Anda di halaman 1dari 16

Kajian Reguler

Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) Mesir


Kamis, 11 Februari 2016, di Sekretariat PCINU Mesir

Menelusuri Aspek Genealogis1 Ijaz al-Quran


Oleh: Ahmad Rikza Aufarul Umam2

Prolog
Sebagaimana jamak diketahui, wacana ijaz al-Quran sama sekali bukan
pendatang baru dalam dunia keilmuan Islam, utamanya kajian ilmu-ilmu AlQuran dan bahasa. Bahkan jika menilik urgensinya yang demikian vital
dalam menopang kedudukan al-Quran, penulis rasa, wacana ini sudah santer
diperbincangkan, bahkan semenjak awal diturunkannya. Namun, tidak bijak
rasanya, bila kita hanya mendasarkan asumsi sebatas pada apa yang
terlihat. Sehingga kiranya kita memang perlu melacak akar genealogi
wacana ini, hingga pada bagian terdalam sekalipun.
Asumsi penulis semakin buram; jauh dari kejelasan, ketika tahu bahwa
seorang pengkaji ulung kontemporer, Mahmud Muhammad Syakir, dengan
tegas menyatakan, terma ijaz al-Quran merupakan produk pemikiran
manusia. Terma ini, masih menurutnya, sama sekali tidak ia dapati baik di
dalam al-Quran itu sendiri, Sunnah, ataupun perkataan para Sahabat Nabi.
Bahkan hingga usai abad ke-2 hijriah.
Berangkat dari keingintahuan seputar itulah, penulis mencoba berikhtiar,
dengan berbekal sedikit referensi yang ada, mengurai akar genealogi ijaz alQuranbaik sebagai sebuah terma ataupun gairah pemikiran.

Identifikasi makna Ijaz al-Quran


Sebelum beranjak lebih jauh, mengurai akar genealogis ijaz al-Quran, sudah
sepatutnya terlebih dahulu kita urai definisi ijaz secara etimologi, pun
1 Aspek genealogis merupakan aspek yang bersangkutan dengan genealogi.
Sedang genealogi sendiri dalam KBBI diartikan sebagai garis pertumbuhan
binatang, tumbuhan, bahasa dan lain sebagainya, dari bentuk-bentuk sebelumnya.
2 Penulis adalah mahasiswa tingkat II fak. Ushuluddin, universitas al-Azhar, Kairo.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 1

secara terminologi. Adapun secara etimologi, ijaz adalah menetapkan


ketidakmampuan seseorang atau keterbatasannya untuk melakukan suatu
hal. Sedang al-ajz sendiri, yang merupakan akar katanya, identik dengan
pensifatan bagi seorang perempuan yang telah mencapai masa menopause,
sehingga ia tidak mampu melakukan apa yang biasa dilakukan oleh
perempuan-perempuan pada umumnya. Dalam bahasa Arab, pensifatan
tersebut biasa diungkapkan dengan istilah ajuz.3
Selanjutnya, kita akan menelisik arti ijaz al-Quran secara terminologi, yakni
setelah ia terbakukan menjadi sebuah terma tersendiri. Mahmud Muhammad
Syakir mendefinisikan ijaz al-Quran sebagai sebuah sifat yang melekat pada
al-Quran, yang menunjukkan bahwa ia merupakan Kalam Allah yang
diturunkan-Nya dengan bahasa Arab kepada Nabi Muhammad, Shallallahu
alayhi wa Sallam, melalui perantara Malaikat Jibril, Alayhi al-Salam, sebagai
mukjizat baginya, guna menundukkan setiap orang yang mendengarnya,
agar bersaksi bahwa ia adalah seorang Rasul, yang telah Allah utus kepada
seluruh lapisan umat; jin dan manusia.4
Dalam kajian ilmu gramatika Arab, susunan ijaz al-Quran merupakan
susunan idhofi. Dimana kata ijaz disandarkan pada kata al-Quran, sehingga
menghasilkan
makna
baru.
Yaitu
bahwa
al-Quran
menetapkan
ketidakmampuan setiap makhluk untuk menciptakan hal serupa dengannya
yakni
al-Quran
itu
sendiri.
Hanya
saja,
pembuktian
atas
ketidakmampuannya itu bukanlah suatu tujuan akhir, melainkan hanya
sebuah keniscayaan yang berbuntut pada pembuktian atas kebenaran alQuran, pun kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu Alayhi Wasallam.
Hal demikian juga berlaku pada mukjizat-mukjizat Nabi yang lain. Sehingga,
dengan pembuktian tersebut, diharapkan bagi suatu kaum, bukan hanya
mengakui keterbatasannya, namun juga mengimani kebenaran mukjizat
tersebut, beserta kebenaran sosok Nabi atau Rasul sebagai pembawa risalah
Tuhan.5 Bagi Muhammad Syakir, ijaz baru akan menemukan esensinya
manakala disana terdapat keinginan seorang penentang yang demikian
menggebu, untuk menciptakan suatu tandingan, namun pada akhirnya ia
3 Syauqi Dhaif, al-Mujam al-Wasith, jilid 2 (cet. 3; Kairo: Majma al-Lughah
al-Arabiyyah, th. 1985 M.), hal. 606.
4 Abu Fihr Mahmud Muhammad Syakir, Madakhil Ijaz al-Quran (cet. 1; Kairo:
Mathbaah al-Madani, th. 2002 M./1423 H.), hal. 15-16.
5 Muhammad Abd al-Adzim al-Zarqani, Manahil al-Irfan, jilid 2 (cet. 1; Kairo: Dar alHadits, th.2001 M./1422 H.), hal. 277.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 2

terpuruk dalam al-ajz; tak berdaya mewujudkan apa yang ia inginkan. 6


Karena tanpa adanya inisiatif nakal dari penentang tersebut, atau dengan
ungkapan lain, Allah tidak berkehendak atas munculnya inisiatif itu dalam
benak penentang dan memalingkan darinya,7 maka, pada saat itu juga alQuran kehilangan sisi ijaz-nya. Sebab, pada dasarnya, Allah lah yang
melemahkan daya fikir manusia, bahkan untuk sekedar memunculkan
inisiatif tersebut. Maka, kalaupun asumsi tersebut benar, bukankah ia hanya
akan menggiring kita kepada ambiguitas?.
Berangkat dari pemaparan di atas, jika menilik pada tujuan diturunkannya
mukjizat, maka tak heran bila Tuhan berkehendak mempersenjatai Nabi
Agung Muhammad Shallallahu Alayhi Wasallam dengan mukjizat aqliyyat
(rasional)8 berupa al-Quran, untuk meruntuhkan keangkuhan bangsa Arab
kala itu. Ya, posisi Nabi yang juga diperkuat dengan mukjizat aqliyyattidak
hanya hissiyyat (indrawi), tentu bukan tanpa alasan. Al-Imam al-Suyuthi
menegaskan dalam kitabnya, al-Itqan fi Ulum al-Quran, bahwa hal
mendasar yang melatarbelakangi turunnya mukjizat aqliyyat di tengahtengah bangsa Arab adalah karena kematangan daya fikir dan pemahaman
mereka, ditambah lagi kepiawaian mereka dalam menggubah untaian syair.
Sehingga tidak tepat kiranya, bila mereka diperlakukan sama seperti Bani
Israil, misalnya, yang dimanja dengan pelbagai mukjizat hissiyyat, meski tak
jarang, hal itu justru membikin mereka semakin getol berulah.

6 Abu Fihr Mahmud Muhammad Syakir, op. cit., hal. 16.


7 Oleh penganut faham ini biasa dikenal dengan istilah al-sharfah. Terkait masalah
ini, Abu Ishaq al-Nidzam, salah seorang tokoh mutazilah beranggapan, bahwa alQuran menjadi demikian agung, tanpa ada tandingan, adalah karena adanya ijaz
al-sharfah, yaitu adanya kehendak Tuhan untuk memalingkan para penentang dari
inisiatifnya untuk menandingi al-Quran, meski pada dasarnya, mereka mampu
melakukan hal tersebut. Sehingga, masih menurut asumsinya, al-Quran tak
tertandingi bukan karena ijaz balaghah-nya, melainkan karena pemalingan Tuhan
dari inisiatif-inisiatif yang menjurus kepada pertentangan dan persaingan. Namun,
asumsi ini terbantahkan, bila kita menilik pada Firman Tuhan yang menegaskan
bahwa, meskipun umat manusia dan jin bersatu padu, menghimpun daya untuk
membikin suatu tandingan yang serupa dengan al-Quran, pastilah hal itu tak akan
terwujud.
8 Jika dilihat dari segi bentukannya, mukjizat diklasifikasikan menjadi dua: aqliyyat
(rasional), yaitu mukjizat yang hanya bisa dirasakan dengan pengamatan ilmiah
rasional dan hissiyyat (indrawi), yaitu mukjizat yang dapat dilihat dan dirasakan
secara langsung oleh panca indra.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 3

Mukjizat aqliyyat menjadi demikian istimewa, selain karena memang tidak


sembarang orang mampu merasakan sisi ijaz-nya, juga karena
keabadiannya yang tak lekang oleh waktu. Sebagai contoh, al-Quran dengan
pelbagai sisi ijaz-nyasebagaimana yang akan kita kaji, baik uslub,
balaghah ataupun pemberitaannya tentang hal-hal gaib. Bahkan ia tak
sekedar abadi. Pemberitaannya yang di luar jangkauan daya fikir manusia
itulah yang membuatnya demikian. Sebab, seiring bergulirnya waktu, apaapa yang dijanjikannya berangsur terwujud, menjadi suatu kenyataan yang
tak terbantahkan; mustahil untuk dinafikan. Lain halnya dengan mukjizat
hissiyyat, yang tanpa kontemplasi pun, kita dapat menangkap sisi ijaz-nya.
Kendati tak akan berkelanjutan. Sebab, ia hanya bisa dirasakan oleh orang
yang hadir dan melihatnya langsung.9

Menyoal Akar Genealogis Terma ijaz al-Quran


Bagaikan sebuah kata yang demikian lengket dengan idiomnya, kita seakan
tak mendapati kata lain yang pantas bersanding dengan ijaz kecuali alQuran. Meski tidak sebaliknya. Terma ijaz al-Quran menjadi begitu ramah
bagi kalangan kita, utamanya para pengkaji ilmu-ilmu al-Quran dan sastra
Arab. Karena ia memang bukan pendatang baru dalam dunia khazanah
keilmuan islam. Hal itu terbukti dengan berlimpahnya karya-karya para
pengkajiklasik hingga kontemporer, yang secara spesifik mendedah terma
ini, bahkan sejak berabad-abad silam. Atau setidaknya, kita akan temui
dalam karya-karya mereka, satu bab yang intensif mengurai persoalan terma
ini. Sebut saja, di antara mereka adalah al-Baqillani (w. 403 H.). Bagi
kalangan kita, ia sama sekali bukanlah sosok asing. Karya-karyanya yang
demikian melegenda banyak menghiasi atmosfer keilmuan Islam. Diantara
karya fenomenalnya adalah Ijaz al-Quran, yang dari judulnya saja kita
sudah bisa menerka, terma apa yang ia kaji dalam kitab setebal 391
halaman itu.
Seperti yang kita tahu, karya itu lahir pada kurun ke lima hijriah. Lalu,
pernahkah terbersit dalam benak kita, pada abad sekian saja sudah muncul
karya agung yang secara utuh dan spesifik mengkaji persolalan ijaz alQuran. Lantas bagaimanakah dengan embrio yang menjadi titik tolak
kemunculan terma ini? Sedang Mahmud Muhammad Syakir dalam bukunya
menegaskan, bahwa terma ini merupakan buah pemikiran para pengkaji
9 Al-Imam al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Quran, jilid 2 (cet. 3;
Kairo: Dar al-Salam, th. 2013 M./ 1434 H.), hal. 804.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 4

Islam. Ia sama sekali tidak mendapati terma ini, baik di dalam al-Quran,
Sunnah ataupun kalam para Sahabat, bahkan hingga usai abad ke dua
hijriah.10
Hemat penulis, terma itu lahir dari sebuah kontemplasi merekapara
pengkaji, terhadap perjalanan historis keilmuan Islam sejak zaman wahyu
langit. Namun siapakah sosok dibalik tercetuskannya terma ini? Atau bila kita
tarik lebih jauh lagi, siapakah penggagas embrio pemikiran yang menjadi
cikal bakal lahirnya terma ini?
Masih menurut Syakir, al-ijaz dalam kaitannya dengan kajian al-Quran
berkelindan erat dengan al-tahaddi yang secara bahasa bermakna
menyengaja. Berikut rincian maknanyamasih dalam lingkup bahasa.
Bahwa dapat dikatakan sebagai al-tahaddi, ketika seseorang dengan sengaja
melakukan suatu hal, lalu dengan tindakannya itu, ia bermaksud unjuk
kemampuan, untuk menentang dan menandingi lawannya. Dengan
demikian, ia berharap dapat mengalahkan dan menaklukkannya. Namun, altahaddi dengan pemaknaan ini, menurut Syakir, agaknya kurang familier.
Hingga ia pun mengutarakan makna lain. Yakni ketika seseorang melakukan
suatu hal, lalu ia menantang lawannya untuk melakukan hal serupa. Dimana
ia yakin bahwa sejatinya, si lawan tidak akan mampu menandinginya.
Dengan demikian, ia dapat menciutkan nyali si lawan dan membuktikan
keterbatasannya. Inilah makna yang bagi Syakir, paling tepat dinisbatkan
kepada sosok Nabi. Dimana ia unjuk mukjizat kepada umat, agar mereka
sadar akan keterbatasan mereka dan mengerti bahwa mukjizat itu di luar
batas daya kemampuan makhluk, hingga pada tataran akhir, mereka
mengakui bahwa ia benar-benar seorang Nabi; Utusan-Nya.11
Berangkat dari keterikatan anatara kedua kata tersebutal-ijaz & altahaddi, penulis akan mencoba menelisik, sejauh mana al-tahaddi memantik
pola fikir para pengkaji, hingga pada akhirnya, mereka mencetuskan terma
baru, yang sampai kini masih dan akan terus didedah, yakni al-ijaz. Kembali
merujuk pada analisa Syakir. Ia menyatakan bahwa karya pertama dalam
khazanah turats islam, yang menyinggung persoalan al-ijaz adalah Hujaj alNubuwwah, karya al-Jahiz12 (w. 160 H.) yang ia tulis beberapa saat setelah
wafatnya Abu Ishaq al-Nidzam pada tahun 231 H. Dalam risalah tersebut,
Syakir mendapati beberapa diksi al-tahaddi. Meski tidak banyak. Sebab, al10 Abu Fihr Mahmud Muhammad Syakir, Madakhil Ijaz al-Quran (cet. 1; Kairo:
Mathbaah al-Madani, th. 2002 M./1423 H.), hal. 19.
11 Ibid., hal. 20-22.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 5

Jahiz dalam karyanya tersebut, memposisikan al-Quran sebagai makhluk. 13


Sebagaimana yang digaungkan oleh para tokoh Mutazilah. Sehingga dengan
status ke-makhluk-kannya itu, al-Quran tidak banyak mengungguli makhluk
lainnya. Asumsi seperti itu bisa saja muncul, sebab, sebagaimana yang telah
penulis singgung, bagi merekapara pengkaji Mutazilah, tidak adanya
seorang makhluk pun yang mampu menandingi al-Quran itu bukan karena
keunggulan bahasa atau uslubnya, melainkan karena Tuhan tidak
berkehendak munculnya keinginan untuk menandingi dalam benak mereka,
atau biasa kita sebut al-sharfah.
Dalam risalahnya tersebut, al-Jahiz menempatkan diksi al-tahaddi beriringan
dengan al-ajz, atau turunan kata dari keduanya. Hal demikian berulang
hingga tak kurang dari empat kali. Penempatan diksi itu jelas bukan tanpa
makna, melainkan semakin menegaskan keterikatan keduanya. Hingga
Syakir menarik kesimpulan, bahwa al-Jahiz dalam risalahnya, tampak
menempatkan keduanya ke dalam satu esensi pemaknaan, yang bermuara
pada pembuktian kelemahan dan keterbatasan pihak penentang.14
Selang beberapa dekade, Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Wasithi alMuatazili (w. 306 H.) menggemparkan dunia keilmuan Islam dengan
mencetuskan sebuah karya fenomenal, berjudul Ijaz al-Quran. Sejak saat
itulah, terma Ijaz al-Quran tersiar ke berbagai penjuru daerah, utamanya
kepada para tokoh pengkaji ilmu Balaghah.15 Bahkan seiring bergulirnya
waktu, terma ini berkamuflase menjadi sebuah diskurusus keilmuan
tersendiri, yang terus dan akan selalu berkembang. Sebab, bagi penulis,
semakin lama, semakin meluas pula lingkup pembahasannya. Ia pun dapat
ditarik ke pelbagai perspektif, mengikut pada kecenderungan dan latar
belakang seorang pengkaji. Meski demikian, bagi Umar Muhyiddin Huri,
temuan al-Wasithi tak lebih dari sekedar terma. Sedang geliat pemikiran para
pengkaji yang menjurus pada terma itu sendiri sudah sekian lama mencuat,

12 Ialah Abu Uthman Amr Ibn Bahr al-Kinani al-Fuqaimi al- Basri, seorang
cendekiawan Afrika-Arab yang berasal dari Afrika Timur. Ia merupakan sastrawan
Arab dan memiliki karya-karya dalam bidang literatur Arab, biologi, zoologi, sejarah,
filsafat, psikologi, teologi Mu'taziliyah, dan polemik-polemik politik religi.
13 Abu Fihr Mahmud Muhammad Syakir, op. cit., hal. 22-23
14 Ibid., hal. 24-27.
15 Ibid., hal. 28.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 6

bahkan
sedari
awal
diturunkannya
al-Quran. 16
Mengingat
sejak
diturunkannya itu pula, pertentangan yang demikian masif tak hentinya
digiatkan oleh musuh Islam.
Lantas, bagaimana nasib embrio yang sedari tadi penulis singgung?
Bukankah semestinya ia bermetamorfosis menjadi sebentuk baru yang lebih
sempurnadalam kapasitasnya sebagai sebuah terma? Iya, embrio itualtahaddi, kini memang telah bermetamorfosis menjadi sebuah terma baru;
al-ijaz. Al-Wasithi, sebagai sosok pengkaji masa-masa pertengahan abad ke3 H. hingga awal abad ke-4 H., tentu masih berpeluang melakukan kontak
pemikiran secara langsung dengan al-Jahiz, yang tutup usia pada
pertengahan akhir abad ke-3 H. Atau pada tataran minimal, ia masih sempat
berinteraksi intensif dengan karya al-Jahiz selain Hujaj al-Nubuwwah, yang
pembahasannya secara spesifik juga menjurus pada terma ijaz al-Quran,
yakni Nadzm al-Quran.17
Demikian proses metamorfosis itu berlangsung, dengan segenap upaya
kontemplasi oleh al-Wasithi terhadap buah pemikiran al-Jahiz, baik melalui
kontak langsung antara keduanya, atau paling tidak, melalui karya-karyanya.
Hingga pada akhirnya, embrio itu mampu menetas, mewujud sebuah terma
yang tak hentinya berkembang dan terus berkembang, hingga kini; Ijaz alQuran.

Faktor Pemantik Munculnya Wacana Ijaz al-Quran


Kini, terjawab sudah, siapakah sosok di balik tercetuskannya terma ijaz alQuran. Bermula dari satu kata yang disinyalir menjadi embrionya; al-tahaddi.
Namun, penulis rasa, kita tidak akan mencapai akar terdalam genealogi Ijaz
al-Quran, sebelum tuntas mendedah polemik mengenai faktor-faktor yang
memantik kemunculannya, sebagai suatu gairah pemikiran, bukan lagi
16 Umar Muhyiddin Huri, Manhaj al-Tafsir inda al-Imam al-Thabbari (cet. 1;
Damaskus: Dar al-Fikr, th. 2008 M./1929 H.), hal. 94.
17 Nadzm al-Quran merupakan buah pena al-Jahiz, sebelum Hujaj al-Nubuwwah.
Dalam bukunya itu, ia banyak menentang paham al-Nidzam tentang al-Quran. Ia
juga banyak menyinggung persoalan ijaz al-Quran, dengan beberapa kali
mnuturkan diksi al-tahaddi, yang kita sinyalir sebagai cikal bakal kemunculan terma
ijaz al-Quran. Namun, sayangnya, naskah kitab ini tidak terselamatkan, alias
lenyap ditelan zaman dan belum sempat terbukukan. Sehingga kini, kita tidak dapat
banyak mengkajinya, kecuali hanya sekedar menyimak penuturan dari para
muridnya, melalui karya-karya mereka.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 7

sebatas terma. Mengapa demikian? Karena, sebagaimana komentar


Muhyiddin Huri yang telah penulis nukil di atas, bahwa temuan al-Wasithi tak
lebih dari sekedar terma, dimana jauh sebelum penemuan itu, wacanawacana yang secara substansial mengkaji tentang terma itu telah banyak
bertebaran. Sehingga, ketika penulis telah usai mendedah asal muasal
kemunculan Ijaz al-Quran sebagai sebuah terma, tidak adil rasanya, bila
tidak juga mengindahkan asal muasal kemunculannya sebagai sebuah geliat
pemikiran, yangtentu sajaberkelindan dengan faktor-faktor pemantiknya.
Sebagaimana jamak diketahui, Nabi Muhammad diutus dengan dipersenjatai
pelbagai mukjizatbaik indrawi maupun rasional. Kesemuanya itu, tidak
hanya diumbar untuk sekedar membuktikan keterbatasan pihak penentang
Islam, namun, lebih dari itu, terdapat misi agung dibalik turunnya pelbagai
mukjizat tersebut, yakni mengikrarkan bahwa Muhammad adalah sebenarbenarnya Utusan Tuhan. Demikian pula konsekuensi lain dari statusnya yang
tak lebih dari seorang utusan, yakni bahwa apa-apa yang datang darinya
tak terkecuali mukjizat, adalah mutlak dari Tuhannya. Berangkat dari
pernyataan tersebut, penulis akan mencoba merunut, bagaimana benihbenih wacana ijaz al-Quran mulai mencuat dan tumbuh berkembang.
Sejatinya, tumbuh kembang wacana itu bermula semenjak al-Quran mulai
berangsur diturunkan oleh-Nya. Ya, musuh-musuh Islam tentu tak akan mau
tinggal diam menanggapi realita pahit itu. Bagaimana tidak? Ada sebuah
tatanan peradaban yang sudah sedemikian matang dibangun, dengan
pelbagai kekayaan tradisi dan keilmuannya, tetiba muncul sosok ummi yang
mengikrarkan diri sebagai seorang Nabi, Utusan-Nya. Tak sekedar berikrar, ia
juga bahkan menawarkan peradaban baru, yang bagi kalangan dhuafa,
tentu lebih memanusiakan manusia.
Musuh-musuh Islam itu tentu tak mau begitu saja menyerahkan tahta
kepemimpinan kala itu, kepada sosok Muhammad, yangmeskiselama itu
mereka kenal dengan kejujurannya. Namun, Tuhan Maha Adil dengan segala
Rahmat-Nya. Ia tak akan membiarkan kekasih-Nya itu terpuruk; tertolak oleh
khalayak. Ia pun membekalinya dengan seabrek mukjizat. Namun, dari
sekian mukjizat yang diturunkan, kiranya al-Quran memang mukjizat yang
paling ampuh meruntuhkan keangkuhan mereka, dengan pelbagai sisi ijaz
yang ia punya.
Meski demikian, pertentangan mereka justru kian masif dan menggebu,
untuk menghentikan misi dakwah Nabi, pun mendatangkan suatu tandingan
untuk al-Quran. Namun setiap kali melancarkan misi, mereka justru semakin
terjatuh dalam kehinaan, karena apa yang mereka upayakan sama sekali tak
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 8

membuahkan hasil signifikan. Keadaan demikian terus berlanjut, hingga misi


dakwah Nabi tercapai gemilang dan wahyu langit mencapai titik purnanya.18
Dengan terputusnya wahyu langit, terdapat dua konsekuensipahit dan
manis, yang harus ditelan umat Islam. Pahit karena semenjak itu juga,
ketetapan-ketetapan langit yang maha benar tidak akan pernah ada lagi.
Sehingga terbayang dalam benak mereka, bagaimana nantinya pertikaian
menjamur di sana-sini. Namun ada juga manisnya. Sebab, dengan
terputusnya wahyu, peluang mereka untuk berijtihad semakin terbuka lebar,
selebar-lebarnya. Tentu selama masih berpegang teguh dengan metodologi
ijtihad yang telah diajarkan Nabi. Adapun setelah berjerih payah, masih juga
belum menemui titik kebenaran, lagi-lagi dengan Rahmat-Nya, Tuhan tak
akan membebani di luar batas kemampuan hamba-Nya. Justru, sebagaimana
sabda Nabi, ia malah akan diganjar dengan satu pahala, berkat jerih
payahnya berijtihad.
Rupanya, kekhawatiran umat Islam itu benar-benar terbukti. Berangkat dari
anjuran Nabi untuk senantiasa ber-mulazamah dengan al-Quran; membaca,
merenungi dan mengamalkannya. Bagi kalangan dengan tingkat
pemahaman yang matangsebagaimana yang telah ditempakan oleh Nabi,
hal itu sama sekali bukan menjadi masalah, justru berdampak signifikan bagi
kemaslahatan mereka secara khusus, dan bahkan peradaban Islam secara
umum.19
Namun, yang menjadi akar permasalahan disini, adalah bagi kalangan
dengan tingkat pemahaman yang demikian dangkal. Manakala mereka
disuguhkan dengan ayat-ayat mutasyabihat, lalu mereka berupaya
menakwilinya dengan kedangkalan daya fikir itu. Hingga pada akhirnya,
bukan kemaslahatan yang mereka dapat dari kontemplasinya itu, melainkan
justru fitnah yang teramat dahsyat bagi umat Islam, atau bahkan bagi Islam
itu sendiri. Dalam pandangan mereka, usai mencoba berkontemplasi dengan
ayat-ayat mutasyabihat itu, al-Quran tak lebih dari sekedar mushaf yang
penuh dengan kejanggalan, kerancauan dan kecacatan di sana sini, baik dari
segi makna, uslub, penyusunan, atau bahkan periwayatannya. Hingga
mereka pun menafikan keunggulan al-Quransebagai Kalam Tuhan
dibanding teks-teks lain. 20 Wa al-Iyadzu-Billah.

18 Abu Bakar Muhammad Ibn al-Tayyib al-Baqillani, Ijaz al-Quran (cet. 7; Kairo: Dar
al-Maarif, th. 2010 M.), hal. 6
19 Ibid.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 9

Meski demikian, rupanya, sekelompok oknum ini masih enggan menyiarkan


paham busuk mereka. Hal itu terjadi, tidak lain adalah karena komitmen alKhulafa al-Rasyidun, yang demikian gigih mengentaskan paham-paham
menyimpang di tengah-tengah masyarakat Muslim. Setidaknya, kestabilan
ini masih dapat terjaga hingga masa-masa kekhalifahan Dinasti Umayyah.
Namun, sungguh disayangkan, agaknya, komitmen para pemimpin Islam
setelah masa itu, kian melemah. Sehingga tak ayaldisadari ataukah tidak
mereka telah banyak memberikan ruang kepada para oknum pengacau tadi,
untuk segera melancarkan misi penyebarluasan paham mereka.21
Setelah kondisi umat Islam kian genting, dengan bertebarannya fitnah-fitnah
destruktif tersebut, banyak dari para pemuka Ulama yang tergugah untuk
memberantasnya.
Berbagai
langkah
mereka
upayakan,
demi
mengembalikan kondisi umat Islam pada khitthah-nya, sebagaimana yang
telah digariskan Nabi. Pada fase inilah, wacana pembuktian ijaz al-Quran
mulai digaungkan, utamanya oleh para punggawa Ulama lughah. Diantara
penggagas wacana ini adalah Abu Muhammad Abdullah ibn Muslim ibn
Qutaibah al-Dainuri. Dalam kitabnya, Tawil Musykil al-Quran, ia banyak
menghantam paham-paham sesat yang berkaitan dengan al-Quran, dengan
pelbagai argumen, bukti dan fakta yang sistematis dan tak terbantahkan.22
Setelah itu, wacana ini kian tumbuh dan berkembang, hingga bermunculan
karya-karya Ulama lain, yang secara spesifik mengkajinya. Atau setidaknya,
mereka menyisipkan satu pembahasan khusus dalam kitab mereka, yang
intensif mengkaji polemik wacana ini. Diantaranya adalah al-Din wa alDaulah, karya Ali ibn Raban; Jami al-Bayan an Wujuh Tawil Ayi al-Quran,
karya Abu Jafar al-Thabbari; Maqalat al-Islamiyyin, karya Abu Hasan
al-Asyari; al-Hujjah fi Tatsbit al-Nubuwwah, karya Abu Utsman al-Jahiz dan
masih banyak karya-karya klasik lain.23
Semakin berganti kurun, lingkup perspektif wacana ini semakin meluas.
Terbukti dengan banyaknya buah pemikiran para pengkaji kontemporer,
yang selalu menghadirkan wacana ini dalam wajah baru. Diantaranya adalah
Ijaz al-Quran wa al-Balaghah al-Nabawiyyah, karya Musthafa Shadiq al20 Ibid.
21 Ibid., hal. 7
22 Ibid.
23 Ibid.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 10

RafiI; Mutarak al-Aqran fi al-Ijaz al-Quran, karya al-Suyuthi; al-Naba


al-Adzim, karya Muhammad Abdullah Darraz; Madakhil Ijaz al-Quran, karya
Mahmud Muhammad Syakir dan banyak karya kontemporer lainnya.

Ijaz al-Quran; Antara Perspektif Klasik dan Kontemporer


Sebagai upaya penelusuran lebih lanjut terhadap tumbuh kembang wacana
Ijaz al-Quran, penulis mencoba mengkomparasikan, antara geliat pemikiran
para pengkaji klasik dan kontemporer. Sehingga dari komparasi itu, kita
mampu menerka sejauh mana keterpengaruhan pemikiran kontemporer
terhadap pemikiran klasik, atau dengan kata lain, keterikatan antara
keduanya. Begitu pula menerka aroma perspektif baru yang diusung para
pengkaji kontemporer, sebagai respon atas perkembangan zaman yang
demikian kompleks. Upaya komparasi ini penulis hadirkan dengan
menimbang beberapa perspektif pengkaji klasik dan kontemprer. Dalam hal
ini, al-Baqillani24 (w. 403 H.) dan Darraz25 (w. 1958 M.). Setidaknya, dengan
hadirnya
perspektif
dua
tokoh
tersebut
diharapkan
mampu
merepresentasikan gaung pemikiran pada masa masing-masing. Berikut
penulis paparkan secara global.
Al-Baqillani berpandangan, bahwa terdapat tiga sisi ijaz al-Quran, yaitu:
Pertama, pemberitaannya terhadap hal-hal gaib. Kedua, bahwa al-Quran
diturunkan kepada sosok Nabi yang ummi; tak punya kecakapan baca tulis.
Ketiga, keindahan bahasa dan penyusunannya.26
Dari sini, kita bisa menerka, bahwa dalam menentukan sisi ijaz al-Quran, alBaqillani menyoroti dua sudut pandang, yakni al-Quran dan sosok insan yang
diutus Tuhan bersamanya; Muhammad. Meski demikian, dalam bukunya,
24 Ialah al-Qadli Abu Bakar Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Ibn Jafar Ibn
Al-Qasim Abu Bakar al-Baqillani. Lahir di Basrah tetapi tidak ada keterangan yang
jelas mengenai tanggal dan tahun kelahirannya. Namun, karena ia lahir pada
pemerintahan Al Buwaihi (w.372 H), maka ia diperkirakan lahir pada paroh kedua
abad ke empat Hijriah.
25 Ialah Dr. Muhammad Abdullah Darraz, seorang cendekiawan dan filsuf muslim
kenamaan abad 20. Ia lahir pada tahun 1894 M. di sebuah desa yang bernama
Mahallah Diyay, prov. Kufr al-Syaikh, Mesir. Karya-karyanya banyak tersebar, baik
berbahasa Arab ataupun Perancis.
26 Abu Bakar Muhammad Ibn al-Tayyib al-Baqillani, Ijaz al-Quran (cet. 7; Kairo: Dar alMaarif, th. 2010 M.), hal. 33-35.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 11

ijaz al-Quran, al-Baqillani terlihat menitikberatkan pembahasannya pada sisi


bahasa ijaz al-Quran, dengan mengutarakan banyak pemaknaan yang
menjadi
konsekuensi
mutlak,
manakala
keindahan
bahasa
dan
penyusunannya menjadi bagian dari ijaz al-Quran. Tak kurang dari sepuluh
pemaknaan ia urai dengan demikian gamblang. Namun, kali ini penulis tidak
ingin memaparkan kesemuanya, demi menghindari penjabaran yang
melenceng dari topik utama.
Sedangkan Darraz, dalam karya fenomenalnya, al-Naba al-Adzim,
menawarkan perspektif baru tentang sisi-sisi ijaz al-Quran secara khusus,
dan secara umum kajian-kajian ilmu al-Quran lainnya. Dr. Muhammad Abu
Musa, ketika memberikan pengantar untuk salah satu karyanyayang
secara spesifik mengkaji khazanah turats Ulama; al-Ijaz al-Balaghi, banyak
menyanjung kepiawaian Darraz menelurkan perspektif yang benar-benar
baru dalam bidang ilmu balaghah; sama sekali belum pernah tercetuskan
sebelumnya.27
Secara umum, perspektif Darraz tentang ijaz al-Quran terklasifikasi menjadi
tiga sisi: bahasa, pengetahuan dan keterpengaruhan umat, untuk dapat
berbenah menuju suatu kondisi yang lebih baik. Keterpengaruhan itu sama
sekali tidak terbatasi oleh ruang dan waktu tertentu. 28 Karena dalam kondisi
bagaimanapun, al-Quran selalu relevan, menjadi rujukan pokok menetapkan
pelbagai perundang-undangan, pun mengurai setiap problematika
kehidupan.
Sebagaimana al-Baqillani, Darraz juga memberikan porsi lebih untuk
mengkaji sisi bahasa ijaz al-Quran, dengan menyajikan banyak polemik
seputar bahasa, dalam kaitannya sebagai salah satu sisi ijaz. Tak sekedar
mengumbar polemik, ia juga menyertakan bantahan terhadap paham
menyimpang, lengkap dengan bangunan argumen yang demikian kokoh
untuk memantapkan persepsinya, semerta merobohkan pendirian pihak
penentang.29 Sehingga bisa dikatakan, meski kurun bergantiklasik hingga
kontemporer, nampaknya sisi bahasa selalu menjadi sorotan pengkaji. Dalam
diskursus kajian ini, ia menduduki posisi yang demikian strategis, karena
27 Dr. Muhammad Muhammad Abu Musa, al-Ijaz al-Balaghi (cer. 4; Kairo: Maktabah
Wahbah, th. 2012 M./1433 H.), hal. C.
28 Dr. Muhammad Abdullah Darraz, al-Naba al-Adzim; Nadzarat Jadidah fi al-Quran
al-Karim (cet. 11; Kairo: Dar al-Qalam, th. 2014 M./1435 H.), hal. 108.
29 Ibid.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 12

menjadi titik tumpu rasionalisasi ijaz al-Quran, mengingat misi


diturunkannya sebagai mukjizat rasional (aqliyyah). Karena itu, sebagai
pembuktian, kiranya perlu ada langkah rasionalisasi konkret yang dinilai
mampu menyudutkan kaum penentang pada satu pilihan sikap:
mengangguk mengimaninya, semerta mengakui keterbatasan mereka
untuk menandingi mukjizat tersebut.
Kendati terdapat satu titik kesamaan, bila kita amati seksama, terdapat
pergeseran perspektif yang demikian mencolok, antara pengkaji klasik dan
kontemporer. Pergeseran tersebut, menurut hemat penulis, merujuk pada
pengambilan sikap seorang pengkaji kontemporer yang cenderung
menyoroti ijaz al-Quran dengan mengamati relevansinya terhadap realita
kekinian, entah sebagai sumber hukum pokok abadi yang tak kenal batas
ruang dan waktu, pun sebagai pemecah pelbagai kebuntuan hidup. Beda
halnya dengan sikap pengkaji klasik yang cenderung stagnan dan normatif.
Artinya, ia hanya menyoroti wacana ini dari sudut pandang al-Quran dan
Nabi Muhammad sebagai perantara sampainya wahyu Ilahi.

Epilog
Secara sederhana, kajian genealogis bertujuan untuk merunut asal muasal
suatu perkara. Dalam makalah sederhana ini, penulis mencoba
menerapkannya dalam diskursus ijaz al-Quran. Berbekal beberapa referensi
yang ada, penulis mencoba merealisasikan misi itu; mengurai akar
genealogis ijaz al-Quran, baik sebagai sebuah terma, ataupun wacana.
Berikut akan penulis paparkan garis besar pencapaiannya.
Dimulai dengan identifikasi terma ijaz al-Quran, yang secara umum memiliki
makna, bahwa al-Quran dengan pelbagai sisi ijaz-nya, membuktikan
ketidakmampuan
seorang
makhluk-pun
untuk
menandinginyatak
terkecuali Nabi. Meski hal itu bukanlah misi final. Karena dibalik pembuktian
itu, terdapat beberapa konsekuensi yang secara mutlak harus diimani: alQuran adalah semata-mata wahyu Ilahi; Muhammad adalah benar-benar
Utusan-Nya.
Setelah itu, terkait akar genealogis ijaz al-Quran, penulis banyak merujuk
pada analisa Syakir. Menurutnya, wacana genealogis terma ini sangat erat
kaitannya dengan kemunculan terma al-tahaddi, yang disinyalir sebagai
sebuah embrio baginya. Berangkat dari karya al-Jahiz, Hujaj al-Nubuwwah,
yang banyak menyinggung tentang terma al-tahaddi, Syakir menarik
kesimpulan, bahwa al-Jahiz dalam karyanya itu menempatkan kedua terma
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 13

tersebut ke dalam satu pemaknaan


ketidakmampuan pihak penentang.

yang

sama;

pembuktian

akan

Selang beberapa dekade, al-Wasithi mengusung terma baru dalam karyanya;


Ijaz al-Quran. Tak ayal, temuan itu menggemparkan para tokoh pengkaji
keilmuan Islam, utamanya ilmu-ilmu lughah. Sebelumnya, al-Wasithi
memang banyak berinteraksi dengan pemikiran al-Jahiz, baik secara kontak
langsung, ataupun melalui karya-karyanya. Sehingga, asumsi bahwa altahaddi menjadi cikal bakal kemunculan terma ini pun terbukti. Hal tersebut
didasarkan pada keterikatan makna antara keduanya, pun juga kontemplasi
al-Wasithi terhadap buah pemikiran al-Jahiz.
Hingga semenjak saat itu, terma itu tersiar ke berbagai penjuru dunia. Kini,
ia menjadi salah satu diskursus kajian yang tak hentinya bertumbuh
kembang, dengan pelbagai perspektifnya, mengikut pada perkembangan
zaman yang demikian kompleks.
Adapun asal muasal kemunculannya sebagai sebuah geliat pemikiran,
penulis banyak merujuk pada analisa Ahmad Shaqr, saat ia menahkik karya
al-Baqillani. Ia menyatakan bahwa faktor yang memantik kemunculan
wacana ijaz al-Quran adalah kemunculan oknum-oknum penebar fitnah
dalam Islam. Bermula dari kedangkalan tingkat pemahaman mereka
terhadap nash al-Quran, mereka banyak menakwili ayat-ayat mutasyabihat.
Sehingga yang dihasilkan bukan lagi suatu pencerahan, melainkan fitnah
dahsyat yang mengacaukan tatanan masyarakat Muslim.
Menyikapi realita itu, banyak diantara tokoh-tokoh pengkaji bahasa,
khususnya, yang tergugah dan berhasrat untuk mengklarifikasi pahampaham menyimpang tersebut. Hingga bermunculanlah karya-karya, buah
pena mereka, yang secara spesifik membuktikan kebenaran wacana ijaz alQuran. Penggagas wacana itu adalah al-Dainuri dengan karyanya yang
berjudul Tawil Musykil al-Quran. Gagasannya itu banyak diikuti oleh
pengkaji lain, yang juga intensif menanggulangi polemik ini. Bahkan hingga
pada masa kontemporer, wacana ini masih banyak digeluti oleh para
pengkaji pada masanya. Diantara karya yang lahir pada masa ini adalah alNaba al-Adzim, karya Darraz.
Berlanjut ke pembahasan pamungkas makalah ini. Sebagai upaya
penelusuran lebih mendalam terhadap tumbuh kembang wacana ini, penulis
mencoba mengkomparasikan antara geliat pemikiran klasik dan kontemporer
terkait diskursus kajian ini, dengan menimbang perspektif-perspektif yang
diusung oleh para tokoh pengkaji pada masanya. Kali ini, penulis
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 14

mengangkat perspektif al-Baqillani dan Darraz, sebagai tokoh berpengaruh


pada masanya. Hingga pada akhirnya, penulis menarik kesimpulan, bahwa:
Pertama, diantara keduanya terdapat kesamaan, yakni sama-sama menitik
beratkan pembahasan sisi bahasa ijaz al-Quran. Dimana bagi mereka, sisi ini
menempati posisi yang demikian strategis untuk meruntuhkan keangkuhan
bangsa Arab kala itu. Sebab, ia menjadi titik tumpu rasionalisasi ijaz alQuran. Kedua, diantara keduanya terdapat pergeseran cara pandang yang
demikian kentara terhadap wacana ini. Darraz, sebagai pengkaji
kontemporer, cenderung menyoroti wacana ijaz dari sisi relevansinya
dengan zaman yang berkembang kian kompleks. Sedang Darraz, sebagai
pengkaji klasik, cenderung stagnan dan normatif dalam menyikapi wacana
ini. Dalam artian, ia menyoroti wacana ini sebatas dari sudut pandang alQuran dan Nabi Muhammad, sebagai sosok penyampai wahyu Ilahi. Allahu
Ala wa Alam.
Akhirnya, segala kritik dan saran konstruktif selalu penulis nantikan. Allahu
al-Mustaan.

Daftar Pustaka
1. Syakir, Mahmud Muhammad. 2002. Madakhil Ijaz al-Quran. Cet. 1.
Kairo: Mathbaah al-Madani.
Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 15

2. Al-Baqillani, Abu Bakr Muhammad. 2010. Ijaz al-Quran. Cet. 7. Kairo:


Dar al-Maarif.
3. Huri, Umar Muhyiddin. 2008. Manhaj al-Tafsir inda al-Imam alThabbari. Cet. 1. Damaskus: Dar al-Fikr.
4. Musa, Muhammad Abu. 2012. Al-Ijaz al-Balaghi. Cet. 4. Kairo:
Maktabah Wahbah.
5. Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Adzim. Manahil al-Irfan fi Ulum alQuran. Kairo: Dar al-Hadits.
6. Dhaif, Syauqi. 1985. Al-Mujam al-Wasith. Cet. 3. Kairo: Majma alLughah al-Arabiyyah.
7. Darraz, Muhammad Abdullah. 2014. Nadzrat Jadidah fi al-Quran alKarim. Cet. 11. Kairo: Dar al-Qalam.
8. Al-Suyuthi, Jalaluddin. 2013. Al-Itqan fi Ulum al-Quran. Cet. 3. Kairo:
Dar al-Salam.

Menelusuri Aspek Genealogis Ijaz al-Quran | 16

Anda mungkin juga menyukai