Anda di halaman 1dari 3

Diskriminasi gender merujuk kepada bentuk ketidakadilan terhadap individu tertentu, dimana

bentuknya seperti pelayanan (fasilitas) yang dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh
individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat
manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak karena karakteristik kelamin, ras, agama dan
kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karakteristik lain yang diduga merupakan dasar
dari tindakan diskriminasi.

Misalnya "Diskriminasi terhadap wanita" berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan
yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi
atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya
oleh kaum wanita terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan
wanita.

Sepanjang sejarah perempuan senantiasa menjadi obyek dari diskriminasi dan pada akhirnya
kaum hawa menjadi kelompok yang paling dirugikan. Namun demikian sejak abad 20 mulai
muncul ideologi dan pemikiran untuk memberantas diskriminasi. Tapi sayangnya gerakan ini
terkadang terlalu keras serta menyimpang. Jika kita ingin memandang masalah ini dengan lebih
realistis, ketidakadilan antara wanita dan laki-laki merupakan fenomena terbesar yang terjadi di
Barat. Meski berbagai slogan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kesetaraan gender yang
didengungkan di Barat, namun sangat disayangkan diskriminasi masih marak di masyarakat
Barat. Hal ini yang memicu timbulnya beragam masalah di masyarakat Barat karena wanita dan
laki-laki tidak ditempatkan pada posisinya yang layak.

Dalam beberapa dekade terakhir, Barat dari satu sisi mempropagandakan slogan emansipasi
wanita untuk menekan negara lain, khususnya negara-negara Islam. Dan dari sisi lain, mereka
memanfaatkan wanita untuk mendorong masyarakat ke arah kefasadan dan kerusakan. Tekad
kuat Barat untuk menyuarakan kebebasan wanita sesuai perspektifnya yang dipropagandakan
melalui media, film dan televisi memunculkan image bahwa diskriminasi antara wanita dan lak-
laki di Barat telah musnah. Namun sejatinya yang terjadi di Barat adalah diskriminasi terhadap
wanita bukannya pudar, malah dari hari ke hari semakin menghebat.

Sangat disayangkan dalam hal ini, kehormatan dan kepribadian sejati wanita telah dikorbankan
demi kepentingan materilis Barat dan memajukan perekonomian mereka. Oleh karena itu, wanita
kebanyakan dimanfaatkan menjadi iklan penjualan produk dan barang. Pada akhirnya, wanita
harus menampilkan sifat genit dalam setiap iklan demi menarik konsumen. Dan sepertinya para
konsumen hanya akan tertarik untuk membeli produk mereka dengan penampilan iklan seperti
ini.

Namun sejatinya iklan di Barat bukan hanya menjadi tempat bagi wanita-wanita seperti ini.
Banyak bidang lain yang menjadi sarana bagi aksi diskriminasi gender, seperti sinema (Film) dan
serial televisi. Salah satu contoh pola pandang terhadap wanita di masyarakat Barat dapat
disaksikan dalam aktifitas dan penampilan para wanita di film. Hollywood yang menjadi sarana
terbesar propaganda pemilik modal menjadikan wanita tidak memiliki nilai sama sekali dan
biasanya mereka ini hanya dimanfaatkan untuk menarik perhatian pemirsa.

Ide umum yang menguasai industri perfileman Hollywood adalah wanita tidak diperbolehkan
menjadi sutradara atau menjadi pemimpin. Situs Cinematical melontarkan pertanyaan, apakah
Hollywood sebuah industri perfileman anti perempuan. Situs ini menulis, "Saat ini peran aktris
perempuan di sinema tidak dipandang penting oleh studio-studio Hollywood. Salah satu kendala
yang dihadapi bintang perempuan Hollywood adalah ketidakpedulian perusahaan besar
perfileman kepada mereka setelah menginjak usia tua."

Scarlett Johansson, aktris Hollywood terkait hal ini kepada TheTimes mengatakan, "Hollywood
sangat mempersulit perempuan." Usia tua bagi para aktris Hollywood adalah usainya karir
mereka di dunia perfileman. Ketika seorang bintang perempuan Hollywood menginjak usia tua,
dikatakan bahwa masa keemasannya telah berakhir dan tidak lagi memiliki daya tarik seksual.
Menurut Johansson, "Ini adalah image umum di Hollywood terkait perempuan."

Kini ideologi diskriminasi terhadap perempuan semakin dalam dan mengkhawatirkan. Kondisi
ini telah membangkitkan kekhawatiran para ilmuwan. Mereka pun memperingatkan berlanjutnya
kondisi ini. Baru-baru ini Akademi Film New York merilis laporan mengenai ketidaksetaraan
gender antara aktris dan aktor di Hollywood. Hasil dari riset ini dipublikasikan oleh The
Guardian dan menunjukkan fenomena ketidaksetaraan gender di Hollywood semakin besar.
Aktris perempuan biasanya memainkan peran yang tidak menonjol di banding aktor laki-laki
dengan bayaran yang lebih rendah pula.

Di bagian lain laporan ini menyebutkan, "Mengapa ketika perempuan tercatat sebagai pembeli
terbesar tiket sinema dan hampir separuh sutradara independen dari perempuan, nama mereka
tidak segemilang laki-laki di industri perfileman." Masih menurut laporan ini, hasil riset ini
diperoleh setelah mengkaji 500 film terpilih dari tahun 2007-2012 serta mengindikasikan bahwa
hanya sepertiga dialog dipercayakan kepada pemain perempuan. Selain itu, hanya 10 persen
perimbangan antara laki-laki dan perempuan dijaga di film produksi Hollywood.

Menurut laporan ini, aktris perempuan di Hollywood mencakup 18 persen dari seluruh sutradara,
produser, penyusun naskah dan kamerawan. Angka ini bila di banding dengan tahun 1998 hanya
mengalami kenaikan satu persen. Situs Forbes juga menulis bahwa 10 aktris berpenghasilan
tinggi di Hollywood rata-rata memiliki kekayaan sebesar 181 juta dolar. Sementara para aktor
pria berpenghasilan 456 juta dolar.

Dr. Martha M. Lauzen, ketua pusat riset perempuan di film, televisi dan media baru di
Universitas San Diego, AS dalam kajiannya menilai, 29 persen perempuan dalam 500 film
memainkan peran yang tidak pada tempatnya, sementara terkaitaktor pria, angka ini hanya
mencapai 7 persen. Cate Blanchett dan Kathryn Bigelow, dua bintang aktris perempuan
kebanyakan memainkan peran utama dalam setiap film, namun menurut Lauzen ini sebuah
pengecualian.

Menurutnya kesuksesan Bigelow sebagai sutradara tidak akan mampu mengubah dunia, karena
ideologi diskriminatif gender dan usia sangat mendalam di masyarakat Amerika Serikat. Salah
satu alasan tidak adanya perubahan kondisi saat ini adalah para pemimpin dan mereka yang
berkuasa tidak memandanghal ini sebagai sebuah kendala. Selama masalah ini tidak dianggap
serius maka tidak akan ada upaya kuat untuk menyelesaikannya.

Dr. Lauzen terkait perubahan kondisi diskriminasi terhadap perempuan di industri perfileman
Hollywood mengatakan, "Perubahan di sinema seperti industri besar lainnya membutuhkan
waktu yang panjang dan industri perfileman bukan dalam posisi di pinggiran, namun ia
merupakan bagian dari masyarakat Amerika di mana diskriminasi terhadap perempuan sangat
dominan."

Poin ini juga patut untuk direnungkan bahwa dalam budaya Barat selama beberapa abad,
perempuan diposisikan sebagai kelas dua dan hak-hak kaum hawa banyak diabaikan. Di
mayoritas negara Eropa hingga akhir abad ke 19 dan di sebagian lainnya hingga abad ke 20,
perempuan diposisikan seperti anak-anak dan orang gila yang tidak berhak mengatur hartanya
sendiri. Hingga awal abad 20, perempuan di mayoritas negara Barat tidak memiliki hak memilih.

Meski saat ini, ketidakadilan tidak muncul dalam bentuk abad 19, namun kondisi perempuan saat
ini pun belum memuaskan. Aksi diskriminasi terhadap perempuan di era modern malah lebih
rumit bentuknya. Syahid Muthahari, cendikiawan Iran terkait hal ini menulis, "Saya bukannya
mengingkari adanya praktek kezaliman pria terhadap perempuan, namun saya menolak
interpretasi kezaliman tersebut. Sepanjang sejarah, banyak pria yang menzalimi perempuan,
namun akar dari kezaliman ini adalah sesuatu yang menyebabkan kezaliman pula terhadap anak-
anak. Sesuatu yang membuat kita menzalimi diri kita sendiri. Faktor tersebut adalah kebodohan,
fanatisme dan adat istiadat."(IRIB Indonesia)

Anda mungkin juga menyukai