LP Ulkus Dekubitus
LP Ulkus Dekubitus
diantara
tonjolan
tulang
dengan
permukaan
eksternal dalam jangka waktu lama (National Pressure Ulcer Advisory Panel
(NPUAP), 1989 dalam Potter & perry, 2005). Luka tekan dapat digambarkan
sebagai lesi yang disebabkan oleh tekanan yang terus menerus, gesekan
atau robekan. Luka tekan terjadi paling sering di sakrum dan tumit tetapi dapat
berkembang dimanapun pada tubuh termasuk koksigis, oksiput, klavikula,
telinga, dan hidung (New South Wales Health, 2003). Dekubitus adalah
area setempat dari jaringan lunak yang mengalami infark yang terjadi ketika
tekanan diberikan pada kulit melebihi tekanan penutupan kapiler normal,
sekitar 32 mmHg (Smeltzer & Bare, 2002).
Dekubitus adalah kerusakan lokal dari kulit dan jaringan dibawah kulit
yang disebabkan penekanan yang terlalu lama pada area tersebut (Ratna
Kalijana, 2008). Luka dekubitus adalah suatu area yang terlokalisir dengan
konsensus
NPUAP
(1995)
mengubah
defenisi
untuk
tahap
yang
2. Derajat II
Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka
superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang
dangkal.
3. Derajat III
Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik
yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang
berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam
dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
4. Derajat IV
Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis jaringan;
atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya kerusakan
jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi.
berisiko
tinggi
mengalami
gangguan
integritas
kulit
atau
nyeri
terlalu
besar.
memahami
Klien
dapat
koma tidak
mengubah
ke
posisi
bagaimana
merasakan
menghilangkan
tekanan
dan
tidak
tekanan.
mampu
kulit
jika
gips terlalu
ketat
dikeringkan
atau
ekstremitasnya
mikrosirkulasi lokal
kemudian
kulit.
Kulit
sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut
(Potter&Perry, 2005). Pasien yang mempunyai kadar protein rendah
atau yang keseimbangan nitrogen negatif mengalami penipisan jaringan
dan menghambat perbaikan jaringan (Brunner&Suddarth, 2002). Albumin
serum merupakan indikator yang sensitif terhadap defisisensi protein.
Kadar albumin kurang dari 3,0 g/ml berkaitan dengan edema jaringan
hipoalbuminemia dan meningkatkan risiko
Selain itu, level albumin
terjadinya
luka
dekubitus.
penyembuhan luka.
e. Edema
Klien yang mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminemia
menyebabkan
perpindahan
jaringan sehingga
terjadi
volume
edema.
cairan
ekstrasel
kedalam
edema
meningkatkan
kecepatan
Anemia
iskemi
yang
menyebabkan
yang
berguna
untuk
sebagai
bantalan
tonjolan
tulang
sehingga
Infeksi
Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Klien infeksi
biasa mengalami demam. Infeksi dan demam menigkatkan kebutuhan
metabolik tubuh membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan
oksigen) semakin rentan
mengalami
cedera
akibat
iskemi
k. Usia
Kulit pada lansia mengalami penurunan ketebalan epidermal,
kolagen dermal, dan elastisitas jaringan. Kulit lebih kering sebagai
dan
kardiovaskular
aktivitas
kelenjar
mengakibatkan
penurunan
keringat.
perfusi
(Husain,
1953; Trumble,
1930)
dalam
Potter&Perry,
2005)).
Beberapa tempat yang paling sering terjadi dekubitus adalah sakrum, tumit,
siku, maleolus lateral, trochanter besar, dan tuberositis iskial (Meehan,
1994 dalam Potter & Perry, 2005). Dekubitus terjadi sebagai hasil
hubungan antara waktu dan tekanan (Scotts, 1988 dalam Potter & Perry,
2005). Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula
insiden
terbentuknya
luka.
Kulit
dan
jaringan
subkutan dapat
yang akhirnya
merata.
Seseorang
mendapatkan
tekanan
mengalami
gangguan.
Repons kompensasi
jaringan
yang
disebabkan
oleh
tekanan
dapat
5. Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun
dapat juga terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Sabandar (2008)
komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
Septikemia.
Anemia.
Hipoalbuminemia.
Kematian.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Kultur dan analisis urin
Kultur ini dibutuhakan pada keadaan inkontinensia untuk melihat apakah ada
masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama pada trauma
medula spinalis.
b. Kultur Tinja
Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk melihat leukosit
dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi pseudomembranous colitis.
c. Biopsi
Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan dengan
pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus kronik untuk melihat
apakah terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Selain itu, biopsi
bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang menginfeksi ulkus dekubitus.
Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi osteomyelitis.
d. Pemeriksaan Darah
Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel darah putih dan
laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi bakteremia dan sepsis.
e. Keadaan Nutrisi
Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses
penyembuhan ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah albumin
level, prealbumin level, transferrin level, dan serum protein level.
Radiologis: Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang
akibat osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X,scan
tulang atau MRI.
7. Penilaian resiko luka decubitus
Empat instrumen yang digunakan mengkaji resiko terjadi dekubitus
dapat segera mengidentifikasi klien beresiko tinggi. Pencegahan dan
pengobatan dekubitus merupakan prioritas utama keperawatan, beberapa
skala pengkajian resiko yang dikembangkan perawat yaitu diantara lain:
a) Skala Norton
Skala tersebut menilai lima faktor resiko: kondisi fisik, kondisi mental,
aktivitas, mobilisasi, dan inkontinensia. Total nilai berada diantara 5 sampai
2, total nilai rendah mengindikasikan resiko tinggi terjadi dekubitus. Saat ini
nilai 16 adalah sebagai nilai yang beresiko (Norton, 1989)
Skala Norton
Resiko terjadi dkubitus jika skor total < 14 (sumber: Morison, Moya J.
2003)
b) Skala Gosnell
Skala tersebut menilai lima faktor resiko: Nutrisi, status mental,
kontinensia, mobilisasi, dan aktivitas. Total nilai berada dalam rentang antara
5 sampai 20, dimana nilai total tertinggi mengindikasikan resiko dekubitus
(Gosnell, 1989).
c) Skala Knoll
Delapan faktor resiko meliputi status kesehatan umum, status mental,
status aktivitas, mobilisasi, inkontinensia, asupan nutrisi melalui oral, asupan
cairan melalui oral, dan penyakit yang menjadi faktor predisposisi. Total nilai
berada di rentang 0 sampai 33, total nilai tinggi mengindikasikan risiko
dekubitus. Nilai risiko berada pada nilai 12 atau lebih.
d) Skala Braden
Dalam skala Braden terdapat 6 (enam) subskala untuk menentukan tingkatan
risiko terjadinya dekubitus. Subskala tersebut antara lain adalah; 1. Persepsi
Sensorik, 2. Kelembapan, 3. Aktivitas, 4. Mobilisasi, 5. Nutrisi, 6. Friksi dan
Gesekan.
Berikut adalah penjelasan dari masing-masing skala:
1. Persepsi Sensorik
Definisi: kemampuan untuk merespon tekanan berarti yang berhubungan
dengan ketidaknyamanan. Pada subskala ini terdapat 4 (empat) tingkat nilai,
yaitu; 1 adalah nilai terendah (risiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (risiko
rendah).
Nilai 1 diberikan apabila terjadi keterbatasan total, yaitu tidak adanya respon
pada stimulus nyeri akibat kesadaran yang menurun ataupun karena
pemberian
obat-obat
kemampuan
untuk
Definisi: Tingkat Aktifitas Fisik. Pada subskala ini terdapat 4 (empat) tingkat
nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (risiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi
(risiko rendah).
Nilai 1 diberikan kepada klien dengan tirah baring, yang beraktifitas terbatas
di atas tempat tidur saja.
Nilai 2 diberikan kepada klien yang dapat bergerak (berjalan) dengan
keterbatasan yang tinggi atau tidak mampu berjalan. Tidak dapat menopang
berat badannya sendiri dan / atau harus dibantu pindah ke atas kursi atau
kursi roda.
Nilai 3 diberikan kepada klien yang dapat berjalan sendiri pada siang hari,
tapi hanya dalam jarak pendek/dekat, dengan atau tanpa bantuan. Sebagian
besar waktu dihabiskan di atas tempat tidur atau kursi.
Nilai 4 diberikan kepada klien yang dapat sering berjalan ke luar kamar
sedikitnya 2 kali sehari dan di dalam kamar sedikitnya 1 kali tiap 2 jam
selama terjaga.
4. Mobilisasi
Definisi: Kemampuan mengubah dan mengontrol posisi tubuh. Pada
subskala ini terdapat 4 (empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah
(risiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (risiko rendah).
Nilai 1 diberikan pada klien dengan imobilisasi total. Tidak dapat melakukan
perbuahan posisi tubuh atau ekstrimitas tanpa bantuan, walaupun hanya
sedikit.
Nilai 2 diberikan kepada klien dengan keadaan sangat terbatas, yaitu klien
dengan kadang-kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan
ekstrimitas, tapi tidak mampu melakukan perubahan yang sering dan berarti
secara mandiri.
Nilai 3 diberika kepada klien yang mobilisasinya agak terbatas, yaitu klien
yang dapat dengan sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan
ekstrimitas secara mandiri.
Nilai 4 diberikan kepada klien yang tidak memiliki ketidakterbatasan dalam
hal mobilisasi, yaitu keadaan klien dapat melakukan perubahan posisi yang
bermakna dan sering tanpa bantuan.
5. Nutrisi
Definisi: Pola asupan makanan yang lazim. Pada subskala ini terdapat 4
(empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (risiko tinggi) dan 4 adalah
nilai tertinggi (risiko rendah).
Nilai 1 diberikan kepada klien dengan keadaan asupan gizi yang sangat
buruk, yaitu klien dengan keadaan tidak pernah makan makanan lengkap.
jarang makan lebih dari 1/3 porsi makanan yang diberikan. Tiap hari asupan
protein (daging / susu) 2 x atau kurang. Kurang minum. Tidak makan
suplemen makanan cair. Atau Puasa dan/atau minum air bening atau
mendapat infus > 5 hari.
Nilai 2 diberikan kepada klien dengan keadaan mungkin kurang asupan
nutrisi, yaitu klien dengan jarang makan makanan lengkap dan umumnya
makan kira-kira hanya 1/2 porsi makanan yang diberikan. Asupan protein,
daging dan susu hanya 3 kali sehari. Kadang-kadang mau makan makanan
suplemen. Atau menerima kurang dari jumlah optimum makanan cair dari
sonde (NGT).
Nilai 3 diberikan kepada klien dengan keadaan cukup asupan nutrisi, yaitu
klien dengan keadaan makan makanan > 1/2 porsi makanan yang diberikan.
Makan protein daging sebanyak 4 kali sehari. Kadang-kadang menolak
makan, tapi biasa mau makan suplemen yang diberikan. Atau diberikan
melalui sonde (NGT) atau regimen nutrisi parenteral yang mungkin dapat
memenuhi sebagian besar kebutuhan nutrisi.
Nilai 4 dinerika kepada klien yang baik asupan nutrisinya, yaitu klien dengan
keadaan makan makanan yang diberikan. Tidak pernah menolak makan.
Biasa makan 4 kali atau lebih dengan protein (daging/susu). Kadang-kadang
makan di antara jam makan. Tidak memerlukan suplemen.
6. Friksi dan Gesekan
Pada subskala ini terdapat 3 (tiga) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah
(risiko tinggi) dan 3 adalah nilai tertinggi (risiko rendah)
Nilai 1 diberikan pada klien dengan masalah, yaitu klien yang memerlukan
bantuan sedang sampai maksimum untuk bergerak. Tidak mampu
mengangkat tanpa terjatuh. Seringkali terjatuh ke atas tempat tidur atau
kursi, sering membutuhkan maksimum untuk posisi kembali Kejang,
kontraktur atau agitasi menyebabkan friksi terus menerus.
Nilai 2 diberikan kepada klien dengan masalah yang berpotensi, yaitu klien
yang bergerak dengan lemah dan membutuhkan bantuan minimum. Selama
bergerak kulit mungkin akan menyentuh alas tidur, kursi, alat pengikat atau
alat lain. Sebagian besar mampu mempertahankan posisi yang relatif baik
diatas kursi atau tempat tidur, tapi kadang-kadang jatuh ke bawah.
Nilai 3 diberikan kepada klien yang tidak memiliki masalah, yaitu klien yang
bergerak di atas tempat tidur maupun kursi dengan mandiri dan mempunyai
otot yang cukup kuat untuk mengangkat sesuatu sambil bergerak. Mampu
mempertahankan posisi yang baik di atas tempat tidur atau kursi.
Nilai total pada pada skala Braden ini berada pada rentang 6-23, tergantung
pada hasil penilaian perawat tersebut. Total nilai rendah menunjukkan risiko
tinggi dekubitus, sehingga perlu pencegahan segera. Klien dewasa di rumah
sakit dengan nilai 16 atau kurang dan klien lansia dengan 17 ataupun 18
dianggap berisiko.
Item
Skor
Persepsi sensorik
Terbatas total
Sangat terbatas
Sedikit terbatas
Tidak ada gangguan
Kelembaban
Kelembaban kulit yang konstan
Sangat lembab
Kadang-kadang lembab
Jarang lembab
Aktivitas
Tirah baring
Diatas kursi
Kadang-kadang berjalan
Sering berjalan
Mobilisasi
Imobilisasi total
Sangat terbatas
Agak terbatas
Tidak terbatas
Nutrisi
Sangat buruk
Mungkin kurang
Cukup
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
Baik
Friksi dan gesekan
Masalah
Masalah yang berpotensi
Tidak ada masalah
1
2
3
4
1
2
3
4
Total skor
d. lutut.
thrombin
yang
bermanfaat
dalam
inisiasi
fibrin
menjadi
fibrinogen.
Lahmann, Nils
Dassen,
Theo
dan
Kottner, Jan.
2009. Friction and shear highly associated with pressure ulcers of residents
in long-term care Classification Tree Analysis (CHAID) of Braden
items. Journal of Evaluation in Clinical Practice, Blackwell Ltd. ISSN 13561294.
-
Braden
B,
Bergstrom
N.
(2000).
Braden
Scale.
From
Page, Karen
Nicola;
Barker,
Anna
Lucia
dan
Kamar,
Jeannette.
Potter, Patricia A dan Perry, Anne Griffin. 2006. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik, E/4, Vol. 2. Jakarta, EGC