Secara histologis, ginjal dibagi menjadi dua daerah yaitu korteks di bagian luar dan medula di bagian
dalam. Medula ginjal terbagi menjadi beberapa massa jaringan berbentuk kerucut yang disebut
piramida ginjal. Dasar dari setiap piramida dimulai pada perbatasan antara korteks dan medula
serta berakhir di papilla, yang menonjol ke dalam ruang pelvis ginjal, yaitu sambungan dari
ujung ureter bagian atas yang berbentuk corong. Batas luar pelvis terbagi menjadi kantongkantong dengan ujung terbuka yang disebut dengan kaliks mayor, yang meluas ke bawah dan terbagi menjadi
kaliks minor, yang mengumpulkan urin dari tubulus setiap papila. Dinding kaliks, pelvis, dan ureter terdiri dari
elemen-elemen kontraktil yang mendorong urin menuju kandung kemih, tempat urin disimpan dan dikeluarkan
melalui mikturisi.
Darah yang mengalir ke kedua ginjal normalnya sekitar 22% dari curah jantung, atau 1100 ml/menit.
Arteri ginjal utama (arteri renalis) bercabang di dekat hilum ginjal ke dalam arteri segmentalis yang selanjutnya
bercabang lagi membentuk arteri interlobaris yang menembus parenkim ginjal. Arteri interlobaris melengkung
pada perbatasan medula dan korteks ginjal untuk membentuk pembuluh seperti lengkungan yang disebut
arteri arcuata. Arteri arcuata bercabang lagi membentuk pembuluh vertikal yang disebut arteri
interlobularis, yang masuk ke korteks renal dan menyuplai darah ke arteriol aferen. Arteriol aferen
tunggal berpenetrasi ke glomerulus tiap nefron dan bercabang lagi dalam jumlah banyak untuk membentuk ikatan
kapiler glomerulus. Cabang-cabang ini bergabung membentuk arteriol eferen.
Arteriol-arteriol eferen pada glomeruli superfisial naik ke permukaan ginjal sebelum dipisah kedalam
kapiler peri tubulus yang menjaga elemen-elemen tubulus dari korteks renal. Arteriol eferen pada
jukstamedula glomeruli turun ke medula dan bercabang untuk membentuk arteriol rekta menurun,
yang menyuplai darah ke kapiler-kapiler medula. Darah yang kembali dari medula melalui arteriol rekta naik
mengalir secara langsung ke vena arcuata, dan darah dari kapiler peritubulus korteks masuk ke vena interlobular
yang selanjutnya berhubungan dengan vena arcuata. Vena arcuata mengalirkan darah kedalam vena interlobaris,
yang selanjutnya berhubungan dengan vena arcuata. Vena arcuata mengalirkan darah kedalam vena interlobularis,
yang selanjutnya mengalir ke vena segmentalis, kemudian meninggalkan ginjal melalui vena ginjal utama.
Unit dasar pembentukan urin di ginjal adalah nefron, yang terdiri atas organ-organ penyaring, glomerulus,
yang terhubung dengan suatu bagian tubulus panjang yang mereabsorpsi dan membentuk ultrafiltrat glomerular.
Tiap ginjal manusia terdiri atas sekitar 1 juta nefron. Tata nama untuk segmen-segmen nefron tubulus menjadi
sangat kompleks karena para ahli fisiologi ginjal telah membagi lagi nefron menjadi segmen-segmen yang lebih
pendek. Pembagian ini awalnya didasarkan lokasi aksial segmen tetapi selanjutnya didasarkan pada morfologi selsel epitelium yang terdapat di berbagai segmen nefron.
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi,
reabsorpsi, dan sekresi. Proses filtrasi di glomerulus dimana terjadi penyerapan darah yang
tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh
bowmen yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dan zat-zat yang lain
diteruskan ke tubulus ginjal. Cairan yang disaring disebut filtrat glomerulus.
Pada proses reabsorbsi proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,
sodium, klorida fosfat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif (obligator
reabsorbsi) di tubulus proximal. Sedangkan pada tubulus distal terjadi kembali penyerapan
sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi
fakultatif) dan sisanya dialirkan pada papilla renalis.
Dan proses sekresi terjadi sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal
dialirkan ke papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar.
Tabel 1. Segmen Nefron dan Fungsinya
Segmen
Glomerulus
Tubulus kontortus
Fungsi
Pembentukan filtrasi glomerulus
Reabsorpsi 65% Na+ yang difiltasi, K+, Ca+ dan
proksimal
Tubulus rektus
proksimal
Ansa henle cabang
decendens tipis
Ansa henle cabang
asendens tebal
Tubulus kontortus
distal
Tubulus koligen
paratiroid
Reabsorpsi Na+ (2-5%) digabung dengan sekresi
renalis kotikal
Tubulus koligen
K+ dan H+
Reabsorpsi air dibawah control vasopresin
renalis medulla
C. DIURETIK
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah diuresis
mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang
diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dalam air.
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan edema yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel menjadi normal.
D. KLASIFIKASI DIURETIK
Secara umum diuretik dapat dibagi atas dua golongan besar yaitu penghambat
mekanisme transport elektrolit di dalam tubulus ginjal dan diuretik osmotic. Obat penghambat
mekanisme transport elektrolit di dalam tubuli ginjal ialah diuretik kuat (Loop Diuretik),
benzotiadiazid, diuretik hemat kalium, dan penghambat karbonik anhidrase.
1. DIURETIK KUAT (Loop Diuretik)
Diuretik kuat
mencakup
sekelompok
diuretik
yang efeknya
sangat kuat
dibandinggkan dengan diuretik lain. Tempat kerjanya di ansa Henle bagian ascendens.
Kelompok ini termasuk furosemid, torsemid, asam etakrinat, dan bumetanid.
Furosemid, atau asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoil antranilat masih tergolong
derivate sulfonamide. Obat ini merupakan salah satu standar untuk pengobatan gagal
jantung dan edema paru. Bumetanid merupakan derivate asam 3-aminobenzoat yang
lebih poten daripada furosemid, tetapi dalam hal lain kedua senyawa ini mirip satu
dengan yang lain. Asam etakrinat termasuk diuretik yang dapat diberikan secara oral
maupun parenteral dengan hasil yang memuaskan.
FARMAKODINAMIKA. Diuretik kuat terutama bekerja dengan cara menghambat
reabsorpsi elektrolit Na+/K+/2Cl- di ansa Henle ascendens bagian epitel tebal; tempat
kerjanya di permukaan sel epitel bagian luminal (yang menghadap ke lumen tubuli). Pada
pemberian intraven cenderung meningkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai
peningkatan filtrasi glomerulus. Peningkatan aliran darah ginjal ini hanya berlangsung
sebentar. Dengan berkurangnya cairan ekstrasel akibat diuresis, maka aliran darah ginjal
menurun dan hal ini akan meningkatnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli
proksimal. Hal yang terkahir ini agaknya merupakan suatu mekanisme kompensasi yang
membantasi jumlah zat terlarut yang mencapai bagian epitel tebal Henle ascendens,
dengan demikian mengurangi diuresis.
Diuretik kuat juga menyebabkan meningkatnya ekskresi K + dan kadar asam urat
plasma, mekanismenya kemungkinan besar sama dengan tiazid. Ekskresi Ca ++ dan Mg+
juga ditingkatkan sebanding dengan peningkatan ekskresi Na +. Berbeda dengan tiazid,
golongan ini tidak meningkatkan reabsorpsi Ca ++ di tubuli distal. Berdasarkan atas efek
kalsiuria ini, golongan diuretik kuat digunakan untuk pengobatan simptomatik
hiperkalsemia.
Diuretik kuat meningkatkan ekskresi asam yang dapat dititrasi (titrable acid) dan
ammonia. Fenomena yang diduga terjadi karena efeknya di nefron distal ini merupakan
salah satu faktor penyebab terjadi alkalosis metabolik.
Bila mobilisasi cairan edema terlalu cepat, alkalosis metabolik oleh diuretik kuat ini
terutama terjadi akibat penyusutan volume cairan ekstrasel. Sebaliknya pada penggunaan
yang kronik, faktor utama penyebab alkalosis ialah besarnya asupan garam dan ekskresi
H+ dan K+. Alkalosis sering kali disertai dengan hiponatremia, tetapi masing-masing
disebabkan oleh mekanisme yang berbeda.
FARMAKOKINETIK. Diuretik kuat mudah diserap melalui saluran cerna, dengan
derajat yang berbeda-beda. Bioavailabilitas furosemid 65% sedangkan bumetenid hampir
100%. Obat golongan ini terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga difiltrasi
di glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui sistem transport asam organik di tubuli
proksimal. Dengan cara ini obat terakumulasi di cairan tubuli dan mungkin sekali di
tempat kerja di daerah yang lebih distal lagi. Probenesid dapat menghambat sekresi
furosemid dan interaksi antar keduanya hanya terbatas pada tingkat sekresi tubuli, dan
tidak pada tempat kerja diuretik. Torsemid memiliki masa kerja yang lebih panjang dari
furosemid.
Torsemid terikat dengan protein plasma adalah sekitar 97-99%. Torsemid memiliki
masa kerja selama 6-8 jam. Torsemid dimetabolisme di hati oleh enzim P450 dihati.
Sebanyak 73% torsemid diekskresi melalui metabolism di hati dan 27% diekskresi dalam
urin.
Asam etakrinat 2/3 yang diberikan secara IV diekskresi melalui ginjal dalam bentuk
utuh dan dalam konjungasi dengan senyawa sulfihidril terutama sistein dan N-asetil
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik
sistein. Sebagian lagi diekskresi melalui hati. Sebagian besar furosemid diekskresi
dengan cara yang sama, hanya sebagian kecil dalam bentuk glukoronid. Bumetanid 50%
diekskresi dalam bentuk asal, selebihnya sebagai metabolit.
EFEK SAMPING. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan diuretik kuat
antara lain:
1) Gangguan cairan dan elektrolit, seperti hipotensi, hiponatremia, hipokalemia,
hipokloremia, hipokalsemia dan hipomagnesemia.
2) Ototoksisitas. Asam aetakrinat dapat menyebabkan ketulian semetara maupun
menetap. Efek ini juga dapat terjadi pada furosemid namun hanya bersifat
sementara. Sedangkan pada bumetanid lebih jarang terjadi. Hal ini disebabkan
karena perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfe.
3) Hipotensi dapat terjadi akibat depelsi volume sirkulasi.
4) Efek metabolik seperti hiperurisemia dan hiperglikemia, peningkatan kadar
kolestrol LDL dan trigliserida, serta penurunan HDL.
5) Reaksi alergi. Reaksi alergi umumnya berkaitan dengan struktur molekul yang
menyerupai sulfonamide (obat anti bakteri). Diuretik kuat dan tiazid
dikontraindikasi pada pasien dengan riwayat alergi sulfonamide. Asam etakrinat
merupakan satu-satunya yang tidak termasuk dalam golonngan sulfonamid, dan
digunakan khususnya pad apsien yang alergi sulfonamide.
6) Nefritis interstisialis alergik. Furosemid dan tiazid diduga dapat menyebabkan
nefritis interstisialis alergik yang menyebabkan gagal ginjal reversible.
INDIKASI. Furosemid merupakan obat standar pada gagal janntung yang disertai
edema dan tanda-tanda bendungan sirkulasi seperti peninggian tekanan vena juguler,
edema paru, edema tungkai dan asites. Pada edema refrakter, diuretik kuat biasanya
digunakan bersama diuretik yang lain, seperti tiazid atau diuretik hemat kalium. Diuretik
kuat juga obat yang efektif mengatasi asites akibat sirosis hepatis dan edema akibat gagal
ginjal. Bila ada nefrosis atau gagal ginjal kronik, maka dosis furosemid perlu ditingkatkan
dari dosis biasa karena banyak protein dalam cairan tubuli yang akan mengikat furosemid
sehingga menghambat diuresis.
Diuretik kuat dikontraindikasikan pada keadaan gagal ginjal yang disertai anuria.
Pada pasien hipertensi, tiazid menurukan tekanan darah bukan saja karena efek
diuretiknya, tetapi juga karena efek langsung terhadap arteriol sehingga terjadi
vasodilatasi.
Pada diabetes insipidus, tiazid justru mengurangi dieresis. Efek yang tampaknya
paradox ini diduga berdasarkan pengurangan volume plasma yang diikuti oleh penurunan
laju filtrasi glomerulus sehingga meningkatkan reabsorpasi Na + dan air di tubulus
proksimal. Akibatnya jumlah air dan Na yang melewati segmen distal berkurang sehingga
volume maksimal urin yang encer juga berkurang. Hasil akhirnya adalah pengurangan
poliuria.
Fungsi ginjal. Tiazid dapat menggurangi kecepatan filtrasi glomerulus, terutam bila
diberikan secara intravena. Hal ini disebabkan oleh pengurangan aliran darah ginjal.
Namun berkurangnya filtrasi ini sedikit sekali berpengaruh terhadap efek diuretik tiazid,
dan hanya mempunyai arti klinis bila fungsi ginjal sudah kurang. Efek kaliuresis
disebebakan oleh bertambahnya natriuresis dan pertukaran antara Na+ dan K+ yang
menadji lebih aktif pada tubuli distal. Harus diingat bahwa pada pasien edema pertukaran
Na+ dengan K+ menjadi lebih aktif karena sekresi aldosteron bertambah.
Asam urat. Tiazid dapat meningkatkan kadar asam urat darah dengan kemungkinan 2
mekanisme: 1) tiazid meninggikan reabsorpsi asam urat di tubuli proksimal; 2) tiazid
mungkin sekali menghambat ekskresi asam urat oleh tubuli.
Berbeda dengan diuretik yang lain, tiazid menurukan ekskresi kalsium sampai 40%
karena tiazid tidak dapat menghambat reabsorpsi kalsium oleh tubuli distal. Hal ini dapat
meningkatkan kadar kalsium darah dan menurukan fraktur pada osteoporosis.
Cairan ekstrasel. Tiazid dapat meninggikan ekskresi ion K+ terutama pada
pemberian jangka pendek. Ekskresi natrium yang berlebihan tanpa disertai dengan
jumlah air yang sebanding, dapat menyebabkan hiponatremia dan hipokloremi, terutama
bila pasien tersebut mendapat diet rendah garam. Ekskresi Mg++ meningkat, sehingga
dapat menyebabkan hipomagnesemia.
FARMAKOKINETIK. Absorpsi tiazid melalui saluran cerna baik sekali. Umunya
efek obat tampak setelah setelah 1 jam. klorotiazid didistribusikan ke seluruh ruang
ekstrasel dan dapat melewati sawar urin, tetapi obat ini hanya dapat ditimbun dalam
jaringan ginjal saja. Dengan suatu proses aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubuli proksimal
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik
ke dalam cairan tubuli. Jadi klirens ginjal obat ini besar sekali, biasanya dalam 3-6 jam
sudah diekskresi dari badan. Bendroflumetiazid, politiazid, dan klortalidon mempunyai
masa kerja yang lebih panjang karena ekskresinya lebih lambat. Klorotiazid dalam tubuh
tidak mengalami perubahan metaboli, sedangkan politiazid sebagian dimetabolisme
dalam tubuh.
EFEK SAMPING. Efek samping tiazid berkaitan dengan kadar plasma. Uji klinik
membuktikan bahwa dosis rendah (12,5-25 mg HCT) lebih efektif menurunkan tekanan
darah dan mengurangi resiko kardiovaskuler. Efek samping diuretik tiazid antara ain:
1) Gangguan
elektrolit
meliputi
hipokalemia,
hipovolemia,
hiponatremia,
obat
hipoglikemik oral. Hal ini disebabkan karena kurangnya sekresi insulin terhadap
peningkatan glukosa plasma, meningkatkan glukogenolisis dan mengurangi
glukogenesis.
6) Tiazid menyebabkan peningkatan kadar kolestrol dan trigliserida. Mekanisme
untuk hal ini masih belum diketahui, tetapi tidak jelas apakah hal ini
meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis.
7) Gangguan fungsi seksual. Mekanisme untuk hal ini masih belum diketahui.
INDIKASI. Pada hipertensi, tiazid merupakan salah satu pengobatan hipertensi, baik
secara tunggal atau kombinasi dengan obat hipertensi lainnya karena taizid memberikan
efek penurunan resistensi pembulu darah.
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik
10
Pada gagal jantung, tiazid merupakan obat diuretik terpilih untuk pengobatan edema
akibat gagal jantung ringan sampai sedang. Ada baiknya dikombinasikan dengan diuretik
hemat kalium. Pemberian tiazid pada pasien gagal jantung atau hipertensi yang disertai
dengan gangguan fungsi ginjal harus dilakukan dengan hati-hati, karena obat ini dapat
memperberat gangguan fungsi ginjal akibat penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan
hilangnya natrium, klorida dan kalium yang terlalu banyak.
Pada pengobatan jangka panjang edema kronik, tiazid hendaknya diberikan dalam
dosis yang cukup untuk mempertahankan berat badan tanpa edema. Pada diabetes
insipidus, tiazid menurukan tolerasi glukosa. Untuk hiperkalsiuria, tiazid menurunkan
ekskresi kalsium ke saluran kemih sehingga menggurangi risiko pembentukan batu.
11
hilir tubuli distal dan duktus koligentes dikurangi, dengan demikian ekskresi K +
juga berkurang.
Dibandingkan spironolakton, eplerenon memiliki afinitas lebih lemah terhadap
reseptor mineralokortikoid, androgen, dan progesterone. Oleh karena itu
eplerenon tidak menimbulkan efek samping ginekomastia dan virilisasi.
Epleneron digunakn sebagi antihipertensi dan sebagai terapi tambahan pada gagal
jantung.
FARMAKOKINETIK. Tujuh puluh persen spironolakton oral diserap di saluran
cerna, mengalami sirkulasi enterohepatik dan metabolism lintas pertama. Ikatan
dengan protein cukup tinggi. Metabolit utamanya, kanrenon, memperlihatkan
aktivitas antagonis aldosteron dan turut berperan dalam aktivitas biologic
spironolakton. Kanrenon mengalami interkonversi enzimatik menjadi kanrenoat
yang tidak aktif.
EFEK SAMPING. Efek toksik yang utama dari spironolakton adalah
hiperkalemia yang sering terjadi bila obat ini diberikan bersama-sama dengan
asupan kalium yang berlebihan dan pemberiannya bersama denga tiazid pada
pasien dengan gangguna fungsi ginjal yang berat.
Efek samping yang ringan dan reversible di antaranya ginekomastia, efek
samping mirip androgen dan gejala saluran cerna.
INDIKASI. Antagonis aldosteron digunakan secara luas untuk pengobatan
hipertensi dan edema yang refrakter. Biasanya obat ini dikombinasikan dengan
diuretik yang lain dengan tujuan mengurangi ekskresi kalium dan memperbesar
diuresis.
Pada gagal jantung kronik spironolakton digunakan unutk mencegah remodeling
(pembentukan jaring fibrosis di miokard).
Spironolakton merupakan obat pilihan untuk hipertensi hiperaldosteronisme
primer
dan
sangat
bermanfaat
pada
kondisi-kondisi
yang
disertai
12
13
Bertambahnya
ekskresi
bikarbonat
dalam
urin
14
15
osmotic apabila memenuhi 4 syarat: (1) difiltrasi secara bebas oleh glomerulus; (2)
tidak atau hanya sedikit direabsorpsi sel tubuli ginjal; (3) secara farmakologis
merupakan zat yang inert; dan (4) umumnya resisten terhadap perubahan metabolik.
Dengan sifat-sifat ini, maka diuretik osmotic dapat diberikan dalam jumlah besar
sehingga turut menebtukab derajat osmolaritas plasma, filtrasi glomerulus dan cairan
tubuli. Contoh golongan obat ini adalah manitol, gliserin, isosorbid.
Manitol paling sering digunakan diantara obat ini, karena manitol tidak mengalami
metabolisme dalam badan dan hanya sedikit sekali direabsorpsi tubuli bahkan praktis
dianggap tidak direabsorpsi. Pada pasien payah jantung pemberian manitol
berbahaya, karena volume darah yang beredar menningkat sehingga memperberat
kerja jantung yang telah gagal.
Diuretik osmotic terutama bermanfaat pada pasien oliguri akut syok hipovolemik
yang telah dikoreksi, akibat reaksi transfuse, bahan toksik, atau sebab lain yag
menimbulkan nekrosis tubuli akut, karena dalam keadaan ini obat yang kerjanya
memperngaruhi fungsi tubuli tidak efektif.
INDIKASI. Manitol antara lain digunakan untuk: (1) profilaksis gagal ginjal akut
(GGA). GGA timbul oleh sebab prerenal (syok hipovolemik, operasi jantung, luka
traumatic berat atau tindakan operatif lain, pada pasien yang juga menderita ikterus
berat), sebab postrenal (obstruksi) atau sebab intrarenal (misanya keracunan); (2)
menurunkan tekanan maupun volume cairan intraokuler; (3) menurunkan tekanan
atau volume cairan serebrospinalis. Dengan meningkatkan tekanan osmotic plasma,
maka air dari cairan bola mata atau dair cairan otak dakan berdifusi kembali ke
plasma dan ke dalam ruang ekstrasel. (4) pengobatan sindrom disekuilibrium pada
hemodialisis. Pada proses dialisis dapat terjadi penarikan cairan dan elektroit yang
berlebihan sehingga menurukan osmolaritas cairan ekstrasel. Akibatnya terjadi
perpindahan cairan ke dalam sel yang selanjutnya menyebabkan gejala hipovolemia
dengan gejala hipotensi dan gejala-gejala neurologis (sakit kepala, mual kram, otot,
gelisah, depresi, kejang). Diuretik osmotic meningkatkan osmolaritas cairan ekstrasel
dan kembali menarik cairan dari dalam sel.
EFEK SAMPING. Manitol didistribusi ke cairan ekstrasel, oleh karena itu pemberian
larutan manitol hipertonis akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstrasel sehingga
dapat menambahkan jumlah cairan ekstrasel. Hal ini tentu berbahaya bagi pasien
payah jantung. Kadang-kadang manitol juga dapat menimbulkan reaksi hipersensitif.
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik
16
17
Diuretik digunakan untuk menurukan volume darah dan cairan interstisial dengan cara
meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air.
1. Edema
Penyebab utama antara lain payah jantung, penyakit kronik dan sindrom nefrotik. Edema
sering kali disertai dengan hiperaldosteronemia dengan akibat hipokalemia. Pemberian
diuretik cenderung memperberat hipokalemia kecuali diuretik hemat kalium. Pada sirosis
hati yang disertai asites dan edema, sebaiknya digunakan dahulu diuretik hemat kalium
kemudian bila perlu ditambahkan diuretik yang lebih kuat.
Pada edema yang disertai gagal ginjal, penggunaan tiazid kurag bermanfaat, sebaiknya
digunakan diuretik kuat. Diuretik hemat kalium sama sekali tidak boleh digunakan pada
gagal ginjal karena mengakibatkan hiperkalemia.
2. Hipertensi
Dasar penggunaan diuretik pada hipertensi terutama karena efekmya terhadap resistensi
perifer, tetapi efek ini adalah efek sekunder terhadap efek pada keseimbangan natrium.
Tiazid merupakan obat pilihan pada pasien hipertensi karena mempunyai efek
vasodilatasi secara langsung pada arteroil dibandikan diuretik kuat.
3. Diabeter Insipidus
Diuretik tiazid mendapat mengurangi ekskresi air pada diabetes insipidus melalui
mekanisme kompensasi intrarenal.
4. Batu ginjal
Tiazid menurukan ekskresi kalsium dalam urin dengan meningkatkan reabsorpsi kalsium
di tubuli proksimal atau akibat penghambatan sekresi kalsium.
5. Hiperkalsemia
Furosemid dosis tinggi yang diberikan secara IV (100 mg) dalam infuse larutan garam
faal dapat menghambat reabsorpsi klorida, air dan kalsium di tubuli proksimal sehingga
digunakan untuk pengobatan hiperkalsemia. Tetapi untuk tujuan ini, diperlukan dieresis
sebesar 20 liter sehari.
18
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Scrib: Referat farmako diuretik. Universitas Sumatra Utara. 2012 [homepage on the
Internet]. [cited 2015 May 01]. Available from:
http://www.academia.edu/6539734/Referat_farmako_diuretik?
login=&email_was_taken=true&login=&email_was_taken=true&login=&email_was_tak
en=true
2. Nafrialdi. Diuretik dan antidiuretik. Dalam buku: Gunawan S, Setiabudy R, Nafrialdi,
Elysabaeth. Editor. Farmakologi dan terapi. Edisi V. 2008. Jakarta: FKUI. Hal. 389-405
3. Wilson LM. Anatomi dan fisiologi ginjal dan saluran kemih. Dalam buku: Price SA,
Wilson LM. Patofisiolgi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi VI. 2005. Jakarta:
EGC. Hal.867-89
4. Terapi diuretik osmotic. [homepage on the Internet]. [cited 2015 May 01]. Available
from:
https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact=8&sqi=2&ved=0CEQQFjA
G&url=https%3A%2F%2Fnardinurses.files.wordpress.com%2F2007%2F12%2Fterapidiurutik-osmotik.doc&ei=LTQ-VZ3NI5KouwSo9IGICg&usg=AFQjCNEyrm2wIGpYd18ZzNw0YiVZDVnuA&bvm=bv.91665533,d.c2E
5. Universitas Sumatera Utara. Diuretik. 2011. [homepage on the Internet]. [cited 2015 May
01]. Available from:
https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&sqi=2&ved=0CCAQFjA
A&url=http%3A%2F%2Fakfarsam.ac.id%2Fdownlot.php%3Ffile
%3DDIURETIK.pdf&ei=LTQ-VZ3NI5KouwSo9IGICg&v6u=https%3A%2F%2Fsv6exp1-v4.metric.gstatic.com%2Fgen_204%3Fip%3D125.167.159.93%26ts
%3D1430139949854427%26auth%3Dyqspa2yvo32goxvismux3nfop6mrpag5%26rndm
%3D0.3920591310597956&v6s=2&v6t=4254&usg=AFQjCNHW_W7LJl1RIT_VK7Og
PZVhgXSdWQ&bvm=bv.91665533,d.c2E
6. M. Vadivelan, AS Dabhi. New loop diuretik. Indian Journal of Clinical Practice, Vol. 24,
No. 4, September 2013. [homepage on the Internet]. [cited 2015 May 01]. Available
from:
http://medind.nic.in/iaa/t13/i9/iaat13i9p385.pdf
20
Penggunaan
Diuretik
Pada
Hipertensi.
http://wordpress.com/2008/01/01/penggunaan-diuretik-pada-hipertensi/.
14. Siregar, Wiguno, Oesman, R., dan Sidabutar, P. R. 1987. Masalah Penggunaan Diuretika.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_MasalahPenggunaanDiuretika.pdf/09_MasalahP
enggunaanDiuretika.html
15. Halimudin. 2005. Terapi Diuretik Osmotik (Manitol) Pada Gangguan Sistem Persarafan.
http://www.id.novartis.com/download/Obat%20antihipertensi%20Jan05.pdf.
16. Lyrawati,
D.
2008.
Farmakologi
Hipertensi.
http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/11/hypertensionhosppharm.pdf.
17. Agunu A, Abdurahman EM, Andrew GO, Muhhammed Z. 2005. Diuretic activity of the
stem-bark extracts of Steganotaenia araliaceahoehst. J of ethnopharmacol
Diuretik, Patofisiologi Dan Penggunaan Di Klinik
21
18. Angeli P et al. 2009. Combined versus sequential diuretic treatment of ascites in nonazotaemic patients with cirrhosis: results of an open randomised clinical trial. Int J
Gastroenterol and Hepatol [terhubung berkala].
19. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nefrialdi. 1995.Farmakologi
dan Terapi. Ed ke-4. Jakarta: Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia.
20. Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-11. Philadelphia:
Elvesier inc.
22