Anda di halaman 1dari 30

Peter Kasenda

Hantu Merah dibawah Keamanan dan Ketertiban


Di masa pergerakan kebangsaan Indonesia, ramai diwarnai oleh berdirinya organisasi-organisasi nasionalis, rapat-rapat umum, pemogokan buruh dan pemberontakan petani. Untuk membendungnya, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Politieke Inlichtingen Dienst (PID), yang kemudian berubah nama menjadi Algemeene Recherche Dienst (ARD), yang bertugas mematamatai dan menangkal aksi-aksi revolusioner. Buku ini mengulas peran PID (ARD) dalam membungkam aksi-aksi revolusioner serta respon kaum pergerakan kebangsaan terhadapnya. Ini publikasi pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang secara khusus mengulas PID (ARD). Kepolisian modern di Hindia Belanda terbentuk dan berkembang, dilatarbelakangi ketakutan-kecemasan dan perhatian ataupun kepedulian pemerintah akan tugasnya mengayomi rakyat. Ketakutan-ketakutan, terutama dari bangsa Eropa, menjadi benang merah diskusi berkelanjutan yang muncul dan tenggelam di lingkungan pemerintahan dan rakyat banyak sejak 1870. Ketakutan demikian dipicu oleh gejolak sosial-politik di Hindia Belanda. Ketakutan dan kecemasan tersebut-mengejawantah dalam pemberitaan tentang perampokan, pembunuhan, kerusuhan serta pemberontakan di koloni yang termuat dalam koran harian atau mingguan serta juga kita temukan dalam laporan-laporan pemerintah kontras dengan pandangan klise bangsa Eropah terhadap kehidupan di Jawa dengan alam yang begitu indah, kehidupan desa yang harmonis, serta bangsa pribumi yang ramah-tamah Sebab itu pula pandangan demikian tidak menyisahkan ruang tenang, ada dan terjadinya kekerasan di kehidupan nyata. Namun, harus pula dikatakan bahwa pandangan dunia bangsa Eropa lebih kompleks dan sekedar itu saja. Tampaknya pula bahwa di antara bangsa Eropa, sekalipun kesadaran keniscayaan kehadiran kolonial di Hindia Belanda terus meningkat, rasa cemas dan takut tetap hadir, bahkan justru mendominasi kehidupan mereka. Setidak-tidaknya dalam sejumlah kasus hal itu tampak jelas; di sini ihwalnya berkenan dengan ketakutan dan kecemasan bangsa Eropa yang mengungkapkan dengan jelas kerapuhan kewibawan pemerintah kolonial
1

dan keterasingan mereka di koloni. Itu pula yang melatarbelakangi ragam ikhtiar bangsa Eropa untuk melibatkan diri kedalam urusan pemeliharaan dan penjagaan keamanan di Hindia Belanda. Adalah ketakutan dan kecemasan demikian yang menyebabkan pemerintah kolonial memprakarsai sejumlah reorganisasi lembaga kepolisian. Kepedulian untuk mengelola kehidupan masyarakat juga merupakan motif lainnya yang penting dalam kerangka diskusi tentang keamanan dan menjadi dorongan dilakukan reorganisasi kepolisian sejak 1897. Hal ini dilandasi pemikiran sejumlah kecil elite Belanda yang menyatakan bahwa suatu negara kolonial yang beradab harus mengupayakan pemeliharaan dan perlindungan keamanan terhadap nyawa dan harta benda. Hal ini diyakini sebagai prasyarat dari penyelenggaran-penyelenggaran kekuasan negara kolonial yang absah serta efektif dan satu sama lain, ialah untuk memungkinkan adanya pertumbuhan ekonomi. Pertimbangan-pertimbangan demikian terbaca di dalam sejumlah tulisan yang bernuansa politik etis dari para ahli hukum terkemuka pada akhir abad ke-19. Keniscayaan jaminan perlindungan keamanan bagi masyarakat pribumi sebagai persyarat pertumbuhan ekonomi dari masyarakat tersebut terutama muncul sebagai tema penting setelah 1900, tahun pertama munculnya politik etis, di dalam tulisan-tulisan yang membahas kondisi keamanan masyarakat pribumi di Indische Gids dan di dalam Onderzoek Naar de Mindere Welwaart. Di dalam kepedulian (politik) etis terhadap perlindungan keamanan masyarakat pribumi tercakup pula prakarsa yang diejawantahkan oleh Hoorweg dan sebelumnya oleh Prister dan Bookhoudt untuk membangun kepolisian yang professional. Terhadap prakarsa demikian, Hoorweg mengaitkan konsep kepolisian yang baik dan gagasan kepolisian dari dan untuk rakyat. Keduanya sebagai prasyarat dari kepolisian yang efektif. Kepolisian modern, dalam artian kepolisian yang beradab dan efektif serta professional. Dari sudut pandang negara kolonial, kiranya merupakan soliusi

bagi permasalahan keamanan yang dicemaskan bangsa-bangsa Eropa di banyak negara kolonial lainnya. Masalah keamanan itu dikatakan bersifat kolonial karena berkenan dengan pemerintah yang dengan bantuan sejumlah kecil pejabat Eropah, tentara, dan polisi mencoba melaksanakan penyelenggarakan kekuasaan negara terhadap sekian juta orang golongan masyarakat pribumi, di wilayah yang luasnya, jika dibandingkan dengan Eropa akan meliputi Irlandia sampai dengan Laut Kaspia, dan terutama pula karena menyangkut rasa tidak aman serta ketakutan yang dirasakan minoritas kawula Hindia Belanda dari golongan Eropa, yang dalam dunia yang cepat berubah terisolasi di lautan kawula bumiputera. Mengingat bahwa kewibawaan Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya sangat rapuh dan terfragmentasi, kiranya wajar, untuk menyatakan bahwa negara kolonial tidak memiliki pilihan lain, terkecuali mempertahankan eksistensinya melalui kekerasaan. Militer, juga setiap kali dicadangkan sebagai upaya terakhir yang dipergunakan pemerintah untuk membereskan masalah ganguan keamanan dalam negeri. Kendati demikian, menunjukan bahwa bahwa negara kolonial tidak saja berupa menjaga perimbangan kemampuan penggunaan kekerasaan, namun juga dalam urusan menjaga keamanan dalam negeri mencoba mendapatkan persetujuan dan dukungan dari masyarakat. Itu juga berarti bahwa setiap kali negara berupaya keras untuk menunda penggunaan kekerasaan kebijakan yang justru ditempuh karena kelemahan fundamental dari negara kolonial. Negara kolonial mungkin saja kuat karena mampu membentuk dan mendayagunakan aparatur negara yang memonopoli penggunaan kekerasaan. Namun, pada saat sama, negara demikian lemah karena jangkauan kekuasaan dam kewibawannya terfragmentasi dan keabsahannya terus dipertanyakan. Berhadapan dengan persoalan eksistensi dan keabsahan negara kolonial, dibentuklah kepolisian kolonial sebagai satu jawaban. Hal ini jelas bukan perkara mudah bukan saja dari kacamata persoalan bagaimana memimpin dan mengendalikan kepolisian namun juga bagi pelaksana di lapangan. ( Marieke Bloembergen, 2011 : 467 470 ) PID adalah singkatan yang sangat ditakuti semasa kolonial. De Politieke Inlichtingen Dienst adalah alat yang digunakan pemerintah kolonial untuk memantau perkembangan pergerakan politik Indonesia, terutama tentunya, mereka yang kritis terhadap kekuasaan kolonial. Pada Mei 1916, di tengahtengah Perang Dunia I, PID didirikan, setidak-tidaknya untuk memasok
3

informasi kepada pemerintahan perihal ancaman-ancaman terhadap netralitas Belanda dalam Perang Dunia tersebut. Pada April 1919 PID dibubarkan, hanya untuk dihidupkan kembali setengah tahun berikutnya, pada September 1919, sebagai Algemeene Recherche Diesnt (ARD), ARD berfungsi sebagai cabang kepolisian yang jauh diperluas, dengan wewenang yang lebih besar untuk menindak oposisi kuasa kolonial. Dalam tiga tahun keberadaannya, PID telah menanamkan reputasi yang demikian hebat, sampai-sampai namanya tetap lekat di di kalangan orang Indonesia. Bahkan pihak Belanda merujuk pada PID, alih-alih ARD. Laporan PID tentunya sangat rahasia dan didasarkan pada aksi-aksi tersembunyi. Namun, sebagian aktivitasnya terlihat secara kasat mata, terutama dalam mengontrol aktivitas organisasi-organisasi pergerakan Indonesia di depan umum. Di rapat-rapat, pada meja khusus, para perwira PID duduk dan kerap memaksa wewenang mereka untuk mengingatkan pembicara, menghentikan pidato, dan bahkan membubarkan rapat. Kerap kali dalam rapat-rapat yang menegangkan inilah para pembicara yang lihai mengolok-olok perwakilan PID yang kesulitan mempertahankan diri dalam suasana yang tidak bersahabat buat mereka. Namun pada akhirnya PID-lah yang menang, dibantu dengan sederet aturan hukum menakutkan yang selentur karet. ( Harry A Poeze, 2013 : v vi ) Dalam mengawasi organisasi maupun tokoh pergerakan, PID tidak hanya menggunakan agen yang mereka miliki, tetapi juga menggunakan tenaga mata-mata bayaran yang dibayar apabila mereka berhasil memberikan informasi kepada PID. ( Allan Akbar, 2013 : 7 ). Peran PID esensial dalam menopang kekuasan kolonial, tindakan-tindakan yang diambilnya turut membuat Hindia Belanda dicirikan sebagai negara polisi. Negara Kepolisian dan Hantu Merah Hindia Belanda sebagai negara polisi atau juga negara kekerasaan. Negara polisi ialah negara yang secara berkelanjutan mereduksi persoalan yang muncul dari pergerakan kebangsaan menjadi sekadar masalah kepolsian; negara yang membatasi dan aktivitas politik orang Indonesia dan terusmenerus menghalangi perwujudan kebebasan tersebut melalui pengawasan oleh kepolisian yang ditujukan kepada individual. Kesamaan antara negara polisi dan negara kekerasaan adalah bahwa keduanya menggunakan kekerasan negara yang terorganisasi terhadap warga. Kita tidak

menyangkal kenyataan bahwa negara kolonial adalah sama dan sebangun negara kekerasaan. Tampaknya di dalam kepustakaan kita longgar tentang kriteria yang dapat digunakan untuk menguji apakah suatu negara layak disebut negara polisi. Beberapa syarat utama atau kriteria bisa disebut. Pertama ialah adanya pengunaan kekerasan terorganisasi oleh negara terhadap warga individual.. Kedua, semua persoalan politik direduksi menjadi masalah polisional atau kepolisian dan diperlakukan sekadar sebagai ganguan ketertiban dan keamanan. Ketiga, perundang-undangan dirancang, sedemikian rupa, sehingga kepolsian memiliki kewenangan dan dapat melaksanakan tugas politik (mengawasi kegiatan politik). Kriteria terakhir, kepolisian menjadi salah satu alat negara (di samping pemerintahan, peradilan dan militer yang langsung ditempatkan dan dikendalikan oleh pemerintah pusat ). Tatkala ARD terbentuk, maka berubahlah negara kolonial menjadi negara polisi. Dinas kepolisian tersebut selanjutnya berkembang menjadi simpul utama pengolah informasi yang dikumpulkan oleh kepolisian umum maupun jatinhgan mata-mata dan informan polisi. Beranjak dari analisis informasi tersebut, Jaksa Agung memimpin dan mengarahkan polisi politik; bahkan kepolsian umum sebagai keseluruhan juga dapat dipergunakan untuk tujuan tersebut. Melalui peraturan perundang-undang tentang hak berserikat dan berkumpul, sejak 1919, peradilan memberikan senjata kepada kepolisian untuk secara nyata mengawasi dan turut campur tangan dalam cara bagaimana aktivitas sosial-politik masyarakat diselenggarakan, termasuk dengan membatasi pelaksaaan kebebasan tersebut, bahkan membungkam mereka jika perlu dengan kekerasaan. Dengan cara itu, pemerintah kolonial tidak saja menunjukkan kemauan, tetapi juga secara formal, dengan menciptakan sarana untuk itu, memenuhi kriteria untuk disebut sebagai negara polisi. ( Marieke Bloembergen, 2011 : 317 dan 319 ) Dunia pergerakan menjadi semakin radikal setelah Perang Dunia I, disertai munculnya berbagai aksi-aksi revolusioner, membuat kekhawatiran akan adanya usaha-usaha yang dapat menjatuhkan kekuasaan pemerintah kolonial memuncak. Untuk itulah pemerintah menggunakan PID sebagai alat untuk menangani setiap aksi berpotensi mengancam legitimasi mereka. PID digunakan sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial di lapangan. Peranan PID ini kemudian meningkat secara dratis seiring dengan semakin radikalnya pergerakan.

Karena tidak mungkin turun langsung menjaga keamanan dan ketertiban negara koloni, pemerintah pun menugaskan PID untuk mengawasi setiap gerakan yang terjadi dalam arena pergerakan kebangsaan. Dengan tugas pengawasan ini, PID kemudian menjadi sangat waspada terhadap setiap kegiatan yang muncul dari tokoh atau organisasi yang dianggap berbahaya. Mereka membuat beberapa strategi untuk melumpuhkan dan menekan organisasi pergerakan agar tidak menjadi semakin berbahaya. Strategistrategi mereka gunakan di antaranya adalah pengawasan organisasi dan tokoh pergerakan secara ketat, inflitrasi agen-agen intelejen; penggunaan peraturan-peraturan pemerintah yang menekan; kontrol dalam rapat atau kongres ; sensor terhadap media cetak pergerakan ; hingga penangkapan dan pengasingan tokoh pergerakan. Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan musuh utama PID (ARD), karena kedua organisasi tersebut di anggap paling berbahaya di antara organisasi-organisasi pergerakan lainnya. Keduanya memiliki jumlah anggota yang sangat besar dan memiliki tokoh-tokoh berbahaya yang dapat menggerakkan massa dalam usaha menentang pemerintah. (Allan Akbar, 2013 : 47 49) Terutama Komunisme, yang berkembang pasca Revolusi Rusia 1917, dianggap sebagai sesosok hantu merah yang sangat menakutkan bagi Belanda dan oleh karena itu harus diawasi, dijaga, dan bahkan dikenai tindakan represif. Mereka takut kekuasaan kolonial bisa jatuh bila ideologi tersebut berhasil menguasai Hindia Belanda. ( Allan Akbar, 2013: 63 ) Mengenai bagaimana cara kerja ARD dalam kenyataan, bisa dilihat dalam sejarah pengawasan kepolisian terhadap sikap tindak pergerakan PKI. Pada 23 Mei 1920, Perserikatan Komunist di Indonesia mengadakan rapat pertama, yaitu rapat dalam rangka pendirian secara resmi perserikatan ini. Dengan cara ini, ISVD (Indische Sociaal Democratische Vereeninging) telah melepaskan topengnya, dan sekaligus muncul ke permukaan organisasi gerakan komunis pribumi yang jauh lebih mudah dikenal dan dikontrol. Propaganda komunis memang sudah sejak Revolusi Oktober 1907 di Rusia selalu dipandang dengan curiga dan karena itu mendapat perlakuan represif dari pemerintah. Munculnya PKI, memberikan targert sasaran pengawasan yang jelas kepada polisi. ( Marieke Bloembenberg, 2011 : .319 320 ).

Partai Komunis Indonesia bertambah kuat di tahun-tahun berikutnya dan mulai menyebar pengaruhnya cukup berarti ke luar lingkungan kaum proletar kota dan ke luar Jawa. Akibat dan tindakan keras pemerintah, ditambah lagi dengan penderitaan yang disebabkan oleh depresi, membuat orang lebih banyak marah daripada patah semangat, dan mereka datang mengajukan protes kepada PKI. Yang mereka harapkan dari dari kaum Komunis ialah aksi revolusioner, menurut mereka hanya penggulingan pemerintah Belanda yang akan membawa penyelesaian sesungguhnya, dan mereka tidak lagi mendengarkan argumentasi tentang perlunya persiapan yang sabar. Pada waktu yang bersamaan, PKI telah kehilangan sebagaian besar dari para pemimpinnya yang lebih berpengalaman dan moderat, sehingga gerakan itu semakin jatuh ke tangan mereka yang berkepala panas yang keinginannya melancarkan suatu revolusi jauh melebihi kemampuan melaksanakannya. Pada akhir tahun 1924 partai tersebut mengambil sebuah putusan dalam prinsip untuk mempersiapkan revolusi ( Ruth McVey, 1986 : 39 ) Sementara PKI mulai membentuk sel-sel revolusioner kebijakan gubernemen terhadap komunisme berkembang semakin represif. Tahun itu pemerintah kolonial memberikan arahan kepada pangeh pradja agar mereka bertindak lebih keras menghadapi aktivitas komunis. Beberapa dari anatara mereka, khususnya yang menganggap setiap jenis perlawanan terhadap kekuasaan tradisional sebagai aksi revolusioner, menggunakan kesempatan ini untuk membentuk barisan tukang pukul antikomunis. Barisan swakarsa menakutkan yang kemudian terbentuk terutama sangat aktif di Priangan dan dikenal sebagai Sarekat Hijau.

Pengetatan pengawasan dan pengasingan pimpinan utama PKI menyebabkan kemunduran dalam kualitas kepemimpinan lokal. Lebih lagi melemahnya organisasi PKI juga terjadi akibat perbedaan pendapat internal diantara pimpinan PKI sendiri tentang kapan saat yang paling tepat untuk melakukan revolusi. Semua falktor itulah yang mengakibatkan melemahnya organisasi PKI atau memudarnya persiapan revolusi selama 1925 dikelola secara amatiran, tidak lagi terpusat, dan kehilangan fokus. Beranjak dari hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa kebijakan polisional-politik dan tindakan polisi yang represif terhadap PKI ternyata sangat efektif. Maka ini pula sanagat mengherankan bahwa pemerintah kolonial dan kepolisian November 1926 masih juga dapat dikejutkan oleh pemberontakan bersenjata yang disponsori PKI. ( Marieke Bloembergen, 2011 : 324 325 ) Baru setelah pecahnya pemberontakan, pemerintah pusat mulai menggalang tindakan dan kekerasaan yang terkoordinasi. Kepolisian dan militer dikerahkan untuk memadamkan pemberontakan. Bersama-sama dengan pemerintah, pihak militer dan kepolisian berhasil memulihkan keamanan dalam waktu sehari semalam. Waktu lebih lama diperlukan untuk meredam pemberontakan di Banten dan terutama di wilayah Sumatera Barat yang pecah awal 1927. Pemberontakan PKI yang terbukti tidak terencana dengan baik dan berskala relatif lebih kecil kiranya tidak mampu menghadapi kerkuatan yang lebih besar dari kekerasan terorganisasi oleh negara. ( Marieke Bloembergen, 2011 : 331 ) Pemberontakan itu, menurut Ruth McVey, lebih merupakan suatu tindakan putus-asa daripada suatu percobaan yang dapat dianggap untuk merebut kekuasaan. Kami menganggap adalah lebih baik mati berjuang daripada mati tanpa berjuang, demikian dikatakan oleh salah seorang pemimpin PKI kemudian kepada komunis Internasional. ( Ruth McVey, 1986 : 31 )

Namun itu semua tidak menghalangi pemerintah untuk selanjutnya menjatuhkan hukuman berat, 17 November, Jaksa Agung memerintahkan agar semua orang memiliki hubungan dengan PKI ditangkap dan ditahan, tidak perduli apakah mereka secara nyata terlibat atau tidak dalam pemberontakan. Kurang lebih dari 13.000 orang ditangkap dan ditahan. Dari jumlah itu, 4.500 orang dihukum penjara sedanglkan 10 dihukum mati, tiga di antaranya dieksekusi. Selanjutnya dilaksanakan interniran massal - atas dasar hak eksorbitan dari 1.300 orang komunis. Mereka ini ditahan di kamp pembuangan yang dibangun khusus untuk itu di Boven Digul Sebenarnya pemberontakan PKI bukan ancaman terlalu besar bagi pemerintah kolonial. Namun pemerintah, karena terlambat menyadari ancaman dan kemudian dikejutkan oleh pecahnya pemberontakan, kehilangan muka dan tercoreng wibawanya. Represi keras yang menyusul pemberontakan untuk sebagaian dimaksudkan untuk menyelamatkan muka Di samping itu, menyusul pemberontakan di atas, diupayakan pula perbaikan mekanisme kerja dari ARD, perluasan dan profesionalisasi kepolisian dan reserse, dan dikembangkan diskusi tentang peran militer dan kepolisian Kesemuanya dapat pula dipahami sebagai ungkapan kecemasan suatu negara yang mengalami penggerusan legitimasi dan sejak 1927 mulai bersikap defensif. ( Marieke Bloembergen, 2011 : 331 332 )

Babak Pertama : Partai Nasional Indonesia Di samping itu, khususnya di Hindia Belanda ancaman paling besar, demikian pandangan penasihat pemerintah, Van der Plas, justru datang dari Perserikatan Nasional Indonesia (yang kemudian berganti nama Partai Nasional Indonesia). Organisasi ini didirikan pada 4 Juli 1927 di Bandung, Perserikatan Nasional Indonesia ini di bawah pimpinan Soekarno, yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia dengan cara-cara yang nonkooperatif dan secara swadaya. Untuk itu perserikatan ini berupaya menjalin kerjasama dengan semua organisasi di Hindia Belanda yang bertujuan sama. Hal ini tampaknya berhasil dengan dilakukan dengan terbentuknya Permufakatan PerhimpunanPerhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), suatu federasi partai-partai yang berhaluan nasionalis yang dibentuk di bawah naungan PNI pada bulan Desember 1927, yakni setengah tehaun setelah terbentuknya PNI. Melalui pembentukan federasi tersebut, Soekarno bermaksud membentuk front sawo matang yang selanjutnya dapat mengabaikan front putih. Bersamaan dengan itu, ia sekaligus ia hendak memperkenalkan pertentangan yang dipergunakan nasionalis, yakni antara sini atau kita (orang Indonesia) dan sana atau mereka (penguasa orang Belanda). Kendati demikian, PPKI tampaknya tidak jauh berkembang menjadi lebih dari suatu kumpulan longgar dari pelbagai partai yang berbeda haluan dan strategi politik, sekalipun terikat pada cita-cita sama : Merdeka. Meskipun PNI diawasi ketat oleh kepolisian, namun karena sikap pemerintah yang toleran, perserikatan ini dalam kurun waktu 1927-1928 berkembang menjadi lebih bebas. Partai ini bahkan melalui serangkaian propagnda di daerah, khususnya di Jawa, berhasil mendirikan cabangcabang lokal. Pada akhir 1928, anggota PNI berjumlah tiga ribu, kebanyakan dari elit perkotaan. Selanjutnya melalui serangkaian pelatihan yang diselenggarakan perserikatan, calon-calon anggota dilatih tentang kepemimpinan. Para pengawas, agen kepolisian dan anggota reserse dengan cermat mencatat bagaimana Soekarno melalui pidato-pidatonya mengenai pemersaan dan diskriminasi kolonial, mempengaruhi para pendengarnya, bahkan sesekali memancing pada tepuk-tangan dari salah seorang pejabat ARD yang hadir dalam pertemuan demikian. Pertumbuhan PNI yang cepat dan meningkatnya popularitas Soekarno membuat cemas pemerintah kolonial dan kepolisian. Namun mereka belum
10

bersepakat perihal cara menyikapinya. Pimpinan ARD, Van der Lely, berpendapat bahwa pemerintah harus menimngkatkan kesiapan. Dalam pandangannya, PNI harus diwaspadai, satu dan lain, karena adanya kontak atau jartingan koneksi antara PNI dengan PI, perhimpunan yang sebelumnya sudah masuk ke dalam daftar target yang perlu dicermati. Dalam pandangannya pula PNI melalui para penggeraknya akan mampu menguasai dan mengendalikan masyarakat. Penasihat pemerintah, Van der Plas, awal tahun 1928, sudah berpendapat bahwa PNI adalah musuh pemerintah yang paling berbahaya. Akan tetapi sejawatnya, E.Gobee, masih dalam tahun yang sama, mengajukan pendapat berbeda. Ia beranggapan bahwa PNI adalah kelompok kecil yang tidak secara terbuka menganjurkan kekerasaan. Satu cara menyikapi gerakan PNI menurut hematnya, ialah reformasi sosial dan ekonomi. Gubernur Jawa Tengah, P.I. van Gilik, menghendaki adanya sikap dan tindakan keras pemerintah terhadap PNI. Alasannya adalah bahwa Soekarno dengan tegas merumuskan kebebasan politik sebagai hak untuk mengakhiri kekuasaan Belanda dengan atau tanpa kekerasaan.. Meskipun demikian, pada akhirnya. De Graeff memutuskan untuk mengikuti nasihat Jaksa Agung, J.K. Onnen. Onnen merujuk pada dampak kontraproduktif tindakan pemerintah terhadap PI di Belanda, menganjurkan agar pemerintah tidak mengambil tindakan apa pun, sekalipun terus meningkatkan kesiagaan. Pada Mei 1928, De Graeff di hadapan Volksraad mengeluarkan pernyataan resmi pemerintah. Ia menjelaskan bahwa selama ini ia berikhtiar menjalin kerja sama dengan anasir-anasir masyarakat yang berhaluan nasionalis moderat dan untuk itu penting untuk membedakan gerakan-gerakan yang nasionalis evolusioner dengan nasionalis revolusioner. Partai-partai yang bersikap nonkooperatif akan diawasi dengan ketat. Pada sidang triwulan ketiga, Volksraad, ia menegaskan bahwa pemerintah tidak akan segan untuk bertindak terhadap aksi-aksi politik yang tidak bisa ditoleransi dan propaganda revolusioner. Akan tetapi, di samping itu ia tetap menganjurkan sikap tenggang rasa. Berkaitan dengan itu pula, maka ia turut campur secara langsung dalam pengawasan kegiatan kepolisian politik. Ia mengeritik tindakan kepolisian di Semarang yang mencegah Soekarno menyelesaikan pidatonya, semata-mata karena Soekarno memakai kata-kata kemerdekaan (vrijheid) dan penindasan-penindasan (uitbuitting). Kata-kata tersebut pernah dipergunakan Soekarno dalam pidato-pidato sebelumnya, dan saat itu ia tidak dibungkam. Selanjutnya dengan merujuk tindakan-tindakan kepolisian di Solo terhadap Soekarno tahun 1928, serupa dengan apa yang terjadi di Semarang, maka ia memerintahkan kepada kepala-kepala
11

pemerintahan (gewest) untuk mengawasi kepolisian politik dalam wilayah kerja mereka satu dan lain agar kepolisian bersikap lebih moderat dalam menghadapi PNI. Keterlibatan dan campur tangan De Graeff dalam urusan kepolisian politik, pada satu sisi, menunjukkan bahwa pelaksaan tugas-tugas polisi politik tampaknya tidak secara efektif dikendalikan dari pusat dan sebaliknya sangat tergantung pada kepemimpinan tingkat lokal. Dari sisi lainnya. campur tangan demikian justru, memunculkan pertanyaan di mana garis batas kewenangan harus ditarik ? Ihwal mengapa pemerintah kolonial pada akhirnya memutuskan menangkap Soekarno dan petinggi-petinggi PNI pada akhir 1928 sudah banyak ditulis. Pertanyaan yang lebih penting di sini adalah sejauh mana dan bagaimana informasi yang dikumpulkan kepolisian politik berpengaruh dan turut menentukan pengambil kebijakan tersebut. Berkenaan dengan keputusan pemerintah di atas kiranya jelas bahwa penguasa kolonial bahkan juga pada 1929 belum satu pendapat tentang bagaimana seharusnya sikap gubernemen terhadap PNI. Tuntutan agar pemerintah bertindak lebih keras, sebagaimana diutarakan oleh, antara lain, pimpinan ARD, Van der Lely, terutama didasarkan kecurigaan bahwa PNI berhaluan komunis. Alasan yang diajukan untuk mendukung tuduhan ini, pertama-tama ialah kenyataan bahwa PNI, karena menjalin hubungan erat dengan PI di Negeri Belanda, pasti juga terkait dengan Liga. Di samping itu, anasir-anasir komunisme dalam PNI juga dianggap terbukti dari kesediaan PNI menerima mantan anggota PKI san Sarekat Rakyat sebagai anggota. Alasan kedua, ialah berkembangnya kecemasan bahwa gerakan PNI akhirnya akan muncul dalam pemberontakan. Selama 1929. para pengamat politik mencatat cermat semua ucapan pemuka-pemuka PNI yang mungkin mengindikasikan bahwa PNI akan merencanakan aksi-aksi kekerasan. Penegasan tentang tidak adanya indikasi demikian, meskipun demikian, oleh ARD justru dianggap membuktikan sebaliknya. Ketika, berkembangnya desas-desus yang semakin santer pada November 1929 perihal adanya keresahan religius serta kemungkinan pecahnya pemberontakan tahun 1930. Terkait dengan itu ialah kecemasan pemerintah terhadap pertumbuhan pesat keanggotaan dan cabang-cabang PNI di daerah selama 1929. Beranjak dari itu semua, apa yang dapat kita katakan di sini tentang pengaruh laporan-laporan polisional-politik terhadap keputusan JaksaAgung diberikan dengan persetujuan De Graeff untuk menangkap petinggi-petinggi PNI. Kiranya sudah tepat benar bahwa laporan-laporan
12

polisional-politik yang sedianya memang dirancang sebagai bahan rujukan utama. Laporan demikian lagi pula nyata mepresentasikan cara pandang dan latar-belakang tindakan-tindakan konkret yang diambil polisi politik yang bertugas menghadiri rapat-rapat gerakan nasionalis. Di samping itu, laporan-laporan demikian juga menunjukkan dengan jelas hal-hal apa yang ARD dianggap penting dan harus dicermati. Kesemua itu, sekali lagi terkait erat dengan pedoman yang disusun Van der Lely untuk mengenal komunisme ajaran-organisasi-jaringan. Pertama-tama di bawah rubrik gerakan nasionalis, deskripsi organisasi, propaganda dan pertumbuhan PNI, setiap bulan oleh ARD dikelompokkan sebagai suatu kesatuan tersendiri. Mereka yang membaca laporan-laporan berkala tersebut secara runut akan mendapatkan gambaran yang menakutkan tentang PNI yang berhasil menyebarkan pengaruhnya jauh ke pelosokpelosok kampung kota dan pedesaan, bahkan sampai kuli kontrak di Sumatera. Di dalam sebuah laporan dari Batavia, diisyarakatkan bahwa PNI sedang menyusun sistem sel puluhan. Digambarkan pula bagaimana PNI memecah wilayah kerjanya ke dalam bagian lebih kecil yang masing-masing dipimpin seorang komisaris yang dengan seksama menilai kecakapan anggota-anggota baru yang direkut. Terkesan bahwa cara pengorganisasian demikian diilhami organisasi komunis yang apik. Pertambahan anggota PNI tidak hanya dapat dicapai melalui rapat propaganda umum yang popular dan penyelenggaran kursus-kursus yang ramai dikunjungi masyarakat demikian bunyi laporan polisional politik melainkan juga melalui propaganda individual. Beberapa pengamat menegaskan bahwa cara yang disebut terakhir dilakukan dengan tersembunyi dan diam-diam itu semua selanjutnya berati bahwa untuk tujuan-tujuan propaganda, pemimpinpemimpin PNI telah menyalahgunakan pertandingan sepak bola, pertunjukan ketoprak, upacara pemakaman Tionghoa, bahkan juga toko-toko di kampung dipergunakan dengan maksud itu. satu dan lain karena tokotoko tersebut tidak hanya menjual teh, namun juga pesan-pesan politik PNI. Di samping itu, laporan polisionil politik Juli 1935, juga menyebutkan adanya metode baru seperti migrasi inter-Indonesia yang dianjurkan Soekarno ataupun propaganda atas dasar agama yang dipakai PNI untuk merekut anggota-anggota dari perkumpulan keagamaan. Lebih jauh lagi, tampaknya PNI-pun sibuk mengembangkan jaringannya melalui sel-sel yang disisipkan ke dalam perusahaan-perusahaan negara, bahkan berusaha pula melakukan propaganda di kalangan kepolisian, angkatan darat, laut serta kepala-kepala desa.

13

Bahkan terbongkar fakta suatu klub baca PNI, yang keanggotaan pegawaipegawai British American Tobacco Co Ltd, ternyata merupakan serikat buruh tersamar. Pada waktu yang bersamaan, dari Wonokromo datang kabar angin bahwa PNI bermaksud menyusupkan sentra-sentra PNI di pabrik-pabrik yang namanya tidak disebutkan. Dengan kesar ARD mencatat dan mencermati meningkatnya popularitas yang berkelanjutan dari pertemuan-pertemuan umum yang dimulai dan diakhiri dengan nyanyian Indonesia Raya, jumlah yang hadir seringkali lebih dari 1.000 atau 2.000 orang dan jumlah anggota PNI terus bertambah setiap bulannya. Keanggotaan PNI terpusat di Bandung, Batavia, dan Surabaya. Khususnya di Surabaya, ARD mencatat 3037 anggota pada Mei yang pada November bertambah menjadi 8193, penambahan anggota dua kali lipat lebih hanya dalam waktu enam bulan. Dan di atas mendukung kecurigaan ARD bahwa PNI sedang dan akan berkembang menjadi partai rakyat Ihwal kedua berkenan dengan ajaran PNI, laporan polisionil-politik menunjukkan kenyataan bahwa para pengawas dan pengamat yang hadir dalam pertemuan-pertemuan PNI secara sistimatik berupaya mencari-cari indikasi keterjalinan dengan komunisme, tanda-tanda pengaruh ajaran komunis atau pun semangat revolusioner. Dalam konteks itulah terutama dicurigai seruan Soekarno dalam pidato-pidatonya untuk, melalui PI di Negeri Belanda, dan karena itu juga dianggap melalui Liga, memajukan propaganda nasionalisme di luar negeri. Meskipun selama tahun 1929, sejumlah anggota PNI menyangkal keterkaitan langsung PNI dengan Lga, hal ini justru dibaca sebaliknya oleh para agen polisi-politik. Bahkan juga semua ucapan Soekarno tentang perlu dan pentingnya kerja-sama intra-Asia antara bangsa-bangsa terjajah memunculkan terbaca di dalam laporanlaporan polisional-politik, ketakutan akan tumbuh-kembangnya internasionalisme komunis di PNI. Beranjak dari ajaran komunisme, maka kepolisian-politik mencermati secara khusus semua ucapan yang eksplisit anti-kapitalis dan antiimperialis. Keprihatinan pada nasib kelas buruh, rujukan pada sistem kelas,marxisme historik, sosialisme utopis dicatat dengan seksama, dicabut dari konteksnya (biasanya tinjauan sejarah dan dianggap indikasi yang mencurigakan). Ceramah Ali Sastroamidjojo dalam pertemuan PNI di Yogya bulan Mei oleh seorang pengawas polisi ditandai dengan catatan khusus di dasarkan pada ajaran Marx. Sekadar menyebut-nyebut revolusi
14

atau semangat revolusioner juga sidah dianggap bukti kuat adanya indikasi komunis dalam tubuh PNI. Dalam kursus-kursus PNI, Soekarno dan pemimpin PNI lainnya kerap berceramah tentang pahlawan-pehlawan revolusionerdari Eropa dan tentang sejarah lama Indonesia atau mengenai recolusi di Eropa dan Rusia. Itupun dicatat dan diberi komentar mengindikasikan adanya benih-benih kekerasaan yang akan diprakarsai PNI. Dampaknya kecurigaan polisi membawa akibat bahwa para pembicara PNI semakin berhati-hati. Roeslan Wongsonegoro, misalnya di bulan Mei dalam rapat PPPKI, setelah berceramah mengenai revolusi Rusia, menegaskan bahwa PNI beruapaya mencapai tujuan-tujuannya melalui rapat dan akal sehat. Inoe Perbatasari, dalam rapat anggota PNI bulan April di Bandung, bahkan merasa perlu untuk memberikan penjelasan mengenai arti kata revolusioner. setelah ia sebelumnya menegaskan bahwa orang yang berminat menjadi anggota PNI harus menunjukkan pemikiran yang revolusioner. Revolusioner yang ia maksudkan adalah bukan kekerasan, tetapi mengacu pada orang yang memiliki pendapat yang kukuh dan yang memiliki keberanian untuk menjadi pemimpin rakyat. Terakhir adalah ihwal kekerasaan. Bukan sekedar istilah Merdeka, namun terutama cara dan langkah-langkah yang dipersiapkan untuk mewujudkan kemerdeaan-lah yang menarik perhatian para wakil kepolisan politik yang ditugaskan meengawasi. Sebuah laporan dari Batavia, Januari 1928, misalnya, menyebutkan bahwa di kediaman petinggi PNI, Sartono. Beberapa orang anggota PKI membahas surat dari Hatta. Di dalam surat tersebut, Hatta menganjurkan pembentukan Indonesia Raya, bahkan jika perlu dengan menggunakan kekerasaan. Namun para anggota PNI tampaknya memutuskan untuk tidak atau menggaris-bawahi atau menegaskan hal itu, karena hanya akan berdampak buruk bagi propaganda dan citra PNI. Demikian terbaca dari laporan di atas. Seorang informan dari Wonokromo (Jawa Tengah), bulan Februari, mencatat ucapan sekretaris PNI setempat, Singgih, bahwa 1930,akan ada ledakan. Dimaksudkan dengan itu ialah akan adanya pemogokan atau huruhara. Di dalam laporan tersebut, Singgih sama sekali tidak menjelaskan apa dan bagaimana peran PNI, namun ia menganggap perlu menyebutkan bahwa dalam berbagai lapisan masyarakat bumiputera beredar desas-desus bahwa pada 1930 akan ada persitiwa besar. Ia-lah yang pertama-tama yang mencatat kabar angin tentang kerusuhan yang akan terjadi.

15

Kepolisan Bandung, melaporkan pula bahwa Soekarno Inoe Perbatasari, dalam pertemuan PNI yang berbeda, berbicara dengan nada yang sama. Keduanya menegaskan bahwa bahwa anggota PNI janganlah menunggu sampai Belanda memutuskan akan menyerahkan kembali Indonesia dengan sukarela, sebaliknya mereka harus berjuang merebut kemerdekaan tersebut. Dalam pertemuan yang diselenggarakan sebagai kursus bagi anggota di Pekalongan, konon kabarnya diantara mereka yang hadir telah menggagas ide untuk menyingkirkan semua mata-mata dan informan dari pemerintah dan kepolisian. Alhasil, pada bulan April, kepolisian Bandung memutuskan untuk bertindak, khususnya ketika dalam suatu pertemuan PPPKI, seorang wakil perkumpulan Tirtayasa dari Banten mengajukan pertanyaan, bagaimana mungkin rakyat dapat digerakkan untuk memberontak bilamana tidak memiliki senjata, serta dalam hal demikian bagaimana pemeberontakan harus dirumuskan. Dalam pertemuan di Bandung, September 1929, Soekarno, Gatot Mangkupradja, Suhanda dan Dipodjono tidak semata-mata mengutarakan semangat revolusionernya dengan cara yang kelewat batas dengan, antara lain, mengeritik kapitalisme pada umumnya maupun pemerintah; namun orang yang disebut terakhir juga bertindak lebih jauh serta untuk itu dapat dituntut secara pidana tatkala menyatakan bahwa kemerdekaan tak akan pernah dapat diperoleh melalui tepuk tangan, tetapi dicapai dengan putus leher. Laporan-laporan polisionil-politik selama 1929 menggambarkan siatuasi semakin genting . Tanpa pertimbangan matang, ARD juga mencakupkan ke dalamnya ulasan yang dengan samar-samar memberitakan semakin memanasnya sikap perlawanan terhadap kewibawaan Negara serta keberadaan pemerintahan kolonial, serta semakin meningkatnya sikap permusuhan dari aksi-aksi Soekarno. Dampak dari itu, ialah bahwa sejak Juni, pidato-pidato Soekarno di dalam pertemuan-pertemuan semakin sering diinterupsi dan dihentikan dengan ketok palu para agen pengawas kepolisian politik. Meskipun laporan-laporan polisional-politik menggambarkan situasi yang semakin genting, tampaknya hal ini tidak menyurutkan semangat Gubernur Jenderal, De Graeff, untuk tetap berupaya mengadakan dialog dengan gerakan nasionalis. Bahkan ia-pun lama menentang dan menghambat diterbitkannya keputusan untuk melarang orang untuk menjadi anggota PNI. Meskipun demikian, pada paruh kedua 1929, tekanan untuk Gubernur
16

Jenderal untuk mengeluarkan larangan tersebut semakin lama semakin keras. Jaksa Agung menyatakan di dalam nota-nya tentang Betekenis en actie van de PNI (makna dan aksi-aksi PNI) tertanggal 12 Agustus, bahwa ia tidak lagi berilusi bahwa PNI akan memilih jalan evolusioner dalam memperjuangkan kemerdekaan. Gubernur Jawa Timur, J.B. Hartelust, yang cemas menghadapi berita bahwa PNI telah menginflitrasi kepolisian, pada bulan yang sama mendesak De Graeef agar menyatakan keanggotaan PNI terlarang bagi pegawai negeri. Kendati begitu, baru setelah panglima angkatan bersenjata - yang mempertimbangkan kemungkinan adanya sabotase - mendesak agar larangan tersebut diterbitkan. De Graeff menyerah. Keputusan melarang semua pegawai negeri sipil atau militer untuk menjadi anggota PNI dinyatakan berlaku terhitung sejak 1 November

17

Sampai sekarang tetap jadi pertanyaan mengapa kemudian Gubernur Jenderal menyerah dan berbalik sikap justru pada saat itu. Kepustakaan mengenai latar belakang pengambilan keputusan berkenan dengan represi terhadap PNI, sekalipun membahas faktor tersebut di atas, ternyata mengabaikan faktor penting situasi-kondisi pribadi De Graeff. Justru pada waktu kecemasan terhadap ancaman bahaya PNI meningkat, De Graeff mengalami krisis perkawinan yang berujung pada berpisahnya ia dengan istrinya. Kemungkinan besar krisis itulah yang menggoyahkan keyakinan dan sikap De Graeff sedemikian sehingga ia mengalah pada desakan pihak konservatif untuk bertindak keras terhadap PNI. Kiranya apa yang diuraikan di atas memberikan penjelasan memadai tentang pembalikan sikap dan kebijakannya yang sebelumnya secara teguh menegaskan perlunya kebiojakan kooperatif. Itu pula yang ternyata dari penyesalan yang ia kemudian utarakan dalam ragam cara terhadap pembalikan sikapnya tersebut. Sementara itu beredarnya desas-desus yang juga tiada henti mengenai kemungkinan akan muncul kerusuhan mendorong Jaksa Agung mengambil sikap tegas. Pada 24 Desember 1929, ia memerintahkan kepolisian - dengan dukungan De Graeff - agar mulai melakukan tindakan kepolisian penggeledahan rumah-rumah atas PNI dalam arti yang seluas-luasnya. Kepolisian ditugaskan untuk memgumpulkan bukti-bukti yang diperlukan dalam rangka menuntut PNI atas dasar ketentuan Pasal 108 ( penyelenggaraan aksi-aksi kekerasaan yang ditujukan terhadap pihak wewenang) dan 169 (organisasi kriminal) dari Kitab Undang-Undang Pidana untuk Hindia Belanda.

18

Pagi buta, tanggal 29 Desember, di seluruh Pulau Jawa diadakan penggeledahan. Polisi menangkap sejumlah besar petinggi PNI, di antaranya Soekarno, Inoe Perbatasari, Iskaq Tjokrohadisoerjo, dan Gatot Mangkupradja, Inggit Ganarsih istri Soekarno (di Bandung) dan Gatot Mangkupradja (di Yogya) di kemudian hari masih mengingat betul bagaimana seorang komisaris polisi dengan pistol di tangan dan secara kasar, beserta sejumlah agen polisi lainnya, menyerbu masuk rumah mereka. Polisi mengobrak-abrik seluruh rumah, menyita buku-buku dan dokumen. dan setelah itu pergi begitu saja. ( Ramadhan KH, 2002 : 98 99). Namun aksi penggeledahan rumah di atas tampaknya tidak berhasil. Kebanyakan orang yang ditangkap dan ditahan terpaksa dilepas. Setelah tiga hari karena kurang bukti, tiga orang lainnya dilepas sebulan kemudian. Hanya Soekarno, Maskun, Gatot Mangkupradja dan Supriadinata tetap ditahan. Namun atas dasar dakwaan bahwa mereka telah melanggar ketentuan Pasal 153 bis dan 168 (larangan menyebarkan propaganda dan mengganggu ketertiban umum). De Graeff dalam suatu surat pribadi kepada sahabatnya yang berhaluan etis, Indenburg, mencoba mengajukan pembenaran bagi tindakan represif di atas, termasuk sikap-sikap kepolisian yang berlebihan dalam aksi penggeledahan besar-besaran di atas. Dengan kata lain represi yang diwujudkan di atas adalah cerminan dari kekerasaan yang dilakukan justru karena ketidakberdayaan. Tampaknya Pemerintah Hindia Belanda mempunyai dua wajah. Wajah dari negara yang kuat, satu dan lain karena pemerintahannya ( Gubernur Jenderal) memiliki dan memimpin kepolisian dan alat-alat kekerasaan negara lainnya serta dapat mendayagunakannya menghadapi PNI. Serta pada sisi lain, wajah negara yang lemah karena mengalami krisis legitimasi. Tampaknya De Graeff mempunyai kewenangan terbatas terhadap alat-alat kekerasaan negara. Sikap tindak kepolisian dan pemerintah pada Desember 1929 memang patut dinilai berlebihan dan harus dimaknai lebih sebagai ungkapan ketidakberdayaan dan tidak efisiennya negara, daripada sebagai wujud penggunaan kekerasan secara telanjang yang efissien oleh negara. Pola serupa muncul pula di tempat-tempat lainnya. De Graeff mencatat semua ini dan menyesalinya.

19

Bagi Gubernur Jenderal maupun Jaksa Agung sudah tidak ada lagi jalan balik. Jaksa Agung merekomendasikan dilaksanakannya tindakan dratis; pengasingan atas hak eksorbitan. Ia cemas bahwa putusan bebas bagi keempat pimpinan PNI akan mencoreng kewibawaan negara. Usulannya itu, meskipun demikian, kandas karena adanya perlawanan dari sejumlah pejabat pemerintah lainnya, antara lain, dari penasihat Urusan Bumiputera Gubee, staf ahli untuk Urusan Umum, Kiewet de Jonge, Direktur Kehakiman, J.J. Scrike, bahkan dari Gubernur Jenderal, De Graeff. Mereka semua justru menghendaki diselenggarakannya sidang pengadilan terbuka sebagaimana layaknya yang dilakukan dalam sebuah negara hukum. Sikap ini pula yang disampaikan Gubernur Jenderal di hadapan Volksraad . Tampaknya ia masih juga berupaya mendukung kebijakan yang lebih liberal. Sidang pengadilan yang dibuka pada 18 Agustus 1930 mendapat perhatian besar khalayak ramai. Sesuai pengajuan bukti dan pembuktian pengadilan tentang kandungan Komunis dari PNI, pada 1 Desember Soekarno membacakan pleidoinya Indonesia Menggugat. ( Marieke Bloembenberg, 2011: 360 373 ). Dalam pidato pembelannya, untuk aksi-aksinya sebagai pimpinan PNI, Soekarno menyatakan bahwa PNI adalah sebuah partai yang legal, yang sah dan berusaha untuk bertindak secara sah pula menurut hukum. Apanila terdapat keresahan di kalangan rakyatmnya keresahaan itu pastilah bersebab dan kesemuanya mendahului pembentukan PNI. PNI bukanlah sebab keresahaan rakyat, tetapi merupakan simbol keresahan tersebut. ( John D Legge, 1985 : 141 ).

20

Pada tanggal 21 Desember, vonis dibacakan Landraad Bandung mempertimbangkan bahwa atas dasar dokumen-dokumen yang disita dari para peserta kursus-kursus yang diselenggarakan PNI, maka dapat ditarik kesimpulan PNI adalah ahli waris PKI., dan dengan demikian, keempat terdakwa diputus bersalah sebagai komunis tersembunyi. Di dalam pertimbanganya, Landraad menyatakan keyakinan mereka bahwa kemerdekaan Indonesia hanya akan tercapai melalui kekerasaan. Landraad menyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa tujuan pertama PNI adalah pencapaian kemerdekaan Indonesia dengan cara menumbangkan pemerintah Hindia Belanda melalui pemberontakan dengan kekerasaan, serta dengan cara melakukan ragam tindakan pidana. Putusan akhir ialah penjatuhan pidana penjara empat tahun bagi Soekarno, dua tahun bagi Gatot dan Maskun dan setahun bagi Supridinata. Meskipun pihak nasionalis dan ahli hukum Belanda, J.M.J Schepper, mengajukan sejumlah keberatan terhadap putusan tersebut. Raad van Justite di Batavia mengukuhkan vonis itu pada April 1931. Karena dipotong masa tahanan Supridinata langsung bebas. Ketiga terpidana lainnya dipindahkan ke penjara Sukamiskin di Bandung. Dengan penjatuhan pidana demikian, Gubernemen menyampaikan pesan di sinilah garis batas yang tidak boleh dilampui gerakan nasionalis. Sekalipun demikian, kepolisian-politik dari dokumen-dokumen PNI yang disita tidak berhasil menemukan bukti keras perihal adanya langkah-langkah perencanaan dan pemberontakan bersenjata yang sedianya dipersiapkan oleh PNI. Keputusan untuk melakukan penangkapan-penangkapan serta penjatuhan hukuman kiranya dilandaskan semata-mata dari informasi yang dikumpulkan dan diolah para pengawas yang bekerja bagi polisi politik. Mereka yang membaca laporan-laporan tersebut akan mendapat kesan adanya pengaruh organisasi komunis yang terus menyebar dan merasuk kehidupabn masyarakat yang tujuan akhirnya adalah menggulingkan pemerintahan Belanda dengan kekerasan. ( Marieke Bloemberg, 2011 : 360 372 ) Babak Kedua : Partindo September 1931, Gubernur Jenderal De Graeff yang berhaluan etis digantikan oleh L.C. de Jonge yang sebaliknya berhaluan konservatif, Sesaat sebelum berhenti menjabat De Graeff masih menyempatkan diri
21

menggunakan hak grasi yang dimilikinya untuk mengurangi hukuman ketiga interan pimpimpinan PNI dengan setengahnya. Namun kebebasan Soekarno yang ia peroleh kembali akhir tahun 1931 tidak berlangsung lama. Bagi de Jonge, tuntutan merdeka yang dikumandangkan gerakan-gerakan nasionalis bukanlah persaoalan rumit sebagaimana diyakini dan dirasakan De Graeff Di bawah pemerintahan De Jonge, ruang gerak kepolisian politik menjadi lebih luas. Pada waktu masa pemerintahan Gubernur Jenderal De Jonge, gerakan nasionalis terpilah ke dalam gerakan yang kooperatif dan nonkooperatif., dengan atau tanpa rujukan landasan agama. Dalam perkembangannya, gerakan nonkooperatif yang keras terpecah-belah. Pada waktu Soekarno dipenjara, PNI terbelah menjadi dua kubu : Partai Indonesia (Partindo), kelanjutan dari PNI lama, didirikan oleh Sartono setelah ia membubarkan PNI, dan PNI Baru didirikan 1931 oleh pimpinan PI, yakni Hatta dan Sjahrir. Setelah Soekarno dibebaskan, ia berusaha dengan sia-sia untuk menyatukan kedua partai pecahan PNI di atas. Pada Juli 1932, ia memutuskan untuk masuk Partindo dan dalam partai itu, ia dengan gaya dan nada yang sama seperti tahun 1929, mempropagandakan sikap tidak mau berdamai dengan Belanda. Karena popularitas Soekarno pula, keanggotaan Partindo dalam setahun bertumbuh dari tujuh ribu orang menjadi duapuluh ribu orang. Sebagai bandingan keanggotaan PNI Baru hanya berhenti di kisaran sekitar seribu orang. Perbedaan pendapat Partindo dan PNI terutama berkenaan dengan soal strategi, namun secara ideologi keduanya terikat pada tujuan yang sama : merdeka. Dengan demikian, dari sudut pandang polisi politik lokal maupun ARD, kedua partai tersebut tidak ada bedanya ; keduanya sama radikalnya. Karena itu, pula mereka seperti yang juga mereka lakukan sewaktu pemerintahan De Graeff terus mencari indikasi komunisme yang sama. Sifat pekerjaan mereka tidak berubah Namun di bawah De Jonge mereka lebih leluasa untuk bersikap lebih keras dan tegas. Itu pula yang menjadikan mereka lebih sibuk. Ada dua faktor yang melatarbelakangi keputusan De Jonge untuk meningkatkan aktivitas polisi politik. Pertama krisis internasional yang bahkan sebelum De Jonge mulai menduduki jabatannya sudah menghantam Hindia Belanda. Krisis internasional terus menambah ketegangan yang sudah ada diantara gerakan nasionalis dan pemerintah. Kebijakan
22

penghematan yang dicanangkan De Jonge pengurangan anggaran untuk sarana keamanan yang lebih banyak dibandingkan untuk bidang pendidikan penetapan kenaikan harga (garam), serta kemiskinan masyarakat pribumi memberikan bahan bagi nasionalis seperti Soekarno untuk secara keras mengeritik rezim kolonial dan sekaligus mempersiapkan aksi-aksi terarah lain. Selanjutnya De Jonge di hadapan Volksraad mengumumkan tekad bulat pemerintah untuk melawan setiap gangguan keamanan dan ketertiban dengan tegas serta bereaksi lebih cepat daripada yang mungkin dilakukan dalam keadaan yang lebih normal. Kepolisian yang ditugaskan untuk bertindak lebih tegas, sebagaimana rekomendasi Jaksa Agung dalam surat edaran tertanggal 17 Juni 1932, secara faktual juga menghadapi semangat masyarakat yang lebih tinggi untuk melakukan aksi-aksi perlawanan serta harus mengawasi jumlah pertemuan organisasi kemasyarakatan yang terusmenerus meningkat. Peristiwa pemberontakan di kapal de Zeven Provincien menjadi pemicu meningkatkan pengawasan keamanan oleh pemerintah kolonial. Pada 5 Februari 1933, anak buah kapal tersebut, warga Belanda maupun warga Bumiputera, merebut dan menguasai kapal panser di atas yang memiliki meriam dengan daya tembak paling jauh di perairan Hindia yang sedang berlabih di pangkalan Oleh-oleh di Aceh. Insiden ini menggegerkan tidak saja masyarakat di Hindia, namun juga di negeri Belanda, bahkan di seluruh dunia. Maka itu juga merupakan corengan atas kewibawaan pemerintah Hidnia . Pada 10 Februari sebuah bom dijatuhkan kapal dari satuan angkatan udara marinir mengakhiri drama pemberontakan di atas dengan korban tewasnya 23 anak buah kapal. Meskipun De Jonge di kemudian hari menegaskan bahwa ia tidak pernah bermaksud memerintahkan tindakan tegas guna demikian, hal itu saja sudah menunjukkan dengan jelas garis tegas kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi aksi-aksi politik dan bahwa sejak itu pemerintah tidak akan bersikap lunak terhadap aksi-aksi demikian. Juga pula masih pada saat para pemberontak menguasai kapal di atas Jaksa Agung sudah mengeluarkan instruksi ditujukan kepada para pemerintah wilayah (gewest) agar mereka menetapkan aturan dan kebijakan yang lebih keras dalam mengawasi pertemuan-pertemuan terbuka yang bernuansa atau bersifat ketanegaraan, yakni di mana dilakukan agitasi terhadap kebijakan pemerintah. Setelah peristiwa pemeberontakan kapal di atas, dan sejak itu, De Jonge akan menerapkan kriteria penegakan kewibawaan negara sebagai tolok ukur dalam perumusan dan implementasi kebijakan pengawasan dan keamanan dan ketertiban masyarakat.

23

Rezim represif De Jonge, kendatii demikian, tidak serta-merta menjamin terciptanya tindakan polisional yang seragam, bahkan juga tidak penilaian satu suara dari pejabat-pejabat pemerintahan lainnya. Penasihat Urusan Bumiputera, Goobe, adalah satu satu dari sedikit pejabat pemerintahan yang sekalipun sepenuhnya memahami problematika pelaksaan tugas kepolisian menyuarakan kecemasan mengenai dampak negatif sikap tindak kepolisian yang semakin represif. Patokan kerja yang ia sarankan ialah bahwa dalam hal kepolisian ditugaskan untuk tidak menenggangkan penyimpangan perilaku, maka tetaplah polisi harus hemat dan tidak boros dalam mendayagunakan peringatan, serta hanya menggunakannya bilamana diperlukan dan tidak ada jalan lain. Rekomendasi yang ia sampaikan perihal bagaimana kepolsian seyogyanya bertindak mencerminkan ikhtiatnya untuk menjaga agar polisi politik sedapat dan selama mungkin tetap bertindak secara berabad sesuai norma-norma negara hukum. Kiranya juga jelas dari nasihat di atas seberapa jauh kepolisian politik betapapun dikendalikan secara terpusat tetap dalam kadar tinggi merupakan urusan dan perhatian pemerintah setempat. Bahkan sikap tindak kepolisian bagaimanapun juga secara konkret akan sangat tergantung pada pemahaman dan batas toleransi agen-agen polisi perseorangan yang tentunya akan sangat beragam. Akhir 1932, Gubee mengulang kembali kritiknya kepada atas keploisian Dendam dan kemarahan yang ditimmbulkan represi terlalu keras, berdampak lebih buruk daripada sesekali sekalipun dengan terpaksa mendengarkan pudato-pidato yang mengeritik tajam pemerintah, demikian disampaikan Gubbe kepada De Jonge. Untuk mendukung pandangannya itu, ia sebagai ilustrasi merujuk pada tindakan kepolisian di Sumatera Barat. Pada Desember kepolisian menerbitkan larangan dengan ancaman akan membubarkan penyelenggaraan semua pertemuan yang sudah diagendakan oleh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSSI) jumlah seluruhnya adalah tiga puluh pertemuan. Ia selanjutnya juga merujuk pada peristiwa di mana seorang petugas polisi menegur Soekarno di dalam pertemuan Partindo dalam rangka memprotes kenaikan pajak dan bea (cukai tembakau, pajak tanah/bangunan serta garam) agar lebih menahan diri dalam ucapanucapannya. Pada akhirnya sikap tindak kepolisian yang lebih keras menjadi semakin represif, menuai protes keras dari kalangan bumiputera, kritik yang disuarakan baik oleh pers maupun di dalam Volksraad . Namun kritik di atas tampaknya membawa hasil apa pun juga. Paskapemadaman De Zeven Prov\incien, kepolisian politik justru mendapatkan kewenangan lebih besar
24

untuk bertindak melawan gerakan nasionalis. Berkenaan dengan itu, Jaksa Agung dalam surat edaran Mei 1933 merujuk pada gejala yang menurut hematnya semakin kerap muncil, yakni bahwa para pembicara dalam pertemuan-pertemuan nasionalis terus berupaya menutup-nutupi tuduhan atau kecaman terhadap pemerintah yang berkuasa bahkan juga terhadap masyarakat Eropa dengan menggunakan perumpamaan atau kata-kata bersayap, satu dan lain dengan tujuan utama agar mereka lolos dari pengawasan polisi politik. Dengan cara itu sesungguhnya ia membuka peluang bagi kepolisan politik untuk bagaimanapun menangkap maksud tersembunyi dari ucapan-ucapan acak para peserta pertemuan-pertemuan nasionalis. Akibat dari itu kepolisian politik menangkap dan menahan sejumlah besar orang Indonesia atas dasar terjadi pelanggaran ketentuan Pasal 152bis. Selain itu pada akhir Jeni diterbitkan peraturan yang melarang pegawai negeri menjadi anggota Partindo dan PNI Baru. Pada bulan Juli, Jaksa Agung menyatakan pemakaian kata-kata Republik Indonesia sebagai tindakan eks ketentuan Pasal 153 bis. Laporanlaporan polisionil politik tahun 1930 dengan gamblang menunjukkan adanya praduga besar terhadap Partindo dan PNI Baru di dalam laporan-laporan tersebut nyaris tidak ada lagi berupaya untuk merujuk pada argumen-argumen konkret yang diajukan kepolisian lokal dalam laporan mereka. Dengan cara demikian, sembarang pembaca, tercakup ke dalamnya komandan kepolisian pusat dan lokal, dari laporan-laporan polisional politik, mendapatkan gambaran tentang Partindo yang di bawah kepemimpinan Soekarno semakin bergeser ke kiri. Insinuasi perihal hasutanhasutan yang terkandung di dalam pidato-pidato para petinggi Partindo dan semangat para peserta pertemuan-pertemuan demikian dikonstruksikan sebagai bukti yang tidak terbantahkan tentang sifat revolusioner Partindo. Pidato-pidato demikian jelas mengungkap permusuhan yang tidak termanai terhadap Dunia Barat dan wakilnya di negeri-negeri ini, yaitu Pemerintah Belanda. Sikap permusuhan yang terus-menerus dibangkitkan oleh para penghasut tidak bertanggung jawab yang dibutakan oleh kebencian dan yang dipaksakan kepada massa yang tidak memiliki kemampuan berpikir sendiri sedemikian sehingga akhirnya muncul pemberontakan. Pengawasan ARD terutama tertuju kepada ucapan dan sikap tindak Soekarno. Di bawah kepemimpinan dan pengaruh Soekarno demikian kesimpulan laporan polisionil politik Juni-Juli 1933, Partindo berkembang menjadi garda terdepan gerakan revolusioner. Berkat jasa dan pengaruh Soekarno pula, Partindo menjadi semakin popular dan bertambah besar.
25

Dengan gelisah, pengawas tetap Soekarno, komisaris polisi H.M.Albreghs, yang juga memimpin penyidikan setelah penangkapan Soekarno, mencermati pengaruh yang menakjubkan, hampir dapat dikatakan hipnotis yang dimiliki Soekarno pada berbagai orang dalam pergerakan. ARD mencemaskan pertumbuhan pesat partai ini, juga karena konon partai mencari kontak dengan pata mantan komunis dan pegawai pemerintah. Pada Juli 1933, Soekarno dan ARD kembali berbenturan. Dalam suatu konferensi tertutup awal nulan Juli tahun itu, Partindo menyetujui usul Soekarno untuk mendirikan Gabungan Muda Partindo (Gempar). Organisasi pemuda, oleh Soekarno disebut Sturm Armee. di atas beranggotakan laki-laki umur 1825 tahun yang dipilih melalui seleksi yang ketat, memakai seragam dikenakan disiplin fisik yang keras dan juga dipersatukan dengan sumpah untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. 25 Juli rapat pimpinan Partindo memutuskan untuk menugaskan Gempar untuk melakukan aksiaksi kontra-spionase. Terakhir di dalam majalah Partindo Fikiran Rakyat, di bawah redaksi Soekarno, dimuat gambar, yang menurut pandangan komisaris Albrefhts, jelas menggugah semangat Republik Indonesia. Ia kemudian pada 28 Juli menegur Soekarno. Dua hari kemudian. 1 Agustus, Jaksa Agung menerbitkan keputrusan untuk membatasi hak berkumpul Partindo dan PNI lama demi ketertiban umum. Pada hari itu juga Soekarno ditangkap Belanda. Paskapenangkapan dan penahanan Jaksa Agung menjustifikasi penangkapan Soekarno dengan membuat surat panjang lebar yang di sana-sini merupakan rujukan langsung dari laporan polisional politik tahun 1933. Dengan katakata yang kurang lebih serupa, ia menyebutkan gejala radikali Partindo dan sikap subversif Soekarno. Menurut hematnya, klimaks dari itu semua, selain pertumbuhan pesat cabang-cabang Partindo (disini Jaksa Agung kembali menegaskan dipergunakannya sistem sepuluh orang), pembentukan satuan tugas Gempar, pertemuan atau rapat-rapat propaganda penuh provokasi ( direncanakan bertepatan dengan hari ulang tahun Ratu dan ulang tahun Ibu Suri), propaganda revolusioner dalam majalah partai Soeloeh Indonesia Moeda dan Fikiran Rakyat ( keduanya di bawah pimpinan redaksi Soekarno ), pengaruh buruk majalah ini pada massa dan brosur karangan Soekarno yang terbit Mei berjudul Mencapai Indonesia Merdeka. Dari itu semua, Jaksa Agung menengarai proses peracunan yang berbahaya yang akan menjangkiti massa serta menghambat semua upaya pemerintah untuk menetralisirnya. Demi kepentingan penjagaan keamanan dan ketertiban umum (rust en orde) maka Jaksa Agung merekomendasi agar para penghasut

26

rakyat yang sangat berbahaya dan sudah terbukti tidak jera dijatuhi hukuman pengasingan atas dasar ketentuan Pasal 47. Kiranya jelas dari uraian di atas, Jaksa Agung melandaskan kebijakan yang diambilnya secara langsung dari laporan-laporan polisional politik. Kendati demikian, hal ini saja tidak menceritakan apa-apa tentang pengaruh polisi politik terhadap pembentukan kebijakan. Lagi pula, iklim politik sidah terbentuk sedemikian rupa sehingga baik pemerintah Hindia Belanda, maupun pemerintah Belanda sudah bertekad untuk membungkam Soekarno Adalah laporan-laporan polisional-politik yang menyediakan bukti yang diperlukan sebagai landasan untuk melakukan intervensi terhadap gerakanbgerakan nasionalis. Tampaknya kepolisian politik sangat berguna bagi suatu rezim pemerintahan yang semakin represif sebagai sarana untuk menyediakan pandangan menyeluruh serta kontrol atas semua gerakangerakan politik. Rezim ini pula yang pada Februari 1934, setelah memerintahkan dilakukan kembali penggeledahan dan penangkapanpenangkapan penahanan tokoh-tokoh gerakan nasionalis. bahkan melangkah lebih jauh lagi dan dengan alasan kepentingan prevensi memerintahkan pengasingan tokoh-tokoh tersebut. Dengan diinternirnya pimpinan utama pimpinan utama PNI Baru, Sjahrir dan Mohammad Hatta, di Boven Digul sebagai langkah prevensi, maka pemerintah tampaknya berhasil membungkam gerakan nasionalis yang bersifat nonkooperatif. ( Marieke Bloembergen, 2011 : ,372 379 ) Penutup

27

Ada semacam perasaan bahwa partai-partai non-kooperatif tak dapat tidak harus ditindas. Sejak kedatangannya De Jonge telah menyatakan sikapnya dengan jelas bahwa ia tak akan mentolerir kegiatankegiatan politik kaum nasionalis terlalu lama. Gubernur Jenderal De Graeff telah memberi sedikit harapan bahwa dialog anatara pemerintah dan para non-kooperator dapat dikembangkan, tetapi ia pun mendapat hambatan karena sikap konservatif pemerintah Belanda dan masyarakat Belanda di Indonesia. Ia tak bisa berbuat banyak untuk memberi konsensi-konsesi yang konkrit. Kecuali bagi beberapa gelintir orang Belanda, tujuan kaum nasionalis tentang kemerdekaan bagi orang-orang Belanda merupakan serangan terhadap misi penjajahan mereka. Di mata mereka para pemimpin partai non-kooperasi itu bukanlah pemimpin rakyat yang sebenarnya, tetapi hanyalah agitator-agitatot politik yang lupa daratan yang untuk kepentingan dirinya bertekad merongrong perdamaian dan perkembangan yang harmonis di negeri jajahan itu. Ketenangan dan ketertiban adalah lebih penting dari politik; para agitator politik harus diasingkan demi perlindungan terhadap, dan demi pemerintahan yang baik bagi rakyat banyak yang berpikiran sederhana. ( John Ingelson, 1983 : 256 ) PID (ARD) bertugas mengumpulkan berbagai informasi mengenai segala kegiatan politik di Hindia Belanda. Dalam mengumpulkan informasi tersebut, digunakan mata-mata yang disebarkan ke berbagai daerah, Mata-mata PID ini diambil dari golongan bumiputera, yang ditugaskan untuk mengawasi tokoh pergerakan yang juga bumiputera. Dalam mengawasi tokoh pergerakan, PID mengirim dua agen PID yang selalu membuntuti sang tokoh, mencatat setiap kegiatan, dan membuat laporan atas pergerambangan tokoh pergerakan itu ke atasannya.

28

Laporan-laporan berkala yang dibuat PID (ARD) ke Gubernur Jenderal mengenai perkembangan situasi perpolitikan pergerakan kebangsaan dijadikan suatu pertimbangan dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah dalam penanganan aksi-aksi revolusioner. Mengenai pencapaian dari PID, disebutkan bahwa PID telah berhasil menciptakan suatu jaringan pengaman politik di Hindia Belanda. Selain itu mereka juga telah berhasil menekan akselerasi politik pergerakan menjadi lebih lambat dari sebelumnya sehingga kekuasaan pemerintah kolonial tetap terjaga dari ancaman potensial yang dapat muncul kapan saja. ( Allan Akbar , 2013 : 107 108 ) Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia sekarang banyak kecaman dilontarkan bahwa inteljen kita seakan belum bergeser dari peranannya pada masa kolonial

Makalah ini dipresentasikan dalam acara diskusi buku Memata-matai Kaum Pergerakan. Dinas Inteljen Politik Hindia Belanda 1916 1934 , yang diselenggarakan oleh Studi Klub Sejarah dan Departemen Sejarah FIB UI di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 11 April 2013. Bibliografi Adams, Cindy. 2011. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Jakarta : Yayasan Bung Karno dan Media Pressindo. Akbar, Allan. 2013.Memata-Matai Kaum Pergerakan. Dinas Inteljen Politik Hindia Belanda 1916 1934. Tangerang : Marjin Kiri. Bloembergen, Marieke. 2011. Polisi Zaman Hindia Belanda . Dari Kepedulian dan Ketakutan . Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Ingleson, John. 1983. Jalan Ke Pengasingan. Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927 1934. Jakarta : LP3ES. Ingleson, John. 1993. Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti. Kasenda, Peter. 2010. Sukarno Muda. Biografi Pemikiran 1926 1933. Jakarta : Komunitas Bambu .

29

Legge, John D . 1985. Sukarno. Sebuah Biografi Politik. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan. McVey, Ruth. Permulaan Komunisme di Indonesia, dalam Colin Wild dan Peter Carey (ed) 1986. Gelora Api Revolusi. Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta : BBC dan PT Gramedia . Hlm. 25 31. Munasichin, Zainul. 2005 . Berebut Kiri . Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912 1926 . Yogyakarta : LKIS. Shiraishi, Takashi. 2001. Hantu Digoel . Politik Pengaman Politik Zaman Kolonial. Yogyakarta : LKIS.

30

Anda mungkin juga menyukai