Anda di halaman 1dari 14

I

PEMBUKAAN

Kurikulum adalah seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang


diberikan kepada peserta didik. Definisi lain, "suatu rencana yang disusun untuk
melancarkan proses belajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggungjawab
sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya."1 Ralp Tayler dalam
Basic Principles of Curriculum and Instruction, berpendapat ada empat faktor
penentu dalam perencanaan kurikulum, yakni faktor filosofis, sosiologis,
psikologis dan epistimologis.2 Faktor-faktor ini, terutama faktor sosiologis,
mengalami perkembangan sangat dinamis, sehingga menuntut evaluasi untuk
melakukan pengembangan serta perubahan kurikulum secara periodik. Namun,
karena aspek sosiologis ini juga berbeda antara satu tempat dengan tempat lain,
maka di samping penyeragaman kurikulum secara nasional, perlu juga
pengembangan kurikulum sesuai dengan kondisi dan potensi lokal masing-masing
lembaga pendidikan.

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) telah memainkan peran penting dalam
kehidupan keagamaan dan pendidikan di Indonesia. Peran tersebut kemungkinan
besar akan semakin penting pada masa mendatang. IAIN secara resmi berdiri
pertama kali pada tahun 1960 di Yogyakarta, dengan cabang di Jakarta. Pada
tahujn 1997 hampir semua IAIN Cabang diubah menjadi Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN), termasuk STAIN Tulungagung.

Pokok bahasan pada makalah ini terbagi dalam kisi-kisi sebagai berikut :

o Paradigma Kurikulum Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)


o Analisis Kritis Kurikulum Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)

1
S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara cet. II, 1995), hal 5.
2
Ibid, halaman 6

Seminar Kelas 2B, Analisis Kritis Kurikulum PTAI Oleh Moh. Mujib Zunun @l-Misri@2008 1
II
PEMBAHASAN
A. Paradigma Kurikulum Perguruan Tinggi Islam
Dilihat dari perspektif perkembangan nasional dan global yang
disinggung sedikit di atas, namun tidak perlu diuraikan secara rinci maka konsep
“paradigma” bagi Perguruan Tinggi di Indonesia merupakan sebuah keharusan.
Dalam dunia yang tengah berubah sangat cepat, terdapat kebutuhan mendesak
bagi adanya visi dan paradigma baru Perguruan Tinggi. Paradigma baru itu, mau
tidak mau, melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang
lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan reformasi dan perubahan
Perguruan Tinggi dapat melayani kebutuhan yang lebih beragam bagi lebih
banyak orang dengan kandungan pendidikan (contents), metode, dan
penyampaian pendidikan berdasarkan jenis dan bentuk-bentuk baru hubungan
dengan masyarakat dan sektor-sektor masyarakat lebih luas.
Paradigma Perguruan Tinggi yang sekarang ini di Indonesia menjadi
kerangka dan landasan pengembangan Perguruan Tinggi merupakan hasil dari
pembahasan dan perumusan yang telah dilakukan sejak waktu yang lama baik
pada tingkat nasional maupun internasional. Sekali lagi, PTAI/IAIN sebagai
bagian integral dari sistem pendidikan nasional juga tidak bisa melepaskan diri
dari perumusan-perumusan yang berkembang dari waktu ke waktu itu.
Kajian ulang terhadap kinerja Perguruan Tinggi secara komprehensif,
yang menghasilkan pemikiran dan konsep baru tentang pengembangan Perguruan
Tinggi, bisa kita lihat misalnya dalam kerangka yang diajukan oleh D.A. Tisna
Amijaya.3 Sebelum memberikan kerangka pengembangan Perguruan Tinggi
jangka panjang, ia mengidentifikasi lima masalah besar yang dihadapi Perguruan
Tinggi pada umumnya. Pertama, produktivitas yang rendah; kedua, keterbatasan
daya tampung; ketiga keterbatasan kemampuan berkembang; keempat,
kepincangan di antara berbagai Perguruan Tinggi; dan kelima, distribusi yang
tidak seimbang dalam bidang-bidang ilmu yang disediakan Perguruan Tinggi,
3
D.A. Tisna Amijaya, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang
1976-1985 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1976).

Seminar Kelas 2B, Analisis Kritis Kurikulum PTAI Oleh Moh. Mujib Zunun @l-Misri@2008 2
khususnya di antara ilmu-ilmu sosial dan humaniora dengan ilmu-ilmu eksakta.
Untuk mengatasi berbagai kelemahan ini, Amijaya mengajukan lima program
besar. Pertama, peningkatan produktivitas Perguruan Tinggi; kedua, peningkatan
daya tampung; ketiga, peningkatan pelayanan kepada masyarakat; keempat
peningkatan bidang keilmuan eksakta atau iptek; kelima, peningkatan
kemampuan berkembang.
Harus diakui, program di atas tidak banyak berhasil, karena terdapat
berbagai kendala, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi itu sendiri dan
kebijakan pendidikan nasional yang masih tetap sangat sentralistik dan kaku.
Sebab itu, sebuah konsep program pengembangan Perguruan Tinggi jangka
panjang, 1986-1995, yang sedikit berbeda diperkenalkan Sukadji Ranuwihardjo.4
Beberapa konsep program besar kembali dirumuskan, yakni, pertama,
peningkatan kualitas Perguruan Tinggi; kedua, peningkatan produktivitas; ketiga,
peningkatan relevansi; keempat, perluasan kesempatan memperoleh pendidikan.
Sebagian besar berdasarkan konsep-konsep ini selanjutnya dirumuskan sebuah
“paradigma baru” Perguruan Tinggi sebagaimana terdapat dalam Rencana Jangka
Panjang Ketiga (1996-2005). Paradigma baru ini mencakup antara lain:
peningkatan kualitas Perguruan Tinggi secara berkelanjutan melalui peningkatan
kualitas manajemen yang telah diperbaiki, di mana otonomi, akuntabilitas dan
akreditasi merupakan komponen-komponen terpenting.5
Rencana jangka panjang terakhir ini sejak semula memang disebut
sebagai “paradigma baru” Perguruan Tinggi. Paradigma baru ini pada dasarnya
bertujuan untuk merumuskan kembali peran negara dan Perguruan Tinggi,
sehingga lebih memungkinkan bagi Perguruan Tinggi untuk berkembang lebih
baik. Paradigma baru itu juga dimaksudkan untuk memberi panduan bagi
pengembangan mekanisme baru guna memperkuat Perguruan Tinggi, seperti
perencanaan atas dasar prinsip desentralisasi, evaluasi berkelanjutan terhadap
kualitas, dan lain-lain.

4
Sukadji Ranuwihardjo, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang
1986-1995 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1985).
5
Lihat, Bambang Soehendro, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka
Panjang 1996-2005 (Jakarta: Dikti, 1996).

Seminar Kelas 2B, Analisis Kritis Kurikulum PTAI Oleh Moh. Mujib Zunun @l-Misri@2008 3
Demikian, dalam paradigma baru tersebut, peranan negara mengalami
perubahan yang sangat signifikan dengan pengurangan peranan pemerintah.
Pemerintah secara konseptual dan praktikal tidak lagi merupakan lembaga sentral
yang menetapkan segala ketentuan secara rinci; atau mengontrol secara terpusat
seluruh gerak dan dinamika Perguruan Tinggi. Pemerintah dalam paradigma baru
itu hanyalah memberikan kerangka dasar; memberikan insentif agar sumber daya
manusia dan keuangan dapat dialokasikan kepada prioritas-prioritas terpenting
pada Perguruan Tinggi; dan mendorong setiap Perguruan Tinggi meningkatkan
standar kualitasnya.
Harus segera dikemukakan, perumusan kembali (reformulation)
paradigma baru Perguruan Tinggi pada tingkat nasional itu mendapatkan daya
dorong dengan terjadinya krisis moneter, ekonomi, dan politik di Indonesia sejak
akhir 1997. Krisis yang juga sangat mempengaruhi dunia pendidikan pada
seluruh jenjang tidak terelakkan pula mendorong berkembangnya perluasan
konsep paradigma baru Perguruan Tinggi tadi, sehingga tercakup dalam konsep
reformasi pendidikan nasional secara menyeluruh. Reformasi sistem pendidikan
dilakukan secara menyeluruh terhadap seluruh aspek pendidikan, seperti: filosofi
dan kebijakan pendidikan nasional; sistem pendidikan berbasis masyarakat
(community-based education); pemberdayaan guru dan tenaga kependidikan;
manajemen berbasis sekolah (school-based management); implementasi
paradigma baru Perguruan Tinggi; dan, sistem pembiayaan pendidikan.6
Bagaimanapun, krisis multi dimensi dan multi level yang dihadapi
masyarakat Indonesia secara keseluruhan membuat reformasi pendidikan yang
dicanangkan berbagai pihak tidak mudah dicapai, apalagi dalam waktu dekat di
awal milenium ketiga. Karena itu para perumus konsep reformasi pendidikan
nasional merekomendasikan perlunya adopsi dua strategi; defensive strategy dan
recovery strategy. Defensive strategy pada intinya bertujuan untuk
mempertahankan prestasi yang telah dicapai di masa silam, dan sekaligus

6
Santoso S. Hamidjojo et al., Platform Reformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Tim
Kerja Peduli Reformasi Pendidikan Nasional, 1998), dan juga lihat, A. Malik Fadjar et. Al.,
Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Jakarta: Dirjen
Binbaga Islam, 1999).

Seminar Kelas 2B, Analisis Kritis Kurikulum PTAI Oleh Moh. Mujib Zunun @l-Misri@2008 4
berusaha sedapat mungkin meningkatkan segala sesuatu yang baik. Strategi
pemulihan bertujuan untuk memulihkan kembali pendidikan nasional dari
berbagai krisis yang masih akan bertahan dalam beberapa tahun ke depan.
Dalam konteks perumusan konsep-konsep, baik pada tingkat nasional
maupun global tentang pengembangan Perguruan Tinggi, kita dapat melihat dan
menempatkan paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia dalam acuan yang
telah dirumuskan oleh Departemen Pendidikan Nasional.7 Paradigma baru
Perguruan Tinggi itu pada dasarnya bertumpu kepada tiga tungku utama, yakni:
Pertama, kemandirian lebih besar (greater autonomy) dalam pengelolaan
atau otonomi. Otonomi seluas-luasnya atau setidaknya “otonomi lebih luas”
adalah otonomi bukan saja dalam hal pengelolaan secara manajerial, tetapi juga
dalam hal penentuan atau pemilihan kurikulum dalam rangka penyesuaian
Perguruan Tinggi dengan dunia kerja atau kebutuhan pasar. Dengan demikian
Perguruan Tinggi berfungsi selain untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia (SDM) yang menguasai sains dan teknologi, ilmu-ilmu sosial dan
humaniora, tetapi juga harus mengembangkan seluruh bidang tersebut melalui
penelitian dan pengembangan (research and development).
Dalam kerangka otonomisasi ini pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 60/1999 yang memberikan wewenang lebih luas
kepada Perguruan Tinggi untuk mengembangkan dirinya. Pemerintah juga
menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 61/1999 tentang penetapan Perguruan
Tinggi negeri sebagai Badan Hukum. Sebagai catatan, PP 60/1999 yang
merupakan perubahan PP 30/1990 tentang Perguruan Tinggi, dalam segi-segi
tertentu, seperti kategorisasi bentuk-bentuk Perguruan Tinggi, yakni universitas,
institut, sekolah tinggi, politeknik dan akademi masih belum cukup reformis,
sehingga belum banyak memungkinkan terciptanya iklim yang betul-betul
kondusif bagi implementasi konsep paradigma baru Perguruan Tinggi.
Dalam persoalan otonomi ini ada baiknya ditambahkan catatan yang
dikemukakan R. Berdahl, misalnya.8 Menurut dia, dalam membahas otonomi,
sangat bermanfaat membuat sebuah distingsi di antara otonomi prosedural dan
7
Lihat, Task Force Pendidikan Tinggi, “Implementasi Paradigma Baru di Pendidikan
Tinggi” (Jakarta: Dirjen Dikti, 1999).

Seminar Kelas 2B, Analisis Kritis Kurikulum PTAI Oleh Moh. Mujib Zunun @l-Misri@2008 5
otonomi substantif pada satu pihak dan kebebasan akademis (academic freedom)
pada pihak lain. Otonomi substantif adalah kekuasaan atau kewenangan
Perguruan Tinggi untuk menentukan tujuan-tujuan dan program-program sesuai
dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Sedangkan otonomi
prosedural adalah kekuasaan atau kewenangan Perguruan Tinggi secara
kelembagaan untuk menentukan cara-cara (means) guna mencapai tujuan-tujuan
tersebut. Pada pihak lain, kebebasan akademis adalah kebebasan dosen atau
ilmuwan secara personal dalam pengajaran dan penelitian untuk mencapai
kebenaran tanpa khawatir atau takut kepada hukuman, pemecatan dan
sebagainya.
Persoalan pengembangan otonomisasi lebih luas ini tentu saja harus
dikaitkan dengan tanggungjawab (responsibility) dan akuntabilitas
(accountability). Harus diakui, dalam hal tanggungjawab ini pihak Perguruan
Tinggi dituntut mengggunakan otonomi secara bertanggungjawab. Tetapi, pada
pihak lain, pemerintah yang memberikan otonomi, seharusnya pula memberikan
otonomi yang tidak ambiguous, seperti tercermin dalam bagian-bagian tertentu
PP 60/1999, misalnya saja tentang pengangkatan dosen, pegawai dan lain-lain.
Akibatnya, Perguruan Tinggi tetap menghadapi banyak kendala yang sangat
menyulitkannya untuk mengaktualisasikan otonomi tersebut.
Kedua, akuntabilitas atau tanggung urai (greater accountability), bukan
hanya dalam hal pemanfaatan sumber-sumber keuangan secara lebih
bertanggungjawab, tetapi juga dalam pengembangan keilmuan, kandungan
pendidikan dan program-program yang diselenggarakan. Akuntabilitas ini tidak
hanya kepada pemerintah sebagai pembina pendidikan atau pemberi sumber dana
dan sumber daya lainnya, tetapi juga kepada masyarakat dan stake holders
lainnya yang memakai dan memanfaatkan lulusan Perguruan Tinggi dan hasil
pengembangan berbagai bidang ilmunya. Karena itu, di sini terkait pula
akuntabilitas terhadap dunia profesi, dan masyarakat luas.
Ketiga, jaminan lebih besar terhadap kualitas (greater quality assurance)
melalui evaluasi internal (internal evaluation) yang dilakukan secara kontinu dan
8
Lihat, R, Berdahl, “Academic Freedom, Autonomy and Accountability in British
Universities”, Studies in Higher Education, Vol. 15 (2), 1990.

Seminar Kelas 2B, Analisis Kritis Kurikulum PTAI Oleh Moh. Mujib Zunun @l-Misri@2008 6
berkesinambungan; dan evaluasi eksternal (external evaluation), yang sekarang
ini dilakukan Badan Akreditasi Nasional (BAN). Dalam hal terakhir ini, BAN
harus meningkatkan fungsinya dengan menentukan standar-standar yang lebih
fleksibel dan dinamis atau tidak kaku, sehingga tetap memungkinkan bagi
Perguruan Tinggi untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan
dan kebutuhan dunia kerja. BAN juga harus melibatkan lebih banyak unsur
stakeholders dalam organisasinya, sehingga memungkinkan terjadinya
“penilaian” dan “pengakuan” yang sesungguhnya dari masyarakat, yang sangat
berkepentingan dengan hasil-hasil Perguruan Tinggi.
Dengan ketiga tungku paradigma baru Perguruan Tinggi ini, jelas bahwa
satu tungku dengan tungku-tungku lainnya saling berkaitan dan bahkan
interdependensi. Ketiga tungku itu mesti diaktualisasikan secara simultan. Sebab,
jika tidak demikian, maka Perguruan Tinggi tetap akan menghadapi berbagai
kesulitan dalam mewujudkan fungsi-fungsi dan peranannya seperti dirumuskan
dalam konsep paradigma baru Perguruan Tinggi.

B. Analisis Kritis Kurikulum Perguruan Tinggi Agama Islam


Ada beberapa pandangan yang perlu dipertimbangkan dalam
pengembangan kurikulum PTAI,9 yaitu :
1. PTAI sebagai perguruan tinggi mengemban misi sebagai lembaga
pengembangan keilmuan atau kajian ilmu-ilmu keislaman yang bersifat
rasional, dinamis, kritis, empiris dan antisipatis sekaligus sebagai lembaga
keagamaan yang berusaha membangun sikap dan prilaku beragama yang
loyal, memiliki komitmen (pemihakan) terhadap Islam, serta penuh dedikasi
terhadap agama yang diyakini kebenarannya atas dasar wawasan keilmuan
Islam yang dimiliki, dengan tetap menjunjung kerukunan hidup beragama
yang dinamis.
2. PTAI sebagi perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan
akademik, vokasional dan profesional, mengemban misi untuk menyiapkan
calon-calon lulusan yang mampu mengintegrasikan kepribadian ulama’
9
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Nuansa Cet I, November
2003, Bandung, hal. 207

Seminar Kelas 2B, Analisis Kritis Kurikulum PTAI Oleh Moh. Mujib Zunun @l-Misri@2008 7
dengan intelektual akademik dan / atau vokasional / profesionalitas dan
mengintegrasikan vokasional / profesional dan atau intelektualitas akademik
dengan kepribadian ulama’ sesuai dengan bidang keahlian atau konsentrasi
studi yang ditekuni yang diwujudkan dlam kehidupan masyarakat, berbangsa
dan bernegara di tengah-tengah kehidupan dunia yang semakin global.
3. PTAI sebagai bagian integral dari system pendidikan nasional berupaya
menyiapkan calon lulusan yang memiliki keunggulan konpetitif yang sesuai
standar mutu nasional dan internasional.
4. PTAI merupakan lembaga dakwah yang mengemban misi pembinaan dan
pembimbing masyarakat Islam dalam berbagai sektor kehidupan.

Bertitiktolak dari beberapa pandangan dasar tersebut, ada beberapa


masalah yang dihadapi IAIN dalam perkembangannya selama ini. Beberapa
masalah pokok itu adalah sebagai berikut.
Pertama, IAIN belum berperan secara optimal dalam dunia akademik,
birokrasi dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Di antara ketiga
lingkungan ini, kelihatannya peran IAIN lebih besar pada masyarakat, karena
kuatnya orientasi kepada dakwah daripada pengembangan ilmu pengetahuan
Kedua, kurikulum IAIN belum mampu meresponi perkembangan iptek
dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks. Hal ini disebabkan terutama
karena bidang kajian agama yang merupakan spesialiasi IAIN kurang mengalami
interaksi dan reapproachement dengan ilmu-ilmu umum, bahkan masih
cenderung dikotomis. Kurikulum IAIN masih terlalu berat pada ilmu-ilmu yang
bersifat normatif; sedangkan ilmu-ilmu umum yang dapat mengarahkan
mahasiswa kepada cara berfikir dan pendekatan yang lebih empiris dan
kontekstual nampaknya masih belum memadai.
Berdasarkan latarbelakang pokok itu, perlu adanya pengembangan IAIN
menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Tetapi sejak gagasan pembentukan UIN
bergulir beberapa tahun terakhir, terdapat cukup banyak kendala pokok yang
harus diatasi, khususnya legal constraints yang berkaitan dengan Undang-undang
Sitem Pendidikan Nasional (UUSPN) dan Departemen Pendidikan Nasional

Seminar Kelas 2B, Analisis Kritis Kurikulum PTAI Oleh Moh. Mujib Zunun @l-Misri@2008 8
(Depdiknas). Penerbitan PP 60/1999, sebagaimana dikemukakan di atas,
kelihatannya juga belum cukup reformis untuk memungkinkan perubahan IAIN
menjadi UIN. Karena itu, jika dalam kerangka transformasi IAIN kepada UIN,
setidaknya ada dua opsi yang dapat dipilih. Kedua opsi itu masing-masingnya
mempunyai kekuatan dan kelemahan.
Pertama, langsung mengubah atau mentransformasikan IAIN Jakarta
yang mungkin dipandang “cukup siap”, terutama dari segi SDM dan lingkungan
akademi, untuk menjadi UIN. Transformasi seperti ini melibatkan perubahan/
penyesuaian atau peningkatan fakultas-fakultas yang ada sekarang, dan
pembentukan fakultas-fakultas baru yang sesuai dengan konsep dan kerangka
UIN. Langkah transformasi seperti ini mengandung beberapa masalah khususnya
dalam penambahan prasarana, sarana dan SDM dalam bidang keilmuan tertentu,
khususnya “ilmu umum”.
Kedua, mendirikan atau membentuk jurusan-jurusan dan fakultas-fakultas
baru dalam institusi IAIN sekarang sehingga secara substantif sesuai dengan
kerangka UIN. Alternati kedua ini nampaknya sesuai dengan saran mantan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Juwono Sudarsono ketika
membalas surat mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN)
Hartarto yang mendukung gagasan transformasi IAIN Jakarta menjadi UIN yang
sebelumnya menerima usul perubahan itu dari mantan Menteri Agama Quraish
Shihab. Menurut mantan Mendikbud, pertama, perubahan sebuah institut menjadi
universitas harus selaras dengan kebijaksanaan pemerintah tentang pendidikan
tinggi untuk memberikan prioritas pada pengembangan jurusan-jurusan dan
fakultas-fakultas eksakta. Kedua, bahwa perubahan itu harus dimulai dengan
penyiapan SDM dalam bidang-bidang yang akan dikembangkan, daripada
perubahan institusional.
Konsep dan kerangka pengembangan seperti inilah, dalam pandangan
IAIN Jakarta disebut dengan “IAIN dengan mandat lebih luas” (IAIN with wider
mandate”). Alternatif ini mungkin lebih “realistis” dari segi penyiapan prasarana,
sarana dan sumber daya. Dan sesuai dengan konsep dan kerangka “IAIN with
wider mandate”, IAIN telah dan akan mengembangkan jurusan-jurusan umum,

Seminar Kelas 2B, Analisis Kritis Kurikulum PTAI Oleh Moh. Mujib Zunun @l-Misri@2008 9
khususnya eksakta, yang dalam tahap selanjutnya di-upgrade menjadi fakultas-
fakultas. Pada saat yang sama, sejak tahun anggaran 1998/1999 IAIN Jakarta
mulai memberikan prioritas pada rekrutmen dan pengangkatan calon-calon dosen
sesuai dengan kerangka dan konsep IAIN dengan mandat lebih luas tersebut.
Bagaimanapun, baik konsep dan kerangka UIN ataupun IAIN dengan
mandat lebih luas memerlukan model tertentu, baik dilihat dari secara
epistimologis keilmuan maupun kelembagaan. Model itu terasa semakin
diperlukan untuk menjaga agar bidang-bidang agama yang selama ini menjadi
karakter IAIN tidak terkesampingkan atau termarjinalisasi, seperti terlihat dalam
beberapa kasus, karena ekspansi bidang-bidang umum dalam kerangka UIN atau
IAIN dengan mandat lebih luas. Karena itu, dalam konsep dan kerangka UIN,
terdapat setidaknya tiga pilihan:
Pertama; “Model Universitas al-Azhar”, di mana fakultas-fakultas agama
berdiri berdampingan dengan fakultas-fakultas umum. Fakultas-fakultas ini
cenderung terpisah satu sama lain, walaupun tetap di bawah satu payung.
Kecenderungan dari model ini adalah bahwa fakultas-fakultas umum menjadi
fakultas-fakultas favorit, sementara fakultas-fakultas agama menjadi “fakultas-
fakultas pilihan kedua”, untuk tidak menyebut “periferal”.
Kedua; Model Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) yang
mempunyai fakultas agama yang berdiri terpisah. Dalam model ini, fakultas-
fakultas umum berdampingan dengan fakultas agama yang terdiri dari beberapa
jurusan, seperti jurusan tarbiyah, jurusan syari‘ah (yang sebelumnya dalam
institusi IAIN merupakan fakultas-fakultas tersendiri). Dalam model ini, subyek-
subyek agama bisa menjadi periferal, karena hanya ada satu fakultas agama.
Ketiga, “Model Universiti Islam Antarbangsa (UIA)” Kuala Lumpur.
Dalam model ini ilmu-ilmu dibagi menjadi “revealed knowledge,” ilmu-ilmu
kewahyuan, yang memunculkan fakultas/jurusan agama; dan “acquired
knowledge”, ilmu perolehan, yang selanjutnya diterjemahkan menjadi fakultas-
fakultas atau jurusan-jurusan umum, seperti teknik, kedokteran, ekonomi,
psikologi, antropologi, dan sebagainya. Bidang-bidang ini selain

Seminar Kelas 2B, Analisis Kritis Kurikulum PTAI Oleh Moh. Mujib Zunun @l-Misri@2008 10
“diislamisasikan”, ketika dijabarkan ke dalam kurikulum, juga dilengkapi dengan
subyek-subyek keislaman dan lainnya yang berkaitan.
Tentang model manakah yang paling tepat di antara ketiga model tersebut
untuk diadopsi, disesuaikan, dan diterapkan dalam pengembangan IAIN menjadi
UIN nampaknya masih memerlukan pembahasan dan perumusan lebih lanjut.
Model pertama dan ketiga kelihatan secara sepintas lebih baik dibandingkan opsi
kedua.
Jika pembentukan UIN sulit direalisasikan dalam waktu tahun-tahun
mendatang yang disebut-sebut sebagai “masa reformasi” dalam berbagai bidang
itu, sehingga kelembagaan IAIN harus tetap dipertahankan, maka ini sebenarnya
juga mengandung banyak sisi positif. Salah satu sisi positif terpenting adalah
IAIN, yang merupakan semacam “gymnasium” atau “college”, tetap mempunyai
kedudukan sejajar dengan universitas. Dengan demikian, ilmu-ilmu agama yang
menjadi spesialisasi IAIN tidak “periferal” vis-a-vis Perguruan Tinggi lainnya.
Sisi penting lain adalah bahwa IAIN, dengan berbagai kekurangan dan
kelebihannya, telah menjadi sebuah “trademark” yang distingtif dan memiliki
nilai historis dan politisnya tersendiri, yang tentu saja tidak begitu saja dapat
dikesampingkan Mempertimbangan semua pembahasan di atas, alternatif yang
dapat dilakukan IAIN Jakarta sesuai dengan latarbelakang pemikiran di atas
adalah:
Pertama, mempertahankan kelembagaan IAIN dengan mandat formalnya
sekarang, yakni dalam bidang ilmu agama, tetapi tetap mengupayakan
pencapaian substansi yang berada di balik gagasan pembentukan UIN, misalnya,
reapproachement antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, dan agar
kajian-kajian keilmuan di IAIN lebih kontekstual dan relevan dengan
perkembangan zaman. Akan tetapi jelas bahwa IAIN dengan mandat terbatas
seperti ini, bukan hanya tidak selaras dengan paradigma baru Perguruan Tinggi,
tetapi juga akan membuat IAIN sulit untuk merespon berbagai perubahan dan
perkembangan masyarakat baik pada tingkat lokal, regional maupun global.
Kedua, mempertahankan kelembagaan IAIN Jakarta seperti sekarang ini,
tetapi dengan mangadopsi konsep IAIN “with wider mandate”. Dalam konsep

Seminar Kelas 2B, Analisis Kritis Kurikulum PTAI Oleh Moh. Mujib Zunun @l-Misri@2008 11
IAIN dengan mandat yang lebih luas ini, pendidikan IAIN tidak lagi terbatas
pada mandat formal dalam ilmu-ilmu agama yang termasuk ke dalam bidang
humaniora, tetapi juga mengembangkan mandat dalam bidang humaniora
lainnya, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu eksakta. Dalam kerangka IAIN dengan
mandat lebih luas ini, maka “core” IAIN dalam bidang ilmu agama tetap
dipertahankan, tetapi pada saat yang sama juga mengkonsolidasikan jurusan-
jurusan atau fakultas-fakultas yang sudah ada, seperti Jurusan Tadris Psikologi
menjadi Fakultas Psikologi; jurusan Muamalat & Ekonomi Islam menjadi
Fakultas Ekonomi Islam, Jurusan Tadris Matematika dan Jurusan Tadris IPA
menjadi Fakultas MIPA atau bahkan membentuk jurusan-jurusan, fakultas-
fakultas, dan program-program akademis yang baru sama sekali sesuai dengan
tuntutan perkembangan masyarakat.

III
KESIMPULAN

Seminar Kelas 2B, Analisis Kritis Kurikulum PTAI Oleh Moh. Mujib Zunun @l-Misri@2008 12
Penyempurnaan kurikulum IAIN/STAIN merupakan jawaban terhadap
dinamika internal IAIN serta tantangan yang berkembang dalam masyarakat, baik
dalam konteks nasional maupun global. Penyempurnaan ini memiliki sasaran
ganda: meningkatkan kualitas akademik IAIN setara dengan pendidikan tinggi
negeri lainnya, dan sekaligus mengkaitkan pendidikan di IAIN dengan dunia
ketenagakerjaan. Namun kurikulum ini tidak akan efektif jika tidak dibarengi
dengan ketersediaan silabus yang komprehensif, yang berfungsi memberikan
arahan tentang pelaksanaan kurikulum ini. Penyusunan silabus, dengan demikian
merupakan hal yang urgen untuk lebih dimatangkan. Di samping itu, kurikulum
baru ini memberikan ruang kepada para pengelola maupun pengajarnya untuk
melakukan improvisasi terutama dalam hal pengembangan kurikulum lokal.
Namun, melihat latar belakang sumber daya manusia dilingkungan IAIN/STAIN,
baik latar belakang bidang pendidikan maupun tingkat pendidikan, tampaknya
perlu ada acuan umum dalam pengembangan kurikulum lokal ini. Masalah lain
yang mungkin tidak kalah penting adalah kemauan politik (political will)
pemerintah untuk memperbaiki mutu akademik IAIN --khususnya pendanaan
yang memadai sebagaimana yang diberikan pada Perguruan Tinggi Negeri lain--
dan kesediaan menerima alumni IAIN di lapangan pekerjaan termasuk dalam
sektor pelayanan umum, sehingga bisa mengisi tidak hanya terbatas di bidang
keagamaan. Jika faktor-faktor pendukung tetap tidak memadai, makna perubahan
dan perbaikan yang dikandung dalam Kurikulum tidak akan ada bedanya dengan
Kurikulum 1995, bahkan kurikulum-kurikulum sebelumnya.

BIBLIOGRAPY

Seminar Kelas 2B, Analisis Kritis Kurikulum PTAI Oleh Moh. Mujib Zunun @l-Misri@2008 13
Amijaya, D.A. Tisna, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka
Panjang 1976-1985 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1976).
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium
Baru (Jakarta: Logos, 1999).
Berdahl, R., “Academic Freedom, Autonomy and Accountability in British
Universities”, Studies in Higher Education, Vol. 15 (2), 1990.
Fadjar, A. Malik et. Al., Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1999).
Hamidjojo, Santoso S. et al., Platform Reformasi Pendidikan Nasional (Jakarta:
Tim Kerja Peduli Reformasi Pendidikan Nasional, 1998).
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Nuansa Cet I,
November 2003, Bandung.
Nasution, S., Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara cet. II, 1995).
Ranuwihardjo, Sukadji, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka
Panjang 1986-1995 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1985).
Soehendro, Bambang, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka
Panjang 1996-2005 (Jakarta: Dikti, 1996).
Task Force Pendidikan Tinggi, “Implementasi Paradigma Baru di Pendidikan
Tinggi” (Jakarta: Dirjen Dikti, 1999).

Seminar Kelas 2B, Analisis Kritis Kurikulum PTAI Oleh Moh. Mujib Zunun @l-Misri@2008 14

Anda mungkin juga menyukai