Anda di halaman 1dari 11

PELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI LINGKUNGAN

KANTOR KESEHATAN PELABUHAN KELAS II MEDAN

OLEH : Dr. H. SYAHRIL ARITONANG, MHA


( Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Medan )

I. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan di wilayah kerja pelabuhan merupakan bagian integral
dari pembangunan kesehatan nasional yang perlu dikembangkan peran dan fungsinya
agar wilayah pelabuhan bebas dari segala macam faktor risiko dan penyakit menular
potensial wabah. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
265/Menkes/SK/III/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan
Pelabuhan (KKP), bahwa KKP merupakan ujung tombak Depkes dalam menangkal
dan mengendalikan penyakit/ faktor risiko yang masuk dan keluar pelabuhan dengan
upaya pemutusan mata rantai penularan penyakit yang berpotensi wabah/ PHEIC
secara profesional seperti yang diisyaratkan oleh IHR 2005.
Untuk dapat menjalankan semua prosedur karantina bagi semua alat angkut,
penumpang dan barang di pelabuhan serta tindakan-tindakan penyehatan yang
dilaksanakan oleh KKP perlu dilakukan penegakan hukum atas tindak pidana atau
pelanggaran peraturan dan perundang-undangan dalam bidang kesehatan. Oleh sebab
itu peranan dan keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di KKP adalah
mutlak diberdayakan untuk melindungi dan memberi rasa aman bagi masyarakat
Indonesia serta dapat memberi andil bagi ketertiban dunia dalam bidang kesehatan.
Penyakit menular potensial wabah serta pengawasan Obat Makanan
Kosmetika dan Alat Kesehatan (OMKA) akhir-akhir ini sering menjadi berita hot
news di berbagai media di seluruh Indonesia. Maraknya kasus-kasus OMKA yang
beredar tanpa izin, serta bahan makanan impor yang terbukti mengandung bahan
beracun seperti formalin, beberapa kosmetika asal luar negeri yang dijual secara
ilegal di sejumlah counter pasar tradisional dan pusat perbelanjaan modern hampir di
seluruh kota di Indonesia. Hal ini merupakan indikasi lemahnya sistem pengawasan
dan prosedur pemeriksaan maupun penegakan hukum yang dilakukan oleh instansi
terkait selama ini. Tentunya kasus-kasus ini merupakan tantangan ke depan bagi
tenaga-tenaga PPNS yang sudah ada pada KKP di seluruh Indonesia yang nota
benenya barang-barang tersebut dengan mudah masuk melalui pelabuhan laut dan
udara.
Seperti diketahui bahwa keberadaan PPNS telah diatur di dalam UU No. 8
tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada
pasal 6 ayat (1) huruf b, Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (2)

1
ditegaskan bahwa PPNS mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada
dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI sebagaimana dimaksud Pasal 6
ayat (1) huruf a.
Undang-undang yang menjadi dasar hukum di Departemen Kesehatan antara
lain : UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No.1 tahun 1962 tentang
Karantina Laut, UU No. 2 tahun 1962 tentang Karantina Udara, UU No.4 tahun 1984
tentang Wabah Penyakit Menular, namun secara eksplisit dan tegas memberi
kewenangan kepada PPNS untuk melakukan penyidikan hanya UU No. 23 tahun
1992 tentang Kesehatan. Pada pasal 79 ayat 1 disebutkan bahwa selain penyidik
pejabat polisi negara Republik Indonesia, juga kepada pejabat pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan Departemen Kesehatan diberi wewenang khusus sebagai
penyidik dalam bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Untuk lebih mempertegas keberadaan PPNS, dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b
UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI bahwa dalam mengemban fungsi sebagai
penegak hukum, Kepolisian Negara Republik Indonesia dibantu oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Disamping itu sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan Kapolri tahun 2004-2009, disebutkan bahwa dalam penanganan terhadap
UU tertentu (lex specialis) adalah lebih mengedepankan dan lebih memberdayakan
peran dan fungsi PPNS secara profesional dan proporsional. Sebagai mitra Polri,
kebijakan tersebut didasarkan pada UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP yang
memberi kewenangan kepada PPNS untuk melakukan penyidikan di bawah
koordinasi, pengawasan dan pembinaan penyidik Polri. Tentunya kebijakan tersebut
merupakan dorongan, dukungan dan kesempatan untuk meningkatkan kinerja PPNS
yang ada di Kantor Kesehatan Pelabuhan.

II. Tugas Dan Kewenangan PPNS Depkes


Tugas PPNS Depkes adalah melakukan penegakan hukum terhadap tindak
pidana yang berhubungan dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya
sesuai dengan wilayah kerja PPNS yang bersangkutan.
Wewenang PPNS Depkes diatur dalam pasal 79 ayat 2 Undang-undang No.23 tahun
1992 tentang kesehatan sebagai berikut :
1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tindak pidana di
bidang kesehatan.
2. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang kesehatan.
3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan tindak pidana di bidang kesehatan.
4. Melakukan pemeriksaan atas surat dan atau dokumen lain tentang tindak pidana
di bidang kesehatan.
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara
tindak pidana di bidang kesehatan.

2
6. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang kesehatan.
7. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan
tentang adanya tindak pidana di bidang kesehatan.

III. Pelaksanaan Penyidikan Oleh PPNS KKP Kelas II Medan


Pada prinsipnya proses operasional penyidikan di lapangan dilakukan
berdasarkan pedoman yang dikeluarkan Kapolri berupa juklak dan juknis tentang
proses penyidikan tindak pidana oleh PPNS mulai dari tahap diketahuinya tindak
pidana, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), proses penyidikan,
pemanggilan, kegiatan upaya paksa, pemeriksaan tersangka/ saksi, penyelesaian dan
penyerahan berkas perkara serta administrasi penyidikan. Uraian tahapan masing-
masing proses penyidikan ini tentunya sudah harus dipahami oleh setiap PPNS yang
ada di KKP.
Seperti diketahui bahwa sasaran kinerja PPNS di KKP adalah untuk
menunjang terselenggaranya tupoksi KKP terutama menangkal penyakit karantina
dan penyakit menular potensial wabah/ PHEIC serta terlaksananya semua prosedur
karantina bagi semua alat angkut, penumpang dan barang. Pasca pertemuan PPNS
pada tangal 10-13 Agustus 2005 di Cipayung Bogor, telah dirumuskan beberapa
rekomendasi untuk memberdayakan PPNS. Oleh sebab itu PPNS KKP Medan telah
melakukan tahapan-tahapan sosialisasi tentang keberadaan PPNS di pelabuhan dan
sekaligus mensosialisasikan jenis-jenis pelanggaran serta ketentuan hukum bagi yang
melanggar UU Karantina laut dan Udara kepada pemilik/agen pelayaran.
Kasus-kasus Pelanggaran Perundang-undangan bidang kesehatan yang pernah
terjadi di lingkungan KKP Kelas II Medan antara lain :
1. Penemuan ICV Palsu
Pada tahun 2004 ditemukan penerbitan ICV palsu dari Calon Jemaah Umrah yang
berangkat ke tanah suci melalui Bandara Polonia Medan. Setelah dilakukan
investigasi oleh PPNS dijumpai beberapa fakta antara lain : ICV diterbitkan di
Jakarta oleh oknum yang tidak memiliki wewenang. Berdasarkan analisis kasus,
bahwa kejadian ini lebih mengarah pada tindak pidana umum (pemalsuan) yang
tindak pidananya sudah diatur di dalam KUHP, maka PPNS melaporkannya ke
penyidik Polri. Setelah Kepolisian melakukan analisis kasus berdasarkan tempat
kejadian perkara (TKP), mereka merekomendasikan agar kasus tersebut
dilaporkan ke Jakarta. Selanjutnya kasus tersebut dilaporkan ke Direktorat
Jenderal PP & PL Depkes RI, namun sampai saat ini belum ada penyelesaian
lebih lanjut.
2. Masalah OMKA
Disinyalir masuknya berbagai jenis komoditi OMKA secara Ilegal melalui
pelabuhan selama ini ditangani oleh Instansi lain. PPNS telah melakukan
investigasi dan menemukan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) Kepala
Badan Pengawas Obat dan makanan dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor
HK.00.04.22.1989; Nomor KEP-949/BC/2006 tanggal 24 April 2006 tentang

3
Pengawasan Impor dan Ekspor Obat, Obat Tradisional, Narkotika, Psikotropika,
Prekursor, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) dan Makanan dan Surat
Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : S- 1153/BC.2/2004 tanggal 4
Agustus 2004 perihal Pengawasan Impor Obat dan Makanan yang menyebutkan
bahwa kewenangan pengawasan makanan tidak lagi dicakup di bawah Depkes
dan dalam SE ini juga disebutkan tidak ada lagi unit di bawah Depkes dengan
tugas pokok dan fungsi pengawasan makanan.
Permasalahan ini sudah dikonsultasikan ke Ditjen Yanfar dan Ditjen PP & PL
Depkes RI.
3. Kasus Calon Jemaah Umroh Tanpa Dilengkapi ICV
Pada tanggal 7 April 2008, ditemukan sebanyak 31 orang calon jemaah umroh
yang akan diberangkatkan ke Tanah Suci dibiayai oleh salah satu calon Gubernur
Sumatera Utara (Ali Umri), tidak memiliki dokumen ICV (Vaksinasi Meningitis).
Kasus tersebut dilaporkan kepada PPNS KKP Medan, dan langkah yang diambil
adalah harus dilakukan penyuntikan Vaksinasi Meningitis serta pemberian ICV
kepada calon Jemaah Umroh sebelum mereka diberangkatkan ke Tanah Suci.
4. Pelanggaran Kekarantinaan
Beberapa kasus yang ditemukan oleh petugas boarding kapal antara lain: Kapal
tidak dapat menunjukkan dokumen kesehatan (SSCEC) yang valid, kapal tidak
menyiapkan MDH pada saat petugas boarding naik ke atas kapal serta kapal tidak
menaikkan bendera Q. Salah satu contoh kasus yang ditemukan adalah: Pada
tanggal 31 Desember 2005 telah terjadi pelanggaran tindak pidana oleh kapten
kapal MT. Bintang Fajar –V berbendera Indonesia. Kapal datang dari Meulaboh
(Aceh) dan pada saat agen melaporkan dokumen kesehatan ke KKP, kapal
tersebut tidak dapat menunjukkan DEC yang berlaku (sekarang SSCEC). Petugas
Karantina melaporkan kasus tersebut kepada PPNS KKP Medan dan Setelah
dilakukan investigasi oleh PPNS, maka langkah yang diambil adalah memberi
peringatan/ teguran disertai kewajiban membuat surat pernyataan untuk tidak
mengulangi pelanggaran serupa (sesuai hasil rekomendasi/materi pertemuan
PPNS Depkes tanggal 10-13 Agustus 2005 di Cipayung). Hal ini juga merupakan
bagian dari proses penegakan hukum yang dilaksanakan oleh PPNS KKP Medan.

IV. Permasalahan/Kendala Di Lapangan


Ada 2 permasalahan pada saat ini dan ke depan yang dihadapi oleh PPNS di
KKP dan harus dicari solusinya :
1. Permasalahan internal.
2. Permasalahan eksternal
Permasalahan internal muncul karena belum adanya wadah terstruktur resmi
sebagai tempat bernaung PPNS, minimnya laporan pelanggaran tindak pidana oleh
petugas boarding kepada PPNS, lemahnya sanksi pidana bagi pelanggaran UU
Nomor 1 tahun 1962 tentang Karantina Laut dan UU No. 2 tahun 1962 tentang
Karantina Udara, proses penyidikan belum terencana dengan baik akibat belum
adanya pedoman kerja operasional PPNS Depkes dalam melaksanakan tugas

4
penyidikan seperti yang sudah ada pada PPNS departemen lain seperti kehutanan,
perikanan dan perkebunan. Disamping itu belum ada realisasi penyusunan tolok ukur
kinerja PPNS sesuai dengan Nota Kesepahaman antara Kepolisian RI dengan Dirjen
PP & PL Depkes RI pada tanggal 26 Juli 2007 tentang pembinaan, koordinasi dan
pengawasan PPNS.
Permasalahan eksternal muncul karena belum adanya koordinasi antara PPNS
yang sama-sama memiliki kewenangan atas satu undang-undang. Misalnya PPNS
Depkes dengan PPNS Badan POM dalam melaksanakan UU No.23 tahun 1992
tentang Kesehatan, khususnya dalam pengawasan OMKA. Pelaksanaan penyidikan
tindak pidana terhadap OMKA belum berjalan akibat keluarnya SKB Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai (Terlampir).

V. Rekomendasi
1. Akselerasi pengesahan UU tentang Karantina Kesehatan dalam rangka
pemberlakukan IHR 2005 atau hanya merevisi sebagian UU No.1 tahun 1962
tentang Karantina Laut dan UU No. 2 tahun 1962 tentang Karantina Udara.
2. Akselerasi penyusunan pedoman kerja operasional PPNS Depkes dan kode
etik PPNS dalam rangka optimalisasi kinerja secara professional dan
proporsional.
3. Perlu dijembatani dan dicari solusi di tingkat pusat agar tidak terjadi benturan
antara petugas KKP dengan petugas Bea Cukai sehubungan dengan
keberadaan SKB Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Direktur
Jenderal Bea dan Cukai Nomor HK.00.04.22.1989; Nomor KEP-
949/BC/2006.

5
.
Lampiran :
BEBERAPA JENIS TINDAK PIDANA TERKAIT DENGAN UU BIDANG
KESEHATAN DI KANTOR KESEHATAN PELABUHAN
No. JENIS TINDAK UU No.1/1962 KURUNGAN DENDA
PIDANA Karantina laut) (Maksimal) (Maksimal)
1. Kapal tidak memiliki Pasal 15, 17 & 1 Tahun 75.000
dokumen kesehatan. 19

2. Kapten kapal menurunkan Pasal 21 1 Tahun 75.000


dan menaikkan orang,
barang, tanaman, hewan
sebelum memperoleh surat
izin karantina.

3. Kapal tidak menaikkan Pasal 22 1 Tahun 75.000


bendera Q.

4. Kapal tidak mau tunduk Pasal 25 1 Tahun 75.000


kepada peraturan karantina.

5. Kapten kapal tidak dapat Pasal 27 1 Tahun 75.000


menyiapkan dokumen
kesehatan pada waktu tiba
di pelabuhan.

6. Dokter pelabuhan/petugas Pasal 28 ayat 1 1 Tahun 75.000


kesehatan tidak mencegah
pemberangkatan orang
terjangkit/tersangka
penyakit karantina.

7. Kapten kapal tidak dapat Pasal 28 ayat 4 1 Tahun 75.000


menyiapkan dokumen
kesehatan pada waktu
berangkat.

8. Orang yang tidak Pasal 35 ayat 1 1 Tahun 75.000


mempunyai surat
keterangan vaksinasi
kolera yang datang dari
daerah terjangkit kolera.

6
No. JENIS TINDAK UU No.2/1962 KURUNGAN DENDA
PIDANA (Karantina udara (Maksimal) (Maksimal)

1. Penumpang/pesawat yang Pasal 20 ayat 1 1 tahun 75.000.-


tidak mau diperiksa
kesehatannya pada waktu
tiba di bandara.

2. Penumpang terjangkit di Pasal 20 ayat 2 1 Tahun 75.000.-


pesawat tidak mau diisolasi
pada waktu tiba di bandara.

3. Penumpang pesawat yang Pasal 21 ayat 1 1 Tahun 75.000.-


tidak mau diperiksa
kesehatan sebelum
berangkat (hak dokter
pelabuhan).

4. Dokter pelabuhan tidak Pasal 21 ayat 2 1 Tahun 75.000.-


mengambil tindakan untuk
mencegah pemberangkatan
orang yang terjangkit/
tersangka penyakit
karantina.

5. Penumpang yang datang Pasal 27 ayat 2 1 Tahun 75.000.-


dari daerah terjangkit
kolera dalam masa
inkubasi, tanpa ICV, tidak
mau diisolasi selama 5
hari.

7
No. JENIS TINDAK UU No.23/1992 KURUNGAN DENDA
PIDANA (Kesehatan) (Maksimal) (Maksimal)

1. Mengedarkan makanan dan Pasal 80 ayat 4a 15 Tahun 300 Juta


minuman yang tidak
memenuhi
standar/persyaratan atau
yang membahayakan
kesehatan.

2. Memproduksi atau Pasal 80 ayat 4b 15 Tahun 300 Juta


mengedarkan sediaan
farmasi berupa obat atau
bahan obat yang tidak
memenuhi syarat
farmacope Indonesia.

3. Memproduksi atau Pasal 81 ayat 2b 7 Tahun 140 Juta


mengedarkan alat
kesehatan yang tidak
memenuhi standar atau
persyaratan.

4. Mengedarkan sediaan Pasal 81 ayat 2c 7 Tahun 140 Juta


farmasi atau alat kesehatan
tanpa izin.

5. Memproduksi dan Pasal 82 ayat 2b, 5 Tahun 100 Juta


mengedarkan obat 2c, 2d dan 2e
tradisional, kosmetika, zat
adiktif yang tidak
memenuhi standar atau
sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang tidak
memenuhi penandaan
/informasi.
6. Mengedarkan makanan Pasal 84 ayat 1 1 Tahun 15 Juta
atau minuman yang
dikemas tanpa ada label.

8
REFERENSI

1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara


Pidana.

2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.

3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1962 Tentang Karantina Laut.

4. Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1962 Tentang Karantina


Udara.

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.27 Tahun 1983 Tentang


pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 265/Menkes/SK/IV/


2004 Tentang Organisasi dan Tata kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan.

7. Keputusan Bersama Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Direktur
Jenderal Bea dan Cukai Nomor HK.00.04.22.1989; Nomor KEP-49/BC/2006.

8. Petunjuk Pelaksanaan No.Pol.Juklak/37/VII/1991 Tanggal 29 Juli 1991 Tentang


Proses Penyidikan Tindak Pidana Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

9. http://www.depbun.com. Pedoman penyidikan Tindak Pidana Departemen


Perkebunan, diakses tanggal 24 April 2008.

9
10
11

Anda mungkin juga menyukai