Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Gas gangren adalah infeksi jaringan subkutan dan otot yang disebabkan toksin
yang dihasilkan oleh spesies Clostridium terutama Clostridium perfringens. Infeksi ini
sangat berbahaya dan dapat mengancam kehidupan. Pada tahun 1861, Louis Pasteur
mengidentifikasi spesies Clostridium pertama yaitu Clostridium butyricum, kemudian
pada tahun 1892 Welch dan peneliti lain mengisolasi basil anaerob gram positif dari luka
gangren. Organisme ini awalnya dinamakan Bacillus aerogenes capsulatus yang
kemudian berganti nama menjadi Perfringens baccilus, Clostridium welchii, dan
sekarang dikenal dengan Clostridium perfringens(1,2,3,4).
Alfa toksin adalah toksin yang memegang peranan penting

dalam

pembentukan gas gangren. Toksin ini merupakan suatu Phospholipase- C yang dapat
mengkatalis hidrolisis dari phosphatidylcholine menjadi choline phosphate and 1,2diacylglycerol sehingga dapat merusak sel(3,5,6).
Gas gangren merupakan masalah yang serius pada masa perang dunia I. Selama
periode tersebut 6 % dari fraktur terbuka dan 1 % dari semua luka terbuka berkembang
menjadi gas gangren. Frekuensi ini terus menurun menjadi 0,7 % pada perang dunia II,
0,2 % pada perang Korea dan 0,002 % pada perang Vietnam(3).
Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 3000 kasus gas gangren per tahun, dimana
1.100 diantaranya meninggal dunia sedangkan di Indonesia belum ada data yang jelas
mengenai insiden dari gas gangren ini(3,5).
Apabila dilihat dari penyebabnya gas gangren dapat dibagi menjadi 3 yaitu post
traumatik, pasca operasi dan spontan. Gas gangren posttraumatik merupakan yang
terbanyak yaitu sekitar 60 % dari keseluruhan kasus, dan kebanyakan terjadi karena
kecelakan mobil sedangkan gas gangren spontan adalah gas gangren dengan prognosa
yang sangat buruk. Gas gangren spontan disebut juga metastasis gas gangren karena
memang sebagian besar( 80 %) gas gangren ini memiliki hubungan dengan keganasan
terutama keganasan hematologi (40%) dan kolorektal (34%)(3,4).

Mengingat gas gangren adalah penyakit yang dapat menyebar dengan cepat dan
dapat mengancam kehidupan maka diperlukan penatalaksaan yang

komprehensif

terhadap pasien yang menderita penyakit ini meliputi:

Pemberian antibiotik

Pemberian hiperbarik oksigen

Pemberian vaksin dan antitoksin

Konsultasi bedah untuk tindakan debridemand


Terapi oksigen hiperbarik merupakan suatu metoda pengobatan dimana pasien

diberikan pernapasan oksigen murni (100%) pada tekanan udara yang dua hingga tiga
kali lebih besar daripada tekanan udara atmosfer normal (satu atmosfer). Dengan kondisi
tekanan oksigen yang tinggi, diharapkan matriks seluler yang menopang kehidupan suatu
organisme mendapatkan kondisi yang optimal. Dalam melaksanakan terapi aksigen
hiperbarik harus diperhatikan sekali indikasi, kontraindikasi, ataupun efek samping yang
akan muncul kemudian(8,9,10).
Penggunaan vaksin dalam pengobatan gas gangren masih kontroversi karena tidak
banyak laporan penggunaannya pada manusia. Studi yang saat ini banyak dilakukan
adalah dengan menggunakan binatang sebagai objek percobaan sehingga efektivitasnya
pada manusia masih diragukan. Sedangkan antitoksin terhadap gas gangren sudah
banyak digunakan sebagai propilaksis ataupun pengobatan. Antitoksin ini berasal dari
serum kuda yang telah diimunisasi.
Angka kematian pasien dengan gas gangren yang dihubungkan dengan trauma
adalah sekitar 25 % dan persentase ini meningkat mencapai 100 % pada kasus kasus gas
gangren spontan. Diagnosis dan penatalaksanaan dini dapat memperbaiki angka harapan
hidup. (3,21).
Penyusunan

reperat

ini

berlatar

belakang

pentingnya

diagnosis

serta

penatalaksanaan yang komprehensif terhadap pasien dengan gas gangren.

BAB II
GAS GANGREN
2.1. Epidemiologi
Gas gangren adalah infeksi jaringan subkutan dan otot yang disebabkan toksin
yang dihasilkan oleh spesies Clostridium terutama Clostridium perfringens(1).
Pada tahun 1861, Louis Pasteur mengidentifikasi spesies Clostridium pertama
yaitu Clostridium butyricum, kemudian pada tahun 1892 Welch dan peneliti lain
mengisolasi basil anaerob gram positif dari luka gangren. Organisme ini awalnya
dinamakan Bacillus aerogenes capsulatus yang kemudian berganti nama menjadi
Perfringens baccilus, Clostridium welchii, dan sekarang dikenal dengan Clostridium
perfringens(1,2,3,4).
Clostridium perfringens adalah yang paling umum penyebab gas gangren
(80-90 %). Spesies lain yang dapat menyebabkan gas gangren adalah Clostridium nouyi,
Clostridium septikum, Clostridium hictolyticum, Clostridium bifermenstan dan
Clostridium fallax(4,12). Sonavane A dkk(2008) mendapatkan dari 64 kasus gas gangren
90,6 % penyebabnya adalah Clostridium perfringens
Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 3000 kasus gas gangren per tahun, dimana
1.100 diantaranya meninggal dunia sedangkan di Indonesia belum ada data yang jelas
mengenai insiden dari gas gangren ini(3,5).
2.2. Patogenesis
Clostridium perfringens adalah basil gram positif yang bersifat anaerob.
Organisme ini membentuk spora dan hidup dimana-mana terutama di daerah tanah yang
yang subur. Clostridium juga termasuk flora normal di usus, kulit dan saluran reproduksi
wanita(13,14,15).
Organisme ini menghasilkan sedikitnya 12 eksotoksin dimana , , dan adalah
empat toksin utama yang dapat menyebabkan kematian. Clostridium perfringens dibagi

menjadi

lima tipe yaitu A,B,C,D dan E berdasarkan toksin utama yang

dihasilkannya(tabel 1)(16,117,18,19,20).
Tabel 1.Hubungan antara biotype Clostridium perfringens dengan penyakit pada
manusia dan binatang(16)

Alfa toksin adalah toksin yang paling berperan dalam pembentukan gas gangren.
Toksin ini terdiri dari 370 residu zinc metalloenzim yang merupakan suatu
Phospholipase- C dan dapat berikatan dengan memban sel dengan bantuan ion kalsium.
Phospholipase- C adalah suatu enzim yang dapat mengkatalis hidrolisis dari
phosphatidylcholine (phospholipid lainnya) menjadi choline phosphate and 1,2diacylglycerol dan dapat menyebabkan kerusakan sel dengan jalan hidrolisis dari
komponen utama membran sel. Toksin ini juga dapat menyebabkan lisis dari eritrosit,
leukosit, platelet, fibroblast dan sel otot(3,5,6).

Gambar 1. Struktur Kristal toksin Clostridium perfringens(16).


Infeksi gas gangren terjadi karena masuknya spora Clostridium kedalam luka.
Luka pada jaringan akan mengganggu suplai darah sehingga akan menyebabkan iskemia
dan penurunan potensial reaksi oksidasi/ reduksi di jaringan. Semua ini akan
memudahkan spora dari Clostridium untuk berkembang(3,18).
Sewaktu Clostridium bermultiplikasi bermacam macam eksotoksin dilepaskan ke
jaringan sekitarnya sehingga infeksi akan menjalar ke jaringan subkutan yang akan
menyebabkan selulitis dan jaringan otot sehingga terjadi nekrosis otot yang progresif.
Fermentasi anaerob didalam otot yang nekrosis akan menyebabkan terbentuknya gas
gangren(3,18)
2.3. Faktor risiko(21)
Faktor-faktor resiko untuk terjadinya gas gangren antara lain:

Pemakai alkohol

Malnutrisi

Trauma

Diabetes Melitus
5

Pemakaian kortikisteroid

Keganasan pada Traktus Gastrrointestinal

Penyakit hematologi yang disertai dengan imunosupresi

Injeksi intra muskular ataupun subkutan

2.4. Pembagian gas gangren berdasarkan penyebab (2,3,4,7)


Dilihat dari penyebabnya gas gangren dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu
posttraumatik, postoperative dan spontan.
1. Gas gangren posttraumatik merupakan 60 % dari keseluruhan kasus gas gangren.
Gas gangren posttraumatik antara lain:
a) Sebagian besar kasus adalah kecelakaan lalu lintas
b) Komplikasi trauma yang timbul akibat fraktur tertutup, luka tembak, luka
bakar.

2. Postoperative gas gangren.


a) Operasi traktus gastrointestinal
b) Operasi traktus genitourinarius
c) Aborsi
d) Amputasi
e) Turniket, gips, perban yang dipasang terlalu ketat.
3. Spontan
a) Dikenal sebagai nontraumatik, idiopatik, atau metastasis gas gangren.
b) Paling sering merupakan infeksi campuran yang disebabkan oleh
C. septikum, C. perfringens, dan C. nouvy. Angka kematian akibat infeksi
ini mendekati 100 %
c)

Kira-kira 80 % pasien tanpa trauma memiliki hubungan dengan


keganasan. Dari jumlah tersebut 40 % adalah keganasan hematologic dan
34 % adalah keganasan kolorektal.

BAB III
DIAGNOSIS
Diagnosis gas gangren dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
3.1 Anamnesis
Riwayat pasien dengan gas gangren tergantung pada faktor- faktor yang dapat
menimbulkan infeksi. Sebagian besar pasien gas gangren posttraumatik mempunyai
cedera serius pada kulit, jaringan lunak ataupun fraktur terbuka. Pasien dengan gas
gangren postoperatif sering disebabkan oleh operasi traktus gastrointestinal dan traktus
biliaris. Sebaliknya pasien keganasan yang dihubungkan dengan gas gangren spontan
tidak ada riwayat yang spesifik.
Keluhan yang pertama dan paling sering dirasakan pasien dengan gas gangren
adalah nyeri yang timbul secara tiba- tiba, makin lama makin berat dan meluas sesuai
dengan penyebaran dari gas gangren. Beberapa ada yang mengeluhkan perasaan berat

pada ekstremitas yang terkena. Infeksi dapat disertai dengan demam dan perubahan dari
status mental(3,4).
3.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh sebelum berfokus pada bagian tubuh
yang terlibat(1,2,3,4).

Tanda- tanda vital dapat menunjukkan toksisitas sistemik meliputi demam,


takikardi, takipneu, hipotensi, dan hipoksia.

Pembengkakan lokal dan eksudat serosanguineous muncul segera setelah timbul


rasa sakit.

Kulit berubah menjadi warna perunggu, kemudian berkembang menjadi biru


kehitaman disertai dengan pembentukan bulae hemoragis.

Dalam beberapa jam wilayah sekitarnya menjadi udem.

Krepitasi (+)

Rasa sakit dan nyeri tidak sebanding dengan gambaran luka yang ditemukan.

3.3 Pemeriksaan Laboratorium(1,2,3,4)

Leukosit normal tetapi dapat juga meningkat terutama yang immatur.

Peningkatan hasil tes fungsi hati yang mungkin disebabkan oleh kerusakan hati
yang progresif.

Peningkatan blood urea nitrogen dan kreatinin.

Mionekrosis dapat meningkatkan serum aldolase, kalium, laktat dehidroginase,


dan phospokinase.

Gas darah menunjukkan adanya asidosis metabolic

DIC

Pada pewarnaan gram nampak adanya batang gram positif dan tidak ditemukan
adanya sel PMN. Organisme lain juga hadir hingga 75 % kasus. Tes ini sangat
penting untuk diagnosis cepat.

Gambar 2. Clostridium perfringens pada pewarnaan gram(22).

Pemeriksaan Phospholipase- C ( sialidase ) yang dihasilkan oleh Clostridia dapat


dilakukan pada serum dan cairan luka. Tes ini memberikan hasil yang cepat yaitu
dibawah 2 jam dan dapat digunakan sebagai konfirmasi dari hasil pewarnaan
gram.

3.4 Pemeriksaan penunjang lainnya

Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan Roentgen menggambarkan pola bulu-bulu halus dijaringan.

Gambar 3. Gas gangren pada ektremitas(23).


9

Pemeriksaan kultur
Clostridium perfringens fosfolipase menyebabkan kekeruhan di sekitar koloni
pada media kuning telur (nagler plate)

Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaaan histologi menunjukkan adanya inflamasi dan nekrosis otot.

BAB IV
PENATALAKSANAAN
Dalam penatalaksanaan gas gangren diperlukan diagnosis dan penatalaksanaan
cepat dan agresif.

Pemberian antibiotik

Terapi Hiperbarik Oksigen

Pemberian vaksin dan antitoksin

Tindakan debrideman

4.1 Pemberian antibiotik


Antibiotik yang sering dipakai antaralain(3,4,21):
1.Penisilin G

10

Merupakan obat pilihan untuk infeksi dengan dosis 10- 20 juta unit/hari. Obat ini
menghambat sintesis dinding sel bakteri selama proses multipikasi.
2.Klindamisin
Obat ini menghambat sintesis protein bakteri. Dosis yang digunakan adalah 600-1200
mg/hari.
3.Metronidazol
Aktif terhadap bakteri anaerob dan protozoa dan pemakainnya tidak boleh lebih dari 4
gram/hari.
4.Vancomisin
5.Kloramfenikol
6.Tetrasiklin
Sekarang kombinasi antara Penicillin dan Clindamycin sudah secara luas digunakan.
Kombinasi Clindamycin dan metronidazol adalah pilihan apabila pasien alergi
penicillin(3).
Studi terbaru menunjukkan obat penghambat sintesis protein (Clindamiccin,
Chloramfenicol, rifamfisin, tetrasiklin) lebih efektif karena menghambat sintesis
eksotoksin Clostridium dan mengurangi

efek lokal ataupun sistemik dari toksin

tersebut(3).

4.2 Terapi hiperbarik oksigen


Secara umum, terapi oksigen hiperbarik merupakan suatu metoda pengobatan
dimana pasien diberikan pernapasan oksigen murni (100%) pada tekanan udara dua
hingga tiga kali lebih besar daripada tekanan udara atmosfer normal (satu atmosfer).
Terapi Hiperbarik Oksigen (HBO) untuk pertama kalinya di gunakan
untuk menanggapi penyakit dekompresi. Suatu penyakit yang di alami oleh penyelam dan
pekerja tambang bawah tanah akibat penurunan tekanan (naik ke permukaan) secara
mendadak. Saat ini terapi HBO selain untuk penyakit akibat penyelaman juga diindikasi
untuk

berbagai

penyakit

klinis

dan

termasuk

juga

gas

gangrene (8,9).

Perlu disadari bahwa terapi HBO yang bermanfaat bagi beberapa macam

11

penyakit, ternyata menjadi Kontraindikasi bagi kondisi dan jenis penyakit tertentu, dan
dari beberapa penelitian rupanya HBO juga dapat menyebabkan beberapa Komplikasi.
Prinsip yang dianut secara fisiologis adalah bahwa tidak adanya O 2 pada tingkat
seluler akan menyebabkan gangguan kehidupan pada semua organisme. Dengan kondisi
tekanan oksigen yang tinggi, diharapkan matriks seluler yang menopang kehidupan suatu
organisme mendapatkan kondisi yang optimal.
Terapi HBO memiliki mekanisme dengan memodulasi nitrit okside (NO) pada sel
endotel. Pada sel endotel ini HBO terapi juga meningkatkan intermediet vaskuler endotel
growth factor (VEGF). Melalui siklus Krebs terjadi peningkatan NADH yang memicu
peningkatan fibroblast. Fibroblast yang diperlukan untuk sintesis proteoglikan dan
bersama dengan VEGF akan memacu kolagen sintesis pada proses remodeling, salah satu
tahapan dalam penyembuhan luka(10,25).
Mekanisme di atas berhubungan dengan salah satu manfaat utama terapi HBO
yaitu untuk wound healing. Pada bagian luka terdapat bagian tubuh yang mengalami
edema dan infeksi. Di bagian edema ini terdapat radikal bebas dalam jumlah yang besar.
Daerah edema ini mengalami kondisi hipo-oksigen karena hipoperfusi. Peningkatan
fibroblast sebagaimana telah disinggung sebelumnya akan mendorong terjadinya
vasodilatasi pada daerah edema tersebut. Jadilah kondisi daerah luka tersebut menjadi
hipervaskular, hiperseluler dan hiperoksia. Dengan pemaparan oksigen tekanan tinggi,
terjadi peningkatan IFN-, i-NOS dan VEGF. IFN- menyebabkan TH-1 meningkat yang
berpengaruh pada B-cell sehingga terjadi pengingkatan Ig-G. Dengan meningkatnya IgG, efek fagositosis leukosit juga akan meningkat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pada luka, HBOT berfungsi menurunkan infeksi dan edema(10,25).
Tabel 2.indikasi hiperbarik oksigen terapi(9)
No Indikasi
1 Embolisme gas dan udara
2

Keracunan karbonmonoksida (CO Smoke inhalation)

Cedera remuk (Crush Injury)

Keracunan gas sianida

Penyakit dekompresi

12

7
8

9
10
11
12
13

Meningkatkan penyembuhan luka-luka pada:

ulkus diabetikum

ulkus stasis venosus

ulkus dekubitus

ulkus insufisiensi arterial


Anemia (Exceptional blood loss)
Infeksi jaringan lunak bernekrosis

selulitis anaerob krepitan

gangrene bakterial progresif

fasitis nekrosis

Penyakit Fournier
Gas gangren kuman Clostridial
Osteomyelitis refrakter
Nekrosis karena radiasi
Tandur kulit (skin grafts and flaps )
Luka bakar

Tabel 3. Kontraindikasi hiperbarik oksigen(9).


N

Kontraindikasi

o
1
2
3
4
5
6
7
8

Infeksi saluran nafas atas (ISNA)


Gangguan kejang
Emfisema dengan retensi C02
Lesi asimtomatik pada paru
Riwayat pernah bedah thoraks dan telinga
Demam tinggi
Tumor (Malignant Disease)
Kehamilan
Percobaan pada hewan membuktikan peningkatan terjadinya cacat bawaan
pada janin bila HBO diberikan pada awal kehamilan. Namun jika nyawa si

ibu terancam, keracunan gas CO misalnya, terapi HBO harus diberikan.


Neuritis opticus

Tabel 4.Komplikasi hiperbarik oksigen(9).


N

Komplikasi

13

1
2
3
4
5
6
7

Barotrauma telinga
Nyeri sinus
Miopia dan katarak
Barotrauma Paru
Kejang
Penyakit Dekompresi
Klaustrofobia

Manfaat hiperbarik oksigen pada kasus gas gangren adalah:

Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh, bahkan pada


aliran darah yang berkurang

Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan aliran darah


pada sirkulasi yang berkurang

Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti Closteridium


perfingens

Mampu menghambat produksi racun alfa toksin.

Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk bertahan hidup

Meningkatkan produksi antioksidan tubuh(8,9,10,12).

4.3 Pemberian vaksin dan antitoksin


Memahami struktur dan fungsi dari - toxin sangat penting dalammerancang
suatu vaksin yang dapat melindungi dari gas gangren. Secara struktural - toksin terdiri
dari 2 protein domain yaitu N- terminal domain dan C- terminal domain. Vaksin yang
digunakan saat ini berasal dari protein domain

- toksin yang secara imunologi

merupakan fragmen yang masih aktif.


Penggunaan vaksin dalam pengobatan gas gangren masih kontroversi karena tidak
banyak laporan penggunaannya pada manusia. Studi yang saat ini banyak dilakukan
adalah dengan menggunakan binatang sebagai objek percobaan sehingga efektivitasnya
pada manusia masih diragukan. Sedangkan antitoksin terhadap gas gangren sudah
banyak digunakan sebagai propilaksis ataupun pengobatan. Antitoksin ini berasal dari
serum kuda yang telah diimunisasi(16,26).
4.4 Tindakan debrideman
14

Tindakan debrideman luka diperlukan untuk pengeluaran benda asing atau segala
kotoran yang ada pada luka disertai dengan pembuangan jaringan yang nekrosis sehingga
yang tinggal hanya jaringan yang baik peredaran darahnya. Dikarenakan proses penyakit
dapat terus melibatkan jaringan tambahan maka diperlukan explorasi dan debridemand
yang berulang(3,4).
Amputasi dilakukan apabila terdapat jaringan nekrosis yang luas serta melibatkan
jaringan otot.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1.

Gas gangren adalah infeksi jaringan subkutan dan otot yang disebabkan toksin yang
dihasilkan oleh spesies Clostridium terutama Clostridium perfringens.

2.

Alfa toksin adalah salah satu toksin yang dihasilkan oleh Clostridium perfringens
dan toksin ini memegang peranan penting dalam pembentukan gas gangren.

3.

Gas gangren berdasarkan penyebab dapat dibagi menjadi 3 yaitu post traumatik,
pasca operasi dan spontan.

4.

Pewarnaan gram dan pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi Phospholipase- C dapat


digunakan untuk diagnosis cepat pada pasien dengan gas gangren.

5.

Penatalaksanaan gas gangren meliputi: pemberian antibiotik, terapi oksigen


hiperbarik, pemberian antitoksin dan tindakan debrideman.

5.2 Saran
1.

Perlunya diagnosis dan penatalaksanaan dini pada pasien dengan gas gangren

2.

Perlunya terapi oksigen hiperbarik pada kasus gas gangren

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Sande M A. Gas gangrene. In: Internal Medicine. Ed. Stein JH et al.5th edition.
Mosby Inc, Missouri.1998.p.1422-23.
2. Neubauer RA. Using HBOT to threat Infection. In: Hyperbaric Oxigen therapy.
Ed James L. Penguin Putnan.Inc. New York.1998.p.65-74.
3. Ho H. Gas gangrene. Diakses dari http://emedicine.medscape.com.
4. Revis DR.Clostridial Gas Gangrene. Diakses dari http://emedicine.medscape.com.
5. Phospholipase-C. Diakses dari http:/www.absoluteastronomy.com
6. Phodphplipase-C. diakses dari http://www.wikipedia.org
7. Spink WW. Supuratif Desease. In: Infectious Desease. University Of Mineshota
Press.1998.p.264-304.
8. Oktaria S. terapi oksigen hiperbarik. Diakses dari http://www.klikdokter.com
9. Dana D. Manfaat, pantangan dan efek lanjutan terapi oksigen hiperbaik. Diakses
dari http://beta.tnial.mil.id
10. Farmasia. Sinergi antara radioterapi dengan terapi oksigen hiperbarik. Diakses
dari http://www.majalah-farmasia.com
11. Sonavane A. Gas gangrene at tertiary care centre. Bombay hospital
journals.2008.50:10-13.

16

12. Kluwer W. Gas gangrene. In: Professional Guide to desease. Ed. Holmes et al, 9 th
edition. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia.2009.p.930-2.
13.

Fauci. Anaerob Infectious. In: Horrisons manual of Medicine. Ed. Shanahan et al.
17th edition. The Mc-Graw-Hill Companies. New York.2008.p.528-34.

14. Oacley CL. Gas gangrene. Diakses dari http://bmb.oxfordjournals.org


15. Bryant AE,Stevens DL. The pathogenesis of gas gangrene. In: The Clostridia.
Ed.Rood JI.Academic Press. Sandiago.1997.p.185-96
16. Titball RW. Gas gangrene: an open and closed case. Microbiology 2005.
151:2821-28
17. Ridad AM. Infeksi dan inflamasi. Dalam buku ajar ilmu bedah. Editor
sjamsuhidayat R, de jong W. edisi revisi. Penerbit buku kedokteran EGC.
Jakarta.1996.p.1-70
18. Baron S. Gas gangren and related clostridial wound infections. Diakses dari
http:/www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf.
19. Stevens DL. Necrotizing clostridial soft tissue infections. In: The cloctridia. Ed
Rood JI el al. academic press. Sandiago.1997.p.141-52
20. Correa AG. Anaerobic bacteria. In: textbook of pediatric infections desease. Ed
Feigin RD. 5th edition. Elsevier inc. philadelpia.p.1751-8
21. Gas gangrene. Diakses dari http://www.patirnt.co.uk.
22. Clostridium perfringens. Diakses dari http://www.biotech.com
23. Gas gangrene. Diakses dari http://www.ortosupersite.com
24. Feirera R.ASB in blood cultures. Diakses dari http://microblog.me.uk/wp_content
25. Wiyono H. Pemanfaatan Hiperbarik. Diakses dari http://penyakitdalamonline.com
26. Mixed gas gangrene antitoxin I.P. Diakses dari http://www.bharatserums.com

17

18

Anda mungkin juga menyukai