Anda di halaman 1dari 21

ABSTRAK

Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai


jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi,
mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma
akibat senjata api.
Pasien perempuan usia 45 tahun datang dengan keluhan luka pada wajah,
karena kecelakaan sepeda motor dengan kecepatan sedang, dengan mekanisme
jatuh wajah membentur aspal terlebih dahulu. Pasien tidak memiliki riwayat
muntah, pingsan, dan pendarahan lewat hidung maupun telinga.
Serangkaian pemeriksaan dilakukan dimulai dari survey awal ABCDE,
pemeriksaan radiologis, pemeriksaan ekstraoral dan intraoral. Pemeriksaan
ekstraoral menunjukkan terdapat luka robek, luka tembus dan luka gores pada
beberapa regio wajah. Pemeriksaan intraoral menunjukkan adanya luka robek
pada regio gingiva, bibir dan vestibulum, selain itu terdapat fraktur dentoalveolar
yang melibatkan beberapa gigi.
Penanganan trauma jaringan lunak dilakukan dengan pembersihan luka,
debridement, penutupan luka, medikamen, dan injeksi anti tetanus. Penanganan
fraktur dentoalveolar dilakukan dengan reduksi tertutup dengan interdental wiring
menggunakan archbar.
Penanganan trauma maksilofasial pada kasus ini telah sesuai dengan
beberapa literatur, kondisi pasien dilaporkan membaik setelah dilaksanakan
penanganan.
Kata kunci : Trauma, Maksilofasial, Fraktur, Dentoalveolar.

BAB I
PENDAHULUAN

Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai


jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi,
mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma
akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan
saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap
fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan
kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi
terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia
50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun.
Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial
paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan
lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat
mengalami

cacat

permanen.

Oleh

karena

itu,

diperlukan

perawatan

kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin. Selain kecelakaan lalu lintas,
trauma maksilofasial juga disebabkan oleh perkelahian, olahraga, dan jatuh. Pada
anak- anak, trauma maksilofasial paling banyak disebabkan karena olahraga.
Trauma maksilofasial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera
pada wajah, mulut dan rahang. Trauma maksilofasial terdiri dari trauma jaringan
keras dan trauma jaringan lunak.

Trauma jaringan keras diantaranya fraktur sepertiga bawah bawah yang


terdiri berbagai macam fraktur mandibula, fraktur sepertiga tengah wajah yang
terdiri dari Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III. Selain itu juga terdapat
fraktur dentoalveolar dan cedera pada jaringan periodontal.
Trauma jaringan lunak diantaranya luka robek (vulnus laceratum), luka
lecet (vulnus abrasivum), dan luka tusuk/tembus (vulnus punctum).
Pada

makalah

ini,

dilaporkan

kasus

trauma

maksilofasial

dan

penatalaksanaan fraktur dentoalveolar pada pasien yang datang ke Instalasi Gawat


Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin, Bandung.

BAB II
LAPORAN KASUS

Nama

: Ny K.

Usia

: 45 tahun

Jenis kelamin

: perempuan

No. RM

: 0001440978

Keluhan Utama : Luka pada wajah


Subjektif

: Pasien perempuan usia 45 tahun datang dengan keluhan luka


pada wajah, 1 jam smrs saat pasien sedang mengendarai
sepeda motor dengan kecepatan sedang di daerah Padjadjaran
karena menghindari lubang, pasien kehilangan keseimbangan
dan menabrak motor yang disebelahnya, lalu terjatuh dengan
mekanisme wajah membentur aspal terlebih dahulu. Helm (x)
full face, mual muntah (-), pingsan (-), pendarahan mulut (+),
hidung (-), telinga (-)

Objektif

Primary Survey
Airway

: Clear, C-Spine kontrol

Breathing

: B/G Simetris, R=16 x/menit, VBS ki-ka, rh -/-

Circulation

: N= 88x/menit, T= 110/80 mmHg

Disability

: CGS 15 (E4 M6 V5), pupil bulat isokhor, ODS 3mm,refleks


cahaya (+/+)

Secondary Survey
Status Generalisata
Kulit

: Turgor (+)

Kepala : Wajah Asimetris, Multipel VA a/r fasial, oedema+


hematoma a/r pipi,
Mata

: konjunctiva non anemis, sklera non ikterik

Leher

: JVP tidak meningkat, KGB submandibular tidak

teraba tidak sakit


Abdomen

: datar lembut, BU (+)

Thorax : B/G simetris


Pulmo

: VBS ki=ka, Rh -/-, Wh -/-

Cor

: Bunyi Jantung murni regular

Ekstremitas

: akral hangat, CRT < 2, Multipel VA a/r

lutut kiri, ankle dan kedua tangan


Foto Profil Pasien

Foto Ekstremitas Pasien

Status Lokalisata :
Ekstraoral :

wajah asimetris,oedema dan hematoma pada pipi, oedema pada regio


zigomatik sinistra

MVL a/r frontal, tepi tidak rata, dasar otot

MVA a/r fasial

VL a/r Palpebra inferior sin uk 0,8x0,5,0,5 cm, tepi tidak rata, dasar otot

VL a/r sulkus nasolabial uk 8x4x1 cm, tepi tidak rata, dasar otot

VP a/r pipi kanan uk 1x0,7 cm, tepi ireguler

Foto ekstraoral pasien

Intraoral :
-

Gingiva : VL a/r gigi 13-21 , 33-43 uk 6 x 0,5 x 0,5 cm, tepi iregular, dasar
tulang

Bibir : VL a/r labii sup uk 5 x 1,5 x 1 cm, tepi tidak rata, dasar otot. VL a/r
labii inferior uk 2x0,5x0,5 cm, tepi ireguler, dasar otot.

Vestibulum : VL a/r vestibulum gigi 12-13 ukuran 2x0,5x0,5 cm, tepi


iregular, dasar otot

Bukal : TAK

Lidah : TAK

Dasar Mulut : TAK

Palatum : TAK

Tonsil : T1-T1

Status Dentalis :

Foto intraoral pasien

Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien ini dilakukan tiga pemeriksaan radiologi, yaitu anteroposterior
lateral skull view (Schedel), Thorax photo, dan Pelvis photo.

Foto Rontgen Anteroposterior dan Lateral Skull View

10

Kesan : Foto Schedel dalam batas normal

Foto Rontgen Thorax

Kesan : Tidak tampak traumatic wet lung, tidak tampak kardiomegali, tidak
tampak fraktur os clavicula, os scapula, dan os costae.

11

Foto Rontgen Pelvis

Kesan : Foto Pelvis dalam batas normal

Assessment :
-

#dentoalveolar a/r gigi 13-21 et 33-43 disertai avulsi gigi 13, 31, 41, 42 +
#mahkota 12 + #1/3 mahkota gigi 12,#1/3 incisal gigi 11, #1/3 apikal gigi 43

Multipel VL a/r frontal

VL a/r palpebra inferior sn et sulkus nasolabial

VL a/r gingiva 13-21 et 33-43 + VL a/r vestibulum 12-21 + VL a/r labii


superior

Planning :

Injeksi ATS TT
R/ Ceftriaxone inj 1 gr
R/ Ranitidine inj 50 mg
R/ Ketorolac inj 30 mg
Debridement

12

Ekstraksi 12,43, 32-33


Alveolektomi a/r 13-12 et 33-32
Hecting a/r VL IO
IDW a/r 16-23
Hecting a/r VL EO

Foto post debridement

13

Foto post operasi

14

Saran :
- Pro panoramik foto
- Oral hygiene instruction
- diet lunak
- R/ Cefadroxil tab 500 mg 2x1
R/ Ibuprofen tab 400 mg 3x1
- Aplikasi alloclair a/r post hecting IO
- Aplikasi Ikamicetin a/r post hecting EO
- kumur- kumur dengan minosep garg

15

- kontrol ke poli BM RSHS pada hari dan jam kerja


- Aff Hecting POD VII hari selasa 7/4/2015

BAB III
PEMBAHASAN

Pasien perempuan berumur 45 tahun datang dengan keluhan luka pada


wajah karena kecelakaan pada saat mengemudikan sepeda motor dengan
kecepatan sedang. Pasien tidak menggunakan helm full face, tidak memiliki
riwayat mual, muntah, pingsan, dan pendarahan melalui hidung dan telinga.
Pada pasien ini dilakukan survey awal (primary survey) yang dilakukan
untuk melihat kondisi sistemik pasien dan prioritas perawatan pasien berdasarkan

16

luka, tanda- tanda vital dan mekanisme terjadinya luka yang dianjurkan oleh
American College of Surgeon. Primary survey sering disingkat ABCDE, terdiri
dari Airway Maintenance with c-spine protection, Breathing and ventilation,
Circulation with hemorrhage control, Disability- neurologic status, dan Exposure,
Environmental Control (Fonseca et al, 2013).

Pada pasien ini, survey awal

menunjukkan nilai dalam batas normal atau tidak ada kelainan pada semua tahap
pemeriksaan ABCDE.
Tahap selanjutnya pada pasien tersebut dilakukan pemeriksaan status umum,
yang meliputi pemeriksaan kulit, kepala, mata, leher, abdomen, thorax, dan
ekstremitas serta pemeriksaan ekstraoral dan ekstraoral.
Dari hasil pemeriksaan ditemukan luka lecet (Vulnus abrasivum) pada
ekstremitas dan beberapa regio fasial. Vulnus abrasivum disebabkan oleh trauma
gesekan, misalnya gesekan pada jalan beraspal, kaca, dan tanah. Trauma ini
menyebabkan lecetnya epitel dan meninggalkan lapisan dermis yang terekspos
dan berdarah. Vulnus abrasivum terasa perih karena tereksposnya ujung saraf pada
lapisan dermis retikuler (Fonseca et al, 2013). Pada pasien juga ditemukan luka
memar (Contusio) pada regio zigomatik. Luka memar terjadi karena trauma
benturan dengan benda tumpul dan menyebabkan terjadinya hematoma dan edema
pada jaringan subkutan (Fonseca, 2013). Vulnus Abrasivum dan Contusio yang
terdapat pada pasien disebabkan karena pasien jatuh pada saat mengendarai motor
dan wajah pasien mengalami benturan dan gesekan dengan aspal jalan.
Hasil pemeriksaan juga menunjukkan adanya luka robek (Vulnus
Laceratum) dan luka tusuk (Vulnus punctum). Vulnus Laceratum disebabkan oleh

17

cedera tajam yang mengenai jaringan lunak. Vulnus laceratum bisa memiliki tepi
yang tajam, memar, dan tidak beraturan (compang-camping) (Miloro et al, 2004).
Pada pasien dapat terlihat Vulnus Laceratum pada beberapa regio dengan tepi
yang compang- camping tidak beraturan. Vulnus punctum disebabkan oleh benda
runcing/ tajam yang masuk ke dalam kulit.
Pada pasien terdapat fraktur dentoalveolar, dapat dilihat dari adanya fraktur
mahkota, ekstrusi dan kegoyangan gigi, hingga avulsi. WHO telah menentukan
klasifikasi trauma gigi dan jaringan pendukung gigi. Salah satu yang termasuk
dalam cedera jaringan gigi dan pulpa adalah Uncomplicated Crown Fracture,
yaitu fraktur yang mengenai enamel dan dentin tanpa menyebabkan tereksposnya
jaringan pulpa (Fonseca et al, 2013). Uncomplicated crown fracture dapat dilihat
pada gigi 11 pasien. pada pemeriksaan juga ditemukan adanya cedera pada
jaringan periodontal yaitu Extrusive luxation disertai mobiliti pada gigi 11 dan 21,
serta Exarticulation/ Avulsi gigi 13, 31, 41, 42. Extrusive Luxation merupakan
perubahan sebagian posisi gigi keluar dari soket alveolar. Exarticulation
(Complete Avulsion) adalah keluarnya gigi secara keseluruhan dari soket alveolar
((Fonseca et al, 2013).
Prinsip penatalaksanaan trauma jaringan lunak meliputi pembersihan luka,
debridemen, penutupan luka, pemberian medikamentosa, dan pemberian
antitetanus (Fonseca et al, 2013). pada pasien ini pembersihan luka dilakukan
dengan mechanical scrubbing, yaitu menggosok luka dengan kassa steril
menggunakan larutan antiseptic, kemudian dilanjutkan irigasi dan dilusi sampai
benar- benar bersih, mengingat kondisi pasien yang jatuh pada jalan beraspal yang

18

sangat memungkinkan untuk menyebabkan infeksi apabila luka tidak benar- benar
bersih. Selanjutnya dilakukan debridemen, membuang jaringan non vital dengan
gunting jaringan, dengan tanpa mencederai vascular atau nervus, Jaringan non
vital biasanya memiliki warna yang lebih pucat, lebih rapuh dan tidak berdarah.
Debridemen dilakukan hingga terlihat jaringan normal, biasanya terlihat adanya
perdarahan dari jaringan yang dipotong. Selanjutnya dilakukan penutupan luka
dengan penjahitan luka robek di daerah intraoral dan ekstraoral.
Pemberian medikamentosa juga dilakukan pada pasien ini, obat yang
diberikan adalah antibiotik (Ceftriaxone), NSAID (Ketorolac), serta antihistamin
(ranitidine). Ketiga obat tersebut diberikan secara intravena. Obat- obatan tersebut
bertujuan untuk mengurangi tingkat infeksi yang mungkin terjadi serta
mengurangi peradangan yang disebabkan oleh trauma dan infeksi (Fonseca et al,
2013).
Pencegahan kemungkinan terjadinya tetanus pada pasien ini dilakukan
dengan injeksi antitetanus serum (ATS) dengan terlebih dahulu dilakukan skin
test, dan injeksi tetanus toksoid (TT) (Fonseca et al, 2013).
Penanganan fraktur dentoalveolar pada pasien ini dilakukan dengan reposisi
dan fiksasi dengan menggunakan arch bar wiring. Arch bar termasuk kedalam
penanganan fraktur dengan metode reduksi tertutup, artinya reduksi fraktur dan
immobilisasi fraktur dicapai dengan penempatan alat fiksasi tanpa melalui
pembedahan (Miloro et al, 2004).
Sebelum dilakukan pemasangan archbar, prosedur anestesi local dilakukan
terlebih dahulu pada pasien ini. Archbar dipasang dengan cara mengikatkan kawat

19

stainless berukuran 0,4 mm. kawat diinsersikan melingkari tiap- tiap gigi (melalui
atas arch bar pada satu sisi dan di bawah arch bar pada sisi yang lain), kemudian
ujung kawat dipilin searah jarum jam. Pada pasien ini dilakukan pemasangan arch
bar dari gigi 16 hingga ke gigi 23.
Selain teknik arch bar wiring, interdental wiring fixation dapat juga
dilakukan dengan metode Essig, Eyelet/Ivy loop, Risdon horizontal dan Stout
continuous loop (Fonseca et al, 2013).
Setelah semua prosedur penanganan trauma dilakukan, pasien diberi saran
untuk melakukan foto panoramik untuk melihat apakah ada fraktur yang tidak
terlihat melalui foto schedel dan diberikan oral hygiene instruction. Pemberian
resep medikasi antibiotik dan NSAID juga dilakukan. Pasien juga diberikan
instruksi untuk mengoleskan Alloclair pada regio post hecting intraoral dan
mengoleskan Ikamicetin pada regio post hecting ekstraoral.
BAB IV
KESIMPULAN

Pada kasus ini, penanganan trauma maksilofasial telah sesuai dengan


beberapa literatur. Penanganan trauma maksilofasial secara umum diawali dengan
primary survey untuk memeriksa ABCDE, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan
ekstra oral dan intraoral, serta didukung oleh pemeriksaan penunjang radiologi
maupun pemeriksaan lab.
Penanganan

cedera

jaringan

lunak

mencakup

pembersihan

luka,

debridemen, penutupan luka, pemberian medimen serta pemberian injeksi

20

antitetanus. penanganan fraktur dentoalveolar secara umum dilakukan melalui


reduksi terbuka atau reduksi tertutup. Pada kasus ini dilakukan dengan reduksi
tertutup dengan interdental wiring menggunakan arch bar.
Kondisi pasien pada kasus ini dilaporkan membaik setelah dilakukan
penanganan.

DAFTAR PUSTAKA

Fonseca, R. J., Walker, R. V., Barber, H. D., Powers, M. P., Frost, D. E. 2013.
Oral and Maxillofacial Trauma : 4th Edition. Elsevier : St. Louis.
Miloro, M., Ghali, G. E., Larsen, P. E., Waite, P. D. 2004. Petersons Principle of
Oral and Maxillofacial Surgery : 2nd Edition. BC Decker Inc : Ontario.

21

Anda mungkin juga menyukai