Anda di halaman 1dari 65

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Kepolisian Negara Republik Indonesia, adalah salah satu institusi pemerintah yang bertugas sebagai ujung tombak penegakan hukum di Indonesia. Tugas yang diemban ini tidaklah ringan karena akan berhadapan dengan masyarakat. Penegakan hukum, bukan saja masyarakat harus sadar hukum dan taat hukum, tetapi lebih bermakna pada pelaksanaan hukum sebagaimana mestinya dan bagi yang melanggar harus pula ditindak menurut prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Indonesia, bila dikaji secara mendalam ternyata berisi harapan-harapan, yang diarahkan pada hal-hal sebagai berikut : (1) Terwujudnya aparatur kepolisian yang mandiri, berkualitas dan

profesional. (2) Terlaksana tugas dan tanggung jawab kepolisian dengan baik,

benar dan berkualitas, dengan mengedepankan keadilan, kepolisian hukum dan hak-hak azasi manusia.

(3)

Terwujudnya

ketertiban,

keamanan,

kedamaian

dalam

masyarakat, melalui peningkatan kesadaran hukum, ketaatan terhadap hukum dan penegakan hukum sebagaimana mestinya. Hukum sebagai suatu bentuk peraturan yang bersifat mengikat setiap tingkah laku masyarakat, memerlukan suatu kepedulian masyarakat agar setiap tingkah laku dan perbuatan baik dalam suatu badan organisasi, pemerintahan, maupun dalam kehidupan sehari-hari hendaknya setiap tingkah laku selalu dibatasi oleh suatu aturan agar tercipta suatu keamanan dan ketertiban. Polisi sebagai penegak hukum yang bertugas memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum, memelihara keselamatan negara serta memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat termasuk memberi perlindungan dan pertolongan dan memberi serta mengusahakan ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap segala bentuk-bentuk peraturan. Hasil observasi awal penulis menemukan bahwa di Polsek

Watubangga dalam melaksanakan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras, banyak menemui permasalahan-permasalahan, baik permasalahan dari segi personil penyidik yang ada di Polsek Watubangga yang masih kurang, pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras yang sering menghilangkan barang bukti penyidikan.

Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka sebagai suatu daerah yang sedang membangun untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar dapat menjadi suatu daerah kecamatan yang didambakan oleh setiap warga masyarakat, memerlukan suatu bentuk penanganan yang serius dari penegak hukum, agar kesadaran hukum masyarakat terhadap segala bentuk kejahatan yang dapat menghambat pembangunan agar diatasi, karena pembangunan tidak bisa berjalan dengan baik apabila masyarakat dan penegak hukum tidak berdampingan. Oleh karena itu polisi bertujuan untuk mengayomi masyarakat, hendaknya dapat melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang, agar pelaksanaan tugas kepolisian tidak menyimpang sehingga masyarakat tidak selalu

menyalahkan petugas kepolisian apabila ada hal-hal yang sifatnya berada diluar dari fungsi dan wewenang polisi itu sendiri. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis melakukan pengkajian secara ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul

Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Minuman Keras ( Studi Kasus di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka ).

1.2.

Rumusan Masalah. Permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka ? 2. Hambatan-hambatan apakah yang dialami oleh Polsek Watubangga dalam pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana minuman keras? 3. Upaya-upaya apakah yang dilakukan Polsek Watubangga untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan penyidikan

terhadap pelaku tindak pidana minuman keras ? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka. 2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dialami oleh

Polsek Watubangga dalam pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras. 3. Untuk mengetahui untuk upaya-upaya mengatasi yang dilakukan Polsek dalam

Watubangga

hambatan-hambatan

pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras.

1.3.2. Manfaat Penelitian 1. Sebagai sumber informasi dalam pengembangan di bidang

pengetahuan hukum terutama menyangkut tugas dan wewenang dalam penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka. 2. Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti berikutnya dalam

melakukan penelitian tentang pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tugas dan Fungsi Kepolisian Pengertian 2002, adalah kewenangan Kepolisian, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun tugas, fungsi dan ketertiban dan

Institusi Negara yang diberikan tertentu, untuk menjaga

keamanan,

mengayomi masyarakat. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, maka jajaran kepolisian, semakin dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan sekaligus mewujudkan ketentraman ditengah-tengah masyarakat. Tugas Kepolisian yang begitu mulia tersebut, maka dapat

diwujudkan apabila aparaturnya mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, benar dan bertanggungjawab, dengan memberikan

pelayanan pada masyarakat secara optimal. Sehubungan dengan itu, maka Rahman Rahim, (2000:16),

menyatakan bahwa tugas yang diembang oleh institusi Kepolisian sangat berat, sehingga sangat diperlukan aparatur yang handal, agar semua

tugas-tugas dimaksud dapat dilaksanakan dengan baik dan efektif. Tugas kepolisian adalah merupakan bagian dari pada Tugas Negara dan untuk mencapai keseluruhannya tugas itu, maka diadakanlah

pembagian tugas agar mudah dalam pelaksanaan dan juga koordinasi, karena itulah di bentuk organisasi polisi yang kemudian mempunyai tujuan untuk mengamankan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat yang berkepentingan, terutama mereka yang melakukan suatu tindak pidana. Menurut G. Gewin (Djoko Prakoso,1987:136) Tugas Polisi adalah sebagai berikut : Tugas polisi adalah bagian daripada tugas negara perundangundangan dan pelaksanaan untuk menjamin tata tertib ketentraman dan keamanan, menegakkan negara, menanamkan pegertian, ketaatan dan kepatuhan. Tugas polisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Polisi Negara Republik Indonesia, telah ditentukan didalamnya yakni dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, (1985 : 2) menyatakan sebagai berikut : (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dalam negeri. Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.

(2)

Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 dalam butir 31 butir a (Djoko Prakoso.1987:183) menyebutkan tugas dari kepolisian adalah sebagai berikut : Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Polri bertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan : segala usaha dan kegiatan sebagai alat negara dan penegak hukum terutama dibidang

pembinaan keamanan da ketertiban masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 dan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1969. Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tugas Polisi Republik Indonesia seperti yang disebutkan di atas, maka jelaslah bahwa tugas Polisi Republik Indonesia sangat luas yang mencakup seluruh instansi mulai dari Departemen Pertahanan Keamanan sampai pada masyarakat kecil semua membutuhkan polisi sebagai pengaman dan ketertiban masyarakat. Untuk melaksanakan tugas dan membina keamanan dan ketertiban masyarakat, Polisi Republik Indonesia berkewajiban dengan segala usaha pekerjaan dan kegiatan untuk membina keamanan dan ketertiban masyarakat. Polisi sebagai pengayom masyarakat yang memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak terlepas dari suatu aturan yang mengikat untuk melakukan suatu tindakan dalam pelaksanaan tugasnya yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 pada Bab III, bahwa kewajiban dan wewenang kepolisian dalam menjalankan tugasnya harus bersedia ditempatkan di mana saja dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.

2.2.

Wewenang Penyidik Polri Sebelum peneliti menguraikan lebih jauh tentang wewenang seorang penyidik, maka sangatlah penting untuk diketahui siapa dapat yang menjadi penyidik. Pasal 1 butir 1 KUHAP memberikan batasan tentang penyidik. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penyidik dalam melakukan tugas, harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan yang telah ditentukan. Syarat kepangkatan seorang penyidik dalam melakukan penyidikan diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan KUHAP Nomor 27 Tahun 1983. Adapun syarat-syarat tersebut dijelaskan dalam Pasal 2 yang berbunyi : (1) Penyidik adalah : a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurang berpangkat pembantu Letnan Dua Polisi. b. Pejabat pegawai negeri tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda Tk. I (golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu. (2) Dalam sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagai dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka komandan sektor kepolisian bintara dibawah pembantu letnan dua polisi karena jabatannya adalah penyidik. (3) Penyidik Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, ditunjukan oleh kepala kepolisian negara republik indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Wewenang penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

10

(5) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diangkat oleh Menteri atas usul dari Departemen yang membawahi pegawai negeri tersebut. (6) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh menteri. Dari wewenang di atas dapatlah dikatakan bahwa penyidik adalah pejabat kepolisian, baik karena ia diangkat oleh komandannya. Hal ini berarti bahwa syarat kepangkatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) butir a PP. Nomor 27 Tahun 1983 tidak mutlak diterapkan dalam praktek. Oleh karena pelaksanaan penyidik dan penyelidikan dibutuhkan jumlah polisi (penyidik atau penyidik pembantu) yang memadai. KUHAP memberikan ketegasan dan membedakan antara

penyelidikan dan penyidikan. Pasal 4 dan Pasal 5 KUHAP mengatur tentang pejabat yang menjalankan kewajiban-kewajiban penyelidikan. Sedangkan Pasal 6, 7, dan 8 KUHAP dijelaskan mengenai pejabat yang menjalankan kewajiban sebagai penyidik. Tugas penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik merupakan monopoli tunggal bagi Polri. Hal ini cukup beralasan untuk menyederhanakan dan memberi kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak melakukan penyelidikan, kemudian menghilangkan kesimpangsiuran penyelidik oleh aparat penegak hukum sehingga, tidak lagi terjadi tumpang tindih, juga merupakan efisiensi tindakan penyelidikan.

11

Mengenai tugas dan wewenang penyelidik dapat dilihat dalam Pasal 5 KUHAP, yang berbunyi : Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Karena

kewajibannya mempunyai wewenang : 1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang. 2) Mencari keterangan dan barang bukti. 3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. 4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Pasal ini membedakan antara laporan dan pengaduan padahal kedua-duanya merupakan pemberitahuan kepada yang berwajib yakni polri tentang adanya kejahatan atau pelanggaran yang sering terjadi atau telah selesai. Perbedaan dapat peneliti kemukakan sebagai

berikut : Pada laporan pemberitahuan tersebut merupakan hak atau kewajiban yang harus disampaikan oleh setiap orang kepada yang berwajib, yaitu kepolisian negara. Dalam hal yang dilaporkan merupakan tindak pidana umum. Pada pengaduan, pemberitahuan tersebut

merupakan hak atau kewajiban oleh seorang tertentu yang disampaikan kepada yang berwajib dengan permintaan agar yang berwajib melakukan tindakan, hal yang diadukan merupakan tindak pidana umum. Dari perbedaan tersebut yang terpenting adalah bagaimana sikap dan kewajiban penyidik dalam menghadapi laporan atau pengaduan

12

untuk menjawab persoalan ini, Pasal 102 sampai dengan Pasal 105 sebagai berikut : Pasal 102 KUHAP. (1) Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. (2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b. (3) Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada Pasal 5 ayat (1), dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkan kepada penyidik daerah hukum. Pasal 103 KUHAP. (1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditanda tangani oleh pelapor atau pengadu. (2) Laporan atau pengadun yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditanda tangani oleh prlapor atau pengadu dan penyelidik. Pasal 104 KUHAP: Dalam hal melaksanakan tugas menunjukan tanda pengenalnya. Pasal 105 KUHAP: Dalam melaksanakan tugas penyidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyelidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. Melalui jawaban tersebut di atas maka perlu diperhatikan beberapa faktor yang sangat menentukan sikap penyelidik dalam tugas menerima laporan dan pengaduan. Bahwa laporan dapat diajukan sembarang waktu, penyidikan, penyelidik wajib

13

tetapi pengaduan dibatasi oleh undang-undang dalam arti bahwa pengaduan tidak dapat diajukan sembarang waktu, yaitu waktu-waktu tertentu. Bahwa laporan dapat dilakukan oleh setiap orang sedang pengaduan hanya boleh orang tertentu saja. Bahwa pengaduan berisikan bukan saja laporan akan tetapi juga diikuti, permintaan pengaduan agar orang yang diadukan dituntut menurut hukum. Dengan demikian jelaslah kiranya faktor-faktor tersebut pada gilirannya menentukan pula kegiatan penyelidik dalam hal mencari keterangan dan barang bukti. Dalam hal ini keterangan apa dan barang bukti apa yang menjadi kewajiban penyelidik untuk diselidiki, tentu tidak sembarangan. Kewajiban penyelidik yang terdiri dari : 1) Mengenai laporan atau pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti sebenarnya adalah masalah pembuktian apakah ada bukti-bukti yang dapat dipergunakan untuk mendukung penuntutan. 2) Menyuruh seorang yang dicurigai berhenti dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. Bila ditelaah kewenangan tersebut serta dihubungkan dengan maksud dan tujuan penyelidikan berdasar ketentuan undang-undang, perlulah kita menarik pelajaran dari praktek yaitu : a) Pelaksanaan wewenang, sebagai kelanjutan laporan dan pengaduan. b) Memergoki atau keadaan tertangkap tangan. hal menerima

14

Bilamana penyidik menerima laporan mengenai terjadinya peristiwa pidana yang serius. Sebagai contoh peristiwa pembunuhan sedang pelakunya telah siap untuk melarikan diri bila keadaan menghendaki, maka penyelidik memiliki kewenangan untuk bertindak memeriksa dan menanyakan identitas tersangka. Seseorang yang tertangkap tangan karena melakukan kejahatan memerlukan perhatian tertentu untuk kasus-kasus tertentu. Karena

tertangkap tangan atau kepergok pada satu pihak merupakan peristiwa yang memperkuat pembuktian tentang siapa yang menjadi pelaku kejahatan. Kedua situasi di atas bila dibandingkan dengan dinamika masyarakat adalah sedemikian rupa, sehingga polri tidak saja harus berhadapan dengan peristiwa pidana tapi juga menjalankan tugas pencegahan dan penertiban keamanan masyarakat. Disamping wewenang tersebut diatas, penyelidik dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Maksudnya adalah tindakan dari penyelidik harus memenuhi syarat-syarat seperti, tidak bertentangan dengan aturan hukum, tindakan itu harus masuk akal, atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa dan menghormati, hak asasi manusia.

15

Selanjutnya akan dikemukakan kewajiban dan wewenang penyelidik dalam melakukan penyelidikan. Adapun kewajiban wewenang penyelidik diatur dalam Pasal 7 KUHAP yaitu : (1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajiban mempunyai wewenang : a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian. c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka. d. Melakukan penagkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan. e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang. g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka. h. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. i. Mengadakan penghentian penyidikan. j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukum masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. (3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Dalam hubungannya dengan kewajiban dan wewenang penyidik, dapat kita lihat dalam Pasal 8 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 75 ayat (1), (2), (3) KUHAP. Didalam praktek berbagai variasi dapat terjadi. Tentu pelapor atau pengadu tidak selalu dapat langsung menemui pejabat polri yang

16

berwenang melakukan penyidikan. Ada langsung menghadap kepada Kepala Satuan Reserse atau kepada anggota pemeriksa. Pejabat-pejabat itulah yang menentukan atau memberi instruksi mengenai kelanjutan penyelidikan atau penyidikan. 2.3. Tindak Pidana Minuman Keras Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa tindak pidana minuman keras diatur dalam Pasal 300 dan Pasal 536 antara lain bahwa : Pasal 300 KUHP. (1) Dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun atau

denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500 di hukum : (a) Barang siapa dengan sengaja menjual atau menyuruh minum minuman-minuman yang memabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan nyata mabuk. (b) Barang siapa dengan sengaja membuat seseorang anak yang umurnya dibawah 16 tahun. mabuk

(c) Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan sengaja memaksa orang akan minum minuman yang memabukkan. (2) Kalau perbuatan itu menyebabkan luka berat pada tubuh,

sitersalah di hukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. (3) Kalau sitersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya ia

dapat dipecat dari pekerjaannya itu. Pasal 536 KUHP.

17

(1) Barang siapa yang nyata mabuk ada dijalan umum dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 225. (2) Jika pada waktu melakukan pelanggaran itu belum lalu satu tahun, sejak ketetapan hukuman yang dahulu bagi sitersalah lantaran pelanggaran berupa itu juga atau pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 492, maka hukuman denda itu dapat diganti dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga hari. (3) Kalau pelanggaran itu diulang untuk kedua kalinya dalam 1 tahun sesudah ketetapan putusan hukuman yang pertama karena ulangan pelanggaran itu maka, dijatuhkan hukuman kurungan selamalamanya dua minggu (4) Kalau pelanggaran itu diulang untukketiga kalinya atau selanjutnya didalam 1 tahun sesudah ketetapan putusan hukuman yang kemudian sekali lantara ulangan pelanggaran untuk kedua kalinya atau selanjutnya, maka dijatuhkan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan. Yang dimaksud dengan nyata mabuk atau kentara mabuk atau kelihatan mabuk yaitu mabuk demikian rupa sehingga terlihat dan dapat diketahui oleh setiap orang dan mengganggu perasaan pada orang-orang di sekitarnya. Syarat-syaratnya sebagai berikut : (a) Tersangka menghembuskan nafas yang berbau minuman keras

(bau alkohol) (b) Tersangka berjalan dengan sempoyongan atau dengan tidak

berdaya roboh di jalanan; dan (c) Bicara tidak karuan (kacau) atau tidak mampu sama sekali untuk

bicara. Yang dikenakan Pasal tersebut di atas, terdakwa berada di jalan umum. Jika didalam rumah, tidak dikenakan Pasal tersebut dan tugas

18

polisi yaitu mempertahankan ketertiban dan keamanan serta ketentraman umum, dalam tugas ini termasuk pula menyingkirkan orang-orang kentara mabuk dari jalan umum untuk dilindungi, ditahan sementara sampai mereka sembuh kembali dari mabuknya. Berdasarkan pendapat ini, maka biasanya oleh polisi orang yang mabuk di jalan umum itu dibawa dan ditahan di kantor polisi. Berbeda halnya, Peraturan Daerah Kabupaten Kolaka Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol menyatakan bahwa minuman alkohol adalah minuman yang mengandung alkohol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambah bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengeceran minuman mengandung ethanol yang terbagi dalam tiga golongan yaitu : (a) Golongan A : Minuman kadar alkohol/ ethanol (C2H5OH) 1% sampai 5% (b) Golongan B : Minuman kadar alkohol/ ethanol (C2H5OH) 1% sampai 20% (c) Golongan C : Minuman kadar alkohol/ ethanol (C2H5OH) 1% sampai 55%

19

Tindak pidana minuman keras sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 16 Tahun 2004, yaitu apabila melanggar ketentuan dalam perda tersebut, mulai dari jenis minuman keras yang dijual samapai kepada

peredarannya, sebagai berikut: Jenis minuman beralkohol pada Pasal 10 jenis minuman beralkohol yang boleh diedarkan di Kabupaten Kolaka yaitu Golongan A Minuman kadar alkohol/ ethanol (C2H5OH) 1% sampai 5% Pasal 11 Perda No.16 Tahun 2004. (1) Pengedaran minuman beralkohol boleh dilakukan oleh distributor/sub distributor, yang telah mendapat izin dari Bupati Kolaka. (2) Pengedaran minuman beralkohol yang dilakukan oleh distributor/ sub distributor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipasang stiker pada setiap botol/kaleng atau sejenisnya. (3) Pemasangan stiker sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh distributor/sub distributor sebelum disalurkan. (4) Stiker sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikeluarkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh bupati. (5) Volume dan jumah minuman beralkohol Golongan A yang akan diedarkan, ditetapkan sesuai kebutuhan miniman yang ditetapkan oleh Bupati. Pasal 12 Perda No. 16 Tahun 2004. Minuman beralkohol yang hanya boleh dijual di Kota Kolaka sebagai ibu kota Kabupaten atau ditempat lain yang ditetapkan oleh Bupati. Pasal 13 Perda No. 16 Tahun 2004.

20

(1) Minuman beralkohol tidak boleh dijual di tempat umum seperti rumah makan, wisma, gelanggang olah raga, gelanggang remaja, kantin, kaki lima, terminal, stasiun, kios-kios kecil dan tempat /lokasi tertentu lainnya yang ditetapkan oleh Bupati. (2) Tempat penjualan minuman beralkohol tidak boleh dekat dengan tempat ibadah, sekolah, rumah sakit dan perkantoran. (3) Minuman alkohol tidak boleh dijual kepada anak dibawah umur, pelajar, dan anggota ABRI/Pegawai negeri. Pasal 14 Perda No. 16 Tahun 2004. (1) Batas waktu penjualan minuman beralkohol untuk penjualan di minum ditempat penjualan ditetapkan mulai jam 21.00 sampai jam 00.00. (2) Batas waktu penjualan minuman beralkohol untuk diminum diluar tempat penjualan ditetapkan mulai jam 09.00 sampai dengan jam 21.00. Pasal 33 Perda No. 16 Tahun 2004. (1) Semua minuman beralkohol yang diedarkan, dalam botol/kemasan dengan mencantumkan stiker, jenis minuman, kadar alkohol, volume minuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Minuman beralkohol Golongan A adalah kolompok minuman beralkohol yang peredaran dan penjualannya ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. Pasal 34 Perda No. 16 Tahun 2004. (1) Bupati melakukan pengawasan dan penerbitan peredaran minuman beralkohol di daerah dan tidak boleh dilakukan/ diberikan kepada perusahaan/swasta. (2) Untuk mengawasi dan menerbitkan peredaran minuman beralkohol di daerah, Bupati dibantu oleh tim yang beranggotakan Instansi terkait di daerah.

21

(3) Tim memberikan pertimbangan kepada Bupati dalam memberikan Izin sebagaimana dimaksud Pasal 2 Peraturan Daerah ini. (4) Tim sebagaimana dimaksud ayat (3) Pasal ini dibentuk dengan keputusan Bupati. Pasal 35 Perda No. 16 Tahun 2004. Pribadi atau Badan Usaha yang menjual minuman beralkohol berkewajiban untuk : a. tempat penjualan b. Meminta bantuan kepada petugas keamanan Menjaga ketertiban dan keamanan dalam ruangan

untuk menertibkan dan mengamankan kegaduhan yang terjadi di tempat penjualannya bila tidak dapat dicegah sendiri c. Izin harus ditempelkan di tempat penjualan

sehingga mudah dilihat oleh umum d. Harus ditempelkan peringatan ditempat penjualan

bahwa setiap orang yang meminum minuman beralkohol tidak boleh berlebihan atau sampai mabuk Pasal 36 Perda No. 16 Tahun 2004. (1) Pengawasan dan penerbitan tempat penjualan minuman beralkohol sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 dilakukan oleh bupati. (2) Untuk mengawasi dan menertibkan tempat penjualan minuman beralkohol di daerah, Bupati dibantu oleh tim yang beranggotakan instansi terkait di daerah.

22

(3) Tim memberikan pertimbangan kepada Bupati dalam pemberian izin sebagaimana dimaksud peraturan daerah ini. (4) Tim sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini dibentuk dengan keputusan Bupati. Pasal 37 Perda No. 16 Tahun 2004.

Bupati berwewenang mencabut izin peredaran minuman beralkohol yang telah doberikan atau mengurangi jumlah minuman beralkohol yang diizinkan untuk diedarkan karena pertimbangan kepentingan umum Bupati berwenang beralkohol karena : a. b. c. Bertentangan dengan kepentingan umum Dianggap perlu untuk menjaga kepentingan umum Bertentangan dengan peraturan perudangan yang berlaku. mencabut izin tempat penjualan minuman

Pasal 38 Perda No. 16 Tahun 2004. Bupati dapat menghentikan penjualan minuman beralkohol karena pertimbangan khusus, pada hari-hari tertentu karena dianggap akan mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat. 2.4. Alasan Pelaksanaan Penahanan Pelaku Tindak Pidana Seorang yang di sangka atau diduga melakukan tindak pidana, untuk sementara waktu dapat di batasi kebebasannya. Pembatasan itu dapat dilakukan bilamana telah menunjukkan bukti-bukti yang kuat bahwa orang itulah yang melakukan perbuatan tindak pidana.

23

Penahanan pelaku tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim, kewenangan pejabat-pejabat tersebut harus memperhatikan ketentuan yang telah diatur dalam KUHP. Penahanan hanya dapat dilakukan terhadap kejahatan yang diancam hukum 5 tahun atau lebih. Walaupun Undang-undang menentukan demikian namun adakalanya penahanan dapat ditangguhkan pada setiap tingkat pemeriksaan. Menurut Nanda Agung Dewantara (1987:24) dasar diadakannya penahanan yaitu : (1) Dasar menurut hukum, yaitu harus adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup bahwa orang itu melakukan tindak pidana lima tahun, keatas atau tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh Undang-Undang, meskipun ancaman pidananya kurang dari lima tahun. (2) Dasar menurut keperluan yaitu adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau tersangka atau terdakwa akan melarikan diri atau merusak/ menghilangkan barang bukti atau akan mengulangi tindak pidana. Pernyataan tersebut diatas, merupakan salah satu ketentuan yang telah diatur Pasal 2 ayat 1 KUHAP. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, penahanan didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam (Het Herzieneindslands Reglemen) Staatblat Tahun 1941 Nomor 44. Pada azasnya HIR, mengenal dua (2) macam tahanan sementara yaitu : (a) Tahanan yang tidak memakai surat perintah. Ada 2 yang menjadi

24

(b) Tahanan yang memakai surat perintah. Menurut Moelyatno (Nanda Agung Dewantara.1987:26) tahanan sementara tanpa surat permintaan didasarkan pada Pasal 83 f ayat (5) jo. Pasal 83k ayat (3) HIR. Berikut ini peneliti mengutip kedua isi Pasal itu :

Pasal 83 f ayat (5) HIR. Pun dalam hal tidak ditahan buat sementara sitertuduh itu boleh juga ditahan dan tidak bertangguh lagi ia dikirim bersama-sama dengan rencana itu kepada magistraat atau disuruh bawa kehadapan pegawai itu, yaitu kalau dengan hal yang demikian itu dapat dicapai, perkara itu diperiksa pengadilan pada hari itu juga dikirim bersama-sama atau disuruh bawa kehadapan magistraat. Pasal 83 k ayat (3) HIR. Kalau sitertuduh ada dalam tahanan dan perkara itu dibawah kehadapan hakim sebelum lewat waktu yang tersebut dalam Pasal 73 ayat (1), atau tidak dapat dibawah kehadapannya selambatlambatnya dalam 8 hari. Sesudah tertuduh didengar oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu dalam hal yang disebut dalam Pasal 83 f ayat (5), maka dengan mengingat peraturan dalam Pasal 83c ayat (2), sitertuduh itu dalam penjara atau tidakkah. Ketentuan Pasal 83 f ayat (2) Pasal 83 k HIR, dapat disimpulkan bahwa penahanan sementara tanpa surat perintah maksimum 2 + 8 = 10 hari, mengenai apa yang disebut tahanan sementara pakai surat perintah, Moelyatno menyatakan :

25

Tahanan sementara dipakai surat perintah, berdasarkan Pasal 62 ayat (1) jo. Ayat (2) HIR dalam hal tertangkap tangan, atau kalau tidak berdasarkan Pasal 75 HIR. Disitu HIR mengisyaratkan atau jaksa dapat mengeluarkan perintah untuk menahan sementara yang lamanya 20 hari. Penahanan sebagaimana diterangkan dalam Pasal 62 ayat (1) HIR hanya dapat dilakukan dalam hal tertangkap tangan. Mengenai hal tertangkap tangan, Pasal 75 HIR memberikan pembatasan mengenal arti kejahatan : (a) Tengah dilakukan orang. (b) Segera setelah dilakukan orang diketahui. (c) Seorang diserukan oleh khalayak ramai sebagai yang melakukan. (d) Pada orang kedapatan barang-barang, senjata-senjata, alat perkakas, atau surat yang menunjukkan, bahwa orang tersebut adalah pelaku atau pembuatan perbuatan termaksud. Pada umumnya orang beranggapan bahwa, syarat-syarat yang ditentukkan harus dipenuhi bagi dilakukannya penahanan sementara dalam Pasal 62 HIR, disebut sebagai alasan obyektif. Selain alasan obyektif dalam hal menahan seseorang penahanan sementara harus memenuhi alasan subyektif. Moelyatno, dalam kuliah hukum acara pidana tahun 1965-1966 (Achmad Soema Di Pradja;1974:42) menyatakan syaratsyarat subyektif itu adalah : (1) Pasal 75 HIR menyebutkan adanya cukup keterangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana yang didakwakan. (2) Penahanan dianggap perlu sekali untuk kepentingan pemeriksaan. (3) Penahanan perlu sekali untuk tidak diulanginya perbuatan. (4) Penahanan perlu sekali untuk mencegah kalau terdakwa melarikan diri.

26

Pejabat yang diberi wewenang melakukan penahanan sementara pada waktu berlakunya HIR, adalah jaksa dan juga jaksa pembantu (Polisi Republik Indonesia). Dari apa yang dikemukakan di atas jelas belum ada kesepakatan yang bulat mengenai istilah penangkapan, penahanan sementara, tahanan sementara. Dalam lampiran Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Kepolisian Negeri, dan Menteri Kehakiman Nomor: 02/ K.M.A/ 70: Kep. 034/D/A/7/1970; Pol 86/SK/ Kapolri / 190;JA.7/7/13 dikemukakan tentang istilah penahanan sebagai berikut : Undang-Undang tidak mengenal tahanan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Undang-undang hanya mengenal istilah penangkapan sementara dan penahanan sementara dimana kepolisian dapat menahan seseorang selama 20 hari, kejaksaan 30 hari, dan perpanjangan atas perintah jaksa oleh hakim setiap kali 30 hari (Pasal 75) jo. 83c jo. 62 ayat (2). Dasar hukum penahanan bagi jaksa terdapat dalam Pasal 83c dan 83j HIR yang berbunyi : Bila ada hal yang sangat penting memberatkan sitertuduh dan cukup nyata salah perbuatan itu masuk ha-hal yang diterangkan dalam Pasal 62 ayat (2) HIR, dan perkara itu rasanya tidak dapat diperiksa pengadilan dalam waktu yang ditetapkan dalam Pasal 72, maka untuk kepentingan pemeriksa atau untuk menjaga perbuatan itu jangan diulangi oleh sitertuduh atau untuk menjaga supaya ia jangan lari opsir justiti atau magistraat dapat memerintahkan supaya ia terus ditahan. Perintah tersebut dalam 83c ayat (4) hanya berlaku untuk masa 30 hari, dan setelah masa penahanan tersebut habis dapat diperpanjang untuk masa 30 hari. Dan selanjutnya oleh keta pengadilan negeri (Pasal 83c ayat (4) HIR). Apabila terdakwa tidak berada dalam tahanan, jaksa dapat

27

menuntut agar terdakwa setelah masa untuk ditahan sambil penyerahan perkara kepengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan (Pasal 83 (1) HIR). Penahanan terdakwa pada tingkat pemeriksaan pengadilan negeri tidak diperlukan lagi surat perintah perpanjangan penahan sampai perkaranya diputus. Pelaksanaan dan penahanan yang diatur dalam HIR sudah tidak berlaku lagi. Oleh karena aturan-aturan yang terdapat didalamnya tidak

memberikan kepastian kepada pencari keadilan. Misalnya saja dalam hal penahanan, tidak memberikan batasan waktu sebagaimana yang diatur dalam KUHAP. Kemudian HIR memberikan hak kepada tiap-tiap orang untuk melakukan penahanan Pasal 60 ayat (1). Setelah kita mengetahui dasar hukum penahanan dasar HIR, berikut ini dikemukakan dasar hukum penahanan yang diatur dalam hukum acara pidana yang diatur dalam kitab undang-undang hukum acara pidana. Masalah penahanan yang diatur dalam KUHAP dapat dilihat dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 30 KUHAP. Sedangkan pengertian penahanan dijelaskan dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP sebagaimana dijelaskan dimuka. Jadi untuk keperluan

penyidikan, penututan dan peradilan, Penyidikan penuntut umum dan hakim dapat melakukan penahanan apabila atas diri tersangka atau terdakwa diperoleh dugaan keras dan bukti yang cukup bahwa ia telah

28

melakukan tindak pidana. Pelaksanaan dilakukan secara cermat dan berhati-hati, juga harus dipenuhi persyaratan : (a) Tindak pidana yang diancam pidana sekurang-kurangnya 5 tahun, kecuali terhadap pelanggaran khusus yang diatur secara limitatif didalam undang-undang ini. (b) Penahanan tidak dilakukan secara otomatis, walaupun memenuhi syarat pada sub diatas, melainkan harus dalam keadaan terpaksa karena kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau akan mengulangi tindak pidana lain. Dalam hal pelaksanaan penahanan mengenal 3 jenis penahanan yaitu, penahanan dalam rumah tahanan negara, penahanan rumah dan penahanan kota. Penahanan dalam rumah tahanan negara merupakan tahanan biasa dimana tersangka atau terdakwa ditempatkan dalam gedung tahanan sendiri memenuhi syarat pengamanan dan pelayanan sejalan dengan martabat mereka sebagai warga yang belum tentu bersalah. Penyidik penuntut umum dan hakim sesuai tahapan pemeriksaannya masing-masing, berwenang mengalihkan jenis penahanan kejenis yang lain dengan pemberian syarat-syarat tertentu dapat pula memberikan

penaguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau orang. Didalam Pasal 20 KUHAP disebut tentang pejabat yang berwenang melakukan penahanan untuk lebih jelasnya penelitian mengutip isi pasal tersebut. Pasal 20 KUHAP.

29

Ayat(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang menahan. Ayat(2) Untuk Kepentingan penuntut umum berwenang melakukan panahanan atau penahanan lanjutan. Ayat(3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim disidang pengadilan dengan penetapan berwenang melakukan penahanan. Ketentuan untuk sahnya penahanan dapat kita temukan dalam Pasal 21 KUHAP yang berbunyi : ayat (1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merupakan alat bukti dan atau mengulangi tindak pidana. ayat (2) Penahanan atau penahanan kelanjutan dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebut alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan. ayat (3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 harus diberikan kepada keluarganya. ayat (4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tidak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : (a) Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. (b) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 tentang Kesopanan ayat (3), Pasal 296 tentang Perbuatan Cabul, Pasal 335 tentang Melawan Hak / Memaksa Orang Lain ayat (1), Pasal 351 (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372,

30

Pasal 378 dan Pasal 379 tentang Penipuan, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 480, dan Pasal 506 kitab undang hukum pidana Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap bea dan cukai, terakhir diubah dengan staatblat Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1 Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang tindak pidana imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt tahun 1955. Lembaran negara tahun 1955 nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, Pasal 48, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37 Tambahan Lembaran Negara 306). Dari bunyi Pasal diatas dapatlah dikatakan bahwa, pembuat UndangUndang yang sudah memperkirakan seseorang yang di duga atau di sangka melakukan perbuatan pidana akan berusaha menyulitkan

pemeriksaan perkara. Hal itu dapat dilakukan dengan meniadakan kemungkinan akan di dengar baik dari dirinya sendiri maupun bagi orang lain, untuk dirinya seorang terdakwa semacam ini akan berusaha untuk sama sekali terhindari dari hukuman pidana dengan cara melarikan diri atau menyembunyikan diri selama-lamanya. Apabila ada kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri atau mengulangi lagi perbuatannya, maka satu-satunya jalan untuk menghindarkan kesulitan dalam menghentikan kemerdekaan tersangka atau terdakwa untuk tidak pergi kemana-mana, atau memerintahkan kepadanya supaya tetap tinggal disuatu tempat yang telah ditentukan oleh Pasal 22 KUHAP. Kitab undang-undang hukum acara pidana telah mengatur secara tegas mengenai pejabat-pejabat yang berhak melakukan penahanan. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu, pejabat yang dimaksud

31

adalah penyidik, penuntut umum dan hakim dapat melkukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan (Pasal 20 KUHAP). Setelah diketahui pejabat yang berhak melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan didepan sidang pengadilan maka peneliti akan memberikan mengenai wewenang masing-masing pejabat tersebut dalam melakukan penahanan. Penyelesaian perkara pidana merupakan tugas dan tanggungjawab penyidik, penuntut umum dan hakim. Dalam proses pemeriksaan perkara pidana diperlukan tindakan-tindakan dari penguasa untuk mengungkap secara tuntas mengenai perkara yang disangkakan. Tindakan-tindakan seperti penangkapan, penahanan dan pengeledahan tidak dilakukan secara sewenang-wenang tetapi harus dengan alasan-alasan seperti yang diinginkan undang-undang. Penahanan yang dilakukan penyelidik, penuntut umum, dan hakim benar-benar memperhatikan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 21 KUHAP. Hal ini di maksud supaya yang di tahan tidak dilanggar hak asasinya. Dalam menetukan seorang tersangka, atau terdakwa telah bersalah nanti setelah ada putusan pengadilan. Karena itu dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Hakim secara tegas menyatakan : Bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah

32

sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuasaan hukum yang tetap. Dari bunyi Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 dapat dikatakan bahwa tersangka ataupun terdakwa tetap di jamin hak-haknya selama dalam pemeriksaan. Jaminan sebagaimana tersebut dalam Pasal 14 Undang-undang tahun 1970 biasanya dinamakan dengan asas presmption of innocent yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan kekuatan hukum yang tetap tentang kesalahan tersebut. Sebagaimana konsekuensi dari asas hukum tersebut terhadap seorang, disangka atau dituntut telah melakukan tindak pidana sekalipun terhadap mereka diadakan penangkapan, penahanan, dan guna

pemeriksaan ataukah telah dihadapkan didepan sidang, tidak boleh diperlukan sebagai seorang yang bersalah sebelum kesalahannya dibuktikan dan melalui putusan hakim. Dalam pelaksanaan panahanan oleh penyidik penuntut umum dan hakim didasarkan pada syarat-syarat dalam Pasal 21 KUHAP. Adapun isi syarat-syarat itu adalah : b) Harus adanya barang bukti yang cukup dugaan keras bahwa tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana.

33

c) Adanya

keadaan

yang

menimbulkan

kekhawatiran

bahwa

tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan akan mengulangi perbuatannya. d) Melakukan tindak pidana yang disebut dalam Pasal 21 ayat (4) sub a dan b. Ketentuan syahnya penahanan dalam Pasal 21 KUHAP merupakan keharusan yang perlu diperhatikan oleh pejabat yang berwenang yang melakukan penahanan, utamanya penahanan dirumah tahanan negara. Hal ini untuk menjaga jangan sampai penahanan itu melanggar hal-hak asasi manusia yang belum tentu bersalah. Dengan demikian dapatlah kita katakan bahwa alasan-alasan penahanan selain dari ketentuan Pasal 21 KUHAP, penahanan itu diperlukan karena : 1) Untuk memperlancar jalanya pemeriksaan tersangka atau terdakwa. 2) Untuk menjaga jangan sampai tersangka atau terdakwa mempengaruhi orang lain melakukan tindak pidana. 3) Untuk kepentingan keamanan tersangka atau terdakwa terhadap rasa dendam dari pihak yang dirugikan.

34

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif empiris yakni penelitian berdasarkan aturan-aturan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan kemudian mendiskripsikan secara factual

pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka. 3.2. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka. Dengan pertimbangan bahwa di lokasi penelitian tersebut telah banyak melakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras. 3.3. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh aparat kepolisian di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka . Sedangkan sampel di tetapkan secara purpossive sampling, sebanyak 4 (empat) orang penyidik di Polsek Watubangga. 3.4.Jenis dan Sumber Data 1. Data primer adalah data yang didapatkan secara langsung

melalui penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara terhadap beberapa informan.

35

2.

Data sekunder adalah data yang diperoleh di lapangan, meliputi

aturan-aturan hukum, laporan-laporan, dokumen-dokumen serta data tertulis lainnya yang dianggap berhubungan dan sangat mendukung penelitian ini. 3.5. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang sesuai dengan hal-hal yang teliti, peneliti menggunakan instrumen sebagai berikut : 1. Observasi yaitu pengamatan yang dilakukan secara langsung

dilapangan tentang pelaksanaan penyidikan

terhadap pelaku tindak

pidana minuman keras di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka. 2. Wawancara yaitu melakukan tanya jawab secara langsung dengan informan untuk mengali dan mendalami hal-hal penting untuk mendapatkan jawaban yang lebih detail yang berhubungan dengan penelitian. 3. Dokumentasi yaitu penulusuran data melalui studi perpustakaan untuk menggumpulkan data tertulis yang tidak didapatkan melalui

penggumpulan data lainnya. 3.6. Analisis Data Data yang telah dikumpulkan diolah secara analisis deskriptif yaitu dianalisa dengan uraian yang jelas dengan menggambarkan pelaksanaan

36

penyidikan tindak pidana minuman keras

di Polsek Watubangga

Kabupaten Kolaka, guna dapat diambil kesimpulan dan saran. 3.7. Definisi Operasional 1. Pelaksanaan penyidikan adalah proses penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka. 2. Minuman keras adalah minuman yang mengandung alkohol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak. 3. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka yang diberi wewenang untuk

melakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras. 4. Penyidikan adalah tindakan penyidik untuk berusaha mencari serta mengumpulkan bukti telah terjadinya tindak pidana minuman keras di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka. 5. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum atau bertentangan dengan undang-undang yang dapat

dipertanggungjawabkan. 6. Tindak pidana minuman keras adalah semua penjual minuman keras yang menjual tanpa izin atau tidak sesuai dengan apa yang diatur di

37

dalam Perda Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol di Kecamatan Watubangga

Kabupataen Kolaka. 7. Polsek Watubangga adalah Unit Reserse dan Kriminal (Reskrim) yang berada di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka.

38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Secara geografis Kabupaten Kolaka terletak di jazirah tenggara pulau Sulawesi dan berada pada bagian barat Provinsi Sulawesi Tenggara atau tepat nya di tepi pantai Teluk Bone bagian timur. Secara geografis Kota Kolaka terletak antara 2o00 5o00 LS dan 120o 45o BT, karena letaknya berbatasan langsung dan dihubungkan oleh Teluk Bone dengan

Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan maka Kota Kolaka merupakan salah satu kota transit dari dan menuju ke Provinsi Sulawesi Tenggara (Kolaka Dalam Angka, 2005). Secara administratif Kabupaten Kolaka memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Utara, Sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bone, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Buton, dan Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Keadaan topografi yang digambarkan sebagai berikut : Kawasan ber gunung dengan kemiringan lereng lebih dari 40% meliputi 50,76% dari keseluruhan luas daratan, kawasan berbukit dengan kemiringan 15 s/d 40 % seluas 31,19% dari keseluruhan wilayah daratan termasuk daerah yang landai meliputi kurang lebih 18,05% dari keseluruhan wilayah daratan.

39

Keadaan iklim bulan basah berlangsung antara 5 9 bulan dalam setahun yg terjadi pada Kecamatan Kolaka, Wolo, dan Mowewe, bulan kering antara 3 4 bulan dalam setahun yang terjadi pada Kecamatan Watubangga, Pomalaa, Wundulako, Ladongi dan Tirawuta (Kolaka Dalam Angka,2005) Fasilitas Transportasi Kota Kolaka berfungsi sebagai pintu Provinsi Sulawesi Tenggara di bagian barat yang menghubungkan Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Untuk mendukung fungsi tersebut, maka di Kecamatan Kolaka terdapat pelabuhan laut yaitu (1) Pelabuhan penyeberangan ferry, (2) Pelabuhan laut/samudera, (3) Pelabuhan nelayan (4) Pelabuhan pertamina. Pada pengembangan sistem transportasi regional jalan raya

Kecamatan Kolaka dapat dihubungkan dengan kota-kota kecamatan dari ujung utara (Kecamatan Wolo) sampai ujung selatan (Kecamatan Watubangga) melalui jalan negara dengan kondisi serta intensitas lalu lintas yang cukup baik. Wilayah Hukum Polisi Sektor Kecamatan Watubangga ada 2 (dua) Kecamatan Watubangga dan Kecamatan Tenggetada Ibu Kotanya Anaiwoi terletak di jazirah tenggara pulau Sulawesi dan berada pada bagian Selatan Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis Kecamatan Watubangga terletak antara 3o52 4o06 LS dan 121o26

40

121o43 BT, karena letaknya berbatasan langsung dengan Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara. Keadaan topografi yang digambarkan yaitu kawasan bergunung dengan kemiringan lereng lebih dari 40% meliputi 50,76% dari keseluruhan luas daratan, kawasan berbukit dengan kemiringan 15 s/d 40 % seluas 31,19% dari keseluruhan wilayah daratan termasuk daerah yang landai meliputi kurang lebih 18,05% dari keseluruhan wilayah daratan. Kecamatan Watubangga dengan luas 507,68 Km2, jumlah penduduknya 22.872 jiwa. Laki-laki sebanyak 11.871 jiwa dan perempuan sebanyak 11.001 jiwa dan Kecamatan Tanggetada dengan luas 409,91 Km2, jumlah penduduknya 8.919 jiwa Laki-laki sebanyak 4.603 jiwa dan perempuan sebanyak 4.316 jiwa total luas Wilayah Hukum Polisi Sektor Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka . 917,59 Km2 Dari luas wilayah tersebut Kecamatan Watubangga terdiri dari 3 (tiga) Kelurahan dan sebanyak 17 (Tujuh Belas) Desa sedangkan Kecamatan Tanggetada terdiri dari 2 (dua) Kelurahan dan sebanyak 9 (sembilan) Desa. (Kabupaten Kolaka dalam Angka, 2004). Polsek Watubangga yang dipimpin oleh IPDA Oscar Samsuddin dan membawahi 27 orang anggota dengan perincian 1 orang Kapospol, membawahi 7 orang anggota, 1 orang Kanit Rekrim membawahi 4 orang penyidik pembantu, 1 orang Kanit Patroli membawahi 9 orang anggota, 1

41

orang Kanit Pulbaket membawahi 2 orang anggota, 1 orang Bataut membawahi 2 orang anggota. 4.2. Pelaksanaan Penyidikan Pelaku Tindak Pidana Minuman Keras di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka Hasil observasi penulis (tanggal, 20 Juni 2006) selama melakukan penelitian dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di Kecamatan Watubangga menemukan beberapa pelanggaran tentang penjualan minuman keras, seperti terdapatnya kois-kios kecil yang tidak memiliki izin dalam penjualan minuman keras, minuman keras yang dijual tidak berstiker izin dari pemerintah setempat dalam hal ini izin Bupati Kolaka, ditemukan minuman keras yang dijual melewati batas kadar alkohol yang telah ditetapkan yaitu diatas 5 % dan waktu penjualan minuman keras tersebut di atas jam 00,00. Hal demikian inilah yang merupakan salah satu alasan dilaksanakannya penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras. Dari hasil wawancara dengan Oscar Samsuddin, Kapolsek

Watubangga menyatakan bahwa pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana, khususnya pelaku tindak pidana minuman keras merupakan salah satu tugas dari Polsek Watubangga. Penyidikan tindak pidana ini bertujuan untuk menemukan kebenaran materiil atau kebenaran yang selengkaplengkapnya tentang telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang penjual minuman keras yang tidak sesuai dengan aturan yang

42

telah

diatur

dalam

peraturan

daerah

tentang

pengawasan

dan

pengendalian minuman beralkohol di Kabupaten Kolaka yaitu Peraturan Daerah (Perda) Nomor 16 Tahun 2004 (wawancara tanggal 21 Juni 2006). Selanjutnya Oscar Samsuddin menyatakan pula bahwa, penyidikan yang dilaksanakan oleh penyidik di Polsek Watubangga merupakan mata rantai terdepan dari seluruh proses pemeriksaan tindak pidana pelaku minuman keras. Oleh karena itu dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana pelaku tindak pidana minuman dan keras diperlukan yang adanya dapat

kemampuan

teknis

penyidikan

profesionalisme

mendukung pelaksanaan penyidikan untuk mendapatkan keteranganketerangan pembuktian dan atau pengakuan dari tersangka dalam upaya mendapatkan titik terang telah terjadinya tindak pidana tersebut

(wawancara tanggal 21 Juni 2006). Oscar Samsuddin, Kapolsek Watubangga (wawancara tanggal 21 Juni 2006), mengatakan bahwa salah satu tugas penyidik di Polsek Watubangga adalah melakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras yang melakukan pelanggaran dalam menjual minuman beralkohol. Lebih lanjut Oscar Samsuddin, Kapolsek Watubangga menyatakan bahwa pelanggaran terhadap penjualan minuman keras yaitu seorang penjual menjual minuman keras tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur

43

dalam Perda tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, minuman beralkohol yang bisa dijual bebas hanya golongan A yang kadar alkoholnya 1% sampai 5% (wawancara tanggal 21 Juni 2006). Hasil wawancara dengan Oscar Samsuddin, Kapolsek Watubangga, menyatakan bahwa salah satu kegiatan dalam pelaksanan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras adalah melakukan penggeledahan, penyitaan barang bukti, pemeriksaan saksi dan

pemeriksaan tersangka berdasarkan hukum acara pidana, dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah yang berarti bahwa setiap orang yang disangka, sebagai pelaku tindak pidana maupun yang diadili dimuka sidang wajib diduga tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (wawancara tanggal 21 Juni 2006). Hal senada dikemukakan oleh Ibrahim Lenna, Kanit Reskrim Polsek Watubangga (wawancara tanggal 23 Juni 2006), menyatakan bahwa dalam pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras dilakukan mulai dari penggeledahan, penyitaan barang bukti, pemeriksaan saksi dan pemeriksaan tersangka. Adapun pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras, diuraikan sebagai berikut: 1. Penggeledahan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Minuman Keras

44

Untuk kepentingan penyidikan agar dapat dikumpulkan fakta dan bukti yang menyangkut tindak pidana minuman keras, maka dilakukan penggeledahan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras. Ibrahim Lenna, Kanit Reskrim Polsek Watubangga,

mengemukakan bahwa penggeledahan dimaksudkan adalah memasuki rumah tempat tinggal dan atau tempat tertutup yang merupakan tempat kediaman sesorang untuk melakukan tindakan pemeriksaan terhadap seorang yang diduga telah melakukan tindak pidana (wawancara tanggal 23 Juni 2006). Selanjutnya Ibrahim Lenna, menyatakan pula bahwa

penggeledahan dilakukan terhadap seorang yang diduga melakukan tindak pidana minuman keras karena adanya laporan dari masyarakat bahwa seorang melakukan tindak pidana, misalnya menjual minuman keras tanpa izin dari pemerintah setempat (wawancara tanggal 23 Juni 2006). Hasil wawancara dengan Oscar Samsuddin, Kapolsek

Watubangga menyatakan bahwa wewenang pengeledahan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras semata-mata hanya diberikan kepada penyidik, untuk mencari dan mengumpulkan fakta dan bukti serta dimaksudkan untuk mendapatkan orang yang diduga keras sebagai tersangka pelaku tindak pidana minuman keras.

45

Lebih lanjut Oscar Samsuddin menyatakan bahwa sebelum melaksanakan penggeledahan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras, penyidik menyampaikan pemberitahuan penggeledahan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk mendapatkan persetujuan penggeledahan, artinya pada setiap tindakan penggeledahan, penyidik wajib memerlukan bantuan dan pengawasan Ketua Pengadilan Negeri (wawancara tanggal 24 Juni 2006). Oscar Samsuddin, Kapolsek Watubangga menyatakan bahwa kalau keadaan penggeledahan secara biasa atau dalam keadaan normal, penggeledahan baru dapat dilakukan penyidik setelah dahulu meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri, apabila penggeledahan itu dilaksanakan dalam keadaan luar biasa atau mendesak, penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa lebih dahulu mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri, namun segera sesudah penggeledahan, penyidik wajib meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri (wawancara tanggal 23 Juni 2006). Suparman, Banit Reskrim Polsek Watubangga, menambahkan

lagi bahwa guna lebih terjamin ketertiban dan kepastian hukum, undang-undang menempatkan instansi penyidik untuk selalu bekerja sama dengan instansi Pengadilan Negeri setempat sebagai pengawas dan mengontrol wewenang penggeledahan yang diberikan undang-

46

undang. Disamping itu wewenang dan tindakan penggeledahan mendapat pengawasan dan hubungan kerja sama pula dengan pemilik tempat yang digeledah, dengan jalan mewajibkan penyidik memberikan salinan berita acara penggeledahan kepada penghuni atau pemilik tempat yang digeledah. Demikian juga pengawasan dan kerja sama dengan pihak ketiga. Setiap penggeledahan harus disaksikan oleh dua orang saksi, atau dalam keadaan penghuni atau pemilik menolak tindakan penggeledahan, penggeledahan yang dijalankan tanpa persetujuan penghuni/pemilik, harus disaksikan oleh kepala desa atau kepala lingkungan, ditambah dua orang saksi yang harus ikut menyaksikan jalannya penggeledahan (wawancara tanggal 25 Juni 2006). Selanjutnya Suparman, menyatakan bahwa waktu penggeledahan sedapat mungkin harus dilakukan pada siang hari dan diusahakan mencari momen waktu yang dapat menghindari akibat sampingan yang bisa merusak pertumbuhan kejiwaan dan mental anak-anak dan keluarga tersangka yang digeledah (wawancara tanggal 25 Juni 2006). Sebagaimana diatur dalam Pasal 33 KUHAP bahwa syarat-syarat umum untuk melaksanakan penggeledahan harus mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, menunjukkan tanda pengenal kepada tersangka, disaksikan oleh dua orang saksi apabila tersangka setuju,

47

dan apabila tersangkanya tidak setuju maka disaksikan oleh Kepala Desa/Lingkungan dengan dua orang saksi. Dalam waktu selambatlambatnya dua hari penyidik membuat berita acara untuk itu dan turunannya (salinannya) disampaikan kepada yang bersangkutan. Kadangkala terjadi keadaan sangat mendesak bagi penyidik untuk melaksanakan penyidikan dengan memasuki suatu tempat untuk menggeledah dan tidak mungkin untuk meminta surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Penyidik dalam pelaksanaan penyidikan apabila mendapat kesulitan karena tersangka melarikan diri, mengulangi perbuatannya, atau menghilangkan barang bukti. Dalam hal menurut Pasal 34 ayat 1 KUHAP penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa izin terlebih dahulu dalam hal penyidik melakukan penyidikan pada halaman rumah atau tempat tinggal tersangka berdiam atau berada, ataupun tempat lain tersangka bertempat tinggal, tempat tindak pidana dilakukan, tempat penginapan atau tempat umum. Setelah penggeledahan selesai, penyidik dalam hal ini wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam hal penyidik melaksanakan penggeledahan tidak

diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku, dan atau tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak

48

pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut, dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna

memperoleh persetujuan. Apabila izin penggeledahan dari ketua pengadilan negeri bersifat umum, maka tidak disebutkan dimana akan dilakukan penggeledahan, tetapi kalau isinnya bersifat khusus harus dicantumkan dimana penggeledahan dilakukan oleh penyidik. Dengan sendirinya penyidik tidak dapat melakukan penggeledahan di tempat yang tidak disebut dalam surat izin itu, walaupun kemudian ternyata bahwa tempat itu perlu digeledah pula sesuai dengan petunjuk yang diperoleh pada penggeledahan pertama. 2. Penyitaan Barang Bukti Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya bendak bergerak atau benda tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan (Pasal 1 butir ke-16 KUHAP). Tujuan penyitaan adalah untuk

kepentingan pembuktian terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang peradilan.

49

Demikian dikemukakan oleh Supardi, Anggota Penyidik Pembantu Polsek Watubangga, bahwa penyitaan merupakan tindakan hukum yang dilakukan pada taraf penyidikan. Sesudah lewat taraf penyidikan tidak dapat lagi dilakukan penyitaan untuk atas nama penyidik. Itu sebabnya Pasal 38 KUHAP tersebut telah ditentukan dengan pasti hanya penyidik yang berwenang melakukan tindakan penyitaan (wawancara tanggal 30 Juni 2006). Supardi menyatakan pula bahwa ada kemungkinan adanya penyitaan pada tingkat penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan, namun demikian pelaksanaan penyitaan harus diminta kepada penyidik, seandainya dalam pemeriksaan sidang pengadilan, hakim berpendapat dianggap perlu melakukan penyitaan suatu barang, untuk itu hakim mengeluarkan penetapan yang memerintahkan penuntut umum agar penyidik melaksanakan penyitaan barang dimaksud (wawancara tanggal 30 Juni 2006). Demikian penyitaan dalam tindak pidana minuman keras, maka tata cara penyitaan yang biasa dilakukan pada umumnya mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dalam Pasal 46 KUHAP, yaitu harus ada surat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali penyitaan itu harus dilakukan dalam keadaan mendesak, surat izin penyitaan dari Ketua pengadilan negeri nanti menyusul tetapi hanya

50

penyitaan atas benda bergerak dan segera melaporkan kepada Ketua pengadilan negeri untuk mendapat persetujuan. Di samping itu penyidik memperlihatkan atau menunjukkan tanda pengenal jabatan kepada orang dari mana benda itu akan di sita agar ada kepastian bagi orang yang bersangkutan bahwa dia benar-benar berhadapan dengan petugas penyidik, sebab tanpa menunjukkan lebih dahulu tanda pengenal, orang yang hendak disita berhak menolak tindakan dan pelaksanaan penyitaan. Selain itu penyidik yang melakukan penyitaan memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan di sita atau kepada keluarganya. Penyitaan pula harus disaksikan oleh kepala desa atau kelurahan dengan dua orang saksi. Membuat berita acara penyitaan dan menyampaikan turunan berita acara penyitaan kepada orang dari mana barang itu disita atau keluarganya dan kepala desa setempat. 2. Penangkapan Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa

pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan. Tindakan penangkapan baru dapat dilakukan oleh penyidik apabila seseorang itu diduga keras melakukan tindak pidana, dan dugaan itu didukung oleh permulaan bukti yang cukup dari penilaian penyidik sepenuhnya.

51

Pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, kecuali Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan penagkapan dalam kedudukannya sebagai penyidik. Penyidik dalam melakukan penangkapan harus membawa surat tugas

penangkapan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang disampaikan kepada tersangka atau keluarga tersangka untuk

mengetahui dengan pasti seorang tersangka ditangkap dan diperiksa. Batas waktu penangkapan adalah 1 x 24 jam atau satu hari, dan tidak boleh lebih dari satu hari, tetapi apabila jarak yang ditempuh antara Polsek sebagai tempat penyidikan dengan lokasi penangkapan

membutuhkan jarak tempuh lebih dari satu hari, maka penyidik dapat melakukan penangkapan dengan memperlihatkan surat perintah untuk membawa tersangka. Waktu penangkapan mulai terhitung sejak tersangka tiba di Polsek untuk dilakukan pemeriksaan. Penangkapan terhadap tersangka yang melakukan pelanggaran seperti pelaku tindak pidana minuman keras tidak dapat dilakukan secara langsung. Apabila pelaku tindak pidana minuman keras telah dilakukan pemanggilan penangkapan dilakukan. 3. Penahanan secara patut tetapi tidak mengindahkannya maka dapat

terhadap

pelaku

tindak

pidana pelanggaran

52

Penahanan adalah menempatkan tersangka ditempat tertentu oleh penyidik. Syarat-syarat untuk menahan seorang tersangka diperlukan berbagai persyaratan. Syarat formal penahanan harus ada surat perintah dari yang berwenang, dan syarat materialnya adalah adanya dugaan keras tersangka yang melakukan tindak pidana, adanya kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi tindak pidana, adanya kekhawatiran bahwa tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti. Tindak pidana yang diancam pidana lima tahun atau lebih dan menurut sifat pelakunya perlu ditahan. Hasil wawancara dengan Ibrahim Lenni, Kanit Reskrim Posek Watubangga, menyatakan bahwa pelaku tindak pidana minuman keras ditahan karena dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti berupa minuman keras yang dijualnya (wawancara tanggal 25 Juni 2006). Hal senada dikemukakan pula oleh Mustamin, Kanit Pulbaket Polsek Watubangga, menyatakan bahwa untuk menghindari pelaku tindak pidana minuman keras mengulangi tindakannya, maka pihak penyidik di Polsek Watubangga melakukan penahanan terhadap seorang tersangka guna kepentingan penyidikan tindak pidana yang

bersangkutan. Seseorang yang disangka atau diduga melakukan tindak pidana, untuk sementara waktu dapat di batasi kebebasannya. Pembatasan itu dapat dilakukan bilamana telah menunjukkan bukti-bukti

53

yang kuat bahwa orang itulah yang melakukan perbuatan tindak pidana minuman keras. Penahanan pelaku tindak pidana minuman keras atau mereka yang di tuduk melakukan. Penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras ini tidak lain adalah untuk memudahkan proses penyidikannya (wawancara tanggal 30 Juni 2006). 4.2. Hambatan-Hambatan Yang Dialami Oleh Polsek Watubangga Dalam Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Minuman Keras Penyebab orang melakukan tindak pidana Minuman keras Khususnya pelaku penjual tindak pidana Minuman keras merasakan bahwa dengan melakukan penjualan minuman Keras, sipelaku merasa mendapat keuntungan yang lebih besar dari pada menjual selain minuman keras. Dari hasil penelitian bahwa dalam pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana minuman keras di Polsek Watubangga, ada beberapa hambatan yang dialami yaitu : 1. masyarakat. Hambatan ini muncul dari pihak masyarakat karena masyarakat beranggapan bahwa polisi merupakan institusi yang secara Kurangnya kerjasama antara Polisi (Penyidik) dengan

kelembagaan bertugas untuk menjaga keamanan dan mengayomi masyarakat. Masyarakat kadangkala tidak mau menyampaikan

informasi berkaitan dengan terjadinya tindak pidana minuman keras dengan alasan tidak ingin menjadi saksi karena hal tersebut dapat

54

menyita waktu, biaya dan tenaga serta dapat mengancam keselamatan mereka terutama datangnya dari pelaku tindak pidana minuman keras (wawancara, Oscar Syamsuddin, Kapolsek Watubangga, tanggal 21 Juni 2006). 2. Pelaku tindak pidana minuman keras menghilangkan jejak terjadinya tindak pidana Dari hasil pengamatan yang dilakukan penulis di Polsek Watubangga tidak sedikit dari mereka pelaku tindak oidana minuman keras yang menghilangkan jejak agar terbebas dari penagkapan dan ancaman hukuman dengan cara menghilangkan barang bukti berupa minuman keras pada waktu akan dilakukan penggeledahan,

memberikan keterangan yang berbelit-belit, dan pelaku meninggalkan wilayah hukum Polsek Watubangga. 3. Terbatasnya sarana dan prasarana. Terbatasnya sarana dan prasarana ini termasuk didalamnya fasilitas kendaraan yang dimiliki oleh Polsek Watubangga untuk mengadakan patroli pada setiap wilayah yang dianggap rawan yang memerlukan pengawasan setiap saat tidak dapat dijangkau sehingga penyidikan terhadap tindak pidana minuman keras tidak optimal Kondisi seperti ini menyebabkan para petugas kepolisian tidak dapat bertindak secara tepat untuk melakukan pengejaran dan penangkapan

55

terhadap pelaku tindak pidana minuman keras (wawancara, Supardi, Penyidik Pembantu Polsek Watubangga, tanggal 30 Juni 2006). 4. Terbatasnya sumber daya manusia (Polisi) untuk mengungkap tindak pidana minuman keras. Pesatnya kemajuan dalam berbagai bidang terutama terjadinya tindak pidana minuman keras , maka polisi dituntut untuk lebih profesional dalam melakukan penyidikan yang semakin sulit dideteksi, dicegah dan diselesaikan dengan baik dalam waktu yang singkat akibat pada umumnya tenaga penyidik pada Polsek Watubangga beluk memiliki syarat untuk diangkat sebagai penyidik, tetapi mereka hanya sebatas sebagai penyidik pembantu (wawancara, Oscar Samsuddin, Kapolsek Watubangga, tanggal 21 Juni 2006). 4.3. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Polsek Watubangga Untuk Mengatasi Hambatan-Hambatan Dalam Peyidikan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Minuman Keras. Dalam mengatasi hambatan-hambatan yang dialami oleh penyidik Polsek Watubangga dalam pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras , maka beberapa upaya yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Secara institusi Polsek Watubangga senantiasa membenahi diri dengan mensosialisasikan perubahan paradigma kepolisian untuk mengubah persepsi yang selama ini polisi cenderung membuat masyarakat

56

menjadi takut dengan keberadaan polisi, maka masyarakat merasa aman. 2. Polisi di Polsek Watubangga senantiasa membuka diri memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh lapisan masyarakat untuk memberikan masukan kepada pihak Polsek Watubangga dalam rangka pembinaan personil. Langkah ini memberikan kesempatan kepada berbagai pihak baik tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. 3. Pembinaan personil yang mampu memberikan tindakan-tindakan persuasif, pembinaan kesadaran hukum masyarakat dengan

melakukan penyuluhan hukum khususnya dampak negatif penggunaan minuman keras di berbagai desa yang bertujuan untuk membantu memberikan masukan dalam bentuk informasi kepada polisi baik secara kelembagaan maupun secara individual. 4. Dalam kaitannya dengan usaha penciptaan sumber daya manusia ( polisi yang profesional ) Polsek Watubangga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap personil yang berminat untuk

melanjutkan pendidikan baik pada jenjang starata satu (S1) maupun pada Dikjur Kepolisian secara reguler dalam berbagai bidang. 5. Berkaitan dengan usaha mengatasi hambatan aspek kurangnya sarana yang dimiliki oleh Polsek Watubangga, beberapa langkah yang ditempuh selain mengusulkan kepada Polres Kabupaten Kolaka

57

tentang pengadaan sarana penunjang operasional juga bekerjasama dengan pemerintah daerah dengan pihak lain yang tidak mengikat untuk mengatasi keterbatasan sarana (wawancara Oscar Samsuddin, Kapolsek Watubangga tanggal 30 Juli 2006).

BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan 1. Pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras dilakukan mulai dari penggeledahan pelaku tindak minuman keras, penyitaan barang bukti tindak pidana minuman keras, penangkapan dan penahanan pelaku tindak pidana minuman keras untuk

memudahkan pemeriksaan pelaku tindak pidana minuman keras. 2. Hambatan-hambatan yang dialami oleh penyidik Polsek Watubangga dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana minuman keras (1) Kurangnya kerjasama antara Polisi (Penyidik) dengan masyarakat; (2) Pelaku tindak pidana minuman keras menghilangkan jejak terjadinya tindak pidana; (3) Terbatasnya sarana dan prasarana.yang dimiliki oleh Polsek Watubangga; (4).Terbatasnya sumber daya manusia (Polisi) untuk mengungkap tindak pidana minuman keras.

58

3. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Penyidik Polsek Watubangga Untuk Mengatasi Hambatan-Hambatan Dalam Peyidikan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Minuman Keras sebagai berikut : (1) Membenahi diri dengan mensosialisasikan perubahan paradigma kepolisian kepada masyarakat.(2) Memberikan kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk memberikan masukan yang kepada mampu pihak Polsek

Watubangga.(3)

Pembinaan

personil

memberikan

tindakan-tindakan persuasif.(4) Memberikan kesempatan kepada setiap personil yang berminat untuk melanjutkan pendidikan baik pada jenjang starata satu (S1) maupun pada Dikjur Kepolisian. (5)

Mengusulkan kepada Polres Kolaka tentang pengadaan sarana penunjang operasional. 5.2. Saran 1. Hendaknya penyidik Polisi Republik Indonesia khususnya Polisi Sektor Watubangga ditingkatkan pengetahuannya tentang hukum dan kalau perlu semua penyidik Polisi Republik Indonesia adalah sarjana hukum yang lebih mengetahui secara mendalam tentang hukum serta menjalankan tugasnya agar memperhatikan wewenang dan

kewajibannya yang telah digariskan dalam undang-undang. 2. Sebaiknya pihak kepolisian dibekali pengetahuan secara luas

mengenai kriminologi, hukum acara pidana serta penerapannya dalam

59

praktek, agar pihak kepolisian dapat mengetahui tugas-tugas yang dilimpahkan kepadanya. 3. Hendaknya Kepala Daerah Kab.Kolaka dalam mengeluarkan izin tentang penjualan minuman keras membuat lokasi khusus dalam penempatan izin yang dikeluarkan agar mudah diawasi dalam pelaksanaan pengawasan peredaran minuman keras di lapangan.

60

DAFTAR PUSTAKA Andi Zainal Abidin Farid, 1993. Bunga Rampai Hukum Pidana. Pradnya Paramitha, Jakarta. Andi Hamzah, 1993. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Abdurrahman,1990. Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Pidana Baru Indonesia, Alumni, Bandung. M. Hanafi Asmawie, 1983. Ganti Kerugian dan Rehalibitasi menurut KUHAP, Pradnya Paramitha, Jakarta. Alfiah Ratna Nurul, tt. Praperadilan Dalam Ruang Lingkupnya, Akademika Pressindo, Jakarta. Arif Gosita ,1997. Viktimologi dan KUHAP Yang Mengatur Ganti Kerugian Pihak Korban, Akademika Pressindo, Jakarta. A.T. Hamid, 1992. Surabaya. Praktek Peradilan Perkara Pidana, Al Ihsan,

Yahya Harahap, 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta. Syahrial Syam,1999. Tujuan Pembuatan Peraturan Perundang-undangan, Sihar Agung, Jakarta. Ridwan Syahrani,1993. Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung. Soerjono Soekanto,1999. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta Tafal, B. Bastian,1974. Kumpulan Kuliah Hukum Acara Pidana, Unhas Tirtaadmidjaja,1953. Kedudukan Hakim dan Jaksa dan Acara Pemeriksaan Biasa Perkara-perkara Pidana dan Perdata, Fasco, Jakarta. Tresna,R.1957. Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Amsterdam Jakarta, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Rebuplik Indonesia, Mabes - Polri, Jakarta.

61

SKRIPSI

PENYIDIKAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MINUMAN KERAS (Studi Kasus Di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka)

Oleh NATAL FRIDS SITORUS NIM : 20209069 NIRM : 914909069

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH KENDARI 2006

62 ii

PENGESAHAN PEMBIMBING

PENYIDIKAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MINUMAN KERAS


( Studi Kasus di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka )

OLEH NATAL FRIDS. SITORUS NIM. 20209069

Telah Diperiksa dan Disetujui Untuk Diajukan Pada Ujian Skripsi di HadapanTim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari

Pembimbing I

Pembimbing II

Deity Yuningsih, SH.MH

Ali Rizky, SH

v 63

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................ PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................................. KATA PENGANTAR............................................................................... DAFTAR ISI............................................................................................. ABSTRAK................................................................................................ BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................. 1.2. Rumusan Masalah............................................................ 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................. 1.4. Manfaat Penelitian............................................................. 1 4 4 5 i ii iii v vii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tugas dan Fungsi Kepolisian.............................................. 6 2.2.Wewenang Penyidik Polri.................................................... 9 2.3.Tindak Pidana Minuman Keras............................................ 16 2.4. Alasan Pelaksanaan Penahanan Pelaku Tindak Pidana..................................................... 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ................................................................ 34 3.2. Lokasi Penelitian............................................................... 34 3.3. Populasi dan Sampel........................................................ 34 3.4 Jenis dan Sumber Data..................................................... 34 3.5. Teknik Pengumpulan Data................................................ ...........................................................................................35 3.6. Analisis Data..................................................................... ...........................................................................................35 3.7. Definisi Operasional.......................................................... ...........................................................................................36 BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian................................. 38 4.2. Pelaksanaan Penyidikan Pelaku Tindak Pidana Minuman Keras.................................................................. 40

64

4.3. Hambatan-hambatan Yang Dialami Dalam Pelaksanaan Penyidikan Pelaku Tindak Pidana Minuman Keras ......... 53 4.4. Upaya-upaya Yang Dilakukan Untuk Mengatasi Hambatan-Hambatan Dalam Penyidikan Tindak Pidana Minutan Keras........................................... 55 BAB V P E N U T U P 5.1. Simpulan............................................................................ ........................................................................................... 57 5.2. Saran................................................................................. ........................................................................................... 58 DAFTAR PUSTAKA

vi

65

Anda mungkin juga menyukai