Sirosis Hepatis PDF
Sirosis Hepatis PDF
PENDAHULUAN
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga
pada pasien yang berusia 45 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan
kanker). Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab
kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini.
Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang
perawatan Bagian Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar
kasus terutama ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan
seperti perdarahan saluran cerna bagian atas,koma peptikum, hepatorenal
sindrom, dan asites, Spontaneous bacterial peritonitis serta Hepatosellular
carsinoma. Gejala klinis dari sirosis hati sangat bervariasi, mulai dari tanpa
gejala sampai dengan gejala yang sangat jelas. Apabila diperhatikan, laporan
di negara maju, maka kasus Sirosis hati yang datang berobat ke dokter hanya
kira-kira 30% dari seluruh populasi penyakit in, dan lebih kurang 30% lainnya
ditemukan secara kebetulan ketika berobat untuk penyakit lain, sisanya
ditemukan saat atopsi.
DEFINISI
Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata
Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna
pada nodul- nodul yang terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan
sebagai berikut yaitu suatu keadaan disorganisassi yang difuse dari struktur
hati yang normal akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan mengalami
fibrosis. Secara lengkap Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi
mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sitem arsitektur hati
mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan
ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi.
INSIDENS
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika
dibandingkan
KLASIFIKASI
Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :
1. Mikronodular
2. Makronodular
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)
Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :
1. Sirosis hati kompensata
Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada atadiu kompensata ini belum
terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat
pemeriksaan screening.
2. Sirosis hati Dekompensata
Dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini biasanya gejala-gejala
sudah jelas, misalnya ; ascites, edema dan ikterus.
ETIOLOGI
1. Virus hepatitis (B,C,dan D)
2. Alkohol
3. Kelainan metabolic :
a. Hemakhomatosis (kelebihan beban besi)
b. Penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga)
c. Defisiensi Alpha-antitripsin
d. Glikonosis type-IV
e. Galaktosemia
f. Tirosinemia
4. Kolestasis
Saluran empedu membawa empedu yang dihasilkan oleh hati ke usus,
dimana
atresia. Pada penyakit ini empedu memenuhi hati karena saluran empedu
tidak berfungsi atau rusak. Bayi yang menderita Biliary berwarna kuning
(kulit kuning) setelah berusia satu bulan. Kadang bisa diatasi dengan
pembedahan untuk membentuk saluran baru agar empedu meninggalkan
hati, tetapi transplantasi diindikasikan untuk anak-anak yang menderita
penyakit hati stadium akhir. Pada orang dewasa, saluran empedu dapat
mengalami peradangan, tersumbat, dan terluka akibat Primary Biliary
Sirosis atau Primary Sclerosing Cholangitis. Secondary Biliary Cirrosis
dapat terjadi sebagai komplikasi dari pembedahan saluran empedu.
5. Sumbatan saluran vena hepatica
- Sindroma Budd-Chiari
- Payah jantung
6. Gangguan Imunitas (Hepatitis Lupoid)
7. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,INH, dan lainlain)
8. Operasi pintas usus pada obesitas
9. Kriptogenik
10. Malnutrisi
11. Indian Childhood Cirrhosis
GEJALA KLINIS
Manifestasi klinis dari Sirosis hati disebabkan oleh satu atau lebih hal-hal
yang tersebut di bawah ini :
1. Kegagalan Prekim hati
2. Hipertensi portal
3. Asites
4. Ensefalophati hepatitis
Keluhan dari sirosis hati dapat berupa :
a. Merasa kemampuan jasmani menurun
b. Nausea, nafsu makan menurun dan diikuti dengan penurunan berat badan
c. Mata berwarna kuning dan buang air kecil berwarna gelap
d. Pembesaran perut dan kaki bengkak
3
Bilirubin (mg%)
<2,0
2-<3
> 3,0
Albumin (gr%)
>3, 5
2,8 - < 3,5
<2,8
Prothrombin time (Quick%)
> 70
40 - < 70
< 40
Asites
0
Minimal sedang
(+) (++)
Banyak +++)
Hepatic enchepha Lopathy
Tidak ada
Std 1 dan II
Std III dan IV
KOMPLIKASI
1. Perdarahan gastrointestinal
Hipertensi portal menimbulkan varises oesopagus, dimana suatu saat akan
pecah sehingga timbul perdarahan yang masih.
2. Koma Hepatikum.
3. Ulkus Peptikum
4. Karsinoma hepatosellural
Kemungkinan timbul karena adanya hiperflasia noduler yang akan berubah
menjadi adenomata multiple dan akhirnya menjadi karsinoma yang
multiple.
5. Infeksi
Misalnya
peritonisis,
glomerulonephritis
pnemonia,
bronchopneumonia,
tbc
paru,
srisipelas, septikema
6. Penyebab kematian
PENATALAKSANAAN
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :
1. Simtomatis
2. Suportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang;
misalnya : cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin
c. Pengobatan berdasarkan etiologi
Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus C dapat dicoba dengan
interferon.
tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti :
a. Asites
Dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :
- istirahat
- diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat
dan diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila
gagal maka penderita harus dirawat.
- diuretik
Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet
rendah
garam
dinomo
rduakan,
namun
yang
paling
penting
adalah
Hepatotoxic.
Prinsip penggunaan ada 3 sasaran :
1. mengenali dan mengobati factor pencetua
2. intervensi untuk menurunkan produksi dan absorpsi amoniak serta
toxin-toxin yang berasal dari usus dengan jalan :
- Dier rendah protein
- Pemberian antibiotik (neomisin)
- Pemberian lactulose/ lactikol
3. Obat-obat yang memodifikasi Balance Neutronsmiter
- Secara langsung (Bromocriptin,Flumazemil)
- Tak langsung (Pemberian AARS)
KESIMPULAN
Mengingat pengobatan sirosis hati hanya merupakan simptomatik dan
mengobati penyulit, maka prognosa SH bisa jelek. Namun penemuan sirosis
hati yang masih terkompensasi mempunyai prognosa yang baik. Oleh karena
itu ketepatan diagnosa dan penanganan yang tepat sangat dibutuhkan dalam
penatalaksanaan sirosis hati.
KEPUSTAKAAN :
1. Rosenack,J, Diagnosis and Therapy of Chronic Liver and Biliarry Diseases
2. Hadi.Sujono, Gastroenterology,Penerbit Alumni / 1995 / Bandung
3. Sherlock.S, Penyakit Hati dan Sitim Saluran Empedu, Oxford,England
Blackwell
1997
4. Hakim Zain.L, Penatalaksanaan Penderita Sirosis Hepatitis
5. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi II, Penerbit Balai FK UI,
Jakarta
1987
6. Anonymous http://alcoholism.about.com/library/blcirrosis.htm
7. Lesmana.L.A, Pembaharuan Strategi Terapai Hepatitis Kronik C, Bagian
Ilmu
Penyakit Dalam FK UI. RSUPN Cipto Mangunkusumo
GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik pada hipertensi portal ekstra hepatik
muncul pada umumnya sebelum anak berumur 5 tahun, beberapa anak muncul sebelum usia 1 tahun (yang termuda
berumur 7 bulan), tetapi sebagian besar muncul umur 3-5
tahun
(4)
. Ada 2 kriteria klinik yang sering terdapat pada
keadaan ini yaitu splenomegali dan hematemesis atau melena
dari varises esofagus serta kadang-kadang disertai asites
(1,2,7)
.
Hipertensi portal ekstrahepatik dicurigai jika didapatkan
riwayat penyakit dan gambaran klinis sebagai berikut : anak
tampak baik, pertumbuhan dan berat badan tidak terlalu
terganggu, tidak ada riwayat penyakit hati atau ikterus, ada
riwayat penyakit neonatus (omfalitis, sepsis, dehidrasi, riwayat
kateterisasi vena umbilikalis untuk Sindrom Distres Pernapasan atau untuk transfusi tukar), tidak ada tanda-tanda penyakit
hati kronik, pembesaran perut yang intermitten atau asites
yang sukar diterangkan, tidak ada riwayat penyakit hati atau
penyakit ginjal
(2,4)
.
Splenomegali dapat merupakan gejala awal yang paling
sering yang terjadi karena terbukanya sinus-sinus vaskuler dan
hiperplasia limpa.
Anamnesis yang cermat dan evaluasi klinik dapat menyingkirkan banyak penyakit-penyakit infeksi yang menyebabkan splenomegali seperti mononukleus infeksiosa, infeksi
traktus respiratorius atau gangguan metabolik seperti penyakit
Gaucher.
Pendarahan pada hipertensi portal ekstrahepatik dapat
berupa hematemesis atau melena yang dapat terjadi pada anak
yang sebelumnya sehat tapi mengeluh sakit perut tiba-tiba.
Keadaan ini merupakan penyebab sekitar 12% kematian pada
anak dengan hipertensi portal. Perdarahan saluran cerna biasanya berhenti spontan, tapi perdarahan ulang dapat terjadi
dengan interval tidak teratur yang makin lama makin sedikit
jika kolateral telah terjadi. Ensefalopati jarang merupakan
komplikasi perdarahan. Beberapa pasien dengan hipertensi
portal tidak disertai dengan perdarahan.
Asites terjadi karena penurunan sintesis albumin, retensi
natrium dan efek mekanik peninggian tekanan portal serta
hiperaldosteronisme.
Gambaran klinik hipertensi portal intrahepatik hampir
sama dengan gambaran klinik bentuk ekstrahepatik dimana
splenomegali yang dihubungkan dengan hipersplenisme paling
sering dijumpai. Pirau vena periumbilikal dapat terjadi. Jika
terjadi perdarahan gastrointestinal dapat diikuti dengan mem-
(2)
Pencitraan sebagai salah satu penunjang diagnostik hipertensi portal juga memegang peranan penting untuk mendeteksi
secara akurat tanda-tanda klinis serta komplikasi hipertensi
portal
(7)
. Pemeriksaan untuk melihat kelainan anatomis sistim
porta diperlukan untuk melakukan koreksi operatif maupun
transplantasi hati. Untuk hal ini USG Doppler sangat
menolong sedangkan angiografi dan venografi vena splenikus
berguna untuk melihat potensi vena porta dan cabang- cabangnya. CT scan tidak lebih unggul dari USG Doppler dalam
melihat vena porta dan kolateralnya. Portografi umbilikus
dapat melihat vena porta dan cabang-cabangnya didalam hati
serta sinusoid hati sedangkan portografi transhepatik jarang
digunakan karena banyak komplikasinya
(1)
.
Pengukuran tekanan vena hepatik dapat menentukan
kelainan intrahepatik bila cara lain merupakan kontraindikasi
dalam pemeriksaan penyebab hipertensi portal, sedangkan
biopsi hati dapat memberikaan informasi tentang diagnosis dan
prognosis terutama hipertensi portal intrahepatik
(2)
.
Sebelum diagnosis pasti dibuat, beberapa keadaan yang
berhubungan dengan splenomegali, lekopeni dan pansitopeni
harus dapat disingkirkan seperti Gaucher disease, Niemann
Pick disease, Letterer Siwe disease dan penyakit-penyakit
dengan infiltrasi pada sumsum tulang dengan leukemia dan sel
neoplastik
(3)
.
Cermin Dunia Kedokteran No. 128, 2000 43
PENANGANAN
Perdarahan dari varises esofagus yang bermanifestasi
sebagai hematemesis dan melena biasanya berhenti spontan,
tapi perdarahan ulang dapat terjadi
(2,3,5)
. Jika perdarahan masih
tetap berlangsung dapat dipikirkan pemberian transfusi darah
segar, vasopressin, pemasangan pipa lambung untuk pembilasan dengan NaCl dingin
(4)
, tetapi peneliti lain menganggap
bahwa pembilasan tidak berarti banyak dalam mengurangi
perdarahan
(5)
. Vasopressin (pitressin) diberikan dengan tujuan
menyebabkan vasokonstriksi arteri splanikus dengan dosis
0,33 unit/kilogram berat badan intraavena selama 20 menit.
Jika perdarahan masih berlanjut, dosis dapat ditingkatkan tiga
kali lipat. Glypressin adalah suatu prekursor pitressin inaktif.
Pada anak-anak, dapat diberikan dengan dosis 2 mg per infus
selama 6 jam. Dikatakan bahwa glypressin ini lebih efektif dari
vasopressin. Efek samping yang dapat terjadi pada pemberian
obat-obatan ini adalah kemerahan pada kulit, kolik abdomen
dan diare.
Apabila dengan cara di atas tidak berhasil dalam
mengatasi perdarahan dapat dipikirkan pemasangan balon
untuk tamponade (Sengstaken-Blackmore). Pemasangan balon
ini sulit dilaksanakan pada anak dan dikuatirkan bisa
menyumbat jalan napas pada waktu dikeluarkan, aritmia
jantung, robeknya esofagus dan refluks darah dari esofagus
sehingga terjadi aspirasi. Apabila tetap tidak berhasil maka
dilakukan ligasi varises. Kebanyakan hipertensi portal ekstra
hepatik dapat teratasi dengan cara-cara ini
(1-5)
.
Gambar 2. Anatomi normal pada hipertensi portal dan pirau porta
(dikutip dari 2).
Penanganan operasi untuk menghentikan perdarahan
masih merupakan kontroversi. Sebenarnya pembuatan pirau
dengan tindakan operasi ini merugikan penderita karena dapat
menurunkan aliran darah ke hati yang akan mengurangi perfusi
jaringan hati yang pada akhirnya akan menyebabkan
ensefalopati porta sistemik. Pembuatan pirau mungkin berguna
pada penderita hipertensi portal ekstrahepatik dengan perdarahan yang tidak bisa diatasi. Ada dua cara yang akhir-akhir
ini digunakan, yaitu penanganan secara langsung pada
varisesnya (ligasi transesofagal) dan pengalihan aliran darah
dari sirkulasi portal ke sirkulasi sistemik (pintasan portokaval
dekompressi dan selektif). Skleroterapi merupakan pilihan
penanganan awal, tetapi ini biasanya hanya merupakan
ed. Edinburgh,
London: Churchill Livingstone, 1973; 410-21
stadium. Stadium 0 menunjukkan tidak adanya gangguan yang tampak secara klinis,
stadium 1 terjadi gangguan status mental (perubahan tingkah laku dan emosi),
stadium 2 pasien cepat mengantuk yang menandai mulai terjadi gangguan saraf
yang lebih lanjut, stadium 3 kesadaran pasien tambah menurun, dan akhirnya pada
stadium 4 pasien kehilangan kesadaran (koma).
Koma hepatik terjadi karena beberapa kondisi, terutama adanya hiperamonia akibat
gangguan detoksifikasi oleh hati dan karena adanya gangguan keseimbangan antara
asam amino rantai cabang dengan asam amino aromatik.
Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. Asam amino rantai
cabang (AARC) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin digunakan sebagai
sumber energi (kompensasi gangguan glukosa sebagai sumber energi) dan untuk
metabolisme amonia. Dalam hal ini, otot rangka berperan sebagai organ hati kedua
sehingga disarankan penderita sirosis hati mempunyai massa otot yang baik dan
bertubuh agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan cadangan energi lebih banyak,
stadium kompensata dapat dipertahankan, dan penderita tidak mudah jatuh pada
keadaan koma.
Penderita sirosis hati harus meringankan beban kerja hati. Aktivitas sehari-hari
disesuaikan dengan kondisi tubuh. Pemberian obat-obatan (hepatotoksik) harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Penderita harus melakukan diet seimbang, cukup
kalori, dan mencegah konstipasi. Pada keadaan tertentu, misalnya, asites perlu diet
rendah protein dan rendah garam.
Penentuan diet pada penderita sirosis hati sering menimbulkan dilema. Di satu sisi,
diet tinggi protein untuk memperbaiki status nutrisi akan menyebabkan hiperamonia
yang berakibat terjadinya ensefalopati. Sedangkan bila asupan protein rendah maka
kadar albumin dalam darah akan menurun sehingga terjadi malnutrisi yang akan
memperburuk keadaan hati. Untuk itu, diperlukan suatu solusi dengan nutrisi khusus
hati, yaitu Aminoleban Oral. Aminoleban Oral mengandung AARC kadar tinggi serta
diperkaya dengan asam amino penting lain seperti arginin, histidin, vitamin, dan
mineral. Nutrisi khusus hati ini akan menjaga kecukupan kebutuhan protein dan
mempertahankan kadar albumin darah tanpa meningkatkan risiko terjadinya
hiperamonia. Pada penderita sirosis hati yang dirawat di rumah sakit, pemberian
nutrisi khusus ini terbukti mempercepat masa perawatan dan mengurangi frekuensi
perawatan.
Dengan nutrisi khusus ini diharapkan status nutrisi penderita akan terjaga, mencegah
memburuknya penyakit hati, dan mencegah terjadinya ensefalopati hepatik sehingga
kualitas serta harapan hidup penderita juga akan membaik. (Hidayati W.B.)
HASIL PENELITIAN
Sonografi Sirosis Hepatis
di RSUD Dr. Moewardi
Suyono, Sofiana, Heru, Novianto, Riza, Musrifah
Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret /
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta
PENDAHULUAN
Penyakit hepar terutama hepatitis yang disebabkan oleh
virus (terutama virus hepatitis B) saat ini melanda dunia baik di
negara maju maupun negara berkembang. Munculnya virus
baru yaitu virus Hepatitis E menimbulkan hepatitis akut yang
sporadik terutama pada usia dewasa (60%).
Sirosis hepatis sebagian besar disebabkan oleh hepatitis
(1)
penderitanya juga tidak pernah berkurang terutama dari
pengamatan di RSDM Surakarta sejak tahun 2001-2003.
SIROSIS HEPATIS
Definisi
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun difus ditandai
dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul
(2)
.
Etiologi
Penyebab yang pasti sampai sekarang belum jelas; di
antaranya
(3)
:
Faktor kekurangan nutrisi
Hepatitis virus
Zat hepatotoksik
Penyakit Wilson
Hemokromatosis
Gejala klinis
Gejala dini samar dan nonspesifik berupa kelelahan,
anoreksia, dispepsia, flatulen, konstipasi atau diare, berat badan
berkurang, nyeri tumpul atau berat pada epigastrium atau
kuadran kanan atas
(1)
.
Manifestasi utama dan lanjut sirosis merupakan akibat dari
dua tipe gangguan fisiologis
:
a.
Gagal sel hati
-
Ikterus
Edema perifer
Kecenderungan perdarahan
Eritema palmaris (telapak tangan merah)
Angioma laba-laba
Fetor hepatikum
Ensefalopati hepatik
b.
Hipertensi portal
Splenomegali
Varises oesofagus dan lambung
Manifestasi sirkulasi kolateral lain
Sedang asites dapat dianggap sebagai manifestasi gagal
hepatoseluler dan hipertensi portal
(1)
.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada pemeriksaan uji biokimia hati yang dapat
menjadi pegangan dalam menegakkan diagnosis sirosis hepatis:
a.
Darah
Anemia normokrom normositer, hipokrom normositer,
hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer.
b.
Kenaikan kadar enzim transaminase (SGOT/SGPT)
(2)
c.
Albumin dan globulin serum
Perubahan fraksi protein yang paling sering terjadi pada
penyakit hati adalah penurunan kadar albumin dan
kenaikan kadar globulin akibat peningkatan globulin
gamma
(2)
.
d.
Penurunan kadar CHE
e.
Pemeriksaan kadar elektrolit, penting pada penggunaan
diuretik dan pembatasan garam dalam diet.
f.
a.
Antigen permukaan/surface antigen/HbsAg..
b.
Antigen core/core antigen/HbcAg.
c.
Antigen e/ e antigen/HbeAg
(7)
.
Skema partikel virus hepatitis B
di permukaan hepatosit
(2)
.
USG PADA SIROSIS HEPATIS
Gambarannya meliputi gambaran spesifik pada organorgan hati, lien, dan traktus biliaris.
a.
Gambaran USG pada hati
Terdapat gambaran iregularitas penebalan permukaan hati,
membesarnya lobus kaudatus, rekanalisasi v.umbilikus, dan
ascites. Ekhoparenkim sangat kasar menjadi hiperekhoik
karena fibrosis dan pembentukan mikronodul menjadikan
permukaan hati sangat ireguler, hepatomegali; kedua lobus hati
mengecil atau mengerut atau normal. Terlihat pula tanda
sekunder berupa asites, splenomegali, adanya pelebaran dan
kelokan-kelokan v. hepatika, v. lienalis dan v. porta (hipertensi
porta). Duktus biliaris intrahepatik dilatasi, ireguler dan
berkelok-kelok
(5,6)
.
b.
Gambaran USG pada lien
Tampak peningkatan ekhostruktur limpa karena adanya
jaringan fibrosis, pelebaran diameter v.lienalis serta tampak lesi
sonolusen multipel pada daerah hilus lienalis akibat oleh
adanya kolateral
(5)
.
c.
Gambaran USG pada traktus biliaris.
Sludge (lumpur empedu) terlihat sebagai material
hiperekhoik yang menempati bagian terendah kandung empedu
dan sering bergerak perlahan-lahan sesuai dengan posisi
penderita, jadi selalu membentuk lapisan permukaan dan tidak
memberikan bayangan akustik di bawahnya. Pada dasarnya
lumpur empedu tersebut terdiri atas granula kalsium bilirubinat
dan kristal-kristal kolesterol sehingga mempunyai viskositas
yang lebih tinggi daripada cairan empedu sendiri. Dinding
kandung empedu terlihat menebal. Duktus biliaris
ekstrahepatik biasanya normal
(4)
.
METODA PENELITIAN
Data didapatkan dari penderita dengan tanda klinis, data
laboratoris dan USG sebagai pemeriksaan penunjang. Data
dikumpulkan secara retrospektif dari permintaan USG hepar di
bagian Radiologi RSUD Dr.Moewardi Surakarta sejak 20012003. Data tersebut diolah dan diklasifikasikan berdasarkan
umur, jenis kelamin, keterangan klinik dan hasil USG hepar.
HASIL PENELITIAN
58
8
37
19
33
10
93
13
60
30
54
16
Hasil pemeriksaan USG Abdomen
Tabel 4. Ascites
USG Abdomen
Jumlah
%
Ada
Tidak
54
8
87
13
SINDROMA HEPATORENAL
SRI MARYANI SUTADI
Fakultas Kedokteran
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir ini, telah diketahui bahwa sindroma
hepatorenal (SHR) merupakan komplikasi terminal pada pasien sirosis hati
dengan
ascites.
Timbulnya gagal ginjal tanpa adanya gejala klinis dan bukti histologis yang
diketahui
sebagai penyebab timbulnya gagal ginjal tersebut.
1,2
.
Pada SHR kelainan yang dijumpai pada ginjal hanya berupa kegagalan fungsi
tanpa ditansai dengan kelainan anatomi. Hal ini dapat dibuktikan bila ginjal
tersebut
ditansplantasikan pada penderita lain yang tidak didapati kelainan hati, maka
fungsi
ginjal tersebut akan kembali normal atau penderita yang mengalami SHR
dilakukan
transpalantasi hati maka fungsi ginjalnya akan kembali normal.
3
.
Selain perubahan fungsi ginjal, penderita SHR juga ditandai dengan perubahan
sirkulasi arteri sistemik dan aktifitas sistim vasoactive endogen yang berperan
dalam
terjadinya hipoperfusi ke ginjal. Dengan alsan ini SHR merupakan kumpulan
patofisiologi yang unik untuk diketahui hubungan antara sirkulasi sistemik dan
fungsi
ginjal serta pengaruh factor vasokonstriktor dan vasodilator pada sirkulasi
ginjal
4,5
.
SHR dilaporkan pertama sekali oleh Austin Flint dan Frerichs (1863), yang
masing-masing melaporkan timbulnya oligura pada pasien-pasien sirosis
dengan
asites, mereka tidak menemukan adanya perubahan histology ginjal yang
nyata
pada pemeriksaan post mortem. Pierre Vesin salah satu peneliti tentang aspek
klinis
fungsi ginjal pada sirosis, mengusulkan definisi SHR dengan nama terminal
fungtional rernal failure.
Beliau menekankan gagal ginjal pada SHR tidak
berhubungan dengan kerusakan struktur ginjal dan berkembangnya sindroma
ini
merupakan keadaan terminal dan orreversible pada sirosis dengan asites
1
. Pada
tahun 1956, Hecker dan Sherlock melaporkan sembilan pasien penyakit hati
bersamaan dengan gagal ginjal yang ditandai dengan protein uria dan ekskresi
NA
+
yang rendah.
Defenisi
Defenisi Sindroma Hepato Renal yang diusulkan oleh International Ascites
Club (1994) adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati
kronik
dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan
fungsi
ginjaldan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas system
vasoactive endogen. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan
laju
filtrasi glomerulus rendah, dimana sirkulasi diluar ginjal terdapat vasodilasi
arteriol
yang luas menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik total dan
hipotensi.
Meskipun sindroma hepatorenal lebih umum terdapat pada penderita dengan
sirosis
lanjut, hal ini dapat juga timbul pada penderita penyakit hati kronik atau
penyakit
hati akut lain seperti hepatitis alkoholik atau kegagalan hati akut3.
Insiden
Dagher dkk
4,6
2
melaporkan insiden SHR pada penderita sirosis hati dengan ascites yang
dirawat
mencapai 10% kasus.
Patofisiologi
Hal yang sama ditemukan pada SHR adalah vasokonstriksi ginjal yang
reversible dan hipotensi sistemik. Keberadaan vasokonstriksi ginjal yang nyata
pada
penderita SHR telah ditunjukkan dengan beberapa metode eksplorasi termasuk
arteriografi ginjal, klirens para aminohipuric acid dan yang terbaru
ultrasonografi
Doppler. Pemakaian beberapa teknik ini mendapatkan beberapa perubahan
dalam
perfusi ginjal yang berkesinambungan pada penderita sirosis dengan ascites,
dan
SHR adalah akhir dari spectrum ini 2,3,7. Penyebab utama dari vasokonstriksi
ginjal
ini belum diketahui secara pasti, tapi kemungkinan melibatkan banyak factor
antara
lain perubahan system hemodinamik, meningginya tekanan vena porta,
peningkatan
vasokonstriktor dan penurunan vasodilator yang berperan dalam sirkulasi di
ginjal
(Tabel 1)
2,5
.
Teori hipoperfusi ginjal menggambarkan manisfestasi dari kekurangan
pengisian
sirkulasi arteri terhadap adanya vasodilasi pembuluh darah splanik.
Pengurangan
pengisian arteri ini akan menstimulasi baroreseptor mengaktifkan
vasokonstriktor
(seperti rennin angiotension dan system saraf simpatis)1.
Tabel 1. Faktor-faktor Vasoaktif secara potensial berperan dalam pengaturan
perfusi
.
Vasokonstriktor
Angiotension II
Norepineprine
Neuropeptide Y
Endothelin
Adenosine
Cysteinyl leukotrines
F2-isoprostanes
Vasodilators :
Prostaglandins
Nitric oxide
Natriuretic peptides
Kallikrein kinin system
Vaktor Vasokonstriktor
3,4
3
Substansi vasoactive lainnya seperti adenisin,F2 isoprostanes dapat juga
sebagai
factor yang mempengaruhi patogenesa vasokonstriksi ginjal dalam SHR, tapi
mekanisme yang pasti masih belum diketahui. Akhir ini disebutkan endotoksin
dan
sitokin juga berperan dalam timbulnya vasokonstriksi ginjal yang poten daan
SHR
timbul setelah infeksi bakteri yang berat pada sirosis. Hal ini diduga katrena
peningkatan translokasi bakteri dan portosystemic shunting. Bagaimanapun
peran
endotoksin dan sitokin dalam disfungsi ginjal pada sirosis masih merupakan
perdebatan.
Faktor Vasodilator
Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan pada
binatang memperlihatkan bahwa sintesa factor vasodilator local pada ginjal
memaikan peran yang penting dalam
mempertahankan perfusi ginjal dengan
meelindungi sirkulasi ginjal dari efek yang merusak dari factor
vasokonstriktor.
Mekanisme vasodilator ginjal yang paling penting adalah prostaglandin (PGs).
PGs
membentuk sitem yang unik dimana ginjal mampu mengimbangi efek
peningkatan
kadar vasokonstriktor tanpa merusak fungsi sitemiknya. Bukti yang paling
kuat
menyokong peran PGs ginjal dalam mempertahankan perfusi ginjal pada
sirosis
dengan ascietes diperoleh dari penelitian yang menggunakan obat non steroid
aanti
inflamasi untuk menghambat pembentukan prostaglandin ginjal. Pemberian
NSAIDs,
sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita
sirosis hati dengan ascites
menyebabkan penurunan yang nyata dalam aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus, yang perubahannya menyerupai kejadian dalam SHR pada
penderita
dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit efek pada
penderita dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit
atau
sedikit efek pada penderita tanpa aktifitas vasokonstriktor. Vasodilator ginjal
lainnya
yang mungkin berpartisipasi dalam mempertahankan perfusi ginjal pada
sirosis
adalah nitrit oksida. Jika produksi nitrit oksida dan PGs dihambat secara tidal
langsung dalam percobaan sirosis dengan ascites terjadi penurunan perfusi
ginjal
3,4. Vasodilator lain yang mungkin mempengaruhi pengaturan perfusi ginjal
pada
sirosis adalah natriuretic peptide. Gulberg dkk menemukan peningkatan
jumlah C
Type natriuretic peptide (CNP) di urin penderita sirosis dan gagal ginjal
fungsional,
selanjutnya ditemukan hubungan yang terbalik antara CNP di urin dengan
ekskresi
natrium urin,CNP ini berperan dalam pengaturan keseimbangan natrium.
Penemuan
ini membuktikan aktifitas vasodilator ginjal meningkat pada sirosis dan
berperan
dalam pengaturan perfusi ginjal, terutama pada aktifitas yang berlebihan dari
mekanisme vasokonstriktor ginjal
8
.
Sistem saraf simpatis
4
Stimulasi system saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan
menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatnya retensi natrium. Hal ini
telah
diperlihatkan oleh beberapa peneliti adanya peningkatan sekresi katekolamin
di
pembuluh darah ginjal dan splanik. Kostreva dkk mengamati vasokonstruksi
pada
arteiol afferent ginjal menimbulkan penurunan aliran darah ginjal dan GFR
dan
meningkatkan penyerapan air dan natrium di tubulus.
Patogenesia
3,9
Ada dua jenis teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal yang
timbul pada penderita SHR. Teori pertama, menjelaskan hipoperfusi ginjal
berhubungan dengan penyakit hati itu sendiri tanpa ada patogenetik yang
berhubungan dengan gangguan system hemodinamik. Teori ini berdasarkan
hubungan langsung hati ginjal, yang didukung oleh dua mekanisme yang
berbeda
yang mana penyakit hati dapat menyebabkan vasokonstriksi ginjal dengan
Page 4
2003 Digitized by USU digital library
4
penurunan pembentukan atau pelepasan vasodilator yang dihasilkan hati yang
dapat
menyebabkan pengurangan perfusi ginjal dan pada percobaan binatang
diperlihatkan
bahwa hati mengatur fungsi ginjal melalui refleks hepatorenal. Teori kedua
menerangkan bahwa hipoperfusi ginjal berhubungan dengan perubahan
patogenetik
dalam system hemodinamik dan SHR adalah bentuk terakhir dari pengurangan
pengisian arteri pada sirosis. Hipotesis ini menerangkan bahwa kekurangan
pengisian sirkulasi arteri bertanggung jawab terhadap hipoperfusi yang bukan
sebagai akibat penurunan volume vaskuler, tetapi vasodilatasi arteriolar yang
luar
biasa terjadi terutama pada sirkulasi splanik. Hal ini dapat menyebabkan
aktifasi
yang progresif dari mediator baroreseptor system vasokonstriktor (Gambar1),
yang
mana dapat menimbulkan vasokonstruksi tidak hanya pada sirkulasi ginjal
tetapi
juga pada pembuluh darah yang lain. Splanik dapat bebas dari efek
vasokonstriktor
dan vasodilasi dapat bertahan, kemingkinan karena adanya rangsangan
vasodilator
local yang sangat kuat. Timbulnya hipoperfusi ginjal menyebabkan SHR dapat
terjadi
sebagai akibat aktifitas yang maksimal vasokonstriktor sistemik yang tidak
dapat
dihalangi oleh vasodilator, penurunan aktifitas vasodilator atau peningkatan
produksi
vasokonstriktor ginjal atau keduanya.
Sirosis hati
Vasodilatasi arteri splanik
Arterial underfilling
Sintesa factor vasodilator
Baroreseptor
Sntesa factor vasokonstriktor
Intra renal
Aktifitas factor vasokonstriktor
intra renal
Sistemik
Vasokonstriksi renal
SHR
Gambar 1 : Patogenesa sindroma hepatorenal.
9
Gambaran Klinis
Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara gagal
ginjal, gangguan sirkulasi dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara
perlahan
atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air yang
menimbulkan ascites, edema dan dilutional hyponatremia, yang ditandai oleh
ekresi
natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan buang air (oliguri
anuria ).
Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai dengan tekanan arteri yang
rendah,
peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan pembuluh darah
sistemik
(Tabel 2)
3,4
.
Gambaran klinis dari uremia jarang dijumpai, begitu juga dengan analisa urin
dalam
keadaan normal 10.
Secara klinis SHR dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu
1-4,11
:
1. Sindroma Hepatorenal tipe I
Page 5
2003 Digitized by USU digital library
5
Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN (Blood
urea nitrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai kreatinin >2,5 mg/dl atau
penurunan
kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini timbul dalam
beberapa hari
hingga 2 minggu. Gagal ginjal sering dihubungkan dengan penurunan yang
progresif
jumlah urin,
Tabel 2. Gangguan hemodinamik yang sering ditemukan pada sindroma
hepatorenal
3
.
Cardiac output meninggi
Tekanan arterial menurun
Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun
Total volume darah meninggi
Aktifasi system vasokonstriktor meninggi
Tekanan portal meninggi
Portosystemic shunting
Tekanan pembuluh darah splanik menurun
Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi
Tekanan arteri brachial dan femoral meninggi
Tahanan pembuluh darah otak meninggi
retensi natrium dan hiponatremi . Penderita dengan tipe ini biasanya dalam
kondisi
klinik yang sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus,
ensefalopati
atau koagulopati. Tipe ini umum pada sirosis alkoholik berhubungan dengan
hepatitis
alkoholik, tetapi dapat juga timbul pada sirosis non alkoholik. Kira-kira
setengah
kasus SHR tipe ini timbul spontan tanpa ada factor presipitasi yang diketahui,
kadang-kadang pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat yang
erat
dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi (seperti inveksi bakteri,
perdarahan gastrointestinal, parasintesis). Spontaneus bacterial peritonirtis
(SBP)
adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis. Kira-kira
35%
Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnostik SHR. Kriteria diagnostik yang
dianut sekarang adalah berdasarkan International Ascites Clubs Diagnostic
Criteria
of Hepatorenal Syndrome (Tabel 3).
Tabel 3. Kriteria Mayor diagnostik SHR berdasarkan International Axcites
Club
4
1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi
portal.
Page 6
2003 Digitized by USU digital library
6
2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24 jam < 40
ml/mnt.
3. Tidak ada syok,infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan
mendapat obat nefrotoksik.
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5
ltr
dan diuretic (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau
peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)
5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai bstruktif uropati atau penyakit
parenkim ginjal secara ultrasonografi.
Kriteria tambahan :
1. Volume urin < 500 ml / hari
2. Natrium urin < 10 meg/liter
3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
4. Eritrosit urin < 50 /lpb
5. Natrium serum <130 meg / liter
. Kombinasi pemberian
vasokonstriktor
(ornipressin,
norepenephrine)
dan
vasodilator
ginjal
(dopamine,prostacyclin) juga gagal memperbaiki fungsi ginjal
14
.
Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa pemberian kombinasi ornipressin
dengan penambahan volume plasma dengan almumin memperbaiki fungsi
ginjal dan
menormalkan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis dengan SHR. Tiga
hari
pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat menormalkan aktifitas yang
berlebihan dari rennin angiotension dan system saraf simpatis, peningkatan
kadar
natriuetik peptide arteri dan hanya memperbaiki sedikit fungsi ginjal.
Pemberian
.
Peritoneovenous shunt
Peritoneovenous shunt telah digunakan secarasporadis pada masa yang lau di
dalam pelaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis.
Pemasangan shunt
menyebabkan aliran yang terus menerus cairan ascites dari rongga peritoneum
ke
sirkulasi sistemik yang berperan dalam meningkatkan curah jantung (cardiac
output)
dan penambahan volume intravaskuler. Efek hemodinamik dari
peritoneovenous
shunt dihubungkan dengan penekanan yang nyata dari
aktifitas
system
vasokonstriktor, peningkatan ekskresi natrium dan beberapa kasus
memperbaiki
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, hal nilah yang menyebabkan
rasionalisasi tindakan pada penderita SHR 3.
Portosystemic shunt
Anastomosis shunt, baik side to side maupun end to side, belum merupakan
terapi standar dalam pelaksanaan SHR karena tingkat morbiditas dan
mortalitas
yang tinggi, dihubungkan dengan prosedur operasi ini pada sebagian pasien
dengan
penyakit hati lanjut. Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode
nenbedah dari
kompresi portal yaitu Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS).
Keuntungan metode ini disbanding dengan operasi portocaval shunt adalah
penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi yang paling sering pada
pasien yang
Page 8
2003 Digitized by USU digital library
.
Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1 dan menyimpulkan
TIPS
dapat memperbaiki fungsi ginjal,menurunkan aktifitas renin angiotension dan
system
saraf simpatis
17
.
Dialisa
1,18
Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita
SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi
ginjalnya.
Tindakan transpalntasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis
buruk
dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat
transplantasi. Segera setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat
diamati selama 48 jam sampai 72 jam. Setelah itu laju filtrasi glomerulus
mulai
mengalami perbaikan.
Kesimpulan
1. SHR adalah komplikasi dari penyakit hati yang lanjut yang ditandai tidak
hanya
gagal ginjal, tapi juga gangguan system hemodinamik dan aktifitas system
vasoaktif endogen.
2. Patogenesa SHR belum diketahui pasti, tapi diduga pengurangan pengisian
sirkulasi arteriol sekunder terhadap sirkulasi vasodilasi arteriol di splanik,
gangguan keseimbangan antara factor vasokonstriktor dan vasodilator.
3. Diangnosa SHR berdasarkan International Ascites Clubs Diagnostic
Criteria of
Hepatorenal Syndrome.
4. Pilihan pengobatan yang baik adalah transplantasi hati
5. Pengobatan pendukung hanya diberikan jika fungsi hati dapat kembali
normal
atau sebagai jembatan untuk menunggu tindakan transplantasi hati.
Kepustakaan
1. Arroyo V.New Treatment for Hepatorenal Syndrome. Liver Transplantation
2000;6 (3) http://hepatology.aasldjournals.org/scripts/om.dll/serve?article.htm
2. Platt
JF,Ellis JH, Rubin JM et al. Renal Duplex Doppler Ultrasonography: A
Noninvasive Predictor Of Kidney Dysfunction and Hepatorenal Failure in
Liver
Disease. Hepatology 1994;20:362-9.
3. Gines P, Arroyo V. Hepatorenal Syndrome.J Am Soc Nephrol
1999;10:1833-9
4. Dagher L, Moore K. The Hepatorenal Syndrome. Gut 2001;49:729-737
5. Arroyo V, Gines P,Gerbes Al et al. Defenition and Diagnostic criteria of
Refractory
ascites and Hepatorenal Syndrome in Cirrhosis Hepatology 1996;23:164
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ
hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan
tersebut terjadi karena infeksi akut dengan virus hepatitis dimana terjadi
peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel.
Kondisi ini menyebabkan terbentuknya banyak jaringan ikat dan
regenerasi noduler dengan berbagai ukuran yang dibentuk oleh sel
parenkim hati yang masih sehat. Akibatnya bentuk hati yang normal akan
berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan
terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan
hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati membesar, teraba kenyal,
tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan.
Penyebab sirosis hati beragam. Selain disebabkan oleh infeksi virus
hepatitis B ataupun C, juga dapat diakibatkan oleh konsumsi alkohol yang
berlebihan, berbagai macam penyakit metabolik, adanya gangguan
imunologis , dan sebagainya. Di Indonesia, sirosis hati lebih sering
dijumpai pada laki-laki daripada perempuan.
Keluhan yang timbul umumnya tergantung apakah sirosisnya masih dini
atau sudah fase dekompensasi. Selain itu apakah timbul kegagalan fungsi
hati akibat proses hepatitis kronik aktif atau telah terjadi hipertensi portal.
Bila masih dalam fase kompensasi sempurna maka sirosis kadangkala
ditemukan pada waktu orang melakukan pemeriksaan kesehatan
menyeluruh (general check-up) karena memang tidak ada keluhan sama
sekali. Namun, bisa juga timbul keluhan yang tidak khas seperti merasa
badan tidak sehat, kurang semangat untuk bekerja, rasa kembung, mual,
mencret kadang sembelit, tidak selera makan, berat badan menurun, otototot melemah, dan rasa cepat lelah. Banyak atau sedikitnya keluhan yang
timbul tergantung dari luasnya kerusakan parenkim hati. Bila timbul
ikterus maka berhenti sedang terjadi kerusakan sel hati. Namun, jika
sudah masuk ke dalam fase dekompensasi maka gejala yang timbul
bertambah dengan gejala dari kegagalan fungsi hati dan adanya hipertensi
portal.
Kegagalan fungsi hati menimbulkan keluhan seperti rasa lemah, turunya
barat badan, kembung, dan mual. Kulit tubuh di bagian atas, muka, dan
lengan atas akan bisa timbul bercak mirip laba-laba (*spider nevi).
Telapak tangan bewarna merah (eritema palmaris), perut membuncit
akibat penimbunan cairan secara abnormal di rongga perut (asites),
rambut ketiak dan kemaluan yang jarang atau berkurang, buah zakar
mengecil (atrofi testis), dan pembesaran payudara pada laki-laki. Bisa
pula timbul hipoalbuminemia, pembengkakan pada tungkai bawah sekitar
tulang (edema pretibial), dan gangguan pembekuan darah yang
bermanifestasi sebagai peradangan gusi, mimisan, atau gangguan siklus
haid. Kegagalan hati pada sirosis hati fase lanjut dapat menyebabkan
gangguan kesadaran akibat encephalopathy hepatic atau koma hepatik.
Tekanan portal yang normal antara 5-10 mmHg. Pada hipertensi portal
terjadi kenaikan tekanan dalam sistem portal yang lebih dari 15 mmHg
dan bersifat menetap. Keadaan ini akan menyebabkan limpa membesar
(splenomegali), pelebaran pembuluh darah kulit pada dinding perut
disekitar pusar (caput medusae), pada dinding perut yang menandakan
sudah terbentuknya sistem kolateral, wasir (hemoroid), dan penekanan
pembuluh darah vena esofagus atau cardia (varices esofagus) yang dapat
menimbulkan muntah darah (hematemesis), atau berak darah (melena).
Kalau pendarahan yang keluar sangat banyak maka penderita bisa timbul
syok (renjatan). Bila penyakit akan timbul asites, encephalopathy, dan
perubahan ke arah kanker hati primer (hepatoma).
Diagnosa yang pasti ditegaskan secara mikroskopis dengan melakukan
biopsi hati. Dengan pemeriksaan histipatologi dari sediaan jaringan hati
dapat ditentukan keparahan dan kronisitas dari peradangan hatinya,
mengetahui penyebab dari penyakit hati kronis, dan mendiagnosis apakah
penyakitnya suatu keganasan ataukah hanya penyakit sistemik yang
disertai pembesaran hati.
8. Pemeriksaan alfa feto protein (AFP). Bila ininya terus meninggi atau
>500-1.000 berarti telah terjadi transformasi ke arah keganasan
yaitu terjadinya kanker hati primer (hepatoma).
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan antara lain
ultrasonografi (USG), pemeriksaan radiologi dengan menelan bubur
barium untuk melihat varises esofagus, pemeriksaan esofagoskopi untuk
melihat besar dan panjang varises serta sumber pendarahan, pemeriksaan
sidikan hati dengan penyuntikan zat kontras, CT scan, angografi, dan
endoscopic retrograde chlangiopancreatography (ERCP).
Pengobatan tergantung dari derajat kegagalan hati dan hipertensi portal.
Bila hati masih dapat mengkompensasi kerusakan yang terjadi maka
penderita dianjurkan untuk mengontrol penyakitnya secara teratur,
istirahat yang cukup, dan melakukan diet sehari-hari yang tinggi kalori
dan protein disertai lemak secukupnya. Dalam hal ini bila timbul
komplikasi maka hal-hal berikut harus diperhatikan.
Abstrak
Abstract
hepatosit hasil pengkulturan. Sel hepatosit hasil kultur tersebut melekat di membran
yang akan dilalui oleh darah, sehingga darah akan tersaring dan mengalami
detoksifikasi, penambahan asam amino, asam lemak, ataupun faktor pembekuan
darah6. Hanya saja, penggunaan ELAD bersifat sementara dan sekadar
mensubstitusi beberapa fungsi hepar dan tidak memberikan suatu solusi yang
menyeluruh. Organ hepar yang rusak tetaplah rusak dan penderita harus
mendapatkan terapi ELAD secara berkesinambungan (terus-menerus).
Upaya lain yang mulai dijajaki oleh para ahli hepatologi adalah dengan melakukan
pencangkokan sel hepatosit melalui pembuluh darah vena porta, atau sering disebut
transplantasi intra porta. Proses transplantasi ini dapat mereduksi masalah-masalah
yang terjadi pada proses transplantasi organ. Sifat transplantasi sel hati adalah
autotransplan, di mana sel-sel hepatosit yang akan dicangkok berasal dari organ
hepar penderita sendiri. Masalah lain yang dapat diminimalisir adalah kompatibilitas,
karena sistem pertahanan tubuh tentu tidak akan menyerang warga negara-nya
sendiri. Sedangkan kesulitan yang ditemui adalah pencangkokan sel melalui
pembuluh darah vena ini menimbulkan oklusi (sumbatan) di ujung-ujung pembuluh
darah. Sumbatan tersebut akan mengakibatkan terjadinya nekrosis (pembusukan
jaringan) akibat kurangnya asupan oksigen di daerah pasca sumbatan. Keadaan ini
terjadi akibat proses transplantasi sel dilakukan menggunakan jarum suntik biasa
berukuran besar. Pada metode yang lebih canggih digunakan French pediatric
feeding tube no 8 yang hanya memanfaatkan gaya gravitasi untuk mendorong
masuknya sel-sel hepatosit ke dalam vena porta. Turbulensi yang terjadi dan
sempitnya volume ruang dalam jarum akan mengakibatkan sel-sel hati berkelompok
(clumping). Selaian itu, ikatan antar sel yang kuat dengan diprakarsai oleh molekul
cadherin akan menyebabkan gumpalan sel bertambah besar dan tersangkut di
pembuluh darah sebelum sampai di daerah sasaran. Kesulitan lain adalah gagalnya
sel-sel hati bertumbuh di tempat barunya. Keadaan ini terjadi karena lemahnya
kondisi sel akibat perlakuan penanaman serta kurangnya dukungan biokimiawi dan
fisis dari lingkungan sekitar. Dukungan biokimiawi yang dibutuhkan sel untuk
membentuk koloni baru adalah adanya faktor-faktor pertumbuhan, sedangkan
dukungan fisis adalah adanya jaringan pembuluh darah baru (neo vascularisasi) yang
dapat menjamin asupan nutrisi dan oksigen. Kesulitan lain yang tak kalah penting
adalah menjaga kekuatan hidup (viabilitas) sel-sel hati yangt akan di cangkokkan.
Hepatosit Sitotransplantator
Berdasar pengamatan terhadap berbagai kendala trasnplantasi sel hati di atas maka
sebuah tim gabungan dari berbagai institusi dan ilmuwan independen di Bandung
telah mendesain suatu alat dan metode transplantasi sel hati yang disebut Hepatosit
Sitotransplantator. Setelah melalui serangkaian uji coba dan proses registrasi paten,
maka cetak biru desain alat dan protokol sementara metode transplantasi telah
menunjukkan hasil yang menjanjikan. Adapun secara prinsip metode transplantasi
sel hati ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Proses pengambilan sel hati normal dari penderita sebagai bahan baku kultur
dilakukan dengan teknik biopsi terarah dengan panduan gambar USG dan
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan sitologi.
2. Proses pengkulturan sel menggunakan media CRML-1066 (Mediatech)
dengan proteksi antibiotik Gentamisin dan anti mikotik Fungizone. Suhu
eraman ideal adalah 280C.
3. Pembedahan mikro (laparotomi) untuk memasang jarum inlet di vena post
hepatic dan jarum outlet di vena porta.
4. Pengiriman sel hati menuju daerah portal dengan bantuan alat Hepatosit
Sitotransplantator.
Alat Hepatosit Sitotransplantator memiliki rangkain seperti ini (lihat gambar
1 4):
1. Jarum inlet yang terhubung dengan silikon tubing dengan diameter 3,2x1,6
mm.
2. Pompa peristaltis yang akan memompakan darah dari saluran silikon inlet
menuju multiport ejector yang berfungsi juga sebagai mixer, melalui saluran
silikon dengan diameter yang sama dengan saluran inlet.
3. Multiport ejector yang berperan sebagai ruang penampung sebelum sel hati
dikirim melalui vena porta.
4. Pompa syringe yang akan memompakan kultur sel untuk bergerak menuju
multiport ejector.
5. Pompa syringe II yang akan memompakan larutan pendukung yang terdiri
dari anti clumping (Ethyl-Eneglycoltetraacetic/EGTA), faktor pertumbuhan
(HGF, IGF-1, dan VEGF), serta antikoagulan (EDTA).
6. Micro vibrator dengan burst firing mode yang berfungsi untuk menciptakan
getaran pengocok agar larutan penunjang dapat bercampur dengan baik
dengan kultur sel dan darah, serta membantu proses separasi sel menjadi
unit tunggal. Vibrator ini bekerja secara reciprocating sekitar 1 mm, dan
dikendalikan dengan modus burst firing mode sehingga getaran yang
ditimbulkan tidak kontinyu, melainkan secara periodik waktu delay (msec)
dan frekuensi (<1 kHz) yang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan.
7. Filter mikro dengan porus berdiameter 80 mikron untuk menyaring sel hati
agar terlarut dalam bentuk soliter (per unit).
8. Silikon tubing outlet berdiameter 3,2x1,6 mm yang terhubung dengan jarum
outlet.
9. Waterbath yang disetel dengan suhu 370C untuk mensuplai air hangat ke
seluruh water jacket dalam suatu sirkulasi tertutup.
10. Water jacket yangt berfungsi untuk menjaga suhu kultur sel, larutan
penunjang, dan darah yang terdapat di dalam pompa syringe dan multiport
ejector untuk tetap berada pada suhu optimal 370C.
11. Controller box, yang berfungsi sebagai alat kendali utama dalam
pengoperasian Hepatosit sitotransplantator.
12. Saat ini sedang dikembangkan pressure sensors berbentuk tubing dari
bahan karet silikon yang dilengkapi dengan panel digital untuk mengetahui
fluktuasi volume cairan darah intratube.
Prosedur Isolasi Sel Hepatosit
Pengambilan sampel untuk bahan baku kultur dilakukan dengan metode biopsi
terarah yang dibantu panduan USG. Penggunaan USG, selain memberikan arahan
yang tepat dalam pengambilan jaringan, juga dimaksudkan untuk memberikan
gambaran awal (morfologis) daerah hepar normal. Sebagian sampel disisihkan untuk
uji sitologi, sementara sebagian lagi mendapatkan perlakuan pencucian dengan
menggunakan Liberase HI (0,47 mg/ml) (Roche, Indianapolis, IN) (suhu kamar/250C)
yang dilarutkan dalam Hanks Balanced Salt Solution (HBSS) yang mengandung
1U/ml DNAase I (Sigma). Tujuan pencucian ini untuk menghapus kemungkinan
adanya sel-sel lain seperti fibroblast turut serta dalam kelompok kultur hepatosit.
Setelah itu, sel hepatosit dicuci dengan larutan RPMI 1640 yang mengandung FBS
10%. Lalu, sel hepatosit dipindah ke larutan Eurocollins (Mediatech, Indianapolis, IN)
yang mengandung FBS 20%. Sel hepatosit akan diisolasi dalam prosesor darah
COBE (COBE laboratories, Lakewood, CO) dan disentrifugasi dalam discontinuous
Euroficoll gradient (Mediatech). Sel hepatosit hasil isolasi dieramkan dalam medium
kultur CRML-1066 (Mediatech) yang mengandung FBS 10% dan CO2 5%, dengan
suhu eraman 280C. Setelah 24 jam dilakukan panen dan uji viabilitas dengan
menggunakan ethidium bromide7. Pada penelitian pendahuluan, sel hepatosit
kambing (Goat) mencapai persentasi viabilitas mendekati 90% pada hari pertama.
Kultur dilanjutkan sampai tercapai persediaan garis sel hepatosit (cell line
hepatocytes) yang mencukupi untuk proses transplantasi.
Prosedur Pra-transplantasi
Meskipun sel hepatosit berasal dari calon resipien (autotransplantasi), perlu
dilakukan upaya preventif untuk mencegah terjadinya reaksi penolakan oleh sistem
komplemen. Untuk itu, sebelum ditransplantasikan sel hepatosit yang telah dipanen
dieramkan bersama cairan plasma dari darah resipien yang telah mengandung
Nafamostat Mesilate dengan konsentrasi 3,8 x 10-5 M selama 6 jam dengan suhu
280C. Setelah itu, sel hepatosit dicuci dengan larutan RPMI 1640 yang mengandung
25 m mol/l HEPES8. Sel hepatosit siap dipindahkan ke tabung pompa syringe secara
steril (di dalam laminar flow).
Pembahasan Teknis
Secara teknis, alat dan metode hepatosit sitotransplantator didesain untuk mengatasi
berbagai kendala dalam proses transplantasi hepatosit.
a. Anti penggumpalan
Kendala utama dalam proses transplantasi sel intra-porta adalah terjadinya
penggumpalan yang berakibat munculnya sumbatan di pembuluh darah (venulae).
Kondisi tersebut dapat terjadi karena adanya aktifitas cell junction yang diperankan
oleh matrik ekstra-seluler yang didominasi oleh cadherin. Untuk mencegah terjadinya
penggumpalan dan pengelompokan sel maka pada metode ini dikembangkan
pendekatan multi aspek dengan bertumpu pada pendekatan biokimiawi, biofisik, dan
struktural. Secara mekanis, terjadinya pengelompokan sel dapat disimpulkan karena
adanya akumulasi sejumlah besar sel dalam waktu dan ruang yang bersamaan. Hal
ini dihindari dengan perancangan sirkulasi eksternal tertutup yang konstituen fasa
cair transporternya berasal dari darah vena post hepatic. Dengan adanya sistem
sirkulasi mirip hemodialisis ini, jumlah sel hepatosit terlarut dapat dimanipulasi dan
diatur pelepasannya dari pompa syringe dengan frekuensi ritmis dalam jumlah
terbatas.
Upaya lain yang dilakukan secara biokimiawi adalah dengan pemberian ethyl
eneglycoltetraacetic (EGTA). EGTA akan mengkelasi ion Ca2+ ekstraselular dan
menghambat asupan intraselular. Dengan demikian, akan terjadi defisiensi kalsium
yang berakibat gagalnya adherens junction yang diperankan oleh cadherin9. Secara
biokimiawi juga telah dipertimbangkan penggunaan antikoagulan EDTA/heparin
untuk mencegah terjadinya agregasi trombosit pada saat darah dari resipien bertemu
dengan kultur sel hepatosit di multiport mixer. Pendekatan secara fisis ditunjukkan
dengan penggunaan micro vibrator yang dimaksudkan untuk menstimulasi energi
kinetik sel yang akan berakibat pada teraktifasinya suatu gerakan acak yang
mengacu kepada gerak Brown. Pendekatan fisis terakhir adalah dengan
menggunakan micro filter dengan diameter porus 80 m sesuai dengan ukuran sel
hepatosit primata secara individual (tidak berkelompok), sehingga sel hepatosit yang
akan lolos dari proses filtrasi adalah sel hepatosit tunggal.
b. Viabilitas di lokus transplan
Sel hepatosit yang telah terperangkap di daerah porta hepar memiliki kemungkinan
untuk mati dan bertahan hidup sama besarnya. Untuk dapat bertahan hidup dan
mengembangkan koloni sel baru maka sel hepatosit hasil transplan haruslah
didukung oleh adanya faktor-faktor pemicu pertumbuhan dan faktor pemicu
pembentukan jaringan vaskular baru (untuk asupan nutrisi dan oksigen). Untuk
menunjang viabilitas sel hepatosit di tempat barunya maka pada metode ini
digunakan pengayaan faktor pertumbuhan dengan pemberian Hepatocytes Growth
Factor (HGF) untuk menstimulasi pertumbuhan sel hepatosit baru, dan Insulin like
Growth Factor-1 (IGF-1) yang juga memiliki aktivitas stimulasi proliferasi sel
hepatosit. Sedangkan untuk menunjang terjadinya proses neovascularisasi dilakukan
pemberian Vascular Endothelial Growth factor (VEGF).
c. Perlindungan Sel
Perlindungan terhadap sel hepatosit yang telah dikultur dilakukan dengan
menyediakan suasana lingkungan yang kondusif di alat transplantator, terutama yang
terkait dengan faktor fisis suhu. Suhu di semua bagian alat transplantator (baik
saluran maupun ruangan) disetarakan pada suhu 370C dengan bantuan water jacket
yang terhubung dengan waterbath. Secara biokimiawi, sel hepatosit dilindungi
dengan menggunakan Nafamostat Mesilate yang dieramkan selama 6 jam sebelum
sel ditransplantasikan. Nafamostat Mesilate adalah suatu protease inhibitor yang
memiliki efek sitoprotektif dan dapat menghambat aktivitas faktor komplemen.
Meskipun kultur sel hepatosit berasal dari hepar resipien, tetap perlu diperhatikan
adanya kemungkinan-kemungkinan perubahan struktur antigen permukaannya yang
diakibatkan berbagai proses dalam perlakuan. Pemberian Nafamostat Mesilate
diharapkan dapat mengurangi kemungkinan sel hepatosit tidak dikenali oleh sistem
pertahanan tubuh resipien.
Capaian Sementara
Hasil uji coba pra-eksperimental dengan menggunakan goat sebagai subjek
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan metode dan prototipe Hepatosit
Sitotransplantator telah menunjukkan hasil yang menjanjikan. Hasil autopsi goat 7
hari setelah mendapatkan transplantasi sel hepatosit memperlihatkan tidak adanya
daerah porta yang mengalami nekrosis akibat penyumbatan. Pemeriksaan
histopatologi dari beberapa zona Rappaport memperlihatkan bahwa sel hepatosit
yang telah dilabel BUDr (Merck) telah membentuk neokolonisasi dengan tingkat
proliferasi yang cukup tinggi. Sedangkan hasil pengecatan HE memperlihatkan
adanya beberapa pembuluh darah baru di sekitar koloni sel hepatosit hasil
transplantasi.
Kesimpulan
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas metode dan alat
Hepatosit Sitotransplantator.
2. Perlu dilakukan amatan jangka panjang untuk mengevaluasi efek samping
metode ini.
3. Perlu dilakukan penelitian bertingkat dari skala laboratoris sampai dengan uji
klinis.
4. Perlu dipertimbangkan beberapa kriteria faktor fisis yang lebih sesuai untuk
penggunaan pada manusia (misal diameter porus pada filter).
5. Perlu dipertimbangkan penggunaan beberapa faktor penunjang lain yang
dapat membantu meningkatkan viabilitas sel hepatosit dan memperbesar
peluangnya untuk bertahan hidup di lokus transplan.
6. Perlu dipertimbangkan penyempurnaan beberapa teknik dasar yang
menyangkut pengambilan sampel untuk bahan kultur (sebaiknya dapat
meminimalisasi jejas).
7. Perlu dipertimbangkan penggunaan sel hepatosit dari donor lain
(alotransplan atau bahkan xenotransplan).
8. Perlu dipertimbangkan penggunaan selubung mikrokapsul Small Alginate
Poly-L-Lysine bila sel hepatosit donor berasal dari individu lain (alotransplan
atau xenotransplan).
Sirosis Hepatis
PENDAHULUAN
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai
dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya
dimulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas,
pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul.Distorsi
arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan
makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan
nodul tersebut.
PATOGENESIS
Mekanisme terjadinya sirosis hepatis bisa secara :
- mekanik
- imunologis
- campuran
Dalam hal mekanisme terjadinya sirosis secara mekanik dimulai dari
kejadian hepatitis viral akut, timbul peradangan luas, nekrosis luas dan
pembentukan jaringan ikat yang luas disertai pembentukan nodul
regenerasi oleh sel parenkim hati yang masih baik. Jadi fibrosis pasca
nekrotik adalah dasar timbulnya sirosis hepatis.
Pada mekanisme terjadinya sirosis secara imunologis dimulai dengan
kejadian hepatitis viral akut yang menimbulkan peradangan sel
hati.nekrosis/nekrosis bridging dengan melalui hepatitis kronik agresif
diikuti timbulnya sirosis hati. Perkembangan sirosis dengan cara ini
memerlukan waktu sekitar 4 tahun, sel yang mengandung virus ini
merupakan sumber rangsangan terjadinya proses imunologis yang
berlangsung terus sampai terjadi kerusakan sel hati.
KLASIFIKASI
1. Klasifikasi Etiologi
Hipertensi Portal
Terjadi akibat meningkatnya resistensi portal dan splanknik karena
mengurangnya sirkulasi akibat fibrosis. Atau meningkatnya aliran
portal karena transmisi dari tekanan arteri hepatic ke system portal
akibat distorsi arsitektur hati. Biasanya yang dominant adalah
peningkatan resistensi, lokasi peningkatan resistensi biasa :
- Pre hepatik, biasa congenital, trombosis vena porta waktu lahir.
- Intra hepatik :
Pre sinusoidal (fibrosis da parasit)
Sinusoidal (Sirosis hati)
Post sinusoidal(vena oklusif)
Biasa terdapat lokasi obstruksi campuran
- Post hepatik karena perikarditis konstriktiva, insufisiensi trikuspidal.
DIAGNOSIS
1. Gejala Klinis
- Fase kompensasi sempurna
Pasien merasa tidak bugar/fit, merasa kurang kemampuan kerja, selera
makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, kadang mencret
atau konstipasi, berat badan menurun, kelemahan otot dan perasaan
cepat lelah, pengurangan masa otot terutama daerah pektoralis mayor,
kadang kala pasin ditemukan menderita sirosis sewaktu pemeriksaan
rutin medis.
- Fase dekompensasi
Dapat ditegakkan diagnosisnya dengan bantuan pemeriksaan klinis,
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Ditemukannya
eritema palmaris, spider nevi, vena kolateral pada dinding perut,
ikterus,edema pretibial, splenomegalli dan asites. Bisa juga pasien
datang dengan gangguan pembekuan darah seperti perdarahan gusi,
epistaksis, gangguan haid atau haid berhenti. Sebagian pasien dating
dengan gejala hematemesis,hematemesis dan melena atau melena saja
akibat perdarahan varises sofagus. Kadang terjadi gangguan kesadaran
berupa ensefalopati hepatis atau koma hepatik.
Suharyono Soebandri memformulasikan bahwa 5 dari 7 tanda dibawah
ini sudah dapat menegakkan diagnosis sirosi hepatis dekompensasi
yaitu :
1. Asites
2. Splenomegali
3. Perdarahan varises(hematemesis)
4. Albumin yang merendah
5. Spider nevi
6. Eritema palmaris
7. Vena kolateral
2. Laboratorium
1. Hb menurun, anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer
atau hipokrom makrositer.
2. Protombin time (PT), bilirubin, SGOT/SGPT meningkat
3. Albumin menurun, globulin meningkat.
3. Penunjang
1. USG abdomen
2. Pemeriksaan marker serologi pertanda virus seperti HbsAg/HbsAb,
HbeAg/HbeAb,HBV DNA, HCV RNA untuk menentukan etiologi.
3. Endoskopi.
KOMPLIKASI
1. Kegagalan hati
2. Hipertensi portal
3. Asites
4. Ensefalopati
5. Peritonitis bacterial spontan
6. Sindrom hepatorenal
7. Hepatoma
PENATALAKSANAAN
1. Tindakan segera
Jika perdarahan diyakini dari pecahnya varises, dapat dilakukan
pemasangan SB-tube (balon tamponade, dengan tiga pipa dan dua
balon lambung dan esophagus) dengan syarat tidak boleh lebih dari 24
jam karena dapat menyebabkan nekrosis,laresari dan atau perforasi
esophagus sampai obstruksi jalan nafas akibat migrasi balon ke
hipofaring. Jika tidak yakin darimana sumber perdarahan, dapat
dipakai NG-tube, karena cukup aman,dapat juga menghentikan
perdarahan di esophagus serta dapat memonitor kecepatan
perdarahan.
2. Tindakan lanjutan
Upaya mempertahankan agar perdarahan tetap berhenti atau
mengusahakan berhenti sesegera mungkin,menjelan tindakan
diagnostik dan pengobatan spesifik-definitif dikerjakan. Pada situasi
ini dapat diberikan terapi empirik medikamentosa untuk memperbaiki
Asites
Tidak ada
<34
>35
<4
Tidak ada
Ringan
34-50
28-35
4-6
Ringan
Jelas
>50
<28
>6
Jelas
Bilirubin (dalam PBC dan kolangitis sklerosans)
<68
68-170
>170
Tambahkan masing-masing <7 9 =" Child">9 = Child C. Kelangsungan
hidup untuk Child C, yang merupakan kelompok dengan prognostik
terburuk, adalah kurang dari 12 bulan.
Berita Terkait:
Hepatitis C, Bisa Ditularkan
Lewat Sisir & Koin Kerokan
Konsultasi: Infeksi pada Sirosis
Hati
Cak Nur dan Transplantasi Hati
Jakarta, Kompas
Transplantasi, dalam rangkaian pengobatan penyakit yang menyerang
hati (umumnya diawali hepatitis B dan C) merupakan upaya terakhir
untuk mengembalikan kualitas hidup pasien.
Cara ini ditempuh setelah tidak mungkin lagi mengobati pasien dengan terapi
konvensional, seperti minum obat, suntikan, operasi pembedahan atau
kemoterapi.
Artinya, bila pemasangan organ hati dari orang lain ke tubuh pasien tidak
dilakukan, maka tidak ada jaminan kualitas hidup pasien di masa depan.
Harus ada bukti medis yang kuat, sebelum pasien dengan gangguan fungsi hati
mendapat rekomendasi transplantasi. Di antaranya, memastikan tingkat
kerusakan fungsi hati akibat serangan virus melalui uji laboratorium,
pemeriksaan CT Scan, dan ultrasonografi (USG).
Menurut Konsultan Gastroentero-Hepatologi di Divisi Hepatologi Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof
dr Ali Sulaiman PhD FACG, sebelum kerusakan fungsi hati mencapai tahap
tertentu, transplantasi hati umumnya tidak direkomendasi dokter, sekalipun
pasien menghendakinya.
Kalau tidak perlu kenapa mesti ditransplantasi? kata dia ketika ditemui di
Divisi Hepatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) Jakarta, Senin
(29/8).
Tahap sirosis
Medistra
Endoskopi Diagnosis
Pemeriksaan Saluran Kerongkongan (Esofagoskopi)
Pemeriksaan Lambung dan Usus 12 Jari (Gatros-Duodenoskopi)
Pemeriksaan Saluran Empedu dan Pankreas (Endoskopic Retrograde
Cholangio Pancreatography)
Pemeriksaan Saluruan Usus Besar (Kolonoskopi)
Pemeriksaan Muara Usus Besar sampai Pangkal Dubur
(Rektosigmoidoskopi)
Pengambilan contoh jaringan saluran pencernaan (biopsi)
Endoskopi Terapeutik
Pengikatan Pembuluh darah pecah (Ligasi Varises Esofagus/Lambung)
Pembuntuan Pembuluh darah yang pecah (Skleroterpi Endoskopi)
Melebarkan Saluran Menelan (Dilatasi Esofagus)
Mengeluarkan Batu Saluran Empedu (Ekstrasi Batu Empedu)
Memasang cincin penyanggah saluran empedu (Stening Saluran Empedu)
Mengangkat Polip di saluran pencernaan (Polipoktomi Endoskopi)
Mengikat Pembuluh darah yang pecah pada wasir (Ligasi Hermoroid)
MEMPERSIAPKAN PASIEN YANG AKAN MENJALANI OPERASI
Endoskopi Saluran Pencernaan
Lambung harus benar-benar kosong. Anda tidak boleh makan atau minum
selama 8 jam sebelum pemeriksaan. Dokter akan menginstruksikan kapan
harus mulai puasa tergantung jadwal pemeriksaan dilakukan.
Obat-obat yang dimakan perlu disesuaikan, beberapa jenis obat harus
dihindari.
Anda disarankan agar menginformasikan obat-obat yang diminum pada
dokter termasuk riwayat alergi obat. Konsultasikan ke dokter apabila anda
mempunyai riwayat penyakin jantung dan paru-paru, karena kemungkinan
memerlukan perhatian khusus selama tindakan.
Jangan mengemudikan kendaraan setelah tindakan. Harus diupayakan
agar keluarga yang mendampingi pada saat pulang karena biasanya
diberikan obat penenang pada saat tindakan.
Endoskopi Saluran Pencernaan Bawah
Untuk mendapatkan hasil yang akurat, maka usus besar harus dibersihkan
dari sisa makanan sebelum tindakan. Dokter akan melakukan instruksi
mengenai jenis dan sumber makanan yang harus dikonsumsi agar dapat
membantu membersihkan saluran usus besar, anda akan diinstruksikan
untuk minum larutan pencuci perut sebelum pemeriksaan. Patuhi instruksi
tersebut secara cermat karena prosedur akan ditunda atau harus diulang
apabila usus besar tidak bersih.
<0,3
Bilirubin Indirek
3,4
Alanin Transaminase
43
<40
Aspartat Transaminase
93
<35
Fosfatase Alkali
65
<165
Protein Total
7,3
6-8,5
Albumin 3,0
3,5-5,5
Globulin 4,6
2,5-3,5
Ultrasonografi abdomen
Hati : Lobus kiri membesar, lobus kanan mengecil, tepi
irreguler, Kaudal menumpul, tampak nodul
berukuran 1,5-1,9 cm di lobus kanan sisi kaudal
Limpa : Membesar.
Ginjal : Kiri dan Kanan normal.
Asites : Positif.
Esofago-gastro-duodenoskopi
Esofagus : Varises esofagus grade II-III, tanpa tanda merah
endoskopik.
Gaster : Kongesti seluruh mukosa, dan lesi erosi di
antrum.
Duodenum : Bulbus dan pars sekundum tidak ada perdarahan
baru.
Saran : Ligasi
Masalah pada pasien ini adalah
1. Hematemesis melena akibat pecahnya varises esofagus.
2. Gastropati akibat obat.
3. Nodul hati lobus kanan sisi kaudal.
Pasien ditatalaksana dengan kumbah lambung, obat-obat
hemostatik, dan obat-obat lain sesuai indikasi.
DISKUSI KASUS
Sirosis hati menahun merupakan penyebab terbanyak
hipertensi portal. Hipertensi portal ini terjadi akibat
peningkatan tahanan intrahepatik (pre-sinusoid, sinusoid, dan
pasca-sinusoid) yang sering terjadi bersama dengan
peningkatan aliran di dalam splanknik yang hiperdinamik.
Studi terakhir menyebutkan bahwa ketidakseimbangan antara
endotelin-1 dan oksida nitrik dapat merupakan penyebab
terpenting peningkatan tahanan intrahepatik yang merupakan
komponen kritis dari sebagian besar hipertensi portal
(2)
.
Penentu utama perdarahan adalah tekanan dinding varises
(T) yang sesuai dengan modifikasi Frank's dari Hukum
Laplace: T = TP X r X w
-1
- TP = Tekanan transmural, r = jarijari, dan w = ketebalan dinding pembuluh.
Kombinasi penemuan klinis, endoskopik, kelas Child-Pugh
yang lanjut (Tabel 1), fungsi hati yang buruk, dan varises yang
besar dengan tanda merah endoskopik sangat berhubungan
dengan risiko perdarahan awal pada pasien sirosis
(2)
.
Tabel 1: Klasifikasi Child-Pugh beratnya sirosis
Skor
Variabel
123
Ensefalopati
Tidak ada
Ringan Sedang
Berat Koma
Asites Tidak
ada
Sedikit
Sedang
Bilirubin
(mg/dl)
<2 2-3 >3
Albumin (g/l)
>3.5
2.8 - 3.5
<2.8
Waktu protrombin
1- 4
4-6
>6
Jika jumlah skor 5-6, sirosis diklasifikasikan kelas A; jika
jumlah skor 7-9, kelas B; dan jika jumlah skor 10 atau lebih,
diklasifikasikan kelas C. Prognosis secara langsung dikaitkan
dengan skor
(2)
.
Panduan tatalaksana pasien dengan varises gastroesofageal
meliputi pencegahan episode perdarahan awal (profilaksis
primer), pengendalian perdarahan aktif, dan pencegahan ulang
setelah perdarahan awal (profilaksis sekunder)
(2)
.
Panduan ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Pemeriksaan laboratorik
Pemeriksaan laboratorik dianjurkan dilakukan sedini mungkin, tergantung dari lengkap tidaknya sarana yang tersedia.
Disarankan pemeriksaan-pemeriksaan seperti berikut: golongan
darah, Hb, hematokrit, jumlah eritrosit, lekosit, trombosit,
waktu perdarahan, waktu pembekuan, morfologi darah tepi
dan fibrinogen.
Pemeriksaan tes faal hati bilirubin, SGOT, SGPT, fosfatase
alkali, gama GTkolinesterase, protein total, albumin, globulin,
HBSAg, AntiHB
S.
Infus/Transfusi darah
Penderita dengan perdarahan 500 -- 1000cc perlu diberi
infus Dextrose 5%, Ringer laktat atau Nacl 0,9%. Pada penderita sirosis hati dengan asites/edema tungkai sebaiknya
diberi infus Dextrose 5%. Penderita dengan perdarahan yang
masif lebih dari 1000 cc dengan Hb kurang dari 8g%, perlu
segera ditransfusi. Pada hipovolemik ringan diberi transfusi
sebesar 25% dari volume normal, sebaiknya dalam bentuk
Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985 27
darah segar. Pada hipovolemik berat/syok, kadangkala diperlukan transfusi sampai 40 -- 50%
dari
Pemberian antasida secara intensif 10 -- 15 cc setiap jam disertai simetidin 200 mg tiap 4 -- 6 jam i.v. berguna untuk
menetralkan dan menekan sekresi asam lambung yang berlebihan, terutama pada penderita dengan ulkus peptikum dan
gastritis hemoragika. Bila perdarahan berhenti, antasida diberikan dalam dosis lebih rendah setiap 3 -- 4 jam 10 cc, demikian juga simetidin dapat diberi per oral 200 mg tiap 4 -- 6
jam.
Sebagai pengganti simetidin dapat diberikan :
-- sucralfate sebanyak 1 -- 2 gram tiap 6 jam melalui pipa
nasogastrik, kemudian per oral.
-- pirenzepin 20 mg tiap 8 jam i.v. atau 50 mg tablet tiap 12
jam.
-- somatostatin dilarutkan dalam infus NaCl 0,9% dengan
dosis 250 ug/jam.
Tindakan khusus
MEDIK INTENSIF
Lavas
air es
Bloker
Pemberian obat-obat golongan beta bloker non selektif
seperti propanolol, oksprenolol, alprenolol ternyata dapat
menurunkan tekanan vena porta pada penderita sirosis hati,
akibat penurunan curah jantung sehingga aliran darah ke
hati dan gastrointestinal akan berkurang. Obat golongan beta
bloker ini tidak dapat diberikan pada penderita syok atau
payah jantung, juga pada penderita asma dan penderita gangguan irama jantung seperti bradikardi/AV Blok.
Infus Vasopresin
Vasopresin mempunyai efek kontraksi pada otot polos
seluruh sistem baskuler sehingga terjadi penurunan aliran
darah di daerah splanknik, yang selanjutnya menyebabkan
penurunan tekanan portal. Karena pembuluh darah arteri
gastrika dan mesenterika ikut mengalami kontraksi, maka selain di esofagus, perdarahan dalam lambung dan doudenum
juga ikut berhenti.
Vasopresin terutama diberikan pada penderita perdarahan
varises esofagus yang perdarahannya tetap berlangsung setelah
lavas lambung dengan air es. Cara pemberian vasopresin ialah
20 unit dilartkan dalam 100 -- 200 cc Dextrose 5%, diberikan dalam 10 -- 20 menit intravena.
Efek samping pada pemberian secara cepat ini yang pernah
dilaporkan adalah angina pektoris, infark miokard, fibrilasi
ventrikel dan kardiak arest pada penderita
-
penderita jantung
koroner dan usia lanjut, karena efek vaso kontriksi
dari
vasopresin pada arteri koroner. Selain itu juga ada penderita yang
mengeluh tentang kolik abdomen, rasa mual, diare. Beberapa
ahli lain menganjurkan pemberian infus vasopresin dengan
dosis rendah, yaitu 0,2 unit vasopresin per menit untuk 16
ndoskopik
Bila pemberian vasopresin, pemasangan SB Tube dan sklerosis varises endiskopik gagal dalam menghentikan perdarahan
varises esofagus, mungkin dapat diterapkan terapi koagulasi
dengan Argon/Neodym Yag
Laser secara endoskopik. Ada
ahli yang melaporkan keberhasilan sampai 91,3% (116 dari
Cermin Dunia Kedokteran
No. 40, 1985 29
Setelah usaha-usaha medik intensif di atas mengalami kegagalan dan perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan tindakan bedah darurat, seperti pintasan portosistemik atau transeksi esofagus untuk perdarahan varises esofagus.
Perdarahan dari ulkus peptikum ventrikuli atau duodeni serta
keganasan SMBA yang tidak berhenti dalam 48 jam juga memerlukan tindakan bedah.
Bila tidak diperlukan tindakan bedah darurat, setelah keadaan umum penderita membaik dan pemeriksaan diagnostik
telah selesai dilakukan, dapat dilakukan tindakan bedah
elektif setelah 6 minggu.
KEPUSTAKAAN
1. Abdurachman
SA,
Hematemesis dan Melena. Tinjauan kasus
di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RS
Hasan Sadikin
Bandung,
selama
Operative
Endoskopie
haL
19 - 26.
8. Paquet KJ. Wandsklerosierung bei Osophagusvarizen dalam
Operative
Endoskopie. Acron Verlag,
Berlin,
hal
33 - 46.
9. Soehendra
N.
Sclerotherapy
of Oesophageal
Varices
by Means of
Fibreendoscopy
in Clinical
Hepatology.
Springer
Verlag
Berlin
1983.
10. Tondobala
TH.
Hematemesis dan Melena. Buku Ilmu Penyakit
Dalam
1984,
haL
737 - 743.
11. Westaby
D, Macdougall B, Williams R. New Approaches to the
Management of Portal Hypertension and
Variceal
Haemorrhage
in Clinical
Hepatology.
Springer.
Verlag
Berlin 1983.
Dibawakan pada Simposium Penyakit Hati
Kalimantan
Timur,
Samarinda
20
Oktober
1985
Page 11
2003 Digitized by USU digital library
11
Kardel dan Nielsen melaporkan bahwa pada 34 pasien penyakit hati kronik
yang
berat dijumpai adanya kelainan saraf perifer baik secara klinis maupun secara
elektrofisiologis ataupun keduanya pada 31 orang pasien. Dilaporkan bahwa
gangguan
metabolik yang menyebabkan terganggunya fungsi membran akson. Penelitian
lain
mendapatkan bahwa kejadian portosistemik shunt merupakan penyebab
terjadinya
kelainan saraf.
Seneviratne dan Peiris meneliti fungsi saraf perifer secara elektrofisiologis
pada
50 pasien penyakit hati kronik. Dijumpai sebanyak 34 pasien menunjukkan
adanya
peningkatan keadaan laten atau pengurangan amplitudo evoked sensory
potential of
the median nerve. Secara kinis gejala neuropati hanya terdeteksi pada 4 pasien
.
Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan antara disfungsi autonomik
dengan penyakit hati menahun. Dimana juga didapatkan disfungsi autonomik
baik
pada penyakit hati menahun alkoholik atau non alkoholik. Chaudry dkk
melaporkan
disfungsi autonomik yang terjadi pada penderita sirosis hati merupakan bagian
dari
generalized sensory-motor polineuropathy. Dimana sebagian besar penderita
disfungsi
autonomik juga terbukti memiliki neuropati perifer.
Trevisani dkk melaporkan 30 penderita sirosis hati, 80% menunjukkan adanya
disfungsi autonomik, dimana disfungsi autonomik ini berhubungan dengan
beratnya
sirosis hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh) dan tidak berhubungan dengan
etiologi
penyakit hati.
Dari uraian di atas penulis ingin meneliti apakah ada hubungan beratnya
penyakit hati dengan disfungsi autonomik dan neuropati perifer pada penderita
sirosis
hati , sepengetahuan kami belum pernah dilakukan di Medan.
3.2. PERUMUSAN MASALAH
3.2.1. Apakah ada hubungan beratnya disfungsi autonomik dengan beratnya
sirosis
12
3.5.
MANFAAT PENELITIAN
Dengan ditemukannya disfungsi autonomik sebagai faktor resiko yang penting
terhadap mortalitas pada penderita sirosis hati. Hasil ini dapat digunakan
untuk
menentukan prognosa penyakit yang jelek.
3.6.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
3.6.1. Disain Penelitian
Penelitian ini bersifat studi cross sectional.
3.6.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2001 sampai April 2002.
Tempat penelitian Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.
3.6.3. Subjek
Kelompok kasus adalah penderita sirosis hati yang berobat jalan dan rawat
inap,
dilakukan pemeriksaan laboratorium: darah rutin, KGD N/2PP, SGOT, SGPT,
alkalin fosfatase, gamma GT, bilirubin total, bilirubin direk, serum protein
Za
2
PQ
d
2
1,96
2
X 0,8 X 0,2
0,15
2
Besar sample
53
:n=
=
Page 13
2003 Digitized by USU digital library
13
3.6.7. Analisa Data
Uji Signifikansi dengan Chi-square test.
Uji korelasi dengan Spearman Rank correlation.
3.7. Persiapan Penderita
Tidak ada persiapan khusus untuk penderita. Hanya diperlukan penerangan
yang
baik kepada pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan saraf perifer dan
ototnya. Untuk
memproleh hasil yang sempurna diperlukan kerjasama yang baik antara pasien
dengan
pemeriksa untuk melakukan kontraksi otot yang akan diperiksa. Perlu
diberitahukan
bahwa pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan stimulasi listrik dan
kadangkadang dengan jarum. Diterangkan bahwa pemeriksaan EMG tidak berbahaya
sehingga
tidak perlu takut untuk diperiksa.
3.8. PEMERIKSAN DISFUNGSI AUTONOMIK
Merupakan pemeriksaan test khusus yang sederhana dan tidak invasif yang
dipakai untuk mendeteksi adanya disfungsi autonomik.
3.8.1. Test Menguji Kerusakan Saraf Parasimpatis
3.8.1.1.Respon denyut jantung terhadap manuver valsava
Pasien meniup melalui manometer aneroid atau spigmomanometer yang
dimodifikasi hingga tekanan 40 mmHg, dan dipertahankan selama 15 detik.
Denyut
jantung diukur dengan rekaman EKG. Hasil ditunjukkan dengan rasio valsava
yaitu
perbandingan R-R terpanjang setelah manuver dengan RR terpendek selama
manuver.
Hasil normal jika rasio valsava > 1,21, border line 1,11 1,20, abnormal <
1,10.
3.8.1.2.
Variasi denyut jantung (R-R interval) selama bernafas
dalam( R6)
Cara pemeriksaan: Penderita duduk atau berbaring dengan tenang dan
bernafas
dalam sebanyak 6 kali per menit (5 detik inspirasi dan 5 detik ekspirasi).
Bersamaan
dengan itu dilakukan EKG. Dihitung selisih denyut jantung maksimal dengan
denyut
jantung minimal. Interpretasi hasil: normal, selisih > 14 x/menit; border line,
selisih
11 14 x/menit; abnormal, selisih < 11 x per menit.
3.8.1.3.
Respon denyut jantung setelah penderita berdiri (RR 30/15)
Cara pemeriksaan: Penderita berbaring dengan tenang lebih kurang tiga menit,
kemudian berdiri tanpa bantuan. Pantauan denyut jantung dengan EKG
dilakukan
sampai 15 denyut , kemudian tanpa berhenti dilanjutkan sampai dengan 30
denyut
setelah berdiri. Dihitung panjang R-R antara denyut 30 dan 15, lalu
bandingkan.
Perbandingan antara denyut 30 dan 15 disebut dengan rasio 30/15. Interpretasi
hasil:
normal, rasio 30/15 : > 1.03; border line, rasio 30/ 15: 1.01 1.03; abnormal,
rasio
30/15: < 1.01.
Page 14
2003 Digitized by USU digital library
14
3.9. Test Menguji Kerusakan Saraf Simpatis
3.9.1.
Respon tekanan darah dari berbaring lalu berdiri
Perubahan posisi dari posisi berbaring ke berdiri akan menyebabkan terjadinya
akumulasi sebagian besar darah di ekstremitas bawah dan daerah splangnikus,
sehingga terjadi penurunan curah jantung dan penurunan tekan darah. Pada
orang
normal keadaan ini akan menyebabkan terjadinya kompensasi sistim saraf
simpatis
melalui refleks baroreseptor . Adanya kegagalan sistim simpatis oleh karena
neuropati
akan menyebabkan menurunnya tekanan darah sistolik maupun diastolik.
Cara pemeriksaan: Pasien berbaring tenang dan diukur tekanan darah sistolik.
Kemudian pasien disuruh berdiri tanpa bantuan dan diukur tekanan darahnya.
Tentukan
penurunan tekanan sistolik dari berbaring ke berdiri. Normal < 10 mmHg,
border line
11 29 mmHg, abnormal > 30 mmHg. Uji ini disebut dengan Schelong test.
3.9.2.
Respon tekanan darah terhadap Handgrip
Tes ini menggunakan alat Handgrip dinamometer dengan membuat tegangan
sampai 30% dari maksimal selama 5 menit, tekanan darah diukur 3 kali yaitu
sebelum
interval 1 menit selama beban handgrip. Hasilnya berupa perbedaan di antara
tingginya
tekanan diastolik selama beban handgrip dengan rata-rata tekanan diastolik
sebelum
dimulai handgrip. Respon normal jika dijumpai peningkatan tekanan darah
diastolik >
16 mmHg. border line: 11 15 mmHg, abnormal < 10 mmHg. Pemeriksaan
ini
memerlukan peralatan handgrip dinamometer untuk membuat pergerakan
tangan dan
dipertahankan dengan tekanan 30% dari tekanan maksimal.
4.
Alat Pemeriksaan/ Pengukuran
4.1 Pemeriksaan Disfungsi Autonom :EKG Logos serie 8821
Early disfungsi autonom : Ditemukan 1 dari uji diatas hasil abnormal atau 2
borderline
Definite disfungsi autonom: Ditemukan 1 abnormal dengan 2 borderline atau 2
uji abnormal.
15
4.8.1. Hasil Pemeriksaan Fungsi Autonom
Tabel.2 Uji fungsi autonom pada penderita sirosis hati
Uji Fungsi autonom
Normal
Borderline
Abnormal
Total
? R6
15
11
4
30
RR 30/15
13
15
2
30
TD Berbaring-berdiri
24
5
1
30
Dari tabel diatas tampak 13,3 % pemeriksaan fungsi autonom ? R6 abnormal
, 6,7 % RR 30/15 dan hanya 3,3 % TD Berbaring-berdiri. Kerusakan lebih
sering pada
saraf parasimpatis daripada simpatis.
Tabel 3. Hubungan Beratnya Disfungsi Autonom dengan Beratnya Sirosis
Hati
Child -Pugh
Disfungsi Autonom
A
B
C
Total
Normal
8
6
4
18
Early
0
6
4
10
Definite
0
0
2
2
Total
8
12
10
30
Chi-Square . X
2
= 10.8 df 4 p= 0.029
Dari tabel diatas tampak 12 (40%) yang didapatkan disfungsi autonomik ,
dimana 10 early (6 Child B dan 4 Child C) dan 2 definite Child C. Dengan uji
statistik
didapat p< 0.05. Ada hubungan beratnya disfungsi autonomik dengan beratnya
sirosis
hati
4.8.2. Hasil Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf pada Penderita Sirosis
Hati
Neuropati Perifer (Sensorimotor)
Abnormal
Motorik n. Median
16,7%
Motorik n. Peroneus
23,3%
Motorik n. Tibialis
23,3 %
Sensorik n. Median
56,7%
Sensorik n. Suralis
66,7%
Sensorik n. Ulnaris
33,3%
Dari tabel diatas pada penderita sirosis yang terbanyak neuropati perifer
sebanyak
66,7% mengenai saraf sensorik Suralis, 56,7% mengenai sensorik Median dan
33,3%
sensorik Ulnaris, 23,3%
masing masing saraf motorik Tibia dan Peroneus , hanya
16,7% mengenai motorik Media.
Page 16
2003 Digitized by USU digital library
16
Tabel 5.Hub.Neuropati Perifer (motorik n. Median ) dengan Beratnya Sirosis
Hati
Child Pugh
A
B
C
Total
Motorik n. Median: Normal
6
10
9
25
Abnormal
2
2
1
5
Total
8
12
10
30
Chi-Square . X
2
=13,3 df 2 p=0.004
Dari tabel diatas ada 5 (16,5 %) yang mendapatkan neuropati perifer pada
saraf
motorik Median dan dengan uji statistik didapat p<0,05. Didapat ada
hubungan
neuropati perifer ( motorik n.Median ) dengan beratnya sirosis hati.
Tabel 6. Hub.Neuropati Perifer ( Motorik n.Peroneus) dgn Beratnya Sirosis
Hati
Child -Pugh
A
B
C
Total
Motorik n.Peroneus Normal
6
8
9
23
Abnormal
2
4
1
7
Total
8
12
10
30
Chi-Square . X
2
=8,53 df 2 p=0,03
Dari tabel diatas ada 7 (23,3%) neuropati perifer ( motorik n.Peroneus ) dan
dengan uji statistik didapat p<0,05 . Ada hubungan neuropati perifer ( motorik
n.Peroneus ) dengan beratnya beratnya hati.
Tabel 7. Hub.Neuropati Perifer (Motorik n.Tibialis) dengan Beratnya Sirosis
Hati
Child -Pugh
A
B
C
Total
Motorik n. Tibialis: Normal
5
9
9
23
Abnormal
3
3
1
7
Total
8
12
10
30
Chi-Square . X
2
=8,53 df 2 p=0,03
Dari tabel diatas ada 7 (23,3%) neuropati perifer ( motorik n. Tibialis ) dan
dengan uji statistik didapat p <0,05 . Ada hubungan neuropati perifer ( motorik
n.Tibialis ) dengan beratnya sirosis hati.
Tabel 8.Hub.Neuropati Perifer ( Sensoris n. Median ) dgn Beratnya Sirosis
Hati
Child- Pugh
A
B
C
Total
Sensorik n.Median: Normal
3
5
5
13
Abnormal
5
7
5
17
Total
8
12
10
30
Chi-Square . X
2
= 0,53 df 2 p= 0,465
Page 17
2003 Digitized by USU digital library
17
Dari tabel diatas didapat 17 (56,7%) neuropati perifer( sensorik n. Median )
dan
dengan uji statistik diadapat p >0,05. Tidak ada hubungan antara neuropati
perifer
(sensorik n. Median ) dengan beratnya sirosis hati.
Tabel 9. Hub.Neuropati Perifer(Sensorik n. Suralis) dengan Beratnya Sirosis
Hati
Child- Pugh
A
B
C
Total
Sensorik n.Suralis : Normal
2
5
3
10
Abnormal
6
7
7
20
Total
8
12
10
30
Chi-Square . X
2
=3,33 df 2 p=0,680
Dari tabel diatas didapat 20 (66,7%) neuropati perifer (sensorik n.Suralis ) dan
dengan uji statistik didapat p>0,05. Tidak ada hubungan neuropati perifer
( sensorik
n.Suralis) dengan beratnya sirosis hati.
Tabel 10.Hub.Neuropati Perifer (Sensorik n. Ulnaris) dgn Beratnya Sirosis
Hati
Child- Pugh
A
B
C
Total
Sensorik n. Ulnaris : Normal
4
9
7
20
Abnormal
4
3
3
10
Total
8
12
10
30
Chi-Square . X
2
= 3,33 df 2
p=0,680
Dari tabel diatas didapat 10 ( 33 %) neuropati perifer ( sensorik n. Ulnaris )
dengan uji statistik didapat p>0,05. Tidak ada hubungan neuropati perifer
( sensorik
n.Ulnaris ) dengan beratnya sirosis hati.
4.8.3. Korelasi
Antara Disfungsi Autonomik dengan Neuropati Perifer
18
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada tahun 1967 Dayan dan Williams melaporkan ditemukan demielinisasi
dan
remielinisasi segmental pada 10 bahan biopsi nervus suralis pada pasien
dengan
berbagai penyakit hati kronik. Beberapa peneliti mendapatkan adanya
hubungan antara
disfungsi autonomik dengan penyakit hati menahun, baik pada penyakit hati
menahun
alkoholik atau non alkoholik.
Trevisani dkk melaporkan 80% dari 30 penderita sirosis hati menunjukkan
adanya disfungsi autonomik, dimana disfungsi autonomik berhubungan
dengan berat
sirosis hati ( berdasarkan kriteria Child-Pugh ) dan tidak berhubungan dengan
etiologi
penyakit hati. Chaudry dkk dengan pemeriksaan elektrofisiologi pada
penderita sirosis
hati mendapatkan hasil yang sesuai dengan length-dependent axonal
neuropathy
atau dying back neuropathy. Dimana sebagian besar penderita sirosis hati
dengan
disfungsi autonomik juga terbukti mengalami neuropati perifer.
Neuropati yang terjadi tidak tergantung kepada etiologi penyakit hati, ada
hubungan yang bermakna antara beratnya neuropati terhadap beratnya
penyakit hati.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa disfungsi metabolik oleh karena
kegagalan
fungsi hati menyebabkan terjadinya neuropati.
Pada penelitian ini pemeriksaan fungsi autonom variasi denyut jantung selama
bernafas dalam ( R6 ) sebanyak 17,3%, respon segera denyut jantung
setelah
penderita berdiri ( RR 30/15 ) 6,7% dan respon tekanan darah dari berbaring
ke berdiri
( TD Berbaring-berdiri ) 3,3%. Hendrickse
11
mendapatkan 45%
R6, 5% TD
Berbaring berdiri, Oliver mendapatkan 36,6% R6 dan
3,3 % RR 30/15 yang abnormal.
Penelitian ini mendapatkan uji fungsi parasimpatis lebih sering dari pada
simpatis ( tabel.5 ), menggambarkan kerusakan lebih awal pada vagal
kemungkinan
besar lebih mudahnya kerusakan serabut parasimpatis kemudian berikutnya
simpatis.
Urutan kerusakan menunjukkan uji disfungsi parasimpatis lebih sensitif dari
pada uji
simpatis. Keresztes dkk, didapat perbaikan yang signifikan disfungsi
autonomik setelah
transplantasi hati, dimana perbaikan terjadi lebih awal pada fungsi
parasimpatis,
kemudian perbaikan simpatis.
Disfungsi autonomik yang didapat pada penelitian ini sebanyak 12 (40%)
dimana 10 early ( 6 Child B dan 4 Child C ) dan 2 definite( 2 Child C) ( tabel.
6 ).
Trevisani mendapatkan 80% disfungsi autonomik , definite sebanyak 40 %,.
Chaudry
mendapatkan disfungsi autonomik 48%, Fleckenstein 67 %, early 31 % ,
definite
36%
Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan antara beratnya disfungsi
19
n. ulnaris 33,3% dan n. median 56,7%. ( tabel.7 ) Saraf sensori neuropati lebih
banyak
dijumpai daripada saraf motorik neuropati. Oliver pada motorik n. median
13,3%,
sensorik n. suralis 16,6 %, sensorik n. median 6,6%., Chaudry
mendapatkan
neuropati perifer sebanyak 24% pada motorik n. peroneus, Kardel 67,6%,
Knill- Jones
14,2%, dan Hakim 73,9%.
Penelitian ini mendapatkan adanya hubungan antara neuropati perifer dengan
beratnya penyakit
hati, motorik
n. median, peroneus dan tibialis p<0,05
(tabel.8,9,10 ), Sama yang didapatkan Trevisani, Oliver dan Hakim,
sedangkan dengan
sensorik n. median, suralis dan ulnaris tidak didapat adanya hubungan, p >
0,05
(tabel.11,12,13 )
Pada kepustakaan terdapat variasi prevalensi neuropati perifer berkisar antara
0-90%. Perbedaan ini disebabkan karena beragamnya kriteria yang digunakan
dalam
mendeteksi neuropati dan beratnya neuropati yang digunakan untuk
menentukan
neuropati perifer.
Neuropati autonomik yang merupakan bagian dari generalized sensori-motor
polineuropathy , penderita dengan disfungsi autonomik juga mengalami
neuropati
perifer ( sensorimotor ). Pada penelitian ini dari 12 penderita disfungsi
autonomik, 11
diantaranya juga dijumpai neuropati perifer , 84%. Chaudry mendapatkan
91%. Pada
penelitian ini
didapatkan adanya korelasi antara variasi denyut jantung selama
bernafas dalam ( R6 ) dengan sensorik n. suralis ; r= 0,057; p < 0,05, RR
30/15 r=
0,456 ; p < 0,05 sedangkan dengan respon tekanan darah berbaring ke berdiri,
r=
0,275 ; p > 0,05. Oliver
10
mendapatkan
korelasi antara R6 dengan sensorik n.
median r =0,35 ; p < 0,05, RR 30/15 dengan motorik n. peroneus
r= 0,50; p < 0,01.
Pada penelitian ini tidak didapat adanya korelasi antara disfungsi autonomik
dengan neuropati perifer sensorik n. suralis r =0,253 ; p> 0,05 .
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
5.1.1. Pada penderita sirosis hati dijumpai adanya disfungsi autonomik dan
beratnya disfungsi autonomik ini berhubungan dengan beratnya sirosis hati.
5.1.2. Pada penderita sirosis hati dijumpai prevalensi yang tinggi untuk
terjadinya
neuropati perifer ( sensorimotor ) dan berhubungan dengan beratnya sirosis
hati, terutama saraf motorik.
5.1.3 Tidak dijumpai adanya korelasi antara disfungsi autonomik dengan
neuropati
perifer ( sensorimotor ) pada penderita sirosis hati.
Page 20
2003 Digitized by USU digital library
20
5.2
SARAN
Perlu penelitian lanjutan dengan cara kohort dengan penderita yang lebih
banyak agar disfungsi autonomik dapat dipakai sebagai prediktor prognostik
mortalitas pada penderita sirosis hati.
BAB VI
KEPUSTAKAAN
Abergel A, Braillon A, Gaudin C, Kleber G, Lebrec D. Persistence of a
hyperdynamic
circulation in cirrhotic rats following removal of the sympathetic nervous
system.
Am J Gastroenterology 1992; 102:616-60.
Asbury AK. Hepatic neuropathy. In: Dick PJ, Thomas PK, Lambert EH,
Bunge R.
Peripheral neuropathy. 2
th
Autonomic and
peripheral (sensorimotor) neuropathy in chronic liver disease: a clinical and
electrophysiology study. Hepatology 1999; 29:1689-1703.
Chopra JS, Samantha AK, Murthy JM et al. Role of porta systemic shunt and
hepatocellular damaged in the genesis of hepatic neuropathy. Cin Neurol
Neurosurg 1980;82;37-44. abstrak
Consensus statement. Standarized measures in diabetic neuropathy. Diabetes
Care.
Suppl 1995;18: 59-82
Darmansjah I, Setiawati A, Gan S. Susunan saraf otonom dan transmisi
neurohumoral.
Dalam: Gan S. Ed, Farmakologi Terapi, Ed. IV. Jakarta,Balai Penerbit FKUI,
1995; 25
Daube JR. Electrophysiologik testing in diabetic neuropathy. In: Dyck PJ,
Thomas PKI,
Asbury A, Winergrad A, Porte D (eds). Diabetic Neuropathy, Philadelphia:
WB
Saunders, 1987; 162-76.
Dayan AD, Williams R. Demyelinating peripheral neuropathy and liver
disease. Lancet
1967: 15; 133 -4.
Decaux G, Gauchie P, Soupart A, Kruger M, Delwiche F. Role of vagal
neuropathy in the
hyponatraemia of alcoholic cirrosis, Br Med J 1986; 293:1534-36
Page 21
2003 Digitized by USU digital library
21
Ewing DJ, Clarke BF. Diagnisis and management of diabetic autonomic
neuropathy. BMJ
1982; 285:916-8
Ewing DJ, Martyn CN, Young RJ, Clarke BF. The value of cardiovascular
autonomic
function test: 10 years experience in diabetes. Diabetes Care 1985; 8:491-8.
Fleckenstein JF, Frank SM, Thuluvath PJ, Pre sence of autonomic neuropathy
is a poor
prognostic indicator in patients with advanced liver disease. Hepatology 1996;
23:471-5. .
Frieling T. Autonomic dysfunction and liver disease. In: Liver and nervous
system.
Disampaikan pada: Part III of the liver week freiburg. Falk symposium no.
103,
Freiburg (Germany), 4-5 Oktober, 1997.
Griffin J. Disorder of the peripheralnervous system. Johns Hopkins School of
Medicine
Lecture Notes, The Johns Hopkins University 1997.
Groszmann RJ. de Francis R, Portal hypertension. In: Schiff ER, Sorell MF,
Madrey
22
Liver and nervous system. Disampaikan pada: Part III of the liver week
freiburg.
Falk symposium no. 103, Freiburg (Germany), 4-5 Oktober, 1997. abstrak
Knill-Jones RP, Goodwill CJ, Dayan AD, Williams R. Peripheral neuropathy
in chronic
liver disease: clinical, electrodiagnostic, and nerve biopsy findings. J Neurol
Neurosurg Psych 1972; 35:22-30.
Madiyono B, Moeslichan D, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar
sample. Dalam:
Sastroasmoro S, Ismael S (eds). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis.
Jakarta, Binarupa Aksara, 1995; 187-212.
Meh D, Denislic M. Complex rehabilitation, Peripheral neuropathy: neurology
and