Merunut Akar Genealogis I'jaz Al-Quran
Merunut Akar Genealogis I'jaz Al-Quran
Prolog
Sebagaimana jamak diketahui, wacana ijaz al-Quran sama sekali bukan
pendatang baru dalam dunia keilmuan Islam, utamanya kajian ilmu-ilmu AlQuran dan bahasa. Bahkan jika menilik urgensinya yang demikian vital
dalam menopang kedudukan al-Quran, penulis rasa, wacana ini sudah santer
diperbincangkan, bahkan semenjak awal diturunkannya. Namun, tidak bijak
rasanya, bila kita hanya mendasarkan asumsi sebatas pada apa yang
terlihat. Sehingga kiranya kita memang perlu melacak akar genealogi
wacana ini, hingga pada bagian terdalam sekalipun.
Asumsi penulis semakin buram; jauh dari kejelasan, ketika tahu bahwa
seorang pengkaji ulung kontemporer, Mahmud Muhammad Syakir, dengan
tegas menyatakan, terma ijaz al-Quran merupakan produk pemikiran
manusia. Terma ini, masih menurutnya, sama sekali tidak ia dapati baik di
dalam al-Quran itu sendiri, Sunnah, ataupun perkataan para Sahabat Nabi.
Bahkan hingga usai abad ke-2 hijriah.
Berangkat dari keingintahuan seputar itulah, penulis mencoba berikhtiar,
dengan berbekal sedikit referensi yang ada, mengurai akar genealogi ijaz alQuranbaik sebagai sebuah terma ataupun gairah pemikiran.
Islam. Ia sama sekali tidak mendapati terma ini, baik di dalam al-Quran,
Sunnah ataupun kalam para Sahabat, bahkan hingga usai abad ke dua
hijriah.10
Hemat penulis, terma itu lahir dari sebuah kontemplasi merekapara
pengkaji, terhadap perjalanan historis keilmuan Islam sejak zaman wahyu
langit. Namun siapakah sosok dibalik tercetuskannya terma ini? Atau bila kita
tarik lebih jauh lagi, siapakah penggagas embrio pemikiran yang menjadi
cikal bakal lahirnya terma ini?
Masih menurut Syakir, al-ijaz dalam kaitannya dengan kajian al-Quran
berkelindan erat dengan al-tahaddi yang secara bahasa bermakna
menyengaja. Berikut rincian maknanyamasih dalam lingkup bahasa.
Bahwa dapat dikatakan sebagai al-tahaddi, ketika seseorang dengan sengaja
melakukan suatu hal, lalu dengan tindakannya itu, ia bermaksud unjuk
kemampuan, untuk menentang dan menandingi lawannya. Dengan
demikian, ia berharap dapat mengalahkan dan menaklukkannya. Namun, altahaddi dengan pemaknaan ini, menurut Syakir, agaknya kurang familier.
Hingga ia pun mengutarakan makna lain. Yakni ketika seseorang melakukan
suatu hal, lalu ia menantang lawannya untuk melakukan hal serupa. Dimana
ia yakin bahwa sejatinya, si lawan tidak akan mampu menandinginya.
Dengan demikian, ia dapat menciutkan nyali si lawan dan membuktikan
keterbatasannya. Inilah makna yang bagi Syakir, paling tepat dinisbatkan
kepada sosok Nabi. Dimana ia unjuk mukjizat kepada umat, agar mereka
sadar akan keterbatasan mereka dan mengerti bahwa mukjizat itu di luar
batas daya kemampuan makhluk, hingga pada tataran akhir, mereka
mengakui bahwa ia benar-benar seorang Nabi; Utusan-Nya.11
Berangkat dari keterikatan anatara kedua kata tersebutal-ijaz & altahaddi, penulis akan mencoba menelisik, sejauh mana al-tahaddi memantik
pola fikir para pengkaji, hingga pada akhirnya, mereka mencetuskan terma
baru, yang sampai kini masih dan akan terus didedah, yakni al-ijaz. Kembali
merujuk pada analisa Syakir. Ia menyatakan bahwa karya pertama dalam
khazanah turats islam, yang menyinggung persoalan al-ijaz adalah Hujaj alNubuwwah, karya al-Jahiz12 (w. 160 H.) yang ia tulis beberapa saat setelah
wafatnya Abu Ishaq al-Nidzam pada tahun 231 H. Dalam risalah tersebut,
Syakir mendapati beberapa diksi al-tahaddi. Meski tidak banyak. Sebab, al10 Abu Fihr Mahmud Muhammad Syakir, Madakhil Ijaz al-Quran (cet. 1; Kairo:
Mathbaah al-Madani, th. 2002 M./1423 H.), hal. 19.
11 Ibid., hal. 20-22.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 5
12 Ialah Abu Uthman Amr Ibn Bahr al-Kinani al-Fuqaimi al- Basri, seorang
cendekiawan Afrika-Arab yang berasal dari Afrika Timur. Ia merupakan sastrawan
Arab dan memiliki karya-karya dalam bidang literatur Arab, biologi, zoologi, sejarah,
filsafat, psikologi, teologi Mu'taziliyah, dan polemik-polemik politik religi.
13 Abu Fihr Mahmud Muhammad Syakir, op. cit., hal. 22-23
14 Ibid., hal. 24-27.
15 Ibid., hal. 28.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 6
bahkan
sedari
awal
diturunkannya
al-Quran. 16
Mengingat
sejak
diturunkannya itu pula, pertentangan yang demikian masif tak hentinya
digiatkan oleh musuh Islam.
Lantas, bagaimana nasib embrio yang sedari tadi penulis singgung?
Bukankah semestinya ia bermetamorfosis menjadi sebentuk baru yang lebih
sempurnadalam kapasitasnya sebagai sebuah terma? Iya, embrio itualtahaddi, kini memang telah bermetamorfosis menjadi sebuah terma baru;
al-ijaz. Al-Wasithi, sebagai sosok pengkaji masa-masa pertengahan abad ke3 H. hingga awal abad ke-4 H., tentu masih berpeluang melakukan kontak
pemikiran secara langsung dengan al-Jahiz, yang tutup usia pada
pertengahan akhir abad ke-3 H. Atau pada tataran minimal, ia masih sempat
berinteraksi intensif dengan karya al-Jahiz selain Hujaj al-Nubuwwah, yang
pembahasannya secara spesifik juga menjurus pada terma ijaz al-Quran,
yakni Nadzm al-Quran.17
Demikian proses metamorfosis itu berlangsung, dengan segenap upaya
kontemplasi oleh al-Wasithi terhadap buah pemikiran al-Jahiz, baik melalui
kontak langsung antara keduanya, atau paling tidak, melalui karya-karyanya.
Hingga pada akhirnya, embrio itu mampu menetas, mewujud sebuah terma
yang tak hentinya berkembang dan terus berkembang, hingga kini; Ijaz alQuran.
18 Abu Bakar Muhammad Ibn al-Tayyib al-Baqillani, Ijaz al-Quran (cet. 7; Kairo: Dar
al-Maarif, th. 2010 M.), hal. 6
19 Ibid.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 9
Epilog
Secara sederhana, kajian genealogis bertujuan untuk merunut asal muasal
suatu perkara. Dalam makalah sederhana ini, penulis mencoba
menerapkannya dalam diskursus ijaz al-Quran. Berbekal beberapa referensi
yang ada, penulis mencoba merealisasikan misi itu; mengurai akar
genealogis ijaz al-Quran, baik sebagai sebuah terma, ataupun wacana.
Berikut akan penulis paparkan garis besar pencapaiannya.
Dimulai dengan identifikasi terma ijaz al-Quran, yang secara umum memiliki
makna, bahwa al-Quran dengan pelbagai sisi ijaz-nya, membuktikan
ketidakmampuan
seorang
makhluk-pun
untuk
menandinginyatak
terkecuali Nabi. Meski hal itu bukanlah misi final. Karena dibalik pembuktian
itu, terdapat beberapa konsekuensi yang secara mutlak harus diimani: alQuran adalah semata-mata wahyu Ilahi; Muhammad adalah benar-benar
Utusan-Nya.
Setelah itu, terkait akar genealogis ijaz al-Quran, penulis banyak merujuk
pada analisa Syakir. Menurutnya, wacana genealogis terma ini sangat erat
kaitannya dengan kemunculan terma al-tahaddi, yang disinyalir sebagai
sebuah embrio baginya. Berangkat dari karya al-Jahiz, Hujaj al-Nubuwwah,
yang banyak menyinggung tentang terma al-tahaddi, Syakir menarik
kesimpulan, bahwa al-Jahiz dalam karyanya itu menempatkan kedua terma
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 13
yang
sama;
pembuktian
akan
Daftar Pustaka
1. Syakir, Mahmud Muhammad. 2002. Madakhil Ijaz al-Quran. Cet. 1.
Kairo: Mathbaah al-Madani.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 15