BAB I
PENDAHULUAN
cacat
permanen.
Oleh
karena
itu,
diperlukan
perawatan
kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin. Selain kecelakaan lalu lintas,
trauma maksilofasial juga disebabkan oleh perkelahian, olahraga, dan jatuh. Pada
anak- anak, trauma maksilofasial paling banyak disebabkan karena olahraga.
Trauma maksilofasial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera
pada wajah, mulut dan rahang. Trauma maksilofasial terdiri dari trauma jaringan
keras dan trauma jaringan lunak.
makalah
ini,
dilaporkan
kasus
trauma
maksilofasial
dan
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama
: Ny K.
Usia
: 45 tahun
Jenis kelamin
: perempuan
No. RM
: 0001440978
Objektif
Primary Survey
Airway
Breathing
Circulation
Disability
Secondary Survey
Status Generalisata
Kulit
: Turgor (+)
Leher
Cor
Ekstremitas
Status Lokalisata :
Ekstraoral :
VL a/r Palpebra inferior sin uk 0,8x0,5,0,5 cm, tepi tidak rata, dasar otot
VL a/r sulkus nasolabial uk 8x4x1 cm, tepi tidak rata, dasar otot
Intraoral :
-
Gingiva : VL a/r gigi 13-21 , 33-43 uk 6 x 0,5 x 0,5 cm, tepi iregular, dasar
tulang
Bibir : VL a/r labii sup uk 5 x 1,5 x 1 cm, tepi tidak rata, dasar otot. VL a/r
labii inferior uk 2x0,5x0,5 cm, tepi ireguler, dasar otot.
Bukal : TAK
Lidah : TAK
Palatum : TAK
Tonsil : T1-T1
Status Dentalis :
Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien ini dilakukan tiga pemeriksaan radiologi, yaitu anteroposterior
lateral skull view (Schedel), Thorax photo, dan Pelvis photo.
10
Kesan : Tidak tampak traumatic wet lung, tidak tampak kardiomegali, tidak
tampak fraktur os clavicula, os scapula, dan os costae.
11
Assessment :
-
#dentoalveolar a/r gigi 13-21 et 33-43 disertai avulsi gigi 13, 31, 41, 42 +
#mahkota 12 + #1/3 mahkota gigi 12,#1/3 incisal gigi 11, #1/3 apikal gigi 43
Planning :
Injeksi ATS TT
R/ Ceftriaxone inj 1 gr
R/ Ranitidine inj 50 mg
R/ Ketorolac inj 30 mg
Debridement
12
13
14
Saran :
- Pro panoramik foto
- Oral hygiene instruction
- diet lunak
- R/ Cefadroxil tab 500 mg 2x1
R/ Ibuprofen tab 400 mg 3x1
- Aplikasi alloclair a/r post hecting IO
- Aplikasi Ikamicetin a/r post hecting EO
- kumur- kumur dengan minosep garg
15
BAB III
PEMBAHASAN
16
luka, tanda- tanda vital dan mekanisme terjadinya luka yang dianjurkan oleh
American College of Surgeon. Primary survey sering disingkat ABCDE, terdiri
dari Airway Maintenance with c-spine protection, Breathing and ventilation,
Circulation with hemorrhage control, Disability- neurologic status, dan Exposure,
Environmental Control (Fonseca et al, 2013).
menunjukkan nilai dalam batas normal atau tidak ada kelainan pada semua tahap
pemeriksaan ABCDE.
Tahap selanjutnya pada pasien tersebut dilakukan pemeriksaan status umum,
yang meliputi pemeriksaan kulit, kepala, mata, leher, abdomen, thorax, dan
ekstremitas serta pemeriksaan ekstraoral dan ekstraoral.
Dari hasil pemeriksaan ditemukan luka lecet (Vulnus abrasivum) pada
ekstremitas dan beberapa regio fasial. Vulnus abrasivum disebabkan oleh trauma
gesekan, misalnya gesekan pada jalan beraspal, kaca, dan tanah. Trauma ini
menyebabkan lecetnya epitel dan meninggalkan lapisan dermis yang terekspos
dan berdarah. Vulnus abrasivum terasa perih karena tereksposnya ujung saraf pada
lapisan dermis retikuler (Fonseca et al, 2013). Pada pasien juga ditemukan luka
memar (Contusio) pada regio zigomatik. Luka memar terjadi karena trauma
benturan dengan benda tumpul dan menyebabkan terjadinya hematoma dan edema
pada jaringan subkutan (Fonseca, 2013). Vulnus Abrasivum dan Contusio yang
terdapat pada pasien disebabkan karena pasien jatuh pada saat mengendarai motor
dan wajah pasien mengalami benturan dan gesekan dengan aspal jalan.
Hasil pemeriksaan juga menunjukkan adanya luka robek (Vulnus
Laceratum) dan luka tusuk (Vulnus punctum). Vulnus Laceratum disebabkan oleh
17
cedera tajam yang mengenai jaringan lunak. Vulnus laceratum bisa memiliki tepi
yang tajam, memar, dan tidak beraturan (compang-camping) (Miloro et al, 2004).
Pada pasien dapat terlihat Vulnus Laceratum pada beberapa regio dengan tepi
yang compang- camping tidak beraturan. Vulnus punctum disebabkan oleh benda
runcing/ tajam yang masuk ke dalam kulit.
Pada pasien terdapat fraktur dentoalveolar, dapat dilihat dari adanya fraktur
mahkota, ekstrusi dan kegoyangan gigi, hingga avulsi. WHO telah menentukan
klasifikasi trauma gigi dan jaringan pendukung gigi. Salah satu yang termasuk
dalam cedera jaringan gigi dan pulpa adalah Uncomplicated Crown Fracture,
yaitu fraktur yang mengenai enamel dan dentin tanpa menyebabkan tereksposnya
jaringan pulpa (Fonseca et al, 2013). Uncomplicated crown fracture dapat dilihat
pada gigi 11 pasien. pada pemeriksaan juga ditemukan adanya cedera pada
jaringan periodontal yaitu Extrusive luxation disertai mobiliti pada gigi 11 dan 21,
serta Exarticulation/ Avulsi gigi 13, 31, 41, 42. Extrusive Luxation merupakan
perubahan sebagian posisi gigi keluar dari soket alveolar. Exarticulation
(Complete Avulsion) adalah keluarnya gigi secara keseluruhan dari soket alveolar
((Fonseca et al, 2013).
Prinsip penatalaksanaan trauma jaringan lunak meliputi pembersihan luka,
debridemen, penutupan luka, pemberian medikamentosa, dan pemberian
antitetanus (Fonseca et al, 2013). pada pasien ini pembersihan luka dilakukan
dengan mechanical scrubbing, yaitu menggosok luka dengan kassa steril
menggunakan larutan antiseptic, kemudian dilanjutkan irigasi dan dilusi sampai
benar- benar bersih, mengingat kondisi pasien yang jatuh pada jalan beraspal yang
18
sangat memungkinkan untuk menyebabkan infeksi apabila luka tidak benar- benar
bersih. Selanjutnya dilakukan debridemen, membuang jaringan non vital dengan
gunting jaringan, dengan tanpa mencederai vascular atau nervus, Jaringan non
vital biasanya memiliki warna yang lebih pucat, lebih rapuh dan tidak berdarah.
Debridemen dilakukan hingga terlihat jaringan normal, biasanya terlihat adanya
perdarahan dari jaringan yang dipotong. Selanjutnya dilakukan penutupan luka
dengan penjahitan luka robek di daerah intraoral dan ekstraoral.
Pemberian medikamentosa juga dilakukan pada pasien ini, obat yang
diberikan adalah antibiotik (Ceftriaxone), NSAID (Ketorolac), serta antihistamin
(ranitidine). Ketiga obat tersebut diberikan secara intravena. Obat- obatan tersebut
bertujuan untuk mengurangi tingkat infeksi yang mungkin terjadi serta
mengurangi peradangan yang disebabkan oleh trauma dan infeksi (Fonseca et al,
2013).
Pencegahan kemungkinan terjadinya tetanus pada pasien ini dilakukan
dengan injeksi antitetanus serum (ATS) dengan terlebih dahulu dilakukan skin
test, dan injeksi tetanus toksoid (TT) (Fonseca et al, 2013).
Penanganan fraktur dentoalveolar pada pasien ini dilakukan dengan reposisi
dan fiksasi dengan menggunakan arch bar wiring. Arch bar termasuk kedalam
penanganan fraktur dengan metode reduksi tertutup, artinya reduksi fraktur dan
immobilisasi fraktur dicapai dengan penempatan alat fiksasi tanpa melalui
pembedahan (Miloro et al, 2004).
Sebelum dilakukan pemasangan archbar, prosedur anestesi local dilakukan
terlebih dahulu pada pasien ini. Archbar dipasang dengan cara mengikatkan kawat
19
stainless berukuran 0,4 mm. kawat diinsersikan melingkari tiap- tiap gigi (melalui
atas arch bar pada satu sisi dan di bawah arch bar pada sisi yang lain), kemudian
ujung kawat dipilin searah jarum jam. Pada pasien ini dilakukan pemasangan arch
bar dari gigi 16 hingga ke gigi 23.
Selain teknik arch bar wiring, interdental wiring fixation dapat juga
dilakukan dengan metode Essig, Eyelet/Ivy loop, Risdon horizontal dan Stout
continuous loop (Fonseca et al, 2013).
Setelah semua prosedur penanganan trauma dilakukan, pasien diberi saran
untuk melakukan foto panoramik untuk melihat apakah ada fraktur yang tidak
terlihat melalui foto schedel dan diberikan oral hygiene instruction. Pemberian
resep medikasi antibiotik dan NSAID juga dilakukan. Pasien juga diberikan
instruksi untuk mengoleskan Alloclair pada regio post hecting intraoral dan
mengoleskan Ikamicetin pada regio post hecting ekstraoral.
BAB IV
KESIMPULAN
cedera
jaringan
lunak
mencakup
pembersihan
luka,
20
DAFTAR PUSTAKA
Fonseca, R. J., Walker, R. V., Barber, H. D., Powers, M. P., Frost, D. E. 2013.
Oral and Maxillofacial Trauma : 4th Edition. Elsevier : St. Louis.
Miloro, M., Ghali, G. E., Larsen, P. E., Waite, P. D. 2004. Petersons Principle of
Oral and Maxillofacial Surgery : 2nd Edition. BC Decker Inc : Ontario.
21