Nuzulul Qur`an
Makalah
Oleh
Fitria Yusuf
NIM. 80100221164
PROGRAM PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR 2022
1
Daftar Isi
BAB I ...................................................................................................................... 3
Pendahuluan ............................................................................................................ 3
A. Latar belakang .......................................................................................... 3
B. Rumusan masalah ..................................................................................... 4
BAB II ..................................................................................................................... 5
Pembahasan ............................................................................................................. 5
A. Pengertian nuzulul qur`an ........................................................................ 5
B. Tahapan turunnya al-qur`an ..................................................................... 6
C. Pendapat para ahli menganai turunnya al-qur`an ..................................... 8
D. Hikmah dibalik turunnya al-qur`an ........................................................ 10
BAB III ................................................................................................................. 12
Penutup.................................................................................................................. 12
Kesimpulan ....................................................................................................... 12
2
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
1
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.11
3
B. Rumusan masalah
4
BAB II
Pembahasan
Nuzul artinya al inhidar min ‘uluwwin ila safalin (luncur atas bawah), turun
secara berangsur-angsur, turun diartikan secara majazi tidak secara hakiki, dibantah
Ar-Razi dan AsSayuti (turun sama dengan bersifat materi) dan tasabuh dengan
Allah punya tempat. Turun diartikan idzhar, i’lam dan ifham, yang lain turun
bermakna mazaji /metapora/kiasan.2 Dari pendapat tersebut dapat di simpulkan
bahwa turunnya al-qur`an kepada Nabi Muhammad SAW tidak bisa dimaknai turun
secara hakiki. Kata turun dalam konteks ini tidak bisa di artikan dengan pemahaman
awam bahwa al-qur`an itu dibawakan malaikat jibril kepada Nabi Muhammad
SAW berupa sebuah kitab atau catatan ayat per ayat di sebuah tempat. Atau dengan
kata lain bahwa turunnya al-qur`an sama halnya jika seseorang membawakan benda
dari atas ketinggian kepada orang lain yang berada di bawahnya.
Ketika kita berusaha untuk menempatkan arti an-nuzul secara bahasa
kepada Al-qur`an maka ditemukan arti-arti tersebut tidak layak untuk disematkan
ke dalam Al-qur`an kecuali dalam bentuk majas.3 Pemaknaan turunnya al-qur`an
secara majaz lebih tepat dikarenakan al-qur`an merupakan kalam an-nafs yaitu
perkataan yang ada dalam zat Allah itu sendiri. Pemaknaan turunnya al-qur`an
secara hakiki tidak berlaku karena hal tersebut hanya berlaku untuk hal-hal yang
bersifat baharu dan Allah Swt dengat zatnya tidak layak disandarkan sifat tersebut.
Adapun ketika turunnya al-qur`an dimaknai sebagai lafadz yang dibaca malaikat
Jibril langsung kepada Nabi Muhammad SAW juga kurang tepat karena ucapan
atau perkataan merupakan hal yang bersifat aradhi atau sesuatu yang berada di luar
dari hakikat suatu zat seperti halnya tertawa jika disandarkan kepada manusia.
Kalau ditinjau secara majas maka pengertian an-nuzûl bisa diartikan dengan
arti yang luas, seperti menginformasi, menetapkan, mengggerakan dari atas ke
bawah. Apabila diartikan sebagai al-kalâm an-nafsi maka turunnya ialah informasi
2
H. Abdul DJalal, Ulumul Qur’an, Surabaya, Dunia Ilmu, 2000, hlm.,11
3
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.12
5
yang diperoleh baik berupa tulisan yang terdapat di al-Lauh al-Mahfudz ataupun di
Bait al-Izzah di As-Samai ad-Dunnya, atau melalui lafaz saat ia turun ke hati Nabi
Muhammad Saw.4
4
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.13
5
Ajahari, ulumul qur`an, (yogyakarta:aswaja pressindo), 2018, h.14
6
Tahapan pertama saat al-qur`an turun pada malam lailatul qadr di malam yang
sangat mulia. Pada tahapan pertama ini Allah SWT hendak menginformasikan
bahwa sekian sekian banyaknya hari dan malam yang terhitung, ada satu malam
yang mempunyai kemuliaan dan kebaikan yang sangat tinggi. Dari hal ini juga
dapat dipahami bahwa Allah SWT turunnya al-qur`an pada malam lailatul qadr
merupakan salah satu perkenalan dan penekanan dari Allah SWT kepada umat
manusia pada saat itu.
Peristiwa tersebut hendak memperkenalkan lagi Nabi Muhammad SAW
sebagai manusia luar biasa yang dipilih Allah SWT sebagai penerima wahyu.
Peristiwa tersebut nyatanya memberikan efek kepada manusia terkhusus bagi umat
muslim hingga saat ini. Peristiwa turunnya wahyu pada malam lailatul qadr sangat
di agungkan umat muslim pada bulan suci ramadhan hingga saat ini. kemudian pada
tahapan kedua, proses turunnya al-qur`an berkenaan dengan kondisi Nabi
Muhammad SAW pada saat itu. Tahapan turunnya al-qur`an yang kedua ini di
karenakan allah swt ingin menghibur hambanya yang paling mulai di muka bumi
ini.
Peristiwa ini menjadi isyarat penting dan salah satu bentuk penekanan bagi
umat manusia bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar merupakan manusia
khusus pilihan Allah SWT langsung, karena kekhususan yang dimiliki Nabi
Muhammad SAW lah sehingga beliau mampu menerima wahyu yang merupakan
ucapan Allah SWT langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Kekhususan sangat
luar biasa yang dimiliki seorang manusia suci, saat beliau dalam kondisi kurang
baik saja yang menghibur beliau langsung adalah Allah SWT dzat yang mempunyai
seluruh alam semesta dan maha segalanya. Kemudian pada tahapan yang ketiga
merupakan proses turunnya al-qur`an yang kebanyakan diyakini oleh masyarakat
muslim pada umumnya. Proses ini merujuk pada salah satu ayat al-qur`an itu sendiri
yaitu anzala dan nazala.
Raghib al-Asfahani mengatakan perbedaan dua kata tersebut, kata inzal dan
tanzil, yaitu bahwa kata tanzil dimaksudkan berkenaan turunnya al-Qur’an secara
berangsur-angsur atau sedangkan kata inzal ditujukan berkenaan turunnya al-
7
Qur’an secara sekaligus.6 Dalam salah satu kitab tulisannya Raghib al-Asfahani
juga mengemukakan pendapatnya mengenai tahapan turunnnyan al-qur`an tersebut.
6
Ajahari, ulumul qur`an, (yogyakarta:aswaja pressindo), 2018, h.14
8
Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
batil).
c. Turun ketiga secara berangsur-angsur pada Nabi Muhammad selama masa
risalahnya. Ulama berbeda pendapat tentang masa risalah tersebut. Pendapat
pertama mengatakan 20 tahun, pendapat kedua 23 tahun, dan ketiga 25
tahun. Perbedaan ini bersumber dari durasi menetapnya Nabi di Mekkah
setelah masa kenabian sebelum hijrah.7
Ulama berbeda pendapat tentang bagaimana proses turunnya al-
qur`an serta masanya.
1. Pendapat pertama, yang dianut oleh sebagian besar ulama ialah
diturunkan sekaligus pada malam lail al-qadr di bulan Ramadhan.
Alasan yang menguatkan pendapat ini ialah ditemukannya
bermacam hadis yang mendukung pernyataan itu, di antaranya:
Alquran diturunkan pada malam qadr sekaligus ke sama`
ad-dunya. (HR Hakim dan Baihaqi )
Alquran diturunkan pada malam qadr di bulan Ramadhan
sekaligus ke sama` ad-dunya kemudian diturunkan secara
berangsur-angsur. (HR Thabrani)
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa Alquran diturunkan
sekaligus, dan menurut Imam Syuyuti bahwa seluruh hadis ini sahih,
walaupun ia maukuf pada diri ibnu Abbas tapi ia memiliki identitas
marfu` karena menurut ulama hadis apabila perkataan sahabat yang
tidak diintervensi oleh logika dan Israiliat maka identitas hadis itu
marfu` kepada Nabi Muhammad Saw.
2. Pendapat kedua, bahwa ia turun 20 atau 23 atau 25 malam al-Qadr.
Setiap malam diturunkan sesuai dengan keinginan Allah lalu
diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi selama setahun
penuh sesuai dengan kebutuhan manusia. Pendapat ini dianut oleh
Mukatil bin Haiyan, al-Hulaimi dan al-Mawardi.
7
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.14
9
3. Pendapat ketiga, bahwa ia mulai diturunkan pada malam al-Qadr
kemudian turun setelah itu secara berangsur-angsur kepada Nabi.
Pendapat ini dianut oleh as-Sa`by. Pendapat yang paling
benar ialah pendapat pertama karena didukung oleh berbagai hadis.
Ibnu Hajar berkata bahwa pendapat ini sahih dan bisa dijadikan
sebagai rujukan. Menurut Qurtuby ulama telah berijma` untuk
membenarkan pendapat ini, dan barangsiapa yang berbeda pendapat
tidak lain hanya ingin mencari popularitas. Walaupun ulama
berbeda pendapat pada tahapan kedua namun akhirnya mereka
sepakat pada tahapan ketiga di mana Alquran diturunkan secara
berangsur-angsur sesuai kebutuhan.8
D. Hikmah dibalik turunnya al-qur`an
8
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.16
9
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.17
10
yang disampaiakan sudah ada dalam diri Nabi. Kedatangan malaikat Jibril
hanya untuk menyampaikan seruan dari Allah SWT salah satu ayat al-
qur`an yang ada dalam diri Nabi Muhammad SAW kemudian disampaikan
lagi kepada umat manusia.
Setiap turunnya wahyu merupakan pembaharuan dakwah bagi kaum
musyrikin untuk masuk dalam agama Allah.10 Penyampain wahyu secara
berangsur-angsur agar penyampaian wahyu sesuai dengan sunnatullah. Hal
ini juga bertujuan agar umat manusia pada saat itu lebih mudah menghafal
ayat-ayat al-qur`an yang ada dalam diri Nabi, karena penyampainya sesuai
dengan kondisi umat pada saat itu. Dalam salah satu kaedah ilmu ushul
disebutkan bahwa salah satu cara agar sesuatu itu mudah diingat yaitu jika
penyampaiannya terus diulang-ulang dan kesan saat penyampaian. Dari sisi
psikologi juga manusia akan lebih mudah mengingat jika penyampain suatu
pesan memiliki kondisi atau bisa dikatakan ada drama yang terkesan saat
disampaikan.
Menenteramkan hati Nabi Muhammad Saw dengan merasakan
bahwa Allah selalu bersamanya.11 Banyak ayat al-qur`an yang
menerangkan hal tersebut, salah satunya saat Allah SWT memerintahkan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk bersabar seperti dalam Q.S Qaf : 39,
“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan
bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenam (nya)”. Ketika disandingkan dengan manusia biasa pada
umumnya, ketentraman hati seseorang dalam kondisi yang buruk akan
muncul saat dinasehati oleh orang yang sangat dicintainya.
10
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.18
11
Zainal arifin, pengantar ulumul qur`an, (medan: duta azhar), 2018, h.19
11
BAB III
Penutup
Kesimpulan
12
TAFSIR, TAKWIL, DAN TERJEMAH
Oleh:
AHMAD KHALIFAH ZAMRUD
80100221168
DAFTAR ISI
B. Takwil ............................................................................................. 7
C. Terjemah ......................................................................................... 8
Kesimpulan ....................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alquran merupakan kalam Allah swt yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad saw untuk digunakan dalam ibadah kepada Allah swt, dipahami
itu, dan menjelaskan buruknya seseorang yang tidak mentadaburinya. Allah swt
berfirman:
Tafsir, takwil, dan terjemah termasuk cara dalam memahami dan mentadaburi
Alquran. Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan mengenai ketiga metode
tersebut.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas adalah:
1
QS Muhammad/47: 24
2
BAB II
A. Tafsir
1. Pengertian tafsir
Tafsir merupakan kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa
Arab tafsi>r. Kata tersebut merupakan bentuk masdar dari kata kerja fassara –
yufassiru yang secara bahasa berarti membuka atau menampakkan.1 Secara istilah,
adalah sebuah ilmu untuk memahami Alquran dengan cara mengetahui maknanya,
Dahulu orang-orang menyebut ilmu tafsir sebagai ilmu takwil. Dan itulah
1
‘Abdullah ibnu Yu>suf al-Juday‘, al-Muqaddima>t al-Asa>siyyah fi Ulu>m al-Qura’>n (Cet. 1;
Beirut: Muassasah al-Rayya>n, 2001), h. 279. https://www.noor-
book.com/%D9%83%D8%AA%D8%A7%D8%A8-
%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%82%D8%AF%D9%85%D8%A7%D8%AA-
%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%B3%D8%A7%D8%B3%D9%8A%D8%A9-%D9%81%D9%8A-
%D8%B9%D9%84%D9%88%D9%85-%D8%A7%D9%84%D9%82%D8%B1%D8%A2%D9%86-
pdf (19 Juli 2022).
2
‘Abdullah ibnu Yu>suf al-Juday‘, al-Muqaddima>t al-Asa>siyyah fi Ulu>m al-Qura’>n (Cet. 1,
Beirut: Muassasah al-Rayya>n, 2001), h. 279.
3
“Syarhu al-Hadi>s: Alla>humma Faqqihhu fi> al-Di>ni”, Situs Resmi Alukah.net.
https://www.alukah.net/sharia/0/119767/%D8%B4%D8%B1%D8%AD-
%D8%AD%D8%AF%D9%8A%D8%AB-%D8%A7%D9%84%D9%84%D9%87%D9%85-
%D9%81%D9%82%D9%87%D9%87-%D9%81%D9%8A-
%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%8A%D9%86/#_ftn2 (19 Juli 2022).
3
Dan inilah yang dimaksud oleh Ibnu Jari>r al-T{abari> sebagai judul buku
tafsirnya: Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<yi al-Qur’an. Yang dimaksud takwil pada
Namun menurut ulama kurun terakhir, takwil bukan lagi hanya bermakna
tafsir, melainkan pengubahan sebuah makna lahir menjadi makna lain disebabkan
2. Jenis Tafsir
1) Tafsir yang hanya diketahui oleh bangsa arab berdasarkan perkataan mereka
Cara mengetahui tafsir ini adalah dengan mengetahui penggunaan lafaz dan
susunan bahasa dari bangsa Arab. Syarat dari tafsir ini adalah tidak keluar dari
perkataan Sahabat Nabi saw, tabiin, dan para ulama terdahulu. Contohnya:
َ ْ ْ َ َ َّ ْ ُ
ُك ا ْن َت ال َعزيْ ُز الكر ْيم ذق ان
(Dikatakan kepadanya,) “Rasakanlah! Sesungguhnya engkau (dalam kehidupan
dunia) benar-benar (merasa sebagai orang) yang perkasa lagi mulia.2
di situ ada kata-kata pujian. Dan hukum mengetahui makna-makna seperti ini
adalah fardu kifayah, tidak semua orang harus mengetahui makna semua kata di
dalam Alquran.
1
Musa>‘id Ibnu Sulaima>n al-T{ayya>r, Fus}>ul fi> Us}>ul al-Tafsi>r (Cet. 1; Riyad: Da>r al-Nasyr al-
Duwali, 1993), h. 17-18. https://www.noor-book.com/%D9%83%D8%AA%D8%A7%D8%A8-
%D9%81%D8%B5%D9%88%D9%84-%D9%81%D9%8A-%D8%A3%D8%B5%D9%88%D9%84-
%D8%A7%D9%84%D8%AA%D9%81%D8%B3%D9%8A%D8%B1-pdf (19 Juli 2022).
2
QS al-Dukha>n/44: 49
4
Tafsir ini merupakan tafsir yang jelas. Tidak memerlukan usaha besar untuk
mengetahui tafsir jenis ini, dan inilah sifat pokok dan inti tafsir. Contohnya:
َ ٰ َّ ُ ٰ َ َ ٰ َّ َ
َواقيموا الصلوة واتوا الزكوة
ُ ْ
Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat.1
Ayat tersebut di atas bermakna sangat jelas. Tidak ada halangan bagi
seorang pun untuk mengetahui maknanya. Tafsir ini fardu bagi seluruh muslim.
Dalam mengetahui tafsir ini diperlukan ilmu-ilmu lain seperti hadis, fikih, atau
ْ ُ ُ َ َ ٰ َ َّ ُ ْ َ َ ْ ََّ َ َ ُ ٰ َّ َ ُ ْ َ
والمطلقت يتربصن بانفسهن ثلثة قر ْۤو ٍء
Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali
qurū’ (suci atau haid).2
Pengertian quru>’ bermakna suci atau haid. Makna ini tidak dapat kita tahu
kecuali dari para ulama.
maknanya, namun tidak mengetahui detail ciri-ciri dan sifatnya. Kita tidak
1
QS al-Baqarah/1: 43
2
QS al-Baqarah/1: 228
5
الْۤ ْۤم
Alif Lām Mīm.1
Seperti contoh ayat tersebut di atas. Tidak diketahui secara pasti apa tafsir
dari ayat tersebut. Berusaha memahaminya terlalu dalam tidak memberikan
manfaat besar, bahkan dapat menyesatkan. Tafsir ini tidak wajib bagi siapa pun
untuk mengetahuinya.
Tafsir ini diketahui melalui dalil asar atau nas dari Alquran maupun hadis.
1
QS al-Baqarah/1: 1
2
Musa>‘id Ibnu Sulaima>n al-T{ayya>r, Fus}>ul fi> Us}>ul al-Tafsi>r (Cet. 1; Riyad: Da>r al-Nasyr al-
Duwali, 1993), h. 19.
Musa>‘id Ibnu Sulaima>n al-T{ayya>r, Fus}>ul fi> Us}>ul al-Tafsi>r (Cet. 1; Riyad: Da>r al-Nasyr al-
3
menjelaskan secara globalnya, dan lain-lain. Contohnya adalah tafsir milik Ibnu
Di tafsir ini, ahli tafsir menjelaskan makna umum pada sebuah ayat tanpa
atau ayat dengan ayat lainnya, ayat dengan hadis, dan mengutamakan salah
satunya. Contohnya: tafsir al-Tafa>si>r milik Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn ‘Aqi>l al-
Z{ah> iri.
Pada tafsir ini, ahli tafsir membahas sebuah tema yang berasal dari Alquran,
seperti lafaz, kalimat, atau tema tertentu. Seperti membahas tema: Lafaz “Umat”
di Alquran. Contohnya: Dala>il al-Tauhi>d fi> al-Qur’a>n al-Maji>d milik Ami>n Yu>suf
al-Dami>ri.
Musa>‘id Ibnu Sulaima>n al-T{ayya>r, Fus}>ul fi> Us}>ul al-Tafsi>r (Cet. 1; Riyad: Da>r al-Nasyr al-
1
Dan masih banyak lagi tafsir dengan orientasi akidah yang lainnya.
B. Takwil
1. Pengertian Takwil
Para ulama seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, dan Ibn al-‘Us\aimi>n
telah menyimpulkan makna dari takwil. Secara bahasa, takwil berasal dari bahasa
arab ta’wi>l. Kata ini merupakan masdar dari kata kerja awwala – yuawwilu yang
menjelaskan maknanya atau mencapai tujuan perkataan itu. Takwil memiliki tiga
makna, yaitu:1
dimaksud.
3. Mengubah makna lahir suatu perkataan ke makna lain yang bertentangan atau
berbeda disebabkan adanya dalil. Inilah makna takwil yang dimaksud dalam
1
“Al-Ta’wi>l: Ma‘na>hu, Aqsa>muhu, Ma> Yaju>zu Minhu wa Ma> La> yaju>zu”, Situs Resmi
Islamweb.net.
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/317293/%D8%A7%D9%84%D8%AA%D8%A3%D9%88%D9%
8A%D9%84-%D9%85%D8%B9%D9%86%D8%A7%D9%87%D8%8C-
%D8%A3%D9%82%D8%B3%D8%A7%D9%85%D9%87%D8%8C-%D9%85%D8%A7-
%D9%8A%D8%AC%D9%88%D8%B2-%D9%85%D9%86%D9%87-%D9%88%D9%85%D8%A7-
%D9%84%D8%A7-%D9%8A%D8%AC%D9%88%D8%B2 (19 Juli 2022).
8
makalah ini. Makna takwil ini banyak dipakai oleh ulama kurun terakhir. Ada dua
2. Contoh Takwil
ْ ُ ْ َّ ْ ُ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ َُّ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ُ ُ ٰ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ
ولا تجعل يدك مغلولة الى عنقك ولا تبسطها كل البسط فتقعد ملوما محسورا
Janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan jangan
(pula) engkau mengulurkannya secara berlebihan sebab nanti engkau menjadi
tercela lagi menyesal.2
Takwil pada ayat di atas yaitu: “yadaka maglulatan ila unuqika” yang berarti kikir.
C. Terjemah
Terjemah merupakan kata serapan dari bahasa Arab tarjamah. Kata ini
merupakan masdar dari kata kerja tarjama – yutarjimu. Dalam bahasa Arab memiliki
b. Tafsir atau penjelasan dari sebuah perkataan. Dalam hal ini seperti perkataan Nabi
saw tentang Ibnu Abbas bahwa dia adalah seorang Turjuma>n Alquran. Kata
1
S{ala>h} ‘Abdu al-Fatta>h al-Kha>lidi>, al-Tafsi>r wa al-Ta’wi>l fi> al-Qur’a>n (Cet. 1; Yordania: Da>r
al-Nafa>is, 1996), h. 196 https://waqfeya.net/book.php?bid=11051 (19 Juli 2022).
2
QS al-Isra>’/17: 29
3
Najdah Ramad}}a>n, Tarjamatu al-Qur’an wa As\aruha fi> ma‘a>ini>hi. h.147 (19 Juli 2022).
9
seseorang atau sebuah kitab. Misalnya terjemah tentang sejarah hidupnya atau
biodatanya.
e. Mengubah bahasa sebuah perkataan ke dalam bahasa lain. Dan inilah yang
dimaksud dengan terjemah pada makalah ini. Terjemah yang dimaksud ini terbagi
menjadi tiga, yaitu: terjemah huruf dengan semisalnya, terjemah huruf dengan
selainnya, dan terjemah makna. Contoh dari terjemahan huruf dengan semisalnya
dan selainnya:
ْ ُ ْ َّ ْ ُ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ َُّ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ُ ُ ٰ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ
ولا تجعل يدك مغلولة الى عنقك ولا تبسطها كل البسط فتقعد ملوما محسورا
Janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan jangan
(pula) engkau mengulurkannya secara berlebihan sebab nanti engkau menjadi
tercela lagi menyesal.1
dengan cara mengubah makna lahir sebuah nas ke makna lain yang tidak sesuai,
dengan berdasar atas dalil. Terjemah adalah penjelasan nas Alquran dengan cara
1
QS al-Isra>’/17: 29
10
BAB III
KESIMPULAN
Tafsir, takwil, dan terjemah memiliki makna bahasa yang sama, yaitu
menjelaskan. Namun secara istilah, ketiga hal tersebut memiliki makna yang berbeda,
yaitu:
2. Takwil adalah penjelasan nas Alquran dengan cara mengubah makna lahir sebuah
nas ke makna lain yang tidak sesuai, dengan berdasar atas dalil.
3. Terjemah adalah penjelasan nas Alquran dengan cara mengubah bahasa Alquran
DAFTAR PUSTAKA
QS al-Baqarah/1: 1
QS al-Baqarah/1: 43
QS al-Baqarah/1: 228
QS al-Dukha>n/44: 49
QS al-Isra>’/17: 29
QS Muhammad/47: 24
al-Juday‘,‘Abdullah Ibnu Yu>suf. al-Muqaddima>t al-Asa>siyyah fi Ulu>m al-Qura’>n. Cet.
1; Beirut: Muassasah al-Rayya>n, 2001, https://www.noor-
book.com/%D9%83%D8%AA%D8%A7%D8%A8-
%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%82%D8%AF%D9%85%D8%A7%D8%
AA-
%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%B3%D8%A7%D8%B3%D9%8A%D8%
A9-%D9%81%D9%8A-%D8%B9%D9%84%D9%88%D9%85-
%D8%A7%D9%84%D9%82%D8%B1%D8%A2%D9%86-pdf (19 Juli
2022).
al-T{ayya>r, Musa>‘id Ibnu Sulaima>n. Fus}>ul fi> Us}u> l al-Tafsi>r. Cet. 1; Riyad: Da>r al-Nasyr
al-Duwali, 1993, https://www.noor-
book.com/%D9%83%D8%AA%D8%A7%D8%A8-
%D9%81%D8%B5%D9%88%D9%84-%D9%81%D9%8A-
%D8%A3%D8%B5%D9%88%D9%84-
%D8%A7%D9%84%D8%AA%D9%81%D8%B3%D9%8A%D8%B1-pdf
(19 Juli 2022).
al-Kha>lidi, S{ala>h} ‘Abdu al-Fatta>h}. al-Tafsi>r wa al-Ta’wi>l fi> al-Qur’a>n. Cet. 1;
Yordania: Da>r al-Nafa>is, 1996, https://waqfeya.net/book.php?bid=11051 (19
Juli 2022).
Ramad}}a>n, Najdah. Tarjamatu al-Qur’an wa As\aruha fi> ma‘a>ini>hi. (19 Juli 2022).
“Al-Ta’wi>l: Ma‘na>hu, Aqsa>muhu, Ma> Yaju>zu Minhu wa Ma> La> yaju>zu”, Situs Resmi
Islamweb.net.
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/317293/%D8%A7%D9%84%D8%AA%
D8%A3%D9%88%D9%8A%D9%84-
%D9%85%D8%B9%D9%86%D8%A7%D9%87%D8%8C-
%D8%A3%D9%82%D8%B3%D8%A7%D9%85%D9%87%D8%8C-
%D9%85%D8%A7-%D9%8A%D8%AC%D9%88%D8%B2-
%D9%85%D9%86%D9%87-%D9%88%D9%85%D8%A7-
%D9%84%D8%A7-%D9%8A%D8%AC%D9%88%D8%B2 (19 Juli 2022).
12
Oleh :
80100221169
SHI 4
2022
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam yang sangat mulia. Kitab yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat jibril selama
kurang lebih dua puluh tiga tahun, sebagai pedoman umat islam di penjuru dunia,
karena al-qur’an memiliki banyak keistimewaa. Selain daripada itu dalam proses
penyusunan al-Qur’an disusun secara bertahap, yaitu dimulai dari nabi Muhammad
saw, hingga pada masa Utsman bin Affan yng berhasil mengumpulkan al-Qur’an
sehingga menjadi mushaf al-qur’an, dimana al-qur’an yang hadir dihadapan dan sering
kita baca adalah mushaf dari rasm usman yang telah disetujui oleh jumhur ulama
sebagai mushaf yang tertib ayat dan surahnya berdasarkan apa yang ada pada masa
perbedaan dan memberikan kedudukan dalam setiap surah. Namun ada pula beberapa
ulama yang berpendapat lain tentang susunan surah dalam mushaf ustmani tersebut.
Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan mushaf para salaf (para sahabat sebelum
1
Anwar Rusydie. Pengantar Ulumul Quran. (Yogyakarta: IRCiSoD.2015). h.9.
2
B. Rumusan Masalah
3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Tartib Al Ayat
Al-qur’an terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun
yang panjang. Ayat adalah sejumlah kalam Allah SWT yang terdapat dalam sebuah
surah dari Al Qur’an. Surah adalah sejumlah ayat Qur’an yang mempunyai permulaan
dan kesudahan. Tertib atau urutan ayat-ayat Qur’an ini adalah tauqifi, ketentuan dari
Rasulullah SAW sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah ijma,
diantaranya Az-Zarkasy dalam Al-Burhan dan Abu Ja’far ibnu Zubair dalam
tauqifi dari Rasulullah SAW dan atas perintahnya, tanpa diperselisihkan kaum
muslimin. As-Suyuti telah memastikan hal itu, ia berkata: ijma’ dan nas-nas yang
serupa menegaskan tertib ayat-ayat itu adalah taufiqi, tanpa diragukan lagi.2
kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakan dalam surah atau ayat-ayat yang
turun sebelumnya. Lalu Rasulullah SAW memerintahkan kepada para penulis wahyu
ayat ini pada surah yang di dalamnya di sebutkan begini dan begini”, atau letakkanlah
2
Anwar Rusydie. Pengantar Ulumul Quran. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015).h. 56
4
ayat ini ditempat ini”. Susunan dan penetapan ayat tersebut bagaimana yang
disampaikan para sahabat kepada kita. Usman bin Abil’ As berkata: “ aku tengah duduk
di samping Rasulullah SAW, tiba- tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali
seperti semula kemudian katanya, Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan
agar aku meletakkan ayat ini di tempat ini dari surah ini’ sesungguhnya Allah
SWT menyuruh (kamu) berperilaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada
Usman berhenti mengumpulkan Qur’an pada tempat setiap ayat dari sebuah
surah dalam Al-Qur’an dan sekalipun ayat itu telah dimansukh hukumnya, tanpa
mengubahnya. Ini menunjukan bahwa penulisan ayat dengan tertib seperti ini adalah
tauqifi.
Dengan demikian tertib ayat-ayat Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang
beredar diantara kita adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi. As-Suyuti, setelah
pembacaan surah-surah yang dilakukan Nabi dihadapan para sahabat iitu menunjukan
bahwa tertib atau susunan ayat adalah tauqifi. Sebab, para sahabat tidak akan
menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka dengar dari bacaan
Nabi.3
3
Syadali Ahmad dan Ahmad Rofi’i. Ulumul Quran II. (Bandung: cv. pustaka. 1997).
h. 45.
5
Tartib al-Ayat Al-Qur’an terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang
pendek maupun yang panjang. Ayat adalah sejumlah qalam Allah yang terdapat dalam
sebuah surah dari al-Qur’an. Surah adalah sejumlah ayat al-Qur’an yang mempunyai
permulaan dan kesudahan. Tertib atau urutan ayat-ayat al-Qur’an ini adalah tauqifi dari
Rasulullah saw. (ketentuan dari Rasulullah saw. Atas petunjuk dari Allah melalui
malaikat Jibril).4
adalah al-Imam al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an dan Abu
Ja’far Ibn Zubair2 dalam kitabnya al- Munasabah, di mana ia mengatakan: “Tertib
ayat-ayat di dalam surah itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya,
tanpa diperselisihkan kaum muslimin. ”Al-Imam al-Sayuti telah memastikan hal itu, ia
berkata: “Ijma’ dan nas-nas serupa menegaskan, tertib ayat-ayat dan surah-surah itu
adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi”. Jibril menurunkan beberapa ayat kepada
Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat di mana ayat-ayat itu harus diletakkan
dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan
kepada mereka: “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang di dalamnya disebutkan
4
Al-Syaikh al-'Allamat Dr. Ibrahim 'Abd al-Rahman Khalifah, Bahsan H{aula Suwar
al-Qur’an: Ism al-Surat Yumassil Ruhaha al-‘Am Wa Tartib Nuzul al- Suwar al-
Qur’aniyyah, (Cet.I; al-Qahirah-Misr: Dar al-Basa’ir, 1425 H/2004 M), h.5-7.
6
2. Pengertian Tartib Al Suwar
1. Ada yang mengatakan bahwa tertib surah-surah itu adalah tauqifi dan ditangani
Tuhan.
2. Ada yang mengatakan bahwa tertib surah-surah itu berdasarkan ijtihad para
Misalnya mushaf Ali bin Abi Thalib disusun menurut tertib nuzul, yakni
3. Aada yang menyatakan bahwa tertib surah-surah itu adalah tauqifi dan
sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat. Hal ini karena terdapat dalil
penulis al qamus “kata assuarah berati “al mazzilah”(posisi).surah dalam alquran telah
dikenal karena posisinya pada suatu tempat secara berdampingan. Masing masing
5
Mardan. Al-Qur’an Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh,
(Jakarta; Pustaka Mapan, 2009). h. 23
7
Secara terminologis surat berarti sekelompok ayat yang mandiri yang
memilikiawal dan akhir.mereka mengatakan bahwa hal itu diambil dari makna
“tembok yang membatasi suatu kota”.hal itu karena didalamnya terdapat peketakan
suatu kata disamping kata yang lain,suatu ayat diamping suatu ayat yang lain.ibarat
suatu tembok,yang merupakan peletakan dan penyusunan data baris demi baris.
Ada kalanya didalam surat terdapat makana luhur dan tinggi secara
merupakan benteng dan penjagaan bagi Muhammad SAW.dan apa yang dibawanya
sepertinal quran dan agama islam dari segi keberadaanya sebgai mukjizat yang
melehkan setiap yang sombong.Allah swt akan menampakkan kebenaran yang benar
dan menamoakkan kesalahan yang salah.meski para pendosa tidak suka ini lebih
menyerupai bentengi yang membatasi suatu kota yang menjaganya dari sergapan
musuh.surat-surat dalam al quran berbeda-beda dari segi panjang atau pendeknya yang
terpendek adalah surat al kautsar yang terdiri dari 3 ayat pendek,yang terpanjang adalah
surat al baqarah yang terdiri dari 285 ayat meruoakan deretan “ath thiwal” yang
terpanjang sebagaimana telah dijelaskan diantara surat al baqarah denga surat al kautsar
terdapat banyak surat yang berbeda-beda dari segi panjang atau pendeknya.pembataan
8
panjang atau pendek merupakan wewenang allah semata kareana suatu hikmah luhur
Selaku umat islam wajib menghormati tertib surat-surat Al-Qur’an yang telah
tersusun didalam “mushaf usman” sebagaimana yang dimiliki umat Islam; terlepas dari
menulis mushaf haruslah tertib,sebab tulisan mushaf usmani itu telah mencapai ijma’
sahabat, bahkan ijma’ umat islam seluruh dunia. Sedang ijma (konsensus) itu sendiri
biasa menjadi dalil itu sendiri bisa menjadi dalil hukum agama. Kita tidak boleh
menentang ijma’ sebab bisa menimbulkan fitnah dan bahaya bagi Islam dan umat
Islam. Mengenai tertib surat-surat Al-Qur’an dalam bacaan, tidak wajib hukumnya,
melainkan sunat.
Al Quranul karim turun melalui dua tahap. Tahap pertama, diturunkan secara
lengkap dari Lauhul Mahfudz sampai kelangit dunia (Baitul Izzah). Barulah setelah
berada dilangit dunia, kemudian secara sedikit demi sedikit diturunkan kepada
Rasulullah melalui malaikat Jibril. Waktu yang dibutuhkan relatif lama yaitu 22 tahun
2 bulan 22 hari.
6
https://wifqi22.wordpress.com/2018/11/21/makalah-ulumul-quran-tentang-tartib-
al-ayat-wa-tartib-as-suwar/
9
Allah sengaja menurunkan Al Quran sedikit demi sedikit supaya mudah dihafal
dan diamalkan. Turunnya Al Quran pun disesuaikan dengan peristiwa yang terjadi di
kala itu. Hal ini menjadikan makna Al Quran semakin berkesan karena menjadi
memerintahkan juru tulisnya untuk menuliskannya sesuai letak yang telah diwahyukan
pula oleh malaikat jibril. Jadi bukan hanya isi kandungan wahyu yang disampaikan
oleh malaikat jibril tetapi juga tata letak penulisannya. Begitu terus hingga turun 114
Jadi, tata letak urutan mushaf Al Quran sesuai dengan wahyu yang diterima
oleh Rasulullah. Malaikat Jibril menunjukan tata letak penulisannya sebelum atau
sesudah ayat yang lainnya, kemudian Rasulullah menunjukkan kepada sahabat yang
dengan urutan wahyu yang turun. Itu karena perintah dari Allah melalui perantara
Menurut bahasa, fawatih adalah jama’ dari kata fatih atau fawatih yang berarti
awalan/pembuka. Sedangkan suwar adalah jama’ dari kata surah yang berarti
beberapa macam awalan dari surah-surah Al-Qur’an. Sebab, seluruh surah Al-Qur’an
10
yang berjumlah 114 buah itu dibuka dengan 10 pembukaan, dan tidak ada satu
surahpun yang keluar dari 10 pembukaan itu. Dan tiap-tiap macam pembukaan itu
‘Ulumil Qur’an. Karena itu, perlu ditegaskan bahwa fawatih as-suwar itu berbeda
dengan hurufull muqatha’ah yang hanya mempunyai salah satu macam dari fawatih
Tsanaa’i)
menggunakan:
7
Abu Djalal, Ulumul Qur’an, Surabaya:Dunia Ilmu, 2012.h. 23
8
https://wifqi22.wordpress.com/2018/11/21/makalah-ulumul-quran-tentang-tartib-al-
ayat- wa-tartib-as-suwar/ diakses pada tanggal 05 Juni 2022 pukul 19.00 wita
11
َ ت َواأل َ ْر
b. Surah Al-An’am dengan lafal “ ض َ ي َخلَقَ الس
َّموا ل “أ َ ْل َح ْمد ل ل
ْ ُِل الَّ لذ
َ ع ْب لد له ْالك
c. Surah Al-Kahfi dengan lafal “ لتب َ ي أَ ْنزَ َل
َ علَى ْ ُِل الَّ لذ
”أَل َح ْمد ل ل
ت َواأل َ ْر ل
d. Surah Saba’ dengan lafal “ض َ لي لَهُ َمافلى الس
َّموا ل “أ َ ْل َح ْمد ل ل
ْ ُِل الَّذ
َ واأل َ ْر
e. Surah Fathir dengan lafal “ ض ْ ت ْ “ أَل َح ْمد َُِل الَّ لذ
َ ي فَاطل لرالس
َّموا ل
yaitu:
ْ سبْحنَ الَّذ
لي اَسْرى بلعَ ْب لد له لَي ًْل ُ
“ maha suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam”.
2. Surah Al-A’la dengan lafal
َ ح اس َْم َربلكَ األَع
ْلى سبل ل
َ
“ sucikanlah nama Tuhanmu yang paling tinggi”.
3. Surah Al-Hadid dengan lafal
ت َواأل َ ْر ل
ض ِل َمافلى السَّم َوا ل
سبَّ َح ل ل
َ
“ semua yang ada dilangit dan yang ada dibumi bertasbih pada Allah ( menyatakan
kebesaran Allah”.
4. Surah Al-Hasyr dengan lafal
ت َو َما فلى األ َ ْر ل
ض َّموا ل
َ ِل مافلى الس
سبَّ َح ل ل
َ
“ telah bertasbih kepada Allah apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi”.
5. Surah Al-Shaff dengan lafal
ت َو َما فلى اًأل َ ْر ل
ض َّموا ل
َ ِل َما فلى الس
سبَّ َح ل ل
َ
12
“ telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada dilangit dan apa saja yang ada
dibumi”.
13
e. Terdapat atas lima huruf, terdapat pada dua tempat; ( كهيعصQ.S. Maryam)
dan ( حم عسقQ.S. As Syu’ra).9
9
Abu Djalal, Ulumul Qur’an, Surabaya:Dunia Ilmu, 2012.h. 44-46
14
b. Jumlah Fi’liyyah, terdapat dalam 12 surat, yaitu :
1. Surah Al-Anfal dengan lafal ” ع لن األ َ ْنفا لل
َ َ“ يَ ْسئَلُ ْونَك
2. Surah An-Nahl dengan lafal ” ُ“ أَت َى أَ ْم ُرّللال فَ َلت َ ْست َع لجلُ ْوه
3. Surah Al-Anbiya’ dengan lafal ” سابُ ُه ْم ب لللنَّ ل
َ اس حل َ “ إل ْقت ََر
4. Surah Al-Mu’minun dengan lafal ” َ“ قَدْاَ ْفلَ َح ْال ُمؤْ مل نُ ْون
5. Surah Al-Qamar dengan lafal ” عةُ َوا ْنش ََّق القَ َم ُر “ إل ْقت ََربَ ل
َ ت السَّا
6. Surah Al-Mujadilah dengan lafal ” َسمل َع ّللاُ قَ ْو َل الَّتلى ت ُ َجا لدلُك َ ْ“ قَد
ٍ سآئل ٌل بلعَذَا
7. Surah Al-Ma’arij dengan lafal ” ب َواق ٍلع َ سأ َ َل َ “
8. Surah Al-Qiyamah dengan lafal ” “ ََلأ ُ ْق لس ُم بليَ ْو لم ال لقيَا َم لة
9. Surah Al-Balad dengan lafal ” “ ََلأ ُ ْق لس ُم بلهذَ ْالبَلَ لد
10. Surah Abas dengan lafal ” س َوت ََولَّى
َ َعب
َ “
11. Surah Al-Bayyinah dengan lafal ” َب َو ْال ُم ْش لر لكيْنَ ُم ْنف لَكيْن
لَ ْم يَ ُك لن الَّ لذيْنَ َكف َُر ْوامل ْن أَ ْه لل الكلت ل
12. Surah At-Takatsur dengan lafal ” ” اَ ْله ُك ُم الـتَّكَاث ُ ُر
15
4. Surah Al-‘Adiyat dengan lafal ” ض ْب ًحا “ َو ْالعدلي ل
َ ت
c. Sumpah dengan waktu, terdapat dalam 3 surah yaitu:
1. Surah Al-Lail dengan lafal ” “ َوالَّ ْي لل ألذَايَ ْغشَى
2. Surah Adh-Dhuha dengan lafal ” ض َحى ُّ “ َوال
ْ َ“ َو ْالع
3. Surah Al-‘Ashr dengan lafal ” ص لر
ص ُرّللال َو ْالفَتْ ل
4. Surah An-Nashr dengan lafal ” ح ْ َ“ لإذَا َجا َءن
16
“ قُ ْْلَع ُْوذُبل َر ل
ب النَّ ل
5. Surah An-Nas dengan lafal ” اس
8. Pembukaan dengan pertanyaan (Al-Istiftaahu Bil Istifhaami).
a. Pertanyaan positif (Al-Istifhaamu Al-Muhiibiyyu), yaitu bentuk pertanyaan
yang dengan kalimat positif yang tidak ada alat negatifnya. Terdapat dalam 4
surah yaitu:
1. Surah Ad-Dahru, dengan lafal:
” ان حل ْي ٌن مل نَ الدَّ ْه لر
س لَ اإل ْن َ ” ه َْل أَتَى
علَى ل
“ bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa”.
2. Surah An-Naba’, dengan lafal:
َ . َع َّم يَتَسآ َءلُ ْون
” عنلالنَّبَإلالعَظل ي لْم َ ”
“ tentang apakah mereka saling bertanya-tanya. Tentang berita yang besar”.
3. Surah Al-Ghasyiyyah, dengan lafal:
” سى ُ ” ه َْل أَتكَ َحدَي
َ ْث ُم ْو
“ sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan”.
4. Surah Al-Ma’un, dengan lafal:
” الدي لْن ْ ” أَ َر َءيْتَ الَّذ
لي يُكَذلبُ بل ل
“ tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama”.
17
” ٌ “ َو ْي ٌل لل ُك لل هُ َمزَ ةٍ لُّ َمزَ ة
“ kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela,
b. Do’a atau harapan yang berbentuk kata kerja (Ad-Du’aaul Fi’liyu) membuka
ٍ َّــت يَدَاأَبلى لَ َه
satu surah saja yaitu surah Al-Lahab ” َّب َوتَب ْ تَب
10
Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung :Pustaka Setia. 2013.h. 30-31
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ayat adalah Suatu kumpulan kata yang mempunyai awal dan akhir, yang
termasuk didalam suatu surah dari al-Qur’an. Tertib ayat adalah semua ayat yang
berada pada tempatnya sendiri dalam suatu surah. Tertib atau urutan ayat-ayat al-
sendiri, yang mempunyai permulaan dan penghabisan. Tertib surah adalah semua surat
yang terdapat di dalam al-qur’an berada pada posisinya masing-masing dan susunan
ini telah ditetapkan dengan ijtihad, sehingga hukum membacanya secara berurutan
tiaklah wajib. Ulama berbeda pendapat mengenai tartibul suwar ini, jumhur ulama
berpendapat bahwa tartibul suwar merupakan tauqifi, yang lainnya berpendapat hal itu
adalah ijtihadi, sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa sebagiannya taukify
beberapa macam awalan dari surah-surah Al-Qur’an. Sebab, seluruh surah Al-Qur’an
yang berjumlah 114 buah itu dibuka dengan 10 pembukaan, dan tidak ada satu
surahpun yang keluar dari 10 pembukaan itu. Dan tiap-tiap macam pembukaan itu
19
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaikh al-'Allamat , dkk. Suwar al-Qur’an: Ism al-Surat Yumassil Ruhaha al-‘Am
Syadali Ahmad dan Ahmad Rofi’i. 1997. Ulumul Quran II. Bandung: cv. Pustaka
Situs :
https://wakidyusuf.wordpress.com/2016/04/14/pengumpulan-penyusunan-tertib-
ayat-surat-al-quran/
https://wifqi22.wordpress.com/2018/11/21/makalah-ulumul-quran-tentang-tartib-al-
ayat- wa-tartib-as-suwar/
20
TUGAS MATA KULIAH ULUMUL QURAN
“AL-MUHKAM WA AL-MUTASYABIH”
Oleh :
MARDIANTI M.
80100221170
SHI 4
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Muhkam Dan Mutasyabih?
2. Bagaimana Sejarah Ayat Muhkam dan Mutasyabih?
3. Bagaimana Karakteristik Al-Muhkan Dan Al-Mutasyabih?
4. Bagaimana Perbedaan Pendapat Para Ulama Terhadap Muhkam
Dan Mutasyabih?
5. Apa Yang Menyebabkan Adanya Ayat Mutasyabih?
6. Sebutkan Macam-Macam Ayat Muhkam Dan Mutasyabih?
7. Apakah Hikmah Adanya Ayat-Ayat Muhkan Dan Mutasyabih
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2012, h. 121
2
Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2008, h. 239
2
Menurut Ibnu Abbas, Muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya
mengandung satu makna. Sedangkan Mutasyabihat adalah ayat yang
mengandung pengertian bermacam-macam.. Menurut Imam as Suyuthi
muhkam adalah suatu yang jelas artinya, sedangkan mutasyabih adalah
sebaliknya.
Sedangkan menurut Manna’ Al-Qaththan, Muhkam adalah ayat yang
maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan
lain. Sedangkan Mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan
dengan menunjuk kepada ayat lain.
Dengan demikian muhkam adalah ayat yang terang makna serta lafaznya
dan cepat di pahami. Sedangkan Mutasyabih, ialah ayat-ayat yang bersifat
global yang memerlukan ta’wil dan yang sukar dipahami.3
B. Sejarah Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Secara tegas dapat dikatakan bahwa asal mula adanya ayat-ayat muhkamah
dan mutasyabihat ialah dari Allah SWT. Allah SWT memisahkan atau
membedakan ayat-ayat yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikan
ayat muhkam sebagai bandingan ayat yang mutasyabihat. Allah SWT
berfirman QS. Al-Imran Ayat 7:
ب َوا ُ َخ ُر ُمت َ ٰش ِب ٰهتٌ ۗ فَا َ َّما الَّ ِذ ْينَ ِف ْي قُلُ ْو ِب ِه ْم ِ ب ِم ْنهُ ٰا ٰيتٌ ُّمحْ كَمٰ تٌ هُنَّ ا ُ ُّم ا ْل ِك ٰت َ ع َل ْيكَ ا ْل ِك ٰت ْْٓ ه َُو الَّذ
َ ِي اَ ْن َز َل
س ُخ ْونَ ِفى َّ َز ْي ٌغ فَيَتَّبِعُ ْونَ َما تَشَابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَ ۤا َء ا ْل ِفتْنَ ِة َوا ْبتِغَ ۤا َء تَأ ْ ِو ْي ِل ٖۚه َو َما يَ ْعلَ ُم تَأ ْ ِو ْيلَ ْٓه ا ََِّّل اللّٰهُ َۘو
ِ الرا
ِ ا ْل ِع ْل ِم يَقُ ْولُ ْونَ ٰا َمنَّا بِ ٖۙه ُك ٌّل ِ ِّم ْن ِع ْن ِد َربِِّنَا ٖۚ َو َما َيذَّك َُّر ا َّ َِّْٓل اُولُوا ْاَّلَ ْلبَا
ب
Artinya:“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu
(Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-
pokok Kitab (Al-Qur'an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang
yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang
mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya,
padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-
orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-
3
Kamaluddin Marzuki, Ulumul Qur’an, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992, h.113
3
Qur'an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil
pelajaran kecuali orang yang berakal.”4
Dari ayat tersebut, jelas Allah SWT menjelaskan bahwa Dia menurunkan
Alquran itu ayat-ayatnya ada yang muhkamat dan ada yang mutasyabihat.
Menurut kebanyakan ulama, sebab adanya ayat-ayat muhkamat itu sudah
jelas, yakni sebagaimana sudah ditegaskan dalam ayat 7 surah Ali Imran di
atas. Di samping itu, Al Quran merupakan kitab yang muhkam, seperti
keterangan ayat 1 surah Hud:
َ َ ْ ُ َّ ْ ْ َ ُ ُ ٗ ُ ٰ ٰ ْ ْ ُ ٌ ٰ
ب اح ِك َمت ايته ث َّم ف ِّصلت ِمن لدن ح ِك ْي ٍم خ ِب ْير ِكت
4
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah (Bandung: Insan Kamil, 2009), h. 50.
5
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 221.
6
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an , Dunia Ilmu, Surabaya, 1998, h. 243-244
4
berhubungan dengan hakikat (kenyataan). Sedangkan ayat-ayat mutasyabih
adalah yang menuntut penelitian.
Ar-Raghib al-Ashfihani memberikan kriteria ayat-ayat muhkam dan
mutasyabih sebagai berikut :
1. Muhkam
a. Yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat yang lain
Contoh surat Al-Baqarah Ayat 106:
ُ ٰ َ ّٰ َّ َ َ َ َ َ ْ َ ٓ ْ َ َْ ُْ َ ٰ ْ َْ
َما نن َسخ ِم ْن ا َي ٍة ا ْو نن ِس َها نأ ِت ِبخ ْي ٍر ِّمن َها ا ْو ِمث ِل َها ۗ ال ْم ت ْعل ْم ان الله َعلى ك ِّل
َ َ
ش ْي ٍء ق ِد ْير
Artinya: Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti
Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.
Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?7
b. Ayat-ayat yang menghalalkan atau membatalkan ayat-ayat lain
Contoh surah Al-Imran Ayat 7:
ُاب ِم ْن ُه َآيات ُّم ْح َك َمات ُه َّن ُأ ُّم ْال ِك َتاب َو ُأ َخر َ ُه َو َّالذي َأ َنز َل َع َل ْي َك ْالك َت
ِ ِ
ِ َّ َّ َ َ
َ ْ ْ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ َ ُ َّ َ َ ْ َ ْ ُُ َ َ َ َ
وب ِهم زي غ فيت ِبعون ما تشابه ِمنه اب ِتغاء ال ِفتن ِة ِ ُمتش ِابهات ۖ فأما ال ِذين ِفي قل
ُ َّ َ َ ُ ُ َ ْ ْ َ ُ َّ َ ُ َّ َّ ُ َ ْ َ ُ َ ْ َ َ َ َْ َ
آمنا ِب ِه كل الر ِاسخون ِفي ال ِعل ِم يقولون َو ْاب ِتغ َاء تأ ِو ِيل ِه ۗ وما يعلم تأ ِويله ِإَّل الل ه ۗ و
َ
ند َ ِّربنا
ِ من ِع
ْ ِّ
7
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 17
8
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 50
5
ّٰ وة َو ْار َك ُع ْوا َم َع
َ ٰ َّ ُ ٰ َ ٰ َّ َ
الر ِك ِع ْي َن الصلوة َواتوا الزك َوا ِق ْي ُموا
Artinya: “Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah
beserta orang yang rukuk.”9
2. Mutasyabih
a. Yakni ayat-ayat yang tidak diketahui hakikat maknanya seperti tibanya
hari kiamat.
َّ ٓ ْ ِّ َ ْۚ َْ ْ َّ ُ ۗ َ َ َ َّ َ َ ُ
اع ِة ا َّيان ُم ْر ٰس َىها ق ْل ِان َما ِعل ُم َها ِعند َر ِّب ْي َّل ُي َجل ْي َها ِل َوق ِت َها ِاَّل َي ْس َٔـل ْونك َع ِن الس
ۗ ْ َ َّ َ َ َ َ ُ ً َ ْ َّ ُ ْ َ َ ۗ ْ َ ْ َ ٰ ٰ َّ ْ َ ُ َ َۘ َ ُ
ض َّل تأ ِت ْيك ْم ِاَّل َبغتة َۗي ْس َٔـل ْونك كانك َح ِفي َعن َها ر اْل
ِ َ ٰ ّٰ و ت ِ و م الس ى فِ ت هو ثقل
َ ْ ََُْ َ َ ْ
َّ َ َّ َ َ ْ َُ ْ َ ُق ْل ِا َّن
اس َّل يعلمون ِ الن ر ث ك ا ن كِ لو هِ الل د ن ع
ِ اه م ل ع
ِ ام
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang
Kiamat, “Kapan terjadi?” Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan
tentang Kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang
dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat
berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak
akan datang kepadamu kecuali secara tiba-tiba.” Mereka bertanya
kepadamu seakan-akan engkau mengetahuinya. Katakanlah
(Muhammad), “Sesungguhnya pengetahuan tentang (hari Kiamat) ada
pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”10
9
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 174
10
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 50
11
Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta:Bulan Bintang, 1993, h. 166
6
1. Ulama golongan Hanafiyah mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang
jelas petunjuknya, dan tidak mungkin telah dinasikh kan. Sedang lafadz
mutasyabih adalah lafadz yang sama maksud petunjuknya sehingga tidak
terjangkau oleh akal pikiran manusia. Sebab lafadz mutasyabih itu
termasuk hal-hal yang diketahui Allah saja artinya. Contohnya seperti hal-
hal yang ghaib.
2. Mayoritas ulama golongan ahlu fiqh yang berasal dari pendapat sahabat
Ibnu Abbas mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang tidak bisa
dita’wil kecuali satu arah. Sedangkan lafadz mutasyabih adalah artinya
dapat dita’wilkan dalam beberapa segi, karena masih sama.12
3. Madzhab salaf, yaitu para ulama dari generasi sahabat. Mereka berusaha
untuk mengimaninya dan menyerahkan makna serta pengertiannya hanya
kepada Allah SWT. Bagi kaum salaf, ayat – ayat mutasyabihat tidak perlu
dita'wilkan. Sebab yang mengetahui hakikatnya hanyalah Allah SWT,
mereka hanya berusaha mengimaninya.
4. Madzhab khalaf, seperti Imam Huramain. Mereka berpendapat bahwa ayat
– ayat mutasyabihat harus ditetapkan maknanya dengan pengertian yang
sesuai dan sedekat mungkin dengan dzat-Nya. Mereka menta'wil lafdz
istiwa' (besemayam) dengan maha berkuasa menciptakan sesuatu tanpa
susah payah. Kalimat ja'a rabbuka (kedatangan Allah) dalam Qs. Al-Fajr:
22, dita'wilkan dengan kedatangan perintah-Nya.13
http://nuhudhiyyah.blogspot.com/2016/06/makalah-ulumul-quran-tentang-al
13
7
Qur’an menyatakan bahwa sebab adanya kesamaran dalam Alquran terdapat 3
hal, yaitu sebagai berikut:
1. Kesamaran dari aspek lafal saja
Kesamaran ini ada dua macam, yaitu sebagai berikut:
a. Kesamaran dari aspek lafal mufradnya, karena terdiri dari lafal yang
gharib (asing), atau yang musyatarak (bermakna ganda), dan
sebagainya.
ۡ ًۢ َ َ َ َ
ف َراغ َعل ۡي ِه ۡم ض ۡرًبا ِبال َي ِم ۡي ِن
Artinya: “Lalu dihadapinya (berhala-berhala) itu sambil memukulnya
dengan tangan kanannya.”14
b. Kesamaran lafal murakkab disebabkan terlalu ringkas atau terlalu
luas. Contoh tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab terlalu
ringkas, terdapat di dalam surah An-Nisa ayat 3:
َ ٰ ُ ٰ ْ ۤ ِّ ُ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ ٰ َْٰ ُ ْ ُ َّ َ ُ ْ ْ
اب لك ْم ِّم َن الن َسا ِء َمثنى َوثلث َوِان ِخفت ْم اَّل تق ِسط ْوا ِفى اليتمى فان ِكحوا ما ط
ۗ ُ َ َّ َ ٰٰٓ ْ َ َ ُ ُ َ ْ َ َ َ ً َ َ ُ َ َّ َ ُ ْ ْ َ
َو ُ ٰرب َع ْۚ ف ِان ِخفت ْم اَّل ت ْع ِدل ْوا ف َو ِاحدة ا ْو َما َملكت ا ْي َمانك ْم ۗ ذ ٰ ِلك ادنى اَّل ت ُع ْول ْوا
Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya),
maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu
miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”15
Ayat di atas sulit diterjemahkan. Karena takut tidak dapat berlaku
adil terhadap anak yatim, lalu mengapa disuruh menikahi wanita yang
baik-baik, dua, tiga atau empat. Kesukaran itu terjadi karena susunan
kalimat ayat tersebut terlalu singkat.
14
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 449 .
15
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 50.
8
2. Kesamaran dari aspek maknanya, seperti mengenai sifat-sifat Allah SWT,
sifat-sifat hari kiamat, surga, neraka, dan sebagainya. Semua sifat-sifat itu
tidak terjangkau oleh pikiran manusia. Surat Al Isra ayat 111:
ُ َّ ُ َ ْ ْ َ ُ َّ ُ َ ً َ ْ َّ َ َّ َّ ُ ْ ُ
َوق ِل ٱل َح ْمد ِلل ِه ٱل ِذى ل ْم َيت ِخذ َولدا َول ْم َيكن لهۥ ش ِريك ِفى ٱل ُمل ِك َول ْم َيكن لهۥ َو ِلى ِّم َن
ًۢ ْ َ َ ُّ
ٱلذ ِّل ۖ َوك ِّب ْر ُه تك ِب ًيرا
Artinya: “Dan katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai
anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula
hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan
pengagungan yang sebesar-besarnya.”16
3. Kesamaran dari aspek lafal dan maknanya. Kesamaran ini beberapa aspek,
sebagai berikut:
d. Aspek kuantitas (al-kammiyyah), seperti masalah umum atau khusus.
Contohnya, ayat 5 surah At-Taubah:
ُ ُ ُ ُ ُّ ْ ُ ْ ْ ُُْ َ ْ َْْ َ َ ْ َ َ
ف ِاذا ان َسلخ اْلش ُه ُر ال ُح ُر ُم فاقتلوا ال ُمش ِرِك ْي َن َح ْيث َو َجدت ُم ْوه ْم َوخذ ْوه ْم
ُّ َ َ َ ٰ َّ ُ َ ٰ َ َ ٰ َّ ََ َ ْ َ ْۚ ُ َ ُ ْ ُ
الزكوة فخل ْوا اح ُص ُر ْوه ْم َواق ُعد ْوا ل ُه ْم ك َّل َم ْر َص ٍد ف ِان ت ُاب ْوا َواق ُاموا الصلوة واتوا
ْ َو
ُ َ َ ّٰ َّ ۗ َ
َس ِب ْيل ُه ْم ِان الله غف ْور َّر ِح ْيم
Artinya:
16
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 293.
17
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 187.
9
e. Aspek cara (al-kaifiyyah), seperti bagaimana cara melaksanakan
kewajiban agama atau kesunahannya. Contohnya, QS Al-Baqarah: 43
َ ُ ْ َ َّ ُ َ َ ٰ ُ َّ َ ّٰ ُ َّ ُ ٰ َّ َ ٰٓ
ٰيا ُّي َها ال ِذ ْي َن ا َمنوا اتقوا الله َحق تق ِىت ٖه َوَّل ت ُم ْوت َّن ِاَّل َوانت ْم ُّم ْس ِل ُم ْون
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali
dalam keadaan Muslim.”19
Dalam ayat ini terjadi kesamaran, sampai kapan batas taqwa yang benar-
benar itu.
g. Aspek tempat, seperti tempat mana yang dimaksud dengan balik rumah,
dalam ayat 189 surah Al-Baqarah:
ُ ْ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ ِّ َ ْ َ َّ ُ ْ َ َ َ ْ ُ َّ َ ْ َ َ َ ْ ُ َٔ ْ َ
س ال ِب ُّر ِبان تأتوا اس والحج ۗ ولي لن يسـلونك عن اْل ِهل ِة ۗ قل ِهي مو ِاقيت ِل
َ ّٰ ُ َّ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ ِ ُ ْ َ ْۚ ٰ َّ َ َّ ْ َّ ٰ َ َ ْ ُ ُ ِ ْ َ ْ ُ ُ ْ
البيوت ِمن ظهو ِرها ول ِكن ال ِبر م ِن اتقى وأتوا البيوت ِمن ابو ِابها ۖ واتقوا الله
َ ْ ُ ُ َّ َ
ل َعلك ْم تف ِل ُح ْون
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan
sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan
(ibadah) haji.” Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari
atasnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa.
18
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 7.
19
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 63.
10
Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada
Allah agar kamu beruntung.”20
Tempat mana yang dimaksud dengan baliknya rumah, juga samar.
Aspek syarat-syarat melaksanakan sesuatu kewajiban juga samar, seperti
bagaimana syarat sahnya salat, puasa, haji, nikah, dan sebagainya.21
F. Macam-Macam Ayat Muhkam Dan Mutasyabih
Menurut Abdul Jalal, macam-macam ayat Mutasyabihat ada tiga macam:
1. Ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat
manusia, kecuali Allah SWT. Contoh QS Al-an’nam ayat 59:
َ ُ ُ َ ۗ ْ ْ َ ۗ ُ َّ ٓ َ َ َْ ُ َ َْ
َو ِعند ٗه َمف ِاتح الغ ْي ِب َّل َي ْعل ُم َها ِاَّل ه َو َو َي ْعل ُم َما ِفى ال َب ِّر َوال َب ْح ِر َو َما ت ْسقط ِم ْن َّو َرق ٍة
ٰ َّ َ اْل ْرض َو ََّل َر ْطب َّو ََّل
َْ ٰ ِا ََّّل َي ْع َل ُم َها َو ََّل َح َّبة ف ْي ُظ ُل
س ِاَّل ِف ْي ِكت ٍب ُّم ِب ْي ٍن اب
ٍ ِ ي ٍ ِ ت ِ م ِ ٍ
Artinya: “Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang
mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut.
Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak
ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang
basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh).” 22
20
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 29.
21
Acep Hermawan, Ulumul Quran, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2011,h. 146
22
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 134.
23
Ramli Abdul Wahid, Ulumul ur’an, Jakarta: Raja Granfindo Persada, 1996, h. 83.
11
G. Hikmah Adanya Ayat-ayat Muhkam Dan Mutasyabih
Al-Quran adalah rahmat bagi seluruh alam, yang didalamnya
terdapat berbagai mukzijat dan keajaiban serta berbagai misteri yang harus
dipecahkan oleh umat di dunia ini. Alloh tidak akan mungkin memberikan
sesuatu kepada kita tanpa ada sebabnya. Dibawah ini ada beberapa hikmah
tentang adanya ayat-ayat muhkan dan mutasyabih, diantaranya adalah :
1. Muhkam
a. Jika seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka akan
sirnalah ujian keimanan dan amal karena pengertian ayat yang jelas.
b. Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya yang kemampuan bahasa
Arabnya lemah. Sebab arti dan maknanya sudah cukup terang dan jelas.
c. Memudahkan manusia mengetahui arti , maksud dan menghayatinya.
d. Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati dan mengamalkan
isi al-Qur'an sebab ayatnya mudah dimengerti dan dipahami.
e. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari
isinya.
f. Mempercepat usaha tahfidzul Qur'an.24
2. Mutasyabih
a. Apabila seluruh ayat Al-Qur’an mutasyabihat, niscaya akan padamlah
kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang
benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sisi Allah,
segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin
bercampur dengan kebatilan.
b. Menjadi motivasi untuk terus menerus menggali berbagai kandungan
Al-Quran sehingga kita akan terhindar dari taklid, membaca Al-Qur’an
dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir.
c. Ayat-ayat Mutasyabihat mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk
mengungkap maksudnya sehingga menambah pahala bagi orang yang
mengkajinya.
24
Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an, Bandung: Mizan, 1992, h. 90.
12
d. Jika Al-Quran mengandung ayat-ayat mutasyabihat, maka untuk
memahaminya diperlukan cara penafsiran antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini memerlukan berbagai ilmu seperti ilmu bahasa, ushul
fiqh dan sebagainya.25
25
Syaih Muhammad Jamil, Bagaimana Memahami Al-Quran, Jakarta :Pustaka Al-
Kautsar, 1995 h. 121
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Muhkam merupakan ayat yang jelas maknanya, dan tidak
memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain. Sedangkan Mutasyabih
berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya, dan mempunyai
banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi,
dan memerlukan keterangan tertentu, atau hanya Allah yang
mengetahuinya
2. Sebab adanya ayat Mutasyabih ialah karena Allah SWT menjadikan
demikian. Imam Ar-Raghib Al- Asfihani dalam
kitabnya Mufradatil Qur’an menyatakan bahwa sebab adanya
kesamaran dalam Alquran terdapat 3 hal, yaitu sebagai
berikut:Kesamaran dari aspek lafal saja, kesamaran dari aspek
maknanya, kesamaran dari aspek lafal dan maknanya.
3. Manfaat adanya ayat muhkan dan mutasyabih diantaranya jika
seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka akan
sirnalah ujian keimanan dan amal karena pengertian ayat yang jelas,
Apabila seluruh ayat Al-Qur’an mutasyabihat, niscaya akan
padamlah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi
manusia
14
DAFTAR PUSTAKA
Internet:
http://nuhudhiyyah.blogspot.com/2016/06/makalah-ulumul-quran-tentang-al
muhkam.html?m=1 Diakses Pada tanggal 17 Mei 2022
15
ASBAB AL-NUZUL
MAKALAH
Oleh :
Jumarni
80100221171
SHI 4
PROGRAM PASCASARJANA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
tidak lepas dari berbagai aspek hukum alam yang berlaku di atasnya. Di antara
hukum yang berlaku ialah hukum sebab akibat, dalam artian segala sesuatu tidak
terjadi begitu saja, namun ada yang melandasi atau melatarbelakangi suatu
peristiwa.
disebabkan oleh suatu kejadian atau perkara yang terjadi di tengah para sahabat
pada masa turunnya Al-Qur'an. Hal ini mengisyaratkan adanya tuntunan ilahiyah
kepada Nabi saw. kaitannya dalam merespon setiap peristiwa yang terjadi.
kajian yang sangat penting. Bahkan pembahasan tersebut merupakan inti ‘ulum
Al-Qur’an. 1
B. Rumusan Masalah
1
Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Al-Qur’an ( Jakarta : Wadi Press,
2011), h.37
BAB II
ASBAB AN-NUZUL
A. Definisi
pada zaman Rasulullah saw., karena itu al-Qur’an itu diturunkan; atau pertanyaan
mengenai tafsir (ayat) yang disampaikan kepada Nabi saw. Kemudian, sejumlah
Hal yang senada juga dikemukakan oleh ash-Shabuni dalam kitabnya, at-
Dengan demikian, sebab turunnya al-Quran itu tidak akan lepas dari peristiwa
atau kejadian tertentu yang terjadi pada zaman Nabi saw. serta pertanyaan yang
yang dinyatakan oleh para shahabat. Merekalah orang-orang yang mengerti betul
kapan, di mana, kepada siapa, dan dalam konteks apa al-Quran itu diturunkan.
Walaupun demikian, tidak semua riwayat yang dinyatakan oleh para sahabat
2
Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Al-Qur’an, h.70
mengenai riwayat yang dinyatakan para sahabat berkaitan dengan asbab al-nuzul
ب نُ ُز ْو ِل اآليَ ِة َكذَا
ُ َسب
َ
Riwayat ini dengan tegas menunjukkan sebab turunnya ayat, tanpa perlu
kepada Nabi saw. Setelah itu, dinyatakan ayat sebagai dampak dari peristiwa
atau sebagai jawaban terhadap pertanyaan tadi. Inipun bisa dianggap sebagai
nash yang menjelaskan sebab turunnya ayat. Contohnya, hadis yang dinyatakan
dari Anas bin Malik yang menyatakan, Abu Jahal berkata, “ Jika ajaranmu ini
memang benar, turunkanlah hujan batu dari langit kepada kami atau
datangkanlah azab yang pedih kepada kami.” Lalu, turunlah firman Allah swt.:
Terjemahan :
“Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara
mereka. Tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta
3
QS al Anfal/33-34
ampun. Kenapa Allah tidak mengazab mereka, padahal mereka menghalangi
3. Jika ada ungkapan atau indikator yang secara rajih_bukan qath’i_ menunjukkan
sebab turunnya ayat, misalnya ketika ada huruf fa’ta’qib (sebagai jawaban atas
kadang dimaksud sebagai sebab turunnya ayat. Kedua, kadang dimaksud sebagai
tafsir sahabat atas ayat tersebut. 5 Sebagai contoh, firman Allah swt. :
ِ َّٰللا فَتَبَيانُ ْوا َو ََّل تَقُ ْولُ ْوا ِل َم ْن ا َ ْل ٰق ٰٓى اِ َل ْيكُ ُم الس ٰال َم لَسْتَ ُمؤْ ِمنً ۚا ت َ ْبتَغُ ْون
ََِ َ ٰيٰٓاَيُّ َها الا ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اِذَا
َ ض َر ْبت ُ ْم ِف ْي
ِ سبِ ْي ِل ه
6ّٰللا مغَانِم َكثِيْرة
ِ عرض ْال َح ٰيوةِ الدُّ ْنيَا ۖفَ ِع ْندَ ه
َ ُ َ َ َ َ
4
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, h.180-181
5
An-Nabhani, As-syakhsiyah al-Islamiyah (Cet.V; Beirut : Dar al Ummah, 1997) h.339
6
QS an-Nisa/94
Terjemahan :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah,
dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia. Di sisi Allah-lah ada
Ayat ini telah diturunkan kepada sejumlah sahabat Nabi ketika berpapasan
dengan seseorang lelaki Bani Sulaym yang tengah menggiring kambing, lalu lelaki
itu mengucapkan salam kepada mereka. Kemudian mereka pun berkata, “ Tidak
mengucapkan salam kepada kami, kecuali hanya untuk mencari perlindungan dari
kami”. Mereka pun sengaja menangkap lelaki itu, lalu membunuhnya. Lalu, mereka
Konteks seperti itu merupakan penjelasan sebab turunnya ayat. Namun, jika
dikatakan, bahwa ayat ini diturunkan dalam konteks muamalah masyarakat sesuai
berbagai persoalan terkait pemahaman akan sebuah ayat jika dibaca secara tekstual
(zahir) tanpa mengetahui sebab turunnya ayat tersebut. Ini merupakan perkara yang
7
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, h.93
8
Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Al-Qur’an, h.73
sebuah ayat dalam Al-Qur’an bisa jadi terjerumus pada kesalahan berfikir yang
Contoh pada kasus sebagian orang mungkin akan salah memahami firman
Allah swt :
Terjemahan:
tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman,
selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah
beriman dengan dalil ayat tersebut. Maka mengetahui sabab nuzul ayat akan
Tirmizi:
“Beberapa sahabat Nabi saw. wafat sebelum turun ayat pengharaman khamar, maka
Nabi saw. dan berkata: Bagaimana dengan sahabat kami yang telah wafat, dan
mereka dahulunya juga meminum khamar? Maka turunlah ayat : Tidak berdosa
9
QS. al- Maidah /93
10
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, h.123
bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang
mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan
kebajikan. 11
menegani sebab turunnya ayat ini menjadi sangat penting. Pengetahuan tersebut,
Allah swt. :
Terjemahan :
Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa
11
Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan- al-Tirmidzi (Beirut: Dar al-Ihya’ at Turats al-
Arabi) juz 5, h.254
12
Ali Hasan, Al-Manar. (Beirut: Dar al-Fikr al arabi, 1998), h.131
13
QS. al- Baqarah /158
14
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, h.24
‘Urwan bin Zubayr berpendapat, sebagaimana lahirnya ayat ini, bahwa
sa’i antara Shafa dan Marwaitu tidak wajib sehingga menurutnya, boleh
oleh beliau, “Seburuk-buruk pandangan adalah apa yang kamu katakan, wahai
telah berfirman,’Fala junaha ‘alayhi alla yathufa bihima (Maka, tidak ada dosa
pada zaman Jahiliyah orang-orang telah menelilingi Shafa dan Marwa untuk
dua berhala, yaitu di Shafa bernama Isaf dan di Marwa bernama Na’il. Ketika
mereka telah masuk Islam, mereka keberatan untuk melakukan sa’i ke sana
tersebut yang menghapus dosa dan keberatan hati mereka. Di samping itu,
mewajibkan sa’i mereka hanya untuk Allah swt. semata, bukan untuk berhala.
ٓ اطعَ ُم ٓه ا ا
َِّل ا َ ْن ياكُ ْو َن َم ْيتَةً ا َ ْو د َ ًما ام ْسف ُ ْو ًحا ا َ ْو لَ ْح َم خِ ْن ِزي ٍْر َ ع ٰلى
ْ طاع ٍِم ي ي اِ َل ا
َ ي ُم َح ار ًما ٓ قُ ْل ا
َ َِّل ا َ ِجد ُ فِ ْي َما ٓ ا ُ ْوح
15ّٰللا ب ْۚه
ِ ْس ا َ ْو فِ ْسقًا ا ُ ِه ال ِلغَيْر ه
ٌ فَ ِاناه رج
ِ ِ ِ
Terjemahan :
kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, daging babi, karena
15
QS. al- An’am /145
sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama
ayat ini bukanlah maksud yang dikehendaki. Alasannya, orang kafir telah
mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah swt. dan mengharamkan
apa yang telah dihalalkan oleh-Nya. Demikianlah mereka itu sellau berperilaku
(pembatasan), sebagai tantangaan dan serangan dari Allah swt. dan Rasul-Nya,
Misalnya :
Terjemahan:
dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji
bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Ali
Imran[3]: 188)18
16
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, h.147
17
QS. Ali Imran/188
18
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, h.75
Marwan al-Hakam berkata pembantunya agar bertanya kepada Ibn
Abbas,” Jika tiap orang yang bangga terhadap yang telah diberikan
kepadanya, dan suka dipuji atas apa yang belum dikerjakannya akan diazab,
miscaya kita semua akan terkena azab.” Lalu, Ibn Abbas menjelaskan bahwa
ayat tersebut diturunkan kepada Ahli Kitab, Yahudi,ketika Nabi saw. bertanya
memberitahukan yang lain. Mereka berharap dengan hal itu akan mendapat
4. Mengetahui hukum ayat. Dalam hal ini hukum ayat tersebut tidak akan lepas
19
Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Al-Qur’an, h.80
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Asbab al-nuzul adalah “Peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw.,
karena itu al-Qur’an itu diturunkan; atau pertanyaan mengenai tafsir (ayat)
yang disampaikan kepada Nabi saw. Kemudian, sejumlah ayat datang untuk
menjawabnya.
betul kapan, di mana, kepada siapa, dan dalam konteks apa al-Quran itu
diturunkan.
hukum.
d. Mengetahui hukum ayat. Dalam hal ini hukum ayat tersebut tidak akan
Keberadaan ilmu asbab al-nuzul telah menjadi salah satu bagian vital dari
Al-Qur’anul Karim
2011.
Al-Tirmidzi, Muhammad bin Isa, Sunan- al-Tirmidzi, Beirut: Dar al-Ihya’ at Turats
al-Arabi.
Oleh :
ASMIRAWATI
80100221173
SHI 4
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada zaman Rasulullah SAW, pemeliharaan ayat-ayat al-Qur’an dilakukan melalui hafalan
baik oleh Rasulullah maupun oleh sahabat-sahabat beliau. Namun kemudian Rasul memerintahkan para
sahabat untuk menulisnya dengan tujuan untuk memperkuat hafalan mereka. Ayat-ayat al-Qur’an
tersebut ditulis melalui benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan
licin, pelapah kurma, tulang binatang dan lain-lain. Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan
untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis.
Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh Rasulullah namun
tidak tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini. Namun, ketika Rasul wafat, dan digantikan
oleh khalifah Abu Bakar, terjadi pemurtadan masal dan menyebabkan Khalifah Abu Bakar
melakukan tindakan dengan cara memeranginya. Dalam perang yang disebut perang Yamamah tersebut
sekitar 70 Huffaz (para penghafal Qur’an) mati syahid.
Dari situlah muncul gagasan untuk mengumpulkan Ayat al-Qur’an yang dipelopori oleh Umar
bin Khattab. Meskipun gagasan tersebut tidak langsung disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan
Umar bin Khattab bisa diterima dan dimulailah pengumpulan al-Qur’an hingga selesai. Dengan demikian,
disusunlah kepanitiaan atau Tim penghimpun al-Qur’an yang terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai ketua
dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para Sahabat lainnya sebagai
anggota.
Namun dengan rentan waktu yang panjang, mulai pada tanggal 12 Rabbiul Awwal tahun
11 H/632 M yang ditandai dengan wafatnya Rasulullah, hingga 23-35 H/644-656 M (masa pemerintahan
Khalifah Usman bin Affan) atau sekitar 18 tahun setelah wafatnya nabi barulah dibukukan al-Qur’an
yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Antara rentan waktu yang cukup panjang hingga beragam suku
dan dialek apakah berpengaruh atas penyusunan kitab suci al-Qur’an tentunya masih menjadi tanda
tanya.
Sementara pandangan seperti di atas, umat Islam di Seluruh Dunia meyakini bahwa al-Qur’an
seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah otentik dari Allah swt. Melalui Rasulullah saw.
Namun cukup menarik, semua riwayat mengatakan bahwa pembukuan kitab suci itu tidak dimulai oleh
Rasulullah saw., melainkan oleh para sahabat beliau, dalam hal ini khususnya Abu Bakar,
Umar Bin Khattab dan Usman Bin Affan. Pesan komunikasi yang telah melewati perantara dari
seorang tertahap orang lain, terlebih melewati frekuensi jumlah orang yang banyak akan meragukan
keabshahan pesan alsi tersebut. Selain itu, rentan waktu yang cukup lama juga amat berpengaruh terhadap
nilai dari pesan. Yang menarik adalah seperti apa membuktikan bahwa pesan al-Qur’an adalah sesuatu yang
telah ditetapkan berdasarkan ketetapan Allah.
Rumusan Masalah
Merujuk kepada definisi al-Qur’an yang sebelumnya telah disepakati oleh para ulama’:
“Al-Qur’an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad saw. dan
dinukil kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah ketika membacanya”
Maka, materi al-Qur’an yang merupakan mukjizat itu sampai kepada kita melalui proses
penukilan, bukan periwayatan. Dengan begitu dapat diartikan dengan memindahkan materi yang sama
dari sumber asli ke dalam mushaf. Karena itu, pengumpulan al-Qur’an itu tidak lain merupakan bentuk
penghafalan al-Qur’an di dada dan penulisannya dalam lembaran. Sebab, dua realitas inilah yang
mencerminkan proses penukilan materi al-Qur’an
Maka, materi al-Qur’an yang merupakan mukjizat itu sampai kepada kita melalui proses
penukilan, bukan periwayatan. Dengan begitu dapat diartikan dengan memindahkan materi yang sama
dari sumber asli ke dalam mushaf. Karena itu, pengumpulan al-Qur’an itu tidak lain merupakan bentuk
penghafalan al-Qur’an di dada dan penulisannya dalam lembaran. Sebab, dua realitas inilah yang
mencerminkan proses penukilan materi al-Qur’an. Dua realitas penghafalan al-Qur’an di dada dan
penulisannya dalam lembaran ini secara real telah berlangsung dari kurun ke kurun, sejak Rasul hingga
kini, dan bahkan Hari Kiamat.1
Ditinjau dari segi bahasa, al-Jam’u berasal dari kata جمع- يخمعyang artinya mengumpulkan.
Sedangkan pengertian al-Jam’u secara terminologi, para ulama berbeda pendapat. Menurut Az-
Zarqani, Jam’ul Qur’an mengandung dua pengertian. Pertama mengandung makna menghafal al-
Qur’an dalam hati, dan kedua yaitu menuliskan huruf demi huruf dan ayat demi ayat yang telah
diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Menurut al-Qurtubi dan Ibnu Katsir
maksud dari Jam’ul Qur’an adalah menghimpun al-Qur’an dalam hati atau menghafal al-Qur’an.2
Menurut Ahmad von Denffer, istilah pengumpulan al-Qur’an (jam’ al-qur’ân) dalam literatur klasik itu
1
Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an Praktis, Idea Pustaka Utama, Bogor, 2003, hlm. 82.
2
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hlm. 10.
mempunyai berbagai makna3, antara lain:
Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan Jam’ul Qur’an adalah usaha penghimpunan dan pemeliharaan al-Qur’an yang meliputi
penghafalan, serta penulisan ayat-ayat serta surat-surat dalam al-Qur’an.4
1. Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
2. Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hafalan para
sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat.
Adapun tulisan tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi al-Qur’an tidak ditulis
di tempat tertentu.
Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang digunakan untuk menyalin wahyu-
wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad6, yaitu :
1. Riqa, atau lembaran lontar (daun yang dikeringkan) atau perkamen (kulit binatang).
2. Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara
horizontal lantaran panas.
3. ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis.
4. Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta.
5. Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta.
3
Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an Praktis, hlm. 82.
4
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, hlm. 10.
5
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm. 38-39.
6
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung , hlm. 39
6. Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk
menulis ketika itu
Para sahabat menyodorkan al-Qur’an kepada Rasulullah secara hafalan maupun tulisan.
Tetapi tulisan- tulisan yang terkumpul pada jaman nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf,
dan yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki yang lainnya.
Pasca wafatnya Rasulullah SAW, kekhalifahan bangsa Arab beralih kepada Abu Bakar. Pada masa
kekhalifahannya, Abu Bakar dihadapkan oleh kemurtadan yang terjadi di kalangan bangsa Arab. Abu
Bakar pun segera mengerahkan pasukan untuk menumpas kemurtadan. Perang itupun dikenal dengan
sebutan Perang Yamamah yang terjadi pada tahun 11 H/633 M.
Dalam perang tersebut, sekitar 70 orang Huffaz mati Syahid. Umar bin Khattab merasa khawatir atas
peristiwa ini. Maka Umar mengadukan kekhawatirannya tersebut kepada Abu Bakar.
Zaid bin Tsabit begitu istimewa sehingga tak heran Abu Bakar dan Umar diberikan kelapangan dada untuk
memberikan tugas tersebut pada Zaid bin Tsabit, sebagai pengumpul dan pengawas komisi ini
Zaid bin Tsabit dibantu Umar sebagai sahibul fikrah yakni pembantu khusus.
Beberapa keistimewaan tersebut diantaranya adalah :
1. Berusia muda, saat itu usianya di awal 20-an (secara fisik & psikis kondisi prima)
2. Akhlak yang tak pernah tercemar, ini terlihat dari pengakuan Abu Bakar yang mengatakan bahwa,
“Kami tidak pernah memiliki prasangka negatif terhadap anda”.
3. Kedekatannya dengan Rasulullah SAW, karena semasa hidup Nabi, Zaid tinggal berdekatan dengan beliau.
4. Pengalamannya di masa Rasulullah SAW masih hidup sebagai penulis wahyu dan dalam satu kondisi tertentu
pernah Zaid berada di antara beberapa sahabat yang sempat mendengar bacaan al-Qur’an malaikat jibril
bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan.
5. Kecerdasan yang dimilikinya menunjukkan bahwa tidak hanya karena memiliki vitalitas dan energi namun
kompetensinya dalam kecerdasan spiritual dan intelektual
Seperti diceritakan diatas, pengumpulan al-Qur’an dilaksanakan oleh Zaid atas arahan khalifah. Waktu
pengumpulan Zaid terhadap al-Qur’an sendiri sekitar 1 tahun. Hal ini dikarenakan Zaid bin Tsabit
melakukannya dengan sangat hati-hati. Hal yang pertama kali Zaid lakukan adalah mengumumkan
bahwa siapa saja yang memiliki berapapun ayat al-Qur’an, hendaklah diserahkan kepadanya. Ia tidak
akan menerima satu ayat pun melainkan orang tersebut membawa bukti dan dua orang saksi
yang menyatakan bahwa apa yang ia bawa adalah wahyu Qur’ani. kedua adalah hafalan, yaitu
kesaksian orang-orang bahwa pembawa al-Qur’an itu telah mendengarnya dari Rasulullah SAW.7
Buah hasil kerja Zaid sangat teliti dan hati-hati sehingga memiliki akurasi yang sangat tinggi. Hal ini
dikarenakan :
c. Susunan ayatnya seperti yang dapat kita baca pada ayat-ayat yang tersusun dalam al-Qur’an sekarang
ini.
Senada dengan itu, al-Zarqani menyebutkan bahwa ciri-ciri penulisan al-Qur’an pada masa khalifah Abu
Bakar ini adalah :
a. Seluruh ayat al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat
dan seksama.
b. Tidak termasuk di dalamnya ayat-ayat al-Qur’an yang telah mansukh atau dinasakh bacaannya.
Kekhusususan hasil kerja Zaid sendiri membedakan dengan catatan para sahabat yang
menjadi dokumentasi pribadi. Catatan mereka yang masih mencakup ayat-ayat yang mansukh al-
Tilawah, ayat- ayat yang termasuk kategori riwayat al-Ahad, catatan doa dan tulisan yang
diklasifikasikan sebagai sebagai tafsir dan takwil.
Setelah semua ayat al-Qur’an terkumpul, kumpulan tersebut disimpan dalam kotak kulit yang disebut
“Rab’ah”. Kemudian kumpulan tersebut diserahkan kepada Abu Bakar. Setelah beliau wafat,
kumpulan atau lembaran-lembaran tersebut berpidah tangan kepada Umar. Lalu setelah Umar
wafat, maka lembaran-lembaran tersebut disimpan oleh putrinya sekaligus istri Rasulullah SAW yaitu
Hafsah binti Umar.
Penyebaran Islam bertambah luas, dan para Qurra‘ pun tersebar ke seluruh wilayah hingga ke arah utara
Jazirah Arab sampai Azerbaijan dan Armenia. Setiap wilayah diutuslah seorang Qari. Maka bacaan al-
7
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta,
2001, hlm. 151
Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda. Berasal dari suku kabilah dan provinsi yang
beragama sejak awal pasukan tempur memiliki dialek yang berlainan. Nabi Muhammad SAW sendiri
memang telah mengajarkan membaca al-Qur’an berdasarkan dialek mereka masing-masing lantaran dirasa
sulit untuk meninggalkan dialek mereka secara spontan. Namun kemudian adanya perbedaan dalam
penyebutan atau membaca al-Qur’an yang kemudian menimbulkan kerancuan dan perselisihan
dalam masyarakat.
Ketika itu, orang yang mendengar bacaan al-Qur’an yang berbeda dengan bacaan yang ia
gunakan menyalahkannya. Bahkan mereka saling mengafirkan. Hal ini membuat Huzaifah bin al-Yaman
resah dan mengadukan hal tersebut kepada Utsman. Menanggapi hal tersebut, Utsman mengirim utusan
kepada Hafsah dan meminjam mushaf Abu Bakar. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin “As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Keriga orang terakhir adalah
orang Quraisy. Utsman memerintahkan agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang
Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Qur’an turun dalam logat mereka.
Setelah mereka melakukan hal itu, Utsman mengembalikan mushaf kepada Hafsah. Mereka
menyalinnya ke dalam beberapa mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua Qur’an/mushaf
lainnya dibakar. Mushaf tersebutlah yang dikenal dengan mushaf Utsmani.
Al-Zarqani sendiri mencatat bahwa ciri-ciri mushaf yang disalin pada Khalifah Usman adalah sebagai
berikut :
a. Ayat-ayat al-Qur’an yang tertulis di dalamnya seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawwir
berasal dari Rasulullah.
b. Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat al-Qur’an yang mansukh atau dinasakh bacaannya.
d. Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong pada al-Qur’an seperti apa yang ditulis oleh sebagian
sahabat dalam mushaf masing-masing sebagai penjelasan atau keterangan terhadap ayat-ayat tertentu.
e. Mushaf yang ditulis pada masa khalifah usman tersebut mencakup “tujuh huruf” dimana al-Qur’an
diturunkan dengannya.
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca seperti titik dan syakal karena semata-mata didasarkan pada
watak pembawaan orang-orang Arab murni di mana mereka tidak memerlukan syakal, titik dan tanda baca
lainnya seperti yang kita kenal sekarang ini. Pada masa itu tulisan hanya terdiri atas beberapa simbol
dasar, hanya melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata yang sering menimbulkan kekaburan
lantaran hanya berbentuk garis lurus semata.8
8
Muhammad Riyanto, Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an, ... , 12 Oktober 2010.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jam’ul Qur’an adalah usaha penghimpunan dan pemeliharaan al-Qur’an yang meliputi
penghafalan, serta penulisan ayat-ayat atau surat-surat al-Qur’an. Pengumpulan al-Qur’an dilakukan
dalam tiga periode. Periode Nabi, periode Abu Bakar, dan periode Utsman.
Pada periode Nabi, pengumpulan al-Qur’an dilakukan melalui hafalan dan tulisan. Penulisan al-
Qur’an pada masa Nabi Muhammad dilakukan untuk mencatat dan menulis setiap wahyu
yang diturunkan kepadanya dengan menertibkan ayat-ayat di dalam surah-surah tertentu sesuai
dengan petunjuk Rasulullah SAW. Penulisan al-Qur’an pada masa Nabi juga bertujuan untuk
menguatkan penghafalan Qur’an para sahabat.
Pada periode Abu Bakar pengumpulan al-Qur’an terjadi karena banyaknya Huffaz yang wafat pada
perang Yamamah. Pengumpulan tersebut dilakukan oleh Zaid bin Tsabit atas usulan dari Umar
bin Khatab. Pengumpulan tulisan-tulisan al-Qur’an pada periode kekhalifahan Abu Bakar diurut
berdasarkan urutan turunnya wahyu.
Pada periode Utsman, pengumpulan al-Qur’an dilakukan karena adanya perbedaan bacaan al-
Qur’an di berbagai wilayah dan karena adanya aduan dari Huzaifah bin al-Yaman. Proses pengumpulan
tersebut dilakukan oleh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin “As, dan Abdurrahman bin
Haris bin Hisyam. Mereka menyalinnya ke dalam beberapa Mushaf yang dikenal dengan
nama Mushaf Utsmani. Pengumpulan tulisan-tulisan al-Quran pada periode kekhalifahan Utsman
bin Affan diurut dengan tertib ayat maupun surahnya sebagaimana yang ada sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz. Ulumul Qur’an Praktis. Bogor : Idea Pustaka Utama, 2003.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma‘il. Ebook Shahih Al-Bukhari, karya Abu Ahmad as Sidokare.
Pustaka Pribadi, 2009.
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Yogyakarta : Forum Kajian Budaya dan Agama,
2001.
Oleh
Yusniar
80100221175
SHI 4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran adalah kitab suci umat Islam. Diturunkan kepada Nabi Muhammad
melalui Malaikat Jibril. Kitab terakhir ini merupakan sumber utama ajaran Islam dan
pedoman hidup bagi setiap Muslim. Al-Quran bukan sekedar memuat petunjuk tentang
hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya (Hablum min Allah wa hablum min an-nas), serta manusia dengan alam
dalam bahasa Arab, baik lafal maupun uslub-nya. Suatu bahasa yang kaya kosa kata
dan sarat makna. Kendati al-Quran berbahasa Arab, tidak berarti semua orang Arab
atau orang yang mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami al-Quran secara rinci. Al-
Quran adalah kitab yang agung, memiliki nilai sastra yang tinggi. Meskipun diturunkan
kepada bangsa Arab yang lima belas abad lalu terkenal dengan jiwa yang kasar. Al-
Kitab suci al-Quran sebagai pedoman umat Islam harus dipahami dengan benar.
B. Permasalahan
1
T.M. Hasbi Ash-Shidieqi, Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), Cet. VII, H. 112
4
BAB II
Istilah Ulumul Qur’an, secara etimologis merupakan gabungan dari dua kata
bahasa Arab ulum dan al-Qur’an. Kata ulum bentuk jama’ dari kata ‘ilm yang
merupakan bentuk masdhar dari kata ‘alima, ya’lamu yang berarti mengetahui.2
Dalam kamus al-Muhit kata ‘alima disinonimkan dengan kata ‘arafa
Kata al-Qur’an dari segi bahasa adalah bentuk masdhar dari kata kerja Qara’a,
Kemudian dari makna masdhar ini dijadikan nama untuk kalamullah mukjizat
bagi nabi Muhammad SAW.5 Lebih lanjut terdapat beberapa pandangan ulama tentang
nama al-Qur’an itu sendiri, sebagaimana yang terungkap dalam kitab al- Madkhal li
Dirasah al- Qur’an al-Karim,6 sebagai berikut:
2
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), Cet. VIII, h. 277
3
Mujid al-Din Muhammad bin Ya’qub al-Farizi, al-Qamus al- Muhith, (Mesir: Mustafa al-
Baby al-Halaby, 1952/1371 H), Juz. IV, Cet. II, H. 155
4
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Jakarta: PT. Syamil Cipta Media,
2004), h. 507
5
Muhammad ‘Abdul ‘Azhim Az-Zarqani, Manahil al- Irfan fi Ulum al-Qur’an, ( Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmi’ah, 1996/1416 H), Juz I, h.16
6
Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al- Madkhal li Dirasah al- Qur’an al- Karim,
(Beirut: Dar al- Jil, 1992/1412), h.19-20
5
1. Qur’an adalah kata sifat dari al-Qar’u yang bermakna al-jam’u (kumpulan).
Selanjutnya kata ini digunakan sebagai salah satu nama bagi kitab suci yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, karena al-Qur’an terdiri dari sekumpulan surah dan
ayat, memuat kisah-kisah, perintah dan larangan, dan mengumpulkan inti sari dari
kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Pendapat ini dikemukakan al-Zujaj (w. 311)
2. Kata al-Qur’an adalah ism alam, bukan kata bentukan dan sejak awal digunakan
sebagaimana bagi kitab suci umat Islam. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Syafi’i
(w.204).
Menurut Abu Syuhbah, dari beberapa pendapat di atas, yang paling tepat adalah
Sedangkan al-Qur’an menurut istilah adalah: “ Firman Allah Swt, yang diturunkan
bernilai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, yang tertulis dalam mushaf, dimulai
Kata ulum yang disandarkan kepada kata “al-Qur’an” telah memberikan pengertian
bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan al-
Qur’an, baik dari segi kberadaannya sebagai al-Qur’an maupun dari segi pemahaman
terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Secara istilah, para ulama telah
7
Muhammad bin Muhammad Abu Sya’bah, al- Madkhal li Dirasah al-Qur’an al- Karim, h.
19-20
8
Ibid.,
6
dan sebagainya.9
2. Manna’ al- Qathan memberikan defenisi bahwa Ulumul Qur’an adalah ilmu
segi pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya, pengumpulan Al- Qur’an dan urut-
urutannya, pengetahuan tentang ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, hal –hal lain yang
dihadapkan kepadanya.11
Defenisi nomor satu dan dua di atas pada dasarnya sama. Keduanya menunjukkan
bahwa ulumul Qur’an adalah kumpulan sejumlah pembahasan yang pada mulanya
merupakan ilmu-ilmu yang berdiri sendiri. Ilmu-ilmu ini tidak keluar dari ilmu agama
9
Muhammad Abdul ‘Azim, Manahil al- ‘Irfan fi ulum al- Qur’an, ( Beirut: Dar al-Fikr, 1988),
h. 27
10
Manna’ Al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qu’an. ( Beirut: Al- Syarikah al-Muttahidah li al-
tauzi’, 1973), h. 15
11
T.M. Hasbi As-Shiddiqie, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.10-11
7
yang ditampilkan, namun defenisi pertama lebih luas cakupannya dari yang ke
merupakan bentuk jama’ yang tidak berhingga dan menyebut secara eksplisit
demikian.
3. Pada perbedaan aspek pembahasan yang ditampilkan tidak semuanya sama di
Dengan melihat persamaan dan perbedaan antara kedua defenisi di atas dapat diketahui
bahwa defenisi pertama lebih lengkap dibanding dengan defenisi ke dua. Dengan
demikian defenisi kedua lebih akomodatif terhadap ilmu-ilmu Al- Qur’an yang selalu
Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai al-Qur’an maupun aspek pemahaman
12
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, ( Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), Cet. Ke IV, h. 9
8
lingkup Ulum Al-Qur’an, yaitu semua ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an
berupa ilmu agama dan ilmu ‘Ibrab Al-Qur’an. Bahkan As-Suyuthi sebagaimana
1. Persoalan Nuzul, ayat-ayat Makiyah atau Madaniyah, sebab turun ayat, yang mula-
mula turun dan yang terakhir turun, yang berulang-ulang turun, yang turun terpisah
muthawatir, yang ahad, yang Syaz, bentuk-bentuk Qirat, para periwayat dan
3. Persoalan adad Qiraat, masalah waqaf (berhenti), ibtida’ (cara memulai), imalah(
5. Persoalan makna al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum yaitu ayat yang
bermakna umum yang dikhususkan oleh sunnah, yang nash, yang zhahir, yang
mujmal (global), yang munfashal (yang terinci), yang manthuq (makna yang
13
Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 11
9
6. Persoalan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan lafal fashl (pisah), washal
(pendek).14
tidak lahir sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu cabang disiplin ilmu
Dalam hal ini tentu banyak Pribadi dan kondisi yang membuatnya sebagai
cabang ilmu yang penting untuk memahami kitab suci Al Qur’an. Berikut ini kita lihat
Di masa Rasulullah dan para sahabat, Ulumul Qur’an belum dikenal sebagai
suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang Arab asli yang
dapat merasakan struktur bahasa Ara yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan
kepada Rasul SAW. Bila mereka menemukan ksulitan dalam memahami ayat-ayat
tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW. Sebagai contoh,
14
Ramli Abdul Wahid, op.cit., h. 8
10
kezaliman…..”(Q.S Al-An’am: 82).15 Para sahabat bertannya: “siapa dari kami yang
tidak menganiaya (menzalimi) dirinya?”. Nabi menafsirkan kata zulm di sini dengan
Luqman: 13)16
Ada tiga faktor yang menyebabkan Ulumul Qur’an tidak dibukukan di masa
Rasul dan Sahabat.
Semuanya ini merupakan faktor yang menyebabkan tidak tertulisnya ilmu ini
Di zaman khalifah usman Bin Affan wilayah Islam bertambah luas sehingga
terjadi pembauran antara penakluk Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui
bahasa Arab. Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan sahabat akan
tidak memiliki sebuah Al-Qur’an yang menjadi standar bagi bacaan mereka. Sehingga
disalinlah dari tulisan aslinya sebuah al-Qur’an yang disebut Mushaf Imam. Dengan
15
Departemen Agama, op.cit, h. 138
16
Ibid., h. 412
17
Shubhi Al-Shalih, Mabaahits fi Ulumul Qur’an,( Beirut: Dar al-‘ilm al-Malayin, 1977), h.
120
11
terlaksananya penyalinan ini, maka berarti Usman telah meletakkan suatu dasar
Ulumul Qur’an yang disebut Rasm Al-Qur’an atau Ilmu al-Rasm al- Utsmani.18
Di masa Ali terjadi perkembangan baru dalam ilmu Qur’an. Karena melihat
banyaknya umat Islam yang berasal dari bangsa non Arab, kemerosotan dalam bahasa
Arab, dan kesalahan pembacaan Al-Qur’an. Ali menyuruh Abu al-Aswad al-Duali
untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini dilakukan untuk memelihara
bahasa Arab dari pencemaran dan menjaga Al-Qur’an dari keteledoran pembacanya.
Tindakan khalifah Ali ini dianggap perintis bagi lahirnya ilmu nahwu dan I’rab al-
Qur’an.19
Pada zaman Bani Umayyah, kegiatan para sahabat dan tabi’in terkenal dengan
jalan periwayatan dan pengajaran secara lisan, bukan melalui tulisan atau catatn.
Orang yang paling berjasa dalam usaha periwayatan ini adalah khalifah yang empat,
Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah Ibn al-Zubair
dari kalangan sahabat. Sedangkan dari kalangan tabi’in ialah Mujahid, Atha’, Ikrimah,
Qatadah, Al-Hasan al-Bashri, Sa’id Ibn Jubair, dan Zaid Ibn Aslam di Madinah.
Kemudian Malik bin Anas dari generasi tabi’tabi’in. mereka semuanya dianggap
sebagai peletak batu pertama bagi apa yang disebut ilmu tafsir, ilmu asban al-nuzul,
ilmu nasikh dan mansukh, ilmu gharib al- Qur’an dan lainnya.
memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai
18
Muhammad Abdul ‘Azim Al-Zarqani, op.cit., h. 30
19
Kahar Mansyur, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 32
12
tafsir adalah Syu’bah Ibn al-Hajjaj, Sufyan Ibn ‘Uyaynah, dan Wali’ Ibn al-Jarrah.
Pada abad ke-3 terkenal seorang tokoh tafsir, yaitu Ibn Jarir al-Thabari. Dia
lainnya. Ia juga mengemukakan I’rab dan istinbath (penggalian hukum dari al-Qur’an).
Di abad ini juga lahir ilmu asbab al-Nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu tentang
2. Kitab nasikh dan mansukh, Qiraat dan keutamaan Al-Qur’an disusun oleh Abu
3. Kitab tentang ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah karya Muhammad Ibn Ayyub al
Dharis20
Di abad ke-4 lahir ilmu gharib al-Qur’an dan beberapa kitab Ulumul Qur’an.
1. Abu Bakar Muhammad Ibn al-Qasim al-Anbari, kitabnya ‘Ajaib Ulumul Qur’an.
Isi kitab ini tentang keutamaan Al-Qur’an, turunnya atas tujuh huruf, penulisan
mushaf-mushaf, jumlah surah, ayat dan kata –kata Al-Qur’an.
20
Shubhi al- Shalih, op.cit., h. 121-122
21
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqi, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973. H.14
13
Di abad ke-5 muncul pula tokoh dalam ilmu qiraat. Adapun para tokoh serta
karyanya adalah;
1. Ali Ibn Ibrahim Ibn Sa’id al- Hufi, kitabnya Al- Burhan fi Ulumul Qur’an dan I’rab
Al-Qur’an
2. Abu Amr al- Dani, kitabnya Al-Taisir fi al-Qiraat al-Sab’I dan Al- Muhkam fi al-
Nuqath
Pada abad ke-6 lahir pula ilmu Mubhamat al-Qur’an. Abu Qasim Abdur
Al-Qur’an yang maksudnya apa dan siapa tidak jelas. Ibn al-Jauzi menulis kitab Funun
al- Afnan Fi ‘Aja’ib al-Qur’an dan kitab Al- Mujtaba fi Ulum Tata’allaq bi al-
Qur’an.23
Pada abad ke-7 Ibn Abd al-Salam yang terkenal dengan sebutan Al’Izz
Qiraat. Ia menulis kitab Hidayah al- Murtab fi al- Mutasyabih. Abu Syamah Abd al-
Rahman Ibn Ismail al- Maqdisi, menlis kitab Al- Mursyid al- Wajiz fi ma Yata’allaq bi
al- Qur’an al- ‘Aziz.
Pada abad ke-8 H muncul beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru
22
Ibid.
23
Nawawi, Rifat Syauqi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, ( Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 221
14
3. Najamuddin al-Thufi, menulis tentang Hujaj al-Qur’an. Isi kitab ini tentang bukti-
1. Jalaluddin al- Bulqini, kitabnya Mawaqi’ al- Ulum min Mawaqi’ al- Nujum.
dalamnya diterangkan makna tafsir, takwil, al-Qur’an, surat dan ayat. Juga
Qur’an.
3. Jalaluddin al-Suyuthi, kitabnya Al-Tahbir fi Ulum al-Tafsir (873 H). Kitab ini
memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Menurut sebagian Ulama. Kitab ini
dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an yang paling lengkap. Al-Suyuthi merasa
belum puas, beliau menyusun lagi sebuah kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Di
dalam kitab ini terdapat 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan
sistematis. Menurut al- Zarqani kitab ini merupakan kitab pegangan bagi para
peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Setelah wafatnya Al-Suyuthi tidak terlihat
24
Ibid., h. 222
15
terjadi kevakuman sejak wafatnya Imam Al-Suyuthi sampai dengan akhir abad ke
13 H.25
Sejak penghujung abad ke-13 H hingga abad ke -15, perhatian ulama terhadap
Muta’alliqah bi Al-Qur’an.
Qur’an.
pendapat, yaitu:
25
Ramli Abdul Wahid, op.cit., h.20
26
Ibid., h.21
16
bahwa lahirnya istilah ‘Ulum Al-Qur’an pertama kali ialah pada abad ke-7.27
2. Ibn Sa’id yang terkenal dengan sebutan Al-Hufi, dengan demikian menurutnya,
seperti ini berlandasan pada penemuannya tentang beberapa kitab yang berbicara
tentang kajian Al-Qur’an yang telah mempergunakan istilah ‘Ulum Al-Qur’an.
Yang paling awal menurutnya ialah kitab Ibn Al-Mirzaban yang berjudul Al-Hawi
Fi ‘Ulum Al-Qur’an yang ditulis pada abad ke-3 H. Hal ini juga disepakti oleh
Hasbi As-shiddieqi.29
1. Agar dapat memahami kalam Allah ‘Aza Wajalla sejalan dengan keterangan yang
dikutip oleh para sahabat dan para tabi’in tentang interprestasi mereka terhadap Al-
Qur’an
2. Agar mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir)
27
Muhammad Abd Al-‘Azhim Az-Zarqani, op.cit., h. 34
28
Ibid., h. 34-35
29
T.M. Hasbi As-Shiddiqie, op.cit., h. 16
17
Hubungan ‘Ulumul Qur’an dengan tafsir juga dapat dilihat dari beberapa hal
yaitu:
1. Ulumul Qur’an akan menentukan bagi seseorang yang membuat syarah atau
Apabila dilihat dari segi ilmu, ‘Ulumul Qur’an sebagai standar atau ukuran
tafsir Al-Qur’an artinya semakin tinggi dan mendalam ‘Ulumul Qur’an dikuasai oleh
seseorang mufassir maka tafsir yang diberikan akan semakin mendekati kebenaran,
maka dengan ‘Ulumul Qur’an akan dapat dibedakan tafsir yang shahih dan tafsir yang
tidak shahih.
1. Akidahnya bersih
30
Muhammad ‘Ali Al-Shabuni, loc. cit, h.18
18
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ‘Ulumul Qur’an sangat penting
dipelajari dalam rangka sebagai pijakan dasar dalam menafsirkan Al-Qur’an oleh para
mufassir. Dapat dikatakan semakin dikuasainya ‘Ulumul Qur’an oleh mufassir maka
31
Ibid., h. 218-219
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ‘Ulumul Qur’an adalah ilmu yang
membahas segala hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang
secara luas dan mendalam. Perlu kita pelajari agar tidak terjadi kesalahan dalam
memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi acuan dan pedoman
waktu yang panjang. Walaupun pada masa nabi hidup di siplin ilmu ini belum
dibukukan, sebab sahabat merasa cukup meminta penjelasan dari rasul akan sesuatu
yang tidak dipahami. Namun hal ini berkembang, dimana wilayah Islam telah luas
dan banyak orang ‘Ajam (non Arab) yang masuk Islam, tentunya mereka
dari Usman untuk menyalin Al-Qur’an kembali dari Salinan Al-Qur’an yang
pernah ditulis di masa Nabi hidup dan diperbanyak. Tindakan ini disusul dengan
berbagai kegiatan para sahabat dan para tabi’in untuk menggali berbagai ilmu
dalam Al-Qur’an, sehingga lahirlah berbagai kitab. Akhirnya pada abad ke-2 H
‘Ulumul Qur’an mulai dibukukan. Dengan kitab-kitab yang sudah ditulis tersebut
3. Imam As-Suyuthi adalah salah satu Ulama ‘Ulumul Qur’an yang berpengaruh,
karena kitabnya menjadi pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini.
20
DAFTAR PUSTAKA
Abu Sya’bah, Muhammad bin Muhammad, al- Madkhal li Dirasah al-Qur’an al-
Karim (tt, tp)
Abu Syahbah, Muhammad bin Muhammad, al- Madkhal li Dirasah al- Qur’an al-
Karim, (Beirut: Dar al- Jil, 1992/1412).
Al-Farizi, Mujid al-Din Muhammad bin Ya’qub, al-Qamus al- Muhith, (Mesir:
Mustafa al-Baby al-Halaby, 1952/1371 H), Juz. IV, Cet. II.
Nawawi, Rifat Syauqi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, ( Jakarta: Bulan
Bintang, 1988)
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, ( Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), Cet. Ke IV.
___________, T.M. Hasbi, Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1980), Cet. VII.
Al-Zarqani, Muhammad ‘Abdul ‘Azhim, Manahil al- Irfan fi Ulum al-Qur’an, ( Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmi’ah, 1996/1416 H), Juz I.
21
_________, Muhammad Abdul ‘Azim, Manahil al- ‘Irfan fi ulum al- Qur’an, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1988)
Makalah
AQSAM AL-QUR’AN
Ulumul Qur’an
80100221178
PENDAHULUAN
jiwanya dan tidak dikotori hawa nafsunya, mereka siap menerima kebenaran
Sebaliknya, bagi orang yang jiwanya dikotori hawa nafsu, kebatilan dan
tipuan setan, mereka tidak akan mau menerima kebenaran agama. Mereka
yang menenangkan jiwa, baik diberi penguat (taukihd) ataupun sumpah (qasam)
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Pembahasan
Secara bahasa aqsam adalah bentuk jamak dari qasam yang berarti al-
hilf dan al-yamin, yang berarti sumpah. Bentuk asli dari qasam adalah dengan
kepada muqsam bih (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah) dengan huruf ba,
setelah itu baru disebutkan muqsam „alaih (sesuatu yang karena sumpah
pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersakasi kepada Tuhan atau
sesuatu yang dianggap suci bahwa apa yang dikatakan atau dijanjikan itu
benar.[2]
kalimat qasam memiliki dua keistimewaan, yaitu pertama sebagai syahadah atau
persaksian serta penjelasan dan kedua sebagai qasam atau sumpah itu sendiri.[3]
makna yang dipandang besar atau agung, baik secara hakiki maupun i‟tiqadi oleh
yang bersumpah itu. Bersumpah juga dinamakan dengan al yamin (tangan kanan),
sahabatnya. [4]
Jika demikian, maka pengertian aqsamul Qur‟an adalah salah satu dari
ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang mengkaji tentang arti, maksud, hikmah, dan
B. Huruf-huruf Qasam
yaitu:
bih nya, atau qasam yang tidak disebutkan fi‟il qasamnya, tapi diganti
﴾٢﴿﴾ َو ََل أ ُ ْق ِس ُن بِالٌَّ ْف ِس اللَّ َّىا َه ِة١﴿ََل أ ُ ْق ِس ُن بِيَ ْى ِم ْال ِقيَا َه ِة
“Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat
pula muqsam bih, tapi ia ditunjukkan oleh lam taukid yang masuk pada jawab
qasam. Seperti yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 186
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu”. (QS. Ali
D. Unsur-unsur Qasam
berikut.[7]
1. Muqsim
2. Adat Qasam
Adat qasam adalah alat atau perangkat yang digunakan untuk bersumpah,
baik menggunakan fi‟il qasam maupun huruf seperti wawu, ba‟, ta‟. Perangkat
qasam baik yang berbentuk uqsimu ataupun ahlifu harus disertai dengan
3. Muqsam Bih
Muqsam bih yaitu sesuatu yang dijadikan sumpah sebagai penguat
pembicaraan. Sumpah dalam al-Qur’an ada kalanya dengan memakai nama yang
Muqsam „alaih yaitu isi atau bentuk berita yang dilakukan dalam
yang kita sebut. Al-Qur’an diturunkan untuk segenap manusia yang menanggapi
menolak, ada yang sangat menantang, maka dikuatkan dengan sumpah, adalah
qatthan, qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk
2. Salah satu cara untuk menguatkan pembicaraan agar lawan bicara dapat percaya
dan menerima.
„alaih.
4. Allah menggunakan beberapa benda sebagai sumpah-Nya, dimaksudkan agar
Kesimpulan
yakni, bahwasannya aqsamul Qur‟an adalah salah satu dari ilmu-ilmu tentang al-
Qur’an yang mengkaji tentang arti, maksud, hikmah, dan rahasia sumpah-sumpah
Allah yang terdapat dalam al-Qur’an untuk mempertegas dan memperkuat berita
2. Huruf-huruf yang digunakan untuk bersumpah yakni ada tiga macam, wawu,
ba‟, ta‟.
3. Unsur yang digunakan dalam qasam yaitu Muqsim (yang bersumpah), adat
menentang pendapat yang telah kita ucapkan. Maka pendapat tersebut dapat
[1] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Litera
[2] Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi 1.1 offline, 2010
[3] Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i, Al-Itqaan fi Ulumil Qur‟an, (Beirut: Dar al-
[6] Maksudnya: bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal kenapa ia tidak berbuat
hal. 184.
Makalah
Oleh:
MARYAM
80100221182
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
http://arwinabintisupriono.blogspot.com/2017/12/rasmal-quran-makalah-disusununtuk.html
(Diakses 16 juni 2022)
1
BAB II
PEMBAHASAN
melukis. Yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah melukis kalimat dengan
merangkai huruf-huruf hijaiyah. Dengan kata lain, Ilmu Rasm al-Qur’an adalah ilmu
yang mempelajari tentang penulisan mushaf al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
digunakannya. Dalam hal ini yang dikehendaki dengan rasm mushaf merupakan
tulisan kalimat-kalimat al-Qur’an dan huruf-hurufnya yang sudah direstui oleh Utsman
bin ’Affan.2
Dapat dikatakan bahwa rasm al-Qur’an berarti tata cara menuliskan al-Qur’an
yang dtetapkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Ulama Tafsir lebih cenderung
menamainya dengan istilah rasm al-mushaf, dan ada pula yang menyebutnya dengan
rasm Al-Utsmani. Penyebutan demikian dipandang wajar karena Khalifah Utsman bin
Affan yang merestui dan mewujudkannya dalam bentuk kenyataan. Rasm al-mushaf
adalah ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan dengan sahabat
lainnya dalam hal penulisan al-Qur’an berkaitan dengan mushaf-mushaf yang di kirim ke
Pada mulanya, mushaf para sahabat berbeda sama sekali antara satu dan lainnya.
Mereka mencatat wahyu al-Qur’an tanpa pola penulisan standar karena umumnya
dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak ada rencana untuk diwariskan kepada
generasi sesudahnya. Di antara mereka, ada yang menyelipkan catatan tambahan dari
2
Badrudin, “RASM ALQUR’AN DAN BENTUK-BENTUK PENULISANNYA”, Jurnal al-Fath, Vol.10No.
02(Juli-Juni) 2016, h. 107
2
penjelasan Nabi SAW. ada juga yang menambahkan simbol tertentu dari tulisannya yang
hanya diketahui penulisnya. Mushaf yang ditulis pada masa khalifah Utsman bin Affan
tidak memiliki harakat dan tanda titik, sehingga orang non-arab yang baru masuk Islam
merasa kesulitan dan sering terjadi kesalahan dalam membaca.. Oleh karena itu
baca dan baris, belum ada tanda-tanda berupa titik sehingga sulit membedakan antara
huruf ya dan ba dan kha, dan seterusnya. Para sahabat belum menemukan kesulitan
membacanya karena rata-rata masih mengandalkan hapalan. Mushaf Utsmani tidak seperti
non-Arab, seperti Persia disebelah Timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa wilayah
non-Arab lainnya disebelah Barat. Masalah ini mulai disadari oleh pimpinan dunia Islam.
Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat menjadi Gubernur Bashrah, Irak, pada masa
kekuasaan Mu’awwiyah ibn Abi Sufyan (661-680), Riwayat lain menyebutkan pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib, ia memerintahkan untuk segera membuat tanda baca,
terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an bagi generasi yang
tidak hapal al-Qur’an. Beliau berinisiatif membubuhkan tanda baca (harakat) pada ayat-
ayat al-Qur’an untuk memudahkan pembacaan. Khalifah Ali memercayakan urusan itu
Ad-Duwali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan kasus salah baca yang
sangat fatal. Sehingga atas perintah gubernur itu, Ad-Duwali memberi tanda baca baris
atas (Fathah) berupa sebuah titik di atas huruf, sebuah titik dibawah huruf sebagai tanda
baris bawah (Kasrah), tanda Dhammah berupa wau kecil diantara dua huruf, dan tanpa
Sedangkan orang yang pertama kali membuat tanda titik untuk membedakan
huruf-huruf dengan bentuk sama (nuqathu harf, semisal pada huruf “ba’, ta’ dan tsa’ “)
3
murid beliau yakni Nashr ibn Ashim (w. 89H) atas usulan Hajaj ibn Yusuf al-Tsaqafi,
salah seorang gubernur di era dinasti Umayyah (40-95 H). Sedangkan tanda syakal
diperkenalkan oleh Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (w. 170 H). Ada juga informasi
bahwa yang pertama kali mendapatkan ide tanda baca terhadap al-Qur’an adalah Ziyad bin
Abihi salah seorang gubernur yang diangkat oleh Muawiyah bin Abi Sufyan untuk
periode berikutnya. Informasi lain menyebukan Khalifah Abdul Malik ibn Marwan (685-
705 M.) memerintahkan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi untuk menciptakan tanda-tanda
huruf al-Qur’an (nuqth al-qur’an). Ia mendelegasi tugas itu kepada Nashid ibn Ashim dan
Yahya ibn Ma’mur, dua orang murid Al-Duwali. Kedua orang inilah yang membubuhi
titik di sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan yang
lainnya. Misalnya, penambahan titik di atas huruf dal yang kemudian menjadi huruf dzal.
Penambahan titik yang bervariasi pada sejumlah huruf dasar ba yang kemudian menjadi
huruf ba, nun, ta dan ha yang kemudian berubah menjadi kha, ha, dan jim. Huruf ra
dibedakan dengan huruf za, huruf sin dibedakan dengan Syin, huruf shad dibedakan
menjadi dengan dhad, huruf tha dibedakan dengan zha, huruf ‘ain dibedakan dengan
ghim, huruf fa dibedakan dengan qaf. Dari pola penulisan tersebut berkembanglah
berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti pola Kufi, Maghribi, dan Naqsh.3
Rasm utsmani memiliki kaidah tertentu yang diringkas oleh para ulama
menjadi enam macam sebagai bentuk yang membedakannya dengan rasm biasa.
Keenam kaidah berikut ini merupakan bagian bentuk-bentuk ciri khas Rasm utsmani:
a. Menghilangkan alif pada ya’ nida, seperti يآأيها,Ha tanbih seperti هانتم, kata تا
3
Ajahari, “Ulumul Qur’an : (Ilmu-Ilmu Al Qur’an)” ( Cet. 1; Sleman Yogyakarta: Aswaja presindo, 2018),
h. 33-35
4
bila beriringan dengan dhamir seperti أتجياكم, lafadz jalalah ()هللا, kata الا, Kata
الاحمنdan ساحن, setelah huruf lam pada kata خلئا, antara dua lam pada kata
الملالل, bentuk mutsanna (menunjukkan dua) seperti رجان, bentuk jamak baik
menyerupainya, seperti النسا جdan الكصا ر, setiap kata yang menunjukkan
b. Menghilangkan huruf ya’ pada setiap isim manqush yang ber-tanwin, seperti
seperti اللياdan الاي, kecuali huruf tertentu. Di luar penghilangan empat huruf
di atas, ada penghilangan huruf yang tidak termasuk kaidah ini. penghilangan
huruf ya’ pada kata إااحاهيpenghilangan huruf wawu pada empat fi’il (kata
2. Al-Ziyadah (penambahan)
a. Menambahkan huruf alif setelah wawu pada akhir setiap isim jama’ atau
b. Menambah alif setelah hamzah masumah (hamzah yang terletak di atas tulisan
3. Al-Hamzah
Salah satu kaidah berbunyi bahwa hamzah berharakat ditulis dengan huruf
5
berharkat yang sebelumnya, contoh i’dzan ائايdan u’tumin اؤتناkecuali huruf
tertentu. Adapun hamzah yang berharakat, jika berada di awal kata dan
bersambung dengan huruf tambahan, harus ditulis dengan alif, seperti ا لانا اثيا
kecuali beberapa huruf tertentu. Adapun apabila hamzah terletak di tengah ditulis
semua dengan huruf hamzahnya. Kalau berharkat fathah dengan alif, kalau
kasrah dengan ya’, dan kalau dhammah dengan huruf wawu, misalnya: سان سائ
dan تقاحؤ. akan tetapi, apabila huruf yang sebelum hamzah berharkat sukun,
4. Badal (penggantian)
a. Huruf alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata النيان الزكان
الصلن.
b. Huruf alif ditulis dengan ya’ pada kata-kata ممى الى ممى أتى إلىdan ل.
c. Huruf alif diganti dengan nun taukid khafifah pada kata إذ.
d. Huruf ha ta’nits ditulis dengan ta’ maftuhah pada kata توناyang terdapat
dalam surat al-Baqarah (2), surat Ali ‘Imran (3), surat al-Maidah (5), surat
Ibrahim (14), surat an-Nahl (16), surat Luqman (31), surat Fathir (35),
dan surat ath-Thur (52). Demikian juga ungkapan موصاي هللاdan لوكا هللاyang
a. Bila ‘an أdisusul dengan ع, penulisannya bersambung dengan terlebih dahulu
ع توح ا إعهللا.
nun pada min-nya tidak ditulis, seperti من, kecuali pada ungkapan م م ملما
أينا تم yang terdapat dalam surat an-Nisa’(4) dan surat ar-Rum (30) dan
6
menghilangkan huruf nun, sehingga menjadi من.
يصحف ع م يشآء
6. Kata yang dapat dibaca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi
misalnya maliki yaumiddin ( ) ملا يانا الا يAyat ini boleh dibaca dengan
menetapkan alif (yakni di baca panjang satu alif/dua harakat), boleh juga
Para ulama berbeda pendapat mengenai status Rasm al-Qur’an tata cara penulisan
al-Qur’an:
1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasm Utsmani itu bersifat tauqifi
yakni bukan merupakan produk budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja
الق الدواة وحرف العلم وانصب الياء وفرة السين والتعور الميم وحسن هللاا ومدد الدرحمن وددود الدرحيم و د
4
Badrudin, “RASM ALQUR’AN DAN BENTUK-BENTUK PENULISANNYA”, h.125-127
7
Terjemahnya: “Letakkanlah tinta. Pegang pena baik-baik, luruskan huruf ba.
Bedakan huruf sin. Jangan bulatkan huruf mim. Perbaguslah (tulisan) Allah.
letakkan penamu di atas telinga kirimu, karena itu akan membuatmu lebih
ingat.”
“Sahabat, juga yang lainnya, sama sekali tidak campur tangan dalam urusan
Rasm Mushaf, sehelai rambut sekalipun. Itu adalah ketetapan Nabi. Beliaulah
dapat dijangkau akal. Hal itu merupakan salah satu rahasia yang khusus
diberikan Allah untuk kitab suci-Nya yang tidak diberikan untuk kitab samawi
2. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Rasm utsmani bukan tauqifi. Tetap
diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati oleh siapa pun ketika
5
Oom Mukarramah, “ULUMUL QURAN” (Cet. 1; Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 44-45
8
أ غيح ذل هللا عثن فى ا أ ي ء أ أل تنحا مخ لفة خط مصن
telah sepakat untuk menggunakan cara tertentu untuk menulis al-Qur’an yang
berkata, “Adapun mengenai tulisan, sedikit pun Allah tidak mewajibkan kepada
umat. Allah tidak mewajibkan suatu bentuk tertentu kepada juru tulis al-Qur’an
karena itu, terjadi perbedaan khat mushaf-mushaf (yang ada). Di antara mereka,
ada yang menulis kalimat berdasarkan makhraj lafal dan nada pula yang
utsmani hanyalah merupakan istilah semata. Jelasnya siapa saja yang mengatakan
Berkaitan dengan ketiga pendapat di atas, al-Qaththan memilih pendapat kedua karena
lebih mungkin untuk memelihara al-Qur’an dari perubahan dan penggantian hurufnya.
Menurut al-Qaththan, seandainya setiap masa diperbolehkan menulis al-Qur’an sesuai dengan
trend tulisan pada masanya, hal itu memungkinkan terbuka lebarnya makna perubahan tulisan
al-Qur’an pada setiap masa. Padahal, setiap kurun dan waktu memiliki trend tulisan yang
berbeda-beda. Jika yang pertama berkaitan dengan bentuk huruf, yang kedua berkaitan dengan
6
Oom Mukarramah, “ULUMUL QURAN”, h. 46
9
cara penulisan huruf. Untuk memperkuat pendapatnya, al-Qaththan mengutip ucapan al-
Baihaqi di dalam kitab Syu’b al-Iman. “Siapa saja yang hendak menulis mushaf. Hendaknya
dengannya. Tidak boleh pula mengubah sedikit pun apa-apa yang telah mereka tulis karena
mereka lebih banyak pengetahuannya ucapan dan kebenarannya lebih dipercaya, serta lebih
dapat memegang amanat dari pada kita. Janganlah ada di antara kita yang merasa dapat
menyamai mereka”7
7
Oom Mukarramah, “ULUMUL QURAN”, h. 47
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Rasm al-Qur’an adalah penulisan mushaf al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang
digunakannya.
2. Proses perkembangan penulisan Al-Quran dari zaman Rasullullah SAW, sampai
Khalifah Usman Bin Affan keotentikan Al-Quran masih tetap terpelihara dan terjaga
sebab, salah satu sekertaris penulis Al-Qur’an di Zaman Rasullah, Zaid Bin Tsabit tidak
pernah lepas dari perannya sebagai penulis baik di zama Abu Bakar maupun di zaman
Usman bin Affan. Ini membuktikan bahwa Allah selalu dan senatiasa memelihara Al-
Qur’an.
3. Rasm Al-qur’an mempunyai beberapa kaidah-kaidah antara lain :
a. Kaidah buang (Al-Hadzf)
b. Kaidah panambahan (Al-Ziyadah)
c. Kaidah hamzah (Al-Hamzah)
d. Kaidah penggantian (Al-Badal)
e. Kaidah sambung dan pisah (Washl Wa A-Fashl).
f. Kata yang dapat dibaca dua bunyi Metode kajian hukum Sosiologis/empiris yaitu:
4. Pendapat para ulama mengenai rasm utsmani adalah kedudukan rasm utsmani yang
menjadi perselisihan para ulama. Apakah pola penulisan merupakan petunjuk Nabi
SAW atau hanya ijtihad kalangan Sahabat.
11
Daftar Pustaka
Ajahari, “Ulumul Qur’an : (Ilmu-Ilmu Al Qur’an)”. Sleman Yogyakarta: Aswaja
presindo, 2018.
Badrudin, “RASM ALQUR’AN DAN BENTUK-BENTUK PENULISANNYA”,
Jurnal al-Fath, Vol.10No. 02(Juli-Juni) 2016.
Oom Mukarramah, “ULUMUL QURAN”. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
http://arwinabintisupriono.blogspot.com/2017/12/rasmal-quran-makalah-
disusununtuk.html (Diakses 16 juni 2022)
12
TUGAS FINAL MATA KULIAH ULUMUL QURAN
“MUNASABAH AYAT”
Makalah
Oleh :
HENDRI ABDULLAH
800100221183
Al-Qur‟an adalah kitab pedoman umat Islam yang berisi tentang petunjuk dan
tuntunan untuk mengatur kehidupan umat manusia menuju kemaslahatan di dunia
maupun di akhirat. Ia merupakan kitab yang unik yang tidak pernah mengalami revisi
apapun sebagaimana yang terjadi dengan kitab-kitab dan buku-buku karya manusia
yang mengalami revisi. Hal tersebut disebabkan susunan kata (ayat) dan kandungan
maknanya berasal dari wahyu. Allah SWT yang menjamin dan memelihara keaslian
susunan kata dalam al-Qur‟an sampai hari kiamat.
Tidak heran, jika al-Qur‟an menjadi pusat perhatian dan penelitian oleh semua
orang yang berkeinginan menemukan cahaya petunjuk dan tuntunan dalam rangka
mengenal lebih dekat lagi kandungan makna dan ajaran-ajaran al-Qur‟an. Untuk
menemukan cahaya petunjuk dari al-Qur‟an diperlukan orang-orang yang ahli
dibidangnya yaitu para mufassir al-Qur‟an. Apalagi al-Qur‟an adalah kitab yang
simbol-simbol dalalah (penunjukan) nya senantiasa menantang dan selalu siap untuk
diinterpretasi oleh orang-orang yang mrmiliki otoritas keilmuan yang tinggi.
Tulisan ini akan membahas yang telah disebut terakhir di atas yaitu tentang
ilmu tanasub ayat al-Qur‟an, yang biasa disebut ilmu munasabah al-Qur‟an. Ilmu
munasabah al-Qur‟an adalah ilmu yang membahas tentang keterkaitan atau korelasi
antara ayat/surat dengan ayat /surat sebelum atau sesudahnya. Disiplin ilmu ini bersifat
analisa – korelatif termasuk dalam kategori ilmu dirayah, karena dasar dan pola
pengkajiannya berupaeksplorasi nalar yang bersifat ijtihadi.
Namun, dalam literatur sejarah Ulum al-Qur‟an, tertulis bahwa ulama yang
pertama sekali memperkenalkan ilmu munasabah al-Qur‟an adalah Abu Bakar al-
Naisaburi pada awal abad keempat hijriyah. Dalam tulisan ini, penulis ingin
memaparkan pentingnya ilmu munasabah dalam kajian atau menafsirkan al-Qur‟an
terlepas dari pro dan kontra terhadap keberadaan disiplin ilmu ini. Penting, karena
dapat menyingkap rahasia dan hikmah disebalik kemukjizatan al-Qur‟an yang luar
biasa serta bisa memahami pesan-pesan al-Qur‟an secara holistik (utuh) dan tidak
sepotong-sepotong. Sebab kandungan al-Qur‟an merupakan satu kesatuan yang tidak
bisa dipisah-pisahkan antara satu ayat/surat dengan ayat/surat yang lain.
B. Pengertian Munasabah
“Munasabah adalah persoalan rasionalisasi akal, jika ia masuk akal, maka bisa
diterima”
3. Keterkaitan antara fawatih al-suwar ayat pertama yang terdiri dari beberapa huruf
4. Keterkaitan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat
5. Keterkaitan antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu surat
Dari perincian di atas dapatlah disimpulkan bahwa ilmu munasabah merupakan sebuah
upaya menggali dan mengetahui keterkaitan antara satu ayat atau surat dengan ayat
atau surat lainnya. Apabila dilihat secara sepintas ayat-ayat dalam al-Qur‟an, memang
tidak ditemukan keterkaitannya, baik terhadap ayat sebelumnya atau pun sesudahnya.
Seolah-olah antara ayat-ayat tersebut terpisah satu sama lainnya. Tetapi jika diamati
secara teliti, ternyata memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Namun perlu
diingat bahwa ketika tidak ditemukan keterkaitan antara satu ayat dengan ayat lainnya,
maka tidak diperkenankan memaksakan diri untuk mencari kemunasabahannya.
Ilmu munasabah muncul dan disusun pada awal abad ke empat hijriyah melalui karya
tangan Abu Bakar al-Naisaburi (wafat 324 H). Beliau adalah orang yang pertama
menampakkan ilmu munasabah di kota Baghdad. Apabila dibacakan kepada beliau
ayat-ayat dan surat al-Qur‟an, beliau berkata : “Mengapa ayat ini diletakkan disamping
ayat ini dan apa rahasia dan hikmah surat ini diletakkan disamping surat ini?” Beliau
sering mengkritik ulama
sebagai berikut :
Bagian pertama : ulama-ulama yang mengkhususkan menyusun ilmu munasabah
dan
1. Abu Ja‟far Ibn al-Zubair al-Andalusi (wafat 807 H), dalam kitab “Al-Burhan fi
Munasabati Tartibi Suwar al-Qur’an”
2. Jalaluddin al-Sayuthi (wafat 911 H). Beliau menyusun tiga kitab dengan tema
munasabah, yaitu :
a. Kitab “Asrar al-Tanzil”, kitab ini mengupas tentang korelasi surat dan ayat
b. Kitab “Tanasuq al-Durori fi Tanasub al-Suwar”, kitab ini mengupas lebih
khusus lagi dari kitab “Asrar al-Tanzil”
c. Kitab “Marashid al-Mathali’ fi Tanasub al-Maqathi’ wa al-Mathali’”, kitab
3. Abdullah al-Shiddiq al-Ghimari dari kalangan ulama hadis, dalam kitab “Jawahir
al-Bayan fi Tanasubi Suwar al-Qur’an”. DR. Muhammad Ahmad Yusuf al-Qasim
menulis dalam tesisnya “Al-Munasabatu fi Tartibi Ayat al-Qur’an al-Karim wa
Suwarih”, dan telah diujikan di Fakultas Ushul al-Din Azhar Mesir
Bagian kedua : ulama-ulama yang menyusunnya lebih luas lagi dan tematik yang
menyusunnya adalah :
surat yang berkaitan dengan munasabah. Di antara ulama yang terkenal adalah :
1. Al-Fakhr al-Razi dalam kitab tafsir “Mafatih al-Ghaib”
2. Abu al-Su‟ud dalam kitab tafsir “Irsyad al-‘Aql al-Salim Ila Mazaya al-Kitab al-
Karim”
4. Burhanuddin al-Biqa‟i (wafat 885 H) dalam kitab “Nazhm al-Durar fi Tanasub al-
Ayat wa al-Suwar”. Kitab ini merupakan maha karya yang fenomenal terdiri dari 22
jilid.
D. Macam-macam Munasabah
Dari segi sifatnya, munasabah terbagi dua yaitu, zhahir al-irtibath yang artinya
bahagian al-Qur‟an yang satu dengan yang yang lainnya kelihatan jelas dan kuat
karena kuatnya kaitan kalimat satu dengan yang lainnya. Deretan beberapa ayat yang
menerangkan sesuatu materi itu terkadang berupa penguat, penafsir, penyambung,
penjelas, pengecualian atau pembatas dengan ayat yang lain. Sehingga terlihat semua
ayat menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Sebagai contoh, adalah
korelasi antara ayat 1 dan 2 dari surat al-Isra‟ yang menjelaskan tentang diperjalankan
Nabi Muhammad SAW dan diikuti oleh keterangan tentang diturunkannya kitab Taurat
kepada Nabi Musa as. Dari kedua ayat tersebut nampak jelas bahwa keduanya
memberikan keterangan tentang diutusnya Nabi dan Rasul. Korelasinya terletak pada
persamaan identitas kerasulan dari hamba-hamba pilihan Allah SWT.
Contoh yang lain, pada surat Ibrahim ayat 34 dan surat al-Nahal ayat 18, kedua
surat tersebut bercerita tentang nikmat Allah yang tidak terbatas yang harus di syukuri
oleh manusia. Fashilah (pemisah) pada surat Ibrahim di akhiri dengan menyebut sifat
manusia yang diterangkan dalam ayat tersebut berupa manusia yang bersifat zalim dan
ingkar kepada Allah, sementara fashilah pada surat al-Nahal di akhiri dengan menyebut
sifat Allah yang diterangkan dalam ayat tersebut sebagai zat yang Maha pengampun
dan Maha penyayang. Keterkaitan dari kedua surat ini adalah penyebutan sifat manusia
yang berkerakter negatif dan sifat Allah sebagai zat yang Maha pengampun dan
penyayang.
Contoh berikutnya pada surat al-Maidah ayat 38 yang bercerita tentang pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan dipotong tangan keduanya sebagai balasan dari
perbuatannya. Fashilah dari ayat tersebut adalah Allah SWT maha perkasa dan maha
memutuskan ( )وهللا عزيزززز م زززز. Korelasinya terletak pada keperkasaan/kekuatan („aziz)
dan pembuat keputusan (hakim) yang dimiliki oleh Allah yamg mampu membuat
perintah potong tangan. Berbeda jika fashilah di akhiri dengan kata ( وهللا غفززور رم زdan
Allah maha pengampun lagi maha penyayang) misalnya, maka tidak ada korelasinya
dengan perintah potong tangan.
Contoh yang lain, pada surat al-Ma‟arij ayat 19-21 yang bercerita tentang
manusia yang suka berkeluh kesah () هلوعزززا. Maka ayat 20 dan 21 menafsirkan
pengertian keluh kesah dan disitulah terletak korelasi dan munasabahnya.
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta Dia ciptakan.? Dan langit
bagaimana Dia tinggikan? Dan gunung bagaimana Dia tegakkan? Dan bumi bagaimana
Dia hamparkan?”
Jika di analisa ayat-ayat tersebut, maka tampaklah bahwa ayat-ayat tersebut tidak
terkait antara satu dengan yang lainnya, padahal hakikatnya ayat-ayat tersebut saling
berkaitan erat. Penyebutan kata unta, langit,gunung dan bumi pada ayat-ayat tersebut
berkaitan erat dengan kebiasaan yang berlaku dikalangan lawan bicara yang tinggal di
padang pasir, dimana kehidupan mereka sangat tergantung pada ternak (unta), namun
keadaan tersebut tidak akan bisa berlangsung kecuali dengan adanya air yang
diturunkan dari langit untuk menumbuhkan rumput-rumput dimana mereka
mengembala dan mereka memerlukan gunung-gunung dan bukit-bukit untuk
berlindung dan berteduh serta mencari rerumputan dan air dengan cara berpindah-
pindah di atas hamparan bumi yang luas. Untuk mengetahui korelasi dalam ayat di atas
tidak bisa dilakukan kecuali mereka yang memiliki kualifikasi pengetahuan yang
mumpuni terutama menguasai ilmu asbab al-nuzul disamping ilmu munasabah yang
tentunya sangat urgen sekali dikuasai
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah: bulan sabit
itu tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi pelaksanaan) ibadah haji dan bukanlah
kebajikan itu memasuki rumah-rumah dari (pintu) belakang akan tetapi kebajikan itu
ialah kebajikan orang yang bertaqwa dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-
pintunya dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
Terhadap ayat di atas, sebahagian orang boleh bertanya-tanya dimana letak korelasi
dan keterkaitan antara bulan sabit di satu pihak dan persoalan memasuki rumah melalui
pintu belakang dipihak lain.
Berdasarkan asbab al-nuzul, korelasinya adalah pada masa jahiliyah, bahkan di masa-
masa permulaan Islam, orang-orang Anshar yang ihram di waktu haji, mereka tidak
memasuki rumahnya dari pintu depan sebagaimana layaknya akan tetapi justru lewat
pintu belakang yang tidak lazim. Menyaksikan perilaku seperti itu para sahabat
bertanya kepada Rasulullah SAW hingga turunlah ayat di atas. Korelasi yang lain
adalah terletak pada tamsil (perumpamaan) bahwa ada kesesuaian dan korelasi antara
sikap yang tidak layak antara pertanyaan fungsi bulan sabit yang penuh hikmah dan
ketidak sopanan memasuki rumah melalui pintu belakang.
Dari segi materi, munasabah terbagi dua yaitu pertama, munasabah antara ayat satu
dengan ayat lain. Contoh dan penjelasannya sudah penulis kemukakan di atas. Kedua,
munasabah antara surat satu dengan surat yang lain.
Adapun munasabah antara surat sebenarnya tidak banyak diminati oleh ulama tafsir,
berbeda dengan munasabah antara ayat yang banyak diminati oleh ulama yang
mendukung munasabah al-Qur‟an. Cakupan korelasi antara surat adalah sebagai
berikut :
1. Hubungan antara nama-nama surat, misalnya surat al-mukminun, dilanjutkan dengan
al-Nur, lalu diteruskan dengan surat al-Furqan. Adapun korelasi nama surat tersebut
adalah orang-orang mukmin berada dibawah cahaya (nur) yang menerangi mereka,
sehingga mereka mampu membedakan yang haq dan yang bathil.
3. Hubungan antara awal surat dan akhir surat. Dalam satu surat terdapat keterkaitan
antara awal surat dan akhir surat, misalnya dalam surat al-Qashosh dimulai dengan
kisah Nabi Musa Fir‟aun serta pasukannya, sedangkan penutup surat tersebut
menceritakan pernyataan Allah agar umat Islam jangan menjadi penolong bagi orang-
orang kafir, sebab Allah lebih mengetahui tentang hidayah. Begitu juga antara awal
surat al-Mukminun dan akhir surat al-Mukminun Di awal surat al-Mukminun Allah
menjelaskan tentang keberuntungan orang mukmin, sedangkan di akhir surat tersebut
Allah menerangkan tidak beruntungnya orang kafir.
4. Hubungan antara dua surat dalam persoalan isi surat. Misalnya dalam surat al-
Fatihah dan surat al-Baqarah. Dalam surat al-Fatihah berisi tema global tentang aqidah,
muamalah, kisah, janji dan ancaman. Sedangkan dalam surat al-Baqarah berisi tentang
penjelasan yang lebih rinci dari isi surat al-Fatihah.
Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama tafsir tentang pentingnya ilmu
munasabah daalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an, yang pasti keberadaan ilmu
munasabah sebagai disiplin ilmu , telah diakui dalam dunia ilmu-ilmu al-Qur‟an,
Pemuatan ilmu munasabah dalam hampir setiap kitab ulum al-Qur‟an, mengisyaratkan
hal itu. Bahkan ada beberapa kitab yang oleh pengarangnya dikhususkan membahas
ilmu munasaabah seperti “Al-Burhan fi Munasabat Tartibi Suwar al-Qur’an” karya Abi
Hayyan (Abu Jakfar bin Zubair) dan “Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayi wa al-Suwar”
karya Burhanuddin al-Biqa‟i.
Di antara mufassir yang paling banyak menyinggung tentang munasabah dalam kitab
tafsirnya adalah Imam Fakhr al-Din al-Razi, pengarang kitab “Mafatih al-Ghaib fi
Tafsir al-Qur’an”. Beliau mengatakan bahwa kebanyakan perbendaharaan al-Qur‟an
justru terletak pada tata letak dan tertib urutan dan pertalian antara ayat-ayatnya.
F. Penutup
Dari huraian di atas menyangkut pentingnya ilmu munasabah dapat dikatakan bahwa
terlepas dari perbedaan pendapat dikalangan ulama tafsir tentang eksistensi ilmu
munasabah, yang pasti ilmu munasabah telah diakui keberadaannya sebagai suatu
disiplin ilmu dari ilmu-ilmu al-Qur‟an. Tidak hanya itu, ilmu munasabah ini masih
mungkin untuk terus dikembangkan sesuai dengan statusnya sebagai ilmu ijtihadi. Ilmu
munasabah juga bisa meyakinkan dan memperkuat akan kemukjizatan al-Qur‟an.
Semakin banyak menganalisa al-Qur‟an dengan menggunakan instrumen munasabah,
maka semakin terpesona melihat dan mengetahui kemukjizatan al-Qur‟an, disamping
memiliki kedudukan yang penting dalam menafsirkan al-Qur‟an.
DAFTAR PUSTAKA
Louis Ma‟luf, Kamus al-Munjid fi al-Lughah al-‘Alam, Beirut : Dar al-Syarqy, 1976,
hal. 803
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Beirut : Dar al-Ma‟rifat, 1972, juz 1, hal.
35
Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an i, Bandung : Pustaka Setia, 1997, hal. 168
Al-Suyuthi, Asrar Tartib al-Qur’an, Kairo :Dar al-I‟tisham, tt, hal. 108
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut : al-Maktabah al-Saqafiyyah, jilid ll, tt.
, hal. 108
Azyumardi Azra (ed), Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000,
hal. 75-76
Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Islamika, 2002, hal. 164.
Abi al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, al-Naisaburi, Asbab al-Nuzul, Beirut : Dar al-
Fikr, 1988, hal. 33
“QASHASH AL-QUR’AN”
Oleh:
NURUL MUTHAHHARAH
80100221184
PENDAHULUAN
tercapainya kebahagiaan dunia bagi manusia maka Allah swt. menurunkan al-
Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia yang kebenarannya tidak disangsikan lagi
oleh manusia. Allah swt. berjanji bagi siapa saja yang mengikuti petunjuknya
cinta Allah swt. kepada hamba-Nya. Secara tidak langsung al-Qur‟an meruakan
rahmat yang menggambarkan bahwa Allah swt. sangat ingin agar hambanya bisa
hilang atau dihilangkan. Dilihat dari masa turunnya al-Qur‟an merupakan kitab
yang terakhir diturunkan namun memiliki cakupan yang paling sempurna diantara
representasi firman Allah swt. sebagaimana diwahyukan kepada Nabi saw. yang
disesuaikan dengan era masa turunnya berupa kondisi aktual mekkah, madinah
janji dan ancaman juga memuat mengenai kisah-kisah utamanya kisah mengenai
1
Amroeni Drajat, Ulumul Quran Pengantar Ilmu-ilmu al-Quran, (Cet. I; Depok:
Kencana, 2017), h. 1.
2
Nur Ali Subhan. “Qashash Sebagai materi dan Metode Pendidikan Akhlak: Kajian Tafsir
QS al-Lahab”, Qalamuna Vol. 11 No. 1 (Juni 2019). h. 93-94.
1
2
Nabi-nabi dan umat sebelum Nabi Muhammad saw. juga umat yang hancur
jejak-jejak umat dan Nabi terdahulu beserta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi
didalam al-Quran.4 Al-Qur‟an mengandung banyak pelajaran dari kisah masa lalu
yang diantaranya ialah kisah para Nabi yang mengandung dakwah dan mukjizat-
Ada bebarapa kisah dalam al-Qur‟an yang yang tidak disebutkan nama,
tempat dan waktunya secara utuh agar hal tersebut dapat menjadi contoh dan
beberapa kisah yang secara khusus menyebutkan nama, tempat atau lokasi. Hal ini
dapat dikatakan bahwa Allah swt. ingin memberikan petunjuk bahwa ditempat
tersebut terdapat tanda-tanda yang dapat dilihat dan dipelajari oleh manusia secara
langsung.5
ikhwal umat yang telah berlalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-
kejadian yang terjadi pada masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-
negeri dan peninggalan atau jejak umat. Al-Qur‟an menceritakan semua keadaan
3
Ma‟Zumi, Ratu Amalia Hayani dan Wardatul Ilmiah, “Nilai Pendidikan Dalam „Ibrah
Qashash al-Quran (Analisis Sintesis Terhadap Kisah-kisah dalam al-Quran)”, Jawara Vol. 7 No. 1
(Juni 2021). h. 14.
4
Muchotob Hamzah, Studi Al-Quran Komprehensif, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h.
201.
5
Ali Akbar, Arkeologi al-Quran Penggalian Pengetahuan Keagamaan. (Cet. I; Jakarta:
Lembaga Kajian dan Perminatan Sejaah, 2020), h. 30.
3
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
A. Qashash al-Qura’an
Secara bahasa kisah berasal dari bahasa arab qishshah yang berarti
suatu cerita, hiayat atau riwayat. Kata tersebut berasal dari kata al-qish yang
berarti menelusuri atsar atau jejak. Sedangkan menurut istilah ialah suatu
yang saling berkaitan satu sama lain, kisahpun harus memiliki suatu
negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Al-Qur’an menceritakan semua
1
Nur Ali Subhan, “Qashash Sebagai Materi dan Metode Pendidikan Akhlak: Kajian Tafsir
QS al-Lahab”, Qalamuna Vol. 11 No. 1 (Juni 2019). h. 94.
2
Al-Quran
3
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits Fi Ulum al-Quran. Terj. Mudzakir AS. Studi Ilmu-
ilmu al-Qur’an. (Cet. I; Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1992), h. 432.
4
5
Apabila ditinjau dari segi materi yang diceritakan, kisah al-Qur’an terbagi
atas:
dibawa nabi mereka, seperti kisah Nabi Nuh (an-Nisa: 163, al-A’raf: 59-69,
at-Taubah: 70, Yunus: 71, Ibrahim: 9, al-Anbiya’:76 dst), Nabi Hud (al-
A’raf-kisah pendek yang kurang dari 10 ayat), Nabi Isa (al-Maidah: 110-
dijadikan pelajaran, seperti kisah Maryam (ibunda Nabi Isa as. Dalam surah
Ali Imran: 36-45, an-Nisa:156 & 171, al-Maidah: 17 & 110, Maryam: 16&
Rasulullah, seperti perang Badar (Ali Imran), Uhud (Ali Imran), Ahzab
4
Nur Faizin, 10 Tema Kontroversial ‘Ulumul Qur’an, (Cet. I; Jawa Timur: Azhar Risalah,
2011), h. 156-163.
6
1) Kisah mengenai hal-hal gaib pada masa lalu. Yang dimaksud ialah kisah-
kisah al-Qur’an menegnai hal-hal yang tidak dapat ditangkap oleh panca
indra yang terjadi dimasa lalu seperti kisah Nabi Nuh, Nabi Musa dan
Nabi-nabi lainnya,
2) Kisah mengenai hal-hal gaib pada masa sekarang. Kisah ini ialah kisah
yang telah terjadi sejak dahulu dan akan tetap terjadi sampai masa sekarang
3) Kisah-kisah gaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Kisah ini
ialah kisah yang diceritakan al-Qur’an akan terjadi dan belum pernah
atas persia.
1) Malaikat (kisah malaikat yang datang kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Luth
2) Jin (kisah Jin pada masa Nabi Sulaiman dalam QS. Saba’: 12)
pembangkang)
4) Binatang (kisah burung Hud-hud pada masa Nabi sulaiman dalam QS. An-
Naml: 18-20)
menjalankan perintah Allah, seperti kisah mengenai para Nabi, rasul dan
orang-orang saleh
49-50, Ali Imran: 11, al-A’raf: 103-141, al-anfal: 52-54 dsb), Namrud dan
lain-lain.
1) Kisah yang berkisar tentang sejarah, seperti sejarah-sejarah Nabi dan Rasul,
secara panjang lebar sesuai dengan peristiwanya. Tetapi kadang kala sebuah
dalam al-Qur’an disebutkan dalam bentuk yang berbeda, disuatu tempat ada
sebuah kisah disajikan dengan cara yang ringkas dan kadang secara panjang
meyakini dan meragukan al-Qur’an. Bagi kelompok yang ragu akan al-Qur’an
kadang kala mempertanyakan mengapa suatu kisah dalam al-Qur’an tidak
menurut mereka hal tersebut dianggap tidak efektif dan efisien.5 Menurut para
5
Muhammad Chirjin, al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: Dana Bakti Prima
Yasa, 1989), h. 11.
8
juga meliputi jin (ibli dalam QS. Al-Baqarah: 34, al-A’raf: 11, al-Hijr: 31-32,
1) Burung dan hewan melata sebagaimana yang terdapat dalam QS. An-
oleh Nabi Sulaiman dan bala tentaranya. Dan kisah-kisah lainnya seperti
burung hud-hud,
biasa, seperti yang terjadi pada masa Nabi yang dikisahkan dalam QS.
Nabi dan Rasul, orang biasa atau para raja dan orang-orang saleh yang
bukan Nabi.6
b. Peristiwa, unsur ini merupakan unsur pokok dalam suatu cerita, sebab kisah
tidaklah mungkin ada tanpa suatu peristiwa. Sebagian ahli membagi peristiwa
1) Peristiwa yang merupakan akibat dari suatu pendustaan dan campur tangan
qadla-qadar Allah dalam suatu kisah,
2) Peristiwa yang dianggap luar biasa atau disebur mukjizat sebagai tanda
tokoh yang baik atau buruk, baik itu rasul maupun manusia biasa.7
6
Umar Sidiq, “Urgensi Qashas al-Quran Sebagai Salah Satu Metode Pembelajaran yang
Efektif Bagi Anak”, Cendekia Vol. 9 No. 1 (Juni 2011). h. 115.
9
memilki banyak pelaku sepeerti kisah Nabi Yusuf, Nabi Musa. Isi percakapan
Salah satu tujuan Allah menyampaikan kisah ialah agar manusi berfikir
dan mengambil ibrah. Kisah dalam al-Qur’an bukan hanya sekedar kisah
sastra, tetapi kisah yang menjadi media untuk mewujudkan tujuannya. Tujuan
pokok dari kisah al-Qur’an sendiri ialah pencapaian hidayah dari Allah swt.
agar manusia ingin belajar dari kisah tersebut dan mendapat hidayah dari Allah
swt.8
diantaranya ialah:
pokok-pokok syariat yang dibawa oleh para nabi Allah untuk umatnya,
Terjemahnya:
dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan
Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak)
melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku.
7
Nurul Hidayati Rofiah, “Kisah-kisah dalam al-Qur’an dan Relevansinya dalam
Pendidikan Anak Usia SD/MI”. ---------- h. 7
8
Mustafa al-Bagha dan Mahyudin Mustawa, al-Wadheh Fi ‘Ulum al-Qur’an, (Cet. II;
Damkus: Darl Ulumul Insaniyah, 1998), h. 186.
10
Terjemahnya:
dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-
kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah
datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-
orang yang beriman.
dengan isi kitab mereka sendiri sebelim kitab itu dirubah dan diganti,
Terjemahnya:
semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang
diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat
diturunkan. Katakanlah: “(Jika kamu mengatakan ada makanan yang
diharamkan sebelum turun Taurat), Maka bawalah Taurat itu, lalu
bacalah Dia jika kamu orang-orang yang benar”.
f. Kisah merupakan salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian
Terjemahnya:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman.
kekuasaan Tuhan serta akibat dari suatu perbuatan yang baik maupun yang
buruk.
Kisah dalam al-Qur’an menjadi bukti kuat bagi umat manusia bahwa al-
Qur’an sangat sesuai dengan kondisi mereka karena sejak kecil sampai dewasa
bahkan sampai tua, mayoritas orang-orang menyukai kisah, terlebih pada kisah
yang memiliki tujuan ganda, yaitu sebgaai pengajaran dan pendidikan juga
sebagai hiburan. Al-Qur’an sebagai kitab hidayang mengandung kedua hal
tersebut. Kisah didalam al-Qur’an selain memiliki tujuan yang mulia kisah
tersebut juga diungkapkan dalam bahsa yang indah dan menarik, sehingga
orang tidak akan bosan untuk membaca dan mendengarkannya. Sejak empat
belas abad yang lalu sampai pada saat ini al-Qur’an masih saja hidup dan
Tujuan umum dari kisah yang berlaku dalam komunitas sosial Arab
yiatu adanya unsur tugas sosial yang harus diemban oleh kisah dalam satu
Penghidupan tugas ini merupakan kewajiban yang berlaku bagi semua bentuk
seni, baik itu musik, pahat dan lainnya. Kisah-kisah al-Qur’an memiliki tujuan
e. Memberikan penjelasan metode dakwah para rasul ialah sama dan penerimaan
(mukjizat),
9
Muhammad Gufron, ulumul Qur’an, (Yogyakarta: --------- 2017), h. 135.
13
Terjemahnya:
dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan
Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak)
melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku".
b. Memantapkan hati Nabi Saw. dan umatnya atas Agama
Terjemahnya:
dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-
kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah
datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-
orang yang beriman.
kebenaran
Terjemhnya:
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan
tetapi Dia adalah seorang yang lurus[201] lagi berserah diri (kepada
Allah) dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang
musyrik.
14
Terjemahnya:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman.
3. Hikmah Kisah Berulang-ulang dalam al-Qur’an
berbagai macam bentuk yang berbeda dan kisah berbeda tersebut dikemukakan
dengan uslub yang berbeda disetiap tempatnya, sehingga orang yang membacanya
tidak merasa bosan. Hal ini dikarenakan hal tersebut dapat menambah kedalaman
lain.
b. Memperlihatkan kehebatan Mu’jizat al-Qur’an
lebih melekat dalam jiwa. Hal ini disebabkan oleh pengulangan yang merupakan
15
salah satu cara pengukuhan atau cara ta’kid dan salah satu dari tanda-tanda
dan kebatilan. Sekalipun kisah tersebut seringkali diulangi tetapi tidak pernah
10
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Cet. I; Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 193.
11
Manna’ Khalil al-Qattan, Mahabits Fi Ulum al-Qur’an... h. 433.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
terjadi. Bentuk-bentuk kisah dalam al-Qur’an dapat ditinjau dari segi materi,
waktu, pelaku, ketaatan dan jenisnya. Unsur-unsur kisah yang terdapat didalam al-
Qur’an pelaku, peristiwa dan percakapan. Faedah dari mempelajari kisah didalam
menarik perhatian.
akibat dari amal. Kisah yang berulang-ulang didalam al-Qur’an memiliki hikmah
yaitu menjelaskan ke balaghahan al-Qur’an dalam tingkat yang paling tinggi,
16
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an
Faizin, Nur. 10 Tema Kontroversial ‘Ulumul Qur’an. Cet. I; Jawa Timur: Azhar
Risalah, 2011.
Ma‟zumi. Ratu Amalia Hayani dan Wardatul Ilmiah. “Nilai Pendidikan Dalam
„Ibrah Qashash al-Qur‟an (Analisis Sintesis Terhadap Kisah-kisah dalam
al-Qur‟an)” (Jawara), (Vol. 7 No. 1, Juni 2021), diakses Tanggal 25 April
2022 Pukul 05.56.
Sidiq, Umar. “Urgensi Qashas al-Quran Sebagai Salah Satu Metode Pembelajaran
yang Efektif Bagi Anak” (Cendekia), (Vol. 9 No. 1, Juni 2011), diakses
Tanggal. 25 April 2022 Pukul 05.56.
Subhan, Nur Ali. “Qashash Sebagai Materi dan Metode Pendidikan Akhlak:
Kajian Tafsir QS al-Lahab” (Qalamuna), (Purwokerto: Vol. 11 No. 1, Juni
2019), diakses Tanggal. 25 April 2022 Pukul. 05.57.
17
AL-MAKKIYAH WA- AL MADANIYAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Individu Mata Kuliah Ulumul
Quran, Program Dirasah Islamiyah/Konsentrasi Hukum Islam
Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Oleh:
MUHAMMAD ILHAM
80100221187
Puji dan syukur kami panjatkan pada Allah SWT. Hanya kepada-Nya lah
kami memuji dan hanya kepada-Nya lah kami memohon pertolongan. Tidak lupa
shalawat serta salam kami haturkan pada junjungan nabi agung kita, Nabi
Muhammad SAW. Risalah beliaulah yang bermanfaat bagi kita semua sebagai
Atas kerja keras serta bimbingan dari dosen pengampu mata kuliah “Ulumul
Quran” yang sangat luar biasa memberikan begitu banyak ilmu yang bermanfaat bagi
Mata Kuliah. Kami menantikan kritik dan saran yang membangun dari setiap
pembaca agar perbaikan dapat dilakukan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
kepada Nabi Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril yang tertulis dalam
Mashahif dan membacanya bernilai Ibadah. Yang diawali dengan Surat al-
Nabi Muhammad, melalui perantara Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga
dakwah Islam kala itu. Menurut al-Qurān sendiri, hikmah diturunkannya al-
Tidak hanya itu, al-Qurān turun secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun
nuzûl.2
1
Muhammad Ali ash- Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta : Pustaka Amani,
2001). Hal. 3
2
Andy Hadiyanto, “Makkiyah-Madaniyah: Upaya Rekonstruksi Peristiwa
Pewahyuan”,Universitas Negeri Jakarta, VII Nomor 1 2011
disebut dengan ilmu-ilmu al-Qurān, Ulumul Qurān. Akan tetapi, tidak jarang
al-Qurān.3
disepakati para ulama tafsir untuk merujuk pada sebuah piranti analisis yang
mengacu pada fase psikologis dan sosiologis yang dilalui oleh dakwah Islam.
benang merah antara konteks historis klasik dengan konteks modern. Hanya
dengan mencari benang merah masa lalu dan masa kini lah maka pemahaman
setiap ayat yang ada di dalam al Qur’an yang kita baca dan pelejari saat ini.
3
Muhammad Misbahul Huda, “Konsep Makkiyah Dan Madaniyah Dalam Al-Qur’an”,
Jurnal Kajian Al-Quran dan Tafsir, V Nomor 2 2020
4
Andy Hadiyanto, “Makkiyah-Madaniyah: Upaya Rekonstruksi Peristiwa Pewahyuan”,
Universitas Negeri Jakarta, VII Nomor 1 2011
5
Andy Hadiyanto, “Makkiyah-Madaniyah: Upaya Rekonstruksi Peristiwa Pewahyuan”,
Universitas Negeri Jakarta, VII Nomor 1 2011
Berdasarkan uraian di atas maka penulis merasa perlu menyususn makalah
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
kandungan sebuah ayat,sebab antara ayat yang turun di Mekkah dan ayat yang turun
yang kuat untuk dijadikan landasan dalam berijtihad. Khususnya dalam menentukan
Makkiyah dan Madaniyah ini, para ulama bersandar kepada dua metode utama,
Pertama, simā’I naqli yaitu metode pendengaran sebagaimana adanya., Kedua, qiyasi
Madaniyah :
Pertama, Makiyyah adalah ayat atau surah yang turun sebelum hijrah
Madaniyah adalah ayat atau surah yang turun setelah hijrah walaupun turunnya di
Mekkah. Definisi ini menitikberatkan unsur waktu. Kedua, makiyyah adalah ayat
atau surah yang turun di Mekkah walaupun turunnya setelah hijrah, sedangkan
Madaniyah adalah ayat atau surah yang turun di Madinah. Wilayah yang termasuk
Mekkah antara lain Mina, Arafat dan Hudaybiyah. Sedangkan wilayah yang
termasuk Madinah di antaranya Badr, Uhud dan Sai’. Definisi kedua ini lebih
memperhatikan unsur tempat. Definisi kedua ini memiliki kelemahan; ia tidak dapat
6
Mardan, “Al-Qur’an Sebuah Pengantar” MAzhab Ciputat, Jakarta 2010, h.97
7
Amroeni Drajat, “Ulumul Qur’an”, Kencana, Cetakan 1, Depok, Agustus 2017, h.67
menampung ayat yang turun bukan di Mekkah dan sekitarnya dan bukan pula di
Madinah dan sekitarnya. Ketiga, makiyyah adalah ayat atau surah yang isi
ayat atau surah yang isi kandungannya ditujukan untuk penduduk Madinah. Definisi
pada realitas pada satu sisi, dan teks itu sendiri pada sisi yang lain. Dinamika realitas
tercermin dalam teks, baik pada aspek isi atau aspek struktur. Realitas menunjukkan
bahwa peristiwa penting yang mempengaruhi kandungan dan struktur teks al-Qurān
adalah peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah. Peristiwa hijrah bukan sekedar
perpindahan tempat, tetapi lebih dari itu menunjukkan adanya perubahan pola dan
pendekatan dakwah Islam. Fase pra hijrah adalah fase indzār dan fase pasca hijrah
adalah fase risālah. Abu Zaid menerangkan bahwa fase indzâr adalah fase untuk
tentang status quo yang penuh kebobrokan agar timbul kesadaran untuk melakukan
Dari ketiga pendapat dan pandangan tersebut, pandangan dari segi turun-nya
(pertama) menjadi pandangan yang paling terkenal.10 Pendapat ini juga merupakan
yang paling rājih (kuat) di antara 3 pendapat lainnya, dengan alasan pertama, paling
8
Abad Badruzaman, “Model Pembacaan Baru Konsep Makiyyah-Madaniyah”, Episteme X
Nomor 1 2015
9
Andy Hadiyanto, “Makkiyah-Madaniyah: Upaya Rekonstruksi Peristiwa Pewahyuan”,
Universitas Negeri Jakarta, VII Nomor 1 2011
10
Muhammad Misbahul Huda, “Konsep Makkiyah Dan Madaniyah Dalam Al-Qur’an”,
Jurnal Kajian Al-Quran dan Tafsir, V Nomor 2 2020
seluruh perselisihan seputar dikotomi Makkiyah-Madaniyah, alasan ketiga lebih
Secara garis besar, surat-surat dalam al-qurān terbagi atas dua bagian, yaitu
makkiyah dan madaniyah merupakan bidang kajian yang membedakan fase penting
turunnya al-qurān baik pada tataran isi maupun struktur. Para ulama berbeda
pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan makkiyah dan madaniyah, khususnya
terkait batasan antara mana yang makkiyah dan mana yang madaniyah, baik dari sisi
isi maupun strukturnya. Oleh karena itu, ada beberapa pandangan yang dapat kita
pembacaan al-Qurān, nampaknya telah menjadi kesepakatan para ulama, baik dari
kalangan salaf maupun khalaf. Namun masih ditemui beberapa perbedaan di antara
Suyuṭi, perbedaan tersebut muncul akibat perbedaan fokus kajian para ulama dalam
Ada beberapa teori dan pendekatan yang dapat digunakan dalam menentukan
ayat-surat al-Qurān yang dapat dikategorikan Makkiyah dan Madaniyah. Dari segi
teori, ada empat teori yang menjadi dasar dalam pengkategorian Makkiyah dan
Madaniyah, yakni:
2) teori subjektif,orientasi teori ini terletak pada sisi subjek siapa yang dipanggil
(audiens);
11
Abad Badruzaman, “Model Pembacaan Baru Konsep Makiyyah-Madaniyah”, Episteme X
Nomor 1 2015
12
https://www.bacaanmadani.com/2019/09/makkiyah-dan-madaniyah-pengertian-dasar.html,
(20 April 2021)
13
Andy Hadiyanto, “Makkiyah-Madaniyah: Upaya Rekonstruksi Peristiwa Pewahyuan”,
Universitas Negeri Jakarta, VII Nomor 1 2011
3) teori historis, teori ini berorientasi pada sejarah waktu turunnya al-Qur‟an;
dan
Sedangkan dalam hal pendekatan, para ulama menggunakan dua metode dasar,
yakni: (1) merujuk pada riwayat-riwayat dari para sahabat dan tabi‟in (sima‟i); dan
pembacaan al-Qurān, nampaknya telah menjadi kesepakatan para ulama, baik dari
kalangan salaf maupun khalaf. Namun masih ditemui beberapa perbedaan di antara
para ulama dalam melihat berbagai fenomena yang meliputi proses nuzulnya sebuah
surat. Sebagaimana dilansir oleh Subhi al Shalih, untuk mengetahui segala hal yang
masing ulama berpegang dengan salah satu indikator tersebut dalam mengidentifikasi
1. Ciri-ciri al-Makkiyah
ciri-ciri umum, terdapat juga pengecualian, dan pengecualian inilah yang harus
14
Muhammad Misbahul Huda, “Konsep Makkiyah Dan Madaniyah Dalam Al-Qur’an”,
Jurnal Kajian Al-Quran dan Tafsir, V Nomor 2 2020
Ciri-ciri umum surah-surah makkiyah :
c. Surah yang didalamnya terdapat seruan dan tidak terdapat seruan “yā
e. Surah yang didalamnya terdapat kisah Nabi Adam dan Iblis, kecuali
surah al-Baqarah.
f. Surah yang diawali dengan huruf maqaṭu’, kecuali dua surah, al-
Baqarah dan āli Imran. Para ulama berbeda pendapat mengenai surah
ringkas, uraiannya sedikit keras dan hangat dan nada suaranya tegas.
arab. 15
15
Amroeni Drajat, “Ulumul Qur’an”, Kencana, Cetakan 1, Depok, Agustus 2017, h.67
2. Ciri-ciri Madaniyah
diperhatikan.
agama (syariah)
adalah Madaniyah.
16
Amroeni Drajat, “Ulumul Qur’an”, Kencana, Cetakan 1, Depok, Agustus 2017, h.68
C. Manfaat kajian Al-Makkiyah wa al-Madaniyah
Apabila dikaji manfaat dan kegunaan yang dikandung dalam ilmu makkiyah
qaṭṭan.
Pengetahuan ini akan menjadi pegangan para mufaṣir untuk mengetahui mana ayat
kelenturan gaya Bahasa tersebut dalam metode dakwah,sebab setiap situasi dan
kondisi memiliki Bahasa dakwah yang berbeda pula. Dengan demikian sebagai
acuan dalam retorika dakwah. Sebab mengetahui dengan pasti seruan pembicaraan
setiap al-Qurān.
melalui ayat-ayat al-Qurān,baik ketika Nabi berada di Mekah atau pun di Madinah.
Pengetahuan historis peri kehidupan Nabi yang di gali dari ayat-ayat tersebut akan
sangat berguna sekali dalam menentukan metode dakwah yang sesuai hingga dapat
17
Amroeni Drajat, “Ulumul Qur’an”, Kencana, Cetakan 1, Depok, Agustus 2017, h.72
fikih, sehinga manfaat kajian Makkiyah-Madaniyah hanya sebatas pada penentuan
data induktif tentang strategi yang ditempuh da’wah al-Qurān untuk memproduk
sebuah budaya baru untuk konteks bangsa Arab abad ke tujuh. Bertolak dari
penafsiran haraki nya. Sebagaimana diulas oleh Ṣalah al Khalidi, model tafsir haraki
ini berupaya untuk merekonstruksi berbagai peristiwa, situasi, dan kondisi yang
meliputi proses nuzūl, dan dengan melalui penjiwaan imajinatif terhadap itu semua
lalu ditariklah benang merah dengan situasi dan kondisi real yang meliputi proses
2. Merasakan gaya Bahasa dan susunan kalimat Al-Qurān yang begitu indah
Jibril.20
18
Andy Hadiyanto, “Makkiyah-Madaniyah: Upaya Rekonstruksi Peristiwa Pewahyuan”,
Universitas Negeri Jakarta, VII Nomor 1 2011
19
Andy Hadiyanto, “Makkiyah-Madaniyah: Upaya Rekonstruksi Peristiwa Pewahyuan”,
Universitas Negeri Jakarta, VII Nomor 1 2011
20
Mardan, “Al-Qur’an Sebuah Pengantar” MAzhab Ciputat, Jakarta 2010, h.102
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
memahami dan menguasai ilmu tersebut, telebih lagi yang ingin merumuskan sebuah
hukum tertentu dari al-Qurān sebagai rujukan dalil. Maka dari itu, perlu pemahaman
yang kompleks, terkait konsep Makkiyah dan Madaniyah serta urgensi dan
kedudukannya.
sebagainya. Satu hal yang sangat perlu dipahami adalah al-Qurān sampai kapan pun
Diajukan dalam rangka memenuhi tugas makalah pada mata kuliah Ulumul
Qur’an
Oleh :
Rusli Lamolo
Nim : 80100221193
Dosen pembimbing :
Dr. Muhsin Mahfuz, M. Ag
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah tercatat bahwa bangsa Arab Jahiliyah telah mencapai tingkatan
yang tinggi dalam balaghah dan diksi. Mereka sangat bangga, lalu mengaplikasikannya
ke dalam bentuk kalam seni prosa dan puisi. Sederet nama penyair terkenal semisal
Zuhair Ibn Abi Salma, Amru Ibnu Kultsum, Tarfah, Al Khansa, Umru’ al Qais, al
Nabighah al Dubyani, Haris bin hillizah al Yasykary, Lubaid bin Rabi’ah dan lainnya.1
Para penyair tesebut membawakan syair-syair mereka di pasar-pasar, seperti pasar ukaz,
pasar Majaz dan pasar majnah,2 kemudian syair terbaik akan dipajang pada gantungan
ka’bah.3
Sampai kelahiran baginda Nabi Muhammad, budaya tersebut masih tetap ada.
Sejarah Nabi dan Rasul menunjukkan corak mu’jizat yang tidak lain sebagai respon logis
dari tuntutan realitas kehidupan umat.4 Al-Quran Allah turunkan kepada Baginda
Muhammad sebagai mu’jizat yang nyata. Al-Quran sejak pertama kali di wahyukan
kepada Baginda Muhammad hingga saat ini tidak berubah, artinya tidak bertambah dan
juga tidak berkurang barang satu hurufpun, yang demikian itu merupakan salah satu di
antara tanda-tanda mu’jizat yang Allah lekatkan pada Al-Quran. Allah SWT berfirman
dalam QS. Al-Hijr : 9,
َ ُ ٰ َ ٗ َ َّ ْ َ ْ ََّ ُ ْ َ َّ
الذك َر َواِ نا له لح ِفظ ْون
ِ ا ن ِانا نحن نزل
Artinya : “Kami telah menurunkan Al-Quran dan Kami yang senantiasa menjaganya”.
Selanjutnya para ulama terus melakuakn pendalaman perihal I’jaz quran, dan
dianatara ulama yang mengakaji I’jaz quran yaitu Yusuf Qardhawi dan Abdul Qahir Al-
Jurjani. Dari uraian di atas maka penulis menganggap perlu untuk mendalami perihal
1
Mayoritas linguis arab menggolongkan para penyair Arab menjadi empat golongan : al Jahiliyyun, al
Mukhdaramun, al islamiyyun, al Muwallidun. Ramadan Abd Tawaab, Fushul Fi Fiqh al Lughah, (Kairo :
Maktabah al Khanjiy, tt), cet II, hal 101
2
Abdullah Ali Muhammad Husain, al Bahts al Balaghi wal Marahil Tathawwurihi, (Mesir: Mathba’ah
al Amanah, 1992), h. 12-13
3
Thabrani, Ach. "Nadzam Dalam I’jaz Al Quran Menurut Abdul Qahir Al Jurjani." Al Mi'yar: Jurnal
Ilmiah Pembelajaran Bahasa Arab dan Kebahasaaraban 1.1 (2018): 1-14.
4
Hermawan, Adik. "I’jaz Al-Quran dalam Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi", Madaniyah 6.2, 2016, h.
201
mu’jizat atau I’jazul Quran sebagai bagian dari ulumul quran. kemudian bagaimana
pandangan Yusuf Qardhawi dan Abdul Qahir Al-Jurjani tentang i’jaz quran ini serta
penjelasan turunannya.
B. Rumusan Masalah
Kata i’jaz bersumber dari akar kata ‘ajaza yang berarti lemah atau antonim
mampu. I’jaz adalah melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Dari akar kata
yang sama lahir kata mu’jizat yang diartikan oleh banyak pakar sebagai sesuatu yang luar
biasa yang dihadirkan oleh seorang Nabi untuk menantang siapa yang tidak
mempercayainya sebagai Nabi, dan tantangannya itu tidak dapat dihadapi oleh yang
ditantang.5
1. Menantang mereka dengan seluruh Qur’an dalam uslub umum yang meliputi
orang Arab sendiri dan orang lain, jin dan manusia.
2. Menantang mereka dengan sepuluh surah saja dari Qur’an.
3. Menantang mereka dengan satu surah saja dari Qur’an.
Mahmud Syakir menjelaskan istilah i’jaz quran dan mu’jizat Al-Quran dengan
menekankan perhatian kepada awal munculnya kedua istilah ini : Pertama, istilah i’jaz
quran dan mu’jizat Nabi tidak terdapat baik dalam Al-Quran mau pun hadis Rasul saw.
Bahkan istilah ini juga tidak terdapat pada perkatan sahabat, juga tidak muncul dalam
ungkapan-ungkapan tabi’in. Istilah ini mulai muncul pada abad ke-3, kemudian
berkembang dengan sangat pesat pada abad-abad selanjutnya hingga masa kita sekarang
5
Hermawan, Adik. "I’jaz Al-Quran dalam Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi", Madaniyah 6.2, 2016, h.
209
6
Mardan, al-Qur’an Sebagai Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh (Cet. I; Jakarta: Pustaka
Mapan, 2009), h. 146.
ini. Maka dikatakannya bahwa kedua istilah ini merupakan kata yang muhdas (kata
jadian) dan muwallad (istilah baru yang dimunculkan).
Kedua, kata lainnya yang semakna dan menyertai kemunculan kata i’jaz adalah
at-tahaddi. Kata ini juga merupakan kata yang muhdats dan muwallad. Tidak terdapat
baik di dalam Al-Quran mau pun hadis Rasulullah, juga tidak terdapat pada perkatan para
sahabat dan tidak ditemukan dalam ungkapan-ungkapan tabi’in. Kata ini juga baru
muncul pada abad ke-3, kemudian berkembang pada abad ke-4 dan menyebar luar dalam
abad-abad setelahnya sampai masa sekarang ini. Selanjutnya, i’jaz quran menjadi istilah
yang populer digunakan untuk mengusung pembicaraan seputar keunggulan i’jaz quran.
Al-Quran selaku firman Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah saw.
Kata I’jaz juga merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari seorang Rasul yang
diutus Allah kepada umatnya untuk menyampaikan risalah. I’jaz merupakan kemampuan
untuk menundukkan manusia sehingga secara serta-merta menjadikan seorang manusia
mempercayai akan kebenaran dari ajaran atau risalah yang dibawa oleh seorang Rasul.
Kemampuan I’jaz ini kemudian menjadi bagian dari seorang Rasul yang dapat disebut
juga dengan mu’jizat.7
Mu’jizat yang diperlihatkan oleh seorang Rasul, merupakan sesuatu yang dari
sebelumnya telah diketahui oleh manusia secara umum. Dapat dikatakan juga sesuatu
yang dapat dipahami oleh manusia akan tetapi tidak dapat dilakukan atau diperoleh oleh
manusia awam. Maka mu’jizat bukanlah sesuatu yang sangat baru dan tidak dapat
dipahami oleh siapa pun. Mu’jizat merupakan hal yang menyalahi sesuatu yang biasanya
terjadi akan tetapi masih dalam batas pengetahuan yang dapat dipahami manusia,
sehingga dapat dibukitkan dan disaksikan oleh manusia pada umumnya. Karena apabila
mu’jizat bukan sesuatu yang dapat dimengerti maka tidak akan memberikan manfaat bagi
umat yang diperlihatkan mu’jizat tersebut. Akan tetapi kalau dapat dipahami dan ia
menyadari kekerdilan dirinya di hadapan mu’jizat tersebut sehingga tergerak untuk
mengimaninya secara objektif.8
I’jaz Al-Quran memiliki bentuk-bentuk yang sangat beragam, dari sekian banyak
bentuk kemukjizatan al-Qur’an, ada tiga sisi yang perlu dibahas secara tersendiri
diantaranya adalah: I’jaz Bayani wa Adabi (i’jaz secara bahasa dan sastra) dan I’jaz Al-
7
Ashani, Sholahuddin. "Kontruksi Pemahaman Terhadap I’Jaz Alquran." Journal Analytica
Islamica 4.2 (2015) h. 217.
8
Ashani, Sholahuddin. "Kontruksi Pemahaman Terhadap I’Jaz Alquran", h. 218.
Islahi Au At-Tasyri’i (kemukjizatan Al-Quran dalam aspek ajaran syariat yang
dikandungnya). I’jaz yang ketiga adalah i’jaz al-ilmi (kemukjizatan dari segi ilmiah)
Abdul Qahir Al-Jurjani bernama Abu Bakar Abdul Qahir ibn Abdurrahman di
satu kota terkenal yang terletak antara Tabaristan (Tibris) dan Khurasan. Beliau dikenal
di kalangan ahli balaghah sebagai Abdul Qahir Al-Jurjani seorang pakar nahwu, ahli
ilmu kalam dan bermadzhab asy’ary.9
Sejarah menyebutkan bahwa kondisi keadaan kota gorgan adalah kota yang
penuh dengan cendikiawan dan sastrawan, sehingga kondisi tersebut menstimulus
kesadaran Abdul Qohir Al-Jurjani mendalami berbagai ilmu pengetahuan terutama
bahasa arab. Dalam berbagai literatur memang tidak banyak diterangkan kepada siapa
beliau belajar, namun bisa dipastikan ia lebih banyak belajar dari para ulama negeri
kelahirannya. Di antara gurunya yang paling terkenal adalah Abu Husain Muhammad
An Nawawi yang mengajarkan kepadanya kitan al Idah.
Abdul Qahir Al-Jurjani memiliki peran yang sangat besar dalam sejarah ilmu
balaghah terutama kemampuannya dalam mengurai ilmu ma’ani dan ilmu bayan dengan
uraian yang rinci sebagaimana beliau mengurai beberapa kesalahan dalam menganalisis
9
Abd al Aziz Atiq, Fi al Balaghah al Arabiyah ‘ilm bayan, (Beirut : Dar An Nahdah al Arabiyah,
1985), h. 22
gramatikal bahasa arab nahwu, teori pertama ilmu ma’ani ditulis secara rinci di dalam
bukunya Dalailul i’jaz dan tentang ilmu bayan ditulis dalam bukunya Asrar al
balaghah.10 I’jaz Qur’an menurut Abdul Qahir Al-Jurjani terbagi menjadi tiga: Mukjizat
Al-Quran dari Balaghahnya, Mukjizat Al-Quran dalam Nadzmnya, Penjelasan esensi
Nadzm.
Keindahan lafazh, menurutnya, bukan terletak pada lafazh tunggal (yang berdiri
sendiri), melainkan karena menjadi bagian dari struktur yang bermakna. Jadi, keindahan
kata ditentukan oleh posisinya dalam struktur dan nazham, dan kontribusinya dalam
makna keseluruhan dari struktur itu. Mukjizat Al-Quran dari balaghahnya adalah
ungkapan yang ada di dalam memiliki tingkat fashahah yang tinggi dan dari Al-Quran
inilah melahirkan ilmu balaghah.
Kata-kata dalam redaksi ayat ini mengandung dua jenis makna, yaitu makna kata,
seperti: al-hamd berarti pujian atau syukur yang paling tepat untuk hanya ditujukan
10
Thabrani, Ach. "Nadzam Dalam I’jaz Al Quran Menurut Abdul Qahir Al Jurjani." Al Mi'yar: Jurnal
Ilmiah Pembelajaran Bahasa Arab dan Kebahasaaraban 1.1 (2018): h. 1-14.
11
Hasan, ‘Abdullah ‘Ali Muhammad, al-Bahts al-Balâghî wa Marâhil Tathawwurihi, (Kairo:
Mathba’ah al-Amânah, Cet. I, 1992), h. 87
kepada Allah Swt, dan makna nahwu, seperti: al-ibtidâ’, al-ikhbâr, al-fi‘liyyah, al-
maf‘ûliyyah, al-zharfiyyah, dan sebagainya. Dari segi susunan redaksinya, ayat tersebut
disusun sesuai dengan susunan nahwu: subyek (al-hamd)+prediket (li Allah). Ayat ini
juga mengandung tiga jenis susunan, yaitu: susunan makna nahwu (tartîb ma‘ânî al-
nahwî), susunan makna kalimat atau ungkapan (tartîb ma‘ânî alkalim) sesuai dengan
susunan makna nahwu, dan susunan lafazh-lafazh sesuai dengan urutan maknanya.12
Di samping itu semua, teori kritik sastra yang dikembangkan al-Jurjani juga
berpangkal pada keindahan ekspresi. Keindahan ekspresi dimulai dari pemilihan kata
yang tepat, akurat, padat dan bermakna. Kesesuaian struktur dengan gramatika, dan
keserasian internal redaksi dengan makna yang dikehendaki juga menjadi kriteria dalam
mengkritisi karya sastra Arab. Kritikus sastra juga disyaratkan mampu melihat relasi
kontekstual (al-‘alâqah al-siyâqiyyah) yang terjadi akibat adanya kesesuaian antara
kaidah nahwu dan unsur-unsur kalimat dalam nilai-nilai ekspresi yang pada gilirannya
mengekspresikan nilai-nilai emosional (perasaan).
c. Esensi Nadzam
Jadi, esensi teori nazham al-Jurjani lebih menekankan pada hubungan antara
lafazh dan makna dalam struktur kalimat yang serasi dan seimbang, seperti tampak pada
bait-bait syair yang mengikuti wazan dan kaidah arûdh. Nazham merupakan aplikasi
kaidah nahwu dalam redaksi suatu ungkapan. Dengan nazham kata-kata (lafazh) dapat
distrukturkan menjadi redaksi yang indah, baik, bermakna dan komunikatif (memberikan
pemahaman terhadap orang lain).13
Tujuan akhir dari formulasi teori nazham adalah untuk: (1) mengetahui rahasia-
rahasia keindahan dan kefasihan (balaghah) prosa maupun puisi, dan (2) mengetahui
12
Abbâs, Muhammad, al-‘Ab’âd al-‘Ibdâ‘iyyah fi Manhaj ‘Abd al-Qâhir al-Jurjânî, (Damaskus: Dâr
al-Fikr, 1999), h. 174
13
Al-‘Azâwî, Ni‘mah Rahîm, al-Naqd al-Lughawî ‘Inda al-‘Arab hatta Nihâyat al-Qarn al-Sâbi‘ al-
Hijrî, (Baghdâd: Dâr al-Hurriyah, 1978), h. 153
segi-segi kemukjizatan al-Qur’an, seperti: keelokan dan keserasian redaksi, keindahan
struktur, kedalaman makna, dan kemudahan dan kealamian ekspresinya.
14
Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad dalam Syariat Islam, Penerjemah: Achmad Syathori, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1987), cet 1, h. 6.
15
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Gaib, (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998), h. 23
Seringkali orang-orang musyrik menuntut dan mendesak diturunkannya tanda-
tanda kekuasaan Allah yang luar biasa (mukjizat) sebagaimana mukjizat yang diberikan
kepada rasul-rasul terdahulu, semisal Nabi Musa dengan tongkatnya, Nabi Isa yang bisa
menghidupkan orang mati, dan rasul-rasul terdahulu lainnnya. Namun Allah tidak
mempedulikan tuntutan mereka.
Hal ini dihikayatkan Al-Quran dalam beberapa surat dengan beberapa macam
jawaban.
َ ْ ُ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ َّ ٰ َّ ً َ ٰ َ َ ُّ ْ َ ٰٓ َ ٌ َ َ َ َ ُ ْ َ ْ َ ُ َ َ َ ْ ٰ َ ٌ ْ َّ ُ ْ َّ ه
وقالوا لولا ن ِزل علي ِه اية ِمن ر ِبهٖۗ قل ِان اّٰلل ق ِادر على ان ين ِزل اية ول ِكن اكََُْ لا يَُْون
َ ْ ُ ََّ ْ َ َ ََّ ْ َ َّ ٰ ٰ ْ َ ْ ُّ ْ َ َ َ َ َ َ َ
ٖۗوما منْنآ ان نر ِسل ِبالاي ِت ِال ٓا ان كذَۖ ِبْا الاولون
“Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi kami untuk mengirimkan kepadamu tanda-
tanda kekuasaan kami, melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-
orang dahulu.” (al-Isra’: 59)
Artinya, penurunan tanda-tanda kekuasaan Allah (mukjizat) kepada mereka tidak
mencapai sasarannya, yaitu iman kepada rasul-rasul, akan tetapi mereka malah
mendustakan dan tidak memperhatikan mukjizat Allah itu. Dalam surat asy-Syu’ara,
Allah telah menyebutkan alasan lain ketika berfirman:
َْ ٰ َ َ ْ ُ ُ َ ْ َ ْ َّ َ َ ً َ ٰ َ َّ َ ْ ْ َ َ ْ َ ُ ْ َ َّ ْ
ِان نشأ نن ِزل عَي ِْْ ِمن السُا ِۤء اية فظَت اعناقْْ لْا خ ِض ِْين
“Jika kami menghendaki niscaya kami menurunkan kepada mereka mukjizat dari langit,
maka senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya.” (asy-Syu’ara’: 4).16
Maksudnya Allah tidak ingin memaksa masuk dalam keimanan dengan suatu
mukjizat kauniah. Akan tetapi yang diharapkan adalah agar mereka masuk dalam
keimanan dengan pilihan mereka yang bebas berdasarkan akal mereka yang murni, tanpa
ada pretensi sedikitpun untuk memaksa mereka secara zahir atau maknawi atau yang
semisalnya.
Alasan mengapa Allah tidak menghendaki tuntutan dari kaum musyrik tersebut
adalah, karena mukjizat yang terkandung di dalam Al-Quranmerupakan mukjizat aqliah
dan moral, bukan mukjizat kongkrit dan material. Mukjizat yang ada pada rasulrasul
terdahulu tersebut bersifat temporer yang kemudian akan dihapus oleh risalah atau
syari’at sesudahnya. Sedangkan risalah Nabi Muhammad saw, adalah penutup sekalian
risalah, maka Allah memberikan amanat kepada Rasulullah saw, mukjizat terbesar ini
(al-Qur’an) sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah swt. Atau mukjizat yang terus ada
selama adanya langit dan bumi. Sehingga ia terus menjadi hujjah bagi umat diseluruh
dunia disepanjang zaman, dan tetap kekal.
Yang dimaksud kekal disini adalah bahwa Al-Quranbukanlah kitab yang hanya
diperuntukkan untuk satu generasi dalam satu masa, atau kitab yang diperuntukkan untuk
beberapa generasi manusia dalam beberapa waktu, dan setelah itu ia akan menjadi
barang rongsokan dan usang tidak berguna lagi, yang harus diganti dengan kitab baru.
Namun ia akan selalu abadi selama masih ada langit dan bumi.
16
Yusuf Qardhawi, al-Quran Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan , Penerjemah: Abdul
Hayyie al-Kattani,, (Jakarta: Gema Insani, 1998), cet. 1, h. 316-317.
17
Yusuf Qardhawi, al-Quran Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan , hlm. 315.
َْ ٰ ُْ َ ْ ْ ْ َ ُْ ْ َ ْ َ
ٖۗث ِمث ِلهٓ ِان كانوا ص ِِ ِقين
ٍ فَيأتوا ِبح ِِي
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Quran itu jika mereka
orang-orang yang benar”. (Ath-Thur: 34)
َ ٰ ُْ ُ
كنت ْْ ص ِِ ِق ْين
Mereka tetap bungkam seribu bahasa, merasa tidak kuasa menghadapi tantangan
ini, yang selalu berulang di Makkah, kemudian baru di Madinah. Bahkan dalam surat al-
Baqarah, Allah menantang mereka dengan tantangan yang lain ketika menyatakan,
walaupun mereka meminta bantuan orang yang mereka anggap mampu, tidak akan bisa
berbuat apa-apa dan tidak akan mampu menjawab tantangan ini. Firman Allah:
ْ ه ْ ُ ْ ْ ُ َ َ َ ُ ْ ُ ْ َ ْ ْ َ ْ ُ ْ ُ ْ َ َ ْ َ ٰ َ َ ْ ََّ َّ ْ َ ْ ْ ُ ْ ُ ْ َ
اّٰلل ِان
ِ واِ ن كنتْ ِفي ري ٍب ِّما نزلنا على عب ِِنا فأتوا ِبسور ٍة ِمن ِمث ِله وادعوا شِْاۤءكْ ِمن دو ِن
ْ َّ ُ ُ َ َ ْ َ ُ َّ َ ُ ْ ُ َ ْ َّ َ َّ ُ َّ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َّ ْ َ َ ْ ٰ ْ ُْ ُ
الحجارة ا ِعِت
ِ ف ِان لْ تفَْوا ولن تفَْوا فاتقوا النار ال ِتي وقودُا الناس و.كنتْ ص ِِ ِقين
ْ
َلل ٰكفر ْين
ِ ِ ِ
“Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Quranyang kami wahyukan kepada
hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat saja yang semisal Al-Quranitu, dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu
tidak dapat membuat-nya dan pasti kamu tidak akan dapat membuat-nya, peliharalah
dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-
orang kafir.” (al-Baqarah: 23-24)18
Begitulah telah dipastikan kekalahan mereka dan lidah mereka yang fasih jadi
bungkam, walaupun mereka memiliki motivasi yang kuat untuk melawan dan menerima
tantangan itu.
18
Yusuf al-Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1999), cet. 1., h. 53-54.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian makalah yang penulis paparkan di atas, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut, yaitu :
1. I’jaz al-quran yang diartikan sebagai “Ilmu yang membahas tentang keistimewaan
Al-Quran yang menjadikan manusia tidak mampu menandinginya.” Panjang uraian
para pakar menyangkut sebab dan aspek apa saja dari Al-Quran sehingga tidak dapat
tertandingi. Salah satu di antaranya adalah aspek kebahasaannya yang juga
mengandung sekian banyak cabang bahasan.
2. Penelitian ini mengambil dua pandangan ulama besar dari masa yang jauh berbeda
yani Abdul Qahir Al-Jurjani (1081 M) dan Yusuf Qardhawi (1926 M)
a. I’jaz Al-Quran menurut Abdul Qahir Al-Jurjani
I’jaz Al-Quran terbagi tiga, Mukjizat Al-Quran dari Balaghahnya yang
bermakna ungkapan yang ada di dalam Al-Quran memiliki tingkat fashahah yang
tinggi dan dari Al-Quran inilah melahirkan ilmu balaghah. Mukjizat al Quran dalam
Nadzmnya yang artinya keindahan (struktur atau susunan kebahasaan) yang
digunakan. Dan yang ketiga adalah esensi nadzm, esensi nadzm menurut Al-
Jurjaniadalah membentuk ungkapan dengan cara mengungkapkan ungkapan tersebut
dengan cara yang fashih pada diri pembicaranya sehingga apa yang dikehendaki oleh
pembicara tersebut sampai kepada orang yang diajak bicara, hal ini tidak akan bisa
tercapai kecuali ada bentuk ungkapan yang maknanya tersampaikan kepada orang
yang diajak berbicara. Maka pembicara dalam membuat ungkapan harus
memperhatikan keteraturan maknanya.
b. I’jaz Al-Quran menurut Yusuf Qardhawi
Mukjizat yang di gambarkan para ulama anatar lain yaitu pristiwa luar biasa
yang terjadi melalui seorang Nabi. Nabi Muhammad adalah Nabi yang salah satu
mukjizatnya adalah Al-Quran dan menurut Yusuf Qardhawi mukjizat Al-Quran
sebagai yaitu, pertama, Al-Qur’an Menjawab Tuntutan Kaum Musyrik Akan
Mukjizat yang mana musyrikin masa itu menuntut dan mendesak diturunkannya
tanda-tanda kekuasaan Allah yang luar biasa (mukjizat) sebagaimana mukjizat yang
diberikan kepada rasul-rasul terdahulu, semisal Nabi Musa dengan tongkatnya, Nabi
Isa yang bisa menghidupkan orang mati, dan rasul-rasul terdahulu lainnnya. Namun
Allah tidak mempedulikan tuntutan mereka, maka di turunkanlah Al-Quran. Kedua,
Al-Qur’an Mukjizat Terbesar yang Bersifat Menantang yaitu Allah menjadikan Al-
Quran sebagai tanda kebesaran satu-satunya yang bersifat menantang. Allah
berfirman dalam Quran, “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang
semisal al-Quran itu jika mereka orang-orang yang benar”. (Ath-Thur: 34).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Ali Muhammad Husain, al Bahts al Balaghi wal Marahil Tathawwurihi, Mesir:
Mathba’ah al Amanah, 1992
Abd al Aziz Atiq, Fi al Balaghah al Arabiyah ‘ilm bayan, Beirut : Dar An Nahdah al
Arabiyah, 1985
Ashani, Sholahuddin, Kontruksi Pemahaman Terhadap I’Jaz Alquran, Journal Analytica
Islamica 4.2, 2015
Al-‘Azâwî, Ni‘mah Rahîm, al-Naqd al-Lughawî ‘Inda al-‘Arab hatta Nihâyat al-Qarn al-
Sâbi‘ al-Hijrî, Baghdâd: Dar al-Hurriyah, 1978
Abbâs, Muhammad, al-‘Ab’âd al-‘Ibdâ‘iyyah fi Manhaj ‘Abd al-Qâhir al-Jurjânî, Damaskus:
Dâr al-Fikr, 1999
Hermawan, Adik. "I’jaz Al-Quran dalam Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi", Madaniyah 6.2,
2016.
Hasan, ‘Abdullah ‘Ali Muhammad, al-Bahts al-Balâghî wa Marâhil Tathawwurihi, Kairo:
Mathba’ah al-Amânah, Cet. I, 1992.
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Gaib, Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998.
Ramadan Abd Tawaab, Fushul Fi Fiqh al Lughah, Kairo : Maktabah al Khanjiy, tt.
Thabrani, Ach, Nadzam Dalam I’jaz Al Quran Menurut Abdul Qahir Al Jurjani, Al Mi'yar:
Jurnal Ilmiah Pembelajaran Bahasa Arab dan Kebahasaaraban 1.1, 2018
Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad dalam Syariat Islam, Penerjemah: Achmad Syathori, Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1987.
Yusuf al-Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani,
Jakarta: Gema Insani Press, 1999