Anda di halaman 1dari 22

DIURETIK, PATOFISIOLOGI

DAN PENGGUNAANNYA DI KLINIK


A. PENDAHULUAN
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah diuresis
mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang
diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dalam air.
Pemakaian diuretik sebagai terapi edema telah dimulai sejak abad ke-16. HgCl 2
diperkenalkan oleh Paracelcus sebagai diuretik. 1930 Swartz menemukan bahwa sulfanilamide
sebagai antimikrobial dapat juga digunakan untuk mengobati edema pada pasien payah jantung,
yaitu dengan meningkatkan eksresi dari Na +. Diuretik modern semakin berkembang sejak
ditemukannya efek samping dari obat-obat antimikroba yang mengakibatkan perubahan
komposisi dan output urine. Terkecuali spironolakton, diuretik kebanyakan berkembang secara
empiris, tanpa mengetahui mekanisme sistem transpor spesifik di nephron. Diuretik adalah obat
yang terbanyak diresepkan di USA, cukup efektif, namun memiliki efek samping yang banyak
pula.
B. ANANTOMI DAN FISIOLOGI GINJAL
Dua ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, diluar rongga peritoneum seperti pada gambar 1.
Setiap ginjal pada orang dewasa beratnya kira-kira 150 gram. Sisi medial setiap ginjal merupakan daerah lekukan
yang disebut hilus tempat lewatnya arteri dan vena renalis, cairan limfatik, suplai saraf, dan ureter yang membawa
urin akhir dari ginjal ke kandung kemih, tempat urin disimpan hingga dikeluarkan. Ginjal dilingkupi oleh kapsul
fibrosa yang keras untuk melindungi struktur dalamnya yang rapuh.

Gambar 1. Susunan umum ginjal dan sistem kemih


Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

Secara histologis, ginjal dibagi menjadi dua daerah yaitu korteks di bagian luar dan medula di bagian
dalam. Medula ginjal terbagi menjadi beberapa massa jaringan berbentuk kerucut yang disebut
piramida ginjal. Dasar dari setiap piramida dimulai pada perbatasan antara korteks dan medula
serta berakhir di papilla, yang menonjol ke dalam ruang pelvis ginjal, yaitu sambungan dari
ujung ureter bagian atas yang berbentuk corong. Batas luar pelvis terbagi menjadi kantongkantong dengan ujung terbuka yang disebut dengan kaliks mayor, yang meluas ke bawah dan terbagi menjadi
kaliks minor, yang mengumpulkan urin dari tubulus setiap papila. Dinding kaliks, pelvis, dan ureter terdiri dari
elemen-elemen kontraktil yang mendorong urin menuju kandung kemih, tempat urin disimpan dan dikeluarkan
melalui mikturisi.
Darah yang mengalir ke kedua ginjal normalnya sekitar 22% dari curah jantung, atau 1100 ml/menit.
Arteri ginjal utama (arteri renalis) bercabang di dekat hilum ginjal ke dalam arteri segmentalis yang selanjutnya
bercabang lagi membentuk arteri interlobaris yang menembus parenkim ginjal. Arteri interlobaris melengkung
pada perbatasan medula dan korteks ginjal untuk membentuk pembuluh seperti lengkungan yang disebut
arteri arcuata. Arteri arcuata bercabang lagi membentuk pembuluh vertikal yang disebut arteri
interlobularis, yang masuk ke korteks renal dan menyuplai darah ke arteriol aferen. Arteriol aferen
tunggal berpenetrasi ke glomerulus tiap nefron dan bercabang lagi dalam jumlah banyak untuk membentuk ikatan
kapiler glomerulus. Cabang-cabang ini bergabung membentuk arteriol eferen.
Arteriol-arteriol eferen pada glomeruli superfisial naik ke permukaan ginjal sebelum dipisah kedalam
kapiler peri tubulus yang menjaga elemen-elemen tubulus dari korteks renal. Arteriol eferen pada
jukstamedula glomeruli turun ke medula dan bercabang untuk membentuk arteriol rekta menurun,
yang menyuplai darah ke kapiler-kapiler medula. Darah yang kembali dari medula melalui arteriol rekta naik
mengalir secara langsung ke vena arcuata, dan darah dari kapiler peritubulus korteks masuk ke vena interlobular
yang selanjutnya berhubungan dengan vena arcuata. Vena arcuata mengalirkan darah kedalam vena interlobaris,
yang selanjutnya berhubungan dengan vena arcuata. Vena arcuata mengalirkan darah kedalam vena interlobularis,
yang selanjutnya mengalir ke vena segmentalis, kemudian meninggalkan ginjal melalui vena ginjal utama.
Unit dasar pembentukan urin di ginjal adalah nefron, yang terdiri atas organ-organ penyaring, glomerulus,
yang terhubung dengan suatu bagian tubulus panjang yang mereabsorpsi dan membentuk ultrafiltrat glomerular.
Tiap ginjal manusia terdiri atas sekitar 1 juta nefron. Tata nama untuk segmen-segmen nefron tubulus menjadi
sangat kompleks karena para ahli fisiologi ginjal telah membagi lagi nefron menjadi segmen-segmen yang lebih
pendek. Pembagian ini awalnya didasarkan lokasi aksial segmen tetapi selanjutnya didasarkan pada morfologi selsel epitelium yang terdapat di berbagai segmen nefron.
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi,
reabsorpsi, dan sekresi. Proses filtrasi di glomerulus dimana terjadi penyerapan darah yang
tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh
bowmen yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dan zat-zat yang lain
diteruskan ke tubulus ginjal. Cairan yang disaring disebut filtrat glomerulus.
Pada proses reabsorbsi proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,
sodium, klorida fosfat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif (obligator
reabsorbsi) di tubulus proximal. Sedangkan pada tubulus distal terjadi kembali penyerapan
sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi
fakultatif) dan sisanya dialirkan pada papilla renalis.
Dan proses sekresi terjadi sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal
dialirkan ke papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar.
Tabel 1. Segmen Nefron dan Fungsinya
Segmen
Glomerulus
Tubulus kontortus

Fungsi
Pembentukan filtrasi glomerulus
Reabsorpsi 65% Na+ yang difiltasi, K+, Ca+ dan

proksimal

Mg+, 85% NaHCO3+, dan hampir 100% glukosa

Tubulus rektus

dan asam amino. Reabsorpsi isosmotik air


Sekreis dan reabsorpsi asam dan basa organic,

proksimal
Ansa henle cabang

termasuk asam urat dan kebanyakan diuretik.


Reabsorpsi pasif air

decendens tipis
Ansa henle cabang

Reabsorpsi aktif 15-25% Na+ yang difiltrasi , K+,

asendens tebal
Tubulus kontortus

Cl-. Reabsorpsi sekunder Ca2+ dan Mg+


Reabsorpsi aktif 4-8% Na+ dan Cl- yang difiltrasi.

distal

Reabsorpsi Ca2+ dibawah control hormone

Tubulus koligen

paratiroid
Reabsorpsi Na+ (2-5%) digabung dengan sekresi

renalis kotikal
Tubulus koligen

K+ dan H+
Reabsorpsi air dibawah control vasopresin

renalis medulla

Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

Gambar 2. Pembagian nefron menjadi 14 subsegmen

C. DIURETIK

Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah diuresis
mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang
diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dalam air.
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan edema yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel menjadi normal.
D. KLASIFIKASI DIURETIK
Secara umum diuretik dapat dibagi atas dua golongan besar yaitu penghambat
mekanisme transport elektrolit di dalam tubulus ginjal dan diuretik osmotic. Obat penghambat
mekanisme transport elektrolit di dalam tubuli ginjal ialah diuretik kuat (Loop Diuretik),
benzotiadiazid, diuretik hemat kalium, dan penghambat karbonik anhidrase.
1. DIURETIK KUAT (Loop Diuretik)
Diuretik kuat

mencakup

sekelompok

diuretik

yang efeknya

sangat kuat

dibandinggkan dengan diuretik lain. Tempat kerjanya di ansa Henle bagian ascendens.
Kelompok ini termasuk furosemid, torsemid, asam etakrinat, dan bumetanid.
Furosemid, atau asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoil antranilat masih tergolong
derivate sulfonamide. Obat ini merupakan salah satu standar untuk pengobatan gagal
jantung dan edema paru. Bumetanid merupakan derivate asam 3-aminobenzoat yang
lebih poten daripada furosemid, tetapi dalam hal lain kedua senyawa ini mirip satu
dengan yang lain. Asam etakrinat termasuk diuretik yang dapat diberikan secara oral
maupun parenteral dengan hasil yang memuaskan.
FARMAKODINAMIKA. Diuretik kuat terutama bekerja dengan cara menghambat
reabsorpsi elektrolit Na+/K+/2Cl- di ansa Henle ascendens bagian epitel tebal; tempat
kerjanya di permukaan sel epitel bagian luminal (yang menghadap ke lumen tubuli). Pada
pemberian intraven cenderung meningkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai
peningkatan filtrasi glomerulus. Peningkatan aliran darah ginjal ini hanya berlangsung
sebentar. Dengan berkurangnya cairan ekstrasel akibat diuresis, maka aliran darah ginjal
menurun dan hal ini akan meningkatnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli
proksimal. Hal yang terkahir ini agaknya merupakan suatu mekanisme kompensasi yang

Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

membantasi jumlah zat terlarut yang mencapai bagian epitel tebal Henle ascendens,
dengan demikian mengurangi diuresis.
Diuretik kuat juga menyebabkan meningkatnya ekskresi K + dan kadar asam urat
plasma, mekanismenya kemungkinan besar sama dengan tiazid. Ekskresi Ca ++ dan Mg+
juga ditingkatkan sebanding dengan peningkatan ekskresi Na +. Berbeda dengan tiazid,
golongan ini tidak meningkatkan reabsorpsi Ca ++ di tubuli distal. Berdasarkan atas efek
kalsiuria ini, golongan diuretik kuat digunakan untuk pengobatan simptomatik
hiperkalsemia.
Diuretik kuat meningkatkan ekskresi asam yang dapat dititrasi (titrable acid) dan
ammonia. Fenomena yang diduga terjadi karena efeknya di nefron distal ini merupakan
salah satu faktor penyebab terjadi alkalosis metabolik.
Bila mobilisasi cairan edema terlalu cepat, alkalosis metabolik oleh diuretik kuat ini
terutama terjadi akibat penyusutan volume cairan ekstrasel. Sebaliknya pada penggunaan
yang kronik, faktor utama penyebab alkalosis ialah besarnya asupan garam dan ekskresi
H+ dan K+. Alkalosis sering kali disertai dengan hiponatremia, tetapi masing-masing
disebabkan oleh mekanisme yang berbeda.
FARMAKOKINETIK. Diuretik kuat mudah diserap melalui saluran cerna, dengan
derajat yang berbeda-beda. Bioavailabilitas furosemid 65% sedangkan bumetenid hampir
100%. Obat golongan ini terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga difiltrasi
di glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui sistem transport asam organik di tubuli
proksimal. Dengan cara ini obat terakumulasi di cairan tubuli dan mungkin sekali di
tempat kerja di daerah yang lebih distal lagi. Probenesid dapat menghambat sekresi
furosemid dan interaksi antar keduanya hanya terbatas pada tingkat sekresi tubuli, dan
tidak pada tempat kerja diuretik. Torsemid memiliki masa kerja yang lebih panjang dari
furosemid.
Torsemid terikat dengan protein plasma adalah sekitar 97-99%. Torsemid memiliki
masa kerja selama 6-8 jam. Torsemid dimetabolisme di hati oleh enzim P450 dihati.
Sebanyak 73% torsemid diekskresi melalui metabolism di hati dan 27% diekskresi dalam
urin.
Asam etakrinat 2/3 yang diberikan secara IV diekskresi melalui ginjal dalam bentuk
utuh dan dalam konjungasi dengan senyawa sulfihidril terutama sistein dan N-asetil
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

sistein. Sebagian lagi diekskresi melalui hati. Sebagian besar furosemid diekskresi
dengan cara yang sama, hanya sebagian kecil dalam bentuk glukoronid. Bumetanid 50%
diekskresi dalam bentuk asal, selebihnya sebagai metabolit.
EFEK SAMPING. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan diuretik kuat
antara lain:
1) Gangguan cairan dan elektrolit, seperti hipotensi, hiponatremia, hipokalemia,
hipokloremia, hipokalsemia dan hipomagnesemia.
2) Ototoksisitas. Asam aetakrinat dapat menyebabkan ketulian semetara maupun
menetap. Efek ini juga dapat terjadi pada furosemid namun hanya bersifat
sementara. Sedangkan pada bumetanid lebih jarang terjadi. Hal ini disebabkan
karena perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfe.
3) Hipotensi dapat terjadi akibat depelsi volume sirkulasi.
4) Efek metabolik seperti hiperurisemia dan hiperglikemia, peningkatan kadar
kolestrol LDL dan trigliserida, serta penurunan HDL.
5) Reaksi alergi. Reaksi alergi umumnya berkaitan dengan struktur molekul yang
menyerupai sulfonamide (obat anti bakteri). Diuretik kuat dan tiazid
dikontraindikasi pada pasien dengan riwayat alergi sulfonamide. Asam etakrinat
merupakan satu-satunya yang tidak termasuk dalam golonngan sulfonamid, dan
digunakan khususnya pad apsien yang alergi sulfonamide.
6) Nefritis interstisialis alergik. Furosemid dan tiazid diduga dapat menyebabkan
nefritis interstisialis alergik yang menyebabkan gagal ginjal reversible.
INDIKASI. Furosemid merupakan obat standar pada gagal janntung yang disertai
edema dan tanda-tanda bendungan sirkulasi seperti peninggian tekanan vena juguler,
edema paru, edema tungkai dan asites. Pada edema refrakter, diuretik kuat biasanya
digunakan bersama diuretik yang lain, seperti tiazid atau diuretik hemat kalium. Diuretik
kuat juga obat yang efektif mengatasi asites akibat sirosis hepatis dan edema akibat gagal
ginjal. Bila ada nefrosis atau gagal ginjal kronik, maka dosis furosemid perlu ditingkatkan
dari dosis biasa karena banyak protein dalam cairan tubuli yang akan mengikat furosemid
sehingga menghambat diuresis.
Diuretik kuat dikontraindikasikan pada keadaan gagal ginjal yang disertai anuria.

Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

Gambar 3. Sediaan dan Dosis Diuretik Kuat


2. DIURETIK BENZOTIADIAZID (TIAZID)
Benzotiadiazid disintesis dalam rangka penelitian zat penghambatan enzim karbonik
anhidrase. Komposis yang terbentuk setelah pemberian obat ini ternyata mengandung
banyak ion klorida, efek sangat berbeda dengan senyawa induknya yaitu benze
disulfonamid. Penelitian ini menunjukkan benzotaidiazid berefek langsung terhadap
transport Na+ dan Cl- di tubuli ginjal, lepas dari efek penghambatannya terhadap enzim
karbonik anhidrase. Prototype golongan benzotiadiazid adalah klorotiazid., yang
merupakan obat tandingan pertama golongan Hg-organik. Sebagian besar senyawa
benzitiadiazid merupakan analog dari 1,2,4-benzo-tiadiazin-1,1 dioksi.
Beberapa efek diuretik sulfonamide yang strukturnya sama sekali berbeda dengan
tiazid, menunjukkan efek farmakologi yang sama dengan tiazid. Senyawa-senyawa
tersebut adalah klortalidon, kuinetazon, metolazon, dan indapamid.
FARMAKODINAMIK. Diuretik tiazid bekerja menghambat simporter Na+, Cl-, di
hulu tubulus distal. Sistem transport ini dalam keadaan normal berfungsi membawa Na +
dan Cl- dari lumen kedalam sel epitel tubulus. Na+ selanjutnya dipompakan keluar tubulus
dan ditukar dengan K+, sedangkan klorida dikeluarkan melalui kanal klorida. Efek
farmakodinamik tiazid yang uatama ialah meningkatkan ekskresi Na +, Cl-, dan sejumlah
air. Efek natriuresis dan klororesis ini disebabkan oleh penghambatan mekanisme
reabsorpsi elektrolit pada hulu tubuli distal (early distal tubule). Laju ekskresi Na+
maksimal yang ditimbulkan oleh tiazid relatif lebih rendah dari beberapa diuretik yang
lain, hal ini disebakan oleh 90% Na+ dalam cairan filtrate telah direabsorpsi lebih dahulu
sebelum ia mencapai tempat kerja tiazid.
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

Pada pasien hipertensi, tiazid menurukan tekanan darah bukan saja karena efek
diuretiknya, tetapi juga karena efek langsung terhadap arteriol sehingga terjadi
vasodilatasi.
Pada diabetes insipidus, tiazid justru mengurangi dieresis. Efek yang tampaknya
paradox ini diduga berdasarkan pengurangan volume plasma yang diikuti oleh penurunan
laju filtrasi glomerulus sehingga meningkatkan reabsorpasi Na + dan air di tubulus
proksimal. Akibatnya jumlah air dan Na yang melewati segmen distal berkurang sehingga
volume maksimal urin yang encer juga berkurang. Hasil akhirnya adalah pengurangan
poliuria.
Fungsi ginjal. Tiazid dapat menggurangi kecepatan filtrasi glomerulus, terutam bila
diberikan secara intravena. Hal ini disebabkan oleh pengurangan aliran darah ginjal.
Namun berkurangnya filtrasi ini sedikit sekali berpengaruh terhadap efek diuretik tiazid,
dan hanya mempunyai arti klinis bila fungsi ginjal sudah kurang. Efek kaliuresis
disebebakan oleh bertambahnya natriuresis dan pertukaran antara Na+ dan K+ yang
menadji lebih aktif pada tubuli distal. Harus diingat bahwa pada pasien edema pertukaran
Na+ dengan K+ menjadi lebih aktif karena sekresi aldosteron bertambah.
Asam urat. Tiazid dapat meningkatkan kadar asam urat darah dengan kemungkinan 2
mekanisme: 1) tiazid meninggikan reabsorpsi asam urat di tubuli proksimal; 2) tiazid
mungkin sekali menghambat ekskresi asam urat oleh tubuli.
Berbeda dengan diuretik yang lain, tiazid menurukan ekskresi kalsium sampai 40%
karena tiazid tidak dapat menghambat reabsorpsi kalsium oleh tubuli distal. Hal ini dapat
meningkatkan kadar kalsium darah dan menurukan fraktur pada osteoporosis.
Cairan ekstrasel. Tiazid dapat meninggikan ekskresi ion K+ terutama pada
pemberian jangka pendek. Ekskresi natrium yang berlebihan tanpa disertai dengan
jumlah air yang sebanding, dapat menyebabkan hiponatremia dan hipokloremi, terutama
bila pasien tersebut mendapat diet rendah garam. Ekskresi Mg++ meningkat, sehingga
dapat menyebabkan hipomagnesemia.
FARMAKOKINETIK. Absorpsi tiazid melalui saluran cerna baik sekali. Umunya
efek obat tampak setelah setelah 1 jam. klorotiazid didistribusikan ke seluruh ruang
ekstrasel dan dapat melewati sawar urin, tetapi obat ini hanya dapat ditimbun dalam
jaringan ginjal saja. Dengan suatu proses aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubuli proksimal
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

ke dalam cairan tubuli. Jadi klirens ginjal obat ini besar sekali, biasanya dalam 3-6 jam
sudah diekskresi dari badan. Bendroflumetiazid, politiazid, dan klortalidon mempunyai
masa kerja yang lebih panjang karena ekskresinya lebih lambat. Klorotiazid dalam tubuh
tidak mengalami perubahan metaboli, sedangkan politiazid sebagian dimetabolisme
dalam tubuh.
EFEK SAMPING. Efek samping tiazid berkaitan dengan kadar plasma. Uji klinik
membuktikan bahwa dosis rendah (12,5-25 mg HCT) lebih efektif menurunkan tekanan
darah dan mengurangi resiko kardiovaskuler. Efek samping diuretik tiazid antara ain:
1) Gangguan

elektrolit

meliputi

hipokalemia,

hipovolemia,

hiponatremia,

hipokloremia, hipomagnesemia. Hipoklaemia mempermudah terjadinya aritmia


terutama pada pasien yang mendapatkan digitalis atau antiaritmia lain. Pemberian
diuretik pada pasien sirosis dengan asites perlu dilakukan dengan hati-hati,
gangguan pembentukan H+ menyebabkan amoniak tidak dapat diubah menjadi
ammonium dan memasuki darah, sehingga dapat menyebabkan terjadinya depresi
mental dan koma pada pasien sirosis hepatis.
2) Gejala insufisiensi ginjal dapat diperberat oleh tiazid, karena tiazid dapat
langsung menguragi aliran darah ginjal.
3) Hiperkalsemia. Pada pemberian tiazid jangka panjang dapat meningkatkan kadar
kalsium. Efek samping ini menguntukan terutama pada orang tua dengan resiko
osteoporosis.
4) Hiperurisemia. Diuretik tiazid dapat meningkatkan kadar asam urat darah akrena
efeknya menghambat sekresi dan meningkatkan reabsorpsi asam urat.
5) Tiazid menurukan toleransi glukosa dan mengurangi efektivitas

obat

hipoglikemik oral. Hal ini disebabkan karena kurangnya sekresi insulin terhadap
peningkatan glukosa plasma, meningkatkan glukogenolisis dan mengurangi
glukogenesis.
6) Tiazid menyebabkan peningkatan kadar kolestrol dan trigliserida. Mekanisme
untuk hal ini masih belum diketahui, tetapi tidak jelas apakah hal ini
meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis.
7) Gangguan fungsi seksual. Mekanisme untuk hal ini masih belum diketahui.
INDIKASI. Pada hipertensi, tiazid merupakan salah satu pengobatan hipertensi, baik
secara tunggal atau kombinasi dengan obat hipertensi lainnya karena taizid memberikan
efek penurunan resistensi pembulu darah.
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

10

Pada gagal jantung, tiazid merupakan obat diuretik terpilih untuk pengobatan edema
akibat gagal jantung ringan sampai sedang. Ada baiknya dikombinasikan dengan diuretik
hemat kalium. Pemberian tiazid pada pasien gagal jantung atau hipertensi yang disertai
dengan gangguan fungsi ginjal harus dilakukan dengan hati-hati, karena obat ini dapat
memperberat gangguan fungsi ginjal akibat penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan
hilangnya natrium, klorida dan kalium yang terlalu banyak.
Pada pengobatan jangka panjang edema kronik, tiazid hendaknya diberikan dalam
dosis yang cukup untuk mempertahankan berat badan tanpa edema. Pada diabetes
insipidus, tiazid menurukan tolerasi glukosa. Untuk hiperkalsiuria, tiazid menurunkan
ekskresi kalsium ke saluran kemih sehingga menggurangi risiko pembentukan batu.

Gambar 4. Sediaan dan Dosis Tiazid


3. DIURETIK HEMAT KALIUM
Yang tergolong dalam kelompok ini adalah antagonis aldosteron, triamteren dan
amilorid. Efek diuretinya tidak sekuat golongan diuretik kuat.
A. Antagonis Aldosteron
Aldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Peranan utama
aldosteron ialah memperbesar reabsorpsi natrium dan klorida di tubuli distal serta
memperbesar ekskresi kalium. Jadi pada hiperaldosteronemia, akan terjadi
penurunan kadar kalium dan alkalosis metabolik karena reabsorpsi HCO 3- dan
sekresi H+ yang bertambah.
Saat ini dikenal 2 macam antagonis aldosteron, yaitu spironolakton dan eplerenon
Mekanisme kerja antagonis aldosteron adalah penghambatan kompetitif terhadap
aldosteron. Jadi dengan pemberian antagonis aldosteron, reabsorpsi Na+ dan K+ di
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

11

hilir tubuli distal dan duktus koligentes dikurangi, dengan demikian ekskresi K +
juga berkurang.
Dibandingkan spironolakton, eplerenon memiliki afinitas lebih lemah terhadap
reseptor mineralokortikoid, androgen, dan progesterone. Oleh karena itu
eplerenon tidak menimbulkan efek samping ginekomastia dan virilisasi.
Epleneron digunakn sebagi antihipertensi dan sebagai terapi tambahan pada gagal
jantung.
FARMAKOKINETIK. Tujuh puluh persen spironolakton oral diserap di saluran
cerna, mengalami sirkulasi enterohepatik dan metabolism lintas pertama. Ikatan
dengan protein cukup tinggi. Metabolit utamanya, kanrenon, memperlihatkan
aktivitas antagonis aldosteron dan turut berperan dalam aktivitas biologic
spironolakton. Kanrenon mengalami interkonversi enzimatik menjadi kanrenoat
yang tidak aktif.
EFEK SAMPING. Efek toksik yang utama dari spironolakton adalah
hiperkalemia yang sering terjadi bila obat ini diberikan bersama-sama dengan
asupan kalium yang berlebihan dan pemberiannya bersama denga tiazid pada
pasien dengan gangguna fungsi ginjal yang berat.
Efek samping yang ringan dan reversible di antaranya ginekomastia, efek
samping mirip androgen dan gejala saluran cerna.
INDIKASI. Antagonis aldosteron digunakan secara luas untuk pengobatan
hipertensi dan edema yang refrakter. Biasanya obat ini dikombinasikan dengan
diuretik yang lain dengan tujuan mengurangi ekskresi kalium dan memperbesar
diuresis.
Pada gagal jantung kronik spironolakton digunakan unutk mencegah remodeling
(pembentukan jaring fibrosis di miokard).
Spironolakton merupakan obat pilihan untuk hipertensi hiperaldosteronisme
primer

dan

sangat

bermanfaat

pada

kondisi-kondisi

yang

disertai

hiperaldosteronemia sekunder seperti asites pada sirosis hepatis dan sindrom


nefrotik.
SEDIAAN DAN DOSIS. Spironolakton terdapat dalam bentuk tablet 25, 50 dan
100 mg. Dosis dewasa berkisar antara 25-200 mg, tetapi dosis sehari rata-rata 100
mg dalam dosis tunggal atau terbagi. Terdapat pula sediaan kombinasi tetap antara
spironolakton 25 mg dan hidroklorotiazid 25 mg, serta spironolakton 25 mg dan
taibutazid 2,5 mg. Eplerenon digunakan dalam dosis 50-100 mg/hari.
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

12

B. Triamteren dan Almilorid


Kedua obat ini terutama memperbesar ekskresi natrium dan klorida sedangkan
ekskresi kalium berkurang dan ekskresi bikarbonat tidak mengalami perubahan.
Efek penghambatan reabsorpsi natrium dan klorida oleh triamteren agaknya suatu
efek langsung, tidak melalui penghambatan aldosteron, karena obat ini
memperlihatkan efek yang sama baik pada keadaan normal, maupun setelah
adrenalektomi. Triamteren menurukan ekskresi K+ dengan menghambat sekresi
kalium di sel tubuli distal. Berkurangnya reabsorpsi natrium di tempat tersebut
mengakibatkan turunnya potesial listrik transtubular, sedangkan adanya
perbedaan potesianl listrik transtubular ini diperlukan untuk berlangsungnya
proses sekresi K+ oleh sel tubuli distal. Secara eksprimental, obat ini efektif dalam
keadaaan asidosis maupun alkalosis.
FARMAKOKINETIK. Absorpsi triamteren melalui saluran cerna baik, obat ini
hanya diberikan oaral. Efek diuresisnya biasanya mulai tampak setelah 1 jam.
amilorid dan traimteren per oral diserap kira-kira 50% dan efek diuresisnya
terlihat dalam 6 jam dan berakhir setelah 24 jam.
EFEK SAMPING. Efek toksik yang paling berbahaya dari kedua obat ini yaitu
hiperkalemia. Triamteren juga dapat menimbulakn efek samping berupa mual,
mujtah kejang kaki dan pusing.
Azotemia yang ringan sampai sedang sering terjadi dan bersifat reversible. Pada
pasien sirosis hepar akibat alkohol yang mendapat triamteren pernah dilapokan
terjadi anemia mengaloblastik, tetapi tidak ada hubungan sebab akibat belum
pasti.
INDIKASI. Diuretik hemat kalium diindikasikan pada beberapa pasien dengan
edema dan lebih bermanfaat jika dikombinasikan dengan golongan diuretik lain,
misalnya tiazid. Obat ini harus diwaspadai jika diberikan dengan obat ACE
inhibitor karena obat ini mengurangi sekresi aldosteron sehingga terjadi
hiperkalemia menjadi lebih besar. Selain itu, jangan diberikan bersamaan dengan
spironolaktin karena dapat menyebabkan hiperkalemia.
SEDIAAN DAN POSPLOGI. Triamteren tersedia dalam bentuk kapsul 100 mg.
dosisnya 100-300 mg sehari. Amilorid terdapat dalam bentuk tablet 5 mg. dosis
sehari 5-10 mg. Sediaan kombinasi tetap antara amilorid 5 mg dan

Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

13

hidroklorotiazid 50 mg terdapat dalam bentuk tablet dengan dosis sehari-hari


antara 1-2 tablet.
4. PENGHAMBATAN KARBONIK ANHIDRASE
Karbonik anhidrase adalah enzim yang mengkatalisis reaksi CO2+H2O H2CO3.
Enzim ini terdapat antara lain dalam sel korteks renalis, pancreas, mukosa lambung,
mata, eritrosit, dan SSP, tetapi tidak terdapat dalam plasma.
Dalam tubuh, H2CO3 berada dalam keseimbangn dengan ion H + dan HCO3- yang
sangat penting dalam sistem buffer darah. Ion ini juga penting dalam proses
reabsorpsi ion tetap (fixed ion) dalam tubuli ginjal, sekresi asam lambung dan
beberapa proses lain dalam tubuh. Tanpa enzim ini, reaksi diatas berjalan sangat
lambat.
Enzim ini dapat dihambat aktivitasnya oleh sianida, azida, dan sulfide. Derivate
sulfonamide yang juga dapat menghambat kerja enzim ini adalah asetazolamid dan
diklorofenamid.
FARMAKODINAMIK. Efek farmakodinamik yang utama dari asetazolamid adalah
penghambatan karbonik ahidrase secara nonkompetitif. Akibatnya terjadi perubahan
sistemik dan perubahan terbatas pada organ tempat enzim tersebut berada.
Ginjal. Di dalam sel-sel tubuli proksimal asetazolamid menghambat perubahan
CO2+H2O H2CO3 sehingga pembentukan HCO3- dan H+ dalam sel tubuli juga
berkurang. Jumlah H+ untuk disekresi dan ditukarkan dengan Na+ dari lumen tubulus
juga berkurang sehingga ekskresi Na+ akan meningkat. Selain itu, HCO 3- dalam
lumen tidak digabungkan dengan H+ akan diekskresi ke urin. Hal ini mengakibatkan
meningkatnya ekskresi bikarbonat, natrium, dan kalium melalui urin sehingga urin
menjadi lebih alkalis, sedangkan darah cenderung mengalami asidosis. Bertambahnya
ekskresi kalium disebabkan oleh pertukaran Na+ dengan K+ menjadi lebih aktif,
menggantikan pertukan dengan H+. Meningkatnya ekskresi elektrolit menyebabkan
bertambahnya ekskresi air.
Susunan cairan plasma.

Bertambahnya

ekskresi

bikarbonat

dalam

urin

menyebabkan terjadinya asidosis metabolik. Karena kerjanya melalui peningkatan


ekskresi bikarbonat dan kation, maka besarnya efek diuresis tergantung dari kadar ion
tersebut dalam plasma. Pada alkalosis metabolik, kadar ion bikarbonat dalam plasma
meninggi dan ion klorida menurun, dalam hal ini efek diuresis asetozolamid makin
kuat. Asetazolamid memperbesar ekskresi K+, tetapi efek ini hanya nyata pada
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

14

permulaan terapi saja sehingga pengaruhnya terhadap keseimbangan kalium tidak


sebesar pengaruh tiazid.
Mata. Dalam cairan bola mata banyak sekali terdapat enzim karbonik anhidrase dan
bikarbonat. Pemberian asetazolamid baik secara oral maupun parenteral, mengurangi
pembentukan cairan bola mata disertai penurunan tekanan intraokuler sehingga
berguna dalam pengobatan glukoma.
Sistem saraf pusat. Asetazolamid dapat menimbulkan asidosis dan SSP banyak
mengandung karbonik anhidrase sehingga dapat mengurangi serangan epilesi. Tetapi,
ada juga efek langsung pada SSP yaitu somnolen dan parastesia.
FARMAKOKINETIK. Asetazolamid mudah diserap melalui saluran cerna, kadar
maksimal dalam darah dicapai dalam 2 jam dan diekskresi melalui ginjal sudah
sempurna dalam 24 jam.
EFEK SAMPING. Intoksikasi asetazolamid jarang terjadi. Pada dosis tinggi dapat
timbul parestesia dan kantuk yang terus-menerus. Asetazolamid mempermudah
pembentukan batu ginjal karena berkurangnya ekskresi sitrat; kadar kalsium dalam
urin tidak berubah atau meningkat.
Reaksi alergi jarang terjadi berupa demam, reaksi kulit, depresi sumsum tulang dan
lesi renal mirip reaksi terhadap sulfonamide.
Seperti tiazid, obat ini dapat menyebabkan disorientasi mental pada pasien sirosis
hepatis. Asetazolamid sebaikanya tidak diberikan pada ibu hamil karena dapar
menimbulkan efek teratogenik.
INDIKASI. Penggunaan asetazolamid yang utama ialah untuk menurunkan tekanan
intraokular pada penyakit glaucoma. Asetazolamid berguna untuk mengatasi paralisis
periodik bahkan disertai hipokalemia.
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Asetazolamid tersedia dalam bentuk tablet 125 mg dan
250 mg untuk pemberian oral. Dosis 250-500 mg per kali, dosis untuk chronic simple
glaucoma 250-1000 mg per hari.
Pada acute mountain sickness yaitu 2x sehari 250 mg, dimulai 3-4 hari sebelum
mencapai 3.000 m atau lebih, dan dilanjutkan setelah mencapai ketinggian tersebut.
Dosis untuk paralisis periodic familial yaitu 250-750 mg sehari dibagi dalam 2 atau 3
dosis; sedangkan untuk anak-anak 2 atau 3 kali sehari 125 mg.
5. DIURETIK OSMOTIK
Diuretik osmotic biasanya dipakai untuk zat yang bukan elektrolit yang mudah dan
cepat diekskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak dengan sebagai diuretik
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

15

osmotic apabila memenuhi 4 syarat: (1) difiltrasi secara bebas oleh glomerulus; (2)
tidak atau hanya sedikit direabsorpsi sel tubuli ginjal; (3) secara farmakologis
merupakan zat yang inert; dan (4) umumnya resisten terhadap perubahan metabolik.
Dengan sifat-sifat ini, maka diuretik osmotic dapat diberikan dalam jumlah besar
sehingga turut menebtukab derajat osmolaritas plasma, filtrasi glomerulus dan cairan
tubuli. Contoh golongan obat ini adalah manitol, gliserin, isosorbid.
Manitol paling sering digunakan diantara obat ini, karena manitol tidak mengalami
metabolisme dalam badan dan hanya sedikit sekali direabsorpsi tubuli bahkan praktis
dianggap tidak direabsorpsi. Pada pasien payah jantung pemberian manitol
berbahaya, karena volume darah yang beredar menningkat sehingga memperberat
kerja jantung yang telah gagal.
Diuretik osmotic terutama bermanfaat pada pasien oliguri akut syok hipovolemik
yang telah dikoreksi, akibat reaksi transfuse, bahan toksik, atau sebab lain yag
menimbulkan nekrosis tubuli akut, karena dalam keadaan ini obat yang kerjanya
memperngaruhi fungsi tubuli tidak efektif.
INDIKASI. Manitol antara lain digunakan untuk: (1) profilaksis gagal ginjal akut
(GGA). GGA timbul oleh sebab prerenal (syok hipovolemik, operasi jantung, luka
traumatic berat atau tindakan operatif lain, pada pasien yang juga menderita ikterus
berat), sebab postrenal (obstruksi) atau sebab intrarenal (misanya keracunan); (2)
menurunkan tekanan maupun volume cairan intraokuler; (3) menurunkan tekanan
atau volume cairan serebrospinalis. Dengan meningkatkan tekanan osmotic plasma,
maka air dari cairan bola mata atau dair cairan otak dakan berdifusi kembali ke
plasma dan ke dalam ruang ekstrasel. (4) pengobatan sindrom disekuilibrium pada
hemodialisis. Pada proses dialisis dapat terjadi penarikan cairan dan elektroit yang
berlebihan sehingga menurukan osmolaritas cairan ekstrasel. Akibatnya terjadi
perpindahan cairan ke dalam sel yang selanjutnya menyebabkan gejala hipovolemia
dengan gejala hipotensi dan gejala-gejala neurologis (sakit kepala, mual kram, otot,
gelisah, depresi, kejang). Diuretik osmotic meningkatkan osmolaritas cairan ekstrasel
dan kembali menarik cairan dari dalam sel.
EFEK SAMPING. Manitol didistribusi ke cairan ekstrasel, oleh karena itu pemberian
larutan manitol hipertonis akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstrasel sehingga
dapat menambahkan jumlah cairan ekstrasel. Hal ini tentu berbahaya bagi pasien
payah jantung. Kadang-kadang manitol juga dapat menimbulkan reaksi hipersensitif.
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

16

KONTRAINDIKASI. Manitol dikontraindikasi pada penyakit ginjal dengan anuria


atau keadaan oliguria yang tidak responsif dengan dosis percobaan; kongesti atau
edema paru berat, dehidrasi hebat dan perdarahan intracranial kecuali bila akn
dilakukan kraniotomi. Manitol dan urea dikontraindikasikan pada perdarahan serebral
aktif.
SEDIAAN. Manitol untuk infuse digunakan 20%. Dosis dewasa antara 50-100 g
(250-500 mL) dengan kecepatan infuse 30-50 mL/jam. Untuk mengurangi edema
otak diberikan 0,25-2 gr/KgBB selama 30-60 menit. Untnuk edema dan asites dan
untuk mengatasi GGA pada keracunan digunakan dosis 500 mL dalam 6 jam.

Gambar 5. Tempat kerja obat diuretik


E. PENGGUNAAN DI KLINIK
INDIKASI
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

17

Diuretik digunakan untuk menurukan volume darah dan cairan interstisial dengan cara
meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air.
1. Edema
Penyebab utama antara lain payah jantung, penyakit kronik dan sindrom nefrotik. Edema
sering kali disertai dengan hiperaldosteronemia dengan akibat hipokalemia. Pemberian
diuretik cenderung memperberat hipokalemia kecuali diuretik hemat kalium. Pada sirosis
hati yang disertai asites dan edema, sebaiknya digunakan dahulu diuretik hemat kalium
kemudian bila perlu ditambahkan diuretik yang lebih kuat.
Pada edema yang disertai gagal ginjal, penggunaan tiazid kurag bermanfaat, sebaiknya
digunakan diuretik kuat. Diuretik hemat kalium sama sekali tidak boleh digunakan pada
gagal ginjal karena mengakibatkan hiperkalemia.
2. Hipertensi
Dasar penggunaan diuretik pada hipertensi terutama karena efekmya terhadap resistensi
perifer, tetapi efek ini adalah efek sekunder terhadap efek pada keseimbangan natrium.
Tiazid merupakan obat pilihan pada pasien hipertensi karena mempunyai efek
vasodilatasi secara langsung pada arteroil dibandikan diuretik kuat.
3. Diabeter Insipidus
Diuretik tiazid mendapat mengurangi ekskresi air pada diabetes insipidus melalui
mekanisme kompensasi intrarenal.
4. Batu ginjal
Tiazid menurukan ekskresi kalsium dalam urin dengan meningkatkan reabsorpsi kalsium
di tubuli proksimal atau akibat penghambatan sekresi kalsium.
5. Hiperkalsemia
Furosemid dosis tinggi yang diberikan secara IV (100 mg) dalam infuse larutan garam
faal dapat menghambat reabsorpsi klorida, air dan kalsium di tubuli proksimal sehingga
digunakan untuk pengobatan hiperkalsemia. Tetapi untuk tujuan ini, diperlukan dieresis
sebesar 20 liter sehari.

Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

18

Gambar 5. Penggunaan Klinik Diuretik

Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Scrib: Referat farmako diuretik. Universitas Sumatra Utara. 2012 [homepage on the
Internet]. [cited 2015 May 01]. Available from:
http://www.academia.edu/6539734/Referat_farmako_diuretik?
login=&email_was_taken=true&login=&email_was_taken=true&login=&email_was_tak
en=true
2. Nafrialdi. Diuretik dan antidiuretik. Dalam buku: Gunawan S, Setiabudy R, Nafrialdi,
Elysabaeth. Editor. Farmakologi dan terapi. Edisi V. 2008. Jakarta: FKUI. Hal. 389-405
3. Wilson LM. Anatomi dan fisiologi ginjal dan saluran kemih. Dalam buku: Price SA,
Wilson LM. Patofisiolgi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi VI. 2005. Jakarta:
EGC. Hal.867-89
4. Terapi diuretik osmotic. [homepage on the Internet]. [cited 2015 May 01]. Available
from:
https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact=8&sqi=2&ved=0CEQQFjA
G&url=https%3A%2F%2Fnardinurses.files.wordpress.com%2F2007%2F12%2Fterapidiurutik-osmotik.doc&ei=LTQ-VZ3NI5KouwSo9IGICg&usg=AFQjCNEyrm2wIGpYd18ZzNw0YiVZDVnuA&bvm=bv.91665533,d.c2E
5. Universitas Sumatera Utara. Diuretik. 2011. [homepage on the Internet]. [cited 2015 May
01]. Available from:
https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&sqi=2&ved=0CCAQFjA
A&url=http%3A%2F%2Fakfarsam.ac.id%2Fdownlot.php%3Ffile
%3DDIURETIK.pdf&ei=LTQ-VZ3NI5KouwSo9IGICg&v6u=https%3A%2F%2Fsv6exp1-v4.metric.gstatic.com%2Fgen_204%3Fip%3D125.167.159.93%26ts
%3D1430139949854427%26auth%3Dyqspa2yvo32goxvismux3nfop6mrpag5%26rndm
%3D0.3920591310597956&v6s=2&v6t=4254&usg=AFQjCNHW_W7LJl1RIT_VK7Og
PZVhgXSdWQ&bvm=bv.91665533,d.c2E
6. M. Vadivelan, AS Dabhi. New loop diuretik. Indian Journal of Clinical Practice, Vol. 24,
No. 4, September 2013. [homepage on the Internet]. [cited 2015 May 01]. Available
from:
http://medind.nic.in/iaa/t13/i9/iaat13i9p385.pdf

Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

20

7. Grossman E, Verdecchia P, Shamiss A, Angeli F, Reboldi G. Diuretik Treatment of


Hypertension. Diabetes Care. Volume 34. May 2011. [homepage on the Internet]. [cited
2015 May 01]. Available from:
http://care.diabetesjournals.org/content/34/Supplement_2/S313.full.pdf+html
8. Ali Vazir1*, Martin R. Cowie. The use of diuretiks in acute heart failure: Evidence based
therapy. World Journal of Cardiovascular Diseases. 21 April 2013. [homepage on the
Internet]. [cited 2015 May 01]. Available from:
http://www.scirp.org/Journal/PaperDownload.aspx?paperID=30887
9. Fanse LV, Pahor M, Bari MD, Somes HW, Cushman WC, Applegate WB. Hypokalemia
Associated With Diuretik Use and Cardiovascular Events in the Systolic Hypertension in
the Elderly Program. 2000. [homepage on the Internet]. [cited 2015 May 01]. Available
from:
http://hyper.ahajournals.org/content/35/5/1025.full.pdf+html
10. Ernst ME, Pharm D, Moser M. Use of diuretik in patients with hypertension. The New
England Journal of Medicine. 2009 Novemver 26. [homepage on the Internet]. [cited
2015 May 01]. Available from:
http://www.hypertensionfoundation.org/pdinfo/ernestnejm2009.pdf
11. Diuretik Hemat Kalium. Pusat Informasi Obat Nasional. 2015. [homepage on the
Internet]. [cited 2015 May 01]. Available from:
http://pionas.pom.go.id/book/ioni-bab-2-sistem-kardiovaskuler-25-diuretika/253diuretika-hemat-kalium
12. Diuretik therapy explained. The Pharmaceutical Journal. 24 January 2015. Vol 294.
[homepage on the Internet]. [cited 2015 May 01]. Available from:
http://www.pharmaceutical-journal.com/learning/cpd-article/diuretik-therapyexplained/20067545.cpdarticle
13. Purwanto,
E.
W.
2008.

Penggunaan

Diuretik

Pada

Hipertensi.

http://wordpress.com/2008/01/01/penggunaan-diuretik-pada-hipertensi/.
14. Siregar, Wiguno, Oesman, R., dan Sidabutar, P. R. 1987. Masalah Penggunaan Diuretika.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_MasalahPenggunaanDiuretika.pdf/09_MasalahP
enggunaanDiuretika.html
15. Halimudin. 2005. Terapi Diuretik Osmotik (Manitol) Pada Gangguan Sistem Persarafan.
http://www.id.novartis.com/download/Obat%20antihipertensi%20Jan05.pdf.
16. Lyrawati,
D.
2008.
Farmakologi
Hipertensi.
http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/11/hypertensionhosppharm.pdf.
17. Agunu A, Abdurahman EM, Andrew GO, Muhhammed Z. 2005. Diuretic activity of the
stem-bark extracts of Steganotaenia araliaceahoehst. J of ethnopharmacol
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

21

18. Angeli P et al. 2009. Combined versus sequential diuretic treatment of ascites in nonazotaemic patients with cirrhosis: results of an open randomised clinical trial. Int J
Gastroenterol and Hepatol [terhubung berkala].
19. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nefrialdi. 1995.Farmakologi
dan Terapi. Ed ke-4. Jakarta: Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia.
20. Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-11. Philadelphia:
Elvesier inc.

Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik

22

Anda mungkin juga menyukai