Anda di halaman 1dari 200

ULUMUL QUR’AN

Nuzulul Qur`an

Makalah

Diajukan untuk dipresentasikan pada Mata Kuliah Ulumul Qur`an


pada Program Studi Dirasah Islamiyah Konsentrasi Hukum
Islam/Syariah Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Oleh
Fitria Yusuf
NIM. 80100221164

PROGRAM PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR 2022

1
Daftar Isi

BAB I ...................................................................................................................... 3
Pendahuluan ............................................................................................................ 3
A. Latar belakang .......................................................................................... 3
B. Rumusan masalah ..................................................................................... 4
BAB II ..................................................................................................................... 5
Pembahasan ............................................................................................................. 5
A. Pengertian nuzulul qur`an ........................................................................ 5
B. Tahapan turunnya al-qur`an ..................................................................... 6
C. Pendapat para ahli menganai turunnya al-qur`an ..................................... 8
D. Hikmah dibalik turunnya al-qur`an ........................................................ 10
BAB III ................................................................................................................. 12
Penutup.................................................................................................................. 12
Kesimpulan ....................................................................................................... 12

2
BAB I

Pendahuluan

A. Latar belakang

Al-qur`an merupakan kitab yang disucikan umat islam dan mengandung


berbagai macam petunjuk yang menjadi pedoman hidup utamanya umat muslim itu
sendiri. Kebenaran isi dari al-qur`an secara sejarah dan realita dalam kehidupan
sudah banyak dibktikan oleh para ilmuan, uatamanya para ilmuan barat yang
mayoritas berkeyakinan non islam. Begitu pun dari petunjuk-petunjuk yang ada
dalam al-qur`an misalnya dari sisi ilmu kesehatan sudah banyak di buktikan oleh
para ilmuan di dunia kesehatan. Hal inilah juga lah yang membuat banyak orang
kagum dengan al-qur`an bahkan orang yang non islam sekalipun.
Kebenaran isi dalam al-qur`an yang sudah banyak dibuktikan tidak lepas
dari kepercayaan turunnya itu sendiri. Kepercayaan terhadap sesuatu bisa terwujud
jika pengetahuan asal-usulnya juga kuat. Pembahasan nuzûl Alquran termasuk
dalam pembahasan utama dalam Ulûmul Quran, karena mengetahui nuzûl Alquran
merupakan dasar keyakinan seseorang atas kebenaran Al-quran itu sendiri.1 Begitu
pun realisasi keyakinan terhadap seseorang akan muncul dan lebih kuat saat
pengetahuan tentangnya juga cukup.
Umumnya nuzulul qur`an banyak diperingati saat memasuki 17 ramadhan,
meskipun masih menimbulkan banyak pertanyaan mengenai turunnya al-qur`an itu
sendiri. Ada banyak pendapat mengenai turunnya al-qur`an, yang sering di dengar
bahwa al-qur`an itu turun secara berangsur-angsur atau secara keseluruhan
langsung. Ada beberapa hal mendasar dalam proses turunnya al-qur`an yaitu, ayat
yang turun pertama, tempat turunnya, kondisi Nabi SAW saat menerima ayat
pertama, dan beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini.

1
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.11

3
B. Rumusan masalah

Berdasarkan paparan diatas agar makalah ini lebih terarah, penulis


membatasi beberapa masalah penting yang akan dibahas, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan nuzulul qur`an.?
2. Bagaimana proses turunnya al-qur`an.?
3. Bagaimana pendapat para ulama mengenai turunnya al-qur`an.?
4. Apa hikmah turunnya al-qur`an.?

4
BAB II

Pembahasan

A. Pengertian nuzulul qur`an

Nuzul artinya al inhidar min ‘uluwwin ila safalin (luncur atas bawah), turun
secara berangsur-angsur, turun diartikan secara majazi tidak secara hakiki, dibantah
Ar-Razi dan AsSayuti (turun sama dengan bersifat materi) dan tasabuh dengan
Allah punya tempat. Turun diartikan idzhar, i’lam dan ifham, yang lain turun
bermakna mazaji /metapora/kiasan.2 Dari pendapat tersebut dapat di simpulkan
bahwa turunnya al-qur`an kepada Nabi Muhammad SAW tidak bisa dimaknai turun
secara hakiki. Kata turun dalam konteks ini tidak bisa di artikan dengan pemahaman
awam bahwa al-qur`an itu dibawakan malaikat jibril kepada Nabi Muhammad
SAW berupa sebuah kitab atau catatan ayat per ayat di sebuah tempat. Atau dengan
kata lain bahwa turunnya al-qur`an sama halnya jika seseorang membawakan benda
dari atas ketinggian kepada orang lain yang berada di bawahnya.
Ketika kita berusaha untuk menempatkan arti an-nuzul secara bahasa
kepada Al-qur`an maka ditemukan arti-arti tersebut tidak layak untuk disematkan
ke dalam Al-qur`an kecuali dalam bentuk majas.3 Pemaknaan turunnya al-qur`an
secara majaz lebih tepat dikarenakan al-qur`an merupakan kalam an-nafs yaitu
perkataan yang ada dalam zat Allah itu sendiri. Pemaknaan turunnya al-qur`an
secara hakiki tidak berlaku karena hal tersebut hanya berlaku untuk hal-hal yang
bersifat baharu dan Allah Swt dengat zatnya tidak layak disandarkan sifat tersebut.
Adapun ketika turunnya al-qur`an dimaknai sebagai lafadz yang dibaca malaikat
Jibril langsung kepada Nabi Muhammad SAW juga kurang tepat karena ucapan
atau perkataan merupakan hal yang bersifat aradhi atau sesuatu yang berada di luar
dari hakikat suatu zat seperti halnya tertawa jika disandarkan kepada manusia.
Kalau ditinjau secara majas maka pengertian an-nuzûl bisa diartikan dengan
arti yang luas, seperti menginformasi, menetapkan, mengggerakan dari atas ke
bawah. Apabila diartikan sebagai al-kalâm an-nafsi maka turunnya ialah informasi

2
H. Abdul DJalal, Ulumul Qur’an, Surabaya, Dunia Ilmu, 2000, hlm.,11
3
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.12

5
yang diperoleh baik berupa tulisan yang terdapat di al-Lauh al-Mahfudz ataupun di
Bait al-Izzah di As-Samai ad-Dunnya, atau melalui lafaz saat ia turun ke hati Nabi
Muhammad Saw.4

B. Tahapan turunnya al-qur`an

Nabi Muhammad SAW merupakan manusia pilihan Allah Swt untuk


mnerima wahyu dari-Nya. Allah Swt tidak mungkin memberikan wahyu-Nya
kepada manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan. Wahyu yang turun kepada
Nabi Muhammad SAW merupakan sebuah pedoman umat manusia sepanjang masa
dan sudah pasti penerimanya adalah manusia yang sudah sesuai dengan isi dari al-
qur`an itu sendiri. Secara logika saja seorang pemimpin tertinggi suatu negara
ketika ingin menyampaiakan sebuah pesan penting tidak mungkin mengutus orang
yang memiliki kemampuan yang lemah, orang yang dipilihnya untuk
menyampaikan pesan sudah pasti telah melewati berbagai macam tes kemampuan
yang sesuai dengan amanah yang akan diembannya. Hal ini juga berlaku dalam
proses turunnya al-qur`an.
Adapun tahapan-tahapan diturunkannya al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a. Pertama, al-Qur’an turun pada malam lailatul qadar pada malam kemuliaan,
merupakan pemberitahuan Allah SWT kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari
malaikat-malaikat akan kemuliaan umat nabi Muhamad SAW.
b. Kedua, turunya al-Qur’an secara bertahap (munajaman), dengan tujuan
menguatkan hati Rasul saw dan menghibur serta mengikuti peristiwa dan kejadian-
kejadian sampai Allah Swt menyempurnakan agama ini dan mencukupi nikmat-
nikmat-nya.
c. Perbedaan turunnya al-Qur’an secara sekaligus dan berangsur-angsur disebabkan
karena merujuk kepada dua kata anzala dan nazala dalam ayat surat Al-Isrā’ : 105.5
Ketiga tahapan turunnya al-qur`an di atas memberikan informasi bahwa
turunnya al-qur`an mengikuti kondisi yang ada pada saat itu. Ketiga tahapan ini
juga merupakan proses yang telah Allah SWT atur untuk para makhluknya.

4
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.13
5
Ajahari, ulumul qur`an, (yogyakarta:aswaja pressindo), 2018, h.14

6
Tahapan pertama saat al-qur`an turun pada malam lailatul qadr di malam yang
sangat mulia. Pada tahapan pertama ini Allah SWT hendak menginformasikan
bahwa sekian sekian banyaknya hari dan malam yang terhitung, ada satu malam
yang mempunyai kemuliaan dan kebaikan yang sangat tinggi. Dari hal ini juga
dapat dipahami bahwa Allah SWT turunnya al-qur`an pada malam lailatul qadr
merupakan salah satu perkenalan dan penekanan dari Allah SWT kepada umat
manusia pada saat itu.
Peristiwa tersebut hendak memperkenalkan lagi Nabi Muhammad SAW
sebagai manusia luar biasa yang dipilih Allah SWT sebagai penerima wahyu.
Peristiwa tersebut nyatanya memberikan efek kepada manusia terkhusus bagi umat
muslim hingga saat ini. Peristiwa turunnya wahyu pada malam lailatul qadr sangat
di agungkan umat muslim pada bulan suci ramadhan hingga saat ini. kemudian pada
tahapan kedua, proses turunnya al-qur`an berkenaan dengan kondisi Nabi
Muhammad SAW pada saat itu. Tahapan turunnya al-qur`an yang kedua ini di
karenakan allah swt ingin menghibur hambanya yang paling mulai di muka bumi
ini.
Peristiwa ini menjadi isyarat penting dan salah satu bentuk penekanan bagi
umat manusia bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar merupakan manusia
khusus pilihan Allah SWT langsung, karena kekhususan yang dimiliki Nabi
Muhammad SAW lah sehingga beliau mampu menerima wahyu yang merupakan
ucapan Allah SWT langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Kekhususan sangat
luar biasa yang dimiliki seorang manusia suci, saat beliau dalam kondisi kurang
baik saja yang menghibur beliau langsung adalah Allah SWT dzat yang mempunyai
seluruh alam semesta dan maha segalanya. Kemudian pada tahapan yang ketiga
merupakan proses turunnya al-qur`an yang kebanyakan diyakini oleh masyarakat
muslim pada umumnya. Proses ini merujuk pada salah satu ayat al-qur`an itu sendiri
yaitu anzala dan nazala.
Raghib al-Asfahani mengatakan perbedaan dua kata tersebut, kata inzal dan
tanzil, yaitu bahwa kata tanzil dimaksudkan berkenaan turunnya al-Qur’an secara
berangsur-angsur atau sedangkan kata inzal ditujukan berkenaan turunnya al-

7
Qur’an secara sekaligus.6 Dalam salah satu kitab tulisannya Raghib al-Asfahani
juga mengemukakan pendapatnya mengenai tahapan turunnnyan al-qur`an tersebut.

C. Pendapat para ahli menganai turunnya al-qur`an

Beberapa pendapat lain juga menerangkan tentang tahapan turunnyan al-


qur`an, yaitu:
a. Turun pertama, ialah diturunkannya ke al-Lauh al-Mahfûdz. Bukti dari
tahapan pertama ini ialah firman Allah dalam QS al-Burûj: 21-22 Bahkan
yang didustakan mereka itu ialah Alquran yang mulia, yang (tersimpan)
dalam Lauh Mahfuzh.
b. Turun kedua ialah diturunkannya dari al-Lauh al-Mahfûdz ke Bait al-Izzah
di as-Samâi ad-Dunya. Banyak bukti yang menerangkan tentang hal ini di
dalam ayat al-qur`an, yaitu:
1. QS ad-Dukhan : 3
‫إِنَّا أنز ْل َٰنهُ فِى ليْلة ُّم َٰبركة ۚ إِنَّا ُكنَّا ُمنذ ِِرين‬

Artinya: sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu


malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi
peringatan.
2. QS al-Qadr : 1
‫اِنَّا ا ْنز ْل َٰنهُ فِ ْي ليْل ِة ْالقد ِْر‬

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya


(Alquran) pada malam kemuliaan.
3. QS al-Baqarah : 185
ِ َّ‫ِي ا ُ ْن ِزل ِف ْي ِه ْالقُ ْر َٰانُ ُهدًى ِِّللن‬
‫اس وب ِيِّ َٰنت ِ ِّمن ْال ُه َٰدى‬ ْ ‫ش ْه ُر رمضان الَّذ‬
ِ ۚ ‫و ْالفُ ْرق‬
‫ان‬

Artinya: Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan


Ramadhan) bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan)

6
Ajahari, ulumul qur`an, (yogyakarta:aswaja pressindo), 2018, h.14

8
Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
batil).
c. Turun ketiga secara berangsur-angsur pada Nabi Muhammad selama masa
risalahnya. Ulama berbeda pendapat tentang masa risalah tersebut. Pendapat
pertama mengatakan 20 tahun, pendapat kedua 23 tahun, dan ketiga 25
tahun. Perbedaan ini bersumber dari durasi menetapnya Nabi di Mekkah
setelah masa kenabian sebelum hijrah.7
Ulama berbeda pendapat tentang bagaimana proses turunnya al-
qur`an serta masanya.
1. Pendapat pertama, yang dianut oleh sebagian besar ulama ialah
diturunkan sekaligus pada malam lail al-qadr di bulan Ramadhan.
Alasan yang menguatkan pendapat ini ialah ditemukannya
bermacam hadis yang mendukung pernyataan itu, di antaranya:
Alquran diturunkan pada malam qadr sekaligus ke sama`
ad-dunya. (HR Hakim dan Baihaqi )
Alquran diturunkan pada malam qadr di bulan Ramadhan
sekaligus ke sama` ad-dunya kemudian diturunkan secara
berangsur-angsur. (HR Thabrani)
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa Alquran diturunkan
sekaligus, dan menurut Imam Syuyuti bahwa seluruh hadis ini sahih,
walaupun ia maukuf pada diri ibnu Abbas tapi ia memiliki identitas
marfu` karena menurut ulama hadis apabila perkataan sahabat yang
tidak diintervensi oleh logika dan Israiliat maka identitas hadis itu
marfu` kepada Nabi Muhammad Saw.
2. Pendapat kedua, bahwa ia turun 20 atau 23 atau 25 malam al-Qadr.
Setiap malam diturunkan sesuai dengan keinginan Allah lalu
diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi selama setahun
penuh sesuai dengan kebutuhan manusia. Pendapat ini dianut oleh
Mukatil bin Haiyan, al-Hulaimi dan al-Mawardi.

7
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.14

9
3. Pendapat ketiga, bahwa ia mulai diturunkan pada malam al-Qadr
kemudian turun setelah itu secara berangsur-angsur kepada Nabi.
Pendapat ini dianut oleh as-Sa`by. Pendapat yang paling
benar ialah pendapat pertama karena didukung oleh berbagai hadis.
Ibnu Hajar berkata bahwa pendapat ini sahih dan bisa dijadikan
sebagai rujukan. Menurut Qurtuby ulama telah berijma` untuk
membenarkan pendapat ini, dan barangsiapa yang berbeda pendapat
tidak lain hanya ingin mencari popularitas. Walaupun ulama
berbeda pendapat pada tahapan kedua namun akhirnya mereka
sepakat pada tahapan ketiga di mana Alquran diturunkan secara
berangsur-angsur sesuai kebutuhan.8
D. Hikmah dibalik turunnya al-qur`an

Kebanyakan ulama menyebutkan bahwa hikmah penting dari


turunnya-qur`an secara langsung ke dalam diri suci Nabi Muhammad SAW
utamanya sebgai ungkapan keagungan zat yang maha mulia. Hal ini juga
dikarenakan kitab suci al-qur`an merupakan kitab yang paling terakhir
diturunkan Allah SWT ke muka bumi sebagai petunjuk bagi umat manusia.
Sehingga Allah SWT benar-benar sudah mempersiapkan turunnya kitab
tersebut dengan sangat sempurna. Kesempurnaan dari semua prosesnya
mulai dari makhluk yang menerimanya, kandungan isi dari kitab yang
diturunkan-Nya, sampai cara Allah SWT memperkenalkannya kepada
seluruh umat manusia di muka bumi.
Hikmah dibalik turunnya al-qur`an secara berangsur-angsur untuk
memperbaharui wahyu. Berulang kalinya turun Alquran kepada Nabi
Muhammad Saw siang, malam, pagi, dan sore membuat hati Nabi senang
dan lapang.9 Maka dari itu kondisi Nabi yang paling bagus adalah saat
beliau bertemu dengan Jibril membahas wahyu dari Allah SWT. Ketika
disandingkan dengan pendapat sebelumnya, kata “memperbaharui wahyu”
dapat dimaknai bahwa saat malaikat Jibril menyampaikan wahyu, wahyu

8
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.16
9
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.17

10
yang disampaiakan sudah ada dalam diri Nabi. Kedatangan malaikat Jibril
hanya untuk menyampaikan seruan dari Allah SWT salah satu ayat al-
qur`an yang ada dalam diri Nabi Muhammad SAW kemudian disampaikan
lagi kepada umat manusia.
Setiap turunnya wahyu merupakan pembaharuan dakwah bagi kaum
musyrikin untuk masuk dalam agama Allah.10 Penyampain wahyu secara
berangsur-angsur agar penyampaian wahyu sesuai dengan sunnatullah. Hal
ini juga bertujuan agar umat manusia pada saat itu lebih mudah menghafal
ayat-ayat al-qur`an yang ada dalam diri Nabi, karena penyampainya sesuai
dengan kondisi umat pada saat itu. Dalam salah satu kaedah ilmu ushul
disebutkan bahwa salah satu cara agar sesuatu itu mudah diingat yaitu jika
penyampaiannya terus diulang-ulang dan kesan saat penyampaian. Dari sisi
psikologi juga manusia akan lebih mudah mengingat jika penyampain suatu
pesan memiliki kondisi atau bisa dikatakan ada drama yang terkesan saat
disampaikan.
Menenteramkan hati Nabi Muhammad Saw dengan merasakan
bahwa Allah selalu bersamanya.11 Banyak ayat al-qur`an yang
menerangkan hal tersebut, salah satunya saat Allah SWT memerintahkan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk bersabar seperti dalam Q.S Qaf : 39,
“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan
bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenam (nya)”. Ketika disandingkan dengan manusia biasa pada
umumnya, ketentraman hati seseorang dalam kondisi yang buruk akan
muncul saat dinasehati oleh orang yang sangat dicintainya.

10
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.18
11
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.19

11
BAB III

Penutup

Kesimpulan

Peristiwa turunnya al-qur`an meupakan kejadian sangat luar biasa


yang sudah dipersiapkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw.
Penerima wahyu adalah manusia yang mempunyai kepribadian yang tidak
dimiliki oleh manusia lain di muka bumi ini, sehingga penduduk langit pun
mengakuinya. Ada dua proses turunnya al-qur`an yaitu turun secara
langsung dan secara berangsur-angsur. Para ulama juga banyak yang
sepaham dengan hal tersebut, tapi pendapat yang paling banyak kuat adalah
al-qur`an turun secara langsung ke dalam diri Nabi Muhammad Saw
kemudian disampaikan secara berangsur-angsur kepada umat manusia.

12
TAFSIR, TAKWIL, DAN TERJEMAH

Makalah Ulum Alquran

Oleh:
AHMAD KHALIFAH ZAMRUD
80100221168

JURUSAN DIRASAH ISLAMIYAH


KONSENTRASI SYARIAH/HUKUM ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2022
i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................. i

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................... 1

BAB II TAFSIR, TAKWIL, DAN TERJEMAH ............................................ 2


A. Tafsir .............................................................................................. 2

B. Takwil ............................................................................................. 7

C. Terjemah ......................................................................................... 8

C. Perbedaan Tafsir, Takwil, dan Terjemah ....................................... 9

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 10

Kesimpulan ....................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 11


1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Alquran merupakan kalam Allah swt yang disampaikan kepada Nabi

Muhammad saw untuk digunakan dalam ibadah kepada Allah swt, dipahami

maknanya, dan dikerjakan perintah dan petunjuknya. Untuk memahami Alquran,


maka perlu untuk membacanya dan memahami maknanya. Memahami Alquran

memerlukan pembelajaran, tafakur, dan tadabur. Alquran telah memerintahkan untuk

itu, dan menjelaskan buruknya seseorang yang tidak mentadaburinya. Allah swt

berfirman:

َ‫َا َف َلا َي َت َدَّب ُر ْو َن ْال ُق ْر ٰا َن َا ْم َع ٰلى ُق ُل ْوب َا ْق َف ُالها‬


ٍ
Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci?1

Tafsir, takwil, dan terjemah termasuk cara dalam memahami dan mentadaburi

Alquran. Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan mengenai ketiga metode

tersebut.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas adalah:

1. Bagaimana tafsir, takwil, dan terjemah?

2. Apa perbedaan tafsir, takwil, dan terjemah?

1
QS Muhammad/47: 24
2

BAB II

TAFSIR, TAKWIL, DAN TERJEMAH

A. Tafsir
1. Pengertian tafsir

Tafsir merupakan kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa

Arab tafsi>r. Kata tersebut merupakan bentuk masdar dari kata kerja fassara –
yufassiru yang secara bahasa berarti membuka atau menampakkan.1 Secara istilah,
adalah sebuah ilmu untuk memahami Alquran dengan cara mengetahui maknanya,

mengetahui hukum dan hikmahnya, dan mengambil nasihat dan pelajarannya.2

Dahulu orang-orang menyebut ilmu tafsir sebagai ilmu takwil. Dan itulah

yang Nabi maksud dalam doanya kepada Ibnu Abbas r.a.:


َ ْ ْ َّ ُ َ َ ُ ْ َ َُّ َّ
ْ
‫َّللا فقهه في الدين وعلمه التأويل‬
Ya Allah, pahamkanlah dia agama dan ajarkanlah dia takwil (tafsir).3

1
‘Abdullah ibnu Yu>suf al-Juday‘, al-Muqaddima>t al-Asa>siyyah fi Ulu>m al-Qura’>n (Cet. 1;
Beirut: Muassasah al-Rayya>n, 2001), h. 279. https://www.noor-
book.com/%D9%83%D8%AA%D8%A7%D8%A8-
%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%82%D8%AF%D9%85%D8%A7%D8%AA-
%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%B3%D8%A7%D8%B3%D9%8A%D8%A9-%D9%81%D9%8A-
%D8%B9%D9%84%D9%88%D9%85-%D8%A7%D9%84%D9%82%D8%B1%D8%A2%D9%86-
pdf (19 Juli 2022).
2
‘Abdullah ibnu Yu>suf al-Juday‘, al-Muqaddima>t al-Asa>siyyah fi Ulu>m al-Qura’>n (Cet. 1,
Beirut: Muassasah al-Rayya>n, 2001), h. 279.
3
“Syarhu al-Hadi>s: Alla>humma Faqqihhu fi> al-Di>ni”, Situs Resmi Alukah.net.
https://www.alukah.net/sharia/0/119767/%D8%B4%D8%B1%D8%AD-
%D8%AD%D8%AF%D9%8A%D8%AB-%D8%A7%D9%84%D9%84%D9%87%D9%85-
%D9%81%D9%82%D9%87%D9%87-%D9%81%D9%8A-
%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%8A%D9%86/#_ftn2 (19 Juli 2022).
3

Dan inilah yang dimaksud oleh Ibnu Jari>r al-T{abari> sebagai judul buku

tafsirnya: Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<yi al-Qur’an. Yang dimaksud takwil pada

judul tersebut adalah tafsir.

Namun menurut ulama kurun terakhir, takwil bukan lagi hanya bermakna

tafsir, melainkan pengubahan sebuah makna lahir menjadi makna lain disebabkan

oleh adanya dalil yang mengikat.

2. Jenis Tafsir

a. Tafsir berdasarkan siapa yang mengetahuinya1

1) Tafsir yang hanya diketahui oleh bangsa arab berdasarkan perkataan mereka

Cara mengetahui tafsir ini adalah dengan mengetahui penggunaan lafaz dan

susunan bahasa dari bangsa Arab. Syarat dari tafsir ini adalah tidak keluar dari

perkataan Sahabat Nabi saw, tabiin, dan para ulama terdahulu. Contohnya:
َ ْ ْ َ َ َّ ْ ُ
ُ‫ك ا ْن َت ال َعزيْ ُز الكر ْيم‬ ‫ذق ان‬
(Dikatakan kepadanya,) “Rasakanlah! Sesungguhnya engkau (dalam kehidupan
dunia) benar-benar (merasa sebagai orang) yang perkasa lagi mulia.2

Ayat tersebut bermaksud untuk merendahkan dan meremehkan, meskipun

di situ ada kata-kata pujian. Dan hukum mengetahui makna-makna seperti ini

adalah fardu kifayah, tidak semua orang harus mengetahui makna semua kata di

dalam Alquran.

1
Musa>‘id Ibnu Sulaima>n al-T{ayya>r, Fus}>ul fi> Us}>ul al-Tafsi>r (Cet. 1; Riyad: Da>r al-Nasyr al-
Duwali, 1993), h. 17-18. https://www.noor-book.com/%D9%83%D8%AA%D8%A7%D8%A8-
%D9%81%D8%B5%D9%88%D9%84-%D9%81%D9%8A-%D8%A3%D8%B5%D9%88%D9%84-
%D8%A7%D9%84%D8%AA%D9%81%D8%B3%D9%8A%D8%B1-pdf (19 Juli 2022).
2
QS al-Dukha>n/44: 49
4

2) Tafsir yang diketahui oleh semua orang

Tafsir ini merupakan tafsir yang jelas. Tidak memerlukan usaha besar untuk

mengetahui tafsir jenis ini, dan inilah sifat pokok dan inti tafsir. Contohnya:

َ ٰ َّ ُ ٰ َ َ ٰ َّ َ
‫َواقيموا الصلوة واتوا الزكوة‬
ُ ْ
Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat.1

Ayat tersebut di atas bermakna sangat jelas. Tidak ada halangan bagi
seorang pun untuk mengetahui maknanya. Tafsir ini fardu bagi seluruh muslim.

3) Tafsir yang hanya diketahui oleh ulama

Tafsir ini merupakan tafsir yang memerlukan ijtihad untuk mengetahuinya.

Dalam mengetahui tafsir ini diperlukan ilmu-ilmu lain seperti hadis, fikih, atau

bahasa Arab. Contohnya:

ْ ُ ُ َ َ ٰ َ َّ ُ ْ َ َ ْ ََّ َ َ ُ ٰ َّ َ ُ ْ َ
‫والمطلقت يتربصن بانفسهن ثلثة قر ْۤو ٍء‬
Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali
qurū’ (suci atau haid).2

Pengertian quru>’ bermakna suci atau haid. Makna ini tidak dapat kita tahu
kecuali dari para ulama.

4) Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah swt

Tafsir yang tidak ada seorang pun mengetahuinya. Kita mengetahui

maknanya, namun tidak mengetahui detail ciri-ciri dan sifatnya. Kita tidak

1
QS al-Baqarah/1: 43
2
QS al-Baqarah/1: 228
5

mengetahui bagaimananya. Seperti misalnya ayat yang menyebutkan tentang hari

kiamat, ruh, atau huruf-huruf pembuka surah (muqat}t}a‘ah). Contohnya:

‫الْۤ ْۤم‬
Alif Lām Mīm.1

Seperti contoh ayat tersebut di atas. Tidak diketahui secara pasti apa tafsir
dari ayat tersebut. Berusaha memahaminya terlalu dalam tidak memberikan

manfaat besar, bahkan dapat menyesatkan. Tafsir ini tidak wajib bagi siapa pun

untuk mengetahuinya.

b. Tafsir berdasarkan jalan/cara untuk mengetahuinya2

1) Tafsir dengan mengetahui asar (tafsi>r bi al-ma’s\u>r)

Tafsir ini diketahui melalui dalil asar atau nas dari Alquran maupun hadis.

2) Tafsir dengan cara ijtihad (tafsi>r bi al-ra’yi)

Tafsir ini diketahui dengan melakukan ijtihad.

c. Tafsir berdasarkan gaya/bentuk penulisan3

1) Tafsir rinci (tah}li>li)


Tafsir ini merupakan jenis yang umum dijumpai. Ahli tafsir merinci sebuah

ayat dengan menjelaskan sebab turunnya, kata-kata yang jarang dijumpai,

1
QS al-Baqarah/1: 1
2
Musa>‘id Ibnu Sulaima>n al-T{ayya>r, Fus}>ul fi> Us}>ul al-Tafsi>r (Cet. 1; Riyad: Da>r al-Nasyr al-
Duwali, 1993), h. 19.
Musa>‘id Ibnu Sulaima>n al-T{ayya>r, Fus}>ul fi> Us}>ul al-Tafsi>r (Cet. 1; Riyad: Da>r al-Nasyr al-
3

Duwali, 1993), h. 19-20.


6

menjelaskan secara globalnya, dan lain-lain. Contohnya adalah tafsir milik Ibnu

‘At}iyyah, al-Alu>si, dan al-Syauka>ni.

2) Tafsir global (ijma>li)

Di tafsir ini, ahli tafsir menjelaskan makna umum pada sebuah ayat tanpa

terperinci. Seperti bahasa, i‘ra>b, atau faedahnya. Contohnya: tafsir al-Sa‘di.

3) Tafsir perbandingan (muqa>ran)


Pada tafsir ini, ahli tafsir membandingkan antara dua nas atau perkataan,

atau ayat dengan ayat lainnya, ayat dengan hadis, dan mengutamakan salah

satunya. Contohnya: tafsir al-Tafa>si>r milik Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn ‘Aqi>l al-

Z{ah> iri.

4) Tafsir tematik (maud}u>‘i)

Pada tafsir ini, ahli tafsir membahas sebuah tema yang berasal dari Alquran,

seperti lafaz, kalimat, atau tema tertentu. Seperti membahas tema: Lafaz “Umat”

di Alquran. Contohnya: Dala>il al-Tauhi>d fi> al-Qur’a>n al-Maji>d milik Ami>n Yu>suf

al-Dami>ri.

d. Tafsir berdasarkan orientasi penulisnya1

1) Tafsir orientasi salaf saleh

Contohnya adalah tafsir Ibn Jari>r, Ibn Katsi>r, dan al-Syinqit}i.

2) Tafsir orientasi muktazilah

Contohnya adalah tafsir al-Zamakhsya>ri.

Musa>‘id Ibnu Sulaima>n al-T{ayya>r, Fus}>ul fi> Us}>ul al-Tafsi>r (Cet. 1; Riyad: Da>r al-Nasyr al-
1

Duwali, 1993), h. 20-21.


7

3) Tafsir orientasi asy‘ari

Contohnya adalah tafsir al-Ra>zi.

Dan masih banyak lagi tafsir dengan orientasi akidah yang lainnya.

B. Takwil
1. Pengertian Takwil

Para ulama seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, dan Ibn al-‘Us\aimi>n
telah menyimpulkan makna dari takwil. Secara bahasa, takwil berasal dari bahasa

arab ta’wi>l. Kata ini merupakan masdar dari kata kerja awwala – yuawwilu yang

artinya mengembalikan atau memulangkan sesuatu ke tujuan yang dimaksud.

Adapun secara istilah, mengembalikan sebuah perkataan ke tujuannya dengan cara

menjelaskan maknanya atau mencapai tujuan perkataan itu. Takwil memiliki tiga

makna, yaitu:1

1. Tafsir. Adalah penjelasan sebuah perkataan dengan menyebutkan makna yang

dimaksud.

2. Maksud/makna sebuah perkataan yang sama dengan hakikatnya.

3. Mengubah makna lahir suatu perkataan ke makna lain yang bertentangan atau

berbeda disebabkan adanya dalil. Inilah makna takwil yang dimaksud dalam

1
“Al-Ta’wi>l: Ma‘na>hu, Aqsa>muhu, Ma> Yaju>zu Minhu wa Ma> La> yaju>zu”, Situs Resmi
Islamweb.net.
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/317293/%D8%A7%D9%84%D8%AA%D8%A3%D9%88%D9%
8A%D9%84-%D9%85%D8%B9%D9%86%D8%A7%D9%87%D8%8C-
%D8%A3%D9%82%D8%B3%D8%A7%D9%85%D9%87%D8%8C-%D9%85%D8%A7-
%D9%8A%D8%AC%D9%88%D8%B2-%D9%85%D9%86%D9%87-%D9%88%D9%85%D8%A7-
%D9%84%D8%A7-%D9%8A%D8%AC%D9%88%D8%B2 (19 Juli 2022).
8

makalah ini. Makna takwil ini banyak dipakai oleh ulama kurun terakhir. Ada dua

cara dalam takwil ini, yaitu:1

1) Menjelaskan kemungkinan makna dari sebuah lafaz atau perkataan.

2) Menjelaskan dalil yang mengubah makna lahir dari sebuah lafaz.

2. Contoh Takwil

ْ ُ ْ َّ ْ ُ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ َُّ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ُ ُ ٰ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ
‫ولا تجعل يدك مغلولة الى عنقك ولا تبسطها كل البسط فتقعد ملوما محسورا‬
Janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan jangan
(pula) engkau mengulurkannya secara berlebihan sebab nanti engkau menjadi
tercela lagi menyesal.2
Takwil pada ayat di atas yaitu: “yadaka maglulatan ila unuqika” yang berarti kikir.

C. Terjemah
Terjemah merupakan kata serapan dari bahasa Arab tarjamah. Kata ini

merupakan masdar dari kata kerja tarjama – yutarjimu. Dalam bahasa Arab memiliki

beberapa arti, yaitu:3

a. Penyampaian perkataan kepada yang belum mengetahuinya.

b. Tafsir atau penjelasan dari sebuah perkataan. Dalam hal ini seperti perkataan Nabi

saw tentang Ibnu Abbas bahwa dia adalah seorang Turjuma>n Alquran. Kata

turjuma>n di sini berarti penerjemah atau penafsir.


c. Tafsir sebuah perkataan dengan bahasa yang bukan bahasanya. Menurut kamus

Lisa>n al-‘Arab, turjuma>n adalah penafsir bahasa.

1
S{ala>h} ‘Abdu al-Fatta>h al-Kha>lidi>, al-Tafsi>r wa al-Ta’wi>l fi> al-Qur’a>n (Cet. 1; Yordania: Da>r
al-Nafa>is, 1996), h. 196 https://waqfeya.net/book.php?bid=11051 (19 Juli 2022).
2
QS al-Isra>’/17: 29
3
Najdah Ramad}}a>n, Tarjamatu al-Qur’an wa As\aruha fi> ma‘a>ini>hi. h.147 (19 Juli 2022).
9

d. Terjemah buku atau terjemah seseorang. Maksudnya adalah pengenalan mengenai

seseorang atau sebuah kitab. Misalnya terjemah tentang sejarah hidupnya atau

biodatanya.

e. Mengubah bahasa sebuah perkataan ke dalam bahasa lain. Dan inilah yang

dimaksud dengan terjemah pada makalah ini. Terjemah yang dimaksud ini terbagi

menjadi tiga, yaitu: terjemah huruf dengan semisalnya, terjemah huruf dengan

selainnya, dan terjemah makna. Contoh dari terjemahan huruf dengan semisalnya
dan selainnya:

ْ ُ ْ َّ ْ ُ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ َُّ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ُ ُ ٰ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ
‫ولا تجعل يدك مغلولة الى عنقك ولا تبسطها كل البسط فتقعد ملوما محسورا‬
Janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan jangan
(pula) engkau mengulurkannya secara berlebihan sebab nanti engkau menjadi
tercela lagi menyesal.1

Pada ayat di atas, terjemah huruf dengan semisalnya adalah: “janganlah

engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu”. Adapun terjemah huruf

dengan selainnya adalah maksudnya, yaitu “janganlah kikir.”

D. Perbedaan Tafsir, Takwil, dan Terjemah


Tafsir adalah penjelasan nas Alquran dengan menunjukkan dan menjelaskan
makna yang terkandung di dalam nas tersebut. Takwil adalah penjelasan nas Alquran

dengan cara mengubah makna lahir sebuah nas ke makna lain yang tidak sesuai,

dengan berdasar atas dalil. Terjemah adalah penjelasan nas Alquran dengan cara

mengubah bahasa Alquran (Arab) ke dalam bahasa lainnya.

1
QS al-Isra>’/17: 29
10

BAB III

KESIMPULAN

Tafsir, takwil, dan terjemah memiliki makna bahasa yang sama, yaitu

menjelaskan. Namun secara istilah, ketiga hal tersebut memiliki makna yang berbeda,

yaitu:

1. Tafsir adalah penjelasan nas Alquran dengan menunjukkan dan menjelaskan


makna yang terkandung di dalam nas tersebut. Makna tersebut bisa berupa hukum,

kaidah bahasa arab, atau asar hadis.

2. Takwil adalah penjelasan nas Alquran dengan cara mengubah makna lahir sebuah

nas ke makna lain yang tidak sesuai, dengan berdasar atas dalil.

3. Terjemah adalah penjelasan nas Alquran dengan cara mengubah bahasa Alquran

(Arab) ke dalam bahasa lainnya.


11

DAFTAR PUSTAKA

QS al-Baqarah/1: 1
QS al-Baqarah/1: 43
QS al-Baqarah/1: 228
QS al-Dukha>n/44: 49
QS al-Isra>’/17: 29
QS Muhammad/47: 24
al-Juday‘,‘Abdullah Ibnu Yu>suf. al-Muqaddima>t al-Asa>siyyah fi Ulu>m al-Qura’>n. Cet.
1; Beirut: Muassasah al-Rayya>n, 2001, https://www.noor-
book.com/%D9%83%D8%AA%D8%A7%D8%A8-
%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%82%D8%AF%D9%85%D8%A7%D8%
AA-
%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%B3%D8%A7%D8%B3%D9%8A%D8%
A9-%D9%81%D9%8A-%D8%B9%D9%84%D9%88%D9%85-
%D8%A7%D9%84%D9%82%D8%B1%D8%A2%D9%86-pdf (19 Juli
2022).
al-T{ayya>r, Musa>‘id Ibnu Sulaima>n. Fus}>ul fi> Us}u> l al-Tafsi>r. Cet. 1; Riyad: Da>r al-Nasyr
al-Duwali, 1993, https://www.noor-
book.com/%D9%83%D8%AA%D8%A7%D8%A8-
%D9%81%D8%B5%D9%88%D9%84-%D9%81%D9%8A-
%D8%A3%D8%B5%D9%88%D9%84-
%D8%A7%D9%84%D8%AA%D9%81%D8%B3%D9%8A%D8%B1-pdf
(19 Juli 2022).
al-Kha>lidi, S{ala>h} ‘Abdu al-Fatta>h}. al-Tafsi>r wa al-Ta’wi>l fi> al-Qur’a>n. Cet. 1;
Yordania: Da>r al-Nafa>is, 1996, https://waqfeya.net/book.php?bid=11051 (19
Juli 2022).
Ramad}}a>n, Najdah. Tarjamatu al-Qur’an wa As\aruha fi> ma‘a>ini>hi. (19 Juli 2022).
“Al-Ta’wi>l: Ma‘na>hu, Aqsa>muhu, Ma> Yaju>zu Minhu wa Ma> La> yaju>zu”, Situs Resmi
Islamweb.net.
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/317293/%D8%A7%D9%84%D8%AA%
D8%A3%D9%88%D9%8A%D9%84-
%D9%85%D8%B9%D9%86%D8%A7%D9%87%D8%8C-
%D8%A3%D9%82%D8%B3%D8%A7%D9%85%D9%87%D8%8C-
%D9%85%D8%A7-%D9%8A%D8%AC%D9%88%D8%B2-
%D9%85%D9%86%D9%87-%D9%88%D9%85%D8%A7-
%D9%84%D8%A7-%D9%8A%D8%AC%D9%88%D8%B2 (19 Juli 2022).
12

“Syarhu al-Hadi>s: Alla>humma Faqqihhu fi> al-Di>ni”, Situs Resmi Alukah.net.


https://www.alukah.net/sharia/0/119767/%D8%B4%D8%B1%D8%AD-
%D8%AD%D8%AF%D9%8A%D8%AB-
%D8%A7%D9%84%D9%84%D9%87%D9%85-
%D9%81%D9%82%D9%87%D9%87-%D9%81%D9%8A-
%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%8A%D9%86/#_ftn2 (19 Juli 2022).
TUGAS FINAL MATA KULIAH ULUMUL QUR’AN

“Tartib Al Ayat Wa Fawatih Al Suwar)”

Oleh :

DWI ERVIANA PASIMAI

80100221169

SHI 4

JURUSAN DIRASAH ISLAMIYAH

KONSENTRASI SYARIAH /HUKUM ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam yang sangat mulia. Kitab yang

diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat jibril selama

kurang lebih dua puluh tiga tahun, sebagai pedoman umat islam di penjuru dunia,

karena al-qur’an memiliki banyak keistimewaa. Selain daripada itu dalam proses

penyusunan al-Qur’an disusun secara bertahap, yaitu dimulai dari nabi Muhammad

saw, hingga pada masa Utsman bin Affan yng berhasil mengumpulkan al-Qur’an

sehingga menjadi mushaf al-qur’an, dimana al-qur’an yang hadir dihadapan dan sering

kita baca adalah mushaf dari rasm usman yang telah disetujui oleh jumhur ulama

sebagai mushaf yang tertib ayat dan surahnya berdasarkan apa yang ada pada masa

Rosullulloh., tetapi banyak penyusunan surah dalam al-Qur’an yang menimbulkan

perbedaan dan memberikan kedudukan dalam setiap surah. Namun ada pula beberapa

ulama yang berpendapat lain tentang susunan surah dalam mushaf ustmani tersebut.

Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan mushaf para salaf (para sahabat sebelum

al-Qur’an ini dikumpulkan) dalam hal penertiban surah.1

1
Anwar Rusydie. Pengantar Ulumul Quran. (Yogyakarta: IRCiSoD.2015). h.9.

2
B. Rumusan Masalah

1. Tartib Al Ayat dan pengertian tartib Al Suwar !

2. Apa pengertian Fawatih As suwar!

3. Macam macam fawati A Suwar !

4. Pengertian Wa fawatih As Suwar !

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tartib Al Ayat dan Pengertian Tartib Al Suwar

1. Tartib Al Ayat

Al-qur’an terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun

yang panjang. Ayat adalah sejumlah kalam Allah SWT yang terdapat dalam sebuah

surah dari Al Qur’an. Surah adalah sejumlah ayat Qur’an yang mempunyai permulaan

dan kesudahan. Tertib atau urutan ayat-ayat Qur’an ini adalah tauqifi, ketentuan dari

Rasulullah SAW sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah ijma,

diantaranya Az-Zarkasy dalam Al-Burhan dan Abu Ja’far ibnu Zubair dalam

munasabahnya yang menyatakan: tertib ayat-ayat dalam surah-surah itu berdasarkan

tauqifi dari Rasulullah SAW dan atas perintahnya, tanpa diperselisihkan kaum

muslimin. As-Suyuti telah memastikan hal itu, ia berkata: ijma’ dan nas-nas yang

serupa menegaskan tertib ayat-ayat itu adalah taufiqi, tanpa diragukan lagi.2

Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah SAW dan menunjukan

kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakan dalam surah atau ayat-ayat yang

turun sebelumnya. Lalu Rasulullah SAW memerintahkan kepada para penulis wahyu

untuk menuliskan di tempat tersebut. Ia menyatakan kepada mereka: “letakanlah ayat-

ayat ini pada surah yang di dalamnya di sebutkan begini dan begini”, atau letakkanlah

2
Anwar Rusydie. Pengantar Ulumul Quran. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015).h. 56

4
ayat ini ditempat ini”. Susunan dan penetapan ayat tersebut bagaimana yang

disampaikan para sahabat kepada kita. Usman bin Abil’ As berkata: “ aku tengah duduk

di samping Rasulullah SAW, tiba- tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali

seperti semula kemudian katanya, Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan

agar aku meletakkan ayat ini di tempat ini dari surah ini’ sesungguhnya Allah

SWT menyuruh (kamu) berperilaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada

kaum terabat”(Q.S. Surah an-Nahl:90).

Usman berhenti mengumpulkan Qur’an pada tempat setiap ayat dari sebuah

surah dalam Al-Qur’an dan sekalipun ayat itu telah dimansukh hukumnya, tanpa

mengubahnya. Ini menunjukan bahwa penulisan ayat dengan tertib seperti ini adalah

tauqifi.

Dengan demikian tertib ayat-ayat Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang

beredar diantara kita adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi. As-Suyuti, setelah

menyebutkan hadits-hadits berenaan dengan surah-surah tertentu mengemukakan:

pembacaan surah-surah yang dilakukan Nabi dihadapan para sahabat iitu menunjukan

bahwa tertib atau susunan ayat adalah tauqifi. Sebab, para sahabat tidak akan

menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka dengar dari bacaan

Nabi.3

3
Syadali Ahmad dan Ahmad Rofi’i. Ulumul Quran II. (Bandung: cv. pustaka. 1997).
h. 45.

5
Tartib al-Ayat Al-Qur’an terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang

pendek maupun yang panjang. Ayat adalah sejumlah qalam Allah yang terdapat dalam

sebuah surah dari al-Qur’an. Surah adalah sejumlah ayat al-Qur’an yang mempunyai

permulaan dan kesudahan. Tertib atau urutan ayat-ayat al-Qur’an ini adalah tauqifi dari

Rasulullah saw. (ketentuan dari Rasulullah saw. Atas petunjuk dari Allah melalui

malaikat Jibril).4

Sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah ijma’, di antaranya

adalah al-Imam al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an dan Abu

Ja’far Ibn Zubair2 dalam kitabnya al- Munasabah, di mana ia mengatakan: “Tertib

ayat-ayat di dalam surah itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya,

tanpa diperselisihkan kaum muslimin. ”Al-Imam al-Sayuti telah memastikan hal itu, ia

berkata: “Ijma’ dan nas-nas serupa menegaskan, tertib ayat-ayat dan surah-surah itu

adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi”. Jibril menurunkan beberapa ayat kepada

Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat di mana ayat-ayat itu harus diletakkan

dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan

kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Ia mengatakan

kepada mereka: “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang di dalamnya disebutkan

begini dan begini,” atau “Letakkanlah ayat ini di tempat itu.”.

4
Al-Syaikh al-'Allamat Dr. Ibrahim 'Abd al-Rahman Khalifah, Bahsan H{aula Suwar
al-Qur’an: Ism al-Surat Yumassil Ruhaha al-‘Am Wa Tartib Nuzul al- Suwar al-
Qur’aniyyah, (Cet.I; al-Qahirah-Misr: Dar al-Basa’ir, 1425 H/2004 M), h.5-7.

6
2. Pengertian Tartib Al Suwar

Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surah-surah dalam al-Qur’an:

1. Ada yang mengatakan bahwa tertib surah-surah itu adalah tauqifi dan ditangani

lansung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah

Tuhan.

2. Ada yang mengatakan bahwa tertib surah-surah itu berdasarkan ijtihad para

sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka.

Misalnya mushaf Ali bin Abi Thalib disusun menurut tertib nuzul, yakni

dimulai dengan iqra’ kemudian surah al-muddatsir, dan seterusnya.

3. Aada yang menyatakan bahwa tertib surah-surah itu adalah tauqifi dan

sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat. Hal ini karena terdapat dalil

yang menunjukkan tertib sebagian surah pada masa Nabi.5

Surat secara etimologi memiliki beberapa arti,sebagai mana dikatakan oleh

penulis al qamus “kata assuarah berati “al mazzilah”(posisi).surah dalam alquran telah

dikenal karena posisinya pada suatu tempat secara berdampingan. Masing masing

terputus dengan yang lain juga bermakna as syaraf “(kemuliaan).sesuatu yang

menonjol dan baik sari suatu bangunan,tanda dan pagar.

5
Mardan. Al-Qur’an Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh,
(Jakarta; Pustaka Mapan, 2009). h. 23

7
Secara terminologis surat berarti sekelompok ayat yang mandiri yang

memilikiawal dan akhir.mereka mengatakan bahwa hal itu diambil dari makna

“tembok yang membatasi suatu kota”.hal itu karena didalamnya terdapat peketakan

suatu kata disamping kata yang lain,suatu ayat diamping suatu ayat yang lain.ibarat

suatu tembok,yang merupakan peletakan dan penyusunan data baris demi baris.

Ada kalanya didalam surat terdapat makana luhur dan tinggi secara

maknawiyah,yang menyerupai ketinggian tembok serta ada kalanya karena surat

merupakan benteng dan penjagaan bagi Muhammad SAW.dan apa yang dibawanya

sepertinal quran dan agama islam dari segi keberadaanya sebgai mukjizat yang

melehkan setiap yang sombong.Allah swt akan menampakkan kebenaran yang benar

dan menamoakkan kesalahan yang salah.meski para pendosa tidak suka ini lebih

menyerupai bentengi yang membatasi suatu kota yang menjaganya dari sergapan

musuh.surat-surat dalam al quran berbeda-beda dari segi panjang atau pendeknya yang

terpendek adalah surat al kautsar yang terdiri dari 3 ayat pendek,yang terpanjang adalah

surat al baqarah yang terdiri dari 285 ayat meruoakan deretan “ath thiwal” yang

terpanjang yang didalamnya terdapat ayat tentang hutang,yang meruoakan ayat

terpanjang sebagaimana telah dijelaskan diantara surat al baqarah denga surat al kautsar

terdapat banyak surat yang berbeda-beda dari segi panjang atau pendeknya.pembataan

8
panjang atau pendek merupakan wewenang allah semata kareana suatu hikmah luhur

yang diketahui oleh yang diberi pengetahuan olehnya.6

3. Hukum Menghormati Tertib Surat-Surat Al-Quran

Selaku umat islam wajib menghormati tertib surat-surat Al-Qur’an yang telah

tersusun didalam “mushaf usman” sebagaimana yang dimiliki umat Islam; terlepas dari

persoalan : tertib suratnya berdasarkan taufiqi atau ijtihad? Khususnya di dalam

menulis mushaf haruslah tertib,sebab tulisan mushaf usmani itu telah mencapai ijma’

sahabat, bahkan ijma’ umat islam seluruh dunia. Sedang ijma (konsensus) itu sendiri

biasa menjadi dalil itu sendiri bisa menjadi dalil hukum agama. Kita tidak boleh

menentang ijma’ sebab bisa menimbulkan fitnah dan bahaya bagi Islam dan umat

Islam. Mengenai tertib surat-surat Al-Qur’an dalam bacaan, tidak wajib hukumnya,

melainkan sunat.

4. Tertib Surat Menurut Urutan Turunnya

Al Quranul karim turun melalui dua tahap. Tahap pertama, diturunkan secara

lengkap dari Lauhul Mahfudz sampai kelangit dunia (Baitul Izzah). Barulah setelah

berada dilangit dunia, kemudian secara sedikit demi sedikit diturunkan kepada

Rasulullah melalui malaikat Jibril. Waktu yang dibutuhkan relatif lama yaitu 22 tahun

2 bulan 22 hari.

6
https://wifqi22.wordpress.com/2018/11/21/makalah-ulumul-quran-tentang-tartib-
al-ayat-wa-tartib-as-suwar/

9
Allah sengaja menurunkan Al Quran sedikit demi sedikit supaya mudah dihafal

dan diamalkan. Turunnya Al Quran pun disesuaikan dengan peristiwa yang terjadi di

kala itu. Hal ini menjadikan makna Al Quran semakin berkesan karena menjadi

jawaban dari setiap berbagai permasalahan didunia dan diakhirat.

Saat ayat Al Quran turun kepada Rasulullah, maka Rasulullah segera

memerintahkan juru tulisnya untuk menuliskannya sesuai letak yang telah diwahyukan

pula oleh malaikat jibril. Jadi bukan hanya isi kandungan wahyu yang disampaikan

oleh malaikat jibril tetapi juga tata letak penulisannya. Begitu terus hingga turun 114

surat yang urutannya sama dengan yang berda di Lauhul Mahfudz.

Jadi, tata letak urutan mushaf Al Quran sesuai dengan wahyu yang diterima

oleh Rasulullah. Malaikat Jibril menunjukan tata letak penulisannya sebelum atau

sesudah ayat yang lainnya, kemudian Rasulullah menunjukkan kepada sahabat yang

bertugas menuliskannya. Demikian alasan dibalik tidak sesuainya urutan mushaf

dengan urutan wahyu yang turun. Itu karena perintah dari Allah melalui perantara

malaikat Jibril. Maka sebaiknya kita tidak mempermasalahkannya tetapi mempelajari

Al Quran beserta tafsir dan asbabun nuzulnya.

B. Pengertian Fawatih As-Suwar

Menurut bahasa, fawatih adalah jama’ dari kata fatih atau fawatih yang berarti

awalan/pembuka. Sedangkan suwar adalah jama’ dari kata surah yang berarti

sekumpulan ayat-ayat Al-Qur’an yang diberi nama tertentu.

Jadi, fawatih as-suwar berarti beberapa pembuka dari surah-surah Al-Qur’an /

beberapa macam awalan dari surah-surah Al-Qur’an. Sebab, seluruh surah Al-Qur’an

10
yang berjumlah 114 buah itu dibuka dengan 10 pembukaan, dan tidak ada satu

surahpun yang keluar dari 10 pembukaan itu. Dan tiap-tiap macam pembukaan itu

mempunyai rahasia/hikmah sendiri-sendiri. Diantara pembukaan itu ada yang

berbentuk al-muqatha’ah, kata, maupun kalimat.7

Istilah fawatih as-suwar sering dijumbuhkan orang dengan al-hurufull

muqatha’ah. Diantaranya adalah Dr. Shubhi Ash-Shalih dalam kitabnya Mabahits Fi

‘Ulumil Qur’an. Karena itu, perlu ditegaskan bahwa fawatih as-suwar itu berbeda

dengan hurufull muqatha’ah yang hanya mempunyai salah satu macam dari fawatih

as-suwar yang ada 10 macam itu.8

C. Macam-macam Fawatih As-Suwar

Menurut Imam Al-Qasthalani dalam kitabnya Lathaiful Iayarati, fawatihush

suwar dibedakan menjadi 10 macam, yaitu:

1. Pembukaan dengan pujian kepada Allah SWT (Al-Istiftaahu Bits

Tsanaa’i)

a. Menetapkan sifat-sifat terpuji (Al-Itsbaabu Sifaatil Maddhi) dengan

menggunakan:

1. hamdalah, yang terdapat pada 5 surah, yaitu:

a. Surah Al-Fatihah dengan lafal “ َ‫ب ْالعَالَمل يْن‬ ‫“ أَ ْل َح ْمد ل َ ل‬


‫ُِل َر ل‬

7
Abu Djalal, Ulumul Qur’an, Surabaya:Dunia Ilmu, 2012.h. 23
8
https://wifqi22.wordpress.com/2018/11/21/makalah-ulumul-quran-tentang-tartib-al-
ayat- wa-tartib-as-suwar/ diakses pada tanggal 05 Juni 2022 pukul 19.00 wita

11
َ ‫ت َواأل َ ْر‬
b. Surah Al-An’am dengan lafal “ ‫ض‬ َ ‫ي َخلَقَ الس‬
‫َّموا ل‬ ‫“أ َ ْل َح ْمد ل ل‬
ْ ‫ُِل الَّ لذ‬

َ ‫ع ْب لد له ْالك‬
c. Surah Al-Kahfi dengan lafal “ ‫لتب‬ َ ‫ي أَ ْنزَ َل‬
َ ‫علَى‬ ْ ‫ُِل الَّ لذ‬
‫”أَل َح ْمد ل ل‬

‫ت َواأل َ ْر ل‬
d. Surah Saba’ dengan lafal “‫ض‬ َ ‫لي لَهُ َمافلى الس‬
‫َّموا ل‬ ‫“أ َ ْل َح ْمد ل ل‬
ْ ‫ُِل الَّذ‬

َ ‫واأل َ ْر‬
e. Surah Fathir dengan lafal “ ‫ض‬ ْ ‫ت‬ ْ ‫“ أَل َح ْمد َُِل الَّ لذ‬
َ ‫ي فَاطل لرالس‬
‫َّموا ل‬

2. tabaaraka, yang terdapat dalam 2 surah, yaitu:

َ َ‫ي ن ََّز َل ْالفُ ْرقأن‬


َ ‫علَى‬
a. Surah Al-Furqan dengan lafal ” ‫ع ْب لد له‬ ْ ‫اركَ الَّذ‬
َ َ‫”تَب‬

b. Surah Al-Mulk dengan lafal” ُ‫لي بليَ لد له ْال ُم ْلك‬


ْ ‫اركَ الَّذ‬
َ َ‫“ تَب‬

b. Mensucikan Allah SWT dari sifat-sifat negatif (Tanziihu ‘An Shifatin

Nuqshaan) dengan menggunakan lafadz tasbih yang terdapat dalam 7 surah,

yaitu:

1. Surah Al-Isra’ dengan lafal

ْ ‫سبْحنَ الَّذ‬
‫لي اَسْرى بلعَ ْب لد له لَي ًْل‬ ُ
“ maha suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam”.
2. Surah Al-A’la dengan lafal
َ ‫ح اس َْم َربلكَ األَع‬
‫ْلى‬ ‫سبل ل‬
َ
“ sucikanlah nama Tuhanmu yang paling tinggi”.
3. Surah Al-Hadid dengan lafal
‫ت َواأل َ ْر ل‬
‫ض‬ ‫ِل َمافلى السَّم َوا ل‬
‫سبَّ َح ل ل‬
َ
“ semua yang ada dilangit dan yang ada dibumi bertasbih pada Allah ( menyatakan
kebesaran Allah”.
4. Surah Al-Hasyr dengan lafal
‫ت َو َما فلى األ َ ْر ل‬
‫ض‬ ‫َّموا ل‬
َ ‫ِل مافلى الس‬
‫سبَّ َح ل ل‬
َ
“ telah bertasbih kepada Allah apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi”.
5. Surah Al-Shaff dengan lafal
‫ت َو َما فلى اًأل َ ْر ل‬
‫ض‬ ‫َّموا ل‬
َ ‫ِل َما فلى الس‬
‫سبَّ َح ل ل‬
َ

12
“ telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada dilangit dan apa saja yang ada
dibumi”.

6. Surah Al-Jum’ah dengan lafal


‫ت َو َما فلى األ َ ْر ل‬
‫ض‬ ‫َّموا ل‬
َ ‫ِل ما فلى الس‬
‫سبل ُح ل ل‬
َ ُ‫ي‬
“ telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada dilangit dan apa saja yang ada
dibumi”.
7. Surah Al-Taghabun dengan lafal
‫ت َوما فلى األ َ ْر ل‬
‫ض‬ ‫ِل ما فلى السَّموا ل‬
‫سبل ُح ل ل‬
َ
“ telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada dilangit dan apa saja yang ada
dibumi”.
2. Pembukaan dengan huruf-huruf yang terputus-purus (Istiftaahu Bil
Huruufi Al-Muqaththa’ati).
Pembukaan dengan huruf-huruf ini terdapat dalam 209 surah dengan memakai
14 huruf dengan tanpa diulang, yakni: hamzah, ha’, ro’, sin, shod, tho’, ‘ain, qaf, kaf,
lam, mim, nun, ha’, ya’.
Pembukaan dengan huruf-huruf tersebut dalam pembukaan surah-surah Al-
Qur’an disusun dalam 14 rangkaian, terdiri dari 5 kelompok, yaitu:
a. Terdiri atas satu huruf, terdapat pada 3 tempat; Shad (surah Shad), Qaf (surah
Qaf), dan Nun (surah Al-Qalam).
b. Terdiri atas dua huruf, terdapat pada sembilan tempat; ‫( حم‬Q.S. Al Mu’min,
Q.S. As Sajdah, Q.S. Az Zuhruf, Q.S. Ad Duhkan, Q.S. Al Jatsiyah, dan Q.S.
Al Ahqaf); ‫( طه‬Q.S. Thaha); ‫( طس‬Q.S. An Naml); dan ‫( يس‬Q.S. Yaasin).
c. Terdiri atas tiga huruf, terdapat pada tiga belas tempat; ‫( الم‬Q.S. Al Baqoroh,
Q.S. Ali Imron, Q.S. Ar Rum, Q.S. Lukman, dan Q.S. Sajdah); ‫( الر‬Q.S. Yunus,
Q.S. Hud, Q.S. Ibrahim, Q.S. Yusuf, dan Q.S. Al Hijr); dan ‫( طسم‬Q.S. Al
Qoshosh dan Q.S. As Syu’ara).
d. Terdiri atas empat huruf, terdapat pada dua tempat; yakni ‫( المر‬Q.S. Ar Ra’du)
dan ‫( المص‬Q.S. Al A’raf).

13
e. Terdapat atas lima huruf, terdapat pada dua tempat; ‫( كهيعص‬Q.S. Maryam)
dan ‫( حم عسق‬Q.S. As Syu’ra).9

3. Pembukaan dengan Nida’/panggilan (Al-Istiftaahu Bin Nidaa’).


a. Nida untuk Nabi ‫يا أيها النبي‬, yang terdapat dalam Q.S. Al Ahzab, At Tahrim dan
At Thalaq. ‫ ياأيها المزمل‬dalam Q.S. al Muzammil dan ‫ ياأيها المدثر‬dalam Q.S. Al
Mudatsir.
b. Nida untuk kaum mukminin dengan lafadz ‫ ياأيها الذين امنوا‬terdapat dalam Q.S. Al
Maidah, Q.S. Al Mumtahanah dan Al Hujurat.
c. Nida untuk umat manusia ‫ ياأيها الناس‬terdapat dalam Q.S. An Nisa dan Q.S. Al
Hajj.
4. Pembukaan dengan Jumlah Khabariyah (Al-Istiftaahu Bil Jumalil
Khabariyyati)
Jumlah khabariyah dalam pembukaan surat ada dua macam, yaitu :
a. Jumlah Ismiyyah, terdapat 11 surat, yaitu:
ُ ‫“ بَ َرا َءةٌمل نَ ّللال َو َر‬
1. Surah At-Taubah dengan lafal ” ‫س َو لل له‬
2. Surah An-Nur dengan lafal ” ‫س ْو َرة ٌ اَ ْنزَ ْلن َها َوفَ َرضْن َها‬
ُ “
‫“ تَ ْن لز ْي ُل الكلت ل‬
3. Surah Az-Zumar dengan lafal ” ‫ب مل نَ ّللال ال َع لزي لْزال َحكي لْم‬
4. Surah Muhammad dengan lafal ” ‫س لب ْي لل ّللال‬َ ‫ع ْن‬ َ ‫“ ا َّل لذيْنَ َكف َُر َوا َو‬
َ ‫صد ُّْوا‬
5. Surah Al-Fath dengan lafal ” ‫“ لإ َّنا َفتَ ْحنَا َلكَ فَتْ ًحا ُم لب ْي ًنا‬
6. Surah Ar-Rahman dengan lafal ” َ‫علَّ َم الٌقُ ْران‬ َ ‫لرحْم ُن‬ َّ َ ‫“ ا‬
7. Surah Al-Haqqah dengan lafal ” ُ‫“ ْال َحآقَّةُ َماال َحآقَّة‬
8. Surah Nuh dengan lafal ” ‫س ْلنَانُ ْو ًحا لإلَى قَ ْومل له‬
َ ‫“ لإنَّاا َ ْر‬
9. Surah Al-Qadr dengan lafal ” ‫“ لإنَّااَ ْنزَ ْلنهُ فلى لَ ْيلَةلالقَد لْر‬
10. Surah Al-Qaqi’ah dengan lafal ” ُ ‫عة‬ ْ ‫عةُ َم‬
‫االقَ ل‬
َ ‫ار‬ ‫“ أ َ ْالقَ ل‬
َ ‫ار‬
َ ‫“ لإنآَا َ ْع‬
11. Surah Al-Kautsar dengan lafal” ‫ط ْينَاكَ الك َْوث َ َر‬

9
Abu Djalal, Ulumul Qur’an, Surabaya:Dunia Ilmu, 2012.h. 44-46

14
b. Jumlah Fi’liyyah, terdapat dalam 12 surat, yaitu :
1. Surah Al-Anfal dengan lafal ” ‫ع لن األ َ ْنفا لل‬
َ َ‫“ يَ ْسئَلُ ْونَك‬
2. Surah An-Nahl dengan lafal ” ُ‫“ أَت َى أَ ْم ُرّللال فَ َلت َ ْست َع لجلُ ْوه‬
3. Surah Al-Anbiya’ dengan lafal ” ‫سابُ ُه ْم‬ ‫ب لللنَّ ل‬
َ ‫اس حل‬ َ ‫“ إل ْقت ََر‬
4. Surah Al-Mu’minun dengan lafal ” َ‫“ قَدْاَ ْفلَ َح ْال ُمؤْ مل نُ ْون‬
5. Surah Al-Qamar dengan lafal ” ‫عةُ َوا ْنش ََّق القَ َم ُر‬ ‫“ إل ْقت ََربَ ل‬
َ ‫ت السَّا‬
6. Surah Al-Mujadilah dengan lafal ” َ‫سمل َع ّللاُ قَ ْو َل الَّتلى ت ُ َجا لدلُك‬ َ ْ‫“ قَد‬
ٍ ‫سآئل ٌل بلعَذَا‬
7. Surah Al-Ma’arij dengan lafal ” ‫ب َواق ٍلع‬ َ ‫سأ َ َل‬ َ “
8. Surah Al-Qiyamah dengan lafal ” ‫“ ََلأ ُ ْق لس ُم بليَ ْو لم ال لقيَا َم لة‬
9. Surah Al-Balad dengan lafal ” ‫“ ََلأ ُ ْق لس ُم بلهذَ ْالبَلَ لد‬
10. Surah Abas dengan lafal ” ‫س َوت ََولَّى‬
َ َ‫عب‬
َ “
11. Surah Al-Bayyinah dengan lafal ” َ‫ب َو ْال ُم ْش لر لكيْنَ ُم ْنف لَكيْن‬
‫لَ ْم يَ ُك لن الَّ لذيْنَ َكف َُر ْوامل ْن أَ ْه لل الكلت ل‬
12. Surah At-Takatsur dengan lafal ” ‫” اَ ْله ُك ُم الـتَّكَاث ُ ُر‬

5. Pembukaan dengan sumpah/qasam (Al-Istiftaahu Bil Qasami).


Terdapat dalam 15 surah, yaitu:
a. Sumpah dengan benda-benda angkasa, terdapat dalam 8 surah yaitu:
1. Surah Ash-Shaaffat dengan lafal ” ‫صفَّا‬
َ ‫ت‬
‫صف ل‬
َّ ‫“ َوال‬
2. Surah An-Najm dengan lafal ” ‫“ َوالنَّ ْج لم لإذَا ه ََوى‬
3. Surah Al-Mursalaat dengan lafal ” ‫ت ع ُْرقًا‬ َ ‫“ َو ْال ُم ْر‬
‫سل ل‬
4. Surah An-Nazi’at dengan lafal “‫ت غ َْرقًا‬
‫“ َوالنَّ لزع ل‬
5. Surah Al-Buruj dengan lafal ” ‫ج‬
‫ت الب ُُر ْو ل‬‫س َماءل ذَا ل‬ َّ ‫“ َوال‬
6. Surah Ath-Thariq dengan lafal ” ‫ق‬ ‫ار ل‬ َّ ‫س َماءل َوال‬
‫ط ل‬ َّ ‫“ َوال‬
َ ‫“ َوالَفَ ْج لر َولَيَا ٍل‬
7. Surah Al-Fajr dengan lafal ” ‫ع ْش ٍر‬
َّ ‫“ َوال‬
8. Surah Asy-Syams dengan lafal ” ‫ش ْم لس َوضُح َها‬
b. Sumpah dengan benda-benda bawah, terdapat dalam 4 surah yaitu:
‫“ َوالذَّ لاري ل‬
1. Surah Adz-Dzariyat dengan lafal ” ‫ت ذَ ْر ًوا‬
ُ ‫ب َم ْس‬
2. Surah Ath-Thur dengan lafal ” ‫ط ْز ٍر‬ ُّ ‫“ َو‬
ٍ ‫الط ْو لر َوكلت‬
3. Surah At-Tin dengan lafal ” ‫الز ْيت ُ ْو لن‬
َّ ‫“ َوالتلي لْن َو‬

15
4. Surah Al-‘Adiyat dengan lafal ” ‫ض ْب ًحا‬ ‫“ َو ْالعدلي ل‬
َ ‫ت‬
c. Sumpah dengan waktu, terdapat dalam 3 surah yaitu:
1. Surah Al-Lail dengan lafal ” ‫“ َوالَّ ْي لل ألذَايَ ْغشَى‬
2. Surah Adh-Dhuha dengan lafal ” ‫ض َحى‬ ُّ ‫“ َوال‬
ْ َ‫“ َو ْالع‬
3. Surah Al-‘Ashr dengan lafal ” ‫ص لر‬

6. Pembukaan dengan syarat (Al-Istiftaahu Bis-Syarthi).


Syarat-syarat yang dipakai Allah sebagai pembukaan surah-surah Al-Qur’an
ada 2 macam dan digunakan dalam 7 surah, sebagai berikut:
a. Syarat yang masuk pada jumlah ismiyah, dipakai diawal 3 surah diantaranya:
ْ ‫س ُك لو َر‬
1. Surah At-Takwir dengan lafal ” ‫ت‬ َّ ‫“ إلذَال‬
ُ ‫ش ْم‬
َ َ‫“ إلذَالشمآ ٌءف‬
ْ ‫ط َر‬
2. Surah Al-Infithar dengan lafal ” ‫ت‬
َ ‫“ إْذَالسَّمآ ٌءا ْن‬
ْ َّ‫شق‬
3. Surah Al-Insyiqaq dengan lafal ” ‫ت‬
b. Syarat yang masuk pada jumlah fi’liyah, dipakai diawal 4 surah, diantaranya:
1. Surah Al-Waqi’ah dengan lafal ” ‫الواقلعَ لة‬
َ ‫ت‬ ‫“ لإذَا َوقَعَ ل‬
2. Surah Al-Munafiqun dengan lafal ” َ‫“ لإذَا َجا َءكَال ُمن لفقُ ْرن‬
3. Surah Az-Zalzalah dengan lafal ” ‫ض ُز ْلزَ الَ َها‬ ‫از ْل لزلَ ل‬
ُ ‫ت األ َ ْر‬ ُ َ‫“ لإذ‬

‫ص ُرّللال َو ْالفَتْ ل‬
4. Surah An-Nashr dengan lafal ” ‫ح‬ ْ َ‫“ لإذَا َجا َءن‬

7. Pembukaan dengan fi’il amar (Al-Istiftaahu Bil Amri).


Ada 6 fi’il amar yang dipakai untuk membuka surah-surah al-Qur’an, yang
terdiri dari 2 lafal dan digunakan untuk membuka 6 surah-surah sebagai berikut:
a. Dengan fi’il Amar ْ‫ لإ ْق َرأ‬yang hanya untuk membuka satu surah yaitu Surah Al-
‘Alaq.
b. Dengan fi’il amar ‫قُ ْل‬, yang digunakan dalam 5 surah sebagai berikut:
‫ي أَنَّهُ ا ْست َ َم َع نَف ٌَرمل نَ ل‬ ُ
1. Surah Al-Jinn dengan lafal ” ‫الج لن‬ َ ‫“ قُ ْل أ ْوحل‬
َّ َ‫ي لإل‬
2. Surah Al-Kafirun dengan lafal” َ‫” قُ ْل يآأَيُّ َهاالكف ُلر ْون‬
3. Surah Al-Ikhlash dengan lafal ” ٌ‫“ قُ ْل ه َُوّللاُ أ َ َحد‬
‫“ قُ ْل أَع ُْوذُ لب َر ل‬
‫ب الفَلَ ل‬
4. Surah Al-Falaq dengan lafal ” ‫ق‬

16
‫“ قُ ْْلَع ُْوذُبل َر ل‬
‫ب النَّ ل‬
5. Surah An-Nas dengan lafal ” ‫اس‬
8. Pembukaan dengan pertanyaan (Al-Istiftaahu Bil Istifhaami).
a. Pertanyaan positif (Al-Istifhaamu Al-Muhiibiyyu), yaitu bentuk pertanyaan
yang dengan kalimat positif yang tidak ada alat negatifnya. Terdapat dalam 4
surah yaitu:
1. Surah Ad-Dahru, dengan lafal:
” ‫ان حل ْي ٌن مل نَ الدَّ ْه لر‬
‫س ل‬َ ‫اإل ْن‬ َ ‫” ه َْل أَتَى‬
‫علَى ل‬
“ bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa”.
2. Surah An-Naba’, dengan lafal:
َ . َ‫ع َّم يَتَسآ َءلُ ْون‬
” ‫عنلالنَّبَإلالعَظل ي لْم‬ َ ”
“ tentang apakah mereka saling bertanya-tanya. Tentang berita yang besar”.
3. Surah Al-Ghasyiyyah, dengan lafal:
” ‫سى‬ ُ ‫” ه َْل أَتكَ َحدَي‬
َ ‫ْث ُم ْو‬
“ sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan”.
4. Surah Al-Ma’un, dengan lafal:
” ‫الدي لْن‬ ْ ‫” أَ َر َءيْتَ الَّذ‬
‫لي يُكَذلبُ بل ل‬
“ tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama”.

b. Pertanyaan negatif, yaitu pertanyaan yang dalam kalimat negatif. Diantaranya:


َ َ‫“ أَلَ ْم نَ ْش َرحْ لَك‬
1. Surah al-Insyirah dengan lafal ” َ‫صد ْْرك‬
2. Surah Al-Fiil dengan lafal ” ‫ب ال لف ْي لل‬ ْ َ ‫ْف فَ َع َل َربُّكَ لبأ‬
‫صح ل‬ َ ‫“ أَلَ ْم ت ََر َكي‬

9. Pembukaan dengan do’a (Al-Istiftaahu Bid Du’aai).


a. Do’a atau harapan yang berbentuk kata benda (Ad-Du’aaul Ismiyyu)ada di 2
surat yaitu:
1. Surah Al-Muthaffifin, dengan lafal:
َ ‫” َو ْي ٌل ل ْلل ُم‬
“ َ‫طف للفيْن‬
“ kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang”.
2. Surah Al-Humazah, dengan lafal:

17
” ٌ ‫“ َو ْي ٌل لل ُك لل هُ َمزَ ةٍ لُّ َمزَ ة‬
“ kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela,
b. Do’a atau harapan yang berbentuk kata kerja (Ad-Du’aaul Fi’liyu) membuka
ٍ ‫َّــت يَدَاأَبلى لَ َه‬
satu surah saja yaitu surah Al-Lahab ” َّ‫ب َوتَب‬ ْ ‫تَب‬

10. Pembukaan dengan alasan (Al-Istiftaahu Bit-Ta’lili).


Hanya terdapat dalam surah Al-Quraisy, dengan lafal:
” ‫” لإليْلفل قُ َري ٍْش‬
“karena kebiasaan orang-orang Quraisy”.10

10
Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung :Pustaka Setia. 2013.h. 30-31

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ayat adalah Suatu kumpulan kata yang mempunyai awal dan akhir, yang

termasuk didalam suatu surah dari al-Qur’an. Tertib ayat adalah semua ayat yang

berada pada tempatnya sendiri dalam suatu surah. Tertib atau urutan ayat-ayat al-

Qur’an adalah taukifi, ketentuan dari Rasulullah SAW.

Surah adalah Sekelompok (sekumpulan) ayat-ayat al-Qur’an yang berdiri

sendiri, yang mempunyai permulaan dan penghabisan. Tertib surah adalah semua surat

yang terdapat di dalam al-qur’an berada pada posisinya masing-masing dan susunan

ini telah ditetapkan dengan ijtihad, sehingga hukum membacanya secara berurutan

tiaklah wajib. Ulama berbeda pendapat mengenai tartibul suwar ini, jumhur ulama

berpendapat bahwa tartibul suwar merupakan tauqifi, yang lainnya berpendapat hal itu

adalah ijtihadi, sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa sebagiannya taukify

dan sebagian yang lain adalah ijtihad.

Fawatih as-suwar berarti beberapa pembuka dari surah-surah Al-Qur’an /

beberapa macam awalan dari surah-surah Al-Qur’an. Sebab, seluruh surah Al-Qur’an

yang berjumlah 114 buah itu dibuka dengan 10 pembukaan, dan tidak ada satu

surahpun yang keluar dari 10 pembukaan itu. Dan tiap-tiap macam pembukaan itu

mempunyai rahasia/hikmah sendiri-sendiri. Diantara pembukaan itu ada yang

berbentuk al-muqatha’ah, kata, maupun kalimat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abu Djalal, Ulumul Qur’an, Surabaya:Dunia Ilmu. 2012.

Anwar Rusydie.Pengantar Ulumul Quran. Yogyakarta: IRCiSoD.2015.

Al-Syaikh al-'Allamat , dkk. Suwar al-Qur’an: Ism al-Surat Yumassil Ruhaha al-‘Am

Wa Tartib Nuzul al- Suwar al-Qur’aniyyah, Jakarta: Cet.I. al-Qahirah-Misr:

Dar al-Basa’ir. 2004

Mardan.. Al-Qur’an Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh, Jakarta;

Pustaka Mapan. 2009.

Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung :Pustaka Setia. 2013.

Syadali Ahmad dan Ahmad Rofi’i. 1997. Ulumul Quran II. Bandung: cv. Pustaka

Situs :

https://wakidyusuf.wordpress.com/2016/04/14/pengumpulan-penyusunan-tertib-

ayat-surat-al-quran/

https://wifqi22.wordpress.com/2018/11/21/makalah-ulumul-quran-tentang-tartib-al-

ayat- wa-tartib-as-suwar/

20
TUGAS MATA KULIAH ULUMUL QURAN

“AL-MUHKAM WA AL-MUTASYABIH”

Oleh :

MARDIANTI M.

80100221170

SHI 4

JURUSAN DIRASAH ISLAMIYAH

KONSENTRASI SYARIAH /HUKUM ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab. Karena itu, untuk memahami


hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an diperlukan pemahaman
dalam kebahasaan. Para ulama’ yang ahli dalam bidang ushul fiqh, telah
mengadakan penelitian secara sesama terhadap nash-nash Al-Qur’an, lalu hasil
penelitian itu diterapkan dalam kaidah-kaidah yang menjadi pegangan umat
Islam guna memahami kandungan Al-Qur’an dengan benar.

Adapun ilmu yang mempelajari tentang muhkam dan mutasyabih adalah


Ilmu muhkam wal Mutasyabih. Ilmu ini dilatar belakangi oleh adanya
perbedaan pendapat ulama tentang adanya hubungan ayat atau surat yang lain.
Sementara yang lain mengatakan bahwa didalam Al-Qur’an ada ayat atau surat
yang tidak berhubungan. Oleh karenanya, suatu ilmu yang mempelajari ayat
atau surat Al-Qur’an cukup penting kedududkannya. Sementara itu muhkam
dan mutasyabih adalah Sebuah kajian yang sering menimbulkan kontroversial
dalam sejarah penafsiran Al-Qur’an, karena perbedaan ’interpretasi’ antara
ulama mengenai hakikat muhkam dan mutasyabih.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Muhkam Dan Mutasyabih?
2. Bagaimana Sejarah Ayat Muhkam dan Mutasyabih?
3. Bagaimana Karakteristik Al-Muhkan Dan Al-Mutasyabih?
4. Bagaimana Perbedaan Pendapat Para Ulama Terhadap Muhkam
Dan Mutasyabih?
5. Apa Yang Menyebabkan Adanya Ayat Mutasyabih?
6. Sebutkan Macam-Macam Ayat Muhkam Dan Mutasyabih?
7. Apakah Hikmah Adanya Ayat-Ayat Muhkan Dan Mutasyabih

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih

Muhkam berasal dari kata Ihkam, yang berati kekukuhan, kesempurnaan,


keseksamaan, dan pencegahan. Sedangkan secara terminologi, Muhkam berarti
ayat-ayat yang jelas maknanya, dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-
ayat lain. Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yang secara bahasa berarti
keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara
dua hal.
Sedangkan secara terminoligi Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum
jelas maksudnya, dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, maknanya
yang tersembunyi dan memerlukan keterangan tertentu, atau hanya Allah yang
mengetahuinya.1
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan
gamblang, baik melalui takwil ataupun tidak. Sedangkan ayat-ayatmutasyabih
adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat
kedatangan hari kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-huruf muqatha’ah.
(Kelompok Ahlussunnah)
Ibn Abi Hatim mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang
harus diimani dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat
yang harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan.
Mayoritas Ulama Ahlul Fiqh yang berasal dari pendapat Ibnu Abbas
mengatakan, lafadz muhkam adalah lafadz yang tak bisa ditakwilkan
melainkan hanya satu arah/segi saja. Sedangkan lafadz yang mutasyabbih
adalah lafadz yang bisa ditakwilkan dalam beberapa arah/segi, karena masih
samar.2

1
Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2012, h. 121
2
Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2008, h. 239

2
Menurut Ibnu Abbas, Muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya
mengandung satu makna. Sedangkan Mutasyabihat adalah ayat yang
mengandung pengertian bermacam-macam.. Menurut Imam as Suyuthi
muhkam adalah suatu yang jelas artinya, sedangkan mutasyabih adalah
sebaliknya.
Sedangkan menurut Manna’ Al-Qaththan, Muhkam adalah ayat yang
maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan
lain. Sedangkan Mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan
dengan menunjuk kepada ayat lain.
Dengan demikian muhkam adalah ayat yang terang makna serta lafaznya
dan cepat di pahami. Sedangkan Mutasyabih, ialah ayat-ayat yang bersifat
global yang memerlukan ta’wil dan yang sukar dipahami.3
B. Sejarah Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Secara tegas dapat dikatakan bahwa asal mula adanya ayat-ayat muhkamah
dan mutasyabihat ialah dari Allah SWT. Allah SWT memisahkan atau
membedakan ayat-ayat yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikan
ayat muhkam sebagai bandingan ayat yang mutasyabihat. Allah SWT
berfirman QS. Al-Imran Ayat 7:

‫ب َوا ُ َخ ُر ُمت َ ٰش ِب ٰهتٌ ۗ فَا َ َّما الَّ ِذ ْينَ ِف ْي قُلُ ْو ِب ِه ْم‬ ِ ‫ب ِم ْنهُ ٰا ٰيتٌ ُّمحْ كَمٰ تٌ هُنَّ ا ُ ُّم ا ْل ِك ٰت‬ َ ‫ع َل ْيكَ ا ْل ِك ٰت‬ ْْٓ ‫ه َُو الَّذ‬
َ ‫ِي اَ ْن َز َل‬
‫س ُخ ْونَ ِفى‬ َّ ‫َز ْي ٌغ فَيَتَّبِعُ ْونَ َما تَشَابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَ ۤا َء ا ْل ِفتْنَ ِة َوا ْبتِغَ ۤا َء تَأ ْ ِو ْي ِل ٖۚه َو َما يَ ْعلَ ُم تَأ ْ ِو ْيلَ ْٓه ا ََِّّل اللّٰهُ َۘو‬
ِ ‫الرا‬
ِ ‫ا ْل ِع ْل ِم يَقُ ْولُ ْونَ ٰا َمنَّا بِ ٖۙه ُك ٌّل ِ ِّم ْن ِع ْن ِد َربِِّنَا ٖۚ َو َما َيذَّك َُّر ا َّ َِّْٓل اُولُوا ْاَّلَ ْلبَا‬
‫ب‬
Artinya:“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu
(Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-
pokok Kitab (Al-Qur'an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang
yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang
mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya,
padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-
orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-

3
Kamaluddin Marzuki, Ulumul Qur’an, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992, h.113

3
Qur'an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil
pelajaran kecuali orang yang berakal.”4
Dari ayat tersebut, jelas Allah SWT menjelaskan bahwa Dia menurunkan
Alquran itu ayat-ayatnya ada yang muhkamat dan ada yang mutasyabihat.
Menurut kebanyakan ulama, sebab adanya ayat-ayat muhkamat itu sudah
jelas, yakni sebagaimana sudah ditegaskan dalam ayat 7 surah Ali Imran di
atas. Di samping itu, Al Quran merupakan kitab yang muhkam, seperti
keterangan ayat 1 surah Hud:
َ َ ْ ُ َّ ْ ْ َ ُ ُ ٗ ُ ٰ ٰ ْ ْ ُ ٌ ٰ
‫ب اح ِك َمت ايته ث َّم ف ِّصلت ِمن لدن ح ِك ْي ٍم خ ِب ْير‬ ‫ِكت‬

Artinya: “Suatu Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi”.5


Juga karena kebanyakan tertib dan susunan ayat-ayat Alquran itu rapi dan
urut, sehingga dapat dipahami umat dengan mudah, tidak menyulitkan dan
tidak samar artinya, disebabkan kebanyakan maknanya juga mudah dicerna
akal pikiran. Tetapi sebab adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Alquran
ialah karena adanya kesamaran maksud syarak dalam ayat-ayat-Nya
sehingga sulit dipahami umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat lain,
disebabkan karena bisa dita’wilkan dengan bermacam-macam dan
petunjuknya pun tidak tegas, karena sebagian besar merupakan hal-hal yang
pengetahuannya hanya dimonopoli oleh Allah SWT.6

C. Karakteristik Al-Muhkam Dan Al-Mutasyabih


Banyaknya perbedaan pendapat mengenai muhkan dan mutasyabih,
menyulitkan untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk muhkan dan
mutasyabih.
J.M.S Baljon mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat barwa
yang termasuk kriteria ayat-ayat muhkam adalah apabia ayat-ayat tersebut

4
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah (Bandung: Insan Kamil, 2009), h. 50.
5
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 221.
6
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an , Dunia Ilmu, Surabaya, 1998, h. 243-244

4
berhubungan dengan hakikat (kenyataan). Sedangkan ayat-ayat mutasyabih
adalah yang menuntut penelitian.
Ar-Raghib al-Ashfihani memberikan kriteria ayat-ayat muhkam dan
mutasyabih sebagai berikut :
1. Muhkam
a. Yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat yang lain
Contoh surat Al-Baqarah Ayat 106:
ُ ٰ َ ّٰ َّ َ َ َ َ َ ْ َ ٓ ْ َ َْ ُْ َ ٰ ْ َْ
‫َما نن َسخ ِم ْن ا َي ٍة ا ْو نن ِس َها نأ ِت ِبخ ْي ٍر ِّمن َها ا ْو ِمث ِل َها ۗ ال ْم ت ْعل ْم ان الله َعلى ك ِّل‬
َ َ
‫ش ْي ٍء ق ِد ْير‬
Artinya: Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti
Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.
Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?7
b. Ayat-ayat yang menghalalkan atau membatalkan ayat-ayat lain
Contoh surah Al-Imran Ayat 7:
ُ‫اب ِم ْن ُه َآيات ُّم ْح َك َمات ُه َّن ُأ ُّم ْال ِك َتاب َو ُأ َخر‬ َ ‫ُه َو َّالذي َأ َنز َل َع َل ْي َك ْالك َت‬
ِ ِ
ِ َّ َّ َ َ
َ ْ ْ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ َ ُ َّ َ َ ْ َ ْ ُُ َ َ َ َ
‫وب ِهم زي غ فيت ِبعون ما تشابه ِمنه اب ِتغاء ال ِفتن ِة‬ ِ ‫ُمتش ِابهات ۖ فأما ال ِذين ِفي قل‬
ُ َّ َ َ ُ ُ َ ْ ْ َ ُ َّ َ ُ َّ َّ ُ َ ْ َ ُ َ ْ َ َ َ َْ َ
‫آمنا ِب ِه كل‬ ‫الر ِاسخون ِفي ال ِعل ِم يقولون‬ ‫َو ْاب ِتغ َاء تأ ِو ِيل ِه ۗ وما يعلم تأ ِويله ِإَّل الل ه ۗ و‬
َ
‫ند َ ِّربنا‬
ِ ‫من ِع‬
ْ ِّ

Artinya:”Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menurunkan


kepadamu Al-Qur’an di antara isinya ada ayat-ayat yang jelas, itu
adalah pokok isi Al-Qur’an. Dan yang lain ada ayat-ayat yang samar
maknanya. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecondongan
kepada kesesatan maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih
dengan tujuan menimbulkan fitnah dan mencari takwilnya. Dan tidak
ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang
mendalam keilmuannya. Mereka mengatakan, ‘Kami beriman
kepadanya, semua dari sisi Tuhan kami.’”8

c. Ayat-ayat yang mengandung kewajiban yang harus diimani dan


diamalkan. Contohnya, QS Al-Baqarah: 43

7
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 17
8
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 50

5
ّٰ ‫وة َو ْار َك ُع ْوا َم َع‬
َ ٰ َّ ُ ٰ َ ٰ َّ َ
‫الر ِك ِع ْي َن‬ ‫الصلوة َواتوا الزك‬ ‫َوا ِق ْي ُموا‬
Artinya: “Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah
beserta orang yang rukuk.”9
2. Mutasyabih
a. Yakni ayat-ayat yang tidak diketahui hakikat maknanya seperti tibanya
hari kiamat.
َّ ٓ ْ ِّ َ ْۚ َْ ْ َّ ُ ۗ َ َ َ َّ َ َ ُ
‫اع ِة ا َّيان ُم ْر ٰس َىها ق ْل ِان َما ِعل ُم َها ِعند َر ِّب ْي َّل ُي َجل ْي َها ِل َوق ِت َها ِاَّل‬ ‫َي ْس َٔـل ْونك َع ِن الس‬
ۗ ْ َ َّ َ َ َ َ ُ ً َ ْ َّ ُ ْ َ َ ۗ ْ َ ْ َ ٰ ٰ َّ ْ َ ُ َ َۘ َ ُ
‫ض َّل تأ ِت ْيك ْم ِاَّل َبغتة َۗي ْس َٔـل ْونك كانك َح ِفي َعن َها‬ ‫ر‬ ‫اْل‬
ِ َ ٰ ّٰ ‫و‬ ‫ت‬ ِ ‫و‬ ‫م‬ ‫الس‬ ‫ى‬ ‫ف‬ِ ‫ت‬ ‫هو ثقل‬
َ ْ ََُْ َ َ ْ
َّ َ َّ َ َ ْ َُ ْ َ ‫ُق ْل ِا َّن‬
‫اس َّل يعلمون‬ ِ ‫الن‬ ‫ر‬ ‫ث‬ ‫ك‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ك‬ِ ‫ل‬‫و‬ ‫ه‬ِ ‫الل‬ ‫د‬ ‫ن‬ ‫ع‬
ِ ‫ا‬‫ه‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ع‬
ِ ‫ا‬‫م‬
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang
Kiamat, “Kapan terjadi?” Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan
tentang Kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang
dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat
berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak
akan datang kepadamu kecuali secara tiba-tiba.” Mereka bertanya
kepadamu seakan-akan engkau mengetahuinya. Katakanlah
(Muhammad), “Sesungguhnya pengetahuan tentang (hari Kiamat) ada
pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”10

b. Ayat-ayat yang dapat diketahui maknanya dengan sarana bantu baik


dengan hadits atau ayat muhkam.
c. Ayat yang hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya,
sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rosululloh untuk ibnu Abbas “Ya
Alloh, karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan
limpahkanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya.”11

D. Perbedaan Pendapat Para Ulama Terhadap Muhkam Dan Mutasyabih


Dalam al-Qur’an sering kita temui ayat-ayat mutasyabihat yang
penjelasannya memerlukan penjelasan dari ayat-ayat yang lain. Mengenai hal
tersebut, para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda. Antara lain :

9
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 174
10
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 50
11
Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta:Bulan Bintang, 1993, h. 166

6
1. Ulama golongan Hanafiyah mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang
jelas petunjuknya, dan tidak mungkin telah dinasikh kan. Sedang lafadz
mutasyabih adalah lafadz yang sama maksud petunjuknya sehingga tidak
terjangkau oleh akal pikiran manusia. Sebab lafadz mutasyabih itu
termasuk hal-hal yang diketahui Allah saja artinya. Contohnya seperti hal-
hal yang ghaib.
2. Mayoritas ulama golongan ahlu fiqh yang berasal dari pendapat sahabat
Ibnu Abbas mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang tidak bisa
dita’wil kecuali satu arah. Sedangkan lafadz mutasyabih adalah artinya
dapat dita’wilkan dalam beberapa segi, karena masih sama.12
3. Madzhab salaf, yaitu para ulama dari generasi sahabat. Mereka berusaha
untuk mengimaninya dan menyerahkan makna serta pengertiannya hanya
kepada Allah SWT. Bagi kaum salaf, ayat – ayat mutasyabihat tidak perlu
dita'wilkan. Sebab yang mengetahui hakikatnya hanyalah Allah SWT,
mereka hanya berusaha mengimaninya.
4. Madzhab khalaf, seperti Imam Huramain. Mereka berpendapat bahwa ayat
– ayat mutasyabihat harus ditetapkan maknanya dengan pengertian yang
sesuai dan sedekat mungkin dengan dzat-Nya. Mereka menta'wil lafdz
istiwa' (besemayam) dengan maha berkuasa menciptakan sesuatu tanpa
susah payah. Kalimat ja'a rabbuka (kedatangan Allah) dalam Qs. Al-Fajr:
22, dita'wilkan dengan kedatangan perintah-Nya.13

E. Sebab-Sebab Adanya Ayat Mutasyabih


Sebab adanya ayat Muhkam dan Mutasyabih ialah karena Allah SWT
menjadikan demikian. Allah membedakan antara ayat – ayat yang Muhkam
dari yang Mutasyabih, dan menjadikan ayat Muhkam sebagai bandingan ayat
yang Mutasyabih. Imam Ar-Raghib Al-Asfihani dalam kitabnya Mufradatil

Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2008, h. 239


12

http://nuhudhiyyah.blogspot.com/2016/06/makalah-ulumul-quran-tentang-al
13

muhkam.html?m=1 Diakses Pada tanggal 17 Mei 2022

7
Qur’an menyatakan bahwa sebab adanya kesamaran dalam Alquran terdapat 3
hal, yaitu sebagai berikut:
1. Kesamaran dari aspek lafal saja
Kesamaran ini ada dua macam, yaitu sebagai berikut:
a. Kesamaran dari aspek lafal mufradnya, karena terdiri dari lafal yang
gharib (asing), atau yang musyatarak (bermakna ganda), dan
sebagainya.
ۡ ًۢ َ َ َ َ
‫ف َراغ َعل ۡي ِه ۡم ض ۡرًبا ِبال َي ِم ۡي ِن‬
Artinya: “Lalu dihadapinya (berhala-berhala) itu sambil memukulnya
dengan tangan kanannya.”14
b. Kesamaran lafal murakkab disebabkan terlalu ringkas atau terlalu
luas. Contoh tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab terlalu
ringkas, terdapat di dalam surah An-Nisa ayat 3:

َ ٰ ُ ٰ ْ ۤ ِّ ُ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ ٰ َْٰ ُ ْ ُ َّ َ ُ ْ ْ
‫اب لك ْم ِّم َن الن َسا ِء َمثنى َوثلث‬ ‫َوِان ِخفت ْم اَّل تق ِسط ْوا ِفى اليتمى فان ِكحوا ما ط‬
ۗ ُ َ َّ َ ٰٰٓ ْ َ َ ُ ُ َ ْ َ َ َ ً َ َ ُ َ َّ َ ُ ْ ْ َ
‫َو ُ ٰرب َع ْۚ ف ِان ِخفت ْم اَّل ت ْع ِدل ْوا ف َو ِاحدة ا ْو َما َملكت ا ْي َمانك ْم ۗ ذ ٰ ِلك ادنى اَّل ت ُع ْول ْوا‬
Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya),
maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu
miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”15
Ayat di atas sulit diterjemahkan. Karena takut tidak dapat berlaku
adil terhadap anak yatim, lalu mengapa disuruh menikahi wanita yang
baik-baik, dua, tiga atau empat. Kesukaran itu terjadi karena susunan
kalimat ayat tersebut terlalu singkat.

14
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 449 .
15
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 50.

8
2. Kesamaran dari aspek maknanya, seperti mengenai sifat-sifat Allah SWT,
sifat-sifat hari kiamat, surga, neraka, dan sebagainya. Semua sifat-sifat itu
tidak terjangkau oleh pikiran manusia. Surat Al Isra ayat 111:

ُ َّ ُ َ ْ ْ َ ُ َّ ُ َ ً َ ْ َّ َ َّ َّ ُ ْ ُ
‫َوق ِل ٱل َح ْمد ِلل ِه ٱل ِذى ل ْم َيت ِخذ َولدا َول ْم َيكن لهۥ ش ِريك ِفى ٱل ُمل ِك َول ْم َيكن لهۥ َو ِلى ِّم َن‬
ًۢ ْ َ َ ُّ
‫ٱلذ ِّل ۖ َوك ِّب ْر ُه تك ِب ًيرا‬
Artinya: “Dan katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai
anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula
hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan
pengagungan yang sebesar-besarnya.”16
3. Kesamaran dari aspek lafal dan maknanya. Kesamaran ini beberapa aspek,
sebagai berikut:
d. Aspek kuantitas (al-kammiyyah), seperti masalah umum atau khusus.
Contohnya, ayat 5 surah At-Taubah:

ُ ُ ُ ُ ُّ ْ ُ ْ ْ ُُْ َ ْ َْْ َ َ ْ َ َ
‫ف ِاذا ان َسلخ اْلش ُه ُر ال ُح ُر ُم فاقتلوا ال ُمش ِرِك ْي َن َح ْيث َو َجدت ُم ْوه ْم َوخذ ْوه ْم‬
ُّ َ َ َ ٰ َّ ُ َ ٰ َ َ ٰ َّ ََ َ ْ َ ْۚ ُ َ ُ ْ ُ
‫الزكوة فخل ْوا‬ ‫اح ُص ُر ْوه ْم َواق ُعد ْوا ل ُه ْم ك َّل َم ْر َص ٍد ف ِان ت ُاب ْوا َواق ُاموا الصلوة واتوا‬
ْ ‫َو‬
ُ َ َ ّٰ َّ ۗ َ
‫َس ِب ْيل ُه ْم ِان الله غف ْور َّر ِح ْيم‬
Artinya:

“Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-


orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkaplah dan
kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian. Jika
mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat,
maka berilah kebebasan kepada mereka. Sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.”17

Di sini batas kuantitasnya yang harus dibunuh masih samar.

16
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 293.
17
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 187.

9
e. Aspek cara (al-kaifiyyah), seperti bagaimana cara melaksanakan
kewajiban agama atau kesunahannya. Contohnya, QS Al-Baqarah: 43

ّٰ ‫وة َو ْار َك ُع ْوا َم َع‬


َ ٰ َّ ُ ٰ َ ٰ َّ َ
‫الر ِك ِع ْي َن‬ ‫الصلوة َواتوا الزك‬ ‫َوا ِق ْي ُموا‬
Artinya: “Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah
beserta orang yang rukuk.”18

Tempat mana yang dimaksud dengan baliknya rumah, juga samar.

f. Aspek waktu, seperti batas sampai kapan melaksanakan sesuatu


perbuatan. Contohnya, dalam ayat 102 surat Ali Imran:

َ ُ ْ َ َّ ُ َ َ ٰ ُ َّ َ ّٰ ُ َّ ُ ٰ َّ َ ٰٓ
‫ٰيا ُّي َها ال ِذ ْي َن ا َمنوا اتقوا الله َحق تق ِىت ٖه َوَّل ت ُم ْوت َّن ِاَّل َوانت ْم ُّم ْس ِل ُم ْون‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali
dalam keadaan Muslim.”19
Dalam ayat ini terjadi kesamaran, sampai kapan batas taqwa yang benar-
benar itu.
g. Aspek tempat, seperti tempat mana yang dimaksud dengan balik rumah,
dalam ayat 189 surah Al-Baqarah:

ُ ْ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ ِّ َ ْ َ َّ ُ ْ َ َ َ ْ ُ َّ َ ْ َ َ َ ْ ُ َٔ ْ َ
‫س ال ِب ُّر ِبان تأتوا‬ ‫اس والحج ۗ ولي‬ ‫لن‬ ‫يسـلونك عن اْل ِهل ِة ۗ قل ِهي مو ِاقيت ِل‬
َ ّٰ ُ َّ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ ِ ُ ْ َ ْۚ ٰ َّ َ َّ ْ َّ ٰ َ َ ْ ُ ُ ِ ْ َ ْ ُ ُ ْ
‫البيوت ِمن ظهو ِرها ول ِكن ال ِبر م ِن اتقى وأتوا البيوت ِمن ابو ِابها ۖ واتقوا الله‬
َ ْ ُ ُ َّ َ
‫ل َعلك ْم تف ِل ُح ْون‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan
sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan
(ibadah) haji.” Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari
atasnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa.

18
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 7.
19
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 63.

10
Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada
Allah agar kamu beruntung.”20
Tempat mana yang dimaksud dengan baliknya rumah, juga samar.
Aspek syarat-syarat melaksanakan sesuatu kewajiban juga samar, seperti
bagaimana syarat sahnya salat, puasa, haji, nikah, dan sebagainya.21
F. Macam-Macam Ayat Muhkam Dan Mutasyabih
Menurut Abdul Jalal, macam-macam ayat Mutasyabihat ada tiga macam:
1. Ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat
manusia, kecuali Allah SWT. Contoh QS Al-an’nam ayat 59:

َ ُ ُ َ ۗ ْ ْ َ ۗ ُ َّ ٓ َ َ َْ ُ َ َْ
‫َو ِعند ٗه َمف ِاتح الغ ْي ِب َّل َي ْعل ُم َها ِاَّل ه َو َو َي ْعل ُم َما ِفى ال َب ِّر َوال َب ْح ِر َو َما ت ْسقط ِم ْن َّو َرق ٍة‬
ٰ َّ َ ‫اْل ْرض َو ََّل َر ْطب َّو ََّل‬
َْ ٰ ‫ِا ََّّل َي ْع َل ُم َها َو ََّل َح َّبة ف ْي ُظ ُل‬
‫س ِاَّل ِف ْي ِكت ٍب ُّم ِب ْي ٍن‬ ‫اب‬
ٍ ِ ‫ي‬ ٍ ِ ‫ت‬ ِ ‫م‬ ِ ٍ
Artinya: “Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang
mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut.
Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak
ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang
basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh).” 22

2. Ayat-ayat yang Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang


dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Seperti
pencirian mujmal, menentukan mutasyarak, mengqayyidkan yang
mutlak, menertibkan yang kurang tertib.
3. Ayat-ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar
ilmu dan sains, bukan oleh semua orang, apa lagi orang awam. Hal ini
termasuk urusan-urusan yang hanya diketahui Allah SWT dan orang-
orang yang rosikh (mendalam) ilmu pengetahuan.23

20
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 29.
21
Acep Hermawan, Ulumul Quran, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2011,h. 146
22
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 134.
23
Ramli Abdul Wahid, Ulumul ur’an, Jakarta: Raja Granfindo Persada, 1996, h. 83.

11
G. Hikmah Adanya Ayat-ayat Muhkam Dan Mutasyabih
Al-Quran adalah rahmat bagi seluruh alam, yang didalamnya
terdapat berbagai mukzijat dan keajaiban serta berbagai misteri yang harus
dipecahkan oleh umat di dunia ini. Alloh tidak akan mungkin memberikan
sesuatu kepada kita tanpa ada sebabnya. Dibawah ini ada beberapa hikmah
tentang adanya ayat-ayat muhkan dan mutasyabih, diantaranya adalah :
1. Muhkam
a. Jika seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka akan
sirnalah ujian keimanan dan amal karena pengertian ayat yang jelas.
b. Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya yang kemampuan bahasa
Arabnya lemah. Sebab arti dan maknanya sudah cukup terang dan jelas.
c. Memudahkan manusia mengetahui arti , maksud dan menghayatinya.
d. Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati dan mengamalkan
isi al-Qur'an sebab ayatnya mudah dimengerti dan dipahami.
e. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari
isinya.
f. Mempercepat usaha tahfidzul Qur'an.24
2. Mutasyabih
a. Apabila seluruh ayat Al-Qur’an mutasyabihat, niscaya akan padamlah
kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang
benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sisi Allah,
segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin
bercampur dengan kebatilan.
b. Menjadi motivasi untuk terus menerus menggali berbagai kandungan
Al-Quran sehingga kita akan terhindar dari taklid, membaca Al-Qur’an
dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir.
c. Ayat-ayat Mutasyabihat mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk
mengungkap maksudnya sehingga menambah pahala bagi orang yang
mengkajinya.

24
Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an, Bandung: Mizan, 1992, h. 90.

12
d. Jika Al-Quran mengandung ayat-ayat mutasyabihat, maka untuk
memahaminya diperlukan cara penafsiran antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini memerlukan berbagai ilmu seperti ilmu bahasa, ushul
fiqh dan sebagainya.25

25
Syaih Muhammad Jamil, Bagaimana Memahami Al-Quran, Jakarta :Pustaka Al-
Kautsar, 1995 h. 121

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Muhkam merupakan ayat yang jelas maknanya, dan tidak
memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain. Sedangkan Mutasyabih
berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya, dan mempunyai
banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi,
dan memerlukan keterangan tertentu, atau hanya Allah yang
mengetahuinya
2. Sebab adanya ayat Mutasyabih ialah karena Allah SWT menjadikan
demikian. Imam Ar-Raghib Al- Asfihani dalam
kitabnya Mufradatil Qur’an menyatakan bahwa sebab adanya
kesamaran dalam Alquran terdapat 3 hal, yaitu sebagai
berikut:Kesamaran dari aspek lafal saja, kesamaran dari aspek
maknanya, kesamaran dari aspek lafal dan maknanya.
3. Manfaat adanya ayat muhkan dan mutasyabih diantaranya jika
seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka akan
sirnalah ujian keimanan dan amal karena pengertian ayat yang jelas,
Apabila seluruh ayat Al-Qur’an mutasyabihat, niscaya akan
padamlah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi
manusia

14
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2012.


Abdul Wahid, Ramli, Ulumul ur’an, Jakarta: Raja Granfindo Persada, 1996.

Ash-Shiddieqy, Hasbi, ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta:Bulan Bintang, 1993.

Hermawan, Acep, Ulumul Quran, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2011.

Jalal, Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2008.


Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah. Bandung: Insan Kamil,
2009.
Marzuki, Kamaluddin, Ulumul Qur’an, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992.
Muhammad Jamil, Syaih, Bagaimana Memahami Al-Quran, Jakarta :Pustaka Al-
Kautsar, 1995

Shihab, Quraish, Membumikan Al-qur’an, Bandung: Mizan, 1992, hlm.90.

Internet:
http://nuhudhiyyah.blogspot.com/2016/06/makalah-ulumul-quran-tentang-al
muhkam.html?m=1 Diakses Pada tanggal 17 Mei 2022

15
ASBAB AL-NUZUL

MAKALAH

Dipresentasikan dalam Seminar Mata Kuliah Ulumul Quran

Program Studi Syariah Hukum Islam

Oleh :

Jumarni

80100221171

SHI 4

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia dengan segala pangaturan yang Allah swt. tetapkan di atasnya

tidak lepas dari berbagai aspek hukum alam yang berlaku di atasnya. Di antara

hukum yang berlaku ialah hukum sebab akibat, dalam artian segala sesuatu tidak

terjadi begitu saja, namun ada yang melandasi atau melatarbelakangi suatu

peristiwa.

Dalam kaitannya dengan Al-Qur'an, sebagian ayat diturunkan

disebabkan oleh suatu kejadian atau perkara yang terjadi di tengah para sahabat

pada masa turunnya Al-Qur'an. Hal ini mengisyaratkan adanya tuntunan ilahiyah

kepada Nabi saw. kaitannya dalam merespon setiap peristiwa yang terjadi.

Kajian mengenai turunnya Al-Qur’an menurut ‘Ali Hasan merupakan

kajian yang sangat penting. Bahkan pembahasan tersebut merupakan inti ‘ulum

Al-Qur’an. 1

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian asbab al-nuzul?

2. Bagaimana cara mengetahui asbab al-nuzul ?

3. Apa manfaat asbab al-nuzul ?

1
Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Al-Qur’an ( Jakarta : Wadi Press,
2011), h.37
BAB II

ASBAB AN-NUZUL

A. Definisi

Ali al-Hasan mendefinisikan asbab al-nuzul adalah “Peristiwa yang terjadi

pada zaman Rasulullah saw., karena itu al-Qur’an itu diturunkan; atau pertanyaan

mengenai tafsir (ayat) yang disampaikan kepada Nabi saw. Kemudian, sejumlah

ayat datang untuk menjawabnya.

Hal yang senada juga dikemukakan oleh ash-Shabuni dalam kitabnya, at-

Tibyan fi Ulum al-Qur’an.

Dengan demikian, sebab turunnya al-Quran itu tidak akan lepas dari peristiwa

atau kejadian tertentu yang terjadi pada zaman Nabi saw. serta pertanyaan yang

dikemukakan kepada beliau. Jadi, Al-Quran diturunkan umtuk menyikapi peristiwa

atau menjelaskan pertanyaan yang dimaksud.2

B. Cara Mengetahui Asbab Al-Nuzul

Satu-satunya cara untuk mengetahui asbab al-nuzul adalah melaluI riwayat

yang dinyatakan oleh para shahabat. Merekalah orang-orang yang mengerti betul

kapan, di mana, kepada siapa, dan dalam konteks apa al-Quran itu diturunkan.

Walaupun demikian, tidak semua riwayat yang dinyatakan oleh para sahabat

mengenai turunnya al-Quran tersebut berkonotasi asbab al-nuzul. Adapun

2
Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Al-Qur’an, h.70
mengenai riwayat yang dinyatakan para sahabat berkaitan dengan asbab al-nuzul

adalah sebagai berikut:

1. Jika ada sahabat yang mengatakan :

Sebab turunnya ayat ini adalah begini....

‫ب نُ ُز ْو ِل اآليَ ِة َكذَا‬
ُ َ‫سب‬
َ

Sebab turunnya ayat ini adalah begini...

Riwayat ini dengan tegas menunjukkan sebab turunnya ayat, tanpa perlu

penjelasan lain. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat.

2. Jika sahabat menceritakan peristiwa atau pertanyaan tertentu yang ditujukan

kepada Nabi saw. Setelah itu, dinyatakan ayat sebagai dampak dari peristiwa

atau sebagai jawaban terhadap pertanyaan tadi. Inipun bisa dianggap sebagai

nash yang menjelaskan sebab turunnya ayat. Contohnya, hadis yang dinyatakan

dari Anas bin Malik yang menyatakan, Abu Jahal berkata, “ Jika ajaranmu ini

memang benar, turunkanlah hujan batu dari langit kepada kami atau

datangkanlah azab yang pedih kepada kami.” Lalu, turunlah firman Allah swt.:

‫ّٰللا ُ ِليُعَ ِذبَ ُه ْم َوا َ ْنتَ فِ ْي ِه ْۚ ْم َو َما َكانَ ه‬


‫ّٰللا ُ ُمعَ ِذبَ ُه ْم َوهُ ْم يَ ْست َ ْغف ُِر ْون‬ ‫َو َما َكانَ ه‬
3‫صد ُّْونَ عن ْالمسْج ِد ْالحر ِام‬ ‫وما لَهم ا َ اَّل يُع ِذبَهم ه‬
ُ َ‫ّٰللاُ وهُم ي‬
َ َ ِ َ ِ َ ْ َ ُُ َ ُْ َ َ

Terjemahan :

“Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara

mereka. Tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta

3
QS al Anfal/33-34
ampun. Kenapa Allah tidak mengazab mereka, padahal mereka menghalangi

orang-orang (mendatangi) masjidil haram..”(QS. An-Anfal [8]: 33-34).4

3. Jika ada ungkapan atau indikator yang secara rajih_bukan qath’i_ menunjukkan

sebab turunnya ayat, misalnya ketika ada huruf fa’ta’qib (sebagai jawaban atas

frasa sebelumnya), yang masuk ke dalam materi turunnya ayat, setelah

dinyatakannya sebuah peristiwa atau pertanyaan kepada Rasulullah saw. Contoh

ْ َ‫ع ْن كَذَا فَنَزَ ل‬


‫ت‬ َ ‫سُئِ َل َرسُ ْو ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬

Rasulullah saw. telah ditanya tentang ini, maka turunlah ayat...

Adapun mengenai pernyataan sahabat yang mengatakan :


ََ
‫ذا‬ ‫ِيْ ك‬ ُ‫ي‬
‫ة ف‬ َ‫ََلتِ اآل‬
‫نز‬َ

Ayat ini diturunkan dalam konteks ini...

Apakah pernyataan tersebut dapat diartikan sebagai sebab turunnya ayat?

Menurut Ibn Taimiyah, pernyataan tersebut mempunyai dua maksud. Pertama,

kadang dimaksud sebagai sebab turunnya ayat. Kedua, kadang dimaksud sebagai

tafsir sahabat atas ayat tersebut. 5 Sebagai contoh, firman Allah swt. :

ِ َ‫ّٰللا فَتَبَيانُ ْوا َو ََّل تَقُ ْولُ ْوا ِل َم ْن ا َ ْل ٰق ٰٓى اِ َل ْيكُ ُم الس ٰال َم لَسْتَ ُمؤْ ِمنً ۚا ت َ ْبتَغُ ْون‬
ََِ َ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الا ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اِذَا‬
َ ‫ض َر ْبت ُ ْم ِف ْي‬
ِ ‫سبِ ْي ِل ه‬
6‫ّٰللا مغَانِم َكثِيْرة‬
ِ ‫عرض ْال َح ٰيوةِ الدُّ ْنيَا ۖفَ ِع ْندَ ه‬
َ ُ َ َ َ َ

4
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, h.180-181
5
An-Nabhani, As-syakhsiyah al-Islamiyah (Cet.V; Beirut : Dar al Ummah, 1997) h.339
6
QS an-Nisa/94
Terjemahan :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah,

telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan

‘salam’ kepadamu “Kamu bukan seorang Mukmin” (lalu kamu membunuhnya),

dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia. Di sisi Allah-lah ada

harta yang banyak.” (QS. An-Nisa[4]: 94).7

Ayat ini telah diturunkan kepada sejumlah sahabat Nabi ketika berpapasan

dengan seseorang lelaki Bani Sulaym yang tengah menggiring kambing, lalu lelaki

itu mengucapkan salam kepada mereka. Kemudian mereka pun berkata, “ Tidak

mengucapkan salam kepada kami, kecuali hanya untuk mencari perlindungan dari

kami”. Mereka pun sengaja menangkap lelaki itu, lalu membunuhnya. Lalu, mereka

membawa kambingnya kepada Nabi saw. (Al-Hadis).

Konteks seperti itu merupakan penjelasan sebab turunnya ayat. Namun, jika

dikatakan, bahwa ayat ini diturunkan dalam konteks muamalah masyarakat sesuai

konteks lahirnya. Pernyataan yang terakhir ini merupakan tafsir.8

C. Manfaat Sebab Turunnya Ayat

Dalam memahami ayat Al-Qur’an, seringkali kita diperhadapkan pada

berbagai persoalan terkait pemahaman akan sebuah ayat jika dibaca secara tekstual

(zahir) tanpa mengetahui sebab turunnya ayat tersebut. Ini merupakan perkara yang

sangat mengkhawatirkan, sebab seseorang yang serampangan dalam memahami

7
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, h.93
8
Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Al-Qur’an, h.73
sebuah ayat dalam Al-Qur’an bisa jadi terjerumus pada kesalahan berfikir yang

berkonsekuensi pada kesalahan dalam menghukumi orang lain.

Contoh pada kasus sebagian orang mungkin akan salah memahami firman

Allah swt :

‫ت ث ُ ام اتاقَ ْوا او ٰا َمنُ ْوا‬


ِ ٰ‫ص ِلح‬ َ ‫ط ِع ُم ْٰٓوا اِذَا َما اتاقَ ْوا او ٰا َمنُ ْوا َو‬
‫ع ِملُوا ال ه‬ َ ‫ح فِ ْي َما‬ ِ ٰ‫ص ِلح‬
ٌ ‫ت ُجنَا‬ َ ‫علَى الا ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َو‬
‫ع ِملُوا ال ه‬ َ ‫لَي‬
َ ‫ْس‬
9 َ‫ّٰللا ُ يُحِ بُّ ْال ُم ْح ِسنِيْن‬
َ ‫ث ُ ام اتاقَ ْوا اوا َ ْح‬
‫سنُ ْوا َۗو ه‬

Terjemahan:

“Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan

tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman,

serta mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman,

selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah

menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al-Maidah [5]: 93).10

Jika melihat ayat secara tekstual, akan disalahpahami bahwa sebagian

makanan yang haram dibolehkannya mengonsumsinya selama orang tersebut

beriman dengan dalil ayat tersebut. Maka mengetahui sabab nuzul ayat akan

menghilangkan kesamaran tersebut. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam

Tirmizi:

“Beberapa sahabat Nabi saw. wafat sebelum turun ayat pengharaman khamar, maka

tatkala turun ayat pengharaman khamar, beberapa sahabat mengadukan kepada

Nabi saw. dan berkata: Bagaimana dengan sahabat kami yang telah wafat, dan

mereka dahulunya juga meminum khamar? Maka turunlah ayat : Tidak berdosa

9
QS. al- Maidah /93
10
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, h.123
bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang

mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan

kebajikan. 11

Ibn Taimiyah mengatakan, bahwa pengetahuan akan sebab (turunnya ayat)

akan melahirkan pengetahuan tentang akibatnya. 12 Ibn Daqiq al-‘Id juga

menagatkan, bahwa penjelasan mengenai sebab turunnya ayat merupakan metode

paling akurat untukmemahami makna-makna Al-Qur’an. Karena itu,pengetahuan

menegani sebab turunnya ayat ini menjadi sangat penting. Pengetahuan tersebut,

anatara lain bermanfaat untuk :

1. Mengkhususkan hukum dengan sebab turunnya ayat hukum tersebut, terutama

bagi orang-orang yang berpendapat, bahwa konotasi ayat dibangun

berdasarkan sebabnya yang spesifik, bukan keumuman kata. Misalnya firman

Allah swt. :

13‫ط اوف بهما‬ ‫شعَ ۤا ِٕى ِر ه‬


َ ‫ّٰللاِ ۚ فَ َم ْن َح اج ْالبَيْتَ ا َ ِو ا ْعت َ َم َر فَ ََل ُجنَا َح‬
َ ِ ِ َ ‫علَ ْي ِه ا َ ْن يا ا‬ َ ‫صفَا َو ْال َم ْر َوة َ م ِْن‬
‫ا اِن ال ا‬

Terjemahan :

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syi‘ar (agama) Allah.

Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa

baginya mengerjakan sa‘i antara keduanya.” (Al-Baqarah[2]: 158)14

11
Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan- al-Tirmidzi (Beirut: Dar al-Ihya’ at Turats al-
Arabi) juz 5, h.254
12
Ali Hasan, Al-Manar. (Beirut: Dar al-Fikr al arabi, 1998), h.131
13
QS. al- Baqarah /158
14
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, h.24
‘Urwan bin Zubayr berpendapat, sebagaimana lahirnya ayat ini, bahwa

sa’i antara Shafa dan Marwaitu tidak wajib sehingga menurutnya, boleh

ditinggalkan.pandangan ini dinyatakan kepada’Aisyah, bibinya,lalu dijawab

oleh beliau, “Seburuk-buruk pandangan adalah apa yang kamu katakan, wahai

keponakanku. Andaikan masalahnya seperti yang kamu sebutkan, tentu Allah

telah berfirman,’Fala junaha ‘alayhi alla yathufa bihima (Maka, tidak ada dosa

baginya untuk tidak mengelilinginya).” Kemudian beliau menceritakan, bahwa

pada zaman Jahiliyah orang-orang telah menelilingi Shafa dan Marwa untuk

dua berhala, yaitu di Shafa bernama Isaf dan di Marwa bernama Na’il. Ketika

mereka telah masuk Islam, mereka keberatan untuk melakukan sa’i ke sana

karena khawatir terkontaminasi dengan tradisi Jahiliyah. Lalu, turunlah ayat

tersebut yang menghapus dosa dan keberatan hati mereka. Di samping itu,

mewajibkan sa’i mereka hanya untuk Allah swt. semata, bukan untuk berhala.

2. Menghilangkan kaburnya hashr (pembatasan) atas apa yang secara lahirnya

mengindikasikan hashr (pembatasan). Misalnya dalam firman Allah swt:

ٓ ‫اطعَ ُم ٓه ا ا‬
‫َِّل ا َ ْن ياكُ ْو َن َم ْيتَةً ا َ ْو د َ ًما ام ْسف ُ ْو ًحا ا َ ْو لَ ْح َم خِ ْن ِزي ٍْر‬ َ ‫ع ٰلى‬
ْ ‫طاع ٍِم ي‬ ‫ي اِ َل ا‬
َ ‫ي ُم َح ار ًما‬ ٓ ‫قُ ْل ا‬
َ ِ‫َّل ا َ ِجد ُ فِ ْي َما ٓ ا ُ ْوح‬
15‫ّٰللا ب ْۚه‬
ِ ‫ْس ا َ ْو فِ ْسقًا ا ُ ِه ال ِلغَيْر ه‬
ٌ ‫فَ ِاناه رج‬
ِ ِ ِ

Terjemahan :

“Katakanlah :“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan

kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,

kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, daging babi, karena

15
QS. al- An’am /145
sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama

selain Allah.” (QS. Al- An’am : 145)16

Az-Zarkasyi menyatakan, bahwa hashr (pembatasan) dalam konteks

ayat ini bukanlah maksud yang dikehendaki. Alasannya, orang kafir telah

mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah swt. dan mengharamkan

apa yang telah dihalalkan oleh-Nya. Demikianlah mereka itu sellau berperilaku

sebaliknya. Ayat ini secara ekspilit memang menunjukkan adanya hashr

(pembatasan), sebagai tantangaan dan serangan dari Allah swt. dan Rasul-Nya,

bukan dimaksud sebagai hashr (pembatasan) yang sesungguhnya.

3. Mengetahui bentuk hikmah yang menyebabkan disyariatkannya hukum.

Misalnya :

ِ ۚ ‫س َبنا ُه ْم ِب َمفَازَ ةٍ مِنَ ْال َعذَا‬


‫ب َولَ ُه ْم‬ َ ‫س َب ان الا ِذيْنَ َي ْف َر ُح ْونَ ِب َما ٰٓ اَت َْوا اويُحِ ب ُّْونَ ا َ ْن يُّ ْح َمد ُْوا ِب َما لَ ْم َي ْف َعلُ ْوا فَ ََل ت َ ْح‬
َ ‫َّلَ ت َ ْح‬
17‫َعذَابٌ ا َ ِل ْيم‬
ٌ

Terjemahan:

“Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira

dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji

terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka

bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Ali

Imran[3]: 188)18

16
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, h.147
17
QS. Ali Imran/188
18
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, h.75
Marwan al-Hakam berkata pembantunya agar bertanya kepada Ibn

Abbas,” Jika tiap orang yang bangga terhadap yang telah diberikan

kepadanya, dan suka dipuji atas apa yang belum dikerjakannya akan diazab,

miscaya kita semua akan terkena azab.” Lalu, Ibn Abbas menjelaskan bahwa

ayat tersebut diturunkan kepada Ahli Kitab, Yahudi,ketika Nabi saw. bertanya

kepada mereka suatu perkara, kemudian mereka menyembunyikannya, lalu

memberitahukan yang lain. Mereka berharap dengan hal itu akan mendapat

pujian, turunlah ayat ini.

4. Mengetahui hukum ayat. Dalam hal ini hukum ayat tersebut tidak akan lepas

dari sebab diturunkannya. 19

19
Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Al-Qur’an, h.80
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Asbab al-nuzul adalah “Peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw.,

karena itu al-Qur’an itu diturunkan; atau pertanyaan mengenai tafsir (ayat)

yang disampaikan kepada Nabi saw. Kemudian, sejumlah ayat datang untuk

menjawabnya.

2. Satu-satunya cara untuk mengetahui asbab al-nuzul adalah melaluI riwayat

yang dinyatakan oleh para shahabat. Merekalah orang-orang yang mengerti

betul kapan, di mana, kepada siapa, dan dalam konteks apa al-Quran itu

diturunkan.

3. Manfaat Sebab Turunnya Ayat

a. Mengkhususkan hukum dengan sebab turunnya ayat hukum tersebut,

terutama bagi orang-orang yang berpendapat, bahwa konotasi ayat

dibangun berdasarkan sebabnya yang spesifik, bukan keumuman kata.

b. Menghilagkan kaburnya hashr (pembatasan) atas apa yang secara

lahirnya mengindikasikan hashr (pembatasan).

c. Mengetahui bentuk hikmah yang menyebabkan disyariatkannya

hukum.

d. Mengetahui hukum ayat. Dalam hal ini hukum ayat tersebut tidak akan

lepas dari sebab diturunkannya.


B. Saran

Keberadaan ilmu asbab al-nuzul telah menjadi salah satu bagian vital dari

ilmu-ilmu Al-Qur’an, yang dengannya setiap muslim akan memahami Al-

Qur’an dengan baik, kemudian dapat mengimplementasikannya dalam

kehidupan sehari-hari. Olehnya seyogyanya setiap akademisi memanfaatkan

mimbar-mimbar dakwah untuk menyampaikan terkait hal ini, guna kembali

membumikan Al-Qur’an di bumi pertiwi. Wallahu a’lam


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim

Abdurrahman Hafidz, Metode Praktis Memahami Al-Qur’an. Jakarta : Wadi Press,

2011.

Al-Tirmidzi, Muhammad bin Isa, Sunan- al-Tirmidzi, Beirut: Dar al-Ihya’ at Turats

al-Arabi.

An-Nabhani, As-syakhsiyah al-Islamiyah, Beirut : Dar al Ummah, 1997.

Hasan Ali, Al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr al arabi, 1998.


TUGAS MATA KULIAH ULUMUL QUR’AN

“JAM’UL QUR’AN MASA NABI DAN SAHABAT”

Oleh :

ASMIRAWATI

80100221173

SHI 4

JURUSAN DIRASAH ISLAMIYAH

KONSENTRASI SYARIAH /HUKUM ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada zaman Rasulullah SAW, pemeliharaan ayat-ayat al-Qur’an dilakukan melalui hafalan
baik oleh Rasulullah maupun oleh sahabat-sahabat beliau. Namun kemudian Rasul memerintahkan para
sahabat untuk menulisnya dengan tujuan untuk memperkuat hafalan mereka. Ayat-ayat al-Qur’an
tersebut ditulis melalui benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan
licin, pelapah kurma, tulang binatang dan lain-lain. Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan
untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis.

Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh Rasulullah namun
tidak tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini. Namun, ketika Rasul wafat, dan digantikan
oleh khalifah Abu Bakar, terjadi pemurtadan masal dan menyebabkan Khalifah Abu Bakar
melakukan tindakan dengan cara memeranginya. Dalam perang yang disebut perang Yamamah tersebut
sekitar 70 Huffaz (para penghafal Qur’an) mati syahid.

Dari situlah muncul gagasan untuk mengumpulkan Ayat al-Qur’an yang dipelopori oleh Umar
bin Khattab. Meskipun gagasan tersebut tidak langsung disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan
Umar bin Khattab bisa diterima dan dimulailah pengumpulan al-Qur’an hingga selesai. Dengan demikian,
disusunlah kepanitiaan atau Tim penghimpun al-Qur’an yang terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai ketua
dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para Sahabat lainnya sebagai
anggota.

Namun dengan rentan waktu yang panjang, mulai pada tanggal 12 Rabbiul Awwal tahun
11 H/632 M yang ditandai dengan wafatnya Rasulullah, hingga 23-35 H/644-656 M (masa pemerintahan
Khalifah Usman bin Affan) atau sekitar 18 tahun setelah wafatnya nabi barulah dibukukan al-Qur’an
yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Antara rentan waktu yang cukup panjang hingga beragam suku
dan dialek apakah berpengaruh atas penyusunan kitab suci al-Qur’an tentunya masih menjadi tanda
tanya.

Sementara pandangan seperti di atas, umat Islam di Seluruh Dunia meyakini bahwa al-Qur’an
seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah otentik dari Allah swt. Melalui Rasulullah saw.
Namun cukup menarik, semua riwayat mengatakan bahwa pembukuan kitab suci itu tidak dimulai oleh
Rasulullah saw., melainkan oleh para sahabat beliau, dalam hal ini khususnya Abu Bakar,
Umar Bin Khattab dan Usman Bin Affan. Pesan komunikasi yang telah melewati perantara dari
seorang tertahap orang lain, terlebih melewati frekuensi jumlah orang yang banyak akan meragukan
keabshahan pesan alsi tersebut. Selain itu, rentan waktu yang cukup lama juga amat berpengaruh terhadap
nilai dari pesan. Yang menarik adalah seperti apa membuktikan bahwa pesan al-Qur’an adalah sesuatu yang
telah ditetapkan berdasarkan ketetapan Allah.

Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Jam’ul Qur’an ?

2. Bagaimana proses pengumpulan al-Qur’an pada setiap periode ?


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Jam’ul Qur’an

Merujuk kepada definisi al-Qur’an yang sebelumnya telah disepakati oleh para ulama’:

“Al-Qur’an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad saw. dan
dinukil kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah ketika membacanya”

Maka, materi al-Qur’an yang merupakan mukjizat itu sampai kepada kita melalui proses
penukilan, bukan periwayatan. Dengan begitu dapat diartikan dengan memindahkan materi yang sama
dari sumber asli ke dalam mushaf. Karena itu, pengumpulan al-Qur’an itu tidak lain merupakan bentuk
penghafalan al-Qur’an di dada dan penulisannya dalam lembaran. Sebab, dua realitas inilah yang
mencerminkan proses penukilan materi al-Qur’an

Maka, materi al-Qur’an yang merupakan mukjizat itu sampai kepada kita melalui proses
penukilan, bukan periwayatan. Dengan begitu dapat diartikan dengan memindahkan materi yang sama
dari sumber asli ke dalam mushaf. Karena itu, pengumpulan al-Qur’an itu tidak lain merupakan bentuk
penghafalan al-Qur’an di dada dan penulisannya dalam lembaran. Sebab, dua realitas inilah yang
mencerminkan proses penukilan materi al-Qur’an. Dua realitas penghafalan al-Qur’an di dada dan
penulisannya dalam lembaran ini secara real telah berlangsung dari kurun ke kurun, sejak Rasul hingga
kini, dan bahkan Hari Kiamat.1

Ditinjau dari segi bahasa, al-Jam’u berasal dari kata ‫جمع‬- ‫ يخمع‬yang artinya mengumpulkan.
Sedangkan pengertian al-Jam’u secara terminologi, para ulama berbeda pendapat. Menurut Az-
Zarqani, Jam’ul Qur’an mengandung dua pengertian. Pertama mengandung makna menghafal al-
Qur’an dalam hati, dan kedua yaitu menuliskan huruf demi huruf dan ayat demi ayat yang telah
diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Menurut al-Qurtubi dan Ibnu Katsir
maksud dari Jam’ul Qur’an adalah menghimpun al-Qur’an dalam hati atau menghafal al-Qur’an.2

Menurut Ahmad von Denffer, istilah pengumpulan al-Qur’an (jam’ al-qur’ân) dalam literatur klasik itu

1
Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an Praktis, Idea Pustaka Utama, Bogor, 2003, hlm. 82.

2
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hlm. 10.
mempunyai berbagai makna3, antara lain:

1. Al-Qur’an dicerna oleh hati.

2. Menulis kembali tiap pewahyuan.

3. Menghadirkan materi al-Qur’an untuk ditulis.

Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan Jam’ul Qur’an adalah usaha penghimpunan dan pemeliharaan al-Qur’an yang meliputi
penghafalan, serta penulisan ayat-ayat serta surat-surat dalam al-Qur’an.4

Diantara faktor pendorong penulisan al-Qur’an pada masa Nabi5 adalah :

1. Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.

2. Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hafalan para
sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat.
Adapun tulisan tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi al-Qur’an tidak ditulis
di tempat tertentu.

Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang digunakan untuk menyalin wahyu-
wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad6, yaitu :

1. Riqa, atau lembaran lontar (daun yang dikeringkan) atau perkamen (kulit binatang).

2. Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara
horizontal lantaran panas.

3. ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis.

4. Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta.

5. Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta.

3
Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an Praktis, hlm. 82.
4
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, hlm. 10.
5
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm. 38-39.
6
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung , hlm. 39
6. Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk
menulis ketika itu

Para sahabat menyodorkan al-Qur’an kepada Rasulullah secara hafalan maupun tulisan.
Tetapi tulisan- tulisan yang terkumpul pada jaman nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf,
dan yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki yang lainnya.

3. Proses jam’ul qur’an pada setiap periode

Jam’ul Qur’an periode Abu Bakar Ash-Shidiq

Pasca wafatnya Rasulullah SAW, kekhalifahan bangsa Arab beralih kepada Abu Bakar. Pada masa
kekhalifahannya, Abu Bakar dihadapkan oleh kemurtadan yang terjadi di kalangan bangsa Arab. Abu
Bakar pun segera mengerahkan pasukan untuk menumpas kemurtadan. Perang itupun dikenal dengan
sebutan Perang Yamamah yang terjadi pada tahun 11 H/633 M.

Dalam perang tersebut, sekitar 70 orang Huffaz mati Syahid. Umar bin Khattab merasa khawatir atas
peristiwa ini. Maka Umar mengadukan kekhawatirannya tersebut kepada Abu Bakar.

Zaid bin Tsabit begitu istimewa sehingga tak heran Abu Bakar dan Umar diberikan kelapangan dada untuk
memberikan tugas tersebut pada Zaid bin Tsabit, sebagai pengumpul dan pengawas komisi ini
Zaid bin Tsabit dibantu Umar sebagai sahibul fikrah yakni pembantu khusus.
Beberapa keistimewaan tersebut diantaranya adalah :

1. Berusia muda, saat itu usianya di awal 20-an (secara fisik & psikis kondisi prima)

2. Akhlak yang tak pernah tercemar, ini terlihat dari pengakuan Abu Bakar yang mengatakan bahwa,
“Kami tidak pernah memiliki prasangka negatif terhadap anda”.

3. Kedekatannya dengan Rasulullah SAW, karena semasa hidup Nabi, Zaid tinggal berdekatan dengan beliau.

4. Pengalamannya di masa Rasulullah SAW masih hidup sebagai penulis wahyu dan dalam satu kondisi tertentu
pernah Zaid berada di antara beberapa sahabat yang sempat mendengar bacaan al-Qur’an malaikat jibril
bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan.

5. Kecerdasan yang dimilikinya menunjukkan bahwa tidak hanya karena memiliki vitalitas dan energi namun
kompetensinya dalam kecerdasan spiritual dan intelektual

Seperti diceritakan diatas, pengumpulan al-Qur’an dilaksanakan oleh Zaid atas arahan khalifah. Waktu
pengumpulan Zaid terhadap al-Qur’an sendiri sekitar 1 tahun. Hal ini dikarenakan Zaid bin Tsabit
melakukannya dengan sangat hati-hati. Hal yang pertama kali Zaid lakukan adalah mengumumkan
bahwa siapa saja yang memiliki berapapun ayat al-Qur’an, hendaklah diserahkan kepadanya. Ia tidak
akan menerima satu ayat pun melainkan orang tersebut membawa bukti dan dua orang saksi
yang menyatakan bahwa apa yang ia bawa adalah wahyu Qur’ani. kedua adalah hafalan, yaitu
kesaksian orang-orang bahwa pembawa al-Qur’an itu telah mendengarnya dari Rasulullah SAW.7

Buah hasil kerja Zaid sangat teliti dan hati-hati sehingga memiliki akurasi yang sangat tinggi. Hal ini
dikarenakan :

a. Menulis hanya ayat al-Qur’an yang telah disepakati mutawatir riwayatnya.

b. Mencakup semua ayat al-Qur’an yang tidak mansukh al-Tilawah.

c. Susunan ayatnya seperti yang dapat kita baca pada ayat-ayat yang tersusun dalam al-Qur’an sekarang
ini.

d. Tulisannya mencakup al-ahruf al-sab’ah sebagaimana al-Qur’an itu diturunkan.

e. Membuang segala tulisan yang tidak termasuk bagian dari al-Qur’an.

Senada dengan itu, al-Zarqani menyebutkan bahwa ciri-ciri penulisan al-Qur’an pada masa khalifah Abu
Bakar ini adalah :

a. Seluruh ayat al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat
dan seksama.

b. Tidak termasuk di dalamnya ayat-ayat al-Qur’an yang telah mansukh atau dinasakh bacaannya.

c. Seluruh ayat al-Qur’an yang ditulis di dalamnya telah diakui kemutawatirannya.

Kekhusususan hasil kerja Zaid sendiri membedakan dengan catatan para sahabat yang
menjadi dokumentasi pribadi. Catatan mereka yang masih mencakup ayat-ayat yang mansukh al-
Tilawah, ayat- ayat yang termasuk kategori riwayat al-Ahad, catatan doa dan tulisan yang
diklasifikasikan sebagai sebagai tafsir dan takwil.

Setelah semua ayat al-Qur’an terkumpul, kumpulan tersebut disimpan dalam kotak kulit yang disebut
“Rab’ah”. Kemudian kumpulan tersebut diserahkan kepada Abu Bakar. Setelah beliau wafat,
kumpulan atau lembaran-lembaran tersebut berpidah tangan kepada Umar. Lalu setelah Umar
wafat, maka lembaran-lembaran tersebut disimpan oleh putrinya sekaligus istri Rasulullah SAW yaitu
Hafsah binti Umar.

Jam’ul Qur’an Periode Utsman

Penyebaran Islam bertambah luas, dan para Qurra‘ pun tersebar ke seluruh wilayah hingga ke arah utara
Jazirah Arab sampai Azerbaijan dan Armenia. Setiap wilayah diutuslah seorang Qari. Maka bacaan al-

7
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta,
2001, hlm. 151
Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda. Berasal dari suku kabilah dan provinsi yang
beragama sejak awal pasukan tempur memiliki dialek yang berlainan. Nabi Muhammad SAW sendiri
memang telah mengajarkan membaca al-Qur’an berdasarkan dialek mereka masing-masing lantaran dirasa
sulit untuk meninggalkan dialek mereka secara spontan. Namun kemudian adanya perbedaan dalam
penyebutan atau membaca al-Qur’an yang kemudian menimbulkan kerancuan dan perselisihan
dalam masyarakat.

Ketika itu, orang yang mendengar bacaan al-Qur’an yang berbeda dengan bacaan yang ia
gunakan menyalahkannya. Bahkan mereka saling mengafirkan. Hal ini membuat Huzaifah bin al-Yaman
resah dan mengadukan hal tersebut kepada Utsman. Menanggapi hal tersebut, Utsman mengirim utusan
kepada Hafsah dan meminjam mushaf Abu Bakar. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin “As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Keriga orang terakhir adalah
orang Quraisy. Utsman memerintahkan agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang
Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Qur’an turun dalam logat mereka.

Setelah mereka melakukan hal itu, Utsman mengembalikan mushaf kepada Hafsah. Mereka
menyalinnya ke dalam beberapa mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua Qur’an/mushaf
lainnya dibakar. Mushaf tersebutlah yang dikenal dengan mushaf Utsmani.

Al-Zarqani sendiri mencatat bahwa ciri-ciri mushaf yang disalin pada Khalifah Usman adalah sebagai
berikut :

a. Ayat-ayat al-Qur’an yang tertulis di dalamnya seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawwir
berasal dari Rasulullah.

b. Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat al-Qur’an yang mansukh atau dinasakh bacaannya.

c. Susunan menurut urutan wahyu.

d. Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong pada al-Qur’an seperti apa yang ditulis oleh sebagian
sahabat dalam mushaf masing-masing sebagai penjelasan atau keterangan terhadap ayat-ayat tertentu.

e. Mushaf yang ditulis pada masa khalifah usman tersebut mencakup “tujuh huruf” dimana al-Qur’an
diturunkan dengannya.

Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca seperti titik dan syakal karena semata-mata didasarkan pada
watak pembawaan orang-orang Arab murni di mana mereka tidak memerlukan syakal, titik dan tanda baca
lainnya seperti yang kita kenal sekarang ini. Pada masa itu tulisan hanya terdiri atas beberapa simbol
dasar, hanya melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata yang sering menimbulkan kekaburan
lantaran hanya berbentuk garis lurus semata.8

8
Muhammad Riyanto, Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an, ... , 12 Oktober 2010.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Jam’ul Qur’an adalah usaha penghimpunan dan pemeliharaan al-Qur’an yang meliputi
penghafalan, serta penulisan ayat-ayat atau surat-surat al-Qur’an. Pengumpulan al-Qur’an dilakukan
dalam tiga periode. Periode Nabi, periode Abu Bakar, dan periode Utsman.

Pada periode Nabi, pengumpulan al-Qur’an dilakukan melalui hafalan dan tulisan. Penulisan al-
Qur’an pada masa Nabi Muhammad dilakukan untuk mencatat dan menulis setiap wahyu
yang diturunkan kepadanya dengan menertibkan ayat-ayat di dalam surah-surah tertentu sesuai
dengan petunjuk Rasulullah SAW. Penulisan al-Qur’an pada masa Nabi juga bertujuan untuk
menguatkan penghafalan Qur’an para sahabat.

Pada periode Abu Bakar pengumpulan al-Qur’an terjadi karena banyaknya Huffaz yang wafat pada
perang Yamamah. Pengumpulan tersebut dilakukan oleh Zaid bin Tsabit atas usulan dari Umar
bin Khatab. Pengumpulan tulisan-tulisan al-Qur’an pada periode kekhalifahan Abu Bakar diurut
berdasarkan urutan turunnya wahyu.

Pada periode Utsman, pengumpulan al-Qur’an dilakukan karena adanya perbedaan bacaan al-
Qur’an di berbagai wilayah dan karena adanya aduan dari Huzaifah bin al-Yaman. Proses pengumpulan
tersebut dilakukan oleh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin “As, dan Abdurrahman bin
Haris bin Hisyam. Mereka menyalinnya ke dalam beberapa Mushaf yang dikenal dengan
nama Mushaf Utsmani. Pengumpulan tulisan-tulisan al-Quran pada periode kekhalifahan Utsman
bin Affan diurut dengan tertib ayat maupun surahnya sebagaimana yang ada sekarang.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Hafidz. Ulumul Qur’an Praktis. Bogor : Idea Pustaka Utama, 2003.

Al-Bukhari, Muhammad bin Isma‘il. Ebook Shahih Al-Bukhari, karya Abu Ahmad as Sidokare.
Pustaka Pribadi, 2009.

Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Yogyakarta : Forum Kajian Budaya dan Agama,
2001.

Anwar, Rosihon. Ulum Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Setia, 2013.

Riyanto, Muhammad. Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an. http://msiuii.wordpress.com/category/segala-


katagori/page/2/. Pada tanggal 12 Oktober 2010.

Syafe’i, Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia, 2006.


.
1

Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Ulumul Qur’an dan Perkembangannya

Oleh

Yusniar
80100221175
SHI 4

JURUSAN DIRASAH ISLAMIYAH

KONSENTRASI SYARIAH /HUKUM ISLAM PROGRAM

PASCASARJANA UIN ALAUDDIN MAKASSAR 2022


2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Quran adalah kitab suci umat Islam. Diturunkan kepada Nabi Muhammad

melalui Malaikat Jibril. Kitab terakhir ini merupakan sumber utama ajaran Islam dan

pedoman hidup bagi setiap Muslim. Al-Quran bukan sekedar memuat petunjuk tentang
hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan

sesamanya (Hablum min Allah wa hablum min an-nas), serta manusia dengan alam

sekitarnya. Untuk memahami ajaran Islam secara sempurna (kaffah), diperlukan

pemahaman terhadap kandungan al-Quran dan mengamalkannya dalam kehidupan

sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.

Al-Quran merupakan mukjizat terbesar nabi Muhammad SAW. Diturunkan

dalam bahasa Arab, baik lafal maupun uslub-nya. Suatu bahasa yang kaya kosa kata

dan sarat makna. Kendati al-Quran berbahasa Arab, tidak berarti semua orang Arab

atau orang yang mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami al-Quran secara rinci. Al-

Quran adalah kitab yang agung, memiliki nilai sastra yang tinggi. Meskipun diturunkan
kepada bangsa Arab yang lima belas abad lalu terkenal dengan jiwa yang kasar. Al-

Quran mampu meruntuhkan dominasi sya’ir-sya’ir Sastrawan Arab, hingga tidak

berdaya dihadapan Al-Quran.

Kitab suci al-Quran sebagai pedoman umat Islam harus dipahami dengan benar.

Hasbi Ash-Shidieqi menyatakan untuk dapat memahami al-Quran dengan sempurna,


3

bahkan untuk menterjemahkannya sekalipun, diperlukan sejumlah ilmu pengetahuan,

yang disebut Ulumul Qur”an.1

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik permasalahan sebagai berikut:

1. Apa dan bagaimana Ulumul Qur’an?

2. Bagaimana perkembangan Ulumul Qur’an dan urgensi mempelajarinya?

1
T.M. Hasbi Ash-Shidieqi, Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), Cet. VII, H. 112
4

BAB II

ULUMUL QUR’AN DAN PERKEMBANGANNYA

A. Pengertian Ulumul Qur’an

Istilah Ulumul Qur’an, secara etimologis merupakan gabungan dari dua kata

bahasa Arab ulum dan al-Qur’an. Kata ulum bentuk jama’ dari kata ‘ilm yang

merupakan bentuk masdhar dari kata ‘alima, ya’lamu yang berarti mengetahui.2
Dalam kamus al-Muhit kata ‘alima disinonimkan dengan kata ‘arafa

(mengetahui, mengenal).3 Kata ‘ilm semakna dengan ma’rifah yang berarti

“pengetahuan”. Sedangkan ‘ulum berarti sejumlah pengetahuan.

Kata al-Qur’an dari segi bahasa adalah bentuk masdhar dari kata kerja Qara’a,

berarti “bacaan”. Hal ini berdasarkan firman Allah:

Artinya: apabila kami telah selesai membacanya, maka ikutilah bacaannya.

(QS. Al–Qiyamah: 18).4

Kemudian dari makna masdhar ini dijadikan nama untuk kalamullah mukjizat

bagi nabi Muhammad SAW.5 Lebih lanjut terdapat beberapa pandangan ulama tentang

nama al-Qur’an itu sendiri, sebagaimana yang terungkap dalam kitab al- Madkhal li
Dirasah al- Qur’an al-Karim,6 sebagai berikut:

2
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), Cet. VIII, h. 277
3
Mujid al-Din Muhammad bin Ya’qub al-Farizi, al-Qamus al- Muhith, (Mesir: Mustafa al-
Baby al-Halaby, 1952/1371 H), Juz. IV, Cet. II, H. 155
4
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Jakarta: PT. Syamil Cipta Media,
2004), h. 507
5
Muhammad ‘Abdul ‘Azhim Az-Zarqani, Manahil al- Irfan fi Ulum al-Qur’an, ( Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmi’ah, 1996/1416 H), Juz I, h.16
6
Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al- Madkhal li Dirasah al- Qur’an al- Karim,
(Beirut: Dar al- Jil, 1992/1412), h.19-20
5

1. Qur’an adalah kata sifat dari al-Qar’u yang bermakna al-jam’u (kumpulan).

Selanjutnya kata ini digunakan sebagai salah satu nama bagi kitab suci yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad SAW, karena al-Qur’an terdiri dari sekumpulan surah dan

ayat, memuat kisah-kisah, perintah dan larangan, dan mengumpulkan inti sari dari

kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Pendapat ini dikemukakan al-Zujaj (w. 311)

2. Kata al-Qur’an adalah ism alam, bukan kata bentukan dan sejak awal digunakan

sebagaimana bagi kitab suci umat Islam. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Syafi’i
(w.204).

Menurut Abu Syuhbah, dari beberapa pendapat di atas, yang paling tepat adalah

pendapat yang mengatakan al-Qur’an bentuk masdhar dari kata Qara-a.7

Sedangkan al-Qur’an menurut istilah adalah: “ Firman Allah Swt, yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad Saw., yang memiliki kemukjizatan lafal, membacanya

bernilai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, yang tertulis dalam mushaf, dimulai

dengan surat al- Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas.8

Kata ulum yang disandarkan kepada kata “al-Qur’an” telah memberikan pengertian

bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan al-

Qur’an, baik dari segi kberadaannya sebagai al-Qur’an maupun dari segi pemahaman
terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Secara istilah, para ulama telah

merumuskan berbagai defenisi Ulumul Qur’an.

1. Al-Zarqani merumuskan pengertian Ulumul Qur’an sebagai: beberapa pembahasan

yang berhubungan dengan AL-Qur’an al-Karim, dari segi turunnya, urut-urutannya,

pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya, kemukjizatannya, nasikh

7
Muhammad bin Muhammad Abu Sya’bah, al- Madkhal li Dirasah al-Qur’an al- Karim, h.
19-20
8
Ibid.,
6

dan mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya,

dan sebagainya.9

2. Manna’ al- Qathan memberikan defenisi bahwa Ulumul Qur’an adalah ilmu

yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an, dari

segi pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya, pengumpulan Al- Qur’an dan urut-

urutannya, pengetahuan tentang ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, hal –hal lain yang

ada hubungannya dengan al-Qur’an.10


3. Menurut T.M Hasbi As-Shiddiqie

‘Ulumul Qur’an ialah pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an,

dari segi nuzulnya, tertibnya, mengumpulnya, menulisnya, membacanya dan

menafsirkannya, I’jaznya, nasikh mansukhnya, menolak syubhat-syubhat yang

dihadapkan kepadanya.11

Defenisi nomor satu dan dua di atas pada dasarnya sama. Keduanya menunjukkan

bahwa ulumul Qur’an adalah kumpulan sejumlah pembahasan yang pada mulanya

merupakan ilmu-ilmu yang berdiri sendiri. Ilmu-ilmu ini tidak keluar dari ilmu agama

dan bahasa. Masing-masing menampilkan sejumlah aspek pembahasan yang dianggap

penting. Objek pembahasannya adalah Al-Qur’an.


Adapun perbedaannya terletak pada tiga hal:

1. Aspek pembahasannya; defenisi pertama menampilkan sembilan aspek

pembahasannya dan yang kedua menampilkan hannya lima daripadanya.

9
Muhammad Abdul ‘Azim, Manahil al- ‘Irfan fi ulum al- Qur’an, ( Beirut: Dar al-Fikr, 1988),
h. 27
10
Manna’ Al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qu’an. ( Beirut: Al- Syarikah al-Muttahidah li al-
tauzi’, 1973), h. 15
11
T.M. Hasbi As-Shiddiqie, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.10-11
7

2. Meskipun ke duanya tidak membataskan pembahasannya pada aspek-aspek

yang ditampilkan, namun defenisi pertama lebih luas cakupannya dari yang ke

dua. Sebab, defenisi pertama diawali dengan kata Mabaahitsu (‫ )المباحث‬yang

merupakan bentuk jama’ yang tidak berhingga dan menyebut secara eksplisit

penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keragu-raguan terhadap al-Qur’an

sebagai bagian dari pembahasannya. Sedangkan defenisi yang kedua tidak

demikian.
3. Pada perbedaan aspek pembahasan yang ditampilkan tidak semuanya sama di

antara ke duanya. Defenisi pertama disebutkan bahwa penulisan al-Qur’an,

Qiraat, penafsiran dan kemu’jizatan Al-Qur’an sebagai bagian pembahasannya.

Sementara itu, dalam defenisi ke dua semua itu tidak disebutkan.12

Dengan melihat persamaan dan perbedaan antara kedua defenisi di atas dapat diketahui

bahwa defenisi pertama lebih lengkap dibanding dengan defenisi ke dua. Dengan

demikian defenisi kedua lebih akomodatif terhadap ilmu-ilmu Al- Qur’an yang selalu

berkembang sebagaimana akan terlihat pada uraian sejarah pertumbuhan dan

perkembangan Ulumul Qur’an.

Penjelasan-penjelasan di atas juga menunjukkan adanya dua unsur penting dalam


defenisi Ulumul Qur’an. Pertama, bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah

pembahasan. Kedua, pembahasan-pembahasan ini mempunyai hubungan dengan Al-

Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai al-Qur’an maupun aspek pemahaman

kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk hidup bagi manusia.

B. Ruang lingkup ‘Ulum AL-Qur’an

12
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, ( Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), Cet. Ke IV, h. 9
8

Berdasarkan pengertian ‘Ulum AL-Qur’an di atas dapat dipahami tentang ruang

lingkup Ulum Al-Qur’an, yaitu semua ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an

berupa ilmu agama dan ilmu ‘Ibrab Al-Qur’an. Bahkan As-Suyuthi sebagaimana

dikutip oleh Ahmad Syadali memperluasnya sehingga memasukkan kedokteran, ilmu

ukur, astronomi dan sebagainya ke dalam pembahasan ‘Ulumul Qur’an.13

Namun As-Shiddiqie sebagaimana yang dikutip oleh Ramli Abdul Wahid

mengatakan bahwa segala macam pembahasan ‘Ulumul Qur’an kembali kepada


beberapa pokok persoalan sebagai berikut:

1. Persoalan Nuzul, ayat-ayat Makiyah atau Madaniyah, sebab turun ayat, yang mula-

mula turun dan yang terakhir turun, yang berulang-ulang turun, yang turun terpisah

pisah, dan yang turun sekaligus

2. Persoalan sanad, meliputi hal-hal yang berhubungan dengan sanad yang

muthawatir, yang ahad, yang Syaz, bentuk-bentuk Qirat, para periwayat dan

penghafal Al-Qur’an dan cara tahammul ( penerimaan riwayatnya)

3. Persoalan adad Qiraat, masalah waqaf (berhenti), ibtida’ (cara memulai), imalah(

cara memanjangkan) takhfif Hazah (cara meringankan Hamzah), idgham

(memasukkan bunyi huruf nun mati ke dalam huruf sesudahnya)


4. Persoalan yang menyangkut lafal Al-Qur’an yaitu Gharib (pelik), Mu’rab

(menerima perubahan akhir kata), majaz (metafora), musytarak, muradif (sinonim),

isti’arah (metaphor), tasybih (penyerupaan).

5. Persoalan makna al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum yaitu ayat yang

bermakna umum yang dikhususkan oleh sunnah, yang nash, yang zhahir, yang

mujmal (global), yang munfashal (yang terinci), yang manthuq (makna yang

13
Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 11
9

berdasarkan pengutaraan), nasikh mansukh, mutlaq (tidak terbatas) dan muqayyad

(terbatas) dan lain sebagainya

6. Persoalan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan lafal fashl (pisah), washal

(berhubungan), ijaz (singkat), ithnab (panjang) musawah (sama) dan qashr

(pendek).14

C. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan ‘Ulumul Qur’an


Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ‘Ulumul Qur’an

tidak lahir sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu cabang disiplin ilmu

setelah melalui proses pertumbuhan dan perkembangannya.

Dalam hal ini tentu banyak Pribadi dan kondisi yang membuatnya sebagai

cabang ilmu yang penting untuk memahami kitab suci Al Qur’an. Berikut ini kita lihat

bagaimana alur lahirnya cabang ilmu ini.

1. Masa Sebelum Penulisan

Di masa Rasulullah dan para sahabat, Ulumul Qur’an belum dikenal sebagai

suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang Arab asli yang

dapat merasakan struktur bahasa Ara yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan
kepada Rasul SAW. Bila mereka menemukan ksulitan dalam memahami ayat-ayat

tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW. Sebagai contoh,

ketika turun ayat:

14
Ramli Abdul Wahid, op.cit., h. 8
10

Terjemahnya: ”Dan mereka tidak mencampuradukkan iman mereka dengan

kezaliman…..”(Q.S Al-An’am: 82).15 Para sahabat bertannya: “siapa dari kami yang

tidak menganiaya (menzalimi) dirinya?”. Nabi menafsirkan kata zulm di sini dengan

syirik berdasarkan ayat:

Terjemahnya: “…sesungguhnya Syirik itu kezaliman yang besar “ (Q.S

Luqman: 13)16

Ada tiga faktor yang menyebabkan Ulumul Qur’an tidak dibukukan di masa
Rasul dan Sahabat.

1. Kondisinya tidak membutuhkan karena kemampuan mereka yang besar untuk

memahami Al-Qur'an dan rasul dapat menjelaskan maksudnya.

2. Para sahabat sedikit sekali yang pandai menulis

3. Adanya larangan Rasul untuk menuliskan selain Al-Qur’an.

Semuanya ini merupakan faktor yang menyebabkan tidak tertulisnya ilmu ini

baik di masa Nabi maupun di zaman sahabat.17

2. Masa Penulisan Ulumul Qur’an

Di zaman khalifah usman Bin Affan wilayah Islam bertambah luas sehingga

terjadi pembauran antara penakluk Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui
bahasa Arab. Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan sahabat akan

terjadinya perpecahan di kalangan muslimin tentang bacaan Al-Qur’an, selama mereka

tidak memiliki sebuah Al-Qur’an yang menjadi standar bagi bacaan mereka. Sehingga

disalinlah dari tulisan aslinya sebuah al-Qur’an yang disebut Mushaf Imam. Dengan

15
Departemen Agama, op.cit, h. 138
16
Ibid., h. 412
17
Shubhi Al-Shalih, Mabaahits fi Ulumul Qur’an,( Beirut: Dar al-‘ilm al-Malayin, 1977), h.
120
11

terlaksananya penyalinan ini, maka berarti Usman telah meletakkan suatu dasar

Ulumul Qur’an yang disebut Rasm Al-Qur’an atau Ilmu al-Rasm al- Utsmani.18

Di masa Ali terjadi perkembangan baru dalam ilmu Qur’an. Karena melihat

banyaknya umat Islam yang berasal dari bangsa non Arab, kemerosotan dalam bahasa

Arab, dan kesalahan pembacaan Al-Qur’an. Ali menyuruh Abu al-Aswad al-Duali

untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini dilakukan untuk memelihara

bahasa Arab dari pencemaran dan menjaga Al-Qur’an dari keteledoran pembacanya.
Tindakan khalifah Ali ini dianggap perintis bagi lahirnya ilmu nahwu dan I’rab al-

Qur’an.19

Pada zaman Bani Umayyah, kegiatan para sahabat dan tabi’in terkenal dengan

usaha-usaha mereka yang tertumpu pada penyebaran ilmu-ilmu Al-Qur’an melalui

jalan periwayatan dan pengajaran secara lisan, bukan melalui tulisan atau catatn.

Kegiatan-kegiatan ini dipandang sebagai persiapan bagi masa pembukuannya.

Orang yang paling berjasa dalam usaha periwayatan ini adalah khalifah yang empat,

Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah Ibn al-Zubair

dari kalangan sahabat. Sedangkan dari kalangan tabi’in ialah Mujahid, Atha’, Ikrimah,

Qatadah, Al-Hasan al-Bashri, Sa’id Ibn Jubair, dan Zaid Ibn Aslam di Madinah.
Kemudian Malik bin Anas dari generasi tabi’tabi’in. mereka semuanya dianggap

sebagai peletak batu pertama bagi apa yang disebut ilmu tafsir, ilmu asban al-nuzul,

ilmu nasikh dan mansukh, ilmu gharib al- Qur’an dan lainnya.

Pada abad ke 2 H ulumul Qu’an memasuki masa pembukuan. Para ulama

memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai

18
Muhammad Abdul ‘Azim Al-Zarqani, op.cit., h. 30
19
Kahar Mansyur, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 32
12

Umm al-‘ulum al-Qur’aniah (induk ilmu-ilmu Al-Qur’an). Penulis pertama dalam

tafsir adalah Syu’bah Ibn al-Hajjaj, Sufyan Ibn ‘Uyaynah, dan Wali’ Ibn al-Jarrah.

Pada abad ke-3 terkenal seorang tokoh tafsir, yaitu Ibn Jarir al-Thabari. Dia

orang pertama membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagiannya atas

lainnya. Ia juga mengemukakan I’rab dan istinbath (penggalian hukum dari al-Qur’an).

Di abad ini juga lahir ilmu asbab al-Nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu tentang

ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah.


Berikut ini dapat kita lihat karya ulama pada abad ke -3, yaitu:

1. Kitab Asbab al-Nuzul karangan Ali Ibn Al-Madini

2. Kitab nasikh dan mansukh, Qiraat dan keutamaan Al-Qur’an disusun oleh Abu

‘Ubaid al-Qasim Ibn Salam.

3. Kitab tentang ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah karya Muhammad Ibn Ayyub al

Dharis20

Di abad ke-4 lahir ilmu gharib al-Qur’an dan beberapa kitab Ulumul Qur’an.

Adapun Ulama ulumul Qur’an pada masa ini adalah:

1. Abu Bakar Muhammad Ibn al-Qasim al-Anbari, kitabnya ‘Ajaib Ulumul Qur’an.

Isi kitab ini tentang keutamaan Al-Qur’an, turunnya atas tujuh huruf, penulisan
mushaf-mushaf, jumlah surah, ayat dan kata –kata Al-Qur’an.

2. Abu al-Hasan al-‘Asy’ari, kitabnya Al-Mukhtazan fi Ulumul Qur’an

3. Abu Bakar al-Sijistani, kitabnya Gharib al-Qur’an

4. Muhammad Ibn Ali al-Adfawi, kitabnya Al- Istighna fi Ulumul Qur’an.21

20
Shubhi al- Shalih, op.cit., h. 121-122
21
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqi, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973. H.14
13

Di abad ke-5 muncul pula tokoh dalam ilmu qiraat. Adapun para tokoh serta

karyanya adalah;

1. Ali Ibn Ibrahim Ibn Sa’id al- Hufi, kitabnya Al- Burhan fi Ulumul Qur’an dan I’rab

Al-Qur’an

2. Abu Amr al- Dani, kitabnya Al-Taisir fi al-Qiraat al-Sab’I dan Al- Muhkam fi al-

Nuqath

3. Al- Mawardi, kitabnya tentang amtsal Qur’an.22

Pada abad ke-6 lahir pula ilmu Mubhamat al-Qur’an. Abu Qasim Abdur

Rahman al-Suahaili mengarang Mubhamat al-Qur’an. Ilmu ini menerangkan lafal-lafal

Al-Qur’an yang maksudnya apa dan siapa tidak jelas. Ibn al-Jauzi menulis kitab Funun

al- Afnan Fi ‘Aja’ib al-Qur’an dan kitab Al- Mujtaba fi Ulum Tata’allaq bi al-

Qur’an.23

Pada abad ke-7 Ibn Abd al-Salam yang terkenal dengan sebutan Al’Izz

mengarang kitab Majaz al-Qur’an. ‘Alam al-Din al-Sakhawi mengarang tentang

Qiraat. Ia menulis kitab Hidayah al- Murtab fi al- Mutasyabih. Abu Syamah Abd al-

Rahman Ibn Ismail al- Maqdisi, menlis kitab Al- Mursyid al- Wajiz fi ma Yata’allaq bi
al- Qur’an al- ‘Aziz.

Pada abad ke-8 H muncul beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru

tentang Al-Qur’an, seperti berikut ini:

1. Ibn Abi al- Ishba’, kitabnya tentang badai al-Qur’an.

Ilmu ini membahas berbagai macam keindahan bahasa dalam al-Qur’an.

22
Ibid.
23
Nawawi, Rifat Syauqi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, ( Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 221
14

2. Ibn Qayyim, menulis tentang Aqsamul Qur’an

3. Najamuddin al-Thufi, menulis tentang Hujaj al-Qur’an. Isi kitab ini tentang bukti-

bukti yang dipergunakan Al-Qur’an dalam menetapkan suatu hukum

4. Abu Hasan al-Mawardi menyusun ilmu amstal al-Qur’an

5. Badruddin al-Zarkasyi, kitanya Al- Burhan fi Ulum Al-Qur’an.24

Pada abad ke- 9 muncul beberapa ulama melanjutkan perkembangan ilmu-ilmu


Qur’an, yaitu:

1. Jalaluddin al- Bulqini, kitabnya Mawaqi’ al- Ulum min Mawaqi’ al- Nujum.

Menurut Al-Suyuthi, Al-Buqini dipandang sebagai ulama yang mempelopori

penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab dalam kitabnya tercakup 50

macam ilmu Al-Qur’an

2. Muhammad Ibn Sulaiman al-Kafiaji, kitabnya Al-Tafsir fi Qawa’id al-Tafsir. Di

dalamnya diterangkan makna tafsir, takwil, al-Qur’an, surat dan ayat. Juga

dijelaskan dalam kitabnya itu tentang syarat-syarat menafsirkan ayat-ayat Al-

Qur’an.

3. Jalaluddin al-Suyuthi, kitabnya Al-Tahbir fi Ulum al-Tafsir (873 H). Kitab ini
memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Menurut sebagian Ulama. Kitab ini

dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an yang paling lengkap. Al-Suyuthi merasa

belum puas, beliau menyusun lagi sebuah kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Di

dalam kitab ini terdapat 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan

sistematis. Menurut al- Zarqani kitab ini merupakan kitab pegangan bagi para

peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Setelah wafatnya Al-Suyuthi tidak terlihat

24
Ibid., h. 222
15

munculnya penulis yang memiliki kemampuan seperti kemampuannya. Sehingga

terjadi kevakuman sejak wafatnya Imam Al-Suyuthi sampai dengan akhir abad ke

13 H.25

Sejak penghujung abad ke-13 H hingga abad ke -15, perhatian ulama terhadap

penyusunan kitab-kitab Ulumul Qur’an kembali bangkit. Kebangkitan ini sejalan

dengan kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama lainnya.diantara

Ulama yang menulis tentang Ulumul Qur’an ialah:


1. Syeikh Thahir Al-Jazairi, kitabnya Al-Tibyan li Ba’dh Al- Mabahits Al-

Muta’alliqah bi Al-Qur’an.

2. Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi (1332 H) kitabnya, Mahaasin Al-Takwil

3. Muhammad Abd Al-‘Azhim Al-Zarqani, kitabnya Manaahil Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al-

Qur’an.

4. Musthafa Shadiq Al-Rafi’, kitabnya I’jaz Al-Qur’an

5. Sayyid Quttub, kitabnya Al-Thaswir al-Fanni Fi Al-Qur’an dan Fi Zilal Al-Qur’an

6. Muhammad Rasyid, kitabnya Tafsir al-Mannar

7. Shubhi al-Shalih, kitabnya Mabaahits Fi Ulum Al-Qur’an

8. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqi, kitabnya ilmu-ilmu Qur’an


9. Rif’at Syauki Nawawi dan Ali Hasan, kitabnya Pengantar ilmu Tafsir

10. M. Quraish Shihab, kitabnya membumikan Al-Qur’an.26

Adapun mengenai kapan lahirnya istilah Ulum Al-Qur’an, terdapat tiga

pendapat, yaitu:

25
Ramli Abdul Wahid, op.cit., h.20
26
Ibid., h.21
16

1. Pendapat umum di kalangan para penulis sejarah ‘Ulum Al-Qur’an mengatakan

bahwa lahirnya istilah ‘Ulum Al-Qur’an pertama kali ialah pada abad ke-7.27

2. Ibn Sa’id yang terkenal dengan sebutan Al-Hufi, dengan demikian menurutnya,

istilah ini lahir pada permulaan abad ke-15.28

3. Shubhi Al-Shalih berpendapat lain. Menurutnya, orang yang pertama kali

menggunakan istilah ‘Ulum Al-Qur’an ialah Ibn Al-Mirzaban. Dia berpendapat

seperti ini berlandasan pada penemuannya tentang beberapa kitab yang berbicara
tentang kajian Al-Qur’an yang telah mempergunakan istilah ‘Ulum Al-Qur’an.

Yang paling awal menurutnya ialah kitab Ibn Al-Mirzaban yang berjudul Al-Hawi

Fi ‘Ulum Al-Qur’an yang ditulis pada abad ke-3 H. Hal ini juga disepakti oleh

Hasbi As-shiddieqi.29

D. Urgensi mempelajari Al-Qur’an

Adapun tujuan dari mempelajari ‘Ulumul Qur’an adalah:

1. Agar dapat memahami kalam Allah ‘Aza Wajalla sejalan dengan keterangan yang

dikutip oleh para sahabat dan para tabi’in tentang interprestasi mereka terhadap Al-

Qur’an
2. Agar mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir)

dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli

tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.

3. Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur’an

27
Muhammad Abd Al-‘Azhim Az-Zarqani, op.cit., h. 34
28
Ibid., h. 34-35
29
T.M. Hasbi As-Shiddiqie, op.cit., h. 16
17

4. Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.30

Hubungan ‘Ulumul Qur’an dengan tafsir juga dapat dilihat dari beberapa hal

yaitu:

a. Fungsi ‘Ulumul Qur’an sebagai alat untuk menafsirkan, yaitu:

1. Ulumul Qur’an akan menentukan bagi seseorang yang membuat syarah atau

menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat dapat dipertanggung jawabkan.


Maka bagi mafassir ‘Ulumul Qur’an secara mutlak merupakan alat yang harus

lebih dahulu dikuasai sebelum menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.

2. Dengan menguasai ‘Ulumul Qur’an seseorang baru bisa membuka dan

menyelami apa yang terkandung dalam Al-Qur’an

3. ‘Ulumul Qur’an sebagai kunci pembuka dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an

sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya dan mempunyai

kedudukan sebagai ilmu pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an.

b. Fungsi ‘Ulumul Qur’an sebagai Standar atau Ukuran Tafsir

Apabila dilihat dari segi ilmu, ‘Ulumul Qur’an sebagai standar atau ukuran

tafsir Al-Qur’an artinya semakin tinggi dan mendalam ‘Ulumul Qur’an dikuasai oleh
seseorang mufassir maka tafsir yang diberikan akan semakin mendekati kebenaran,

maka dengan ‘Ulumul Qur’an akan dapat dibedakan tafsir yang shahih dan tafsir yang

tidak shahih.

Ada beberapa syarat dari ahli tafsir (mufassir) yaitu:

1. Akidahnya bersih

2. Tidak mengikuti hawa nafsu

30
Muhammad ‘Ali Al-Shabuni, loc. cit, h.18
18

3. Mufassir mengerti Ushul at-Tafsir

4. Pandai dalam ilmu riwayah dan dirayah hadits

5. Mufassir mengetahui dasar-dasar agama

6. Mufassir mengerti ushul fiqh

7. Mufassir menguasai bahasa Arab.31

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ‘Ulumul Qur’an sangat penting
dipelajari dalam rangka sebagai pijakan dasar dalam menafsirkan Al-Qur’an oleh para

mufassir. Dapat dikatakan semakin dikuasainya ‘Ulumul Qur’an oleh mufassir maka

semakin tinggilah kualitas tafsir yang dibuatnya.

31
Ibid., h. 218-219
19

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ‘Ulumul Qur’an adalah ilmu yang

membahas segala hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang

disandarkan kepada Al-Qur’an sebagai penunjang untuk memahami Al-Qur’an

secara luas dan mendalam. Perlu kita pelajari agar tidak terjadi kesalahan dalam
memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi acuan dan pedoman

hidup dalam rangka meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.

2. Pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulumul Qur’an berlangsung dalam rentang

waktu yang panjang. Walaupun pada masa nabi hidup di siplin ilmu ini belum

dibukukan, sebab sahabat merasa cukup meminta penjelasan dari rasul akan sesuatu

yang tidak dipahami. Namun hal ini berkembang, dimana wilayah Islam telah luas

dan banyak orang ‘Ajam (non Arab) yang masuk Islam, tentunya mereka

mengalami kesulitan dalam membaca dan memahami Al-Qur’an. Lahirlah inisiatif

dari Usman untuk menyalin Al-Qur’an kembali dari Salinan Al-Qur’an yang

pernah ditulis di masa Nabi hidup dan diperbanyak. Tindakan ini disusul dengan
berbagai kegiatan para sahabat dan para tabi’in untuk menggali berbagai ilmu

dalam Al-Qur’an, sehingga lahirlah berbagai kitab. Akhirnya pada abad ke-2 H

‘Ulumul Qur’an mulai dibukukan. Dengan kitab-kitab yang sudah ditulis tersebut

semakin meramaikan pembahasan para Ulama tentang Al-Qur’an.

3. Imam As-Suyuthi adalah salah satu Ulama ‘Ulumul Qur’an yang berpengaruh,

karena kitabnya menjadi pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini.
20

DAFTAR PUSTAKA

Abu Sya’bah, Muhammad bin Muhammad, al- Madkhal li Dirasah al-Qur’an al-
Karim (tt, tp)

Abu Syahbah, Muhammad bin Muhammad, al- Madkhal li Dirasah al- Qur’an al-
Karim, (Beirut: Dar al- Jil, 1992/1412).

As-Shiddiqie, T.M. Hasbi, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993).


Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Jakarta: PT. Syamil Cipta
Media, 2004).

Al-Farizi, Mujid al-Din Muhammad bin Ya’qub, al-Qamus al- Muhith, (Mesir:
Mustafa al-Baby al-Halaby, 1952/1371 H), Juz. IV, Cet. II.

Mansyur, Kahar, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992).

Nawawi, Rifat Syauqi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, ( Jakarta: Bulan
Bintang, 1988)

Al-Qathan, Manna’, Mabahits fi ‘Ulum al-Qu’an. ( Beirut: Al- Syarikah al-Muttahidah


li al-tauzi’, 1973).

Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, ( Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), Cet. Ke IV.

Al-Shalih, Shubhi, Mabaahits fi Ulumul Qur’an,( Beirut: Dar al-‘ilm al-Malayin,


1977).

Ash-Shiddieqi, T.M. Hasbi, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973.

___________, T.M. Hasbi, Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1980), Cet. VII.

Syadali, Ahmad, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1997).

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), Cet.


VIII.

Al-Zarqani, Muhammad ‘Abdul ‘Azhim, Manahil al- Irfan fi Ulum al-Qur’an, ( Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmi’ah, 1996/1416 H), Juz I.
21

_________, Muhammad Abdul ‘Azim, Manahil al- ‘Irfan fi ulum al- Qur’an, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1988)
Makalah

AQSAM AL-QUR’AN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Ulumul Qur’an

RESKI EKA PUTRI

80100221178

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR


2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam menghadapi kebenaran dan agama, manusia itu berbeda dalam

cara menerima, menghayati, dan mengamalkannya. Bagi orang yang bersih

jiwanya dan tidak dikotori hawa nafsunya, mereka siap menerima kebenaran

agama dengan mudah, lancar serta insyaf. Mereka tidak membutuhkan

argumentasi, teori muluk-muluk,bukti-bukti maupan ucapan-ucapan yang

diperkuat dengan taukid atau sumpah.

Sebaliknya, bagi orang yang jiwanya dikotori hawa nafsu, kebatilan dan

tipuan setan, mereka tidak akan mau menerima kebenaran agama. Mereka

menerima kebenaran agama setelah jiwanya di masuki bentuk-bentuk ungkapan

yang menenangkan jiwa, baik diberi penguat (taukihd) ataupun sumpah (qasam)

untuk menyadarkan mereka.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka adapun rumusan

masalahnya sebagai berikut:

1. Apa pengertian dan Huruf-huruf Qasam?

2. Apa saja macam-macam Aqsam alquran?


3. Apa saja Unsur-unsur Aqsam alquran?

4. Apa saja fungsi Aqsam alquran?

5. Apa saja Hikmah Aqsam alquran

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian dan Huruf-huruf Qasam?

2. Untuk mengetahui macam-macam Aqsam alquran

3. Untuk mengetahui Unsur-unsur Aqsam alquran.


4. Untuk mengetahui fungsi Aqsam alquran
BAB II

Pembahasan

A. Pengertian Aqsam Al-Qur’an

Secara bahasa aqsam adalah bentuk jamak dari qasam yang berarti al-

hilf dan al-yamin, yang berarti sumpah. Bentuk asli dari qasam adalah dengan

menggunakan kata kerja aqsama atau ahlafa yang dimuta‟adi(transitif)kan

kepada muqsam bih (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah) dengan huruf ba,

setelah itu baru disebutkan muqsam „alaih (sesuatu yang karena sumpah

diucapkan), atau disebut juga dengan jawab qasam.[1]

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, sumpah (aqsam) berarti dengan

pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersakasi kepada Tuhan atau

sesuatu yang dianggap suci bahwa apa yang dikatakan atau dijanjikan itu

benar.[2]

Abu al-Qosim al-Qusyairiy menerangkan bahwa rahasia Allah swt.

menyebutkan kalimat qasam atau sumpah dalam Kitab-Nya adalah untuk

menyempurnakan serta menguatkan hujjah-Nya, dan dalam hal ini,

kalimat qasam memiliki dua keistimewaan, yaitu pertama sebagai syahadah atau

persaksian serta penjelasan dan kedua sebagai qasam atau sumpah itu sendiri.[3]

Sedangkan menurut Manna’ al-Qattan, qasam adalah sebagai pengikat


jiwa (hati) agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dengan suatu

makna yang dipandang besar atau agung, baik secara hakiki maupun i‟tiqadi oleh

yang bersumpah itu. Bersumpah juga dinamakan dengan al yamin (tangan kanan),

karena orang Arab ketika sedang bersumpah memegang tangan kanan

sahabatnya. [4]
Jika demikian, maka pengertian aqsamul Qur‟an adalah salah satu dari

ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang mengkaji tentang arti, maksud, hikmah, dan

rahasia sumpah-sumpah Allah yang terdapat dalam al-Qur’an.

B. Huruf-huruf Qasam

Huruf-huruf yang digunakan untuk qasam (sumpah) ada tiga macam,

yaitu:

1. Huruf wawu, seperti dalam firman Allah swt . :

﴾٢﴿‫﴾ َواللَّ ْي ِل إِذَا َس َجى‬١﴿‫ض َحى‬


ُّ ‫َوال‬
“Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi

(gelap)”. (QS. adh-Dhuha [93] : 1-2)

2. Huruf ba‟, seperti firman Allah swt. :

﴾١﴿‫ََل أ ُ ْق ِس ُن بِيَ ْى ِم ْال ِقيَا َه ِة‬

“Aku bersumpah demi hari kiamat”. (QS. al-Qiyamah [75] : 1)

3. Huruf ta‟, seperti firman Allah swt. :

﴾٦٥﴿ َ‫َاَّلل لَت ُ ْسأَلُ َّي َع َّوا ُكٌت ُ ْن ت َ ْفت َُروى‬


ِ َّ ‫ت‬
“Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang telah kamu

ada-adakan”. (QS. an-Nahl [16] : 56)

C. Macam-macam Qasam dalam Al-Qur’an

Sumpah dalam al-Qur’an terbagi dua macam:[5]


1. Zhahir, yaitu sumpah yang di dalamnya disebutkan fi‟il qasam dan muqsam

bih nya, atau qasam yang tidak disebutkan fi‟il qasamnya, tapi diganti

dengan huruf ba‟, wawu, ta‟. Seperti firman Allah swt. :

﴾٢﴿‫﴾ َو ََل أ ُ ْق ِس ُن بِالٌَّ ْف ِس اللَّ َّىا َه ِة‬١﴿‫ََل أ ُ ْق ِس ُن بِيَ ْى ِم ْال ِقيَا َه ِة‬

“Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat

menyesali (dirinya sendiri).”[6] (QS. al-Qiyamah [75] : 1-2)


2. Mudhmar, yaitu sumpah yang di dalamnya tidak dijelaskan fi‟il qasam dan tidak

pula muqsam bih, tapi ia ditunjukkan oleh lam taukid yang masuk pada jawab

qasam. Seperti yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 186

‫لَت ُ ْبلَ ُى َّى فِي أ َ ْه َىا ِل ُك ْن َوأًَفُ ِس ُك ْن‬

“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu”. (QS. Ali

Imran [3] : 186)

D. Unsur-unsur Qasam

Unsur-unsur qasam dibagi menjadi empat macam, yaitu sebagai

berikut.[7]

1. Muqsim

Muqsim adalah pelaku yang mengucapkan sumpah.

2. Adat Qasam

Adat qasam adalah alat atau perangkat yang digunakan untuk bersumpah,

baik menggunakan fi‟il qasam maupun huruf seperti wawu, ba‟, ta‟. Perangkat

qasam baik yang berbentuk uqsimu ataupun ahlifu harus disertai dengan

huruf ba‟ seperti yang terdapat pada dalam surat an-Nahl.

‫اَّلل َج ْهدَ أ َ ْي َواًِ ِه ْن‬


ِ َّ ِ‫َوأ َ ْق َس ُوىا ب‬
“Mereka bersumpah dengan nama Allah” (QS. an-Nahl [16] : 38)

3. Muqsam Bih
Muqsam bih yaitu sesuatu yang dijadikan sumpah sebagai penguat

pembicaraan. Sumpah dalam al-Qur’an ada kalanya dengan memakai nama yang

Agung (Allah), dan ada kalanya dengan menggunakan nama-nama ciptaan-Nya.

Umat Islam dilarang bersumpah dengan menyebut nama selain Allah.

Seperti yang telah disabdakan Rasulullah saw.


َ‫َّللا فَقَ ْد َكفَ َر أ َ ْو أَش َْرك‬ َ َ‫َم ْن َحل‬
ِ ‫ف بِغَ ْي ِر ه‬
“Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka dia telah kafir atau berbuat

syirik.” (HR. Ibnu Hibban dan Tirmidzi)

4. Muqsam „Alaih (Jawab Qasam)

Muqsam „alaih yaitu isi atau bentuk berita yang dilakukan dalam

bersumpah atau sesuatu yang disumpahkan, berfungsi sebagai jawaban dari

qasam. Seperti firman Allah,

﴾٣﴿ َ‫﴾إًَِّ َك لَ ِويَ ْال ُو ْر َسلِيي‬٢﴿‫آى ْال َح ِك ِين‬


ِ ‫﴾ َو ْالقُ ْر‬١﴿‫يس‬
“Yaa siin Demi. Al Quran yang penuh hikmah. Sesungguhnya kamu salah

seorang dari rasul-rasul" (QS. Yaasiin [36] : 1-3)

E. Fungsi dan Urgensi Aqsam Al-Qur’an

Qasam adalah taukid yang terkenal untuk menekankan kebenaran apa

yang kita sebut. Al-Qur’an diturunkan untuk segenap manusia yang menanggapi

Al-Qur’an dengan bermacam-macam keadaan. Ada yang ragu-ragu, ada yang

menolak, ada yang sangat menantang, maka dikuatkan dengan sumpah, adalah

untuk menghilangkan keragu-raguan itu.[8] Menurut syaikh manna’ al-

qatthan, qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk

memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa.[9]

F. Hikmah Qasam dalam Al-Qur’an

Diantara hikmah-hikmah adanya qasam di dalam al-Qur’an adalah sebagai


berikut.[10]

1. Untuk menegaskan kebenaran al-Qur’an.

2. Salah satu cara untuk menguatkan pembicaraan agar lawan bicara dapat percaya

dan menerima.

3. Menjelaskan betapa agungnya al-muqsam bih dan betapa pentingnya al-muqsam

„alaih.
4. Allah menggunakan beberapa benda sebagai sumpah-Nya, dimaksudkan agar

manusia memperhatikan kebesaran Allah melalui ciptaan-Nya. Dengan begitu

manusia merasa rendah di hadapan Allah.

5. Menggunkan sifat dan kekuatan Allah SWt


BAB III

Kesimpulan

1. Menurut pemaparan makalah di atas, kesimpulan yang dapat diambil

yakni, bahwasannya aqsamul Qur‟an adalah salah satu dari ilmu-ilmu tentang al-

Qur’an yang mengkaji tentang arti, maksud, hikmah, dan rahasia sumpah-sumpah

Allah yang terdapat dalam al-Qur’an untuk mempertegas dan memperkuat berita

yang sampai kepada pendengar.

2. Huruf-huruf yang digunakan untuk bersumpah yakni ada tiga macam, wawu,

ba‟, ta‟.

3. Unsur yang digunakan dalam qasam yaitu Muqsim (yang bersumpah), adat

qasam, muqsam bih (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah), muqsam

„alaih (pernyataan karenanya sumpah diucapkan atau jawab qasam).

4. Tujuan diucapkannya sumpah adalah sebagai taukid untuk menguatkan sebuah

pendapat jika seseorang mengingkari, ragu-ragu maupun menolak dan bahkan

menentang pendapat yang telah kita ucapkan. Maka pendapat tersebut dapat

dikukuhkan dengan sumpah, agar orang yang mendengarkan dapat percaya

dengan apa yang telah kita ucapkan.


Daftar Pustaka

Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya.

Manna’ Khakil al-Qattan, Studi _lmu-Ilmu Al-Qur‟an.

Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur‟an.

Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i, Al-Itqaan fi Ulumil Qur‟an.

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur‟an Ilmu-ilmu Pokok

Dalam Menafsirkan Al-Qur‟an.

Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi 1.1 offline.

[1] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Litera

AntarNusa, 2013), hal. 413-414

[2] Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi 1.1 offline, 2010

[3] Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i, Al-Itqaan fi Ulumil Qur‟an, (Beirut: Dar al-

Fikr, 1429H/2008M), hal. 487.

[4] al-Qattan, hal. 414

[5] Al-Qattan, hal. 417-418

[6] Maksudnya: bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal kenapa ia tidak berbuat

lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan.

[7] Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur‟an (Yogyakarta: Teras,


20013), hal. 104-105

[8] Teungku Muhammad hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur-an Ilmu-ilmu

Pokok Dalam Menafsirkan Al-Qur‟an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002),

hal. 184.

[9] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta:

pustaka al-Kautsar, 2011), cet.keenam, hal. 366.

[10] Mohammad Gufron dan Rahmawati, hal.109-110


RASM AL-QUR’AN

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Perkuliahan


Metodologi Penelitian Jurusan Dirasah Islamiyah
Konsentrasi Syariah/Hukum Islam
Pascasarjana UIN Alauddin
Makassar

Oleh:
MARYAM
80100221182

JURUSAN DIRASAH ISLAMIYAH


KOSENTRASI SYARIAH / HUKUM ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir dimaksudkan untuk menjadi


petunjuk, bukan saja bagi anggota masyarakat tempat kitab diturunkan, tetapi juga
bagi seluruh masyarakat manusia hingga akhir zaman.
Al-Qur’an juga merupakan salah satu sumber hukum islam yang
menduduki peringkat teratas.Dan seluruh ayatnya berstatus qat’i al-wurud yang
diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah SWT.
Autensitas serta orisinilitas al-Qur’an benar-benar dapat dipertanggung
jawabkan. Karena ia merupakan kalam Allah baik dari segi lafadz maupun dari
segi maknanya.Sejak awal hingga akhir turunnya, seluruh ayat al-Qur’an telah
ditulis dan didokumentasikan oleh para penulis wahyu yang ditunjuk oleh
Rasulullah SAW.
Disamping itu seluruh ayat al-Qur’an dinukilkan atau diriwayatkan secara
mutawattir baik secara hafalan maupun tulisan, ditulis dan dibukukan dalam satu
mushaf. Al-Qur’an yang dimiliki umat Islam sekarang mengalami proses sejarah
yang unik dalam penulisannya untuk dikumpulkan dalam satu mushaf. Akan
tetapi hanya ditulis dalam kepingan-kepingan tulang, pelapah-pelapah kurma, dan
batu-batu sesuai dengan kondisi peradaban masyarakat pada waktu itu yang belum
mengenal adanya alat tulis menulis seperti kertas. Untuk memfungsikan al-Qur’an
dan memahami isi serta kandungannya maka diperlukan suatu ilmu yang terkait
salah satunya adalah ilmu rasm al-Quran.1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi pengertian rasm al-Qur’an ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan rasm al-Qur’an ?
3. Bagaimana kaidah penulisan rasm al-Qur’an ?
4. Bagaimana kedudukan rasm al-Qur’an ?

1
http://arwinabintisupriono.blogspot.com/2017/12/rasmal-quran-makalah-disusununtuk.html
(Diakses 16 juni 2022)
1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Rasm Al-Qur’an

Kata rasm berasal dari kata rasama-yarsamu, berarti menggambar atau

melukis. Yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah melukis kalimat dengan

merangkai huruf-huruf hijaiyah. Dengan kata lain, Ilmu Rasm al-Qur’an adalah ilmu

yang mempelajari tentang penulisan mushaf al-Qur’an yang dilakukan dengan cara

khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang

digunakannya. Dalam hal ini yang dikehendaki dengan rasm mushaf merupakan

tulisan kalimat-kalimat al-Qur’an dan huruf-hurufnya yang sudah direstui oleh Utsman

bin ’Affan.2

Dapat dikatakan bahwa rasm al-Qur’an berarti tata cara menuliskan al-Qur’an

yang dtetapkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Ulama Tafsir lebih cenderung

menamainya dengan istilah rasm al-mushaf, dan ada pula yang menyebutnya dengan

rasm Al-Utsmani. Penyebutan demikian dipandang wajar karena Khalifah Utsman bin

Affan yang merestui dan mewujudkannya dalam bentuk kenyataan. Rasm al-mushaf

adalah ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan dengan sahabat

lainnya dalam hal penulisan al-Qur’an berkaitan dengan mushaf-mushaf yang di kirim ke

berbagai daerah dan kota.

B. Sejarah Perkembangan Rasm Al-Qur’an

Pada mulanya, mushaf para sahabat berbeda sama sekali antara satu dan lainnya.

Mereka mencatat wahyu al-Qur’an tanpa pola penulisan standar karena umumnya

dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak ada rencana untuk diwariskan kepada

generasi sesudahnya. Di antara mereka, ada yang menyelipkan catatan tambahan dari

2
Badrudin, “RASM ALQUR’AN DAN BENTUK-BENTUK PENULISANNYA”, Jurnal al-Fath, Vol.10No.
02(Juli-Juni) 2016, h. 107

2
penjelasan Nabi SAW. ada juga yang menambahkan simbol tertentu dari tulisannya yang

hanya diketahui penulisnya. Mushaf yang ditulis pada masa khalifah Utsman bin Affan

tidak memiliki harakat dan tanda titik, sehingga orang non-arab yang baru masuk Islam

merasa kesulitan dan sering terjadi kesalahan dalam membaca.. Oleh karena itu

dibutuhkan tanda agar memudahkan dalam membaca al-Qur’an.

Pada masa permulaan Islam, mushaf al-Qur’an belum mempunyai tanda-tanda

baca dan baris, belum ada tanda-tanda berupa titik sehingga sulit membedakan antara

huruf ya dan ba dan kha, dan seterusnya. Para sahabat belum menemukan kesulitan

membacanya karena rata-rata masih mengandalkan hapalan. Mushaf Utsmani tidak seperti

yang dikenal sekarang yang dilengkapi oleh tanda-tanda baca.

Kesulitan mulai muncul ketika dunia Islam semakin meluas ke wilayah-wilayah

non-Arab, seperti Persia disebelah Timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa wilayah

non-Arab lainnya disebelah Barat. Masalah ini mulai disadari oleh pimpinan dunia Islam.

Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat menjadi Gubernur Bashrah, Irak, pada masa

kekuasaan Mu’awwiyah ibn Abi Sufyan (661-680), Riwayat lain menyebutkan pada masa

pemerintahan Ali bin Abi Thalib, ia memerintahkan untuk segera membuat tanda baca,

terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an bagi generasi yang

tidak hapal al-Qur’an. Beliau berinisiatif membubuhkan tanda baca (harakat) pada ayat-
ayat al-Qur’an untuk memudahkan pembacaan. Khalifah Ali memercayakan urusan itu

kepada seorang ahli tata bahasa bernama Abu al-Aswad al-Duwali.

Ad-Duwali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan kasus salah baca yang

sangat fatal. Sehingga atas perintah gubernur itu, Ad-Duwali memberi tanda baca baris

atas (Fathah) berupa sebuah titik di atas huruf, sebuah titik dibawah huruf sebagai tanda

baris bawah (Kasrah), tanda Dhammah berupa wau kecil diantara dua huruf, dan tanpa

tanda apa-apa bagi huruf konsonan mati.

Sedangkan orang yang pertama kali membuat tanda titik untuk membedakan

huruf-huruf dengan bentuk sama (nuqathu harf, semisal pada huruf “ba’, ta’ dan tsa’ “)

3
murid beliau yakni Nashr ibn Ashim (w. 89H) atas usulan Hajaj ibn Yusuf al-Tsaqafi,

salah seorang gubernur di era dinasti Umayyah (40-95 H). Sedangkan tanda syakal

diperkenalkan oleh Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (w. 170 H). Ada juga informasi

bahwa yang pertama kali mendapatkan ide tanda baca terhadap al-Qur’an adalah Ziyad bin

Abihi salah seorang gubernur yang diangkat oleh Muawiyah bin Abi Sufyan untuk

wilayah Basrah (45-53 H).

Rasm al-Qur’an mengalami perkembangan yang sangat pesat pada beberapa

periode berikutnya. Informasi lain menyebukan Khalifah Abdul Malik ibn Marwan (685-

705 M.) memerintahkan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi untuk menciptakan tanda-tanda

huruf al-Qur’an (nuqth al-qur’an). Ia mendelegasi tugas itu kepada Nashid ibn Ashim dan

Yahya ibn Ma’mur, dua orang murid Al-Duwali. Kedua orang inilah yang membubuhi

titik di sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan yang

lainnya. Misalnya, penambahan titik di atas huruf dal yang kemudian menjadi huruf dzal.

Penambahan titik yang bervariasi pada sejumlah huruf dasar ba yang kemudian menjadi

huruf ba, nun, ta dan ha yang kemudian berubah menjadi kha, ha, dan jim. Huruf ra

dibedakan dengan huruf za, huruf sin dibedakan dengan Syin, huruf shad dibedakan

menjadi dengan dhad, huruf tha dibedakan dengan zha, huruf ‘ain dibedakan dengan

ghim, huruf fa dibedakan dengan qaf. Dari pola penulisan tersebut berkembanglah
berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti pola Kufi, Maghribi, dan Naqsh.3

C. Kaidah-Kaidah Penulisan Rasm AL-Qur’an

Rasm utsmani memiliki kaidah tertentu yang diringkas oleh para ulama

menjadi enam macam sebagai bentuk yang membedakannya dengan rasm biasa.

Keenam kaidah berikut ini merupakan bagian bentuk-bentuk ciri khas Rasm utsmani:

1. Al-Hadzhf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf)

a. Menghilangkan alif pada ya’ nida, seperti ‫ يآأيها‬,Ha tanbih seperti ‫هانتم‬, kata ‫تا‬

3
Ajahari, “Ulumul Qur’an : (Ilmu-Ilmu Al Qur’an)” ( Cet. 1; Sleman Yogyakarta: Aswaja presindo, 2018),
h. 33-35

4
bila beriringan dengan dhamir seperti ‫ أتجياكم‬, lafadz jalalah (‫)هللا‬, kata ‫الا‬, Kata

‫ الاحمن‬dan ‫ساحن‬, setelah huruf lam pada kata ‫ خلئا‬, antara dua lam pada kata

‫الملالل‬, bentuk mutsanna (menunjukkan dua) seperti ‫رجان‬, bentuk jamak baik

mudzakar (laki-laki) maupun mu’annats (perempuan) seperti ‫ سانون‬dan

‫النؤمكااا‬, setiap bentuk jamak yang mengikuti pola ‫ مف عااا‬dan yang

menyerupainya, seperti ‫ النسا ج‬dan ‫الكصا ر‬, setiap kata yang menunjukkan

bilangan, seperti ‫( ثنث‬tsalaats)

b. Menghilangkan huruf ya’ pada setiap isim manqush yang ber-tanwin, seperti

dari kata-kata ‫( غياح اا و ع عا د‬kecuali dalam bentuk-bentuk mutsanna). ‫اطيوان‬

‫اعح‬ ‫خ فن‬ ‫اتقن‬

c. Menghilangkan huruf wawu ketika bergandengan dengan huruf wawu yang

lain, seperti ‫عيسمن‬.

d. Menghilangkan huruf lam apabila di idgham kan dengan sejenisnya,

seperti ‫ الليا‬dan ‫الاي‬, kecuali huruf tertentu. Di luar penghilangan empat huruf

di atas, ada penghilangan huruf yang tidak termasuk kaidah ini. penghilangan

huruf ya’ pada kata ‫ إااحاهي‬penghilangan huruf wawu pada empat fi’il (kata

kerja) berikut ini ‫ ت ع اإلتس‬dan .‫سم ع الزا تية‬

2. Al-Ziyadah (penambahan)
a. Menambahkan huruf alif setelah wawu pada akhir setiap isim jama’ atau

yang mempunyai hukum jama’ seperti ‫أ لناعلح ب‬.

b. Menambah alif setelah hamzah masumah (hamzah yang terletak di atas tulisan

wawu), seperti ‫ت هلل تفمؤ‬.

c. Menambah huruf alif pada kata ‫ م ئة‬, ‫ م ئمي‬dan kalimat

‫تظكن ا هلل الظكنت فنضلنت السحين أطوك الحسنع‬

d. Menambah huruf ya’ pada kalimat ‫إيم ئ ذ القحاى‬

3. Al-Hamzah

Salah satu kaidah berbunyi bahwa hamzah berharakat ditulis dengan huruf

5
berharkat yang sebelumnya, contoh i’dzan ‫ ائاي‬dan u’tumin ‫ اؤتنا‬kecuali huruf

tertentu. Adapun hamzah yang berharakat, jika berada di awal kata dan

bersambung dengan huruf tambahan, harus ditulis dengan alif, seperti ‫ا لانا‬ ‫اثيا‬

kecuali beberapa huruf tertentu. Adapun apabila hamzah terletak di tengah ditulis

semua dengan huruf hamzahnya. Kalau berharkat fathah dengan alif, kalau

kasrah dengan ya’, dan kalau dhammah dengan huruf wawu, misalnya: ‫سان‬ ‫سائ‬

dan ‫تقاحؤ‬. akan tetapi, apabila huruf yang sebelum hamzah berharkat sukun,

tidak ada tambhahan di dalamnya, seperti ‫ الخ ء‬dan ‫م ء األرض‬.

4. Badal (penggantian)

a. Huruf alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata ‫النيان الزكان‬

‫الصلن‬.

b. Huruf alif ditulis dengan ya’ pada kata-kata ‫ ممى الى ممى أتى إلى‬dan ‫ل‬.

c. Huruf alif diganti dengan nun taukid khafifah pada kata ‫إذ‬.

d. Huruf ha ta’nits ditulis dengan ta’ maftuhah pada kata ‫ تونا‬yang terdapat

dalam surat al-Baqarah (2), surat Ali ‘Imran (3), surat al-Maidah (5), surat

Ibrahim (14), surat an-Nahl (16), surat Luqman (31), surat Fathir (35),

dan surat ath-Thur (52). Demikian juga ungkapan ‫ موصاي هللا‬dan ‫ لوكا هللا‬yang

terdapat pada surat al-Mujadalah.


5. Washal dan Fashl (penyambung dan pemisahan).

a. Bila ‘an ‫ أ‬disusul dengan ‫ع‬, penulisannya bersambung dengan terlebih dahulu

menghilangkan huruf nun. Misalnya ‫ أع‬kecuali pada kalimat‫ ا ع تقنلانا‬dan ‫ا‬

‫ع توح ا إعهللا‬.

b. Min ( ‫ )ما‬yang bersambung dengan ‫ ما‬penulisannya disambung dan huruf

nun pada min-nya tidak ditulis, seperti ‫من‬, kecuali pada ungkapan ‫م م ملما‬

‫أينا تم‬ yang terdapat dalam surat an-Nisa’(4) dan surat ar-Rum (30) dan

ungkapan ‫ م م رزقك ك‬pada surat al-Munafiqun (63).

c. Min ( ‫ )ما‬yang disusul dengan man ( ‫ )ما‬ditulis bersambung dengan

6
menghilangkan huruf nun, sehingga menjadi ‫ من‬.

d. ‘An ( ‫) عا‬yang disusul dengan ma ( ‫ )ما‬ditulis bersambung dengan terlebih

dahulu meniadakan nun sehingga ‫ عنا‬kecuali firman Allah yang berbunyi

‫يصحف ع م يشآء‬

e. In ( ‫ ) إ‬yang disusul dengan ma ( ‫ ) ما‬ditulis menjadi ‫ إما‬kecuali pada firman

Allah yang berbunyi ‫إ م تنع‬

f. An ( ‫ )أ‬yang disusul dengan ma( ‫ )ما‬ditulis bersambung dengan terlebih dahulu

meniadakan nun sehingga menjadi ‫إم‬

g. Kul) ‫ (ك‬yang diiringi kata ma ( ‫ ( م‬ditulis dengan disambung . ‫كلن‬.

6. Kata yang dapat dibaca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi

penulisannya, disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Di dalam mushaf

utsmani, penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif,

misalnya maliki yaumiddin ( ‫ ) ملا يانا الا ي‬Ayat ini boleh dibaca dengan

menetapkan alif (yakni di baca panjang satu alif/dua harakat), boleh juga

hanya menurut bunyi harkat (yakni dibaca satu harkat).4

D. Kedudukan Rasm Al-Qur’an

Para ulama berbeda pendapat mengenai status Rasm al-Qur’an tata cara penulisan

al-Qur’an:
1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasm Utsmani itu bersifat tauqifi

yakni bukan merupakan produk budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja

ketika menulis al-Qur’an. Mereka bahkan sampai pada tingkat

mensakralkannya. Mereka merujuk sebuah riwayat yang memberitakan bahwa

Nabi pernah berpesan kepada Muawiyah, salah seorang sekretarisnya

‫الق الدواة وحرف العلم وانصب الياء وفرة السين والتعور الميم وحسن هللاا ومدد الدرحمن وددود الدرحيم و د‬

‫قلمك على أذيك اليسرى فايه أذكرك‬

4
Badrudin, “RASM ALQUR’AN DAN BENTUK-BENTUK PENULISANNYA”, h.125-127

7
Terjemahnya: “Letakkanlah tinta. Pegang pena baik-baik, luruskan huruf ba.

Bedakan huruf sin. Jangan bulatkan huruf mim. Perbaguslah (tulisan) Allah.

Panjangkan (tulisan) ar-Rahman dan perbaguslah (tuliskan ) ar-Rahim. Lalu

letakkan penamu di atas telinga kirimu, karena itu akan membuatmu lebih

ingat.”

Mereka pun mengutip pertanyaan Ibn al-Mubarak yang menyebutkan:

“Sahabat, juga yang lainnya, sama sekali tidak campur tangan dalam urusan

Rasm Mushaf, sehelai rambut sekalipun. Itu adalah ketetapan Nabi. Beliaulah

yang menyuruh mereka menulisnya seperti dalam bentuknya yang dikenal,

dengan menambahkan alif dan menghilangkan lantaran rahasia yang tidak

dapat dijangkau akal. Hal itu merupakan salah satu rahasia yang khusus

diberikan Allah untuk kitab suci-Nya yang tidak diberikan untuk kitab samawi

lainnya. Sebagaimana halnya susunan al-Qur’an itu mukjizat, rasm

(tulisan)nya pun mukjizat pula”.5

2. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Rasm utsmani bukan tauqifi. Tetap

merupakan kesepakatan cara penulisan (istilah) yang disetujui Utsman dan

diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati oleh siapa pun ketika

menulis al-Qur’an. Banyak ulama terkemuka yang menyatakan perlunya ke


konsistenan dalam menggunakan Rasm utsmani. Asyrab bercerita bahwa

ketika ditanya tentang penulisan al-Qur’an, apakah penulisannya perlu seperti

yang dipakai banyak orang sekarang, Malik menjawab.

‫ع اع على الممحة األ لى‬

Terjemahnya: “Saya tidak berpendapat demikian. Seseorang hendaklah

menulisnya sesuai dengan tulisan pertama”.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata:

5
Oom Mukarramah, “ULUMUL QURAN” (Cet. 1; Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 44-45

8
‫أ غيح ذل هللا‬ ‫عثن فى ا أ ي ء أ أل‬ ‫تنحا مخ لفة خط مصن‬

Terjemahnya: “Haram hukumnya menyalahi khat Mushaf Utsmani dalam soal

wawu, ya, alif, atau huruf lainnya”6

3. Sebagian dari mereka berpendaapt bahwha Rasm Utsmani bukanlah

tauqifi. Tidak ada halangan untuk menyalahi apabila suatu generasi

telah sepakat untuk menggunakan cara tertentu untuk menulis al-Qur’an yang

notabene berlainan dengan Rasm utsmani. Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani

berkata, “Adapun mengenai tulisan, sedikit pun Allah tidak mewajibkan kepada

umat. Allah tidak mewajibkan suatu bentuk tertentu kepada juru tulis al-Qur’an

dan kaligrafer mushaf ataupun mewajibkan mereka meninggalkan jenis tuisan

lainnya. Keharusan untuk menerapkan bentuk tertentu harus ditetapkan

berdasarkan al-Qur’an atau hadis Rasulullah menyuruh juru tulisnya untuk

menuliskannya tanpa penjelasan kepada mereka bentuk (tulisan) tertentu. Oleh

karena itu, terjadi perbedaan khat mushaf-mushaf (yang ada). Di antara mereka,

ada yang menulis kalimat berdasarkan makhraj lafal dan nada pula yang

menambahkan dan menguranginya berdasarkan pengetahuannya bahwa rasm

utsmani hanyalah merupakan istilah semata. Jelasnya siapa saja yang mengatakan

wajibnya mengikuti cara penulisan tertentu ketika menulis al-Qur’an, hendaklah


mendukungnya dengan berbagai argumentasi, dan kami siap membantahnya.

Berkaitan dengan ketiga pendapat di atas, al-Qaththan memilih pendapat kedua karena

lebih mungkin untuk memelihara al-Qur’an dari perubahan dan penggantian hurufnya.

Menurut al-Qaththan, seandainya setiap masa diperbolehkan menulis al-Qur’an sesuai dengan

trend tulisan pada masanya, hal itu memungkinkan terbuka lebarnya makna perubahan tulisan

al-Qur’an pada setiap masa. Padahal, setiap kurun dan waktu memiliki trend tulisan yang

berbeda-beda. Jika yang pertama berkaitan dengan bentuk huruf, yang kedua berkaitan dengan

6
Oom Mukarramah, “ULUMUL QURAN”, h. 46

9
cara penulisan huruf. Untuk memperkuat pendapatnya, al-Qaththan mengutip ucapan al-

Baihaqi di dalam kitab Syu’b al-Iman. “Siapa saja yang hendak menulis mushaf. Hendaknya

memperhatikan cara orang-orang yang pertama kali menulisnya. Janganlah berbeda

dengannya. Tidak boleh pula mengubah sedikit pun apa-apa yang telah mereka tulis karena

mereka lebih banyak pengetahuannya ucapan dan kebenarannya lebih dipercaya, serta lebih

dapat memegang amanat dari pada kita. Janganlah ada di antara kita yang merasa dapat

menyamai mereka”7

7
Oom Mukarramah, “ULUMUL QURAN”, h. 47

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Rasm al-Qur’an adalah penulisan mushaf al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang
digunakannya.
2. Proses perkembangan penulisan Al-Quran dari zaman Rasullullah SAW, sampai
Khalifah Usman Bin Affan keotentikan Al-Quran masih tetap terpelihara dan terjaga
sebab, salah satu sekertaris penulis Al-Qur’an di Zaman Rasullah, Zaid Bin Tsabit tidak
pernah lepas dari perannya sebagai penulis baik di zama Abu Bakar maupun di zaman
Usman bin Affan. Ini membuktikan bahwa Allah selalu dan senatiasa memelihara Al-
Qur’an.
3. Rasm Al-qur’an mempunyai beberapa kaidah-kaidah antara lain :
a. Kaidah buang (Al-Hadzf)
b. Kaidah panambahan (Al-Ziyadah)
c. Kaidah hamzah (Al-Hamzah)
d. Kaidah penggantian (Al-Badal)
e. Kaidah sambung dan pisah (Washl Wa A-Fashl).
f. Kata yang dapat dibaca dua bunyi Metode kajian hukum Sosiologis/empiris yaitu:
4. Pendapat para ulama mengenai rasm utsmani adalah kedudukan rasm utsmani yang
menjadi perselisihan para ulama. Apakah pola penulisan merupakan petunjuk Nabi
SAW atau hanya ijtihad kalangan Sahabat.

11
Daftar Pustaka
Ajahari, “Ulumul Qur’an : (Ilmu-Ilmu Al Qur’an)”. Sleman Yogyakarta: Aswaja
presindo, 2018.
Badrudin, “RASM ALQUR’AN DAN BENTUK-BENTUK PENULISANNYA”,
Jurnal al-Fath, Vol.10No. 02(Juli-Juni) 2016.
Oom Mukarramah, “ULUMUL QURAN”. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
http://arwinabintisupriono.blogspot.com/2017/12/rasmal-quran-makalah-
disusununtuk.html (Diakses 16 juni 2022)

12
TUGAS FINAL MATA KULIAH ULUMUL QURAN

“MUNASABAH AYAT”

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Perkuliahan


Ulumul Quran Jurusan Dirasah Islamiyah Konsentrasi
Syariah/Hukum Islam
Pascasarjana UIN Alauddin
Makassar

Oleh :

HENDRI ABDULLAH

800100221183

JURUSAN DIRASAH ISLAMIYAH


KONSENTRASI SYARIAH/HUKUM ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2022
A. Pendahuluan

Al-Qur‟an adalah kitab pedoman umat Islam yang berisi tentang petunjuk dan
tuntunan untuk mengatur kehidupan umat manusia menuju kemaslahatan di dunia
maupun di akhirat. Ia merupakan kitab yang unik yang tidak pernah mengalami revisi
apapun sebagaimana yang terjadi dengan kitab-kitab dan buku-buku karya manusia
yang mengalami revisi. Hal tersebut disebabkan susunan kata (ayat) dan kandungan
maknanya berasal dari wahyu. Allah SWT yang menjamin dan memelihara keaslian
susunan kata dalam al-Qur‟an sampai hari kiamat.

Tidak heran, jika al-Qur‟an menjadi pusat perhatian dan penelitian oleh semua
orang yang berkeinginan menemukan cahaya petunjuk dan tuntunan dalam rangka
mengenal lebih dekat lagi kandungan makna dan ajaran-ajaran al-Qur‟an. Untuk
menemukan cahaya petunjuk dari al-Qur‟an diperlukan orang-orang yang ahli
dibidangnya yaitu para mufassir al-Qur‟an. Apalagi al-Qur‟an adalah kitab yang
simbol-simbol dalalah (penunjukan) nya senantiasa menantang dan selalu siap untuk
diinterpretasi oleh orang-orang yang mrmiliki otoritas keilmuan yang tinggi.

Untuk itulah, para mufassir dituntut memahami dan menguasai kaidah-kaidah


penafsiran serta dengan persyaratan-persyaratannya. Adapun ilmu-ilmu dan kaidah-
kaidah penafsiran al-Qur‟an terkumpul dalam satu disiplin ilmu yang disebut “Ulum
al-Qur\an”. Diantara kajian dalam Ulum al-Qur‟an adalah ilmu adab tilawah al-
Qur‟an, ilmu tajwid, ilmu asbab al-nuzul, ilmu qira‟at, ilmu nasikh wa al-mansukh,
ilmu i‟jaz al-Qur‟an dan ilmu tanasub ayat al-Qur‟an.

Tulisan ini akan membahas yang telah disebut terakhir di atas yaitu tentang
ilmu tanasub ayat al-Qur‟an, yang biasa disebut ilmu munasabah al-Qur‟an. Ilmu
munasabah al-Qur‟an adalah ilmu yang membahas tentang keterkaitan atau korelasi
antara ayat/surat dengan ayat /surat sebelum atau sesudahnya. Disiplin ilmu ini bersifat
analisa – korelatif termasuk dalam kategori ilmu dirayah, karena dasar dan pola
pengkajiannya berupaeksplorasi nalar yang bersifat ijtihadi.

Keunikan susunan ayat-ayat dan surat-surat al-Qur‟an mengundang perhatian


para ulama untuk mengkaji sejauhmana keterkaitan antara ayat dan surat tersebut.
Berkata Al-Biqa‟i : “ Terkadang saya duduk termenung, berbulan-bulan, hanya untuk
mengetahui keterkaitan antara satu ayat dengan ayat yang lain.” Pemikiran dan
perenungan beliauterhadap ayat-ayat al-Qur‟an ini kemudian melahirkan karya besar
berjudul “al- Nazhm ad-durar fi Tanasub Ayat wa al-Suwar”. Ulama lain yang berhasil
menyusun kitab ilmu munasabah adalah Abu Hayyan dengan judul “ Al- Burhan fi
Munasabat Tartib Suwar al-Qur’an”. Imam al-Suyuthi juga menyusun kitab “Tanasuq
ad-durar fi Tanasub al-Suwar.”

Namun, dalam literatur sejarah Ulum al-Qur‟an, tertulis bahwa ulama yang
pertama sekali memperkenalkan ilmu munasabah al-Qur‟an adalah Abu Bakar al-
Naisaburi pada awal abad keempat hijriyah. Dalam tulisan ini, penulis ingin
memaparkan pentingnya ilmu munasabah dalam kajian atau menafsirkan al-Qur‟an
terlepas dari pro dan kontra terhadap keberadaan disiplin ilmu ini. Penting, karena
dapat menyingkap rahasia dan hikmah disebalik kemukjizatan al-Qur‟an yang luar
biasa serta bisa memahami pesan-pesan al-Qur‟an secara holistik (utuh) dan tidak
sepotong-sepotong. Sebab kandungan al-Qur‟an merupakan satu kesatuan yang tidak
bisa dipisah-pisahkan antara satu ayat/surat dengan ayat/surat yang lain.

B. Pengertian Munasabah

Menurut bahasa munasabah berasal dari akar kata nasaba – yunasibu –


munasabatan yang artinya dekat. Al-Munasabah bisa juga berarti al-muqarabah yaitu
mendekatkan dan al- musyakalah yang artinya menyesuaikan. Menurut Al-Zarkasyi,
al-nasibu sama artinya dengan al-qaribu al-muttashil yaitu dekat dan bersambungan.
Contoh dua orang bersaudara dan anak paman, kedua-keduanya saling berdekatan
dalam artian ada ikatan. Al-nasibu juga bisa berarti al-rabith, yang maknanya ikatan
pertalian. Menurut Ahmad Izzam, munasabah secara bahasa adalah cocok, patut atau
sesuai dan mendekati.Jika dikatakan bahwa A munasabah dengan B, berarti A
mendekati atau menyerupai B. Menurut Ahmad Syadali, munasabah adalah ilmu yang
menerangkan korelasi atau hubungan antara satu ayat dengan ayat lain, baik yang ada
dibelakangnya atau ayat yang ada di mukanya. Menurut Imam al-Suyuthi, munasabah
harus dikembalikan kepada makna keterhubungan baik secara khusus, umum, konkrit,
sebab dan musabbab, „illat dan ma‟lul, perbandingan dan perlawanan.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu munasabah
secara bahasa adalah segala sesuatu yang ada kedekatan, keterkaitan, keterhubungan,
kesesuaian, keterikatan, keserupaan, keserasian, kesamaan, perbandingan bahkan
perlawanan (kontradiktif) sekalipun, maka disebutlah munasabah.

Adapun pengertian munasabah secara terminologi adalah hubungan atau


keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat al-Qur‟an. Imam al-Sayuthi mengutip Ibnu
Arabi mendefinisikan munasabah kepada “keterkaitan ayat-ayat al-Qur‟an antara
sebagiannya dengan sebagian yang lain sehingga ia terlihat sebagai suatu ungkapan
yang rapi dan sistematis. Sementara menurut Manna‟ al-Qaththan, munasabah adalah
segi-segi hubungan antara satu kalimat dalam ayat, antara satu ayat dengan ayat lain
dalam banyak ayat atau antara satu surat dengan surat lain. Menurut al-Biqa‟i,
munasabah adalah suatu ilmu untuk mengetahui alasan-alasan disebalik susunan kata
atau urutan bagian-bagian al-Qur‟an, baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu munasabah al-Qur‟an adalah


ilmu yang mencoba mengetahui keterkaitan atau korelasi antara satu ayat dengan ayat
yang lain, baik ayat tersebut terletak sebelumnya maupun sesudahnya. Juga
mengetahui keterkaitan atau korelasi antara satu surat dengan surat lainnya. Tidak
hanya titik keterkaitan itu terletak pada sisi kesamaannya saja tetapi berlaku juga pada
sisi kontradiktif atau perlawanannya, bahkan pada sisi-sisi yang bisa diterima oleh akal.
Sebab kekuatan konsep munasabah terletak pada rasionalisasi akal. Hal ini sejalan
dengan kaidah yang dikemukakan oleh para mufassir :

‫المناسبة امر معقول اذا عرض على العقول تلقته بالقبول‬

“Munasabah adalah persoalan rasionalisasi akal, jika ia masuk akal, maka bisa

diterima”

Dari definisi-definisi di atas, para ulama merinci konsep munasabah pada


delapan titik keterkaitan sebagai berikut :

1. Keterkaitan antara satu surat dengan surat sebelumnya


2. Keterkaitan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat

3. Keterkaitan antara fawatih al-suwar ayat pertama yang terdiri dari beberapa huruf

dengan isi surat

4. Keterkaitan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat

5. Keterkaitan antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu surat

6. Keterkaitan antara kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat

7. Keterkaitan antara fashilah dengan isi ayat

8. Keterkaitan antara penutup surat dengan awal surat berikutnya.

Dari perincian di atas dapatlah disimpulkan bahwa ilmu munasabah merupakan sebuah
upaya menggali dan mengetahui keterkaitan antara satu ayat atau surat dengan ayat
atau surat lainnya. Apabila dilihat secara sepintas ayat-ayat dalam al-Qur‟an, memang
tidak ditemukan keterkaitannya, baik terhadap ayat sebelumnya atau pun sesudahnya.
Seolah-olah antara ayat-ayat tersebut terpisah satu sama lainnya. Tetapi jika diamati
secara teliti, ternyata memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Namun perlu
diingat bahwa ketika tidak ditemukan keterkaitan antara satu ayat dengan ayat lainnya,
maka tidak diperkenankan memaksakan diri untuk mencari kemunasabahannya.

C. Sejarah Perkembangan Ilmu Munasabah

Ilmu munasabah muncul dan disusun pada awal abad ke empat hijriyah melalui karya
tangan Abu Bakar al-Naisaburi (wafat 324 H). Beliau adalah orang yang pertama
menampakkan ilmu munasabah di kota Baghdad. Apabila dibacakan kepada beliau
ayat-ayat dan surat al-Qur‟an, beliau berkata : “Mengapa ayat ini diletakkan disamping
ayat ini dan apa rahasia dan hikmah surat ini diletakkan disamping surat ini?” Beliau
sering mengkritik ulama

Baghdad karena mengabaikan ilmu munasabah. Menunjukkan betapa istimewanya


kemampuan Abu Bakar al-Naisaburi dalam menemukan korelasi dan keterkaitan antara
ayat / surat satu dengan ayat / surat lainnya. Langkah yang dilakukan beliau saat itu
cukup fenomenal karena tidak banyak bahkan tidak ada para mufassir yang berkenan
menulis dan menyusun ilmu ini terlepas adanya pro dan kontra terhadap keberadaan
disiplin ilmu munasabah. Atas dasar itu, bisa dikatakan bahwa

Abu Bakar al-Naisaburi adalah Bapak Ilmu Munasabah. Perkembangan


selanjutnya, aktivitas penyusunan ilmu munasabah baru muncul pada akhir abad ke
empat hijriyah. Muhyi al-Din Ibn „Arabi berkata :”Kami tidak melihat satu orang pun
ulama yang melibatkan diri dalam mengkaji dan menyusun ilmu munasabah kecuali al-
Rumani (wafat 386 H) dari kalangan ulama nahwu. Pendapat lain mengatakan bahwa
ilmu munasabah mulai disusun pada akhir abad ke delapan hijriyah, yaitu kitab “al-
Burhan fi Tartibi Suwar al-Qur’an,” susunan Ibnu al-Zubair al-Gharnathi. Di duga
kuat, lebih kurang 60 tahun setelah Abu Bakar al-Naisaburi menyusun ilmu
munasabah, baru kemudian diikuti al-Rumani. Selama enam dekade (60 tahun) tersebut
ilmu munasabah tidak begitu populer dan sedikit sekali diperbincangkan. Namun jika
diambil pendapat terakhir, maka selama empat abad ilmu munasabah tidak tersentuh
secara signifikan untuk dikaji, sekalipun usaha untuk mengetahui rahasia disebalik
susunan ayat-ayat al-Qur‟an tetap ada kecuali terhadap surat-surat al-Qur‟an Waktu
yang cukup lama untuk kemudian ilmu munasabah diakui sebagai suatu bagian disiplin
ilmu dari ulum al-Qur‟an. Di atas telah dijelaskan bahwa ada dua pendapat
perkembangan ilmu munasabah setelah dimunculkan pertama kali oleh Abu Bakar al-
Naisaburi pada awal abad ke empat hijriyah. Pendapat pertama dikembangkan oleh al-
Rumani di akhir abad ke empat hijriyahlebih fokus kajian terhadap ilmu munasabah al-
Qur‟an, sementara pendapat kedua dikembangkan pada akhir abad ke delapan hijriyah,
kajian lebih meluas lagi yaitu membahas dan menyusun ilmu munasabah sebagai suatu
disiplin ilmu yang dimasukkan dalam kategori bagian dari ulum al-Qur‟an. Jadi, hemat
penulis pendapat di atas tidak untuk dikontradiktifkan melainkan di kompromikan satu
dengan yang lainnya.

Penyusunan ilmu munasabah al-Qur‟an dapat dikelompokkan menjadi tiga


bagian

sebagai berikut :
 Bagian pertama : ulama-ulama yang mengkhususkan menyusun ilmu munasabah
dan

diantara ulama yang paling terkenal adalah :

1. Abu Ja‟far Ibn al-Zubair al-Andalusi (wafat 807 H), dalam kitab “Al-Burhan fi
Munasabati Tartibi Suwar al-Qur’an”
2. Jalaluddin al-Sayuthi (wafat 911 H). Beliau menyusun tiga kitab dengan tema

munasabah, yaitu :

a. Kitab “Asrar al-Tanzil”, kitab ini mengupas tentang korelasi surat dan ayat
b. Kitab “Tanasuq al-Durori fi Tanasub al-Suwar”, kitab ini mengupas lebih
khusus lagi dari kitab “Asrar al-Tanzil”
c. Kitab “Marashid al-Mathali’ fi Tanasub al-Maqathi’ wa al-Mathali’”, kitab

ini mengupas tentang korelasi antara pembuka dan penutup surat.

3. Abdullah al-Shiddiq al-Ghimari dari kalangan ulama hadis, dalam kitab “Jawahir
al-Bayan fi Tanasubi Suwar al-Qur’an”. DR. Muhammad Ahmad Yusuf al-Qasim
menulis dalam tesisnya “Al-Munasabatu fi Tartibi Ayat al-Qur’an al-Karim wa
Suwarih”, dan telah diujikan di Fakultas Ushul al-Din Azhar Mesir
 Bagian kedua : ulama-ulama yang menyusunnya lebih luas lagi dan tematik yang

mencantumkan bab-bab dalam pembahasannya. Di antara ulama yang terkenal dalam

menyusunnya adalah :

1. Al-Zarkasyi dalam kitab “Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an”

2. Al-Sayuthi dalam kitab “Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an”

 Bagian ketiga : ulama-ulama yang melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat dan


surat-

surat yang berkaitan dengan munasabah. Di antara ulama yang terkenal adalah :
1. Al-Fakhr al-Razi dalam kitab tafsir “Mafatih al-Ghaib”

2. Abu al-Su‟ud dalam kitab tafsir “Irsyad al-‘Aql al-Salim Ila Mazaya al-Kitab al-
Karim”

3. Sayyid Quthub dalam kitab “Fi Zhilal al-Qur’an”

4. Burhanuddin al-Biqa‟i (wafat 885 H) dalam kitab “Nazhm al-Durar fi Tanasub al-
Ayat wa al-Suwar”. Kitab ini merupakan maha karya yang fenomenal terdiri dari 22
jilid.

D. Macam-macam Munasabah

Dari segi sifatnya, munasabah terbagi dua yaitu, zhahir al-irtibath yang artinya
bahagian al-Qur‟an yang satu dengan yang yang lainnya kelihatan jelas dan kuat
karena kuatnya kaitan kalimat satu dengan yang lainnya. Deretan beberapa ayat yang
menerangkan sesuatu materi itu terkadang berupa penguat, penafsir, penyambung,
penjelas, pengecualian atau pembatas dengan ayat yang lain. Sehingga terlihat semua
ayat menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Sebagai contoh, adalah
korelasi antara ayat 1 dan 2 dari surat al-Isra‟ yang menjelaskan tentang diperjalankan
Nabi Muhammad SAW dan diikuti oleh keterangan tentang diturunkannya kitab Taurat
kepada Nabi Musa as. Dari kedua ayat tersebut nampak jelas bahwa keduanya
memberikan keterangan tentang diutusnya Nabi dan Rasul. Korelasinya terletak pada
persamaan identitas kerasulan dari hamba-hamba pilihan Allah SWT.

Contoh yang lain, pada surat Ibrahim ayat 34 dan surat al-Nahal ayat 18, kedua
surat tersebut bercerita tentang nikmat Allah yang tidak terbatas yang harus di syukuri
oleh manusia. Fashilah (pemisah) pada surat Ibrahim di akhiri dengan menyebut sifat
manusia yang diterangkan dalam ayat tersebut berupa manusia yang bersifat zalim dan
ingkar kepada Allah, sementara fashilah pada surat al-Nahal di akhiri dengan menyebut
sifat Allah yang diterangkan dalam ayat tersebut sebagai zat yang Maha pengampun
dan Maha penyayang. Keterkaitan dari kedua surat ini adalah penyebutan sifat manusia
yang berkerakter negatif dan sifat Allah sebagai zat yang Maha pengampun dan
penyayang.
Contoh berikutnya pada surat al-Maidah ayat 38 yang bercerita tentang pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan dipotong tangan keduanya sebagai balasan dari
perbuatannya. Fashilah dari ayat tersebut adalah Allah SWT maha perkasa dan maha
memutuskan ( ‫)وهللا عزيزززز م زززز‬. Korelasinya terletak pada keperkasaan/kekuatan („aziz)
dan pembuat keputusan (hakim) yang dimiliki oleh Allah yamg mampu membuat
perintah potong tangan. Berbeda jika fashilah di akhiri dengan kata ‫ ( وهللا غفززور رم ز‬dan
Allah maha pengampun lagi maha penyayang) misalnya, maka tidak ada korelasinya
dengan perintah potong tangan.

Contoh yang lain, pada surat al-Ma‟arij ayat 19-21 yang bercerita tentang
manusia yang suka berkeluh kesah (‫) هلوعزززا‬. Maka ayat 20 dan 21 menafsirkan
pengertian keluh kesah dan disitulah terletak korelasi dan munasabahnya.

Munasabah jenis ke dua yaitu khofiy al-irtibath, artinya bahagian-bahagian al-Qur‟an


tidak tampak jelas korelasinya, bahkan ayat-ayat tersebut kelihatan berdiri sendiri, baik
ayat tersebut saling berhubungan atau saling bertentangan dengan yang lain. Contoh,
sebagaimana dalam surat al-Ghasyiyah ayat 17-20 yang berbunyi :

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta Dia ciptakan.? Dan langit
bagaimana Dia tinggikan? Dan gunung bagaimana Dia tegakkan? Dan bumi bagaimana
Dia hamparkan?”

Jika di analisa ayat-ayat tersebut, maka tampaklah bahwa ayat-ayat tersebut tidak
terkait antara satu dengan yang lainnya, padahal hakikatnya ayat-ayat tersebut saling
berkaitan erat. Penyebutan kata unta, langit,gunung dan bumi pada ayat-ayat tersebut
berkaitan erat dengan kebiasaan yang berlaku dikalangan lawan bicara yang tinggal di
padang pasir, dimana kehidupan mereka sangat tergantung pada ternak (unta), namun
keadaan tersebut tidak akan bisa berlangsung kecuali dengan adanya air yang
diturunkan dari langit untuk menumbuhkan rumput-rumput dimana mereka
mengembala dan mereka memerlukan gunung-gunung dan bukit-bukit untuk
berlindung dan berteduh serta mencari rerumputan dan air dengan cara berpindah-
pindah di atas hamparan bumi yang luas. Untuk mengetahui korelasi dalam ayat di atas
tidak bisa dilakukan kecuali mereka yang memiliki kualifikasi pengetahuan yang
mumpuni terutama menguasai ilmu asbab al-nuzul disamping ilmu munasabah yang
tentunya sangat urgen sekali dikuasai

Contoh yang lain tentang ayat-ayat yang sulit diidentifikasi kemunasabahannya

terdapat pada surat al-Baqarah ayat 189 yang berbunyi :

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah: bulan sabit
itu tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi pelaksanaan) ibadah haji dan bukanlah
kebajikan itu memasuki rumah-rumah dari (pintu) belakang akan tetapi kebajikan itu
ialah kebajikan orang yang bertaqwa dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-
pintunya dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”

Terhadap ayat di atas, sebahagian orang boleh bertanya-tanya dimana letak korelasi
dan keterkaitan antara bulan sabit di satu pihak dan persoalan memasuki rumah melalui
pintu belakang dipihak lain.

Berdasarkan asbab al-nuzul, korelasinya adalah pada masa jahiliyah, bahkan di masa-
masa permulaan Islam, orang-orang Anshar yang ihram di waktu haji, mereka tidak
memasuki rumahnya dari pintu depan sebagaimana layaknya akan tetapi justru lewat
pintu belakang yang tidak lazim. Menyaksikan perilaku seperti itu para sahabat
bertanya kepada Rasulullah SAW hingga turunlah ayat di atas. Korelasi yang lain
adalah terletak pada tamsil (perumpamaan) bahwa ada kesesuaian dan korelasi antara
sikap yang tidak layak antara pertanyaan fungsi bulan sabit yang penuh hikmah dan
ketidak sopanan memasuki rumah melalui pintu belakang.

Dari segi materi, munasabah terbagi dua yaitu pertama, munasabah antara ayat satu
dengan ayat lain. Contoh dan penjelasannya sudah penulis kemukakan di atas. Kedua,
munasabah antara surat satu dengan surat yang lain.

Adapun munasabah antara surat sebenarnya tidak banyak diminati oleh ulama tafsir,
berbeda dengan munasabah antara ayat yang banyak diminati oleh ulama yang
mendukung munasabah al-Qur‟an. Cakupan korelasi antara surat adalah sebagai
berikut :
1. Hubungan antara nama-nama surat, misalnya surat al-mukminun, dilanjutkan dengan
al-Nur, lalu diteruskan dengan surat al-Furqan. Adapun korelasi nama surat tersebut
adalah orang-orang mukmin berada dibawah cahaya (nur) yang menerangi mereka,
sehingga mereka mampu membedakan yang haq dan yang bathil.

2. Hubungan antara permulaan surat dan penutupan surat sebelumnya, misalnya


permulaan surat al-Hadid dan penutupan surat al-Waqi‟ah, memiliki relevansi yang
jelas, yakni adanya korelasi dengan tasbih.

3. Hubungan antara awal surat dan akhir surat. Dalam satu surat terdapat keterkaitan
antara awal surat dan akhir surat, misalnya dalam surat al-Qashosh dimulai dengan
kisah Nabi Musa Fir‟aun serta pasukannya, sedangkan penutup surat tersebut
menceritakan pernyataan Allah agar umat Islam jangan menjadi penolong bagi orang-
orang kafir, sebab Allah lebih mengetahui tentang hidayah. Begitu juga antara awal
surat al-Mukminun dan akhir surat al-Mukminun Di awal surat al-Mukminun Allah
menjelaskan tentang keberuntungan orang mukmin, sedangkan di akhir surat tersebut
Allah menerangkan tidak beruntungnya orang kafir.

4. Hubungan antara dua surat dalam persoalan isi surat. Misalnya dalam surat al-
Fatihah dan surat al-Baqarah. Dalam surat al-Fatihah berisi tema global tentang aqidah,
muamalah, kisah, janji dan ancaman. Sedangkan dalam surat al-Baqarah berisi tentang
penjelasan yang lebih rinci dari isi surat al-Fatihah.

E. Pentingnya Ilmu Munasabah

Begitu penting dan urgennya keberadaan ilmu munasabah dalam menafsirkan


al- Qur‟an. Sehingga dapat dikatakan bahwa ilmu munasabah al-Qur‟an merupakan
ilmu yang paling mulia dengan pertimbangan bahwa setiap ilmu adalah mulia karena
kemuliaan tema dan topiknya, begitu juga dengan mulianya tema mencari korelasi dan
pertalian antara ayat dan surat, mengantarkan kepada mulianya ilmu munasabah al-
Qur‟an. Dalam kaitannya dengan penafsiran al-Qur‟an, munasabah juga membantu
dalam interpretasi dan takwil ayat dengan baik dan cermat. Di antara para mufassir
menafsirkan ayat atau surat dengan menampilkan asbab al-nuzul ayat atau surat. Tetapi
sebagian dari mereka bertanya-tanya, manakah yang harus didahulukan? Aspek asbab
al-nuzulnya atau kah munasabahnya? Hal ini menunjukkan adanya kaitan yang erat
antara ayat yang satu dengan lainnya dalam rangkaian yang serasi. Dan peran serta
fungsi munasabah sangat urgen dan penting dalam proses penafsiran ayat-ayat al-
Qur‟an.

Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama tafsir tentang pentingnya ilmu
munasabah daalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an, yang pasti keberadaan ilmu
munasabah sebagai disiplin ilmu , telah diakui dalam dunia ilmu-ilmu al-Qur‟an,
Pemuatan ilmu munasabah dalam hampir setiap kitab ulum al-Qur‟an, mengisyaratkan
hal itu. Bahkan ada beberapa kitab yang oleh pengarangnya dikhususkan membahas
ilmu munasaabah seperti “Al-Burhan fi Munasabat Tartibi Suwar al-Qur’an” karya Abi
Hayyan (Abu Jakfar bin Zubair) dan “Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayi wa al-Suwar”
karya Burhanuddin al-Biqa‟i.

Di antara mufassir yang paling banyak menyinggung tentang munasabah dalam kitab
tafsirnya adalah Imam Fakhr al-Din al-Razi, pengarang kitab “Mafatih al-Ghaib fi
Tafsir al-Qur’an”. Beliau mengatakan bahwa kebanyakan perbendaharaan al-Qur‟an
justru terletak pada tata letak dan tertib urutan dan pertalian antara ayat-ayatnya.

Pernyataan al-Zarkasyi di atas mengisyaratkan pentingnya peran ilmu munasabah


dalam menafsirkan al-Qur‟an. Pernyataan senada tentang besarnya peran ilmu
munasabah dalam tafsir, dikemukakan oleh ulama tafsir lain seperti „Izzuddin bin abd
al-Salam, beliau mengatakan bahwa ilmu munasabah sebagai “ilmu hasan” (ilmu yang
baik),38 sedangkan Abu Bakar bin al-Arabi dan al-Zarkasyi menjuluki ilmu
munasabah sebagai “ilmu azhim” (ilmu yang agung) dan “ilmu syarif” (ilmu yang
mulia). Al-Zarkasyi 39 pernah mengatakan bahwa dengan ilmu munasabah kecerdasan
akal seseorang dapat diukur, begitu juga dengan bobot pemikirannya.

Demikian komentar para ulama tafsir tentang pentingnya ilmu munasabah


dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an.

F. Penutup
Dari huraian di atas menyangkut pentingnya ilmu munasabah dapat dikatakan bahwa
terlepas dari perbedaan pendapat dikalangan ulama tafsir tentang eksistensi ilmu
munasabah, yang pasti ilmu munasabah telah diakui keberadaannya sebagai suatu
disiplin ilmu dari ilmu-ilmu al-Qur‟an. Tidak hanya itu, ilmu munasabah ini masih
mungkin untuk terus dikembangkan sesuai dengan statusnya sebagai ilmu ijtihadi. Ilmu
munasabah juga bisa meyakinkan dan memperkuat akan kemukjizatan al-Qur‟an.
Semakin banyak menganalisa al-Qur‟an dengan menggunakan instrumen munasabah,
maka semakin terpesona melihat dan mengetahui kemukjizatan al-Qur‟an, disamping
memiliki kedudukan yang penting dalam menafsirkan al-Qur‟an.
DAFTAR PUSTAKA

M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1995, hal. 16

Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Beirut : Dar al-Fikr, 1957, hal. 38

Louis Ma‟luf, Kamus al-Munjid fi al-Lughah al-‘Alam, Beirut : Dar al-Syarqy, 1976,
hal. 803

Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Beirut : Dar al-Ma‟rifat, 1972, juz 1, hal.
35

Ahmad Izzam, Ulumul Qur’an, Tela’ah Tekstualitas, dan Kontekstualitas al-Qur’an,


Bandung : Tafakur,

2005, hal. 187

Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an i, Bandung : Pustaka Setia, 1997, hal. 168

Al-Suyuthi, Asrar Tartib al-Qur’an, Kairo :Dar al-I‟tisham, tt, hal. 108

Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut : al-Maktabah al-Saqafiyyah, jilid ll, tt.
, hal. 108

Manna‟ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, tt : al-„Ash al-Hadis, 1973,


hal. 97

10 Burhanuddin al-Biqa‟i, Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, India :


Majlis Dairah al-Ma‟arif al-Nu‟maniyah bi Haiderab, jilid l, 1969, hal. 6

Azyumardi Azra (ed), Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000,
hal. 75-76

Al-Saiyid Ahmad Suwailim, Dirasati fi Ulum al-Qur’an, Mesir : Jami‟ah al-Azhar bi


kulliyah Ushu al-Din bi al-Zaqaziq, juz 1, Cet. ke 1, 2010, hal. 190

Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Islamika, 2002, hal. 164.

Al-Saiyid Ahmad Suwailim, op. Cit. hal. 203


Supiana dan M. Karman, op. Cit. hal. 178

Muhammad Chirzin, Ulumul Qur’an, Yogyakarta : Teras, 2009,, hal. 53.

Abi al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, al-Naisaburi, Asbab al-Nuzul, Beirut : Dar al-
Fikr, 1988, hal. 33

Usman, Ulumul Qur’an, Yogyakarta : Teras, 2009, hal. 188.

Al-Saiyid Ahmad Suwailim, op. Cit. hal.211

Muhammad Hasyim Muhammad Ali, DR, Dirasatu fi ‘Ulum al-Qur’an, Mesir :


Jami‟ah al-Azhar, cet. ke 3, 2013, hal. 52

Usman, op. Cit. hal. 171

Al-Zarkasyi,, op. Cit. hal. 36

Manna‟ Khalil al-Qaththan, op. Cit. hal. 92

Al-Zarkasyi,, op. Cit. hal. 35


TUGAS MATA KULIAH ULUMUL QUR’AN

“QASHASH AL-QUR’AN”

Oleh:

NURUL MUTHAHHARAH
80100221184

JURUSAN DIRASAH ISLAMIAH


KONSENTRASI SYARIAH / HUKUM ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah swt. sebagai pencipta semua makhluk menciptakan manusia sebagai

makhluk yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk lainnya. Demi

tercapainya kebahagiaan dunia bagi manusia maka Allah swt. menurunkan al-

Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia yang kebenarannya tidak disangsikan lagi

oleh manusia. Allah swt. berjanji bagi siapa saja yang mengikuti petunjuknya

maka akan memperoleh kebahagiaan.1

Al-Qur‟an merupakan kitab suci umat Islam yang berfunsi sebagai

pedoman dalam menjalani kehidupan duniawi. Keberadaannya menjadi bukti rasa

cinta Allah swt. kepada hamba-Nya. Secara tidak langsung al-Qur‟an meruakan

rahmat yang menggambarkan bahwa Allah swt. sangat ingin agar hambanya bisa

kembali kepada-Nya dengan selamat. Al-Qur‟an memiliki peran yang sangat

penting bagi umat manusia yang kehilangan penegtahuan, apabila keberadaannya

hilang atau dihilangkan. Dilihat dari masa turunnya al-Qur‟an merupakan kitab

yang terakhir diturunkan namun memiliki cakupan yang paling sempurna diantara

kitab-kitab terdahulu lainnya. Keseluruhan isi kandungan al-Quran merupakan

representasi firman Allah swt. sebagaimana diwahyukan kepada Nabi saw. yang
disesuaikan dengan era masa turunnya berupa kondisi aktual mekkah, madinah

dan ountentik substansi pesan dalam al-Qur‟an relevan sepanjang masa.2

Al-Qur‟an selain memuat ajaran mengenai keimanan, peribadatan, akhlak,

janji dan ancaman juga memuat mengenai kisah-kisah utamanya kisah mengenai

1
Amroeni Drajat, Ulumul Quran Pengantar Ilmu-ilmu al-Quran, (Cet. I; Depok:
Kencana, 2017), h. 1.
2
Nur Ali Subhan. “Qashash Sebagai materi dan Metode Pendidikan Akhlak: Kajian Tafsir
QS al-Lahab”, Qalamuna Vol. 11 No. 1 (Juni 2019). h. 93-94.

1
2

Nabi-nabi dan umat sebelum Nabi Muhammad saw. juga umat yang hancur

karena keangkuhan mereka.3 Kandungan al-Qur‟an mengenai sejarah dan kisah-

kisah tersebut dikenal dengan nama Qashash al-Qur‟an.

Qashas al-Qur‟an ialah ilmu yang mempelajari mengenai kisah-kisah atau

jejak-jejak umat dan Nabi terdahulu beserta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi

didalam al-Quran.4 Al-Qur‟an mengandung banyak pelajaran dari kisah masa lalu

yang diantaranya ialah kisah para Nabi yang mengandung dakwah dan mukjizat-

mukjizat yang dimilikinya untuk memperkuan dakwahnya.

Ada bebarapa kisah dalam al-Qur‟an yang yang tidak disebutkan nama,

tempat dan waktunya secara utuh agar hal tersebut dapat menjadi contoh dan

teladan bagi siapapun, dimanapun dan kapanpun. Meskipun demikian ada

beberapa kisah yang secara khusus menyebutkan nama, tempat atau lokasi. Hal ini

dapat dikatakan bahwa Allah swt. ingin memberikan petunjuk bahwa ditempat

tersebut terdapat tanda-tanda yang dapat dilihat dan dipelajari oleh manusia secara

langsung.5

Qashash al-Qur‟an merupakan pemebritahuan al-Qur‟an mengenai hal

ikhwal umat yang telah berlalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-

peristiwa yang telah terjadi. Al-Qur‟an banyak mengandung keterangan mengenai

kejadian yang terjadi pada masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-
negeri dan peninggalan atau jejak umat. Al-Qur‟an menceritakan semua keadaan

mereka dengan cara yang menarik dan mempesona.

3
Ma‟Zumi, Ratu Amalia Hayani dan Wardatul Ilmiah, “Nilai Pendidikan Dalam „Ibrah
Qashash al-Quran (Analisis Sintesis Terhadap Kisah-kisah dalam al-Quran)”, Jawara Vol. 7 No. 1
(Juni 2021). h. 14.
4
Muchotob Hamzah, Studi Al-Quran Komprehensif, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h.
201.
5
Ali Akbar, Arkeologi al-Quran Penggalian Pengetahuan Keagamaan. (Cet. I; Jakarta:
Lembaga Kajian dan Perminatan Sejaah, 2020), h. 30.
3

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Qashash (kisah-kisah) al-Qur‟an?

2. Bagaimana Tujuan dan Hikmah Qashash al-Qur‟an?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Qashash al-Qura’an

1. Pengertian Qashash al-Qura’an

Secara bahasa kisah berasal dari bahasa arab qishshah yang berarti

suatu cerita, hiayat atau riwayat. Kata tersebut berasal dari kata al-qish yang

berarti menelusuri atsar atau jejak. Sedangkan menurut istilah ialah suatu

media untuk mneyalurkan mengenai kehisupan atau suatu kebahagiaan tertentu

dari kehidupan yang mengungkapkan suatu peristiwa atau sejumlah peristiwa

yang saling berkaitan satu sama lain, kisahpun harus memiliki suatu

pendahuluan dan bagian akhir.1

Qashash juga berarti berita-berita yang berurutan sebagai firman Allah

swt. dalam QS Ali Imran/3:62

...     


Terjemahnya:
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar...2

Qashash al-Qur’an merupakan pemberitahuan al-Qur’an mengenai hal

ihwal umat terdahulu, nubuwat (kenabian) terdahulu dan peristiwa-peristiwa

yang telah terjadi. Al-Qur’an banyak mengandung ketrangan mengenai


kejadian yang terjadi pada masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-

negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Al-Qur’an menceritakan semua

keadaan mereka dengan cara yang menarik dan mempesona.3

1
Nur Ali Subhan, “Qashash Sebagai Materi dan Metode Pendidikan Akhlak: Kajian Tafsir
QS al-Lahab”, Qalamuna Vol. 11 No. 1 (Juni 2019). h. 94.
2
Al-Quran
3
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits Fi Ulum al-Quran. Terj. Mudzakir AS. Studi Ilmu-
ilmu al-Qur’an. (Cet. I; Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1992), h. 432.

4
5

2. Bentuk-bentuk Kisah dalam al-Qura’an

Kisah-kisah dalam al-Qur’an terbagi atas beberapa hal yaitu:

a. Ditinjau dari segi materi

Apabila ditinjau dari segi materi yang diceritakan, kisah al-Qur’an terbagi

atas:

1) Kisah para nabi terdahulu. Kisah yang mengandung informasi mengenai

dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat

dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan

dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh

mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan syariat yang

dibawa nabi mereka, seperti kisah Nabi Nuh (an-Nisa: 163, al-A’raf: 59-69,

at-Taubah: 70, Yunus: 71, Ibrahim: 9, al-Anbiya’:76 dst), Nabi Hud (al-

A’raf-kisah pendek yang kurang dari 10 ayat), Nabi Isa (al-Maidah: 110-

120) dan Nabi-nabi yang lainnya,

2) Kisah-kisah yang menyangkut pribadi-pribadi yang bukan termasuk Nabi

dan golongan-golongan segala kejadiannya yang dinukil oleh Allah untuk

dijadikan pelajaran, seperti kisah Maryam (ibunda Nabi Isa as. Dalam surah

Ali Imran: 36-45, an-Nisa:156 & 171, al-Maidah: 17 & 110, Maryam: 16&

27, al-Mukminun: 50 dan at-Tahrim: 12), Dzulqarnain (al-Kahfi: 9-26),


Lukman Hakim (Luqman: 12-13) dan Ashabul Kahfi (al-Kahfi),

3) Kisah yang menyangkut peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa

Rasulullah, seperti perang Badar (Ali Imran), Uhud (Ali Imran), Ahzab

(AL-Ahzab) dan perang Bani Nadzir.4

b. Ditinjau dari segi Waktu

Ditinjau dari segi waktuterjadinya, kisah dalam al-Qur’an yaitu:

4
Nur Faizin, 10 Tema Kontroversial ‘Ulumul Qur’an, (Cet. I; Jawa Timur: Azhar Risalah,
2011), h. 156-163.
6

1) Kisah mengenai hal-hal gaib pada masa lalu. Yang dimaksud ialah kisah-

kisah al-Qur’an menegnai hal-hal yang tidak dapat ditangkap oleh panca

indra yang terjadi dimasa lalu seperti kisah Nabi Nuh, Nabi Musa dan

Nabi-nabi lainnya,

2) Kisah mengenai hal-hal gaib pada masa sekarang. Kisah ini ialah kisah

yang telah terjadi sejak dahulu dan akan tetap terjadi sampai masa sekarang

seperti kisah para malaikat, jin, setan dan sebagainya,

3) Kisah-kisah gaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Kisah ini

ialah kisah yang diceritakan al-Qur’an akan terjadi dan belum pernah

terjadi pada masa turunnya al-Qur’an seperti kemenangan bangsa romawi

atas persia.

c. Ditinjau dari segi pelaku

Dilihat dari segi pelakunya, kisah dalam al-Qur’an yaitu:

1) Malaikat (kisah malaikat yang datang kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Luth

dalam QS. Hud: 69-83)

2) Jin (kisah Jin pada masa Nabi Sulaiman dalam QS. Saba’: 12)

3) Manusia (kisah para Nabi, orang-orang saleh bahkan orang-orang

pembangkang)

4) Binatang (kisah burung Hud-hud pada masa Nabi sulaiman dalam QS. An-
Naml: 18-20)

d. ditinjau dari kondisi ketaatan pelaku dan tindakannya

1) orang-orang yang taat pada Allah, mereka ialah orang-orang yang

menjalankan perintah Allah, seperti kisah mengenai para Nabi, rasul dan

orang-orang saleh

2) kondisi orang-orang yang membangkang, mereka ilah orang-orang yang

mengingkari dan tidak menaati perintah Allah seperti Fir’aun (al-Baqarah:


7

49-50, Ali Imran: 11, al-A’raf: 103-141, al-anfal: 52-54 dsb), Namrud dan

lain-lain.

e. Ditinjau dari segi jenisnya

Dilihat dari segi jenisnya, kisah al-Qur’an terbagi atas:

1) Kisah yang berkisar tentang sejarah, seperti sejarah-sejarah Nabi dan Rasul,

2) Kisah asatir, yaitu kisah yang bertujuan untuk mewujudkan tujuan-tujuan

ilmiah atau menfsirkan fenomena yang ada atau menguraikan mengenai

masalah yang sulit untuk diterima oleh akal,

3) Kisah sejarah atau perumpamaan untuk menerangkan, memperjelas suatu

pengertian, peristiwa itu tidak benar kira-kiraan atau perumamaan.

3. Unsur-unsur Kisah dalam al-Qur’an

Al-Qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa yang terjadi

secara panjang lebar sesuai dengan peristiwanya. Tetapi kadang kala sebuah

peristiwa disebutkan berulang-ulang dibeberapa tempat, ada juga kisah yang

dalam al-Qur’an disebutkan dalam bentuk yang berbeda, disuatu tempat ada

bagian yang didahulukan dan diakhiri ditempat lain. Kadang-kadang juga

sebuah kisah disajikan dengan cara yang ringkas dan kadang secara panjang

lebar. Hal tersebut menjadi pokok perdebatan dikalangan orang-orang yang

meyakini dan meragukan al-Qur’an. Bagi kelompok yang ragu akan al-Qur’an
kadang kala mempertanyakan mengapa suatu kisah dalam al-Qur’an tidak

disusun secara kronologis dan sistematis sehingga mudah dipahami. Karena

menurut mereka hal tersebut dianggap tidak efektif dan efisien.5 Menurut para

ahli, unsur-unsur kisah yang terdapat dalam al-Qur’an ialah:

5
Muhammad Chirjin, al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: Dana Bakti Prima
Yasa, 1989), h. 11.
8

a. Pelaku dalam al-Qur’an, pelaku-pelaku tersebut bukan hanya manusia, tetapi

juga meliputi jin (ibli dalam QS. Al-Baqarah: 34, al-A’raf: 11, al-Hijr: 31-32,

al-Isra’: 61), malaikat dan hewan. Yaitu:

1) Burung dan hewan melata sebagaimana yang terdapat dalam QS. An-

Naml/27:18-29 yang mengisahkan tetang Nabi Sulaiman dan sekawanan

semut yang saling mengingatkan agar berhati-hati sehingga tidak diinjak

oleh Nabi Sulaiman dan bala tentaranya. Dan kisah-kisah lainnya seperti

burung hud-hud,

2) Makhluk halus seperti halnya malaikat sebgai makhluk yang seringkali

digambarkan menjumpai manusia dengan menjelma menjadi manusia

biasa, seperti yang terjadi pada masa Nabi yang dikisahkan dalam QS.

Hud/11:69-83 dan QS. Al-A’raf/7:11-27.

3) Manusia laki-laki dan perempuan yang didalamanya termasuk kisah para

Nabi dan Rasul, orang biasa atau para raja dan orang-orang saleh yang

bukan Nabi.6

b. Peristiwa, unsur ini merupakan unsur pokok dalam suatu cerita, sebab kisah

tidaklah mungkin ada tanpa suatu peristiwa. Sebagian ahli membagi peristiwa

ini kedalam tiga hal yaitu:

1) Peristiwa yang merupakan akibat dari suatu pendustaan dan campur tangan
qadla-qadar Allah dalam suatu kisah,

2) Peristiwa yang dianggap luar biasa atau disebur mukjizat sebagai tanda

bukti kebenaran, lalu datanglah ayat-ayat Allah namun ereka tetap

mendustakannya lalu diturunkanlah adzab,

3) Peristiwa biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal sebagai

tokoh yang baik atau buruk, baik itu rasul maupun manusia biasa.7

6
Umar Sidiq, “Urgensi Qashas al-Quran Sebagai Salah Satu Metode Pembelajaran yang
Efektif Bagi Anak”, Cendekia Vol. 9 No. 1 (Juni 2011). h. 115.
9

c. Kisah percakapan yang biasanya terdapat pada kisah yang didalamnya

memilki banyak pelaku sepeerti kisah Nabi Yusuf, Nabi Musa. Isi percakapan

ini biasanya mengenai hal agama seperti halnya masalah kebangkitan

manusia, keesaan Allah, pendidikan dan sebagainya.

4. Faedah Kisah al-Qur’an

Salah satu tujuan Allah menyampaikan kisah ialah agar manusi berfikir

dan mengambil ibrah. Kisah dalam al-Qur’an bukan hanya sekedar kisah

sastra, tetapi kisah yang menjadi media untuk mewujudkan tujuannya. Tujuan

pokok dari kisah al-Qur’an sendiri ialah pencapaian hidayah dari Allah swt.

agar manusia ingin belajar dari kisah tersebut dan mendapat hidayah dari Allah

swt.8

Kisah-kisah dalam al-Qur’an memiliki tujuan pokok dan manfaat yang

diantaranya ialah:

a. Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah swt. dan menjelaskan mengenai

pokok-pokok syariat yang dibawa oleh para nabi Allah untuk umatnya,

sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Al-Anbiya’/21:25

             

Terjemahnya:
dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan
Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak)
melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku.

b. Meneguhkan hati Rasulullah dan umatnya atas agama, meneguhkan

kepercayaan orang-orang yang beriman tentang menangnya kebenaran serta

7
Nurul Hidayati Rofiah, “Kisah-kisah dalam al-Qur’an dan Relevansinya dalam
Pendidikan Anak Usia SD/MI”. ---------- h. 7
8
Mustafa al-Bagha dan Mahyudin Mustawa, al-Wadheh Fi ‘Ulum al-Qur’an, (Cet. II;
Damkus: Darl Ulumul Insaniyah, 1998), h. 186.
10

musnahnya kebatilan bersama orang-orang pembelanya, sebagaimana firman

Allah swt. dalam QS. Huud/11:120.

             
   
Terjemahnya:
dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-
kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah
datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-
orang yang beriman.

c. Mengabadikan jejak-jejak peninggalan Nabi-nabi dan pernyataan bahwa Nabi-


nabi terdahulu ialah benar dan menghidupkan kenangan terhadap mereka.

d. Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad saw. dalam dakwahnya dengan


apa yang diberitakannya mengenai hal ihwal orang-orang terdahulu

disepanjang kurun dan generasi.

e. Mengungkapkan kebohongan para ahli kitab dengan hujjah yang menyingkap


keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan serta menentang mereka

dengan isi kitab mereka sendiri sebelim kitab itu dirubah dan diganti,

sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali Imran/3:93

           
           

Terjemahnya:
semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang
diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat
diturunkan. Katakanlah: “(Jika kamu mengatakan ada makanan yang
diharamkan sebelum turun Taurat), Maka bawalah Taurat itu, lalu
bacalah Dia jika kamu orang-orang yang benar”.

f. Kisah merupakan salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian

pendengarnya dan memantapkan pesan-pesan yan terkandung didalamnya

kedalam jiwa, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Yusuf/12:111


11

           
         
 
Terjemahnya:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman.

B. Tujuan dan Hikmah Kisah Berulang-ulang dalam al-Qur’an

1. Tujuan Mempelajari Kisah dalam al-Qur’an

Kisah umat terdahulu yang terdapat dalam al-Qur’an bertujuan untuk

mewujudkan maksud dan tujuan keagamaan serta tujuan moral yang

diantaranya ialah penetapan wahyu dan risalah, keesaan Allah, sebagai

peringatan dan kabar gembira, penayangan mengenai fenomena-fenomena

kekuasaan Tuhan serta akibat dari suatu perbuatan yang baik maupun yang

buruk.

Kisah dalam al-Qur’an menjadi bukti kuat bagi umat manusia bahwa al-

Qur’an sangat sesuai dengan kondisi mereka karena sejak kecil sampai dewasa

bahkan sampai tua, mayoritas orang-orang menyukai kisah, terlebih pada kisah

yang memiliki tujuan ganda, yaitu sebgaai pengajaran dan pendidikan juga
sebagai hiburan. Al-Qur’an sebagai kitab hidayang mengandung kedua hal

tersebut. Kisah didalam al-Qur’an selain memiliki tujuan yang mulia kisah

tersebut juga diungkapkan dalam bahsa yang indah dan menarik, sehingga

orang tidak akan bosan untuk membaca dan mendengarkannya. Sejak empat

belas abad yang lalu sampai pada saat ini al-Qur’an masih saja hidup dan

mendapatkan tempat dihati umat.


12

Tujuan umum dari kisah yang berlaku dalam komunitas sosial Arab

yiatu adanya unsur tugas sosial yang harus diemban oleh kisah dalam satu

komunitas sosial untuk kemudian dipersembahkan bagi kehidupan.

Penghidupan tugas ini merupakan kewajiban yang berlaku bagi semua bentuk

seni, baik itu musik, pahat dan lainnya. Kisah-kisah al-Qur’an memiliki tujuan

yang agung yaitu:

a. Membenarkan wahyu dan risalah ilahi, (Yusuf: 2-3)

b. Mebuktikan bahwa kitab suci al-Qur’an benar-benar merupakan penjelasan

yang menyangkut dasar-dasar segala sesuatu secara menyeluruh,

c. Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad saw. dengan dakwahnya dengan

apa yang diberitakannya mengenai hal ihwal orang terdahulu disempanjang

kurun dan generasi,

d. Mengisyaratkan kesatuan semua agama samawi (yang disampaikan para

Rasul) (al-A’raf: 59),

e. Memberikan penjelasan metode dakwah para rasul ialah sama dan penerimaan

kaum mereka terhadap ajarannya juga hampir sama,

f. Hubungan erat antara semua syariat dan agama,

g. Menerangkan kemenangan para Rasul dan kebinasaan bagi mereka yang

mengingkari para Rasul,


h. Menerangkan kekuasaan Allah swt. dalam menampilkan hal-hal luar biasa

(mukjizat),

i. Menerangkan akibat amal kebaikan dan keburukan.9

9
Muhammad Gufron, ulumul Qur’an, (Yogyakarta: --------- 2017), h. 135.
13

2. Hikmah Kisah dalam al-Qur’an

a. Membuktikan kesamaan misi dakwah al-Qur’an dengan nabi terdahulu

             

Terjemahnya:
dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan
Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak)
melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku".
b. Memantapkan hati Nabi Saw. dan umatnya atas Agama

            
    
Terjemahnya:
dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-
kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah
datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-
orang yang beriman.

c. membenarkan kenabian dan mengenang jasa nabi terdahulu

        


   
Terjemhnya:
dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
d. Membuktikan kebenaran dakwah Nabi Saw.
e. Membantah ahli kitab atas upaya mereka dalam menghilangkan fakta-fakta

kebenaran

          
  
Terjemhnya:
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan
tetapi Dia adalah seorang yang lurus[201] lagi berserah diri (kepada
Allah) dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang
musyrik.
14

f. Sebagai sarana pembelajaran yang efektif

           
         
 
Terjemahnya:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman.
3. Hikmah Kisah Berulang-ulang dalam al-Qur’an

Al-Qur’an meliputi berbagai kisah yang diungkapkan secara berulang-

ulang dibeberapa surah. Kisah tersebut disebutkan berulang-ulang yang

dikemukakan dalam bentuk yang berbeda. Terkadang secara ringkas ataupun

panjang lebar. Hikmah dari kisah yang berulang-ulang tersebut ialah:

a. Menjelaskan ke balaghahan al-Qur’an dalam tingkat paling tinggi

Keistimewaan dari balaghah ialah mengungkapkan sebuah makna dalam

berbagai macam bentuk yang berbeda dan kisah berbeda tersebut dikemukakan

dengan uslub yang berbeda disetiap tempatnya, sehingga orang yang membacanya

tidak merasa bosan. Hal ini dikarenakan hal tersebut dapat menambah kedalaman

jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan saat membacanya ditempat

lain.
b. Memperlihatkan kehebatan Mu’jizat al-Qur’an

Meneyebutkan suatu makna dalam berbagai bentuk dan susunan perkataan

yang tidak datantang salah satunya oleh sastrawan-sastrawan arab, menjelaskan

bahwa al-Qur’an itu benar-benar dari Allah swt.

c. Memeberikan perhatian penuh kepada kisah

Memberikan perhatian besar terhadap sebuah kisah agar pesan-pesannya

lebih melekat dalam jiwa. Hal ini disebabkan oleh pengulangan yang merupakan
15

salah satu cara pengukuhan atau cara ta’kid dan salah satu dari tanda-tanda

besarnya perhatian, sepertihalnya kisah Musa dan Fir’aun. Kisah yang

menggambarkan secara sempurna mengenai pergulatan sengit antara kebenaran

dan kebatilan. Sekalipun kisah tersebut seringkali diulangi tetapi tidak pernah

terjadi dalam sebuah surah dalam al-Qur’an.10

d. Perbedaan tujuan yang karenanya kisah tersebut diungkapkan

Sebagian dari makna-maknanya diterangkan disuatu tempat, karena hanya

itulah yang diperlukan, sedangkan makna-makna lainnya dikemukakan ditempat

lain yang sesuai dengan keadaan yang dituntutkan.11

10
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Cet. I; Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 193.
11
Manna’ Khalil al-Qattan, Mahabits Fi Ulum al-Qur’an... h. 433.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Qashash al-Qur’an ialah pemberitahuan al-Qur’an mengenai hal ihwal

umat terdahulu, nubuwat (kenabian) terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah

terjadi. Bentuk-bentuk kisah dalam al-Qur’an dapat ditinjau dari segi materi,

waktu, pelaku, ketaatan dan jenisnya. Unsur-unsur kisah yang terdapat didalam al-

Qur’an pelaku, peristiwa dan percakapan. Faedah dari mempelajari kisah didalam

al-Qur’an ialah untuk menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah swt.,

meneguhkan hati, mengabadikan jejak-jejak peninggalan Nabi, menampakkan

kebenaran Nabi Muhammad saw. mengungkapkan kebohongan dan sastra yang

menarik perhatian.

Qashash al-Qur’an memiliki tujuan dan hikmah dibalik kisahnya yang

berulang-ulang. Tujuan mempelajaruinya ialah membenarkan wahyu dan risalah

ilahi, membuktikan kebenaran al-Qur’an, menampakkan kebenaran Nabi

Muhammad saw., mengisyaratkan kesatuan agama, memberikan penjelasan

mengenai metode dakwah, menghubungkan syariat dan agama, menerangkan

kemenangan para Rasul, menerangkan kekuasaan Allah swt. dan menerangkan

akibat dari amal. Kisah yang berulang-ulang didalam al-Qur’an memiliki hikmah
yaitu menjelaskan ke balaghahan al-Qur’an dalam tingkat yang paling tinggi,

memperlihatkan kehebatan mu’jizatnya, memberikan perhatian penuh kepada

kisah-kisah tersebut dan menjelaskan mengenai perbedaan tujuannya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟an

Akbar, Ali. Arkeologi al-Qur’an Penggalian Pengetahuan Keagamaan. Cet. I;


Jakarta: Lembaga Kajian dan Perminatan Sejarah, 2020.

Al-Bagha, Mustafa. Mahyudin Mustawa. Al-Wadheh Fi ‘Ulum al-Qur’an. Cet. II;


Damkus: Darl Ulumul Insaniyah, 1998.

Al-Qattan, Manna‟ Khalil. Mabahits Fi Ulum al-Qur’an. Terj. As, Mudzakir.


Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Cet. I; Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa,
1992.

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Ilmu-ilmu al-Qur’an. Cet. I;


Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002.

Chirjin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bakti


Prima Yasa, 1989.

Drajat, Amroeni. Ulumul Quran Pengantar Ilmu-ilmu al-Quran. Cet. I; Depok:


Kencana, 2017.

Faizin, Nur. 10 Tema Kontroversial ‘Ulumul Qur’an. Cet. I; Jawa Timur: Azhar
Risalah, 2011.

Gufron, Muhammad. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: ---------- 2017.

Hamzah, Muchotob. Studi al-Qur’an Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media,


2003.

Ma‟zumi. Ratu Amalia Hayani dan Wardatul Ilmiah. “Nilai Pendidikan Dalam
„Ibrah Qashash al-Qur‟an (Analisis Sintesis Terhadap Kisah-kisah dalam
al-Qur‟an)” (Jawara), (Vol. 7 No. 1, Juni 2021), diakses Tanggal 25 April
2022 Pukul 05.56.

Rofiah, Nurul Hidayati. “Kisah-kisah dalam al-Qur‟an dan Relevansinya dalam


Pendidikan Anak Usia SD/MI” ---------- diakses Tanggal 27 Juni 2022
Pukul 16.27.

Sidiq, Umar. “Urgensi Qashas al-Quran Sebagai Salah Satu Metode Pembelajaran
yang Efektif Bagi Anak” (Cendekia), (Vol. 9 No. 1, Juni 2011), diakses
Tanggal. 25 April 2022 Pukul 05.56.

Subhan, Nur Ali. “Qashash Sebagai Materi dan Metode Pendidikan Akhlak:
Kajian Tafsir QS al-Lahab” (Qalamuna), (Purwokerto: Vol. 11 No. 1, Juni
2019), diakses Tanggal. 25 April 2022 Pukul. 05.57.

17
AL-MAKKIYAH WA- AL MADANIYAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Individu Mata Kuliah Ulumul
Quran, Program Dirasah Islamiyah/Konsentrasi Hukum Islam
Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Oleh:

MUHAMMAD ILHAM
80100221187

PROGRAM PASCASARJANA (S2)


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan pada Allah SWT. Hanya kepada-Nya lah

kami memuji dan hanya kepada-Nya lah kami memohon pertolongan. Tidak lupa

shalawat serta salam kami haturkan pada junjungan nabi agung kita, Nabi

Muhammad SAW. Risalah beliaulah yang bermanfaat bagi kita semua sebagai

petunjuk menjalani kehidupan.

Atas kerja keras serta bimbingan dari dosen pengampu mata kuliah “Ulumul

Quran” yang sangat luar biasa memberikan begitu banyak ilmu yang bermanfaat bagi

kami semua sebagai mahasiswa/mahasiswi didiknya.

Makalah “Al Makkiyah wa al-Madaniyah” disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah. Kami menantikan kritik dan saran yang membangun dari setiap

pembaca agar perbaikan dapat dilakukan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi

para pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qurān adalah Kalam Allah yang bernilai Mukjizat yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril yang tertulis dalam

Mashahif dan membacanya bernilai Ibadah. Yang diawali dengan Surat al-

Fatihah dan diakhiri dengan Surah al-Nās.1

Al-Qurān bagi kaum muslimin Kalam Allah yang diwahyukan kepada

Nabi Muhammad, melalui perantara Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga

tahun. Al-Qurān adalah kitab petunjuk yang di dalamnya memuat ajaran

moral universal bagi umat manusia sepanjang masa.

Pandangan umum umat Islam, bahwa al-Qurān diturunkan secara

bertahap menyesuaikan dengan realita dan kondisi yang dihadapi oleh

dakwah Islam kala itu. Menurut al-Qurān sendiri, hikmah diturunkannya al-

Qurān secara bertahap adalah untuk meneguhkan perasaan Muhammad

sehingga ia senantiasa merasa dalam komunikasi intensif dengan Tuhan.

Tidak hanya itu, al-Qurān turun secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun

untuk memberikan arahan tentang reformasi sosial budaya secara

komprehensif dan terukur. Arahan-arahan tersebut disampaikan dengan

memperhatikan situasi, tempat, dan audiens al-Qurān pada saat peristiwa

nuzûl.2

Pada taraf displin keilmuan, al-Qurān akan diuraikan dalam berbagai

pengetahuan, metode-metode, ruang-lingkup, bahkan sampai pada cara

pengaplikasiannya. Disiplin keilmuan yang membahas tentang al-Qurān

1
Muhammad Ali ash- Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta : Pustaka Amani,
2001). Hal. 3
2
Andy Hadiyanto, “Makkiyah-Madaniyah: Upaya Rekonstruksi Peristiwa
Pewahyuan”,Universitas Negeri Jakarta, VII Nomor 1 2011
disebut dengan ilmu-ilmu al-Qurān, Ulumul Qurān. Akan tetapi, tidak jarang

juga muncul berbagai permasalahan terkait pembahasan mengenai ilmu-ilmu

al-Qurān.3

Salah satu ilmu yang harus diperhatikan dalam pembacaan al-Qurān

secara komprehensif dan terukur adalah ilmu tentang Makkiyah dan

Madaniyah. Kata Makkiyah dan Madaniyah bukanlah istilah syar’i yang

konsepnya ditetapkan oleh Nabi, ia hanya sekedar istilah teknis yang

disepakati para ulama tafsir untuk merujuk pada sebuah piranti analisis yang

dipergunakan untuk mendapatkan data tentang suasana pewahyuan al-Qurān

pada audiensnya yang pertama kala itu.4

Sebagaimana diketahui, pembedaan Makkiyah dan Madaniyah

mengacu pada fase psikologis dan sosiologis yang dilalui oleh dakwah Islam.

Dengan kata lain, Makkiyah-Madaniyah merupakan ilmu yang berpretensi

untuk memberikan informasi tentang konteks historis turunnya al-Qur’an.

Perbedaan fase historis Makkiyah-Madaniyah berimplikasi pada variasi

pesan, gaya bahasa, dan teknik penjelasan. Melalui pemahaman yang

mendalam tentang Makkiyah dan Madaniyah diharapkan kita mampu untuk

merekontruksi konteks pewahyuan sehingga selanjutnya kita mampu mencari

benang merah antara konteks historis klasik dengan konteks modern. Hanya

dengan mencari benang merah masa lalu dan masa kini lah maka pemahaman

al-Qurān yang fungsional dapat diraih.5

Berdasarkan penjelasan di atas maka perlu di pelajari lebih mendalam

mengenai hal tersebut, mengingat hal ini berpengaruh dengan pemaknaan

setiap ayat yang ada di dalam al Qur’an yang kita baca dan pelejari saat ini.

3
Muhammad Misbahul Huda, “Konsep Makkiyah Dan Madaniyah Dalam Al-Qur’an”,
Jurnal Kajian Al-Quran dan Tafsir, V Nomor 2 2020
4
Andy Hadiyanto, “Makkiyah-Madaniyah: Upaya Rekonstruksi Peristiwa Pewahyuan”,
Universitas Negeri Jakarta, VII Nomor 1 2011
5
Andy Hadiyanto, “Makkiyah-Madaniyah: Upaya Rekonstruksi Peristiwa Pewahyuan”,
Universitas Negeri Jakarta, VII Nomor 1 2011
Berdasarkan uraian di atas maka penulis merasa perlu menyususn makalah

singkat dengan judul “al-Makkiyah wa al-Madaniyah”

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan al-Makkiyah wa al-Madaniyah?

2. Apa ciri-ciri al-Makkiyah wa al-Madaniyah?

3. Apa manfaat kajian al-Makkiyah wa al-Madaniyah?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian al-Makkiyah wa al-Madaniyah

Persoalan mengetahui ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat Madaniyah sangat erat

hubungannya dengan kemampuan seseorang dalam menerjemahkan dan menafsirkan

al-Qurán.Pengetahuan dalam bidang ini membantu dalam memahami makna dan

kandungan sebuah ayat,sebab antara ayat yang turun di Mekkah dan ayat yang turun

di Madinah mempunyai ciri khas masing-masing.6

Para ulama tidak semena-mena dalam berijtihad. Mereka memiliki pijakan

yang kuat untuk dijadikan landasan dalam berijtihad. Khususnya dalam menentukan

Makkiyah dan Madaniyah ini, para ulama bersandar kepada dua metode utama,

Pertama, simā’I naqli yaitu metode pendengaran sebagaimana adanya., Kedua, qiyasi

ijtihadi, yaitu analogi hasil ijtihad.7

Setidaknya ada tiga pendapat mengenai definisi tentang makiyyah dan

Madaniyah :

Pertama, Makiyyah adalah ayat atau surah yang turun sebelum hijrah

Rasulullah Saw ke Madinah walaupun turun bukan di Mekkah. Sedangkan

Madaniyah adalah ayat atau surah yang turun setelah hijrah walaupun turunnya di

Mekkah. Definisi ini menitikberatkan unsur waktu. Kedua, makiyyah adalah ayat

atau surah yang turun di Mekkah walaupun turunnya setelah hijrah, sedangkan

Madaniyah adalah ayat atau surah yang turun di Madinah. Wilayah yang termasuk

Mekkah antara lain Mina, Arafat dan Hudaybiyah. Sedangkan wilayah yang

termasuk Madinah di antaranya Badr, Uhud dan Sai’. Definisi kedua ini lebih

memperhatikan unsur tempat. Definisi kedua ini memiliki kelemahan; ia tidak dapat

6
Mardan, “Al-Qur’an Sebuah Pengantar” MAzhab Ciputat, Jakarta 2010, h.97
7
Amroeni Drajat, “Ulumul Qur’an”, Kencana, Cetakan 1, Depok, Agustus 2017, h.67
menampung ayat yang turun bukan di Mekkah dan sekitarnya dan bukan pula di

Madinah dan sekitarnya. Ketiga, makiyyah adalah ayat atau surah yang isi

kandungannya ditujukan untuk penduduk Mekkah, sedangkan Madaniyah adalah

ayat atau surah yang isi kandungannya ditujukan untuk penduduk Madinah. Definisi

ketiga ini meninjau unsur mukhāṭab (siapa yang diseru).8

Menurut Abu Zaid, pendefinisian Makkiyah-Madaniyah hendaknya didasarkan

pada realitas pada satu sisi, dan teks itu sendiri pada sisi yang lain. Dinamika realitas

tercermin dalam teks, baik pada aspek isi atau aspek struktur. Realitas menunjukkan

bahwa peristiwa penting yang mempengaruhi kandungan dan struktur teks al-Qurān

adalah peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah. Peristiwa hijrah bukan sekedar

perpindahan tempat, tetapi lebih dari itu menunjukkan adanya perubahan pola dan

pendekatan dakwah Islam. Fase pra hijrah adalah fase indzār dan fase pasca hijrah

adalah fase risālah. Abu Zaid menerangkan bahwa fase indzâr adalah fase untuk

mengubah kesadaran lama menjadi kesadaran baru melalui proses penyadaran

tentang status quo yang penuh kebobrokan agar timbul kesadaran untuk melakukan

proses reformasi, sedangkan fase risâlah adalah proses pembentukan idiologi

masyarakat melalui penataan aspek aspek kehidupan mereka.9

Dari ketiga pendapat dan pandangan tersebut, pandangan dari segi turun-nya

(pertama) menjadi pandangan yang paling terkenal.10 Pendapat ini juga merupakan

yang paling rājih (kuat) di antara 3 pendapat lainnya, dengan alasan pertama, paling

teliti, mencakup dan menyeluruh, alasan kedua, mampu menyelesaikan hamper

8
Abad Badruzaman, “Model Pembacaan Baru Konsep Makiyyah-Madaniyah”, Episteme X
Nomor 1 2015
9
Andy Hadiyanto, “Makkiyah-Madaniyah: Upaya Rekonstruksi Peristiwa Pewahyuan”,
Universitas Negeri Jakarta, VII Nomor 1 2011
10
Muhammad Misbahul Huda, “Konsep Makkiyah Dan Madaniyah Dalam Al-Qur’an”,
Jurnal Kajian Al-Quran dan Tafsir, V Nomor 2 2020
seluruh perselisihan seputar dikotomi Makkiyah-Madaniyah, alasan ketiga lebih

dekat dengan pemahaman para sahabat.11

Secara garis besar, surat-surat dalam al-qurān terbagi atas dua bagian, yaitu

surat-surat makkiyah dan surat-surat madaniyah. Dalam studi al-qurān, ilmu

makkiyah dan madaniyah merupakan bidang kajian yang membedakan fase penting

turunnya al-qurān baik pada tataran isi maupun struktur. Para ulama berbeda

pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan makkiyah dan madaniyah, khususnya

terkait batasan antara mana yang makkiyah dan mana yang madaniyah, baik dari sisi

isi maupun strukturnya. Oleh karena itu, ada beberapa pandangan yang dapat kita

telusuri untuk menentukan definisi makkiyah dan madaniyah.12

Munculnya ilmu Makkiyah-Madaniyah sebagai salah satu instrument

pembacaan al-Qurān, nampaknya telah menjadi kesepakatan para ulama, baik dari

kalangan salaf maupun khalaf. Namun masih ditemui beberapa perbedaan di antara

ulama dalam mengidentifikasi surat-surat Makkiyah atau Madaniyah. Menurut al-

Suyuṭi, perbedaan tersebut muncul akibat perbedaan fokus kajian para ulama dalam

melihat berbagai fenomena yang meliputi proses nuzulnya sebuah surat.13

Ada beberapa teori dan pendekatan yang dapat digunakan dalam menentukan

ayat-surat al-Qurān yang dapat dikategorikan Makkiyah dan Madaniyah. Dari segi

teori, ada empat teori yang menjadi dasar dalam pengkategorian Makkiyah dan

Madaniyah, yakni:

1) teori geografis,orientasinya pada tempat:

2) teori subjektif,orientasi teori ini terletak pada sisi subjek siapa yang dipanggil

(audiens);

11
Abad Badruzaman, “Model Pembacaan Baru Konsep Makiyyah-Madaniyah”, Episteme X
Nomor 1 2015
12
https://www.bacaanmadani.com/2019/09/makkiyah-dan-madaniyah-pengertian-dasar.html,
(20 April 2021)
13
Andy Hadiyanto, “Makkiyah-Madaniyah: Upaya Rekonstruksi Peristiwa Pewahyuan”,
Universitas Negeri Jakarta, VII Nomor 1 2011
3) teori historis, teori ini berorientasi pada sejarah waktu turunnya al-Qur‟an;

dan

4) teori analisis konten,teori menguak pada isi (pesan) ayat/surat.

Sedangkan dalam hal pendekatan, para ulama menggunakan dua metode dasar,

yakni: (1) merujuk pada riwayat-riwayat dari para sahabat dan tabi‟in (sima‟i); dan

(2) berpegang pada kesepakatan ulama (qiyāsị).14

B. Ciri-ciri Al-Makkiyah wa al-Madaniyah

Munculnya ilmu Makkiyah-Madaniyah sebagai salah satu instrument

pembacaan al-Qurān, nampaknya telah menjadi kesepakatan para ulama, baik dari

kalangan salaf maupun khalaf. Namun masih ditemui beberapa perbedaan di antara

ulama dalam mengidentifikasi surat-surat Makkiyah atau Madaniyah.

Menurut Al Suyuṭi, perbedaan tersebut muncul akibat perbedaan fokus kajian

para ulama dalam melihat berbagai fenomena yang meliputi proses nuzulnya sebuah

surat. Sebagaimana dilansir oleh Subhi al Shalih, untuk mengetahui segala hal yang

melingkupi proses nuzul, para ulama mengajukan tiga indikator dalam

mendefinisikan Makkiyah-Madaniyah, yaitu: tempat, waktu, dan tokoh. Masing-

masing ulama berpegang dengan salah satu indikator tersebut dalam mengidentifikasi

Makkiyah-Madaniyah sebuah surat, akibatnya terjadi beberapa perbedaan definisi

tentang Makkiyah-Madaniyah tersebut.

1. Ciri-ciri al-Makkiyah

Untuk mengenali surah-surah yang tergolong pada kategori

Makkiyah,para ulama telah memberikan sejumlah rumus dan tanda-tanda yang

dapat mempermudah bagi pembaca untuk menentukannya. Memang disamping

ciri-ciri umum, terdapat juga pengecualian, dan pengecualian inilah yang harus

diperhatikan dengan cermat dan teliti.

14
Muhammad Misbahul Huda, “Konsep Makkiyah Dan Madaniyah Dalam Al-Qur’an”,
Jurnal Kajian Al-Quran dan Tafsir, V Nomor 2 2020
Ciri-ciri umum surah-surah makkiyah :

a. Surah yang didalamnya terdapat ayat sajadah.

b. Surah yang didalamnya terdapat lafaẓ kallā, sekali-kali tidak.

Umumnya terdapat pada bagian pertengahan sampai akhir al-Qurān.

c. Surah yang didalamnya terdapat seruan dan tidak terdapat seruan “yā

ayyuhā al-Nās” dan “yā ayyuhā allażīna āmanū”

d. Surah yang didalanya terdapat kisah Nabi dan umat-umat terdahulu,

kecuali surah al-Baqarah.

e. Surah yang didalamnya terdapat kisah Nabi Adam dan Iblis, kecuali

surah al-Baqarah.

f. Surah yang diawali dengan huruf maqaṭu’, kecuali dua surah, al-

Baqarah dan āli Imran. Para ulama berbeda pendapat mengenai surah

al-Rad,sebagian berpendapat surah makkiyah.

g. Ayat-ayat maupun surahnya itu sendiri pada umumnya pendek dan

ringkas, uraiannya sedikit keras dan hangat dan nada suaranya tegas.

h. Dakwah mengenai pokok-pokok keimanan, hari akhirat,gambaran

surga dan neraka.

i. Dakwah mengenai budi pekerti, kebajikan,moralitas, sanggahan dan

bantahan terhadap pikiran kaum musyrik.

j. Terdapat pernyataan sumpah yang lazim dinyatakan orang-orang

arab. 15

15
Amroeni Drajat, “Ulumul Qur’an”, Kencana, Cetakan 1, Depok, Agustus 2017, h.67
2. Ciri-ciri Madaniyah

Sebagaimana adanya ciri-ciri umum dalam menentukan surah-surah

makkiyah di atas,maka dalam surah-surah madaniyah juga terdapat ciri-ciri

umum yang dapat dipedomani dalam menentukan dan menggolongkan suatu

surah ke dalam madaniyah. Demikian juga beberapa pengecualian yang mesti

diperhatikan.

Ciri-ciri yang menonjol yang dapat dijadikan patokan menentukan surah-

surah madaniyah sebagai berikut :

1. Surah yang didalamnya terdapat izin perang atau yang menerangkan

soal peperangan dan menjelaskan hukum-hukumnya.

2. Surah yang didalamnya mengandung permasalahan hukum-hukum

agama (syariah)

3. Surah yang didalam terdapat uraian kaum munafik,kecuali surah al-

ankabut yang Makkiyah,selain sebelas surah pada pendahuluannya

adalah Madaniyah.

4. Bantahan terhadap ahl kitāb dan seruan agar mereka mau

meninggalkan sikap berlebihan dalam mempertahankan agamanya.

5. Umumnya memiliki surah yang panjang, susunan kalimatnya bernada

tenang dan lembut.

6. Berisi penjelasan-penjelasan tentang bukti-bukti dan dalil-dalil

mengenai kebenaran agama Islam secara perinci.16

16
Amroeni Drajat, “Ulumul Qur’an”, Kencana, Cetakan 1, Depok, Agustus 2017, h.68
C. Manfaat kajian Al-Makkiyah wa al-Madaniyah

Apabila dikaji manfaat dan kegunaan yang dikandung dalam ilmu makkiyah

dan madaniyah,maka akan banyak ditemukan manfaatnya,seperti yang diterangkan

qaṭṭan.

Pertama, sebagai alat bantu dalam memahami al-Qur’an,sebab pengetahuan ini

memberikan kontribusi penting dalam menafsirkan al-Qurān dengan benar. Sebab

mengetahui tempat turun,kapan diturunkan dan mengenai apa diturunkan.

Pengetahuan ini akan menjadi pegangan para mufaṣir untuk mengetahui mana ayat

yang manṣukh dan nāṣikh.

Kedua, meresapi gaya Bahasa al-Qurān dan memanfaatkan keindahan dan

kelenturan gaya Bahasa tersebut dalam metode dakwah,sebab setiap situasi dan

kondisi memiliki Bahasa dakwah yang berbeda pula. Dengan demikian sebagai

acuan dalam retorika dakwah. Sebab mengetahui dengan pasti seruan pembicaraan

setiap al-Qurān.

Ketiga, mengetahui sejarah Nabi Muhammad SAW secara komprehensif

melalui ayat-ayat al-Qurān,baik ketika Nabi berada di Mekah atau pun di Madinah.

Pengetahuan historis peri kehidupan Nabi yang di gali dari ayat-ayat tersebut akan

sangat berguna sekali dalam menentukan metode dakwah yang sesuai hingga dapat

memastikan sikap terhadap siapa seruan ditujukan.17

Sedangkan, menginformasikan bahwa di antara manfaat pemahaman

Makkiyah-Madaniyah adalah untuk mengetahui nāsikh dan manṣukh, serta untuk

mengetahui ayat-ayat yang berfungsi sebagai (yang mengkhususkan) terhadap ayat-

ayat sebelumnya yang turun secara umum. Pemahaman Al-Suyutidan ulama-ulama

klasik tentang Makkiyah-Madaniyah nampaknya masih didominasi oleh orientasi

17
Amroeni Drajat, “Ulumul Qur’an”, Kencana, Cetakan 1, Depok, Agustus 2017, h.72
fikih, sehinga manfaat kajian Makkiyah-Madaniyah hanya sebatas pada penentuan

suatu hukum agama.18

Menurut Subhi al-Ṣalih, analisis Makkiyah-Madaniyah akan memberikan data-

data induktif tentang strategi yang ditempuh da’wah al-Qurān untuk memproduk

sebuah budaya baru untuk konteks bangsa Arab abad ke tujuh. Bertolak dari

kesadaran akan Makkiyah-Madaniyah inilah, Sayid Qutub mengajukan model

penafsiran haraki nya. Sebagaimana diulas oleh Ṣalah al Khalidi, model tafsir haraki

ini berupaya untuk merekonstruksi berbagai peristiwa, situasi, dan kondisi yang

meliputi proses nuzūl, dan dengan melalui penjiwaan imajinatif terhadap itu semua

lalu ditariklah benang merah dengan situasi dan kondisi real yang meliputi proses

pembacaan al-Qurān saat ini.19

Kegunaan mempelajari Al Makkiyah wal Madaniyah :

1. Membantu para mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qurān

2. Merasakan gaya Bahasa dan susunan kalimat Al-Qurān yang begitu indah

3. Membantu mufasir dalam mengistinbatkan hukum-hukum islam.

4. Mengetahui petunjuk-petunjuk Nabi SAW dalam membina dan

membangun masyarakat Islam

5. Mengetahui sejarah perjalanan kenabian Muhammad SAW, dalam

menerima wahyu-wahyu Al-Qurān dari Allah SWT memlaui malaikat

Jibril.20

18
Andy Hadiyanto, “Makkiyah-Madaniyah: Upaya Rekonstruksi Peristiwa Pewahyuan”,
Universitas Negeri Jakarta, VII Nomor 1 2011
19
Andy Hadiyanto, “Makkiyah-Madaniyah: Upaya Rekonstruksi Peristiwa Pewahyuan”,
Universitas Negeri Jakarta, VII Nomor 1 2011
20
Mardan, “Al-Qur’an Sebuah Pengantar” MAzhab Ciputat, Jakarta 2010, h.102
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ilmu tentang Makkiyah dan Madaniyah terasa sangat penting seseorang

memahami dan menguasai ilmu tersebut, telebih lagi yang ingin merumuskan sebuah

hukum tertentu dari al-Qurān sebagai rujukan dalil. Maka dari itu, perlu pemahaman

yang kompleks, terkait konsep Makkiyah dan Madaniyah serta urgensi dan

kedudukannya.

Zaman yang semakin maju dan berkembang menuntut para cendekiawan

muslim untuk terus merumuskan teori, pendekatan, kaidah-kaidah, dan lain

sebagainya. Satu hal yang sangat perlu dipahami adalah al-Qurān sampai kapan pun

tidak akan berubah.


DAFTAR PUSTAKA
Ali Muhammad ash- Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta : Pustaka Amani, 2001). Hal. 3
Badruzaman Abad, “Model Pembacaan Baru Konsep Makiyyah-Madaniyah”, Episteme X Nomor 1
2015
Drajat Amroeni, “Ulumul Qur’an”, Kencana, Cetakan 1, Depok, Agustus 2017, h.67
Hadiyanto Andy, “Makkiyah-Madaniyah: Upaya Rekonstruksi Peristiwa Pewahyuan”, Universitas
Negeri Jakarta, VII Nomor 1 2011
Mardan, “Al-Qur’an Sebuah Pengantar” MAzhab Ciputat, Jakarta 2010, h.97
Misbahul Muhammad Huda, “Konsep Makkiyah Dan Madaniyah Dalam Al-Qur’an”, Kajian Jurnal
Al-Quran dan Tafsir, V Nomor 2 2020
I’JAZ AL-QUR’AN

Diajukan dalam rangka memenuhi tugas makalah pada mata kuliah Ulumul
Qur’an

Oleh :

Rusli Lamolo
Nim : 80100221193

Dosen pembimbing :
Dr. Muhsin Mahfuz, M. Ag

JURUSAN DIRASAH ISLAMIYAH


KOSENTRASI SYARIAH / HUKUM ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah tercatat bahwa bangsa Arab Jahiliyah telah mencapai tingkatan
yang tinggi dalam balaghah dan diksi. Mereka sangat bangga, lalu mengaplikasikannya
ke dalam bentuk kalam seni prosa dan puisi. Sederet nama penyair terkenal semisal
Zuhair Ibn Abi Salma, Amru Ibnu Kultsum, Tarfah, Al Khansa, Umru’ al Qais, al
Nabighah al Dubyani, Haris bin hillizah al Yasykary, Lubaid bin Rabi’ah dan lainnya.1
Para penyair tesebut membawakan syair-syair mereka di pasar-pasar, seperti pasar ukaz,
pasar Majaz dan pasar majnah,2 kemudian syair terbaik akan dipajang pada gantungan
ka’bah.3

Sampai kelahiran baginda Nabi Muhammad, budaya tersebut masih tetap ada.
Sejarah Nabi dan Rasul menunjukkan corak mu’jizat yang tidak lain sebagai respon logis
dari tuntutan realitas kehidupan umat.4 Al-Quran Allah turunkan kepada Baginda
Muhammad sebagai mu’jizat yang nyata. Al-Quran sejak pertama kali di wahyukan
kepada Baginda Muhammad hingga saat ini tidak berubah, artinya tidak bertambah dan
juga tidak berkurang barang satu hurufpun, yang demikian itu merupakan salah satu di
antara tanda-tanda mu’jizat yang Allah lekatkan pada Al-Quran. Allah SWT berfirman
dalam QS. Al-Hijr : 9,

َ ُ ٰ َ ٗ َ َّ ْ َ ْ ََّ ُ ْ َ َّ
‫الذك َر َواِ نا له لح ِفظ ْون‬
ِ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ِانا نحن نزل‬

Artinya : “Kami telah menurunkan Al-Quran dan Kami yang senantiasa menjaganya”.

Selanjutnya para ulama terus melakuakn pendalaman perihal I’jaz quran, dan
dianatara ulama yang mengakaji I’jaz quran yaitu Yusuf Qardhawi dan Abdul Qahir Al-
Jurjani. Dari uraian di atas maka penulis menganggap perlu untuk mendalami perihal

1
Mayoritas linguis arab menggolongkan para penyair Arab menjadi empat golongan : al Jahiliyyun, al
Mukhdaramun, al islamiyyun, al Muwallidun. Ramadan Abd Tawaab, Fushul Fi Fiqh al Lughah, (Kairo :
Maktabah al Khanjiy, tt), cet II, hal 101
2
Abdullah Ali Muhammad Husain, al Bahts al Balaghi wal Marahil Tathawwurihi, (Mesir: Mathba’ah
al Amanah, 1992), h. 12-13
3
Thabrani, Ach. "Nadzam Dalam I’jaz Al Quran Menurut Abdul Qahir Al Jurjani." Al Mi'yar: Jurnal
Ilmiah Pembelajaran Bahasa Arab dan Kebahasaaraban 1.1 (2018): 1-14.
4
Hermawan, Adik. "I’jaz Al-Quran dalam Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi", Madaniyah 6.2, 2016, h.
201
mu’jizat atau I’jazul Quran sebagai bagian dari ulumul quran. kemudian bagaimana
pandangan Yusuf Qardhawi dan Abdul Qahir Al-Jurjani tentang i’jaz quran ini serta
penjelasan turunannya.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut, pemakalah dapat mengidentifikasi rumusan


masalah sebagai berikut :

1. Apakah pengertian dari I’Jazul Quran ?


2. Bagaimana pendapat ulama perihal i’jazul quran ?
BAB II
PENJELASAN

A. Pengertian I’jazul Quran

Kata i’jaz bersumber dari akar kata ‘ajaza yang berarti lemah atau antonim
mampu. I’jaz adalah melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Dari akar kata
yang sama lahir kata mu’jizat yang diartikan oleh banyak pakar sebagai sesuatu yang luar
biasa yang dihadirkan oleh seorang Nabi untuk menantang siapa yang tidak
mempercayainya sebagai Nabi, dan tantangannya itu tidak dapat dihadapi oleh yang
ditantang.5

Mukjizat secara etimologi (bahasa) berarti melemahkan. Sementara menurut


terminologi, mukjizat ialah sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah melalui para
nabi dan rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulan.
Kata mukjizat sendiri tidak terdapat dalam al-Qur’an. Namun untuk menerangkan
mukjizat, Al-Quran mengunakan istilah ayat-ayat atau bayyinat. Baik ayat atau bayyinat
mempunyai dua macam arti, yang pertama artinya pengkabaran Ilahi, yang berupa ayat-
ayat suci Al-Qur’an. Sedangkan yang kedua mencakup mukjizat atau tanda bukti.6
Rasulullah telah meminta orang Arab menandingi Qur’an dalam tiga tahapan:

1. Menantang mereka dengan seluruh Qur’an dalam uslub umum yang meliputi
orang Arab sendiri dan orang lain, jin dan manusia.
2. Menantang mereka dengan sepuluh surah saja dari Qur’an.
3. Menantang mereka dengan satu surah saja dari Qur’an.

Mahmud Syakir menjelaskan istilah i’jaz quran dan mu’jizat Al-Quran dengan
menekankan perhatian kepada awal munculnya kedua istilah ini : Pertama, istilah i’jaz
quran dan mu’jizat Nabi tidak terdapat baik dalam Al-Quran mau pun hadis Rasul saw.
Bahkan istilah ini juga tidak terdapat pada perkatan sahabat, juga tidak muncul dalam
ungkapan-ungkapan tabi’in. Istilah ini mulai muncul pada abad ke-3, kemudian
berkembang dengan sangat pesat pada abad-abad selanjutnya hingga masa kita sekarang

5
Hermawan, Adik. "I’jaz Al-Quran dalam Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi", Madaniyah 6.2, 2016, h.
209
6
Mardan, al-Qur’an Sebagai Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh (Cet. I; Jakarta: Pustaka
Mapan, 2009), h. 146.
ini. Maka dikatakannya bahwa kedua istilah ini merupakan kata yang muhdas (kata
jadian) dan muwallad (istilah baru yang dimunculkan).

Kedua, kata lainnya yang semakna dan menyertai kemunculan kata i’jaz adalah
at-tahaddi. Kata ini juga merupakan kata yang muhdats dan muwallad. Tidak terdapat
baik di dalam Al-Quran mau pun hadis Rasulullah, juga tidak terdapat pada perkatan para
sahabat dan tidak ditemukan dalam ungkapan-ungkapan tabi’in. Kata ini juga baru
muncul pada abad ke-3, kemudian berkembang pada abad ke-4 dan menyebar luar dalam
abad-abad setelahnya sampai masa sekarang ini. Selanjutnya, i’jaz quran menjadi istilah
yang populer digunakan untuk mengusung pembicaraan seputar keunggulan i’jaz quran.
Al-Quran selaku firman Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah saw.

Kata I’jaz juga merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari seorang Rasul yang
diutus Allah kepada umatnya untuk menyampaikan risalah. I’jaz merupakan kemampuan
untuk menundukkan manusia sehingga secara serta-merta menjadikan seorang manusia
mempercayai akan kebenaran dari ajaran atau risalah yang dibawa oleh seorang Rasul.
Kemampuan I’jaz ini kemudian menjadi bagian dari seorang Rasul yang dapat disebut
juga dengan mu’jizat.7

Mu’jizat yang diperlihatkan oleh seorang Rasul, merupakan sesuatu yang dari
sebelumnya telah diketahui oleh manusia secara umum. Dapat dikatakan juga sesuatu
yang dapat dipahami oleh manusia akan tetapi tidak dapat dilakukan atau diperoleh oleh
manusia awam. Maka mu’jizat bukanlah sesuatu yang sangat baru dan tidak dapat
dipahami oleh siapa pun. Mu’jizat merupakan hal yang menyalahi sesuatu yang biasanya
terjadi akan tetapi masih dalam batas pengetahuan yang dapat dipahami manusia,
sehingga dapat dibukitkan dan disaksikan oleh manusia pada umumnya. Karena apabila
mu’jizat bukan sesuatu yang dapat dimengerti maka tidak akan memberikan manfaat bagi
umat yang diperlihatkan mu’jizat tersebut. Akan tetapi kalau dapat dipahami dan ia
menyadari kekerdilan dirinya di hadapan mu’jizat tersebut sehingga tergerak untuk
mengimaninya secara objektif.8

I’jaz Al-Quran memiliki bentuk-bentuk yang sangat beragam, dari sekian banyak
bentuk kemukjizatan al-Qur’an, ada tiga sisi yang perlu dibahas secara tersendiri
diantaranya adalah: I’jaz Bayani wa Adabi (i’jaz secara bahasa dan sastra) dan I’jaz Al-

7
Ashani, Sholahuddin. "Kontruksi Pemahaman Terhadap I’Jaz Alquran." Journal Analytica
Islamica 4.2 (2015) h. 217.
8
Ashani, Sholahuddin. "Kontruksi Pemahaman Terhadap I’Jaz Alquran", h. 218.
Islahi Au At-Tasyri’i (kemukjizatan Al-Quran dalam aspek ajaran syariat yang
dikandungnya). I’jaz yang ketiga adalah i’jaz al-ilmi (kemukjizatan dari segi ilmiah)

B. I’jaz Quran Menurut Para Ulama

Penggunaan kata I’jaz Al-Quran memiliki keterkaitan terhadap kata mu’jizat


Nabi. Dikarenakan bagian dari mu’jizat Rasulullah dianggap yang paling utama adalah
Al-Quran. Dengan demikian Al-Quran mengandung kemampuan I’jaz (menaklukkan),
maka i’jaz quran tidak terlepas dengan istilah mu’jizat Nabi. Akan tetapi perlu
diperhatikan perkembangan dari penggunaan istilah ini sehingga memberikan makna dan
pengertian yang utuh berkenaan dengan istilah i’jaz quran. Kemukjizatan Qur’an bagi
bangsa-bangsa lain tetap berlaku di sepanjang zaman dan akan selalu ada dalam posisi
tantangan yang tegar. Misteri-misteri alam yang disingkap oleh ilmu pengetahuan
modern hanyalah sebagian dari fenomena hakikat-hakikat tinggi yang terkandung dalam
misteri alam wujud yang merupakan bukti bagi eksistensi pencipta dan perencanaannya.

1. I’jaz Quran menurut Abdul Qohir Al-Jurjani

Abdul Qahir Al-Jurjani bernama Abu Bakar Abdul Qahir ibn Abdurrahman di
satu kota terkenal yang terletak antara Tabaristan (Tibris) dan Khurasan. Beliau dikenal
di kalangan ahli balaghah sebagai Abdul Qahir Al-Jurjani seorang pakar nahwu, ahli
ilmu kalam dan bermadzhab asy’ary.9

Sejarah menyebutkan bahwa kondisi keadaan kota gorgan adalah kota yang
penuh dengan cendikiawan dan sastrawan, sehingga kondisi tersebut menstimulus
kesadaran Abdul Qohir Al-Jurjani mendalami berbagai ilmu pengetahuan terutama
bahasa arab. Dalam berbagai literatur memang tidak banyak diterangkan kepada siapa
beliau belajar, namun bisa dipastikan ia lebih banyak belajar dari para ulama negeri
kelahirannya. Di antara gurunya yang paling terkenal adalah Abu Husain Muhammad
An Nawawi yang mengajarkan kepadanya kitan al Idah.

Abdul Qahir Al-Jurjani memiliki peran yang sangat besar dalam sejarah ilmu
balaghah terutama kemampuannya dalam mengurai ilmu ma’ani dan ilmu bayan dengan
uraian yang rinci sebagaimana beliau mengurai beberapa kesalahan dalam menganalisis

9
Abd al Aziz Atiq, Fi al Balaghah al Arabiyah ‘ilm bayan, (Beirut : Dar An Nahdah al Arabiyah,
1985), h. 22
gramatikal bahasa arab nahwu, teori pertama ilmu ma’ani ditulis secara rinci di dalam
bukunya Dalailul i’jaz dan tentang ilmu bayan ditulis dalam bukunya Asrar al
balaghah.10 I’jaz Qur’an menurut Abdul Qahir Al-Jurjani terbagi menjadi tiga: Mukjizat
Al-Quran dari Balaghahnya, Mukjizat Al-Quran dalam Nadzmnya, Penjelasan esensi
Nadzm.

a. Mukjizat Al-Qurandari Balaghahnya

Menurut Al-Jurjanimukjizat AlQuran adalah dari aspek balahahnya, oleh


karenanya Al-Jurjanimelakukan resistematisasi ilmu balâghah, khususnya ‘ilm al-bayân
dan ‘ilm al-ma’ânî, al-Jurjânî dalam buku ini juga merumuskan teori kritik sastra dan
teori nazham (structure,versification), sebuah teori mengenai keserasian struktur
ungkapan (kalimat) dan baitbait syair sesuai dengan kaidah-kaidah nahwu. Karena itu,
selain dikenal sebagai ahli balâghah, al-Jurjânî juga dianggap sebagai kritikus sastra dan
peletak dasar teori nazham. Syauqi Dhaif, dalam al-Balâghah: Târîkh wa Tathawwur,
bahkan menilai bahwa al-Jurjânî telah berhasil merumuskan teori ‘Ilm al-Ma’ânî dan
‘Ilm al-Bayân. Jika teori ‘ilm al-ma’ânî dikodifikasikan dalam Dalâil al-I‘jâz, maka teori
‘ilm al-bayân dirumuskan dalam Asrâr al-Balâghah.11

Keindahan lafazh, menurutnya, bukan terletak pada lafazh tunggal (yang berdiri
sendiri), melainkan karena menjadi bagian dari struktur yang bermakna. Jadi, keindahan
kata ditentukan oleh posisinya dalam struktur dan nazham, dan kontribusinya dalam
makna keseluruhan dari struktur itu. Mukjizat Al-Quran dari balaghahnya adalah
ungkapan yang ada di dalam memiliki tingkat fashahah yang tinggi dan dari Al-Quran
inilah melahirkan ilmu balaghah.

b. Mukjizat al Quran dalam Nadzmnya

Untuk mendukung konstruksi teori nazham-nya, Al-Jurjani juga mencontohkan


ayat 2 surat al-Fâtihah:

َ‫ب ْالعٰ لَ ٰميْن‬


ٰ ‫ا َ ْل َح ْمد ُ ٰ هّلِلٰ َر‬

Kata-kata dalam redaksi ayat ini mengandung dua jenis makna, yaitu makna kata,
seperti: al-hamd berarti pujian atau syukur yang paling tepat untuk hanya ditujukan

10
Thabrani, Ach. "Nadzam Dalam I’jaz Al Quran Menurut Abdul Qahir Al Jurjani." Al Mi'yar: Jurnal
Ilmiah Pembelajaran Bahasa Arab dan Kebahasaaraban 1.1 (2018): h. 1-14.
11
Hasan, ‘Abdullah ‘Ali Muhammad, al-Bahts al-Balâghî wa Marâhil Tathawwurihi, (Kairo:
Mathba’ah al-Amânah, Cet. I, 1992), h. 87
kepada Allah Swt, dan makna nahwu, seperti: al-ibtidâ’, al-ikhbâr, al-fi‘liyyah, al-
maf‘ûliyyah, al-zharfiyyah, dan sebagainya. Dari segi susunan redaksinya, ayat tersebut
disusun sesuai dengan susunan nahwu: subyek (al-hamd)+prediket (li Allah). Ayat ini
juga mengandung tiga jenis susunan, yaitu: susunan makna nahwu (tartîb ma‘ânî al-
nahwî), susunan makna kalimat atau ungkapan (tartîb ma‘ânî alkalim) sesuai dengan
susunan makna nahwu, dan susunan lafazh-lafazh sesuai dengan urutan maknanya.12

Di samping itu semua, teori kritik sastra yang dikembangkan al-Jurjani juga
berpangkal pada keindahan ekspresi. Keindahan ekspresi dimulai dari pemilihan kata
yang tepat, akurat, padat dan bermakna. Kesesuaian struktur dengan gramatika, dan
keserasian internal redaksi dengan makna yang dikehendaki juga menjadi kriteria dalam
mengkritisi karya sastra Arab. Kritikus sastra juga disyaratkan mampu melihat relasi
kontekstual (al-‘alâqah al-siyâqiyyah) yang terjadi akibat adanya kesesuaian antara
kaidah nahwu dan unsur-unsur kalimat dalam nilai-nilai ekspresi yang pada gilirannya
mengekspresikan nilai-nilai emosional (perasaan).

c. Esensi Nadzam

Esensi Nadzm menurut Al-Jurjaniadalah membentuk ungkapan dengan cara


mengungkapkan ungkapan tersebut dengan cara yang fashihpada diri pembicaranya
sehingga apa yang dikehendaki oleh pembicara tersebut sampai kepada orang yang
diajak bicara, hal ini tidak akan bisa tercapai kecuali ada bentuk ungkapan yang
maknanya tersampaikan kepada orang yang diajak berbicara. Maka pembicara dalam
membuat ungkapan harus memperhatikan keteraturan maknanya.

Jadi, esensi teori nazham al-Jurjani lebih menekankan pada hubungan antara
lafazh dan makna dalam struktur kalimat yang serasi dan seimbang, seperti tampak pada
bait-bait syair yang mengikuti wazan dan kaidah arûdh. Nazham merupakan aplikasi
kaidah nahwu dalam redaksi suatu ungkapan. Dengan nazham kata-kata (lafazh) dapat
distrukturkan menjadi redaksi yang indah, baik, bermakna dan komunikatif (memberikan
pemahaman terhadap orang lain).13

Tujuan akhir dari formulasi teori nazham adalah untuk: (1) mengetahui rahasia-
rahasia keindahan dan kefasihan (balaghah) prosa maupun puisi, dan (2) mengetahui

12
Abbâs, Muhammad, al-‘Ab’âd al-‘Ibdâ‘iyyah fi Manhaj ‘Abd al-Qâhir al-Jurjânî, (Damaskus: Dâr
al-Fikr, 1999), h. 174
13
Al-‘Azâwî, Ni‘mah Rahîm, al-Naqd al-Lughawî ‘Inda al-‘Arab hatta Nihâyat al-Qarn al-Sâbi‘ al-
Hijrî, (Baghdâd: Dâr al-Hurriyah, 1978), h. 153
segi-segi kemukjizatan al-Qur’an, seperti: keelokan dan keserasian redaksi, keindahan
struktur, kedalaman makna, dan kemudahan dan kealamian ekspresinya.

2. I’jaz Quran menurut Yusuf Al-Qardhawi


Yusuf Abdullah Qardhawi. Dilahirkan pada tanggal 9 September 1926 disebuah
desa yang bernama Shaftu Turab, daerah Mahallah al-Kubra Provinsi al-Garbiyah
Republik Arab Mesir, dari kalangan keluarga yang taat beragama dan hidup sederhana.
Ayahnya adalah seorang petani yang wafat pada saat Qardhawi berusia dua tahun,
sehingga ia dipelihara oleh pamannya dan hidup bergaul dengan putra-putri pamannya
yang dianggap sebagai saudara kandungnya sendiri.
Saat berusia sepuluh tahun, ia belajar pada sekolah al-Ilzamiyah pada pagi hari
dan sore harinya ia belajar Al-Quran. Pada usia itu ia telah hafal Al-Quran dan
menguasai Ilmu Tilawah. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Tanta dan
menamatkan pendidikannya pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar pada tahun
1952-1953 dengan predikat terbaik. Setelah itu ia belajar bahasa Arab selama dua tahun
dan memperoleh ijazah internasional dan sertifikat mengajar. Tahun 1957 ia melanjutkan
karirnya di Ma’had al-Buhus wa al-Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah (Lembaga Tinggi
Riset dan Kajian Kearaban). Tahun 1960 ia menamatkan studi pada Pascasarjana di
Universitas al-Azhar dengan konsentrasi Tafsir Hadits. Selanjutnya Qardhawi berhasil
menyelesaikan pendidikannya, pada program Doktor dengan disertasi “Fiqh al-Zakah”
pada tahun 1972 dengan predikat cumlaude.
Al-Quran adalah kitab suci agama Islam dan merupakan sumber utama syariat
serta ajarannya. Selain sebagai himpunan syari’at, alQur’an juga merupakan mukjizat
kerasulan dan cahaya bagi mata kepala serta mata hati orang Islam. 14 Mukjizat yang
didefinisikan oleh pakar agama Islam, antara lain, sebagai suatu hal atau peristiwa luar
biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya yang
ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun
mereka tidak mampu melayani tantangan itu.15 Berikut ini akan diuraikan beberapa
pendapat seputar kemukjizatan Al-Quran perspektif Yusuf al-Qardhawi.
a. Al-QuranMenjawab Tuntutan Kaum Musyrik Akan Mukjizat

14
Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad dalam Syariat Islam, Penerjemah: Achmad Syathori, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1987), cet 1, h. 6.
15
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Gaib, (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998), h. 23
Seringkali orang-orang musyrik menuntut dan mendesak diturunkannya tanda-
tanda kekuasaan Allah yang luar biasa (mukjizat) sebagaimana mukjizat yang diberikan
kepada rasul-rasul terdahulu, semisal Nabi Musa dengan tongkatnya, Nabi Isa yang bisa
menghidupkan orang mati, dan rasul-rasul terdahulu lainnnya. Namun Allah tidak
mempedulikan tuntutan mereka.

Hal ini dihikayatkan Al-Quran dalam beberapa surat dengan beberapa macam
jawaban.

َ ْ ُ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ َّ ٰ َّ ً َ ٰ َ َ ُّ ْ َ ٰٓ َ ٌ َ َ ‫َ َ ُ ْ َ ْ َ ُ َ َ َ ْ ٰ َ ٌ ْ َّ ُ ْ َّ ه‬
‫وقالوا لولا ن ِزل علي ِه اية ِمن ر ِبهٖۗ قل ِان اّٰلل ق ِادر على ان ين ِزل اية ول ِكن اكََُْ لا يَُْون‬

“Dan mereka (orang-orang musyrik mekah) berkata: “mengapa tidak diturunkan


kepadanya (muhammad) suatu mukjizat dari tuhannya? ’katakanlah, ’sesungguhnya
Allah kuasa menurunkan suatu mukjizat, tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.” (al-an’am:37)
َ ْ َ ُ َّ ٌ ْ ُ َ ْ َ َ َّ َّ ْ ٌ َ ٰ ْ َ َ َ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ َ َ َ ْ َّ ُ ْ ُ َ َ
ࣖ ‫ويقول ال ِذين كفروا لول ٓا ان ِزل علي ِه اية ِمن ر ِبهٖۗ ِانُآ انت من ِذر و ِلك ِل قو ٍم ُ ٍاد‬

“Orang-orang kafir berkata, ‘mengapa tidak diturunkan kepadanya (muhammad) suatu


tanda (kebesaran) dari tuhannya?’ sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi
peringatan, dan bagi tiapp-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.” (ar-Ra’d:7)
َ ٰ ُ َ َ َّ
ََۖ‫اّٰلل ُيض ُّل َم ْن يَّ َشا ُۤء َو َي ِْْ ْ ْٓ ا َل ْي ِه َم ْن ا َنا‬
َ ‫َو َي ُق ْو ُل الذيْ َن ك َف ُر ْوا ل ْو َل ٓا ا ْنز َل َع َل ْيه ا َي ٌة م ْن َّربهٖۗ ُق ْل اَّن ه‬
ِ
ِ ٓ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
“Orang-orang kafir berkata, ‘mengapa tidak diturunkan kepadanya (muhammad) tanda
mukjizat dari Tuhannya?’katakanlah, ‘sesungguhnya allah menyesatkan siapa yang
mereka kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertobat kepadanya. (ar-Ra’d: 27)
Dijelaskan pula dalam beberapa surat, alasan tidak diturunkannya mukjizat
kauniyah yang mereka minta. Dalam surat al-isra’ Allah berfirman:

َ ْ ُ ََّ ْ َ َ ََّ ْ َ َّ ٰ ٰ ْ َ ْ ُّ ْ َ َ َ َ َ َ َ
ٖۗ‫وما منْنآ ان نر ِسل ِبالاي ِت ِال ٓا ان كذَۖ ِبْا الاولون‬

“Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi kami untuk mengirimkan kepadamu tanda-
tanda kekuasaan kami, melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-
orang dahulu.” (al-Isra’: 59)
Artinya, penurunan tanda-tanda kekuasaan Allah (mukjizat) kepada mereka tidak
mencapai sasarannya, yaitu iman kepada rasul-rasul, akan tetapi mereka malah
mendustakan dan tidak memperhatikan mukjizat Allah itu. Dalam surat asy-Syu’ara,
Allah telah menyebutkan alasan lain ketika berfirman:
َْ ٰ َ َ ْ ُ ُ َ ْ َ ْ َّ َ َ ً َ ٰ َ َّ َ ْ ْ َ َ ْ َ ُ ْ َ َّ ْ
‫ِان نشأ نن ِزل عَي ِْْ ِمن السُا ِۤء اية فظَت اعناقْْ لْا خ ِض ِْين‬

“Jika kami menghendaki niscaya kami menurunkan kepada mereka mukjizat dari langit,
maka senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya.” (asy-Syu’ara’: 4).16
Maksudnya Allah tidak ingin memaksa masuk dalam keimanan dengan suatu
mukjizat kauniah. Akan tetapi yang diharapkan adalah agar mereka masuk dalam
keimanan dengan pilihan mereka yang bebas berdasarkan akal mereka yang murni, tanpa
ada pretensi sedikitpun untuk memaksa mereka secara zahir atau maknawi atau yang
semisalnya.

Alasan mengapa Allah tidak menghendaki tuntutan dari kaum musyrik tersebut
adalah, karena mukjizat yang terkandung di dalam Al-Quranmerupakan mukjizat aqliah
dan moral, bukan mukjizat kongkrit dan material. Mukjizat yang ada pada rasulrasul
terdahulu tersebut bersifat temporer yang kemudian akan dihapus oleh risalah atau
syari’at sesudahnya. Sedangkan risalah Nabi Muhammad saw, adalah penutup sekalian
risalah, maka Allah memberikan amanat kepada Rasulullah saw, mukjizat terbesar ini
(al-Qur’an) sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah swt. Atau mukjizat yang terus ada
selama adanya langit dan bumi. Sehingga ia terus menjadi hujjah bagi umat diseluruh
dunia disepanjang zaman, dan tetap kekal.

Yang dimaksud kekal disini adalah bahwa Al-Quranbukanlah kitab yang hanya
diperuntukkan untuk satu generasi dalam satu masa, atau kitab yang diperuntukkan untuk
beberapa generasi manusia dalam beberapa waktu, dan setelah itu ia akan menjadi
barang rongsokan dan usang tidak berguna lagi, yang harus diganti dengan kitab baru.
Namun ia akan selalu abadi selama masih ada langit dan bumi.

b. Al-Quran Mukjizat Terbesar yang Bersifat Menantang


Diantara keistimewaan Al-Quran bahwa ia merupakan kitab yang bersifat I’jaz
(melemahkan dan meyakinkan para penentangnya). Allah menjadikannya sebagai tanda
kebesaran satu-satunya yang bersifat menantang. Allah tidak menantang orang-orang
musyrik dengan setiap tanda (kejadian) yang Allah anugerahkan dengan segala
keragaman dan kuantitasnya, kecuali Al-Quran.17
Allah menantang mereka untuk mendatangkan yang semisal dengannya:

16
Yusuf Qardhawi, al-Quran Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan , Penerjemah: Abdul
Hayyie al-Kattani,, (Jakarta: Gema Insani, 1998), cet. 1, h. 316-317.
17
Yusuf Qardhawi, al-Quran Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan , hlm. 315.
َْ ٰ ُْ َ ْ ْ ْ َ ُْ ْ َ ْ َ
ٖۗ‫ث ِمث ِلهٓ ِان كانوا ص ِِ ِقين‬
ٍ ‫فَيأتوا ِبح ِِي‬

“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Quran itu jika mereka
orang-orang yang benar”. (Ath-Thur: 34)

Karena mereka tidak mampu, Allah menantang mereka untuk mendatangkan


sepuluh surat yang semisal dengannya.
ْ ‫ه‬ ْ ُ ْ ْ ُ ْ ََ ْ َ ْ ُ ْ َّ ٰ َ َ ْ ُ ْ َ ُ ْ َ ُْ ْ َ ْ ُ ُ ٰ َ ْ َ ْ ُْ ُ َ ْ َ
‫اّٰلل ِان‬
ِ ‫ام يقولون افتَىهٖۗقل فأتوا ِبْش ِر سو ٍر ِمث ِله مفتَي ٍت وادعوا م ِن استطْتْ ِمن دو ِن‬

َ ٰ ُْ ُ
‫كنت ْْ ص ِِ ِق ْين‬

“Bahkan mereka mengatakan bahwa muhammad telah membuat Al-Quran, ‘katakanlah,


kalau demikian, datangkanlah sepuluh suraat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya,
dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain allah, jika kamu
memang orang-orang yang benar”. (Hud: 13)

Kemudian karena tidak mampu juga, Allah menantang mereka untuk


mendatangkan satu surat saja yang semisal:
َْ ٰ ْ ُْ ُ ْ ‫ه‬ ْ ُ ْ ْ ُ ْ ََ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ ُ ْ َُْ ْ ُ ُ َٰ ْ َ ُْْ َُ َْ
‫اّٰلل ِان كنتْ ص ِِ ِقين‬
ِ ‫ام يقولون افتَىهٖۗ قل فأتوا ِبسور ٍة ِمث ِله وادعوا م ِن استطْتْ ِمن دو ِن‬

Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya". Katakanlah:


"(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat
seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya)
selain Allah, jika kamu orang yang benar". (Yunus: 38)

Mereka tetap bungkam seribu bahasa, merasa tidak kuasa menghadapi tantangan
ini, yang selalu berulang di Makkah, kemudian baru di Madinah. Bahkan dalam surat al-
Baqarah, Allah menantang mereka dengan tantangan yang lain ketika menyatakan,
walaupun mereka meminta bantuan orang yang mereka anggap mampu, tidak akan bisa
berbuat apa-apa dan tidak akan mampu menjawab tantangan ini. Firman Allah:
ْ ‫ه‬ ْ ُ ْ ْ ُ َ َ َ ُ ْ ُ ْ َ ْ ْ َ ْ ُ ْ ُ ْ َ َ ْ َ ٰ َ َ ْ ََّ َّ ْ َ ْ ْ ُ ْ ُ ْ َ
‫اّٰلل ِان‬
ِ ‫واِ ن كنتْ ِفي ري ٍب ِّما نزلنا على عب ِِنا فأتوا ِبسور ٍة ِمن ِمث ِله وادعوا شِْاۤءكْ ِمن دو ِن‬

ْ َّ ُ ُ َ َ ْ َ ُ َّ َ ُ ْ ُ َ ْ َّ َ َّ ُ َّ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َّ ْ َ َ ْ ٰ ْ ُْ ُ
‫الحجارة ا ِعِت‬
ِ ‫ ف ِان لْ تفَْوا ولن تفَْوا فاتقوا النار ال ِتي وقودُا الناس و‬.‫كنتْ ص ِِ ِقين‬

ْ
َ‫لل ٰكفر ْين‬
ِ ِ ِ

“Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Quranyang kami wahyukan kepada
hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat saja yang semisal Al-Quranitu, dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu
tidak dapat membuat-nya dan pasti kamu tidak akan dapat membuat-nya, peliharalah
dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-
orang kafir.” (al-Baqarah: 23-24)18

Begitulah telah dipastikan kekalahan mereka dan lidah mereka yang fasih jadi
bungkam, walaupun mereka memiliki motivasi yang kuat untuk melawan dan menerima
tantangan itu.

18
Yusuf al-Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1999), cet. 1., h. 53-54.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian makalah yang penulis paparkan di atas, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut, yaitu :

1. I’jaz al-quran yang diartikan sebagai “Ilmu yang membahas tentang keistimewaan
Al-Quran yang menjadikan manusia tidak mampu menandinginya.” Panjang uraian
para pakar menyangkut sebab dan aspek apa saja dari Al-Quran sehingga tidak dapat
tertandingi. Salah satu di antaranya adalah aspek kebahasaannya yang juga
mengandung sekian banyak cabang bahasan.
2. Penelitian ini mengambil dua pandangan ulama besar dari masa yang jauh berbeda
yani Abdul Qahir Al-Jurjani (1081 M) dan Yusuf Qardhawi (1926 M)
a. I’jaz Al-Quran menurut Abdul Qahir Al-Jurjani
I’jaz Al-Quran terbagi tiga, Mukjizat Al-Quran dari Balaghahnya yang
bermakna ungkapan yang ada di dalam Al-Quran memiliki tingkat fashahah yang
tinggi dan dari Al-Quran inilah melahirkan ilmu balaghah. Mukjizat al Quran dalam
Nadzmnya yang artinya keindahan (struktur atau susunan kebahasaan) yang
digunakan. Dan yang ketiga adalah esensi nadzm, esensi nadzm menurut Al-
Jurjaniadalah membentuk ungkapan dengan cara mengungkapkan ungkapan tersebut
dengan cara yang fashih pada diri pembicaranya sehingga apa yang dikehendaki oleh
pembicara tersebut sampai kepada orang yang diajak bicara, hal ini tidak akan bisa
tercapai kecuali ada bentuk ungkapan yang maknanya tersampaikan kepada orang
yang diajak berbicara. Maka pembicara dalam membuat ungkapan harus
memperhatikan keteraturan maknanya.
b. I’jaz Al-Quran menurut Yusuf Qardhawi

Mukjizat yang di gambarkan para ulama anatar lain yaitu pristiwa luar biasa
yang terjadi melalui seorang Nabi. Nabi Muhammad adalah Nabi yang salah satu
mukjizatnya adalah Al-Quran dan menurut Yusuf Qardhawi mukjizat Al-Quran
sebagai yaitu, pertama, Al-Qur’an Menjawab Tuntutan Kaum Musyrik Akan
Mukjizat yang mana musyrikin masa itu menuntut dan mendesak diturunkannya
tanda-tanda kekuasaan Allah yang luar biasa (mukjizat) sebagaimana mukjizat yang
diberikan kepada rasul-rasul terdahulu, semisal Nabi Musa dengan tongkatnya, Nabi
Isa yang bisa menghidupkan orang mati, dan rasul-rasul terdahulu lainnnya. Namun
Allah tidak mempedulikan tuntutan mereka, maka di turunkanlah Al-Quran. Kedua,
Al-Qur’an Mukjizat Terbesar yang Bersifat Menantang yaitu Allah menjadikan Al-
Quran sebagai tanda kebesaran satu-satunya yang bersifat menantang. Allah
berfirman dalam Quran, “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang
semisal al-Quran itu jika mereka orang-orang yang benar”. (Ath-Thur: 34).
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ali Muhammad Husain, al Bahts al Balaghi wal Marahil Tathawwurihi, Mesir:
Mathba’ah al Amanah, 1992
Abd al Aziz Atiq, Fi al Balaghah al Arabiyah ‘ilm bayan, Beirut : Dar An Nahdah al
Arabiyah, 1985
Ashani, Sholahuddin, Kontruksi Pemahaman Terhadap I’Jaz Alquran, Journal Analytica
Islamica 4.2, 2015
Al-‘Azâwî, Ni‘mah Rahîm, al-Naqd al-Lughawî ‘Inda al-‘Arab hatta Nihâyat al-Qarn al-
Sâbi‘ al-Hijrî, Baghdâd: Dar al-Hurriyah, 1978
Abbâs, Muhammad, al-‘Ab’âd al-‘Ibdâ‘iyyah fi Manhaj ‘Abd al-Qâhir al-Jurjânî, Damaskus:
Dâr al-Fikr, 1999
Hermawan, Adik. "I’jaz Al-Quran dalam Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi", Madaniyah 6.2,
2016.
Hasan, ‘Abdullah ‘Ali Muhammad, al-Bahts al-Balâghî wa Marâhil Tathawwurihi, Kairo:
Mathba’ah al-Amânah, Cet. I, 1992.
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Gaib, Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998.
Ramadan Abd Tawaab, Fushul Fi Fiqh al Lughah, Kairo : Maktabah al Khanjiy, tt.
Thabrani, Ach, Nadzam Dalam I’jaz Al Quran Menurut Abdul Qahir Al Jurjani, Al Mi'yar:
Jurnal Ilmiah Pembelajaran Bahasa Arab dan Kebahasaaraban 1.1, 2018
Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad dalam Syariat Islam, Penerjemah: Achmad Syathori, Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1987.
Yusuf al-Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani,
Jakarta: Gema Insani Press, 1999

Anda mungkin juga menyukai