Berakhirnya masa penjajahan Belanda juga tidak luput dari proyeksi kedalaman
pengetahuan Bapak Bangsa tentang geopolitik dan sejarah bangsa. Potensi
kelemahan Belanda dipahami melalui pembacaan tentang pergeseran politik dunia
antara kekuatan kapitalisme dan fasisme. Tahun 1929, Soekarno membaca prediksi
Hector Charles Bywater yang ditulis dalam bukunya “The Great Pacific War”.
Bywater memprediksi perang besar akan terjadi antara kekaisaran Jepang dan
Amerika Serikat yang memperebutkan wilayah Asia Pasifik. Digambarkan dalam
buku itu perang berawal dari serangan Jepang ke pangkalan militer AS di Filipina.
Prediksi ini hanya berbeda tipis dengan kenyataan yang terjadi, Jepang justru
menyerang pangkalan AS di Pearl Harbour.1
Kemudian, berbekal pengetahuan akar budaya yang baik, Soekarno juga mampu
menghubungkan prediksi Bywater ini dengan ramalan Jayabaya yang mengatakan
bahwa kelak akan ada bangsa bertubuh pendek, berkulit kuning yang akan
menguasai tanah Jawa seumur jagung. Istilah seumur jagung pada pemahaman
bahasa Jawa artinya waktu yang singkat, hanya sekitar 3,5 bulan. 2
Analisis Soekarno tentang pertarungan antara kekuatan politik saat itu berujung pada
prediksi bahwa di Pasifik akan terjadi perang antara Amerika dan Jepang. Sehingga
jauh-jauh hari sebelum pecah perang Asia Pasifik, Soekarno sudah mulai
mengantisipasi dan mempersiapkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa para pendiri bangsa dan pemimpin kita dahulu
merupakan orang yang hebat yang mampu menganalisa hal–hal yang akan terjadi
1
Lebih detail dapat dibaca di majalah triwulanan Lemhanas RI Swantara No. 20 Tahun VI / Maret 2007 dengan
judul artikel “Belajar dari Perjalanan Geopolitik Bangsa”
2
Ibid.
1
dengan cara pembacaan dan analisis mendalam tentang peristiwa yang berkaitan
dengan geopolitik dan geostrategis.
Terdapat banyak definisi geopolitik dari berbagai ahli geopolitik dan hubungan
internasional. Diantara definisi yang bisa dipahami dengan mudah antara lain;
geopolitik merupakan studi tentang pengaruh geografis (lokasi) terhadap perilaku
negara (politik). Setiap negara memiliki lokasi geografis yang berbeda dengan
karakteristik landscape, iklim, budaya yang berbmacam macam. Perbedaan itu
menjadikan karakter hidup juga menjadi berbeda beda. Masing-masing memiliki
potensi dan tantangan dalam memenuhi kepentingan nasionalnya. Masyarakat
Indonesia yang berkepulauan memiliki karakterisitik berbeda dengan kehidupan dan
tantangan masyarakat Nepal yang negaranya berada di pegunungan. Perbedaan
geografis dengan segala pirantinya yang berbeda menjadi dasar pertimbangan
dalam menentukan kebijakan suatu negara untuk mencapai tujuan nasionalnya.
Hal itu seirama dengan gagasan Tim Marshal, bahwa geopolitik melihat bagaimana
hubungan internasional dimengerti melalui faktor-faktor geografis – bukan hanya
landscape fisik, tetapi juga terkait kondisi iklim, demografi, kebudayaan setempat dan
akses ke Sumber Daya Alam (SDA).3 Geopolitik mempunyai empat unsur
pembangun, yaitu keadaan geografis, politik dan strategi, hubungan timbal balik
antara geografi dan politik, serta unsur kebijakan pemerintah suatu negara, yang
kesemuanya tentu saja diorientasikan dalam rangka menjamin kepentingan nasional
bangsa itu sendiri.4 Geopolitik juga erat dengan kondisi ekonomi sebagai variable
yang berkorelasi dengan aspek demografis, lingkungan, geografi dan politik serta
bagaimana factor-faktor tersebut mempengaruhi kebijakan politik luar negeri dan
kebijakan keamanan negara.
Peristiwa konflik Rusia dan Ukraina ini bisa dipahami melalui gagasan teoritis
Geopolitik Fredefich Ratzel dan Rudolf Kjellen. Menurut Ratzel dan Kjellen,
pertumbuhan negara mirip dengan pertumbuhan organisme (makhluk hidup), yang
memerlukan ruang hidup (lebensraum) cukup agar dapat tumbuh dengan subur
melalui proses lahir, tumbuh, berkembang, mempertahankan hidup, menyusut, dan
3
Marshall, T. (2016). Prisoners of geography. Elliott & Thompson.
4
Majalah triwulanan Lemhanas RI Swantara No. 20 Tahun VI / Maret 2007 dengan judul artikel “Belajar dari
Perjalanan Geopolitik Bangsa”
5
Sulisworo, D. dkk (2012). Bahan Ajar Geopolitik Indonesia. UAD
2
mati. Kekuatan suatu negara harus mampu mewadahi pertumbuhannya. Makin luas
ruang dan potensi geografi yang diternpati oleh kelompok politik dalam arti kekuatan
makin besar kemungkinan kelompok politik itu tumbuh. Suatu bangsa dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak terlepas dari hukum alam. Hanya
bangsa yang unggul saja yang dapat bertahan hidup terus dan berlangsung. Apabila
ruang hidup negara sudah tidak dapat memenuhi keperluan, ruang itu dapat dipeluas
dengan mengubah batas-batas negara baik secara damai maupun melalui jalan
kekerasan atau perang.6
Dalam kasus lain, geopolitik hari ini juga banyak digunakan secara bebas untuk
menyebut fenomena seperti: sengketa perbatasan internasional, struktur keuangan
global, pola geografis hasil pemilu (Agnew, 2003:5). Sengketa perbatasan muncul
akibat klaim masing-masing pihak terhadap batas wilayah yang kemudian diikuti
6
Ibid.
7
Kompas, 4 november 2002
8
Disarikan dari paparan Prof. Mohtar Masoed, Guru Besar Hubungan Internasional (HI) pada podcast kuliah
Ilmu Sosial Dasar Geografi, Geopolitik dan Hubungan Internasional pada link https://www.youtube.com/watch?
v=jf4v1qRx6uM
3
langkah diplomasi atau lainnya. Geopolitik juga memberikan kontribusi yang cukup
besar dalam mendorong pemahaman sistem perdagangan bebas internasional yang
menjadi jantung ekonomi pasar global modern (Agnew dan Corbridge, 1995 dalam
Blacksell, 2006:10).
Jika kita ingin membangun sebuah gerakan maka dimana wilayah perebutan yang
akan kita temui dan oleh karena itu apa yang harus kita produksi dan mengunakan
jalur distribusi seperti apa agar produk-produk gerakan kita tidak disabotase di
9
Majalah triwulanan Lemhanas RI Swantara No. 20 Tahun VI / Maret 2007 dengan judul artikel “Belajar dari
Perjalanan Geopolitik Bangsa”
4
tengah jalan. Rangkaian produksi-distribusi-perebutan ini adalah sebuah mata rantai
yang tidak boleh putus, karena putusnya sebuah mata rantai ini berati matinya
gerakan atau setidak-tidaknya gerakan hanya akan menjadi tempat kader ber-
heroisme-ria. Dan yang lebih penting bahwa gerakan semacam ini akan lebih mudah
untuk di aborsi.
Yang pertama-tama perlu di kembangkan di PMII adalah bahwa sejarah itu berjalan
dengan masa lalu, bukan karena semata-mata masa lalu itu ada, tetapi karena masa
lalu telah membentuk hari ini dan hari esok. Artinya capaian tertinggi dari sebuah
gerakan adalah ketika satu generasi telah berhasil mengantar generasi berikutnya
menaiki tangga yang lebih tingi. Visi historis inilah yang akan menjadikan PMII
sebagai organisasi besar yang berpandangan kedepan dan universal, karena PMII
tidak didirikan hanya untuk bertahan selama sepuluh atau dua puluh tahun, tetapi
PMII didirikan untuk melakukan perubahan tata struktur dan sistem.
Prespektif di atas adalah kristalisasi pemahaman yang kuat akan jatidiri dan tujuan
kelembagaan. Dengan pemahaman realitas masyarakat kontemporer dengan
perangkat alat bantu analisis geopolitik, geoekonomi, dan geostrategi yang kuat akan
dapat memandu arah gerakan PMII, baik sebagai ilmu maupun doktrin, agar proses
kaderisasi dapat melahirkan calon pemimpin pewaris sejarah pendiri bangsa yang
berjuang dengan arah dan strategi yang bernas.
Beberapa tantangan dan peluang hari ini yang dapat menjadi momentum persiapan
dalam kaderisasi yang baik adalah, motivasi kesejarahan Indonesia sebagai bangsa
besar yang terbukti pernah aktor penting dalam pergaulan politik internasional
(contoh: Perebutan Irian Barat, Pembentukan Gerakan Non-blok, pembentukan
ASEAN, dll). Kondisi geopolitik dunia yang hari ini juga mengalami pergeseran akibat
perubahan paradigma de-globalisasi 10, sehingga negara-negara di dunia berapa
pada posisi start yang sama dan tidak ada negara yang paling dominan (adi kuasa)
seperti sebelum-sebelumnya. Pandemi covid dunia dan perkembangan teknologi
pada berbagai bidang, membuka peluang sama pada semua negara bangsa di dunia
untuk berlomba menjadi negara unggul dan dapat memenuhi kebutuhan
nasionalnya. Paling akhir, optimisme Kishore Mahbubani tentang hari ini adalah
abadnya Asia untuk menjadi kekuatan global 11, menggeser Amerika dan Eropa yang
nyaman 3 abad terakhir, hendaknya bisa dijadikan daya dorong bagi kader
pergerakan untuk turut mengisi ruang optimisme ini.
10
Kharisma, M.W. (2020). Dunia di Tengah Pandemi COVID-19: Perspektif Geopolitik. CSIS Commentaries
DMRU-029-ID
11
Mahbubani, K. (2008). The new Asian hemisphere: The irresistible shift of global power to the East. New York:
PublicAffairs.
5