Anda di halaman 1dari 3

Konstipasi

Ketidak normalan frekuensi atau ketidakberaturan dari proses buang air besar,
ketidak normalan pengerasan dari feses yang membuat pengeluarannya menjadi
susah dan terasa nyeri, pengurangan volume feses, atau retensi fekal di rektum
untuk waktu lama yang sering dalam pengertian ketidak tuntasan
evakuasi/pengosongan setelah defekasi.
Konstipasi dapat disebabkan oleh medikasi khusus (ex,
tranquilizers,
anticholinergics, antidepressants, antihypertensives, bile acid sequestrants,
diuretics, opioids, aluminumbased antacids, iron preparations, selected antibiotics,
dan relaksasi otot); kelainan dari rektal atau anus (ex, hemoroid, fissures); obstruksi
(ex, tumor usus ); kondisi metabolik, neurologis, dan neuromuskular (ex, penyakit
Hirschprungs, penyakit Parkinson, multiple sklerosis), kelainan endokrin (ex,
hipotiroid, pheochromocytoma); keracunan; dan kelainan jaringan penghubung (ex,
scleroderma, SLE (systemic lupus erythematosus). Konstipasi adalah isu utama
pasien yang mengkonsumsi opioid pada saat nyeri. Kelainan dari usus besar
biasanya berhubungan dengan konstipasi termasuk sindrom iritabilitas usus dan
penyakir diverticular. Konstipasi dapat juga terjadi dengan proses penyakit akut di
bagian abdomen (ex, appendicitis/radang usus buntu).
Kasus lain dari konstipasi termasuk kelemahan, immobilitas, fatigue, dan ketidak
mampuan peningkatan tekanan intra-abdomen untuk memfasilitasi jalan keluar dari
feses. Konstipasi juga disebabkan hasil dari kebiasaan diet (kurangnya konsumsi
serat dan inadekuat pemasukan cairan), kurangnya olah raga, dan hidup penuh
dengan tekanan

Patofisiologi
Patofisiologi dari konstipasi kurang dipahami, tetapi diduga termasuk gangguan
satu dari tiga fungsi utama dari usus besar: transport mukosa (sekresi mukosa
memfasilitasi pergerakan dari isi usus besar), aktivitas mioelektrik (pencampuran
masa rektum dan tindakan pendorong), atau proses dari defekasi (disfungsi dasar
panggul). Semua faktor kausatif sebelumnya diidentifikasi dapat mengganggu salah
satu dari tiga proses di atas.
Dorongan/keinginan defekasi normalnya distimulasi oleh distensi rektal yang
menginisiasikan empat aksi : stimulasi dari penghambatan reflek rektoanal,
relaksasi dari otot internal sphincter, relaksasi dari otot eksternal spinchter dan otot
di daerah panggul, dan peningkatan tekanan intraabdominal. Gangguan apa saja
dalam proses ini dapat memicu terjadinya konstipasi.
Ketika dorongan untuk defekasi ditolak, membrane mucus rektal dan otot-otot
menjadi insensitive, dan konsekuensinya diperlukan stimulus yang kuat untuk
menghasilkan gerakan peristaltic yang terburu-buru yang dibutuhkan untuk
defekasi. Efek awal dari retensi tinja adalah menghasilkan iritabilitas usus besar,
dalam tahap ini sering menuju ke kejang, terutama setelah makan, sehingga
menimbulkan sakit perut kolik midabdominal atau abdominal bawah. Setelah
beberapa tahun kemudian, usus besar kehilangan karakter dari ototnya dan
menjadi tidak responsif terhadap rangsangan normal.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari konstipasi termasuk pergerakan tiga usus besar perminggu;
distensi abdomen; nyeri dan terasa tertekan; kurang nafsu makan; sakit kepala;
fatigue; gangguan pencernaan; sensasi ketidak tuntasan pengeluaran feses;
ketegangan feses; eliminasi dalam volume-kecil, menggumpal, keras, feses kering.

Pengkajian dan Penemuan Diagnosis


Konstipasi kronis biasanya dianggap idiopatik. Pasien yang parah, konstipasi
intractable, tes diagnosis lebih lanjut sangat dibutuhkan. Diagnosis dari konstipasi
diambil beradasarkan riwayat pasien, pemeriksaan fisik, kemungkinan hasil dari
barium enema atau sigmoidoscopy, dan pengujian feses untuk darah olkutisme. Tes
ini digunakan untuk menentukan apakah gejala yang timbul dari kekejangan atau
penyempitan usus. Manometri anorektal (studi tekanan seperti tes pengeluaran
balon dengan paksa) dapat dilakukan mengkaji malfungsi dari sphincter.
Defecografi dan studi transit usus juga dapat membantu dalam diagnosis karena
mengizinkan pengkajian fungsi aktif anorektal.Ter yang terbaru menggunakan
magnetic resonance imaging (MRI) dapat mengidentifikasi defek olkutisme dasar
panggul.

Komplikasi
Komplikasi dari konstipasi termasuk hipertensi, impaksi tinja, hemoroid (dilatasi
bagian dari vena anal), fissures (lipatan jaringan), dan megacolon. Pengejanan
feses, yang mana hasil dari Valsava Manuver, memiliki efek mencolok pada tekanan
darah arteri. Selama pengejanan aktif, aliran darah vena di dada sementara
terhambat karena meningkatnya tekanan intratorakal. Tekanan ini menuju ke
kelumpuhan vena besar di dada. Atrium dan ventrikel menerima darah yang
kurang, dan sebagai akibat dari kurangnya darah yang dikeluarkan oleh ventrikel
kiri. Cardiac output (CO) menjadi kurang, dan ada penurunan sementara dalam
tekanan arteri. Segera setelah periode ini dari hipotensi, peningkatan tekanan arteri
terjadi; tekanan yang sesaat elevasi sesaat ke titik yang lebih dari biasanya (yaitu,
fenomena rebound). Pada pasien dengan hipertensi, reaksi kompensasinya dapat
sangat berlebihan, dan tekanan puncak dicapai dapat berbahaya cukup untuk
memecah arteri utama baik di otak maupun ditempat lain.
Impaksi tinja terjadi ketika akumulasi massa feses yang kering tidak dapat
terbuang. Massa feses dapat dengan jelas dalam pemeriksaan digital, dapat
memproduksi tekanan dalam mukosa usus besar yang hasilnya pembentukan ulkus,
dan sering menyebabkan rembesan feses yang cair.
Hemoroid dan anal fissure dapat berkembang sebagai hasil dari sembelit. Hemoroid
berkembang sebagai hasil dari kemacetan vascular perianal yang disebabkan oleh
mengejan. Anal fissure dapat dari hasil lewatnya feses yang keras melalui anus,
yang dapat merobek lapisan anus.
Megacolon adalah kelainan usus yang melebar dan melemah yang disebabkan oleh
massa tinja yang menghambat jalannya isi usus. Megacolon dapat menyebabkan
perforasi usus.(Suzanne C. Smeltzer, 2010)

Inkontinensia Fekal
Inkontinensia fekal diuraikan seperti ketidaksengajaan jalan lintasan dari feses dari
rektum. Faktor yang mempengaruhi inkontinensia fekal termasuk kemampuan dari
rektum merasakan dan mengakomodasi feses, jumlah dan konsistensi dari feses,
integritas dari anal sphincter dan musculature, dan motilitas rektal.

Patofisiologi
Inkontinensia fekal mempunyai penyebab dan factor resiko. Secara umum, adalah
hasil dari kondisi yang interrupt atau disrupt struktur atau fungsi dari unit anorektal.
Penyebabnya termasuk trauma (ex, setelah tindakan pembedahan yang melibatkan
rektum), gangguan neurologis (ex, stroke, multiple sclerosis, diabetic neurophaty,
dimensia), inflamasi, infeksi, kemoterapi, pengobatan secara radiasi, fekal
impaction, relaksasi dasar panggul, penyalahgunaan obat pencahar, obat-obatan,
atau faktor usia (kelemahan atau kehilangan kekuatan otot dari anal atau rektal).

Manifestasi Klinis
Pasien dapat minor soiling, kadang-kadang dalam keadaan mendesak dan
kehilangan kontrolnya, atau inkontinensia total. Pasien dapat juga berkemampuan
rendah dalam mengontrol kentutnya, diare, atau konstipasi.

Pengkajian dan Penemuan Diagnosis


Studi tentang diagnosis penting karena pengobatan inkontinensia fekal bergantung
pada penyebabnya. Pemeriksaan rektal dan pemeriksaan endoskopi dapat fleksibel
seperti sigmoidoskopi dilakukan untuk mengetahui adanya tumor, inflamasi, atau
fissure. Studi tentang X-Ray serupa dengan barium enema, computed tomography
(CT), manometri anorektal, dan dalam studi perjalanannya dangat membantu dalam
mengidentifikasi alterasi/perubahan dalam mucosa intestinal dan kekuatan otot
atau dalam mendeteksi kelainan structural atau problem dari fungsinya.(Suzanne C.
Smeltzer, 2010)

SUZANNE C. SMELTZER, B. G. B., JANICE L. HINKLE, KERRY H. CHEEVER 2010.


Brunner & Suddarth's textbook of medical-surgical nursing. 12th.

Anda mungkin juga menyukai