Demokrasi bukanlah sebatas dunia politik, tetapi juga harus diberlakukan dalam
kehidupan sehari-hari, terutama dalam kerja-kerja pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari. Dalam bekerja, dalam menentukan produksi, dan hal-hal yang selama ini
dianggap rutin dan remeh-temeh yang justru sebenarnya adalah penentu keberadaan
manusia di dunia ini.
Demokrasi sering dikaitkan dengan pola pemerintahan dalam Athena, dan polis-
polis lainnya di Yunani. Bahkan kata demokrasi inipun dari kata Yunani demos (rakyat)
dan cratein (pemerintahan).
Pada awalnya, para tuan tanah merupakan penduduk asli daerah tengah
perkotaan. Lalu perdagangan telah dibangun, harga-harga tanah melambung tinggi
1
dan para tuan tanah menggunakan posisinya untuk mengontrol pemasaran hasil
produksi dan sudah barang pasti mereka menggunakan posisi dominan mereka untuk
meminjamkan bibit kepada penduduk-penduduk miskin yang tinggal dipinggiran dan
untuk menambah perbudakan.Semua Negara kota di Yunani dan Romawi dijalankan
atas dasar dan prinsip yang sama, seluruh penghuni Negara kota (polis dalam bahasa
Yunani ) bersatu untuk menghadapi Negara kota lainnya, tapi sebenarnya terbelah
didalam dirinya sendiri, dibedakan menjadi dua kaum: antara wargakota dan budak.
Pada awalnya wargakota yang miskin (mereka disebut Plebeian dalam bahasa
Romawi ) sama sekali tidak memiliki hak-hak politik. Perjuangan mereka adalah
perjuangan politik, perjuangan untuk meraih posisi yang dapat penentu kebijaksanaan
di negara-kota mereka. Kemenangan demokrasi tak terelakkan di Athena, hal ini
terjadi setelah warga negara kota yang miskin mampu memenangkan perang laut di
Salamis melawan orang persia yang ingin merebut kota itu. Meskipun mereka terlalu
miskin untuk mempersenjatai diri mereka sendiri, mereka menyediakan pendayung-
pendayung yang handal kepada Armada Laut Athena. Sebuah persatuan yang rapuh
telah tebentuk antara warga negara yang kaya dan yang miskin melalui ekspansi
keluar dan penaklukan budak-budak. Kemudian penduduk yang miskin tidak terlalu
tertekan, karena orang-orang kaya memiliki cadangan tenaga kerja.
2
pemaksa kehendak dilakukan karena kehendak minoritas masyarakat memang
bertentangan dengan kebutuhan mayoritas masyarakat.
Sering kali, ketika kita melihat sebuah tirani kita hanya terfokus pada satu
orang diktator, seorang tiran. Namun kenyataan yang terjadi selama berkuasanya
sang Tiran tersebut, ia hanyalah perwakilan ataupun penampakan dari sekelompok
minoritas yang ingin mendapatkan hak-hak khusus di atas penindasan terhadap
mayoritas rakyat.
Bagi sebagian besar orang Eropa di bawah Imperium Romawi, Julius Caesar
adalah seorang tiran. Legiun-legiunnya yang membawa pedang dan tameng merah
sangat efektif menaklukkan suku-suku primitif di dataran Eropa Barat. Sistem pajak
dan kerja paksa diberlakukan tanpa perlawanan yang berarti. Tapi apakah Julius
Caesar bertindak atas kehendaknya sendiri? Dari mana asalnya para legiuner-
legiuner, perwira-perwira, dan jendral-jendral pasukan Romawi yang tak terkalahkan
itu? Sangat jelas, mereka adalah orang-orang yang dibiayai ataupun memang berasal
dari keluarga-keluarga tuan tanah di Roma. Caesar berkuasa atas dukungan Senat,
sebuah badan permusyawaratan kaum patricia (tuan-tuan tanah dan pemilik budak)
Romawi. Tanpa perluasan teritorial yang kemudian menghasilkan pajak dan budak,
mustahil Romawi dapat berkembang. Dan para patricia pemilik colonate (perkebunan
besar) pun akan kesulitan memperkaya diri karena mereka akan selalu membutuhkan
budak-budak untuk mengerjakan colonate mereka.
3
Apakah tidak adanya tiran-tiran ini lalu masyarakatnya menjadi demokratis?
Jangan lupa, mereka adalah penampakkan nyata dari minoritas masyarakat yang
menginginkan hak-hak khusus dan kekayaan pribadi. Seorang tiran dapat muncul dan
pergi, dapat diganti-ganti, tapi ketika ada minoritas masyarakat yang ingin
memaksakan kehendak mereka dengan kemudian menindas mayoritas masyarakat,
maka tidak dapat negara itu dikatakan demokratis. Kekuasaan tirani adalah wujud
kasar kekuasaan minoritas di atas mayoritas.
Namun ketika kita pertanyakan: Apakah Rejim Orde Baru demokratis? Tentu
saja jawabannya tidak. Dari pengalaman Indonesia, kitapun sudah tahu bahwa adanya
pemilu dan parlementer bukanlah jaminan tegaknya demokrasi. Seorang demokrat
liberal akan berteriak, “Tapi itu karena adanya Orde Baru!”
Setelah Soeharto tumbang oleh desakan modal dan masyarakat, pada 7 Juni
1999 diadakan Pemilu multipartai pertama semenjak penggabungan partai-partai di
1970an. Tak kurang 100 partai politik berdiri, mendaftar sebagai kontestan pemilu.
Hanya 48 partai yang lolos kualifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam
kampanye, partai-partai lama berhasil melakukan penggalangan-penggalangan
massa, menebar janji-janji, dan membagi-bagi uang untuk membeli suara rakyat.
Rakyat Indonesia begitu percaya bahwa partai-partai besar ini akan memperjuangkan
kebijakan-kebijakan yang akan menguntungkan rakyat.
Setelah Pemilu, masuklah masa persidangan MPR untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden, plus remeh temeh kenegaraan lainnya. Namun inilah yang
membuktikan bahwa parlemen dan pemilu bukanlah sarana demokrasi untuk rakyat.
4
Di sinilah bukti bahwa wakil-wakil “rakyat” di parlemen akan selalu memiliki
kemungkinan untuk berkhianat kepada massa pendukungnya. Dan Sidang Umum MPR
1999, Sidang Tahunan 2000 dan sidang-sidang DPR terbukti bukanlah sidang untuk
kepentingan rakyat. Sidang-sidang itu adalah sidang-sidang untuk membicarakan
kepentingan kaum penguasa dan mengeluarkan produk hukum untuk membela kaum
penguasa dan memaksakan kehendak minoritas kepada mayoritas.
Dan jika kita melihat negara-negara yang mengedepankan liberalisme, hal yang
berbeda secara teknik namun sama pada intinya juga terjadi. Kebijakan-kebijakan
peperangan yang menghabiskan pajak untuk persenjataan bukan untuk memperbaiki
kualitas hidup masyarakat justru terjadi pada negara-negara liberal. Dan justru
kebijakan-kebijakan tersebut disahkan oleh lembaga perwakilan rakyat mereka.
Akan tetapi memang tak aneh jika parlemen hanya memperhatikan kaum yang
berkuasa secara ekonomi dan politik. Asal-usul parlemen di Eropa adalah sidang para
pembayar pajak. “Tak ada pajak tanpa perwakilan!” teriak para bangsawan Inggris
yang perlahan telah berubah menjadi kaum merkantilis (pedagang). Dipimpin Oliver
Crommwell, mereka memenggal Raja Charles I, mendirikan Republik Inggris, dan di
dalamnya sebuah sistem parlemen yang anggotanya adalah para tuan tanah dan
pedagang kaya. Hal yang sama terjadi di revolusi Perancis, meski dengan intervensi
rakyat pekerja yang lebih besar. Anggota Konvensi (parlemen hasil revolusi) hanyalah
kaum intelektual, pengusaha, dan tuan tanah baru. Tidak ada para hamba dan petani
penggarap, yang sebenarnya menjadi motor utama revolusi tersebut. Dan bentuk dan
isi parlemen seperti ini masih dipergunakan di seluruh negara yang mengusung nama
demokrasi.
Dengan bentuk seperti ini, parlemen apapun yang akan dipilih oleh pemilu
sebersih-bersihnya, pastilah hanya akan membela kaum penguasa ekonomi dan
politik, pastilah hanya mementingkan minoritas di atas penindasan terhadap
mayoritas rakyat. Artinya, kontrol rakyat terhadap berjalannya negara sangatlah
lemah.
Ketika desakan untuk terlibat dalam politik dari kaum pekerja Eropa terhadap
para penguasa negeri-negeri mereka semakin mendekati garis revolusi, hak untuk ikut
memilih wakil dalam parlemen, membentuk partai-partai politik, dan berorganisasi
diberikan. Ilusi yang ingin dibuat adalah rakyat berperan dalam penentuan kebijakan
negara. Bahkan dalam abad 20 ini, seorang buruh ataupun petanipun dapat masuk ke
dalam parlemen. Partai-partai buruh diperbolehkan untuk ikut pemilu dan masuk
parlemen. Lalu apakah kemudian ini sudah demokratis?
5
Contoh Indonesia dapat menjelaskan hubungan pemilu, parlemen, dan
pemerintah. Tanggal 20 Oktober 1999, Gus Dur resmi menjadi kepala pemerintahan.
Di parlemen, kursi-kursi mulai didominasi oleh kaum reformis, baik yang asli ataupun
yang gadungan. Namun, apakah negara Indonesia saat ini akan tunduk kepada
mayoritas rakyatnya? Meskipun rakyat kemudian bisa masuk ke dalam parlemen,
selama birokrasi yang ada tidak dibubarkan maka kekuasaan rakyat menjadi dagelan
populisme belaka. Kabinet di masa tahun 1950an datang dan berganti, anggota
parlemen bisa diubah-ubah oleh pemilu, tapi apakah kepolisian, angkatan bersenjata,
kehakiman, kejaksaan, departemen-departemen, dan pemda-pemda menjadi
demokratis dan tunduk pada kontrol masyarakat? Jawabannya jelas tidak. Mereka
memang diisolasikan dari awal dari pengaruh pemilu dan intervensi konstitusional
masyarakat lainnya. Kalaupun ada demokratisasi di birokrasi seperti pemilihan kepala
desa, kepala desa tersebut haruslah tunduk kepada camat dan bupati yang semuanya
dididik oleh pendidikan birokrat dan selalu menjadi birokrat, pelaksana negara yang
tidak dikontrol langsung oleh masyarakat yang ia perintah.
Ketika kita amati metode rekrutmen pegawai negeri, contohnya, kita lihat untuk
menjadi pegawai yunior dalam sebuah kementrian, harus melalui sebuah ujian. Aturan
ini tampaknya sangat demokratik. Tetapi, tidak semua orang dapat mengikuti ujian
apapun untuk tingkat manapun. Ujian untuk menjadi pegawai yunior sebuah biro kecil
pemerintahan tidak sama dengan ujian untuk posisi sekretaris jendral sebuah
kementrian atau kepala staf tentara. Selintas, ini juga kelihatan normal-normal saja.
Tapi, sebuah tapi yang besar, ujian-ujian ini memiliki tingkat-tingkat yang
memberikan ujian-ujian tersebut sifat selektif. Anda harus punya gelar tertentu, anda
harus sudah mengambil kursus-kursus tertentu, untuk dapat mengambil posisi-posisi
tertentu, khususnya posisi-posisi penting. Sistem seperti itu akan menyisihkan
sejumlah besar orang yang tidak dapat mengikuti pendidikan tinggi ataupun
setingkatnya, karena kesempatan yang sama untuk pendidikan sebenarnya tidak ada.
Kalaupun ujian pegawai negeri terlihat demokratis di permukaan, ia juga sebuah
instrumen yang selektif yang hanya akan menerima orang-orang yang tunduk kepada
penguasa atau berasal dari kaum penguasa itu sendiri.
Setelah kita lihat awal dan hasil dari parlemen dan pemilu, dapatlah terlihat
dengan nyata di hadapan kita: Tak satupun negara demokrasi liberal ataupun liberal
malu-malu seperti Indonesia yang demokratis, tunduk kepada kehendak mayoritas
masyarakat. Negara-negara tersebut justru kemudian menjadi alat pemaksa kehendak
minoritas terhadap mayoritas.
6
Penindasan oleh Si Kuat atas Si Lemah
Kita tidak dapat berbicara demokrasi hanya sebatas untuk urusan politik belaka,
urusan menentukan kebijakan negara saja. Namun kita harus jauh lebih dalam, ke
dalam keseharian kehidupan masyarakat kita. Tidak demokratisnya demokrasi liberal,
bukan terletak hanya sebatas pada parlemen, tetapi justru terletak di pabrik-pabrik,
perkebunan-perkebunan, rumah-rumah, pasar-pasar, keluarga-keluarga dalam
masyarakat kita.
Demokrasi Kerakyatan
7
masyarakat itu sendiri (sosial). Tidak ada lagi pemisahan antara negara dan
masyarakat, artinya tidak ada anggota masyarakat yang terus menerus kerjanya
hanya menjadi aparat negara (tentara dan birokrat), akan tetapi semua anggota
masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan negara dan
berkesempatan yang sama serta bergiliran dalam menjalankan fungsi-fungsi aparat
negara.
Ketiga, segala hasil keputusan bersama, hasil dari proses demokrasi itu sendiri,
harus secara disiplin dijalankan oleh semua anggota masyarakat. Minoritas yang tidak
sepakat dengan keputusan tersebut boleh tetap beradu argumen dengan mayoritas
lainnya, tetapi mereka harus dengan disiplin dan tanggung jawab menjalankan
keputusan yang mereka tentang itu. Perbedaan pendapat yang mereka lakukan boleh
mereka propagandakan sebagai bahan pembicaraan dalam proses pengambilan
keputusan berikutnya.
Singkat kata, demokrasi jenis baru ini adalah demokrasi yang benar-benar
melibatkan seluruh anggota masyarakat secara utuh dan nyata (tidak hanya di atas
proklamasi-proklamasi yang indah-indah), yang benar-benar proses keseharian dalam
hidup seluruh anggota masyarakat, dan direncanakan sekaligus dijalankan dengan
kedisiplinan oleh seluruh rakyat. Karenanya dapat dikatakan sebagai Demokrasi
Kerakyatan.
8
mengurangi sebanyak mungkin ruang-ruang kosong antara kekuasaan nyata, yang
semakin terkonsentrasi pada lembaga permanen (kepolisian, pemerintahan daerah,
dan sebagainya), dengan kekuasaan fiktif yang tersisa pada dewan-dewan (parlemen).
Kekosongan ini adalah ciri dari demokrasi liberal. Tidak akan cukup hanya mengganti
musyawarah semu dengan musyawarah yang lain, jika tidak satupun yang berubah
mengenai kekuasaan kosong ini. Dewan-dewan ini haruslah memiliki kekuasaan
eksekutif
Untuk menjamin dirinya tak lagi membiarkan penindasan yang kuat terhadap
yang lemah, dalam menjalankan prosesnya demokrasi kerakyatan harus
menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ide-ide diskriminatif yang didasarkan
kelamin, suku bangsa, ataupun cacat tubuh. Untuk itu, sebagai tahap pertama, negara
harus melindungi kaum-kaum yang selama ini didiskriminasi oleh sistem penindasan
yang ada. Dan ide-ide rasis, seksis, dan yang merendahkan orang-orang cacat harus
dilarang.
Kedua, kesetaraan juga harus terjadi dalam proses penjalanan fungsi negara.
Tidak ada gaji yang sangat tinggi. Tak satupun pejabat, anggota dewan perwakilan
dan legislatif, individu yang menjalankan sebuah kekuasaan negara, menerima
pendapatan yang lebih tinggi dari pendapatan pekerja terlatih. Inilah satu-satunya
cara yang dapat dilakukan untuk mencegah orang dari mencari jabatan sebagai cara
untuk memperkaya diri dan menghisap dari masyarakat, dan tentunya satu-satunya
9
cara untuk menyingkirkan pemburu karir dan parasit yang ada pada mesyarakat
sebelumnya.
Kesetaraan yang dimaksud di sini bukanlah yang hanya diakui oleh hukum saja,
tetapi didorong oleh fasilitas-fasilitas negara. Untuk menjamin arah kesetaraan ini,
negara harus memprioritaskan kebijakan-kebijakannya kepada penyediaan lapangan
pekerjaan bagi seluruh anggota masyarakat, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
konsumsi minimum, dan penyediaan fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah, rumah
sakit, dapur bersama, transportasi massal, binatu swalayan, penitipan bayi, dan
tempat-tempat rekreasi di setiap wilayah tinggal yang dibangun dan kemudian
dikelola bersama oleh masyarakat di wilayah tersebut. Dan yang paling utama adalah
pemenuhan kebutuhan pangan dan pendidikan.
Hal yang paling prinsip dalam menjalankan Demokrasi Kerakyatan adalah tetap
menjaga demokrasi sebagai alat kepentingan seluruh anggota masyarakat dan untuk
memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat. Memang sulit untuk mencapai
kesepakatan untuk semua orang, namun perwujudan yang paling logis dari seluruh
masyarakat adalah bagian mayoritas dari masyarakat tersebut. Inilah alasan kenapa
kaum penguasa selalu menggunakan penipuan-penipuan seperti parlemen dan
pemilu, untuk membuat seolah-olah keputusan yang diambil dalam parlemen adalah
kehendak mayoritas masyarakat. Contohnya, ketika dalam pengaturan upah kita
dapat lihat bahwa dengan mata telanjang kebutuhan mayoritas rakyat (kaum buruh)
disetarakan dengan kerakusan para pemilik modal dalam negosiasi-negosiasi tertutup
di dalam gedung parlemen.
Sifat kerakyatan adalah sifat yang berorientasi kepada mayoritas rakyat. Jadi
dalam demokrasi kerakyatan, keputusan diambil berdasarkan kehendak dan
10
kebutuhan mayoritas dan ini secara nyata. Bukan sebatas pengambilan suara saja,
tetapi proses diskusi, perdebatan, dan akhirnya penalaran haruslah diadakan di
permusyawaratan rakyat terkecil. Bentuk-bentuk pemilihan umum dan parlemen
seperti sekarang (sebatas pengambilan suara) adalah penghambat dari kekuasaan
mayoritas rakyat, karena justru menjebak mayoritas ke dalam perintah-perintah
minoritas.
11
Kesadaran Masyarakat Baru, Kepentingan Bersama Di Atas Kepentingan
Pribadi
Setiap anggota masyarakat saat ini bertindak dan berpikir secara individual,
hanya tentang diri mereka sendiri dan sebatas untuk diri mereka sendiri. Ini
disebabkan oleh kerja-kerja mereka dapat dilakukan secara individu dan ketegangan
yang sangat tinggi dari persaingan untuk bertahan hidup. Konflik-konflik sosial yang
horisontal selalu terjadi antara dua kepentingan individual yang berbeda. Tapi harus
dipahami juga, bahwa mayoritas masyarakat masih sebenarnya bekerja dalam sebuah
kekolektifan, yang sudah jauh lebih modern dari kolektivitas “gotong royong”. Di
dalam pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan telah terbukti bahwa kerja-kerja
dalam group (“teamwork”) baik dalam unit-unit yang kecil maupun unit-unit yang
besar mampu mendongkrak produktivitas. Tetapi mereka masih direpresi dan dikecoh
oleh ideologi-ideologi usang dan kolot seperti demi kepentingan bangsa, kesatuan dan
persatuan, kebajikan relijius, dan beban-beban parasit masyarakat seperti hubungan
keluarga tradisional pedesaan.
12
Pertama, perubahan bentuk demokrasi ini membutuhkan sebuah
pengorganisasian masyarakat, terutama bagian mayoritas yang selalu dipaksa oleh
minoritas penguasa negara dan modal.
Kenyataan saat ini di mana jumlah anggota masyarakat luar biasa besar,
ratusan juta, membuat sulit untuk melibatkan semuanya langsung dalam proses
permusyawaratan. Sama dengan demokrasi liberal, demokrasi kerakyatan juga
menggunakan perwakilan untuk permusyawaratan yang akan menentukan hajat
sebuah masyarakat. Namun perwakilan ini tidak boleh mengalahkan prinsip partisipasi
penuh dan aktif setiap anggota masyarakat dalam mengatur dan mengarahkan kerja-
kerja pemenuhan kebutuhan masyarakat. Di dalam Demokrasi Kerakyatan,
permusyawaratan terkecil adalah fondasinya. Permusyawaratan terkecil adalah wujud
dari demokrasi langsung, dimana partisipasi aktif setiap anggota masyarakat
terfasilitasi. Ini berbeda dengan konsep perwakilan demokrasi liberal di mana
demokrasi langsung lebih bermakna pemilihan dan pemungutan suara tanpa
permusyawaratan yang sebenarnya.
13
fungsi negara ini sesuai dengan konsep perwakilannya kita namakan saja Dewan
Rakyat.
Dewan Rakyat adalah bentuk negara yang lahir dari masyarakat yang ada
sekarang. Ia harus dibangun di dalam masyarakat sekarang dan ditegakkan oleh
mayoritas masyarakat. Dalam tahap-tahap awal perkembangannya, ia harus dibentuk
dari komite-komite aksi rakyat yang menginginkan perubahan, ia harus bisa
memasukkan massa yang lebih luas, dan ia bergerak sebagai alat perjuangan
mayoritas rakyat untuk mendirikan kedaulatan mereka, kedaulatan rakyat yang sejati.
***
Dewan Rakyat dan Demokrasi Kerakyatan adalah satu hal yang tak dapat
dipisahkan, seperti tak bisa dipisahkannya teori dan praktek dalam kehidupan sehari-
hari kita. Adalah tugas kaum demokrat radikal untuk mengorganisasikan massa rakyat
untuk membangun dewan rakyat dan sekaligus mewujudkan demokrasi sejati,
demokrasi kerakyatan.
14