Pengantar Kosmologi Rev 1 1 PDF
Pengantar Kosmologi Rev 1 1 PDF
KOSMOLOGI
Revisi 1.1
Sunkar E. Gautama
Paradoks Softbook
Publisher
P E N G A N T A R
KOSMOLOGI
Revisi 1.1
Sunkar E. Gautama
Paradoks Softbook Publisher
For free
Judul buku
: Pengantar Kosmologi
Revisi
: 1.1
Penulis
Tahun terbit
: 2015
Signed by: Sunkar E. Gautama Date:
2015.01.09 13:38:46 +08
Cuma-cuma:
ii
1.1
14
15
Kata Pengantar
Setelah proses penggarapan selama setahun, akhirnya buku Pengantar
Kosmologi ini dapat terselesaikan. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih sebesarbesarnya kepada Ariansyah yang berbaik hati membantu penggarapan buku ini serta
kepada guru saya Dr. Tasrief Surungan, M.Sc dan Drs. Bansawang B.J., M.Si atas ilmu
dan dukungannya. Selain itu, saya juga berterima kasih kepada Aldytia Gema Sukma,
Nur Hidayat Nurdin, dan Abdul Muin Banyal atas diskusi dan dorongannya kepada saya
agar segera menyelesaikan buku ini.
Buku ini ditujukan untuk menambah perbendaharaan pustaka mengenai teori
relativitas dan kosmologi modern. Tentunya, buku ini masih jauh dari sempurna,
sebagian besar karena minimnya literatur kosmologi, utamanya yang berbahasa
Indonesia. Untuk itu, saya memohon maaf sebesar-besarnya atas kekeliruan yang
terdapat dalam buku ini; baik kesalahan konsep, tata bahasa yang kurang baik, maupun
kesalahan pengetikan. Saya juga berharap dan sangat berterima kasih bila pembaca
yang budiman sudi mencatat kekeliruan di dalam buku ini atau menyampaikan kritik
dan sarannya ke alamat surel saya, guna penyempurnaan buku ini kedepannya.
Akhir kata, semoga buku ini bisa bermanfaat bagi peminat fisika pada umumnya
dan kosmologi pada khususnya. Terima kasih dan salam hangat dari saya.
Sunkar E. Gautama
(skaga247@gmail.com)
iii
iv
Daftar Isi
Kata Pengantar
iii
0. Pendahuluan
0.1. Pengantar
0.2. Motivasi
0.3. Garis Besar Isi Buku
1
1
2
3
1. Relativitas
1.1. Pengantar
1.2. Vektor dan Tensor
1.2.1. Koordinat dan Vektor
1.2.2. Vektor-4
1.2.3. Tensor
1.3. Perumusan Teori Relativitas Umum
1.3.1. Tensor Metrik
1.3.2. Pergeseran Paralel dan Simbol Christoffel
1.3.3. Persamaan Geodesik
1.3.4. Turunan Kovarian
1.3.5. Tensor Riemann dan Tensor Ricci
1.3.6. Tensor Stres-Energi-Momentum
1.4. Persamaan Medan Einstein
1.5. Integral Hilbert
1.6. Metrik Friedmann-Robertson-Walker
1.6.1. Geometri Bola-Hiper
1.6.2. Metrik Friedmann-Robertson-Walker
5
5
8
9
13
14
16
16
17
23
25
29
31
32
36
40
40
43
45
45
46
50
51
51
53
57
57
61
66
73
73
75
77
77
80
82
82
83
84
84
86
91
91
92
93
93
96
99
101
106
109
5. Inflasi
5.1. Masalah-Masalah dalam Kosmologi Big Bang
5.1.1. Masalah Kedataran
5.1.2. Masalah Horizon
5.2. Inflasi Alam Semesta
5.2.1. Solusi Masalah Kedataran
5.2.2. Solusi Masalah Horizon
5.3. Inflasi oleh Medan Skalar
5.3.1. Medan Skalar
5.3.2. Persamaan Klein-Gordon
5.3.3. Medan Skalar Inflaton
5.4. Model Potensial Inflasi
5.4.1. Potensial Monomial Orde-2
5.4.2. Potensial-potensial Lain yang Digagaskan
111
111
111
113
114
115
117
119
119
121
123
126
127
130
vi
133
133
134
134
135
135
136
137
137
137
138
140
142
147
147
148
151
156
158
Daftar Pustaka
Lampiran
161
vii
Perjanjian Tandai
Tensor metrik
(+ )
Tensor Riemann
dari definisi
= ;; ;;
Tensor Ricci
= =
Tensor Einstein
Tensor stres-energi-momentum
fluida ideal
viii
BAB 0
PENDAHULUAN
0.1.
Pengantar
Secara harfiah, kosmologi berasal dari kata Latin, (kosmos) yang berarti
dunia dan (-logia) yang berarti ilmu atau kajian. Dalam fisika, kosmologi adalah
ilmu yang mempelajari alam semesta secara makroskopis. Sebagaimana cabang ilmu
alam lain, kosmologi telah mengalami reformasi konsep secara besar-besaran dalam
perkembangannya. Pada zaman dahulu, kosmologi hanya didasari oleh ide-ide filosofis.
Sebelum Johannes Keppler mengajukan gagasannya mengenai heliosentris, orang-orang
beranggapan bahwa Bumi adalah pusat alam semesta. Selanjutnya, perjuangan gigih
Galileo membuka pemikiran manusia bahwa Bumi hanyalah salah satu planet yang
mengelilingi Matahari. Galileo juga menandai kebangkitan sains modern yang
didasarkan pada pengamatan dan eksperimen, termasuk kosmologi.
Kosmologi modern ialah cabang dari astrofisika, yang mana astrofisika adalah
cabang dari astronomi. Kosmologi adalah astrofisika teoretis dalam skala makroskopis,
di mana relativitas umum memainkan peran utama [Terzic]. Namun kosmologi tidak
hanya didasarkan atas teori relativitas umum dan astronomi, tetapi juga fisika partikel,
khususnya dalam memahami awal mula dan asal-usul alam semesta. Kemajuan
teknologi membuat manusia mampu membuat instrumen yang jauh lebih handal dan
lebih peka, mulai dari mengamati langit, mengeksplorasi angkasa, hingga mengamati
gejala subatomik dalam akselerator partikel. Hal ini memberikan para ilmuwan lebih
banyak data untuk memahami dan menguak rahasia alam semesta. Meskipun demikian,
kosmologi bukanlah cabang ilmu yang sudah final. Masih banyak misteri yang belum
terjawab dalam kosmologi yang menimbulkan banyak spekulasi. Contohnya, materi
yang telah kita kenal dengan baik hanya menyusun sekitar 5% massa alam semesta. Sisa
95%-nya masih tidak kita ketahui dengan jelas. Meskipun demikian, para ilmuwan
sudah mempunyai potongan-potongan bukti mengenai misteri ini! Tidakkah Anda juga
tertarik untuk mempelajari dan terlibat dalam memecahkan misteri ini?
Sunkar E. Gautama | Pengantar Kosmologi
0.2.
Motivasi
Seberapa luaskah alam semesta itu? Objek macam apa sajakah yang ada di
Gambar 0.1
Ilustrasi struktur dalam alam semesta dimulai dari skala paling kecil
(Bumi) hingga terbesar yang dapat kita amati.
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Structure_formation)
0.3.
mengetahui garis besar isi buku ini. Penulis berupaya menyusun buku ini secara
terstruktur dari bagian paling mendasar hingga ke bagian yang lebih lanjut. Namun
dalam membahas kosmologi, seringkali sulit menentukan topik mana yang lebih dahulu
dibahas, mengingat jalinan antar tiap topik yang kompleks dan seringkali harus
menggunakan alur maju-mundur.
Bab 1 berisikan pengantar teori relativitas umum yang menjadi dasar kosmologi
modern selain fisika partikel. Pada bab ini, yang pertama-tama dibahas adalah
pengenalan tensor yang mana berangkat dari teori vektor dan aljabar linear. Setelah itu,
pembahasan dilanjutkan ke operasi tensor, persamaan geodesik (generalisasi dari
persamaan gravitasi Newton), tensor kelengkungan, tensor stres-energi-momentum,
dan persamaan medan Einstein. Pada bagian akhir bab ini dibahas geometri bola-hiper
yang merupakan solusi dari persamaan medan untuk alam semesta makroskopis.
Penulis terpaksa menyingkirkan pembahasan mengenai topik-topik menarik dalam TRU
yang tidak atau kurang begitu berkaitan dengan pembahasan pada bab-bab selanjutnya,
demi menyederhanakan isi buku ini agar tidak terlampau luas pembahasannya.
Bab 2 berisi pembahasan tentang konsep-konsep mendasar dalam kosmologi,
antara lain hukum Hubble, geometri ruang-waktu, berbagai definisi dalam koordinat
bergerak, serta berbagai macam definisi jarak dan metode pengukurannya dalam
kosmologi.
Bab 3 berisi tentang teori beserta persamaan-persamaan mendasar dalam
kosmologi. Pada bagian awal dijelaskan secara ringkas mengenai teori Big Bang dan
penemuan tentang pengembangan alam semesta yang dipercepat. Bagian selanjutnya
ialah mengenai persamaan Friedmann dan persamaan fluida. Kedua persamaan ini
adalah persamaan yang paling penting dalam kosmologi modern, bisa dikatakan Anda
belum memahami kosmologi jika belum mempelajari kedua persamaan ini. Selanjutnya,
diberikan kembali beberapa kuantitas dan konvensi yang sering digunakan dalam
kosmologi pada bagian akhir bab.
BAB 1
RELATIVITAS
1.1.
Pengantar
Sebelum Einstein merumuskan teori relativitas umum (TRU) pada tahun 1915,
telah dikenal beberapa teori yang dapat menjelaskan gerak benda dan gravitasi. Teori
itu adalah hukum gerak Newton, teori relativitas khusus (TRK), dan hukum gravitasi
Newton. Hukum gerak Newton berhasil menerangkan dinamika benda pada kelajuan
rendah, namun hukum ini gagal pada gerak kelajuan tinggi. Teori relativitas khusus
yang dikemukakan Einstein pada 1905 berhasil menjelaskan dinamika kelajuan tinggi
dengan sangat cemerlang dan teori ini tereduksi menjadi hukum gerak Newton dalam
kelajuan rendah. Teori relativitas khusus dibangun berdasarkan asas-asas berikut:
Asas ke-0 (asas korespondensi): Untuk setiap gerak berkelajuan rendah, konsepkonsep dan hukum-hukum yang muncul harus sesuai dengan konsep yang telah ada
dalam hukum Newton.
Asas ke-1 (asas kovariansi): semua hukum fisika memiliki bentuk yang tetap
(kovarian) di dalam sembarang kerangka inersial.
Asas ke-2: kelajuan cahaya dalam ruang hampa bernilai tetap (invarian) dan tidak
bergantung terhadap pemilihan kerangka inersial.
Tidak seperti hukum gerak Newton yang menggunakan transformasi Galilean,
angan berikut: misalkan Djundy berada dalam lift di lantai 50. Jika saja tali lift putus,
maka lift akan jatuh dengan percepatan sama dengan percepatan gravitasi Bumi, .
Djundy yang berada dalam kotak juga tertarik oleh medan gravitasi Bumi sebesar
tentunya akan mengamati bahwa dirinya berada dalam keadaan tanpa bobot relatif
terhadap kotak.
Contoh berikutnya, misalkan pada suatu ruang hampa terdapat suatu kotak
tertutup yang digantung pada suatu penyangga. Andaikan di dalam kotak terdapat
seorang pengamat, sebut saja Bunga, yang mengklaim kotaknya berada dalam keadaan
inersial. Jika kotak itu ditarik dengan percepatan konstan sebesar = , maka dasar
kotak akan memberikan gaya ke atas sehingga Bunga akan merasakan dirinya
memiliki bobot dan benda yang dilepaskannya akan jatuh ke dasar kotak dengan
percepatan seragam, , yang tidak bergantung terhadap massanya. Tentunya Bunga
tak dapat merasakan perbedaan antara sistem kotak yang ia huni dengan sistem di
bawah pengaruh medan gravitasi . Inilah yang dimaksud sebagai asas kesetaraan.
Implikasi langsung dari asas ini adalah kesetaraan antara massa inersia dan
massa gravitasi . Pada kasus Bunga di dalam kotak, kakinya memberikan gaya
sebesar terhadap lantai, di mana adalah massa inersia Bunga. Sedangkan jika
Bunga berdiri di permukaan Bumi dengan percepatan gravitasi , maka kakinya
memberikan gaya ke bawah sebesar = . Berdasarkan asas kesetaraan, maka
= yang memberikan implikasi = .
Sekarang perhatikan eksperimen angan-angan yang digambarkan pada Gambar
1.1 berikut ini.
Gambar 1.1
sendiri yang melengkung. Karena medan gravitasi disebabkan oleh sebaran massa
dalam ruang, artinya kehadiran massa akan melengkungkan ruang!
Berdasarkan dua asas yang nampak sederhana itu, teori relativitas berhasil
menjelaskan dan memprediksi berbagai fenomena alam dengan ketelitian yang
menakjubkan. Mulai dari pembelokan cahaya, presesi orbit planet, pergeseran merah
oleh gravitasi, kestabilan bintang, hingga keberadaan lubang hitam. Tak hanya itu, dari
teori relativitas kita dapat membangun model yang memerikan struktur ruang-waktu
alam semesta yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
1.2.
memiliki nilai (magnitudo) dan arah. Dalam kalkulus telah dijabarkan pula transformasi
vektor dalam berbagai sistem koordinat; kita tahu bahwa vektor = 3 + 4 identik
dengan vektor = 5 + tan1 (4/3) . Yang disebut pertama dinyatakan dalam
koordinat kartesian dan yang kedua dinyatakan dalam koordinat polar. Meskipun
keduanya nampak memiliki nilai yang berbeda, namun keduanya memiliki besar dan
bentuk yang sama (dengan mudah ditandai jika digambarkan) dan dapat
ditransformasikan satu sama lain dengan aturan transformasi yang serupa.
Tensor adalah perluasan dari vektor, sebagaimana vektor adalah perluasan dari
skalar. Oleh karena itu, tensor juga memiliki bentuk yang tetap dalam sembarang
pemilihan kerangka koordinat sebagaimana halnya vektor. Seperti yang telah
dijabarkan pada subbab 1.1 bahwa hukum alam memiliki bentuk yang tetap dalam
sembarang pemilihan transformasi koordinat. Dengan demikian, bentuk hukum alam
dapat dinyatakan dengan baik dalam bentuk tensor. Oleh karena itu, kita perlu
mempelajari analisis tensor terlebih dahulu untuk dapat mempelajari relativitas umum.
Dalam buku ini, analisis tensor tidak dikupas terlalu dalam, namun demikian akan
dibahas terlebih dahulu konsep vektor dan matriks agar pembaca dapat mengetahui
jalinan antara teori vektor-matriks yang tidak asing dengan analisis tensor sehingga
diharapkan pembahasan yang ringkas ini dapat menjadi cukup jelas.
1.2.1.
ruang tiga dimensi (R3) misalnya, kita dapat menyatakan posisi dalam koordinat
kartesian, koordinat silinder, koordinat bola, dan macam koordinat lainnya. Misalkan
kita sajikan posisi suatu titik dalam R3 menggunakan koordinat kartesian yang
memiliki komponen , , . Selanjutnya komponen-komponen ini dapat dirangkumkan
dalam notasi ; dengan = 1,2,3 sehingga 1 = , 2 = , dan 3 = . Penting untuk
dicamkan, penulisan angka dalam superscript tersebut adalah indeks yang ditulis di
atas, bukan suatu pemangkatan. Di sini kita buat perjanjian bahwa besaran ruang (dan
waktu) selalu dituliskan dengan indeks atas, untuk alasan yang akan dijelaskan
kemudian.
Tentunya, posisi titik tadi yang telah disajikan dalam koordinat , dapat pula
disajikan dalam koordinat lain, sebut saja , yang mana memiliki komponen
= 1 , 2 , 3 . Jika hubungan antara dan diketahui dengan jelas, maka posisi
titik tadi dalam koordinat juga dapat kita peroleh1.
Agar penjelasan ini tidak menjadi terlalu abstrak, baiknya kita pilih saja
koordinat adalah koordinat bola2 yang memiliki komponen = , , . Hubungan
transformasi antara kedua koordinat ialah
=
2 + 2 + 2
= sin cos
= sin sin
= cos
Dengan 1 = , 2 = = sudut polar (co-latitude),
dan 3 = = sudut
azimuth
Tanda aksen tilde (~) yang melekat pada suatu huruf dimaksudkan untuk menciptakan karakter
baru. Pemilihan karakter alih-alih , , dan lain-lain semata-mata untuk memudahkan mengingat
bahwa adalah koordinat hasil transformasi dari .
2
Transformasi koordinat tidak hanya berlaku untuk pemilihan sistem koordinat yang berbeda.
Transformasi juga dapat diterapkan meskipun koordinat baru memiliki sistem yang sama dengan
koordinat lama (misalnya sama-sama koordinat kartesian), namun memiliki satuan basis yang
berbeda.
= + +
=
+ +
3
=1
(1.1)
1
1
2
= dan = 2 . Untuk selanjutnya, notasi tidak dituliskan
3
3
secara eksplisit dengan perjanjian semua indeks boneka (dummy index), yakni indeks
yang sama dan berada pada posisi yang berbeda (satu indeks atas dan satu indeks
bawah) selalu dijumlahkan. Dengan demikian, persamaan (1.1) dapat dituliskan
kembali dalam bentuk
=
(1.2)
Jika vektor perpindahan tadi kita nyatakan dengan simbol baru, = dan
= , maka persamaan (1.2) dapat ditulis ulang menjadi:
=
(1.3)
(1.4)
Dengan adalah vektor arah atau vektor satuan (seperti , , , , dan seterusnya)
dan =
sedemikian sehingga = .
Semua vektor yang bertransformasi seperti persamaan (1.3) dengan kata lain
bertransformasi seperti koordinat ruang, disebut vektor kontravarian dan indeksnya
dituliskan sebagai indeks atas. Seperti halnya koordinat ruang, semua vektor
kontravarian bertransformasi terbalik terhadap perubahan basis. Artinya, jika basis
dalam koordinat baru dua kali dari koordinat lama, maka dalam koordinat baru
komponen
vektornya
berubah
menjadi
seperduanya
untuk
mengkompensasi
. Sebagaimana yang
telah kita pelajari dalam kalkulus, turunan parsial dalam koordinat baru tadi
(koordinat bola) memenuhi
= + +
Dengan cara serupa dapat diperoleh dan , yang ketiganya dapat ditulis secara
ringkas menjadi
(1.5)
(1.6)
Setiap vektor yang bertransformasi seperti pada persamaan (1.6), dengan kata lain
bertransformasi sebagaimana gradien, disebut vektor kovarian dan indeksnya ditulis
sebagai indeks bawah. Vektor kovarian bertransformasi dengan cara yang sama dengan
perubahan basis (co- = sama, variant = perubahan/perbedaan), dengan demikian
vektor basis juga merupakan vektor kovarian.
Oke, kembali pada transformasi koordinat, kita dapat menuliskan persamaan
(1.3) dalam notasi matriks sebagai
=
(1.7)
Dalam penulisan notasi matriks, indeks atas menunjukkan nomor baris dan indeks
bawah menunjukkan nomor kolom sehingga kita tuliskan sebagai matriks kolom.
Perhatikan kembali persamaan (1.1) dan (1.7), matriks transformasi ke koordinat
bola dapat dituliskan dalam bentuk eksplisit sebagai
/
= /
/
/
/
/
/
/
/
(1.8)
Sedangkan bila juga disajikan dalam koordinat kartesian, nampak jelas bahwa
matriks transformasinya menjadi
11
/
= /
/
/
/
/
/
1
/ = 0
/
0
0 0
1 0
0 1
(1.9)
sin cos
= sin sin
cos
cos cos
cos sin
sin
sin sin
sin cos
0
(1.10)
(1.11)
) = ( ) ( )
Karena ruas kiri merupakan skalar, maka ruas kanan pun merupakan skalar. Mengingat
transpos dari suatu skalar adalah skalar itu sendiri (identitas), maka tanda transpos di
luar kurung siku dapat diabaikan sehingga diperoleh
2 =
( )
Dengan memperhatikan pada persamaan (1.10), diperoleh ( ) =
ialah
1 0
= 0 2
0 0
0
0
2 sin2
(1.12)
Akhirnya dapat kita peroleh besar perpindahan jika dinyatakan dalam koordinat bola,
yaitu:
2 =
12
= 2 + 2 2 + 2 sin2 2
(1.13)
1.2.2.
Vektor-4
Menurut teori relativitas khusus (TRK), ruang dan waktu tidaklah mutlak, tetapi
bergantung pada pemilihan kerangka inersial dan kecepatan cahaya dalam vakum
invarian terhadap pemilihan kerangka inersial. Salah satu efek yang dapat dijelaskan
TRK ialah pemuluran waktu. Jika seorang pengamat dalam kereta yang bergerak dengan
kelajuan konstan v mengukur selang waktu suatu peristiwa yang terjadi pada kereta
yaitu , maka pengamat yang diam di tepi jalan mengukur selang peristiwa itu sebesar
> dengan jalinan
=
1 2 / 2
(1.14)
(1.15)
1
0
0
(1.16)
Yang mana bersesuaian dengan elemen garis (1.15). Jika ditulis dalam bentuk panjang,
maka elemen garis dalam koordinat kartesian ialah
2 2 2 = 2 2 2 2 2
(1.17.a)
(1.17.b)
(1.18)
13
1.2.3.
Tensor
Sembarang vektor dapat diperkalikan satu sama lain, misalkan vektor
kontravarian dan
=
0 0
1 0
2 0
3 0
0 1
1 1
2 1
3 1
0 2
1 2
2 2
3 2
0 3
1 3
2 3
3 3
Kuantitas di ruas kanan dapat kita notasikan sebagai sehingga dapat ditulis
=
(1.19)
(1.20)
(1.21)
(1.22)
(1.23)
(1.24)
14
Adapun bila vektor pada persamaan (1.23) memiliki indeks yang sama, , maka
perkalian dari dua vektor tadi tidak membentuk tensor rank-2, melainkan terkontraksi
menjadi skalar
=0
= 0 0 + 1 1 + 2 2 + 3 3
(1.25)
Di sini, indeks boneka (indeks yang sama di mana salah satunya indeks atas dan
satu lainnya indeks bawah) selalu dijumlahkan. Nampak jelas bahwa ruas kanan
persamaan (1.25) adalah suatu skalar (hanya memiliki satu komponen). Operasi
semacam ini disebut sebagai kontraksi. Agar lebih jelas, diberikan lagi satu contoh:
= 0 0 + 1 1 + 2 2 + 3 3
Karena indeks dari dan salah satu indeks dari sama, yakni maka indeks itu
berjalan bersamaan. Kemudian jika indeks kita jalankan dalam sajian matriks sebagai
nomor baris, maka dapat dituliskan:
00 0 + 01 1 + 02 2 + 03 3
10 0 + 11 1 + 12 2 + 13 3
20 0 + 21 1 + 22 2 + 23 3
30 0 + 31 1 + 32 2 + 33 3
15
1.3.
1.3.1.
Tensor Metrik
Perhatikan kembali elemen garis dari ruang-waktu empat dimensi pada
persamaan (1.17.a) dan (1.17.b), elemen garis itu dapat dituliskan dalam notasi tensor
sebagai
2 =
(1.26)
Dengan adalah tensor metrik. Tensor metrik untuk ruang Minkowski sering
dinotasikan secara khusus sebagai . Memperhatikan elemen garis ruang Minkowski
dalam koordinat kartesian, diperoleh
1 0
0
0
0 1 0
0
0 0 1 0
0 0
0 1
(1.27)
(1.28)
(1.29)
1
0
; =
;
(1.30)
Tensor dikenal sebagai delta Kronecker, yang dapat dipresentasikan sebagai matriks
identitas 4 4. Dari persamaan (1.27) dan (1.30), dapat ditandai bahwa:
16
00 = 00
= 0 = 0 = 0
=
; , = 1,2,3
1.3.2.
melengkung, kita tidak dapat memaknai vektor paralel pada titik berbeda,
sebagaimana dapat dengan mudah kita lihat jika kita meninjau contoh ruang lengkung
dua dimensi dalam ruang Euklidesan tiga dimensi. Akan tetapi, jika kita mengambil titik
dekat titik , terdapat vektor paralel pada , dengan ketidakpastian orde kedua,
perhitungan jarak dari ke sebagai orde pertama. Jadi kita dapat memberi arti
terhadap pemindahan vektor dari menuju dengan mempertahankan vektor
tersebut paralel terhadap dirinya sendiri dan mempertahankan panjangnya tetap.
Kita dapat memindahkan vektor secara kontinu sepanjang lintasan dengan
proses pergeseran paralel ini. Ambil lintasan dari menuju , kita mengakhiri dengan
vektor pada yang paralel terhadap vektor awal pada berkaitan dengan lintasan ini.
Tetapi, lintasan berbeda akan memberi hasil berbeda. Tak ada arti mutlak bagi vektor
paralel pada . Jika kita memindahkan vektor pada dengan pergeseran paralel
sekeliling lup tertutup, kita akan berakhiran pada vektor pada yang biasanya dalam
arah berbeda.
Kita dapat memperoleh persamaan untuk pergeseran paralel dari vektor dengan
menganggap ruang fisis empat-dimensi kita, dibenamkan dalam ruang datar dari orde
dimensi yang lebih tinggi; katakanlah . Dalam ruang berdimensi-N ini, kita
memperkenalkan koordinat kurvalinier ( = 1,2, , ). Koordinat ini tidak perlu
17
menjadi ortogonal, cukup rektilinier. Antara dua titik bertetangga ini terdapat jarak
invarian yang diberikan oleh:
2 =
(1.31)
18
(1.32)
= , ,
(1.33)
(1.34)
Gambar 1.2
(a)
(b)
Gambar (a): Pergeseran paralel suatu vektor pada permukaan bola
dari titik X ke titik Y dapat dilakukan dengan menggeser vektor pada
bidang tangensial X, kemudian memproyeksikannya ke permukaan
bola di titik Y. Gambar (b): Melakukan pergeseran paralel berulangulang sepanjang suatu lintasan mengahasilkan perpindahan paralel.
Perpindahan paralel dari satu titik ke titik lain memberikan hasil
yang berbeda untuk lintasan yang berbeda, seperti pada pemindahan
vektor dari W ke E sepanjang ekuator (hijau) dan pemindahan
vektor dari W ke E melalui N (biru)
(Sumber: http://rqgravity.net/BasicsOfCurvature)
Sunkar E. Gautama | Pengantar Kosmologi
19
Proses proyeksi terdiri atas pemecahan vektor menjadi dua bagian, bagian
tangensial dan bagian normal, dan membuang bagian normal. Jadi
= ( ) + ( )
(1.35)
(1.36)
(1.37)
, = ,
, + , ,
= , , + , , ,
(1.38)
Karena kita dapat memindahkan indeks secara bebas ke atas atau ke bawah, pada
perhitungan kekonstanan . Pertukaran dan dalam (1.38) kita memperoleh
, = , , + , ,
(1.39)
(1.40)
Sekarang ambil (1.38) + (1.40) (1.39) dan bagi dengan 2. Hasilnya adalah
1
2
, + , , = , ,
(1.41)
Ajukan
=
1
2
, + , ,
(1.42)
Ini disebut simbol Christoffel jenis pertama. Simbol ini simetri antara dua indeks
pertama. Simbol ini adalah non tensor. Konsekuensi sederhana (7.5) adalah
+ = ,
(1.43)
(1.44)
21
= + + ,
= + + ,
= + + ,
= , + ,
Sekarang , + , =
(1.45)
memperoleh
, =
(1.46)
, = ,
dan juga pernyataan (1.45) lenyap. Jadi panjang vektor adalah konstan. Secara khusus,
vektor nol (yakni, panjang vektor nol) tetap vektor nol dalam pergeseran paralel.
Kekonstanan panjang vektor juga terjadi dari alasan geometri. Ketika kita
memecah vektor ke dalam bagian tangensial dan bagian normal menurut (1.35),
bagian normal infinitesimal dan tegak lurus bagian tangensial. Ini terjadi, terhadap orde
pertama, panjang vektor seluruhnya sama dengan bagian tangensialnya.
Kekonstanan panjang sembarang vektor menghendaki kekonstanan perkalian
skalar dari sembarang dua vektor dan . Ini dapat disimpulkan dari
kekonstanan panjang + untuk sembarang nilai parameter .
Seringkali bermanfaat untuk menaikkan indeks pertama dari simbol Christoffel
sehingga membentuk
= =
22
1
2
, + , ,
(1.47)
Kuantitas (1.47) disebut simbol Christoffel jenis kedua. Simbol ini simetri antara dua
indeks dibawahnya. Formula (1.44) dapat ditulis ulang
= =
(1.48)
Ini formula standar merujuk komponen kovarian. Untuk vektor kedua kita memiliki
( ) = 0
= =
(1.49)
1.3.3.
Persamaan Geodesik
Sekarang kita melaju ke persamaan geodesik. Perpindahan infinitesimal suatu
titik dalam ruang dapat dinyatakan sebagai integral dari elemen garis. Berdasarkan
prinsip aksi,
=0
(1.50)
1/2
=0
1/2
dituliskan sebagai
23
= + ( /) ( /) = + ( / )
Mengingat = () , maka
( / )
= +
( / )
( / )
= 0
Karena dapat bernilai berapa saja, maka suku-suku dalam tanda kurung haruslah
bernilai nol.
( / )
=0
1
2
1/2
( / )
( / )
1/2
dan
( / )
, dengan
= , diperoleh hubungan
1
2
1/2
(1.51)
1
2
2
2
2
2
+2 2
1
+2
2
2
=0
=0
=0
(1.52)
= =
1
2
maka persamaan (1.52) dapat ditulis kembali ke dalam bentuk yang lebih ringkas
2
2
2
2
=0
=0
(1.53)
1.3.4.
Turunan Kovarian
Dari definisi simbol Christoffel jenis pertama, dapat kita tuliskan pasangannya
dalam kerangka .
1
2
1
2
= 2
1
2
(1.54)
Dari suku-suku dalam kurung pertama ruas kanan dapat dituliskan sebagai
1
2
= 2
25
Nampak bahwa suku kedua dan keenam saling meniadakan, demikian pula suku
keempat dan kelima sehingga menyisakan suku pertama dan kedua. Akhirnya kita
peroleh
=
Dengan
mengalikan
persamaan
dengan ,
(1.55)
(1.55)
dapat
diperoleh
= =
= +
(1.56)
Dari persamaan (1.55) dan (1.56) dapat dilihat bahwa kedua simbol Christoffel tidak
memenuhi transformasi tensor, oleh karena itu keduanya bukan merupakan tensor.
Sekarang kita akan membahas turunan suatu tensor. Dengan memisalkan suatu
vektor/tensor kontravarian ,
=
Jika kita turunkan terhadap koordinat , diperoleh
= +
(1.57)
Nampak bahwa turunan parsial biasa tidak kovarian terhadap perubahan koordinat.
Untuk itu diperkenalkan turunan kovarian. Menulis kembali persamaan (1.57),
= +
26
+ =
(1.58)
Dengan mendefinisikan 3
(1.59)
= +
(1.60)
Dan pasangannya
=
Pernyataan (1.59) dan (1.60) didefinisikan sebagai turunan kovarian tensor
kontravarian
; =
(1.61)
Dengan cara serupa, dapat ditelusuri turunan kovarian tensor kovarian, yang
memberikan hasil
; =
(1.62)
; = ( ); =
+ + +
27
= ( ); = ( ) + +
; =
+ +
(1.63)
= +
; =
(1.64)
Untuk tensor rank-3 dan seterusnya dapat diperoleh dengan cara serupa.
Satu relasi penting yang dapat ditandai ialah turunan kovarian dari tensor
metrik sama dengan nol,
; =
; =
+
+
2
2
1
2
; = 2 + 2 +
; =
1
2
; = 2 2 = 0
Hal yang sama berlaku pula untuk tensor metrik kontravarian,
; = ; = 0
Adapun pembuktiannya ditinggalkan sebagai latihan.
28
(1.65)
1.3.5.
; =
; ; ;
+
+
+
(1.66)
;; =
+
+
+
;; ;; =
(1.67)
diperoleh
=
+
+
(1.68)
Yang dikenal sebagai tensor Riemann-Christoffel. Penting pula dituliskan kontraksi dari
=
=
(1.69)
Dari sifat simetri indeks bawah simbol Christoffel, dapat dibuktikan bahwa tensor Ricci
juga bersifat simetri,
=
Dengan meninjau persamaan (1.67), (1.68), dan sifat simetri simbol Christoffel
dapat ditandai beberapa sifat yang dipenuhi oleh tensor Riemann-Christoffel yaitu:
29
+
=0
+
+
=0
3) Identitas Bianchi:
; + ; + ; = 0
(1.70)
Penelusuran identitas Bianchi tidak akan dijabarkan pada buku ini, tetapi dapat dengan
mudah Anda temui dalam buku-buku standar teori relativitas. Dari identitas Bianchi,
kita lakukan kontraksi serta mengingat sifat (2), diperoleh:
; + ; + ; = ; ; ; = 0
; ;
; = 0
; ; ;
= ; 2; = 0
1
2
=0
dengan
1
= 2
=
(1.71)
Di mana dikenal sebagai tensor Einstein dan adalah skalar Ricci atau skalar
kurvatur. Sajian di atas dapat pula dinyatakan dalam bentuk kovarian dengan
menggunakan jalinan = , sehingga diperoleh
1
= 2
=
30
(1.72)
1.3.6.
Tensor Stres-Energi-Momentum
Berdasarkan teori relativitas umum, karakteristik (properti) ruang-waktu
Gambar 1.3
Komponen dari adalah fluks atau aliran dari komponen dari momentum-4
yang memotong permukaan . Seperti halnya tensor Ricci, tensor stres-energimomentum ini bersifat simetris, = .
Dalam kosmologi, alam semesta secara makro dipandang sebagai fluida ideal.
Fluida ideal adalah fluida tanpa viskositas dan tidak ada konduksi panas. Fluida yang
dimaksud di sini tidak hanya mencakup zat cair dan gas, namun juga radiasi dan energi
vakum. Dengan menuliskan kecepatan cahaya secara eksplisit, tensor stres-energimomentum untuk fluida ideal ialah:
= ( + / 2 )
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
0
0
(1.73)
(1.74)
31
1.4.
menggambarkan interaksi gravitasi dengan baik yaitu teori gravitasi Newton. Dalam
teori gravitasi Newton, gaya tarik-menarik antara dua massa ialah
= (2 ) =
1 2
(1.75)
(1.76)
1
2
32
Dengan dan adalah tensor metrik dalam bentuk kovarian dan kontravarian
yang tidak lain adalah sajian elemen garis dalam bentuk tensor. Adapun generalisasi
relativistik dari kerapatan materi-energi dari relativitas khusus dirangkumkan dalam
tensor stres-energi-momentum, .
Einstein mencoba merumuskan jalinan antara geometri suatu ruang akibat
kontribusi materi di dalamnya. Di sisi lain, di dalam ruang Riemann tensor metrik
memainkan peran penting dalam potensial gravitasi. Karena itu, generalisasi relativistik
harus mengandung tensor energi momentum. Ruas kiri persamaan (1.76) menuntun
kehadiran tensor metrik dengan sifat [Purwanto, 2009]:
i) Tanpa turunan yang lebih dari orde dua
ii) Harus linier dalam turunan kedua
Persyaratan tersebut dipenuhi oleh tensor Einstein. Karena itu dipostulatkan
=
1
2
(1.77)
1
2
= = = =
(1.78)
= + 2 = 2
(1.79)
Selanjutnya adalah mengetahui nilai dari tetapan . Untuk itu ditinjau gerak partikel
melalui persamaan geodesik [Purwanto, 2009],
2
2
=0
(1.80)
(1.81)
= 00
= 2 00
33
2) Di dalam limit medan gravitasi lemah, kelengkungan ruang sangat kecil sehingga
dapat didekati dengan metrik ruang datar (metrik Minkowski) dengan suku koreksi
.
= +
(1.82)
(1.83)
00 = (0 0 + 0 0 00 ) = 00
2
2
Karena turunan ke-0 lenyap, maka
1
2
1
2
00 00 = 00 = 00
2
2
2
00
2
(1.84)
Memberikan;
00 = 2/ 2
(1.85)
00 = 00 2 00 = 2 2
Di sisi lain,
34
(1.86)
00 = 0 0
+
00 0
0 = 00
= 2 00
1
2
00 = 2 00
(1.87)
2 = 2 4
(1.88)
Dalam limit medan lemah persamaan medan Einstein haruslah tereduksi menjadi
persamaan (1.76) sehingga
1
4 = 2 4
=
8
2,073 1044 c. g. s
4
(1.89)
Di sini, kecepatan cahaya ditampilkan secara eksplisit. Persamaan (1.89) juga dapat
dimodifikasi dengan menambahkan suatu konstanta kosmologi yang tidak merubah
sifat linearnya sebagaimana postulat (ii) [Anugraha, 2005]:
=
= 2 =
(1.90)
35
1.5.
Integral Hilbert
Dalam mekanika klasik telah kita pelajari bahwa besaran aksi tidak lain ialah
(1.91)
;
3
maka
3 =
(1.92)
= 16 = 2
(1.93)
(1.94)
4 =
36
2 = 2 ( )
+ ( ) + ( )
+ ( ) +
4 (1.95)
Langkah berikut adalah untuk mencari pada suku pertama persamaan di atas.
Variasi pada tensor Ricci:
=
+
=
+
+
( )
=
(
)
Dikalikan
=
(
)
=
( )
(
+ ( )
Sebagaimana diketahui turunan kovarian dari suatu metrik adalah sama dengan
)
=
(
Kontraksi simbol = pada suku pertama dan = pada suku kedua sehingga
persamaan di atas menjadi
=
=
Hubungan di atas didefinisikan sebagai suatu divergensi kovarian dari suatu vektor
kontravarian. Dapat ditunjukkan sifat turunan kovarian
1
= =
( )
(1.96)
4 =
0 3
37
0 0 3 +
0 3
(1.97)
Karena 0 adalah konstanta maka suku pertama menjadi lenyap begitupun suku kedua
yang merupakan integral volume empat dari divergensi suatu vektor yang kemudian
berubah menjadi integral permukaan (variasinya adalah nol).
=
=
0 3 =
3 =
Sehingga dapat disimpulkan bahwa suku pertama ini tidaklah memberi kontribusi.
Kemudian tersisa suku kedua dan ketiga dari persamaan (1.95) tersebut:
4 =
( ) 4 +
(1.98)
= 2
(1.99)
4 =
( ) 4 +
=
=
1
2
4
4
(1.100)
Kemudian tinjau suku Lagrangian materi, mengingat Lagrangian adalah fungsi posisi
( )
( )
( )
( )
( )
( )
38
( )
( )
( ) =
( )
( )
( )
( )
( )
( )
+
+
( )
( )
( )
( ) (1.101)
Mengacu pada prinsip Hamilton untuk variasi, maka suku terakhir dari integrasi
persamaan di atas lenyap.
( )
4 =
( )
(1.102)
0=
0=
1
2
2
4
( )
( )
( )
( )
( )
( )
(1.103)
( )
( )
( )
=0
( )
(1.104)
39
( )
( )
(1.105)
Dari teorema Stokes, integral volume-4 dari divergensi vektor dapat diubah
menjadi integral permukaan pada batas permukaan tak berhingga dan variasi pada
permukaan tak berhingga tadi sama dengan nol. Memperhatikan persamaan (1.102)
dan (1.105), diperoleh perumusan
=
(1.106)
kerapatan baryon. Adapun penurunannya tak akan dijabarkan di sini, namun dapat
Anda temukan pada buku-buku teori relativitas umum standar.
1.6.
Metrik Friedmann-Robertson-Walker
1.6.1.
Geometri bola-hiper
Dipilih suatu koordinat-4 = ( 0 , 1 , 2 , 3 ) dalam ruang-4 Euclidesan, maka
(1.107)
(1.108)
1 1 + 2 2 + 3 3
(1.109)
3
=1
2
=1
( 4 )2
(1.110)
Persamaan (1.110) adalah bentuk umum dari elemen garis pada permukaan bola-4. Jika
ruang
Euclidesan
tadi
dinyatakan
dalam
koordinat
polar (, , ) dengan
mendefinisikan
= ( 1 )2 + ( 2 )2 + ( 3 )2
1/2
2 = sin sin ;
3 = cos
Dan hubungan
2 = 2 + ( 4 )2
Sehingga didapatkan
3
=1
= 2 + 2 ( 2 + sin2 2 ) dan 4 =
2 2
Untuk membedakan definisi sehari-hari dari ruang (geometri tiga dimensi) dengan generalisasi
matematisnya (sembarang geometri berdimensi ), maka ruang tiga dimensi selalu dituliskan ruang3, sedangkan ruang pada buku ini merujuk pada definisi matematis yang lebih umum.
41
2 2
2 = 2 + 2 ( 2 + sin2 2 ) + 2 2
2 =
2 2 + 2 2
2 2
+ 2 ( 2 + sin2 2 )
2 = 1(/)2 + 2 ( 2 + sin2 2 )
Dengan mendefinisikan sudut busur , yang memiliki hubungan
=
(1.111)
2
1 2
+ 2 ( 2 + sin2 2 )
(1.112)
2
1+ 2
+ 2 ( 2 + sin2 2 )
(1.113)
(1.114)
Elemen garis (1.112), (1.113), dan (1.114) selanjutnya dapat dikompakkan ke dalam
bentuk
2 = 2
2
1 2
+ 2 ( 2 + sin2 2 )
(1.115)
42
+1 lengkung positif
0 datar
1 lengkung negatif
(1.116)
1.6.2.
Metrik Friedmann-Robertson-Walker
Karakteristik suatu ruang terkandung secara lengkap dalam metrik; untuk dapat
memerikan suatu ruang maka perlu diketahui metriknya. Jika kita ingin meninjau alam
semesta secara keseluruhan, maka kita memerlukan metrik ruang-waktu secara global.
Hal ini dipenuhi oleh metrik Friedmann-Robertson-Walker, yang mana dibangun atas
dua asumsi berikut:
1. Adanya waktu kosmik, 0 dalam koordinat Gauss, yaitu koordinat yang ikut
bergerak bersama pengamat.
2. Alam semesta secara makroskopis dipandang bersifat seragam (homogen) dan
nampak sama ke segala arah (isotropik) secara spasial.
Dari pembahasan pada Upabab 1.3, metrik alam semesta juga dapat ditulis ke
dalam bentuk
2 =
Sebagaimana dijabarkan pada Upa-upabab 1.2.2, hubungan ruang dan waktu dalam
relativitas khusus antara sembarang pengamat A dan B dalam ruang yang homogen dan
isotropik memenuhi jalinan
2 2 2 = 2 2 2
(1.117)
43
2 2 2 = 2 2 2
2
1 2
+ 2 ( 2 + sin2 2 )
(1.118)
Soal-soal:
1. Diberikan ruang Euklidesan dengan koordinat bola, = , , . Carilah simbol
Christoffel jenis kedua-nya yang tidak nol!
2 = 2 2 (1 2
/4)2
2 + 2 2 + 2 sin2 2
(,)
0
0
0
0
(,)
0
0
0
0
2
0
0
0
0
2
sin2
Dengan (, ) dan (, ) adalah suatu fungsi yang mendeskripsikan bentuk ruangwaktu yang tidak bergantung terhadap dan (syarat simetri bola).
a) Carilah komponen diagonal tensor Ricci dan skalar Ricci dari metrik di atas!
b) Dengan menggunakan persamaan medan Einstein (1.72), carilah komponen
diagonal dari tensor Einstein, .
44
BAB 2
2.1.
Hukum Hubble
Pada tahun 1929, Edwin Hubble mengamati pergeseran spektrum berbagai
(2.1)
Dengan adalah kecepatan menjauh galaksi terhadap pengamat, adalah jarak galaksi
dari pengamat, dan adalah suatu parameter yang sama nilainya untuk setiap galaksi
yang dikenal sebagai parameter Hubble. Adapun galaksi-galaksi lokal memperlihatkan
variasi kecepatan yang tidak sesuai dengan persamaan (2.1), malah beberapa di
antaranya menunjukkan pergeseran biru (blueshift).
Hubble menyimpulkan bahwa kecepatan menjauh galaksi yang linear terhadap
jaraknya itu bukan disebabkan karena pergerakan galaksi itu dalam ruang, melainkan
karena alam semesta sendiri yang mengembang secara seragam, sedangkan gerak diri
(peculiar motion) dari galaksi itulah yang menyebabkan ketidaksesuaian dari fungsi
linear pada galaksi-galaksi lokal. Gerak diri dari masing-masing galaksi ini diakibatkan
oleh interaksi gravitasi antar galaksi dalam suatu gugus yang bersifat acak dan ordenya
sekitar ratusan hingga beberapa ribu kilometer per detik. Hal ini dapat digambarkan
seperti sekelompok angsa yang terbang dalam formasi, terdapat juga gerak antara
angsa satu dan angsa lain, seperti inilah kecepatan acak itu. Namun, pada jarak yang
jauh (lebih dari 10 Mpc) kecepatan radial akibat ekspansi alam semesta menjadi
45
sedemikian besar sehingga kecepatan acak ini dapat diabaikan, menghasilkan rasio
antara kecepatan terhadap jarak yang semakin linear. Penjelasan lebih lanjut mengenai
kesimpulan ini dijelaskan pada Upa-upabab 2.1.1.
2.1.1.
kita menerapkan suatu sistem koordinat yang melekat pada ruang. Akibat
pengembangan ruang, jarak satuan dari koordinat tadi membesar seiring dengan waktu.
Agar lebih jelas, perhatikan ilustrasi ruang satu dimensi yang berekspansi berikut.
R
-3
R
-2
R
-1
R
0
A
R
1
R
2
B
B1
R0
B0
R1
0 ; =
dp0
dp1
A0
Gambar 2.1
A1
Sistem koordinat yang melekat dan ikut mengembang bersama ruang dikenal
sebagai kerangka bergerak bersama (comoving frame). Jarak satuan antara dua titik
pada kerangka bergerak bersama disebut sebagai koordinat bergerak (comoving
coordinat), . Pada kerangka bergerak bersama suatu ruang yang berekspansi seragam,
jarak fisis suatu titik dari suatu titik acuan diberikan oleh:
= ()
(2.2)
Jarak sebenarnya antara dua titik ini, disebut jarak sejati (proper distance).
Jadi, merupakan jarak satuan nirdimensi dan merupakan besar/skala satuannya,
46
yang mana merupakan fungsi waktu. Koordinat bergerak antara dua titik dalam ruang
yang tidak berubah karena pengembangan, dapat dianalogikan sebagai papan Go atau
papan catur yang mengembang seragam sehingga ukuran petak-petak papan pun
bertambah secara seragam. Bagaimanapun mengembang atau mengerutnya papan
catur, bidak di petak D4 selalu berjarak tiga petak dari bidak di petak D1 dengan arah
yang tetap. Jarak antar bidak yang dinyatakan dalam satuan petak inilah analogi dari
koordinat bergerak, sedangkan jarak antar bidak dalam satuan sentimeter (atau
sejenisnya) adalah jarak sejati ( )5 yang besarnya berubah dari waktu ke waktu yakni
koordinat bergerak dikalikan dengan skala pengembangan papan. Dengan demikian
dapat dituliskan
=
( )
()
(2.3)
( )
0 + 0
(2.4)
Penting untuk dicatat, jarak sejati ( ) dalam kosmologi tidak sama definisinya dengan proper
length ()dalam teori relativitas umum.
6
Asumsikan balon berbentuk bola sempurna.
47
(2.4)
Karena hanya bergantung waktu, maka jelas nilai parameter juga bergantung waktu
dan tidak bergantung terhadap ruang (sama nilainya di setiap tempat di alam semesta).
Tentunya jika kita mengamati pergeseran noktah tadi dalam selang waktu yang cukup
kecil, , maka variasi nilai dalam selang pengukuran dapat diabaikan sehingga
persamaan (2.1) dan (2.4) memberikan hubungan linear antara kecepatan menjauh dan
jarak hukum yang sama dengan yang diamati pada galaksi-galaksi jauh.
Dari penjabaran di atas, dapat kita simpulkan bahwa mekanisme ruang yang
mengembang secara seragam dapat menjelaskan pergerakan galaksi-galaksi jauh
sehingga sangat mungkin alam semesta memenuhi mekanisme yang serupa. Alam
semesta dapat kita pandang sebagai permukaan-hiper dengan skala yang membesar
seiring waktu. Dalam literatur kosmologi, besaran-besaran alam semesta pada saat ini
sering dinotasikan dengan indeks bawah 0, sehingga skala alam semesta saat ini ialah
0 , parameter Hubble saat ini 0 , usia alam semesta saat ini 0 , dan sebagainya. Sering
pula skala alam semesta dinormalisasi terhadap skala alam semesta saat ini, yang
dikenal sebagai faktor skala, .
() =
()
0
(2.5)
48
Pendalaman Konsep
Agar dapat lebih memahami konsep ruang yang berekspansi, dapat digunakan
contoh kasus berikut ini. Misalkan ada seekor semut yang berada pada salah satu ujung
karet sepanjang 0 dan bergerak menuju ujung lainnya dengan kecepatan konstan .
Ternyata karet itupun ditarik oleh seorang anak iseng dengan kelajuan konstan
dimulai tepat pada saat semut mulai bergerak. Jika > , dapatkah si semut sampai ke
ujung satunya lagi?
Jika dilihat sekilas, nampak bahwa si semut tidak akan sampai ke ujung karet
semenjak kecepatan karet memanjang lebih besar daripada kecepatan bergerak semut.
Namun jika kita simak lebih teliti, semut bergerak relatif terhadap karet sehingga
kecepatan memanjang karet juga berkontribusi terhadap kecepatan semut dengan rasio
panjang karet di belakang semut berbanding total panjang karet. Katakanlah semut dan
karet mulai bergerak pada saat = 0, kecepatan semut bergerak terhadap titik referensi
(ujung pertama karet) ialah kecepatan dirinya sendiri ditambah fraksi dari kecepatan
pemekaran karet, yakni:
=+
0 +
Dengan = () adalah lintasan yang telah ditempuh semut diukur dari titik
dan () = 0 + adalah panjang karet pada waktu . Persamaan diferensial di atas
dapat diselesaikan dengan pemisahan () = ()() sehingga
+ =
+
0 +
1
() = ()() = 0 +
ln 0 + +
() =
()
( )
ln
ln
( )
= ( )
0
() = / = 7,39 m
Yang terjadi pada saat = (( ) 0 )/ = 319,5 detik.
Sunkar E. Gautama | Pengantar Kosmologi
49
2.1.2.
Pergeseran Merah
Pengukuran kecepatan dalam arah radial (arah garis pandang) dapat diukur
dengan mengukur pergeseran panjang gelombang yang dipancarkan oleh suatu sumber.
Pergeseran merah galaksi jauh disebabkan oleh panjang gelombang yang tertarik
bersama dengan pengembangan ruang, bukan akibat efek Doppler (pergerakan sumber
dalam ruang). Misalkan sebuah galaksi jauh memancarkan foton dengan panjang
gelombang dan frekuensi pada saat . Jika ruang tidak mengembang, maka panjang
gelombang foton tadi akan menempuh jarak = /. Namun, jika ruang mengembang
dengan kelajuan dari pengamat, maka panjang gelombang yang nampak bagi
pengamat saat 0 sebesar =
+
.
(2.6)
= 1
(2.7)
0
0
= ()
= ()
(2.8)
Dari persamaan (2.8), diperoleh jalinan antara pergeseran merah dan faktor skala
0
= ()
1 = 1 1
(2.9)
Skala untuk sembarang nilai dapat diperoleh dengan ekspansi deret Taylor
dengan pemotongan hingga orde kedua.
7
Karena efek pergeseran merah ini akibat pengembangan ruang, bukan efek Doppler, maka sebesar
apapun kecepatan menjauh galaksi, pergeseran merahnya memenuhi persamaan (2.6) dan (2.7),
bukan persamaan efek Doppler relativistik.
50
() 0 0 (0 ) +
0
(0
2
)2
(2.10)
Dengan aksen dot menandai turunan terhadap waktu. Penting untuk diingat bahwa
operasi diferensial mendahului indeks, jadi 0 =
= 0
dan bukan
0
.
Jika laju
pengembangan = konstan, maka suku orde dua dan seterusnya bernilai nol. Tentunya
laju pengembangan tidaklah konstan, maka di sini suku orde dua diperhitungkan
sedangkan suku orde tiga dan seterusnya dapat kita abaikan. Membagi persamaan
(2.10) dengan 0 , diperoleh:
1
() 1 0 (0 ) + 2 0 (0 )2
(2.11)
(2.12)
() 1 0 (0 ) 2 0 02 (0 )2
2.2.
Formulasi Ruang-Waktu
2.2.1.
Ruang Hiper
(2.13)
Pada Bab I telah dibahas mengenai ruang hiper dan metrik FriedmannRobertson-Walker. Di upabab ini akan dibahas sedikit konsep mengenai ruang hiper.
Pertama-tama kita mulai dengan garis/kurva. Garis adalah objek satu dimensi (1 ),
ukuran yang dipunyai hanya satu: panjang. Namun garis dapat saja lurus ataupun
melengkung, dan garis lengkung hanya dapat digambarkan pada bidang (2 ) atau
ruang-3 ( 3 ). Demikian pula dengan bidang, bidang datar dapat dibuat atau
digambarkan di atas bidang lain, namun bidang lengkung seperti permukaan bola atau
permukaan pelana tak dapat termuat di atas selembar kertas, permukaan bola hanya
bisa eksis pada ruang tiga dimensi atau lebih.
51
Gambar 2.2
Terdapat aturan geometri yang berbeda untuk ruang datar, ruang lengkung
positif (seperti permukaan bola), dan ruang lengkung negatif (seperti permukaan
pelana), yang untuk 2 dirangkumkan dalam tabel berikut.
Tabel 2.1:
Perihal
Garis sejajar
Perbandingan
keliling lingkaran
dan diameternya
Jumlah sudut
pada segitiga
Aturan sinus
Ruang datar
Tidak dapat
berpotongan
Ruang lengkung
positif
Dapat berpotongan
Ruang lengkung
negatif
Tidak dapat
berpotongan
<
>
>
<
=
=
sin sin sin
Nampak jelas bahwa terdapat karakteristik geometri yang berbeda untuk ruang
datar dan lengkung. Untuk mengantisipasi kelengkungan alam semesta, maka perlu
digunakan set geometri yang memuat ketiga kemungkinan kelengkungan ruang tadi.
Nah, semenjak ruang dari alam semesta sendiri berdimensi tiga, maka jika alam
semesta melengkung ia hanya bisa eksis dalam dimensi empat, lima atau lebih. Untuk
hal itulah digunakan ruang hiper dalam memodelkan alam semesta. Tentunya jika
perkara dapat dimodelkan dengan menggunakan empat dimensi maka tak perlu
menggunakan dimensi yang lebih besar.
52
2.2.2.
seragam. Agar metrik (1.118) dapat diterapkan pada alam semesta, maka metrik itu
haruslah memuat skala yang merupakan fungsi waktu, ().
2 2 = 2 = 2 2 2 ()
2
1 2
+ 2 2 + 2 sin2 2
(2.14)
2 = 1 2
(2.15)
() =
sinh
jika = 1
jika = 0
jika = 1
(2.16)
Perhatikan bahwa dalam ruang datar = . Elemen garis dapat ditulis kembali
menjadi
2 = 2 2 2 () 2 + 2 ()( 2 + sin2 2 )
(2.17)
Misalkan kita memilih suatu titik dalam ruang hiper sebagai titik referensi dan seberkas
cahaya dipancarkan oleh benda langit titik itu pada saat 1 . Karena cahaya merambat
lurus, maka pemlihan ini membolehkan kita mengambil = = 0.
0 = 2 2 2 () 2
Lintasan yang ditempuh oleh cahaya dalam ruang pada saat 2 1 dalam koordinat
bergerak ialah
53
2
1 ()
(2.18)
Dengan integran
2
1 ()
(2.19)
dan
= 0
(2.20)
Dengan demikian, jarak bergerak antara benda langit juga tidak berubah akibat
pengembangan ruang, tetapi hanya berubah jika objek itu sendiri bergerak dalam
koordinat ruang-waktu.
Jarak sejati (proper distance) didefinisikan sebagai jarak fisis antara dua titik di
alam semesta pada usia yang sama.
() = ()
2
1 ()
= ()
(2.21)
Jarak sejati memiliki definisi yang sama dengan pengertian jarak yang umum. Oleh
karena itu, jarak sejati dikenal juga sebagai jarak fisis (physical distance). Dari
persamaan (2.20) dan (2.21) diperoleh bahwa jarak bergerak dan jarak sejati antara
dua objek bernilai sama untuk saat ini. Namun, untuk 0 , keduanya memiliki nilai
yang berbeda.
Metrik FRW sering pula dituliskan dengan menggunakan faktor skala,
() = ()/0 , sehingga kita dapat menyatakan besaran-besaran alam semesta relatif
terhadap nilai besaran itu saat ini. Dengan demikian, metrik FRW dapat ditulis ulang
sebagai
2 2 = 2 = 2 2 2 ()
2
1 2
+ 2 2 + 2 sin2 2
(2.22)
Untuk menyingkat penulisan, sering pula digunakan notasi 2 sebagai elemen sudut
ruang, 2 = 2 + sin2 2 .
54
Dalam berbagai literatur, ada empat macam variasi yang umum penulisan
metrik Friedmann-Robertson-Walker yang dirangkumkan sebagai berikut.
1. Reduced Circumference Polar Coordinates
Metrik FRW menggunakan reduced circumference polar coordinates ini umumnya
digunakan jika menurunkan metrik FRW dari persamaan medan Einstein.
a) () berdimensi panjang (skala) dan koordinat 1 = nirdimensi
2 = 2 2 2 ()
2
1 2
+ 2 2
()
,
0
2
1 2
+ 2 2
2. Hyperspherical Coordinates
Metrik FRW menggunakan hyperspherical hoordinates umumnya digunakan jika
menurunkan metrik FRW dari elemen garis bola-hiper.
c) () berdimensi panjang (skala) dan 1 = koordinat sudut nirdimensi
(koordinat bergerak).
2 = 2 2 2 () 2 + 2 ()2
2
0 () =
1 () = sinh
2 =
2
1 2 /02
= 02 2 . Adapun ()
(0) () =
(1) () = 0 sinh
55
Agar lebih jelas, barbagai jenis koordinat ruang dan waktu yang sering
digunakan berikut definisinya dicantumkan dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.2:
proper length
comoving
coordinate
comoving
distance
Temporal
2 2 2 ( )2
=
= 0 ; = 0
() = () = ()
proper distance
proper time
conformal time
cosmic time
( )
Penting untuk diingat bahwa tiap literatur dapat saja memberikan penyimbolan
yang berbeda, biasanya dan diberikan notasi yang sama, . Begitu pula dan
mungkin sama-sama diberi notasi . Jika notasinya ditulis sama, perlu diperhatikan
koordinat-koordinat tadi berpasangan dengan () ataukah (). Namun, meskipun
notasi () dalam sebagian besar literatur memiliki definisi () =
()
,
0
beberapa
= 1
1 2
2 2
2 2 sin2
(2.23)
= 1
1 2
2 2
2 2 sin2
Dengan = (, , , ).
56
(2.24)
2.3.
2.3.1.
Kerucut Cahaya
Perhatikanlah saat Anda melempar sebuah kerikil ke atas permukaan air. Saat
kerikil menyentuh permukaan air, timbullah suatu muka gelombang, lalu beberapa saat
kemudian muncul lagi gelombang baru dan demikian seterusnya sehingga seolah-olah
titik jatuhnya batu itu menjadi pabrik yang memproduksi gelombang-gelombang
dengan periode tetap. Kurang lebih gambarnya seperti di bawah ini.
Gambar 2.3
Jika titik jatuhnya batu di = dan seekor ikan megap-megap mencari udara di
titik = (kita kesampingkan sumbu y dan z dengan asumsi kedua titik berada di nilai
y dan z yang tepat sama). Jika saat kerikil menyentuh permukaan air kita beri nilai t = 0,
maka gelombangnya baru akan diterima oleh ikan saat t = 3 detik. Jadi informasi
mengenai jatuhnya batu datangnya terlambat dari peristiwa sebenarnya. Seandainya si
ikan buta (hanya dapat menerima rangsang melalui indera peraba), maka saat ikan
menyadari Wah, ada batu yang jatuh nih sebenarnya ia menerima isyarat dari
peristiwa masa lalu (tiga detik yang lalu).
Nah, demikian pula dengan isyarat cahaya. Cahaya dari Matahari memerlukan
waktu sekitar delapan menit untuk sampai ke Bumi. Artinya foton yang kita terima ialah
foton yang dipancarkan Matahari delapan menit yang lalu sehingga Matahari yang kita
lihat ini ialah Matahari delapan menit yang lalu. Kalau seandainya Matahari tiba-tiba
Sunkar E. Gautama | Pengantar Kosmologi
57
meledak, maka kita baru akan menyadarinya delapan menit kemudian. Bahkan,
andaikata Matahari tiba-tiba raib (jangan ditanya apa kira-kira penyebabnya), maka
orbit Bumi baru akan terganggu delapan menit kemudian. Ini terjadi karena menurut
TRK, tidak ada isyarat yang bisa melaju lebih cepat daripada kelajuan cahaya (c),
termasuk gravitasi. Demikian pula bila pada suatu saat kita melihat ke langit nampak
Betelgeuse yang berjarak sekitar 427 tahun cahaya meledak sebagai supernova, maka
sebenarnya Betelgeuse telah menjadi supernova 427 tahun yang lalu. Jadi, makin jauh
jarak suatu objek dari pengamat dalam ruang, semakin jauh juga jarak-nya dalam
waktu (masa lampau). Dengan demikian, mustahil mengukur jarak tanpa melibatkan
waktu; yang dapat diukur sebenarnya adalah jarak ruang-waktu.
time-like
space-like
space-like
O =
0
time-like
past light cone
(null-like)
Gambar 2.4
58
=0
Kerucut cahaya untuk ruang dua dimensi dan satu dimensi waktu
dalam koordinat bergerak (, , ). Pengamat berada pada titik O
yang memiliki koordinat (0 , 0,0).
59
cahaya8 yang disebut daerah time-like. Dengan begitu, semua objek yang dapat kita
amati/observasi selalu berada pada (untuk cahaya) atau di dalam kerucut cahaya masa
lampau kita.
Pendalaman Konsep
Untuk lebih memperjelas, berikut ini contoh ilustrasi perjalanan informasi
dalam ruang-waktu dua dimensi waktu.
Pada gambar (a), seorang astronot dalam pesawat luar angkasa yang berada di
dekat Matahari, sambil kepanasan melihat ke arah Bumi. Dengan teleskop super canggih
ia melihat Pak Ari mau memesan kopi di warung kopi. Si astronot belum tahu kopi apa
yang dipesan oleh pak Ari, tetapi Pak Aldy yang duduk di dekat Pak Ari telah
menyaksikan pak Ari menyesap kopinya dengan nikmat. Ini terjadi karena isyarat
cahaya yang membawa informasi kopi-apa-yang-diminum-Pak-Bakir membutuhkan
waktu delapan menit untuk sampai ke astronot yang tengah kepanasan. Jadi informasi
yang keluar dari suatu sumber pasti mengarah ke masa depan.
Perhatikan bila < , maka perpindahan objek dalam ruang lebih kecil daripada perpindahannya
dalam waktu, sehingga lintasan pergerakan objek akan memiliki sudut > 45.
60
Pada gambar (b), seperti yang kita jelaskan sebelumnya, informasi tentang
meledaknya pesawat luar angkasa yang digunakan astronot yang baru ingin balik ke
Bumi sebenarnya sudah terjadi delapan menit yang lalu. Jadi informasi yang diterima
oleh suatu pengamat pastilah berasal dari masa lalu. Garis cahaya pada gambar (b)
menunjukkan alam semesta yang kita lihat (alam semesta teramati) karena semua objek
yang terlihat pasti berada pada garis cahaya masa lalu.
Gambar (c) adalah kerucut cahaya pengamat di Bumi yang merupakan gabungan
Bumi sebagai sumber informasi (gambar (a)) dan Bumi sebagai pengamat (gambar (b))
2.3.2.
astronom dengan mekanisme yang sama sekali berbeda. Perbedaan metode ini
menyebabkan variasi dari definisi jarak yang terukur. Beberapa jenis jarak berbasis
pengukuran itu beserta hubungan diantaranya diberikan pada penjabaran di bawah.
A. Jarak Sejati dan Jarak Bergerak
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jarak sejati didefinisikan sebagai
jarak antara dua titik di alam semesta dalam ruang (pada usia yang sama), bukan jarak
dalam ruang-waktu. Dengan demikian, jika kita mengamati suatu peristiwa di A, maka
jarak sejatinya bukanlah panjang lintasan yang ditempuh cahaya dari A ke pengamat,
melainkan jarak dalam ruang antara pengamat dan lokasi tempat di mana peristiwa tadi
pernah berlangsung. Dari persamaan (2.21) dapat diperoleh jarak sejati antara dua
objek/peristiwa. Selanjutnya, dengan menggunakan persamaan (2.9) dapat diturunkan
jalinan antara jarak sejati dan pergeseran merah.
() = (()1 1)
1
= 1 0 ( 0 ) 2 0 02 ( 0 )2
0 ( 0 ) + 1 + 2 0 02 ( 0 )2
61
0 ( 0 ) 1 + 0 2
(2.25)
Sekarang kita akan merumuskan fungsi jarak sejati terhadap pergeseran merah.
Fungsi terhadap pergeseran merah dipilih karena pergeseran merah suatu benda langit
dapat terukur dengan cukup cermat serta jalinannya yang jelas dan sederhana dengan
faktor skala. Karena kita ingin mencari rumusan jarak berbasis pengukuran dan jarak
yang diukur oleh astronom adalah jarak pada saat ini, maka jelaslah bahwa jarak sejati
pada persamaan di atas ialah jarak sejati saat 0 . Oleh karena itu, jarak sejati dalam
rumusan ini sama saja dengan jarak bergerak, (0 ) = . Untuk memperoleh
jarak sebenarnya sebuah obyek pada pergeseran merah dalam pendekatan di atas,
kita gunakan persamaan (2.21) dengan menyulihkan () = 0 sehingga mendapatkan
= = 0
0
()
0
()
(2.26)
1 + 0 (0 ) = (0 ) 1 + 2 0 (0 )
()
2 (1 + 0 ) 2
(2.27)
B. Jarak Luminositas
Bayangkan sebuah benda langit memancarkan foton ke segala arah dengan daya
atau luminositas . Berdasarkan hukum pancaran, pada jarak luminositas (luminosity
distance) dari benda tadi, kita hanya dapat menerima sebagian saja, yakni intensitas
radiasi .
62
= 4 2
(2.28)
Sekarang kita akan mencari dalam fungsi . Jika alam semesta tidak
mengembang dan benda tadi tidak bergerak pada jarak , maka teleskop dengan luas
penampang akan menerima fluks dengan perbandingan sebesar /42 dari total
daya yang dipancarkan. Tetapi, pada alam semesta yang mengalami pengembangan
dengan faktor skala (), objek tadi tidak diam sehingga energi yang dipancarkan pada
waktu mengalami pergeseran merah dengan faktor (1 + ) = 1 ( ). Selain itu, laju
kedatangan foton mengalami pemuluran waktu dengan faktor (1 + ), yang sering
disebut energy effect. Intensitas yang nampak kemudian diberikan sebagai
=
4 2 (1+)2
(2.29)
()
+ 2 (1 0 ) 2
(2.30)
(2.31)
Adapun magnitudo mutlak dari suatu benda langit didefinisikan sebagai magnitudo
benda tadi jika diletakkan pada jarak 10 parsek. Dari definisi ini, persamaan (2.29)
tersaji dalam bentuk
= 5 + 5 log( )
(2.32)
Dengan dinyatakan dalam satuan parsek (pc), yakni sekitar 206.265 satuan
astronomi atau 3,26 tahun cahaya. Kuantitas ini, karena memberikan petunjuk
langsung mengenai jarak benda, sering disebut sebagai modulus jarak.
63
C. Jarak Paralaks
Jarak ke bintang yang relatif dekat dapat diukur dengan menggunakan paralaks
trigonometri hingga jarak 30 parsek. Ini adalah perbedaan pada posisi sudut dari
bintang jika dilihat dari bumi ketika berada pada titik yang berlawanan orbitnya (selisih
setengah periode).
1/
(2.33)
Dengan adalah sudut paralaks yang dinyatakan dalam detik busur dan jarak
paralaks (parallax distance) dalam satuan parsek. Jarak paralaks memenuhi jalinan
=
(2.34)
1 2
A = = = 1+
0
(2.35)
Persamaan (2.35) hanya memenuhi jika alam semesta datar. Jarak diameter
sudut untuk sembarang nilai diberikan dalam persamaan berikut:
A = = = ( /0 )
64
(2.36)
Benda langit yang berukuran kecil jika berada pada nilai yang besar (terjadi
pada masa awal alam semesta) akan menempati bidang langit yang sangat luas.
k=0
k=+
k = -1
k = -1
Gambar 2.5
2x
Ilustrasi lintasan berkas cahaya dalam ruang datar dan lengkung. jika
benda dengan diameter diletakkan pada jarak mencakup sudut
=0 pada ruang datar, =+1 pada ruang lengkung positif, dan =1
pada ruang lengkung negatif dengan =+1 > =0 > =1 . Pada
ruang datar, benda dengan diameter 2 yang diletakkan pada jarak
2 juga akan mencakup sudut yang sama. Hal ini tidak berlaku jika
ruang memiliki kelengkungan positif, agar nampak dengan sudut
=+1 , benda berdiameter 2 harus diletakkan pada jarak lebih
besar daripada 2. Demikian pula untuk ruang dengan kelengkungan
negatif, benda berdiameter 2 akan terletak pada jarak lebih kecil
daripada 2 agar memiliki diameter sudut =1 .
E. Waktu Runut-balik
Pada Upa-upabab 2.3.1. telah dijelaskan bahwa benda langit yang kita amati
tidak berada pada usia yang sama dengan kita, melainkan lebih muda. Makin jauh
jaraknya (makin besar nilai ) maka makin muda pula usianya. Hal ini memungkinkan
astronom memperoleh gambaran kondisi alam semesta mulai dari masa awal (~105
tahun) hingga saat ini.
Waktu runut-balik (look-back time) didefinisikan sebagai seberapa jauh kita
mundur sepanjang waktu hingga suatu peristiwa yang diamati. Secara matematis,
waktu runut balik tidak lain ialah selisih antara usia alam semesta saat ini dengan usia
dari objek/peristiwa/daerah langit yang diamati, yang mana dapat dinyatakan dalam
fungsi pergeseran merah ().
= 0 ()
Sunkar E. Gautama | Pengantar Kosmologi
(2.37)
65
= (0 )
0
= ( )
Gambar 2.6
2.3.3.
Horizon
Dalam kosmologi, dikenal tiga macam konsep mengenai horizon, yakni Hubble
sphere, horizon partikel, dan horizon peristiwa. Ketiganya berbentuk permukaan bola
dengan radius tertentu dari pengamat, yang disebut jarak Hubble, jarak horizon
partikel, dan jarak horizon peristiwa. Ruang-waktu yang terletak pada jarak lebih kecil
dari jarak horizon dikatakan berada dalam horizon, sebaliknya yang terletak pada jarak
lebih jauh dikatakan berada di luar horizon.
66
( 3 )
()
Sehingga jarak yang ditempuh cahaya dalam selang = 1 dan = 2 pada waktu 3
ialah
1 , 2 (3 ) =
2 ( 3 )
1 ()
= (3 )
2
1 ()
(2.38)
A. Radius Hubble
Menurut hukum Hubble, objek di alam semesta bergerak menjauh dengan
kelajuan = . Jarak dari pengamat di mana objek menjauh dengan kelajuan cahaya
disebut jarak Hubble (Hubble distance) atau radius Hubble,
= =
(2.39)
Jarak Hubble adalah jarak dalam ruang, bukan dalam ruang-waktu. Permukaan
di ruang-tiga yang berjarak dari pengamat disebut bulatan hubble (Hubble sphere),
dengan demikian objek yang berada di luar bulatan Hubble bergerak menjauh dengan
kecepatan yang lebih besar daripada kecepatan cahaya. Oleh karena itu, cahaya dari
objek yang berada di luar bulatan Hubble tidak akan pernah mencapai pengamat
sehingga tak akan bisa dilihat.
Karena kecepatan pengembangan alam semesta tidak konstan, maka objek yang
pada mulanya berada di dalam bulatan Hubble dapat saja menjadi keluar dari bulatan
Sunkar E. Gautama | Pengantar Kosmologi
67
Hubble. Oleh karena itu, objek yang saat ini berada di luar bulatan Hubble, meskipun
bergerak lebih cepat daripada cahaya, belum tentu tak dapat diamati. Suatu benda langit
yang memancarkan cahayanya pada saat , bila pada saat itu ia masih berada di dalam
radius Hubble, maka cahayanya akan tetap merambat ke arah kita sehingga dapat kita
amati meskipun pada saat 0 benda langit itu sudah berada di luar radius Hubble.
Berikut ditinjau fungsi () untuk beberapa model evolusi skala alam semesta.
1) Kasus () = konstan
=
= konstan
()
(2.40)
68
0 0
= 0
Jadi, untuk kasus () = konstan horizon partikel akan membesar berbanding lurus
dengan usia alam semesta dengan kelajuan .
2) Kasus () = 0
= 0
Yang memberikan solusi =
0 0 ( )
= ( 1)
69
pengamatan menunjukkan bahwa alam semesta datar. Hal ini tidak berarti bahwa
topologi alam semesta global ialah ruang datar seperti bola, kubus, atau semacamnya.
Mungkin saja alam semesta global berbentuk bola-hiper (3-sphere), namun jangkauan
alam semesta teramati jauh lebih kecil dibandingkan alam semesta global, maka alam
semesta teramati akan nampak datar-datar saja. Demikian pula halnya dengan jumlah
energi, energi alam semesta teramati hanyalah sebagian dari energi alam semesta
global, dan karena horizon semakin membesar seiring waktu maka energi semakin
bertambah pula seiring pertambahan volume alam semesta teramati. Namun sejauh
alam semesta menunjukkan sifat homogen dan isotropik, maka kerapatan energinya
tidak akan bergantung terhadap perluasan horizon, melainkan hanya kepada
pengembangan ruang saja. Oleh karenanya kuantitas kerapatan energi lebih praktis dan
bermakna dibandingkan dengan jumlah energi.
()
(2.41)
Dua peristiwa yang terjadi pada dua lokasi, A dan B pada waktu yang sama tidak
akan pernah saling mempengaruhi jika jarak di antara keduanya lebih besar daripada
radius horizon peristiwa karena sampai kapan pun cahaya dari lokasi A (yang
merambat ke arah masa depan) tidak akan pernah mencapai lokasi B. Hal ini dapat saja
terjadi pada pengembangan superluminal: meskipun foton memiliki tak hingga waktu,
pengembangan yang lebih cepat daripada kelajuan cahaya membuat lintasan foton
memiliki limit berhingga. Dapat dianalogikan bila horizon partikel seperti batas ke
masa lampau, maka horizon peristiwa dapat dianggap seperti batas ke masa depan.
1) Kasus () = 0
= 0
0 ( )
1
1
ln +
; 1
; =1
Untuk ekspansi eksponensial, jarak horizon peristiwa sama dengan radius Hubble.
Gambar 2.7
71
Soal-soal:
1. Galaksi A berada pada jarak 35 juta tahun cahaya teramati memiliki kecepatan
radial +580 km/s, dan galaksi B yang berada pada jarak 1.100 juta tahun cahaya
memiliki kecepatan radial +25.400 km/s.
a. Hitung parameter Hubble dari masing-masing hasil pengamatan di atas.
b. Manakah di antara dua perhitungan tadi yang memberikan nilai parameter
Hubble lebih akurat?
c. Perkirakan kecepatan pekuliar dari galaksi dekat.
d. Jika dikeahui galaksi jauh memiliki kecepatan pekuliar yang sama dengan
galaksi dekat, hitunglah nilai parameter Hubble yang lebih akurat!
2. Dari definisi (2.31), buktikanlah persamaan modulus jarak (2.32). Buktikan pula
bahwa persamaan (2.32) dapat ditulis dalam bentuk:
= 25 + 5 log( /)
3. Plotlah fungsi pendekatan dari jarak bergerak, jarak luminositas, jarak paralaks dan
jarak diameter sudut terhadap pergeseran merah dalam selang 0 1 .
Selanjutnya interpretasikanlah plot yang Anda peroleh.
72
BAB 3
3.1.
mengajukan model alam semesta statis pada tahun 1915 dengan memperkenalkan
tetapan kosmologi ke dalam persamaan medannya. Pada tahun 1922, seorang kosmolog
berkebangsaan Rusia yang bernama Alexander Friedmann berhasil menurunkan solusi
umum dari persamaan medan Einstein untuk ruang yang homogen dan isotropik, yang
kini dikenal sebagai persamaan Friedmann. Berdasarkan persamaannya itu, Friedmann
menyimpulkan bahwa alam semesta mungkin mengalami pengembangan alih-alih
statik. Sebelumnya pada tahun 1917, seorang astronom Belanda, Willem de Sitter telah
menunjukkan bahwa alam semesta yang vakum, tanpa materi, akan memberikan solusi
dinamis. De Sitter bahkan memprediksi bahwa akibat efek ini, semakin jauh suatu
galaksi maka makin besar pula kecepatan menjauhnya. Kemudian pada tahun 1924,
Edwin Hubble mengamati bahwa nebula spiral seperti Andromeda yang sebelumnya
dianggap sebagai bagian dari Bima Sakti adalah struktur terpisah. Nebula-nebula spiral
itu adalah galaksi tersendiri, merombak pandangan sebelumya yang menyatakan bahwa
keseluruhan alam semesta hanya terdiri dari Bima Sakti. Hubble bahkan berhasil
mengukur pergerakan galaksi-galaksi itu, yang mana menunjukkan galaksi-galaksi jauh
bergerak menjauh dengan kelajuan yang berbanding lurus terhadap jaraknya, persis
seperti prediksi de Sitter.
Berdasarkan penemuan Hubble, pada tahun 1927, seorang kosmolog dan
pendeta asal Belgia yang bernama Georges Lemaitre mengajukan teori alam semesta
yang mengembang. Lemaitre menunjukkan bahwa karena galaksi-galaksi bergerak
saling menjauh akibat pengembangan alam semesta, maka pada masa lampau alam
semesta tentunya lebih kecil dan lebih panas. Jika ditelusuri lebih ke belakang lagi, maka
pada suatu waktu yang berhingga di masa lalu alam semesta berupa singularitas dengan
73
suhu tak hingga yang kemudian meledak keluar menghasilkan alam semesta
mengembang.
Sebelum tahun 1930, sebagian besar fisikawan mendukung teori keadaan tetap
(steady state) yang menyatakan bahwa alam semesta bersifat kekal, tak berawal dan
tak berubah. pasca-Perang Dunia II, ada dua teori utama yang menjelaskan mekanisme
alam semesta. Salah satunya ialah teori keadaan tetap dari Fred Hoyle yang
menyatakan bahwa materi baru tercipta secara spontan mengisi ruang yang
mengembang sehingga alam semesta senantiasa sama di setiap titik dan di setiap waktu.
Teori lainnya ialah teori yang dipelopori oleh Lemaitre: alam semesta yang berawal dari
singularitas dan mengembang dengan George Gamow sebagai pendukung utamanya.
Hoyle, yang tidak menyukai gagasan alam semesta yang memiliki permulaan ini,
menyindir teori Lemaitre dengan menamakannya sebagai Big Bang (Dentuman Besar).
Big Bang sendiri bukanlah terminologi yang tepat karena permulaan alam semesta
bukan suatu ledakan/dentuman dan tidak pula besar. Ironisnya, nama Big Bang
kemudian menjadi populer dan melekat pada teori ini.
Gambar 3.1
sisa Big Bang ini berkaitan dengan temperatur 5 K. Penemuan radiasi latar belakang
kosmik (CMB-R) itu terjadi secara tak sengaja oleh Arno Penzias dan Robert Wilson
pada tahun 1964. Radiasi ini bersesuaian degan radiasi benda hitam bersuhu 2,7 K,
mendekati prediksi Alpher dan Hermann. Penemuan ini kemudian semakin menguatkan
teori Big Bang, dan secara bersamaan meruntuhkan teori keadaan tetap. Hingga saat ini,
teori Big Bang masih menjadi teori standar kosmologi karena kemampuannya
menjelaskan berbagai data observasi.
3.2.
menghitung jarak galaksi-galaksi. Supernova tipe Ia berasal dari katai putih yang
mendapatkan tambahan massa dari bintang pasangannya. Saat massa katai putih itu
melampaui batas massa Chandrasekhar 1,44 , katai putih tadi akan meledak
menjadi supernova tipe Ia. Karena massa semua katai putih yang mengalami supernova
sama (yakni limit Chandrasekhar), maka luminositas (magnitudo mutlak) semua
supernova tipe Ia juga sama (standar deviasi () 0,01, tergolong sangat kecil).
Di sini akan diilustrasikan metodologi yang digunakan oleh astronom. Dipilih SN
1997ap dengan pergeseran merah 1 = 0,83 dan magnitudo 1 = 24,32 dan SN 1992P
dengan pergeseran merah 2 = 0,026 dan magnitudo 2 = 16,08. Karena magnitudo
mutlak keduanya sama, maka dari persamaan (2.32) dapat dituliskan
1 2 = 5 log (1 ) 5 log 2 (2 )
(3.1)
Supernova kedua (SN 1992P) sangat dekat sehingga jarak luminositasnya tidak
dipengaruhi oleh pengembangan kosmologi, dengan demikian jarak luminositasnya
dapat didekati untuk , yakni (2 ) = 2 /0 = 0,026 0 . Menyulihkan nilai ini ke
persamaan (3.1), diperoleh
(1 ) = 1,156 0
75
Gambar 3.2
76
3.3.
Persamaan Friedmann
3.3.1.
(3.2)
Bagaimana bila merupakan sebaran massa dalam ruang? Agar lebih jelas,
perhatikan Gambar 3.3. Di sini merupakan massa objek benda pertama yang
terdistribusi dalam jarak yang merupakan jarak antara pusat massa kedua objek
karena hanya distribusi massa dalam bola berjejari saja yang mempengaruhi benda
11. Potensial yang terkait dengan gaya gravitasi tadi ialah
=
11
(3.3)
77
Gambar 3.3
Jika kita tinjau distribusi massa dengan kerapatan massa per satuan volume, ,
didapatkan massa yang berkontribusi dalam medan tersebut ialah = 4 3 /3
sehingga potensial gravitasinya
=
4
3
(3.4)
dan energi total partikel ialah energi kinetik ditambah energi potensialnya
=
4
3
(3.5)
Dalam pengembangan alam semesta, semua titik bergerak dengan faktor yang
sama, seragam ke semua arah. Misalkan antara titik A dan B.
Gambar 3.4
78
Didapatkan =
sama dengan kecepatan pengembangan, sedemikian sehingga hubungan jarak riil dan
skala koordinat bergerak berbentuk
= ()
(3.6)
Koordinat bergerak ini membuat posisi benda konstan terhadap sistem koordinat.
Dengan substitusi ke dalam energi total dan mengingat = 0 ( konstan), maka:
=
4
3
2 2
2 2
2
2
8
3
8
3
(3.7)
12
0 03
,
3
79
2
2
8 0 03
3
3
2 =
8 0 03
3
2 =
= 2 dan
8 0 03
3 3
4 0 03
3 3
= 2 .
4
3
(3.8)
3.3.2.
semesta yang mengaitkan antara parameter ruang (faktor skala dan kelengkungan) dan
parameter massa-energi yang memberikan kontribusi di alam semesta. Persamaan
Friedmann dapat diperoleh dengan menerapkan metrik FRW ke dalam persamaan
medan Einstein. Menggunakan persamaan medan Einstein, dengan perjanjian = 1.
1
= 2 = 8
diperoleh elemen diagonal tensor Ricci dari metrik FRW pada persamaan (2.24) (lihat
lampiran):
00 =
80
3 2
= 2
(3.9.a)
11 = 1 2 2 + 2
2
22 = 2 2 + 2
+ 2
(3.9.b)
+ 2
(3.9.c)
33 = 2 sin2 2 + 2
+ 2
(3.9.d)
6 2
2 2
(3.10)
Dari 00 , diperoleh
1
2
00 00 00 = 8 00
3 2
2
1
2
(1)
6 2
2 2
3 2
2
(1) = 8
+ 2 = 8
8
3
2 + 3
(3.11)
Di mana / tidak lain adalah parameter Hubble, (). Dari 11 diperoleh hasil
1
11 2 11 11 = 8 11
1
1 2
+2
2
2
+ 2
+2
1 2
+ 2 3
2 2
2
2
2
2
2
1 2
= 8
2
1 2
+ + 2 = 82
2 + = 8
(3.12)
81
2 2
8
3
+ 2 3 2 + = 8
4
3
(3 + ) +
(3.13)
=
4
3
8
3
2 + 3
(3 + ) +
(3.14)
(3.15)
8
3
Kerapatan yang berkaitan dengan = 0 ini disebut kerapatan kritis (critical density).
=
3 2
8
(3.16)
3.4.
3.4.1.
Persamaan Fluida
Alam semesta secara makroskopis dapat dipandang sebagai fluida homogen
dalam ruang tertutup bervolume V. Radiasi dapat dipandang sebagai foton dengan
kerapatan energi dan tekanan , yang memenuhi hukum termodinamika [Purwanto,
2009],
82
= +
(3.17)
Dengan adalah aliran kalor yang keluar atau masuk ke dalam sistem berukuran ,
adalah energi dalam, dan adalah kerja. Dalam ruang yang berekspansi ini, proses
termodinamika yang terjadi haruslah adiabatik, karena tidak ada pertukaran energi dari
sistem ke luar dan sebaliknya sehingga
+ = 0
(3.18)
4
3
() = 3 () = 3 () 3
(3.19)
= 3 2
= 4 2 2 = 3
(3.20)
= + = 3 + = 3 +
(3.21)
+ 3 ( + ) = 0
3.4.2.
(3.22)
Persamaan Keadaan
Dari tiga persamaan sebelumnya yakni persamaan Friedmann, persamaan
percepatan, dan persamaan fluida hanya dua yang bebas. Dengan demikian diketahui
dua persamaan bebas yang menjalinkan tiga fungsi yang tidak diketahui yakni (),
(), dan (). Agar dapat menyelesaikan faktor skala, diperlukan satu persamaan lagi
yang memberikan hubungan matematis antara kerapatan energi dan tekanan. Dengan
demikian, diperlukan suatu persamaan yang berbentuk [Purwanto, 2009]
Sunkar E. Gautama | Pengantar Kosmologi
83
= ()
Yang disebut persamaan keadaan. Dalam kosmologi, objek yang dihadapi adalah gas
renggang yang persamaan keadaannya dapat ditulis dalam bentuk sederhana,
=
(3.23)
2
3 2
(3.24)
sedangkan untuk partikel relativistik seperti foton memberikan nilai = 3. Hal ini
dapat dipahami sebab materi non-relativistik tidak memberikan tekanan karena
mereka diam di tempat, sedangkan partikel relativistik seperti radiasi memberikan
tekanan ke luar setara sepertiga dari kerapatan energinya.
3.5.
Kontribusi Massa
3.5.1.
2 = 8
Dengan = ( , , , ) dan dan adalah kerapatan energi dan
tekanan dari komponen yang telah diketahui, yakni materi dan radiasi. Sekarang kita
akan melenyapkan tetapan kosmologi pada ruas kiri, namun sebagai gantinya kita
menempatkan suatu kontribusi energi yang menimbulkan efek yang setara dengan
84
tetapan kosmologi pada ruas kanan13. Kita namakan komponen baru itu sebagai energi
gelap, yang memiliki kerapatan , dengan = /8. Persamaan medan Einstein kini
menjadi:
1
2
= 8 + = 8
Di sini kita menyatakan + sebagai tensor stres-energi-momentum yang baru,
= (, , , ) yang mana memuat kontribusi dari materi, radiasi, dan
energi gelap. Dengan demikian persamaan Friedmann (3.14) menjadi:
8
3
()
(3.25)
4
3
(3 + ) + =
3
4
3
(3 + 2 )
4
3
3( ) + ( + )
4
3
(3 + ) =
4
3
3( + ) + ( + )
(3.26)
13
Sudah menjadi konsesi pada persamaan medan Einstein bahwa suku-suku pada ruas kiri
merupakan geometri ruang-waktu, sedangkan pada ruas kanan adalah kontribusi materi-energi. Saat
Einstein pertama kali memperkenalkan tetapan kosmologi, ia menganggap tetapan itu adalah
properti geometri. Semenjak tetapan kosmologi dimasukkan kembali sebagai kontribusi energi
vakum, maka akan lebih tepat jika ia ditulis di ruas kanan.
85
4
3
(3 + 3 + + 2 )
1
3
4
3
( + 2 2 )
(3.27)
Dari persamaan di atas, dapat diketahui pengembangan alam semesta akan dipercepat
1
3.5.2.
Kerapatan Relatif
Kita uraikan komponen-komponen dari pada persamaan Friedmann,
2 =
8
3
( + + )
(3.28)
= 8 2
(3.29)
8
3
+ + +
2 =
8
3
0
3
0
4
+ +
Dengan:
86
(3.30)
= dan 0 =
(3.31)
Nilai ini dikenal sebagai kerapatan relatif atau parameter kerapatan, dengan demikian
+ + . Mengingat persamaan (3.16), 0 = 302 /8 , persamaan
Friedmann dapat ditulis kembali ke dalam bentuk
2
= 02 0 3 + 0 4 + 0 2 + 0
(3.32)
+ + =
+ + = 1
(3.33)
Namun jika 0, maka terdapat suatu kontribusi energi dalam alam semesta
= 1
Karena
= 8 2 , maka
(3.34)
= 8 2 + 2
2+ 2
= 1 + 2 2 = 1 + 2
(3.35)
87
( ) = 2
(3.36)
Persamaan (3.35) dan (3.36) menunjukkan bahwa jika > 0, maka akan
semakin mendekati 1 dan jika < 0 maka akan semakin menjauhi 1. Untuk kasus
percepatan yang tidak konstan, patut diingat bahwa percepatan yang semakin
berkurang tidak mesti berarti kecepatan juga berkurang. Kecepatan hanya berkurang
jika percepatannya negatif. Selanjutnya, mengingat = /, maka persamaan (3.35)
dapat ditulis menjadi
( 1) 2 2 =
(3.37)
Karena kurvatur alam semesta konstan, maka dapat diketahui tot 1 2 2 selalui
bernilai konstan.
(a)
Gambar 3.5
k=1
k=1
k = -1
k = -1
(b)
88
Soal-soal:
1. Analisislah:
a. Apakah = / ekuivalen dengan / ? Jika tidak, pada kondisi apakah
keduanya menjadi setara?
0 (1 + )3 + 0 (1 + )4 + 0 + 0 (1 + )2 .
0 3 + 20 4 20 + 0 2
0 3 + 0 4 + 0 + 0 2
Hitung pula nilai parameter perlambatan saat ini, 0 , untuk model Friedmann = 0
89
=0
90
BAB 4
4.1.
Model Einstein
Model alam semesta Einstein adalah model alam semesta yang statik dengan
= 2 = 8
Yang memiliki solusi statis berbentuk
02
8
3
0 =
8
2
(4.1)
= = 8
Yang membuat persamaan dinamika termodifikasi menjadi:
2
2
2
02
8
3
+ 2 + 2 =
0
0
8
2
(4.2)
(4.3)
91
02
3 =
8
3
= 0
(4.4)
Namun demikian solusi ini tidak stabil, selisih yang sangat kecil pun antara 0 dan
akan menghasilkan alam semesta yang berekspansi atau mengerut dengan cepat.
Setelah penemuan Hubble di tahun 1929, Einstein pun membuang tetapan
kosmologinya dan mempertimbangkan model kosmologi baru yang berekspansi
diperlambat. Ia kemudian menyatakan tetapan kosmologis sebagai blunder terbesar
dalam hidupnya. Namun penemuan belakangan ini memberikan informasi bahwa
pengembangan alam semesta dipercepat, dan tetapan kosmologi Einstein pun
bereinkarnasi menjadi kontribusi energi vakum.
4.2.
Model de Sitter
Model alam semesta de Sitter adalah model alam semesta yang berekspansi
dipercepat karena didominasi oleh suatu energi bertekanan negatif (energi vakum).
Model de Sitter dibangun berdasarkan teori relativitas umum. Faktor skala dalam model
de Sitter memenuhi persamaan
= konstan
(4.5.a)
Persamaan di atas dapat dinterpretasi dari ruas kanan Persamaan Friedmann yang
konstan
8
3
+ 3 = = konstan
= 3 8 > 0
92
(4.5.b)
(4.6)
Dengan C suatu tetapan integrasi. Dapat dilihat pada model de Sitter faktor skala
bertambah secara eksponensial. Karena pada t berapapun H selalu bernilai konstan,
= 0 , maka tak dapat diketahui usia dan faktor skala alam semesta saat ini.
Parameter perlambatan dalam model de Sitter bernilai konstan,
= 2 =
2 2 2
= 1
Gambar 4.1
4.3.
Model-Model Friedmann
Model-model Friedmann adalah model alam semesta yang dibangun dari solusi
k = 0), tetapi ada dua model lagi yang memenuhi persamaan dan asumsi-asumsi
dasarnya. Ketiga model itu disebut saja model-model Friedmann. Di sini akan dicari
solusi persamaan Friedmann untuk ketiga kasus sehingga kita memerlukan persamaan
Friedmann
Sunkar E. Gautama | Pengantar Kosmologi
93
2
2
8
3
4.3.1.
8
3
(4.7)
Selanjutnya akan dicari solusi untuk pendekatan dominasi materi (MD) dan pendekatan
dominasi radiasi (RD) secara terpisah.
A. Era Dominasi Materi ( = 0, 3 )
Untuk materi non-relativistik, dipenuhi hubungan 3 atau = 0 (0 /)3 .
8 0 03 1/2
1/2 =
2 3/2
8 0 03
3
8 0 03
(4.8)
(4.9)
30 2/3 2/3
.
2
1
3
8 0 04 1
3
8 0 04
1 2
8 0 04
3
(4.10)
1/4
2
4
1/2
0
0
3
Menyulihkan nilai faktor skala saat ini, 0 = 1, maka dapat pula ditulis =
(4.11)
0 1/2 1/2
.
2
Nampak dalam model EdS 2/3 untuk pendekatan dominasi materi dan 1/2
untuk pendekatan dominasi radiasi.
Solusi model EdS dapat pula diturunkan dari persamaan fluida, dengan
menggunakan persamaan keadaan =
3(1 + )
3(1+)
(4.12)
()
3(1+ )
; 1
; = 1
(4.13)
95
Gambar 4.2
4.3.2.
8 0 03
3
(4.14)
Dengan menamakan
4 0 03
3
8 0 03
sebagai , diperoleh
=
96
2 2
2 ()2
sin1 (1)
= sin1
+2
1
2
= sin = cos
= (1 cos )
(1 cos ) = ( sin )
(4.15)
4 0 03
3
8 0 04
3 2
(4.16)
4 0 03
3
97
Bentuk
2 2
2
2
0 2 2
menghasilkan:
2 cos
0 22 sin 2
Gambar 4.3
98
(4.17)
4.3.3.
Dengan menamakan
4 0 03
3
8 0 03
3
+1
(4.18)
PD
=
2+ 2
(+)2 2
= cosh
= (cosh 1)
=
(cosh 1) = (sinh )
(4.19)
4 0 03
3
99
8 0 04
3 2
+1
Bentuk
2+ 2
2
2
(4.20)
4 0 03
3
diperoleh
+1
0 2+ 2
Gambar 4.4
100
(4.21)
4.4.
Model CDM
Model CDM dibangun atas beberapa data observasi dan asumsi antara lain
sebagai berikut:
1) Berdasarkan pengukuran diameter sudut horizon pada CMB, diperoleh bahwa alam
semesta nyaris datar yang berkaitan dengan kerapatan total = 1,02 0,02.
Oleh karena itu, dapat dianggap = 0 [Roos, 2003].
2) Kontribusi kerapatan materi-energi di alam semesta berdasarkan data dari Planck
Cosmology Probe: materi nonrelativistik (baryon) 4,9%, materi gelap 26,8%, dan
radiasi 0,005%. Jadi total kontribusi materi-energi di alam semesta hanya sekitar
32% dari kerapatan energi kritis [Ade et al, 2013].
3) Berdasarkan data pengamatan supernova tipe Ia, didapatkan bahwa pengembangan
alam semesta saat ini dipercepat [Roos, 2003].
4) Berdasarkan poin (2) dan (3), diasumsikan keberadaan energi gelap (dark energy)
dengan tekanan negatif = sehingga menghasilkan percepatan ekspansi.
5) Agar = 1 ( = ), maka diasumsikan energi gelap memberikan kontribusi
68,3% dan materi memberikan kontribusi 31,7% dari kerapatan energi alam
semesta.
6) Kontribusi materi-energi di alam semesta disederhanakan menjadi materi materi
gelap dan energi gelap saja, karena memiliki kontribusi yang dominan. Oleh karena
itu, model ini disebut model & Cold Dark Matter [Ryden, 2006].
Dalam menurunkan parameter-parameter dalam model alam semesta CDM,
pertama-tama dimulai dengan menuliskan kembali persamaan Friedmann (3.32)
dengan mengabaikan kerapatan kurvatur dan kerapatan radiasi karena konribusinya
yang sangat kecil.
2
2 2 = 02 (0 3 + 0 )
(4.22)
(4.23)
30 2
( 0
2
+ 0 2 )
101
30 0 0
2
0
+ 2
1/2
Jika diintegralkan
0
0
1/2
+ 2
30 0
0 /0 sinh , sehingga
0
0
sinh2
1/2
0
cosh
0
30 0
= 2 0 0 +
(4.24)
3
2
= 0 0
0
3
sinh 0
0
2
0
0
sinh
2 0
(4.25)
0
3
sinh2 2 0
0
102
0
3
sinh2 2 0
0
(4.26)
2 sinh 1 0 M 0
30 0
persamaan (4.26) memberikan fungsi faktor skala untuk model CDM setelah
dinormalisasi.
=
0 1/3
sinh2/3
0
0
M 0 0
sinh1
(4.27)
Parameter Hubble dapat diperoleh dari fungsi faktor skala sebelum dinormalisasi pada
persamaan (4.25) yang kemudian dinormalisasi agar 0 = 1 pada saat = 0 .
23 02
3
3
sinh 1/3 0 0 cosh 0
3 0 3
2
2
3 0
3
sinh 2/3 0 0
0
2
0 0 coth
2 0
0 0 0
2
(4.28)
(0 ) =
0 coth
3 0 0 1
2
2 coth 1 1/ 0
30 0
sehingga
diperoleh
(0 ) =
0 coth
coth1
1
0
/0
(4.29)
2
02
= 0 coth2
coth1
1
0
/0
(4.30)
2 = 2 2 tanh2
sinh1
0
m 0 0
(4.31)
103
0 (0 ) = 2 2 tanh2
Mengingat
sinh1
sinh = / = / 2 2
tanh2 sinh1 / 2 2
= 2 / 2 .
0
0
dan
tanh = /
Membandingkan
kesamaan
maka
ini
dengan
0 =
3
0
2 0 + 0
= 0,53+0,17
0,13
= 0,687+0,087
0,11
(4.32)
Dari persamaan (4.32) dapat diperoleh kisaran nilai kerapatan materi materi
gelap, 0 0,3 dan kerapatan energi gelap, 0 0,7. Dengan menyulihkan kisaran
nilai yang lebih akurat ( 0 , 0 ) = (0,317 , 0,683) pada persamaan parameter (4.27),
(4.29), (4.30), dan (4.31), diperoleh hasil sebagai berikut.
= 0,774 sinh2/3 (1,177/0 )
(4.33)
(0 ) = 0,826 coth(1,177/0 )
(4.34)
0
14
104
(4.35)
= 2 2 tanh2 (1,177/0 )
(4.36)
2
3
(4.37)
Karena diturunkan dari fungsi faktor skala yang mengandung satuan 0 dan 0 , maka
parameter Hubble pada persamaan (4.37) dinyatakan dalam satuan yang sama pula
(01 ).
Adapun kerapatan materi,
=
3 2
8
(4.38)
(4.39)
Nampak bahwa nilai kerapatan materi gelap semakin mengecil seiring waktu akibat
pengembangan, sedangkan kerapatan energi gelap tetap. Akibatnya, perbandingan
antara kerapatan materi gelap terhadap kerapatan kritis semakin mengecil.
= 1
0,683
0,683 coth 2 (1,177/ 0 )
(4.40)
105
Gambar 4.5
Gambar 4.6
4.5.
alam semesta model CDM yang telah berhasil diperoleh, Usia alam semesta saat ini, 0
dapat diperoleh dari persamaan (4.37).
01
= 0,847 coth(1,27/0 )
0 =
(4.41)
(4.42)
Dengan adalah tetapan Stefan-Boltzmann dan kerapatan energi per satuan volume.
Dari sini dapat diketahui hubungan antara temperatur, faktor skala, dan usia jagad raya
untuk era dominasi materi, mengingat 2/3
()
0
0 3
()
(4.43)
4 1/2
(4.44)
0 4
()
1 1/2
(4.45)
(4.46)
Dari hubungan di atas dapat diperkirakan masa di mana kerapatan materi dan radiasi
sama, namakan saja . Untuk itu dilakukan pendekatan saat < alam semesta
mutlak radiasi dan saat > alam semesta mutlak materi. Dari persamaan (4.43) dan
(4.45), diperoleh
0
510 5
0,317
107
= 0,774 sinh2/3
1,177
0
Yang memberikan hasil 2,48 106 0 atau sekitar 34.000 tahun, dan berkaitan
dengan temperatur (1,58 104 )1 2,725 = 43.000 K . Adapun hamburan
terakhir (last scattering) yang saat ini tampak dalam radiasi latar belakang (CMB) pada
= 1.090,43 [Ade et al, 2013]. Faktor skala alam semesta saat itu,
=
1
1+
= 9,16 104
Menggunakan fungsi faktor skala, diperoleh usia alam semesta saat hamburan terakhir
ialah sekitar 480.000 yr. Kemudian, waktu saat kerapatan materi sama dengan
kerapatan energi gelap. Definisikan = pada saat = . Karena kerapatan
energi gelap selalu konstan 0 = 0 cr 0 = , maka:
0
0 3
0
= 0,774
Simbol
Kala
Waktu Planck
5,4 1044 s
Kesetaraan radiasi-materi
34 kyr
Hamburan terakhir
480 kyr
=0
7,71 Gyr
10,3 Gyr
13,8 Gyr
108
4.6.
Diagram
Pada upabab sebelumnya telah dijabarkan secara rinci beberapa model
Gambar 4.7
Pada Upabab 3.5.2, juga telah diperoleh jalinan antara dan . Dengan
mengabaikan (karena nilainya sangat kecil), maka berdasarkan persamaan (3.xx)
Sunkar E. Gautama | Pengantar Kosmologi
109
m
.
2
Soal-soal:
1. Tunjukkanlah secara rinci bahwa
= 0 0 = 0
< 0 0 < 0
> 0 0 > 0
2. Carilah fungsi horizon partikel dan horizon peristiwa dari ketiga model Friedmann
dan plotlah fungsi yang diperoleh. Hitung pula jarak horizon pada saat 0 dalam
satuan jarak Hubble, untuk ketiga model tadi (jika dapat diketahui).
3. Tanpa mengabaikan komponen kerapatan energi radiasi, persamaan Friedmann
dapat ditulis sebagai
= 0 ( 0 3 + 0 4 + 0 )1/2
BAB 5
5.1.
5.1.1.
Masalah Kedataran
Dari persamaan (3.36) telah dijelaskan bahwa jika < 0 maka kerapatan relatif,
akan semakin menjauh dari satu. Dari data hasil observasi WMAP, diperoleh bahwa
kerapatan total alam semesta 0 = 1,02 0,02 [Bennet et al., 2003 dalam Guth, 2004]
yang berarti alam semesta nyaris datar dengan nilai 0 1 nyaris nol hingga orde
kedua (102 (2)). Menurut teori Big Bang standar, pengembangan alam semesta
senantiasa diperlambat, artinya parameter 1 pada masa awal alam semesta
mestinya akan sangat mendekati nol. Nilai 1 pada waktu Planck = 5 1043 s
dapat dihitung dengan membagi masa lalu dalam dua periode, yakni era dominasi
radiasi dan era dominasi materi karena adanya perbedaan fungsi faktor skala. Pada era
radiasi dominan yang berlangsung dari waktu Planck hingga saat kesetaraan materi
radiasi, = 1012 s faktor skala dan kerapatan memenuhi hubungan
1/2 ; 4
Dan pada era dominasi materi yang berlangsung sejak hingga saat ini, 0 = 4 1017
detik, faktor skala dan kerapatan memenuhi hubungan
2/3 ; 3
Menggunakan persamaan (3.37), mengingat 2 , diperoleh
1 2 = konstan
(5.1)
111
1
1
=1
Atau,
1 = 1
(5.2)
2/3
0
0 1
(5.3)
2/3
0
0 1
(5.4)
0 1 =
(2), diperoleh:
1 = (2 1059 ) 0 1 = (61)
(5.5)
Artinya, agar kerapatan alam semesta sama seperti yang teramati saat ini, maka
nilai haruslah sangat mendekati satu hingga 61 angka di belakang koma! Suatu
akurasi yang sangat luar biasa. Masalah ini dikenal sebagai masalah kedataran (flatness
problem). Bila parameter kerapatan awal alam semesta bergeser lebih besar 1050 saja,
maka parameter kerapatan alam semesta saat ini akan berubah hingga 109 kali lipat
lebih besar daripada nilai yang teramati saat ini! Alam semesta akan mengembang
dengan sangat cepat sehingga tidak memungkinkan bagi mekanisme pembentukan
galaksi. Atau jika bergeser lebih kecil 1050 , alam semesta akan segera kolaps tidak
lama setelah Big Bang. Hal semacam ini disebut sebagai fine tuning problem, artinya
parameter alam semesta harus disetel pada nilai tertentu dengan sangat akurat agar
alam semesta dapat berevolusi seperti saat ini [Guth, 2004].
112
5.1.2.
Masalah Horizon
Informasi terjauh yang dapat kita lihat pada saat alam semesta berusia
dibatasi oleh horizon partikel ( ), yakni jarak yang ditempuh cahaya sejak saat Big
Bang hingga = . Ada pun kausalitas yang dialami oleh bagian alam semesta dibatasi
oleh horizon peristiwa . Semenjak cahaya mulai bisa merambat bebas setelah masa
hamburan (last scattering), maka informasi tertua mengenai alam semesta adalah
setelah last scattering, yang sisa-sisanya saat ini dikenal sebagai radiasi Cosmic
Microwave Background.
Berdasarkan persamaan (2.38), jarak yang ditempuh cahaya dalam selang = 1
dan = 2 pada waktu 3 ialah
2 ( 3 )
1 ()
1 , 2 (3 ) =
= (3 )
2
1 ()
(5.6)
Jadi, jarak yang ditempuh cahaya sejak Big Bang, = hingga = ~1013 s pada saat
ini ialah
, (0 ) = (0 )
( )
( )
1/2
= 2 ( 0 )
(5.7)
Dalam selang < < ~ digunakan relasi dalam era dominasi radiasi, sedangkan
untuk
relasi
era
dominasi
materi.
Untuk
, (0 ) = ( 0 ) 2 = 2( )1/3 (0 )2/3
Kemudian, jarak yang ditempuh cahaya sejak masa hamburan terakhir hingga masa kini
yang diamati pada saat ini,
, 0 (0 ) = (0 )
( 0 )
2/3
0
= 3(0 )3 3
= 3(0 )3
1/3
1/3
Di mana ,0 (0 ) inilah horizon partikel alam semesta teramati saat ini, 0 , dan
, (0 ) adalah horizon peristiwa pada masa di mana foton mulai dapat menjalar
bebas, ( , 0 ). Artinya, area yang terpisah lebih jauh dari jarak itu tidak akan
Sunkar E. Gautama | Pengantar Kosmologi
113
mungkin bertukar informasi pun memiliki hubungan kausalitas hingga saat ini. Pada
horizon saat ini, ( ) akan nampak dengan radius sudut:
=
( , 0 )
0
2( )1/3 ( 0 )2/3
2
3( 0 )3
1/3
0
1/3
=
3
(5.8)
1/3
( )
Permukaan
CMB
Pengamat
Gambar 5.1.
5.2.
Ilustrasi masalah horizon: Berdasarkan teori Big Bang standar, tiaptiap bidang langit seluas 1,11 semestinya tidak dapat berkomunikasi
satu sama lain. Namun, kenyataannya seluruh belahan langit nampak
sangat homogen.
alam
semesta
secara
sederhana
dapat
didefinisikan
sebagai
pengembangan alam semesta secara eksponensial yang terjadi pada masa awal
evolusinya [Guth, 2004], [Lesgourgues, 2006]. Pengembangan eksponensial ini serupa
dengan evolusi alam semesta dalam model de Sitter. Evolusi fakor skala alam semesta
memenuhi jalinan,
114
() =
(5.9)
= ( 2 1 ) =
(5.10)
dengan 2 > 1 dan dikenal sebagai bilangan e-fold. Selama inflasi, parameter Hubble
nyaris konstan, namun tidak benar-benar konstan. Jika ditandai inflasi dimulai saat
= dan berakhir saat = , maka tanpa mengabaikan variasi parameter Hubble,
bilangan e-fold didefinisikan sebagai:
() =
() =
(5.11)
Faktor skala alam semesta berevolusi dengan fungsi yang berbeda pada era
yang berbeda sebagai berikut [Ryden, 2006].
() =
1/2
( )
1/2
< <
< <
1/2
(5.12)
< <
Dengan faktor skala tepat sesaat sebelum inflasi, adalah faktor skala tepat
saat inflasi berakhir, adalah bilangan e-fold yang menyatakan perbandingan faktor
skala setelah dan sebelum inflasi, waktu Planck, dan adalah saat kesetimbangan
kerapatan radiasi dan materi. Permasalahan selanjutnya ialah menghitung nilai agar
dapat menyelesaikan masalah kedataran dan masalah horizon.
5.2.1.
115
1 2 2 =
Berdasarkan skenario inflasi, dihipotesiskan pada masa < < dengan <
, alam semesta didominasi oleh energi vakum yang berkorelasi dengan tetapan
kosmologi, . Sehingga untuk masa itu berlaku hubungan [Visser, 2008]
1 2 2 =
1
1
(5.13)
2( ) = 1
1 2 1
(5.14)
Dengan menambahkan skenario inflasi, batas waktu era radiasi menjadi < < ,
bukan lagi < < . Dengan merubah batas persamaan (5.4), didapatkan
1
2/3
0 1 ~1050
(5.15)
2/3
0 1
(5.16)
Inflasi berakhir ketika alam semesta mulai memanas kembali (reheating), yang
diperkirakan berkaitan dengan suhu ~1014 GeV [Linde, 2005]. Menggunakan waktu
pembanding saat rekombinasi dengan 0,3 eV, dapat diperkirakan inflasi
berakhir pada saat [Riotto, 2002 dalam Visser, 2008]
=
~1034 s
(5.17)
10 34
10 12
10 12
410 17
2/3
10 2
1
1
3
(5.18)
Jadi diperlukan bilangan e-fold setidaknya sebesar 60. Dengan demikian, meskipun
parameter kerapatan awal alam semesta jauh dari satu, inflasi dengan e-fold sebesar 60
mampu mengecilkannya hingga masih tetap mendekati satu pada masa kini. Tentunya
nilai 60 ini masih berupa kisaran, pemilihan nilai yang lebih besar dapat
memperkecil batas bawah ini. Pada beberapa literatur, digunakan batas bawah = 50.
5.2.2.
akibat horizon partikel alam semesta pada saat ini, 0 lebih besar daripada horizon
peristiwa saat hamburan terakhir yang diamati saat ini, ( , 0 ). Akibatnya, alam
semesta teramati saat ini semestinya tersusun dari bagian-bagian yang tak dapat
berkomunikasi satu sama lain sehingga terjadi variasi suhu yang mencolok antara
daerah-daerah itu. Faktanya, pengamatan menunjukkan bahwa alam semesta sangat
homogen. Dari sini dapat diketahui masalah horizon dapat diselesaikan jika
[Lesgourgues, 2006]
, (0 ) 2 0
(5.19)
()
60
(5.20)
Dari persamaan (5.7) pada bahasan masalah horizon, horizon partikel sesaat sebelum
inflasi dimulai ialah
, ( ) = ( )
( )
1/2
= 2
117
, = ( )
( )
1/2
( ) exp ( )
Suku pertama dalam tanda kurung ialah jarak tempuh cahaya sebelum inflasi, suku
kedua adalah jarak tempuh tambahan selama selang inflasi, dan adalah faktor inflasi
yang menarik (scretch) horizon mengembang. Jika cukup besar, maka horizon setelah
inflasi ialah
, = 2 + 1
(5.21)
Inflasi berakhir saat 1034 s , oleh karena itu pemilihan = 1036 s cukup
memuaskan. Hubungan antara horizon peristiwa saat yang nampak saat 0 dengan
horizon partikel saat ialah
, (0 ) =
Dengan pendekatan saat < < adalah era dominasi radiasi dan saat < < 0
adalah era dominasi materi, maka
0
0 ( )
2/3
1/2
( ) >
2/3
1/2
2/3
0
> 60
1/2
20
118
(5.22)
5.3.
5.3.1.
Medan Skalar
Sebelum membahas inflasi oleh medan skalar, kita akan mengulangi kembali
konsep medan skalar dalam mekanika klasik. Di sini dipilih kasus osilasi di bawah
pengaruh potensial skalar gravitasi. Misalkan sebuah bandul matematis berayun
1
1
2
= 2 2 2
(5.23)
=0
(5.24)
2
2
+ = 0
+ =0
Dapat dipilih solusi fungsi simpangan bandul, ():
= cos
119
Sekarang bayangkan jika bandul berayun dalam suatu fluida yang memberikan
hambatan yang tidak diabaikan, maka muncul suku redaman yang besarnya berkaitan
dengan kecepatan bandul sehingga persamaan gerak bandul menjadi
+ + 02 = 0
(5.25)
/ kecepatan sudut
(a)
Gambar 5.2
(b)
Jika dalam perumusan dinamika medan skalar, Lagrangian sistem kita ganti
menjadi rapat Langrangian, = /, maka rapat Lagrangian sistem dapat kita
nyatakan sebagai
1
= 2 ()
(5.26)
Dengan suku pertama adalah kerapatan energi kinetik dan suku kedua adalah
kerapatan energi potensial.
120
5.3.2.
Persamaan Klein-Gordon
Dalam pembahasan sebelumnya, nampak inflasi berhasil menyelesaikan
beberapa masalah dalam teori Big Bang standar. Pertanyaan selanjutnya adalah apa
yang menyebabkan terjadinya inflasi pada masa dini evolusi alam semesta. Inflasi dapat
dijelaskan dengan membayangkan suatu (quasi-)partikel bernama inflaton dengan
medan skalar yang berkaitan dengan potensial skalar (). Bila memiliki dimensi
energi, maka () memiliki dimensi kerapatan energi. Potensial skalar ini
berkontribusi dalam kerapatan energi alam semesta.
Telah diketahui tensor stres-energi-momentum fluida ideal dalam ruang
Minkowski, = ( 2
antara medan dan energi-momentumnya, perlu dicari variasi dari aksi komponen
medan skalar, = .
= 4
= 4
1
2
1
2
= 2 4
(5.27)
(5.28.a)
1
2
()
(5.28.b)
1
2
()
121
1 00
0 0
2
1 2
= 2
=1
+2
()
2 ()2 ()
1
2
1
2
= 2 + ()2 + ()
(5.29)
Adapun 11 , 22 , dan 33 ,
11 = 1 1 11
= (1 )2 +
1 00
0 0
2
1
2
1
+2
=1
1
2
1
2
1
2
1
2
()
()
11 = (1 )2 + 2 2 2 ()2 ()
Dengan cara yang serupa diperoleh
22 = (2 )2 + 2 ()2 ()
33 = (3 )2 + 2 ()2 ()
Tekanan yang ditimbulkan oleh medan skalar ialah
=
1
3
3
=1
3 1 2
3 2
1
2
()2 () +
1
1
3
(1 )2 + (2 )2 + (3 )2
= 2 2 6 ()2 ()
(5.30)
Jika medan memenuhi sifat homogen dan isotropik; tidak ada variasi medan dalam
ruang; maka suku gradien dapat diabaikan sehingga diperoleh
1
2
= 2 + ()
1
= 2 2 ()
=
122
= 21
2
2 ()
2 +()
(5.31)
(5.32)
(5.33)
Dengan memasukkan persamaan (5.31) dan (5.32) ke dalam persamaan fluida ideal
+ 3( + ) = 0, diperoleh
+ () + 32 = 0
+ 3 + , () = 0
(5.34)
5.3.3.
dengan medan skalar yang berkaitan dengan potensial skalar (). Bila memiliki
dimensi energi, maka () memiliki dimensi kerapatan energi. Potensial skalar ini
berkontribusi dalam kerapatan energi alam semesta. Jika pada suatu saat potensial
skalar ini mendominasi alam semesta, maka persamaan Friedmann untuk masa itu
adalah
8
2 = 3 2
1 2
+ () 2
(5.35)
selama periode inflasi nilai = + () juga harus mendekati konstan, yang mana
berkaitan dengan persamaan keadaan 1. Menilik persamaan (5.35), maka situasi
1
() = 16
(5.36)
123
+ 3 + , () = 0
Nampak persamaan Klein-Gordon berbentuk persamaan osilasi teredam dengan
percepatan sebanding dengan / dan faktor redaman yang sebanding dengan
kecepatan medan. Jadi, pengembangan alam semesta mengalami suatu hambatan yang
disebut Hubble friction, yang bernilai 3. Sebagaimana percepatan dari partikel
yang mengalami gerak jatuh bebas dalam fluida akan mengecil hingga partikel
mencapai kecepatan terminal, Hubble friction membuat percepatan perubahan medan
skalar menuju nol [Ryden, 2006]. Pada saat 3 , persamaan Klein-Gordon dapat
didekati dengan penyederhanaan
3 + () = 0
(5.37.a)
atau,
=
1
3
(5.37.b)
Kondisi ini secara matematis ditandai dengan parameter slow-roll kedua, , yang
didefinisikan sebagai [Guth, 2004]
() =
2
8
(5.38)
tuning. Bila kedua kondisi slow roll terpenuhi, maka dari persamaan Klein-Gordon
diperoleh hubungan
2
9 2
(5.39)
2 3 2 ()
(5.40)
16
Ingat suku turunan pertama menandai gradien dan suku turunan kedua atau lebih menandai
kelengkungan kurva.
124
peran
sebagai
tetapan
kosmologi
yang
menyebabkan
pengembangan serupa de Sitter17, pada saat inilah dikatakan inflasi dimulai. Dengan
persamaan Friedmann di atas, persamaan (5.39) menjadi.
2
Dengan
terpenuhinya
keadaan
24
2
di
(5.41)
atas,
maka
pengembangan
secara
eksponensial (pengembangan de Sitter) dapat terjadi. Pada saat itu, medan inflaton
dikatakan berada dalam keadaan false vacuum. Pengembangan eksponensial ini
menyebabkan skala alam semesta bertambah berkali-kali lipat (setidak-tidaknya sekitar
60 ) dalam selang waktu yang sangat singkat.
()
inflaton meluruh
()
nyaris datar
dan rata
( )
0 =
Inflasi
( )
Gambar 5.3
Setelah inflaton melewati daerah potensial yang nyaris datar, ia akan menuju
curaman sehingga membesar yang membuat juga membesar. Akibatnya, energi
kinetik meningkat dan pengembangan eksponensial berhenti. Dalam skenario teori
imflasi, pada saat itu inflaton mengalami peluruhan menjadi partikel relativistik seperti
foton. Foton yang tercipta ini meningkatkan kerapatan energi radiasi hingga sama
dengan kerapatannya tepat sebelum inflasi terjadi. Akibatnya terjadi proses pemanasan
17
2 .
125
kembali (reheating). Inflaton, yang telah kehilangan hampir seluruh energinya akhirnya
hanya berosilasi kecil kemudian diam di potensial minimumnya, 0 yang sangat
kecil namun tidak tepat nol. Potensial minimum ini bertanggung jawab dalam
percepatan pengembangan setelah kerapatan energi radiasi dan materi menjadi lebih
kecil daripada 0 akibat pengembangan lebih lanjut. Pada saat itu, inflaton dikatakan
berada pada keadaan true vacuum.
5.4.
2 2
+ 3 3 + 4 4 +
(5.42)
() = 4
(5.43)
dengan 2 = 1/. Nilai 4 berkaitan dengan massa efektif partikel pembawa medan
skalar, 2
2 .
dalam persamaan (5.37.a). Dari persamaan (5.37.b), (5.40), dan (5.43), maka dapat
diketahui fungsi medan skalar terhadap waktu
3
8
3
1/2
()
= 4 1
2 = 24 6 2
126
22
= 482 ()
(5.44)
5.4.1.
berbentuk
1
2
() = 2 2
(5.45)
Berdasarkan persamaan (5.44), medan yang berkaitan dengan potensial ini ialah
1 2
22 2
= 482
=
=
2 2
4
48
2 3
1 2 2
2
(5.46)
2 3
= 1
dengan t diukur mulai dari awal inflasi, atau bila diukur sejak Big Bang, maka
=
2 3
( )
(5.47)
Dari fungsi pada potensial masif ini dapat dilihat bahwa semakin mengecil
(sekali lagi, pada masa inflasi), dengan kata lain bergerak ke kiri pada diagram .
Gambar 5.4.
2 3
(kanan).
127
= 16
. 2
= 4 2 dan =
2 .
8
= 4 2
(5.48)
Nampak bahwa kondisi slow-roll terpenuhi jika . Inflasi berakhir saat medan
inflaton telah keluar dari fase slow roll, yakni ketika 1. Dari persamaan (5.48) dapat
diperoleh medan saat inflasi berakhir,
=
(5.49)
= 2 =
2 2
24
= 2 2 2 =
2 2
Artinya, inflasi akan berakhir pada saat = 3, yang berkaitan dengan persamaan
keadaan = + = 2.
Kemudian, dengan menyulihkan nilai ke dalam persamaan (5.47), diperoleh
durasi inflasi,
=
2 3
1
4
(5.50)
Persamaan Friedmann pada fase slow roll dapat diperoleh dari persamaan KleinGordon (5.37.a),
(5.51)
128
= 2
12
( )
12
3
12
3
3 2 ( ) = 3 2 ( )
(5.52)
Nilai adalah parameter Hubble saat inflasi dimulai. Dari persamaan (5.52) di atas
dapat dilihat bahwa parameter Hubble tetap mengalami penurunan yang bernilai
1
= 3 2 = konstan
(5.53)
= + ( )
() = exp + 2 2 = exp
6 2 2
(5.54)
Dengan = . Persamaan skala alam semesta juga dapat diturunkan dari formulasi
model de Sitter. Faktor skala alam semesta untuk pengembangan serupa de Sitter ialah
() = ( )
(5.55)
Parameter Hubble berubah sangat kecil dan linier sehingga dapat didekati sebagai
1
8
3
( ) +
8
3
()
+ ()
(5.56)
2
2
2 2 ()
(5.57)
Jika saat inflasi berakhir dipilih = 60 maka berdasarkan persamaan (5.49) dan
(5.57) dapat diperoleh medan saat inflasi dimulai,
2
2
2 2 = 60
30
(5.58)
129
Gambar 5.5
() = 2 2 2 ,
(Sumber: Jean-Philippe UZAN, 2011, Inflationary Universe Dynamics
of the Early Universe)
5.4.2.
potensial ini selanjutnya dapat diuji melalui perturbasi medan dan kemudian
membandingkannya dengan variasi pada radiasi CMB. Beberapa contoh potensial yang
populer antara lain potensial monominal orde-4,
2
1
() = 4 2 4 = 4 4
(5.57)
potensial Higgs,
() = 4 (2 2 )2
(5.58)
(, ) = 4 (2 2 )2 +
2 2
2 2 2
2
(5.59)
130
Gambar 5.6
Soal-soal:
1. Rapat Lagrangian untuk ruang yang mengembang dengan skala () ialah
1
2
3 = 2 () dengan () adalah
kerapatan
potensial.
Dengan
=0
4. Carilah fungsi (), (), dan () untuk skenario inflasi dengan potensial = 4 4
dengan menggunakan pendekatan slow-roll!
5. Dari soal nomor 4, cari nilai dan untuk = 60!
6. Carilah fungsi () , () , dan () untuk skenario inflasi dengan potensial
131
132
BAB 6
6.1.
Gambaran Umum
Berdasarkan teori Big Bang, alam semesta tercipta dari singularitas yang
kemudian mengembang menghasilkan ruang, waktu, materi, dan radiasi. Evolusi skala
alam semesta telah dibahas pada Bab 4 dan Bab 5. Waktu saat Big Bang terjadi dipilih
sebagai = 0 . Setelah Big Bang, alam semesta kemudian mendingin seiring
pengembangan ruang. Penurunan temperatur ini menghasilkan peristiwa fisis yang
berbeda-beda, yang mana tiap peristiwa berlangsung pada tingkat energi tertentu.
Berdasarkan peristiwa utama yang terjadi, evolusi alam semesta dibagi menjadi
beberapa era. Era-era tadi secara umum dapat dikelompokkan sebagai alam semesta
dini, alam semesta awal, zaman kegelapan, dan formasi struktur.
Gambar 6.1
Diagram evolusi skala dan kronologi alam semesta sejak Big Bang
hingga saat ini (alur waktu dari arah kiri ke kanan). Dalam diagram
ini, ruang dari alam semesta teramati (3 ) pada saat ditampilkan
sebagai irisan lingkaran.
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Structure_formation)
Sunkar E. Gautama | Pengantar Kosmologi
133
6.2.
menjadi era Planck, era GUT, dan era Elektro-Lemah. Ada pun jika skenario inflasi
dimasukkan, yang mana diperkirakan terjadi antara 1036 s hingga 1036 s, maka masa
sebelum inflasi tidak diketahui dengan jelas dan tidak persis mengikuti skenario teori
Big Bang konvensional.
6.2.1.
Era Planck ( )
Era Planck adalah era paling awal dalam sejarah alam semesta yang berlangsung
semenjak Big Bang hingga sepanjang efek kuantum dalam gravitasi signifikan. Pada saat
ini, keempat gaya fundamental: gravitasi, elektromagnetik, gaya lemah, dan gaya kuat
memiliki kekuatan yang setara sehingga kemungkinan keempatnya menyatu dalam satu
gaya fundamental.
Parameter kopling dari keempat gaya pada penyatuan (unifikasi) ini sama
dengan satu. Dari parameter kopling gravitasi
=
=1
(6.1)
(6.2)
5,38 1044
(6.3)
Inilah selang waktu terkecil yang dapat dipahami dalam teori fisika saat ini
sehingga kita tidak dapat mengetahui apa yang terjadi selama selang ini.
134
6.2.2.
10 24
1
40
(300 K)~1028 K
410 20 s K 2
2
410 20 s K 2
(10 28 K)2
~1036 s
Jadi, era penyatuan agung ini berakhir pada saat ~1036 s, yakni ketika
temperatur alam semesta turun di bawah .
6.2.3.
Inflasi ( )
Selama selang ini, alam semesta didominasi oleh energi vakum yang mendorong
pengembangan secara eksponensial. Seperti yang telah dijabarkan pada Bab 5, medan
inflaton mengalami Hubble friction selama inflasi dan inflasi dikatakan berhenti ketika
kondisi slow-roll sudah tidak terpenuhi, ~1
+ (3 + ) = 0
(6.4)
Dengan adalah faktor peluruhan inflaton. Proses peluruhan inflaton menjadi radiasi
menyebabkan temperatur alam semesta meningkat. Peristiwa ini dikenal sebagai
pemanasan kembali (reheating). Peningkatan kerapatan radiasi menghasilkan kenaikan
temperatur dengan jalinan
4
Sunkar E. Gautama | Pengantar Kosmologi
135
5 105
(6.5)
Variasi kerapatan skala kecil tadi menimbulkan variasi medan gravitasi dalam
ruang. Daerah yang lebih rapat memiliki medan gravitasi yang lebih kuat menyebabkan
materi dan radiasi tertarik membentuk kumpulan-kumpulan, mempertajam variasi
kerapatan di alam semesta. Variasi ini adalah cikal-bakal terbentuknya formasi struktur
alam semesta, seperti galaksi dan gugus galaksi.
6.2.4.
Era Elektrolemah ( )
Era elektrolemah berlangsung saat temperatur alam semesta sudah tidak cukup
tinggi untuk menyatukan gaya kuat sehingga gaya kuat memisahkan diri. Namun,
temperatur pada saat itu masih cukup tinggi untuk menyatukan gaya elektromagnetik
dan gaya lemah ke dalam gaya elektrolemah yang berkaitan dengan energi
~100 GeV. Energi ini setara dengan temperatur ~1015 K.
Pada saat inflasi berakhir (1032 s), energi potensial inflaton meluruh dan
mengisi alam semesta dengan plasma quark-gluon. Interaksi partikel berenergi tinggi
menghasilkan banyak partikel eksotik, termasuk boson dan dan mungkin juga
boson Higgs. Era elektrolemah berakhir ketika temperatur jatuh di bawah 1015 K yang
terjadi pada saat ~1012 s. Pada akhir era ini, boson dan meluruh dengan
cepat.
136
6.3.
6.3.1.
fundamental yakni gravitasi, elektromagnetik, gaya lemah, dan gaya kuat memiliki
bentuk seperti pada masa kini, namun temperatur masih terlalu tinggi bagi quark untuk
saling berikatan membentuk hadron18. Era quark dimulai kira-kira saat ~1012 s
setelah Big Bang, yaitu ketika Era Elektrolemah berakhir dengan terpisahnya gaya
elektromagnet dan gaya lemah. Selama Era Quark, alam semesta tersusun atas plasma
quark-gluon yang terdiri dari quark, gluon, dan lepton. Tumbukan antarpartikel terlalu
berenergi untuk membolehkan quark bergabung membentuk meson atau baryon. Era
quark berakhir ketika energi rata-rata interaksi partikel jatuh di bawah energi ikat
hadron yang diperkirakan terjadi saat alam semesta berusia sekitar 106 s.
6.3.2.
Era Hadron ( )
Era Hadron dimulai ketika alam semesta berumur sekitar 106 s, saat itu
temperatur jatuh hingga sekitar 1013 K (energi sekitar 1 GeV) yang menyebabkan
energi quark menurun sehingga tidak mampu lepas dari tarikan gluon. Akibatnya,
quark-quark saling berikatan melalui interaksi kuat membentuk baryon seperti proton
dan neutron, demikian pula anti-quark berikatan membentuk anti-baryon. Pada
mulanya, temperatur cukup tinggi untuk memproduksi pasangan baryon/anti- baryon,
membuat baryon dan anti-baryon berada dalam kesetimbangan termal. Ketika
temperatur berangsur menurun, pasangan baryon/anti-baryon tak lagi tercipta. baryon
dan anti-baryon kemudian teranihilasi menjadi foton. Namun, melalui proses yang
dikenal sebagai baryogenesis, terdapat sedikit ketidakseimbangan antara jumlah
baryon dan anti-baryon, dimana jumlah baryon lebih besar sekitar sepersemilyar
bagian, menyisakan sebagian baryon yang bertahan dari anihilasi baryon /anti-baryon.
18
Hadron adalah kelas partikel komposit yang terdiri dari gabungan quark (disebut baryon,
contohnya proton dan neutron), gabungan anti-quark (anti-baryon), atau gabungan antara quark dan
anti-quark (meson). Baryon dan anti-baryon termasuk kelas Fermion (memenuhi statistik FermiDirac), sedangkan meson termasuk kelas Boson (memenuhi statistik Bose-Einstein).
137
6.3.3.
Era Lepton ( )
Fisika cukup kompleks pada energi radiasi 20 MeV yang setara dengan
(6.6)
Kesetimbangan dimungkinkan terjadi karena energi foton rata-rata jauh lebih besar
daripada energi massa elektron-positron. Inti belum dapat terbentuk karena energi
foton lebih besar daripada energi ikat inti. Nukleon (proton dan neutron) memainkan
peran dalam mengkonversi elektron dan positron ke dalam neutrino dan antineutrino.
Neutrino dan antineutrino juga dalam kesetimbangan dalam interaksi.
+ +
+ + +
(6.7)
Yang mungkin terjadi karena energi elektron dan positron lebih besar daripada
perbedaan massa protonneutron. Dengan demikian jagad raya terdiri dari foton,
neutrino, antineutrino, elektron, positron, neutron, dan proton.
Neutrino tidak lagi tercipta dalam jumlah besar dan hancur pada temperatur
1010 K yang terkait dengan energi 2 dan berlangsung pada waktu
1 s. Kerapatan energi pada saat itu turun pada nilai
1033 3
10 10
2,7
1,88 105 3
Neutrino lepas dari kesetimbangan termal karena jagad raya mengembang sedemikian
sehingga kerapatan partikel sangat rendah untuk mendorong interaksi lemah yang
menciptakan dan membinasakan neutrino. Selama neutrino lepas dari kesetimbangan,
lebih banyak neutron berkonversi menjadi proton ketimbang sebalik-nya karena
neutron mempunyai massa lebih besar daripada proton.
138
+ + +
(6.8)
(6.9)
(0)
(0)
Dengan
(0)
dan
3/2
(6.10)
(0)
1,293/0,68 6,7
(6.11)
Jadi, proses ini menghasilkan proton sekitar 6,7 kali lebih banyak dibandingkan
neutron. Kesetimbangan protonneutron ini telah menuntun pada jumlah hidrogen
lebih banyak daripada helium pada alam semesta sekarang.
Pada energi < 1 MeV positron tidak lagi dicipta dalam jumlah besar, tetapi
positron masih dapat tetap lenyap bersama elektron (anihilasi leptonantilepton) dan
menghasilkan foton. Positron lenyap sangat cepat setelah neutrino lepas dari
kesetimbangan. Energi dari anihilasi elektron-positron ini menjamin distribusi berada
pada temperatur lebih tinggi dari neutrino.
6.3.4.
Era Foton ( . )
Setelah sebagian besar lepton dan antilepton teranihilasi pada akhir era lepton,
alam semesta didominasi oleh foton. Temperatur pada saat ini cukup tinggi untuk
membolehkan foton berinteraksi dengan proton dan elektron, tetapi masih terlalu
tinggi untuk membentuk inti atom (nukleus). Beberapa menit kemudian, temperatur
menurun sedemikian sehingga proton dapat berikatan dengan neutron.
139
Big Bang Nucleosynthesis (BBN) ialah proses pembentukan inti dari atom unsur
yang lebih berat daripada hidrogen (karena sebuah sebuah proton praktis adalah inti
hidrogen) dari nukleon yang telah tercipta sebelumnya. Proses ini berlangsung sejak 10
detik hingga 20 menit setelah Big Bang. Tahap awal produksi inti adalah pembentukan
deuterium melalui fusi dua proton
+ D + + +
(6.12)
Reaksi fusi proton dapat terjadi hanya jika proton cukup berenergi untuk
mengatasi tolakan elektrik dan jika kerapatan cukup besar untuk membuat laju reaksi
yang signifikan. Deuterium ( 21H) mungkin dipisah oleh foton energetik melalui proses:
+D+
(6.13)
Dengan demikian inti hanya dapat dibuat dalam rentang waktu pendek jika jagad raya
cukup panas dan padat bagi fusi proton tetapi juga tidak terlalu panas sehingga
deuterium terpisah oleh disintegrasi foton. Kondisi ini terjadi ketika temperatur alam
semesta 109 K yang terkait dengan energi 100 KeV dan berlangsung pada
waktu ekspansi 100 s. Kerapatan energi pada saat itu ialah
1033 3
10 9
2,7
18,8 3
(6.14)
H
+ D 3H + + +
diikuti
140
(6.15)
+ 3H +
Sejumlah kecil lithium-7 dan berilium-7 juga terbentuk melalui reaksi
3
4
He + 3H 7Li +
He + 3He 7Be +
(6.16)
Be + e 7Li +
Pembentukan inti lebih berat oleh fusi proton dengan partikel terhalangi karena tidak
terdapat inti stabil dengan jumlah atom lima.
Berdasarkan persamaan (6.11), kelimpahan proton berkisar 6,7 kali kelimpahan
neutron. Inti dari unsur-unsur stabil yang lebih berat daripada hidrogen ( > 1)
mengandung proton dan neutron dengan nisbah 1. Dengan demikian, fraksi massa
dari inti yang tersusun dari proton dan neutron ialah
>1 =
(0)
2
(0)
(0)
+
0,25
(6.17)
Sebagian besar inti yang tercipta dari penggabungan protonneutron ini ialah
helium, dengan fraksi kecil deuterium, helium-3, dan lithium-7. Sisa proton yang tidak
kebagian pasangan tidak lain ialah inti hidrogen, dengan fraksi massa
1 =
(0)
(0)
(0)
(0)
0,75
(6.18)
Kelimpahan unsur di alam semesta hasil nukleosintesis Big Bang ialah sekitar 75%
hidrogen, 25% helium, 0,01% deuterium, dan sangat sedikit isotop lithium.
Seiring pengembangan alam semesta, kerapatan radiasi menurun lebih cepat
dibandingkan kerapatan materi 19 , hingga keduanya menjadi setara pada saat
34 kyr atau pada 3.200. Sebagian besar foton berinteraksi dengan proton
dan elektron dalam lautan fotonbaryonelektron melalui hamburan Thomson. Akibat
penghamburan ini, foton tidak dapat merambat bebas sehingga alam semesta tampak
keruh (opaque).
19
141
6.4.
Radiation, CMB-Radiation) adalah sisa radiasi yang dipancarkan dari masa paling awal
alam semesta yang dapat diamati saat ini. CMB tidak lain adalah alam semesta pada saat
hamburan terakhir, last-scattering surface. CMB tampak sebagai radiasi benda hitam
dengan puncak spektrum berkaitan dengan temperatur = 2,7255 K .
Meskipun temperatur CMB nampak sangat seragam, namun terdapat variasi temperatur
dengan akar purata kuadrat,
2 1/2
1,1 105
(6.19)
Variasi temperatur ini pertama kali dipetakan oleh satelit COBE, kemudian
disusul oleh satelit WMAP dan Planck Cosmological Probe. Citra dari variasi temperatur
CMB dapat dilihat pada Gambar 6.2.
142
Gambar 6.2
Variasi temperatur pada CMB nampak sama ke segala arah (isotropik). Variasi
ini dapat dinyatakan dalam fungsi variasi terhadap arah bidang langit (, ).
() =
(6.20)
Untuk dapat mengetahui spektrum dari variasi temperatur ini, kita dapat
menggunakan deret harmonik semacam transformasi Fourier yang mengubah
() (). Namun karena CMB merupakan permukaan bola (sferis), maka mesti
digunakan fungsi harmonik untuk permukaan bola. Untuk itu dilakukan transformasi
() ke dalam fungsi harmonik sferikal menjadi
() = (, ) =
=0
(, )
(6.21)
Dengan
=
()
()
143
(2+1) ( )!
(cos )
4 (+ )!
() = (, ) =
(6.22)
/2
1 2
2 !
+
+
( 2 1)
(6.23)
2
=0 =0
=
=
(6.24)
Kuat spektrum biasanya dinyatakan dalam sajian fisis berupa kuadrat anomali
temperatur
()2
(+1)
2
2
(6.25)
Agar lebih mudah dipahami, perhatikan ilustrasi pada Gambar 6,3 berikut.
Gambar 6.3
144
(6.26)
Gambar 6.4
Selanjutnya,
dengan
menjumlahkan untuk
semua
nilai , akan
145
Gambar 6.5
146
6.5.
netral. Setelah itu, tidak ada peristiwa besar yang terjadi, belum terdapat bintang, tidak
terdapat sumber radiasi selain sisa radiasi CMB yang memudar. Masa ini disebut
sebagai masa kegelapan (dark ages), yang berlangsung sejak 0,4 150 Myr.
Quasar (inti galaksi aktif generasi awal) dan bintang-bintang generasi awal
terlahir (dihipotesiskan sebagai bintang populasi III) dari pengerutan gravitasi,
memulai reaksi fusi membentuk unsur-unsur berat. Radiasi yang dipancarkan oleh
quasar dan bintang generasi awal ini mengionisasi gas hidrogen di sekelilingnya.
Hidrogen kembali terionisasi dan saat itu sebagian besar alam semesta berupa plasma.
Proses ini dikenal sebagai reionisasi, yang berlangsung saat alam semesta berusia 150
Myr hingga 1 Gyr. Bintang populasi III ini diperkirakan sangat massif dan berumur
singkat. Saat bintang-bintang ini mengakhiri hidupnya melalui supernova, unsur-unsur
berat dilontarkan ke luar, menghasilkan kelimpahan unsur berat di alam semesta.
Variasi kecil kerapatan medan saat inflasi menyebabkan variasi kerapatan
energi kecil yang menjadi cikal-bakal formasi struktur. Belakangan, daerah dengan
kerapatan lebih besar dibanding sekelilingnya mulai mengerut akibat gravitasi dan
membentuk protogalaksi. Protogalaksi pertama yang diketahui muncul saat alam
semesta berusia sekitar 400 Myr. Bintang-bintang populasi II segera terbentuk dalam
galaksi, kemudian galaksi pun berevolusi lebih lanjut, membentuk struktur cakram
(pada galaksi spiral) dan memulai pembentukan bintang populasi I. Interaksi gravitasi
antara galaksi-galaksi yang berdekatan kemudian membentuk struktur yang lebih
besar, yang akan dibahas lebih lanjut pada Upabab 6.7.
6.6.
itu, dibahas pula mengenai materi gelap, mulai dari mana kita menyimpulkan
keberadaan materi gelap, jumlah dan sebarannya di alam semesta, serta hipotesis
mengenai kandidat materi gelap.
Sunkar E. Gautama | Pengantar Kosmologi
147
6.6.1.
Galaksi
Galaksi adalah kumpulan dari bintang-bintang, gugus bintang, nebula, serta gas
dan debu antar bintang yang terikat oleh interaksi gravitasi dan berevolusi mengelilingi
suatu pusat bersama. Hubble mengelompokkan galaksi ke dalam diagram garpu talanya
yang populer. Berdasarkan penampakannya, galaksi dapat digolongkan ke dalam
galaksi elips (E), galaksi spiral (S), galaksi spiral batang (SB), dan galaksi tak beraturan
(Irr). Variasi bentuk galaksi ini sebagian besar disebabkan oleh variasi kerapatan gas di
dalamnya. Jika kerapatan gas bakal galaksi sangat tinggi, bakal galaksi tadi akan
berevolusi menjadi galaksi elips. Sebaliknya jika kerapatan gas dalam bakal galaksi
cukup rendah, ia akan berevolusi menjadi galaksi spiral.
Gambar 6.6
Galaksi elips yang pada mulanya memiliki kerapatan tinggi membentuk bintang
dengan sangat cepat. Oleh karena itu, galaksi elips didominasi oleh bintang-bintang
evolusi lanjut (populasi II) dan minim gas antar bintang karena sebagian besar telah
dipakai untuk membentuk bintang. Tidak seperti galaksi spiral yang nampak memiliki
148
struktur yang cukup kompleks, galaksi elips nampak polos seperti kumpulan bintangbintang dalam formasi elipsoid. Berdasarkan kepepatannya, galaksi elips dibagi menjadi
delapan subkelas yaitu E0, E1, , E7. Angka di belakang huruf E menandakan rasio
kepepatan galaksi, 10(1 /), dengan adalah setengah sumbu pendek dan adalah
setengah sumbu panjang dari proyeksi elips.
Galaksi lentikular, S0, adalah galaksi yang berbentuk cakram yang tidak
memperlihatkan struktur lengan. Kelas ini ialah bentuk transisi antara galaksi elips dan
galaksi spiral. Galaksi lentikular dapat dipandang sebagai galaksi elips yang sangat
pipih, atau galaksi spiral dengan lengan yang sangat rapat sehingga nampak menyatu
menjadi cakram homogen.
Galaksi spiral dan spiral berbatang memiliki kerapatan yang relatif rendah, oleh
karenanya bintang-bintang terbentuk lebih lambat dibandingkan pada galaksi elips.
Akibatnya, galaksi spiral memiliki lebih banyak bintang-bintang muda (populasi I) dan
kaya akan gas antar bintang. Secara umum, struktur galaksi spiral dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu bulge (di tengahnya terdapat inti), cakram (disc) dengan struktur
lengan spiral, dan halo. Galaksi spiral dan spiral berbatang masing-masing dibedakan ke
dalam tiga sub kelas berdasarkan kerapatan bukaan lengan-lengannya yang ditandai
dengan huruf a, b, dan c (lihat Gambar 6.6). Galaksi Bima Sakti sendiri termasuk
kategori galaksi spiral berbatang, SBc.
Daerah lengan spiral didominasi oleh bintang-bintang evolusi awal (populasi I)
yang sangat terang dan kaya akan gas/nebula dan biasanya berkelompok dalam gugus
galaktik20 (galactical cluster), sedangkan bintang-bintang pada daerah cakram di antara
lengan spiral didominasi oleh bintang yang lebih tua dan jauh lebih redup daripada
bintang-bintang pada lengan spiral. Daerah bulge didominasi oleh bintang-bintang
evolusi lanjut (populasi II) serta mengandung gas dan debu antarbintang yang sangat
rapat. Di tengah-tengah bulge terdapat inti yang kemungkinan besar berupa lubang
hitam supermasif. Halo merupakan struktur berbentuk bola yang melingkupi cakram
galaksi. Pada daerah halo hanya ditemukan sedikit bintang dibandingkan pada lengan
atau bulge, dan semua bintang pada daerah ini adalah bintang populasi II. Bintang20
Gugus galaktik adalah gugusan bintang pada lengan galaksi, bukan gugus galaksi.
149
bintang pada halo biasanya berkelompok dalam struktur bola yang dikenal sebagai
gugus bola (globular cluster).
Gambar 6.7
Skema komponen galaksi spiral, cakram dari lengan spiral, bulge, dan
halo. Di tengah-tengah bulge terdapat inti yang kemungkinan besar
berupa lubang hitam super masif.
(Sumber: http://pages.uoregon.edu/soper/MilkyWay/structure.html)
ratio).
21
Meskipun dapat dikatakan kedua galaksi bertabrakan, namun sangat kecil kemungkinannya
bintang-bintang dari kedua galaksi tadi bertabrakan satu sama lain.
150
(6.27)
dengan mengukur luminositas dan memperkirakan distribusi bintang dalam galaksi itu.
Diketahui hubungan antara massa dan luminositas bintang memenuhi pendekatan
3,5
(6.28)
Dengan demikian, perkiraan massa dari suatu galaksi dapat dihitung. Penting untuk
diingat bahwa massa yang dihitung dengan metode ini hanyalah massa yang teramati
secara visual, yakni bintang-bintang. Adapun objek tak bersinar tidak tercakup dalam
hitungan. Oleh karena itu, nisbah massa-luminositas dari galaksi tentulah lebih besar
daripada satu.
Distribusi intensitas radial galaksi dapat dimodelkan secara empiris, misalnya
dalam model Sersic (profil Sersic),
() = 0
1/
(6.29)
Dengan 0 intensitas pada pusat, tetapan empiris, dan jarak radial dari pusat. Jika
= 1, model Sersic tereduksi menjadi profil peluruhan eksponensial, sedangkan profil
Sersic untuk = 4 dikenal sebagai profil de Vaucouleurs.
6.6.2.
Materi Gelap
Prediksi mengenai materi gelap (dark matter) diawali oleh penelitian astronom
Vera Rubin yang menemukan ketidaksesuaian antara kecepatan revolusi objek langit
pada galaksi Bima Sakti dengan sebaran massa yang nampak pada galaksi.
Berdasarkan hukum gravitasi Newton, gaya gravitasi yang dikenai suatu massa
akibat interaksi gravitasinya dengan massa ialah
= =
151
( < )
2
(6.30)
(6.31)
()
(6.32)
()2
(6.33)
()
(6.34)
Dari penjabaran sebelumnya, galaksi spiral dapat kita pisahkan ke dalam tiga
struktur utama yaitu bulge, cakram, dan halo. Kontribusi massa bulge dan halo yang
mempengaruhi dapat diperoleh dari persamaan (6.33), sedangkan untuk cakram
dapat diperoleh dari persamaan (6.34). Dari perolehan itu, selanjutnya kita dapat
memperoleh nilai kecepatan rotasi dengan menggunakan persamaan (6.31).
22
152
() =
( + + )
2 + 2 + 2
(6.35)
Plot fungsi () terhadap ini disebut kurva kecepatan rotasi atau kurva rotasi
diferensial. Agar dapat memperoleh fungsi kecepatan rotasi (), maka perlu diketahui
massa bulge ( ), massa cakram ( ), massa halo ( ), dan fungsi kerapatan radial
tiap komponen (). Besarnya massa tiap komponen ini dapat diukur dengan metode
nisbah massa-luminositas. Dengan mengukur kecerlangan sepotong bidang langit, maka
dapat dihitung massa bintang-bintang yang tercakup pada bidang itu. Selain itu perlu
juga diketahui parameter dimensi seperti jejari bulge ( ), jejari cakram ( ),
ketebalan rata-rata cakram (), dan jejari halo ( ). Tentunya batas antara ketiga
struktur tadi bukanlah batas yang tajam, melainkan berupa gradasi. Untuk itu
digunakan kuantitas radius efektif, yakni radius yang mencakup 90% dari massa
komponen yang dimaksud.
Adapun fungsi kerapatan radial dapat dimodelkan berdasarkan dari profil
kecerlangan radial dan kuantitas . Dengan menyulihkan parameter-parameter di atas
ke dalam persamaan (6.33), (6.34), dan (6.35), maka dapat diplot kurva kecepatan
diferensial galaksi. Namun, jika hasil ini dibandingkan dengan data pengukuran
kecepatan bintang berdasarkan efek Doppler dan gerak sejatinya, akan nampak bahwa
keduanya tidak bersesuaian. Berdasarkan pemodelan di atas, diperoleh profil kecepatan
rotasi meningkat secara linear pada kisaran jarak 0 < , menurun kemudian
hampir datar pada kisaran < , dan terakhir menurun dengan profil 1/2
pada jarak > . Sedangkan berdasarkan hasil pengkuran efek Doppler dan proper
motion pada bintang-bintang dalam Bima Sakti, diperoleh kurva kecepatan rotasi yang
nyaris konstan setelah mencapat puncaknya pada = . Bahkan pada jarak yang lebih
jauh daripada sekalipun (data diperoleh dengan mengukur kecepatan rotasi galaksi
satelit Bima Sakti, seperti Small Magellanic Cloud, Large Magellanic Cloud, Sagittarius
dSph, Botes dSph, dan beberapa lainnya), kecepatan rotasi tetap saja mendekati
konstan.
153
Gambar 6.8
Berdasarkan hasil analisis kurva rotasi galaksi, dapat diperoleh parameter fisis
galaksi Bima Sakti. Beberapa nilai parameter, seperti ukuran halo dan massa halo tidak
dapat dihitung dengan akurat dan nilai yang diperoleh dapat berbeda-beda tergantung
metode yang digunakan. Berikut ini beberapa data parameter galaksi Bima Sakti.
1,6 kpc
1,8 1010
16 18 kpc
6,5 1010
30 40 kpc
7 1011
8,3 kpc
Berdasarkan hasil yang diperoleh ini, kita dapat berkesimpulan terdapat materi
yang tak nampak (tak memancarkan radiasi sehingga luput dari perhitungan rasio light-
to-mass) yang menyusun galaksi kita dan terditribusi hingga jauh lebih besar daripada
. Dengan menggunakan persamaan (6.35), dapat diketahui profil kurva rotasi
difrensial yang ditimbulkan oleh materi tak nampak ini. Dari profil ini, dapat diketahui
perbandingan massa materi yang tak nampak ini besarta sebaran di galaksi. Dari hasil
perhitungan, diperoleh materi tak nampak ini menyusun sekitar 80% dari total massa
galaksi dan tersebar dalam distribusi bola, seperti perluasan halo galaksi.
154
Gambar 6.9
Gambar 6.10
Beberapa contoh kurva rotasi galaksi (Rubin et al 1978 ApJ 225 L107).
(Sumber:
https://www.astro.virginia.edu/class/whittle/astr553/Topic05/t5_ro
tcurv.html)
155
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai distribusi dari materi tak nampak ini,
astronom juga menggunakan metode pelengkungan gravitasi (gravitational lensing).
Berdasarkan teori relativitas umum, cahaya yang melewati sebuah benda masif akan
dilengkungkan. Dengan mencari dan mengamati pelengkungan cahaya dari galaksigalaksi jauh, astronom dapat memetakan sebaran materi tak nampak ini dan
memperkirakan massanya, yang mana bersesuaian dengan hasil dari metode kurva
rotasi diferensial.
Meskipun kita dapat mengukur kisaran massa dari materi yang tak nampak itu,
kita belum dapat mengetahui apa sebenarnya materi yang menyusunnya karena mereka
tak memancarkan radiasi dan tidak pula teramati berinteraksi dengan partikel lain
selain dengan interaksi gravitasi. Oleh karena itu untuk alasan yang mudah
dimengerti ilmuwan menyebutnya sebagai materi gelap (dark matter).
Materi gelap merujuk pada sembarang partikel/objek yang berkontribusi
menyusun galaksi dan alam semesta namun tak dapat diamati dalam spektrum
elektromagnet. Dengan demikian, definisi materi gelap lebih kepada suatu kategori
objek alih-alih jenis/kelas partikel. Oleh karena itu, materi gelap ini dapat saja tersusun
dari berbagai objek yang berbeda.
6.6.3.
gelap itu, para astronom dapat memprediksi seperti apa materi gelap itu sebenarnya.
Berikut ini beberapa kandidat materi gelap yang diajukan oleh para ilmuwan.
A. Materi Gelap Baryonik: MACHO
Massive Compact Halo Object (MACHO) adalah kandidat materi gelap baryonik.
Sesuai dengan namanya, MACHO adalah objek masif yang padat seperti katai coklat,
katai putih, bintang neutron, lubang hitam, dan nebula gelap.
Bintang terlahir dari awan gas (utamanya tersusun atas hidrogen dan helium)
yang mengerut akibat tarikan gravitasi. Gas yang mengerut akan meningkatkan
temperatur dan menghasilkan tekanan termal yang melawan pengerutan. Jika massa
156
gas yang mengkerut ini cukup besar sedemikian sehingga tekanan termal akibat
pengerutan gas tidak dapat melawan tarikan gravitasi, maka gas tadi akan terus
mengerut sehingga temperatur intinya terus meningkat. Jika temperatur dari inti
protobintang ini melampaui 107 K, maka atom-atom hidrogen pada inti protobintang
memiliki energi yang cukup untuk memulai reaksi fusi hidrogen. Dari reaksi fusi ini,
protobintang tadi memancarkan radiasi yang mengimbangi tarikan gravitasi dan
protobintang mantap menjadi bintang. Namun jika massa dari awan gas mula-mula ini
tidak cukup besar untuk memulai reaksi fusi pada intinya 0,08 , maka
protobintang tadi menjadi stabil hanya dengan tekanan termal saja, dan dengan
demikian hampir tidak memancarkan radiasi elektromagnetik sehingga sulit terdeteksi.
Objek seperti ini disebut katai cokelat.
Jika suatu bintang katai 0,08 < < 5 pada akhirnya kolaps melalui
helium flash atau nova atau supernova, maka selubung luar bintang akan terlontar
keluar menyisakan inti yang padat. Jika massa sisa bintang lebih kecil daripada batas
massa Chandrasekhar (sekitar 1,44), maka degenerasi elektron akan menahan inti
tadi dari keruntuhan gravitasi. Sisa ledakan bintang seperti itu dikenal sebagai katai
putih. Katai putih memiliki massa sekitar massa Matahari namun jejarinya hanya
beberapa ribu kilometer, menjadikan katai putih sangat rapat dan panas, namun
luminositasnya sangat rendah karena tidak lagi melangsungkan fusi nuklir.
Jika sisa dari keruntuhan bintang lebih besar daripada 1,44 , namun lebih
kecil daripada 2 , degenerasi elektron tidak mampu menahan pengerutan gravitasi
dari sisa inti bintang. Sisa inti bintang ini akan terus mengerut hinga memaksa elektron
dan proton bergabung menjadi neutron. Sisa inti bintang ini pada akhirnya hanya
tersusun atas neutron yang sangat padat, dan tekanan yang muncul dari degenerasi
neutron-neutron kemudian menahan pengerutan gravitasi lebih lanjut. Kesetimbangan
terjadi saat jejari dari sisa inti bintang ini hanya sekitar beberapa belas kilomater. Objek
seperti ini dinamakan bintang neutron.
Bila ternyata massa dari sisa keruntuhan bintang lebih besar daripada 2 ,
maka gaya dari degenerasi neutron tidak cukup kuat untuk menghalau pengerutan lebih
lanjut hingga jejari sisa inti bintang menjadi lebih kecil daripada jejari Schwarzchild,
157
= 2/ 2 dan bintang tadi runtuh ke dalam singularitas yang dikenal sebagai lubang
hitam. Secara klasik, tidak ada isyarat yang dapat keluar dari lubang hitam, dan dengan
demikian lubang hitam tidak dapat terdeteksi secara langsung.
B. Materi Gelap Non-Baryonik: WIMP
Meskipun materi gelap paling tidak sebagian porsinya, kemungkinan kuat
berupa partikel baryonik, terdapat pula kemungkinan bahwa materi gelap juga memuat
partikel relik yang berinteraksi lemah. Kategori materi gelap berupa partikel relativistik
yang berinteraksi sangat lemah ini dinamakan Weakly Intercting Massive Particle
(WIMP). Kandidat kuat dari WIMP misalnya neutrino berat, yang mungkin tercipta
pada saat nukleosintesis. Seperti yang diketahui, pada saat nukleosintesis alam semesta
tersusun dari baryon dan elektron, foton, dan tiga jenis neutrino. Jika pada saat
nukleosintesis tercipta pula partikel serupa neurino yang masif, maka massa neutrino
berat ini berkonribusi sebagai materi gelap, dan sifat interaksi neutrino yang teramat
lemah tidak akan banyak mempengaruhi proses nukleosintesis. Kandidat lain dari
WIMP adalah partikel supersimetri yang merupakan partikel spekulasi dalam teori
supersimetri (SUSY).
Materi Gelap juga dapat digolongkan berdasarkan sifat relativistiknya: Hot Dark
Matter (HDM) yang berupa partikel relativistik dan Cold Dark Matter (CDM) yang
berupa materi non-relativistik (memenuhi dust approximation). Prediksi dari CDM
secara umum cocok dengan data pengamatan, meskipun terdapat juga beberapa
ketidaksesuaian, antara lain CDM memprediksi keberadaan galaksi katai dalam jumlah
besar, yang mana data pengamatan menunjukkan nilai yang jauh di bawahnya.
6.7.
dalam struktur hirarki. Gugus galaksi (cluster of galaxies) adalah kumpulan galaksigalaksi bertetangga yang terikat oleh interaksi gravitasi. Bima Sakti terletak dalam Grup
Lokal, yang berdiameter sekitar 10 Mly dan mengandung lebih dari 54 galaksi, yang
mana didominasi oleh galaksi-galaksi katai. Selanjutnya, gugus-gugus galaksi yang
158
berdekatan terikat secara lemah dalam kelompok yang lebih besar yang dinamakan
supergugus (supercluster). Grup Lokal terletak dalam Supergugus Laniakea (sebelum
September 2014, Grup lokal dimasukkan ke dalam Supergugus Virgo), yang merentang
hingga 520 Mly. Supergugus Laniakea terdiri dari tiga upabagian yakni Supergugus
Virgo (di mana Grup Lokal berada) 23, Supergugus HydraCentaurus (berisikan Great
0
()
(6.36)
Dengan menyulihkan 0 , diperoleh radius horizon partikel, yang tidak lain ialah radius
alam semesta teramati bernilai sekitar 47 Gly. Volume dari alam semesta teramati ini
ialah
4
3
= 3 0
435.000 Gly 3 3,68 1080 m3
23
Semenjak definisi baru supergugus, supergugus Virgo mungkin lebih tepat disebut sebagai
subsupergugus Virgo.
159
Kerapatan alam semesta sangat mendekati kerapatan kritis saat ini, 0 = 302 /8 =
0,85 1026 kg m3 , sehingga massa total alam semesta teramati ialah sekitar
3,1 1054 kg . dengan kandungan baryon 4,8% dari total massa atau sekitar
1,5 1053 kg.
Gambar 6.11
160
Citra jaring kosmik yang diambil oleh Sloan Digital Sky Survey (SDSS).
Bagian yang terpotong adalah bidang langit yang tertutup oleh piringan
galaksi Bima Sakti (zone of avoidance).
(Sumber: http://www.gizmag.com/cosmic-web-fluorescent-filamentquasar-discovery/30584/)
Daftar Pustaka
Ade, P. A. R. et al. (2013), Planck 2013 Results. XVI. Cosmological Parameters,
Astronomy & Astrophysics manuscript no. draftp1011.
Anugraha, R. (2004), Pengantar Teori Relativitas dan Kosmologi, Gadjah Mada
University Press.
Davis, Tamara M. (2003), Fundamental Aspects of the Expansion of the Universe and
Cosmic Horizons (Doctor Thesis), University of New South Wales.
Dirac, P.A.M. (1975), Teori Relativitas Umum (terjemahan), John Wiley and Sons.
Giostri, R. et al (2012), From Cosmic Deceleration to Acceleration: New Constraints
from SN Ia and BAO/CMB, arXiv: 1203.3213
Guth, A. H. (2000), Inflation and Eternal Inflation, arXiv:astro-ph/0002156v1.
_____. (2004), Inflation, Massachusets Institute of Technology.
Kaku, M. (2005), Parallel Worlds: A Journey Through Creation, Higher Dimensions, and
the Future of the Cosmos, Doubleday.
Lesgourgues, J. (2006), Inflationary Cosmology (Lecture notes), LAPTH.
Linde,
161
Senatore, L. (2013), School and Workshop on New Light in Cosmology from the CMB,
The Abdus Salam International Centre for Theoretical Physics.
Terzic, B. PHYS 652: Astrophysics. [http://www.nicadd.niu.edu/~bterzic/PHYS652].
van Ess, V. (2012), Higgs Inflation (Master Thesis), Rijksuniversiteit Groningen.
Visser, D. (2008), Inflation by a Massive Scalar Field (Bachelor Thesis), University of
Gottingen.
162
Lampiran
Parameter
Best fit
68% limits
2 *
0,022068
0,02207 0,00033
2 *
0,12029
0,1196 0,0031
100
1,04122
1,04132 0,00068
0,0925
0,097 0,038
0,9624
0,9616 0,0094
ln 1010
3,098
3,103 0,072
0,6825
0,686 0,020
**
0,3175
0,314 0,020
11,35
11,4+4,0
2,8
67,11
67,4 1,4
1090,43
1090,37 0,65
3402
3368 69
panjang Planck
/ 3
1,616 1035 m
waktu Planck
/ 5
5,391 1044 s
massa Planck
2,177 108 kg
parsec
pc
1000 km s1 Mpc 1
0 = 0,674 0,014
waktu Hubble
0 = 01
2,7255 0,0006 K
0 = 2 0
2,604 105 eV m3
0 = 80
4,74 GeV m3
1,02 0,02
4,902 105
0,049
3 2
0,268
0,683
= 2
Dengan menggunakan tensor metrik FRW pada persamaan (2.24), simbol Christoffel
hanya dapat bernilai tidak nol jika (1) = = , (2) = , dan (3) = dan
simetrinya = . Terdapat 19 simbol Christoffel yang tidak nol yakni:
1
11
= 1 2
0
11
= 1 2
0
22
= 2
0
33
= 2 sin2
1
33
= sin2 (1 2 )
3
3
03
= 30
=
2
33
= sin cos
2
2
12
= 21
=
3
3
13
= 31
=
3
3
23
= 32
= cot
1
1
01
= 10
=
2
2
02
= 20
=
1
22
= (1 2 )
Tensor Ricci:
00 = 00
0 0
+ 00
0 0 0
= 0 0 0
+ 0 0 0
1
2
3
1
= 0 10
+ 0 20
+ 0 30
10
3 2
= 2
2
20
3
30
11 = 11
1 1
+ 11
1 1
0
1
1
2
3
0
1
2
3
1
1
2
= 0 11
+ 1 11
1 11
+ 21
+ 31
+ 11
10
+ 20
+ 30
+ 11
11
+ 21
+
3
31
1 0
0 1
1 1
2 2
3 3
10
11 + 11
10 + 11
11 + 21
21 + 31
31
1 2
1 2 1 2
2
2
1 2
1
1 2
2
2
1 2
1
++
2
1 2 2
+2
1 2
1 2
2 2
1 2 2
+ +
1 2
+ 1 2
5 2 2 4 2
2 1 2 2
2 2
1 2 2
2 2 2
1 2 2
+
1
+ 2 + 2
3 2 4 4 2 +2
2 1 2 2
+ 2
22 = 22
2 2
+ 22
2 2
0
1
3
0
1
2
3
1
1
2
3
= 0 22
+ 1 22
2 32
+ 22
10
+ 20
+ 30
+ 22
11
+ 21
+ 31
2 0
2 1
0 2
1 2
3 3
02
22 + 12
22 + 22
20 + 22
21 + 32
23
2 + 3
+ +
cot +
2 + 3 + 2
= 2 2 + 3 2 1 1 cot 2 + 3 2
2 2 2 + cot 2
= 2
2
2
+2
+ 2
+ 3
1 2
+ cot 2
+ 2 2 2 2
33 = 33
3 3
+ 33
3 3
0
1
2
0
1
2
3
1
1
2
3
= 0 33
+ 1 33
+ 2 33
0 + 33
10
+ 20
+ 30
+ 33
11
+ 21
+ 31
+
2 3
3 0
3 1
3 2
0 3
1 3
2 3
33
32 03
33 + 13
33 + 23
33 + 33
30 + 33
31 + 33
32
2 sin2 + sin2 3
1 2
sin2 3
sin 2
sin cos
2 sin2
2 sin2 +
+ sin2
2
2
cos2 2 2 sin2
2 sin2 + 2 sin2
1 2
2
1
2
2
1
2
= 2 sin2 2 + 2
+ 2
3 2
2 +
2
+ 2
2 2 sin 2
= = 2
2
2
+2
2 sin2
2
2
+ 2
+2
1
22
+ 2
2
2
00 = 00 2 00 00 = 8 00
00 =
3 2
2
1
2
1
3
00 = 2
6 2
2 2
2
1 = 8
+ 2 = 8
11 = 11 11 11 = 8 11
1
11 = 1 2
8
2
2
+2
2
1 2
+ 2 2
2
2
2
1 2
2
1 2
11 =
2
2
+2
+ 2 3
2 2
2
11 = 2
2
2
2
+ + 2 = 82
2 + = 8
Indeks
A
hadron: 137
halo: 149, 152
hamburan terakhir: 68, 108, 113, 142,
homogen: 43, 70, 82, 117, 159
horizon partikel: 66, 68, 113, 159
horizon peristiwa: 66, 70, 113
Hubble friction: 124, 135
hukum Hubble: 3, 45, 67
B
baryogenesis: 137
baryon: 40, 83, 101, 137
Big Bang: 3, 73, 133
bilangan e-fold: 115
bola Hubble: 66, 67
bola-hiper: 4, 40, 55
bulge: 149, 152
I
inflaton: 121, 123, 135,
isotropik: 31, 43, 70, 143, 159
E
efek Doppler: 45, 50, 153
elemen garis: 13, 23, 40
energi gelap: 76, 85, 101
energi vakum: 31, 77, 86, 92, 135
F
faktor skala: 48, 63, 80, 92, 102, 115
false vacuum : 125
G
garis dunia: 59
gugus bola: 150
gugus galaksi: 110, 136, 158
gugus galaktik: 149
L
Lagrangian: 36, 38, 119
lepton: 137, 138
light-like: 59
lilin standar: 75
M
MACHO: 156
magnitudo: 8, 63, 75,
magnitudo mutlak: 63, 75
masalah horizon: 4, 113, 117
masalah kedataran: 111, 115
materi gelap: 4, 84, 101, 147, 151
N
nukleosintesis: 141, 158
null-like: lih. light-like
O
observable universe : lih. alam semesta
teramati
P
parameter Hubble: 45, 48, 103, 115, 123
parameter kerapatan: 87, 112, 146
parameter perlambatan: 51, 103
parameter slow-roll: 123, 128,
pendekatan slow-roll: 126
pergeseran merah: 45, 50, 62, 76,
pergeseran paralel: 17, 20
persamaan fluida: 82, 95, 123, 135,
persamaan Friedmann: 73, 77, 79, 82, 86
persamaan keadaan: 82, 86, 95, 128
persamaan Klein-Gordon: 121, 124
persamaan kontinuitas: lih.persaman fluida
persamaan medan Einstein: 32, 35, 39, 80
persamaan percepatan: 80, 82
profil Sersic: 151
proper time: 56
R
radius Hubble: 67
reionisasi: 147
rekombinasi: 116, 142, 147
S
simbol Christoffel: 17, 21, 25
skala alam semesta: 48, 55, 79, 82
space-like: 58
supernova: 58, 75, 101, 147, 157
T
tensor: 8, 14,
tensor Einstein: 30, 35
tensor kontravarian: 10, 14
tensor kovarian: 11, 14,
tensor metrik: 10, 16,
V
vektor-4: 13
visible universe: lih. alam semesta nampak
W
waktu konformal: lih. conformal time
waktu kosmik: 43, 56
waktu Planck: 108, 111, 134
waktu runut-balik: 65
WIMP: 158
Pengantar Kosmologi
Sunkar E. Gautama
Paradoks Softbook Publisher