historis antara Barat dan Islam. Barat masih menganggap Islam sebagai kekuatan yang belum pernah mereka taklukkan secara mutlak (Bryan S. Turner, Orientalism, Postmodernism & Globalisation, 1994). Islam juga dianggap punya potensi sebagai kompetitor bagi Barat dari banyak aspek seperti ideologis, politik, ekonomi, pengaruh, dll. Ketakutan itu ditambah lagi dengan trend dan fenomena yang berkembang di Dunia Islam di mana sekulerisasi tidaklah menjadi sebuah pra-kondisi untuk kemajuan sosial, ekonomi, dan politik. Realita ini sekaligus membantah ekspektasi para pakar di Barat bahwa modernisasi hanya akan dicapai oleh masyarakat yang ter-Barat-kan dan ter-sekuler-kan secara progresif (John L. Esposito [Ed.], The Oxford History of Islam, 1999). Perubahan tata Dunia dengan runtuhnya Komunisme ikut mendorong meningkatnya fobia tersebut (Elizabeth Poole, Framing Islam: An Analysis of Newspaper Coverage of Islam in the British Media, dalam Hafez: 2000).

15

16

Di Belandatrauma historis yang sama juga dirasakan di negara Barat lainnyaketakutan itu juga didorong karena Islam masih asing bagi sebagian besar masyarakat Belanda. Mereka masih kekurangan informasi yang berimbang tentang Islam. Informasi yang mereka terima secara massif membuat stereotipe Islam Abad Pertengahan tetap bertahan dan imej Islam tetap buruk. Informasi tentang isu fundamentalisme dan ekstrimisme Islam di Aljazair, Taliban di Afghanistan misalnya, telah menjadi langganan headlines dalam media Barat. Analisis dari perspektif lain, misalnya, penyebab mengapa aksi-aksi itu terjadi di negeri-negeri Islam, apa yang menjadi tuntutan mereka, atau siapa yang berada di belakang aksi itu sebenarnya, jarang dimuat. Di Aljazair, misalnya, terungkap bahwa pihak militer berada di belakang aksi-aksi teror yang mengatas-namakan Islam. Ini untuk menciptakan imej yang buruk terhadap Islam. Varian dari operasi khusus (opsus) pihak intelijen semacam pernah juga terjadi di Indonesia dibawah rezim Orde Baru, seperti kasus pembajakan pesawat Garuda di Woyla, dll. Disamping itu, Barat juga terlihat ingin cuci tangan dengan peran kolonialisme mereka yang terus berlanjut di negeri-negeri Muslim bekas koloninya, yang jugasecara langsung atau tidak langsungmemberi sumbangan pada aksi-aksi kekerasan tersebut. Kenapa isu ini tidak dibahas secara serius dan berimbang? Pendekatan konflik dan konfrontatif itu lebih merupakan ketakutan Barat terhadap bayang-bayangnya sendiri. Walaupun geliat gerakan-gerakan Islam mulai terasa, tetapi secara de facto itu masih jauh untuk dikatakan sebagai ancaman bagi Barat. Ancaman terbesar bagi Barat adalah dirinya sendiri (Frits Bolkestein en Gijs von der Fuhr, Moslim in de Polder: Frits Bolkestein in gesprek met Nederlandse moslims, 1997). Peradaban materialistik tanpa ditunjang fondasi spiritualitas dan moralitas yang kokoh adalah salah satu titik lemah internal peradaban-peradaban besar dalam sejarah manusia. Di sinilah perlunya semua pihak memikirkan pendekatan yang lebih konstruktif, yaitu pendekatan dialogis dan kesetaraan antar peradaban. Dengan demikian akan terbangun saling pengertian, pemahaman, respek, dan toleransi. Sebenarnya Islam dan Barat saling

membutuhkan dalam tata dunia baru yang lebih adil dan bisa bekerjasama demi kesejahteraan umat manusia.

3. YANG MENANAM ANGIN AKAN MENUAI BADAI


Gunaryadi, 29 Juni 2001

etelah menempuh proses panjang, Milosevic akhirnya diserahkan ke tibunal internasional di Den Haag. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemimpin Barat menyambut baik penyerahan tersebut. Sebuah kabar baik kalau dia sudah dalam perjalanan menuju Den Haag kata PM Inggris, Tony Blair. Saya sangat gembira dengan penyerahan Slobodan Milosevic kepada tribunal internasional di Den Haag. Ini merupakan kemenangan besar bagi usaha internasional untuk menegakkan keadilan, demikian tanggapan Kanselir Jerman, Gerhard Schrder, memuji keputusan pemerintah Yugoslavia itu. Presiden Amerika Serikat, George Walker Bush menyatakan bahwa penyerahan Milosevic tersebut adalah bukti bahwa bangsa-bangsa di Balkan ingin keluar dari masa lalunya yang tragis dan menuju masa depan yang lebih baik (Serbia Hands Over Milosevic for The Hague Trial, International Herald Tribune, 29/6/2001). Menteri luar negeri Belanda, Van Aartsen, mengatakan, Sebelumnya saya menduga keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menunda penyerahan Milosevic itu akan memakan waktu. (Milosevic in cel Tribunaal, Trouw, 29/6/2001). Di Brussel, konferensi negara-negara donor untuk pembangunan-kembali Yugoslavia langsung menyetujui cairnya US$ 1,28 milyar. Padahal Komisi Eropa dan Bank Dunia memprediksi biaya pembangunan-kembali itu cuma sebesar US$1,25 milyar. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah George W. Bush berjanji akan memberikan US$ 181,6 juta dalam paket bantuan itu.

17

Demikian euforia yang ditimbulkan oleh penyerahan Milosevic tersebut di kalangan pemimpin Barat. Tetapi mereka tidak akan berhenti di situ saja. Selain Milosevic, negara-negara donor juga meminta penyerahan terdakwa penjahat perang Kosovo (1998-1999) lainnya yaitu Milan Milutinovic, sekarang Presiden Serbia, KolonelJenderal Dragoljub Ojdanic, mantan Panglima Angkatan Bersenjata, Vlajko Stojilkovic, mantan Menteri Dalam Negeri, dan Nikola Sainovic, mantan Wakil Perdana Menteri Yugolasvia. Mereka termasuk dalam 99 terdakwa yang sebagian masih berkeliaran bebas. Dan untuk Milosevic ini, ada kemungkinan dia juga akan dikenakan tuduhan terlibat dalam pembersihan etnis (ethnische zuivering) di Slovenia, Kroasia, dan Bosnia-Harzegovina jika ditemukan bukti-bukti.
Diculik atau Diserahkan?

18

Malam Kamis, 28 Juni 2001, Penjagal dari Balkan itu sampai di penjara Tribunal Yugoslavia Den Haag yang terletak di Scheveningen, Belanda. Milosevic datang tidak untuk menikmati keindahan pantai Scheveningen yang terkenal itu, tetapi menikmati kandang situmbin (Het Huis van Bewaring) Unit Tahanan PBB, sambil menunggu proses pengadilannya sebagai mastermind kejahatan perang di Kosovo. Proses penyerahan Milosevic itu berjalan begitu cepat. Selain tekanan Barat, khususnya Amerika Serikat dan peran kepala penuntut tribunal internasional di Den Haag, Carla Del Ponte, rupanya itu tidak lepas dari peran Zoran Dzjindjic, Perdana Menteri Serbia, yang pro-Barat. Bahkan Vojislav Kostunica, presiden Bekas Federasi Yugoslavia (yang terdiri dari Serbia, Montenegro, dan Provinsi Kosovo yang kini memperoleh status merdeka sementara) tidak diberitahu sebelumnya atas penyerahan itu. Di media Yugoslavia, Kostunica mengatakan bahwa penyerahan Milosevic itu adalah perbuatan ilegal dan tidak memiliki dasar hukum dan merupakan ancaman serius terhadap ketertiban dan keamanan. Walaupun Kostunica termasuk ke dalam kelompok reformis, tetapi presiden yang menggantikan Milosevic sejak Oktober 2000 itu, memperlihatkan sikap yang kurang bersahabat dalam kerjasama dengan pihak Tribunal di Den Haag.

Meskipun pemerintah Federal Yugoslavia telah menyetujui rancangan dekrit penyerahan para terdakwa penjahat perang di Balkan, tetapi dekrit tersebut harus disetujui oleh Mahkamah Konstitusi Yugoslavia, yang bersikap bahwa dekrit itu tidak bisa dikeluarkan sebelum jelas apakah dekrit itu tidak melanggar konstitusi. Bahkan pada saat terakhir Mahkamah Konstitusi menunda rencana dekrit itu. Kostunica meminta semua pihak untuk menghormati keputusan Mahkamah di Beograd tersebut. Tetapi yang terjadi malah lain. Sejak tanggal 1 April 2001 Milosevic ditahan di sebuah penjara di Beograd. Kemarin dia dicokot dari tempat penahanannya itu, kemudian dibawa ke Bosnia, lalu diterbangkan ke pangkalan udara Marinir Belanda di Valkenburg, dan dengan helikopter ke penjara khusus di Scheveningen. Cepatnya kedatangan Milosevic malah mengejutkan pemerintah Belanda sehingga mereka agak terburuburu menyiapkan segala sesuatunya. Hal itu diungkapkan oleh Korthals, menteri kehakiman Belanda di Den Haag (Nederlandse regering overrompeld, de Volkskrant, 29/6/2001). Selain Kostunica, di Serbia sendiri timbul kekuatiran bahwa penyerahan Milosevic akan membuat chaos di negeri itu dan penyerahan tersebut lebih merupakan tindakan pemerintah Serbia, bagian dari Federasi Yugoslavia. Tetapi menurut Zarko Korac, Wakil Perdana Menteri Serbia, penyerahan Milosevic itu legal karena menyangkut kepentingan Serbia (We verdedigen het belang van Servi, de Volksrant, 29/6/2001). Pemimpin Partai Sosialis Montenegro (SNP) yang termasuk dalam koalisi pemerintahan di Serbia, Democratische Oppositie (DOS), menyatakan mereka menarik diri dari koalisi itu atas penyerahan Milosevic. Belum begitu jelas apakah Milosevic diculik dari tempat penahanannya di Beograd, sebagaimana yang dia akui, atau diserahkan pemerintahan Serbia. Dan bagi Barat definisi demikian tidak begitu penting.
Orang Kuat yang Kalah

19

Sebagai seorang komunis, Milosevic memanfaatkan nasionalisme Serbia untuk meraih kekuasaan ketika komunisme mulai jatuh di Eropa Timur akhir 1980-an. Tahun 1991, Milosevic datang ke Den

20

Haag untuk mengikuti negosiasi Rencana Carrington untuk menyelamatkan Federasi Yugoslavia, tetapi dia walked out karena tidak setuju dengan rencana tersebut. Padahal semua pemimpin anggota Federasi itu telah menyetujuinya. Milosevic bilang waktu itu bahwa dia tidak akan datang lagi ke Den Haag. Rencana Carrington itu gagal disepakati, dan tidak lama kemudian Slovenia dan Kroasia memisahkan diri dari Federasi Yugoslavia. Milosevic lalu mengirim pasukan paramiliter Yugoslavia ke sana, tetapi akhirnya mereka dipukul mundur. Ketika BosniaHarzegovia melepaskan diri tahun 1992, perlengkapan senjata yang ditinggalkan pasukan eks-Federasi Yugoslavia diambil alih oleh paramiliter Serbia di Bosnia. Mereka membentuk negara sendiri (Republika Srpska) yang dipimpin Rodovan Karadzic dan Ratko Mladic. Melalui Perjanjian Dayton 1995, pasukan Yugoslavia mundur dari Bosnia-Harzegovina. Kekalahan Milosevic berikutnya adalah terusirnya pasukan Yugoslavia secara memalukan dari Kosovo setelah dihajar NATO tahun 1999, karena dia menolak Kesepakatan Rambouillet di Prancis. Setahun sebelumnya, Milosevic meluncurkan Operasi Tapal Kuda (Hoefijzer Operatie) di Kosovo, wilayah Bekas Federasi Yugoslavia. Mengulangi tragedi di Slovenia, Kroasia, dan BosniaHarzegovina, ratusan ribu etnis non-Serbia, yang kali ini etnis Albania (mayoritas Muslim) yang tidak berdosa kembali dibantai di Kosovo. Sebagaimana konflik sebelumnya, mereka diusir, wanitanya diperkosa, dan perusakan rumah ibadah, atas nama doktrin Serbia Raya yang dimanipulasi Milosevic. Berikutnya, dia dikalahkan dalam pemilu akhir tahun lalu, dan ditahan sejak April 2001 dengan tuduhan korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan. Kekalahan selanjutnya ketika dia diterbangkan ke kandang situmbin (penjara) di Scheveningen. Kekalahan-kekalahan berikutnya yang akan menimpa mantan Orang Kuat itu sudah antri menunggu. Hukum apa yang pantas dijatuhkan kepada Penjagal dari Balkan itu? Mengingat dosa-dosanya, hukuman yang pantas baginya adalah hukuman mati (ter dood veroordeeld).

Tetapi, kalau terbukti bersalah dalam proses pengadilannya nanti, kemungkinan Milosevic akan menghabiskan sisa usianya di kandang situmbin itu. Barangkali dengan jumlah tahun kurungan yang berlipat ganda. Alasannya, hukuman mati tidak dikenal lagi di Eropa Barat. Tetapi, andaikan hukuman mati pun masih berlaku di sini, barangkali itu lebih diminati oleh Milosevic. Sebagai anak dari keluarga yang berantakan dan kedua orang tuanya mati bunuh diri, perbuatan menghilangkan nyawa sendiri baginya bukanlah hal yang aneh. Bahkan dalam pengepungan villa-nya, April 2001 lalu, dia telah mengancam untuk bunuh diri. Barangkali lebih baik baginya dalam tahun-tahun yang tersisa dalam hidupnya, dia merasakan sebagai pesakitan dan orang yang bersalah. Pihak penjaga kandang situmbin di Scheveningen kini sudah wanti-wanti dengan melakukan pengawasan ketat dan nyaris terus-menerus terhadap pesakitan itu untuk mengantisipasi kemungkinan dia bunuh diri di penjara. Dikuatirkan jika hal itu terjadi dia akan menjadi martir bagi kelompok ultranasionalis Serbia, yang pada gilirannya akan menyulitkan pemulihan stabilitas di Balkan. Slobodan Milosevic bukan satu-satunya sumber masalah terhadap stabilitas keamanan di Balkan. Kawasan itu tetap siap meledak (volatile) karena nasionalisme, lembaga pemerintahan yang rapuh dan tidak responsif, kondisi ekonomi yang buruk, isu-isu ketidakadilan dan pemulangan pengungsi. Ikhtiar penghentian lingkaran kekerasan (vicious cycle of violence) akan berhadapan dengan elit politik status quo yang akan menghalangi percepatan transisi menuju reformasi politik dan ekonomi yang permanen (After Milosevic: A Practical Agenda for Lasting Balkans Peace, Laporan Khusus tentang Balkan oleh International Crisis Group, 26 April 2001). Tetapi setidaknya kasus Slobodan Milosevic ini memberi beberapa pelajaran. Pertama, ini menjadi tamsil bahwa perbuatan jahat akan mendapat balasan. Suatu ketika keadilan-lah yang akan menang. Dan semoga ini membuat para Orang Kuat pelanggar HAM tidak tentram jiwanya karena dihantui pertanyaan kapan akan di-Milosevic-kan, dan menjadi peringatan bagi penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya dengan cara apapun tanpa memperhatikan penderitaan rakyat sebagai akibat dari tindakannya itu.

21

Kedua, Barat menggunakan berbagai cara dalam mencapai tujuannya. Jika gagal secara militer mereka akan menempuh jalur politik dan tekanan ekonomi. Dari kasus ini, dapat dikatakan Milosevic hanya dinilai dengan iming-iming paket bantuan sebesar US$ 1,3 juta. Ketiga, Rusia sebagai sahabat dekat yang selama ini diandalkan Milosevic akhirnya pun tidak memberikan pembelaan karena disamping impotensi internal negara bekas adikuasa itu juga karena Milosevic tidak bisa digunakan lagi sebagai troublemaker bagi Barat di Balkan. Tidak ada pula manfaatnya bagi Rusia membela pihak yang akan kalah (nyaris menyerupai nasib mantan Presiden Soeharto yang ditinggalkan Amerika dan pengikut setianya menjelang mantan Orang Kuat Orde Baru itu mundur). Dan sebagai petualang politik demi kepentingan pribadi dan keluarganya, Milosevic pun pernah menyediakan dirinya digunakan Barat dalam Perjanjian Dayton, 1995. Tragis memang, nasib mantan Orang Kuat itu bagaikan, habis manis sepah dibuang.
22

4. KORAN BELANDA SEHARI SETELAH GUS DUR LENGSER


Gunaryadi, 24 Juli 2001 enomena terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI ke-4, November 1999, melengkapi euforia politik bangsa Indonesia yang sudah 32 tahun berada dibawah rezim Orde Baru. Terpilih sebagai presiden baru secara demokratis membuat Wahid menjadi tumpuan harapan mayoritas bangsa Indonesia pada masa awal perintahannya. Terpilihnya tokoh Forum Demokrasi (Fordem) itu seakan memberi darah baru bagi reformasi. Tampaknya harapan dunia internasional pada masa itu pun tidak jauh berbeda, yaitu positif dan optimis. Ketika Wahid mengadakan lawatan pertama ke Belanda sebagai seorang presiden, Februari 2000, mantan Ketua PBNU ini disambut dengan antusias dan dielu-elukan oleh kelompok elit dan petinggi

politik Negeri Kincir Angin itu. Singkatnya, lawatan Wahid itu sangat welcomed. Tetapi itu tidak berjalan lama. Dalam beberapa diskusi terbatas Indonesiwerkgroep Partij van de Arbeid (PvdA) sejak November 2000, penulis sudah mencium gelagat keraguan sebagian elit politik Belanda terhadap kemampuan dan kesungguhan Wahid menjalankan agenda reformasi yang sudah disepakati, seperti demokratisasi, pembentukan pemerintahan yang baik, berakhirnya dominasi militer dalam politik, dan pengentasan kemiskinan, dll. Bahkan mereka sudah memperkirakan jatuhnya Wahid walaupun itu akan melewati proses yang panjang dan berbelit. Sejak itu perubahan citra (beeldvorming) Wahid juga mulai terlihat dalam media Belanda, khususnya media cetak. Misalnya, koran Trouw, (13/12/2000) memuat wawancara dengan Wahid yang berjudul Ik ben de beste president (Saya presiden terbaik). Tulisan itu disertai foto hitam-putih berukuran besar di mana Wahid sedang tertidur pulas di kursi presiden saat sidang parlemen. Kalau dilihat dari judul, foto tersebut berlawanan dengan judulnya, bahkan lebih menyiratkan cemooh jurnalistik terhadap tokoh yang terlalu percaya diri itu. *** Yang cukup menarik dicermati adalah ulasan koran-koran Belanda sehari setelah Wahid dimakzulkan dan Dyah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri (Megawati) diambil sumpahnya sebagai presiden RI ke-5 (23/7/2001). Walaupun ada satu kutipan dari koran Trouw, sampel media cetak yang digunakan dalam tulisan ini adalah 4 koran Belanda yang diambil secara acak. Pertama, Algemeen Dagblad (koran pagi bertiras 395.000 eksemplar), lalu de Volkskrant (koran pagi bertiras 350.000), selanjutnya NRC Handelsblad (koran sore bertiras 270.000), dan Nederlands Dagblad (koran sore bertiras dibawah 58.000). Pada halaman pertama Algemeen Dagblad (24/7/2001) dimuat tulisan tanpa foto yang berjudul Megawati meer dan welkom (Megawati sangat diharapkan). Tulisan yang disusun oleh redaksi luar negeri koran itu menggambarkan tanggapan yang positif dunia internasional terhadap terpilihnya Megawati sebagai presiden baru. Dukun-

23

24

gan itu datang dari Amerika Serikat, Jepang, Australia, anggota ASEAN, dan EU. Disebutkan juga bahwa proses pemakzulan Wahid berjalan relatif damai. Tulisan ini bersambung ke halaman 7 dengan judul Congres juicht na stemming (Sidang bersorak gembira setelah pemungutan suara). Dalam tulisan itu diulas proses yang terjadi di parlemen. Tulisan kedua yang disusun oleh Hilde Janssen berjudul Volk watch gelaten af (Rakyat menunggu dengan pasrah) berisi pendapat beberapa responden yang dianggap mewakili rakyat atau wong cilik dan LSM. Hilde juga menyusun tulisan ketiga yang diberi judul Een bijzondere man, maar geen president (Beliau seorang istimewa, tetapi bukan presiden). Dalam tulisannya itu Hilde memuji Wahid sebagai seorang agamawan yang menggemari karya musik Beethoven dan sepakbola. Sebagai putra tokoh agama terkemuka Wahid dikatakan menyelesaikan pendidikannya sebagai seorang ulama (schriftgeleerde). Sebagaimana Soeharto, Wahid juga menganggap dirinya sebagai Semar, tokoh wayang yang merupakan titisan para dewa. Tetapi popularitas Wahid merosot tajam ketika dia menyebut anggota DPR sebagai anak TK (kleuterklas), komitmennya untuk memberi grasi kepada presiden Soeharto kalau mantan Orang Kuat Orde Baru itu diadili, janjinya untuk memberikan pilihan kepada rakyat Aceh melalui referendum yang salah satu opsinya adalah merdeka, pemecatan anggota kabinet dari partai-partai koalisinya. Ketika pertentangannya dengan parlemen semakin memuncak, Wahid lalu bersikap bagaikan peluru tanpa kendali (ongeleid projectiel). Tulisan ini disertai foto hitam-putih ukuran besar yang pada caption-nya tertulis Slechts gekleed in een T-shirt en korte broek wuift de afgezette president Wahid naar zijn aanhang, voor het presidentile paleis. De zichtbare vermoeide Wahid werd ondersteund door zijn dochter Yenni (Hanya mengenakan kaus oblong dan celana pendek, Wahid, presiden yang disingkirkan, melambaikan tangan kepada pendukungnya di depan istana presiden. Wahid yang terlihat letih dipapah oleh puterinya, Yenni). Sedangkan de Volkskrant (24/7/2001) menempatkan berita pelantikan Megawati di halaman depan dan diberi judul Megawati bedigd als president (Megawati diambil sumpahnya sebagai presiden). Berita

itu disertai sebuah foto berwarna berukuran cukup besar yang memperlihatkan putri Bung Karno itu sedang membacakan sumpah pelantikannya. Pada halaman 5 de Volkskrant yang terbit hari itu terdapat 3 berita terkait yang disusun oleh Marianne Boissevain. Satu tulisan berjudul Het handelsmerk van Moeder Mega is haar zwijgen (Merekdagang Ibu Mega adalah diamnya). Tulisan tersebut dilengkapi foto hitam-putih berukuran sedang yang memperlihatkan Megawati sedang bertepuk tangan di parlemen ketika mendengar mandat Wahid dicabut oleh MPR. Dalam tulisan itu Marianne membandingkan sifat Megawati yang suka diam dengan sifat bapaknya sebagai orator ulung yang terkenal dengan pidatonya yang berapi-api (vurige redevoeringen). Tulisan kedua Marianne berupa analisis yang berjudul Parlement wint, en ook het leger (Parlemen menang, begitu pula tentara). Tulisan ketiga Marianne berjudul Wahid zat, vol grappen, maar niet open en duidelijk (Wahid berkuasa, Penuh humor, tetapi tidak transparan dan jelas). Tulisan ini disertai foto hitam-putih berukuran besar di mana Wahid sedang melambaikan tangannya di depan istana dengan keterangan De afgezette Abdurrahman Wahid zwaait voor het paleis naar zijn aanhangers (Abdurrahman Wahid telah dimakzulkan sedang melambaikan tangan kepada para pendukungnya di depan istana). Terlihat Wahid hanya mengenakan T-shirt dan celana pendek. Dalam tulisan ini disinggung sejarah hidup Wahid dan karirnya, kebijakan, dan kekeliruan-kekeliruannya. Pada tajuk rencana de Volkskrant di halaman 7 yang terbit hari itu terdapat satu lagi tulisan tentang Wahid yang berjudul Wahids ondergang (Jatuhnya Wahid). Pada halaman depan NRC Handelsblad dipasang foto berwarna Megawati. Foto berukuran kecil itu memperlihatkan Megawati sedang membacakan pidato pelantikannya di depan majelis DPR/MPR yang diberi caption Megawati Soekarnoputri sluit historische cirkel. Dalam halaman 4 terdapat 3 tulisan. Tulisan pertama yang disusun oleh koresponden koran itu berjudul Wahid mag nog weekje wennen aan afzetting (Berikan waktu sepekan kepada Wahid untuk beradaptasi dengan situasi yang baru). Tulisan kedua NRC Handelsblad ditulis oleh Dirk Vlasblom dengan judul Gedreven nationaliste krijgt eindelijk haar kans (Wanita na-

25

26

sionalis itu akhirnya terpilih sebagai presiden). Termasuk yang disebutkan dalam tulisan tersebut antara lain masa kecil Megawati, sejarah politiknya, dan kemungkinan Megawati merangkul Hamzah Haz sebagai wakil presiden untuk memperkecil jurang antara partaipartai dengan Islam politik. Tulisan ini disertai 2 foto hitam-putih berukuran besar. Foto pertama yang ukurannya lebih besar memperlihatkan Megawati kecil yang sedang dicium oleh bapaknya, Bung Karno. Foto kedua ini sama persis dengan foto Megawati yang dipampang pada halaman depan. Yang berbeda hanya warna (hitamputih) dan ukurannya sedikit lebih besar. Tulisan ketiga berjudul President Wahid ontluisterde het ambt (Presiden Wahid merendahkan jabatan). Dalam tulisan ini digambarkan bahwa Wahid kehilangan kekuasaannya tetapi masih mempertahankan gezag moralnya. Wahid dikatakan telah mengubah keangkeran Istana Merdeka. Kyai-kyai NU (Nahdlatul Ulama) boleh datang ke istana memakai sarung dan sandal. Sedangkan zaman rezim Orde Baru, syarat bertamu ke istana setidaknya harus mengenakan jas dan dasi. Wahid juga dikatakan tidak konsisten dengan pemahamannya tentang demokrasi akibat tradisi sebagai putra kyai pendiri NU yang senantiasa harus ditaati sehingga sering bersikap tidak demokratis dan keras kepala. Wahid juga disanjung sebagai idola kelompok minoritas dan wong cilik. Tulisan tersebut disertai foto hitam-putih berukuran sedang di mana Wahid terlihat melambaikan tangan kepada pendukungnya di depan istana, persis sebagaimana yang terdapat dalam de Volkskrant (24/7/2001) tetapi ukurannya lebih kecil dan caption-nya tertulis Wahid toonde zich gisteravond even aan medebestanders buiten het paleis (Wahid muncul sepintas tadi malam di depan pendukungnya di luar istana). Pada halaman 7 NRC Handelsblad terdapat pula sebuah karikatur hitam-putih yang dilukis oleh Cyprian Koscielniak. Karikatur itu menggambarkan Soekarno yang duduk di kursi kepresidenan saat memangku dan menyalami Megawati yang tersenyum gembira ke arah bapaknya itu. Pada bagian latar terlihat sebuah tangan yang akan menaruh mahkota di kepala Megawati.

Nederlands Dagblad (24/7/2001) memuat 7 seri tulisan tentang suksesi di Indonesia. Bahkan pada halaman pertama dimuat 3 tulisan sekaligus. Tulisan pertama yang bersumber dari DPA-RTR-AFPANP itu berjudul Megawati vraagt volk om eenheid (Megawati meminta rakyat untuk bersatu). Tulisan itu seputar pencabutan mandat Wahid dan pengangkatan Megawati. Nederlands Dagblad menekankan bahwa Megawati adalah presiden wanita pertama di negeri yang mayoritas Muslim itu. Tulisan itu juga disertai tabel riwayat hidup singkat Megawati dan foto berwarna berukuran besar yang memperlihatkan Megawati melambaikan tangan, sementara di sisi kanan dan belakangnya terlihat Amien Rais dan Ginandjar yang tersenyum puas. Pada caption-nya tertulis Net genstalleerd, zwaait de nieuwe Indonesische president Megawati Soekarnoputri naar de menigte voor het parlementsgebouw (Begitu selesai diangkat menjadi presiden, Megawati melambaikan tangan kepada khalayak di depan gedung DPR/MPR). Tulisan kedua yang bersumber dari ANP berjudul RMS somber over Megawati (RMS tidak begitu gembira atas terpilihnya Megawati). Dalam tulisan itu disebutkan bahwa tokoh RMS di pengasingan J. Wattilette mengatakan, Geen erg hoog gespannen verwachtingen te hebben van de nieuwe president van Indonesi (Tidak banyak berharap atas terpilihnya presiden Indonesia yang baru). Wattilette juga kuatir atas kemungkinan memburuknya keadaan di Maluku dengan naiknya Megawati sebagai presiden karena tokoh ini sangat nasionalis dan mengedepankan negara kesatuan. Sedangkan tokoh Stichting Papua Volken (Yayasan Rakyat Papua), Grace Roembiak, secara pribadi mengatakan bahwa dia kecewa dengan terpilihnya Megawati. Dan dia mengatakan, We beginnen weer opnieuw. Dit ziet er niet best uit. Haar benoeming biedt niet echt toekomstperspectieven voor Papua (Kita harus mulai lagi dari awal. Nampaknya keadaan tidak begitu menguntungkan. Pengangkatan Megawati tidak membawa prospek terhadap masa depan Papua). Tulisan ketiga pada halaman pertama itu disusun oleh redaksi luar negeri Nederlands Dagblad berjudul Christenen in Indonesi vrezen extremisme islam na tijdperk Wahid (Umat Kristiani mencemaskan esktrimisme Islam setelah jatuhnya Wahid). Seorang tokoh Open Doors,

27

28

Jen Sebk mengatakan, Upaya menuju sebuah negara Islam telah dimulai sejak masa presiden sebelumnya [Habibiepenulis]. Wahid menentang usaha tersebut. Tetapi Muslim fundamentalis pasti akan meraih kesempatan. Dan mereka juga memiliki orang-orang di kalangan tentara. Sedangkan Sekretaris Wilayah Asia Gereformeerde ZendingsBond (Ikatan Zending Gereja Protestan [Reformasi]), T. Eikelboom mengatakan, Jika keadaan seperti ini terus berlanjut maka militer akan naik. Seorang misionaris yang aktif di Irian Jaya, H. Bos, dikutip pendapatnya tentang Megawati, mengatakan, Dia terkenal lebih nasionalistis. Saya tidak tahu apakah orang-orang Islam akan mendapat kesempatan untuk memperkuat pengaruhnya di Indonesia. Tulisan ketiga ini bersambung pada halaman 5 dengan judul Christenen voor Wahid (Umat Kristiani mendukung Wahid). Sebk juga dikutip mengatakan bahwa umat Kristiani di Indonesia menginginkan agar Wahid tetap menjadi presiden. Untuk itu mereka berharap dan berdoa karena mereka tidak punya alternatif yang lebih baik. Menurut Sebk, Wahid adalah sosok pemimpin Muslim yang moderat dan sangat bersimpati kepada umat Kristiani, walaupun belum banyak yang bisa dilakukan Wahid untuk melindungi mereka. Disamping Sebk, Eikelboom mengatakan bahwa proses Islamisasi di Indonesia punya sejarah panjang. Umat Kristiani dulunya bisa sekolah tinggi, memiliki jabatan dan pekerjaan yang lebih baik, dan memiliki kelompok tersendiri yang cukup elit di kalangan pribumi. Sedangkan umat Islam terkebelakang. Sekarang orang Islam berkata: Kini giliran kami. Eikelboom juga menandaskan bahwa sekarang pendidikan di sekolah-sekolah Kristiani di Indonesia sering mengalami tekanan, misalnya mereka memperoleh subsidi yang lebih sedikit atau kewajiban untuk mengajarkan Agama Islam di sekolah mereka. Begitu pula hambatan-hambatan terhadap aktivitas misionaris. Tulisan keempat berjudul Rais hielp in en uit het zadel (Amien Rais berperan menaikkan dan menurunkan). Tulisan itu bersumber dari ANP itu dilengkapi dengan foto hitam-putih berukuran kecil dari Ketua MPR itu. Amien Rais digambarkan sebagai tokoh sentral dalam proses reformasi yang menumbangkan Soeharto. Tetapi juga

disebutkan bahwa Amien sendiri adalah orang yang ambisius dan banyak yang menduga bahwa dia berambisi menjadi presiden dalam pemilu 2004. Tulisan kelima disusun oleh A. Kaamsteeg dan berjudul Politieke rol Wahid in Indonesi nu definitief uitgespeeld (Secara definitif peranan politik Wahid kini berakhir sudah). Tulisan yang disertai foto hitam-putih berukuran besar itu tidak sesuai dengan judul berita karena dalam foto tersebut terlihat Megawati bersama bapak, ibu, dan kakaknya sewaktu kecil. Pada caption foto itu tertulis De nieuwe president van Indonesi, Megawati Soekarnoputri, op deze archieffoto uit 1945, zit op de schoot van haar vader Soekarno, destijds president van het land. Soekarno was na de onafhankelijkheid het eerste staatshoofd; hij regeerde van 1945-1966 (Presiden baru Indonesia, Megawati Soekarnoputri pada arsip foto tahun 1945 ini duduk di pangkuan bapaknya Soekarno, yang waktu itu adalah presiden Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan Soekarno menjadi kepala negara Indonesia yang pertama; dia berkuasa dari tahun 1945 hingga 1966). Tulisan itu sendiri mengupas tentang proses penggoyangan dan pemakzulan Wahid di mana akhirnya Gus Dur kalah-telak (formidabele nederlaag) dalam voting di parlemen. Disamping itu juga ditinjau prospek pemerintahan Megawati. Tulisan keenam Nederlands Dagblad berjudul Niemand weet wat Megawati wil (Tidak ada yang tahu apa keinginan Megawati). Pada caption foto hitam-putih berukuran kecil dari putri Soekarno tersebut tertulis Megawati: ...reformasi.... Tulisan ini lebih banyak mengulas sejarah Megawati, baik sebagai putri presiden maupun perjalanan politiknya. Menurut para analis, visi kenegaraan Megawati tidak jauh berbeda daripada visi bapaknya. Bersebelahan dengan tulisan ini terdapat tulisan ketujuh yang disusun oleh Theo Herkens dan berjudul Abdurrahman Wahid werd altijd overschat (Penilaian terhadap Abdurrahman Wahid selalu berlebihan). Tulisan yang mengulas tentang perjalanan politik Wahid sebagai presiden ini disertai foto hitam-putih berukuran sedang di mana terlihat Wahid sedang dipapah oleh ajudannya yang berseragam militer. Wahid sendiri berpakaian batik dan berkopiah hitam. Pada caption-nya tertulis Wahid: ...uitgesproken arrogant... (Wahid sangat angkuh).

29

30

*** Secara kuantitatif, koran-koran Belanda itu memuat berita dan foto proses suksesi di Indonesia dalam jumlah yang berbeda-beda. Algemeen Dagblad memuat 3 tulisan terkait, di mana hanya 1 tulisan yang disertai foto. De Volkskrant memuat 5 tulisan, 3 tulisan disertai foto dan 2 tulisan tanpa disertai foto. NRC Handelsblad memuat 4 tulisan terkait dan 1 karikatur, di mana ada 1 foto tanpa tulisan, dan 3 tulisan disertai foto. Dan Nederlands Dagblad memuat 7 tulisan terkait, 1 tulisan disertai tabel, dan 4 tulisan disertai foto. Biasanya tulisan tentang Indonesia agak jarang keluar dalam media cetak Belanda dalam jumlah yang banyak sekaligus sebagaimana yang terjadi sehari setelah jatuhnya Wahid. Paling-paling ada satu atau dua tulisan, itu pun dengan coverage yang kecil, bahkan tidak ada sama sekali tulisan tentang Indonesia. Kemudian bagi yang jeli, terdapat pula kekeliruan kecil tetapi sangat mengganggu dalam tulisan pada halaman pertama de Volkskrant (24/7/2001) yang dikutip dari kantor berita Reuters dan Agence FrancePresse yang menyebutkan bahwa hanya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan satu partai Islam gurem (kleine moslimpartij) yang menolak mengikuti Sidang Istimewa MPR tersebut. Padahal, yang benar adalah PKB dan PDKB (Partai Demokrasi Kasih Bangsa), dan PDKB bukan partai Islam.

5. TENAGA ASING KE EROPA BARAT?


Gunaryadi, 1 Agustus 2001

elepas membuat kejutan dengan menggagas die neue Mitte (Jalan Ketiga) sebagai panduan umum reformasi demokrasi-sosial di Eropa bersama PM Inggris, Tony Blair (Journal of European Public Policy, April 2001), Kanselir Jerman, Gerhard Schrder, baru-baru ini kembali menggegerkan Eropa Barat. Dia menyambut baik ide dari Komisi Sssmuth dan menye-

butnya sebagai degelijk uitgangspunt (rasional yang kuat) untuk menjadi dasar hukum bagi penyusunan undang-undang baru. Rita Sssmuth dari CDU (Christlich Demokratische Union) sekaligus ketua dari komisi itu mengatakan, Kita harus mengakui bahwa Jerman sudah lama menjadi negeri yang menerima pendatang (land van immigratie). Sssmuth seakan ingin menyadarkan para politisi Jerman yang sudah sejak lama menolak mengakui bahwa Jerman telah berkembang menjadi sebuah negara yang multikultural. Saat ini ada sekitar 7,3 juta pendatang yang bermukim di Jerman yang membuatnya menjadi negara yang terbesar penduduk asingnya di antara negara anggota EU. Menurut perkiraan, hingga tahun 2050 penduduk Jerman yang kini berjumlah 82 juta akan berkurang sebanyak 32 juta, karena rendahnya angka kelahiran dan konstannya angka penuaan (Behoefte aan Migranten, Vacature [Belgia], 14/7/2001). Dengan perkiraan demikian, telah disusun rencana untuk menerima 50.000 tenaga terdidik (geschoolde werknemers) dari luar EU untuk bekerja di Jerman setiap tahunnya. Disamping itu, para pendatang yang sudah bertahun-tahun bekerja di Jerman akan diberi kemudahan untuk mengajukan izin tinggal permanen. Selama ini status itu menjadi sumber kegusaran para pekerja pendatang (Gastarbeiter) asal Turki dan bekas Yugoslavia yang sudah lama berkerja di sana. Lebih teknis, komisi itu mengusulkan untuk setiap tahunnya memberikan izin tinggal permanen kepada 20.000 tenaga terdidik, dan memberikan izin kerja (arbeidsvergunning) selama lima tahun kepada 20.000 lainnya untuk bekerja di sektor-sektor yang kekurangan tenaga kerja. Selanjutnya diberikan izin sementara kepada 10.000 orang dengan syarat mengikuti pendidikan di Jerman. Saran lain dari komisi tersebut ialah perbaikan kebijakan integrasi para pendatang melalui kursus bahasa dan liberalisasi terhadap kebijakan pengajuan suaka. Para migran tersebut tidak akan secara otomatis mendapatkan paspor (nationaliteit) Jerman, tetapi perlu adanya kemudahan dalam prosedur permohonan untuk mendapatkan paspor tersebut.

31

Kegusaran Eropa Barat

32

Walaupun secara umum politisi di Eropa Barat masih enggan mengakuibahkan terkesan sengaja tutup matadefisit demografi ini, tetapi para pakarnya sudah cukup gusar. Kita membutuhkan migran. Kita harus memperbaiki sikap terhadap pendatang agar lebih rasional dan positif, kata Dr. Wolfgang Lutz, seorang analis demografi Pusat Observasi Kebijakan Keluarga Uni Eropa (OeIF) yang berpusat di Wina (Migrants may be answer to EUs falling birthrate, AFP, 12/3/2001). Angka kematian di beberapa negara anggota EU malah sudah melebihi angka kelahiran (filling more coffins than cradles). Secara statistik, jumlah rata-rata kelahiran dari setiap wanita di Eropa Barat saat ini adalah 1,45. Sebuah penelitian memperkirakan jika angka kelahiran saat ini konstan dan imigrasi dibatasi, maka jumlah penduduk Eropa yang sekarang berjumlah 377 juta itu akan berkurang sebanyak 20% menjelang pertengahan abad ke-21, dan akan tinggal separuhnya di penghujung abad. Negara-negara EU sudah mulai merasakan tekanan meningkatnya angka penuaan dan berkurangnya pekerja dengan usia produktif untuk membantu negara untuk memberikan pensiun dan jaminan kesehatan kepada orang yang sudah tua. Rasio antara pekerja yang berusia di atas 60 tahun dengan pekerja yang berusia produktif akan semakin membesar ketika para baby boomers tahun 1960-an memasuki usia pensiun mulai tahun 2020. Salah satu konsekuensinya adalah peningkatan usia memasuki masa pensiun. Jangan-jangan kami harus tetap bekerja sampai berusia di atas 70 tahun, kata Dr. Lutz. Disamping itu sangat dikuatirkan bahwa pekerja yang sudah berusia lanjut akan kurang inovatif dan produktif sehingga sulit menopang kemajuan sains dan teknologi yang telah dicapai Eropa saat ini. Sedangkan para migran, yang biasanya telah merantau ribuan kilometer, tentu adalah mereka yang bermotivasi tinggi dan masih berusia muda dan aktif secara ekonomi. *** Perlu diakui bahwa itu merupakan sebuah terobosan yang relative cukup berani dan rasional. Meskipun demikian, rencana komisi Sssmuth itu belum tentu mendapat angin dari negara anggota EU

lainnya. Misalnya ACV (Algemeen Christelijk Vakverbond) Belgia mengkritik dan menentang para imigran ekonomi dan tampaknya Belanda juga kurang antusias. Tetapi secara pribadi, penulis menilai bahwa itu tidak akan berjalan mulus, karena beberapa alasan: Pertama, saat ini dengan jumlah pendatang yang hanya 4% dari populasi total Eropa (data tahun 2000), telah membuat kelompok dan aktivis sayap-kanan dan nasionalis gerah. Dengan demikian, salah satu konsekuensi dari meningkatnya pekerja asing ialah peningkatan sentimen anti-orang asing. Kedua, walaupun terus terjadi globalisasi dalam banyak sektor, mendatangkan tenaga terdidik dari negara-negara di luar EU dalam jumlah massal berarti mengisap tenaga-tenaga handal dan terbaik (brain-drain) dari belahan dunia lain, yang berkemungkinan besar akan meransang tenaga handal dari Dunia Ketiga yang selama ini potensi dan kemampuan mereka belum bisa dikembangkan, dimanfaatkan, dan diimbali secara layak dan manusiawi di negara asal masing-masing. Ini akan menimbulkan kesenjangan baru di mana Dunia Ketiga akan kekurangan tenaga-tenaga unggul untuk membangun negerinya sendiri. Dari segi ini hal tersebut memang cukup dilematis bagi Dunia Ketiga, dan tentu tidak bagi Eropa. Disamping itu, dari perpektif yang kurang lazim, penulis melihat bahwa persoalan yang dihadapi oleh Eropa atau negara industri maju lainnya adalah konsekuensi logis dari kungkungan sistem materialistik dan sekuleristik yang cenderung menempatkan manusia kalau boleh dikatakandalam domain alat-alat produksi atau manusia sebagai makhluk ekonomis semata. Akibatnya, kebijakankebijakan yang dibuat pun sering bertentangan dengan fitrah manusia. Padahal reproduksi secara wajar serta penyiapan generasi penerus yang unggul adalah bagian dari fitrah tersebut. Dengan demikian, terkesan bahwa kebijakan yang ada cenderung tambal-sulam, tidak holistik dan komprehensif. Artinya, kebijakan tersebut cenderung menimbulkan efek-samping yang lain, dan boleh jadi kalau ada kebijakan baru untuk mengatasi ekses tersebut akan menimbulkan efeksamping yang baru (cycle of side effects).

33

6. ANTI-GLOBALISASI ATAU PROTES TERHADAP KETIDAKADILAN?


Gunaryadi, 26 Agustus 2001 ebulan yang lalu nyawa Carlo Guiliani, aktivis antiglobalisasi Italia berusia 23 tahun menjadi tumbal pertemuan puncak G8 yang berlangsung di Genoa, Italia. Puluhan orang, baik demonstran maupun polisi mengalami luka-luka. Pesta 7 negara industri maju (AS, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Prancis) inklusif Rusia selama dua hari (20-22 Juli 2001) itu pun kembali hiruk-pikuk oleh aksi protes para aktivis muda penentang globalisasi (antiglobalisten). Puluhan orang, baik pengunjuk rasa maupun polisi menderita luka-luka. Banyak petinggi negara peserta yang kurang sependapat dengan tindakan keras polisi Italia dalam menangani aksi protes tersebut. Presiden Prancis, Jacques Chirac mengatakan, The violence is evidence that leaders should listen more closely to the demonstrators call for reduced globalization of trade. Sejak paruh kedua tahun 1990-an, pertemuan institusi raksasa kapitalis seperti World Bank, International Monetary Fund (IMF), World Trade Organization (WTO), dan akhir-akhir ini G8, nyaris tidak pernah sepi dari aksi protes aktivis anti-globalisasi. Mulai dari WTO Seattle Ministerial Conference (30 November-3 Desember 1999) di Seattle; World Economic Forum 30th Annual Summit (27 Januari-1 Februari 2000) di Davos, Swiss; World Economic Forum (Juli 2000) di Okinawa; World Bank and IMF 55th Annual Meeting (26 28 September 2000) di Praha; World Economic Forums Asia Pacific Summit (11-13 September 2000) di Melbourne; World Economic Forum Summit (4-6 April 2001) di Washington D.C.; World Bank Summit (25-27 Juni 2001) di Barcelona; hingga pertemuan di Genoa baru-baru ini.

34

Kemungkinan Agenda Unjuk Rasa Berikutnya


Waktu (2001) 02-03 Oktober 19 Oktober 29-31 Oktober 09-14 November 14-15 Desember Tempat Washington D.C. Gent (Belgia) Hongkong Doha (Qatar) Laken (Belgia) Kegiatan Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia Pertemuan Puncak (Informal) Menteri-menteri Uni-Eropa Pertemuan Forum Ekonomi Dunia Kawasan Asia-Timur Awal Putaran Perdagangan WTO Pertemuan Puncak (Informal) Pemimpin Uni-Eropa

Sumber: NRC Handelsblad, 20/7/2001


Muatan Protes Mereka

Pada awalnya aksi aktivis anti-globalisasi adalah untuk melawan raksasa bisnis sebagai kekuatan korporasi multinasional, kemudian raksasa uang sebagai instrumen kesepakatan global untuk pertumbuhan ekonomi. Tudingan terhadap eksploitasi buruh dan pelanggaran HAM mulai santer sejak pertengahan tahun 1990-an, misalnya tudingan terhadap perusahaan raksasa seperti Nike (sepatu kets), Gap (jeans), dan Starbucks (kopi) yang diduga memecah belah serikat kerja, kondisi kerja yang buruk, dan mempekerjakan buruh di bawah umur secara global. Perusahaan multinasional lainnya yang juga mendapat tudingan termasuk McDonalds, Monsanto, dan Shell Oil. Tuduhan yang dialamatkan kepada mereka antara lain upah yang rendah, jaminan kesehatan yang minimal, penggundulan kawasan hutan hujan, pemakaian pestisida, benih dari rekayasa genetis, melanggar hak-hak hewan, dan berkolusi dengan rezim yang represif. Sasaran protes mereka lalu berkembang mengarah kepada Bank Dunia, IMF dan WTO. Institusi global itu dituding telah memberikan fasilitas terhadap berdirinya gurita korporasi dan mendominasi kehidupan ekonomi global dengan alasan memperluas pertumbuhan ekonomi. Tetapi para demonstran tidak punya sikap yang sama. Segmen demonstran yang lebih besar mendukung restrukturisasi korporasi multinasional dan global agar memiliki accountability yang layak serta lebih transparan. Sedangkan segmen yang lebih kecil, disamping mendukung tujuan tersebut, mereka juga aktif menuntut

35

36

penghapusan total struktur global termasuk WTO. Aktivis anarkis termasuk dalam kategori yang kedua ini. Sistem dan filsafat kapitalisme pun tidak luput dari hujatan. Kapitalisme dianggap telah mengabaikan kesejahteraan individu, merusak kultur dan ekologi demi laba mengejar dan pertumbuhan. Sebagian pengamat menilai keadaan ini sebagai kebangkitan Kiri-Baru dan mencoba membandingkannya dengan aksi barikade musim panas yang terjadi di Paris tahun 1968. Seorang pentolan aktivis anti-globalisasi dari Kanada menjelaskan bahwa konsep investasi korporasi di Dunia Ketiga mulai dikritik sejak 1996. Padahal sebelumnya konsep tersebut dianggap sebagai kunci untuk mengentaskan kemiskinan dan penderitaan. Pada saat yang sama, banyak rezim yang berkuasa di negara-negara berkembang tetap memberikan perlindungan kepada investor di sektor yang menguntungkan, seperti: pertambangan, bendungan, ladang minyak, pusat pembangkit listrik dan kawasan berikat (bounded area) untuk produksi barang ekspor, sekalipun perusahaan asing itu merusak atau merugikan rakyat mereka sendiri. Dari segi efek, protes yang dilakukan para aktivis anti-globalisasi itu memang mulai bergaung. Misalnya, dengan adopsi ide dan tuntutan mereka ke dalam agenda pertemuan-pertemuan Bank Dunia, IMF dan WTO. Kesediaan institusi internasional tersebut untuk berdialog dengan Greenpeace dan Friends of the Earth juga bisa dijadikan indikasi. Bahkan Presiden Bank Dunia, James Wolfensohn berkali-kali menegaskan bahwa ada kesamaan antara agenda yang diperjuangkan lembaganya dengan visi dan misi para aktivis demonstran itu yaitu sama-sama ingin mengentaskan kemiskinan di belahan dunia manapun. Aktivis gerakan anti-globalisasi ini terdiri dari berbagai kelompok yang sering dilukiskan sebagai multi-generasi, multi-kelas, dan multi-isu yang memperjuangkan berbagai agenda. Ada yang tujuan utamanya menentang globalisasi, sedangkan yang lainnya memiliki agenda yang berbeda. Dari berbagai kalangan yang berbeda ini mereka lalu berkumpul sehingga tampak kuat dan dengan mudah menarik perhatian publik yang pada gilirannya menarik yang lain

untuk bergabung. Teknologi internet juga dimanfaatkan aktivis tersebut untuk menarik simpati dan pendukung. Barisan demonstran itu mewakili spektrum agenda yang luas dan terdiri dari para pencinta lingkungan, pendukung hak-hak binatang, anggota serikat kerja, aktivis HAM, anarkis, bahkan para rasis kulit putih. Sedangkan kelompok yang punya nama cukup besar hanyalah Greenpeace. Pada umumnya mereka terdiri dari sempalan dengan jumlah beberapa gelintir, yang biasanya dibentuk untuk momen tertentu. Mereka juga sering berganti nama atau berlokasi di kawasan tertentu; dalam banyak kasus, individu-individu tersebut merupakan anggota beberapa organisasi sekaligus. Beberapa organisasi demonstran yang relatif lebih kecil antara lain American Federation of Labor-Congress of Industrial Organization (AFL-CIO) yang memperjuangkan nasib kaum buruh dan People for Ethical Treatment of Animals (PETA). Kalangan enviromentalis diwakili oleh Rainforest Action Network, Earth First!, dan Sierra Club. Sedangkan dari HAM ada Global Exchange, Direct Action Network, Naders Group, Radical Roots, dan Global Trade Watch. Ada pula kelompok yang khusus melatih para demonstran untuk menyusun strategi dan melaksanakan aksi yaitu Ruckus Society yang berbasis di California dan Co-Motion Action yang berbasis di Calgary, Kanada. Anasir demonstran yang lebih militan dan cenderung berbuat kekerasan pada umumnya berasal dari elemen ekstrimis yang memperjuangkan berbagai misi terdiri dari aktivis lingkungan, hak-hak hewan, dan anti-aborsi. Kelompok ekstrimis yang cukup terkenal diduga berasal dari para anarkis dan anggota Third Position, yang dulunya sebagian diwakili oleh Black Bloc, Anarchist News Service, Black Army Faction, dan Anarchist Action Collective. Anggota Black Bloc ini diduga bertanggung jawab dalam kerusuhan sebelumnya di Seattle dan Washington. Sedangkan Third Position, yang sebenarnya berasal dari Eropa yang kemudian berkembang pesat di Amerika Serikat adalah gabungan yang ekstrim antara orang-orang yang punya pandangan politik kiri dan kanan dengan mereka mengadopsi cara-cara kekerasan dalam aksi protes mereka. Dari Belanda, gerakan anti-globalisasi ini mendapat dukungan dari berbagai LSM seperti Novib dan Milieudefensie. Begitu pula sok-

37

ongan dari penulis Karel Glastra van Loon dan senator PvdA Thijs Woltgens. Dan salah satu tokoh anti-globalisasi yang cukup vokal adalah Jose Bove. Diantara isu yang paling getol ditentang oleh pemimpin serikat petani Prancis ini adalah produksi pangan melalui rekayasa genetis serta isu McDonalization of food.
Dunia yang Timpang

38

Tidak semua orang memperoleh manfaat dari pasar bebas. Belum pernah terjadi jurang pemisah antara si miskin dan si kaya yang begitu lebar seperti sekarang, demikian pernyataan Internationale Socialisten. Menurut Bekkers (20/7/2001), pernyataan itu ada benarnya karena 20% dari penduduk dunia mengisap 80% dari pendapatan dunia, dan 1,2 juta orang terpaksa hidup dengan pendapatan di bawah US$ 1 per hari. Disamping itu, sering pula digambarkan bahwa korporasi multi-nasional lebih kuat dan berpengaruh daripada pemerintah, dan sebagian di antaranya bahkan memiliki kekayaan yang melebihi GDP banyak negara. Diperkirakan pula bahwa dari 100 pemuncak ekonomi dunia, 51 di antaranya adalah korporasi multinasional, dan selebihnya (49) barulah negara. Hanya saja, menurutnya, kita tidak bisa begitu mudah menuduh bahwa Bank Dunia, IMF dan WTO yang bertanggung jawab atas semua itu walaupun pada prinsipnya institusi itulah yang menopang sistem pasar bebas. Padahal secara teoritis pasar bebas dimaksudkan untuk membawa kemakmuran yang lebih besar bagi negara-negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi dan tingginya standar hidup yang dinikmati oleh banyak negara Barat ditopang oleh peningkatan perdagangan dunia yang sebagian merupakan komoditas terbaik dari negara-negara berkembang. Dalam prakteknya, teori yang dianggap bagus itu bagaikan menabrak dinding dunia yang timpang. Karena, misalnya, AS dan EU menyekat produk pertanian dari negara-negara berkembang, dan pada saat yang sama membanjiri negara-negara berkembang tertentu dengan bahan pangan yang disubsidi oleh negara-negara Barat tadi yang pada gilirannya mematikan dunia usaha dan petani lokal.

Sebenarnya kita tidak perlu merasa pesimis. Secara pribadi, penulis melihat globalisasi sebagai konsekuensi logis dari revolusi teknologi transportasi, telekomunikasi dan informasi. Dan itu tidak bisa di-reset ulang. Masalahnya ialah jika globalisasi itu ditunggangi oleh pihak, negara, ataupun blok tertentu melalui apa yang dinamakan liberalisasi perdagangan tetapi dengan aturan main yang tidak adil atau praktek yang tidak fair maka ia akan melestarikan dominasi satu pihak terhadap pihak yang lain. Padahal sudah jamak dipahami bahwa potensi konflik di dunia ini hanya bisa diredam kalau sudah tercapai suatu keseimbangan (equilibrium) terhadap penguasaan dan distribusi sumber-sumber daya serta pemenuhan hakhak bagi yang berhak. Bank Dunia, IMF atau WTO sebagai institusi ataupun para eksekutifnya barangkali kurang tepat untuk disalahkan karena dalam praktek adakalanya mereka terpaksa mengikuti pesan dan kemauan para kapitalis pemilik uang institusi itu, baik yang berupa individu, kelompok, korporasi, negara maupun blok ekonomi yang mengendalikannya dari balik layar (principle of one-dollar-one-vote). Yang layak dituding adalah pemain di balik layar tadi dan yang patut disesalkan adalah ketidakberdayaan institusi internasional tersebut menolak keinginan majikannya yang kadang-kadang bahkandari balik layarmasuk ke ranah politik di negara-negara yang terpaksa menggadaikan diri kepada mereka. Menyikapi realita seperti ini, bentuk-bentuk protes yang proaktif dan tidak anarkis dari negara-negara berkembang bisa berupa keikutsertaan secara berhati-hati ke dalam sistem pasar bebaskalau keikutsertaan tersebut merupakan satu-satunya jalan, atau secara gradual mengurangi ketergantungan terhadap institusi keuangan internasional tersebutkalau memang sudah terperosok jauh ke dalam permainan mereka, dan meningkatkan aktivitas dan volume perdagangan baik bilateral maupun multilateral yang saling menguntungkan dengan memperhatikan kepentingan nasional masing-masing dan bebas dari tekanan pihak manapun. Untuk Indonesia misalnya, disamping peningkatan kerjasama ekonomi yang sudah terjalin, juga sudah sangat diperlukan adanya aksi kongkrit untuk memberdayakan sekaligus optimalisasi pemanfaatan (intifaq) organisasi multilateral

39

kawasan yang sudah ada seperti ASEAN (di kawasan Asia Tenggara), Organisation of Islamic Conference (OIC), D8, ataupun G15.

7. PEMILU 2002: BELANDA BERGESER KE KANAN?


Gunaryadi, 15 Mei 2002

P
40

emilu legislatif yang diadakan tanggal 15 Mei 2002 di Belanda dimenangkan oleh Partai Kristen Demokrat (CDA). Ungkapan yang tepat untuk melukiskan kemenangan CDA dalam pemilu parlemen tersebut adalah: landslide victory kata orang Inggris atau monsterzege kata orang Belanda. Dengan hasil tersebut CDA memperoleh 43 dari 150 kursi di parlemen atau memperoleh tambahan sebanyak 14 kursi dibandingkan hasil pemilu 1998. Ini sekaligus berarti CDA menjadi partai politik dengan suara terbanyak. Posisi kedua diraih oleh partai baru: LFP, dengan 26 kursi, meskipun dari segi persentase peningkatan suara, LPF jauh melampaui CDA. Partai lain yang memperoleh lebih banyak kursi dibandingkan dengan pemilu sebelumnya adalah Socialistische Partij (SP) yaitu dari 5 menjadi 9 kursi. Sedangkan Leefbaar Nederland (LN), partai yang ditinggalkan Pim Fortuyn beberapa bulan menjelang pemilu, hanya mendapat 2 kursi.

Perbandingan Perolehan Kursi di Parlemen Pemilu 2002 dan 1998


No. 1. 2. 3. Partai PvdA VVD CDA 1998 45 23 29 2002 23 43 43

No. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. D66

Partai

1998 14 11 5 5 3 0 0

2002 8 10 9 4 2 2 23

Groenlinks SP CU SGP LN LPF

Ketua CDA, Jan Peter Balkenende mengakui bahwa kemenangan partainya sungguh di luar dugaan. Verrast door succes, demikian gambaran yang tepat bagi politisi muda CDA itu. Onwezenlijk, atau di luar kewajaran, tambah tokoh yangkarena kemiripan wajah dijuluki Harry Potter itu. Profesor. dr. mr. Balkenende yang berusia 46 tahun tersebut berhasil menyatukan dan membuat CDA stabil dan kembali bersinar hanya dalam beberapa bulan. Herman Staal, redaktur NRC Handelsblad, menggambarkan Balkenende: tampangnya berani dan terpelajar, otentik dan alami. Sebaliknya, partai-partai politik yang sebelumnya memerintah (Koalisi Ungu)9 mengalami kekalahan telak khususnya Partai Sosial Demokrat (PvdA) yang hanya memperoleh 23 kursi, sama banyak dengan kursi yang diperoleh rekan koalisinya: Partai Liberal (VVD). Tahun 1998, PvdA memperoleh 45 kursi sekaligus menjadi tulang punggung Koalisi Ungu, dan VVD memperoleh 38. Bagi VVD, dengan perolehan kursi yang sekarang, posisinya sama dengan kedudukan mereka 13 tahun yang lalu. Sedangkan Partai D66 yang meraih 14 kursi dalam pemilu 1998, kini hanya mampu mendapatkan 8 kursi. Tanggal 16 Mei malam, Wim Kok, PM demisioner yang juga dari PvdA mengatakan bahwa kekalahan yang menyebabkan partainya kehilangan 22 kursi itu merupakan sebuah kekalahan pribadi sekaligus kekalahan politik yang menyakitkan. Het zijn moeilijke tijden voor de sociaal-democratie, ook elders in Europa, ungkap Wim Kok menyikapi kekalahan PvdA. Padahal sebelum pemungutan suara Kok mengingatkan kembali para pemilih untuk lebih mendahulukan
9

41

Koalisi PvdA, VVD dan D66

rasio daripada perasaan dalam menentukan pilihan. Tindakan itu adalah untuk mengantisipasi para pemilu yang dikenal sebagai in memoriam-stemmers yang cenderung memberikan suara kepada LPF sebagai ungkapan berduka cita buat kematian Pim Fortuyn. Pengaruh dari peringatan Wim Kok itu ternyata tidak begitu signifikan.
Wabah Pengunduran Diri

Ad Melkert, yang belum lama ini menggantikan Wim Kok sebagai Ketua PvdA, setelah mengucapkan selamat, permohonan maaf dan terima kasih kepada pendukungnya, malam itu juga langsung mengundurkan diri sebagai ketua partai meskipun tetap akan menjadi anggota legislatif. Ad Melkert: Het heeft krassen op mijn ziel veroorzaakt, die niet meer weg gaan, atau Kekalahan ini telah menimbulkan goresan dalam jiwa saya, yang tidak mungkin hilang. Meskipun PM Kok menghormati keputusan Melkert untuk mundur tetapi dia mengatakan bahwa Melkert tidak pantas menerima semua ini.
42

Tingkat Partisipasi Pemilu Parlemen (%)


No. 1. 2. 3. 4. 5. 5. 6. Tahun 1977 1981 1982 1986 1989 1994 2002 Tingkat Partisipasi 86,60 80,60 85,50 81,10 78,30 73,00 78,80

Ad Melkert seakan mengikuti keputusan Lionel Jospin, kandidat presiden dari Partai Sosialis Prancis yang beberapa pekan sebelumnya mengundurkan diri karena tersingkir oleh kandidat presiden dari Front Nasional, Jean-Marie Le Pen. Bedanya: Jospin benar-benar pensiun dari panggung politik, sedangkan Melkert akan masih tetap duduk di parlemen. Kemungkinan Ad Melkert akan diganti oleh Wouter Bos atau Jeltje van Nieuwenhoven. Pengunduran diri ketua akibat kekalahan pemilu tidak saja menimpa PvdA, tetapi juga bekas rekan koalisinya: VVD. Kemarin malam, Ketua VVD, Hans Dijkstal mengharapkan agar partainya memilih ketua yang baru dan dia memutuskan akan absen dalam ra-

pat pemilihan ketua tersebut. Kemungkinan Gerrit Zalm, Menteri Keuangan demisioner, yang akan menggantikan Dijkstal. Disamping itu, salah seorang pendiri Leefbaar Nederland, Jan Nagel, mengumumkan kemarin bahwa dia akan mengundurkan diri karena partainyasetelah ditinggalkan Pim Fortuynhanya memperoleh 2 kursi. Padahal sebelumnya mereka berjanji kalau partainya memperoleh kurang dari 10 kursi mereka akan mundur. Partisipasi pemilih dalam pemilu parlemen tahun 2002 ini ternyata tidak setinggi yang diperkirakan. Sebelumnya didugasebagian dipengaruhi oleh kematian Pim Fortuyntingkat partisipasi bisa mencapai 90%. Ternyata yang datang ke kotak suara hanya sekitar 79%.
Kemungkinan Koalisi

Beberapa hari mendatang Den Haag akan sibuk dengan pembentukan koalisi. Dalam dunia politik Den Haag, penyusunan formasi ini memerlukan waktu. Masa formasi terlama adalah pada waktu pembentukan Pemerintahan Van Agt I yaitu 208 hari. Dan masa formasi yang paling cepat adalah pada saat penyusunan formasi Nacht van Wiegel, yaitu 12 hari. Penulis memperkirakan masa formasi kali ini akan berjalan alot mengingat LPF menduduki peringkat kedua dalam perolehan kursi. Padahal fraksi partai yang baru terbentuk sekitar 3 bulan itu berjanji akan tetap melanjutkan ide-ide Pim Fortuyn, yang sebagian kurang sesuai dengan platform CDA atau partai lain yang potensial untuk berkoalisi. Jadi, dari segi suara tadi, peluang koalisi terbesar adalah antara CDA, LPF dan VVD. Dari segi program pun, VVD mestinya lebih proaktif dalam penyusunan koalisi tersebut. Meskipun ada potensi ketidakstabilan dalam fraksi LPF, tetapi dengan jumlah 92 kursi, perginya satu atau dua orang pemblelo tentu tidak begitu berpengaruh terhadap kestabilan parlemen. Tetapi jika pemilu yang baru lalu gagal menciptakan kestabilan politik, bisa saja tahun depan diadakan pemilu kembali. Kombinasi kabinet tampaknya akan berbentuk tengah-kanan. Sedangkan alternatif tengah-kiri hanya akan bisa kalau koalisi terdiri

43

44

dari 4 partai politik, yang itu pun hanya memiliki suara mayoritas tipis di parlemen. Formasi CDA, LPF dan VVD tampaknya tidak begitu kondusif bagi allochtonen atau pendatang karena program ketiga partai politik tersebut menginginkanbaik secara implisit maupun eksplisitpara pendatang segera berintegrasi, menyesuaikan diri dengan kultur dan masyarakat Belanda dan meninggalkan kultur mereka. Dengan kata lain, faktor imigran masih merupakan kartu yang akan dimainkan oleh partai-partai politik yang ada dan masih menjadi underdog. Meskipun demikian, CDA dan VVD berusaha tampil lebih pragmatis terhadap isu ini. Dari perolehan suara dalam pemilu 2 hari lalu, tidak bisa dipungkiri, bahwa pemilih Belanda cenderung bergerak ke kanan. Secara kasar, pemilih mengambil 44 kursi dari Koalisi Ungu dan memberikan 40 kursi kepada partai oposisi yang terkemuka: CDA dan pendatang baru, LPF. Tetapi apakah itu cukup untuk mengatakan bahwa Belanda didominasi oleh partai politik yang berhaluan kanan? Kelihatannya tidak juga, karena CDA yang meraih suara mayoritas dikategorikan berhaluan tengah atau konservatif. Tetapi kecenderungan beralihnya bandul politik dari kiri ke kanan yang tidak hanya terjadi di Belanda tetapi juga di Eropa, diduga bisa mengancam negara kesejahteraan sosial yang ada. Tetapisebagaimana kebiasaan di vortext kemapanan politik Den Haagperubahan dari kiri ke kanan atau sebaliknya atau format apapun namanya hanya merupakan perbedaan nuansa. Ringkasnya, Belanda tidak akan beralih ke kanan dalam makna yang ekstrim. Boleh dikatakan bahwa tidak akan ada kebijakan yang berubah secara drastis dari kebijakan periode kedua Pemerintahan Ungu yang didominasi PvdA, meskipun kebijakan imigrasi diperkirakan akan tetap semakin ketat. Begitu pula dengan aturan-aturan integrasi dan semakin banyak polisi di jalanan untuk menurunkan angka kriminalitas. Kecenderungan pengetatan ini akan tetap terjadi sekalipun, misalnya, andaikan Ad Melkertpolitikus sosial demokrat atau kiriyang terpilih menjadi Perdana Menteri. Kecenderungan tersebut juga akan memberi dampak kepada komunitas Indonesia di Belanda yang juga dianggap sebagai pendatang (allochtonen).

Beberapa Catatan

Dari pelaksanaan dan hasil pemilu kali ini, ada beberapa hal yang bisa dicatat. Pertama, kemenangan LPF menunjukkan partai politik yang baru dibentuk pun punya peluang meraih banyak suara dalam pemilu, dan faktor ketidakpastian politik membuat elektorat bisa dimobilisasi. Disamping itu, debut LPF yang langsung melejit tidak bisa dilepaskan dari pendirinya, Pim Fortuyn. Politikus flamboyan itudengan kemampuan dan keterusterangannya serta peran media baik cetak, elektronik, audio maupun visualberhasil menarik simpati masyarakat Belanda dengan agendanya yang sangat kanan. Keunggulan Pim Fortuyn, menurut mingguan Elsevier adalah kemampuannya menjelaskan hal-hal yang ada dalam pikiran hampir semua orang tetapi orang lain belum mampu mengartikulasikannya. Kematian Pim Fortuyn juga diduga berpengaruh dalam menyokong kemenangan LPF. Kedua, ada beberapa faktor yang memungkinkan CDA meraih suara terbanyak, yaitu faktor menjaga momentum, kecerdasan melihat realitas dan geluk atau keberuntungan. Keberhasilan CDA menampilkan politikus utamanya yang simpatik, Jan Peter Balkenende, yang pada detik-detik terakhir menjelang pemungutan suara berhasil meyakinkan pemilih. Jadi, dalam kompetisi politik, yang mencuri start belum tentu akan menjadi juara di finish. CDA juga berhasildalam kampanyenyamenunjukkan bahwa mereka adalah oposisi yang moderat terhadap Kabinet Ungu karena ada faktor kritik yang tanpa tedeng aling-aling Pim Fortuyn terhadap Koalisi Ungu yang telah berkuasa selama 8 tahun itu. Partai CDA juga terlihat bisa menarik pelajaran dari kegagalan masa lalu dan lebih menjanjikan dari segi struktur kepengurusan partai. Ringkasnya: Het CDA zodoende kunnen oogsten van het door Fortuyn omgeploegde veld, atau CDA menuai dari ladang yang dibajak oleh Fortuyn. Yang cukup menarik disimak adalah banyak dari pemilih CDA dan LPF berasal dari kalangan muda. Ketiga, berkurangnya perolehan suara Koalisi Ungu sudah diduga sebelumnya karena kegagalan kontingen pasukan perdamaian Belanda melindungi safe-heaven yang dijamin PBB di Srebrenica-

45

46

Bosnia, yang membuat Kabinet Wim Kok demisionermenyusul terbitnya laporan Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (NIOD) tentang kegagalan tersebuttanggal 16 April 2002. Titik lemah yang lain adalah sindrom yang biasa menghinggapi partai politik yang telah lama berkuasa (1994-2002) yaitu ketidakmampuan dalam memberikan alternatif dan pilihan yang variatif kepada masyarakat. Tetapi itu tidak berarti prestasi Pemerintahan Ungu dalam segi pertumbuhan dan kestabilan ekonomi serta pemerataan kesejahteraan di Belanda bisa diabaikan begitu saja. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada masa Koalisi Ungu yang lalu, kesejahteraan masyarakat Belanda mencapai puncaknya. Tetapi prestasi tersebut tidak diimbangi dengan keberhasilan dalam sektor-sektor lain seperti keperawatan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Dan yang lebih penting lagi, PvdA dan rekan koalisinya gagal memelihara momentum mereka hingga detik-detik terakhir. Sejatinya, reputasi mereka menurun drastis sejak kwartal ketiga tahun 2001 dan mencapai titik nadirnya pasca kematian Pim Fortuyn kurang sepuluh hari menjelang pelaksanaan pemilu.

8. PEMILU JERMAN, 22 SEPTEMBER 2002: HASIL DAN IMPLIKASINYA


Gunaryadi, 2 Oktober 2002
Kondisi Geografis dan Penduduk Jerman

ebagai kekuatan ekonomi terbesar dan memiliki penduduk terbanyak di Eropa Barat, Jerman merupakan ke-

kuatan kunci dalam struktur ekonomi, politik dan pertahanan benua Eropa. Catatan paling gelap dalam sejarah Eropa terjadi di Jerman ketika negara ini menjadi ajang 2 Perang Dunia, dan akhirnya diduduki oleh pasukan yang memenangkan Perang Dunia II: AS, Inggris, Prancis, dan Uni-Soviet tahun 1945. Terletak di tengah Eropa, Jerman berbatasan dengan Laut Baltik dan Laut Utara, antara Belanda dan Polandia, dan di selatan Denmark. Penduduknya berjumlah sekitar 83,25 juta jiwa (estimasi Juli 2002). Rasio imigran per 1.000 penduduk adalah 3,99 orang (estimasi 2002). Secara etnis, terdiri dari 91,5% bangsa Jerman, 2,4% Turki, 6,1% etnis lain-lain (etnis Serbia-Kroasia, Italia, Rusia, Yunani, Polandia, dan Spanyol). Dari sudut agama, 34% penduduk Jerman penganut Protestan, 34% Katolik, 3,7% Muslim, 28,3% tidak beragama atau lain-lain. Secara administratif, Jerman terbagi menjadi 16 negara bagian (Land atau Laender) bagian, yaitu: Baden-Wuerttemberg, Bayern, Berlin, Brandenburg, Bremen, Hamburg, Hessen, MecklenburgVorpommern, Niedersachsen, Nordrhein-Westfalen, RheinlandPfalz, Saarland, Sachsen, Sachsen-Anhalt, Schleswig-Holstein, Thueringen.
Sejarah Ringkas

47

Sekitar tahun 2.000 SM suku bangsa Jerman menggusur bangsa Kelt. Abad ke-5 M mereka merebut sebagian besar wilayah Imperium Romawi Barat. Tahun 800 Karel Agung (Charlemagne) dinobatkan menjadi kaisar. Tahun 962, Otto I (Agung) mendirikan Imperium Romawi Suci (Reich Pertama). Tahun 1152 Frederick I mendirikan Dinasti Hohen-Staufen. Tahun 1273 Rudolf I mendirikan Dinasti Habsburg. Dalam periode 1618-1648 pecah perang antara pemeluk Katolik dan Protestan yang terkenal dengan Perang 30 Tahun. Ketika Frederick II berkuasa (1740-1786) Negara Prussia lahir, tetapi menderita kekalahan dalam Perang Napoleon (1803-1815).

48

Dalam Kongres Wina (1815), negara ini dijadikan Konfederasi Jerman. Kemudian pecah Revolusi 1848 yang akhirnya memilih Bismarck sebagai kanselir (1862-1890). Jerman muncul sebagai pemenang dalam Perang Austria-Prussia (1866) dan Perang Prancis-Prussia (1870-1871) yang melahirkan Reich Kedua dibawah Willem I dari Dinasti Hohenzollern. Jerman terlibat dalam Perang Dunia I (1914-1918) dan menderita kekalahan. Dalam Perjanjian Versailles (1919), Raja Willem II dimakzulkan dan Republik Weimar (1919-1933) lahir. Kehidupan dalam suasana di mana angka pengangguran sangat tinggi, inflasi membubung, perlunya rehabilitasi akibat perang dan depresi yang melanda dunia menyuburkan Fasisme di Jerman. Tahun 1933, Ketua Partai Sosialis-Nasional (Nazi), Adolf Hitler, terpilih menjadi kanselir dan Jerman menjadi Reich Ketiga. Hitler mempersenjatai kembali kawasan Rhineland (1936), membantu pasukan Franco dalam Perang Saudara di Spanyol (1936-1939), dan merebut Austria (1938). Bulan Maret 1939, pasukan Jerman menyerbu Cekoslovakia dan Polandia bulan September 1939 yang menjadi pemicu Perang Dunia II. Laju invasi Nazi ke Eropa Barat terpaksa berhenti ketika gagal dalam Perang Britain. Di ambang kekalahan, Hitler bunuh diri bulan April 1945, dan Jerman menyerah tanggal 8 Mei 1946 dan negara itu dibagi menjadi 4 zone. Tahun 1949 berdiri Jerman Timur dan Jerman Barat di tengah berseminya Perang Dingin. Walter Ulbricht menjadi pemimpin pertama Jerman Timur. Negara ini bergabung menjadi Pakta Warsawa tahun 1955. Sedangkan Konrad Adenaeur terpilih menjadi kanselir pertama (1949-1963) Jerman Barat. Tahun 1955 Jerman Barat menjadi anggota NATO. Bulan Juli 1990 kedua negara ini bersatu dan Helmut Kohl menjadi kanselir pertama Jerman yang bersatu ini sejak 1933.
Sistem Pemerintahan

Untuk tingkat nasional, Jerman memiliki 5 badan konstitusional yaitu Parlemen (Bundestag) dan Majelis Perwakilan Rakyat (Bundesrat) yang memiliki kekuasaan legislatif, Mahkamah Konstitusi Fed-

eral yang memiliki kekuasaan yudikatif, dan Presiden Federal bersama Kabinet Federal yang memiliki kekuasaan eksekutif. Kabinet bertanggung jawab menjalankan pemerintahan. Kabinet federal terdiri dari para menteri dan diketuai oleh seorang Kanselir. Kanselir ini memiliki kekuasaan yang sangat dominan dalam pemerintahan. Ia bagaikan seorang kapten dari sebuah kapal yang bernama negara. Kanselir menentukan siapa yang akan duduk dalam pemerintahan karena hanya dia yang bisa membentuk kabinet. Kanselir memilih menterinya dan menyusun proposal yang bersifat mengikat bagi Presiden Federal dalam hal pengangkatan (atau pemecatannya). Kanselir menentukan jumlah kementerian dan mendefinisikan terms of reference-nya. Kanselir juga menentukan pedoman umum kebijakan pemerintahan. Ini berarti bahwa Kanselir juga bertanggung jawab atas apa yang telah dia gariskan. Landasan dari prinsip ini adalah Aturan Prosedur Pemerintah Federal yang ditetapkan oleh Kabinet Federal dan disetujui oleh Presiden Federal. Kanselir bisa memberikan perintah kepada menterinya tetapi Konstitusi menjamin bahwa para menteri memiliki hak untuk melaksanakan tugasnya secara otonom sejauh itu di dalam kerangka kerja yang sudah ditetapkan oleh Kanselir. Jika pemerintah merupakan sebuah koalisi, Kanselir juga terikat dengan isi kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian koalisi tersebut. Kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Konstitusi Federal (Bundesverfassungsgericht). Separuh hakim anggotanya dipilih oleh DPR (Bundestag) dan separuhnya lagi dipilih oleh MPR (Bundesrat).
Sistem Elektoral

49

Dalam pemilu di Jerman, setiap pemilih memiliki 2 suara (Algemeen Dagblad, 21/9/2002). Suara pertama adalah untuk memilih politisi dari konstituen tertentu. Dengan cara ini mereka memilih sekitar separuh dari keseluruhan kursi yang diperebutkan di Parlemen (Bundestag). Sedangkan suara pilih kedua diberikan kepada partai untuk mengisi kursi selebihnya. Masa jabatan anggota legislatif di Jerman ialah 4 tahun, sehingga pemilu juga diadakan setiap 4 tahun.

Azas pemilu di Jerman adalah umum, langsung, bebas, setara, dan rahasia. Menurut Pasal 38 dan 39 Basic Law Jerman, umum berarti seluruh warga negara yang berusia di atas 18 tahun memiliki hak pilih, langsung bermakna pemilih memilih langsung anggota legislatif mereka, bebas berarti pemilih bebas dari tekanan siapa pun dalam menentukan pilihannya, setara artinya setiap suara memiliki bobot yang sama, dan rahasia maksudnya tidak seorang pun boleh tahu siapa yang dipilihnya kecuali yang bersangkutan memberitahukannya atas kemauan sendiri (The German Bundestag: Functions and Procedures, 1999). Menurut estimasi, dalam pemilu Jerman tahun ini terdapat 61,2 juta orang yang memiliki hak pilih dari 83,2 juta penduduk Jerman. Kursi dipertarungkan melalui representasi proporsional dengan menggunakan daftar urut calon anggota legislatif. Pada prinsipnya drempel keterwakilan di Parlemen adalah meraih 5% suara, atau 3 kursi dengan menggunakan carapilihan langsungyang pertama (The Guardian Unlimited, 19/9/2002).
50

Partai Politik

Saat ini, terdapat 6 partai politik yang terkemuka di Jerman: Partai Sosial Demokrat (Sozialdemokratische Partei Deutschland/SPD), Partai Demokrat Liberal (Freien Demokratischen Partei/FDP), Partai Hijau (Grne), Partai Kristen Demokrat (Christlich Demokratischen Union Deutschlands/CDU), Partai Kristen Sosial Uni (Christlich-Soziale Union/CSU), dan Partai Sosialis Demokratik (Partei des Demokratischen Sozialismus/PDS). Sedangkan CDU dan CSU berada dalam satu barisan. *** Hasil pemilu Jerman diumumkan secara resmi dinihari, 23 September 2002. Perhitungan menunjukkan koalisi SPD dan Grne meraih 306 dari total 603 kursi di Parlemen atau hanya unggul dengan 5 kursi dari saingan mereka. Dengan kata lain, bantuan suara Partai Hijau terhadap posisi SPD dalam pemilu yang lalu sangat signifikan. Perbandingan Kursi di Parlemen Hasil Pemilu 1998 dan 2002 menurut The Economist (28/9/2002) adalah sebagai berikut: SPD

(298:251), CDU/SDU (245:248), Die Groenen (47:55), Sosial Demokratik (36:2), dan FDP (43:47). Kompetitor dari koalisi merah-hijau dalam salah satu pemilu yang terketat persaingannya dalam sejarah politik Jerman pasca Perang Dunia II tersebut adalah koalisi CDU/CSU dan FDP. Mereka meraih 295 kursi di Parlemen. Sedangkan partai eksKomunis, Sosialis Demokratik, hanya meraih 2 kursi melalui pemilihan langsung. Kemenangan tipis SPD dan Grne ini, untuk sementara bisa menepis spekulasi pudarnya dominasi parpol berhaluan sosial demokrat dari pentas politik Eropa Barat.
Isu Kontroversial dan Bencana Banjir

Pertanyaan yang timbul adalah: Mengapa SPD yang nota bene berhaluan kiri masih bisa bertahan di tengah kecenderungan beralihnya pendulum politik Eropa Barat ke kanan? Jawabannya barangkali bisa dirunut dari isu-isu kontroversial yang diangkat oleh Konselir Gerhard Schrder yang sekaligus Ketua SPD menjelang pemilu. Isu tersebut adalah penolakan Schrder yang secara konstan terhadap rencana Amerika Serikat menyerang Irak tanpa mandat PBB. Alasan kedua adalah bencana banjir yang melanda Jerman sekitar 5 pekan menjelang pemilu. Kedua peristiwa ini sebenarnya tidak dikreasikan oleh Schrder tetapi dia mampu mengeksploitasi keduanya secara optimal bagi dukungan kepada partainya (The Economist, 28/9/2002). Washington memilih berdiam diri terhadap sikap Schrder yang terang-terangan menolak mendukung rencana mereka untuk menyerang Irak dengan alasan mengganti rezim Saddam Hussein dan melumpuhkan senjata pemusnah massalyang dicurigai dimiliki Irak. Tetapi Gedung Putih bereaksi keras ketika Menteri Kehakiman Jerman, Herta Dubler-Gmelin, yangmenurut sebuah media regionalsecara tidak langsung membandingkan kebijakan Bush Jr. saat ini dengan langkah yang pernah diambil oleh Adolf Hitler untuk mengalihkan masalah dalam negeri dengan mengkampanyekan perang. Meskipun Dubler-Gmelin mengklarifikasi bahwa dia tidak bermaksud membandingkan pribadi Bush Jr. dengan Hitler, tetapi dia melihat ada kemiripan metode antara keduanya. Klarifikasi Dubler-Gmelin itu disusul dengan keputusannya mengundurkan

51

52

diri. Schrder menyikapi pengunduran itu sebagai sesuatu yang secara manusiawi sangat santun dan secara politik sangat terhormat (Algemeen Dagblad, 24/9/2004). Artinya, dengan cara tidak langsung Schrder memuji dan membela Dubler-Gmelin. Komunikasi antara Schrder dan Bush Jr. ditenggarai terputus sejak Juni 2002 (Algemeen Dagblad, 24/9/2004). Padahal kalau disimak, sebelumnya Schrderdisamping Tony Blair, Silvio Berlusconi, dan Jacques Chiracadalah figur Eropa yang paling antusias mendukung kebijakan AS pasca 11 September 2001 dalam perang membasmi terorisme. Untuk itu, Schrder bahkan pernah menjanjikan sebuah solidaritas tanpa syarat (Newsweek, 3/6/2002). Indikasi menegangnya hubungan antara Jerman dan AS mencuat ketika Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld menolak bertemu dengan koleganya dari Jerman, Peter Strck, dalam pertemuan informal Menteri Pertahanan NATO di Warsawa, Polandia, pekan ketiga September 2002 (US Department of States, International Information Programs, 23/9/2002). Alasan penolakan Rumsfeld adalah scheduling problems. Dalam pertemuan tersebut Rumsfeld melukiskan bahwa hubungan antara Washington dengan Berlin saat ini sudah teracuni. Penasehat Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, Condoleeza Rice, memiliki persepsi yang sama dengan Rumsfeld dalam kasus ini (The Economist, 28/9/2002). Ketika Schrder sibuk menerima ucapan selamatsebuah kelaziman dalam tata-krama pergaulan internasionaldari kepala negara dan atau pemerintahan negara sahabat, Washington malah memutuskan untuk tidak mengirimkan kawat serupa ke Berlin. Tetapi benarkah isu yang dimainkan Schrder seputar pemilu yang seolah kurang pro-AS tersebut merupakan sebuah penolakan mutlak atau hanya sebuah retorika untuk meraup simpati calon pemilih dalam pemilu? Menurut pengakuan Schrder hubungan antara Washington dan Berlin tetap intact dan fondasi hubungan tersebut terlalu kokoh untuk digerogoti hanya oleh sebuah perbedaan pendapat. Dan sikap penolakannya mengikutsertakan kontingen atau dukungan militer Jerman ke dalam rencana ekspedisi militer pimpinan AS atas Irak tersebutmenurut Ketua SPD iniadalah sebuah perbedaan pendapat yang biasa terjadi.

Kami memprediksi bahwa kebijakan kurang pro-AS yang diperlihatkan Schrder itu lebih merupakan sebuah tindakan strategis jangka pendek sekitar pemilu karena suara protes terhadap rencana AS itu di kalangan masyarakat Jerman cukup kuat. Ini terbukti dengan jajak pendapat yang dilakukan oleh Forsa menjelang pemilu di mana popularitas Schrder melejit karena sikapnya yang kontradiktif dengan rencana serangan militer pimpinan AS terhadap Irak. Schrder mampu dengan cantik memanipulasi isu yang merupakan manifestasi dari salah satu sentiments of the street yang dominan di Jerman, yaitu rencana ekspedisi militer terhadap Irak. Suara protes tersebut sebenarnya lebih merupakan representasi dari kurang populernya Bush Jr. di negara itu (Newsweek, 3/6/2002). Disamping itu, perlu diingat bahwa kontingen Jerman merupakan salah satu tulang-punggung koalisi International Security Assistance Force (ISAF) dalam operasinya di Afghanistan yang dipimpin oleh AS. Jerman bahkan akan mengirim 1.000 pasukan tambahan ke Afghanistan untuk misi tersebut (Algemeen Dagblad, 28/10/2002). Dan dukungan semacam itu merupakan yang pertama terjadi di Jerman pada masa pemerintahan Merah-Hijau. Artinya, bisa saja sikap Schrder itu berubahmelalui konsesi-konsesi tertentudari menolak menjadi mendukung rencana penyerangan terhadap Irak tersebut. Sejauhmana pulihnya hubungan antara Bush Jr. dan Schrder kita lihat saja bagaimana interaksi antara keduanya dalam KTT NATO di Praha, November ini. Atau, akankah kejadian penolakan Rumsfeld untuk bertemu dengan Strck kembali terulang? Isu kedua yang berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh Schrder adalah bencana banjir bandang yang merupakan banjir kiriman dari Ceko sebulan sebelum pemilu. Sebagian besar yang tergenang banjir adalah wilayah Jerman Timur. Sekitar 4,2 juta warga Jerman yang terkena gangguan bencana tersebut dan kerugian diperkirakan mencapai milyaran euro. Meluapnya Sungai Elbe itu memaksa diumumkannya daerah-bencana di Saksen dan Saksen-Anhalt (Algemeen Dagblad, 16/8/2002). Schrder segera mengumumkan paket bantuan-darurat di mana untuk sementara negara menalang 8-9 milyar. Schrder juga mem-

53

berikan bantuan uang kontan kepada kelas menengah dan wong cilik yang menjadi korban banjir serta mempertimbangkan penghapusan hutang mereka (Algemeen Dagblad, 20/8/2002). Kebijakan yang diambil Schrder ini merupakan sebuah relief yang luar biasa simpatik di kalangan masyarakat yang sedang dilanda kesulitan dan ketidakpastian pasca banjir.
Koalisi Merah-Hijau Jilid II

54

Setahun lalu, Schrder pernah melirik Partai Demokrat Liberal (FDP) untuk berkoalisi meskipun lirikan SPD kepada Partai Hijau juga kuat. Tetapi bencana banjir lebih mengentalkan kecocokan antara SPD dengan Partai Hijau khususnya karena sentimen calon pemilih terhadap pelestarian lingkungan semakin berakumulasi. Walaupun parpol berideologi merah dan hijau ini berbeda dalam beberapa kebijakan, tetapi secara tradisional mereka lebih mudah berkoalisi. Itu pula sebabnya mengapa komposisi parpol berkuasa walaupun dengan mayoritas yang sangat tipisdi Parlemen kali ini sama dengan komposisi sebelumnya. Dan hanya dengan bantuan suara Partai Hijau yang merupakan 8,6% dari total suara, SPD bisa memperpanjang dominasi mereka di Bundestag. Fakta ini mendukung kesimpulan bahwa kemenangan Schrder dipengaruhi oleh faktor tepatnya dia menentukan dengan siapa SPD mesti berkoalisi. Sementara itu, meskipun tidak telak, partai oposisi harus menerima kekalahan mereka. Namun bagi pribadi Edmund Stoiber, Ketua CDU/CSU, kekalahan tersebut tidak serta-merta membuatnya menjadi pecundang. Ternyata dalam pemilu kemarin dukungan terhadap tokoh konservatif itu di wilayah asalnya di Bavaria malah meningkat. Menurut estimasi Stoiber, pemerintah koalisi Merah-Hijau ini tidak akan bertahan lama. Sedangkan FDPmeskipun mengalami kenaikan kursi dari 43 menjadi 47 atau dari 6,2% menjadi 7,4% suara dalam pemilu lalu memperoleh hasil yang jauh dibawah target mereka yaitu 18% suara. Ketua FDP, Guido Westerwelle, dinilai kurang memiliki daya tarik. Sedangkan Wakil Ketuanya, Jrgen W. Mlleman yang vokal mengkritik kebijakan Ariel Sharon terhadap bangsa Palestina, mengundurkan diri pasca pemilu. Tetapi dia tetap menjadi Ketua FDP di

Noordrijn-Westfalen. Menurut majalah Time, isu anti-Semit yang diangkat oleh Mlleman adalah untuk mendulang suara 2,5 juta Muslim di Jerman (Time, 17/6/2002).
Beberapa Implikasi

Implikasi pertama yang penulis tangkap ialahdengan terpilihnya kembali koalisi pimpinan Schrder dan Fischer menyusul kemenangan parpol berhaluan sosial demokrat dalam pemilu di Swedia beberapa waktu laluadanya sinyal bahwa denyut nadi parpol sosial demokrat di Eropa Barat belum berhenti sama sekali. Kedua, parpol berhaluan kanan-populis, sebagaimana yang sedang laris di pentas politik Eropa Barat, kurang mendapat tempat di Jerman. Hal ini boleh jadi disebabkan trauma masa lalu negara itu yang pernah dikuasai oleh fasisme Nazi. Peran media juga tidak bisa diabaikan sebagai watchdog yang bisa mencegah berpindahnya bandul politik secara drastis ke kanan. Ketiga, kadar loyalitas pendukung parpol di Jerman lebih tinggi dibandingkan, misalnya, dengan loyalitas serupa di Belanda (Algemeen Dagblad, 24/9/2002). Jadi, jangan harap terjadi perubahan warna politik yang ekstrim atau adanya floating-mass yang besar di Jerman sehingga bisa mengubah konstelasi politik dengan tiba-tiba. Keempat, isu-isu yang lazim diangkat oleh para politikus kananpopulis dan konservatif di Eropa Barat adalah masalah ras, agama, keamanan, pengangguran dan integrasi para imigran. Isu semacam itu biasanya kurang konkrit di kalangan sosial demokrat atau kiri. Padahal, menurut realita, dari sekitar 7 juta pendatang di Jerman justru menghadapi lebih sedikit masalah dalam hal berintegrasi ke dalam masyarakat Jerman dibandingkan di negara-negara lain di Eropa. Diperkirakan, politisi kanan-populis sekaliber Pim Fortuyn (Belanda) atau Jean-Marie Le Pen (Prancis) sekalipun akan sulit diterima di Jerman. Akhirnya, kemenangan tipis koalisi SPD dan Grnen juga berarti bahwa mereka tidak memperoleh mandat penuh untuk melakukan reformasi secara radikal. Apalagi MPR (Bundesrat) kini dikuasai oleh kelompok oposisi. Disamping itu, ide sosial demokrat yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan sosial yang dibawa oleh

55

Schrder bisa dinilai oleh koleganya di Eropa sebagai sebuah hambatan bagi pertumbuhan ekonomi. Dan persoalan yang segera menghadang duet Schrder-Fischer adalah stagnasi ekonomi yang semakin memburuk dan membengkaknya angka pengangguran yang kini mencapai 4 juta orang.

9. PERLUASAN EROPA: KONSEKUENSINYA TERHADAP HUBUNGAN EU-INDONESIA


Gunaryadi, 8 April 2003

K
56

alau tidak ada aral melintang, per 1 Mei 2004, EU akan memiliki 25 negara anggota dengan masuknya Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Malta, Polandia, Republik Ceko, Siprus, Slovenia, dan Slovakia. Perluasan Eropa merupakan konsekuensi logis dari integrasi EU, yaitu integrasi dalam makna perluasan (uitbreiding). Fase perluasan kali ini merupakan yang ke-6 dalam sejarah EU. *** Hubungan EU-Indonesia selama ini secara resiprokal dipersepsikan cukup penting. Bagi EU, Indonesia merupakan mitra yang sangat penting di kawasan Asia Pasifik. Pentingnya Indonesia bagi EU ditegaskan kembali oleh Chris Patten, Komisioner Hubungan Luar Negeri EU, paska jatuhnya rezim Orde Baru. Meskipun secara geografis Indonesia sangat jauh dari EU, tetapi mereka memerlukan Indonesia sebagai pasar. Saat ini, produk dari negara-negara EU menguasai pangsa pasar terbesar di Indonesia. Banyak negara anggotanya juga memiliki kepentingan khususnya ekonomi, perdagangan dan investasi di tanah air. EU juga memerlukan Indonesia sebagai kawasan untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi, pemerintahan yang bersih dan HAM, dan mitra yang konstruktif dalam memberantas semua bentuk tindak terorisme. Dari pihak Indonesia, dalam strategi kebijakan luar negeri Indonesia, hubungan Indonesia dengan EU juga dinilai cukup penting,

meskipun masih dibawah skala hubungannya dengan Amerika Serikat dan Jepang. Ini barangkali disebabkan oleh cengkeraman hegemoni politik, ekonomi, dan militer AS serta ekonomi Jepang disatu pihak, dan absennya jati-diri EU sebagai sebuah negara yang tunggal dipihak lain. Indispensabilitas EU bagi Indonesia bisa diwakili oleh Refleksi Tahun 2002 dan Proyeksi untuk Tahun 2003 yang disampaikan oleh Menlu Hassan Wirajuda di Jakarta, 8 Januari 2003. Pentingnya hubungan dengan EU didukung oleh fakta bahwa EU merupakan mitra dagang terbesar kedua Indonesia sesudah Jepang. Tahun 1998, EU merupakan tujuan ekspor terbesar komoditas nonmigas Indonesia. Melalui negara anggotanya, EU merupakan foreign direct investor terbesar di Indonesia. EU merupakan salah satu negara donor melalui Consultative Group for Indonesia. Dan sikap EU terhadap beberapa isu global yang memiliki kesamaan dengan posisi Indonesia yang membuatnya tepat menjadi mitra untuk mengimbangi kecenderungan unilateralisme dalam percaturan politik dunia. *** Yang menjadi pertanyaan adalah apa konsekuensi perluasan tadi terhadap hubungan EU-Indonesia. Tampaknya tidak mudah membuat prediksi dalam hal ini secara akurat. Bahkan sejarah integrasi EU sendiri sulit diperkirakan jauh-jauh hari sebelumnya. Misal, di awal 1990-an tidak banyak yang memperkirakan kalau negara-negara BlokTimur bisa bergabung dengan EU dalam dekade berikutnya. Namun, tulisan singkat ini mencoba mengulas konsekuensi perluasan tersebut dari segi kerjasama pembangunan dan perdagangan, tata dunia kontemporer, dan visibilitas EU di Indonesia. Mengingat pentingnya EU bagi Indonesia, adalah wajar kalau perluasan tersebut membawa sedikit kekuatiran. Tetapi, kalau melihat kecenderungan yang terjadi, perluasan ini tidak akan membuatnya menjadi blok yang isolative dan inward-looking. Apa lagi sudah ada jaminan bahwa anggota yang baru juga akan mendukung tujuan dan instrumen kebijakan pembangunan EU. Perluasan EU bahkan menumbuhkan peluang peningkatan volume perdagangan antara kedua belah pihak karena negara anggota yang baru akan segera melaksanakan acquis perdagangan EU yang memberikan akses preferential trade kepada negara-negara berkem-

57

58

bang. Dalam kebijakan luar negeri Indonesia sendiri sudah ada kemauan untuk memprioritaskan kerjasama perdagangan dengan negara Eropa Tengah dan Timur. Berbagai mekanisme untuk mengembangkan hubungan perdagangan bilateral dengan Republik Ceko, Hungaria, Polandia, Bulgaria, Romania dan Slovakia sedang dilakukan. Barangkali, yang menjadi ancaman adalah jika komoditas Indonesia ternyata sejenis dengan produk dari negara anggota yang baru tersebut, maka komoditas Indonesia tadi akan kalah bersaing untuk masuk ke dalam Pasar Tunggal Eropa. Konsekuensi berikutnya adalah usaha untuk menumbuhkan keseimbangan dalam tata dunia kontemporer. Meskipun ambisi untuk memiliki sebuah sikap dan aksi EU yang tunggal dalam is-isu internasional masih merupakan embrio, EU sudah memperlihatkan sikap kritis terhadap kecenderungan unilateralisme dalam kebijakan luar negeri AS dan penerapan pendekatan militeristik sebagai instrumennya. Sebagaimana mayoritas negara anggota EU, Indonesia cenderung mengusahakan penyelesaian yang multilateral terhadap persoalan global. Indonesia memiliki persepsi yang mirip dengan EU dalam membasmi berbagai bentuk tindak terorisme yakni menekankan bahwa usaha tersebut harus diikuti secara berkelindan untuk menghapus akarnya: kemiskinan dan ketidakadilan. Sebuah fenomena menarik di awal tahun 2003 adalah penolakan aliansi Franco-Jerman yang disokong Belgia dan Luxemburg terhadap invasi yang dipimpin AS di Irak tanpa mandat Dewan Keamanan PBB. Hal ini juga menjadi salah satu alasan mengapa NATO secara resmi tidak diturunkan dalam petualangan militer di Irak tersebutsuatu hal yang berbeda dari kasus Afghanistan. EU juga memiliki sikap dan kebijakan yang cukup signifikan perbedaannya dari AS dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina. Dampak selanjutnya dari perluasan ini adalah kemungkinan semakin kaburnya visibilitas EU di Indonesia. Konseptualisasi EU di Indonesia saat ini masih sangat samar. Jangankan mengelaborasi berbagai proyek dan peluang kerjasama, baru segelintir di tanah air yang sudah memiliki pengetahuan memadai tentang makhluk yang bernama EU. Dengan bertambahnya anggota EU, dikuatirkan visibilitas EU di Indonesia semakin buram.

Dibandingkan dengan visibilitas EU di tingkat ASEAN, Indonesia masih jauh ketinggalan. Salah satu indikasinya adalah ketersediaan pusat akademis dan riset tentang EU. Universitas Nasional Singapura telah cukup lama menyelenggarakan program Kajian Eropa. Mereka juga memiliki Asia-Europe Foundation. Hal serupa juga telah dilakukan Thailand di Chulalongkorn University. Pemerintah Malaysia pun telah merintis Asia-Europe Institute yang dikelola oleh Universiti Malaya sejak 1997. Filipina juga sudah memiliki European Studies Consortium of the Philippines yang juga dibentuk dalam tahun yang sama. *** Meskipun sebuah kesimpulan tentatif bisa ditarik bahwa perluasan EU tidak terlalu mengancam hubungan EU-Indonesia, tetapi sikap berhati-hati tetapi diperlukan. Misalnya, dengan bergabungnya Republik Ceko, Polandia, Hungaria, dan Romania (diperkirakan bergabung 2007), trend diversifikasi sumber persenjataan Indonesia ke negara-negara Eropa Tengah dan Timur baru-baru ini bisa terancam karena EU pernah mengembargo penjualan senjata kepada Indonesia dengan alasan pelanggaran HAM oleh ABRI beberapa tahun silam. Yang lebih penting lagi bagi Indonesia adalah bagaimana mengoptimalkan manfaat dan meminimalisir mudhorat perluasan EU tersebut. Misalnya, ada 2 langkah yang taktis. Pertama, memperluas saluran dialog dan mengintensifkan komunikasi dengan EU sehingga perkembangan yang berkaitan dengan perluasan EU tersebut terus terpantau dan bisa memberikan sinyal yang lebih dini kepada para policy-maker dan civil-society yang mempengaruhi penyusunan kebijakan luar negeri kita. Kedua, menggalang kekuatan dengan negara lain untuk menekan EU agar mereformasi kebijakannya yang kurang kondusif bagi negara non-EU seperti Common Agricultural Policy, dll.
(Dimuat Harian Padang Ekspres, Januari 2005)

59

10. RUNTUHNYA MITOS KONGLOMERASI KAPITALIS


Gunaryadi, 9 Mei 2003

60

ingga menjelang krisis moneter melanda Indonesia pertengahan 1997, hanya segelintir ekonom tanah air yang memprediksi runtuhnya konglomerasi raksasa di Indonesia. Kita baru terkejut ketika badai krisis datang, ternyata bisnis konglomerat kelas kakap yang bertumpu pada crony capitalism itu runtuh bagaikan efek domino. Yang bertahan dalam turbulensi ekonomi tadi justru para pelanduk yang terdiri dari pengusaha kecil dan menengah (UKM) yang notabene adalah lebih dari 90% pelaku ekonomi di Indonesia. Padahal, dalam masa Orde Barukhususnya dalam kurun 1987 s.d. 1994peran ekonomi para pelanduk itu dimarjinalkan sedemikian rupa. Kemampuan UKM tersebut bertahan dalam kondisi krisis secara tidak langsung memperkuat tesis beberapa tokoh yang memajukan ekonomi kerakyatan seperti Prof. Mubyarto dan Adi Sasonomeskipun penulis kurang sepaham kalau isu ras ditonjolkanserta kawan-kawan. Tetapi kini kita lebih terkejut lagi ketika banyak konglomerasi raksasa kapitalis di AS ternyata juga sangat rapuh. Selama ini kita mengenal bahwa AS memiliki fundamental ekonomi yang terkuat dan terbaik di dunia. Selama ini perusahaan di sana menggaji karyawan yang paling berbakat dan produktif, yang disokong oleh mata uang yang paling kuat di dunia yang mengalir melalui nadi pasar modal yang paling bersih dan lancar. Kini orang Amerika seolah mempertanyakan seberapa besar booming yang telah mereka alami yang sungguh-sungguh merupakan kenyataan, atau hanya sekedar ilusi yang dibangun oleh eksekutif yang korup yang memperkaya diri sendiri dengan bantuan akuntan yang tidak amanah dan bankir yang tamak. Seriusnya skandal yang melanda AS bahkan memaksa Presiden George W. Bush ikut membersihkan dirinya dari big business dan tuduhan tentang berbagai ketidakwajaran.

Mingguan The Economist membuat daftar konglomerasi raksasa dunia yang diduga melakukan pelanggaran dan penipuan (A guide to corporate scandals, The Economist Global Agenda, 10/7/2002), yang terdiri dari: 1. Enron Runtuhnya Enron merupakan kasus kehancuran terbesar korporasi di AS. Konglomerasi raksasa yang bergerak dalam sektor energi itu mulai masuk perlindungan pailit AS sejak Desember 2001 setelah mengakui bahwa laba yang diperoleh dalam tahun-tahun sebelumnya sebenarnya hampir US$ 600 juta lebih rendah daripada yang mereka klaim. Enron mendapat hantaman bertubi ketika mengakui bahwa mereka selama ini menggunakan special purpose vehicles atau offbalance sheet vehicles (transaksi yang tidak dicatat dalam neraca perusahaan) untuk mempertahankan laba dan mengurangi kerugian. Yang lebih mengejutkan adalah peran Andrew Fastow, Direktur Keuangannya, yang bekerjasama dalam menjalankan salah satu offbalance sheet itu. Dari kerjasama tersebut Mr. Fastow mengantongi US$ 30 juta. Mr Fastow dan CEO Enron, Mr. Lay berlindung di balik Fifth Amendment untuk menghindari kesaksian yang bisa memberatkan diri sendiri (self-incrimination) ketika diminta memberikan keterangan di depan sebuah komite yang dibentuk Senat AS. 2. Andersen Andersen adalah akuntan audit Enron. Perusahaan ini sebenarnya sudah bubar bahkan sebelum kasus pelanggarannya mengapung Juni lalu. CEO Andersen, Joe Berardino, pada awalnya hanya mengakui beberapa salah perhitungan, tetapi perusahaannya menjadi oleng setelah mengakui pemusnahan dokumen yang berkaitan dengan Enron secara tergesa-gesa, di kantornya di Houston (Texas) setelah Securities and Exchange Commission (SEC) melakukan investigasi terhadap pembukuan Enron. Partner yang menjadi akuntan Enron, David Duncan, telah membuat pengakuan bersalah tetapi akan mendapat keringan hukuman karena setuju menjadi saksi bagi negara dalam kasus tersebut.

61

62

3. Tyco Tyco tiba-tiba menjadi gunjingan. Konglomerasi yang bergerak mulai dari sektor alat-alat kedokteran hingga telekomunikasi tersebut pada mulanya hanya perusahaan kecil yang didirikan oleh Dennis Kozlowski di New England. Mr. Kozlowksi mendapat tekanan dari pemegang saham untuk membagi grup tersebut, meskipun pada bulan April rencana tersebut ditarik kembali. Waktu itu, Mr. Kozlowski hanya akan menjual saham (float) divisi keuangan Tyco, CIT kepada publik. Tetapi keputusan Mr. Kozlowski membuat pemegang saham Tyco kecewa karena tidak meraih laba sebagaimana yang diproyeksikan dan besarnya penyusutan nilai aset telekomunikasi. Tetapi Mr. Kozlowksi berkilah bahwa berita buruk itu hanya isu belaka. Ternyata tidak. Bulan Juni 2002, Mr. Kozlowski didakwa telah menilep US$ 1 juta dari pajak penjualan di New York untuk membeli benda seni. Tanpa menunggu putusan pengadilan, Mr. Kozlowksi didepak dari jajaran direksi Tyco. Tetapi karena perusahaan cukup mapan, Tyco diperkirakan akan bertahan. 4. Global Crossing Global Crossing adalah salah satu perusahaan telekomunikasi yang paling menjanjikan meskipun baru beroperasi selama 5 tahun. Tetapi bulan Januari 2002 terpaksa dimasukkan ke dalam daftar perusahaan bangkrut akibat kesalahan strategi spekulasi yang ternyata merugi. Perusahaan ini mengira bisa meraup laba dengan meminjam milyaran dollar untuk memasang jaringan kabel serat-optik dan menjual kapasitas jaringan komunikasi tersebut kepada perusahaan lain. Tetapi Global Crossing bukan satu-satunya perusahaan yang punya ambisi demikian. Sudah banyak fasilitas jaringan serat-optik yang ada dan harga menjadi jatuh. Tetapi, Securities and Exchange Commission (SEC) juga sedang melakukan investigasi kemungkinan Global Crossing terlibat dalam ruilslag dengan operator lain dalam rangka meningkatkan pemasukan. WorldCom 5. WorldCom

WorldCom juga sebuah grup telekomunikasi raksasa meskipun masalahnya lebih besar daripada yang dihadapi oleh Global Crossing. Bulan Juni 2002, WorldComyang menguasai jaringan MCI SLJJ Americanmengakui bahwa mereka dengan keliru telah membukukan biaya sebesar US$ 3,8 milyar sebagai modal pengeluaran, dan bahwa laba yang diraup selama 5 triwulan sejak awal 2001 melayang. Akuntan yang mengaudit WorldCom adalah Andersenperusahaan audit yang kebetulan juga akuntan Enron. WorldCom telah memecat Direktur Keuangannya, Scott Sullivan. Tidak itu saja, CEO sekaligus pendiri WorldCom yang terkenal flamboyan, Bernie Ebbers, juga didepak bulan April lalu. Tetapi sekedar pengakuan ternyata tidak cukup memuaskan SEC. Ketua SEC yang memeriksa akuntansi WorldCom, Harvey Pitt menggambarkan pembukuannya sebagai wholly inadequate and incomplete. Mr. Ebbers dan Mr. Sullivan berlindung di balik Fifth Amendment ketika diminta keterangan mereka di depan sebuah komite yang dibentuk Kongres tanggal 8 Juli lalu. Untuk menyelamatkan perusahaanagar sesuai dengan standar akuntansi ASWorldCom mesti mengganti pemilik alias menjual diri. Tetapi melihat pasar telekomunikasi yang sedang lesu, akan sulit bagi WorldCom mendapatkan calon pembelinya (Lihat juga Worldcom ook slachtoffer Enron-affaire, de Volkskrant, 13/3/2002).

63

6. Xerox Perusahaan perlengkapan-kantor ini terpaksa memperbaiki pembukuannya bulan Juni lalu dengan alasan misapplication of GAAP (generally accepted accounting standards) yang membesar-besarkan laba yang diraihnya selama 5 tahun terakhir sebesar US$ 1,4 milyar. Masalah mark-up itu sudah diselesaikan Xerox dengan membayar denda kepada SEC sebesar US$ 10 juta dan penggusuran beberapa eksekutif seniornya. Meskipun Xerox sudah mendapat pinjaman baru dari bangkirnya dan sepakat dengan GE Capital untuk mengambil alih satu usaha equipment-financing-nya, tempaknya investor masih raguragu dan sahamnya kurang menarik.

64

7. Vivendi Bulan Juli ini, konglemerasi yang bergerak dari bisnis pengelolaan sampah hingga film ini mau tidak mau harus kehilangan CEO-nya yang egoistis, Jean-Marie Messier. Monsieur Messier didepak setelah 2 bankir utamanya menolak memberi Vivendi kredit finansial. Perusahaan Prancis itu terpuruk mengusung utang sekitar 33 juta karena pengeluaran besar-besaran untuk membeli Universal Music, Universal Studios dan jaringan TV kabel Amerika. Vivendi menolak tuduhan bahwa mereka berusaha memoles pembukuan mereka. Kondisi Vivendi masih belum tertolong dengan keputusan Moodys, sebuah perusahaan penyusun peringkat-kredit, yang menempatkan utang Vivendi pada peringkat non-investment atau status rongsokan. Dibawah CEO baru, Jean-Ren Fourtou, Vivendi mesti menjual sebagian asetnya untuk mendapatkan tambahan dana segar guna membayar utangnya. Apakah nanti Vivendi akan tetap menjadi milik Prancis atau dibeli oleh perusahaan entertainmen Amerika, masih tergantung dari tekanan politik Paris. Kelihatannya Monsieur Fourtou tidak ingin mengulang kekeliruan pendahulunya yaitu kurang transparan dalam mengambil banyak keputusan penting. 8. Merck Perusahaan raksasa farmasi ini juga mendapat corengan dodgy accounting alias pembukuan akal-akalan. Awal bulan ini Merck mengakui bahwa mereka telah membesar-besarkan pendapatandan pengeluaranmereka hingga sekitar US$ 14 milyar selama tiga tahun terakhir. Tetapi publi Merck tidak sama seperti Enronmereka tidak membesar-besarkan laba dan tidak melakukan penipuan. Tetapi yang agak ganjil adalah tindakan Merck memasukkan uang yang telah dibayar kepada perusahaan farmasi pengencer ke dalam pendapatan dan aspek ini tidak pernah disinggung. Dengan public kekecewaan investor yang dikombinasikan dengan kondisi pasar yang tidak menentu sudah cukup membuat Merck membatalkan penjualan saham Medcoanak perusahaannyakepada public. 9. Elan

Elan juga perusahaan farmasi yang sedang menghadapi kemarahan investor. Meskipun perusahaan ini berlokasi di Irlandia, Elan dikenal investor Amerika melalui listing di Nasdag. Harga saham Elan mendapat tekanan bulan Januari lalu setelah muncul spekulasi koran tentang kebijakan pembukuannya. Ini mendorong Elan segera mengakui bahwa mereka telah melakukan praktek off-balance sheet dan SEC segera melakukan investigasi. Elan juga mengalami setback berkaitan dengan kasus obat yang sedang dikembangkannya untuk melawan penyakit Alzheimer. Bulan Juni lalu, Direktur Keuangannya, Tom Lynch, diturunkan posisinya menjadi wakil direktur dan bulan ini dia bersama direkturnya, Donal Geaney, hengkang dari perusahaan meskipun masih dipakai sebagai konsultan. Halliburton 10. Halliburton Halliburton adalah perusahaan minyak yang dikepalai oleh Dick Cheney, Wakil Presiden George Walker Bush. Saat ini SEC sedang menginvestigasi bagaimana perusahaan itu menangani tingginya biaya (cost overruns) dalam pembangunan konstruksi. Sebuah kelompok konservatif, Judicial Watch, sedang memeriksa Halliburton dan Cheney tentang tuduhan penipuan terhadap para investor. 11. Harken Energy Harken Energy pernah dikepalai oleh George Walker Bush. Tahun 1990 Mr. Mush menjual saham perusahaan tersebut hanya 8 hari sebelum terbukti menderita kerugian yang besar. Sebagai orang dalam, waktu itu Mr. Bush mestinya segera memberitahu SEC, tetapi bahkan catatan penjualan tersebut baru dibukukan 9 bulan kemudian. Bush Jr. dipersalahkan karena melakukan mix-up dengan pengacaranya. Waktu itu SEC melakukan investigasi tetapi tidak mengambil langkah apapun. 12. KPNQwest Perusahaan yang menguasai pasar jaringan serat-optik untuk internet ini didirikan tahun 1998 oleh perusahaan telekomunikasi Belanda (KPN) yang memegang 40% sahamnya, bersama dengan perusahaan Amerika (Qwest). Tanggal 12 Februari 2002, KPNQwest mengu-

65

mumkan bahwa kerugian bersih mereka selama tahun 2001 adalah 266 juta. Meskipun demikian, sebelum dikurangi bunga pinjaman, pajak dan depresiasi, KPNQwest masih dinilai meraih laba atau setidaknya membuat investornya optimis. Beberapa hari yang lalu, terbukti bahwa dari laporan keuangan tahunan KPNQwest tertanggal 11 Februari 2002atau sehari sebelum pengumuman kondisi perusahaan kepada publikternyata kerugian bersih mereka yang sebenarnya adalah 376,7 juta. Akhir Mei 2002 Dewan Komisarisnya mengundurkan diri dan perusahaan pailit. We hebben nu onze eigen Worldcomaffaire op Nederlandse schaal, kata P. de Vries, Direktur dari Vereniging van Effectenbezitters (VEB). Tetapi Autoriteit Financile Markten (AFM) Belanda belum memutuskan apakah akan melakukan investigasi atau tidak terhadap KPNQwest. Sebagimana akuntan yang digunakan oleh Enron dan WorldCom untuk kongkalingkong, KPNQewst ternyata juga menyewa perusahaan akuntan raksasa Arthur Andersen (Lihat: We hebben onze eerste eigen boekhoudaffaire, Redaktur NRC Handelsblad, Heleen de Graaf, 10/7/2002).
66

11. REVISITING PRESIDENT MEGA GO-EAST TRIP


Gunaryadi, 31 Mei 2003

he recent state visit to Russia, Poland, and Romania led by President Megawati in April 2003 has been entertained from various points of viewwith a wide array of responses. Mostly, if not enthusiastic, they articulated optimistic tones. Dewi Fortuna Anwar of the Habibie Center and Indria Samego of CIDES shared this view. To diversify sources of military suppliers and seeking for alternative partners in the changing international environment have become the central concern of the observers. Many of the eventual analyses have very quickly coined the procurement plan with the need to modernise Indonesian military posture and a smart diplomacy manoeuvre that all of which were

formulated by Buntarto Bundoro of CSIS as the go-east approach (The Jakarta Post, 2/5/2003). Beyond the above two objectives, the economic advantagesas stressed by our Foreign Minister (The Jakarta Post, 28/4/2003) and opportunity for technology transfer the trip might yield noticeably received less attention. Considering the magnitude of the investment value agreed in numerous fields of cooperation plans, it was true that the delegation was not returning with empty-bag. However, the time would prove that how many per cent of the amount agreed in the memorandum of understandings would actually realised into mutual projects. Another reason why the economic, business, technological, and socio-cultural benefits of the visit were not proportionally taken into account perhaps that they fell within the domains of low politics not high politics. This article might be slightly dissent from the previous deliberations and rather a contemplation on the implications of the visit to Indonesias domestic aspirations and the countrys juxtaposition in the international politics. The first concern is related to the arm procurement. The intention to adjoin the existing air fleets and modernise Indonesias Air Force with the Russian Sukhoi fighter jets and helicopters in 4-year term, to acquire a large consignment of Kalashnikovs assault rifles as well as other military equipment from the countries visited by the president cannot only be considered important but also timely. The U.S. arm supply to Indonesia that was suspended following the carnage in Santa Cruz of 1991 has severely degraded our military capabilities. Appeared as the principal major military benefactor to Indonesia since the second-half of the 1960s, the American embargo due to human rights records of our military has almost totally halted the modernisation of Indonesias defence equipment. The Air Force suffered the most as the planes and choppers have been mainly American made. In 2000, half of our F-16s were not operational and many C-130s were grounded. Only eight of the Air Forces helicopter fleets of thirty were operational. Even the Hawk fighter jets handed over by the British required the American origin avionics in order to be running (P. Finnegan, Defense News, 1/5/2000).

67

68

However, in term of urgency, is to empower our Air Force with fighter jets at this time necessary? To fly with proud patrolling our airspace with modern fighter jets seems too expensive considering our huge foreign debts. The likely threats to our territory are no longer external ones, and Indonesiaas Pak Harto said ironically about 14 months before the annexation of East Timorwould never have any territorial ambitions. Beside terrorism and pseudoterrorism, the probably immediate threat to our national security and integration is separatism. To militarily overcome separatist movements that have been engaged in the farthest boundaries of our western, northeastern, and eastern territoriesafter all peaceful means exhaustedour military need rapid deployment. In this current context, what we need more is doubtlessly military transport aircrafts, helicopters, or ships than fighter jets. Recuperating defence system and gears is crucial to increase the confidence and posture of our military. Yet, respected arm forces are the professional ones and all characters attributed to that word. Professionalism requires a paradigm shift of the current military triplefunctions in defence and security, socio-politics, and business by repositioning it to the first function: defence. The consequence of professionalism would be the need to increase budgetary allocations to improve the living standard and adequate training of the military personnels. It is true that strong army must be supported with the state-ofthe-art equipment. The history, nonetheless, often notes that strong standing army could still experience defeat from an army of high moral supported by the people. In term of number of personnels and operational equipment, the capacity of our arm forces to defend the sovereignty of our stretch archipelago, without sharing the responsibility with other popular elements, is limited. Only with the full, universal and patriotic support from the people, the predecessors of the TNI, which were poorly equipped and trained, successfully resisted the well equipped and trained Allied and Dutch forces during the independence war. The North Vietnamese soldiers and Vietcong guerrillas could humiliate the French and Americans alike to pull out of the Indo-China and Vietnam soils. An army would be worthless

and in its weakest performance when it was abused, often symbiotically, by the state to oppress its own people so that it obtains no sympathy let alone popular support. To diversify the sources of our military suppliers is a good step. Nevertheless, in the end, it would not good enough to solve the problem of dependency. The international politics always experiences realignment. Poland, for example, was a bulwark of the Warsaw Pact during the Cold War, now has become an active part of the Coalition of the Willings together with the U.S., UK, and Australia. Next year this country will be member of the European Union, which very keenly concerns with the human rights situation in Indonesiaa formal reason for arm embargo or development aids restrictions. Romania, which is desperately aspiring into the European acquis communautaire, after the fall of the Communists, has become American strongest ally in the south-eastern Europe as well as part of the present Coalition of the Willings. Diversifying of arm suppliers to these geographically Eastern European countries may raise problem in the future when they really join the EU. To break up with the over due dependency strongly demands the improvement of the capabilities of the domestic strategic industries we ever have like Dirgantara Indonesia, Pindad, Dahana, PAL, Lapan, Batan, INKA, etc. South Africa has come up as a middle-class supplier of military equipment, an industry that interestingly bloomed as an impact of the international anti-apartheid embargo. Many patients from the Netherlands decided to have medical treatment in Cuba as this tiny U.S. embargoed country has successfully developed its medical abilities to the excellent level. A moderate form of Bung Karnos concept of zelfstandig or berdikari is thus worthy to be mindfully reinvented. Another implication of this arm procurement plan is that it might ignite backlash in the relation with the U.S. itself. Even though the intention to buy Sukhoi fighter jets has been started years ago, I am sceptic the go-east trip would soften the staunched American public support on the arm sales prohibition on Indonesia. Even though the U.S. Administration has been reluctant to spin out the arm embargo and tended to lessen following the 11 September

69

70

2001, it remained effective. The diversification of source may harden the attitude to prolong or even extend it to coercive measures for instance in bilateral and multilateral trade. The second concern of this contemplation is as a tactical diplomacy manoeuvre. Tendency of bandwagon leaning toward stronger alliance preferred by vulnerable countries is common in this multipolar, but actually threatening unipolar world. For strategic and bilateral interests and cooperation to solve global problems, diplomacy road show to Russia, Poland, and Romania should reasonably earn applause. It might upgrade our international image and bargaining position. A special concern, however, should be given to the nature of the more anarchic international politics: Creating friends will be inviting foes. To prevent a backlash, the substantial weight of our international role should be played within internationally respected multilateral cooperation or organisations such the ASEAN, UN, WTO, AFTA, APEC, IOC, Non-Aligned Movement, and so forth. Through this multilateral setting, the formulation of active and independent notiona distinguish term in the nomenclature of foreign policyof our external strategy in pursuing national interests would be more contextual. Although this foreign policy strategy has been in place since the early years of our independence, only in very short period did we consistently commit with it. Despite the international environment has changed considerably, the analogy used by Bung Hatta to describe our foreign policy that we sailed between two reefs, is still relevant to be reconstructed as that we are sailing between a single huge reef and several smaller reefs amidst a sea storm. Some of our designated diplomats I ever talked with often blamed that our weaker international diplomacy posture has been mainly caused by our fragile internal socio-political stability and the economic downturn. This means our international leverage does not merely depend on our active roles to solve global problems, but also upon how solid and democratic our national leadership is and its clear visions of where to bring forward this nation. Compare ours with the international image of Malaysia or Thailand that have ex-

perienced similar fate with us of the economic malaise, but they have successfully recovered. In other words, our national competence to set up clean government and good governance, commitment to implement the agendas of reform, just and humane solution to separatisms and horizontal conflicts, improvement of human rights situation, quelling the threats of terrorism by eliminating the roots of their economic and socio-cultural flint stones as well as prevent any forms of state-terrorism, etc., would merit respect and consequently increase our external influence. International diplomacy therefore should be carried out simultaneously with committed and sincere efforts to improve our internal situations. This step would be an effective way to create an image that future state or official visits would result in concrete achievements, not just modest signals of political will or simply pomp and atmospherics.

12 . ABOUTALEB SEBAGAI WETHOUDER?


Gunaryadi, 2 September 2004
71

abu, 4 Februari 2004 lalu, Ahmed Aboutaleb 10 , terpilih dengan suara mayoritassebagai wethouder Kotapraja Amsterdam. Dia diajukan oleh Partij van de Arbeid (PvdA) atau Partai Sosial-Demokrat, menggantikan posisi Rob Oudkerk yang mengundurkan diri beberapa waktu sebelumnya karena ketahuan dan mengaku pernah mengunjungi WTS di sebuah kawasan lokalisasi di Amsterdam. Berbeda dengan politisi yang digantinya, Ahmed dianggap memiliki pengalaman kepemimpinan. Portfolio yang akan dikelola oleh Ahmed adalah Urusan Sosial, Pendidikan dan Integrasi. Dengan jabatan baru tersebut, Ahmed segerabersama dengan wethouder yang lain dan burgemeester (walikota)menjalankan fungsi eksekutif di Kotapraja Amsterdam. Sebelum terpilih menjadi wethouder, Ahmed merupakan direktur sek10

Sejak 22 Februari, Aboutaleb diangkat menjadi Menteri Muda pada Kementerian Urasan Sosial dan Ketenagakerjaan dalam Kabinet Balkenende IV.

tor Pembangunan Sosial, Ekonomi dan Budaya (MEC) Kotapraja Amsterdam, sebuah jabatan yang diembannya sejak 2002. Sebelum itu, sejak 1998, Ahmed adalah direktur Forum, Lembaga Pembangunan Multikultural Belanda.
Siapa Ahmed Aboutaleb?

72

Ahmed lahir tahun 1961 di Beni Sidel, Maroko. Dia menguasai bahasa Tamazightbahasa Barbersdengan baik, dan dia adalah putera seorang imam di kampungnya, yang dibayar sekali setahun dengan bahagian dari panen seperti gandum atau minyak. Hingga berusia 12-13 tahun, Ahmed setiap hari harus mengangkut air dengan keledai dari mata air yang berjarak sekitar 5 kilometer dari kampungnya. Setelah menyelesaikan sekolah di Beni Sidel, Ahmed melanjutkan pendidikan di sebuah internaat (semacam pesantren) untuk kalangan yang paling miskin. Tetapi kesulitan hidup tidak memadamkan semangat belajar Ahmed. Semangat tersebut berlanju hingga dia datang ke Belanda tahun 1976. Hingga kini Ahmed memegang 2 paspor: Maroko dan Belanda. Ahmed menamatkan pendidikan HTS jurusan teknik elektro tahun 1987. Dia menikah dengan Khaddouj tahun 2001, yang sedang mengambil kuliah ilmu pedagogis dan bekerja 20 jam sepekan di sebuah pusat penampungan sementara bagi anak yang baru keluar dari rumah sakit mental. Namun, Khaddouj adalah seorang ibu rumah tangga. Pasangan Ahmed-Khaddouj ini dikaruniai 3 orang anak.
Mengapa Aboutaleb?

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah: Mengapa Ahmed Aboutaleb? Tidak adakah lagi tokoh PvdA yang tidak menyandang nama Arab atau Islam yang dinilai lebih tepat menggantikan Oudkerk? Untuk lebih jauh, barangkali penjelasan berikut bisa memberikan jawaban mengapa justru Ahmed yang dipilih. Menurut Ketua Fraksi PvdA Amsterdam, salah satu keistimewaan Aboutaleb dibanding calon lain adalah potensinya sebagai intercultural brigde-builder dan sebagai tokoh yang memiliki visi tentang kemasyarakatan dan integrasi. Tahun 2002, Pim Fortuyn, pernah mengelus Aboutaleb untuk jabatan \menteri Muda (Staatssecre-

taris) bidang Emansipasi dan Urusan Keluarga. Tetapi, menurut tokoh itu, dia tidak akan mampu menawarkan gagasan kita tentang pernikahan-migrasi (huwelijksmigratie) di kalangan masyarakat Maroko di Belanda. Dia memperkirakan perlu beberapa tahun untuk merealisasikan gagasan tersebut. (NRC Handelsblad, 3/2/2004). Ahmed Aboutaleb, menurut H.F. Mendes, mantan direktur Kebijakan Integrasi pada Kementerian Dalam Negeri Belanda, adalah wakil yang ideal dari kalangan Muslim Belanda dalam pandangan para policy-maker pemerintah Belanda. Mendes menambahkan bahwa pengalaman Ahmed sebagai juru-penerangan dan wartawan, sangat cocok untuk jabatan yang menjembatani tersebut. Apalagi, menurut penilaian Mendes, Ahmed sudah sangat menguasai bahasa dan berkecimpung dalam kultur Belanda. Sedangkan menurut A. Eddaouddi, seorang penulis dari asal Maroko di Belanda mencoba melukiskan bahwa Ahmed sudah berintegrasi ke dalam masyarakat Belanda, tetapi tidak berasimilasi. Menurut penulis ini, tokoh asal Maroko yang pernah duduk di parlemen Belanda (Tweede Kamer), seperti Arib atau Cherribi, tidak lagi memiliki akar lagi di kalangan masyarakat Maroko Belanda. Karena, menurut Eddaouddi, sekali seseorang berasimilasi, berarti dia telah menyerahkan identitas diri, budaya dan agamanya. Pada saat itulah dia akan hampir bisa tegak sama tinggi dengan bangsa Belanda. Bagi H. dAncona, mantan Menteri Kesehatan Masyarakat dan Budaya Kabinet Lubbers III, Ahmed adalah contoh dari integrasi yang sepenuhnya. Menurut perempuan itu, Ahmed adalah seorang Muslim dan tetapi berpuasa penuh selama Ramadhan, tetapi disamping itu dia sangat ingeburgerd (berintegrasi ke dalam masyarakat Belanda). Menurut F. Rottenberg, kolomnis Het Parool, Ahmed bisa ditempatkan pada divisi utama sebagai bintang: menteri, walikota Amsterdam. Menurut isteri Ahmed, Khaadouj, Saya tidak yakin bahwa Belanda siap dengan hal demikian. Barangkali masih perlu waktu 20 tahun lagi seseorang seperti Ahmed untuk bisa menjadi walikota Amsterdam. (NRC Handelsblad, 24/9/2001)

73

74

Karakter yang lain dari Ahmed, menurut Khaddouj adalah kesiapannya memenuhi permintaan dari orang lain. Isterinya berkisah: Pernah suatu ketika sebuah organisasi mahasiswa Muslim memintanya menjadi narasumber. Kemudian Ahmed mengecek agendanya, dan berkata: Ya, bisa. Gimana selanjutnya? Tampaknya Ahmed ingin, menurut beberapa pengamat, ingin memelihara citra fungsinya sebagai sosok seorang Belanda yang multikultural. Menurut Het Parool (29/1/2004), terpilihnya Ahmed bisa mencegah perpecahan internal di PvdA Amsterdam. Disamping itu, Ahmed adalah sosok yang tenang dan kharismatis. Kelebihannya yang lain adalah sulit menyudutkannya dalam debat atau diskusi karena penguasaan bahasa Belandanya lebih baik daripada banyak orang Belanda asli. Menurut harian besar di Amsterdam itu, Ahmed memiliki peluang mengembangkan dirinya sebagai tokoh politik terkemuka dari PvdA. Jika dia berhasil dengan jabatan sekarang, masih menurut Het ParoolAhmed bisa menjadi caleg PvdA nomor urut pertama tahun 2006 di Amsterdam. Koran itu, dengan nama yang agak terlalu optimis dan sugestif, mengelukan bahwa jika seorang Maroko menjadi tokoh terkemuka sosial-demokrat di Amsterdam, maka itu adalah sebuah perkembangan yang spektakuler. Meskipun dengan segala keunggulan di atas, Mendes mengingatkan bahwa Ahmed berjalan terlalu cepat daripada yang diharapkan oleh masyarakat Maroko dan Muslim di Belanda. Je loopt te snel, ingat Mendes. Peringatan Mendes ini cukup wajar karena fungsi Ahmed adalah sebagai interface antara komunitas Maroko dan Muslim dengan pemerintah Belanda. Di sinilah kepiawaian seorang politikus sangat dituntut. Bagi Muslim Belanda yang lainnya, sepak terjang dan kiprah Ahmed Aboutaleb ini cukup menarik untuk terus disimak dan diambil hikmahnya. Gefeliciteerd!

13. PRESIDEN BARU DAN EU


Gunaryadi, 8 Oktober 2004

ndonesia tidak saja telah menyelesaikan sebagian besar tahapan pemilu presiden secara langsung untuk pertama kalinya, tetapi negeri ini juga segera memiliki pemimpin yang baru. Meskipun diperkirakan masih ada langkah penyelesaian terhadap beberapa sangketa seputar pemilu baru lalu, tetapi duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla bisa hampir dipastikan akan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia tanggal 20 Oktober 2004. Pemerintahan yang baru diharapkan segera membawa perbaikan sesuai dengan agenda prioritas yang diusung oleh pasangan tersebut dalam kampanye pemilu. Meskipun nasib Indonesia untuk 5 tahun ke depan masih belum sepenuhnya jelaskecuali yang sudah dituangkan dalam Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera: Visi, Misi, dan Program yang diserahkan kepada KPU menjelang pemilu putaran pertama, tetapi manifesto politik duet itu masih belum detail menggambarkan kebijakan luar negeri Indonesia; apatah lagi formulasi kebijakan luar negeri Indonesiasecara spesifikterhadap EU. Preposisi ini selanjutnya menimbulkan pertanyaan: Begitu pentingkah EU bagi Indonesia? Tanpa merendahkan pentingnya hubungan Indonesia dengan AS dan negara-negara tetangga, semakin kuatnya leverage EU dalam kancah politik global yang sejalan dengan perluasan keanggotaannya beberapa bulan yang lalu, semestinya menempatkan organisasi yang sui generis ini ke posisi yang lebih penting dalam agenda kebijakan luar negeri Indonesia. EU sudah merupakan salah satu pemain terkuat dalam skala global khususnya dalam penguasaan ekonomi, perdagangan dan investasi (Van Reisen, 1999). EU menguasai 51% dari foreign direct investment (FDI) dunia, ekspor barang dan jasanya menguasai 38% pasar dunia, menguasai 36% dari GNP dunia, dan menyumbang 51% dari bantuan dana pembangunan. Negara anggota EU merupakan blok terbesar dalam institusi Bretton Woods: 23% voting dalam Bank Dunia, 29% dalam IMF, dan merupakan kelompok regional terbesar dalam WTO. ***

75

76

Hubungan Indonesia-EU bisa ditelusuri hingga ke tahun 1976. Meskipun dalam konteks legal belum ada kesepakatan kerjasama bilateral antara kedua pihak, tetapi hubungan telah dijalin melalui ECASEAN Cooperation Agreement tahun 1980, dan Councils ALA Regulation tahun 1992. Sejauh ini, EU telah mengucurkan bantuan sebesar 325 juta kepada Indonesia melalui skema G-to-G, LSM, dan saluran multilateral. *** Optimalisasi hubungan dengan EU dapat ditempuh dengan manuver dalam 2 jalur: pertama berkaitan dengan agenda prioritas kebijakan; kedua, penyiapan payung legalitas dalam implementasi kebijakan tadi. Usaha-usaha dalam kedua ini adalah demi kepentingan nasionalmengingat politik luar negeri adalah bagian yang interaktif dan perluasan dari kebijakan dan kepentingan domestik dalam konteks internasionalkhususnya yang mengarah pada perbaikan ekonomi, kestabilan politik dan keamanan. Jalur pertama harus dikosentrasikan pada peningkatan efektivitas dari 4 agenda tematis yang ada: perdagangan dan investasi, kerjasama pembangunan, kerjasama pendidikan dan kultural, dan kerjasama politik dan keamanan. Kajian-kajian sistemik dan sistematik serta negosiasi untuk meningkatkan volume dan menghapus hambatan-hambatan dalam bidang perdagangan dan investasi mesti diintensifkan mengingat kedua bidang ini merupakan perekat yang paling riil dari eksistensi hubungan Indonesia-EU. Perdagangan antara Indonesia dan EU merupakan yang paling berkembang di antara negara-negara ASEAN (G. Wiessala, 2002). Tahun 2001, impor EU dari Indonesia bernilai 10,74 milyar, dan ekspor EU ke Indonesia bernilai 4,49 milyar. Sedangkan, rata-rata izin investasi dari EU-15 dalam periode 1997-2003 menguasai 15% dari total proyek FDI dan menguasai 26% dari total nilai penanaman modal asing di Indonesia. Perluasan EU bulan Mei 2004 potensial sekali meningkatkan volume perdagangan dan investasi antara kedua belah pihak. Dalam bidang kerjasama pembangunan, Indonesia harus menyusun proposal kerjasama secara selektif dan efektif untuk optimalisasi buah dari bantuan (teknis). Indonesia seharusnya juga menempatkan

ekuitas ke dalam program kerjasama pembangunan untuk mencegah pelebaran jurang antara donor dan penerima bantuan. Memelihara dan meningkatkan kerjasama pendidikan dan kebudayaan dinilai sangat penting mengingat potensinya untuk meningkatkan saling-pemahaman antara warganegara (P-to-P) dan biasanya dinilai bebas dari nuansa dan motif-motif politik. Saluran-saluran yang sudah ada sebaiknya diperluas dan dimanfaatkan secara maksimal seperti transfer teknologi, program training dan beasiswa, cultural exchanges, etc. Kerjasama politik dan keamanan sebaiknya juga memprioritaskan agenda pemberantasan terorisme dan kejahatan terorganisir sekaligus memperkuat blok multilateralis dalam menyelesaikan masalah-masalah global. Potensi Indonesia untuk meyakinkan EU dengan doktrin kebijakan luar negerinya yang bebas dan aktif adalah selaras dengan mainstream kebijakan luar negeri EU yang multilateralis. Semakin populernya kebijakan luar negeri yang unilateralis, pre-emptive strikes, dan tindak terorisme yang ternyata lebih menyuburkan lingkaran-setan tindak kekerasan dan bahkan telah membahayakan rule of law di seluruh penjuru dunia...fundamental laws yang tanpa tedeng aling-aling telah diabaikan (mengutip pidato Sekjen PBB di depan sidang Majelis Umum baru-baru ini), akan membawa Indonesia dan EU pada titik yang sama dalam usaha mengatasi permasalahan global. Kemudian, dengan meningkatnya kerjasama dengan EU diharapkan akan berdampak pada meningkatnya pengaruh Indonesia di arena internasional. Sedangkan pada jalur kedua, Indonesia perlu menyediakan payung legal sebagai kerangka bagi kebijakan luar negerinya untuk menjamin implementasi kebijakan yang sistematik serta kesinambungan, kehandalan, transparansi, dan akuntabilitasnya. Disamping itu, Indonesia masih perlu menyusun strategi jangka menengah dan panjang serta inisiatif-inisiatif yang lebih setara. Dalam hal ini EU telah lebih maju dibandingkan Indonesia. EU telah mengeluarkan Regulation (EEC) No. 443/92: Developing closer relations between Indonesia and the EU tahun 2000, dan Indonesia: Country Strategy Paper 2002-2006 tahun 2002, yang semuanya berfungsi sebagai payung legalitas bagi manajemen dan implementasi kebijakannya ter-

77

hadap Indonesia, sekaligus sebagai acuan strategi dan kebijakan yang lebih jelas dan kongkrit. Bahkan EU akan mengutus misi Ministerial Troika ke Indonesia tanggal 28 Oktober ini untuk menemui presiden terpilih. Itu merupakan sinyal betapa pentingnya Indonesia dalam persepsi EU, dan untuk itu mereka secara antusias bergerak dengan gesit dan serius. Melihat betapa pentingnya EU bagi Indonesia, manajemen yang strategis dan efektif terhadap agenda kebijakan luar negeri, dan hadirnya payung legalitas, strategi dan inisiatif yang setara untuk meningkatkan hubungannya dengan EU sepatutnya termasuk ke dalam prioritas pemerintah yang baru.
(Versi Inggris: The Presidential election & EU-Indonesia relations, dimuat dalam EurAsia Bulletin, Vol. 8 No. 7 & 8 Juli-Agustus 2004, European Institute for Asian Studies, Brussel)

78

14. DINAMIKA, KONSTELASI ELEKTORAL, DAN MASA DEPAN INTEGRASI EROPA


Gunaryadi, Joko Yochanan, dan Dessy Nataliani, 25 November 2004
Pergeseran Preferensi Elektoral dalam Pemilu Nasional

B
No.

enarkah preferensi elektorat Eropa bergeser ke kanan? Untuk itu, kami mencoba menguji tesis tersebut secara kuantitatif melalui analisis perolehan kursi hasil pemilu sebelumnya dengan pemilu yang terakhir di negara-negara yang menjadi obyek kajian. Hasil tersebut bisa disederhanakan ke dalam tabel di bawah ini. Pergeseran Preferensi Elektoral dan Pemilu Nasional
Negara Partai Politik Tahun 1999 1. Portugal PSD PS 81 115 2002 105 96 Liberal-konservatif Sosial-demokrat Kanan Kiri Kategori Ideologis Pergeseran Spektrum Politik

No.

Negara

Partai Politik

Tahun 1998 2002 178 165 2002 43 23 2002 81 31 2002 357 140 2002 70 58 2002 144 55 2002 36 28 2002 251 248 2002 26 24 21 2002 36.90

Kategori Ideologis

Pergeseran Spektrum Politik Kanankonservatif Kiri-liberal

2.

Hongaria

MSZP Fidez-MPP

134 148 1998

Kiri Kanan-konservatif Kristendemokrat/konservatif Sosial-demokrat Tengah-kanan Konservatif Tengah-kanan, demokrat liberal Sosialis Sosial-demokrat Nasionalis-demokrat

3.

Belanda

CDA PvdA FF FG

29 45 1997 77 54 1997

Kiri Tengahkanan

4.

Irlandia

Tengah-kanan Tengahkanan Tengah-kanan Tengahkanan

5.

Prancis

UMP SP

375 153 1998 74 63 1999

6.

Republik Ceko

CSSD ODS Partai Sosial Demokrat (SAP) Partai Majelis Demokrat (M) HZDS SDKU

Kiri

Kiri

79
Sosial-demokrat Kiri Kiri Tengah

7.

Swedia

131 82 1998

8.

Republik Slovakia

43 42 1998

Demokrat-liberal Kristen-demokrat

Tengah-kanan Tengahkanan

9.

Jerman

SPD CDU/SDU Era Baru FHRUL Partai Rakyat

298 245 1998 0 0 24 1999 33.29

Sosial-demokrat Kristen-demokrat Kanan-liberal Kiri Kanan-konservatif Sosial-demokrat

Kiri

Kiri

10.

Latvia

Kanankonservatif Kanan-liberal

11.

Austria11

SP

Kiri

Kanan-

11

Data yang digunakan bukan perolehan kursi di parlemen tetapi persentase perolehan suara dalam pemilu.

No.

Negara

Partai Politik FP VP CDA

Tahun 27.22 26.90 2002 43 26 24 23 1999 10.16 42.27 2003 44 8 42 28 2003 28 7 2003 53 55 2003 34 31 2003 25 21 23 18

Kategori Ideologis Ultra-kanan Konservatif-liberal Kristen-demokrat Populis-ultra-kanan Sosial-demokrat Liberal

Pergeseran Spektrum Politik liberal

12.

Belanda

LPF PvdA VVD Partai Tengah (EK) Uni untuk Ibu Pertiwi (I) Partai Sosial Demokrat (SPD) Partai Tengah (KESK) Partai Nasionalis (MLP) Partai Buruh (LP) Partai Liberal & Demokrat (VLD) Partai Kristen Demokrat (CD & V) Partai Sosialis (SP) Vlaams Blok (VB)

Tengahkanan Tengah-kanan

13.

Estonia

28 18 1999

Liberal-tengah Konservatif

Kanan-tengah Kanantengah

14.

Finlandia

51 48 1998

Sosial-demokrat Tengah

Sosialdemokrat Tengah

80

15.

Malta

35 30 1999 23 22 14 15

Nasionalis Kiri

Tengah-kanan Tengahkanan

Liberal-demokrat Kristen-demokrat Sosialis Ultranasionalis Tengah-kiri Tengah-kiri

16.

Belgia

Dari tabulasi ke-16 hasil pemilu di atas, ternyata 4 pemilu menghasilkan perubahan spektrum pemilih murni ke kiri, 2 kombinasi kiri dengan liberal dan tengah. Sedangkan tidak ada hasil pemilu yang bergeser murni ke kanan, meskipun terdapat pergeseran hasil 6 pemilu yang menuju kombinasi tengah-kanan, 2 pemilu dengan kombinasi kanan-liberal. Sisanya atau 2 pemilu menunjukkan preferensi elektoral cenderung berada pada spektrum tengah. Dengan demikian, secara kuantitatif, memang bisa dikatakan bahwa spek-

trum politik di EU cenderung bergerak ke arah kanan walaupun pergeseran tersebut tidak signifikan. Kesimpulan di atas juga didukung oleh beberapa fakta kualitatif. Pertama, di beberapa negara EU-15, partai-partai kanan dan ultranasionalis semakin digemari oleh para pemilih dan secara otomatis posisi mereka di panggung politik di negara yang bersangkutan juga menguat meskipun mereka rata-rata belum mampu menduduki peringkat dua besar. Pertama, menguatnya daya tarik partai-partai sayap-kanan seperti LPF di Belanda, FN di Prancis, Vlaams Blok di Belgia, Folkpartiet di Swedia, dan FP di Austria mendukung asumsi di atas. Kedua, beberapa partai politik yang secara tradisional berhaluan kiri atau tengah atau kanan-tengah justru mengkampanyekan isu-isu yang berbau kanan seperti pembatasan imigrasi, diskriminasi dan anti terhadap pendatang, akulturisasi dalam kebijakan integrasi, dll. Kecenderungan ini secara umum antara lain terjadi di Austria dan Belanda. Tetapi trend semacam ini merupakan hal yang jamak dalam dunia politik. Kalau dalam bidang ekonomi ada adagium market-driven, maka dalam demokrasi elektoral dikenal pula prinsip electoral-driven yang bertujuan untuk mendulang suara pemilih. Kalau disimak lebih jauh, pergeseran suara pemilih ini lebih dipicu oleh dinamikaselain faktor-faktor internaljuga variabelvariabel eksternal. Diantara faktor-faktor internal tersebut ialah terlalu lamanya partai politik tertentu berada di tampuk kekuasaan yang mendorong pemilih untuk mencari alternatif karena kelemahan dan kegagalan kebijakan partai yang bersangkutan akan terlihat nyata. Faktor pendorong kedua adalah munculnya figur-figur kharismatik sayap-kanan yang tidak saja mampu membangkitkan kesadaran pemilih dengan memberikan antitesis terhadap kegagalan-kegagalan partai berkuasa tetapi juga sekaligus berhasil menawarkan sintesis meskipun dalam kenyataannya belum tentu terujisebagai alternatif. Varian dari asumsi ini bisa juga berupa pembunuhan terhadap politikus kanan menjelang pemilu ternyata melahirkan ikon martir yang menyedot simpati pemilih. Mantan PM Belanda yang kalah dalam pemilu 2002, Wim Kok, menyebutnya sebagai in memoriam stemmers yang merujuk pada melejitnya perolehan suara kepada LPF

81

sebagai simpati pemilih atas terbunuhnya pendiri partai populis itu, Pim Fourtuyn, beberapa hari menjelang pemilu. Sedangkan faktor eksternal yang paling mempengaruhi pergeseran preferensi pemilih Eropa adalah peristiwa 11 September 2001 serta akibat dan implikasi yang kemudian ditimbulkannya. Salah satu efek terburuk dari peristiwa tersebut adalah munculnya rasa kurang aman dari serangan teroris. Perlu diingat bahwa pemilu dalam analisis ini hanya berselang beberapa tahun paska 11 September 2001. Dalam suasana demikian, partai politik yang menawarkan rasa aman akan mendapat dukungan pemilih. Bertolak belakang dari partai-partai berhaluan kanan yang biasanya dengan cantik memainkan skenario tersebut, partai-partai kiri cenderung kurang mampu mengartikulasikan dan merumuskan secara tegas kebijakan memberikan rasa aman ini sehingga mengurangi daya tariknya di kalangan pemilih.
Korelasi Pemilu Nasional dan Parlemen Eropa (EP)
82

Untuk mengetahui korelasi perolehan kursi hasil pemilu nasional dan pemilu Parlemen Eropa, bisa dilihat pada tabel berikut. Ternyata hasil pemilu nasional terakhir (2002 dan 2003) tidak otomatis mencerminkan perolehan suara di Parlemen Eropa. Perbandingan Perolehan Kursi Pemilu Nasional dan Parlemen Eropa
No. 1. Negara Portugal PSD PS 2. Hongaria MSZP Fidez-MPP 3. Belanda CDA PvdA 4. Irlandia FF FG Partai Politik 81 115 1998 134 148 1998 29 45 1997 77 54 Tahun 1999 2002 105 96 2002 178 165 2002 43 23 2002 81 31 4 5 7 7 9 12 7 12 EP

No. 5.

Negara Prancis UMP SP

Partai Politik 375 153

Tahun 1997 2002 357 140 2002 70 58 2002 144 55 2002 36 28 2002 251 248 2002 26 24 21 2002 36.90 10.16 42.27 2003 44 8 42 28 2003 28 7 2003 53 55

EP 17 31 2 9

1998 6. Republik Ceko CSSD ODS Partai Sosial Demokrat (SAP) Partai Majelis Demokrat (M) HZDS SDKU 9. Jerman SPD CDU/SDU Era Baru FHRUL Partai Rakyat SP FP VP CDA 12. Belanda LPF PvdA VVD 13. Estonia Partai Tengah (EK) Uni untuk Ibu Pertiwi (I) Partai Sosial Demokrat (SPD) Partai Tengah (KESK) 74 63 1999 7. Swedia 131 82 1998 8. Republik Slovakia 43 42 1998 298 245 1998 10. Latvia 0 0 24 1999 11. Austria 33.29 27.22 26.90 2002 43 26 24 23 1999 28 18 1999 14. Finlandia 51 48

5 4

3 3 23 49 2 0 1 7 1 6 7 0 7 4 1 1

83

3 3

No. 15.

Negara Malta

Partai Politik Partai Nasionalis (MLP) Partai Buruh (LP) Partai Liberal & Demokrat (VLD) Partai Kristen Demokrat (CD & V) Partai Sosialis (SP) Vlaams Blok (VB) 35 30

Tahun 1998 2003 34 31 2003 25 21 23 18

EP 3 0

1999 23 22 14 15

3 4 4 3

16.

Belgia

84

Secara umum, korelasi hasil pemilu nasional terhadap hasil pemilu Parlemen Eropa ternyata berbanding terbalik, meskipun tidak signifikan. Dengan kata lain, di sebagian besar negara yang dianalisis, partai yang berhasil mendapatkan suara terbanyak dalam pemilu nasional bisa dikalahkanatau setidaknya bisa diimbangi oleh partaipartai pecundangdalam pemilu Parlemen Eropa. Menurut Neill Nugent (2002) 12 preferensi elektoral Eropa cenderung bersifat antikemapanan dalam makna yang rasional. Artinya pemilih cenderung memilih partai-partai oposisi sebagai ekspresi ketidakpuasan terhadap kebijakan partai yang sedang berkuasa.
Implikasi terhadap Defisit Demokasi EU

Implikasi yang bisa ditelusuri dari hasil pemilu nasional dan Parlemen Eropa dalam kaitannya dengan wacana defisit demokrasi adalah pada aspek sejauhmana keterlibatan dan partisipasi elektoral di masing-masing negara, baik dalam pemilu nasional maupun Parlemen Eropa. Fakta yang paling nyata digunakan untuk mengukur keterlibatan ini adalah tingkat partisipasi pemilih (turnout) dalam setiap pemilu. Mengapa tingkat partisipasi pemilih dianggap penting? Tingkat partisipasi mengindikasikan sehat atau tidaknya sebuah demokrasi dan kepuasan elektoral terhadap proses politik. Dalam sistem demokrasi representatif, rakyat memilih wakilnya dan memberikan
12

Lihat: N. Nugent (2002). June 1999 European Parliament Elections. Hampshire: Palgrave Macmillan Ltd.

mereka kekuasaan untuk membuat kebijakan. Jika tingkat partisipasi ini rendah maka demokrasi di negara tersebut bisa dikatakan kurang sehat atau bisa juga dikatakan mengalami defisit demokrasi. Tetapi itu tidak serta-merta bermakna bahwa tingginya tingkat partisipasi pemilu di suatu negara menandai bahwa biduk demokrasi di negara tersebut berjalan dengan sehat. Di negara-negara di mana kaum komunis berkuasa, atau di Irak pada masa rezim Saddam Hussein misalnya, tingkat partisipasi ini nyaris selalu mencapai 100%. Atau kita ambil contoh yang lebih dekat, yaitu tingkat partisipasi pemilu di zaman Orde Baru di Indonesia juga sangat tinggi dan hanya partai tertentu saja yang menang mutlak. Tetapi apakah proses demokrasi dan pemilunya berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi secara penuh adalah persoalan yang lain. Kesimpulan umum yang bisa ditarik dari kedua kasus yang diambil adalah bahwa proses pemilu tidak lebih dari sekedar formalitas untuk melegitimasi rezim yang berkuasa. Memang tidak ada standar turnout yang tunggal sehingga sebuah sistem bisa dikatakan legitimet atau tidak dalam kerangka demokrasi. Tetapi setidaknya di negara demokrasi yang sudah mapan, semakin tinggi tingkat partisipasi tidak saja akan membuat dewan legislatif dan pemerintahan yang terbentuk dari proses tersebut semakin legitimet tetapi juga akan semakin memperluas cakupan klaim bahwa kebijakan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah didukung oleh sebagian besar warga negara. Legitimasi politik di EU bisa ditinjau dari 2 pendekatan, yaitu legitimasi langsung13 atau berorientasi pada input, dan legitimasi tidak-langsung atau yang berorientasi pada output. Dalam perspektif legitimasi langsung, legitimasi yang dimiliki oleh EU sebagai sebuah institusi supranasional diperoleh melalui sejauhmana apresiasi publik Eropa yang memenuhi persyaratan sebuah pemerintahan yang stabil dan identitas bersama yang mendalam untuk memberikan justifikasi terhadap struktur supranasional EU. Inti dari legitimasi politik
13

85

Yang oleh F. Scharp disebut juga sebagai legitimasi dari rakyat. Lebih lanjut, lihat: F. Scharp (1999) Governing in Europe: Effective and Democratic? Oxford: Oxford University Press.

ini didasarkan pada kompetisi multi-partai di mana para elektoral bisa menyalurkan aspirasi politik mereka melalui pemilu Parlemen Eropasebagai satu-satunya institusi supranasional yang anggotanya dipilih langsung oleh warga negara Eropadan sistem perwakilan mayoritas. Persentase Turnout Pemilu Nasional dan Parlemen Eropa
No. 1. 2. 3. 4. 5. Portugal Hongaria Belanda Irlandia Prancis Republik Ceko Swedia Republik Slovakia Jerman Latvia Austria Belanda Estonia Negara Pemilu Nasional 1999 69,27 1998 59,03 199814 70,10 1997 65,00 199715 59,86 1998 74,00 1999 81,40 1998 83,50 1998 83,30 1998 71,90 1999 80,40 2002 78,80 1999 2002 62,30 2002 70,50 2002 78,80 2002 63,00 2002 62,55 2002 58,00 2002 79,00 2002 70,07 2002 79,10 2002 72,49 2002 80,48 2003 80,30 2003 1999 40,40 1999 29,90 1999 50,50 1999 47,00 1999 38,30 1999 45,20 1999 49,00 Pemilu EP 2004 38,60 2004 38,50 2004 39,30 2004 58,80 2004 42,76 2004 28,32 2004 37,80 2004 16,96 2004 43,00 2004 41,34 2004 42,43 2004 2004

86
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

14 15

Data dari International IDEA. http://www.idea.int/vt/region_view.cfm. Ibid.

Lebih

lanjut,

lihat

pada:

No.

Negara

Pemilu Nasional 57,30 58,00 2003 69,60 2003 96,00 2003 88,00 1999 30,10 1999 90,00

Pemilu EP 26,83 2004 39,40 2004 82,37 2004 90,81

14. 15.

Finlandia Malta

1999 65,20 1998 95,00 1999 85,00

16.

Belgia

Dari data di atas, khusus untuk pemilu Parlemen Eropa, tingkat partisipasi elektoral sangat variatif dari satu negara anggota ke negara anggota yang lain. Di Belgia, sembilan dari sepuluh orang datang memberikan suaranya. Sedangkan di negara-negara EU yang baru yaitu di Republik Ceko, Estonia dan Slovakia, tingkat partisipasi pemilu kurang dari 30%. Hanya di Malta, Latvia, dan Hongaria, turnout-nya mencapai lebih dari 30%.16 Tingkat partisipasi politik yang diukur dengan turnout ini ternyata menunjukkan trend yang terus menurun. Pada waktu pemilu EP pertama kali diadakan tahun 1979, tingkat partisipasi pemilu masih 63%. Tahun 1999 tingkat partisipasi tersebut malah turun di bawah 50% atau lebih dari 17% dari prestasi turnout yang dicapai pada tahun 1979. Bahkan tingkat partisipasi pemilu 2004 merupakan titik turnout yang paling rendah dalam sejarah pemilu EP. Rendahnya tingkat partisipasi pemilu EP ini cukup meresahkan. Bahkan Richard Rose (2004) seolah tidak percaya terhadap fakta bahwa dari lebih 340 juta pemilih Eropa, sekitar 186 juta tidak menggunakan hak pilih mereka. 17 Rasio golongan putih (golput) ini bahkan lebih tinggi daripada tingkat golput pemilu legislatif di India yang tingkat melek-huruf dan kemiskinannya tinggi. Persoalan kecilnya tingkat partisipasi pemilu juga bisa disebabkan oleh kondisi
16

87

17

Salah satu perkembangan yang menarik adalah naiknya turnout pemilu di negara-negara yang mendukung kebijakan Presiden George Bush dalam perang di Irak. Hal ini menunjukkan bahwa para pemilih cenderung dengan antusias merespon isu-isu yang murni politik strategis di hadapan mereka. Lebih jauh, lihat: R. Rose (2004) Europe Expands, Turnout Falls: The Significance of the 2004 European Parliament Election, pada: http://www.idea.int

apatis (indifference) dari sebagian pemilih bahwa perubahan pemerintahan tidak begitu berpengaruh pada kehidupan mereka. Kondisi ini justru merupakan ancaman terhadap setiap tingkatan sistem demokrasikhususnya elektoraldi EU. Fakta lain dari pemilu Eropa ini adalah semakin melebarnya Euro-Gap, yaitu rentang perbedaan antara tingkat partisipasi pemilu nasional dengan pemilu EP. Euro-Gap ini mengindikasikan bahwa minat calon elektoral untuk memberikan suaranya dalam pemilu nasional masih lebih tinggi daripada pemilu EP. Persentase Turnout Pemilu Nasional dan Parlemen Eropa 2004, dan EuroEuro-Gap18
74.8 69.3 52.9 40.2 EU-15 10 Anggota Baru

88

29.9 21.9

Pemilu Nasional

Pemilu EP 24 Euro-Gap

Secara keseluruhan, di negara-negara anggota EU yang baru, EuroGap ini cukup lebar, yaitu hampir mencapai 30%. Sedangkan di negara EU-15, Euro-Gap ini hampir mencapai 22%. Lebarnya Euro-Gap di negara-negara anggota baru EU juga bisa diukur dari partisipasi warga negara dalam referendum accession ke dalam EU beberapa bulan sebelumnya. Dalam referendum tersebut, tingkat partisipasi malah lebih tinggi 23% daripada turnout pemilu EP. Dengan kenyataan tersebut, perlu ditinjau penjelasan tentang mengapa muncul Euro-Gap yang lebar. Ada beberapa faktor yang
18

Dari: European Parliament and National Election Returns.

mungkin menjadi penyebab, antara lain: (1). Perbedaan konteks nasional; (2). Perbedaan sistem pemilu; (3). Krisis kepercayaan kepada sistem dan pemerintah; dan (4). Kelemahan strategi partai politik pada level EU. Masing-masing faktor tadi dijelaskan berikut ini. Pertama, Parlemen Eropa merupakan sebuah institusi supranasional di mana anggotanya terbagi dalam sistem kepartaian multinasional bukan berdasarkan prinsip kepartaian nasional. Disamping itu, anggotanya dipilih dalam pemilu EP di ke-25 negara anggota. Tiaptiap negara anggota mengadakan pemilu EP dengan sistem pemilu masing-masing, situasi dan kondisi politik nasional serta posisi yang khas dalam EU, misalnya perbedaan antara negara EU-15 dan anggota EU yang baru. Kedua, sistem elektoral yang berbeda. Di negara di mana ikut pemilu adalah wajib, maka tingkat partisipasi elektoralnya tinggi. Hal ini terjadi di Belgia. Tetapi peraturan wajib ikut pemilu ini sudah dicabut di sebagian besar negara anggota EU. Kiat yang diberlakukan oleh Luxemburg di mana pemilu nasional diadakan bersamaan dengan pemilu EP ternyata menunjukkan tingkat partisipasi yang cukup tinggi. Ketiga, tingkat kepercayaan warga negara bisa mempengaruhi dalam konteks turnout pemilu EP. Meskipun secara teoritis EP adalah institusi supranasional, tetapi anggotanya dipilih dalam pemilu yang diadakan di masing-masing negara anggota. Dengan demikian keputusan elektorat untuk menentukan pilihan mereka mencerminkan tingkat kepercayaan rakyat terhadap partai-partai politik dan pemerintah. Menjelang pemilu EP yang lalu, tingkat kepercayaan kepada partai politik nasional hanya 21%, dan hanya 37% yang mempercayai pemerintah masing-masing. 19 Disamping itu, penurunan partisipasi pemilu juga merupakan respon yang rasional dari warganegara bahwa pemilu tidak membawa perubahan pada diri mereka dan sistem pemerintahan karena kompetisi antar partai tidak lagi mencerminkan konflik antar-kelas (kulturkampf) dan partai-partai sayap kanan dan sayap kiri mulai beralih ke tengah.

89

19

Dari survei yang diadakan oleh Euro-Barometer poll dari Komisi Eropa.

Keempat, kegagalan partai-partai politik terkemuka merumuskan sebuah strategi yang jelas untuk level EU sehingga bisa diterima oleh publik. Dalam kondisi ini, warganegara teralienasi dari programprogram EU dari partai-partai politik tertentu karena kurang mendapat informasi yang jelas.
Implikasi terhadap Masa Depan Eropa

Hasil pemilu Parlemen Eropa yang terakhir (2004) membawa beberapa implikasi terhadap masa depan Eropa. Pertama, dengan terus menurunnya turnout maka legitimasi politik EU harus dipertanyakan. Kedua, partai-partai berkuasa di banyak negara EU ternyata kehilangan suara.20 Kecuali di Spanyol, Yunani, Finlandia dan Luxemburg, para elektoral cenderung tidak memberikan suaranya kepada partai yang berkuasa, baik di sayap kiri maupun di sayap kanan. Komposisi Parlemen Eropa Hasil Pemilu 199921 Parlemen
NEGARA LUXEMBURG PORTUGAL FINLANDIA DENMARK SPANYOL BELANDA IRLANDIA PRANCIS AUSTRIA ITALIA Total 214 201 42 34 34 27 21 15 38 626

90

FRAKSI PSE PPE ELDR UPE GUE/NGL V ARE I-EdN NI Total

6 7 6 2 1 3 25

4 3 5 4 16

40 47 12 99

10 9 2 4 25

21 29 2 9 3 64

16 13 1 17 7 12 8 13 87

1 4 1 7 2 15

19 36 4 3 5 3 2 15 87

2 2 1 1 6

7 9 10 2 1 2 31

6 7 1 1 6 21

10 9 3 3 25

4 4 5 2 1 16

7 5 3 3 4 22

61 17 3 1 1 2 1 1 87

Sementara itu, hasil pemilu ini tidak memperlihatkan perubahan yang radikal terhadap komposisi di Parlemen Eropa. Dibandingkan dengan hasil pemilu 1999, Fraksi Partai Rakyat Eropa (EPP) yang

20 21

Lebih lanjut, lihat: John Palmer, The European Parliament election - a wake-up call?, 16 Juni 2004, pada: http://www.euractiv.com. Dari: European Parliament, The Outgoing Parliament, Situation 05-1999. Lebih lanjut, lihat: http://www3.europarl.eu.int/election/results/eu4_tab.htm.

INGGRIS

JERMAN

SWEDIA

YUNANI

BELGIA

menganut ideologi tengah-kanan mempertahankan posisinya sebagai fraksi terbesar dalam EP.

Komposisi Kursi di Parlemen Eropa Hasil Pemilu 200422


UEN (27) Hijau-EFA (41) EDD (15) Lain-lain (66) EPP-ED (278)

EUL/NGL (39)

732

91

ELDR (67)

PES (199)

Tetapi fenomena pergeseran anggota-anggota fraksi Parlemen Eropa masih akan terjadi. UDF Prancis misalnya diperkirakan akan meninggalkan EPP-ED dan telah melakukan pembahasan yang intensif dengan fraksi liberal ELDR dan merencanakan pembentukan partai baru yang sangat pro-Eropa atau partai berhaluan tengah yang prointegrasi EU. Pada level nasional, misalnya di Inggris, Partai Konservatif yang dalam kampanye pemilu mengusung isu menentang draft Konstitusi Eropa yang baru ternyata tetap kecolongan suara
22

Dari: http://www.elections2004.eu.int/ep-election/sites/en/results1306, 20 Juni 2004.

92

yang diraih oleh Partai Independen Inggris yang menginginkan negara itu serta-merta keluar dari EU. Tekanan dari internal partai terhadap pimpinan Partai Konservatif semakin menguat agar mereka melawan ancaman dari Partai Independen dengan cara membubarkan aliansinya dengan EPP yang secara umum pro-integrasi Eropa. Hal itu bisa membuka front dengan sayap moderat dalam Partai Konservatif yang pro-Eropa. Sementara itu, keinginan EPP-EDyang mengklaim sebagai fraksi terbesar di EPuntuk menempatkan calon mereka sebagai Presiden Komisi Eropa berhasil dicapai dengan terpilihnya Jos Manuel Duro Barosso (mantan PM Portugal) untuk menduduki posisi tersebut menggantikan Romano Prodi. Meskipun sayap kiri dan kelompok sosialis tidak terlalu menolak tampilnya Barosso, tetapi mereka menduga terpilihnya Barosso karena mantan PM Portugal tersebut mendapat dukungan AS dan Inggris karena dia merupakan salah seorang Transatlantis yang berada di belakang kebijakan Presiden Bush dan PM Blair dalam invansi ke Irak. Terlepas dari benar-tidaknya desas-desus keterlibatan AS dan Inggris dalam pemilihan Presiden Komisi Eropa yang baru, tampilnya Barosso dari PSD yang merupakan bagian dari EPP-ED di Parlemen Eropa juga implikasikan pengaruh dari fraksi pemegang agregat suara terbanyak di parlemen itu karena sejak 1999 EP memiliki hak untuk menerima atau menolak calon Presiden Komisi Eropa. Mencermati spektrum ideologis fraksi-fraksi di Parlemen Eropa, komposisi kekuatan politikbaik pada level nasional maupun Parlemen Eropasaat ini, sangat kecil kemungkinannya untuk menjadi ancaman bagi masa depan integrasi Eropa. Hal itu mengingat, nyaris semua isme23 politik rakyat EU terwakili di EP. Mulai dari spektrum kanan hingga kiri. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir fraksi Kristen demokrat/konservatif merupakan kelompok dengan kursi terbanyak di parlemen tetapi kekuatannya tidak cukup signifikan untuk mewarnai secara dominan kebijakan-kebijakan EU yang juga menentukan masa depan integrasi institusi itu sendiri. Dalam
23

Termasuk kekuatan Kristen demokrat-konservatif, kiri, tengah, hijau, sosialis, nasionalis, tengah-kanan, dan konservatif.

prinsip demokrasi, komposisi yang cukup merata dan tersebar tersebut bisa menjadi pencegah munculnya sebuah kekuatan dominan yang bisa mengancam keseimbangan kekuatan yang bisa mendorong ketidakstabilan politik. Meskipun ada kekuatan yang menginginkan runtuh-nya EU di dalam Parlemen Eropa tetapi kekuatan tersebut dapat dikatakan sangat tidak signifikan.

15. DISCLOSING MUNIRS BUMP-OFF: AN ACID TEST TO INDONESIA-NETHERLANDS INTERPLAYS


Gunaryadi and Dessy Nataliani, 2 Desember 2004
Prologue
93

unir, an Indonesian human rights icon, was found dead on his flight from Jakarta to Amsterdam on 7 September 2004. Despite he might be less internationally known than e.g. the leading activist of the Ogoni people in eastern Nigeria, Ken Sara Wiwa who had been put to death several years earlier, but Munirs snuffing not only lengthen the deceasing lines of human rights defenders but also has implications on the interplays between Indonesia and the Netherlands. About two months later, the Nederlands Forensisch Instituut, which carried out the post-mortem examination, gave the low-down that there was a lethal level of arsenic in his body and it concluded Munir was a prey of an assassination. Because Munir died while in an Indonesian aeroplane which was flying above the Romanian sky and destined to land at the Schiphol airport, it places the Netherlandsin terms of legal and international systemat rather delicate position in the concerting efforts to solve the case. This essay seeks to shade the light on predictions on some probabilities in the course of disclosing the case and how it challenges In-

donesia-the Netherlands relationship, as it is not a calibre of case that can be sneezed at.
Munir as a Human Rights Activist

94

Born in Malang, East-Java in 1965, Munir emerged to the national theatre of human rights protection in the final epoch of President Soehartos era. End of 1997 and early 1998 a number of pro-democracy activists mysteriously disappeared. Munir staged a campaign to investigate the cases and founded and coordinated Kontras (Commission for Disappearances and Victims of Violence). This human rights organisation concentrated on fighting political violence, promoting respect for due process of law, ensuring victims physical and psychological recovery, and endorsing reconciliation and peace (The Right Livelihood Awards, 12/2004). Residual to the post-popular consultation in East-Timor in 1999, the allegation of human rights violations by pro-Indonesia militia backed by the military mounted and the atrocities were soon internationalised. In response, Indonesian National Human Rights Commission created the Commission to Investigate Human Rights Violations in East Timor in September 1999, and Munir was appointed a member. Its investigations produced a lot of evidence of the Indonesian armys involvement in recruiting, financing, training and using the militia, which caused such havoc at the time of the UN Referendum. Beyond that, Munir was also invited to talk about human rights in police and army trainings, seminars and workshops, and appointed to a drafting committee for law on human rights courts. Prior to his death, Munir was the Executive Director of Imparsial, an Indonesian human rights monitor. For his works and achievements, the human rights organisation he initiated, Kontras awarded the prestigious Yap Thiam Hien human rights prize in 1998. Moreover, he was chosen as the Man of the Year by the UMMAT magazine in 1998, a Young Leader for the Millennium in Asia by the Asiaweek in October 1999, and a laureate of the prestigious Right Livelihood Awards of Sweden in December 2000.

Expected Disclosing Possibilities

To predict the course of the cases disclosure, in our view, there are at least three significant probabilities that can be put on table: first, the investigation and legal processes in Indonesia developed within acceptable pace and the case could be solved and justice was done; second, the process faced obstacles and progressed at a snails pace but there is still a window of opportunity to solve it; or third, the process developed into impasse and finally unresolved. The sequence of these trends reflected their level of probabilities; the earlier it is in order, the bigger its probability. The first possibility well merits an account. This is very possible considering the significant internal reforms that are taking place in Indonesia. The Era Reformasi has empowered the public to more vocally demand for improvement and protection of fundamental rights. Besides, the newly elected president-vice president, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) had promised to the electorates prior to the elections that they would construct a safe, just and prosperous Indonesiawhich imply protection of human rights. Although it was a promise to approach the electorates, but its subsequent implementation would directly impinge on the levels of popular confidence to the duo. Any public lies could dilute their reputation and meagre their chance for the second terms in 2009. Within this strategic perspective, it is unlikely at the end Munirs case would vanish into thin air. Now we turn to the second possibility. Similar to the circumstance forecasted in the first scenario, however, the case fell into protracted trajectory since the disclosing process might foment standoff from the real perpetrator(s). While such resistance may slowdown the progress but SBY-JKs administration would not take any chance and leave no stone unturned for the solution. (The tsunami apocalypse in Aceh and North Sumatra that has struck all of a heap most of the Government capabilities could also contribute to the abeyance). The third possibility could not be ruled out considering it was frequent that some human rights violation cases being investigated by Indonesian state-apparatus team remained inexplicable and left

95

96

many real perpetrators at large or enjoyed impunity. As Abdurrahman Wahid, a former Indonesian president, observed the public confidence on the implementation of rules of laws was at rock-bottom (A. Wahid, 23/11/2004). He pointed out the investigation on the death cases of former Indonesias Attorney General, B. Lopa, a journalist in Bantul, the victims of alleged human rights violations in Aceh, the sorcerers in Banyuwangi, shooting cases in West Papua, Ambon, and Poso which all sank in oblivion. Even the Netherlands itself experienced similar frustration in efforts to solve the death of a Dutch journalist after the popular consultation in East-Timor, a case that is still unexplained (P. Jansen, De Telegraaf, 21/12/2004). Not to charge anyone or institution that may lead to the use of a devious detective story to deduce the facts to unveil any possible actor behind Munirs poisoning it is basically that he collided with many foes in the struggle for human rights in his country. The InterChurch Organisation for Development Co-operation, for instance, expected: His study at the University of Utrecht had to grant him opportunity to make reflections and to systematically put all information he had in his memory on to paperemphasis added in our translation (ICCO, 7/9/2004). Since it suggested Munir could give away certain secrets through his study in the Netherlands, the argument would sustain that this third possibilitywhatever slim it might beworth to be considered.
Implications to Indonesia-the Netherlands Relations

The efforts to solve the case certainly place Indonesian authorities at the solely legally liable position since Munir was an Indonesian national and died in an Indonesian airliner. Fair and transparent solution of the case puts Indonesias international reputation at stake. Steps towards that end have shown some progress after President SBY signed a decision to set up an independent investigation team to get to the bottom of the case. While the Dutch liability could be said merely in sharing the moral responsibility and in providing information related to the post-mortem enquiry and interrogation on passengers at Schiphol as the plane landed at the international airport and Munir had died out-

side the Netherlands. As emphasised by Minister Donner of the Justice Ministry, the Netherlands had no legal power (rechtsmacht) in solving the case. Beyond such reasons and modes above, the moral responsibility carried by the Netherlands were bolstered up by the local human rights NGOs, its moral obligation because The Hague is the capital of International Court of Justice, and its EU membership which obliged it to protect fundamental rights. It would be for the Netherlands national interests and international standing the country would involve in ensuring Indonesia to solve the case. With the three possibilities in hand, it can be argued that the first possibility by far could not risk the mutual interests between Indonesia and the Netherlands, while the second might, and the third would be the hardest challenge to both. However, if the second and third possibilitiesnot to underrate Indonesias seriousness as it could only happen when Indonesian authorities drew a complete blank in solving the casedid inevitably emerge, the degrees of Dutch involvement, efforts, measures, channels, and instruments would be likely to multiply. The Netherlands initial stance to entrust the investigation and judicial process within an acceptable range of time solely to the Indonesian legal systemexcept if the legal process might imply the perpetrators could face death penaltywhile providing necessary support to technical assistance to prepared materials and evidence it acquired for the legal process would be no longer sufficient (Nederlands Omroep Stichting, 25 & 30/11/2004). The moral responsibility its bears, pressures from national (leftist) politicians, domestic and Indonesian human rights NGOs and activists could compel the Dutch Government to consider the use of available means and instruments within its foreign policy capacity: international forums, the use of instruments such as human rights dialogues, states litigation rights, and multilateral cooperation. Beyond that, a wider alliance could also be established such as the Global Compact, cooperation with business world, and non-governmental organisations (Notitie Mensenrechtenbeleid 2001). Nevertheless, the question sticks on to what degree the Netherlands would involve itself and wield those mechanisms to evade ag-

97

gravation in its relations with Indonesia. The colonial burden, trauma of decolonisation, and Indonesian decision in 1992 to freeze the long-standing cooperation with the Inter-Governmental Group on Indonesia which was chaired by the Netherlands on account of Indonesias rejection of human rights situation as conditionality for the aids, have taught the Dutch to be cautious. This indication had been implied by a trifling schism between Minister B. Bot of the Foreign Ministry and Mr. Donner of the Justice Ministry on how to transfer the autopsy result. In a meeting on 10 November 2004 Mr. Bot wanted the report conveyed to the Indonesian authorities while Mr. Donner had expected it to be given to Munirs relatives. Mr. Bot preferred the post-mortem report to be handed over to the Indonesia Government fearing the case could trigger bilateral fractures (W. Dewabrata, Kompas Cyber Media, 22/11/2004).
Epilogue
98

The deliberations above lead to some conclusions. From the predictions on the three possibilities of how the process may evolve, the latter two possibilitieswhere it proceeded slowly, or the case unresolvedmay put both sides on the horn of dilemma in their interplays. Fair process and justice is done would remain as the best option and for the common interests of the two. Since it had no legal power to interfere in the efforts to solve the case and largely bore the moral ones, it seemed impossible for the Netherlands to stir up a hornets nest, which could provoke backlash from Indonesia. However, its limit of participation would still be put in ordeal if a variant to the two worse possibilitiesnot to be tendentiousappeared that the investigation proceeded well and the suspected perpetrators brought to justice but it apparently failed to try the real perpetrators as in several cases the current Indonesian justice system ruled decisions that in fact have become a legal device to freeing the real culprits from persecution. Although it is actually a relative question of law and domestic affairs, but this optional possibility remains a challenge to the nerve of Dutch foreign policy in regards to its involvement.

Matured by the experiences dealing with Indonesia on sensitive issues such as the human rights, the Netherlands would be likely to balance its economic interests with the endeavours to promote human rights in Indonesia. The balance is manifested by Minister Bots formulation that his country is strong in principles of promoting human rights but inclines to exercise flexibility in its actions. It is hoped, nonetheless, this elasticity would not be interpreted as an Achilles heel by Munirs relatives, human rights activists and organisations on the one hand, and the Indonesian Government on the other, in helping to solve Munirs case.

16. PREDICTING THE IMPLICATIONS OF ERASMUS PROGRAMME AND BOLOGNA PROCESS ON DUTCH HIGHER EDUCATION SYSTEM
Gunaryadi and Dessy Nataliani, 14 Mei 2005
99

ree movement of workers, as part of the European integration, willy-nilly challenges the Community to address the provisions on education. In fact, however, education had not been referred in the EC (European Community) Treaty. The reference made was only on vocational training, which was then stipulated in the Article 218. The change came after the amendments made by the TEU (Treaty on European Union). Through the amendments, Article 3(p) and Article 126 of the EC (European Community) Treaty now become Article 3(p) and 149, which makes a specific reference to the development of education. This amendment has brought the question of education within the Communitys competence. Even though the provisions on education have been somewhat over due to be adopted, but certain aspects of education had been already covered by the Communitys competence. Legislation, with the approval of the ECJ (European Council of Justice), has been adopted to establish schemes in the areas of vo-

100

cational training, foreign languages, educational exchange, and educational mobility within the Community. Several programmes such as Erasmus, Commett, Petra, Lingua and Tempus since then had been carried out, and a European Training Foundation had been set up. There have been action programmes in the areas of education like Socrates and Leonardo da Vinci as well. In the areas of higher education, the Council Decision No. 87/327/EEC of 15 June 1987 introduced the Erasmus programme and provided the guidelines for the actions. Since then the Erasmus evidently has shown good progress and very welcomed by the participating countries and eventually has become the higher education element of Socrates I and Socrates II action programmes. Parallel to the Erasmus, in 1999 European ministers in charge of higher education from 29 countries signed a declaration in Bologna, Italy, which was designed to introduce a European higher education area. It is known as the Bologna Declaration and the endeavours and stages to attain its objectives are called the Bologna process. In this essay weto some respectstrive to scrutinise the development of higher education within the European Union (henceforth EU) structure. The first focus is on 2 courageous endeavours that have been already yielding good results to the participating countries: (1) Erasmus programme; and (2) the Bologna declaration and process. The second focus is on the implications of both programme and process on the Netherlands side. First, in the discussion, a particular attention is given to Socrates I (1995-1999) and Socrates II (2000-2006) action programmes as when Erasmus ceased functioning as an independent programme in 1995, since then it has been modified and put under the Socrates. Additionally, discussion on Socrates cannot be left out when we wish to talk about the development of education within the EU because it is the first overall programme in the areas of education at the Community level. Then the discussion is furthered to the dynamics of higher education development carried out through Erasmus programme. It is emphasised on the progress of the programme since its introduction in 1987 until the recent accessible information. Thirdly, attention is provided to the Bologna declaration and the subsequent devel-

opment of the process. Finally, we hypothesise some implications the programme and process may impact on the Dutch higher education and system. The data and statistics used in this article are collected from relevant sources including books, reports, the on-line Official Journal of the European Union and other websites, newspapers, relevant agency, in this case is the Nuffic (Netherlands organisation for international cooperation in higher education), etc.
Socrates Action Programme

Legally, Socrates is based on Articles 149 and 150 of the TEU (formerly Articles 126 and 127 of the EC Treaty). Article 149 stipulates that the Community shall contribute to the development of quality education by encouraging cooperation between Member States through a range of actions, such as promoting mobility, exchanges of information or the teaching of the languages of the European Union. The Treaty also emphasises a firm commitment to promote life-long learning for all the Unions citizens. The Community supports as well as supplements the actions taken by the Member States in the field of education while respecting their responsibility for the content of teaching and the organisation of national education system, and their cultural and linguistics diversity. In this context, the Community plays a complementary role that is to supplement a European dimension to education, to help to develop quality education and to encourage life-long learning. The Socrates programme has functioned as the main instrument to materialise this goal. The adoption of the Socrates I by Decision No. 819/95/EC of the European Parliament and of the Council (14 March 1995), which subsequently amended by Decision No. 576/98/EC of the European Parliament and of the Council (23 February 1998) marked the beginning of, for the first time at the Community level, the implementation of an overall programme in the area of education. The first phase Socrates programme was based on an integrated framework of actions and activities relating to all levels of education. Article 1 of the Decision stated: This programme is intended to contribute to the develop-

101

102

ment of quality education and training and the creation of an open European area for cooperation in education. Socrates I started in 1995 and ended in 1999. Within 1995 and 1997 the participating countries included the 15 Member States of the EU, 3 countries of the European Free Trade Area (Iceland, Liechtenstein, and Norway). However, from 1997 and 1998 onwards it has been also available to the nationals and institutions of several countries, which have applied to be members of the EU (Czech Republic, Cyprus, Hungary, Poland, Romania and Slovakia). Bulgaria, Slovenia and 3 Baltic states (Estonia, Latvia and Lithuania) have been accepted into the programme since 1999. Now based on the considerations 11 and 12 of the Decision No. 253/2000/EC of the European Parliament and of the Council (24 January 2000), the number of participating countries in Socrates II is enlarged beyond the participating countries of Socrates I through the accession of Malta and Turkey. For Turkey, the year 2001 will be a preparatory year. In addition, Socrates II is being implemented over the period between 1 January 2000 and 31 December 2006. When Socrates I ended on 31 December 1999 and the formal decision of the European Parliament and the Council establishing Socrates II was not taken until 24 January 2000, there was a need to implement Socrates II into 2 stages, so that the continuity of the programme could be preserved. Stage 1In the year 2000 the Actions of the programme were carried out along similar tracks to Socrates I. Nevertheless, a number of changes have been introduced in accordance with the Socrates II decision. They concerned both the thematic orientation of certain actions and some of the administrative procedures. A full annual budget was also available for the programme in the year 2000. Generally speaking, all types of activity previously eligible for support within Socrates I, were eligible for support in the year 2000. Stage 2The decision on Socrates II also brings about a number of more substantial changes to the programme, compared to Socrates I. The introduction of those changes requires a longer preparation period, in order to ensure that all potential participants are informed and that the necessary administrative structures are set in place at

the Community level and in the Member States. The implementation of Socrates II takes effect in the year 2001. Socrates I covered 8 actions: (1) Erasmus (Higher Education); (2) Comenius (School Education); (3) Lingua (Promoting Language Learning); (4) Open and Distance Learning; (5) Adult Education; (6) Exchange Information and Experience on Education; (7) Systems and Policy; and (8) Complementary Measures. On the other hand, based on Article 3 of the Decision No. 253/2000/EC and the operational content and application procedures which are described in the Annex, there are 8 separate actions included into Socrates II: (1) Comenius (School Education); (2) Erasmus (Higher Education); (3) Gruntdvig (Adult Education and Other Education Pathways); (4) Lingua (Teaching and Learning of Languages); (5) Minerva (Open and Distance Learning, Information and Communication Technologies in the Field of Education); (6) Observation and Innovation; (7) Joint Actions; and (8) Accompanying Measures. In terms of financial support, the total budget of the 5-year term Socrates I (1995-1999) was 933 million, 920 million of which was allocated for the operational expenditure. The largest allocation of the budget was for Erasmus programme (totally 525,454,206). As comparison, the financial framework for the 7-year term Socrates II (2000-2006) has been set at 1,850 million, 950 million of which is allocated for Erasmus, where 750 million is made available for student grants. Additional funds are given in each country by public authorities, universities, and other organisations.
The dynamics of Erasmus Programme

103

A European Community Action Scheme for the Mobility of University Students called Erasmus had been adopted through the Council Decision No. 87/327/EEC of 15 June 1987. It means that the Erasmus programme has already existed even before the adoption of Socrates I in 1995. The aims of the programme had been supporting, promoting and stimulating cooperation between European universities towards developing joint curricula, exchanging staff and students, and organising joint intensive short courses. The Community, through the

104

Erasmus programme, financially assisted European universities in order to establish Inter-University Cooperation Programmes (ICPs). Besides providing financial assistance to the universities, the Erasmus programme also provided grants to students who wanted to fulfil part of the requirements to obtain their degree in a University in another Member State of the EC. From 1995 and onwards, Erasmus ceased as an independent programme but has continued, in modified form, as the higher education component of the Socrates action programme. According to Article 3 of the Decision No. 253/2000/EC and the Annex, Erasmus programme is one of the 8 aforementioned actions covered by Socrates II. This programme sets the endeavours to enhance the quality and reinforce the European dimension of higher education, to encourage transnational cooperation between universities, to promote European mobility in higher education sector and to improve transparency and academic recognition of studies and qualifications throughout the Community. Eligible universities that wish to participate in the programme must conclude institutional contracts with the Commission covering all the approved Erasmus activities. Those contracts will normally terminate in three years and are renewable. In its implementation, this programme is divided into 3 actions namely European interuniversity cooperation, mobility of students and university teachers, and thematic networks. The following description is stipulated in the Annex of Decision No. 253/2000/EC as such: 1. cooperation Action 2.1: European interuniversity cooperation The Community supports interuniversity cooperation activities including the development of innovative projects, carried out by universities in conjunction with partners in other Member States, with the participation, where appropriate, of other players involved in education, as described in Article 4 of the Decision. 2. Community financial assistance may be awarded for the following:

(a) the organisation of mobility of students and university teachers; (b) joint development and implementation of curricula, modules, intensive courses or other educational activities, including multidisciplinary activities and the teaching of subjects in other languages; (c) consolidation, extension and further development of the European credit transfer system (ECTS), which is designed to facilitate academic recognition in other Member States. Action 2.2: Mobility of students and university teachers 1. The Community supports transnational mobility activities concerning: (a) students, in accordance with point 2; (b) university teachers, for the purpose of carrying out teaching assignments likely to enhance the European dimension or extend the range of courses offered by the universities concerned. 2. Students who, after completing at least their first year of studies, spend three to 12 months in another Member State within the framework of this Action, will be considered Erasmus students, regardless whether they have been awarded financial support in accordance with point 3. Such periods are fully recognised under the interuniversity agreements forming part of the institutional contracts and may include integrated in-company placements where appropriate. The host universities will not charge tuition fees to Erasmus students. Students with special needs will be given particular attention. 3. Community financial assistance may be awarded for: the mobility of students. The Member States may, in awarding Community grants, take appropriate account of the economic situation of applicants. As the Communitys contribution covers only part of the cost of students mobility, Member States are invited to help provide the necessary funds. In this connection, grants or loans available to students in the

105

Member State of origin shall continue to be paid during the period of study in a host Member State; the mobility of university teachers; preparatory measures, in accordance with Section IV B, point 4. Action 2.3: Thematic networks The Community promotes the development and consolidation of thematic networks, each enabling a large grouping of universities to cooperate on topics relating to one or more disciplines or on other matters of mutual interest in order to disseminate innovation, facilitate the spread of good practice, encourage discussion of qualitative and innovative aspects of higher education, improve teaching methods and stimulate the development of joint programmes and specialised courses. The involvement of representatives of learned societies, professional associations and socioeconomic circles is to be encouraged. Special attention will be paid to the dissemination of results. From 1987/1988 until 1999/2000 there have been about 750,000 university students have spent a period abroad under Erasmus and more than 1,800 European universities and higher education institutions have been participating. It means nearly all European universities and higher education institutions are already involved. It is obvious that there are 2 categories of people who can take the advantage from Erasmus activities: students and university teachers. For the students, Erasmus provides the opportunity to study for a period of 3-12 months at a university or higher education institution in another participating country. The time spent studying in the other country is fully recognised in the home institution due to the ECTS system, which facilitates academic recognition of periods of study in partner institutions. This requires an advance agreement between the institutions concerned before a person can benefit from the Erasmus scheme. Students can apply for European grants, which are intended to help to cover the cost of travelling and the difference in cost of liv-

106

ing. They are also eligible to obtain financial assistance from the Commission for language tuition prior to their departure to, or upon their arrival at a foreign institution. For the teachers, there are several opportunities open to them, such as: Teacher exchangesThe European Commission provides assistance to teachers giving courses, usually short courses, as part of the official curriculum of a partner university in another European country. Joint preparation of coursesThis joint preparation must consist of at least three institutions (of different countries) pooling their resources to develop a programme of study, a module, a curriculum or a masters programme. This can be done in all academic subject areas. Intensive programmesCommunity financial support can be made available to universities organising intensive courses (e.g. as part of summer university programmes), especially when they have European dimension and perspective. Thematic networksUniversity departments or faculties, research centres or professional associations can establish a European network around a subject area or a specific topic as a platform for analysis and discussion. The condition to obtain the Commission support for these thematic networks is that all the participating countries must be represented. Since its inception in 1996 through 2000, the Thematic Network Projects covered or are covering the following subject areas: Medical Sciences, Management Sciences, Dental Education, University Management, Pharmacology, Computing Humanities, Veterinary Science, Teacher Education, Medical Physics, Continuing Education, Adapted Physical Activity, Law, Physics, Political Sciences, Chemistry, Tourism and Leisure, Biology, Sport Sciences, Biotechnology, Social Sciences, Food Studies, Children Identity and Citizenship, Agricultural Sciences, Womens Studies, Environmental Sciences, Ethics, Environment/Water, Philosophy, Engineering Education, Speech Communication Sciences, Civil Engineering, Communica-

107

tion Sciences and Journalism, Telematics Sciences, Languages, Literature, Information Technology in Education, Arts, Planning (Urban and Regional), Archaeology, Occupational Therapy, Humanitarian Development Studies, and Gerontechnology Education.
The Bologna Process

108

Serious steps have been taken to search for a common European solution to common European problems such as the Bologna Magna Charta Universitatum (1988), which stressed that the independence and autonomy of universities would ensure the adaptability of higher education and research system to the need of changing demands in the society and for the advancement of scientific knowledge. Several years after that came the Sorbonne Declaration (1998), which emphasised the important roles of universities in developing a European cultural dimension. Next to Sorbonne Declaration was the signing of the Bologna Declaration (19 June 1999) by 29 European ministers in charge of higher education which has been a key document to create a European Higher Education Area (EHEA) by 2010. The signatory countries will undertake to attains the Declarations objectives and uphold the commitment to engage in coordinating their policies. The Bologna Declaration was a commitment freely taken by each signatory country to reform its educational system(s) in order to establish overall convergence at European level. Even though it seems to be voluntarily, but any pressure individual country or higher education institutions may feel from the Bologna process reflects the ignorance of that country or institution to respond the demands of rapid transformation in the society and the scientific knowledge. Towards more concrete common actions in establishing the EHEA a meeting of European ministers in charge of higher education took place in Prague, 19 May 2001. The Prague Communiqu, which was signed by 32 representatives of the signatory countries, contains further actions that should be taken in order to materialise the 6 objectives of the Bologna process: (1) adoption of a system of easily readable and comparable degrees; (2) adoption of a system essentially based on two main cycles; (3) establishment of a system of

credit; (4) promotion of mobility; (5) promotion of European cooperation in quality assurance, and (6) promotion of the European dimensions in higher education. In Prague, the ministers also further emphasised three additional points: (1) life-long learning; (2) higher education institutions and students; (3) promoting the attractiveness of the European Higher Education Area.
Implications of Erasmus Programme

The Netherlands is one of among the major EU member states that has actively involved in the Erasmus programme. In terms of the number of students both foreign studying in the Netherlands and outgoing Dutch nationals studying in other participating countries under the Erasmus, the Netherlands in 2 calendar years (1998/1999 and 1999/2000), has been the big six among the United Kingdom, Germany, France, Spain and Italy. The whole budget for Erasmus programme that the Netherlands obtained in 1999/2000 was 3,781,322 (NLG 8,332,948). Despite the number of Erasmus students from other participating countries in the Netherlands and outgoing Dutch students enrolled at foreign universities and institutions tends to fluctuate, nevertheless, in the last 2 calendar years it shows an increase. In 1998/1999 there were 5,752 foreign students studying in the Netherlands and 4,332 outgoing Dutch students studying abroad under Erasmus programme. In 1999/2000 they became 5,896 and 4,418. Additionally, the number of the outgoing Dutch university teachers participated in the Erasmus programme in 1999 calendar year was 558. According to Nuffic, however, the number for 1999/2000 was 582. The number of participating institutions in Erasmus action (1999/2000) from the Netherlands side was 63. There were 8 Dutch institutions involved in the coordination of the CDA (development of advance curricula) and 42 participated in the CDA, 5 institutions involved in the coordination of the CDI (development of initial and intermediate curricula) and 22 participated in the CDI, 8 institutions involved in the coordination of the EM (European modules) and 44 participated in the EM, 2 institutions involved in the coordination of

109

110

the ILC (integrated language courses) and 5 participated in the ILC, and 41 have already adopted the ECTS (European Credit Transfer System). Since Erasmus programme involves people mobility (university students and teachers) it remains keeping the participating parties busy. To the Netherlands side it creates some implications, both in terms of advantage and obstacle. Among the positive implications to the country is that the Netherlands, as one of the Community founders, can be regarded has actively involved in serious steps toward the integration of Europe by way of cooperating in higher education. It is a case of a good image which reflects the enthusiasm of the Netherlands to join effort in order to attain certain objectives of the EU on mobility of students and teachers as well as promoting education and cultural and linguistics diversities among the member states in a broad sense. The second implication is that the Netherlands, in order to be more attractive to the ingoing Erasmus students, would be encouraged to enhance and improve its quality education. One of indicators for this need is that its neighbours like the United Kingdom, France, Belgium, and Denmark have surpassed the long reputation of the Netherlands as the most highly educated nation in Europe. In short, the Netherlands, like that of expected by other participating countries, has been gaining many benefits from this exchange programme. In terms of obstacles there some implications brought about by the Erasmus, some of which can mainly be classified into two categories: the mobility obstacles and the administrative obstacles. The first ones have to do with visa, residence permits, housing, insurance, social security, different national academic years, etc. The second ones have to do with inflexible regulations, rules, laws, bureaucracy, long-term applications, contracts, paper works, and so forth.
Implications of the Bologna Process

The common goal of the Bologna process in general is to create a European space for higher education in order to enhance the employability and mobility of citizens and to make European higher education more competitive in the international level. Despite the Bologna

process is not a reform imposed upon national government or higher education institution and the deadline has been set up by 2010, the Netherlands had decided their own deadline: 2003. Even the Parliament pushed the minister in charge of higher education to enlighten the meaning of integration of the Bologna Declaration into the Dutch system. Once Minister of Education, L. Hermans, expressed his opinion on the Bologna process that Dutch universities do not need to worry about competition with foreign counterparts. However, he emphasised that there is no need for the universities in the future to function like real business companies. To further he said, Het staat vast dat we die hervorming gaan invoeren. Dan kun je daar beter snel mee zijn, want iedere afgestudeerde die van vr de verandering is, heeft straks minder kansen. Gisteren is vandaag al begonnen, hoor. His statement shows he was adamant that the Netherlands must go on with the Bologna process. To this country, among the 6 objectives to be attained in the Bologna process, perhaps the introduction of undergraduate and postgraduate levels (two-cycle system) in all countries would be a somewhat tough obstacle. It implies that Dutch university programmes have to be divided into two: one is a broaden, multidisciplinary undergraduate phase or bachelor phase in three years, and then followed by a specialist graduate phase or master phase in one year (usually two years for bta programmes), which can be also formulated as 3+1 programme. Student who follows the complete university programme may use Master title. The government would separately fund both phases. On the other hand, programmes in higher professional education (hogescholen) would only lead to the titles of bachelor. Reaction and response towards the implementation of Bologna process in the field have been varied; some show opposition, and other show support. Opposition, for example, was voiced by Prof. Dr. D. Bosscher, the Rector Magnificus of the Rijksuniversiteit Groningen. Bosscher, who is also the Chairman of Rectorcollege said, Minister Hermans heeft zoveel randvoorwaarden geformuleerd, dat we ons afvragen of we nog langer aan moeten

111

112

meewerken. According to Bosscher the one specialist year in the universities would not enough to train the students to the expected level of mastery and it could create an image that Dutch universities look no longer competitive in Europe as they have been. The universities also worried that by the introduction of the 3 + 1 formula, the students who already obtained their 3-year bachelor diplomas would leave the university earlier without completing their specialist Master phase. The mood of the universities, however, has been quite in favour of the process compared to that of the last academic year. Rector Magnificus F. van der Duyn Schouten from the Catholic University of Brabant thought that the universities through master programme would be more flexible to catch up with the development of science and community. The Collegevoorzitter of Leiden University, Loek Vredevoogd, expressed his optimism and considered the introduction of the new system as an important stimulant to educational reforms. The Erasmus University of Rotterdam viewed the introduction of the two-cycle Anglo-Saxon system as a strong stimulant for internationalisation of Dutch higher education.
Conclusion

The provisions on education seem to have been slowly brought to the European Community and then to the European Union competence. Specific reference to education made, which had been stated in Article 218 of the EEC (Establishing of European Community) Treaty, was only on vocational training. The change came after the amendments made by the TEU (Treaty on European Union). Generally speaking, Socrates action programmes have functioned as a right and important umbrella to enable the progress of the overall levels of education within the EU structure. In the realm of higher education within the EU structure, there are two actions that have played very important roles. They are Erasmus programme and the Bologna process. Even though it is likely hard to prove a direct link between Erasmus programme and the Bologna process, but they are closely related and supporting to each other. For example, four of the six objectives of the Bologna

process have been introduced under the Erasmus, namely promoting mobility, extending the ECTS, adopting the diploma supplement, cooperation in the area of quality assurance. They also reflect a firm common resolve of the signatory countries to further and smooth the path that eventually leading towards an enlarged and more integrated EU. The inclusion of the nonEU/EFTA countries which are prospective to be new members of the EU signs this. It can be said that their experience participating in the programme and process in certain aspects would be a worthwhile learning process as well as making gradual adaptation and necessary adjustments to the EU system before their accession into the EU finally approved. From the policy-making and legislation point of view, Erasmus programme has been product of the European Parliament and of the Councils decisions. Since in the EU structure a decision should be binding in its entirety upon those to whom it is addressed, the Erasmus programme in the Netherlands has to be executed, so to speak, as it is. On the other hand, the Bologna process in this perspective has been a kind of a political will of the European ministers in charge of higher education. It was clear in the Declaration that the process is not a path leading to the standardisation or uniformisation in European higher education, but is merely aimed at creating a convergent European higher education. However, its message is so strong within the structure since the signatory countries have convinced to the need of attaining their common objectives to create a European space for higher education by 2010. To sum up, in spite of their distinction in the policy-making process, Erasmus programme and the Bologna process are hand in hand to further develop and enhance the progress of European higher education. To the Netherlands higher education system it is clear that Erasmus programme and the Bologna process have their own implications. The Erasmus programme can be an advantage as well as leave obstacles to the Netherlands side. The progress of Erasmus programme in this country in the future will much depend on how it responds and addresses the existing obstacles, both in mobility and administrative aspects. Whereas the complicated problem faced by

113

the Netherlands in the Bologna process is the adoption of the AngloSaxon two-cycle university system. The development of higher education within the EU structure is rapidly in progress. As long as Erasmus programme and the Bologna process are concerned, there are abundance of works to do and to solve both in the levels of the Community and the participating countries. And this process itself, we believe, would bring the participating countries closer and stand shoulder to shoulder, which would eventually contribute to the more integrated, welfare, quality, and perhaps help to return another European Golden Age.
(Dimuat pada website Sekolah Indonesia Nederland, pada: http://sekolahindonesia.nl, 11 Mei 2005)

17. DE PASAR MALAM BESAR, DEN HAAG


Gunaryadi, 7 Juni 2005
114

uatu ketika di masa kecil di kampung pernah diadakan semacam pasar malam. Aktivitas itu berlangsung beberapa hari, siang-malam. Acaranya kebetulan tepat di lapangan sepakbola dan tenis di depan rumah. Walaupun banyak yang berjualan makanan dan komoditas lainnya, tetapi yang keras terdengar adalah alunan lagu yang mengiringi permainan Kim atau Koa. Sansai ... den sansai ... den. (Minang: Sengsaralah ... daku ... sengsaralah ... daku....). Itulah penggalan lagu yang masih saya ingat. Barangkali lirik lagu tersebut untuk menghibur mereka yang kalah taruhan. Sepengetahuan penulis, waktu itu aroma judi dan pertaruhanlah yang lebih menyengat. Mungkin itu sebabkan pemutaran lagu-lagu sansai itu terlalu keras dan berulang-ulang. Dan itu adalah festivitas unik sekaligus ganjil yang pertama dan terakhir yang penulis alami sendiri di kampung. Belasan tahun kemudian penulis bertemu kembali dengan kegiatan semacam itu, tetapi tentu saja dalam ruang dan waktu yang

berbeda. Tidak itu saja, latar belakang, penyelenggara, dan cakupannya pun tidak sama. Kali ini dikenal dengan De Pasar Malam Besar di Den Haag, yang setiap tahun diselenggarakan oleh Yayasan Tong-tong. Tong-tong pada awalnya adalah nama majalah khusus bagi orang Indo (Eurasia) dan keturunannya di Belanda, khususnya di Den Haag. Den Haag adalah konsentrasi domisili orang-orang Indo di Belanda. Tidak salah kiranya kalau kota itu disebut juga Jandanya Hindia (De weduwe van Indi). Generasi pertama orang Indo setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah mereka yang memilih ikut program repatriasi dan kemudian para spijtoptanten, yaitu program kembali ke Belanda, ke negeri leluhur yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Jumlah mereka yang pulang ke Belanda waktu itu sekitar 300.000 orang. Keadaan asing dan baru menyebabkan mereka sulit berasimilasi dengan budaya Belanda karena mereka lahir dan besar di Indi (Indonesia). Oma Annie, demikian saya memanggil nenek kos sewaktu tinggal dekat KBRI Den Haag, sering bilang, Londo, kepet! Kepet dalam bahasa Jawa berarti tidak cebok setelah buang air (besar atau kecil). Di Eropa cebok setelah buang air malah suatu hal yang tidak lazim karena mereka sudah biasa menggunakan tisu (toiletpapier) untuk hajat tadi. Oma Annie, walaupun secara fisik lebih banyak bulenya, tetapi lahir di Malang dan besar di Surabaya. Walaupun harus selalu ngendon di dalam rumah, dalam usianya yang 97 tahun dia masih fasih menceritakan bagaimana dia mengalahkan gurunya yang Belanda totok dalam lomba lari ketika dia bersekolah di Malang dulu. Beliau kadang memberi nasehat, Jong, jij mag niet met de totok meisjes omgaan. Dat is niet goed voor jou. Ik weet dat jij rein bent. (Nak, kamu jangan berteman dengan perempuan Londo. Itu tidak baik bagimu. Saya tahu kamu orang baik-baik). Meskipun hanya sebuah precaution, tetapi ini adalah salah satu contoh betapa sulitnya generasi pertama Indo menerima kultur Belanda, dan tidak jarang mereka kurang suka dengan Belanda totok. Jadi, jangan heran, sampai sekarang pun, kalau bertamu ke rumah orang Indo di Belanda, di WC-nya nyaris selalu ada botol berisi air untuk cebok, dan tersedia pula tisu.

115

116

Salah satu faktor mengapa mereka agak sulit berasimilasi dengan budaya Belanda karena mereka ingin mempertahankan identitas keIndo-an mereka. Untuk itu mereka memerlukan suatu wadah, apalagi generasi kedua dan ketiga mereka sudah mulai dewasa di Belanda. Maka lahirlah majalah Tong-tong, yang dikembangkan oleh Tjali Robinson, sastrawan kawakan Indo di Den Haag. Kemudian mereka mendirikan Paguyuban Budaya Indo (Indies Cultural Circle). Dan Pasar Malam Besar yang pertama tahun 1959, dimaksudkan sebagai malam penggalangan dana untuk pendirian organisasi tersebut. Sejak itu, kegiatan tahunan ini terus berkembang, bahkan barangkali di luar perkiraan para pionirnya itu. Pasar Malam Besar di Den Haag kini tidak saja telah menjadi wadah reuni, pertemuan, informasi bagi orang Indo saja, tetapi jugakarena hubungan keluarga, historis, dan emosionalbagi orang Indonesia. Banyak usahawan Indonesia yang datang mengisi stand. Ada pula artis atau kelompok seni Indonesia yang diundang panitia untuk tampil dalam even itu. Tidak itu saja. Pasar Malam Besar di Den Haag kini telah berkembang menjadi festival Eurasia yang terbesar di dunia, sekaligus menjadi bagian dari jadwal tahunan pariwisata kota Den Haag. Disamping stand dagang, los lambung, di arena Pasar Malam juga ditampilkan berbagai seni budaya Indonesia dan Indo, ceramah, diskusi, tampilan tari dan musik, film, bela diri tradisional, dll. Suatu ketika di sana, penulis kadangkala berpapasan dengan rombongan anak-anak dan ABG yang secara fisikal masih Indonesia, tetapi ketika didekati, ternyata mereka tidak lagi berbicara dalam bahasa Indonesia, tetapi bahasa Belanda! Bahkan selain Pasar Malam Besar ini, di berbagai kota di Belanda diadakan pula kegiatan sejenis dalam skala yang lebih kecil. Pasar Malam Besar biasanya diadakan dalam bulan Juni atau dalam musim panas, bertempat di Malieveld, dekat Stasiun Den Haag Centraal. Festival tahun ini berlangsung dari tanggal 8 hingga 19 Juni 2005 dan merupakan Pasar Malam Besar yang ke-47. Beberapa tahun sebelumnya acara tersebut diadakan di arena terbuka, tetapi kemudian Pasar Malam Besar ini diadakan di bawah tenda raksasa yang luas ruangnya mencapai 20.000 m. Tenda raksasa milik De

Boer yang terkenal dalam Olimpiade Atlanta itu cukup kokoh dan suhu dalam tenda bisa diatur. Karena diadakan di musim panas, disediakan pula teras untuk pengunjung yang ingin santai di alam terbuka. Beberapa tahun terakhir, jumlah pengunjung terus meningkat, yang kini rata-rata di atas 100.000 orang. Setiap tahun Pasar Malam Besar menggunakan tema yang berbeda. Tahun ini bertema Cinta (de liefde), dengan harga (dagkaarten): tiket normal 10,00; tiket normal weekend 12,50; untuk pengunjung berusia 65 tahun ke atas 7,50; anak-anak usia 2 sampai 11 tahun 4,50; pelajar dan mahasiswa 6,50; dan kelompok (minimal 20 orang) 8,80 per orang. Disamping harga tiket normal, ada pula tiket untuk sepanjang atau separuh acara (12 atau 6 hari) sekaligus, yang harganya tentu lebih murah. Waktu kunjungan antara jam 12.00 dan 23.00, dan pada hari Minggu terakhir antara jam 12.00 dan 22.00. Pasar Malam Besar di Den Haag ini dapat dikatakan sebagai kegiatan yang positif, konstruktifdan tentu sajaekonomis.
(Dimuat dalam website Sekolah Indonesia Nederland, pada: 117 http://sekolahindonesia.nl, 17 Juli 2005)

18. DAMAI UNTUK ACEH DAN PERAN EU


Gunaryadi, 25 September 2005

esepakatan yang dicapai dalam putaran kelima perundingan antara delegasi Republik Indonesia dengan GAM di Helsinki menjadi secercah harapan bagi masyarakat Aceh. Harapan akan hadirnya perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam tidak saja akan menjadi hadiah ulang tahun RI ke-60 sebagaimana dikatakan oleh Wapres M. Jusuf Kallatetapi lebih penting lagi sebagai rahmat bagi rakyat Aceh yang sedang tertimpa musibah tsunami dan penderitaan akibat operasi militer sejak zaman kolonial. Negosiasi di Helsinki berjalan lambat dan terjadi setback ketika delegasi GAM yang sebelumnya setuju untuk melepaskan tuntutan

118

mereka untuk memisahkan diri dari republik, menuntut diberikan kesempatan partisipasi politik bagi masyarakat Aceh berupa pembentukan partai politik lokal di provinsi tersebut. Rumitnya memutuskan poin terakhir ini memaksa delegasi RI menghubungi M. Jusuf Kalla yang akhirnya setuju untuk mencari komposisi dan semantik yang tepat untuk mengurangi perlawanan di parlemen (Tempo, 26/7-01/8/2005). Karena bagaimanapun butir-butir yang memiliki implikasi perundang-undangan harus lewat meja legislatif. Padahal, bagi beberapa anggota parlemen, mengapa perundingan dilaksanakan di Helsinki sudah menjadi pertanyaan yang besar terhadap keterbukaan pemerintah SBY-Kalla dalam proses tersebut. Bahkan mantan Presiden Megawati Sukarnoputri ikut mempertanyakan proses tadi karena menganggap butir-butir kesepakatan tidak transparan (Kompas, 28/7/2005). Meskipun demikian, kita harus mengakui bahwa hasil dari Helsinki ini merupakan awal dari sebuah proses yang panjang, berliku dan bisa saja mengalami tegenslag sebagaimana diprediksi Rizal Sukma (Media Indonesia, 18/7/2005). Dan inisiatif yang difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) lembaga yang dipimpin oleh mantan presiden Finlandia, Martti Ahtisaari ini telah menunjukkan kemajuan yang sangat berarti. Usaha serius mendamaikan pihak yang bertikai di Aceh dalam Era Reformasi ini telah dilakukan dua fase yang melibatkan pihakpihak internasional. Sebelumnya perundingan dimediasi oleh Centre for Humanitarian Dialogue (HDC) menghasilkan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA), 9 Desember 2002. Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga yang sebelumnya bernama Henry Dunant Centre ini akhirnya kandas. Penghujung Desember 2004, Aceh dan sekitarnya dihantam tsunami dahsyat. Besarnya korban dan aktivitas evakuasi, recovery serta pembangunan kembali Aceh memerlukan ketenangan dan keamanan. Pihak-pihak yang terlibat konflik sepakat jeda untuk memberikan kesempatan kepada usaha-usaha kemanusiaan. Kondisi inilah yang dilihat oleh CMI sebagai sebuah window of opportunity. Berbeda dari inisiatif HDC, usaha CMI didukung sepenuhnya oleh EU baik dari segi legalitas maupun dana. Menurut sistem legislasi EU usaha CMI berbasis pada Council Regulation No. 381/2001 ten-

tang Rapid Reaction Mechanism (RRM). Inisiatif tersebut berada dalam skema RRM Policy Advice and Mediation Facility Decision 2004-02 yang disetujui 8 Maret 2004. Bersama beberapa tim ASEAN, EU juga akan terlibat dalam misi pemantau hasil kesepakatan damai Helsinki di lapangan (Republika, 29/7/2005). Mengapa kali ini CMI dan EU yang proaktif? Bagaimana implikasinya terhadap status quo geopolitik regional? *** Dalam beberapa dekade terakhir, EU termasuk yang memprediksi Asia akan muncul sebagai kekuatan ekonomi dunia. Menurut estimasi Bank Dunia, menjelang tahun 2000 separuh dari pertumbuhan ekonomi dunia berasal dari kawasan Asia Timur dan Tenggara. Untuk mempertahankan posisinya sebagai pemain globalkhususnya dalam sektor ekonomiAsia bagi EU tidak saja strategis tetapi juga indispensable. Dalam bingkai tersebut, sejak 1992 EU memberlakukan instrumen finansial, bantuan teknis dan ekonomi dengan Asia dan Amerika Latin (ALA Regulation). Payung hukum ini terus diperbaharui sesuai semangat zaman. Tahun 1994 EU mengeluarkan strategi yang komprehensif dalam hubungan dengan Asia yang dituangkan dalam dokumen yang bertajuk Toward a New Asia Strategy. Dalam konteks di atas, Indonesia bagi EU adalah salah satu pemain penting di Asia. Selain di bawah ALA Regulation, hubungan EU dengan Indonesia berada dalam kerangka EC-ASEAN Cooperation Agreement tahun 1980. Tahun 2002 EU merilis Indonesia Country Strategy Paper 2002-2006. Dalam dokumen strategi tadi, tidak terdapat rujukan khusus tentang agenda membantu penyelesaian damai konflik di Indonesia, tetapi secara tidak langsung usaha tersebut merupakan bagian penting dari agenda lain yaitu dukungan terbentuknya good governance, local democracy, dan manajemen berkelanjutan terhadap sumber daya alam. Dalam diskursus ini, motif EU yang proaktif dalam mendukung proses Helsinki bisa dilihat dalam kacamata bahwa EU konsisten dengan kebijakan dan strateginya. Tetapi dari perspektif politis dan strategis, motif EU tersebut tidak saja bisa dilihat sebagai manuver untuk mengimbangi inisiatif dan usaha kemanusiaan AS dan negara-negara lain yang luar biasa dalam membantu korban tsunami di Aceh, tetapi lebih dari itu. EU

119

120

ingin memperlihatkan komitmennya bahwa konflik bisa diselesaikan tanpa menggunakan kekuatan senjata, serta motivasi yang kuat untuk lebih dekat dengan Asia, dan dalam hal ini, Indonesia. Disamping itu, peluang tercapainya kesepatan damai juga lebih besar pasca tsunami. Tetapi realitas ini agak prematur untuk menjadi preseden bahwa kebijakan dan strategi EU terhadap proses Helsinki ini merupakan antidote terhadap pendekatan kebijakan luar negeri AS. Dan terlalu dini berpikir EU mulai menjadi contending power bagi hegemoni AS yang sudah bercokol di Asia-Pasifik sejak akhir PD II. Tetapi ada gelagat ke arah sana dan akan menguat ketika Cina bangkit sebagai kekuatan regional yang baru. Dan melihat pengalaman di Bosnia, Kosovo, Sierra Leone, Eriteria, dan Republik Demokratik Kongo, pasukan EU lebih banyak menjalankan misi peace-keeping dan peace-building; tidak dalam slagorde pasukan invasi kecuali jika sangat diperlukan dan jika NATO tidak bertindak. Pendekatan ini adalah prinsip dari European Security and Defence Policy (ESDP) yang merupakan bagian dari Common Foreign and Security Policy (CFSP). Tetapi kritik keras datang dari belahan Transatlantik bahwa strategi yang digunakan EU adalah sebuah kelemahan. Ada yang menganalogi EDSP bagaikan a baby in diapers (Thomas Bauer, 2004). Dan Robert Kagan (2003) memuji pendekatan Thomas Hobbes (1588-1679) dalam tata politik global yang menjiwai figur-figur neokonservatif di Washington saat ini. Sementara Eropa, menurutnya, terbius filosofi Immanuel Kant (1724-1804) yang mencerminkan karakter negara lemah. Menurut Kagan perpetual peace dalam mimpi Kant hanya bisa dicapai Eropa di bawah payung kebijakan luar negeri Amerika yang ala Hobbes yang mengutamakan kekuatan dan kalau perlu mengabaikan tatanan hukum internasional. Sebuah sindiran yang sangat pedas bagi Eropa. Tetapi, demi bangsa dan masyarakat yang sudah lama menderita di seantero duniakhususnya Acehmari kita berikan second chance bagi mimpi Immanuel Kant sebagaimana yang diperlihatkan EU dalam proses Helsinki ini, agar air mata berhenti berlinang, darah berhenti tumpah dan jiwa tidak lagi melayang di Nanggroe Aceh Darussalam baik dari pihak GAM, rakyat Aceh, dan TNI. Semoga.

(Versi Inggris-nya: Peace for Aceh and the role of the European Union, dimuat dalam EurAsia Bulletin, Volume 9 No. 3 & 4 Juli-Agustus 2005, European Instutite for Asian Studies, Brussel; dan dikutip dalam detik.com dengan judul UE di Aceh Tak Perlu Dicurigai, 1 Oktober 2005)

19. PEMILU JERMAN 2005 DAN HUBUNGAN BERLIN-JAKARTA


Gunaryadi dan Dessy Nataliani, 8 Oktober 2005
Pemilu tanpa Pemenang

emilu legislatif memilih anggota Bundestag dilaksanakan di Jerman tanggal 18 September 2005. Pemilu ini dipercepat dari jadwal sebenarnya karena Kanselir Gerhard Schrder menginginkan dukungan dan mandat yang memadai untuk menggulirkan program reformasinya. Tetapi yang menjadi pemantik percepatan tersebut adalah kekalahan Sozialdemokratische Partei Deutschland (Partai Sosial Demokrat SPD) pimpinan Schrder dalam pemilu lokal di Nordrhein-Westfalen, Mei 2005. Menurut perhitungan suara per 19 September 2005, prestasi elektorat masing-masing partai sebagai berikut: Partai Kristen Demokrat (CDU/CSU): 35,2% (225 kursi), SPD: 34,3% (222 kursi), Partai Liberal Demokrat (FDP): 9,8% (61 kursi), Partai Kiri/Sosialis Demokrat (DieLinke/PDS): 8,7% (54 kursi), dan Partai Hijau (Die Grnen): 8,1% (51 kursi). Hasil ini belum termasuk pemilu susulan yang diadakan di Dresden hari ini, 2 Oktober 2005 (NRC Handelsblad, 19/09/05). Dibandingkan dengan pemilu 2002, tiga partai mengalami penurunan suara yaitu SPD (-4,2%), Die Grnen (-0,5%), dan CDU/CSU (3,3%). Sedangkan DieLinke/PDS serta FDP mengalami kenaikan suara. Perolehan suara DieLinke/PDS naik sebesar 4,7%, dan FDP 2,4%. DieLinke/PDS unggul di bekas Jerman Timur. Meskipun mampu mengungguli SPD, prestasi elektorat CDU/CSU ini jauh di bawah hasil berbagai jajak-pendapat sebelum pemilu. Bahkan sebaliknya, prestasi SPD lebih baik dibandingkan hasil polling menjelang pemilu.

121

122

Kekalahan SPD sudah diduga. Berkurangnya dukungan pemilih terhadap partai politik yang sudah 2 periode berkuasa tetapi tidak mampu membuat terobosan baru adalah fenomena yang wajar. Apalagi, pada saat yang tepat isu-isu kelemahan tersebut dieksploitasi oleh lawan-lawan politiknya. Dan berkurangnya suara SPD lebih disebabkan karena para pemilih sudah kehilangan kepercayaan terhadap Schrder; bukan karena tawaran politik CDU/CSU lebih unggul. Sedangkan kekalahan CDU/CSU ditenggarai lebih disebabkan sosok ketuanya, Angela Merkel. Di bekas Jerman Timur, pemilih banyak yang ragu atas kemampuannya menggantikan Schrder dan kurang merakyat. Sebaliknya, di kawasan barat Jerman, dia dianggap sebagai penyusup dari Jerman Timur. Banyak poster kampanyenya dicoret dengan sindiran Honeckers Revenge untuk mengaitkan Merkel dengan warisan mantan diktator terakhir Jerman Timur, Erich Honecker. Yang jelas, kesalahan tidak bisa ditimpakan kepada figur politik masing-masing partai karena performa dalam pemilu adalah prestasi kolektif. Perolehan suara yang hampir seimbang antara CDU/CSU dan SPD ini menyebabkan kemacetan politik di Jerman karena Schrder dan Merkel saling ngotot untuk menjadi kanselir. Secara kalkulus, ada 3 skenario koalisi yang mungkin: (1). SPD + CDU/CSU; (2). SPD + Die Grnen + FDP; (3). CDU/CSU + FDP + Die Grnen. Sedangkan dengan DieLinke/PDS, kedua partai besar tadi telah menutup pintu koalisi. Menurut perhitungan ini, peluang antara Schrder dan Merkel untuk menjadi kanselir hampir sama. Tetapi, politik tidak hanya masalah kalkulus. Dan menurut Konstitusi Jerman, Presiden Federal memiliki hak untuk mengajukan calon kanselir, dengan mempertimbangkan masukan dari partai-partai politik di parlemen. Tetapi jika semuanya mengalami kebuntuan, maka presiden bisa mengajukan calon yang paling kuat, atau membekukan parlemen dan menyerukan pemilu yang baru. Negosiasi harus tuntas menjelang sidang pemilihan kanselir di parlemen tanggal 18 Oktober 2005 nanti. Dunia internasional masih menunggu siapa yang akan terpilih menjadi kanselir di Berlin. Dan bagaimana pula implikasi hasil

pemilu ini terhadap hubungan Jerman-Indonesia? Isu ini sangat penting karena bagi Indonesia, Jerman adalah mitra yang sangat krusial baik dalam konteks bilateral maupun EU. Jika yang terpilih adalah Schrder, bisa dipastikan kebijakan yang sedang berjalan akan diteruskan. Tetapi bagaimana implikasinya kalau Merkel yang terpilih?
Implikasi terhadap Hubungan Jerman-Indonesia

Jika skenario terakhir ini yang terjadi, akan ada beberapa implikasi terhadap interaksi kedua negara. Pertama, dalam konteks politik dan strategis. Gagasan Merkel untuk lebih dekat dengan Washington dan lebih cenderung bersikap unilateralis dalam politik global bermakna mitra multilateris Indonesia di EU akan berkurang. Kebijakan luar negeri Schrder yang lebih multilateralis memiliki banyak interseksi dengan prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Salah satu contohnya adalah sikap yang konvergen Indonesia dan Jerman dalam kasus Irak. Tetapi kemitraan politik dan strategis ini harus dibedakan dari kebijakan keamanan domestik. Di bawah Mendagri Otto Schily dari SPD ternyata kebijakan domestic security malah lebih keras sehingga banyak dikeluhkan oleh penduduk Muslim di Jerman. Sikap keras ini tampaknya malah bisa lebih ketat lagi di bawah Merkel. Kedua, dalam ranah kerjasama ekonomi, kerjasama pembangunan, serta sains dan teknologi, diperkirakan tidak akan banyak perubahan kebijakan. Perusahaan-perusahaan Jerman sudah aktif di Indonesia jauh sebelum mereka melabur di kawasan lain di Asia. Bahkan Bayer, Beiersdorf, DaimlerChrysler, HeidelbergCement, Osram dan Fuchs Oil tidak ramai-ramai hengkang keluar dari Indonesia ketika ekonomi kita sedang goncang dan kondisi politik labil (Auswrtiges Amt, 07/05). Sejak 2004, volume perdagangan Jerman-Indonesia bernilai 3,96 milyar, dengan surplus di pihak Indonesia sekitar 500 juta. Di tahun 2004, kontribusi Jerman dalam pangsa ekspor EU ke Indonesia mencapai 36%, dan 23% impor EU dari Indonesia dikuasai oleh Jerman. Nilai investasi Jerman yang disetujui oleh Indonesia tahun 2004 bernilai 24,8 juta (tahun 2003 bernilai 143,2 juta).

123

124

Dalam kerangka kerjasama pembangunan, Jerman merupakan negara donor bilateral kedua terbesar setelah Jepang. Jerman telah menyalurkan sekitar 3 milyar yang juga mencakup sumbangan pembangunan dari gereja, yayasan politik dan LSM lainnya. Kontribusi Jerman terhadap pembangunan di Indonesia juga disalurkan melalui institusi multilateral seperti PBB, Bank Dunia, ADB, dan EU. Kerjasama sains dan teknologi Jerman-Indonesia juga termasuk prioritas dalam hubungan bilateral, yang dilandasi kesepakatan tahun 1979. Sekitar 20 ribu ilmuwan dan insinyur Indonesia adalah alumni Jerman. Meskipun Merkel terpilih sebagai kanselir dan ada pergeseran kebijakan, maka perubahan tadi tidak akan membawa implikasi yang radikal dalam hubungan Jerman-Indonesia, bahkan dalam bidang politik sekalipun. Setidaknya ada 4 alasan yang mendukung argumentasi tersebut. Pertama, melihat konstelasi politik di Budestag dan kemungkinan koalisi maka kekuatan partai politik yang berhaluan kanan-tengah dan kiri hampir seimbang. Hasil pemilu menegaskan bahwa mandat yang diharapkan Schrder untuk meneruskan agenda reformasinya tidak terpenuhi, dan Merkel pun tidak pula bisa membuat keputusan yang decisive tanpa mempertimbangkan aspirasi kelompok sosial-demokrat di Parlemen. Kedua, perbedaan sikap politik antara CDU/CSU dan SPD sesungguhnya lebih sedikit dibandingkan ketidaksamaan pribadi antara Merkel dan Schrder. Ketiga, fokus perubahan kebijakan yang diusung Merkel lebih dalam konteks regional EU. Terakhir, hubungan ekonomi Jerman-Indonesia termasuk ke dalam domain yang penting bagi Jerman karena sepertiga omset ekonominya berasal dari perdagangan luar negeri.
(Dimuat dalam detik.com dengan judul RI Mau Merkel atau Schrder? dan dikutip Perspektif Online, 8 Oktober 2005)

20. BERSEPEDA, BELAJAR DARI BELANDA


Gunaryadi, 18 Oktober 2005

alam tulisan bertajuk Budaya Hemat: Belajar Bersepeda dan Mobnas Di-pool-kan? dalam Harian Padang Ekspres, 16 Oktober 2005, H. Sutan Zaili Asril (Cucu Magek Dirih) mendukung terobosan penghematan oleh Gubernur Gamawan Fauzi untuk menyimpan kendaraan dinas jika sedang tidak dipakai untuk keperluan dinas. Yang lebih menarik lagi adalah wacana Cucu Magek Dirih bahwa kebijakan gubernur ini perlu dilanjutkan dengan budaya menggunakan sepeda di tengah meroketnya harga BBM. Berbicara tentang sepeda tampaknya belum ada negeri yang mampu menandingi Belanda. Diperkirakan, jumlah sepeda di Belanda mencapai 13 juta buah. Sedangkan penduduknya saat ini 16 juta orang. Jadi, secara statistik, hampir setiap orang di Belanda memiliki 1 sepeda. Semua lapisan masyarakat menggunakan alat transportasi ini: dari kakek, nenek, ibu rumah tangga, anak sekolah, mahasiswa hingga anggota parlemen dan menteri bersepeda. Sepeda digunakan untuk hampir semua keperluan transportasi, mulai dari belanja, ke sekolah, mengunjungi teman, rekreasi, hingga ke kantor, dll. Karena bervariasinya jenis keperluan sepeda ini menyebabkan beragam pula jenis sepedanya, ada sepeda-nenek (omafiets), sepeda-kakek (opafiets), sepeda-perempuan (damesfiets), sepeda-pria (herenfiets), dan sepedaanak (kinderfiets). Orang Belanda sejak dahulu dikenal sebagai masyarakat yang biasa berpikir praktis. Karakter ini adalah salah satu kunci yang membuat Belanda mampu menguasai Hindia-Timur (Nederlands OostIndi) ratusan tahun dan ekonominya ini termasuk yang terkuat di dunia. Seorang anggota parlemen atau menteri bukannya tidak mampu membeli mobil. Biasanya mereka punya mobil sendiri atau kendaraan dinas tetapi hanya dipakai sesuai kebutuhan dan aturan yang berlaku. Kalau hanya dari stasiun ke kantor atau ke rumah atau

125

126

dari rumah ke kantor atau sebaliknya bisa menggunakan sepeda kenapa harus pakai mobil? Kalau bisa menaiki kendaraan umum ke pusat kota, seperti bus atau trem, mengapa harus pakai mobil yang perlu bahan bakar, ongkos parkir, dan kurang praktis? Ketika di negara lain saat ini kuatir dengan masalah kegemukan, di Belanda obesitas belum menjadi ancaman kesehatan yang berarti karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan latihan fisikseperti halnya masyarakat Skandinavia yang suka hikingyaitu mendayung sepeda. Dalam eksposisi hortatoris ini, penulis sepenuhnya setuju dengan H. Sutan Zaili Asril bahwa perlu dipikirkan untuk mengembangkan budaya bersepeda, khususnya di Padang. Ada banyak alasan untuk itu. Pertama, sama dengan Belanda, Padang adalah kota yang memiliki topografi pantai atau sedikit pendakian-penurunan yang terjal serta tidak terlalu luas sehingga cocok dijelajahi dengan sepeda. Kedua, kenaikan harga BBM sebagian bisa diatasi dengan mendayung sepeda karena tidak perlu energi hidrokarbon. Ketiga, bersepeda itu sehat baik bagi pengendaranya maupun bagi lingkungan karena tidak menghasilkan racun CO2 dan tidak bising. Kota yang bersih dan tenang akan menarik minat wisatawan. Keempat, bersepeda itu praktis karena tidak perlu tempat untuk parkir atau rute tertentu. Kelima, bersepeda juga mencerminkan budaya Urang Awak, yaitu sifat hemat dan berpikir praktis. Kalau hanya bersifat ajakan budaya bersepeda sulit berkembang. Anjuran tersebut harus didukung oleh 2 faktor. Pertama, fasilitas. Kedua, perubahan paradigma masyarakat. Untuk aspek pertama, budaya ini harus didukung oleh sarana yang memadai. Di Belanda, sisi kiri dan kanan hampir semua ruas jalan selalu terdapat jalur-sepeda (fietspad). Di persimpangan atau penyeberangan juga disediakan lampu lalu-lintas khusus untuk pengendara sepeda. Diwajibkan pulakhususnya jika jalan di malam harisemua sepeda memiliki lampu depan dan belakang. Sarana dan aturan tersebut adalah untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan pengendara. Untuk faktor kedua, perlu menumbuhkan paradigma positif bersepada. Penyediaan sarana dan prasarana saja belum mencukupi. Mengubah paradigma ini mesti dimulai dari diri sendiri. Dan dalam sistem sosiologis masyarakat kita, perubahan akan bisa dipercepat

kalau menggunakan pola top-down. Penulis yakin kalau Gubernur Gamawan Fauzi konsisten dengan tekadnya untuk mengandangkan mobil dinas kalau tidak sedang dipakai untuk diperlukan dinas, maka kebijakan itu akan diikuti dengan senang hati oleh bawahan beliau. Rakyat tidak saja akan memberi nilai plus kepada pemimpin demikian, tetapi juga akan mengikuti contoh tersebut. Teladan ini tentunya harus berkesinambungan sehingga terlihat jelas tingkat konsistensinya. Apa yang telah dirintis oleh H. Sutan Zaili Asril terhadap diri, keluarga dan karyawannya adalah bukti bahwa perubahan paradigma harus dimulai dari atas. Mengayuh sepeda tidak semestinya menurunkan derajat sosial seseorang. Sama halnya dengan menggunakan kendaraan dinas hanya untuk keperluan yang sesuai dengan peruntukannya adalah jauh lebih terhormat dibandingkan menghabiskan uang untuk sesuatu yang bisa dihemat atau menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Sama dengan nilai yang dianut oleh masyarakat Belanda bahwa secara kultur masyarakat Minang memiliki semangat egaliterisme. Bersama-sama memasyarakatkan penggunaan sepeda adalah salah satu wujud dari sifat egaliter ini.
(Dimuat Harian Padang Ekspres, 23 Oktober 2005)

127

21. IMPLIKASI PEMILU LEGISLATIF POLANDIA TERHADAP HUBUNGAN WARSAWA-JAKARTA


Gunaryadi dan Dessy Nataliani, 24 Oktober 2005
Pengaruh Pemilu terhadap Kebijakan Luar Negeri

ebagai sebuah peradaban dan bangsa, Polandia mulai eksis sejak pertengahan abad ke-10 M. Zaman keemasannya dicapai dalam abad ke-16. Seabad kemudian, kejayaan tersebut mulai memudar karena konflik internal. Dalam kesepakatan yang dibuat antara Rusia, Prusia, dan Austria dalam periode 1772 dan

128

1795, Polandia dibagi oleh ketiga negara kuat tadi. Tahun 1918, Polandia merebut kembali kemerdekaannya. Tetapi dalam Perang Dunia II, negeri ini diduduki oleh Nazi Jerman dan Uni-Soviet. Pasca perang, Polandia menjadi negara satelit Uni-Soviet, tetapi pemerintahannya dapat dikatakan toleran dan progresif. Dalam tahun 1980 terjadi pemogokan oleh para pekerja yang melahirkan serikat pekerja independen: Solidaritas pimpinan Lech Walesa. Serikat pekerja ini kemudian menjelma jadi partai politik (Aksi Elektoral Solidaritas AWS), dan memenangkan pemilu legislatif dan presiden tahun 1990. Kebijakan dan program yang radikal selama tahun 1990-an mentransformasi negeri ini menjadi salah satu ekonomi terkuat di EropaTengah. Kemudian, laju pertumbuhan GDP Polandia menurun dan angka pengangguran meningkat pesat yang mengakibatkan kalahnya kelompok Solidaritas dalam pemilu 2001 ketika gagal memilih wakil di parlemen (sejm), dan pimpinan Solidaritas memutuskan untuk mengurangi peran mereka dalam bidang politik. Tahun 1999 Polandia bergabung dengan NATO dan menjadi anggota EU bulan Mei 2004. Tanggal 25 September 2005, Polandia mengadakan pemilu legislatif yang pertama sejak bergabung dengan EU, dan dua minggu kemudian akan menyelenggarakan pemilu presiden. Setiap pemilu khususnya legislatifmemiliki dampak baik domestik maupun eksternal yang sangat luas. Hasil pemilu akan menentukan pemerintahan baru dan corak kebijakannya. Dalam konteks ini, pemilu di Polandia membawa dampak terhadap lingkungan eskternal khususnya di EU dan negara-negara lain. Dan bagaimana pula implikasi hasil tersebut terhadap hubungan Polandia-Indonesia?
Sistem Pemilu di Polandia

Pelaksanaan pemilu dan referendum di Polandia diatur oleh undangundang. Pemilu di Polandia diadakan untuk memilih anggota sejm, senat, dan presiden; dan dalam kasus tertentu, referendum. Warganegara yang berusia 18 tahun ke atas memiliki hak pilihjika hak tersebut sedang tidak dicabut oleh keputusan pengadilan karena alasan tertentu. Batas usia minimal untuk dipilih menjadi anggota sejm adalah 21 tahun pada saat Pemilu, untuk calon anggota senat 30 tahun, sebagai calon presiden berusia 35 tahun.

Calon anggota sejm dinominasi oleh partai politik dan bisa pula secara independen. Sementara itu, calon presiden harus mengumpulkan minimal 100 ribu tandatangan warganegara yang memiliki hak pilih untuk memenuhi syarat pencalonannya. Pemilu legislatif, senat, dan pemerintahan daerah dilakukan 4 tahun sekali. Sedangkan pemilu presiden setiap 5 tahun. Dalam kondisi tertentu, masa jabatan institusi yang dipilih tadi bisa diperpendek atau diperpanjang. Dalam analisis ini, tinjauan dibatasi pada sistem pemilu legislatif. Pemilu legislatif di Polandia bersifat umum, setara, rahasia, langsung, dan proporsional. Barangkali sedikit yang perlu dijelaskan adalah sifat setara dan proporsional. Setara bermakna bahwa setiap pemilih memiliki satu hak suara dan suara tersebut dihitung sama dengan suara pemilih yang lain. Sedangkan azas proporsional berarti bahwa jumlah anggota legislatif masing-masing partai sesuai dengan proporsi perolehan suara partainya dalam pemilu. Jumlah calon anggota legislatif dari konstituen (daerah pemilihan) dihitung menggunakan sistem dHondt. Ada 2 pengecualian dari azas proposional ini yaitu: pertama, ambang-batas (threshold) untuk bisa duduk di parlemen, partai politik harus meraih minimal 5% suara dalam pemilu. Kedua, untuk daerah pemilihan dengan kursi-tunggal (jika penduduknya kurang dari 30 ribu), maka pemilih memilih calon tertentu dan tidak dari daftar calon anggota legislatif yang disusun oleh partai politik. Dalam pemilu daerah (lokal), skemanya sama dengan sistem pemilu legislatif, tentu saja dengan prosedur penghitungan yang berbeda. Dalam pemilu lokal, pemilih memilih langsung perangkat pemerintahan (eksekutif dan walikota). Dalam sejarah Polandia, hal tersebut dilakukan pertama kali dalam bulan Oktober 2002. Pemilu di Polandia tidak bersifat wajib. Dengan demikian, orang yang tidak menggunakan hak pilihnya tidak bisa dikenakan sanksi hukum.
Partai Politik di Polandia

129

Polandia memiliki banyak partai politik. Hal itu tidak terlepas dari proses demokratisasi pasca dominasi rezim komunis di Polandia tahun 1989. Diantara partai politik yang ada, yaitu: Gerakan Katolik Nasional (RKN); Platform Warganegara (PO); Partai Petani Kon-

130

servatif (KL); Aliansi Kiri Demokratis (SLD); Partai Tanah Air (DO); Uni-Kebebasan (UW); Minoritas Jerman di Silesia (MNSO); Hukum dan Keadilan (PiS); Liga Keluarga Polandia (LPR); Gerakan Rekonstruksi Polandia (ROP); Partai Petani Demokrat (PLD); Polandia Sepakat (PP); Partai Petani Polandia (PSL); Samoobrona (SO); Partai Sosial Demokrat Polandia (SDPL); Gerakan Sosial (RS); dan Uni-Buruh (UP). Sedangkan menurut Kantor Berita Polandia (2005), partai politik peserta pemilu legislatif yang paling mutakhir ini adalah: Liga Keluarga Polandia (Liga Polskich Rodzin LPR), Partai Demokrat (Partia demokratyczna PD), Platform Warganegara (Platforma Obywatelska PO), Partai Buruh Polandia (Polska Partia Pracy), Uni-Petani Polandia (Polskie Stronnictwo Ludowe PSL), Partai Nasional Polandia (Polska Partia Narodowa PPN), Hukum dan Keadilan (Prawo i Sprawiedliwo PiS), Gerakan Patriotik (Ruch Patriotyczny RP), Partai Sosial Demokrat Polandia (Socjaldemokracja Polska SDPL), Aliansi Kiri Demokrat (Sojusz Lewicy Demokratycznej SLD), Platform Janusz Kowin-Mikke, dan Partai Beladiri Republik Polandia (Samoobrona SO).
Performa dalam Pemilu

Pemilu yang dilaksanakan hari Minggu, 25 September 2005 tersebut hanya diikuti oleh 40,57% dari 30.229.031 penduduk yang memiliki hak pilih. Penduduk Polandia saat ini berjumlah 38.635.144 (estimasi bulan Juli 2005). Dan angka partisipasi tersebut adalah yang paling rendah sejak Polandia lepas dari rezim komunis. Dalam pemilu 2001, turnout berada pada level 46,3%. Rendahnya tingkat partisipasi elektoral ini disesalkan oleh Presiden Polandia saat ini, Aleksander Kwasniewski bahwa: Bangsa Polandia senantiasa berjuang menuju demokrasi, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Kwasniewski merujuk perjuangan kemerdekaan Polandia abad ke-19 melawan Rusia dan Prusia, dan abad ke-20 melawan nazisme dan komunisme. Dalam pemilu tersebut, partai politik yang dahulu merupakan warisan dari versi politik Solidaritas (AWS) yaitu: PiS dan PO meraup proporsi terbesar. Kombinasi perolehan suara kedua partai

yang berideologi nasionalis-konservatif dan konservatif ini mencapai 51,1%, di mana PiS menguasai 27,0% suara, dan PO mendapat 24,1%. Dengan prestasi elektorat ini, PiS mampu meningkatkan perolehan suaranya dari 9,5% dalam pemilu 2001 menjadi 27,0%; atau meningkatkan jumlah kursinya di parlemen dari 44 menjadi 155. Peningkatan suara juga terjadi pada PO. Dari 12,7% dalam pemilu 2001 menjadi 24,1%; dari 65 kursi di parlemen meningkat menjadi 133 kursi. Sementara itu, partai berhaluan agraris-nasionalis, Samoobrona Rzeczpospolitej Polskiej (SO) juga meraih prestasi elektoral yang cukup baik, dari 10,2% tahun 2001 menjadi 11,4%. Yang menjadi pecundang adalah SLD, partai yang mengalahkan kelompok solidaritas dalam pemilu 2001. Perolehan suaranya turun dari 41,0% atau 216 kursi di parlemen menjadi 11,3% atau 55 kursi. Prestasi elektoral partai berideologi sosial demokrat ini bahkan lebih buruk daripada SO. Ironisnya, kelompok politik yang mengalahkan SLD dalam pemilu 2005 ini adalah mereka yang dikalahkannya secara telak dalam pemilu 2001, yaitu PiS dan PO. Kekalahan SLD ini bisa pula dijadikan indikasi bahwa para pemilih menghukum partai kiri tersebut karena dianggap gagal mengatasi angka pengangguran yang mencapai 18% (yang tertinggi di EU), dan akibat dari beberapa kasus skandal yang melibatkan partai tersebut. Hasil ini tidak jauh berbeda dari jajak-pendapat hasil pemilu yang dikeluarkan PBS tanggal 23 Agustus 2005; hanya urutannya yang berbeda dengan hasil yang sebenarnya. Dalam polling PBS tersebut diprediksi PO akan mendapat 27% suara, dan PiS memperoleh 25%. Jajak-pendapat tersebut juga dengan tepat membuat prognosis partai politik yang akan menempati posisi ketiga dan keempat yaitu SO dan SLD.
Beberapa Implikasi

131

Seperti yang telah disinggung di atas bahwa hasil pemilu legislatif di Polandia ini akan membawa beberapa konsekuensi terhadap lingkungan eksternalnya, yaitu terhadap EU, dan dalam kajian ini, juga hubungan Polandia-Indonesia. Analisis terhadap implikasi yang bisa muncul tadi dengan asumsi bahwa pemerintahan yang baru dibentuk oleh koalisi PiS dan PO.

132

*** Sebagai negara terbesar dari 10 negara anggota EU yang baru, hasil pemilu di Polandia dipastikan membawa implikasi terhadap masa depan integrasi Eropa, khususnya dalam aspek kebijakan luar negeri dan ekonomi. Implikasi yang dimaksud adalah prediksi terhadap kecenderungan perubahan kebijakan yang akan terjadi. Kecenderungan ini bisa diukur dari prioritas kebijakan pemerintah Polandia terhadap EU menjelang pemilu, antara lain: dalam forum internasional, perluasan EU, finansial, common agricultural policy (CAP), kohesi kebijakan EU, mobilitas penduduk, dan kerjasama dalam CFSP dan ESDP. Kebijakan resmi Polandia terhadap forum internasional difokuskan pada usaha agar suara Polandia lebih berpengaruh dalam menentukan masa depan EU, dan mengusahakan agar reformasi kebijakan EU yang masih mengalami stagnasi kembali bergulir. Polandia mendukung sepenuhnya usaha ratifikasi Konstitusi Eropa dan ikut aktif mencari rumusan yang tepat sehingga konstitusi tersebut bisa diratifikasi oleh seluruh negara anggota dan berlaku efektif karena dengan konstitusi tersebut EU akan semakin bersatu, setia kawan dan efektif. Dalam konteks perluasan EU, pemerintah Polandia bersikap positif terhadap negosiasi bergabungnya Romania dan Bulgaria ke dalam EU, dan mendorong Turki agar memenuhi kriteria yang ditetapkan di Kopenhagen sebagai syarat dimulainya negosiasi bergabungnya Ankara. Polandia juga mendukung dimulainya negosiasi masuknya Kroasia ke dalam EU. Dalam sektor finansial, Polandia menginginkan agar dibuat asumsi baru terhadap perspektif anggaran menjelang tahun 2005 berakhir. Perspektif finansial yang baru akan menentukan perkembangan banyak kebijakan finansial EU seperti CAP, Eropanisasi kebijakan dan berusaha memperpanjang kebijakan yang berkaitan dengan realisasi program-program sosial dan ekonomi yang krusial menurut Lisbon Strategy yang diprioritaskan untuk negara anggota EU yang baru. Pembahasan terhadap perspektif finansial yang baru ini sangat penting dalam menentukan masa depan EU mengingat perlunya usaha untuk memperkecil jurang antara negara anggota yang lama dan baru.

Polandia mendukung dan berkomitmen untuk terlibat aktif dalam reformasi CAP khususnya sejak bergabung dengan EU tanggal 1 Mei 2004. Perlunya dibuat tenggat waktu bagi proses reformasi CAP karena reformasi tersebut sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing produk pertanian EU. Dari sisi Eropanisasi kebijakan EU, Polandia berharap bisa terlibat dalam menentukan dan mendapatkan manfaat dari kebijakankebijakan EU. Program kohesi kebijakan EU ini adalah prioritas kedua yang paling penting bagi Polandia setelah usaha reformasi CAP. Harmonisasi kebijakan EU agar difokuskan pada sektor sosial dan ekonomi. Tetapi, kemenangan PiS dan PO yang sangat signifikan ini bisa menggeser standpoint Polandia terhadap integrasi EU dari pemerintahan sebelumnya di atas. Meskipun hasil pemilu tersebut adalah sebuah realita dan sesuai ekspektasi, tetapi komposisi pemenang seperti ini sepertinya sesuatu yang tidak begitu diharapkandari satu perspektif integrasi Eropaoleh Brussel. Kedua partai politik ini belum memperlihatkan visi yang idealis terhadap integrasi Eropa, meskipun tidak pula memperlihatkan indikasi akan membawa Polandia keluar dari EU. Kedua partai ini menekankan visinya terhadap integrasi Eropa dalam konteks kepentingan ekonominya. Kecil kemungkinan Polandia akan ikut dalam euro zone dalam waktu dekat. Mereka akan mempertimbangkan untuk bergabung ke dalam zona mata-uang tunggal ini kalau Inggris juga mengadakan referendum yang samalangkah yang masih belum terbayangkan akan ditempuh London saat ini. Kedua partai ini dari sisi kebijakan ekonomi bisa diklasifikasikan ke dalam kelompok Eurosceptics. Polandia akan cenderung lebih nasionalistik dan semakin dingin hubungannya dengan dua negara tetangganya: Jerman dan Rusia. Polandia juga akan berjuang agar suaranya lebih didengar oleh Brussel dan memperbesar leverage-nya. Disamping itu, pemerintah yang baru nantinya diduga akan mempersulit dimulainya negosiasi bergabungnya Turki ke dalam EU. Suara publik yang berkembang di Polandia adalah kegusaran mereka karena sering dianggap sebagai negara kecil oleh negara-

133

134

negara anggota EU yang besar. Padahal secara geografis negeri ini luas dan penduduknya melebihi banyak populasi negara anggota EU lainnya. Oleh karena itu, Polandia akan menuntut agar jumlah suara (votes) Polandia di level EU diperbesar. Inilah yang menjadi salah satu alasan utama mengapa kedua partai ini menolak ratifikasi Konstitusi Eropa dan lebih senang dengan Traktat Nice di mana bobot suara Polandia dinilai lebih besar. Aspek kebijakan berikutnya yang menjadi perhatian Polandia adalah kebebasan mobilitas warga Polandia di EU. Mobilitas manusia ini adalah salah satu unsur yang menjadi penggerak Pasar Tunggal Eropa, disamping mobilitas modal dan komoditas. Meskipun sebagian negara anggota EU kuatir kalau pintu tenaga kerja dan kebebasan menetap di negara anggota EU yang lain dibuka bagi pendatang Polandia, tetapi negara ini yakin bahwa itu tidak akan meningkatkan secara signifikan laju emigrasi dari Polandia karena alasan ekonomi. Warga Polandia yang berpendidikan dan terampil sudah bisa dengan mudah diterima bekerja di negara anggota EU lainnya. Saat ini hanya Inggris, Irlandia, Swedia dan Belanda yang membolehkan warga Polandia untuk datang tanpa hambatan, sedangkan negara anggota yang lain tetap bertahan dengan sistem transisi dalam masa 7 tahun. Aspirasi dan kebijakan terhadap aspek kebebasan mobilitas ini tampaknya tidai akan berubah banyak karena kedua partai pemenang ini mendukungwalaupun dalam kadar yang berbedaliberalisasi ekonomi Eropa. Sikap ini sepertinya sejalan dengan visi PM Inggris, Tony Blair bahwa Eropa perlu lebih dinamis dan fleksibel dalam menerapkan regulasi bagi tenaga kerja dan perlindungan sosial. Mereka menginginkan agar tenaga kerja dari Polandia bisa bekerja tanpa hambatan di manapun dalam EU. Dalam kerjasama kebijakan bersama luar negeri dan keamanan EU (CFSP dan ESDP), sikap pemerintah Polandia saat ini adalah kesiapannya terlibat secara penuh. Kebijakan luar negeri ini berpedoman pada kebijakan-kebijakan CFSP. Polandia ingin berpartisipasi lebih banyak dalam desain kebijakan EU ke timur karena ada interseksi antara kepentingan EU dan nasional Polandia untuk membina hubungan yang baik dengan negara tetangga di sebelah timur

EU seperti Persemakmuran Negara-negara Merdeka (CIS) dan Rusia. Polandia juga mendukung agar Ukraina untuk lebih dekat dengan EU dan Barat. Tetapi, wawasan kerjasama dalam CFSP dan ESDP tersebut dikembangkan dalam paradigma kerjasama Transatlantik dalam aspek politik, militer, ekonomi dan sosial antara EU, AS dan NATO. Dalam aspek yang terakhir ini, tampaknya tidak akan membawa perubahan yang drastis, kecuali sikap yang kurang bersahabat dengan Rusia. *** Mengingat Polandia adalah mitra penting Indonesia bahkan sejak tahun 1950-an, analisis juga dilakukan terhadap implikasi kemenangan partai berideologi kanan ini terhadap hubungan Polandia-Indonesia. Hubungan resmi bilateral antara keduanya dikukuhkan tahun 1954 ketika Polandia membuka perwakilan dagangnya dan setahun kemudian kedutaan besarnya di Jakarta. Tahun 1960, Indonesia juga membuka kedutaan besar di Warsawa. Dalam konteks hubungan yang historis, politis dan ekonomi ini, hasil pemilu tersebut bisa dikatakan hanya membawa pengaruh yang kurang signifikan terhadap hubungan kedua negara. Kebijakan pemerintah terdahulu tampaknya akan tetap diteruskan. Hubungan dengan Indonesia dituangkan dalam Strategy of the Republic of Poland towards Non-European Developing Countries yang disahkan tahun 2004. Beberapa bulan yang lalu PM Marek Belka (dari SLD) mengunjungi Indonesia, dalam rangka meningkatkan kerjasama dalam bidang ekonomi, keamanan, iptek dan kebudayaan. Sektor ekonomi menjadi prioritas hubungan Polandia-Indonesia. Tahun 2004, volume perdagangan antara keduanya mencapai 332,7 juta; atau meningkat lebih dari 40% dari tahun sebelumnya. Kerjasama juga sedang dikembangkan dalam sektor-sektor lain seperti industri, pengadaan sistem dan persenjataan serta logistik untuk TNI, dan banyak sektor vital lainnya. Bagi Polandia, Indonesia tidak saja mitra politik, tetapi juga mitra ekonomi strategisnya di Asia. Dalam kunjungannya ke Jakarta tersebut, PM Belka menegaskan bahwa Indonesia is attractive to us owing to its role in the world. Within the ASEM framework, it is one of the European Unions main partners.

135

Kesimpulan

136

Dari pembahasan di atas, bisa ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, partai (SLD) yang berhaluan sosial demokrat yang memenangkan pemilu 2001 dan berkuasa hingga menjelang pelaksanaan pemilu ini, menderita kekalahan elektoral yang telak dalam pemilu legislatif 2005. Yang menang adalah partai berhaluan kanan warisan dari AWS: PiS dan PO. Kedua, bisa dipastikan bahwa sikap Polandia terhadap integrasi Eropa akan mengalami pergeseran. Polandia akan bersuara lebih vokal dan konstelasi tradisional EU yang dikontrol aliansi FrancoJerman akan mendapat tantangan. Dalam tataran ini, kemenangan tersebut akan menguntungkan Inggris yang selama ini berusaha menjadi penyeimbang aliansi Franco-Jerman tadi. Pengiriman pasukan Polandia ke luar negeri akan tetap terbuka kecuali kalau mayoritas publik domestik menginginkan hal yang sebaliknya. Disamping itu, masih terdapat perbedaan antara PiS dan PO, di mana PO menginginkan reformasi yang radikal terhadap sistem pajak untuk menarik minat investor asing menanamkan modalnya di Polandia, lebih cenderung pada sistem pasar dan akan menerapkan flat tax sebesar 15% terhadap pendapatan, pajak perusahaan dan pajak pertambahan nilai. PO juga menjanjikan percepatan deregulasi dan swastanisasi. Sedangkan PiS lebih moderat dalam isu ini, tetapi lebih ketat terhadap masalah-masalah moral dan etika, dan mendukung meskipun dilarang dalam EUhukuman mati, dan antihomoseksual. Mereka menginginkan penundaan pembayaran pajak, subsidi negara bagi masyarakat miskin serta melestarikan nilai-nilai keluarga dan Kristiani. PiS juga kurang antusias terhadap liberalisasi ekonomi. Brussel diperkirakan akan mencari jalan tengah untuk masuk dari celah perbedaan visi antara PiS dan PO ini. Ketiga, masalah ekonomi di Polandia sudah sangat parah. Pertumbuhan ekonominya menurun, angka pengangguransudah 16 tahun terakhirmencapai 18%, sistem asuransinya tidak berjalan dengan baik, infrastruktur buruk, hubungan dengan Jerman dan Rusia dingin. Pemerintah baru nantinya akan menghadapi tantangan berat dalam memperbaiki kondisi ekonomi ini.

Terakhir, dalam hubungannya dengan Indonesia, ada kecenderungan bahwa pemerintah Polandia yang baru nantinya akan meneruskan kebijakan pemerintahan terdahulu karena persoalan internal dan EU lebih mendominasi perdebatan dan kebijakannya. Bagaimanapun Indonesia adalah pemain penting di Asia. Indonesia harus jeli memanfaatkan seoptimal mungkin peluang yang muncul dari kebijakan pemerintah Polandia yang baru tersebut, khususnya untuk meningkatkan kerjasama dalam sektor ekonomi dan industri strategis.
(Dimuat dalam Gunaryadis Pages on Asia-Europe Relations and Global Issues, pada: http://gunaryadi.blogsome.com, 24 Oktober 2005)

21. MEGALOMANIA (RESONANSI TERHADAP TAJUK RENCANA HARIAN PADANG EKSPRES)


Gunaryadi, 31 Oktober 2005
137

agi orang yang masih tahu dengan Nan Ampek24, akan merasa malu dan insyaf kalau merenungi Tajuk Rencana Harian Padang Ekspres, 25 Oktober 2005. Dengan headline Syahwat Politik Partai Golkar harian ini mencoba memberikan tausiyah dengan santun tapi tegas. Dari satu sudut, apa yang dilontarkan oleh seorang Ketua DPP Golkar itu tampaknya hanya sebuah psywar atau test-case yang bernilai politis untuk mengukur respon publik berkaitan dengan wacana resuffle kabinet yang justru dicetus jauh-jauh hari oleh Golkar. Dari sisi yang lain, pesan tersebut bisa juga dipahami publik sebagai representasi ambisi megalomania partai tersebut sebagaimana yang ditenggarai koran ini.

24

Orang yang masih tahu dengan Nan Ampek dalam tradisi Minang biasanya dianggap sebagai orang yang normal, rasa dan periksa, berakal, berlogika, sistematis, dan tahu adat.

138

Argumen yang digunakan untuk mendepak PKB dan PKS dari kabinet pun sulit diterima orang yang berpikiran sehat. Argumen pertama, PKB tidak layak duduk di kabinet karena faktor Gus Dur. Kritikan yang dilakukan oleh Gus Dur akhir-akhir ini bukanlah gayanya yang baru tetapi gaya Gus Dur yang dulu juga. Ada juga masukan beliau yang bagus. Mestinya menjelang penempatan menteri dari PKB ke dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KBI) setahun yang lalu, kalau memang konsisten, Golkar harus sudah mencegahnya untuk mengantisipasi faktor recokan Gus Dur di tengah jalan. Apalagi, 2 tokoh PKB di KIB saat ini kurang mendapat restu PKB versi Gus Dur dan justru mereka senang kalau keduanya diberhentikan. Argumen kedua berkaitan dengan syahwat menyingkirkan PKS karena dinilai sering tidak sejalan dengan pemerintah dan tidak konsisten dengan keputusan dalam interseksi legislatif dan eksekutif. Ini adalah sebuah realitas politik. Tetapi dalam sistem demokrasi yang sehat, fungsi kontrol dan nasehat yang diperankan oleh PKS justru permainan politik yang sehat di dunia demokrasi yang modern dan mapan. Bisa bekerjasama meskipun berbeda sikap dan pendapat adalah salah satu pertanda kedewasaan dan fatsoen berpolitik. Kalau suatu pihak memiliki pendapat yang berbeda atau memberikan kritik konstruktif kemudian dianggap menghambat jalannya sistem, maka perlu kita bertanya sejauhmana pemahaman kita terhadap makna sebuah demokrasi. Barangkali luput dari perhatian tokoh Golkar itu bahwa massa PKS sudah jarang turun ke jalan sejak bergabung (musyarakah) dalam KIB. Hal itu adalah pengorbanan yang harus dibayar partai tersebut untuk mendukung pemerintahan yang solid agar roda reformasi tetap menggelinding pada jalurnya. Barangkali kita lupa bahwa suara pendukung PKSwalaupun kecilsangat krusial untuk membuat perolehan suara duet SBY-JK melewati drempel 50% dalam pemilu presiden secara langsung 2004. Barangkali kita juga telah melupakan 5 butir komitmen yang ditandatangani pasangan SBY-JK menjelang Putaran II pemilu presiden tersebut yang kini sudah ada indikasi cidera. Sedangkan sikap yang berbeda dari hasil pembahasan legislasi dengan apa yang disampaikan PKS di publik adalah karena sis-

tem yang meluluskan sebuah kebijakan yang ditentang PKS selalu diambil melalui voting dan mereka kalah suara. Andaikan suara PKS mayoritas di parlemen, keputusan yang keluar bisa lain. Ini adalah salah satu kelemahan sistem demokrasi di mana argumen yang unggul tidak selalu menang dalam voting. Malah suatu hal yang aneh kalau anggota legislatif PKS yang kalah voting ketika berbicara di publik membuat pernyataan yang berlawanan dengan sikap fraksinya walaupun itu hasil sidang komisi atau paripurna. Tetapi, adakah massa PKS kemudian melakukan demontrasi besar-besaran ketika keputusan eksekutif atau legislatif berbeda dari sikap fraksi PKS walaupun keputusan di DPR tadi mengorbankan perasaan aleg dan konstituennya? (Tidak tertutup kemungkinan demonstrasi akan kembali marak jika semakin luas publik yang kecewa dengan jalannya reformasi). PKS mesti siap meninjau ulang musyarakah-nya dengan pemerintah. Jika PKS menarik dukungannya kepada pemerintah saat ini, maka Rinso yang ikut berperan memberikan citra bersih kepada pasangan SBY-JK juga akan ikut hilang. Dengan demikian, publik yang cerdas sudah tidak mempan lagi ditipu dengan argumentasi murahan yang dilontarkan tokoh tadi. Penulis yakin bahwa kalaupun ambisi kekuasaan yang telah disampaikan tanpa sungkan itu dengan segala intriknya menjadi kenyataan, bagi PKB dan PKS malah akan banyak manfaatnya dalam memberikan pelajaran berpolitik yang elegan dan untuk jangka panjang. Sebaliknya, kenyataan tersebut akan menjadi bumerang bagi Partai Golkar karena usaha keras Bang Akbar Tandjung memperbaiki citranya yang rusak sebagai mesin kekuasaan Orde Baru akan menjadi sia-sia oleh oknum tertentu dalam Golkar sendiri. Jiwa-jiwa yang reformis yang ada dalam tubuh parpol ini mesti segera menarik kembali tali-kekang syahwat kekuasaan tersebut. Kalau tidak, cara dan modus Orda Baru yang pengaruhnya mulai menguat dalam Partai Golkar akan melumatkan reformasi dan bisa dipastikan sebagian konstituennya yang rasional akan beralih ke parpol lain dalam pemilu 2009. Apa yang sebaiknya dilakukan figur-figur Partai Golkar pada saat krisis dan beratnya kehidupan masyarakat Indonesia saat ini adalah justru bersikap low-profile, dewasa, empati dan berlapang dada;

139

140

bukan dengan melampiaskan nafsu kekuasaan. Apakah kekuasaan itu akan kita bawa ketika jasad kita kemudian kembali menjadi tanah? Oleh karena itu, tokoh-tokoh Golkar harus memperlihatkan diri sebagai negarawan dan pembela rakyat yang sejati. Kalau tidak, sulit untuk meningkatkan prestasi elektoratnya beberapa tahun mendatang. Kondisi Indonesia saat ini hampir sama dengan keadaan ekonomi Belanda sehabis PD II. Untuk membangun kembali negerinya, Belanda meminta bantuan kepada AS melalui Marshall Plan. Ketika utusan Amerika datang meninjau dan menilai apakah Belanda pantas mendapat batuan tersebut, PM Willem Drees waktu tidak menyambut tamunya dengan pesta kenegaraan, tetapi dengan menyajikan minuman teh dan kue kering (maria-kaakjes). Sikap sederhana dan hemat Mr. Drees ini ternyata meyakinkan Amerika bahwa Belanda pantas mendapat bantuan dan bisa dipercaya. Drees juga menolak mobil dinas, dan tetap dengan setia menyetir mobil Volkswagon tuanya ke kantor. Walaupun sudah menjadi PM dia tetap tinggal di rumah pribadinya di Den Haag yang berderetan dengan rumahrumah penduduk biasa di kawasan yang biasa pula. Rumah itu sekarang tetap dipelihara seperti adanya untuk mengenang tokoh politik Belanda yang sederhana ini. Tetapi apa yang telah dilakukan Drees telah membuat partainya, Partai Sosial-Demokrat, kini menjadi parpol kedua terbesar di Belanda. Dengan demikian, sebaiknya negarawan sekelas Drees ini yang perlu dikedepankan oleh parpol-parpol di tanah air, khususnya Golkar; bukannya hamba kekuasaan yang onbeschaamd sebagaimana yang disindir oleh Tajuk Rencana koran itu sebelumnya.
(Dimuat dalam Gunaryadis Pages on Asia-Europe Relations and Global Issues, pada: http://gunaryadi.blogsome.com, 31 Oktober 2005)

23. KERUSUHAN PRANCIS DAN EKSESNYA


Gunaryadi, 10 November 2005

erusuhan yang bermula di Clichy-sous-Bois, dekat Paris, tidak dimulai tanggal 27 Oktober 2005. Prolog ke arah sana sudah berlangsung dalam beberapa dekade. Gejolak di kawasan pinggiran (banlieue) semacam itu pernah pula terjadi pada masa Presiden Francois Mitterrand, tahun 1990. Tetapi apa yang terjadi dalam dua pekan terakhir adalah protes berupa kekerasan dalam skala luas dan lebih lama. Hingga 8 November 2005, kerusuhan yang terjadi di lebih 200 kawasan di seluruh Prancis itu telah memakan satu korban jiwa, lebih dari 5.900 kendaraan dibakar, dan 1.500 orang ditahan. Selain terhadap kendaraan, kebakaran juga menimpa gedung sekolah, tempat ibadah, kantor polisi, toko, pusat olahraga, rumah sakit, dan lain-lain. Dari segi kerusakan materil, kerusuhan ini merupakan yang terburuk menimpa Prancis sejak Perang Dunia II. Ada kekhawatiran pula, kerusuhan serupa bisa menjalar ke negara lain di Eropa yang juga memiliki kawasan banlieues. Menyusul kerusuhan di Prancis, di Brussel, lima kendaraan dibakar. Di Berlin, polisi juga sedang menyelidiki penyebab terbakarnya lima mobil di sana. Sejak 9 November 2005, jam malam diberlakukan berdasarkan Undang-undang Darurat yang dibuat tahun 1955, sebuah produk hukum untuk menindas perlawanan rakyat Aljazair ketika menuntut kemerdekaan dari Prancis (1954-1962).
Tiga perspektif

141

Penulis mengamati ada tiga perspektif yang tepat untuk menjelaskan dan menelusuri akar dari kerusuhan tersebut dalam konteks Prancis kontemporer, yaitu perspektif sosio-ekonomis, politis, dan keamanan. Dalam kacamata sosio-ekonomi, kerusuhan itu adalah bagian dari konflik yang merupakan produk dari interaksi sosial yang bersifat disasosiatif. Jadi, apa yang terjadi di Prancis tadi hanyalah gejala yang merupakan akibat dari satu atau beberapa faktor penyebab. Termasuk bentuk gejala tadi adalah tingginya angka pengangguran, kemiskinan, dan diskriminasi yang lazim terjadi di kawasan pinggiran di Prancis. Di beberapa kawasan, angka pengangguran bahkan mencapai hampir 40 persen atau empat kali lebih tinggi daripada angka na-

142

sional. Sedangkan diskriminasi biasanya terjadi dalam interaksi sosial dan pencarian pekerjaan. Yang sering terjadi adalah penolakan terhadap lamaran kerja yang diajukan oleh orang yang memiliki latar belakang ras, suku-bangsa, atau etnis pendatang. Kondisi sosio-ekonomi ini diperburuk oleh lingkungan yang mirip ghetto, ruang sosial serta kesempatan pendidikan yang terbatas. Pemukiman berupa blok-blok bangunan tinggi itu didominasi oleh pendatang Arab dari Afrika Utara yang didirikan ketika mereka datang ke Prancis tahun 1950-an. Lima dekade kemudian, sebagian besar dari mereka sudah tiga generasi tinggal di kawasan yang sama yang semakin penuh sesak dengan imigran kulit hitam dan Asia yang datang kemudian. Karena itu, banyak anak-anak mudanya terlibat kriminalitas; bukan karena pilihan tetapi lebih karena untuk bisa bertahan hidup. Pada gilirannya, tindak kejahatan yang sering melibatkan kelompok ini akan melahirkan stereotipe yang berkembang menjadi prejudice terutama di kalangan penegak hukum, instansi pemerintah, dan dunia usaha, sehingga bersikap diskriminatif terhadap mereka yang berasal dari kawasan pinggiran itu. Bahkan pencetus kerusuhan tadi adalah kematian dua orang remaja, Zyed Benna dan Bouna Traore, karena tersengat listrik ketika memanjat sebuah gardu listrik di Clichy-sous-Bois. Saksi mata mengatakan bahwa kedua remaja tersebut bersembunyi ke dalam gardu karena dikejar polisisebuah klaim yang telah dibantah oleh pihak kepolisian. Dari kacamata politis, faktor social exclusion di atas juga mencakup kurangnya representasi politik kelompok minoritas. Tidak satu pun dari 574 anggota DPR (Assemble Nationale) dan dari 321 anggota MPR (Senat) Prancis yang berlatar belakang kaum pendatang dan minoritas. Aspirasi politik tujuh juta imigran (10 persen dari penduduk) di Prancis tersebut kurang representatif sehingga komunikasi dengan elit pembuat kebijakan sangat minim. Semboyan liberte, egalite et fraternite memang masih berlaku, tetapi tampaknya hanya untuk sebagian rakyat Prancis. Faktor kedua dari sisi ini adalah persaingan antara Perdana Menteri Dominic de Villepin dan Menteri Dalam Negeri Nicholas Sarkozy. Keduanya

bersaing untuk menjadi calon presiden Prancis dari Union pour un Mouvement Populaire (partai nasionalis-kanan yang berkuasa di Prancis) tahun 2007. Komentar Sarkozy bahwa kawasan kriminal akan dibabat dengan penyemprot air tekanan tinggi serta melukiskan unsur-unsur kekerasan sebagai borok-busuk dan sampah, diduga memanaskan suasana dan kemarahan anak muda dari banlieues. Sedangkan De Villepin menggunakan semantik eufimisme. Dalam konteks persaingan ini, sikap keras yang diambil Sarkozy adalah untuk menarik simpati elektorat Prancis yang cenderung ke kanan, atau diilhami keberhasilan Jean-Marie Le Pen dari Front National yang meraih hampir 18 persen suara dalam pemilu presiden 2002. Ada kecenderungan politik di Prancis bahwa semakin kanan retorika digunakan, maka semakin besar daya-tarik politisi yang bersangkutan. Perspektif ketiga adalah dari aspek keamanan. Dari sisi ini, problematika di kawasan tertinggal yang tersebar di banyak kota-kota besar di Eropa, di mana kemiskinan dan rendahnya representasi politik berpotensi menjadi ladang subur ekstrimitas dan radikalisme yang bisa berkembang menjadi tindak terorisme. Masyarakat yang termarginalisasi secara sosio-ekonomi dan politik cenderung mencari solusi alternatif. Jadi, alternatif atau pengaruh apa dan siapa yang lebih kuat yang akan diterima. Semakin lama, akar masalah di banlieues tersebut dituntaskan maka semakin besar pula potensi ancamannya terhadap keamanan Prancis.
Kegagalan elit

143

Lalu apa penyebabnya? Yang bisa dianggap paling bertanggungjawab sebagai penyebab dari sebagian besar gejala atau akibat di atas adalah kegagalan elit Prancis membuat kebijakan integrasi dan publik baik itu di sektor pendidikan, perumahan, pengentasan kemiskinan, lapangan kerja, partisipasi politik dan sosial yang efektif untuk menghentikan vicious-cycle dari seluruh mata-rantai letupan tadi. Jarang orang di Prancis yang tertarik membicarakan masalah yang terjadi di kawasan marjinal.

Tampaknya, kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Prancis beberapa hari yang lalu sudah cukup positif. Artinya, pemerintah mencoba menyeimbangkan antara tindakan tegas untuk menghentikan tindak kekerasan sekaligus memberikan harapan perbaikan kepada masyarakat yang hidup di kawasan pinggiran. Kerusakan materil dan korban jiwa sangat disesalkan. Tetapi jika dengan aksi semacam itu akhirnya mata elit politik Prancis melek, maka sikap pemerintah tadi terlalu mahal dan sebenarnya bisa dicegah.
(Dimuat dalam Kolom Opini Harian Republika, 14 November 2005)

24. MILITER AS KELEBIHAN BEBAN


Gunaryadi, 12 November 2005

144

pakah militer AS saat ini kelebihan beban? Jawabannya, ya, jika diukur menurut beberapa indikator. Pertanyaan berikutnya, apa implikasinya terhadap kemampuan militer AS? Gejala kelebihan beban ini sudah kelihatan ketika Perang Dingin berakhir lebih dari 1 dekade silam di mana ancaman dan jenis tugas tempur juga berubah. Postur, struktur dan doktrin militer AS yang disiapkan menghadapi Blok Komunis untuk deterrence dan perang skala besar sudah tidak cocok lagi menghadapi ancaman serangan asimetris yang sering dialamatkan pada Al-Qaidah yang dilakukan dengan cara-cara non-konvensional, hit-and-run, berskala kecil tetapi bisa menimbulkan ketakutan massal. Kelebihan beban tadi bisa diukur menurut 3 indikator, yaitu dari aspek rekrutmen dan kapabilitas gelar pasukan, anggaran militer, serta psikologis dan politis. Menurut indikator pertama, Menhan AS, D. Rumsfeld dan mantan Kastaf Gabungan R. Myers mengakui bahwa pasukan AS yang berjumlah 1,4 juta mengalami kesulitan dalam pengerahan pasukan di Eropa, Korea Selatan, Irak dan Afghanistan. Kesulitan itu pula yang mendorong program penarikan sekitar 70 ribu pasukan AS beserta 100 ribu anggota keluarganya dari

Eropa dan Asia. Separuh dari pangkalan pasukan AS di Eropa juga akan ditutup. Secara normal, setiap pengerahan pasukan dalam waktu agak lama memerlukan 2 kali jumlah personil yang digelar tadi karena perlu tour of duty. Rotasi pasukan dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama, pasukan yang digelar bertugas di lapangan. Tahap kedua, pasukan yang selesai bertugas dan pemulihan. Tahap ketiga, pasukan yang dilatih untuk mengganti pasukan yang sedang bertugas. Saat ini, sekitar 411 ribu pasukan AS bertugas di hampir 130 negara. Jadi, secara teoritis, berarti AS harus menyediakan sekitar 1,2 juta tentara. Tidak aneh jika muncul usulan agar jumlah pasukan ditambah hingga 500 ribu orang untuk menutupi kekurangan tersebut, disamping memperpanjang masa tugas pasukan di Irak dan Afghanistan. Sebagian besar personil tidak mendapat latihan memadai untuk menjalankan misinya dalam War on Terror. Menurut N. Confessore (The Washington Monthly) pasukan yang 1,4 juta itu bukan jumlah personil tempur (trigger-pullers). Misalnya, dari 460 ribu personil AD, hanya 120 ribu yang merupakan bagian dari 10 divisi tempur. Dan hanya 5 ribu dari 15 ribu personil satu divisi yang merupakan pasukan tempur, selebihnya adalah personil pendukung; dari mekanik, jurumasak, hingga staf administratif. Tidak bisa dipungkiri bahwa operasi militer Amerika Serikat (AS) di Irak tidak saja telah memakan banyak korban baik di kalangan rakyat Irak maupun di pihak AS tetapi juga semakin memperkuat indikasi bahwa militer AS memang kelebihan beban (overburdened) dan kelebihan tekanan (overstretched). Hingga 7 November 2005, 2.053 orang tentara AS tewas (laporan resmi), 15.353 luka-luka (angka resmi, tetapi jumlah ini diperkirakan berkisar antara 15.000 dan 48.100 orang). Tingginya angka kematian tentarakhususnya di kalangan personil ADyang bertugas di Irak telah menjadi momok terhadap rekrutmen pasukan yang baru. Tahun ini AD kekurangan 6.600 untuk mencapai target 80.000 orang rekrutmen, dan telah meminta izin Kongres untuk meningkatkan bonus maksimum bagi calon taruna dari US$ 20.000 menjadi US$ 40.000. Dan sejak Juli 2005, AD juga menawarkan US$ 400 tunjangan bulanan ekstra selama 36 bulan (as-

145

146

signment incentive pay) jika bersedia ditempatkan pada Divisi I Kavaleri atau Divisi XXV Infantri yang akan dikerahkan di Irak atau Afghanistan. Promosi ini ternyata banyak menarik minat anak muda dari pelosok-pelosok di mana lapangan kerja sulit, yang menurut Pentagon, menguasai 44% dari rekrutmen baru, dan hanya 14% berasal dari kota besar; secara regional 40% dari bagian selatan dan 20% dari bagian barat AS. Meskipun bersifat relatifdalam makna beberapa sumber data memberikan magnitude yang beragamdari aspek anggaran, ada satu kesimpulan, yaitu tekanan bertambah. Dalam Tahun Fiskal 2004, anggaran militer AS mencapai US$ 399,1 milyar (43% dari anggaran militer dunia, atau 1,4 kali lebih besar daripada gabungan anggaran militer Rusia, Cina, Inggris, Jepang, Prancis dan Jerman, atau 309 kali lebih besar daripada anggaran TNI dalam tahun yang sama), eksklusif anggaran tambahan (supplemental appropriation) untuk operasi tempur US$ 64,7 milyar. Sedangkan dalam Tahun Fiskal 2005, Gedung Putih meminta US$ 420,7 milyar atau kenaikan 7,9%. Dalam hitungan tersebut, alokasi untuk kategori National Defence menguasai 51,4% dari seluruh anggaran. Padahal Congressional Budget Office (CBO) menghitung anggaran federal 2004 mengalami defisit US$ 477 milyar. Dan untuk 2005, CBO memperkirakan defisit anggaran sebesar US$ 362 milyar. Dengan alasan anggaran, Pentagon terpaksa membatalkan proyek helikopter Comanche dengan nilai hampir US$ 40 milyar. Menurut indikator psikologis, secara manusiawi seorang prajurit akan berpikir ulang kalau ditugaskan di kawasan yang berbahaya dan dalam masa waktu lama. Kebijakan Pentagon memperpanjang masa tugas di Irak menimbulkan beban psikologis dan moral bagi prajurit. Tentara yang dikerahkan melawan nuraninya dan rotasi yang hampir kontinyu tidak akan efektif. Belum lagi bagi personil National Guards yang merupakan dua pertiga dari kekuatan AD, penugasan dalam waktu lama akan mengganggu karir dan profesi yang mereka tinggalkan ketika mendapat panggilan mobilisasi. Sekitar 40% pasukan AS yang bertugas di Irak dan 67% dari Pasukan Khusus yang berdinas di Afghanistan adalah anggota National Guards.

Sedangkan secara politis, militer AS mendapat tekanan tidak langsung. Kritikan dan perdebatan internasional tentang legitimasi invasi ke Irak masih sering terdengar. Situasi yang mendua ini tidak saja berdampak terhadap moral prajurit di lapangan tetapi juga secara politis. Dukungan publik AS terhadap kebijakan Presiden Bush di Irak menurun drastis hingga ke ambang kritis: 38%. Ketika smart bombs salah sasaran atau semakin lama AS bercokol di Irak, maka pada saat yang sama citra internasional Pentangon dan AS merosot. Ironis memang, ketika kekuatan militer rival AS seperti Cina sedang menikmati peace dividend, militer AS justru kelebihan beban. Oleh karena itu, wajar kalau mantan Presiden Jimmy Carter belum lama berselang melukiskan kebijakan Presiden Bush Jr. sebagai sebuah radical departure dari kebijakan presiden AS sebelumnya.
(Tulisan ini dikutip Detik.com, 9 November 2005)

25. KERUSUHAN DAN PILPRES PRANCIS 2007


Gunaryadi, 15 November 2005

147

erusuhan di Prancis telah memasuki pekan ketiga. Sejak 27 Oktober 2005, nama Clichy-sous-Bois, sebuah kawasan pinggiran (banlieue) dekat Paris mendadak dikenal dunia. Dari sini kerusuhan menjalar hingga ke 350 kota di Prancis. Pemantik apinya adalah kematian dua remaja keturunan imigran, Zyed Benna dan Bouna Traore akibat tersengat listrik ketika memanjat sebuah gardu listrik. Saksi-mata melihat kedua remaja tersebut bersembunyi ke dalam gardu tersebut karena dikejar polisi. Hingga 15 November 2005, kerusuhan telah menelan 1 korban jiwa, ratusan luka-luka, sekitar 8.700 kendaraan dibakar dan 2.700 orang ditahan. Perusahaan asuransi memperkirakan kerusakan mencapai 200 juta. Selain terhadap kendaraan, perusakan juga menimpa gedung sekolah, tempat ibadah, kantor polisi, toko, pusat olahraga, rumah sakit. Dari segi kerusakan materil, kerusuhan ini merupakan yang terburuk menimpa Prancis sejak PD II.

Melihat skala kerusakan dan korban serta payung hukum bagi aparat, pemerintah Jacques Chirac memberlakukan jam-malam. Ironisnya, respon tersebut berlandaskan Undang-undang Darurat tahun 1955, sebuah produk legal untuk menindas perlawanan rakyat Aljazair ketika menuntut kemerdekaan dari Prancis. Meskipun peraturan ini traumatis bagi imigran asal Aljazair yang merupakan 35% dari 10 juta pendatang di Prancis, tetapi Assemble Nationale dan Snat Prancis tanggal 16 November 2005 menyetujui aturan-darurat tersebut diperpanjang 3 bulan.
Perspektif Politik: Pilpres Prancis 2007

148

Ada beberapa perspektif yang bisa menjelaskan dan menambah pemahaman kita terhadap kerusuhan tadi. Sebutlah misalnya tinjauan social-exclusion berupa diskriminasi dan sempitnya kesempatan pendidikan dan lapangan kerja. Kemudian, perspektif economicdeprivation sebagai kelanjutan tinjauan pertama. Ada pula yang mencoba mengupasnya dalam konteks SARA serta mengaitkannya dengan isu-isu terorisme dan gerakan Islam. Dari segi politik pun menghasilkan beragam analisis, yang salah satunya berspekulasi bahwa establishment politik Prancis telah kehilangan makna. Tetapi dalam perspektif terakhir ini, tampaknya konteks pilpres 2007 sangat layak menjadi basis tinjauan. Di Republik ke-5 Prancis, jabatan presiden tidak saja sangat prestisius, tetapi juga memegang otoritas tertinggi karena mengetuai dewan menteri sebagai vortex dari kekuasaan eksekutif. Presiden juga berhak membubarkan Assemble Nationale, mengangkat perdana menteri, serta mengangkat dan memberhentikan menteriatas saran perdana menteri. Dalam kontes pilpres 2007, kandidat yang mungkin bertarung adalah Jean-Marie Le Pen dari Front National/FN dan Philippe de Villiers dari Mouvement pour la France yang mewakili kelompok ultranasionalis. Dari partai berideologi kanan ada Jacques Chirac Presiden Prancis dari Uni-Gerakan Populer/UMP, Nicolas Sarkozy (Mendagri dari UMP) dan Dominique de Villepin (PM dari UMP). Sementara itu, dari sayap kiri (Sosialis/PS) ada Laurent Fabius (mantan PM), Lionel Jospin, dan Franois Hollande. Sedangkan dari

ultra-kiri ada Marie-George Buffet (Partai Komunis Prancis) dan Jos Bov (aktivis petani). Ada dugaan, Chirac berminat ikut pilpres untuk ketiga kalinya. Tetapi kemungkinan tersebut tipis mengingat kondisi kesehatannya, pemerintahnya tidak populerkerusuhan makin memperburuk citra tersebut, kegagalannya dalam referendum Konstitusi Eropa yang ditolak oleh rakyat Prancis, serta lebih populernya calon dari UMP sendiri seperti Sarkozy. Salah satu cara mengukur kemampuan awal kandidat di atas menurut ideologi partai adalah memproyeksikan kemampuan elektoral mereka dalam pemilu 2002, baik parlemen maupun presiden. Menurut indikator pertama, UMP menguasai 357 kursi dari 577 total kursi di DPR, disusul PS dengan 140 kursi. UMP juga mayoritas di MPR. Kedua, Chirac sebagai kandidat UMP dalam pemilu putaran pertama 21 April 2002 memperoleh 19,87% suara, sedangkan Le Pen meraih 16,86%. Le Pen membuyarkan prediksi bahwa runoff akan terjadi antara Chirac dan Jospin dari PS. Ternyata Jospin hanya mampu mendulang 16,17% suara, sehingga yang berduel di putaran kedua (5 Mei 2005) adalah Chirac dan Le Pen: Chirac meraih 82,21% dan Le Pen mendapat 17,79%. Tetapi peta ini tidak menjamin kandidat presiden UMP dan PS akan mendominasi tahun 2007, karena kelompok ultranasionalis tetap menjadi kuda hitam. Indikasinya adalah kemampuan FN meraih 12,45% suara dalam pemilu legislatif 2002, serta kemampuan Le Pen menguasai hampir 18% suara dalam putaran kedua pemilu presiden 2002, serta implikasi dari kerusuhan terakhir ini.
Bandul Elektorat Eropa ke Kanan

149

Meningkatnya daya tarik partai kanan dan ultranasionalis disebabkan beralihnya bandul elektorat pemilih di EUtermasuk Prancis ke kanan. Meskipun secara kuantitatif, dari 16 pemilu legislatif di EU 2002-2004, hanya 6 pemilu dimenangkan kombinasi tengah-kanan, tetapi kesimpulan tersebut diperkuat oleh fakta-fakta kualitatif. Pertama, di beberapa negara EU, partai kanan dan ultranasionalis semakin digemari. Menguatnya FN di Prancis adalah bagian dari trend

150

bangkitnya LPF (Belanda), VB (Belgia), Folkpartiet (Swedia), dan FP (Austria). Kedua, beberapa partai politik yang secara tradisional berhaluan kiri atau tengah atau kanan-tengah justru mengkampanyekan isu-isu yang berbau kanan seperti pembatasan imigrasi, diskriminasi dan anti terhadap pendatang, kebijakan asimilasi, dsb. Kalau disimak lebih jauh, pergeseran suara pemilih ini lebih dipicu oleh dinamika variabel internal dan eksternal. Diantara faktor-faktor internal ialah terlalu lamanya partai berkuasa yang mendorong pemilih untuk mencari alternatif karena stagnasi politik dan ekonomi, serta munculnya figur-figur kharismatik populis yang tidak saja mampu merumuskan antitesis terhadap partai berkuasa tetapi secara berkelindan juga mampu menawarkan sintesis alternatif. Sedangkan faktor eksternal yang paling mempengaruhi preferensi pemilih Eropa adalah peristiwa 11 September 2001. Serangan teror menimbulkan ketakutan publik. Dalam kondisi ini, elektorat akan memilih partai yang menawarkan rasa aman. Kelompok kanan dan ultranasionalis tampak lebih capable memainkan sentimen ini dengan cantik. Dalam kedua aspek ini, kerusuhanyang dilakukan oleh anakanak imigrandi Prancis akan membantu prestasi elektorat kandidat presiden sayap-kanan dan ultranasionalis. Realitas ini bisa menjadi justifikasi bagi sebagian warga Prancis bahwa sikap Le Pen yang selama ini menganggap kebijakan imigrasi Prancis sebagai bte noire adalah benar. Kerusuhan tadi bahkan mendorong Le Pen untuk kembali maju sebagai kandidat presiden 2007 dan sesumbar jika pemilu diadakan saat ini maka peluangnya akan 10 kali lebih besar. Taktik akomodasi ke kanan tersebut rupanya digunakan Sarkozy yang tercermin dari semantiknya yang keras. Dia menyamakan kawasan pinggiran yang tinggi angka kejahatannya dengan borok-busuk, serta akan menyapu mereka dengan semprotan-bertekanan-tinggi. Sarkozy pun menggunakan retorika yang biasa diumbar politisi ultranasionalis terhadap warga banlieues dan imigran. Tanpa disadari, kerusuhan itu telah menjadi ladang sekaligus medan pertarungan menuju Palais de lElyse 2007.

(Dimuat dalam Gunaryadis Pages on Asia-Europe Relations and Global Issues, pada: http://gunaryadi.blogsome.com, 15 Desember 2005)

26. PENYIMPANGAN DANA BANTUAN UNTUK KOSOVO, DAN KITA


Gunaryadi, 16 November 2005

elum lama berselang, harian-sore NRC Handelsblad (12/11/05) memuat penyimpangan dana bantuan untuk pengungsi akibat konflik di Kosovo (Macedonia). Dana tersebut terkumpul dari aksi-kemanusiaan melalui Giro 555, yang dikelola oleh Samenwerkende Hulporganisaties (SHO). Lembaga ini beranggotakan sembilan organisasi, yaitu: Artsen zonder Grenzen, Kerkinactie, Mensen in Nood/Cordaid, Nederlandse Rode Kruis, Novib, Stichting Vluchteling, Tear Fund, Terre des Hommes, dan Unicef Nederland. Dalam aksi yang dilakukan tahun 1999 itu, rakyat Belanda menyumbang sebesar 52 juta atau sekitar Rp. 607,2 milyar dengan nilai-tukar sekarang. Dua dari anggota SHO: Palang Merah Belanda (Rode Kruis) dan Novib mengalirkan sekitar 250 ribu (Rp. 2,9 milyar) ke kantong sendiri. Sedangkan 1 juta atau Rp. 11,8 milyar jatuh ke tangan mafia Kosovo. Palang Merah dan Novib mengakui penyimpangan tersebut. Bahkan Palang Merah memutuskan memakai auditor eksternal terhadap keuangan mereka. Penelisikan kasus ini berawal dari permintaan Deplu Belanda yang menyumbang 900 ribu atau Rp. 10,5 milyar untuk membantu pengungsi Kosovo melalui SHO, yang akhir tahun lalu menemukan

151

152

penyimpangan terhadap saldo-akhir dari rekening SHO. Menurut Menteri Kerjasama Pembangunan, Agnes van Ardenne, sudah 6 tahun ini belum menyerahkan laporan-akhir keuangan yang memuaskan. Van Ardenne mengancam: Sebelum kami memperoleh pertanggungjawaban hingga sen terakhir dari pemakaian dana tersebut, maka kami tidak akan menutup pembukuan. Sebagian besar organisasi anggota SHO dinilai acap-kali gagal memenuhi aturan kontrol keuangan yang standar. Mereka lengah terhadap apakah dana yang disumbangkan digunakan secara tepat oleh organisasi humaniter asing yang bekerja di Kosovo atas nama anggota SHO. *** Penyimpangan keuangan atau korupsi di Belanda termasuk yang jarang terjadi di Belanda. Dalam aspek ini, dibanding Prancis, Spanyol, Belgia dan Italia, jelas Belanda jauh lebih baik. Bahkan menurut Corruption Perception Index (CPI) tahun 2005 yang dirilis Transparency International, Belanda bersama Inggris menduduki posisi ke-11 negara terbersih dari korupsi dalam peringkat dunia dan posisi ke-8 untuk kawasan Eropa, dengan skor 8,6. Korupsi ada, tetapi peluang untuk itu sempit. Ada beberapa pelajaran yang bisa ditarik dari kasus dana bantuan Kosovo ini. Pertama, Belanda sangat disiplin dalam semua aspek, khususnya masalah keuangan. Ini salah satu kunci mengapa negara imut-imut ini bisa masuk ke dalam kategori negara maju. Kedua, berlalunya masa 6 tahun tidak menutup masalah pembukuan begitu saja. Yang namanya penyimpangan tetap sebuah kesalahan meskipun dalam kasus ini belum ada indikasi pengambilan tindakan hukum. Ketiga, bantuan atau sumbangan publik memerlukan tranparansi dan akuntabilitas yang tinggi, karena menyangkut amanah dari yang memberikan sumbangan dan mereka yang berhak dan memerlukan uluran-tangan. Keempat, citra dan minat orang atau bangsa lain memberikan bantuan tergantung pula dari CPI sebuah negara. Begitu peristiwa tsunami di Aceh, penulis sering mendengar bahwa individu atau lembaga di Eropa cenderung membawa dan mendistribusikan bantuan mereka langsung ke lokasi di Aceh atau menyalurkannya melalui LSM yang sudah teruji kredibilitasnya di lapangan karena

kuatir sumbangannya tidak sampai pada tujuan. Sehingga ada semacam keengganansebagian dari merekauntuk menyalurkan bantuan melalui channel resmi atau pemerintah. Mengapa? Salah satu penyebabnya adalah CPI kita tahun ini berada pada peringkat ke-137 dengan skor 2,2. Kelima, kontrol eksternal dan publik terhadap pengelolaan dana bantuan di tanah air seperti pembangunan-kembali Aceh dan Nias pun perlu diperkuat.
(Dimuat Harian Padang Ekspres, 22 November 2005)

27. TURKI, BLACK SEA PIPELINE, DAN EROPA


Gunaryadi, 19 November 2005

anggal 17/11/05 Reuters merilis foto sumringah PM Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden Rusia Vladimir Putin dan PM Italia Silvio Berlusconi di Samsun dalam acara peresmian pipa-gas yang menghubungkan Rusia dan Turki yang melintas dasar Laut Hitam. Tidak ada yang luar biasa dari pertemuan seremonial tersebut, meskipun Putin hadir dengan 80 pengawal pribadinya. Yang signifikan adalah fungsi strategis pipa ini terhadap geopolitik serta pesan simboliknya bagi aspirasi Turki untuk menjadi anggota EU.
Pipa-gas Blue Stream

153

Pipa-gas milik Blue Stream Pipeline Company (BSPC) tersebut sangat unik karena melewati dasar Laut Hitam, yang menghubungkan Izobilnoye dan Dzhugba di Rusia dengan Samsun di Turki. Dari sana pipa tadi berlanjut ke Ankara. BSPC yang merupakan konsorsium Gazprom (Rusia) dan Eni SpA (Italia) dan terdaftar di Amsterdam itu, mengelola pipa tersebut bersama mitranya dari Turki: Botas. Fasilitas berupa sepasang pipa ini terbuat dari baja berdiameter (OD) 24 inchi dengan ketebalan dinding 31,8 mm. Panjang totalnya 1.213 km dengan titik terdalam 2,15 km di dasar laut. Infrastruktur yang telah beroperasi sejak 2003 dengan kapasitas maksimum 16 milyar meter kubik per tahun ini menelan biaya sekitar 2,72 milyar.

Implikasi terhadap Turki

154

Hadirnya pipa-gas ini dan peresmiannya beberapa hari yang lalu membawa beberapa implikasi terhadap Turki. Pertama, berfungsinya pipa gas tadi lebih menjamin suplai gas Turki dari Rusia. Faktor jaminan ini sangat krusial mengingat sekitar 60% kebutuhan gas dan 20% keperluan minyak Turki tergantung pasokan dari Rusia. Kedua, Turki adalah salah-satu negara yang suplai gas dan minyaknya tergantung dari impor. Oleh karena itu, ada kekuatiran bahwa kehadiran pipa tersebut akan membuat negeri ini semakin tergantung pada pasokan gas dan minyak dari Rusia sekaligus mengurangi kontribusi gas dari Turkmenistan. Tetapi, kebijakan Turki membangun dan mengoperasikan pipa ini malah melahirkan interdependensi di mana Rusia juga tergantung pada akses yang diberikan Turki sehingga produk gas dan minyak Rusia bisa menjangkau pasar yang lebih luas. Ketiga, pipa ini menjadikan Turki sebagai jembatan energi antara Timur dan Barat. Melalui Turki, gas dan minyak Rusia bisa menjangkau pasar di Eropa Selatan, Israel dan Balkan. Dalam acara peresmian tersebut, Presiden Putin menawarkan pembangunan pipa kedua berdasarkan rute yang sama sehingga bisa meningkatkan kapasitas tahunan pasokan gas melalui Laut Hitam mencapai 30 milyar meter kubik per tahun. Meskipun tawaran Rusia tadi masih dipertimbangkan, tetapi Ankara memprediksi proyek itu nantinya akan memungkinkan realisasi rencana Turki membangun pipa dari Samsun ke Ceyhan, kawasan pantai di tenggara Turki. Pembangunan pipa Samsun-Ceyhan itu, membawa implikasi keempat yaitu mengurangi sesaknya Selat Basporus. Saat ini, lebih dari 5.000 tanker per tahun melewati selat tersebut mengangkut gas dan minyak dari Laut Kaspia melalui Laut Hitam ke Laut Tengah. Kelima, pipa-gas ini tentu akan bermanfaat secara ekonomi bagi Turki. Nilai pasti dari keuntungan yang akan diperoleh Turki dari transit fee belum diketahui secara pasti. Tetapi sebagai komparasi, melalui pipa minyak Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC) yang juga melibatkan Turki, negeri ini mendapat 1,27 milyar per tahun. Belum lagi, kalau dihitung jika Turki bisa melakukan re-exporting gas dan minyak Rusia tersebut ke negara lain.

Keenam, bagaimana mengeluarkan minyak dari Rusia dan Laut Kaspiayang menurut British Petroleum mengandung sekitar 16,5 milyar barel atau setara dengan cadangan minyak Kanada, Mexico atau Qatarmelalui rute yang dekat dan aman tanpa implikasi geopolitis. Negara-negara Barat khususnya AS sedang berusaha untuk mencari sumber pasokan gas dan minyak alternatif karena kekuatiran atas pasokan dari produsen di Timur-Tengah yang dilanda ketidakstabilan politik dan keamanan, serta harga minyak dunia yang meroket. Pipa-gas Rusia-Turki ini beroperasi lebih awal daripada pipa Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC) yang melibatkan Azerbaijan, Kazakhstan, Georgia, dan Turki. Pipa BTC tersebut menghubungkan lapangan minyak di kawasan Laut Kaspia ke Laut Tengah melalui Baku di Azerbaijan, Tbilisi di Georgia dan Ceyhan. Untuk melindungi pipa BTC itu, AS mengeluarkan 54,35 juta untuk melatih sekitar 3 batalyon tentara Georgia dengan teknik anti-teror dan sabotase karena keamanan kawasan Kaukasus sangat rawan. Dibandingkan BTC, level keamanan pipa yang melalui dasar Laut Hitam lebih tinggi sehingga biaya lebih murah dan harga lebih bersaing. Ketujuh, Cehyan akan menjadi terminal minyak regional. PM Erdogan memperkirakan, jika pembangunan proyek kedua itu selesai, sekitar tahun 2010 minyak dari Rusia dan Kazakhstan akan mencapai Laut Tengah. Pembangunan Ceyhan yang akan menelan 8,49 milyar itu mencakup kompleks industri yang baru, infrastruktur penyulingan minyak, terminal gas alam cair, dan fasilitas petrokimia. Jika saat ini Ceyhan telah menjadi muara dari pipa BTC dan Kirkuk dari Irak, nantinya Ceyhan juga akan menjadi terminal dari pipa dari Ankara dan satu rute lain dari Laut Kaspia. Analogi yang bisa dibuatwalaupun tidak sepenuhnya identikadalah bahwa dari sektor energi Turki bisa serupa dengan strategisnya Singapura, yang minus SDA tetapi menikmati posisinya sebagai negara transit, reexporter komoditas dan fasilitas keuangan di Asia.
Pesan kepada Brussel

155

Setelah berjuang 40 tahun, 3 Oktober 2005 Turki diterima secara resmi untuk negosiasi keanggotaan EU. Perundingan yang bisa ber-

156

langsung 10-15 tahun itu tidak otomatis berujung diterimanya Turki ke dalam EU, meskipun PM Erdogan menegaskan bahwa Turki tidak akan menerima jika pada akhirnya Turki tidak menjadi anggotapenuh EU. Erdogan mengingatkan, Either the EU will decide to become a world force and a world player...or it will limit itself to a Christian club. Peran baru Turki dalam ranah distribusi energi ini jelas mengirimkan sinyal yang kuat kepada Brussel bahwa posisi Ankara relatif strategis. Meskipun cadangan minyak Rusia dipekirakan hanya bertahan sekitar 15 tahun lagi, tetapi cadangan minyak Kazakhstan dan Azerbaijan yang masih bertahan 35 dan 78 tahun mendatang tetap bisa menggunakan Ceyhan. Dalam konteks ini, jika keberhasilan pembangunan pipa gas dan minyak serta terminal Ceyhan tidak berhasil mengurangi kekuatiran sebagian anggota EU terhadap Turki, tetapi proyek tersebut bisa memperkuat nilai-tawar ekonomi Turki dalam negosiasi yang praktis dimulai Desember 2005 nanti. Dengan berjalannya poyek pipa gas itu, Ankara sepertinya berhasil dalam sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlewati, baik secara ekonomi dan geopolitik maupun keinginannya menjadi anggota EU.
(Dimuat dalam Gunaryadis Pages on Asia-Europe Relations and Global Issues, pada: http://gunaryadi.blogsome.com, 15 Desember 2005)

28. KANSELIR MERKEL DAN POROS FRANCOJERMAN


Gunaryadi, 25 November 2005

etelah melewati negosiasi yang menegangkan serta penundaan, akhirnya pemerintah koalisi terbentuk di Jerman antara Kristen Demokrat (CDU)-Kristen Sosial (CSU) dan Partai Sosial Demokrat (SPD). Ada beberapa hal penting yang perlu dicatat selama impasse politik di Berlin hingga 22 November 2005 tersebut. Pertama, pemerintah yang baru terbentuk itu me-

rupakan grand coalition kanan-kiri yang pertama terulang kembali sejak tahun 1960-an. Kedua, tokoh CDU Angela Merkel menjadi kanselir wanita Jerman yang pertama sekaligus termuda pasca PD II. Merkel juga kanselir pertama asal Jerman-Timur. Ketiga, mundurnya Gerhard Schrder (SPD) dari nominasi sebagai kanselir untuk ketiga kalinya serta kesediaan SPD menandatangani dokumen koalisi setebal 143 halaman dengan tajuk Bersama membangun Jermandengan semangat dan kemanusiaan itu dibayar dengan harga cukup mahal. Dari dagang-sapi tersebut 8 dari 14 pos menteri kabinet Merkel berasal dari SPD, termasuk menteri keuangan dan luar negeri. Schrder juga berhasil menempatkan Franz Mntefering sebagai wakil-kanselir. Keempat, ketika pangganti Schrder sebagai pimpinan SPD, Mntefering mundur, dia digantikan oleh Matthias Platzeck. Seperti Merkel, Platzeck juga berasal dari Jerman-Timur. Ada sinyal bahwa dunia politik Jerman mulai dirambah oleh generasi baru dari kawasan bekas rezim komunis itu. Terpilihnya Merkel menimbulkan kekuatiran sebagian kalangan terhadap masa depan Poros Franco-Jerman yang telah mendominasi perjalanan integrasi Eropa. Tetapi dengan perkembangan mutakhir akankah kekuatiran tadi menjadi self-fulfilling hypothesis; dan kalau itu benar, sejauhmana dampaknya terhadap aliansi Prancis-Jerman dan EU?
Poros Franco-Jerman dan Integrasi Eropa

157

EU dibangun dari puing-puing PD II. Trauma perang, berubahnya makna nasionalisme, dan kepentingan ekonomi memotivasi integrasi Eropa. Tahun 1948, European Union of Federalists mengadakan kongres di Den Haag untuk merumuskan sebuah konstitusi Eropa. Tetapi Inggris menolak pendekatan federalistik ini sehingga Council of Europe yang dihasilkan kongres tersebut hanya berupa gesellschaft yang menangani masalah HAM di Eropa. Instutusi ini kemudian berkembang menjadi Mahkamah HAM Eropa. Tahun 1950, Menlu Prancis, Robert Schuman mengumumkan rencana kerjasama produksi batubara dan baja antara Prancis dan

158

Jerman serta mengajak negara lain ikut bergabung. Schuman yakin bahwa persatuan Eropa akan menjamin perdamaian di benua itu. Kerjasama dan solidaritas dalam produksi bahan tambang itu membuat perang antara Prancis dan Jerman menjadi tidak masuk akal dan mustahil. Menyusul gagasan Schuman, tahun 1951 Traktat Paris ditandatangani oleh 6 negara pendiri yaitu Prancis, Jerman, Belanda, Belgia, Luxemburg dan Italia. Traktat ini menghasilkan Masyarakat Batubara dan Baja Eropa (ECSC) untuk menjamin bahwa batubara Jerman dialirkan untuk industri di Prancis. Tahun 1957 keenam negara tadi menandatangani Traktat Roma yang melahirkan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dan Masyarakat Energi Atom Eropa. Kerjasama ini terus berkembang menjadi EU, dan sejak 1 Mei 2004 anggotanya menjadi 25 negara. Dalam sejarah integrasi Eropa, faktor Prancis dan Jerman sangat dominan. Poros ini menjadi tulang-punggung continental Europe yang berhadapan dengan Transatlanticism yang dimotori Inggris yang dekat dengan AS. Politisi Prancis seperti Schuman, Monnet, de Gaulle, DEstaing, Mitterrand dan Chirac; serta politisi Jerman (Barat) seperti Adenauer, Smidt, Kohl dan Schrder adalah figur dominan yang mewarnai riwayat hidup integrasi Eropa. Sering terjadi, menjelang pertemuan puncak strategis yang menentukan masadepan integrasi Eropa, Paris dan Berlin (Bonn) mengadakan pertemuan sebelumnya. Keduanya adalah ekonomi terkuat dan terbesar dalam EU. Prancis tetap mendapat perlakuan khusus dalam Kebijakan Pertanian Bersama (CAP) karena posisinya tetap disokong oleh Jerman. Selama ini, sepertinya sudah ada kesepakatan siapa pun yang duduk di Paris dan Berlin poros tersebut harus tetap dijamin kuat dan eksklusif. Hal itu secara gamblang diperlihatkan oleh leiderschap dua periode terakhir: Mitterrand-Kohl dan Chirac-Schrder. Ideologi politik tidak menjadi ukuran: Mitterrand yang kiri akur dengan Kohl yang kanan; Chirac yang kanan akrab dengan Schrder yang kiri. Dalam konteks internasional, yang menjadi sentimen penting khususnya pasca Perang Dingindalam Poros Franco-Jerman adalah hubungan Brussel dengan Washington. Meskipun bisa dikatakan Eropa sulit dibebaskan dari Nazi Jerman dan pembangunan kembali

ekonominya pasca PD II akan stagnan tanpa bantuan AS, tetapi Prancis yang berada di balik tabir antara Brussel dan Washington itu tidak ingin leverage internasionalnya tersaingi oleh AS. Persepsi dan citra-diri imperial Prancis melalui Francophone masih kental. Ini pula yang menjadi alasan mengapa de Gaulle menolak bergabungnya Inggris ke dalam MEE tahun 1963.
Implikasi terhadap Poros Franco-Jerman

Dalam kampanye pemilu legislatif lalu, Merkel ingin menguraikan simpul sentimen sensitif di atas, disamping tekadnya untuk melakukan reformasi di EU yang salah satunya bisa mengurangi previledge Prancis dalam CAP. Tetap apa yang terjadi? Kurang dari 24 jam setelah dilantik sebagai kanselir, Merkel bertolak dari Berlin. Tempat pertama yang dituju justru Paris. Berdiri di samping Chirac di Palais de lElyse, Merkel menekankan peran penting Paris-Berlin dalam integrasi Eropa. Dari Paris barulah Merkel menuju Brussel dan London. Di Brussel, Merkel menyatakan bahwa tidak ada perubahan kebijakan Berlin dalam masalah Irak meskipun menegaskan akan mempererat hubungannya dengan Washington. Melihat langkah awal yang diambil Merkel ini secara umum belum ada indikasi perubahan yang radikal dari sikap Berlin terhadap Poros Franco-Jerman. Penyebab utamanya adalah adanya koalisi politik antara CDU-CSU dan SPD. Tetapi, arah kebijakan Merkel akan menuju dua titik krusial. Pertama, Merkel tampaknya akan menjadikan hubungan antara Berlin, Prancis dan Moskow kurang eksklusif dibandingkan dengan apa yang telah dibangun Schrder dan pendahulunya. Kedua, Merkel akan membawa bandul azas continental Europe yang diwakili metafora Poros Franco-Jerman ke arah yang lebih Transatlantis, yaitu lebih dekat dengan Inggris sebagai pintu-gerbang ke AS serta dengan negara anggota EU lainnya yang selama ini seolah tenggelam di bawah bayangan poros Paris-Berlin.
(Dimuat dalam Gunaryadis Pages on Asia-Europe Relations and Global Issues, pada: http://gunaryadi.blogsome.com, 15 Desember 2005)

159

29. BELANDA: BERSAHABAT DAN MELAWAN AIR


Gunaryadi, 25 Desember 2005 da pepatah Belanda mengatakan: Tuhan menciptakan seluruh muka bumi kecuali Belanda. Karena Belanda diciptakan oleh orang Belanda sendiri. Pepatah ituyang bagi kita terdengar angkuhmenggambarkan bagaimana orang Belanda mengeringkan danau-danau dan bagian dari laut dengan menciptakan polder dan tanggul sehingga menjadi daratan kering yang bisa dihuni. Reklamasi itu dilakukan karena secara geografis negeri ini berada di delta-muara sungai-sungai besar di Eropa, yaitu Rijn, Maas, IJssel dan Schelt sehingga sebagian besar daratannya terbentuk dari sedimen yang dibawa arus sungai tadi. Kondisi tersebut juga membuat Belanda menjadi negeri yang rendah topografisnya dan landai (plat) yang sebagai besar terletak di bawah permukaan laut. Titik tertinggi hanya sebuah bukit di Vaalserberg dengan ketinggian 322 m di atas permukaan laut, dan yang terendah di Zuidplaspolder yang berada 7 m di bawah permukaan laut, kawasan di mana sekitar 60% dari 16 juta penduduk Belanda tinggal. Pada Zaman Es sekitar 180.000-130.000 tahun lalu, Eropa dan Belanda masih dilapisi glasier dan permukaan air laut beberapa meter lebih rendah daripada yang sekarang. Sekitar 10.000 tahun lalu, suhu menjadi lebih panas, es mencair, dan permukaan laut naik. Di kawasan pantai seperti di Holland dan Zeeland, permukaan tanah naik akibat hempasan ombak dan angin sehingga membentuk tanggul alam yang ketinggiannya mencapai 10 m. Kemudian, tanggul buatan manusia mulai muncul di abad ke-12 dan ke-17 M. ***

160

Bagi Belanda, airbaik air laut maupun aliran sungaiadalah sahabat sekaligus musuh bebuyutan. Sebagai sahabat, aliran air telah membantu membawa pasir sedimen dari hulu sungai jauh di pedalaman Eropa sehingga delta di muara sungai tersebut membentuk Niederlandistilah yang digunakan bangsa Jerman untuk Belanda yang bermakna negeri yang terletak di dataran rendah. Air juga telah membantu Belanda dari serangan dari luar. Dalam paruh-kedua abad ke-16 hingga paruh-pertama abad ke-17 M, berkecamuk perang antara Belanda yang Protestan dan Spanyol yang Katolik. Konflik itu juga dikenal sebagai Perang 80 Tahun (Tachtigjarige Oorlog). Di awal perang tersebut, tahun 1573 Belanda membuka pintu-pintu air sehingga terjadi banjir yang mematahkan pengepungan kota Alkmaar oleh pasukan Spanyol. Tahun 1574, taktik banjiryang-disengaja ini juga mencegah pengepungan kota Gorinchem yang dua tahun sebelumnya menyatakan berpihak pada Prins van Oranjependiri Dinasti Oranje yang hingga kini masih menjadi keluarga penguasa kerajaan di Belanda. Dalam tahun yang sama, milisi Oranje membebaskan kota Leiden dari pendudukan Spanyol setelah merendam bagian yang rendah dari kota itu sehingga bisa dilalui kapal-kapal kecil berisi pasukan Belanda (geuzen) mendekati benteng pertahanan Spanyol. Tahun 1629 Pangeran Frederik Henderik memulai proyek yang menggunakan lahan yang sewaktu-waktu bisa digenang banjir kalau ada serangan musuh. Garis-pertahanan tersebut mulai dari Zuiderzee di selatan hingga ke Sungai Merwede di Gorinchem. Sistem ini berhasil membendung invasi pertama pasukan Prancis tahun 1672. Sebagai sahabat, air juga memiliki makna ekonomis yang sangat signifikan bagi Belanda. Pelayaran-darat (inland-waters) pada umumnya bisa dilayari kapal-kapal ponton mengangkut berbagai komoditas. Sebagian suplai barang menuju pelabuhan kedua terbesar di dunia, Rotterdam juga tergantung dari pelayaran-darat ini. Dan tidak pula aneh kalau ada kapal berukuran ribuan ton melewati kanal yang terletak lebih tinggi daripada atap rumah-rumah penduduk kirikanan kanal. ***

161

162

Sebagai musuh, bangsa Belanda sudah ribuan tahun berjuang melawan air. Dalam kurun 1000 dan 1953, tidak kurang terjadi 111 banjir besar di bagian barat Belanda. Banjir tahun 1953 itu menelan lebih 1800 nyawa, ratusan ribu mengungsi, puluhan ribu sapi dan ternak tenggelam, dan ribuan rumah serta lahan rusak. Presiden Soekarno bahkan ikut mengirim satu kapal dari Indonesia untuk membantu korban banjir di Belanda tersebut. Banjir yang terjadi awal 1953 tadi diakibatkan badai laut yang hebat dan robohnya tanggul di kawasan pantai khususnya di daerah Zeeland di selatan. Banjir itu pula yang menyebabkan lahirnya Delta Project, sebuah proyek raksasa yang pembangunannya memakan waktu beberapa dekade dan berakhir ketika konstruksi tanggul penahanan-gelombang laut Oosterscheldekering di Zeeland selesai dan diresmikan Ratu Beatrix tahun 1986. Meskipun keberhasilan Delta Project terbukti bisa melindungi Belanda dari serangan air hingga sekarang, namun ancaman air tersebut tidak otomatis lenyap. Semakin naiknya permukaan air laut tetap menjadi ancaman serius bagi Belanda. Untungnya, berjuang melawan alam ini telah pula menjadikan Belanda sebagai salah-satu negara yang memiliki sistem pengelolaan-air terbaik di dunia. Ahli banjir Belanda beberapa bulan yang lalu khusus diundang membantu mengeringkan kota New Orleans di Louisiana (AS) dari genangan air akibat badai Katrina.
(Dimuat dalam Harian Padang Ekspres, 29 Desember 2005)

30. IMPLIKASI MUSIBAH DI BUNCEFIELD


Gunaryadi, 31 Desember 2005

erangkaian ledakan hebat memporak-porandakan depot minyak Buncefield dekat Hemel Hempstead di Hertfordshire (UK), Minggu, 11/12/2005. Ledakan yang membahana sekitar pukul 06.26 dan 06.27 GMT tersebut terdengar hingga sekitar 140 km dari lokasi. Bagi warga London yang

berada hanya 40 kilometer dari episenter, ledakan itu tidak saja terdengar keras tetapi juga membuat bangunan bergetar. Goncangannya diduga mencapai 2,5 skala Richter. Menurut data yang paling mutakhir, musibah yang terjadi di depot milik Total dan Texaco ini melukai 43 orang, 2 orang luka parah. Lidah dan bola api mencapai ketinggian 80 hingga 100 meter. Baru Selasa api berhasil dipadamkan. Dari segi korban jiwa, kecelakaan ini bisa dianggap ringan. Dalam musibah yang terjadi tanggal 6 Juli 1988 di kilang Piper Alpha jatuh 167 korban jiwa. Tahun 1994, ledakan juga terjadi pada instalasi penyulingan minyak di Milford Haven, Wales, melukai 26 pekerja dan kerugian puluhan juta dolar. Texaco dan Gulf didenda dalam kejadian tersebut karena dinilai melanggar aturan keselamatan. Tetapi dari segi getaran ledakan dan besarnya kobaran api serta penyebaran asap, maka musibah di Buncefield ini adalah yang terbesar di Eropa dalam masa-damai.
Beberapa Perspektif

Polisi Hertfordshire hingga kini menduga ledakan tersebut karena kecelakaan, meskipun opsi adanya serangan teroris tetap terbuka. Mengingat kejadian semacam ini merupakan yang terburuk di Eropa pasca Perang Dunia II, serta pasca pemboman bus, stasiun metro dan keretapi di London beberapa bulan lalu, maka analisis yang komprehensif terhadap peristiwa tersebut menjadi urgen. Untuk itu, tulisan ini mencoba menelisik implikasi terhadap 5 aspek dari musibah tadi yaitu: sosial, ekonomi, lingkungan, politik, dan keamanan. Kelima aspek tersebut saling terkait satu sama lain. Hanya saja, aspek keamanan dibahas pada bagian akhir yang menganalisis faktor-faktor penyebab ledakan. Dari sisi sosial, yang paling terasa adalah aspek psikologis dan kesehatan. Ledakan itu jelas sangat mengejutkan. Di Eropa, weekend pagi adalah bagian penting dari waktu rehat. Sebagian besar warga masih lelap dan terpaksa bangun dengan tiba-tiba dan terkejut. Ketika pemerintah mengevakuasi lebih 2.000 warga yang tinggal di dekat lokasi kejadian, dampak psikologis ini semakin kentara. Polisi Hertfordshire mengatakan sekitar 70 sekolah yang berlokasi di Hemel Hempstead dan St. Albans ditutup hingga Selasa. Jalan tol yang

163

164

menghubungkan utara-selatan Inggris juga ditutup karena dekat lokasi. Meskipun jalur tersebut dibuka kembali Minggu malam, tetapi penutupan itu menyebabkan kemacetan yang luar biasa. Disamping itu, dari segi kesehatanmeskipun belum diketahui dampak jangka panjangnyatetapi asap tebal dan hitam akibat ledakan tersebut telah menyebabkan mata pedih, kesulitan bernafas, dan rasa mual yang menimpa penduduk di sekitar kejadian. Sekitar 25 orang polisi yang bertugas di sekitar lokasi juga mengeluhkan gejala yang sama. Korankoran Inggris memuat berita dan foto peristiwa tadi dengan headline seperti Vision of Doomsday, Cloud of Doom dan Black Sunday. Dari aspek ekonomi, musibah itu memiliki dampak yang cukup signifikan. Buncefield adalah depot minyak terbesar kelima di Inggris atau mensuplai 5% kebutuhan bahan-bakar di negeri itu. Setiap hari 400 truk tanki mengisi muatan di lokasi yang terdiri dari 26 silo raksasa yang masing-masing berkapasitas 3 juta galon bahan-bakar. Ledakan itu diduga melibatkan 20 silo. Buncefiled mensuplai kebutuhan bahan-bakar di Inggris Tenggara, termasuk pula untuk bahanbakar pesawat di Bandara Luton dan Heathrow yang hanya berjarak beberapa kilometer dari lokasi. Selain Total dan Texaco, perusahan minyak Shell, British Petroleum dan British Pipeline Agency juga menggunakan depot yang sama. Sebagian penerbangan pesawat di Heathrow mengalami penundaan hari Minggu tersebut. Dari sisi lingkungan, musibah ini berdampak negatif. Asap hitam yang ditimbulkan ledakan tersebut Senin siang sudah mencapai Bretagne dan Normandia di Prancis, serta dalam waktu 48 jam kemudian diperkirakan mencapai Spanyol. Asap tidak saja berbahaya bagi kesehatan manusiakhususnya penderita asma dan manula tetapi juga berakibat buruk pada ekosistem. Disamping itu, kalau ada kerosine, solar, minyak yang bocor diperkirakan akan mencemari sungai atau air tanah di sekitarnya. Pihak pemadam kebakaran telah menggunakan 125.000 liter busa khusus untuk memadamkan jilatan dan bola api yang dahsyat. Busa ini dicampur dengan air yang dipompa dari sebuah kanal yang tidak jauh dari lokasi. Aliran busa dan air ini juga bisa membahayakan biota dan lingkungan. Sedangkan dari aspek politik diperkirakan tidak banyak implikasinya. Untuk saat ini, pengaruhnya dalam ranah politik

hanya akan signifikan kalau ada bukti yang cukup kuat bahwa penyebab ledakan adalah aksi terorisme. Kalau tidak maka nilai jual politisnya rendah.
Kemungkinan Penyebab

Ada 2 skenario dalam investigasi penyebab ledakan, yaitu serangan teroris dan karena kecelakaan. Dunia intelijen cenderung lebih tertarik mengusut kemungkinan pertama. Asumsi ini menjadi kuat paling tidak karena 2 alasan. Pertama, serangan teroris terhadap sistem subway dan bus di London Juli 2005 lalu yang menelan 52 orang korban jiwa masih membekas kuat dalam memori publik Inggris. Kedua, hari Rabu minggu sebelumnya di dunia-maya diduga ada video yang menayangkan seruan Ayman al-Zawahiri (Al-Qaida) untuk menyerang instalasi minyak di kawasan Teluk. Tetapi, hingga saat ini, kemungkinan tindak-terorisme sebagai penyebab ledakan ditutup oleh kepolisian Inggris. Mereka yakin bahwa musibah tersebut murni sebagai akibat dari kecelakaan. Wakil PM Inggris, John Prescott, di Wesminster juga melaporkan penyebab yang sama. Diduga kecelakaan itu disebabkan kebocoran pada salah satu silo-tanki. Menurut seorang pakar, Geoff Daniels, bahanbakar yang bocor kemudian bersentuhan dengan percikan api. Meskipun orang yang memasuki kompleks tersebut mengenakan pakaian dan sepatu anti-statis tetapi peluang terjadinya kecelakaan tetap ada. Terdapat pula dugaan bahwa ada pesawat yang jatuh menimpa tanki sehingga terjadi ledakan. Investigasi terhadap penyebab ledakan masih berlangsung. Asumsi kuat yang berkembang adalah kecelakaan sebagai penyebabnya; bukan terorisme. Tetapi, kemanapun kesimpulan penyelidikan itu nanti diarahkan, tampaknya sedikit barang bukti yang bisa dikumpulkan mengingat dahsyatnya musibah kebakaran tersebut.
(Dimuat dalam Gunaryadis Pages on Asia-Europe Relations and Global Issues, pada: http://gunaryadi.blogsome.com, 31 Desember 2005)

165

31. BUKITTINGGI SUMMIT: POROS FRANCOJERMAN ASEAN?


Gunaryadi, 13 Januari 2006

166

ertemuan bilateral Indonesia-Malaysia di kota historis Bukittinggi 12-13 Januari 2006 tidak saja bermakna pada level lokal dan nasional, tetapi juga regional. Bagi Sumatera Barat pertemuan ini kembali mengulang perannya sebagai fasilitator rendezvous pertemuan regional pasca IMS-GT 1996, disamping berhasilnya jalinan beragam peluang kerjasama dan investasi yang juga melibatkan usahawan Minang sekaligus cambuk bagi daerah ini untuk lebih serius menyiapkan infrastruktur, memperbaiki sistem birokrasi serta kebijakan pelaburan yang lebih kondusif. Bagi Indonesia dan Malaysia, pertemuan tersebut membawa nilai positif dengan indikasi tercapainya kesepakatan dalam bidang politik, hukum, keamanan, ekonomi, kesejahteraan sosial, pendidikan, dll. Namun yang agaknya terluput dari perhatian para pengamat barangkali makna politis pertemuan tadi dalam konteks integrasi ASEAN.
Poros Franco-Jerman dan Integrasi Eropa

Ketika PD II berakhir, Eropa trauma dengan konflik dan bergiat dalam rekonstruksi (wederopbouw) dari puing-puing peperangan. Idealisme ini menjadi basis integrasi Eropa. Tahun 1950, Menlu Prancis, Robert Schuman mengapungkan rencana kerjasama produksi batubara dan baja antara Prancis dan Jerman serta mengajak negara lain ikut bergabung. Schuman yakin bahwa persatuan Eropa akan membawa perpetual peace di benua itu, sebuah gagasan yang juga dicetus Immanuel Kant (1724-1804). Kerjasama dan solidaritas dalam produksi bahan tambang itu berpotensi mencegah perang yang pernah berkali-kali terjadi antara Prancis dan Jerman. Menyusul gagasan Schuman, tahun 1951 Traktat Paris disepakati dan ditandatangani oleh 6 negara pendiri yaitu Prancis, Jerman, Belanda, Belgia, Luxemburg dan Italia. Traktat ini

menghasilkan Masyarakat Batubara dan Baja Eropa (ECSC) untuk menjamin bahwa batubara Jerman dialirkan untuk industri di Prancis. Tahun 1957 keenam negara tadi menandatangani Traktat Roma yang melahirkan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dan Masyarakat Energi Atom Eropa. Kerjasama ini terus berkembang menjadi EU sesuai Traktat Maastricht (TEU), dan sejak 1 Mei 2004 anggotanya menjadi 25 negara. Dalam sejarah integrasi Eropa, faktor Prancis dan Jerman sangat dominan. Poros ini menjadi tulang-punggung continental Europe yang berhadapan dengan transatlanticism galangan Inggris yang dekat dengan AS. Politisi Prancis seperti Schuman, Monnet, de Gaulle, DEstaing, Mitterrand dan Chirac; serta politisi Jerman (Barat) seperti Adenauer, Smidt, Kohl dan Schrder adalah figur dominan yang mewarnai riwayat hidup integrasi Eropa. Sering terjadi, menjelang pertemuan puncak strategis yang menentukan masa depan Eropa, Paris dan Berlin (Bonn) mengadakan pertemuan pendahuluan. Keduanya adalah ekonomi terkuat dan terbesar dalam EU. Prancis tetap mendapat perlakuan khusus dalam Kebijakan Pertanian Bersama (CAP) karena posisinya tetap disokong oleh Jerman. Selama ini, sepertinya sudah ada kesepakatan siapapun yang duduk di Paris dan Berlin poros tersebut harus tetap dijamin kuat dan eksklusif. Hal itu secara gamblang diperlihatkan oleh leiderschap dua periode terakhir: Mitterrand-Kohl dan Chirac-Schrder. Ideologi politik tidak menjadi ukuran: Mitterrand yang kiri akur dengan Kohl yang kanan; Chirac yang kanan akrab dengan Schrder yang kiri. Kanselir baru Jerman dari partai berhaluan kanan Jerman yang sekaligus dekat dengan Washington, Angela Merkel, kurang dari 24 jam setelah dilantik langsung terbang ke Paris menemui Chirac, sebelum bertolak ke Brussel dan London.
Poros Dinamisator dalam Integrasi ASEAN

167

Pertanyaan sekarang adalah seberapa jauh peran Poros FrancoJerman ini identik atau menuju ke arah tersebut berkaitan dengan Bukittinggi summit tadi dalam konteks ASEAN. Sebelum mengelaborasi jawaban untuk pertanyaan di atas, yang menggelitik dijawab terlebih dahulu adalah apakah diperlukan se-

168

macam poros yang menjadi tulang-punggung integrasi regional di Asia-Tenggara. Melihat pengalaman Eropa dan dalam perspektif neoliberalisme dalam hubungan internasional, jawabannya, ya. Integrasi ASEAN dan regionalisasi di kawasan lain secara prinsipil bersifat sui generis, atau tidak ada pakem sebelumnya yang menentukan corak dan arah integrasi pada fase berikutnya. Dalam kondisi psikologis ketiadaan model, ketidakpastian masa-depan, memerlukan bimbingan dan asuhan saudara-tua. Peran inilah yang dikiaskan dengan perlunya poros yang terdiri dari beberapa negara utama yang menjadi motor integrasi. Untuk berperan sebagai Poros Franco-Jerman dalam ASEAN, apa yang dicapai di Bukittinggi belum setara dengan apa yang telah dilakukan dan dimiliki Prancis dan Jerman dalam integrasi Eropa. Dari sisi ekonomi, prestasi terakhir dari poros ini adalah berlakunya sistem mata uang tunggal Eropa (EMU) yaitu Euro (). Dari sisi ekonomi ini, maka kekuatan ekonomi Indonesia-Malaysia dalam ASEAN belum sekuat Poros Franco-Jerman dalam EU. Keunggulan yang sama juga mereka miliki dari aspek militer dan pertahanan sebagai salah satu instrumen politik globalnya baik pada level nationstate maupun dalam Kebijakan Luar negeri dan Keamanan Bersama (CFSP). Tetapi yang dimiliki kedua bangsa serumpun itu adalah keunggulan yang bersifat komparatif dan komplementer. Dari sisi populasi, jika penduduk Prancis dan Jerman merupakan 31% dari 460,3 juta penduduk Eropa (estimasi 2005), maka dalam periode yang sama, populasi Indonesia dan Malaysia merupakan 44,2% dari 555,9 juta warga ASEAN. Dari kategori leverage politik regional keunggulan kompratif ini juga dimiliki kedua negara tadi, selain dari historical advantage sebagai anggota pendiri ASEAN. Tetapi, kalau mengandalkan keunggulan komparatif dan historis semata maka kekuatan Indonesia-Malaysia belum memenuhi syarat untuk bisa berperan saat ini sebagaimana Poros Franco-Jerman dalam EU. Jika secara konseptual bahwa adanya poros dalam integrasi ASEAN sesuatu yang niscaya, maka kedua negara ini perlu secara proaktif mengajak beberapa negara anggota terkemuka ASEAN lainnya untuk bergabung membentuk kaukus penggerak sehingga,

pertama menambah kekuatan mesin integrasi ASEAN; kedua, bisa mencegah munculnya anti-Malays sentiment yang gampang dialamatkan kepada kedua negara serumpun ini.
(Dimuat dalam Harian Padang Ekspres, 19 Januari 2006)

32. ASEAN CHARTER DAN KONSTITUSI EROPA


Gunaryadi, 14 Januari 2006

TT XI ASEAN baru saja berakhir 14 Desember 2005. KTT yang berlangsung di Kuala Lumpur tersebut juga dirangkai dengan KTT I Asia Timur yang dihadiri petinggi Australia, Cina, India, Jepang, Korea Selatan dan Selandia Baru. Salah satu hasil penting KTT XI ASEAN tadi adalah Deklarasi ASEAN untuk Menyusun Piagam ASEAN. Deklarasi tersebut bisa dianggap sebagai tonggak-sejarah dalam proses integrasi ASEAN karena dengan itu akan memberikan kerangka legal institusional yang baru yang akan membantu pencapaian tujuan dan visi ASEAN. Piagam tersebut juga akan memberikan legal personality bagi ASEAN sekaligus menyempurnakan mekanisme dan organ kerjasama yang sudah eksis selama ini. Dengan demikian, bagi ASEAN piagam tersebut sangat urgen untuk menghadapi perubahan dan tantangan politik serta ekonomi global abad ke-21, perluasan anggota ASEAN, serta makna penting dari Visi 2020 ASEAN. Dalam KTT XI ASEAN itu, pemimpin ke-10 anggota ASEAN telah menunjuk wakilnya ke dalam Kelompok Tokoh Terkemuka (EPG) yang bertugas menyusun dan membuat rekomendasi dan menilai keputusan masa-depan yang diambil ASEAN menjelang 2020 dan setelahnya. Wakil Indonesia dalam EPG adalah Ali Alatas (diplomat senior, mantan Menlu dan Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri). Integrasi ASEAN dapat dianggap sebagai sebuah proses yang sui generis atau tidak ada model serupa sebelumnya. Artinya, ada ketidakpastian dalam hal hendak ke mana organisasi ini dan bagaimana

169

mencapai tujuannya. Pengalaman yang sama sesungguhnya juga dialami oleh model-model integrasi regional yang lain. Tidak bisa dipungkiri model integrasi yang paling maju adalah EU. Dalam konteks inilah, analisis ini mencoba menelisik Piagam ASEAN dengan mekanisme yang hampir sepadan dengan Konstitusi Eropa milik EU dengan kacamata komparatif. ASEAN dan EU pada dasarnya tidak saja berusaha keras meningkatkan taraf kerjasama, tetapi juga berada dalam fase saling-belajar. Tulisan ini menganalisis beberapa aspek komparasi antara keduanya yaitu genealogis, muatan, dan implikasinya terhadap masa depan integrasi regional.
Perspektif Genealogis

170

Secara genealogis, cikal-bakal EPG penyusun Piagam ASEAN berasal dari EPG-Vision 2020 yang memulai aktivitasnya Juni 1999. EPG-Vision 2020 itu beranggotakan tokoh terkemuka di ASEAN yang berasal dari birokrat, diplomat, politisi, praktisi dan ilmuwan. Cakupan kerja EPG Piagam ASEAN tidak jauh berbeda daripada poin-poin rekomendasi yang diajukan EPG-Vision 2020 sebelumnya. EPG Piagam ASEAN yang dibentuk 12 Desember 2005 lalu beranggotakan 10 orang. Pola ini lazim dalam proses integrasi regional ASEAN di mana visi yang mendasar disiapkan oleh para praktisi dan pakar, kemudian barulah dibahas dalam senior officials meeting karena akhirnya akan menyangkut masalah kebijakan negara. EPG diharapkan bisa menyampaikan rekomendasinya pada KTT XII ASEAN, 11-13 Desember 2006 di Manila. Sedangkan, secara historis gagasan perlunya Konstitusi Eropa dicetuskan oleh mantan Menlu Jerman, Joschka Fischer in Berlin in 2000 yang menyerukan perlunya menentukan bentuk final dari integrasi Eropa. Dalam Deklarasi Laeken, 15 Desember 2001, tim penyusun Konstitusi Eropa yang juga disebut European Convention dibentuk. Tim itu terdiri dari 105 anggota, yang diketuai oleh Valry Giscard dEstaing, mantan presiden Prancis. Keanggotaannya terdiri dari wakil kepala negara atau pemerintah negara anggota, calon negara anggota, parlemen nasional negara anggota dan calon anggota, Parlemen dan Komisi Eropa. EC menuntaskan tugasnya Juli 2003.

Dalam perkembangannya, Konstitusi Eropa melalui beberapa tahap penting yaitu Traktat Nice (2003), Intergovernmental Conference (2003-2004), adopsi Konstitusi Eropa (2004), serta penandatanganannya oleh wakil negara anggota 29 Oktober 2004.
Aspek Kandungan

Karena masih sangat embrionik, poin-poin yang menjadi bahasan EPG belum ditetapkan secara pasti. Tetapi area bahasan mencakup usaha identifikasi kelemahan dan keberhasilan kerjasama yang telah dicapai ASEAN selama ini seperti kerjasama politik dan keamanan, ekonomi, fungsional, hubungan luar negeri, struktur dan proses pengambilan-keputusan. Disamping itu, dibahas juga visi ASEAN setelah 2020, tujuan dan keanggotaan, legal personality ASEAN dalam tatanan hukum internasional, serta membuat rekomendasi terhadap modus meratifikasi piagam itu nantinya. Di EU, sesuai dengan tujuannya, Konstitusi Eropa dirancang menyempurnakan dan menyatukan traktat-traktat EU yang sudah ada, yaitu ECSC, CEE, Euratom, Akta Tunggal Eropa, Traktat Maastricht dan Amsterdam. Bidang-bidang pembahasan mencakup amandemen terhadap prinsip-prinsip pembentukan EU, kelembagaan, proses pengambilan-keputusan, serta kebijakan-kebijakan EU. Muatan tersebut merefleksikan posisi Eropa di dunia, harapan warganegara EU, dan perluasan Eropa.
Implikasi terhadap Integrasi Regional

171

Saat ini, terlalu dini memperkirakan implikasi Piagam ASEAN terhadap proses integrasi regional. Yang bisa diduga saat ini adalah harapan agar Asia-Tenggara menjadi kawasan yang stabil dan damai, sejahtera, dan outward-looking. Tentu saja penyusunan piagam tersebut juga memperhatikan integrasi ASEAN pasca 2020 dan mampu bertahan lama. Sedangkan, Konstitusi Eropa didesain untuk menentukan bentuk final dari proses integrasi EU. Tetapi kekuatan konstitusi itu sendiri masih belum teruji karena masih tersandung masalah ratifikasi oleh ke-25 anggota EU. Sebagian negara anggotakhusus yang menggunakan sistem pengakuan perlementersudah meratifikasinya.

172

Tetapi beberapa negara anggota lainnya belum melakukan ratifikasi. Bahkan dalam referendum ratifikasi di Prancis dan Belanda pertengahan 2005, suara yang menolak mengalahkan suara yang mendukung konstitusi. Dalam pertemuan Dewan Eropa di Brussel 16-17 Juni 2005, pemimpin Eropa sepakat meninjau kembali proses ratifikasi Konstitusi Eropa, sehingga Traktat Nice masih berlaku. Ada aspirasi dalam EPG untuk mentransformasikan ASEAN dari sebuah asosiasi menjadi sebuah komunitas menjelang tahun 2020. Sedangkan EU sendiri sudah menamakan diri sebagai komunitas sejak penandantanganan Traktat Paris yang membentuk Masyarakat Batubara dan Baja Eropa tahun 1951, dan Traktat Roma tahun 1957. Adanya gap dari model dan tempo integrasi di kedua kawasan membuat penamaan dokumen yang disusun juga berbeda. ASEAN baru akan menyusun piagam, sedangkan EU sudah menyelesaikan draf konstitusi. Sementara bentuk dan struktur pengambilankeputusan, ASEAN saat ini masih cenderung bersifat intergovernmental, konsultatif dan konsensus; sedangkan EU disamping intergovernmental juga supranasional, di mana kekuatan legislasi nasional tertakluk di bawahnya. Kita belum bisa menebak ke arah mana nanti aspek supranasional ini akan dibahas dalam penyusunan piagam yang sekaligus mencerminkan level integrasi ASEAN. Sedangkan apa yang ditetapkan dalam Konstitusi Eropa sudah sampai pada tahap menyatukan pendekatan intergovernmental dan supranasional. Diharapkan piagam itu akan menjadikan ASEAN sebuah komunitas regional yang seimbang antara kekuatan ekonomi dan leverage politiknya dalam percaturan global. Jangan sampai ia menduplikasi kelemahan EU dalam aspek ini, yaitu raksasa secara ekonomi tetapi terbilang pigmi dalam isu-isu high politics.
(Dimuat dalam Gunaryadis Pages on Asia-Europe Relations and Global Issues, pada: http://gunaryadi.blogsome.com, 14 Januari 2006)

33. PROGNOSIS PEMILU LEGISLATIF DAERAH DEN HAAG 2006


Gunaryadi, 4 Maret 2006
Pendahuluan

pa itu gemeente? Gemeente merupakan unit terkecil pemerintahan yang otonom yang berada di bawah tingkat pemerintahan provinsi dan pusat (nasional) di Belanda. Per 1 Januari 2006, Belanda memiliki 458 gemeente. Pemerintahan di gemeente dikelola oleh anggota legislatif daerah (raadsleden), pejabat eksekutif (wethouders) dan walikota (burgemeester). Menurut Konstitusi Belanda, dewan perwakilan rakyat daerah (gemeenteraad) adalah organ pemerintahan tertinggi di sebuah gemeente. Sedangkan untuk bidang eksekutif, pemerintahan sehari-hari di gemeente dikelola oleh Lembaga B & W (Het college van burgemeester en wethouders). Pejabat eksekutif (wethouders) diangkat oleh gemeenteraad. Sedangkan walikota diangkat oleh Kerajaan melalui Koninklijk Besluit yang diajukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Hubungan Kerajaan (Binnenlandse Zaken en Koninkrijksrelaties). Anggota perwakilan di gemeenteraad ini dipilih secara langsung dalam periode 4 tahun melalui pemilu daerah (gemeenteraadsverkiezingen). Yang memiliki hak pilih dan dipilih dalam pemilu daerah adalah: (1). Semua warganegara Belanda berusia 18 tahun ke atas yang berdomisili di gemeente masing-masing; (2). Warganegara EU yang memiliki hak yang sama dengan warganegara Belanda; (3). Warga dari negara ketiga (bukan Belanda atau EU) tetapi memiliki yang dan kewajiban yang sama dengan warganegara Belanda dan legal menetap di Belanda secara terus-menerus minimal 5 tahun pada hari pelaksanaan pemilu.

173

Hasil Pemilu Daerah 2002

Berdasarkan hasil pemilu 6 Maret 2002, komposisi gemeenteraadslid (anggota legislatif TK II) Den Haag berdasarkan partai politik adalah sebagai berikut:
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Partai VVD PvdA CDA Leefbaar Den Haag GroenLinks D66 Politieke Partij Scheveningen Socialistische Partij (SP) Haagse Stadspartij ChristenUnie-SGP Groep Labuche Groep Becker Jumlah Kursi 11 10 7 2 3 3 2 2 1 1 1 1 Anggota Legislatif Pendatang 1 4 1 0 2 0 0 0 0 0 1 0

174

Dari pemilu 2002 tersebut, jumlah partai politik yang berhasil menempatkan wakilnya sebagai anggota legislatif adalah 11 (termasuk Groep Labuche), plus 1 anggota legislatif independen (Groep Becker). Dari tabel di atas, hanya 5 partai politik yang melibatkan anggota legislatif berlatar belakang pendatang (allochtoon) sebagai wakilnya di gemeenteraad. Rasio terbesar anggota legislatif pendatang berada di PvdA, yaitu 4 orang. Dibanding hasil pemilu 2002, terlihat adanya perubahan komposisi kursi di legislatif dari pemilu 1998 meskipun pergeseran tersebut tidak signifikan. Tabel berikut memperlihatkan bahwa VVD tetap memiliki kursi terbanyak di gemeenteraad Den Haag.
No. 1. 2. 3. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Partai VVD PvdA CDA GroenLinks D66 Politieke Partij Scheveningen SP CU-SGP Haagse Stadspartij H.O.O.P Dem. Leefbaar Den Haag Leefbaar Den Haag 1998 12 11 6 4 3 3 3 1 1 2002 11 10 7 3 3 3 2 1 1 0 4

14.

IPN

Pemilu Daerah Den Haag 2006

Sebagaimana di seluruh gemeente di Belanda, pemilu daerah di Den Haag juga akan dilaksanakan tanggal 7 Maret 2006. Pemilih bisa memberikan susaranya dari jam 07.30-21.00. Dalam pemilu kali ini, jumlah partai politik atau kelompok yang berpartisipasi berjumlah 27 (lihat tabel berikut).
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Partai VVD PvdA CDA Leefbaar Den Haag GroenLinks D66 Politieke Partij Scheveningen SP Haagse Stadspartij ChristenUnie-SGP VIP (Vooruitstrevende Integratie Partij) Haagsche Onafhankelijke Ouderen Partij25 Partij Frans Postma (PFP) Bewoners Voor Loosduinen Lijst Pim Fortuyn (LPF) LinksAppl Duurzaam Nederland Haagse Allochtonen Partij Ons Den Haag Stem Niet Solidair Nederland Multi Volks Partij Haagse Lente26 Islam Democraten Groep Jol Fractie Becker Den Haag Wel Denkend Den Haag Calon Anggota Legislatif Belanda 30 29 29 9 16 28 28 30 30 20 4 14 10 8 13 17 6 8 16 5 30 15 6 15 12 5 8 Calon Anggota Legislatif Pendatang 2 5 1 1 2 2 0 3 2 3 4 1 0 0 1 13 4 6 1 0 30 10 3 14 0 1 0

175

Program dan Kebijakan 2006-2010

Program dan kebijakan pokok yang akan digulirkan oleh partai politik yang dominan di Den Haag, serta kemungkinan dampaknya

25 26

Stembusakkoord dengan Haagse Allochtonen Partij dan Fractie Becker Den Haag Stembusakkoord dengan Islam Democraten

terhadap isu integrasi dan pendatang (allochtonen) bisa diperkirakan berdasarkan data berikut:

Partai

Program Kebijakan (2006-2011) berkaitan dengan Allochtonen


Kenyamanan diawali dengan rasa aman (perbanyak polisi di jalan) Pemeriksaan preventif Berantas terorisme, perbanyak latihan menghadapi terorisme Perhatian terhadap expat (pekerja asing) Berantas penipuan dalam tunjangan sosial Ransang daya-beli para pendatang Penambahan tempat ibadah bagi pendatang Kristen di Den Haag Berantas diskriminasi Pendatang mesti menguasai Bahasa Belanda Mendorong agar semua elemen bekerjasama membangun masyarakat Membangun integrasi dan melawan diskriminasi Mendorong budaya yang positif dari semua elemen masyarakat agar menarik dan bisa dimanfaatkan oleh seluruh warga Den Haag Memberantas kemiskinan Memberantas kemiskinan Integrasi melalui olahraga dan budaya Lebih banyak rumah bagi starter dan yang sudah keluarga Perbanyak kamera pengaman dan kurangi coffeeshops Meskipun berbeda, kita semua warga Den Haag Perangi kemiskinan Perumahan yang memadai dan murah Hilangkan jurang pemisah (kaya-miskin) Integrasi adalah partisipasi (berkomunikasi dengan Bahasa Belanda) Sekolah lebih kecil dan lebih berbaur Aspek keamanan Tambah program sekolah sehingga anak 0-4 tahun terhindar dari keterbelakangan (penguasaan Bahasa Belanda) Perhatian terhadap pendidikan di kalangan pendatang untuk integrasi Penambahan tempat ibadah bagi pendatang Kristen di Den Haag Haagse Allochtonen Partij Partisipasi, integrasi, dan kohesi di seluruh aspek kehidupan masyarakat

VVD

PvdA

CDA
176

GL SP D66 CU-SGP Labuche

Prognosis Hasil Pemilu

Menurut sebuah jajak-pendapat, diperkirakan PvdA akan menjadi partai terbesar di Den Haag (Algemeen Dagblad, 26/2/06). Dari survei Algemeen Dagblad terhadap 7430 orang di 10 gemeente di Utrecht dan Zuid-Holland, PvdA akan menambah perolehan kursinya di gemeentreraad dari 10 menjadi 14. Sedangkan perolehan kursi VVD turun dari 11 menjadi 10, CDA dari 7 menjadi 5 atau akan sama besar dengan kursi SP. Leefbaar Den Haag kehilangan separuh dari kursinya sekarang. D66 juga akan ke-

hilangan 1 kursi sehingga jadi 1 kursi. Sementara itu, CU-SGP diperkirakan akan mendapat 2 kursi. Hasil prognosis tersebut juga memperkirakan bahwa PvdA akan menjadi partai terbesar di Rotterdam dan Utrecht. Prognosis peningkatan perolehan kursi PvdA tersebut setidaknya disebabkan oleh 4 faktor, pertama, pemilih cenderung lebih terpengaruh dengan posisi VVD dan CDA yang merupakan koalisi partai berkuasa di tingkat pusat (landelijk). Dilema bagi partai politik yang berkuasa adalah kecenderungan gagal untuk memenuhi ekspektasi elektorat yang telah memilih mereka. Setiap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat biasanya akan dibalas dalam pemilu berikutnya. Kedua, ada kecenderungan calon pemilih Leefbaar tidak akan datang ke tempat pemilihan karena tidak ada faktor yang memobilisasi mereka. (allochtonen allochtonen) Preferensi elektorat para pendatang (allochtonen)
60 52 50 40 47 39 PvdA GL SP C DA VVD D66 CU 9 22 1 1 0 0 Turki Maroko Suriname Antillen 10111 34 6 3 11 32 11 3 51

177

30 20 10

25 21

Tahun 2002, peran figur Pim Fortuyn sebagai mobilisator sangat signifikan. Ketiga, popularitas Ketua PvdA, Wouter Bos cukup baik sebagai tokoh oposisi sehingga meningkatkan daya-tarik PvdA. Keempat, adalah bertambahnya calon pemilih dari segmen pendatang (nieuwe Nederlanders) yang baru mendapat hak pilih yang cenderung

akan memberikan suara mereka kepada PvdA. Gejala ini berlaku secara nasional sebagaimana yang diperlihatkan grafik di atas.
Catatan Umum: Memilih, Dipilih, dan Yang Mana?

Beranjak dari kemungkinan perubahan komposisi gemeenteraad di Den Haag di atas, beberapa butir kesimpulan dan saran umum bisa ditarik. Bagi yang memiliki hak untuk memilih, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan kalau ingin memberikan suara dalam pemilu di Belanda: 1. Perlu dikaji secara komprehensif maslahat memberikan suara dalam pemilu (dalam konteks ini gemeenteraadsverkiezingen) dari segala segi baik dari aspek strategis maupun taktis 2. Sebelum memilih, pelajari platform dan calon anggota legislatif peserta pemilu, apakah sesuai dengan aspirasi dan merepresentasi harapan masing-masing, kemudian partai mana yang kemungkinan akan merebut suara yang signifikan 3. Kita perlu mengembangkan wacana partisipasi dalam pemilu ini dalam bentuk berbagi gagasan baik secara internal maupun eksternal bagi pemukim di sini, karena suka atau tidak-suka proses politik elektoral ini akan berpengaruh terhadap kehidupan seluruh unsur masyarakat di gemeente masing-masing 4. Pada tingkat yang lebih lanjut, persiapan menghadapi pemilu daerah bahkan nasional Belanda di masa mendatang juga perlu dilakukan, apakah berupa partisipasi dalam partai politik atau menyiapkan generasi muda untuk menjadi calon anggota gemeenteraad di daerah masing-masing
(Dimuat dalam Gunaryadis Pages on Asia-Europe Relations and Global Issues, pada: http://gunaryadi.blogsome.com, 4 Maret 2006)

178

34. DIMENSI DAN PENDEKATAN-SOLUSI TERHADAP KONTROVERSI KARTUN JYLLANDSPOSTEN


Gunaryadi, 6 Maret 2006

idak ada yang membayangkan sebelumnya bahwa kartun penistaan terhadap Rasulullah (SAW) akan mencapai eskalasi dengan skala yang sekarang. Bahkan JyllandsPosten, koran terkemuka Denmark yang menjadi sumber kekisruhan juga tidak menginginkan eskalasi tadi meskipun sudah siap dengan ekspektasi akan dihujat. Yang bersuka-cita justru segelintir orang yang mengharapkan realisasi dari mimpi Samuel Huntington tentang clash of civilisations atau senofobis yang senang menyinggung atau menghina orang lain. Kita bisa memahami protes kaum Muslimin seantero dunia tetapi sekaligus menyesalkan hilangnya nyawa dan tindak kekerasan. Kebebasan berpendapat dan berekspresi harus dijamin namun kebebasan tersebut secara inherens juga mengandung tanggung jawab untuk menghormati ras, keyakinan, simbol individu atau komunitas lain karena setiap orang atau kelompok memiliki tabu baik itu bersifat sakral (heavenly) maupun profan. Dalam komunike bersama, PBB, EU dan OKI menyerukan Freedom of the press entails responsibility and discretion (8/2/06). Tetapi setelah belasan orang terbunuh, perwakilan serta simbol Denmark dan negara-negara Eropa yang menerbit-ulang kartun itu dirusak dan dibakar di berbagai negara, adakah celah untuk mencari solusi atas kontroversi ini?
Problematika Multidimensi

179

Krisis global akibat kontroversi kartun tadi hanyalah puncak gunung es dari masalah kompleks yang menggelayuti interaksi minoritas Muslim dengan Eropa, atau bahkan Dunia Islam dengan Barat. Karena ranah tersebut bersumber dari interaksi sosial maka perspektif yang bisa menjelaskannya lebih komprehensif adalah dari dimensi sosial dan politik.

180

Dari sisi kausal, aspek sosial dan politik dari kontroversi ini adalah kebebasan pers, Islamofobia, kurang memahami Islam dan efek pergesekan antara dinamika domestik dengan struktur internasional (intermestic). Sebagai aspek pertama, di Denmark dan Eropa Barat, kebebasan pers adalah salah satu pilar kebebasan yang dijamin undang-undang sehingga kadang terjadi penyelewengan hak berekspresi sehingga melanggar hak individu atau komunitas lain. Kedua, maraknya Islamofobia di Eropa yang dimotivasi faktor ideologis yang berkorelasi dengan historis, persaingan dan paham inkompatibilitas peradaban. Penyebab lain senofobisme akibat Islamofobia ini adalah kekuatiran demografis karena laju pertambahan Muslim di Eropa cukup tinggi. Sejarawan terkemuka dari Princeton, Bernard Lewis menyatakan bahwa Eropa akan menjadi Islam paling lambatakhir abad ke-21 (Die Welt, 28/2/04). Redaktur Kehidupan Spiritual Trouw, Ton Crijnen (1999) menyimpulkan bahwa 3-4 penduduk asli Belanda dan Flanderen masuk Islam per minggu. Di sisi lain, laju natalitas di kalangan wanita Eropa-Barat hanya 1,45. Sebuah penelitian (2001) memprediksi jika angka tadi konstan dan imigrasi dibatasi, maka 377 juta penduduk EU akan tinggal separuhnya akhir abad ini. Proyeksi di atas tentu saja tidak otomatis menjadi self-fulfilling prophecy karena dinamika sosial tidak selalu berjalan linear. Problematika demografis ini berkaitan erat pula dengan kohesivitas sosial yaitu isu integrasi komunitas imigran ke dalam masyarakat Denmark. Kemudian, daya tarik elektorat kanan dan ultranasionalis yang semakin kental pasca Perang Dingin dan 11 September 2001 dimanfaatkan oleh media dan politisi populis yang mengeksploitasi isu Islam dalam integrasi, atau generalisasi Islam dengan terorisme untuk meraih dukungan dalam pemilu (angstpolitiek). Kasus mengapa PM Anders Fogh Rasmussen menolak tuntutan agar Pemerintah Denmark meminta maaf salah-satunya disebabkan bahwa pemerintahan yang dipimpinnya adalah koalisi tengah-kanan, dan sikapnya itu sekaligus untuk mengimbangi daya-tarik Partai Rakyat Denmark (Dansk Folkeparti) yang ultranasionalis.

Ketiga, rendahnya kepahaman tentang Islam, padahal faktor ini berpotensi besar untuk menimbulkan kesalahpahaman. Aspek ini akibat beberapa penyebab yaitu benar-benar buta tentang Islam, tidak mau tahu dengan Islam, atau sok tahu tentang Islam. Realitas sosial memperlihatkan bahwa kosmos sekularistik Eropa cenderung meremehkan agama, simbolisasi dan peranannya sebagai sebuah pranata sosial. Sekularisasi dan modernisasi itu pula membuat mayoritas masyarakat Eropa tidak begitu antusias menghayati agamanya sehingga aksi blasphemous terhadap simbol-simbol jarang mendapat respon yang tegas dan luas. Koran Denmark tadi ingin menguji apakah Islam juga bisa diperlakukan demikian. Mereka tidak menyadari bahwa sosok Rasulullah (SAW) adalah salah-satu ikon yang bisa menyatukan ummat Islam sedunia. Secara de facto tindakan Jyllands-Posten itu tidak saja melukai perasaan seluruh spektrum komunitas Muslim yang merupakan 3,02% dari 5,4 juta penduduk Denmark, tetapi juga menyinggung 51 juta Muslim di daratan Eropa, atau 23,52% dari 6,31 milyar penghuni planet ini (Muslim Population Worldwide, 2005). Keempat, Jyllands-Posten kurang memahami bahwa isu lokal Denmark tidak bisa lepas dari dinamika global karena globalisasi membuat dunia menjadi intermestik. Isu yang diangkat sebuah harian yang bertiras 150 ribu eksemplar dari sudut Eropa ternyata mendapat respons dari seluruh penjuru dunia yang hingga kini terus berlangsung. Media Denmark itu bagaikan menyiram minyak ke dalam bara yang sudah membakar di Dunia Islam akibat invansi, pendudukan dan imperialisme asing di negeri-negeri Islam. Ada indikasi bahwa protes tidak semata dialamatkan kepada Jyllands-Posten tetapi lebih kepada Barat yang dianggap sebagai personifikasi dari imperialisme asing tersebut.
Pendekatan-Solusi

181

Aksi protes global tadi ternyata dibarengi seruan boikot terhadap produk Denmark. Penerima Nobel Sastra 1988 asal Mesir, Naguib Mahfouz, memberikan justifikasi terhadap aksi tersebut karena Dunia Islam tidak punya sarana lain yang lebih efektif agar suara mereka didengar. Dampak seruan itu telah dirasakan oleh konglom-

182

erasi produk-susu Denmark-Swedia, Arla Foods yang mengalami kerugian 1,5 juta per hari dan sudah merugi hingga 73 juta serta terpaksa merumahkan 150 karyawannya karena penurunan omset penjualan di Timur-Tengah. Menurut hemat penulis ada beberapa celah solusi terbaik yang bisa dipertimbangkan, yaitu jalur yustisia, dialog, diplomasi dan lobbying yang secara hati-hati disertai tekanan low-politics seperti pemboikotan, dll. Tulisan Presiden SBY dalam op-ed koran International Herald Tribune (10/2/06) adalah sebuah approach yang positif. Penyelesaian masalah hak dan kebebasan dalam konteks demokratis Eropa adalah dialog dan jalur hukum, bukan kekerasan. Jika jalur hukum di suatu negara sudah dianggap tidak mampu memberikan keadilan oleh satu satu pihak, maka kasus tadi bisa diajukan kepada Mahkamah HAM Eropa. Dalam kasus Otto-PremingerInstitut v. Austria (1994) misalnya, Mahkamah ini membenarkan tindakan Pemerintah Austria menyita dan menghancurkan film yang berjudul Das Liebeskonzil yang dinilai menghina keyakinan Kristiani. Dalam tatanan hukum nasional Eropa belum ada yurisprudensi yang mengatur pelarangan penghinaan terhadap Islam. Kita melihat kemungkinan apakah kasus kartun ini juga bisa dibawa ke pengadilan setempat dan andaikan jalur tadi exhaustive, maka bisa ke Mahkamah HAM Eropa dan hasilnya bisa dijadikan yurisprudensi baru sehingga bisa mencegah terulangnya penghinaan yang serupa. Mendampingi usaha yustisia, maka dialog yang berbasis pada equal footing dan respek antar-peradaban mesti digiatkan.
(Dimuat dalam Gunaryadis Pages on Asia-Europe Relations and Global Issues, pada: http://gunaryadi.blogsome.com, 6 Maret 2006)

35. CATATAN KEMATIAN PENJAGAL DARI BALKAN DAN INTEGRASI EROPA


Gunaryadi, 21 Maret 2006

unia dikejutkan oleh pengumuman Tribunal Pidana Internasional untuk Bekas Yugolasvia (ICTY) di Den Haag tentang kematian Slobodan Milosevic, hari Sabtu, 11 Maret 2006 di Tahanan Khusus PBB di Scheveningen, Belanda. Mantan Presiden Republik Federal Yugoslavia yang juga dikenal sebagai Penjagal dari Balkan itu ditangkap dan ditahan sejak 28 Juni 2001 di Belanda. Meninggal dalam usia 64 tahun, tim ahli yang melakukan autopsi menyakini kematian Milosevic disebabkan oleh serangan jantung. Sedangkan pendukungnya mengalamatkan kesalahan atas kematiannya kepada ICTY di Den Haag.
Implikasi Legal
183

Kematian Penjagal dari Balkan ini membawa beberapa implikasi legal, khususnya dalam ruang-lingkup ICTY. Pertama, proses yang telah berlangsung 4 tahun tersebut harus berhenti begitu saja (case closed). Peradilan yang telah melibatkan ratusan saksi, puluhan ribu dokumen dan menghabiskan sekitar 200 juta itu berakhir tanpa ada keputusan atas 66 dakwaan terhadap kejahatan Milosevic termasuk pembersihan etnis (etnische zuivering) di Kroasia, BosniaHarzegovina dan Kosovo. Padahal Milosevic hanya punya waktu beberapa pekan untuk menyampaikan pleidooi akhir sebelum tim hakim menjatuhkan putusan apakah dia bersalah atau tidak. Kedua, dengan status ini, pupuslah harapan keluarga korban kebrutalan di Balkan yang dia semai dan tebarkan untuk mendapatkan keadilan serta menyaksikannya Milosevic menjalani hukuman sebagai akibat dari perbuatannya di mahkamah dunia. Ketiga, kematian ini sekaligus menguburkan harapan agar deliberasi dan putusan tim hakim ICTY atas kasus Milosevic untuk menjadi fondasi yang authoritative dari bangunan yuresprudensi ICTY. Tribunal di Den Haag ini adalah eksperimen internasional pertama

dalam yuresprudensi pidana perang pasca Nuremberg, sekaligus menjadi model beberapa mahkamah serupa yang dibentuk kemudian. Keempat, terdapat beberapa kesalahan dari perlakuan mahkamah terhadap Milosevic, yaitu mahkamah membiarkan Milosevic membela dirinya sendiri (dia menolak asistensi pengacara dan pembela), dan mengisolasi proses peradilannya dari tersangka lainnya yang didakwa dalam kasus yang sama.
Bekas Yugoslavia dalam Konteks Integrasi Eropa

184

Tahun 1990, Yugoslavia sebenarnya sebuah negeri yang cukup makmur, bahkan bersiap untuk menjalin kesepakatan dengan Uni-Eropa (EU). Tetapi aksi Milosevicyang pada awalnya dengan misi mencegah disintegrasi Yugoslavia kemudian berubah untuk mempertahankan yang kekuasaan pribadinyatelah menguburkan impian jutaan warga Yugoslavia. Dalam kerangka perluasan dari proses integrasi Eropa, dari pecahan Yugoslavia, Slovenia sudah menjadi anggota EU sejak 1 Mei 2004 lalu. Sedangkan Kroasiameskipun disyaratkan untuk bekerjasama dengan tribunal di Den Haagdan baru-baru ini BosniaHarzegovina sudah menandatangani kesepakatan negosiasi untuk bergabung ke dalam EU. Bagi Republik Serbia dan Montenegro entitas nasional yang tersisa dari Yugoslaviausaha untuk merapat ke EU tampaknya masih memerlukan jalan panjang. Syarat pertama berlanjutnya negosiasi yang dimulai Oktober 2005 lalu adalah penyerahan Radovan Karadzic and Ratko Mladic ke Den Haag. Rupanya penyerahan Milosevic belum cukup mangkus mengubah persepsi elit EU terhadap rezim di Beograd. Akhirnya, kenangan atas kematian seorang tokoh biasanya ditulis dalam sebuah kolom obituary atau in memoriam yang khidmat terukir pada sebuah epitaf. Tetapi bagi seorang Milosevic, banyak orang justru akan mengenang catatan genosida yang ditebarkan, sebagai penghalang laju integrasi Balkan ke dalam EU, serta proses peradilannya yang tidak tuntas.

36. SEPATU KAYU KHAS NEDERLAND


Gunaryadi, 28 April 2006

etika kita mendengar atau membaca tentang Belanda, biasanya dengan serta-merta kita menghubungkannya dengan simbol khas dari negeri tersebut seperti keju, kincir angin, atau tulip. Asosiasi semacam ini hampir sama dengan pemahaman bahwa Belanda itu identik dengan negeri keju, negeri kincir angin, atau negeri tulip. Bahkan ada julukan khas yang biasa digunakan orang Belanda menyebutkan negerinya yaitu kikkerland atau negeri kodok karena di mana-mana terdapat air. Selama ini simbol-simbol dominan tersebut ternyata telah mengaburkan asosiasi kita bahwa Belanda ternyata memiliki ikon yang lain. Oleh karena itu, feature ini memperkenalkan sebuah ikon khas Belanda yang selama ini mungkin belum akrab dalam asosiasi pemikiran kita yaitu sepatu kayu, clogs kata orang Inggris atau klompen dalam bahasa Belanda. Secara historis, sepatu kayu itu sudah dikenal di Belanda sejak tahun 1270 M. Sepatu kayu tidak saja populer di Belanda tetapi dalam Abad Pertengahan juga banyak dipakai oleh para petani dan buruh di negara Eropa lainnya. Variasi dari sepatu kayu tadi adalah trippe atau terompa kayu dalam bahasa kita, yakni sandal kayu yang memiliki tali dari kulit. Di kawasan Flanderen (Belgia bagian utara yang berbatasan dengan selatan Belanda), istilah klompen itu merujuk pada sepatu kayu bagi wanita, sedangkan untuk pria, sepatu tersebut dinamai holleblokken. Dari sisi kultural, sepatu kayu ini seakan melekat pada karakter asli Belanda baik secara filosofis maupun material. Secara filosofis, karakter bangsa Belanda identik dengan mentalitas panggaleh (pedagang) yang zakelijk, hemat, praktis, ulet dan ekonomis, serta kredo tungku tigo sajarangan versi Belanda yang dikembangkan oleh Adalbero van Laon tahun 1000 M, yaitu bidden yang bermakna ibadah, vechten atau berjuang, dan werken yang berarti berkarya (De Nederlandse geschiedenis in een notendop, 1998). Karena itu, klompen

185

186

yang sederhana tapi punya banyak kelebihan, bahannya mudah diperoleh dan dibuat, sangat digemari masyarakat Belanda. Sedangkan dari sudut material, sepatu kayu itu memberikan kehangatan pada kaki di musim dingin dan kesejukan pada musim panas karena kayu memiliki daya serap suhu yang baik, melindungi kaki saat melangkah di jalanan yang kotor di Abad Pertengahan, mencegah agar kaki tidak terbenam di tanah yang lunak dan berlumpur karena tipologi tanah semacam ini jamak di Belanda. Bagi petani, pandai-besi, atau yang memerah susu sapi, tentu klompen ini sangat bermanfaat melindungi kaki saat bekerja. Manfaat lainnya dari sepatu kayu ini adalah sebagai wadah menyimpan barang-barang kecil, celengan penjaga jembatan atau pintu air untuk mengambil uang dari perahu atau kapal yang menggunakan fasilitas tersebut, sebagai vas bunga, kapal mainan, bahkan sebagai palu, dan kalau sudah usang bisa dijadikan sebagai kayu bakar untuk pemanas di musim dingin. Bahkan ada anekdot yang sedikit senofobis mengatakan bahwa klompen bisa digunakan sebagai pelampung kalau terjadi banjir. Setiap wilayah biasanya memiliki sepatu kayu yang secara simbolik mencirikan daerah masing-masing. Bahkan di Belanda terdapat dua daerah yang diberi nama De Klomp, yaitu sebuah kampung di Ede (Provinsi Gelderland), dan sebuah tempat di Weesp (Provinsi Noord-Holland). Dari sudut ekonomi, klompen bernilai signifikan karena mendukung industri pariwisata, sebuah sektor yang cukup penting bagi perekonomian Belanda. Tahun 2003, kontribusi pariwisata terhadap GNP lebih dari 2,5% dengan pemasukan sekitar 8 milyar. Dalam periode yang sama, sekitar 9,2 juta wisatawan mengunjungi Belanda (Toerisme en recreatie in cijfers 2004, Centraal Bureau voor de Statistiek, 12/11/04). Dari sektor pariwisata ini, sepatu kayu tersebut menjadi salah satu souvenir yang paling khas dari Belanda. Dalam ukuran kecil, biasa juga dibuat sebagai gantungan kunci, atau miniatur kapal layar, atau keramik Delft blue. Di zaman dahulu, hampir di setiap kampung dan daerah memiliki pembuat sepatu kayu. Tetapi saat ini hanya tersisa sekitar 30 pembuat saja, yang menghasilkan sekitar 800 ribu pasang klompen

per tahun. Di zaman sekarang, tidak banyak lagi yang mengenakan klompen di Belanda dalam kehidupan sehari-hari. Hanya sebagian petani, nelayan, atau orang yang bekerja membersihkan kebun atau halaman yang masih menggunakannya. Dengan kata lain, klompen yang dahulunya merupakan perangkat untuk keperluan sehari-hari menjadi lebih simbolik dan bernilai ekonomis. Setidaknya ada dua pelajaran yang bisa kita ambil dari kultur klompen Belanda ini yaitu pentingnya memelihara tradisi yang khas, dan mengembangkannya sehingga memiliki nilai ekonomis.
(Dimuat dalam weblog Silaturrahim Muslimah Indonesia di Belanda [Salamaa], pada: http://salamaa.blogspot.com, 1 Juni 2006)

37. BALANCING GAME FOR RI OVER IRANS NUCLEAR PROGRAM?


Gunaryadi, 16 Mei 2006
187

ith the visit of Iranian President Mahmoud Ahmadinejad to Indonesia, the issue of Irans nuclear program besides that of around US$600 million in energy deals with Indonesia will be high on the agenda. President Ahmadinejads trip to Indonesia is to attend the 5th D-8 Summit in Bali from May 9-13. The Iranian nuclear issue has escalated since Ahmadinejad took office in Tehran in 2005. It is not merely about the Iranian nuclear program, but more about the fears of Ahmadinejads threatening statements toward Israel. The West believes Irans nuclear program would not stop until it had reached the level of making weapons an accusation consistently denied by Tehran, which has adamantly reiterated its program is strictly for energy. If Tehran succeeded in getting the bomb, so goes the logic in Washington and many western capitals, it would not only change the geopolitical situation and balance of power in the

188

region, but also pose a grave danger to U.S. interests in the Middle East and the very existence of the U.S.s closest ally in the volatile region, Israel. Since Ahmadinejad took power a high-level psychological warfare has begun. A preemptive strike on Iran has not been ruled out although officially denied in Washington and London. On the other side, Tehran says if it is attacked it will strike U.S. interests around the globe and, of course, Israel. Amid American efforts to refer Iran to the UN Security Council, a move that could be hindered by Russia and China, Tehran threatened to withdraw from the Non-Proliferation Treaty. If Iran takes this step, it would be more difficult to find a peaceful solution and a military confrontation could ensue. Many still see a political way out as the least costly route; and by the same token the diplomatic approach as the toughest one. Caught in this brouhaha, Indonesias position is dilemmatic. The Associated Press reported that Indonesia has confirmed its position of supporting Tehrans right to pursue nuclear technology for peaceful purposes. It is undeniable Indonesia is still dependent on the West, particularly the U.S., and has been courted over economic and many political issues. The West eyes Indonesia as a potent friend in Southeast Asia particularly in combating terrorism due to its moderate Muslim population. If it supports Iran without emphasizing the peaceful dimension of that countrys program, Indonesia could simply alienate its Western allies. Similarly, unconditionally saying no to Tehrans program could potentially cut the governments base support among the Muslim majority. Consideration of this political support can be seen in the parallel positions confirmed by Nahdlatul Ulama (NU) leader Hasyim Muzadi and the speaker of the Peoples Consultative Assembly, Hidayat Nurwahid, during their recent visit to Tehran. Both were of the opinion that Iran has the right to pursue a peaceful nuclear program.

Second, an unconditional no to Irans nuclear program could cost Indonesia the chance to secure much-needed investment from Tehran in the energy sector. Since 2005 Indonesia has been the only OPEC member to be a net importer of oil. Third, supporting Irans peaceful nuclear program will also anticipate Indonesias plan to start its own peaceful nuclear program in 2016. Fourth, Indonesia has also voiced its concerns over any military action against Iran. This reservation has a strong basis on at least three accounts: First, preventing the U.S. from making the same mistake it made in invading Iraq. Second, it could spark commotion in the Muslim world. And third, it could jeopardize efforts to combat terrorism and endanger a theme Indonesia is eager to promote in the international community post-Sept. 11: dialog between civilizations. Its position demonstrates that as usual in its foreign policy, Indonesia is swift in taking the most pragmatic stance. This echoes the maxim of Indonesian foreign policy, introduced in 1948 by foreign minister designate Moh. Hatta, which is to be independent and active. Independent here is neither being neutral, or taking equidistant positions on international matters, nor neglecting developments in global affairs for Indonesias self-preservation and prosperity.
(Dimuat dalam kolom Opinion and Editorial, The Jakarta Post, 11 Mei 2006)

189

38. MENGAPA INDONESIA MENDUKUNG PROLIFERASI NUKLIR IRAN?


Gunaryadi, 24 Mei 2006

eperti diduga sebelumnya, dari tiga agenda utama kunjungan Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad ke Indo-

190

nesia 8-13 Mei 2006, yang paling menarik di kalangan media dan tisi lokal, regional, dan internasional adalah seputar isu nuklir Iran. Dua agenda penting lainnya adalah KTT V D-8 dan kesepakatan investasi dan kerjasama sektor energi antara Iran dan Indonesia. Penegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa KTT di Bali tersebut tidak didominasi krisis nuklir Iran lebih merupakan strategi seorang negarawan dan tuan-rumah (gastheer) untuk menyejukkan suasana. Isu program proliferasi nuklir Iran tidak semata persoalan pengembangan teknologi atau sumber energi alternatif, tetapi telah menembus ranah lainnya yang lebih luas yaitu geopolitik dan keseimbangan kekuatan regional di Timur-Tengah. Kedua aspek terakhir ini, meminjam terminologi Ben Tonra (2001), termasuk ke dalam domain kompleks keamanan (security complex) dan tirai keamanan (security overlay). Di bawah Ahmadinejad yang menjabat presiden sejak 2005, Barat khususnya AS mengkuatirkan Iran bisa mengoyak tirai keamanan regional yang bagi Barat merupakan kokon yang membentengi kompleks keamanan yang di dalamnya menyangkut eksistensi Israel. Indikasi kasat-mata terhadap kebijakan Barat tersebut bisa dilihat dari perbedaan standar sikap dan intensitas manuver AS dalam penyelesaian krisis nuklir Korea Utara. Bagi AS, Iran sebagai sebuah kekuatan nuklir lebih besar bahayanya terhadap kompleks keamanan dan tirai keamanan Israel, sebagai satu-satunya kekuatan nuklir di Timur-Tengah, dibanding Korea Utara. Kekuatiran Barat itu berbasis pada pernyataan Ahmadinejad yang ingin menghapus Isreal dari peta dunia, bahwa Barat yang mesti bertanggung jawab atas terjadinya holocaust, bukan bangsa Palestina, bahwa suatu hari nanti Israel akan hancur, dan sebagainya. Kombinasi figur seorang Ahmadinejad dengan kekuatan nuklir Iran, secara luas mengakumulasi kekuatiran tadi. Barat tidak mempercayai Iran jika kemampuannya memperkaya uranium pada tingkat pembangkit energi akan berhenti pada level tersebut, tetapi akan diteruskan untuk merekayasa bom nuklir, sebuah tuduhan yang dengan konstan dibantah oleh oleh Teheran.

Hingga saat ini, perang urat-syarat semakin intens. AS tidak mengenyampingkan serangan-dadakan terhadap Iran. Sebaliknya, apabila diserang, Teheran menegaskan Iran akan menyerang semua kepentingan AS di seantero dunia dan tentu saja, Israel. Usaha AS di Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi untuk Iran gagal mendapat dukungan bulat. Kini, solusi terhadap krisis menemui jalan buntu. Mayoritas pihak yang bertikai termasuk Teheran, Washington, London dan Paris melihat bahwa celah diplomasi masih terbuka. Solusi militer tidak akan menyelesaikan persoalan. Diperkirakan jika opsi militer ini diambil oleh AS dan sekutunya, efeknya akan sangat berbeda dari suksesnya aksi serangan-dadakan yang dilakukan Israel terhadap fasilitas nuklir Osirak. Dalam kasus Osirak, Irak tidak memiliki kepabilitas militer yang memadai untuk melakukan serangan-balik terhadap aksi punitive yang dilakukan Israel karena telah letih dalam Perang Irak-Iran. Disamping itu, dukungan internal terhadap rezim Saddam Hussein sudah terfregmentasi dan tidak kohesif, serta absennya dukungan ideologis yang kuat. Teheran tampaknya kini memiliki semua aspek kapabilitas di atas. Dalam kasus proliferasi nuklir Iran ini, posisi Indonesia cukup dilematis. Hal ini disebabkan tingkat ketergantungan Indonesia terhadap Barat masih tinggi di satu pihak, sedangkan di pihak lain, Indonesia adalah negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Posisi inilah membuat Indonesia memberikan dukungan yang bersyarat kepada Iran dalam program nuklirnya. Indonesia hanya mendukung Teheran sejauh program proliferasi nuklir tersebut hanya untuk kepentingan damai yaitu sebagai sumber energi alternatif. Jakarta tidak mendukung Teheran jika teknologi tersebut dikembangkan menjadi bom nuklir. Dukungan kondisional Indonesia itu adalah untuk mencegah agar Barat tidak teralienasi. Sebaliknya, jika Jakarta menolak rencana Iran secara mutlak maka tindakan itu bisa menurunkan dukungan mayoritas umat Islam terhadap pemerintah. Disamping itu, mendukung proliferasi damai Iran juga memiliki dasar strategis karena Indonesia akan melakukan hal yang sama dengan tujuan serupa. Kemudian, menolak mendukung Teheran akan menyulitkan Indonesia

191

192

untuk memperoleh dana investasi segar bernilai sekitar 600 juta US dollar di sektor negeri sebagaimana yang disepakati dengan Iran. Alasan terakhir di atas cukup signifikan dalam mempengaruhi sikap Indonesia. Hasil survei yang dikeluarkan oleh LP3ES, 24 April 2006, produksi BBM Indonesia 1,055 juta barel per hari. Sedangkan kebutuhan harian BBM domestik Indonesia mencapai 1,35 juta barel. Jadi, ada defisit sekitar 300.000 barel per hari, yang hingga saat ini ditutupi dengan impor BBM. Dalam periode 2000-2004, LP3ES memprediksi biaya kerugian akibat selisih nilai ekspor-impor itu mencapai Rp. 12,2 trilyun. Dalam konflik ini, Indonesia juga mengambil sikap menolak opsi atau aksi militer terhadap Iran. Pertama, karena Indonesia masih trauma dengan pretext yang dipakai untuk menyerang dan menduduki Irak yang ternyata tidak menemukan stok senjata pemusnah massal. Jakarta kuatir kasus serupa bisa terulang pada Iran. Kedua, opsi tadi bisa berdampak negatif pada stabilitas domestik Indonesia. Ketiga, aksi tersebut bisa mempersulit upaya Indonesia untuk menjadi penengah dalam berbagai isu global akibat peristiwa 11 September 2001. Posisi dan sikap di atas barangkali sudah berada pada titik yang optimal dalam konteks kebijakan luar negeri Indonesia. Pragmatisme tadi beresonansi dengan kredo lama kebijakan luar negeri Indonesia yang diperkenalkan oleh Bung Hatta tahun 1948 yang bebas dan aktif. Bebas di sini tidak bermakna netral atau mengambil jarak yang sama dalam berbagi persoalan dunia, tetapi aktif dalam kontribusi menemukan solusi terbaik, tentunya dalam rangka kesinambungan dan kesejahteraan Indonesia. Untuk mencapai kedua tujuan terakhir ini menjadi raison detre dari kebijakan luar negeri setiap negara.
(Dimuat dalam Berit@Iptek [http://beritaiptek.com], 24 Mei 2006)

39. INDONESIA IN MOUNTING ECONOMIC TIES WITH THE NETHERLANDS


Gunaryadi, 6 Juni 2006

ollowing the visit of Prime Minister, Jan Pieter Balkenende to Indonesia in April 2006, another visit is planned by the Dutch Minister for Economic Affairs, Laurens-Jan Brinkhorst in 31 May-6 June 2006 (Ministerie van Economische Zaken, 5/06). His entourage will comprise dozens of Dutch businessmen for a matchmaking mission (bedrijvenmissie) with Indonesian business communities in Jakarta and Surabaya. Minister Brinkhorst is also scheduled to have rendezvous with some members of the United Indonesias Cabinet. It will be the second successive visit made by Mr. Brinkhorst as the Minister of Economic Affairs since 2005 when he addressed the Mixed Commission on Economic Cooperation (MCEC) forum last year in Jakarta to boost economic cooperation between Indonesia and the Netherlands. Minister Brinkhorsts leadership in the mission reflects its high profile. This significance can be compared, for example, to similar mission to Australia about a month earlier, which was only led by a deputy minister. In 2005, the bilateral trade amounted to US.60 billion that placed the Netherlands as Indonesias largest trading partner in EU after Germany (Indonesian Ministry of Trade, 2006). This is a raise of about 33% from 2004. In the same year, the trade balance remained advantageous to Indonesia: .23 billion export and 9 million import. Moreover, for Indonesia, in 2005 the Netherlands was the 5th largest investor with the value of 8 million (The Jakarta Post, 7/4/06). Somehow the visit signifies a splendid appreciation and confidence to Indonesias recovering economy. How comes? In 2004, Netherlands export valued at about 9.1 billion, and import at around 3.7 billion (CBS StatLine, 25/5/06). About 70% of this trade activities occurred with other EUs member states, and the lions share of the

193

194

rest 30% controlled by the U.S. With a total 2.8 billion, its trade volume with Indonesia is consequently a tiny fraction in the Dutch overall trading portions. The visit itself is crucial on two pillars. First of all, the classical hurdle in Indonesia-Dutch relations has been removed by The Hagues recognition of Indonesian independence of 17 August 1945. This new chapter of relations should not merely be put in the political context but it is also expected to augment economic cooperation. To locate it in a larger context of bilateral cooperation principle, we have entered an era ofborrowing the term used by the former Minister for Development Cooperation, Eveline Herfkenssmart and mature relations. Second of all, it means the Netherlands has shown determined commitment to prioritise Indonesia in its foreign trade relations, even after the establishment of the new European Neighbourhood Policy (ENP) mechanism. As a matter of fact, the European enlargement in 2004, and possible accession of the candidate member states in theory would undermine Indonesias competitiveness vis-vis the new acceding countries. This latter reality proved that the fear of role conception shift which might downgrade Indonesia on the map of Dutch foreign policy priority untrue. Instead, this reality should push Indonesia to make an optimum use of the bilateral economic cooperation as long as the engagement falls within the ambit of the EUs supranational rules of laws. Although the visit will be emphasised in infrastructure and energy sectors, for its part, Indonesian government should encourage affective implementation of the agendas formulated by the six working groups posed in the Mixed Commission on Economic Cooperation (MCEC) in February 2005. Thorough evaluation should be made on the progress of plans of action reached in the 18th MCEM in the areas agriculture, energy, housing and spatial planning, public works, research and technology, trade and investment, and transportation and communication. Jakarta should also seize the opportunity to lobbying for reduction or moratorium of Indonesias debts arranged through multilateral institutions where the Netherlands is also a member. Another

important issue of lobbying should be on persuading for more favourable preferential tariff regulations for Indonesian goods to access the EUs markets. Reciprocally, Jakarta should consider as well conceding of some extent of regulatory incentives to exert a pull on larger magnitude of economic cooperation with Dutch partners. It is hopeful that respective Indonesian businessmen will be well prepared to take hold of this golden opportunity to discuss concrete plans with Dutch colleagues. It is expected from the matchmaking meetings, B-to-Bs memorandum of undertakings can be materialised into feasible and actual business projects, and later told as another success story of linking the Indonesian and Dutch economies. And to the Dutch delegation, I wish a nice trip and good days of presentation and matchmaking. Veel succes daarmee!
(Dimuat pada kolom Public Discourse, website KBRI Den Haag, 6 Juni 2006)

40. PROLIFERASI NUKLIR IRAN DAN REALPOLITIK


Gunaryadi, 31 Mei 2006 ita-cita Iran untuk melakukan diversifikasi sumber energi domestiknya menggunakan tenaga nuklir akan menempuh jalan yang berliku dan sulit. Ambisinya menguasai teknologi nuklirsebagaimana yang selalu ditegaskan Teheran yang semata untuk tujuan sipil dan pembangkit energi tidak terlalu meyakinkan negara-negara yang memiliki kepentingan strategis di Timur-Tengah. Logika mereka adalah jika Iran mampu memperkaya uranium pada tingkat pembangkit energi, maka kemampuan negara itu untuk mengembangkan bom nuklir adalah persoalan waktu saja. Tulisan ini meninjau perkembangan terakhir dalam masalah nuklir Iran ini dalam konteks realpolitik atau paradigma realisme dalam politik internasional. Mengapa? Karena pemikiran realis yang pesimistik itu cocok untuk era yang pesimistik pula. Dalam periode

195

196

1940 dan 1950-an, paradigma ini seakan menjadi genius seculi yang mendominasi kebijakan luar negeri di banyak negara. Realita global memperlihatkan bahwa pasca PD II dan Perang Dingin ternyata dunia belum mampu keluar dari masa pesimistik tadi, bahkan problematikanya menjadi semakin rumit. Frasa kunci dari realpolitik ini adalah bersiaplah berperang untuk menjamin perdamaian. Paradigma ini didasarkan pada premis bahwa politik dunia pada dasarnya adalah pertarungan kepentingan antar negara untuk meraih kekuasaan dan posisi dalam struktur internasional yang anarkis demi kepentingan nasional masing-masing. Pemikir realis klasik yang berpengaruh mencakup Machievelli dan Hobbes. Sedangkan yang modern antara lain Carr, Kennan, Morgenthau, Niebuhr, dan Thompson (C.W. Kegley dan E.R. Wittkopf, 2004). Isu program proliferasi nuklir Iran tidak semata persoalan pengembangan teknologi atau sumber energi alternatif, tetapi telah menembus ranah yang lebih luas yaitu geopolitik dan keseimbangan kekuatan regional di Timur-Tengah. Kedua aspek terakhir ini, meminjam terminologi Ben Tonra (2001), termasuk ke dalam domain kompleks keamanan (security complex) dan tirai keamanan (security overlay). Di bawah Mahmoud Ahmadinejad yang menjabat presiden sejak 2005, Baratkhususnya ASmengkuatirkan Iran bisa mengoyak tirai keamanan regional. Indikasi kasat-mata terhadap kebijakan Barat tersebut bisa dilihat dari perbedaan standar sikap dan intensitas manuver AS dalam penyelesaian krisis nuklir Korea Utara. Bagi AS, Iran sebagai sebuah kekuatan nuklir jauh lebih besar bahayanya terhadap kompleks dan tirai keamanan Israel, sebagai satu-satunya kekuatan nuklir di TimurTengah, dibanding Korea Utara. Bahkan dalam kasus nuklir di Brazil misalnya, AS menerapkan standar yang lain pula. Hal itu bukan karena ancaman nuklir dari negara terkuat di Amerika Latin ini, tetapi lebih karena potensi anarkisnya sangat minimal dan lebih terkendali. Indikasinya adalah meskipun Presiden Lula da Silva berhaluan kiri, tetapi akhir-akhir ini menjauh dari sejawatnya yang dianggap berseberangan dengan banyak kebijakan kontemporer

Gedung Putih di seperti Castro, Chaves dan Morales, serta sangat kooperatif dengan Washington (Tempo, 15-21/5/06). Sikap, pendekatan, strategi dan taktik Barat terhadap Iran dapat dikatakan tidak berbasis pada sosok Ahmadinejad, tetapi lebih pada pernyataannya yang ingin menghapus Isreal dari peta dunia, bahwa Barat yang mesti bertanggung jawab atas terjadinya holocaust, bukan bangsa Palestina, bahwa suatu hari nanti Israel akan hancur, dsb. Kombinasi seorang Ahmadinejad dengan kekuatan nuklir Iran, secara luas mengakumulasi kekuatiran tadi. Mayoritas pihak yang bertikaitermasuk Teheran, Washington, London dan Parismelihat bahwa celah diplomasi masih terbuka, meskipun Washington tidak mengenyampingkan opsi militer terhadap Iran. Hingga saat ini, perang urat-syarat semakin intens. Sebaliknya, apabila diserang, Teheran menegaskan bahwa mereka akan menyerang semua kepentingan AS di seluruh penjuru dunia dan tentu saja, Israel. Usaha AS di Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi untuk Iran belum berhasil mendapat dukungan bulat. Kini, solusi terhadap krisis menemui jalan buntu. Diperkirakan jika opsi militer tersebut diambil oleh AS dan sekutunya, efeknya akan sangat berbeda dari keberhasilan serangandadakan yang dilakukan Israel terhadap fasilitas nuklir Osirak milik Irak tahun 1981. Dalam kasus Osirak, Irak tidak memiliki kapabilitas militer yang memadai untuk melakukan serangan-balik terhadap aksi punitive yang dilakukan Israel karena Perang Irak-Iran sedang berkecamuk. Disamping itu, dukungan rakyat dan internal terhadap rezim Saddam Hussein sudah terfregmentasi dan tidak kohesif, serta absennya dukungan ideologis yang kuat. Iran saat kini diperkirakan memiliki semua aspek kapabilitas di atas, di samping reservasi Rusia, Cina dan Dunia Islam terhadap opsi tadi. Untuk menumpulkan potensi backlash, mungkin saja aksi militer itu didelegasikan kepada pihak (satu atau beberapa negara) ketiga khususnya yang secara geografis berdekatan dengan Iran. Jika alasan di atas belum cukup mendukung logika bahwa solusi militer bukan sebuah keputusan yang bijaksana, maka masih ada pertimbangan lain. Argumentasinya bukan saja karena akurasi infor-

197

198

masi terhadap kemampuan nuklir Iran dan tingkat ancamannya terhadap kompleks dan tirai keamanan regional masih dipertanyakan, tetapi juga berpotensi memperkecil peluang terciptanya perdamaian di Timur-Tengah. Selain itu, aksi militer tadi tidak saja akan menghancurkan Iran tetapi juga bisa menguras kemampuan ekonomi dan militer AS yang pada gilirannya menurunkan leverage internasionalnya karena kedua sektor di atas adalah sendi penopang hegemoni global AS di tengah kemunculan, misalnya, Cina sebagai kekuatan dunia yang baru. Masih dalam kerangka realpolitik tetapi pada level individu, eskalasi dalam isu nuklir Iran juga memberi keuntungan di kalangan elit masing-masing pihak. Setiap kali fluktuasi isu ini mencapai titik kritis maka harga minyak bergejolak. Meskipun induksi ini agak konspiratif tetapi kenaikan harga tadi jelas menguntungkan Iran dan jaringan neocons di Gedung Putih yang juga memiliki kepentingan bisnis dalam konglomerasi minyak dan militer dunia. Lagipula bagi masing-masing pihak, memposisikan dan melestarikan ketegangan ini pada level yang krusial kelihatannya berdampak positif terhadap dukungan dan popularitas baik secara internal maupun eksternal, serta meningkatkan minat negara-negara tetangga Iran untuk membeli senjata menghadapi ancaman Teheran. Misal, nilai transfer senjata AS ke kawasan itu naik sekitar 20% dari tahun 2004 ke 2005 (Federation of American Scientists, 2005). Di pihak lain, Iran baru saja menandatangi kontrak pembelian alutsista baru terutama rudal daratke-udara dari Rusia. Akan tetapi, pada titik ini pula yang dituntut adalah kearifan di semua pihak bahwa di balik kepentingan individu dan masingmasing negara dengan kacamata realisme yang pesimistik, justru terdapat kepentingan regional dan internasional yang jauh lebih besar.
(Dimuat dalam Kolom Opini Harian Padang Ekspres, 31 Mei 2006)

41. INDONESI IN STERKERE POSITIE?


Gunaryadi, 7 Juni 2006

et recente bezoek van de Amerikaanse minister van Defensie, Donald Rumsfeld naar Indonesi verlengt de zogenaamde high-profile bezoeken vanuit de bevriende naties. In maart bezocht de Amerikaanse minister van Buitenlandse Zaken Condoleezza Rice Jakarta en ze werd gevolgd door de Britse premier Tony Blair. In april waren de Nederlandse premier Jan Peter Balkenende, de Slovenische minister van Buitenlandse Zaken, Dimitrij Rupel, en de Amerikaanse ex-onder minister van Defensie (de huidige president van de Wereld Bank) Paul Wolfowitz op bezoek in Jakarta. Een maand later kwamen de Iranse president Mahmoud Ahmadinedjad en de Palestijnse minister van Buitenlandse Zaken Mahmoud al-Zahar. Begin juni ontving het land de Nederlandse minister van Economische Zaken, Laurens-Jan Brinkhorst en de Cubaanse minister van Buitenlandse Zaken, Felipe Prez Roque. Eind juni is het verwacht dat de Indonesische president Susilo Bambang Yudhoyono in Indonesi de Australische premier John Howard te ontvangen. Vele nemen die bijna onaanhoudende bezoeken aan als een indicatie dat de positie van Indonesi opsteeg. Intensiteit of frequentie van een staatsbezoek impliceert zijn ur-gentie. Bovendien zijn sommige van de leiders en degenen een hoog ambt bekleedden die op het bezoek waren in het algemeen repugnanten qua hun ideologische en politieke verhoudingen of belangen. Het lijkt dat de commentatoren deze conclusie trekken om te bewijzen dat de internationale leverage van Indonesi stijgt naar een hoger mate. Maar de geldigheid van deze veronderstelling moet in een zeer relatieve of categorische zin beschouwd worden. Om te bepalen op welke plaats Indonesi is in het mondiale structuur kan men kwantitatieve en kwalitatieve indicaties gebruik maken. Enerzijds zijn de kwantitatieve criteria de absolute vermogen

199

200

van een staat. In deze criteria worden de staten gerangschickt volgens bepaalde schalen zoals territoriale grootte, bevolking, BBP, inkomen per capita, militaire begrotting en strijdmach-ten, energie reserve en consumptie, industrile producten, aandeel in het globale handel, kern-wapens en tactische arsenalen, strategische middelen, enz. (M. Handel, 1981). In deze criteria worden de staten gekwalificeerd naar grootmachten, sterke staten, medium machten, minor staten, and ministaten. Anderzijds zag men in de kwalitatieve criteria dat het materile vermogen van de staten moeten door de psychologische en relationele prisma gezien worden (J. Stoesinger, 1973). Die psychologische aspecten zijn de bezitten om het buitenlandse beleid te kunnen mobiliseren. Deze bestaan uit de kwaliteit van de nationale leiderschap en moreel, en de karakter van de natie. Een accumulatie van deze factoren kan benvloeden hoe een staat in de internationale arena zich zou projecteren. De overtuiging dat een staat een berschermer is van de morale, politieke en godsdi-enste waarheden zou een bron van inspiratie zijn voor een natie of haar leiders om een actie te nemen of de ambities van het buitenlandse beleid te rationaliseren. Verder kan, in het kader van internationale betrekkingen, een staat of regio naar een hoog positie in de kaart van het buitenlandse beleid geplaats wanneer zulke entiteit twee criteria kan ver-vullen. Ten eerste, als een staat een significant economische and strategische waarden bezit. Ten tweede, als dergelijke entiteit een bedrieging voor andere staat of regio wordt gezien. Als een staat deze twee criteria tegelijk vervult, wordt de positie nog belangrijker maar wel in de vijande-lijke zin. Allen in deze zin kan mens zeggen dat de bargaining positie van Indonesi in het globale politiek gaat wat omhoog. Alhoewel neemt de positie toe, moeten we de stijging waarschijnlijk beter beschouwen niet als een puur resultaat van een actieve andeel van Indonesi maar eigenlijk meer door de veranderin-gen in de structuur van de wereld orde. Na het einde van de Koude Oorloog tot een paar decen-nia later zijn er twee het meest belangrijkste globale kwesties in het kader van hegemonie die als externe determinanten van het buitenlandse beleid van Indonesi vormen d.w.z

welke staat de huidige dominante positie van de VS zou innemen als de grootmachtgebaseerd op de long-cycle theorie van G. Modelski (1987) over de successie van de werelds grootmachten, en de strijd tegen het terrorisme. Bij de eerste kwestie hoe dan ook de ondergang van de Koude Oorloog wijst op het langzamer-hande afnemen van het Amerikaanse vermogen om haar hegemonie vol te houden. De postulaat van de realpolitiek die nagenoeg identiek is met de theorie van Archimedes verluidt dat als de macht van een hegemonie daalt, betekent dat de dalende macht wordt uitgehaald door of ver-deeld tussen de nieuwe opkomende grootmachten. Velen hebben EU, India, Rusland en China op tafel gezet als kandidaat opvolgers. Tot een bepaalde mate is deze assumptie overeenstemd met de stelling over de conflicten tussen de grote wereldbeschavingen die door S.P. Huntington ooit populariseerde (Foreign Affairs, 1993). Omdat EU en India al binnen de loopbaan van de VS draain, blijven dus Rusland en China als de potentiale formidabele tegenstanders. Maar China lijkt als het sterkste rivaal te zijn omdat dit Aziatische land aan alle kwantitatieve en kwalitatieve eisen potentieel kan voldoen. Momenteel hanteren de Chinezen vakkundig een taktiek van de ineenduikende tijger of de geperfection-eerde strategien van de 2600 jaar oud Sun Tzus Krijgskunst om een open conflict met de VS te verhinderen. Om China te bedwingen zal de VS het nooit tolereren dat Indonesieen trouw bondgenoot in Zuidoost Azigroeit als een zwakke schakel binnen de veiligheid complex (security complex) die haar de tot nog toe hegemonie in Azi en de Stille Oceaan ondersteunt. En de VS zal het nooit toelaten dat Indonesi zomaar naar de loopbaan van China binnen loopt. In de tweede kwestie als het grootste Moslims land ter wereld is de positie van Indonesi aan het klimmen. Dit is wegens het feit dat de meesten van de opgepaakte verdachtendoor een of zon-der conspiratie of andere redenin antiterreur acties Moslims zijn of ze de daden met bepaalde leer van de Islam gerechtvaardigd hebben. Via het project van terrorisme berstrijding heeft Jakarta financiering, hulp en inlichtingen vanuit bepaalde globale machten binnengehaald.

201

Ver-volgens krijgt Indonesi te maken met intensieve lobbys om een deel te nemen in de Proliferation Security Initiative (PSI) die door president G.W. Bush in 2003 was gelanceerd om te voorkomen dat de massavernietigingwapens niet naar de terreurnetwerken zouden belanden. Zonder een opvallend manoeuvre rond het rand of naar het cirkel van de opkomende hegemoon of zonder de terrorisme berstrijding als een commodity draconisch te maken omdat deze strate-gie de onmisbare steunen van de Indonesische Moslims meerderheden aan de overheid kan on-dermijnen, moet deze relatieve sterkere regionale en internationale positie van Indonesi zorgvuldig en evenredig worden geleid. De geschiedenis informeert ons dat de regime verander-ingen in Indonesi en in vele andere ontwikkelingslanden gedeeltelijk zijn veroorzaakt door de mislukking van de zittende leiders in het lezen van wat de externe en interne veranderingen vragen.
202

(Dimuat dalam Kolom Artikel Kajian Strategis, Departemen Pertahanan Republik Indonesia, akhir Juni 2006)

42. JATUHNYA PEMERINTAHAN: KASUS BELANDA DAN KITA


Gunaryadi, 14 Juli 2006

anpa letusan senjata, siaga-satu, dan tidak ada demonstrasi besar-besaran di Den Haag, Kabinet Balkenende II resmi jatuh, 30 Juni 2006. Kondisi terburuk itu tidak bisa dihindari setelah partai kecil anggota koalisi D66 menarik dukungan dari Kabinet PM Jan Peter Balkenende. Koalisi Balkenende II ini terdiri dari Partai Kristen Demokrat (CDA), Partai Liberal (VVD) dan D66. Sebelumnya, Kabinet Balkenende I yang terdiri dari koalisi CDA, VVD, dan LPF (partai yang didirikan tokoh populis, Pim For-

tuyn) demisioner bulan Oktober 2002 akibat kisruh antara 2 menteri kabinet dari partai yang berbeda. Pemicu jatuhnya kabinet kali ini adalah akibat blunder yang bermula dari kebijakan Menteri Urusan Orang Asing dan Integrasi, Rita Verdonk yang menarik kembali keputusannya untuk mencabut kewarganegaraan anggota parlemen (Tweede Kamer) asal Somalia, Ayaan Hirsi Ali yang diduga memalsukan nama dan tanggal lahirnya ketika mengajukan izin tinggal di Belanda. Dalam kondisi normal di Belanda yang menggunakan sistem demokrasi parlementer, ketika kabinet jatuh, biasanya disusul dengan pemilu legislatif dalam jangka waktu 3 bulan. Dalam kondisi tersebut, kabinet menjadi demisioner dan lebih banyak berkonsentrasi menyiapkan pemilu berikutnya. Tetapi kali ini, tuntutan pihak oposisi agar kabinet demisioner berhasil ditepis oleh PM Balkenende dengan strategi rompkabinet atau kabinet dengan dukungan minoritas di parlemen tetapi dengan mandat penuh. Keberhasilan ini berkat mediasi oleh Ruud Lubbers, politisi senior CDA yang juga mantan Komisaris Tinggi UNHCR, sehingga melahirkan Kabinet Balkenende III. Kali ini, kabinet hanya diisi oleh CDA dan VVD, tanpa mitra yang lain. Praktis konstelasi Kabinet Balkenende III tidak jauh berbeda dari kabinet sebelumnya. Perubahan hanya terjadi pada 2 posisi menteri dan 1 jabatan deputi menteri yang ditinggalkan D66, yang diganti oleh 1 menteri dari CDA, 1 menteri dan 1 deputi menteri oleh politisi VVD. Pemilu disepakati untuk diadakan tanggal 22 November 2006. Lubbers mengingatkan agar kabinet yang baru untuk lebih bisa menahan diri. Wanti-wanti Lubbers itu wajar karena tanpa dukungan mayoritas di parlemen, Kabinet Balkenende III akan sulit mengambil kebijakan atau membahas isu-isu yang berpotensi tidak didukung oleh partai oposisi. Di balik keengganan PM Balkenende yang alih-alih mendemisionerkan kabinetnya tetapi malah segera membentuk rompkabinet, setidaknya terdapat 2 alasan utama. Pertama, Kabinet Balkenende III yang fungsional harus menyusun APBN 2007 (Prinsjesdag), September 2006. Hal itu berkaitan dengan trend perbaikan eko-

203

204

nomi Belanda pasca pemilu 2002 yang berhasil dibangun oleh Kabinet Balkenende sebelumnya. Masuk akal kalau pihak berkuasa keberatan melepaskan begitu saja masa panen ekonomi tersebut. Kedua, terbentuknya Kabinet Balkenende III berhasil memundurkan jadwal pemilu 2 bulan dari kelaziman sehingga tersedia cukup waktu bagi partai berkuasa untuk mempertahankan atau menambah perolehan suara mereka dalam pemilu. Mengapa? Karena menurut jajak pendapat dan hasil pemilu tingkat daerah beberapa bulan yang lalu, Partai Buruh (PvdA) yang saat ini menjadi oposisi diperkirakan bisa memperoleh suara terbanyak jika pemilu dipercepat. Andaikan PvdA dan koalisi kiri yang berkuasa, ada potensi mereka mengubah kebijakan yang selama ini diambil oleh koalisi CDA dan VVD seperti pengiriman misi keamanan dan rekonstruksi ke Uruzgan di Afghanistan yang disetujui secara mayoritas di parlemen 2 Februari 2006, atau pengadaan Joint Strike Fighter di mana Belanda juga terlibat dalam proyek pengembangan dan menominasi pesawat tempur canggih tersebut untuk menggantikan armada F-16 angkatan udaranya. Bagi Indonesia, dampak langsung dari kejatuhan Kabinet Balkenende II adalah pembatalan misi Deputi Menteri Bidang Pendidikan, Budaya dan Sains, Medy van der Laan dari D66 yang baru saja menginjakkan kaki di Jakarta membawa delegasi pejabat dan wakil berbagai lembaga budaya Belanda yang sedang berkunjung ke Indonesia. Karena Jumat, 30 Juni 2006 seluruh penerbangan ke Belanda penuh, baru keesokan harinya Van der Laan bisa pulang. Selain itu, diperkirakan tidak ada dampak yang serius terhadap hubungan Indonesia-Belanda yang saat ini semakin membaik. *** Fenomena perubahan politik domestik Belanda di atas menarik untuk dikaji secara komparatif dengan fenomena serupa yang terjadi di Indonesia. Variabel dalam perspektif komparatif ini mencakup hakikat perubahan, proses perubahan, budaya politik, dan partisipasi publik dalam proses perubahan politik. Keempat variabel itu saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lainnya. Dari aspek pertama, kita bisa melihat hakikat perubahan yang terjadi. Di Belanda, jatuhnya sebuah pemerintahan adalah hal yang biasa. Istilah yang tepat mendeskripsikan perubahan tersebut adalah

pergantian selera yang biasanya dipicu oleh kegagalan sebuah rezim memenuhi janjinya kepada publik. Kesempatan terbaik publik menghukum pemerintahan yang bermentalitas regent adalah dalam pemilu legislatif baik pada tingkat nasional maupun daerah. Sedangkan di tanah air, istilah yang sering digunakan adalah pergantian rezim atau pergantian orde. Yang dijatuhkan adalah sebuah sistem dan mesin kekuasaan, serta aparatusnya. Perbedaan di atas cenderung menyebabkan ketidaksamaan dalam variable kedua, yaitu proses perubahan. Berbeda dari jatuhnya sebuah pemerintahan di Den Haag, di Indonesia usaha untuk menjatuhkan sebuah rezim biasanya melalui pintu belakang, pemaksaan, aksi ekstra-parlementer, atau aksi subordinansi teknokrat atau birokrat. Ketika critical mass telah berhasil menjatuhkan sebuah rezim, barulah perubahan itu dipoles dengan celupan konstitusional. Mengapa jalur perubahan semacam ini sering digunakan? Karena proses perubahan melalui koridor konstitusional biasanya tertutup akibat pemahaman ltat, cest moi, di mana penguasa mengaggap dirinya identik dengan negara, atau negara adalah personifikasi dirinya. Efeknya, setiap rezim berusaha melanggengkan kekuasaannya, kalau bisa seumur hidup. Baru dalam proses pergantian ke pemerintahan SBY-JK bisa berjalan cukup dewasa dalam konteks demokrasi. Ketiga, kedua variabel di atas tidak terlepas dari perbedaan budaya politik. Pasca PD II hingga akhir 1960-an, secara sosiologis dan politik, masyarakat Belanda mengenal sistem pilarisasi (verzuiling). Dalam sistem ini, setiap kelompok masyarakat terpisah menurut golongan masing-masing. Setiap kelompok memiliki sekolah, fasilitas sosial, media, dsb., sendiri. Dalam konteks politik, pilarisasi itu terdiri dari 4 kelompok: Protestan, Katolik, Sosialis, dan Liberal. Pilarisasi ini menimbulkan budaya politik konsosiasionalisme (consociationalism), di mana pemerintahan dibentuk oleh para elit dari keempat pilar politik tadi (A.D. Lijphart, 1968). Meskipun liberalisasi, sekularisasi dan modernisasi akhirnya mengikis sistem pilarisasi tersebut dalam struktur sosial, tetapi dalam kehidupan politik, bekasnya masih terasa hingga sekarang.

205

206

Indonesia, secara umum juga mengenal pilarisasi ini. Walaupun masih perlu kajian yang lebih jauh apakah klasifikasi tersebut sebagai akibat kolonialisme Belanda, namun para pengamat politik Indonesia cenderung mendeskripsikan secara simplistik bahwa pilar-pilar yang mendukung budaya politik Indonesia adalah kekuatan Islam, nasionalis, dan militer. Meskipun pengkotakan semacam ini cenderung hitam-putih karena di antara ketiga pilar tadi terdapat berbagai irisan, namun secara empiris dan historis validitasnya cukup bisa diandalkan. Sisa-sisa pilarisasi di panggung politik Belanda ternyata mampu melesapkan perbedaan-perbedaan ideologis. Sedangkan di Indonesia, faktor ideologis ini masih menjadi isu sensitif, menyisakan sekatsekat perbedaan dan menghambat kedewasaan berpolitik multikultural. Di Belanda, politik tidak lagi masalah periuk nasi tetapi lebih merupakan arena bagi para politisi untuk mengaktualisasikan diri dan memberikan layanan. Di tanah air, aktivisme dalam kancah politik oleh sebagian politisi adalah untuk meraih kekuasaan yang diikuti kemudian dengan penguasaan akses dan sumber dana, pengaruh, fasilitas serta prestise. Fenomena ini jika ditinjau dari teori hirarki kebutuhan A.H. Maslow (1943) masih berupa kebutuhan defisiensi atau kebutuhan fisiologis, atau belum mencapai kategori pemenuhan kebutuhan psikologis. Mayoritas politisi Belanda adalah keturunan (pedigree) politisi juga atau berasal dari lingkaran atau klub lobby tertentu. Jadi, sudah ada semacam seleksi kualitas. Di Indonesia, dengan modal dengkul atau uit het niets seseorang bisa bermain di dunia politik. Sistem politik yang dibangun oleh politisi dengan mentalitas demikian akan melahirkan budaya politik yang berusaha melestarikan kekuasaan yang sudah diraih. Pertama, untuk mempertahankan sumber-sumber daya tadi. Kedua, kalau pun terjadi suksesi, sistem yang baru sulit melakukan reformasi dan pemberantasan KKN karena dirongrong oleh elemen kekuatan lama, yang salah satu motivasinya adalah untuk menutupi dosa-dosa masa lalunya. Perbedaan budaya politik di atas, juga menyebabkan perbedaan dalam aspek partisipasi publik dalam proses perubahan. Di Belanda,

publik tidak begitu peduli dengan siapa yang berkuasa. Yang penting penguasa bisa memberikan jaminan sosial yang cukup baik. Efek dari kondisi semacam ini adalah munculnya apatisme dalam proses perubahan politik, kecuali kalau ada preseden yang sangat krusial yang berkaitan erat dengan kepentingan publik. Sedikit perubahan yang terlihat adalah kecenderungan munculnya politisi populis di Belanda khususnya pasca 11 September 2001. Saat yang ditunggu oleh politisi yang kharismatis adalah menjelang pemilu. Pasca 11 September, isu-isu yang berkaitan dengan keamanan atau ancaman terorisme cukup mempengaruhi syaraf emosi para elektorat. Dalam konteks inilah bisa dikatakan partisipasi publik cukup signifikan dalam perubahan politik meskipun masih bersifat pasif. Di Indonesia, representasi partisipasi publik cukup tinggi dalam proses perubahan. Hanya saja, publik di sini lebih merupakan floating mass yang hanya dijadikan instrumentasi perubahan oleh para elit. Publik yang dikorbankan itu pada akhirnya termasuk pihak yang tidak menikmati perubahan. Apakah partisipasi tersebut karena politik uang, kasak-kusuk, atau provokasi, biasanya keterlibatan publik tersebut berujung anarkis atau politik main-kayu. Dari penelusuran komparatif ini, tampaknya kita masih perlu belajar agar kita semakin dewasa.
(Dimuat dalam Gunaryadis Pages on Asia-Europe Relations and Global Issues, pada: http://gunaryadi.blogsome.com, 23 Juli 2006)

207

43. KORVET CANGGIH, KEKUATAN LAUT INDONESIA DAN GEOPOLITIK REGIONAL


Gunaryadi, 17 September 2006

208

enulis agak merinding menyaksikan 2 dari 4 korvet SIGMA-class yang dipesan TNI-AL di dok-kering milik Schelde Naval Shipbuildings di Vlissingen. Betapa tidak, kapal yang dibangun di bawah koordinasi dan supervisi Satgas Yekda Korvet TNI-AL di Belanda tersebut, berdiri gagah dalam tahap sentuhan-akhir yang secara resmi diberi nama KRI Diponegoro (365) dan KRI Hasanuddin (366) oleh Menhan Juwono Sudarsono, 16 September 2006. Kehadiran korvet ini membawa secercah harapan memperkuat armada TNI-AL. Meskipun sudah termasuk too little, too late, kehadiran 4 kapal patroli dengan daya-jelajah green-water serta dayapukul memadai itu cukup menggembirakan. Dengan dimensi panjang 90,71 meter dan lebar 13,02 meter, kapal yang didesain modern dan memiliki karakteristik siluman (stealth) itu mampu melaju dengan kecepatan maksimum 28 knot. Untuk menghadapi ancaman permukaan, udara dan bawah-air, korvet tadi dilengkapi dengan alutsista standar di kelasnya. Diantaranya mencakup rudal permukaan-ke-udara Mistral, rudal anti-kapal Excocet MM40, kanon atomatis Melara kaliber 76 mm, senapanmesin Vector12 kaliber 20 mm, torpedo 3A 244S Mode II/MU 90, decoy TERMA SKWS, serta berbagai instrumen pengindera-dini yang canggih, termasuk sebuah helipad di punggungnya. Meskipun kapal ini memiliki kemampuan tempur, tetapi misi utamanya akan difokuskan untuk menjaga keutuhan wilayah, kekayaan maritim dan dasar laut, patroli perairan, menangkal penyelundupan, bajak laut, pencurian ikan, operasi penyelamatan, dan penegakan hukum di wilayah laut Indonesia. Melihat dari dekat membuat kita yakin bahwa desain dan visi pembangunan kapal dengan harga-dasar sekitar 140 juta ini adalah

untuk menjawab tantangan dan ancaman maritim hingga 25 tahun ke depan.


Memprihatinkan: Kekuatan Laut Kita

Kita tidak bisa membantah realita bahwa Indonesia adalah negara maritim yang terdiri dari hampir 20.000 pulau, 93.000 kilometer per segi laut-pedalaman, dan luas wilayah keseluruhannya menurut Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mencapai 7,9 juta kilometer per segi. Klaim luas terakhir ini tidak terlepas dari prinsip wilayah Indonesia yang mencakup tanah dan air, serta doktrin kesatuan politik dan keamanan nusantara (archipelagic). Sebagai negara terbesar di ASEAN, bagaimana postur kekuatan alutsista TNI-AL kontemporer diukur dari kekuatan kapal? Saat ini TNI-AL memiliki kurang dari 200 kapal dari berbagai jenis. Padahal kebutuhan minimal kita adalah 300 kapal; kebutuhan normalnya 1.000 kapal; dan kebutuhan idealnya 2.000 untuk memantau dan mengawal seluruh titik wilayah laut Indonesia. Dengan kekuatan yang ada saat ini, kekuatan laut kita sangat memprihatinkan. Dengan selesainya korvet keempat 2009 nanti masih belum begitu signifikan menambah kapabilitas kuantitatif TNI-AL karena sudah banyak pula kapal berusia lanjut yang perlu diganti.
Geopolitik Regional

209

Dengan penduduk lebih dari 200 juta, kondisi geografis Indonesia yang membujur di persilangan 2 samudera: Hindia dan Pasifik, serta kekayaan laut dan dasar laut melimpah, negara ini memiliki nilai yang sangat strategis. Pertanyaannya sekarang adalah seberapa jauh signifikansi geopolitis tadi didukung oleh postur kekuatan maritim kita. Dibanding rasio wilayah laut yang harus dikawal, kekuatan laut Indonesia berada di bawah Thailand, Malaysia, Singapura, dan ketinggalan jauh dari Australia. Secara teknologi, armada laut negaranegara tetangga tadi juga lebih maju dan mutakhir. Disamping itu, dari sisi anggaran pertahanan, magnitude kemampuan kita masih kecil.

210

Padahal potensi ancaman maritim sangat besar. Dari sisi pencurian ikan saja, sebelum 2004 Indonesia kehilangan sekitar Rp 36,5 trilyun per tahun. Dengan kebijakan yang lebih tegas, akhirnya kerugian negara berhasil ditekan menjadi sekitar Rp 18,2 trilyun per tahun. Sedangkan menurut International Maritime Bureau (IMB), dari 445 serangan bajak-laut terhadap kapal komersial tahun 2003, 121 terjadi di wilayah laut Indonesia. Dalam perompakan yang paling sering terjadi di Selat Malaka itu, 20 pelaut terbunuh, 350 disandera, dan 70 hilang. Belum lagi ancaman navigasi, pencurian benda arkeologi laut, penyelundupan kayu gelondongan, BBM dan manusia, penyebaran senjata pemusnah-massal, kerusakan lingkungan laut, serta sangketa pemilikan pulau dengan beberapa negara tentangga. Mengingat posisi geopolitis, potensi ancaman, dan kekuatan laut Indonesia saat ini, seyogyanya peningkatan armada laut dan maritim kita hingga mencapai kapabilitas green-water navy, mendapat prioritas mendesak. Konsekuensinya adalah penambahan alokasi anggaran, peningkatan performa personil dan kerjasama dengan elemen hankam lainnya. Dalam konteks peningkatan kapabilitas maritim tadi, pembangunan korvet yang sedang berlangsung tersebut adalah kebijakan yang sangat tepat dan strategis. (Dimuat Harian Padang Ekspres, 11 Oktober 2006)

44. IS INDONESIAS NAVAL BUILD-UP A REGIONAL THREAT?


Gunaryadi, 24 September 2006

rom 2004 through 2009, Indonesia would receive four new SIGMA-class corvettes. This prestigious project is being done at a naval dockyard in Vlissingen, the Netherlands. After a delayed vacuity this new phase of building

naval vessels abroad reflects a substantially visionary outlook. The escort and patrol ships project which is designed to face naval challenges of at least for two decades ahead, increases self-reliance and diversified sources of armaments, and the contract strategy is devised to avert any threat of arm embargo. A glimpse look at the prelude of the 2nd World War affirmed the military race leading toward the war was warmed-up by the building of naval ships. Thats why what Indonesia of 225 millions people is doing could potentially spark regional concerns. However, Indonesias neighbours need no to worry of any threat or provoked into the trap of arm race. The first reason why it is not a regional menace is simply because the nature of the build-up. It is a relative improvement of Indonesias naval capability as the new ships are more appropriately to substitute the timeworn ones. This acquisition is diminutive compared to the period Indonesia acquired naval weaponries from the Soviet Union in 1960s. Secondly, it is about the budget and the current stance of regional naval power. Indonesias military expenditure is still low. Compared to its immediate neighbours, Indonesias budget was smaller than Malaysia, Thailand, Singapore, and much less than Australia. This would restrict its purchasing power of military hardware. Building a single corvette without armaments could cost about 140 millions each. Besides, naval capabilities of those Indonesias neighbours are more cutting-edge, and the ratio of vessels per territorial waters they should guard is more than sufficient. Thirdly it is ideological and reality. Indonesia is a maritime country. No other countries understood the concept of tanah air (land and sea) when referring to its territory like what Indonesia did. It lies on a strategic position spanning along key sea lanes from Indian Ocean to the Pacific and inversely. The enormous size of this archipelagic nation including the exclusive economic zone (EEZ) is up to 7.9 million square kilometres, with inlands seas covers 93,000 km2. Indonesia based its EEZ 200-nautical mile claim upon the doctrine of the political and security unity of archipelagic land and seas.

211

212

Indonesia requires adequate naval capacity to protect and defence its nearly 20.000 islands and extensive territorial stretch, huge marine and geological resources within the EEZ, and guarantee the implementation of rules of law in its territory. Such ideology and defence doctrine obliges that Indonesias naval build-ups are solely for defensive and deterrence purposes. Adding with just 4 corvettes is too little and too late to perk up the physical posture of Indonesias current naval muscle. How strong should it be? And how is its current capability? An ideal figure of naval vessels of all types Indonesia needs for above purposes would be around 2000; a normal necessity would be 1000; and a minimum need is about 300. It is expected that with the normal capability, the current blank-spots in Indonesias waters could be covered and guarded. Therefore, with fewer than 200 vessels Indonesias existing capability is far from satisfying. Even when the normal or ideal capacity of naval power is reached where it possesses green-water navy capabilities, it is hard to believe that Indonesia would metamorphose to be an aggressive nation which ready to swallow its neighbours. What are the antecedents? First, it is simply historical. Strong militarythe navy in this casein Indonesian history has been by no means a threat to its neighbours. It is true in the 60s there were military skirmishes against the Dutch in West Papua and Federation of Malaya, and integration of East-Timor to Indonesia. Yet, they were basically the effects of postcolonial disputes, and internal political struggle under the mood of Cold War. It is true that in the early 1990s, Indonesia also faced other territorial disputes including that of with Australia over the rights to the continental shelf off the coast of Timor. This was solved by the Timor Gap Treaty and eventually came under the Timor-Leste jurisdiction. Another dispute was the claims to the Spratly islands in the South China Sea. Yet, Indonesias involvement in the conflict is more in mediating roles. While Malaysia severed the islands of Sipadan and Ligitan from Indonesia, nevertheless, their loss was after a legal battle at the In-

ternational Court of Justice in The Hague. The current dispute with Malaysia is over the Ambalat island. Potential conflicts might as well arise concerning the islands of Rondo in Sabang; Berhala and Nipah (with Singapore) in the Malacca Straits; Sekatung (with Vietnam) of Natuna; Marore, Miangas, Beras in Papua, and Pasir in southern East Nusatenggara. There is a big chance the naval crafts would be deployed around the waters of the disputed territories. However, Indonesia seemed to prefer seeking peaceful solution instead of using force until the latter choice becomes inevitable. Second, it is based on political reality. Indonesia emerged from a colony. It is strictly rare a former colonised nation would adopt aggression against or occupy others. Against this backdrop, Indonesia supports other nations for independence and actively participates in UNs peacekeeping missions. Moreover, in the Era Reformasi, it would be unlikely a political process in Jakarta would yield an aggressive foreign policy. Considering the fact that the pace of naval armament acquisitions of Indonesias neighbours has been much faster, and recognising other aspects discussed above, Indonesias neighbours should not worry. Finally, in the light of post 9/11, strong Indonesias naval power would be valuable to improve the security of its dangerous sea lanes prone to pirating, smuggling, and spread of WMD which also means contributing to advance regional security and stability.
(Dimuat dalam Gunaryadis Pages on Asia-Europe Relations and Global Issues, pada: http://gunaryadi.blogsome.com, 24 September 2006)

213

45. INDONESIA-EU HIGHER EDUCATION PARTNERSHIP: OPPORTUNITIES AND IMPEDIMENTS


Gunaryadi, 25 Oktober 2006

214

he international competitiveness of Indonesias higher education has been quite alarming. From the Academic Ranking of World Universities 2005 of the Shanghai Jiao Tong University, no Indonesian university listed in the best 100s. In 2000, Asiaweek placed Bandung Institute of Technology merely at the 21st and Indonesian University at the 61st. Concurrently a list made by the Webometric indicating the commitment to publish in the cyberspace, only the Bandung Institute attained the Asias 49th or the worlds 707th. Despite the methodology and indicators used in constructing the matrixes were contentious, nonetheless, they indeed reflected that the collective competitiveness of Indonesian universities was lagging behind. Numerous factors generated such dawdle. One of them was the capability to initiate and maintain cooperation with international counterparts as surviving in this globalised higher education the network and cooperation with international partners are inevitable. A strategic partnership that should be developed is with the EU higher education institutions. Why the supranational Union matters in this field? Avoiding the controversial category of EU as an international actor, it is a fact that it has been the worlds largest and the most advanced regional bloc. The quality of higher education and researches has been a crucial pillar that supports the sustainability of European economic competitiveness. Furthermore, since 1 May 2004 the Union was enlarged with 10 new members, which also implied an increasing opportunity for education cooperation.
Contexts and cooperation opportunities

The EU recognised the importance of maintaining its long-term and comprehensive strategic relations with Asia for its economic, political, and security interests. The partnerships in-cluded the collaborations in higher education and training sectors. Indonesia-EU higher education cooperation could be placed in the framework of interregional and multilateral relations because there has been no bilateral channel between the two. H. Hnggi

(2000) classified those into three types: (1). inter-regional relations; (2). biregional and transregional relations; and (3). relations between a regional bloc with a single state. To assess the opportunities, Hnggis typologies must be modified into Model 2 (ASEM initiatives), and the combination of Model 1 and Model 3 (European Commission, Asian countries). In these contexts, the cooperation is concentrated on Indonesias participation in the Asia-Europe HubsEducation and Research Network (AEHEARN) agreed through the ASEM and managed by ASEF (Model 2); and Jean Monnet Chair Projects, Asia-Link and Erasmus Mundus (Models 1+3). In Model 2, from 15 Asian institutions that managed to register, provided scholarships and facilities for students exchanges through AEH-EARN, until 2004 no Indonesian universities participated. In Model 1+3, virtually comparable to the case of the AEHEARN, up to 2002 the Jean Mon-net Projects had involved no Indonesian universities. Only in the Asia-Link scheme, Indonesia has been well represented. Even in 2002-2005, it quantitatively occupied the 5th place out 16 participating countries, with 22 projects or a level above Malaysia. Meanwhile Indonesias involvement in the Erasmus Mundus since 2004 was proportionally represented. In 2005-2006, 14 Indonesian students participated, plus an Indonesian among the 133 scientists. In the same period 10 Indonesian students and scientists were also selected under the Asian Window Erasmus Mundus out of 353.
Sources of impediments

215

Generally speaking, from the three indicators above, there was a sort of gap between the opportunities and Indonesias ability to gain optimum benefits. The sources can be perceived from two levels of analysis, namely at the first level (individual, institution), and second level or state level (system, national higher education policy, bureaucracy). Other sources were cultural and structural. The cultural ones comprised the attitude, motivation, network, access to information, and the ability to respond to bids of collaboration from EU. In con-

trast, the structural impediments were related to national higher education policy, timeworn infrastructures, and budget allocation as most of the projects were subsidiary in terms of funding. At the individual level, the extent of individual and institutional optimum readiness and capacity to initiate and organise such cooperation is still questionable. At the state level, the significant structural factors are nearly identical with that of at the individual level although it can be regarded as more established in terms of system and policy. From legal aspect, for instance, the basis for cooperation with EU has been supportive. Indonesia has enacted the Government Regulation No. 60 of 1999 on higher education, and Decision of Minister of National Education No. 223/U/1998 concerning cooperation between higher education institutions. And even the Framework for Longterm Higher Education Development 2003-2010 also explicitly stated the urgency to cooperate with international partners.
216

Some suggestions

It is undeniable that maintaining cooperation with international partners, in this case with EUs universities and institutions is very useful, urgent and strategic in the context of globalisation in education. The network yielded through such collaborations will push the improvement of human resources quality, building infrastructures, improving regional and global competitiveness, and could help relieving the burden of Indonesias education budgets. From the funding perspective, through the Asia-Link alone, the collaborative projects involving Indonesian institutions in 2002-2005 valued over 10 millions where about 68% funded by the European Commission. It did not include the economic values of AEH-EARN, Jean Monnet and Erasmus Mundus projects that could not only contribute in easing budgetary load but also help building human resources capacity, sharing expertises, and expanding the net-work outreach. A trend in globalisation is that the more integrated market and economy. It means that Indo-nesian universities graduates who aspire to penetrate the global markets should acquire inter-national

competency. Therefore it is urgent for Indonesian universities to work out the competence compatibility with EUs partners such as through credit transfers in order to obtain recognition and helpful in students exchange programmes. To bridge the gap, the opportunities should be maximised with synergy. For that purpose, some concrete steps should be considered, including: first, visibility on EU should be improved at both individual and state levels. Conceptualisation or knowledge on the Union in Indonesia is still generally hazy. A knowledge-based international cooperation is believed to generate better outcome. Second, Indonesia should focus on capacity-building to intensify and harmonise the cooperation opportunities with EUs partners, both through individual and state levels (Directorate General of Higher Education or Dikti). At individual level, Indonesian universities should be more outward-looking. From such mentality reform, each institution should prepare a robust team with satisfactory competence and autonomy to design and manage the collaborations. Third, parallel with the spirit of autonomy in education sector, Dikti should establish a focal point which specifically provides services and assistance to Indonesian universities by distributing information, intensifying the communications, and building the universities capacity to enlarge their chance to win a collaboration bid. Next, without overlooking the importance of other countries, region, or bilateral cooperation with EUs member states, Indonesian universities and Dikti should intensify their lobbying and communications with the Delegation of the European Commission to Indonesia in Jakarta. It should include exploring the opportunities to diversify the scopes of cooperation e.g. within the new 7th Research Framework Programme. Finally, Indonesia should increase the number of students, lecturers, and researchers to study in EU countries. This is important and strategic to establish better networks, contact persons, and facilitators for future equal-footing cooperation in the framework to accelerate achieving the goals of Indonesias national education.

217

(Dipublikasikan dalam EurAsia Bulletin Vol. 10 No. 9 & 10 September-Oktober 2006, European Institute for Asian Studies, Brussel)

46. MENYIGI ISU KORUPSI DI BELANDA


Gunaryadi, 28 Oktober 2006

D
218

i Tanah Air, memberantas korupsi telah menjadi isu sentral pasca Reformasi 1998. Pada saat kampanye pilpres, bahkan ketika menyampaikan keterangan pemerintah atas RUU APBN 2007 dan nota keuangan dalam sidang paripurna DPR (8/2006), Presiden SBY kembali menegaskan komitmen pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap pemberantasan korupsi. Namun penilaian publik berbeda. Tahun kemarin, pengamat sospol Unand, Damsar, mengatakan sudah waktunya Presiden SBY memberikan bukti konkrit karena yang dituntaskan masih kasus kelas-teri. Kemudian, mantan Ketua MPR, Amien Rais, mengingatkan Presiden SBY bahwa janjinya untuk memimpin langsung pemberantasan korupsi masih suam-suam kuku. Transisi dari rezim otoriter menuju keterbukaan serta himpitan krisis multidimensi wajar membuat ekspektasi publik melambung tinggi menuntut perbaikan yang cepat dan substantif. Apalagi kepercayaan publik terhadap integritas pemeritah tergantung pada kapabilitas pemerintah memberantas korupsi karena rakyat kecil yang menanggung dampak terberat. Padahal publik tersebut akan menjadi elektoral yang menentukan wajah pemimpin Indonesia pasca 2009. Persoalan korupsi bukan masalah Indonesia saja, tetapi juga persoalan global. Korupsi telah merasuki hampir semua lini kehidupan kita. Menurut estimasi Free World Academy tahun 2004, nilai korupsi dunia mencapai sekitar $ 700 milyar (Rp 6.449 trilyun), di mana lebih separuhnya termasuk dalam kategori petty corruption (pungutan yang dibayar wong cilik kepada pegawai rendahan untuk kelancaran urusan, perlindungan keamanan, dsb), dan sisanya dalam kategori grand corruption (penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat untuk memperkaya diri sendiri).

Kini korupsi bukan endemik di negara berkembang semata, tetapi juga di negara-negara maju. Bahkan pendiri Transparency International, Peter Eigen menegaskan bahwa negara maju tertentu tidak pantas menceramahi negara-negara tentang berkembang bagaimana menciptakan pemerintahan yang bersih dan berintegritas karena mereka juga ditimpa penyakit serupa.
Praktek dan Kasus Korupsi di Belanda

Belanda termasuk negeri yang relatif bersih dari korupsi. Tahun 2005, Belanda menempati urutan ke-11 dalam Corruption Perception Index, sementara Indonesia berada pada posisi ke-137 dunia. Tetapi matriks CPI di atas bersifat perseptif sehingga kurang mampu mengukur hakikat dan magnitude korupsi itu sendiri sehingga berimplikasi bahwa Belanda tetap tidak terbebas dari korupsi bahkan sejak beberapa abad lalu. Salah satu penyebab runtuhnya Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), multinasional terbesar di zamannya, adalah korupsi karena terjadi particuliere handel di mana pegawai VOC yang sudah digaji namun berusaha memperkaya diri memanfaatkan aktivitas perdagangan VOC. Tahun 1995, parlemen melakukan investigasi terhadap kasus impor narkoba dalam jumlah besar oleh pihak kepolisian Belanda. Alasan polisi adalah untuk mengetahui siapa selama ini di balik pengiriman dan perdagangan narkoba di Belanda. Ternyata aksi tersebut tidak berhasil menemukan pelakunya dan narkoba yang diimpor akhirnya tidak diketahui rimbanya. Setelah diusut ternyata aksi polisi tersebut dibiayai oleh kelompok mafia narkoba Belanda. Tahun 2000, seorang Mendagri mengundurkan diri setelah dituduh menilep uang negara untuk kepentingan pribadi ketika ia menjabat walikota Rotterdam. Tiga tahun berikutnya, sebuah investigasi parlemen menemukan bahwa perusahaan-perusahaan konstruksi raksasa membagi-bagi pekerjaan di antara mereka saja, bersepakat terhadap tender tertentu, dan memberikan kompensasi kepada perusahaan yang bersedia mundur dari tender. Usaha mereka ternyata didukung oleh dokumen aspal melibatkan birokrat (orang dalam).

219

220

Setahun lalu, harian NRC Handelsblad memberitakan bahwa 2 dari organisasi donor Belanda (Rode Kruis dan Novib) mengalirkan sekitar 250 ribu (Rp 2,9 milyar) dana bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Kosovo ke kantong sendiri. Baru-baru ini 14 perusahaan besar didenda Uni-Eropa sebesar $ 338,3 juta (Rp 3,1 trilyun) karena melakukan penyimpangan dalam penjualan bahan baku aspal (bitumen) kepada kartel konstruksi Belanda dalam kurun 1994-2002. Dalam prakteknya, anggota kartel bisa membeli bitumen dengan harga yang lebih murah daripada perusahaan yang bukan anggota kartel. Sebuah penelitian internasional terhadap korupsi di dunia usaha di Belanda menemukan 46% dari perusahaan responden mengaku dalam 5 tahun terakhir kalah dalam tender karena pesaingnya membayar uang pelicin kepada pemberi proyek (Radio Nederland Wereldomproep, 9/10/06). Contoh kasus di atas tidak merupakan daftar yang lengkap. Secara kolektif, dibandingkan nilai dan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan, kasus-kasus tadi jauh lebih kecil dibanding kasus korupsi kelas-kakap di Tanah Air. Dari perspektif kualitatif pun, kasus korupsi di Belanda masih lebih kecil dibanding di Indonesia. Mengapa demikian? Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, Belanda adalah negeri kecil, dikelola secara efisien, tingkat kesejahteraan tinggi dan jaminan sosial sangat baik sehingga sedikit orang yang tergiur korupsi. Kalau pun ada kasus korupsi, akibatnya terhadap kesejahteraan masyarakat tidak begitu terasa. Kedua, korupsi di Belanda agak sulit diungkapkan karena masalah pendapatan (income) adalah hal yang sangat pribadi dan sensitif. Ketiga, penerapan hukum berjalan dengan baik dan independen. Keempat, wilayah politik Belanda yang bisa ditembus jaringan koruptor relatif masih terbatas. Di Tanah Air, jaringan tertentu bahkan bisa menggoyang sebuah rezim berkuasa jika berani melakukan pengusutan terhadap mereka. Kelima, korupsi sesungguhnya adalah sebuah gejala, bukan akar permasalahan. Akarnya terletak pada kultur masyarakat. Di Belanda,

integritas diri masih dihargai oleh banyak orang. Orang takut melakukan tindak korupsiselain karena gaji dan tunjangan sudah memadaiadalah rasa malu dan kehilangan integritas diri. Ini pertanda bahwa mekanisme sensor internal masyarakat masih normal.
Membabat Gaya Belanda

Pemberantasan korupsi berjalan baik meskipun berbagai hambatan. Di Belanda organisasi yang diberi wewenang penegakan hukum dalam isu korupsi ini adalah Rijksrecherche, cabang dari kepolisian yang melakukan investigasi secara independen dan obyektif, serta berada langsung di bawah Jaksa Agung. Sebagian besar investigasi dilakukan di kepolisian; sebagian lainnya dilakukan di kementerian, penjara, pemda provinsi, dan lembaga lainnya. Rijksrecherche memiliki unit intelijen khusus dengan tugas utama mendeteksi adanya tindak korupsi, dan didukung oleh 19 kejaksaan negeri. Sebuah studi yang dilakukan oleh Vrije Universiteit Amsterdam menyimpulkan bahwa setiap instansi di Belanda melakukan investigasi internal terhadap kemungkinan korupsi di lingkungannya (intern corruptieonderzoek). Setiap tahun terdapat 130 investigasi internal. Polisi dan kejaksaan melakukan sekitar 50 investigasi pidana tindak korupsi per tahun, yang rata-rata melibatkan 33 orang (penyogok dan yang disogok). Sekitar 90% di antaranya berujung dengan vonis. Namun sebagian besar hukumannya tidak berupa penjara tetapi denda atau hanya werkstraf. Disamping itu, Belanda juga menyelipkan pemberantasan korupsi di negara tertentu sebagai salah satu syarat untuk menjalin kerjasama pembangunan dengan Belanda, baik melalui saluran bilateral maupun multilateral. Dari kasus Belanda ini, barangkali kita bisa berkaca di mana simpul-simpul lemah dari upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
(Dimuat dalam Kolom Teras Utama Harian Padang Ekspres, 23 November 2006)

221

47. INTEGRASI KEBIJAKAN LUAR NEGERI EU: INSPIRASI BAGI INDONESIA DAN ASEAN
Gunaryadi, 4 November 2006
Prolog

222

ubungan luar negeri EU dilaksanakan melalui 2 mekanisme, pertama, Direktorat Jenderal Hubungan Eksternal yang berada di bawah Komisi Eropa; dan kedua, Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Bersama (CFSP). Institusi yang menjadi bagian Komisi Eropa bersifat supranasional yang otoritasnya berada di atas kewenangan negara anggota dan lebih banyak berkaitan dengan kerjasama ekonomi, sosial dan budaya. Sedangkan CFSP berada dalam ranah intergovernmental, di mana masing-masing negara anggota masih memiliki otoritas menentukan kebijakan luar negeri EU khususnya dalam isu-isu yang peka seperti politik dan keamanan yang berada dalam ruang politik adi-luhung (high politics). Yang dibahas dalam tulisan ini adalah kategori institusi yang disebutkan terakhir sebagai bagian dari integrasi EU. Dari CFSP ini, aspek yang dibahas difokuskan pada kebijakan luar negeri saja, dan tidak mencakup unsur keamanan dan pertahanan bersama, yang dikenal sebagai Kebijakan Keamanan dan Pertahanan Eropa (ESDP). Tulisan ini menggunakan pendekatan multi-perspektif yaitu historis, legal dan politis. Parameter historis merujuk pada evolusi kebijakan luar negeri EU. Dari sisi legal, analisis difokuskan pada transformasi traktat-traktat EU yang berimplikasi terhadap evolusi CFSP. Dan dari aspek politis, ulasan beranjak dari situasi dan kondisi politik yang secara spesifik memicu perkembangan CFSP. Analisis dalam tulisan ini dibagi dalam 3 bagian, yaitu (1). Evolusi CFSP; (2). Implikasi Konstitusi Eropa terhadap masa depan CFSP; dan (3). Pelajaran yang bisa diambil Indonesia dalam konteks integrasi regional ASEAN.

Evolusi menuju Kebijakan Luar Negeri Bersama

Aspirasi untuk bekerjasama dalam bidang politik dan keamanan di EU telah ada sejak awal pendirian Masyarakat Eropa (ME) yang kemudian menjadi EU. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mencapai cita-cita tersebut khususnya dalam tahun 1952 dan 1961. Impian itu dimotivasi pula oleh unsur eksternal. Diantaranya adalah keinginan Uni-Soviet untuk bisa menghadiri konferensi keamanan pan-Eropa. Inisiatif tersebut melahirkan Konferensi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (CSCE). Tahun 1969, Presiden Prancis, Pompidou, mengusulkan penyelenggaraan pertemuan puncak (KTT) untuk mendorong percepatan integrasi Eropa setelah satu dekade mengalami stagnasi. Pertemuan kepala pemerintahan dan negara tersebut diadakan di Den Haag tanggal 1 Desember 1969, yang menghasilkan sebuah komunike yang menugaskan para Menlu untuk mengkaji cara yang paling efektif agar tercapai kemajuan dalam unifikasi politik berkaitan dengan perluasan Eropa. Tahun 1970 Menlu dari enam negara anggota menindaklanjuti KTT di Den Haag itu di Luxemburg. Adopsi terhadap Luxembourg Report, melahirkan Kerjasama Politik Eropa (EPC) tanggal 27 Oktober 1970. EPC inilah yang menjadi lembaga pionir kerjasama politik EU yang waktu itu masih disebut ME. Di awal kelahirannya, EPC telah berhasil memainkan peranan yang cukup penting di arena internasional. EPC juga memiliki pengaruh yang krusial dalam menyeimbangkan hubungan blok Barat dan Timur pada masa tersebut. Usaha-usaha untuk bisa memperoleh posisi yang khusus dalam penyelesaian masalah Timur-Tengah juga semakin meningkat. Tetapi usaha menjalin kerjasama politik tadi gagal karena adanya perbedaan pendapat di antara negara anggota terhadap semangat dari kolaborasi yang diusulkan. Kelemahan lain dari mekanisme Luxembourg Report adalah tidak adanya batasan yang jelas antara integrasi ekonomi dan kerjasama bidang politik. Hal ini meresahkan Komisi Eropa. Untuk mengurangi ketidakjelasan tanggungjawab ini, bulan Mei 1972 Belanda mengajukan usulan agar dibentuk beberapa instrumen untuk menyatukan lembaga-lembaga EPC dengan ME. Menurut pihak

223

224

Belanda keterkaitan tersebut merupakan syarat awal perkembangan EPC lebih lanjut (S.J. Nuttal, 1992:72). Institusionalisasi EPC mengalami kemajuan dalam KTT di Kopenhagen tahun 1973. Usulan yang diajukan Belanda dan Belgia agar menambah frekuensi pertemuan tahunan antara menteri EPC dan Komite Politik Parlemen Eropa dari dua menjadi empat kali setahun disetujui. Belanda juga mendapat dukung atas proposalnya agar pejabat tinggi Kemlu dalam Komite Politik berperan menyampaikan dan menjelaskan kepada Menlu masing-masing tentang proposal yang diadopsi Parlemen Eropa terhadap agenda yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri. Dalam kerangka ini, jika ada isu yang bisa mempengaruhi kegiatan ME, perlu diadakan kerjasama dengan Komisi Eropa. Tahun 1974, Dewan Eropa diformalisasi untuk menyokong mekanisme pembuatan-keputusan bagi ME dan EPC. Perkembangan institusional ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan koordinasi antara ME dan EPC. Bulan Desember 1975 sebuah laporan tentang EU disampaikan kepada Dewan Eropa yang bertujuan meninjau kembalidalam makna yang luasinstitusi-institusi dalam ME untuk menjamin berjalannya integrasi ekonomi dan politik. Salah satu rekomendasi dalam laporan tersebut adalah penyertaan identitas pertahanan. *** Dalam tahun 1979 dan awal 1980-an dunia menyaksikan berbagai eskalasi seperti pemberlakuan keadaan-darurat di Polandia, invasi Kepulauan Falklands oleh Argentina, serta pendudukan Lebanon oleh Israel. Menghadapi krisis dan konflik internasional dalam periode tersebut ternyata mekanisme EPC kurang efektif. Tantangan eksternal tadi memperjelas keterbatasan EPC dalam memberikan respon yang sigap, terkoordinir, dan efektif terhadap krisis internasional. Realita ini mendorong negara-negara anggota untuk meningkatkan kesiapan mereka untuk menggunakan instrumen ME dalam implementasi kebijakan luar negeri dengan merevisi beberapa prosedur EPC dalam KTT di London bulan Oktober 1981. Penyesuaian tersebut, pertama, mencakup pengurangan agenda dalam pertemuan tingkat menteri berfokus pada isu-isu yang sangat

penting dengan rekomendasi yang seksama atau alternatif yang terdefinisi dengan jelas dalam agenda. Kemudian, mereka sepakat untuk meningkatkan taraf partisipasi ME dalam EPC dan pembentukan sistem Troika yang mewakili Komisi Eropa, ketua presidensi Dewan EU yang sedang menjabat dan ketua presidensi pada giliran berikutnya. Bagian terakhir ini menunjukkan adanya perkembangan organik dalam EPC untuk menjamin konsistensi subtansi dan proseduralnya. Pertemuan di London itu juga dengan resmi memperkenalkan aspek-aspek politik dari keamanan dalam agenda EPC untuk pertama kalinya. Tetapi, pada saat yang sama, pendekatan yang fleksibel dan pragmatis untuk menghindari reaksi negatif dari unsur proTransatlantisme (NATO) dalam ME tetap dijaga. Posisi ini tidak berubah dalam Deklarasi Khidmat EU yang disepakati dalam KTT di Stuttgart tanggal 19 Juni 1983 dengan menegaskan bahwa EPC bertujuan mengkoordinir posisi negara-negara anggota dalam aspek politik dan ekonomi. Kemudian sebuah komite dibentuk dan dipimpin oleh Senator James Dooge untuk menyusun proposal untuk meningkatkan kerjasama baik dalam bidang ME maupun kerjasama dalam bidang politik atau beragam kerjasama lainnya, yang diselesaikan dalam KTT di Dublin bulan Juni 1985. Kesimpulan dari laporan tersebut diputuskan dengan voting di mana negara anggota menyetujui diadakannya sebuah konferensi intergovernmental untuk mengamendemen traktat-traktat ME. Meskipun demikian, setelah menempuh beberapa rangkaian pertemuan dalam konferensi itu, para Menlu menyetujui teks final yang kemudian menjadi Akta Tunggal Eropa (SEA). Regulasi baru tersebut menempatkan EPC ke dalam Title III dari kesepatakan tadi meskipun Titel III itu tidak merupakan bagian yang integral dari traktat yang ada karena keberatan beberapa negara anggota untuk menempatkan kebijakan luar negeri ke dalam prosedur normal pengambilan-keputusan dalam ME. Dalam konteks ini, hampir semua keputusan diambil melalui konsensus, dan masing-masing negara anggota bisa bermanuver dengan bebas jika diperlukan, dan tidak ada regulasi yang dibuat dalam mekanisme EPC.

225

226

Tetapi SEA membawa angin segar yaitu kesepakatan untuk mendirikan sekretariat EPC yang permanen di Brussel. Unsur penting dari SEA adalah untuk saling berbagi informasi dan berkonsultansi dalam masalah kebijakan luar negeri yang relevan dengan kepentingan bersama dan untuk menjamin agar pengaruh bersama bisa digunakan seefektif mungkin melalui koordinasi, kesamaan posisi anggota terhadap isu tertentu serta implementasi dari aksi bersama. *** Sepanjang tahun 1988-1990, isu-isu ekonomi dan moneter mendominasi agenda utama ME. Hal itu menimbulkan kekuatiran bahwa trend tersebut bisa membuat lengah dari visi integrasi politik Eropa. Padahal pasca Perang Dingin, ME ditantang untuk memiliki identitas politik yang lebih mapan. Oleh karena itu, sebuah inisiatif diajukan oleh Helmut Kohl dan Franois Mitterrand dengan argumentasi bahwa diskusi lebih lanjut menuju Uni-Politik Eropa sangat mendesak meskipun berkonsekuensi membawa perubahan terhadap traktat yang ada. Langkah ini diikuti dengan instruksi kepada para Menlu negara anggota untuk menyiapkan bahan-bahan yang harus mereka presentasikan dalam KTT di Dublin bulan Juni 1990. Berdasarkan laporan tersebut, Dewan Eropa menyelenggarakan dua konferensi intergovernmental. Konferensi pertama bertujuan untuk menyiapkan proposal mengenai Uni-Moneter Eropa dan konferensi kedua bertugas mendalami opsi-opsi membentuk Uni-Politik Eropa sekaligus empat aspek dari uni-politik, penilaian kembali terhadap jati-diri internasional ME dan ekspektasi terhadap sebuah kebijakan luar negeri dan keamanan bersama. Konferensi uni-politik memulai tugas mereka tanggal 14 December 1990. Dalam paruh-pertama tahun 1991 kepresidenan Dewan EU dijabat oleh Luxemburg. Bulan April 1991, Luxemburg mengajukan sebuah draft kepada Intergovernmental Conference (IGC) agar struktur EU ditopang oleh tiga pilar sehingga diharapkan mampu menjaga struktur pembuatan-keputusan antar-negara yang khusus bagi EPC, dan struktur intergovernmental tambahan dalam urusan kerjasama kehakiman. Tanggal 1 Juli 1991, Belanda yang waktu itu memulai jabatan kepresidenan Dewan EU, membuat beberapa revisi terhadap

dokumen yang disusun di Luxemburg tadi dengan mengusulkan kerangka tunggal pembuatan semua keputusan, dan menghapus pendekatan tiga pilar. Tahun 1992 Traktat Maastricht atau dikenal juga sebagai Traktat Uni-Eropa (TEU) disetujui, yang tidak saja melahirkan organisasi baru yaitu EU tetapi juga menerima konsep yang diajukan Luxemburg yang memperkenalkan sebuah struktur yang berbasis pada tiga pilar: ME, CFSP, serta bidang Kehakiman dan Urusan Dalam Negeri. CFSP yang ditempatkan pada Pilar II mengkoordinasi negara anggota dalam satu bingkai politik yang mengikat dan mengimplementasikan kebijakan luar negeri dan keamanan bersama. Pasalpasal yang baru tersebut memberikan tanggungjawab politik kepada CFSP meskipun institusi ini masih berada di luar pengawasan dan kompetensi Mahkamah Eropa (ECJ). Pasal J.1. dari TEU menggariskan tujuan CFSP sebagai berikut: memelihara nilai-nilai bersama, kepentingan fundamental dan independensi EU; memperkuat keamanan EU dan negara anggotanya dengan cara yang efektif; melestarikan perdamaian dan keamanan internasional, sesuai dengan Piagam PBB, prinsip Akta Final Helsinki dan tujuan dari Piagam Paris; memajukan kerjasama internasional; membangun dan memantapkan demokrasi dan penerapan hukum, menghormati HAM dan kebebasan yang fundamental. Sementara itu, dari segi pembuatan-keputusan prinsip aklamasi tetap dipertahankan meskipun keputusan untuk melakukan aksi dari kebijakan luar negeri bersama di bawah payung CFSP bisa pula dilakukan melalui voting mayoritas bersyarat (qualified majority voting QMV). Karena ada penolakan dari beberapa delegasi, keputusan untuk menempuh metode QMV itu harus disepakati secara aklamasi. Dalam QVM ini, Dewan EU bisa mengambil keputusan kalau didukung oleh minimal 54 suara dan setidaknya oleh 8 negara anggota. Penggabungan kebijakan pertahanan ke dalam mekanisme yang baru membutuhkan kompromi antara pihak-pihak yang pro-Eropa

227

dan Aliansi Atlantik (NATO) dalam EU. Untuk mengatasi hal tersebut traktat memberikan wewenang kepada Uni-Eropa Barat (WEU) untuk merumuskan dan mengimplemetasi keputusan dan aksi EU yang memiliki implikasi pertahanan jika diminta oleh EU. *** Perjalanan TEU harus dievaluasi dalam IGC (N. Nugent, 2003:70) yang diatur secara spesifik oleh pasal N dari traktat tadi. Aturan tersebut pula yang mendorong IGC berikutnya tahun 1996 untuk menyiapkan Traktat Amsterdam. Traktat Amsterdam tahun 1997 lebih menegaskan kembali dari aspek modus mencapai tujuan prinsipil dari CFSP. Modus tersebut mencakup: merumuskan strategi bersama; menentukan aksi bersama; menentukan posisi bersama; memperkuat kerjasama yang sistematik antara negara anggota dalam penerapan kebijakan.
228

Traktat Amsterdam memperkuat pasal-pasal yang berkaitan dengan WEU dalam beberapa segi. Pertama, instrumen kebijakan dirampingkan tetapi cakupannya diperluas. Kedua, perluasan dari pasalpasal yang mengatur QMV dengan memperkenalkan mekanisme abstain konstruktif yang memungkinkan negara anggota untuk tidak menerapkan sebuah keputusan jika hal itu tidak diwajibkan oleh EU. Kemudian, penggabungan Petersberg Tasks ke dalam TEU, dan pembentukan Unit Perencanaan dan Peringatan-Dini dalam Dewan EU. Pasal J.8(3) Traktat Amsterdam juga mengangkat Sekjen Dewan EU yang sekaligus berfungsi sebagai Presiden CFSP (High Representative for the CFSP). Kesepakatan yang menyusul Traktat Amsterdam adalah Traktat Nice yang disetujui bulan Februari 2001. Traktat ini membawa beberapa perubahan dalam pasal-pasal institusional yang berkenaan dengan perwakilan negara anggota dalam institusi-institusi EU menjelang penambahan negara anggota, perubahan dalam bobot suara QMV dalam Dewan EU dan perluasan basis legal dari QVM.

Selain metode aklamasi, sejalan dengan EU-25 per 2004, dalam pengambilan keputusan CFSP yang menggunakan mekanisme QMV, suara masing-masing negara anggota dalam Dewan EU dibobot sebagai berikut:
Negara Inggris, Italia, Jerman, Prancis Polandia, Spanyol Belanda Belgia, Hungaria, Portugal, Republik Ceko, dan Yunani Austria dan Swedia Denmark, Finlandia, Irlandia, Lithuania, dan Slovakia Estonia, Latvia, Luxemburg, Siprus, dan Slovenia Malta Total Suara/Negara 29 27 13 12 10 7 4 3 321

Untuk menyetujui proposal dari Komisi Eropa dalam konteks CFSP, keputusan melalui QMV dalam Dewan EU harus didukung setidaknya oleh 232 suara atau 72,3%, dan oleh sebagian besar negara anggota. Dalam kasus tertentu, keputusan tersebut mesti didukung oleh setidaknya 2/3 negara anggota. Jika ada negara anggota yang ingin melakukan verifikasi terhadap keputusan QMV tersebut, maka jumlah suara QMV itu harus mewakili 62% dari keseluruhan populasi EU. Jika syarat verifikasi itu tidak bisa dipenuhi, maka keputusan tadi tidak bisa diambil. Disamping itu, perluasan juga mencakup prosedur co-decision, yang dirancang agar prosedur kerjasama lebih mudah berjalan. Sedangkan pada prosedur kebijakan, Traktat Nice hanya membawa sedikit perluasan dalam beberapa bidang kebijakan fungsional seperti bidang Kehakiman dan Urusan Dalam Negeri (JHA) dan kebijakan sosial. Dalam bidang CFSP, modifikasi dibuat terhadap kemungkinan penggunaan Pillar II dari traktat untuk menerapkan aksi bersama sejauh hal tersebut tidak berimplikasi militer dan pertahanan. *** Sejak kelahirannya, EU telah menjalin kerjasama perdagangan dengan negara lain, tetapi lemah dalam keterpaduan dan kesatuan suara terhadap isu-isu politik. EPC yang dibentuk tahun 1970 dinilai reaktif dan bersifat deklarasi, serta lemah dalam instrumen penerapannya sebagai tindak-lanjut sikap bersama tadi. Salah satu bukti penting

229

kelemahan itu adalah ketidakberdayaan EU bersikap bulat menghadapi krisis di bekas Yugoslavia. CFSP dirancang untuk mengatasi kelemahan tersebut. Melalui CFSP, EU telah unjuk gigi terhadap konflik di Rwanda, Kosovo, Bosnia-Hercegovina, Nigeria, HAM dan demokrasi, proses perdamaian Timur-Tengah, Afghanistan dan Taliban, non-proliferasi senjata-pemusnah massal, dan masalah Myanmar. Sejak Desember 2003, Strategi Keamanan EU juga disusun melalui prosedur CFSP. Terlepas dari kelemahan yang ada, dalam periode 1997-2000, CFSP sudah menghasilkan output berikut:
Bentuk Aksi Pernyataan Posisi bersama Aksi bersama Strategi bersama Tahun 1997 123 13 5 1998 141 22 20 1999 123 25 20 2 2000 184 17 11 1

230

Indonesia sendiri pernah berurusan dengan CFSP ini khususnya dalam masalah Timor-Timur. Tanggal 25 Juni 1996, Dewan EU mengeluarkan posisi bersama dalam kasus Timor-Timur. Tanggal 10 Oktober 1996, EU melakukan dmarche berkaitan dengan kondisi pengungsi Timor-Timur. Begitu jajak-pendapat di mana mayoritas warga Timor-Timur memilih merdeka tanggal 31 Agustus 1999, EU menyumbangkan bantuan 5 juta kepada UN Trust Fund. Sebagai respon terhadap kekerasan yang terjadi pasca jajak-pendapat tersebut, tanggal 16 September 1999, EU melalui mekanisme CFSP menerapkan embargo senjata dan menghentikan kerjasama militer dengan Indonesia, yang kemudian dicabut Januari 2000.
Masa Depan CFSP dan Konstitusi Eropa

Masa depan CFSP akan ditentukan oleh bagaimana para pembuatkebijakan di Brussel menyikapi kelemahan internal dari alat politik itu dan isu-isu global yang berubah dengan sangat cepat. CFSP masih tergantung pada sistem aklamasi dalam pengambilan keputusan yang berpotensi memperlambat pembuatan-keputusan yang cepat, dan perluasan keanggotaan EU yang menjadi 25 negara per 1 Mei 2004 bisa memperburuk keadaan jika tidak ada perbaikan. Tantangan yang

lebih serius adalah beragamnya basis legal dari hubungan eksternal dalam skema CFSP, kerjasama pembangunan, perdagangan dan kebijakan moneter. Hal-hal tersebut hanya memperkuat kesan bahwa EU sendiri tidak memiliki jati-diri legal yang jelas. Kenyataan ini berpotensi melemahkan CFSP dalam menyuarakan suara bersama Eropa dalam forum internasional. Tetapi menurut Konstitusi Eropayang masih dalam tahap ratifikasiterdapat penyederhanaan dan penguatan dalam pasal-pasal yang mengatur CFSP. Simplifikasi tersebut mencakup perubahan istilah aksi bersama dan posisi bersama menjadi keputusan saja. Konstitusi yang baru tersebut juga menggabungkan peran Presiden CFSP dengan tugas Komisioner Hubungan Eksternal Komisi Eropa. Pos gabungan tersebut akan menjadi Menteri EU Urusan Luar Negeri yang juga akan menjabat sebagai Wakil Presiden Komisi Eropa. Figur ini nantinya akan bertanggungjawab mengkoordinasi kebijakan luar negeri Eropa sekaligus mewakili EU di pentas internasional dalam isu di mana negara anggota sepakat untuk satu suara.
Epilog: Piagam ASEAN dan Pelajaran dari CFSP

231

Ada beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari integrasi kebijakan luar negeri EU ini bagi Indonesia dalam konteks integrasi regional ASEAN. Namun, sebelum membahas pelajaran penting tadi, ulasan diberikan terhadap perkembangan terakhir di dalam asosiasi regional Asia-Tenggara tadi yaitu deklarasi kesepakatan untuk menyusun Piagam ASEAN yang merupakan salah satu hasil penting dalam KTT XI ASEAN di Kuala Lumpur, 12-14 Desember 2005. Deklarasi tersebut bisa dianggap sebagai tonggak-sejarah dalam proses integrasi ASEAN karena dengan itu akan memberikan kerangka legal institusional yang baru yang akan membantu pencapaian tujuan dan visi ASEAN. Piagam tersebut akan memberikan jati-diri legal bagi ASEAN sekaligus menyempurnakan mekanisme dan organ kerjasama yang sudah eksis selama ini. Dengan demikian, bagi ASEAN piagam tersebut sangat urgen untuk menghadapi perubahan dan tantangan politik serta ekonomi global abad ke-21, perluasan anggota ASEAN, serta makna penting dari Visi 2020 ASEAN.

232

Masing-masing dari 10 negara ASEAN mengutus wakilnya menjadi anggota perumus piagam yang tergabung dalam kelompok tokoh terkemuka (Eminent Persons Group EPG). Indonesia diwakili oleh Ali Alatas. EPG ini diharapkan bisa memaparkan rekomendasi mereka dalam KTT XII ASEAN, di Manila, 11-13 Desember 2006. Karena masih sangat embrionik, poin-poin yang menjadi bahasan EPG belum ditetapkan secara pasti. Tetapi area bahasan mencakup usaha identifikasi kelemahan dan keberhasilan kerjasama yang telah dicapai ASEAN selama ini seperti kerjasama politik dan keamanan, ekonomi, fungsional, hubungan luar negeri, struktur dan proses pengambilan-keputusan. Disamping itu, dibahas juga visi ASEAN setelah 2020, tujuan dan keanggotaan, personalitas legal ASEAN dalam tatanan hukum internasional, serta membuat rekomendasi terhadap modus meratifikasi piagam itu nantinya. Saat ini, terlalu dini memperkirakan implikasi Piagam ASEAN terhadap proses integrasi regional. Yang bisa diduga saat ini adalah harapan agar Asia-Tenggara menjadi kawasan yang stabil dan damai, sejahtera, dan outward-looking. Tentu saja penyusunan piagam tersebut juga memperhatikan integrasi ASEAN pasca 2020 dan berkesinambungan. Ada aspirasi dalam EPG untuk mentransformasikan ASEAN dari sebuah asosiasi menjadi sebuah komunitas menjelang tahun 2020. Belum bisa ditebak ke mana nanti aspek supranasional akan dibahas dalam penyusunan piagam yang sekaligus mencerminkan level integrasi ASEAN. Diharapkan piagam itu akan menjadikan ASEAN sebuah komunitas regional yang seimbang antara kekuatan ekonomi dan pengaruh politiknya dalam percaturan global. Memperhatikan kandungan yang menjadi pokok-pokok bahasan dalam penyusunan Piagam ASEAN, belum terlihat rujukan yang spesifik yang mengarah pada aspirasi untuk melahirkan mekanisme yang identik dengan CFSP di ASEAN. Dengan kata lain, kerjasama politik dalam konteks kebijakan luar negeri bersama masih belum mendapat perhatian yang serius dalam ASEAN. Tetapi realitas di atas tidak menghalangi negara anggota ASEAN khususnya Indonesia untuk mengambil pelajaran dari evolusi CFSP dalam EU untuk tahap integrasi ASEAN lebih lanjut. Pelajaran per-

tama, perlu adanya wacana sebelum membuat inisiatif dalam melahirkan sebuah kebijakan luar negeri bersama. Dalam kasus CFSP, wacana tersebut dikembangkan oleh tokoh dan politisi terkemuka Eropa khususnya dari poros Franco-Jerman yang telah menjadi tulang-punggung integrasi Eropa. Dalam konteks ASEAN, peran lokomotif ini bisa diambil oleh Indonesia yang di zaman Orde Baru pernah berperan sebagai saudara tua dalam asosiasi tersebut. Indonesia mesti proaktif mengajak negara anggota yang terkemuka lainnya sebagai mitra untuk bisa kembali menjadi motor integrasi ASEAN. Kedua, kerjasama dalam sektor politik khususnya kebijakan luar negeri adalah hal yang sensitif dalam konteks negara-bangsa karena secara tradisional domain ini menjadi bagian dari kedaulatan sebuah negara. EU sendiri sesungguhnya masih berjuang menghapus kerancuan tersebut. Perlu adanya komitmen yang kuat dari negara anggota untuk memunculkannya, kesabaraan dan keuletan, disamping perlu adanya kondisi-kondisi politik eksternal yang menjadi pemicunya. Ketiga, sebenarnya tujuan akhir dari integrasi Eropa bisa dikatakan menuju integrasi politik. Integrasi ekonomi dirancang menjadi fasilitator dan akselerator untuk mencapai tujuan tadi mengingat integrasi politik tetap menjadi isu yang sensitif. Tetapi itu tergantung seberapa dalam integrasi yang berkembang. Jika EU kemudian menjelma menjadi Eropa Serikat yang federalis, tujuan di atas tidak mustahil akan menjadi kenyataan. Tetapi para Euroskeptis menilai kadar integrasi yang demikian tidak akan pernah dicapai oleh EU. Oleh karena itu, dalam konteks ASEAN, kuncinya adalah mempertanyakan kembali azas dan tujuan akhir yang hendak dicapai dalam kerjasama regional tadi, integrasi politik melalui kerjasama ekonomi atau hanya integrasi yang apolitik.

233

48. MEMUTUS RANTAI KEKERASAN ANTAR PELAJAR (MEMBANDING INDONESIA DAN BELANDA)
Dessy Nataliani, 10 November 2006

234

asuk ke dalam lingkungan sekolah baru bagi seorang pelajar ternyata tidak selalu menyenangkan, malah sebaliknya bisa membuat stress, cemas dan takut. Bayangan terjadinya tindak kekerasan saat masa orientasi (MOS) dan sesudahnya kerap menjadi momok bagi siswa baru, bahkan di sekolahsekolah tertentu seorang pelajar baik-baik bisa dipaksa menjadi salah satu prajurit tawuran! Di setiap tahun ajaran baru, berbagai surat kabar (antara lain Harian Pikiran Rakyat, 27/7/04) ramai memberitakan jalannya masa orientasi siswa (MOS). Model orientasi siswa seperti ini sudah ada sejak dahulu, dan sampai sekarang hampir semua sekolah masih melakukannya. Hanya saja masing-masing sekolah menyelenggarakannya dengan modus yang berbeda-beda. Beberapa tahun terakhir ada sekolah-sekolah yang telah dengan baik memanfaatkan tradisi masa orientasi ini dengan berbagai kegiatan positif seperti melakukan gerakan penghijauan atau kegiatan wirausaha. Sebaliknya masih banyak juga sekolah yang masih menerapkan tradisi kekerasan berupa penggencetan, gojlok, plonco, stressing, apapun istilahnya, yang tentu saja menyimpang jauh dari tujuan utama diselenggarakannya MOS itu sendiri yaitu pengenalan sekolah. Bagi siswa baru, MOS yang di dalamnya ada unsur kekerasan lebih dipandang sebagai ajang balas dendam siswa senior. Kegiatan penggencetan ini juga seringkali berlanjut di luar masa orientasi dan di luar sekolah, dikenal dengan istilah natar. Materi yang diberikan diantaranya tentang pentingnya hormat terhadap senior, larangan berperilaku ngocol bagi siswa yunior di sekolah, sampai penataran tentang pengetahuan siapa musuh para senior, di mana lokasi terbaik mencari musuh sampai strategi tawuran. Tentu saja semua ini sudah tidak resmi dari sekolah lagi. Siswa baru yang tidak menurut pada

senior akan dikerjai di luar sekolah, dibilang tidak solider, diancam, dibentak, diculik, dipukuli bahkan sampai ada yang menewaskan siswa baru, sehingga akhirnya mereka harus berurusan dengan polisi. Disela-sela rasa keprihatinan yang datang dari berbagai pihak, ternyata tidak semua pelajar (baik senior maupun yunior) merasa bahwa yang mereka lakukan atau terima selama MOS atau sesudahnya adalah bagian dari tindak kekerasan. Main pukul pun masih dianggap lumrah, karena kegiatan MOS ini adalah tradisi dan sudah turun temurun. Bagi siswa baru, mereka pun nantinya dapat melakukan hal yang sama pada yunior-nya seperti yang dilakukan oleh senior mereka saat ini. Sebetulnya sampai batas-batas mana suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai kekerasan?
Memutus rantai kekerasan, mungkinkah?

Kekerasan dalam bentuk fisik maupun verbal di kalangan pelajar telah menjadi sebuah masalah serius yang ada di berbagai negara di seluruh dunia. Anak yang mengalami kekerasan akan mengalami masalah di kemudian hari baik dalam hal kesehatan maupun kesejahteraan hidupnya. Mona OMoore 27 mendefinisikan kekerasan sebagai perilaku agresif berupa kekerasan fisik, seksual dan emosi. Individu atau kelompok yang menyerang satu sama lain, termasuk sebagai uatu perilaku agresif. Perilaku agresif yang dilakukan secara fisik adalah situasi dimana seorang anak, remaja atau suatu kelompok secara langsung atau tidak langsung mengancam, melukai atau bahkan melakukan pembunuhan pada seorang anak, remaja atau kelompok lainnya. Perilaku agresif termasuk diantaranya mendorong, mengguncang, menendang, memeras, membakar atau bentuk-bentuk kekerasan fisik lain baik yang dilakukan terhadap manusia atau benda (property). Kekerasan secara emosi adalah suatu kondisi dimana penyerangan dilakukan dalam bentuk verbal, ancaman, olokolok, mengejek, berteriak, mengasingkan, menyebarkan rumor.

235

27

OMoore, M., Defining Violence: Towards a Pupil http://www.comune.torino.it/newviolencedefinition.htm

Based

Definitions:

236

Kekerasan secara seksual adalah perilaku yang menyangkut perbuatan pelecehan seksual dan perkosaan. Istilah kekerasan antar pelajar di negara-negara Barat, sejak tahun 1970 lebih dikenal dengan istilah bullying. Seorang pelajar dikatakan sebagai korban bullying ketika ia diketahui secara berulang-ulang terkena tindakan negatif oleh satu atau lebih pelajar lain. Tindakan negatif tersebut termasuk melukai, atau mencoba melukai atau membuat korban merasa tidak nyaman. Tindakan ini dapat dilakukan secara fisik (pemukulan, tendangan, mendorong, mencekik, dll.), secara verbal (memanggil dengan nama buruk, mengancam, mengolok-olok, jahil, menyebarkan isu buruk, dsb.) atau tindakan lain seperti memasang muka dan melakukan gerakan tubuh yang melecehkan (secara seksual) atau secara terus-menerus mengasingkan korban dari kelompoknya. Tindakan terakhir ini disebut juga sebagai indirect bullying, sedangkan sebelumnya yang dilakukan secara terang-terangan (verbal maupun fisik) disebut sebagai direct bullying.28 Sedangkan ketika dua orang pelajar atau lebih berada pada posisi sama-sama kuat secara fisik maupun psikologis, maka tidak bisa disebut bullying. Juga bukan dikatakan bullying ketika olok-olok dilakukan dalam ungkapan-ungkapan persahabatan atau sekedar mainmain.29 Allan L. Beane (1999)30 menjelaskan bahwa perilaku menjadi pelaku kekerasan ini bisa terjadi diusia 3 tahun, agak sulit diketahui bagaimana seorang anak bisa menjadi pelaku kekerasan sedang anak yang lain tidak, tetapi penelitian membuktikan seorang anak dapat secara genetik menjadi anak yang agresif, dan anak yang agresif ini mudah mencontoh dari lingkungannya, misalnya anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan kekerasan, selalu menyaksi28

Apa yang menyebabkan seorang anak melakukan bullying?

29

30

Blueprints for Violence Prevention Bullying Prevention Program Executive Summary Highlights, http://www.colorado.edu/cspv/safeschool/bullying/bullying_bppsummary.html Todd, Joana et al, Bullying and Fighting Among Schoolchildren in Scotland: Age and Gender Patterns, Trends and Cross-national Comparison, HSBC Briefing Paper 8 http://www.eduction.ed.ac.uk/cahru/publications/BriefingPaper8.pdf. Beane, A. L. (1999). The Bully Free Classroom, Free Spirit Publishing

kan orang tuanya marah dan bertindak kasar, atau anak yang merasa diabaikan dan tidak dicintai. Mengacu pada definisi bullying di atas, kegiatan penggencetan saat MOS dan sesudahnya, atau penataran tidak resmi dalam rangka sosialisasi tawuran di sekolah-sekolah tersebut dapat dikategorikan sebagai bullying. Bullying yang dilakukan senior terhadap yunior pada akhirnya menjadi lingkaran rantai kekerasan yang tidak pernah ada habisnya. Kegiatan tawuran sendiri bukan lagi tergolong dalam bullying karena kelompok-kelompok yang berkelahi masingmasing memiliki kekuatan yang sama baik secara fisik maupun psikologis. Tawuran telah masuk dalam kategori kriminal, karena para pelaku biasanya membawa senjata tajam, melukai bahkan sampai membunuh sehingga mereka harus berurusan dengan hukum.31 Kekerasan antar pelajar seharusnya dipahami sebagai suatu masalah serius oleh semua pihak, guru, orang tua dan siswa (pelaku maupun korban) dan pihak terkait lainnya, karena kekerasan antar pelajar ini bersifat merusak baik korban maupun pelaku. Di Indonesia beberapa upaya pencegahan tindak kekerasan antar pelajar ini sebetulnya telah dilakukan oleh berbagai pihak, dari mulai sekolah itu sendiri, LSM, lembaga pemerintah juga lembaga internasional. Bentuk yang diselenggarakan biasanya berupa pelatihan dengan tema anti kekerasan. Seperti pelatihan juru kampanye anti tawuran yang dilakukan oleh LSM Komunitas Anti Kekerasan (KAK) terhadap pelajar pelaku tawuran dari berbagai sekolah di Jakarta, Bogor, Bekasi dan Depok. Pelatihan meliputi kegiatan dialog, diskusi dan pemutaran film. Pada akhirnya pelajar-pelajar yang mengikuti pelatihan tersebut diharapkan dapat berkampanye anti kekerasan di kalangan teman-temannya.32 Pada tahun 2001 lalu lembaga internasional seperti UNICEF dan UNESCO juga telah melakukan pelatihan anti kekerasan dengan tema Membangun Budaya Damai dan Penyelesaian Konflik tanpa Kekerasan. Kegiatan pelatihan ini selain melakukan dialog dan
31 32

237

Ditahan 18 Hari, Pelajar Mengaku Kapok Tawuran http://www.indomedia.com/bernas/102002/23/UTAMA/23jat1.htm Menebar Benih Pelajar-pelajar Anti Tawuran, http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=14053&kat_id=41&kat_idl=kat_id2=

238

diskusi aktif patisipatif, juga menggunakan multimedia sebagai sarana pelatihan. Materi-materi disusun dan dibuat dalam modul khusus, berisi konsep lifeskill. Pelatihan ini diikuti oleh murid, orang tua dan guru sekolah, perkumpulan pemuda, mahasiswa dan LSM, pernah juga dalam satu kesempatan melibatkan pejabat Departemen Pendidikan Nasional sebagai peserta. Tujuan yang ingin dicapai dari pelatihan ini adalah pelatih dan fasilitator (guru, orang tua dan siswa) memiliki pengetahuan tentang HAM, memiliki ketrampilan mengelola kelompok dan ketrampilan melakukan pendidikan partisipatif tentang perdamaian.33 Pemerintah sendiri sejauh ini telah menetapkan berbagai UU dan peraturan dalam mengatur masalah kesejahteraan anak.34 Sedangkan bagi anak yang terlibat tindak kekerasan kriminal juga dikenakan hukuman. 35 Departemen Pendidikan Nasional telah mengeluarkan sebuah Keputusan Menteri tentang jumlah jam belajar efektif untuk menghindari pemanfaatan waktu luang oleh siswa untuk kegiatankegiatan yang merugikan seperti tawuran.36 Beberapa sekolah sejauh ini memberikan hukuman kepada siswa yang terlibat tawuran dari
33

34

35 36

Irwanto, Dessy Nataliani dan Indah Sulistyorini, Membangun Budaya Damai dan Penyelesaian Konflik Tanpa Kekerasan Buku Pegangan Fasilitator, UNESCO, UNICEF dan New Zealand Official Development Assistance, 2002. UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; UU No. 6 tahun 1974 tentang Kesejahteraan secara umum; Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1988 Kesejahteraan anak terhadap Permasalahan Anak; Ratifikasi CRC 25 Agustus 1990 melalui KepPres No. 36 tahun 1990; UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; UU No. 4 tahun 1997 tentang Anak dengan Kecacatan; UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khusus pasal 63 dan 66 tentang Anak yang harus dilindungi exploitasi; Amandemen pasal 28B dari UU 1945 sebagai realisasi pemerintah dan UNICEF untuk membentuk Komnas Perlindungan Anak di Tingkat Nasional dan di 18 provinsi; UU No. 1 tahun 2000 ratifikasi dari ILO No. 182 tahun 1999 tentang Eliminasi Bentuk-bentuk terburuk pekerja anak; KepPres no. 59 tahun 2002 Rencana Aksi Nasional Eliminasi segala bentuk Pekerjaan yang membahayakan anak; KepPres No. 12 tahun 2001 tentang Komite Eliminasi Pekerjaan yang membahayakan anak; Presiden Megawati pada 22 Oktober menandatangani UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, yang disetujui oleh DPR RI pada 17 Juni 2003. Usai UAN Tawuran Pelajar Merebak, http://www.kompas.co.id Salinan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 125/2002 tentang Kalender Pendidikan dan Jumlah Jam Belajar Efektif di sekolah http://www.depdiknas.go.id

mulai memberi pengarahan, penyuluhan sampai dikeluarkan dari sekolah, meskipun tindakan terakhir ini efektivitasnya masih pro dan kontra.37 Berbagai upaya tersebut tampaknya belum cukup efektif untuk mampu meredam aksi kekerasan antar pelajar. Bahkan pelajar yang terlibat tawuran makin banyak dan luas tidak hanya di perkotaan tetapi sudah sampai ke daerah. Dari uraian diatas tentang bullying di sekolah, diasumsikan benih kekerasan dan tindak kriminal seperti tawuran berasal dari bullying di sekolah. Dengan demikian rantai utama yang harus diputus lebih dahulu adalah bullying di sekolah. Karena bullying merupakan komponen yang penting bagi strategi pencegahan kekerasan pada anak dan remaja, lalu bagaimana langkah selanjutnya? Barangkali kita dapat belajar dari negara lain bagaimana penanganan bullying di sekolah dilakukan, salah satunya Belanda. Empat organisasi persatuan orang tua murid di Belanda (LOBO, NKO, OUDE & COO dan VOO) telah berinisiatif melaksanakan program National Education Protocol Against Bullying,38 kampanye anti bullying di sekolah ini dimulai sejak tahun 1994.
National Education Protocol Against Bullying di Belanda

239

Di Belanda, isu bullying telah menjadi masalah serius. Dilaporkan sebanyak 385.000 siswa telah menjadi korban bullying di sekolah.39 Survei yang dilakukan terhadap pelajar usia 1 12 tahun di sebuah sekolah menunjukkan bahwa 28% siswa ini telah menjadi korban bullying setiap dua kali atau lebih pada setiap bulannya.40 Studi lain yang dilakukan terhadap 199 Sekolah Dasar di Amsterdam pada tahun 2000-2001 yang diikuti oleh 4811 siswa usia 9-13 tahun, hasil dari pengisian kuesioner menunjukkan bahwa siswa
37 38

39 40

Buntut Tawuran Antarpelajar, Dikeluarkan Dinilai Tak Selesaikan Masalah, http://www.suaramerdeka.com Netherlands Bullying at School: How to deal with it dari European Conference on Initiatives to Combat School Bullying: National Posters, http://www.gold.ac.uk/euconf/posters/nethlnds.html Limper, Rob, The Only Way to Combat Bullying is a cooperation Between All Those Involved in School: Good Practice in the Netherlands Initiated by Parents, http://www.gold.ac.uk Zeil, Elke, Children in the Netherlands, http://www.scp.nl/english/publications

240

yang mengalami bullying baik laki-laki maupun perempuan mengalami baik direct maupun indirect bullying mengalami depresi dan berpikir untuk bunuh diri bahkan sebagai reaksi bullying ini ada siswa yang melakukan bullying pada siswa lain untuk mempertahankan diri atau untuk menutupi kekurangan dirinya. Pada studi ini juga ditemukan bahwa indirect bullying ternyata lebih berbahaya karena korban merasa lebih menderita, sedih dan buruk dibanding korban yang mengalami direct bullying. Selain itu indirect bullying tidak terlihat sehingga sulit untuk dibuktikan dan ini menyebabkan korban seringkali tidak menceritakan apa yang dialami kepada orang dewasa atau guru. Guru juga tidak terlalu peduli jika bentuk pengasingan sosial yang dialami korban merupakan bagian dari bullying atau merasa hal itu tidak berbahaya.41 Indirect bullying oleh pelajar di Belanda juga dilakukan melalui dunia maya. Tercatat 12% pelajar berusia antara 11 15 secara online telah mendapat ancaman oleh teman sekolah mereka sediri melalui instant messanger atau email.42 Bullying ada dan merupakan problem utama. Empat organisasi persatuan orang tua murid di Belanda (LOBO, NKO, OUDE & COO dan VOO) melaksanakan program National Education Protocol Against Bullying43 dengan strategi sebagai berikut: Pertama, organisasi persatuan orang tua murid itu membuat brosur yang berisi kampanye bahwa sekolah dasar dan menengah dapat membuat kebijakan untuk mengakhiri masalah bullying dengan cara melibatkan seluruh pihak terkait yang memiliki opini yang sama dan mau bekerjasama, karena kerjasama merupakan kunci keberhasilan pemecahan masalah. Kerjasama ini dapat diwujudkan dengan National Education Protocol against Bullying. Organisasi persatuan orang tua murid, dewan orang tua, dewan partisipasi, pengurus sekolah,
41

42 43

Van Der Wall, Marcel F and Hirasing Remy A, Psychosocial Health Among Young Victims and Offenders of Direct and Indirect Bullying, http://pediatricts.aappublications.org/cgi/content http://www.massis.Ics.mit.edu/telecom-archieves?TELECOM_digest_online20051/2398.html Ibid, Netherlands Bullying at School: How to deal with it dari European Conference on Initiatives to Combat School Bullying: National Posters, http://www.gold.ac.uk/euconf

tim manajemen sekolah, dll., bertanggung jawab terhadap keamanan siswa di sekolah, sehingga siswa dapat merasa nyaman pergi ke sekolah. Kedua, isi brosur mencakup enam perjanjian yang harus dipahami oleh pihak-pihak terkait, diantaranya: Bullying harus dilihat sebagai suatu masalah oleh semua pihak: guru, orang tua dan murid baik korban, pelaku, maupun murid lain yang tidak terlibat (silent majority) Sekolah harus mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya bullying. Pendekatan preventif mencakup diantaranya mengetengahkan topik bullying ini kepada murid dan orang tuanya, dan kemudian menerapkan peraturan. Jika tindakan preventif kurang dan bullying muncul, guru harus bisa menangkap situasi tersebut dan mengambil sikap jernih untuk mengatasinya. Bullying harus dinyatakan sebagai sesuatu yang jelas Jika berbagai cara untuk menekan bullying ini masih kurang dan muncul lagi, maka sekolah harus memiliki pendekatan langsung (kuratif) untuk mengatasinya. Jika sekolah atau seorang guru menolak untuk mengatasi masalah tersebut, atau jika masalah diselesaikan dengan cara yang salah, atau cara yang dilakukan tidak memberikan dampak apa pun, maka harus didatangkan seorang konselor. Atas permintaan orang tua dari anak yang menjadi korban, konselor ini harus menyampaikan keluhan tersebut kepada Dewan Pengaduan (Complaints Committee) yang akan menyelidiki masalah dan memberikan saran kepada pihakpihak berwenang untuk menilai tindakan apa yang akan dilakukan. Upaya pelaksanaan program anti bullying yang telah dilakukan di Belanda tersebut adalah sebuah wacana yang mungkin diterapkan di Indonesia. Pencegahan tindak kekerasan pada usia dini akan lebih efektif dibanding saat anak telah beranjak dewasa. Dan tentu saja suatu masalah akan bisa diselesaikan jika semua pihak merasa peduli, bertanggung jawab dan mau bersama-sama melakukan pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan antar pelajar ini.
241

(Modifikasi artikel ini disampaikan dalam Kajian Muslimah Online, 7 Mei 2006)

49. PELUANG INDONESIA DALAM KONVERSI BACHELOR-MASTER DI BELANDA


Gunaryadi, 31 Desember 2006

B
242

eberapa tahun silam kita pernah mendengar di Tanah Air ada yang mempertanyakan kesetaraan drs made in Holland dengan gelar S2; sebaliknya Belanda menolak bahwa Drs keluaran Indonesia sejak tahun 1990-an kompatibel dengan doctorandus mereka. Kesalah-pahaman tersebut tampaknya bisa dihindari setelah Belanda mentransformasi sistem dua-siklus pada universitas mereka menyerupai sistem Anglo-Saxon (bachelor-master atau BaMa) mulai tahun akademik 2002-2003. Transformasi itu adalah jawaban konkrit Belanda terhadap Kesepakatan Bologna 1999. Tindakan tersebut tidak saja menjadi salahsatu yang pertama di EU tetapi juga mendahului amendemen parlemen terhadap Undang-undang Pendidikan Tinggi dan Riset (Wet op het hoger onderwijs en wetenschappelijk onderzoek). Bahkan sebelum Kesepakatan Bologna ditandatangani, sebagian perguruan tinggi Belanda telah berbenah. Sejak 1998 Kolese Universitas Utrecht, Universitas Nijenrode, serta berbagai perguruan tinggi lainnya segera menawarkan sistem Ba-Ma.
Struktur Ba-Ma di universitas dan hogescholen

Pendidikan tinggi di Belanda mengenal sistem biner, yaitu universiteit yang berfokus pada penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta riset (wetenschappelijk onderwijs); dan hogeschool yang ditekankan pada pendidikan profesi dan karir (hoger beroepsonderwijs). Disamping itu, Belanda juga memiliki satu Universitas Terbuka, dan beberapa institut yang menyediakan pendidikan bagi mahasiswa internasional. Khusus untuk universitas dan hogescholen yang memiliki

karakter berbeda, dampak program Ba-Ma juga berlainannya terhadap masing-masing jalur. Sebelumnya universitas Belanda tidak mengenal pemisahan jenjang undergraduate (sarjana) dan graduate (magister dan doktor). Yang ada ialah program setingkat sarjana dan magister yang terintegrasi dalam satu jenjang saja setelah kuliah 4 tahun atau lebih yang diakhiri dengan doctoraalexamen untuk mencapai gelar doctorandus, meester in de rechten, atau ingenieur; dan program promoveren untuk meraih gelar doktor. Sedangkan hogeschool hanya menyelenggarakan pendidikan sarjana. Beberapa hogescholen sebelum pemberlakuan BaMa sudah menyelenggarakan program magister tetapi bekerjasama dengan universitas. Dengan stelsel yang baru, hogescholen boleh menyelenggarakan program magister secara independen, dan dianggap setara dengan program magister yang diselenggarakan universitas. Dan lembaga yang disebutkan terakhir serta 5 institut yang khusus menyediakan program pendidikan bagi mahasiswa internasional tetap satu-satunya kategori lembaga yang berwenang menyelenggarakan program doktor. Selain itu, program sarjana di universitas lebih singkat yaitu 3 tahun dengan 180 SKS. Sedangkan program serupa di hogescholen setahun lebih lama karena seorang mahasiswa harus menyelesaikan 240 SKS. Sementara itu, kesetaraan program magister antara universitas, hogescholen, dan institut internasional boleh dikatakan identik. Tergantung program, lama studinya bervariasi antara 1 dan 2 tahun, dengan 60-120 SKS.
Peluang

243

Saat ini Belanda memiliki 14 universitas dan 42 hogescholen dengan total 555.000 mahasiswa, disamping 11 perguruan tinggi khusus menyediakan 1.150 program non-gelar, sarjana dan magister berbahasa Inggris bagi mahasiswa internasional. Belanda tampaknya ingin berkompetisi dalam ceruk pasar mahasiswa asing, yang hingga 2002 masih dikuasai AS (586.000), Inggris (270.000), dan Jerman (227.000).

244

Bagi Indonesia, Ba-Ma memunculkan banyak peluang. Diantaranya dari aspek penyamaan ijazah yang secara prinsip, gelar sarjana, magister, dan doktor kita otomatis setara dengan yang dikeluarkan perguruan tinggi Belanda. Kedua, Belanda adalah negara Eropa yang paling kental hubungan historis dan kulturalnya dengan Indonesia dan tempat bermukim komunitas Indonesia terbesar di Eropa. Kuliah di lingkungan yang tidak begitu asing secara teoritis mendorong keberhasilan belajar. Ketiga, dalam konteks hubungan Indonesia-Belanda yang semakin hangat, anggaran kerjasama pembangunan membantu sektor pendidikan di Indonesia meningkat, yang juga berimplikasi alokasi beasiswa bagi mahasiswa Indonesia untuk studi di Belanda juga bertambah. Keempat, dengan Ba-Ma rasio subsidi pemerintah Belanda untuk program sarjana dibanding magister adalah 2:1. Artinya biaya pendidikan sarjana relatif terjangkau. Kelima, kualitas pendidikan tinggi Belanda telah memiliki reputasi internasional. Dari 100 perguruan tinggi global terbaik 2006 versi Newsweek, 4 diantaranya berasal dari Belanda, atau menempati posisi kedua setelah Inggris, dan mengalahkan Jerman serta Prancis. Apalagi kualitas program Ba-Ma ini diawasi oleh lembaga penjamin mutu Nederlands-Vlaamse Accreditatieorganisatie.
Optimalisasi

Ada beberapa rekomendasi untuk mengoptimalkan peluang di atas. Pertama, visibilitas terhadap Belanda dan Eropa di Indonesia perlu ditingkatkan melalui pasokan data dan informasi pendidikan terbaru dan akurat. Misalnya, saat ini belum diketahui berapa jumlah mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda: menurut Kedutaan Belanda di Jakarta hampir 5.000; sedangkan estimasi KBRI Den Haag sekitar 2.000. Kedua, ada kasus-kasus mahasiswa Indonesia mendapat kesulitan mendapatkan visa atau pengurusan ID card. Untuk mereduksinya, kombinasi diplomasi multi-jalurPemerintah-Pemerintah, UniversitasUniversitas, Komunitas-Komunitasbaik di Indonesia maupun di Belanda perlu lebih diberdayakan. Ketiga, perlu lebih

banyak program sarjana dan magister yang melibatkan kolaborasi perguruan tinggi kedua negara berupa program sandwiches dan double degrees untuk akselerasi transfer iptek, kepakaran, dan meningkatkan daya-saing. Terakhir, mengingat target pasar perguruan tinggi Belanda mayoritas tamatan SMA, perlu dipikirkan pula antisipasi yang tepat untuk menjaga jati-diri ABG Indonesia tersebut ketika kuliah dalam usia belia di Belanda.
(Dimuat dalam website Sekolah Indonesia Nederland, pada: http://sekolahindonesia.nl, 19 November 2006)

50. PERSPEKTIF TRANSATLANTIK HASIL PEMILU-SELA AS


Gunaryadi, 31 Desember 2006
245

In a globalised world, fewer and fewer problems affect only one state and yet fewer can be solved by one alone. (Cuplikan pidato Wolfgang Thierse, Ketua Bundestag ketika menyambut kunjungan Presiden Bush di gedung parlemen Jerman, 2002). *** emilu-sela di Amerika Serikat (AS) baru saja berlalu. Kemenangan kubu Demokrat di Kongres, Senat, dan mayoritas jabatan gubernur secara simbolik menjadi pertanda bagi Presiden Bush bahwa inilah saatnya melakukan peninjauan-kembali terhadap kebijakan luar negerinya. Bagaimana dampak hasil tadi dalam perspektif transatlantik? Relasi transatlantik merujuk pada hubungan historis, politik, ekonomi, sosial dan kultural antara negara-negara di kedua pantai utara Samudera Atlantik, khususnya antara AS, Kanada, dan Uni-Eropa (EU). Blok ini merupakan kekuatan yang paling berpengaruh dalam mewarnai wajah keseimbangan dunia kontemporer.

246

Makna penting transatlantik senantiasa signifikan sepanjang Perang Dingin. Tetapi ketika konflik ideologis Barat-Timur tadi meredup akhir 1980-an, kebutuhan Eropa terhadap tirai pertahanan AS pun surut. Perubahan tata-dunia ini plus aspirasi imperial poros Franco-Jerman yang secara tradisional menjadi tulang-punggung integrasi kontinental Eropa membuat hubungan transatlantik mulai merenggang. Meskipun demikian, anggota EU seperti Inggris, Italia, Belanda, Denmark, dan anggota baru, cenderung bersikap lebih dekat ke Washington. Hubungan transatlantik ini pasca runtuhnya blok komunisme di Eropa senantiasa diwarnai oleh pasang-surut dan perbedaan sikap baik secara substantif maupun pendekatanterhadap isu-isu krusial, mulai dari masalah perdagangan; penyelesaian komprehensif konflik di Timteng; lingkungan; NATO; Mahkamah Pidana Internasional; non-proliferasi senjata nuklir; hukuman mati; perang terhadap terorisme hingga rumor penjara rahasia CIA di Eropa, dll. Dan sulit dipungkiri bahwa sikap berseberangan Washington-Brussel terbaca mencolok menjelang invasi bersandi Iraqi Freedom awal musim-semi 2003, di mana poros Franco-Jerman dan sebagian anggota EU menolak perpartisipasi dalam Coalition of the Willings pimpinan AS.
Perbedaan Elitis?

Dengan dukungan sentimen publik terhadap rezim di kedua tepian Samudera Atlantik pasca 9/11, perbedaan sikap terhadap masalah Irak awalnya berkutat di ranah elit, baik figur politik maupun media. Di satu pihak, elit politik Eropa seperti Chris Patten (Komisaris Hubungan Eksternal EU), Romano Prodi (Presiden Komisi Eropa), Kanselir Schrder, Presiden Jacques Chirac, Herta Dubler-Gmelin (Menkeh Jerman), Wolfgang Thierse, Dominique de Villepin (Menlu Prancis), Lord Robertson (Sekjen NATO), Mikhail Kasyanov (PM Rusia) dengan beragam perspektif mengkritik kebijakan luar negeri AS khususnya dalam masalah Irak. Di pihak lain, John Ashcroft (Jaksa Agung), Presiden Bush, Donald Rumsfeld (Menhan), Colin Powell (Menlu), Condoleezza Rice (Penasehat Keamanan Nasional), serta para neokonservatif terkemuka arsitek invasi ke Irak saling menawar-dan-membeli

kata-kata dengan sejawatnya dari Eropa. Bahkan di kalangan elit media juga terjadi baku-hantam. Fareed Zakaria (Newsweek), George Will (jurnalis terkemuka AS), William Safire (New York Times) dan Gerard Baker dari AS saling ledek dengan mitranya dari Eropa seperti Ignacio Ramonet dan Will Hutton. Waktu itu muncul berbagai istilah yang sebagian masih tertancap dalam sanubari publik transatlantik seperti bersikap seperti Adolf Nazi, hubungan Jerman-AS telah teracuni, tidak ada yang bisa mengklaim sebagai polisi-dunia, Eropa Baru, Eropa Lama, dsb.
Dimensi demokrasi

Pepatah vox populi, vox dei menegaskan bahwa dalam tatanan governance yang normal, para elit adalahmeminjam istilah Bung Karno penyambung lidah rakyat. Maka, lazim dalam konteks transatlantik, kebijakan para elit menyerang Irak atau tidak, juga berbasis pada dukungan rakyat. Bedanya, rezim neokonservatif AS seolah memanfaatkan sentimen publik akibat serangan teroris 9/11 sebagai justifikasi; sedangkan elit Eropa mendasarkan penolakan mereka kepada suara mayoritas publik yang menentang penyelesaian militer terhadap Irak. Ekspektasi bahwa kekuatan elektoral berpotensi menjadikan kebijakan luar negeri AS lebih menghormati kedaulatan negara atau kawasan tertentu ternyata gagal dalam pemilu 2004: Presiden Bush terpilih kembali dan lembaga perwakilan tetap dikuasai kubu Republik. Waktu berlalu. Pendudukan di Irak mengalami komplikasi dalam semua aspek. Dan senjata-pemusnah-massal yang dicari serta praduga koneksi Saddam dengan jaringan teroris yang menjadi justifikasi pendudukan setelah lebih 3 tahun ternyata tidak sesuai dengan pretext invasi. Mayoritas publik AS mulai bertanya yang memaksa realitas militer di lapangan merembes ke domain politik. Sentimen anti-perang tersebut secara optimal dieksploitasi kubu Demokrat, yang selanjutnya mengubah bandul kekuatan politik AS. ProspekSaat ini, mayoritas elit dan publik Eropa berada dalam suasana-hati I-toldyou-so terhadap hasil pemilu-sela AS. Mereka semakin yakin bahwa kekuatan militer jauh lebih banyak mudharatnya dalam proyek menjajakan demokrasi di belahan lain dunia.

247

Sebaliknya, sekutu dekat AS di Eropa pun harus siap menyesuaikan diri dengan momentum perubahan untuk menghindari memungut terminologi Presiden Chavezpembalasan elektorat. Presiden Bush pun tampaknya mulai menyadari bahwa karir politiknya harus disandarkan pada elektorat yang semakin rasional; tidak terlalu tergantung pada kubu neokonservatif yang kini bersikap cuci-tangan dari desain Timteng yang Baru mereka yang ternyata gagal di Irak. Korban yang paling mahal dari suara rakyat tadi adalah Donald Rumsfeld yang terpaksa meninggalkan Pentagon, yang mengubah komitmen Presiden Bush beberapa hari sebelumnya bahwa sang Menhan akan dipertahankan hingga 2008. Walaupun demikian, kita masih skeptis apakah hasil pemilu-sela tadi akan memunculkan arah-baru yang signifikan atas kebijakan luar negeri AS khususnya terhadap Irak karena kubu Demokrat sendiri belum bisa bersikap konvergen terhadap isu tersebut. Dan sejauhmana pula perubahan itu nanti akan lebih mendekatkan AS dan EU, hanya sang kala yang akan menjawabnya.
248

(Dimuat dalam Gunaryadis Pages on Asia-Europe Relations and Global Issues, pada: http://gunaryadi.blogsome.com, 31 Desember 2006)

51. QUO VADIS SEKOLAH INDONESIA DI LUAR NEGERI?


Gunaryadi, 23 Januari 2007 ika berbagai negara maju memiliki sekolah di teritorial asing termasuk di Indonesia, maka sebagai bangsa yang besar, Indonesia juga memiliki hal yang sama. Barangkali belum luas publik di Tanah Air yang mengetahui bahwa saat ini Indonesia memiliki 14 sekolah yang dikategorikan sebagai Sekolah Indonesia di Luar Negeri (SILN) yang dikelola secara bersama oleh Departemen Luar Negeri dan Departemen Pendidikan Nasional berdasarkan SKB

Menlu dan Mendikbud No. 191/81/01 dan No. 151/U/1981, 22 Januari 1981. Kehadiran 14 SILN sejak puluhan tahun silam tidak saja merupakan gerbang dunia pendidikan dan diplomasi kultural Indonesia di 3 benua yaitu Asia, Afrika dan Eropa tetapi juga menjadi sarana penting untuk melayani kebutuhan pendidikan dasar dan menengah putera-puteri Indonesia di kawasan tersebut. Seiring dengan semangat reformasi dan tuntutan globalisasi, beragam dinamika juga menembus sekat eksistensi dan pengelolaan SILN Tercakup dalam pergeseran tersebut sirnanya ancaman ideologis kiri terhadap anak Indonesia jika belajar di sekolah lokal di negara tertentu; demokratisasi dan disentralisasi; tuntutan pasar berkaitan dengan pendidikan; sinergi dengan matra baru proyeksi pencitraan keindonesiaan ke luar negeri yang demokratis, moderat dan pluralistik-multikultural; dan ketimpangan anggaran sektoral. Dinamika itu mensyaratkan perubahan SKB sebagai payung legal SILN dan perhatian bersama. Aspek pertama adalah perlunya peninjauan-ulang terhadap visi yang akan menentukan arah pengembangan SILN dengan kondisi lingkungan, struktural, dan tuntutan kekinian yang berbeda. Perumusan visi baru SILN mesti lebih pada kombinasi mimpi normatif dan idealisme dengan realitas pasar. Segmen utama intake SILN terdiri dari putera-puteri diplomat dan anak Indonesia setempat. Jika segmen pertama yang diandalkan menjadi siswa, maka fungsi SILN akan sebatas transit schools for transit people. Bagi SILN tertentu ceruk ini bisa menyempit jika Deplu akhirnya menyediakan subsidi pendidikan bagi putera-puteri diplomatnya jika selling point SILN gagal bersaing memikat segmen tersebut. Untuk menarik minat segmen kedua, SILN mesti menyesuaikan diri dengan tuntutan pendidikan setempat. SILN harus mampu menghasilkan lulusan yang diterima melanjutkan ke pendidikan tertier internasional atau di negara setempat tanpa hambatan. Ini mensyaratkan overhaul kurikulum, penyiapan tenaga guru, perbaikan infrastruktur pembelajaran, kemitraan dan sinergi dengan institusi lokal dan internasional.

249

250

Atas dasar realitas di atas sekaligus posisi SILN yang ada di luar negeri, maka wacana pengembangan SILN secara bertahap menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI) sangat tepat. Berdasarkan tuntutan pasar itu pula, SILN perlu memodifikasi kurikulum berbasis Standar Nasional Pendidikan plus X (comparative advantages di negara masing-masing) yang bisa diterjemahkan menjadi kurikulum yang mampu menyerap aspirasi pendidikan nasional, internasional dan setempat. Langkah ini mesti dikaji dengan hatihati untuk mengantisipasi implikasi yang paradoksial seperti aspek evaluasi. Jika saat ini, misalnya, Ujian Nasional hanya dimaksudkan untuk pengujian berbasis kurikulum nasional, maka sejauhmana ketepatan dan kehandalan UN menguji kompetensi kelulusan dengan spektrum internasional dan lokal? Keunggulan komparatif itu bisa pula berupa perluasan fungsi dan layanan SILN. Misalnya, sebuah konsep tengah digodok untuk menjadikan SIN Wassenaar sebagai basis dan fasilitator lokal bagi guru-guru terpilih dari SBI di Indonesia untuk menimba pengalaman dan wawasan di Eropa. Kedua, aspek manajemen perlu streamlining dan penghapusan ego sektoral untuk memangkas jenjang birokrasi sekaligus menjembatani perbedaan persepsi dan visi pengembangan SILN. Berbasis pada SKB di atas, de facto pengelolaan dan pembinaan SILN saat ini relatif masih terserak, baik pada level Pusat maupun di perwakilan RI setempat. Deplu melibatkan Pusdiklat, Perencanaan, serta Kepegawaian; sedangkan Depdiknas diwakili Ditjen Mandikdasmen dan PMPTK, KLN, Perencanaan, dan Kepegawaian. Sedangkan pada perwakilan setempat, pihak Deplu mengetuai Badan Pembina Sekolah, Pensosbud, dan BPKRT; dan Depdiknas diwakili Atdikbud dan Kepala Sekolah. Termasuk dalam konteks ini adalah gagasan mengkonversi SILNyang selama ini masih berstatus sekolah swasta berbantuan menjadi sekolah negeri; atau berbentuk UPT tersendiri di perwakilan setempat adalah rekomendasi segar yang sangat perlu ditindaklanjuti. Pada gilirannya, diharapkan distribusi dan pembebanan pembiayaan SILN yang lebih proporsional bisa dibahas secara bersama antara Deplu dan Depdiknas. Saat ini ada persepsi yang berkembang

bahwa pembiayaan SILN cenderung memberatkan DIPA perwakilan yang nota bene di bawah Deplu; sementara beban pembiayaan dari Depdiknas terkesan jauh lebih ringan. Padahal perbedaan persepsi ini tidak substansial karena sumber anggaran kedua departemen berasal dari satu sumur yaitu APBN. Perlu disadari bahwa pendidikan adalah investasi human and social capital yang tidak mesti semata ditimbang secara zakelijk dengan uang. Ketiga, pemberdayaan kapasitas ketenagaan. Perlu diperhatikan aspek mutu, relevansi dan daya-saing para pendidik dan tenaga kependidikan di SILN. Proses rekrutmen sebaiknya seoptimal mungkin merujuk pada kriteria ideal. Sistem akreditasi guru yang sedang dikembangkan Ditjen PMPTK akan sangat mendukung. Yang memenuhi standar akreditasi dipertahankan; yang tidak memenuhi kualifikasi setelah upaya remedial terpaksa diganti. Selain itu, proporsionalnya jaminan material dan psikologis bagi guru dan tenaga kependidikan yang memiliki akreditasi menjadi sangat penting untuk meningkatkan mutu layanan SILN. Deplu dan Depdiknas tentu tidak ingin kehidupan para pendidik SILN lebih malang dibanding nasib Oemar Bakrie di Tanah Air. Dari perspektif pelapisan sosial di perwakilan kita di negara tertentu, dapat dikatakan posisi tawar guru SILN berada pada strata terbawah. Padahal, kelompok pendidik inilah yang berperan penting menyiapkan calon pemimpin bangsa yang memiliki karakter yang kita citakan sesuai amanat UUD 1945 serta derivasinya. Sebagian asuhan guru SILN kini sudah menjadi diplomat, birokrat, dokter, guru dan dosen, akademisi, peneliti, pengusaha, dsb., bahkan mantan menteri sekaliber Rini Suwandi (alumni SIN Wassenaar). Semoga pemikiran di atas bisa menjadi masukan dalam pembahasan revitalisasi SKB Menlu dan Mendikbud yang telah berusia seperempat abad.
(Dimuat pada website Sekolah Indonesia Nederland, pada: http://sekolahindonesia.nl, Februari 2007)

251

52. KABINET BALKENENDE IV DAN MASA DEPAN KERJASAMA PENDIDIKAN BELANDAINDONESIA


Gunaryadi, 24 Februari 2007

S
252

esuai pakem baku konsensus politik di Den Haag, tiga langkah utama pembentukan pemerintahan dan kabinet hasil pemilu legislatif Belanda yang dilaksanakan 22 November 2006 telah usai. Tahap pertama adalah negosiasi terhadap regeerakkoord atau agenda politik dan kebijakan pemerintahan koalisi yang disepakati 7 Februari 2007, antara Partai Kristen Demokrat (CDA), Partai Sosial-Demokrat (PvdA), dan Partai Uni-Kristen (CHU). Langkah kedua berupa pendistribusian jatah posisi menteri dan menteri muda (staatssecretaris). Posisi ini biasanya mencerminkan partai politik mana yang bertanggung jawab dalam bidang kebijakan tertentu. Fase ketiga adalah pemilihan menteri atau menteri muda yang kompeten (bekwaam) oleh masing-masing partai politik anggota koalisi sesuai dengan jatah jabatan yang disepakati pada tahap kedua di atas.
Three levels of assessment

Tinjauan terhadap implikasi kebijakan pemerintahan baru Belanda yang juga dikenal sebagai Kabinet Balkenende IVterhadap kerjasama pendidikan Belanda-Indonesia menggunakan pendekatan three levels of assessment yang mempengaruhi pembuatan-kebijakan luar negeri yang intermestik yaitu struktur global, tingkat negara, dan tingkat individual. Pada tingkat pertama, struktur politik dan ekonomi global kontemporer sangat berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri Belanda yang juga akan berfungsi sebagai bingkai kerjasama internasionalnya. Hal itu bisa dilihat dari 6 poin regeerakkoord di atas di mana pilar pertama adalah Peran aktif dan konstruktif Belanda di pentas Eropa dan dunia (Een actieve en constructieve rol van Nederland in Europa en de wereld). Belanda sepenuhnya menyadari bahwa kekuatannya yang re-

latif kecil secara kuantitatif dalam konteks internasional yang semakin interdependen tersebut mesti diimbangi dengan peran global yang lebih aktif dan konstruktif. Padahal dalam regeerakkoord 1998, 2002, 2003, aspirasi internasional ini relatif berada pada pilar yang kurang urgen. Pada level negara, pemerintahan koalisi tengah-kiri ini menjadikan sektor pendidikan sebagai bagian yang integral dari kebijakan ekonomi (Een innovatieve, concurrerende en ondernemende economie) yang menduduki pilar kebijakan kedua. Sedangkan dalam regeerakkoord sebelumnya kedua sektor tersebut dikelola dalam pilar kebijakan terpisah dan skala prioritas yang berbeda. Meskipun muatan regeerakkoord mesti dituangkan ke dalam regeringsprogrammas sebagai kebijakan kabinet baru yang mesti mendapat persetujuan parlemen, namun tersirat adanya kestabilan dukungan dari legislator terhadap kebijakan Pemerintah Balkenende IV tersebut, mengingat koalisi ini menguasai 80 dari 150 kursi di parlemen. Pada tingkat individual, figur politik yang akan berperan besar mewarnai kebijakan luar negeri Belandatermasuk kerjasama pendidikan Belanda-Indonesia baik secara langsung maupun tidaklangsungadalah Maxime Verhagen (Menteri Luar Negeri-CDA), Ronald Plasterk (Menteri Pendidikan-PvdA), Bert Koenders (Menteri Kerjasama Pembangunan-PvdA), Maria van der Hoeven (Menteri Ekonomi-CDA), Sharon Dijksma (Menteri Muda Pendidikan Dasar, TK dan Emansipasi-Kementerian Pendidikan, Budaya dan Sains-PvdA), Marja van Bijsterveldt (Menteri Muda Pendidikan Lanjutan dan Kejuruan Menengah-Kementerian Pendidikan, Budaya dan Sains-CDA), dan Frank Heemskerk (Menteri Muda Perdagangan Internasional-Kementerian Ekonomi-PvdA).
Implikasi terhadap kerjasama pendidikan Belanda-Indonesia

253

Merujuk pada pendekatan tiga-tingkat-penilaian di atas, pada tingkat global dan domestik Belanda, peluang kerjasama pendidikan Belanda-Indonesia yang sudah cukup baik saat ini secara makro merefleksikan kecenderungan yang prospektif. Dalam tiga tahun terakhir, intensitas hubungan kerjasama pendidikan tersebut bisa dilihat dari tingginya frekuensi kunjungan

254

kenegaraan yang resiprokal setingkat menteri, birokrat eselon atas, dan akademisi baik dari sektor pendidikan, ekonomi, maupun riset dan teknologi serta penandatanganan berbagai letter of intent, memorandum of understanding, dan plans of action. Menurut perkiraan NUFFIC, hingga 2006 secara akumulatif terdapat sekitar 5.000 mahasiswa Indonesia yang kuliah di Belanda. Meningkatnya bantuan Belanda terhadap dunia pendidikan Indonesia serta trend peningkatan kuantitas kolaborasi riset antara kedua negara merupakan sinyelemen yang positif. Selanjutnya, pada tingkat individual dan kebijakan politis, figur yang akan paling terlibat dalam konteks kerjasama pendidikan itu nantinya adalah Ronald Plasterk, Bert Koenders, dan Sharon Dijksma yang berasal dari PvdA, dan Marja van Bijsterveldt dari CDA. Dari keempat politisi tadi, hanya Koenders yang memiliki pengalaman sebagai anggota parlemen, dan Van Bijsterveldt sebagai burgemeester; sedangkan Plasterk yang walaupun sudah cukup lama menjadi anggota PvdA namun belum pernah mengenyam pengalaman memimpin lembaga birokrasi setingkat departemen di Den Haag. Yang perlu dicatat adalah perbedaan karakter yang signifikan antara Maria van der Hoevenmantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Sains yang kini dipercaya menjadi Menteri Ekonomi yang berlatar belakang Kristiani, sedangkan Plasterk adalah seorang atheis. Bahkan sebelum terpilih menjadi menteri, guru besar genetika tersebut pernah dengan tajam mengkritik opini dan aspirasi Van der Hoeven tentang teori penciptaan (Creationisme) dan Intelligence Design. Sejauhmana perbedaan pribadi antara kedua figur politis di atas akan mempengaruhi kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Sains Belanda masih belum bisa diprediksi secara lebih pasti. Situasi yang paling mungkin adalah bahwa tidak akan terjadi perubahan yang radikal karena kebijakan seluruh kementerian mesti merujuk pada regeerakkoord yang telah disepakati. Apalagi implementasi dan desain kebijakan pada tataran mikro biasanya berada di tangan para high-fliers birokrasi yang cenderung mapan dan stabil.

Bagi Indonesia, pergantian pejabat politis tersebut tidak serta merta berpengaruh negatif terhadap kerjasama pendidikan yang telah terjalin baik selama ini melalui beragam skema dalam berbagai bidang kolaborasi untuk meningkatkan mutu, daya saing dan relevansi pendidikan di Indonesia, riset dan capacity building. Jika pun nanti ada satu-dua kerjasama yang berhenti, itu lebih karena memang sudah masanya berakhir, atau karena salah satu atau kedua pihak menilai kolaborasi tadi sudah tidak feasible lagi; bukan karena dinamika pemerintahan ataupun figur baru yang memimpin kementerian. Diharapkan Kabinet Balkenende IV yang dilantik 22 Februari 2007 ini akan membawa makna positif dan beragam peluang baru bagi Indonesia. Diantaranya bahwa kerjasama pendidikan tersebut akan didukung oleh Kementerian Kerjasama Pembangunan yang dinakhodai oleh Bert Koenders, politisi PvdA yang cukup konsern terhadap Indonesia. Aspirasi utama Menteri Koenders adalah bagaimana meningkatkan partisipasi Belanda sehingga Sasaran Pembangunan Millenium (Millennium Ontwikkelingsdoelen) yang mestinya dicapai 2015, sudah bisa dipenuhi separuhnya 2011. Alangkah strategisnya jika peluang semacam itu bisa kita optimalkan.
(Dimuat dalam Gunaryadis Pages on Asia-Europe Relations and Global Issues, pada: http://gunaryadi.blogsome.com, 24 Februari 2007)

255

53. SARKOZY ATAU ROYAL: IMPLIKASI TERHADAP POLITIK LUAR NEGERI PRANCIS DAN INDONESIA
Gunaryadi, 26 April 2007

icolas Sarkozy dan Sgolne Royalsebagaimana hasil berbagai jajak-pendapat sebelumnyaakhirnya maju ke putaran kedua pilpres Prancis yang dilaksanakan 22 April 2007. Pilpres kali ini membukukan tingkat partisipasi tertinggi sejak 1965 yaitu 84,6%. Menurut data Depdagri Prancis, dari 12 kan-

didat, Sarkozy (kanan-konservatif) meraih 31,18% suara, Royal (kirisosialis) 25.87%, dan Franois Bayrou (tengah) 18,57%. Sementara politisi ultranasionalis Jean-Marie Le Pen hanya mendulang 10,44% suara alias berada pada peringkat keempat. Pilpres putaran kedua dilaksanakan 6 Mei 2007. Diperkirakan duel itu nanti akan berlangsung ketat. Beragam polling menunjukkan Sarkozy sedikit unggul daripada Royal sehingga lebih perluang menjadi presiden. Tetapi itu tidak bermakna hilangnya peluang Royal menjadi presiden wanita pertama Prancis. Apalagi kalau Royal berhasil merayu para pemilih Franois Bayrou yang berada di domain tengah dalam spektrum politik Prancis. Menguatnya legitimasi elektoral Bayrou tersebut merupakan trend yang fenomenal di arena politik Prancis.
Implikasi terhadap politik luar negeri Prancis

256

Mengapa pilpres di Prancis krusial? Berbeda dari banyak sistem pemerintahan di banyak negara di Eropa yang biasanya dikepalai oleh perdana menteri, berdasarkan amanat konstitusional otoritas riil pemerintahan di Prancis berada di tangan presiden. Kekuasaan presiden sangat luas. Ia berwenang memilih perdana menteri, membekukan parlemen, panglima-tertinggi angkatan bersenjata dan pemegang komando arsenal nuklir. Dalam konteks otoritas tersebut seorang presiden akan sangat dominan mewarnai arah dan kecenderungan politik luar negeri Prancis meskipun aspek idiosyncratic atau figuritas tidak merupakan determinan tunggal. Tidak saja bagi Prancis, bagi dunia internasional pun, siapa yang terpilih menduduki Palais de l Elyses bermakna krusial. Prancis terhitung negara kuat secara politik, ekonomi, kultural dan militer termasuk memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB. Untuk memprediksi trend di atas perlu dilihat sikap dan pendekatan kedua capres dalam beberapa lingkar prioritas dalam politik luar negeri Prancis. Lingkar pertama adalah Uni-Eropa (EU). Pada tataran ini, Sarkozy mengajukan gagasan menyederhanakan traktat EU, ingin membentuk Uni-Mediterrania yang terdiri

dari Prancis, Portugal, Spanyol, Italia, Yunani dan Siprus, serta menolak bergabungnya Turki ke dalam EU. Sedangkan Royal ingin diadakan negosiasi-kembali terhadap Konstitusi Eropa, membentuk Eurozone government, serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan level pajak umum serta inisiatif baru EU dalam proses perdamaian Timur-Tengah. Disamping itu, Royal tidak menutup kemungkinan Turki masuk EU ketika Ankara memenuhi syarat keanggotaan. Berbeda dari tokoh ultranasionalis Le Pen atau anti-globalis Jos Bov, Sarkozy dan Royal termasuk pro-EU meskipun keduanya mengeluhkan Bank Sentral Eropa ikut bertanggung jawab terhadap memburuknya perekonomian Prancis. Keduanya memilih ya dalam referendum Konstitusi Eropa di Prancis 2005. Lingkar kedua adalah konteks Transatlantik yang berkaitan dengan hubungan Prancis-Amerika. Pada level ini, Sarkozy memang lebih dekat ke Washington dibanding Royal. Bahkan pihak sosialis dengan sangat kasar mencap Sarkozy sebagai anjing peliharaan Amerika karena pandangan ekonominya yang liberal dan mengagumi berbagai aspek dari gaya AS. Sebaliknya, sayap kanan Prancis menuduh Royal bagaikan seekor gajah di toko Cina. Di sisi lain, Royal dalam suatu kampanye di Toulouse mengatakan, Kita tidak akan bersimpuh di hadapan George Bush. Dia tampaknya juga lebih berkomitmen dibandingkan Sarkozy dalam kampanye-global mengimbangi dominasi AS, lebih cenderung pada dunia yang multipolar. Meskipun sentimen anti-Amerika di Prancis cukup tinggi bahkan dalam sebuah jajak-pendapat Desember 2006, 2/3 responden menginginkan agar presiden baru menjaga-jarak dari kebijakan luarnegeri ASnamun pesan yang disampaikan kedua capres tidak bisa dipersepsikan secara hitam-putih. Dalam dunia yang interdependen dan kompleks mustahil bagi Sarkozy bisa sepenuhnya pro-AS atau Royal sepenuhnya anti-AS. Lingkar ketiga mencakup kawasan di luar EU dan Transatlantik. Sarkozy cenderung akan membangun kerjasama dengan persemakmuran Francophone di Afrika. Sedangkan Royal tampaknya akan

257

merapat ke negara-negara yang memiliki aspirasi mengimbangi hegemoni AS seperti Cina, dll. Dalam lingkar ketiga ini isu perdamaian di Timur-Tengah juga cukup krusial. Royal cenderung akan melibatkan stakeholder yang lebih luas dalam negosiasi solusi konflik Israel-Palestina, Lebanon, dan nuklir Iran. Sedangkan Sarkozy berkemungkinan mempertahankan pendekatan status quo atau bahkan lebih merapat ke AS.
Prancis-Indonesia

258

Hubungan Prancis-Indonesia selama ini berjalan cukup hangat meskipun belum ada wadah dialog bilateral dan frekuensi kunjungan antar pejabat tinggi atau kepala negara cukup jarang. Prancis termasuk negara Barat pertama yang menjalin hubungan resmi dengan Indonesia ketika merdeka. Dilihat dari daftar negara tujuan ekspor Indonesia, hingga 2003 volume ekspor Indonesia ke Prancis masih kurang dari 2% atau di bawah Jerman, Inggris dan Belanda. Padahal Prancis termasuk ekonomi terkuat di EU. Namun, kehadiran Prancis di Indonesia cukup terasa seperti di sektor perminyakan dan pertambangan, jaringan-ritel, pariwisata, air bersih, lingkungan dan pertanian. Sektor lain mencakup kerjasama budaya, pendidikan tinggi, teknologi, dan pertahanan. Prancis cukup banyak membantu dalam proses demokratisasi, HAM, ketika Indonesia dilanda musibah, serta sentimen publik Indonesia terhadap Prancis sebagai aktor internasional cukup positif. Selama ini Prancis dan Indonesia di panggung internasional cukup banyak bersinergi. Kedua bangsa menjadi pelopor perdamaian di Kamboja 1993, setia dengan mekanisme PBB, memilih pendekatan multilateral dan keseimbangan antara Utara-Selatan. Selain itu, Prancis adalah great power yang sikapnya paling banyak beririsan dengan Indonesia dalam berbagai isu internasional seperti solusi konflik di Timur-Tengah, terorisme, serta sistem hukum Indonesia lebih mirip dengan sistem legal Prancis dibanding Anglo-Sakson. Bagi kepentingan Indonesia saat ini, terkesan bahwa Royal adalah sosok yang lebih tepat; namun, itu tidak bermakna bahwa jika Sarkozy yang terpilih akan terjadi skenario sebaliknya. Diperkirakan kecil kemungkinan terjadi perubahan drastis dari kebijakan luar

negeri Prancis terhadap Indonesia, siapa pun yang terpilih menjadi presiden. Namun Jakarta tentu tetap perlu menyiapkan antisipasi untuk mengoptimalkan efek dari pengaruh internasional Prancis bagi kepentingan domestik, regional dan global Indonesia.
(Dimuat dalam Gunaryadis Pages on Asia-Europe Relations and Global Issues, pada: http://gunaryadi.blogsome.com, 2 Mei 2007)

54. STRATEGI MENGHADAPI PELARANGAN MASKAPAI RI DARI LANGIT EROPA


Gunaryadi, 12 Juli 2007

259

eberapa hari yang lalu, berbagai kantor berita dan media memuat pesan substansial: seluruh maskapai penerbangan Indonesia dilarang terbang ke Uni Eropa (UE) karena tidak aman. Yang cukup mengejutkan bahwa Garuda termasuk dalam blacklist yang diberlakukan 6 Juli 2007. Garuda tidak saja ikon kebanggaan penerbangan nasional yang berencana membuka kembali jalur ke Eropa 2008, tetapi juga baru dipromosi ke Peringkat Pertama menurut ranking Dephub. Di Tanah Air, respons segera bermunculan, dari yang emosional hingga yang rasional.

260

Meskipun saat ini belum ada maskapai penerbangan Indonesia yang melayani rute Eropa, keputusan Komisi Eropa tersebut berpotensi besar merusak dari dua sisi yang saling mempengaruhi. Pertama, dari segi ekonomi karena merugikan industri penerbangan Indonesia, yang pada gilirannya merembet pada sektor pariwisata, investasi serta perbaikan kondisi ekonomi kita secara umum. Menurut statistik Menbudpar, dalam periode 1995-2005, dari 53.919.404 wisman yang berkunjung ke Indonesia, sebanyak 17,14% orang berasal dari Eropa. Hampir seluruh wisman Eropa itu datang ke Indonesia menggunakan layanan penerbangan, dan sekitar sepertiga dari jumlah tersebut kemudian menggunakan penerbangan domestik untuk paket wisata ke berbagai daerah. Jika otoritas dan wisman non UE ikut terpengaruh oleh blacklist tadi, maka efeknya akan semakin besar karena dalam kurun 1995-2005 itu kedatangan wisman ke Indonesia melalui jalur udara mencapai 55,58%. Kemudian, maskapai penerbangan kita akan gigit jari karena kondisi ini akan menciptakan ceruk pasar baru bagi maskapai asing regional dan internasional. Hal itu sudah terbukti ketika Garuda menghentikan layanan penerbangannya ke Eropa, niche tadi direbut MAS Malaysia meskipun kita masih berperan sebagai marketing carrier. Kedua, masalah citra. Yang cedera tidak saja ke-51 maskapai penerbangan Indonesia termasuk flag carrier kita, Garuda, tetapi kita sebagai bangsa. Pencitraan yang muncul akan menimbulkan persepsi internasional bahwa tingkat keselamatan dalam layanan penerbangan kita setara dengan sebagian besar negara-negara berkembang di Afrika. Jadi, ini persoalan seriusnya.
Tindakan Kuratif

Ada beberapa strategi dan taktik komprehensif untuk menghadapi kemelut ini, baik bersifat kuratif maupun preventif. Meskipun pepatah Belanda mengatakan voorkomen is beter dan genezen (mencegah lebih baik daripada mengobati), namun tindakan kuratif tersebut meskipun opsinya terbatas saat ini harus didahulukan karena kondisinya mensyaratkan demikian.

Strategi pertama dalam ranah ini adalah lebih banyak berbuat daripada berkomentar, defensif atau mencari kambing hitam. Konsekuensinya, harus ada usaha yang simultan bagi otoritas dan maskapai kita untuk membuktikan bahwa upaya memperbaiki tingkat keselamatan dan layanan dunia penerbangan kita sudah up to date dan optimal. Misalnya komitmen tanpa dukungan bukti konkrit, maka dunia sulit diyakinkan, meskipun dikumandangkan bahwa kita sudah mengadopsi standar Safety Management System dari World Civilian Flight Association dengan target menurunkan rasio kecelakaan pesawat dari 2,46 menjadi 1,25 menjelang tahun 2010. Sejalan dengan itu, otoritas penerbangan kita perlu bekerja keras menyiapkan informasi dan data untuk dibawa dalam kesempatan meyakinkan Brussel bulan Oktober 2007. Mengirim penjelasan melalui kedutaan besar negara Eropa di Jakarta barangkali ada baiknya tetapi agak kurang efektif menghentikan keputusan UE tadi mengingat regulasi tersebut bersifat supranasional, yang berada di atas otoritas negara anggota. Selain itu, daftar tersebut dikompilasi berdasarkan masukan dari komite khusus ke-25 anggota UE. Kedua, saat ini belum waktu yang tepat untuk membalas, karena larangan tersebut bersifat sementara sehingga masih ada waktu bagi otoritas dan dunia penerbangan kita untuk memperbaiki diri. Di samping itu, tindakan resiprokal itu akan kontraproduktif secara komersial, negatif dari sisi citra karena dianggap emosional, dan cenderung tidak relevan dengan konteks. Mengulang nostalgia ketika kita mampu menyulitkan KLM di masa dekolonialisasi tidak akan efektif, karena persoalan waktu itu adalah isu kedaulatan dan self-determination. Sedangkan, alasan tunggal pelarangan maskapai kita oleh Komisi Eropa saat ini semata sebagai upaya memberikan perlindungan kepada konsumen mereka. Mestinya kita meneladani bagaimana UE sangat mengutamakan keselamatan dan kenyamanan warganya. Ketiga, opsi dan wacana pembalasan tetap perlu dipegang tetapi untuk saat ini hanya sebagai faktor penekan, misalnya untuk lobbying dan pressure agar Brussel mempercepat masa larangan bagi maskapai Indonesia, tidak harus sampai Oktober 2007. Memanfaatkan jalur

261

lobbying Belanda juga cukup bagus dijajaki mengingat suara Belanda terhadap isu-isu Indonesia di Brussel sangat diperhatikan. Keempat, perlu pembatasan jumlah maskapai. Kalau yang ada saat ini diperkecil. Itu bisa melalui peningkatan kriteria dan standar yang harus dipenuhi, dengan merjer, code sharing agreement, dll. Jumlah maskapai yang terlalu banyak akan menyulitkan kontrol, sertifikasi, koordinasi, administrasi serta kompetisi bisnis yang kurang sehat. Merujuk pada economies of scale pasar industri penerbangan kita yang lagi booming tampaknya masih memungkinkan jika layanan budget flight dikombinasi dengan tingkat keselamatan yang prima. Kelima, perlu meningkatkan pengawasan, akuntabilitas, transparansi terhadap sistem, struktur dan performa otoritas penerbangan kita.
Strategi Preventif

262

Merujuk pada masa yang akan datang, strategi preventif pertama ialah kita perlu lebih sigap. Menurut Chappy Hakim, sebelum dimasukkan ke dalam blacklist, UE sebenarnya sudah meminta data dan informasi yang lengkap tentang maskapai kita, tapi tidak kita tanggapi dengan cepat. Merujuk pada masa yang akan datang, strategi preventif pertama ialah kita perlu lebih sigap. Menurut Chappy Hakim, sebelum dimasukkan ke dalam , UE sebenarnya sudah meminta data dan informasi yang lengkap tentang maskapai kita, tapi tidak kita tanggapi dengan cepat. Benar ada tim pejabat terkait yang ke Brussel menjelang pelarangan tersebut, namun kedatangan mereka terlambat. Bahkan Reuters (28/6/07) mengutip pernyataan seorang pejabat Komisi Eropa, When they finally showed up, they even could not tell us how many planes their carriers operate. Jadi, kausa utama persoalan ini bukan karena miskomunikasi atau tindakan sepihak Brussel, tetapi karena kualitas maskapai kita sedang disorot kemudian kita telat menanggapinya. Kedua, pemerintah dan civil society perlu menumbuhkan kesadaran kepada publik akan pentingnya keselamatan penerbangan. Konsumen harus lebih asertif akan hak-haknya.

Ketiga, kita perlu lebih mengenal UE mengingat visibilitas raksasa ekonomi tersebut di Indonesia masih kabur (Asia-Europe Journal, 1/2005). Tidak heran banyak perkembangan legislasi, regulasi dan kebijakan yang jika berindikasi ancaman bagi Indonesia tidak mampu kita konversi menjadi peluang. Misalnya, regulasi blacklist UE itu berlaku efektif sejak 2005 dengan payung EC Regulation 2111/2005, yang diamendemen dengan (EC) 474/2006, kemudian dengan (EC) 235/2007. Artinya, kebijakan tersebut bukan hal yang baru. Bahkan begitu dikeluarkan, sistem blacklist itu langsung memakan korban. Salah satunya maskapai tetangga kita, Phuket Air. Masalah visibilitas terhadap UE ini sangat akut. Survei pilot proyek yang kami lakukan akhir 2006 tentang persepsi mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Belanda terhadap UE memverifikasi bahwa pengetahuan responden, misalnya, terhadap mekanisme kebijakan dan legislasi UE hanya 2,26 (skala 1-5); sedangkan terhadap institusi-institusi UE hanya 2,33. Responden juga merekomendasi untuk meningkatkan visibilitas UE urgen bagi kita untuk menambah atau memperkuat pusat riset UE di tanah air (21%), serta memperluas sosialisasi UE di kalangan publik Indonesia (21,4%). Akhirnya, semua terpulang kepada kita. Meskipun berimplikasi ekonomi dan citra yang besar bagi Indonesia, pelarangan tersebut bersifat sementara. Kita masih bisa bangkit asalkan dengan niat baik, komitmen dan kesigapan, disertai upaya untuk mengenal UE lebih dekat.
(Kolom primetime Detik.com, 12 Juli 2007)

263

INDONESIAN CENTRE FOR ACTUAL INFORMATION AND STUDIES ON EUROPE (INDOCASE) SELAYANG PANDANG
Rasional

264

Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara menurut banyak indikator. Dari ukuran, luasnya menyamai bentang geografis Eropa Barat, atau kurang-lebih setara dengan bentang daratan dari Amerika Serikat.44 Terdiri dari lebih 18.000 pulau, Indonesia berpenduduk menurut proyeksi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)290 juta jiwa pada tahun 2050. Di Asia Tenggara, Indonesia pernah menjadi kekuatan yang dominan dan diperhitungkan. Aspirasi dan leverage regional ini berakhir ketika krisis moneter dan ekonomi melanda kawasan itu tahun 1997/1998, dan Indonesia adalah negara yang terparah menderita krisis tersebut karena fondasi ekonominya paling rapuh. Krisis tersebut ternyata membawa dampak yang sangat luas dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan keamanan. Salah satunya adalah suksesi kekuasaan (regime change) yang biasa di sebut Era Reformasi. Demokratisasi yang menjadi esensi perubahan kekuasaan dalam masa transisi ini terbukti mengalami perlambatan dari segi partisipasi politik, keterbukaan politik dan intelektual, good governance, memberantas KKN, perbaikan kondisi ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan sektor keamanan. Meskipun akhir-akhir ini Indonesia sering dianggap sebagai bangsa yang berada pada masa transisi, tetapi dalam banyak kesempatan negara ia dinilai sebagai kekuatan demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan AS. Bagi EU, Indonesia tetap sebagai salah satu pemain kunci di kawasan Asia-Pasifik.45 Kebijakan baru yang diluncurkan EU berupa European Neighbourhood Policy (ENP) sebagai sarana strategi untuk mencegah munculnya konflik di perbatasan EU
44 45

Lihat: H.P. Jones (1971). Indonesia: The Impossible Dream. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., hal. 107. European Commission (2000, 2 February). Developing closer relations between Indonesia and the EU, COM [2000] 50 final Communication from the Commission.

yang dimekarkan tahun 2004 menjadi 25 negara anggota dengan negara-negara di sekelilingnya bisa dipastikan hanya membawa sedikit penyesuaian dalam kebijakannya terhadap Indonesia. Dalam tataran dunia yang interdependen46, pentingnya EU bagi Indonesia bisa dikatakan sama dengan pentingnya Indonesia bagi EU.47 Bagi Indonesia, EU adalah mitra dagang terbesar kedua setelah Jepang, and menjadi tujuan terbesar komoditas produk non-migas Indonesia tahun 1998. Melalui negara anggotanya, EU adalah penanam modal-asing langsung terbesar di Indonesia. Sejalan dengan prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, EU juga memerlukan EU sebagai mitra untuk mengimbangi menguatnya unilateralisme dalam penyelesaian persoalan global. Meskipun secara geografis Indonesia tidak terlalu dekat, EU memerlukan Indonesia sebagai pasar bagi produk mereka. Hingga saat ini, komoditas dari EU menguasai porsi terbesar pasar Indonesia. Disamping itu, banyak pula negara anggota EU yang terkemuka yang memiliki kepentingan nasional di Indonesia. Negeri ini juga merupakan lahan yang sesuai untuk menyemai nilai-nilai demokrasi, pemerintahan yang bersih, dan mitra yang konstruktif dalam memberantas terorisme. EU telah menempatkan hubungannya dengan Indonesia dalam kerangka yang paling supranasional yaitu European Communities (EC) yang Pilar Pertama EU. Bidang kerjasama lebih banyak dalam aspek kerjasama pembangunan dan perdagangan. Secara legalitas, hingga saat ini belum ada perjanjian kerjasama yang bersifat bilateral antara keduanya. Tetapi, kerjasama yang telah berlangsung selama ini berada dalam bingkai EC-ASEAN Cooperation Agreement tahun 1980, dan Indonesia termasuk ke dalam Councils ALA Regula-

265

46 47

Selanjutnya, lihat R. Jackson dan G. Srensen (2003). Introduction to International Relations: Theories and approaches. (2nd Ed.). Oxford: Oxford University Press, hal. 112. Gunaryadi (Mei 2003). European Enlargement and Implications on EU-Indonesia Relations. ASEM Research Platform (International Institute for Asian Studies Leiden University), at: http://www.iias.nl/asem/discussion/Gunaryadi_EU_IndonesiaRelations.pdf.

266

tion.48 Sejak tahun 1976, nilai finansial kerjasama dengan Indonesia telah mencapai 325 juta dalam bentuk bantuan hibah, baik melalui saluran pemerintah maupun non-pemerintah. Dalam kerangka kerjasama multilateral, EU merupakan salah satu donor utama bagi Indonesia melalui Consultative Group for Indonesia atau CGI. Hubungan perdagangan antara EU dan Indonesia pernah dianggap dalam bentuk yang paling maju di antara negara-negara anggota ASEAN.49 Hal ini disebabkan oleh kebijakan diversifikasi ekspor Indonesia yang sebagai besar terdiri dari bahan mentah dan produk pertanian hingga komoditas konsumsi jangka-panjang seperti tekstil, sepatu, perabot, dan elektronika. Dalam tahun 2004, nilai impor EU dari Indonesia berada dalam posisi stabil yaitu sekitar 10 milyar, dan ekspor EU ke Indonesia bernilai 5 milyar.50 Prinsip dasar dan tujuan dari strategi EU terhadap Indonesia disesuaikan dengan tujuan traktat-traktat EU yang relevan untuk Indonesia dalam kaitannya dengan kerjasama pembangunan dan panduan umum yang dikeluarkan melalui Commission Communication on Development. Fokus dari kebijakan pembangunan EC ini adalah pengentasan kemiskinan dalam 6 bidang utama: (1) perdagangan dan pembangunan; (2) integrasi dan kerjasama regional; (3) dukungan terhadap kebijakan ekonomi-makro yang berkaitan langsung dengan strategi pengentasan kemiskinan; (4) transportasi; (5) keamanan makanan dan pembangunan pedesaan yang berkelanjutan; dan (6) penguatan institusional, good governance, dan perbaikan dalam penerapan hukum. Khusus untuk Indonesia, program kerjasama pembangunan untuk periode 2002-2006 difokuskan dalam 2 sektor kebijakan: good governance dan manajemen sumber daya alam.51 Kebijakan
48

49 50 51

Regulation (EEC) N 443/92 of 25 February 1992 on financial and technical assistance to, and economic cooperation with, the developing countries in Asia and Latin America. Lihat: G. Wiessala (2002). The European Union and Asian Countries. London: Sheffield Academic Press, hal 132. European Commission (2005, June). The EUs relations with Indonesia, at: http://europa.eu.int/comm/external_relations/indonesia/intro/index.htm. Lebih lanjut, lihat: European Commission (2002, June). EU & Indonesia - Country Strategy Paper 2002-2006, at: http://europa.eu.int/comm/external_relations/indonesia/csp/02_06_en.pdf.

dalam sektor kebijakan good governance mencakup administrasi publik yang menangani sarana kesehatan publik dan layanan kesehatan bagi masyarakat miskin; dan dukungan terhadap liberalisasi ekonomi dan kerjasama ekonomi internasional. Sedangkan dalam sektor manajemen sumber daya alam mencakup manajemen kehutanan, air, dan pembangunan pedesaan. Dana yang dianggarkan dalam kerjasama pembangunan 4 tahunan tersebut mencapai 216 juta. Sementara itu, Country Strategy Paper untuk periode 2007-2013 sedang disusun. Bidang-bidang yang akan menjadi perhatian mencakaup sektor pendidikan, perdagangan, dan investasi. Disamping mekanisme EC-ASEAN Cooperation Agreement tahun 1980 di mana Indonesia termasuk salah satu anggota, sarana dialog institusional yang menyokong hubungan EU dan Indonesia dilakukan melalui ASEM, Ministerial and Senior Officials Meetings, dan ASEAN Regional Forum (ARF). Institusi yang disebutkan terkahir merupakan forum regional yang membahas isu-isu keamanan. Karena intensitas dialog dengan Indonesia masih terbatas jika dibandingkan dengan, misalnya, Thailand dan Filipina, terlihat ada usaha untuk lebih meningkatkan cakupan dan keterlibatan Indonesia ke dalam forum tersebut. Sepanjang tahun 2004 telah terjadi banyak perubahan yang substansial terhadap lingkungan yang menjadi basis hubungan antara EU dan Indonesia. Dalam tahun tersebut, EU dimekarkan dengan 10 negara anggota baru sehingga secara keseluruhan sekarang berjumlah 25 negara. Sedangkan Indonesia telah berhasil melaksanakan pemilu legislatif, dan pemilihan presiden secara langsung yang pertama dalam sejarahnya.52 Sebuah pemerintah dengan paradigma baru dan lebih segar muncul di Indonesia. Perkembangan tersebut tentu saja membawa tantangan dan peluang baru. Selain prospek ekonomi dan strategis dari perluasan EU, terdapat pula masalah yang masih menyelimuti hubungan kedua belah pihak

267

52

Lihat: Gunaryadi (November 2004). Presidential Election & EU-Indonesia Relations. EurAsia Bulletin, Vol. 8, No. 7 & 8 July-August 2004. European Institute for Asian Studies, Brussels.

268

yaitu visibilitas EU di Indonesia.53 Dibandingkan dengan negara di Asia dan ASEAN, visibilitas EU di Indonesia masih tertinggal jauh dan lebih kabur. Rendahnya kadar visibilitas tersebut berpotensi menghambat pemahaman yang lebih baik terhadap EU di Indonesia. EU adalah sebuah aktor internasional. Dari segi penguasaan ekonomi, perdagangan dan investasi dunia, EU merupakan kekuatan raksasa. Menyumbangkan 51% dari aliran investasi asing langsung, nilai ekspor barang dan layanannya menguasai 38% pasar dunia, menguasai 36% GNP dunia, menyumbang 56% dari bantuan pembangunan dunia. Disamping itu, negara anggota EU merupakan blok terbesar dalam institusi Bretton Woods: 23% suara di Bank Dunia dan 29% suara di IMF, dan EU menguasai suara kolektif yang terbesar dalam WTO.54 Dari elaborasi di atas, jelas Eropa sebagai kekuatan ekonomi, politik, sains dan teknologi global yang memiliki potensi kemitraan dengan Indonesia dalam bidang politik, ekonomi, perdagangan, investasi dan strategis. Langkah awal untuk mencapai tujuan tersebut adalah memperbaiki visibilitas EU di Indonesia melalui peningkatan volume dan intensitas informasi yang komprehensif dan aktual serta kajian-kajian terhadap current issues berkaitan dengan integrasi EU dalam sektor ekonomi, sosial, politik, pertahanan, hukum, sejarah, dan bidang lain yang relevan. Untuk membantu pencapaian target-target di atasmelalui peningkatan visibilitas EU di Indonesiadiperlukan sebuah lembaga penyedia informasi dan kajian integrasi EU yang dikembangkan dan dikelola oleh para peneliti dan pemerhati yang memiliki spesialisasi kepakaran dalam kajian kontemporer terhadap EU. Lembaga ini diharapkan memiliki warna yang khas Indonesia karena dikembangkan dan dikelola oleh putera-puteri Indonesia yang sebagian bermukim dan hidup secara langsung dalam habitat Eropa. Rasional tersebut yang melatarbelakangi lahirnya lembaga Indonesian Centre

53 54

Gunaryadi (April 2005). European Union Visibility in Indonesia, Asia Europe Journal, Vol. 3, Issue 1. Heidelberg: Springer. Lihat: M. van Reisen (1999). EU Global Player: The North-South Policy of the European Union. Brussels: International Books, hal. 2.

for Actual Information and Studies on Europe ini yang disingkat dengan INDOCASE. INDOCASE
Visi

Menuju lembaga informasi dan riset yang independen dan credible dalam menyebarluaskan informasi dan mengkaji isu-isu yang berkaitan dengan perkembangan kontemporer di Eropa, serta membangun saling pengertian yang lebih baik antara Asia (Indonesia) dan EU dalam bingkai kerjasama dan kemitraan.
Misi

Aktualisasi: 1. Eksistensi and Aktualisasi Mengupayakan agar lembaga ini berkembang menjadi sebuah lembaga informasi dan riset yang mapan dan independen, sesuai dengan visi di atas. Layanan: 2. Peran dan Layanan Berfungsi sebagai think-tank Memberikan masukan berupa hasil kajian dalam aspek-aspek dari integrasi Eropa kepada para pembuat-kebijakan pada level nasional dan regional. Publik: 3. Pendidikan Publik Membangun pemahaman yang lebih baik tentang EU di kalangan peneliti, dunia usaha, dan pembuat kebijakan baik dari pihak pemerintah maupun swasta, dan masyarakat madani di Indonesia. Menyebarkan pengetahuan dan informasi yang mutakhir tentang EU di Indonesia dan Asia Tenggara melalui diskusi, konferensi regional dan internasional, workshop, riset dan publikasi. Ekspektasi di masa depan, lembaga ini diarahkan untuk bisa memberikan layanan pendidikan dan riset dengan kredit yang
269

bisa dikonversi dengan sistem kredit universitas di Indonesia dan internasional. Kemitraan: 4. Kemitraan Menjalin kerjasama dan kemitraan dengan lembaga lain, dengan ilmuwan dan pakar Indonesia dan Eropa dengan spesialisasi kajian Eropa, eksekutif dan dengan komunitas bisnis.
Ruang Lingkup Aktivitas

1. 2. 3. 4. 5.

Penyebaran informasi dan riset Konsultansi kebijakan Publikasi, penterjemahan dan penerbitan Seminar dan konferensi Dokumentasi
Kontak

270

Sekretariat: Bakkersstraat 35 2513 TJ, Den Haag (s-Gravenhage) Email: info@indocase.nl Website: http://indocase.nl

271

Anda mungkin juga menyukai