Anda di halaman 1dari 12

Teknik Penulisan karya ilmiah Populer

(Bahan Lokakarya Penulisan karya Imiah Poluper, Kerjasama LPIC


dan HMJ Tarbiah Stain Pontianak, 2 Mei 2009)

Leo Sutrisno
Pendidikan Fisika, PMIPA-FKIP, Untan

Prolog
Anak-anak adalah penulis alamiah yang masih polos
yang selalu mempunyai sesuatu untuk dikatakan. Yang
mereka tulis kerap kali begitu segar dan mendalam.
Tulisan mereka dapat membuat orang-orang di sekitar
mereka melihat segala sesuatu dengan cara yang tidak
pernah mereka lakukan sebelumnya. Saat ini, mungkin
Anda telah jauh dari mereka, tetapi di lubuk hati Anda
masih bermukim masa kanak-kanak itu.
(Bobbi DePortes & Mike Hernacki, 1999, Quantum Learning,
Pent: Alwiyah Abdurrahman, Bandung: Kaifa)

1
1. Sudah saatnya kita mulai menulis
(Leo Sutrisno, 2009, Sudah saatnya kita mulai menulis. Forum
Lingkar Pena Kalimantan Barat, Canopy Indonesia, Dinas
Pendidikan Kota Pontianak dan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Kalbar.
Pontianak, 14 Maret 2009)
Kapan?
Sekarang juga. Tidak perlu
ditunda. Ikan sepat ikan gabus. Kian
cepat kian bagus.
Kenapa?
Banyak hal yang dapat
diungkapkan
Salah satunya adalah menulis itu
menjadi sarana untuk menunjukkan
ke-‘berada’-an/eksistensi diri kita.

Perlukah?
Ya, amat sangat perlu!. Setiap orang, termasuk saya, pada
hakekatnya unik dan otonom. Karena itu, pengakuan akan eksistensinya
merupakan salah satu dari kebutuhan dasar. Orang yang kehilangan
eksistensinya berarti kehilangan jati dirinya. Ia tidak lagi ’di-orang-kan’.
Bayangkan apa yang saya rasakan seandainya tidak ada satu orang
pun yang di ruang ini mengenal saya. Sebaliknya, bayangkan apa yang
saya rasakan jika setiap orang yang ada di ruangan ini menyapa saya
dengah tulus dan ramah. Karena itu, pengakuan eksistensi, sungguh saya
perlukan dan dambakan.

2. Persiapan awal untuk menulis

Runtuhkan semua tembok kendala?

a. Mitos: seorang penulis dapat


menulis sekali jadi.
Keliru! Beberapa penulis memang
mengatakan seperti itu. Tetapi,
2
sebagian besar penulis, berulang kali
merevisi.

Misalnya: tulisan ini ditulis ulang hingga tiga kali.


b. Mitos: sebelum menulis harus sudah tahu isi yang akan
disajikan dengan lengkap.
Keliru lagi!. Banyak penulis memulai tulisannya begitu saja. Belakangan
baru menyusun oraganisasinya, strukturnya dan tentu juga isinya.

Tulisan ini, dimulai dengan ‘mereka-reka’ isi dan


strukturnya sambil mengendarai motor, menunggu anak
ke luar dari tempat les, menunggu istri selesai praktek
selama dua hari. Baru kemudian memperoleh strukturnya
sperti ini:
1. Pengantar
2. persiapan awal untuk menulis
3. Proses menulis
4. Penutup

c. Rasa takut keliru (baca: salah)


Keliru merupakan bagian dari suatu proses. Suatu yang keliru
dapat diperbaiki sehingga betul. Ada dua hal yang perlu diperhatikan
dalam membuat tulisan yang mungkin akan keliru, yaitu: materi dan
kebahasaan.
a. Materi kurang tuntas
Materi yang tidak tuntas dipelajari akan menyebabkan
kekeliruan dalam tulisan. Kekeliruan materi dapat diperkecil dengan
cara menpelajari setuntas mungkin materi yang akan ditulis.
Ada dua cara yang saya pergunakan untuk mengetahui
ketuntansan materi yang akan ditulis, yaitu: membuat peta konsep dan
menulis cepat. Peta konsep adalah diagram yang menunjukkan hubungan
antarkonsep dari suatu gagasan. Dalam selembar kertas kosong
dituliskan ’semua’ konsep yang tercakup dalam gagasan itu secara
hirahis. Konsep utama diletakkan di tengah-tengah bidang. Konsep yang

3
berada pada tingkat-tingkat di bawahnya digambarkan sebagai cabang,
ranting, dan anak ranting. Lihat Contoh berikut.

Melawan mitos Takut keliru

Kendala

Membuat tulisan
yang baik

Finalisasi

Persiapan Proses

Proof
reading
Menulis

Revisi
Sharing

Diagram 1: Peta konsep membuat tulisan yang baik

Sejumlah penulis lain menggunakan teknik menulis cepat apa


yang dipikirkan. Baru kemudian dibaca ulang sambil menyelipkan
kekurangannya atau mencoret bagian-bagian yang ’kurang’ diperlukan/
kurang relevan. Cara ini memerlukan waktu yang lebih lama dari cara
yang pertama, selain memerlukan waktu dan tempat secara khusus.

4
Namun, secara keseluruhan begitu menulis cepat ini diakhir berarti
sudah sekitar 50% pekerjaan telah dilakukan.

b. Kekurang-mahiran berbahasa
Kekurang-mahiran bahasa juga dapat menyebabkan kekeliruan.
Kekeliruan ini dapat menimbulkan perbedaan kesan pikiran sehingga
gagasan yang dimuaksudkan penulis tidak seluruh sama dengan gagasan
yang ditangkap oleh pembaca. Kekurang-mahiran bahasa dapat dikurangi
dengan melatih diri secara terus menerus. Tentu saja melengkapi
sarana-sarana kebahasaan juga sangat penting, misalnya: kamus, kamus
sinonim, ejaan, tanda-tanda baca dsb. Buku ’Komposisi’ karangan Gorys
Keraf sangat dianjurkan untuk dipelajari. Buku yang ditulis oleh
pengarang yang sama dengan judul ”Argumentasi dan narasi” sangat
membantu mengolah tulisan yang argumentatif – tulisan yang membuat
pembaca ’menyetujui’ gagasan yang disampaikan penulis.

3. Proses menulis

Pada Diagram 1 disajikan bagan sebuah proses menulis yang baik.


Proses itu dimulai dengan tahap persiapan, dikuti dengan tahap-tahap:
menulis, sharing, merevisi, proof reading. Diakhiri dengan finalisasi.
Tahap persiapan dalam menulis sajian ini sudah diutarakan pada
baian 1 dan 2. Tahap menulis berupa menuliskan semua yang terkandung
pada Diagram 1 itu.
Namun, untuk mempertajam organisasi dan isinya, sering dinyatakan
secara eksplisit topik dan tujuannya. Dalam topik yang sama tetapi
dengan tujuan yang berbeda ada kumungkinan oraganisasi serta isinya
pun berbeda.

Contoh
1. Topik: Pelajar dan masa depan bangsa
Tujuan: Menanamkan kesadaran semua pelajara agar dari sekarang
mereka mempelajari ilmu pengetahuan dengan sungguh-
sungguh dan mempertebal moralnya karena masa depan
bangsa dan negara berada di tangan mereka.
5
2. Topik: Pelajar dan masa depan bangsa
Tujuan: Meminta perhatian pemerintah agar dengan sungguh-
sungguh menyediakan semua fasilitas pendidikan sehingga
memungkinkan para siswa menerima pendidikan dengan
baik
3. Topik: Pelajar dan masa depan bangsa
Tujuan: Menanamkan rasa pengabdian yang mendalam dan tulus dari
para guru sehingga mereka benar-benar mengamalkan
panggilannya itu karena sikap dam moral para pemimpin
masa depan banyak bergantung pada yang yang
diperolehnya saat ini.

Tahap sharing dilakukan dengan menyerahkan tulisan ini ke istri


untuk dibaca dan diminta sarannya. Misalnya, bagian ini sebaiknya tidak
ditulis miring (draf awal ditulis miring karena dimaksudkan sebagai
ilustrasi/contoh.
Tahap revisi dan proof reading digabung. Merevisi sesuai dengan
yang disarankan istri dan bagian-bagian yang ditemukan sendiri yang
kurang ‘pas’. Tahap finalisasi lebih difokuskan pada ejaan, tanda baca,
spasi dan tampilan akhir. Sehingga, ketika tulisan ini sampai ke tangan
pembaca tidak ada satu pun kekeliruan kebahasaan (harapannya).

4. Jenis karya tulis dalam bidang pendidikan bagi guru


(Proyek Pengembangan Sistem dan Standar Profesional Tenaga
Kependidikan Dasar dan Menengah, 2002. Petunjuk praktis
penulisan karya tulis ilmiah di bidang pendidikan bagi jabatan
fungional guru)
a. karya tulis hasil penelitian, pengkajian, atau evaluasi
b. karya tulis/makalah berupa kajian atau ulasan
c. Tulisan ilmiah populer
d. makalah yang disajikan dalam pertemuan ilmiah
e. Buku pelajran atau modul
f. diktat pelajran
g. mengaliah bahasakan buku pelajaran
(Guru boleh memilih salah satu yang dirasa paling kuat)

6
5. karya tulis ilmiah populer
• Disebar-luaskan melalui media massa
• Anatomi
1. Pendahuluan
• Judul
• Kata-kata kunci
2. Isi
• Permaslahan
• Uraian teori
• Uraian fakta
• Upaya pemecahan masalah
• Simpulan dan saran
3. Penunjang
• Daftar pustaka / Daftar rujukan
• Bio data

Bukti fisik: berupa fotocopy atau guntingan media massa yang


memuat tulisan tersebut, disahkan KS, serta keterangan waktu
diterbitkan
Kriteria: Bermanfaat bagi pendidika dan belum ada yang
membahas sebelumnya
Nilai: 2/tulisan kesatuan

6. Contoh

Garin Nugroho

Megawati Opera Sabun III


Dalam dua seri artikel Kompas, Megawati Opera Sabun I dan II ( Mei
2002 ), penulis mencoba memprediksi penokohan Megawati di tengah drama
politik Indonesia. Lewat salah satu kajian Cultural Studies yang mulai populer,
mencoba membandingkan drama politik dan citra tokoh politik seperti layaknya
dramaturgi dan penokohan opera sabun.

7
Mengingat Opera Sabun bukan wilayah hampa, kepopulerannya
merefleksikan psikologi komunal masyarakat terhadap impian model-model
kepahlawanan, konflik, ketertindasan hingga harapan .
Pada artikel Megawati Opera Sabun I, yang babakan dramanya dipuncaki
kekalahan Megawati oleh Abdurrahman Wahid di Parlemen, penulis mencatat, citra
Megawati yang lemah dan tertindas serta mengedepankan tertib hukum alias damai
adalah model tokoh dalam Opera Sabun, yang menjadikannya populer.
Pada artikel Megawati Opera Sabun II, yang babakan dramanya dimulai saat
Megawati mengganti Wahid menjadi Presiden, maka penulis mencatat bias dari
gaya politik Megawati, yakni sosok politikus yang tidak langsung memotong dan
membongkar. Ia cenderung hati-hati, dan kompromi terhadap konflik.
Kecenderungan gaya politik itu didukung
sejarah drama politik yang mengelilinginya sejak
kecil, yang penuh liku dan trauma politik. Maka,
seperti layaknya karakter traumatik pada tokoh-tokoh
Opera Sabun, karakter cenderung penuh misteri,
menjaga jarak, keras, tak peduli, penuh waspada,
namun bisa berubah humanis, sering sentimetil yang
emosional, mempunyai energi tersembunyi penuh
daya tahan, hingga penuh pemakluman dan
pengayoman, namun bisa sangat tegas di saat kritis.
Pada gilirannya, penulis memprediksi saat itu, pemerintahan Megawati
cenderung penuh kompromi, terbaca lamban, keputusan genial tak muncul, dan
konsep tak terkomunikasikan dengan baik. Di sisi lain, meski penuh persoalan
besar tetapi kestabilan meski kecil terasa di masyarakat. Pada sisi lain, kompromi
politik memperkokoh kekuasaan, namun menurunkan pencitraan dan idealisme.
Karena itu, bagaimana dengan babakan Drama tahun 2003-2004 yang
penulis sebut babakan ketiga Opera Sabun Megawati?
DALAM hukum dramaturgi klasik ala Aristoteles, dari sebuah babak
drama ke babak selanjutnya senantiasa memiliki fase transisi penting yang disebut
periode perekat . Yakni, periode peralihan yang dipenuhi aneka peristiwa yang
harus mampu menarik hati penonton untuk terikat dan mencoba menerka akhir
puncak drama. Karena itu, periode 2003 adalah periode perekat yang menentukan
wajah puncak drama 2004, yakni Pemilu. Maka menarik, memberi catatan
kecenderungan yang terjadi dewasa ini.
Pertama, periode Megawati dipenuhi plot atau aneka peristiwa besar
penuh drama, dari penangkapan Tommy Soeharto, pengadilan tokoh politik,
berpuncak tragedi Bom Bali. Sayang, meski babak ini dipenuhi drama besar,
namun tidak memiliki tokoh atau kepahlawanan dari peristiwa itu. Inilah cacat
besar drama politik Indonesia. Artinya, penonton drama politik kehilangan
kepemimpinan dan kepahlawanan yang mampu memecahkan masalah-masalah
berbangsa. Akibatnya, lewat drama politik masyarakat tak mampu memahami

8
nilai-nilai yang baik dan benar, nilai keteladanan, etika, dan kepahlawanan sebagai
dasar berbangsa.
Kedua , tokoh-tokoh politik tak mampu mengembangkan karakter dengan
citra stereotipnya. Sebut, Amien Rais dan sikap selalu oposisi serta figur
pengguncang di tengah krisis peralihan.Padahal, yang diperlukan adalah pemandu
bangsa. Hal ini berlaku pada sosok Wahid yang belum menemukan peran baru
pascakepresidenan. Juga Akbar Tandjung yang belum mampu lepas dari dilema
politiknya.
Ketiga, pada kondisi dan situasi semacam itu terbaca, meski Megawati
tidak tumbuh sebagai sosok kepemimpinan yang kepopulerannya kian kuat,
bahkan cenderung menurun, namun lawan-lawan politiknya mengalami pelemahan
karakter. Artinya, pada wilayah akar rumput, masyarakat belum menemukan model
kepemimpinan yang lain, termasuk akar rumput partai Megawati sendiri.
Celakanya, Partai-partai besar lainnya, meski kepemimpinannya
mengalami pelemahan karakter, tidak juga memiliki alternatif kepemimpinan lain.
Bisa diduga, strategi politik Megawati, Amien Rais, Hamzah Has, Akbar Tandjung,
hingga Wahid, tidak menghadapi alternatif kepemimpinan, namun lebih pada
dilema suara-suara dalam partai sendiri, yang tidak puas atau menginginkan
perubahan-perubahan, bahkan pilihan antara jalan prosedural demokrasi atau
penggulingan kekuasaan.
PUNCAK drama dalam contoh klasik selalu diibaratkan sebagai
pergumulan tokoh-tokoh mencari harta karun. Periode perekat adalah saat peta
harta karun telah didapat, dan tempat harta karun telah di depan mata. Padanan ini
amat menarik guna mengkaji aneka kecenderungan pada periode perekat ini.
Pertama, seperti halnya kisah klasik sekelompok orang yang berburu harta
karun. Awalnya masih saling mendukung, berdialog, dan mencegah kelompok
lainnya meraih kesempatan yang sama. Namun, menjelang puncak drama akan
timbul berbagai agenda masing-masing individu untuk saling menjajaki dan
mengalahkan guna mengamankan jalan meraih harta karun. Maka, tahun 2003,
aliansi kekuasaan pemerintah dan DPR maupun MPR, juga dalam kabinet, tumbuh
dalam perseteruan baru. Tiap-tiap tokoh politik menjelang puncak drama akan
kembali ke kepentingan partai, golongan, dan kekuasaan, untuk memulai strategi
meraih kekuasaan. Inilah babakan drama menjajaki kekuatan kekuasaan, menyusun
aliansi baru, atau menggulingkan.
Kedua, bisa diduga, berbagai bentuk konflik mendukung dan tidak
mendukung Megawati, merupakan akibat kompromi dan pembagian kekuasaan
yang dilakukan dan dijanjikan Megawati. Pada periode ini, perilaku militer akan
tampak: apakah menjaga agar perburuan harta dalam mekanisme demokrasi, atau
ikut berperan guna mendapat harta karun lewat dukungan pada kelompok yang
menguntungkan bagi kehidupan dalam aneka bentuk kekuasaan di masa depan.
Sementara, mahasiswa dan LSM diuji perannya membawa suara dan energi rakyat,
atau hanya mewakili kepentingan yang terpecah-belah.

9
Periode perekat, dalam hukum drama, seperti karakter Dewa Janus,
senantiasa berwajah dua. Di satu sisi, begitu dramatis membawa penonton ke
puncak drama, seperti kemungkinan jatuhnya presiden. Di wajah lain, secara
perlahan, namun penuh intensitas, secara kronologis membawa ke puncak drama
Pemilu 2004 dalam adu strategi dan penjajakan kekuatan yang prosedural.
YANG harus mendapat catatan tersendiri, kesuksesan Opera Sabun tak
pernah berdiri sendiri. Ia amat tergantung situasi dan kondisi psikologi keluarga-
keluarga.
Kenyataan menunjukkan, periode perekat drama politik Indonesia kali ini,
dramaturginya bertumbuh di tengah situasi dan kondisi masyarakat yang penuh
tekanan krisis, dipuncaki naiknya berbagai bahan pokok, serta gejolak demontrasi.
Sebenarnya, drama besar senantiasa mengajarkan, periode perekat adalah
mulainya ruang dan waktu strategi politik saling mengalahkan yang sering
menghalalkan segala cara. Dari permainan uang, pembagian kekuasaan, hingga
penggunaan sentimen agama maupun ideologi, atau kelemahan pribadi, dan
strategi mengelola berbagai bentuk ketidakpuasan rakyat serta penggunaan massa.
Bahkan, ciri menarik, kesuksesan dan kejatuhan tokoh utama justru sering terletak
pada upaya politik dari tokoh terdekat dari tokoh utama, yakni lingkungan keluarga
terdekat, seperti peran Taufik Kemas, dan lain-lain.
Harus mendapat catatan sendiri, Opera sabun yang baik juga mengajarkan
tentang pertumbuhan babakan drama yang meski penuh drama besar tetapi diolah
prosedur dramaturgi yang kuat, komunikatif, dan mematuhi kode etik. Ia memberi
pengajaran tentang model kepahlawanan dan keteladanan, kemampuan
memecahkan masalah, perkembangan babakan-babakan politik yang mengandung
pendidikan politik.
Jika hal ini tidak terjadi, maka bisa terjadi masyarakat penonton Opera
Sabun Politik Indonesia bertumbuh bosan dan apatis terhadap dunia politik. Dan
mereka akan mudah menyalurkan ketidakpuasan dalam berbagai bentuk ekspresi
yang mungkin penuh kekerasan, atau menggantungkan diri pada model-model
kekuasaan yang memberi kepastian, seperti model militerisme atau berbagai
bentuk feodalisme dalam payung SARA.
Selamat menonton dan menjadi bagian dari Megawati Opera Sabun III.

*Ensiklopedi Tokoh Indonesia


Garin Nugroho, Pengamat Media dan Budaya
Kompas, 16 Januari 2003

10
7. Tulisan yang menghepnotis
(Joe Vitale, 2008. Hypnotic Writing. Pent: Tome Beka, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama)
• Libatkan pembaca. Semakin terlibat, pembaca
cenderung semakin tertarik dengan tulisan Anda.
• Beri pilihan. Pilihan memberi kesempatan pembaca
untuk memikirkan keinginannya sendiri lalu tertarik
untuk mencari jawabnya pada tulisan Anda
• Puaskan ego mereka. Jangan bohong, beri sanjungan
dsb
• Beri tambahan. Setelah selesai membaca, berilah
tambahan hadiah, dengan kata-kata yang tak
terduga.
• Pelihara rasa ingin tahu terus-menerus dalam tulisan
Anda.

8. Epilog
Ikan kecil
”Maaf kawan’ kata seekor ikan laut
kepada seekor ikan yang lain. ’Anda lebih
tua dan lebih berpengalaman daripada
saya. Dimanakah saya dapat menemukan
laut? Saya sudah mencarinya di mana-
mana, tetapi sia-sia saja!’

’Laut’ kata ikan yang lebih tua, ’Adalah


tempat engkau berenang sekarang ini.’

’Ha?! Ini hanya air saja!. Yang kucari adalah laut,’ sangkal ikan
yang muda. Dengan perasaan sangat kecewa ia pergi mencarinya di
tempat lain.
(A. De Mello SJ 2001. Burung berkicau. Jakarta: Cipta Loka
caraka)
Pontianak, 2 Mei 2009

11
Nama: Leo Sutrisno
Alamat: Komplek Untan P 13, Pontianak
Tel/Fax: 62-0561-745260
Email: leostrisno@hotmail.com
Pendidikan: S1-USD Yogya 1980
S3-Monash Melbourne 1990

12

Anda mungkin juga menyukai