Oleh:
Nama
: Nur Afiyati Fazrin
NIM
: B1J013010
Rombongan : VII
Kelompok : 2
Asisten
: Iis Setiawati
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fertilisasi merupakan proses yang dimulai dengan bertemunya sel
kelamin jantan dan sel kelamin betina. Penetrasi spermatozoa ke dalam telur
diakhiri dengan bergabungnya kedua pronuklei. Karena setelah terjadi
pembuahan, ovum akan menjadi lebih aktif untuk melakukan pembelahan
segmentasi dan berkembang, sedangkan bila tidak terbuahi ovum akan segera
mati (Soeminto, 2008).
Spermatozoa adalah sel gamet jantan yang merupakan sel yang sangat
terdiferensiasi, satu-satunya sel yang memiliki jumlah sitoplasma yang terperas,
nyaris habis. Fungsi spermatozoa ada dua yaitu mengantarkan satu set material
genetis jantan ke betina dan mengaktifkan program perkembangan. Sperma ikan
terdiri dari tiga komponen utama yaitu kepala, leher dan ekor. Kepalanya terutama
terdiri dari suatu nukleus padat yang dimahkotai dengan akrosom kecil berbentuk
bulan sabit. Akrosomnya mengandung sejumlah enzim hidrolitik dan dianggap
berperan dalam penembusan telur oleh spermatozoa (Djuhanda, 1982).
Telur adalah satu-satunya sel hewan yang memiliki sifat totipotensi.
Totipotensi yaitu memiliki potensi atau kemampuan berkembang menjadi individu
baru dalam satuan hari atau minggu. Sifat totipotensi itu dimiliki sel telur setelah
diaktivasi. Tidak ada sel lain dalam hewan tingkat tinggi yang memiliki
kemampuan seperti itu (Sistina, 2000).
Ikan Nilem (Osteochillus hasselti) dipilih sebagai preparat dalam
praktikum kali ini merupakan perwakilan dari classis Pisces. Alasannya, karena
ikan Nilem memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil (berat per ekor induk yang
telah masak kelamin adalah 120 gram), dapat dipelihara di akuarium dan produk
telur yang dihasilkan oleh setiap induk betina yang masak kelamin cukup banyak
yaitu 20.000 butir. Ikan nilem hidup di air tawar dan banyak dibudidayakan
masyarakat sehingga mudah untuk mendapatkannya. Ikan Nilem dapat dipelihara
dengan baik pada daerah dengan ketinggian 150 1000 m dpl, daerah yang paling
baik pada ketinggian 1800 m dpl dengan suhu optimum 18 28 C. Pembelahan
segmentasi pada ikan nilem memerlukan waktu yang relatif tidak terlalu lama,
sehingga
tidak
menjadi
kendala
pada
saat
melakukan
pengamatan
(Soeminto,2008).
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum praktikum fertilisasi dan perkembangan embrional
ikan nilem adalah dapat melakukan fertilisasi pada ikan, mengenali sel telur ikan
yang telah terfertilisasi, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
fertilisasi dan mengetahui tahapan perkembangan embrio ikan nilem.
A. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum fertilisasi dan perkembangan
embrional pada ikan nilem adalah spuit injeksi, kain katun, akuarium yang
dilengkapi dengan sistem aerasi, mangkuk plastik, well plate, pipet transfer
berskala, cawan plastik, mikroskop cahaya, pencatat waktu, haemocytometer, dan
saringan.
Bahan yang diperlukan dalam praktikum fertilisasi dan perkembangan
embrional pada ikan nilem adalah ikan nilem (Osteochilus hasselti) jantan dan
betina matang gonad, sediaan hormon untuk induksi ovulasi dan spermiasi,
larutan NaCl fisiologis atau larutan Ringer dan air sumur atau air ledeng.
B. Metode
B.1 Induksi untuk mendapat gamet segar
1.
2.
Timbang ikan jantan dan betina untuk menentukan dosis hormon yang
ketentuan
4.
Setelah 5-6 jam, amati perilaku ikan. Apabila ikan sudah mulai melompat
Angkat ikan dari akuarium dan urut bagian abdomen dari ikan. Apabila
milt dan sel telur telah keluar maka ovulasi dan spermiasi sudah berlangsung dan
ikan siap di stripping.
B.2 Fertilisasi dengan berbagai rasio pengenceran spermatozoa ; sel telur.
1.
2.
Angkat ikan nilem jantan matang gonad, bersihkan bagian abdomen dan
7.
Ambil satu sendok kecil sel telur dan tambahkan 1 mL milt pengenceran
10x secara perlahan dilakukan agitasi selama 3 menit dan diberi tambahan air
hingga sel telur dan milt tercampur rata.
8.
Setelah pencampuran sel telur dan milt, secara perlahan media pembuahan
yang berisi sel telur dan spermatozoa dituangkan ke dalam saringan halus untuk
menghilangkan spermatozoa, kemudian dibilas dengan cara mencelupkan
saringan ke dalam air bersih sebanyak 3 kali.
9.
Sel telur yang telah di cuci dimasukkan ke dalam mangkok berisi air.
10.
menggunakan pipet transfer dan diletakkan di cavity slide dan diamati di bawah
mikroskop.
11.
Proporsi sel telur yang dibuahi maupun yang tidak di buahi dihitung.
12.
ditentukan.
13.
B.3 Fertilisasi dengan berbagai waktu kontak spermatozoa dengan sel telur.
1.
2.
Angkat ikan nilem jantan matang gonad, bersihkan bagian abdomen dan
sekitar genital pore menggunakan tissue.
3.
4.
5.
6.
7.
Ambil satu sendok kecil sel telur dan tambahkan 1 mL milt pengenceran
10x secara perlahan dilakukan agitasi selama 1 menit dan diberi tambahan
air hingga sel telur dan milt tercampur rata.
8.
Setelah pencampuran sel telur dan milt, secara perlahan media pembuahan
yang berisi sel telur dan spermatozoa dituangkan ke dalam saringan halus
untuk menghilangkan spermatozoa, kemudian dibilas dengan cara
mencelupkan saringan ke dalam air bersih sebanyak 3 kali.
9.
Sel telur yang telah di cuci dimasukkan ke dalam mangkok berisi air.
10.
11.
Proporsi sel telur yang dibuahi maupun yang tidak di buahi dihitung.
12.
13.
14.
III.
A. Hasil
Tabel 1. Persentase telur terbuahi pada jeda waktu yang berbeda
Persentase telur terbuahi (%)
Jeda Waktu
Total (%)
Rerata (%)
Ulangan I
Ulangan II
Kontrol
76,7 %
76,7 %
76,7 %
1 menit
56,67 %
76,7 %
133,7 %
66,7 %
3 menit
40 %
80 %
120 %
60 %
5 menit
90 %
63,3 %
153,3 %
76,65 %
Total (%)
Rerata (%)
80 %
136,7 %
68,4 %
66,7 %
56,7 %
123,4 %
61,7 %
73,3 %
63,3 %
136,6 %
68,3 %
Ulangan I
Ulangan II
10 x
56,7 %
100 x
1000 x
milt
Perlakuan
Waktu
Tahap
Pengamatan perkembangan
tahap
perkembangan
(%)
(%)
50 %
50 %
50 %
50 %
50 %
50 %
Hylock
40 %
40 %
40 %
2 sel
60 %
60 %
60 %
Ulangan Ulangan
I
Hylock
20
Belum
terfertilisasi
Kontrol
35
Jumlah Rerata
II
50
Hylock
20 %
20 %
20 %
2 sel
10 %
10 %
10 %
4 sel
20 %
20 %
20 %
8 sel
30 %
30 %
30 %
Rusak
20 %
20 %
20 %
Perlakuan
Waktu
Tahap
Pengamatan perkembangan
20
35
Jeda
waktu 1
menit
50
tahap
perkembangan
Ulangan Ulangan
Jumlah Rerata
(%)
(%)
II
Hylock
40 %
30 %
70 %
35 %
Utuh
60 %
70 %
130 %
65 %
2 sel
60 %
90 %
150 %
75 %
Utuh
40 %
40 %
20 %
Hylock
10 %
10 %
5%
Utuh
30 %
30 %
15 %
Hylock
10 %
30 %
40 %
20 %
2 sel
30 %
20 %
50 %
25 %
4 sel
20 %
30 %
50 %
25 %
8 sel
10 %
20 %
30 %
15 %
Perlakuan
Waktu
Pengamatan perkembangan
Hylock
Jeda
waktu 3
menit
Tahap
20
Belum
terfertilisasi
2 sel
tahap
perkembangan
Ulangan Ulangan
Jumlah Rerata
(%)
(%)
II
40 %
50 %
90 %
45 %
60 %
30 %
90 %
45 %
20 %
20 %
10 %
35
Hylock
10 %
10 %
5%
2 sel
30 %
70 %
100 %
50 %
4 sel
40 %
40 %
20 %
20 %
30 %
50 %
25 %
Hylock
20 %
10 %
30 %
15 %
4 sel
10 %
30 %
40 %
20 %
8 sel
40 %
60 %
100 %
50 %
30 %
30 %
15 %
Belum
terfertilisasi
50
Belum
terfertilisasi
Perlakuan
Waktu
Tahap
Pengamatan perkembangan
20
(%)
(%)
2 sel
40 %
40 %
20 %
Hylock
30 %
20 %
50 %
25 %
30 %
80 %
110 %
55 %
Hylock
20 %
40 %
60 %
30 %
4 sel
60 %
20 %
80 %
40 %
2 sel
20 %
20 %
40 %
20 %
20 %
20 %
10 %
16 sel
40 %
40 %
20 %
8 sel
50 %
50 %
100 %
50 %
4 sel
10 %
20 %
30 %
15 %
Hylock
20 %
20 %
10 %
10 %
10 %
5%
waktu 5
Belum
menit
terfertilisasi
50
Ulangan Ulangan
Jumlah Rerata
II
terfertilisasi
35
perkembangan
Belum
Jeda
tahap
Belum
terfertilisasi
Perlakuan
Waktu
Tahap
Pengamatan perkembangan
20
pengenceran
35
10 x
Ulangan Ulangan
Jumlah Rerata
(%)
(%)
II
Hylock
20 %
20 %
10 %
Rusak
10 %
10 %
5%
90 %
40 %
130 %
65 %
2 sel
40 %
40 %
20 %
4 sel
30 %
30 %
15 %
2 sel
30 %
60 %
90 %
45 %
Hylock
20 %
20 %
40 %
20 %
20 %
20 %
40 %
20 %
8 sel
60 %
50 %
110 %
55 %
4 sel
20 %
50 %
70 %
35 %
Hylock
10 %
10 %
5%
10 %
10 %
5%
Belum
Belum
berkembang
50
perkembangan
terfertilisasi
Tingkat
tahap
Belum
berkembang
Perlakuan
Waktu
Tahap
Pengamatan perkembangan
Hylock
Tingkat
pengenceran
100 x
20
Belum
terfertilisasi
35
Hylock
tahap
perkembangan
Ulangan Ulangan
Jumlah Rerata
(%)
(%)
II
50 %
30 %
80 %
40 %
50 %
70 %
120 %
60 %
40 %
30 %
70 %
35 %
2 sel
30 %
30 %
60 %
30 %
30 %
30 %
60 %
30 %
Rusak
10 %
10 %
5%
4 sel
30 %
30 %
15 %
8 sel
40 %
30 %
70 %
35 %
Hylock
10 %
50 %
60 %
30 %
20 %
10 %
30 %
10 %
10 %
10 %
5%
Belum
berkembang
50
Belum
terfertilisasi
Rusak
Perlakuan
Waktu
Tahap
Pengamatan perkembangan
20
50
(%)
10 %
30 %
40 %
20 %
2 sel
50 %
50 %
25 %
4 sel
10 %
10 %
5%
30 %
70 %
100 %
50 %
30 %
40 %
70 %
35 %
2 sel
30 %
60 %
90 %
45 %
4 sel
30 %
30 %
15 %
8 sel
10 %
10 5
5%
Hylock
10 %
10 %
5%
8 sel
50 %
50 %
25 %
16 sel
20 %
20 %
10 %
10 %
10 %
5%
terfertilisasi
1000 x
(%)
Hylock
Belum
35
Ulangan Ulangan
Jumlah Rerata
II
terfertilisasi
pengenceran
perkembangan
Belum
Tingkat
tahap
Belum
terfertilisasi
Rusak
10 %
10 %
5%
4 sel
100 %
100 %
50 %
35
50
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum, presentase telur terbuahi tiap kelompok
berbeda, kelompok 1 dengan pengenceran 10x memiliki rata-rata presentase telur
terbuahi adalah 68,4%, kelompok 2 mempunyai rata-rata presentase telur terbuahi
61,7 % pada pengenceran 100x, rata-rata presentase telur terbuahi pada
pengenceran 1000x yang dilakukan kelompok 3 yaitu 68,3 %. Selain itu rata- rata
presentase telur terbuahi pada jeda waktu 1 menit adalah 66,7 %, kelompok 2
dengan jeda waktu 3 menit mempunyai rata-rata telur terbuahi adalah 60 % serta
kelompok 3 memiliki presentase rata-rata telur terbuahi 76,65 % dari jeda waktu 5
menit. Hasil presentase kontrol yang didapat yaitu 76,7 %.
Tingkat pengenceran 100x yang dilakukan, menghasilkan rata-rata telur
terbuahi 40 % di menit ke 20. Pada menit selanjutnya yaitu menit ke 35
mempunyai rata-rata sel telur terbuahi yaitu 75 %, serta di menit ke 50
mempunyai presentase sel telur terbuahi rata-ratanya adalah 80 %. Hal ini tidak
sesuai dengan Menurut Wijayanti (1997), persentase pembuahan yang
mengindikasikan bahwa sel telur dan sperma yang digunakan berkualitas baik
dapat mencapai hingga 99 %. Persentase yang besar ini dihasilkan dari telur dan
milt yang mudah keluar pada saat distripping, telur tidak bergerombol dengan
diameter yang relatif seragam, warna yolk tajam, tidak memiliki ruang perivitelin,
dan milt yang dihasilkan dalam jumlah banyak dengan konsistensi normal.
Urutan proses utama selama fertilisasi (pembuahan) (Soeminto, 2000):
1.
polispermi,
3.
4.
1.
2.
3.
4.
5.
dimulai setelah telur dibuahi oleh inti spermatozoon yang semua haploid, menjadi
inti zigot yang diploid. Zigot inilah yang mempunyai kemampuan untuk
melakukan pembelahan segmentasi melalui proses mitosis yang cepat. Zigot yang
tersegmen-segmen menjadi bagian yang kecil (cleavage), bermula dari satu sel
kemudian membelah menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, hingga 32 sel yang disebut
fase morula ( Djuhanda, 1982). Ostrander (2000) menambahkan bahwa awal
perkembangan embrio dimulai dengan proses pembuahan antara sperma dan sel
telur membentuk zigot. Kemudian tahap selanjutnya terjadi proses cleavage,
stadium 1 mulai berkembang dari sel menjadi 2 sel, stadium 2 menjadi 4 sel,
stadium 3 menjadi 8 sel, stadium 4 menjadi 16 sel dan stadium 5 menjdai 32 sel.
Selanjutnya, morula berkembang menjadi blastula, terbentuknya rongga yang
disebut blastosol. Tahap selanjutnya yaitu gastrula, pada tahap inilah dimulainya
Fate map (peta takdir) setiap makhluk hidup. pada tahap gastrula terbentuk germ
ring dan embryonic shield. Antara germ ring terdapat dua lapisan germinal.
Lapisan atas (epiblas) dan lapisan bawah (hypoblas). Epiblas selanjutnya
berkembang menjadi ektoderm dan setelah akhir gastrula menimbulkan jaringan
seperti epidermis, sistem saraf pusat, pial neural, dan placodes sensorik.
Hypoblast tersebut menimbulkan mesoderm dan endoderm.
Tahap Organogenesis ini terbentuk lima tabung bagian pembentuk organ
dasar yang berhubungan dengan notochord axial yaitu epidermis, neural,
endodermal, dan dua mesodermal. Tabung ektodermal menjadi penutup tubuh
(epidermis) dan derivatnya. Tabung mesodermal akan bersegregasi menjadi
bagian dorsal, intermediet dan lateral, dimana mesodermal dorsal telah lebih
dahulu terbagi menjadi somit. Pada tahap somit akan terbentuk sirip pektoral,
notochord, pembuluh darah dan insang. Proses penetasan embrio terjadi apabila
adanya pelunakan korion akan menurun menjelang penetasan (Hatching)
(Kimmel et al, 1995).
Menurut Wijayanti (1997) semakin tinggi tingkat pengenceran, maka lama
motilitas spermaozoa semakin pendek, begitu juga sebaliknya. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin pendek motilitas sperma berarti semakin sedikit
pula jumlah spermatozoa yang hidup dan dapat teramati. Semakin tinggi tingkat
pengenceran menimbulkan perbedaan osmolitas. Fertilisasi ikan nilem yang
terjadi secara eksternal yaitu terjadi di dalam air juga sangat ditentukan oleh
kondisi aliran air pada saat melakukan pemijahan. Aliran air yang sangat deras
dapat menyebabkan spermatozoa yang dikeluarkan oleh ikan jantan terbawa arus
kemungkinan untuk bertemunya ovum dan sperma sangat kecil sehingga
fertilisasi tidak dapat terjadi. Kualitas air juga menetukan dalam proses fertilisasi,
kondisi air yang banyak mengandung material-material lain yang bersifat toksik
dapat menyebabkan ketidakberhasilan fertilisasi karena sperma maupun ovum
mati. Air yang asam juga dapat membebaskan karbondioksida bebas dari
bikarbonat di dalam air yang dapat menjadi toksik atau menyebabkan pH 5-6
bersifat letal.
Menurut Effendie (2002), mengemukakan bahwa peningkatan suhu
menyebabkan masa perkembangan telur hingga menetas menjadi lebih singkat.
Waktu penetasan telur menjadi lebih lambat pada media inkubasi dengan suhu
yang rendah, sebaliknya pada media inkubasi dengan suhu tinggi proses penetasan
telur akan terjadi lebih cepat. Ah-King (2006), menjelaskan bahwa sperma sangat
sensitif terhadap perubahan tekanan osmotik, kondisi lingkungan yang dapat
mempengaruhi aktivasi sperma yang memberikan indikasi terhadap fertilisasi.
Menurut M. Yasemi (2010), penangkaran pada ikan tidak berpengaruh terhadap
presentase telur yang terbuahi dan hal tersebut tidak signifikan terhadap
kematangan sel telur diantara ikan yang di tangkar atau ikan yang bebas.
Morfologi sel digunakan untuk mengetahui kualitas telur. Pada
pembelahan awal (blastomer) embrio tidak berdiferensiasi, nantinya akan
mempengaruhi terhadap kemampuan hidup . Sel telur yang telah terbuahi
mempunyai ciri-ciri warna yolk yang tajam, memiliki integritas yang baik dan
pada kutub animalis terbentuk kuncup pembuahan. Telur yang belum terbuahi
mempunyai lspisan luar yang disebut selaput kapsul (Storer, 1985).
Berdasarkan pengamatan setelah 24 jam, didapatkan telur yang menetas,
namun tidak seluruhnya. Menurt Balinsky (1960), hal ini disebabkan karena:
1. Ikan dalam keadaan stress karena faktor lingkungan yang kurang mendukung,
seperti halnya media dan tempat pemijahan yang kurang bersih, suasana yang
kurang tenang, kandungan O2 yang rendah serta faktor cahaya.
2. Ikan belum matang kelamin, sehingga meskipun sudah di hipofisasi dengan
hormon ovaprin tetap tidak akan memijah karena kandungan hormon
gonadotropin dalam kelenjar hipofisisnya sedikit.
3. Penyuntikan ikan resipen yang tidak hati-hati sehingga kemungkinan terjadi
kerusakan pada sisik ikan, maka ikan tidak akan memijah walaupun sudah
diinduksi hormon ovaprin.
4. Lemahnya sperma, sifat pergerakan sperma menentukan kemampuan untuk
melakukan pembuahan.
5. Sperma mudah sekali tergantung oleh suasana lingkungan, suhu medium yang
terlalu tinggi atau sebaliknya dan perubahan pH akan merusak pertumbuhan
kemampuan untuk membuahi.
IV.
A. Kesimpulan
Berdasarkan tujuan dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut
1.
Fetilisasi pada ikan pada praktikum kali ini, dilakukan dengan cara
mencampurkan antara milt ikan dengan sel telur. Kemudian dibandingkan
dengan tingkat pengenceran dan jeda waktu.
2.
Sel telur yang telah terfertilisasi mempunyai ciri-ciri warna yolk yang tajam,
memiliki integritas yang baik dan pada kutub animalis terbentuk kuncup
pembuahan. Telur yang belum terbuahi mempunyai lspisan luar yang disebut
selaput kapsul
3.
4.
DAFTAR REFERENSI