Anda di halaman 1dari 19

ULKUS DEKUBITUS

1. Definisi ulkus decubitus


Dekubitus adalah nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika
jaringan lunak tertekan

diantara

tonjolan

tulang

dengan

permukaan

eksternal dalam jangka waktu lama (National Pressure Ulcer Advisory Panel
(NPUAP), 1989 dalam Potter & perry, 2005). Luka tekan dapat digambarkan
sebagai lesi yang disebabkan oleh tekanan yang terus menerus, gesekan
atau robekan. Luka tekan terjadi paling sering di sakrum dan tumit tetapi dapat
berkembang dimanapun pada tubuh termasuk koksigis, oksiput, klavikula,
telinga, dan hidung (New South Wales Health, 2003). Dekubitus adalah
area setempat dari jaringan lunak yang mengalami infark yang terjadi ketika
tekanan diberikan pada kulit melebihi tekanan penutupan kapiler normal,
sekitar 32 mmHg (Smeltzer & Bare, 2002).
Dekubitus adalah kerusakan lokal dari kulit dan jaringan dibawah kulit
yang disebabkan penekanan yang terlalu lama pada area tersebut (Ratna
Kalijana, 2008). Luka dekubitus adalah suatu area yang terlokalisir dengan

jaringan yang mengalami nekrosis dan biasanya terjadi pada permukaan


tulang yang menonjol, sebagai akibat dari tekanan dalam jangka waktu
yang lama menyebabkan peningkatan tekanan kapiler (Suriadi 2004)
2. Klasifikasi
Salah satu cara yang paling untuk mengklasifikasikan dekubitus adalah
dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan. Sistem ini pertama kali
dikemukakan oleh Shea (1975 dalam Potter & Perry, 2005) sebagai salah satu
cara untuk memperoleh metode jelas dan konsisten untuk menggambarkan dan
mengklasifikasikan luka dekubitus. Sistem tahapan luka dekubitus berdasarkan
gambaran kedalaman jaringan yang rusak (Maklebust, 1995 dalam Potter &
Perry, 2005). Luka yang tertutup dengan jaringan nekrotik seperti eschar tidak
dapat dimasukkan dalam tahapan hingga jaringan tersebut dibuang dan
kedalaman luka dapat di observasi. Peralatan ortopedi dan braces dapat
mempersulit pengkajian dilakukan (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005).
Tahapan dibawah ini berasal dari NPUAP (1992), dan tahapan ini juga
digunakan dalam pedoman pengobatan AHPCR (1994). Pada konferensi

konsensus

NPUAP

(1995)

mengubah

defenisi

untuk

tahap

yang

memperlihatkan karakteristik pengkajian pasien berkulit gelap. Berbagai indikator


selain warna kulit, seperti suhu, adanya pori-pori kulit jeruk, kekacauan atau
ketegangan, kekerasan, dan data laboratorium, dapat membantu mengkaji
pasien berkulit gelap (Maklebust & Seggreen, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).
Bennet (1995 dalam Potter & Perry, 2005). menyatakan saat mengkaji kulit
pasien berwarna gelap, memerlukan pencahayaan sesuai untuk mengkaji kulit
secara akurat. Dianjurkan berupa cahaya alam atau halogen. Hal ini mencegah
munculnya warna biru yang dihasilkan dari sumber lampu pijar pada kulit
berpigmen gelap, yang dapat mengganggu pengkajian yang akurat. Menurut
NPUAP (1995 dalam Potter & Perry, 2005) ada perbandingan luka dekubitus
derajat I sampai derajat IV yaitu:
1. Derajat I
Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit tidak
berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator

2. Derajat II
Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka
superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang
dangkal.

3. Derajat III
Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik
yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang
berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam
dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

4. Derajat IV
Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis jaringan;
atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya kerusakan
jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi.

3. Faktor resiko ulkus decubitus


Berbagai faktor dapat menjadi predisposisi terjadi dekubitus pada klien:
a. Gangguan Input Sensorik
Klien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri
dan tekanan

berisiko

tinggi

mengalami

gangguan

integritas

kulit

daripada klien yang sensasinya normal. Klien yang mempunyai persepsi


sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah
satu bagian tubuhnya merasakan tekanan

atau

nyeri

terlalu

besar.

Sehingga ketika klien sadar dan berorientasi, mereka dapat mengubah


posisi atau meminta bantuan untuk mengubah posisi (Potter & Perry,
2005).
b. Gangguan Fungsi Motorik
Klien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri berisiko
tinggi terjadi dekubitus. Klien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi tidak
mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan
tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadi dekubitus.
c. Perubahan Tingkat Kesadaran
Klien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan,
tetapi tidak mampu

memahami

Klien

dapat

koma tidak

mengubah

ke

posisi

bagaimana

merasakan

menghilangkan

tekanan

dan

tidak

tekanan.
mampu

yang lebih baik. Selain itu pada klien yang

mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah menjadi bingung,


seperti efek dari pemberian sedasi sehingga terjadi peningkatan risiko
dekubitus (Potter & Perry, 2005)
d. Gips, Traksi, Alat Ortotik, dan Peralatan Lain
Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstermitasnya.
Pasien yang menggunakan gips berisiko tinggi terjadi dekubitus karena
adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek
pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips
pada

kulit

jika

gips terlalu

ketat

dikeringkan

atau

ekstremitasnya

bengkak. Peralatan ortotik seperti penyangga leher terdapat tekanan


yang menutup kapiler (Potter & Perry, 2005).
Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Dekubitus
a. Gaya Gesek
Gaya gesek merupakan tekanan yang dberikan pada kulit dengan
arah pararel terhadap permukaan tubuh (AHPCR, 1994 dalam Potter &
Perry 2005). Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan
menempel pada permukaan tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang
bergeser sesuai dengan arah gerakan tubuh. Tulang pasien bergeser
kearah kulit dan memberi gaya pada kulit (Maklebust & Sieggren,
1991 dalam Potter & Perry, 2005). Kapiler jaringan yang berada di
bawahnya

tertekan dan terbeban oleh tekanan tersebut, akibatnya tak

lama setelah itu akan terjadi gangguan

mikrosirkulasi lokal

kemudian

menyebabkan hipoksia, perdarahan dan nekrosis pada lapisan jaringan.


Selain itu, terdapat penurunan aliran darah kapiler akibat tekanan eksternal
pada kulit. Lemak subkutan lebih rentan terhadap gesek dan hasil tekanan
dari struktur tulang yang berada di bawahnya. Akhirnya pada kulit akan
terbuka sebuah saluran sebagai ruang drainase dari area nekrotik (AHPCR,
1994 dalam Potter & Perry, 2005).
b. Friksi
Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan pada kulit saat
digeser pada permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHPCR,
1994 dalam Potter & Perry, 2005). Tidak seperti cedera akibat gaya

gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epedermis atau lapisan kulit


bagian atas, yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya.
c. Kelembaban
Kontak berkepanjangan dengan kelembaban akibat prespirasi, urine,
feses, atau drainase menyebabkan maserasi (pelunakan)

kulit.

Kulit

bereaksi terhadap bahan kaustik dalam ekskreta atau drainase dan


mengalami iritasi (Smeltzer & Bare, 2002).
d. Penurunan Status Nutrisi
Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan
subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang
berfungsi

sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin

sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut
(Potter&Perry, 2005). Pasien yang mempunyai kadar protein rendah
atau yang keseimbangan nitrogen negatif mengalami penipisan jaringan
dan menghambat perbaikan jaringan (Brunner&Suddarth, 2002). Albumin
serum merupakan indikator yang sensitif terhadap defisisensi protein.
Kadar albumin kurang dari 3,0 g/ml berkaitan dengan edema jaringan
hipoalbuminemia dan meningkatkan risiko
Selain itu, level albumin

terjadinya

luka

dekubitus.

rendah dihubungkan dengan lambatnya

penyembuhan luka.
e. Edema
Klien yang mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminemia
menyebabkan

perpindahan

jaringan sehingga

terjadi

volume
edema.

cairan

ekstrasel

kedalam

Edema dapat meningkatkan

resiko terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai


jaringan

edema

menurun dan produk sisa tetap tinggal karena

terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler


(Shkleton&Litwalk, 1991 dalam Potter&Perry, 2005). Edema akan
menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang berada di bawahnya
terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level
oksigen

meningkatkan

kecepatan

cedera jaringan (Potter&Perry, 2005).


f.

Anemia

iskemi

yang

menyebabkan

Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa


nutrisi dan oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia
untuk jaringan. Anemia juga mengganggu metabolisme sel dan
mengganggu penyembuhan luka (Potter & Perry, 2005).
g. Kakeksia
Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum,
ditandai kelemahan dan kurus. Kondisi ini meningkatkan resiko
luka

dekubitus pada pasien. Pada dasarnya pasien kakesia

mengalami kehilangan jaringan adiposa

yang

berguna

untuk

melindungi tonjolan tulang dari tekanan (Potter&Perry, 2005).


h. Obesitas
Obesitas dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adiposa pada jumlah
kecil berguna

sebagai

bantalan

tonjolan

tulang

sehingga

melindungi kulit dari tekanan. Pasien dengan obesitas mengalami


vaskularisasi yang bururk pada jaringan adiposa sehingga rentan
terhadap terjadinya luka akibat iskemi (Brunner&Suddarth, 2002).
i.

Infeksi
Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Klien infeksi
biasa mengalami demam. Infeksi dan demam menigkatkan kebutuhan
metabolik tubuh membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan
oksigen) semakin rentan

mengalami

cedera

akibat

iskemi

(Skheleton&Litwalk, 1991 dalam Potter&Perry, 2005). Selain itu


demam menyebabkan diaforesis dan meningkatkan kelembaban
kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit
pasien (Potter&Perry, 2005).
j.

Gangguan penuruann sirkulasi perifer


Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih
rentan mengalami kerusakan iskemia. Gangguan sirkulasi pada
pasien yang menderita penyakit vaskuler, pasien syok atau yang
mendapatkan pengobatan sejenis vasopresor (Potter&Perry, 2005).

k. Usia
Kulit pada lansia mengalami penurunan ketebalan epidermal,
kolagen dermal, dan elastisitas jaringan. Kulit lebih kering sebagai

akibat hilangnya sebasea


Perubahan

dan

kardiovaskular

aktivitas

kelenjar

mengakibatkan

penurunan

keringat.
perfusi

jaringan. Atrofi otot dan struktur tulang menjadi fokus perhatian.


Menurunnya persepsi sensoris dan berkurangnya kemampuan
mengatur posisi sendiri menunjang tekanan pada kulit yang
berkepanjangan (AHCPR, 1994 dalam Bruner&Suddarth, 2002).
4. Patofisiologi ulkus decubitus
Tiga elemen dasar yang menjadi dasar terjadi dekubitus, yaitu:
1) intensitas tekanan dan tekanan yang menutupi kapiler, 2) durasi dan
besarnya tekanan, dan 3) toleransi jaringan ((Landis, 1930), (Koziak,
1959),

(Husain,

1953; Trumble,

1930)

dalam

Potter&Perry,

2005)).

Beberapa tempat yang paling sering terjadi dekubitus adalah sakrum, tumit,
siku, maleolus lateral, trochanter besar, dan tuberositis iskial (Meehan,
1994 dalam Potter & Perry, 2005). Dekubitus terjadi sebagai hasil
hubungan antara waktu dan tekanan (Scotts, 1988 dalam Potter & Perry,
2005). Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula
insiden

terbentuknya

luka.

Kulit

dan

jaringan

subkutan dapat

mentoleransi beberapa tekanan. Tapi, pada tekanan eksternal terbesar


daripada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau menghilangkan
aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia
sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32
mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia,
maka pembuluh darah kolaps dan trombosis (Maklebust, 1987 dalam
Potter&Perry, 2005). Jika tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka
sirkulasi pada jaringan tersebut akan pulih kembali melalui mekanisme
fisiologis hiperemia reaktif. Karena kulit mempunyai kemampuan yang lebih
besar untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai di tulang
dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan

yang akhirnya

melebar ke epidermis (Maklebust, 1995 dalam Potter&Perry, 2005).


Pembentukan dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya
gesek yang terjadi saat menaikkan posisi klien diatas tempat tidur. Area
tumit dan sakral merupakan area yang paling rentan (Maklebust, 1987
dalam

Potter&Perry, 2005). Efek tekanan juga dapat di tingkatkan oleh

distribusi berat badan yang tidak

merata.

Seseorang

mendapatkan

tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya berada karena


adanya gravitasi (Berecek, 1975 dalam Potter&Perry, 2005). Jika tekanan
tidak terdistribusi secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan
yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di
titik

tekanan

mengalami

gangguan.

Repons kompensasi

jaringan

terhadap iskemi, yaitu hiperemia reaktif memungkinkan jaringan iskemi


dibanjiri dengan darah ketika tekanan dihilangkan. Peningkatan aliran darah
meningkatkan pengiriman oksigen dan nutrien ke dalam jaringan.
Gangguan metabolik

yang

disebabkan

oleh

tekanan

dapat

kembali normal. Equilibrium yang sehat kembali pulih, dan nekrosis


jaringan yang tertekan dapat dihindari (Macklebust, 1991; Pires&Muller,
1991 dalam Potter&Perry, 2005). Hiperemia reaktif akan efektif hanya
apabila tekanan dihilangkan sebelum terjadi kerusakan.

5. Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun
dapat juga terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Sabandar (2008)
komplikasi yang dapat terjadi antara lain:

Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik yang aerobik maupun


anaerobik.

Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteitis,


osteomielitis dan arthritis septik.

Septikemia.

Anemia.

Hipoalbuminemia.

Kematian.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Kultur dan analisis urin

Kultur ini dibutuhakan pada keadaan inkontinensia untuk melihat apakah ada
masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama pada trauma
medula spinalis.
b. Kultur Tinja
Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk melihat leukosit
dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi pseudomembranous colitis.
c. Biopsi
Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan dengan
pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus kronik untuk melihat
apakah terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Selain itu, biopsi
bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang menginfeksi ulkus dekubitus.
Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi osteomyelitis.
d. Pemeriksaan Darah
Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel darah putih dan
laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi bakteremia dan sepsis.
e. Keadaan Nutrisi
Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses
penyembuhan ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah albumin
level, prealbumin level, transferrin level, dan serum protein level.
Radiologis: Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang
akibat osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X,scan
tulang atau MRI.
7. Penilaian resiko luka decubitus
Empat instrumen yang digunakan mengkaji resiko terjadi dekubitus
dapat segera mengidentifikasi klien beresiko tinggi. Pencegahan dan
pengobatan dekubitus merupakan prioritas utama keperawatan, beberapa
skala pengkajian resiko yang dikembangkan perawat yaitu diantara lain:
a) Skala Norton
Skala tersebut menilai lima faktor resiko: kondisi fisik, kondisi mental,
aktivitas, mobilisasi, dan inkontinensia. Total nilai berada diantara 5 sampai
2, total nilai rendah mengindikasikan resiko tinggi terjadi dekubitus. Saat ini
nilai 16 adalah sebagai nilai yang beresiko (Norton, 1989)

Skala Norton

Resiko terjadi dkubitus jika skor total < 14 (sumber: Morison, Moya J.
2003)
b) Skala Gosnell
Skala tersebut menilai lima faktor resiko: Nutrisi, status mental,
kontinensia, mobilisasi, dan aktivitas. Total nilai berada dalam rentang antara
5 sampai 20, dimana nilai total tertinggi mengindikasikan resiko dekubitus
(Gosnell, 1989).
c) Skala Knoll
Delapan faktor resiko meliputi status kesehatan umum, status mental,
status aktivitas, mobilisasi, inkontinensia, asupan nutrisi melalui oral, asupan
cairan melalui oral, dan penyakit yang menjadi faktor predisposisi. Total nilai
berada di rentang 0 sampai 33, total nilai tinggi mengindikasikan risiko
dekubitus. Nilai risiko berada pada nilai 12 atau lebih.
d) Skala Braden
Dalam skala Braden terdapat 6 (enam) subskala untuk menentukan tingkatan
risiko terjadinya dekubitus. Subskala tersebut antara lain adalah; 1. Persepsi
Sensorik, 2. Kelembapan, 3. Aktivitas, 4. Mobilisasi, 5. Nutrisi, 6. Friksi dan
Gesekan.
Berikut adalah penjelasan dari masing-masing skala:
1. Persepsi Sensorik
Definisi: kemampuan untuk merespon tekanan berarti yang berhubungan
dengan ketidaknyamanan. Pada subskala ini terdapat 4 (empat) tingkat nilai,
yaitu; 1 adalah nilai terendah (risiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (risiko
rendah).

Nilai 1 diberikan apabila terjadi keterbatasan total, yaitu tidak adanya respon
pada stimulus nyeri akibat kesadaran yang menurun ataupun karena
pemberian

obat-obat

sedasi atau keterbatasan

kemampuan

untuk

merasakan nyeri pada sebagian besar permukaan tubuh.


Nilai 2 diberikan apabila sangat terbatas, yaitu hanya berespon hanya pada
stimulus nyeri. Tidak dapat mengkomunikasinya ketidaknyamanan, kecuali
dengan merintih dan / atau gelisah. Atau mempunyai gangguan sensorik
yang membatasi kemampuan untuk merasakan nyeri atau ketidaknyamanan
pada separuh permukaan tubuh.
Nilai 3 diberikan pada saat hanya terjadi sedikit keterbatasan yaitu dalam
keadaan klien berespon pada perintah verbal, tetapi tidak selalu dapat
mengkomunikasikan ketidaknyamanan atau harus dibantu membalikkan
tubuh. Atau mempunyai gangguan sensorik yang membatasi kemampuan
merasakan nyeri atau ketidaknyamanan pada 1 atau 2 ektrimitas.
Nilai 4 diberikan pada saat tidak terjadi gangguan, yaitu dalam berespon
pada perintah verbal dengan baik. Tidak ada penrunan sendorik yang akan
membatasi kemampuan untuk merasakan atau mengungkapkan nyeri atau
ketidaknyamanan.
2. Kelembapan
Definisi: Tingkat kulit yang terpapar kelembapan. Pada subskala ini terdapat
4 (empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (risiko tinggi) dan 4
adalah nilai tertinggi (risiko rendah).
Nilai 1 diberikan apabila terjadi kelembapan kulit yang konstan, yaitu saat
kulit selalu lembab karena perspirasi, urine dsb. Kelembapan diketahui saat
klien bergerak, membalik tubuh atau dengan dibantu perawat.
Nilai 2 diberi apabila kulit sangat lembab, yaitu saat kelembaban sering
terjadi tetapi tidak selalu lembab. Idealnya alat tenun dalam keadaan ini
harus diganti setiap pergantian jaga.
Nilai 3 diberikan pada saat kulit kadang lembab, yaitu pada waktu tertentu
saja terjadi kelembaban. Dalam keadaan ini, idealnya alat tenun diganti
dengan 1 kali pertambahan ekstra (2 x sehari).
Nilai 4 diberikan pada saat kulit jarang lembab, yaitu pada saat keadaan kulit
biasanya selalu kering, alat tenun hanya perlu diganti sesuai jadwal (1 x
sehari).
3. Aktifitas

Definisi: Tingkat Aktifitas Fisik. Pada subskala ini terdapat 4 (empat) tingkat
nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (risiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi
(risiko rendah).
Nilai 1 diberikan kepada klien dengan tirah baring, yang beraktifitas terbatas
di atas tempat tidur saja.
Nilai 2 diberikan kepada klien yang dapat bergerak (berjalan) dengan
keterbatasan yang tinggi atau tidak mampu berjalan. Tidak dapat menopang
berat badannya sendiri dan / atau harus dibantu pindah ke atas kursi atau
kursi roda.
Nilai 3 diberikan kepada klien yang dapat berjalan sendiri pada siang hari,
tapi hanya dalam jarak pendek/dekat, dengan atau tanpa bantuan. Sebagian
besar waktu dihabiskan di atas tempat tidur atau kursi.
Nilai 4 diberikan kepada klien yang dapat sering berjalan ke luar kamar
sedikitnya 2 kali sehari dan di dalam kamar sedikitnya 1 kali tiap 2 jam
selama terjaga.
4. Mobilisasi
Definisi: Kemampuan mengubah dan mengontrol posisi tubuh. Pada
subskala ini terdapat 4 (empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah
(risiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (risiko rendah).
Nilai 1 diberikan pada klien dengan imobilisasi total. Tidak dapat melakukan
perbuahan posisi tubuh atau ekstrimitas tanpa bantuan, walaupun hanya
sedikit.
Nilai 2 diberikan kepada klien dengan keadaan sangat terbatas, yaitu klien
dengan kadang-kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan
ekstrimitas, tapi tidak mampu melakukan perubahan yang sering dan berarti
secara mandiri.
Nilai 3 diberika kepada klien yang mobilisasinya agak terbatas, yaitu klien
yang dapat dengan sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan
ekstrimitas secara mandiri.
Nilai 4 diberikan kepada klien yang tidak memiliki ketidakterbatasan dalam
hal mobilisasi, yaitu keadaan klien dapat melakukan perubahan posisi yang
bermakna dan sering tanpa bantuan.
5. Nutrisi
Definisi: Pola asupan makanan yang lazim. Pada subskala ini terdapat 4
(empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (risiko tinggi) dan 4 adalah
nilai tertinggi (risiko rendah).

Nilai 1 diberikan kepada klien dengan keadaan asupan gizi yang sangat
buruk, yaitu klien dengan keadaan tidak pernah makan makanan lengkap.
jarang makan lebih dari 1/3 porsi makanan yang diberikan. Tiap hari asupan
protein (daging / susu) 2 x atau kurang. Kurang minum. Tidak makan
suplemen makanan cair. Atau Puasa dan/atau minum air bening atau
mendapat infus > 5 hari.
Nilai 2 diberikan kepada klien dengan keadaan mungkin kurang asupan
nutrisi, yaitu klien dengan jarang makan makanan lengkap dan umumnya
makan kira-kira hanya 1/2 porsi makanan yang diberikan. Asupan protein,
daging dan susu hanya 3 kali sehari. Kadang-kadang mau makan makanan
suplemen. Atau menerima kurang dari jumlah optimum makanan cair dari
sonde (NGT).
Nilai 3 diberikan kepada klien dengan keadaan cukup asupan nutrisi, yaitu
klien dengan keadaan makan makanan > 1/2 porsi makanan yang diberikan.
Makan protein daging sebanyak 4 kali sehari. Kadang-kadang menolak
makan, tapi biasa mau makan suplemen yang diberikan. Atau diberikan
melalui sonde (NGT) atau regimen nutrisi parenteral yang mungkin dapat
memenuhi sebagian besar kebutuhan nutrisi.
Nilai 4 dinerika kepada klien yang baik asupan nutrisinya, yaitu klien dengan
keadaan makan makanan yang diberikan. Tidak pernah menolak makan.
Biasa makan 4 kali atau lebih dengan protein (daging/susu). Kadang-kadang
makan di antara jam makan. Tidak memerlukan suplemen.
6. Friksi dan Gesekan
Pada subskala ini terdapat 3 (tiga) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah
(risiko tinggi) dan 3 adalah nilai tertinggi (risiko rendah)
Nilai 1 diberikan pada klien dengan masalah, yaitu klien yang memerlukan
bantuan sedang sampai maksimum untuk bergerak. Tidak mampu
mengangkat tanpa terjatuh. Seringkali terjatuh ke atas tempat tidur atau
kursi, sering membutuhkan maksimum untuk posisi kembali Kejang,
kontraktur atau agitasi menyebabkan friksi terus menerus.
Nilai 2 diberikan kepada klien dengan masalah yang berpotensi, yaitu klien
yang bergerak dengan lemah dan membutuhkan bantuan minimum. Selama
bergerak kulit mungkin akan menyentuh alas tidur, kursi, alat pengikat atau
alat lain. Sebagian besar mampu mempertahankan posisi yang relatif baik
diatas kursi atau tempat tidur, tapi kadang-kadang jatuh ke bawah.

Nilai 3 diberikan kepada klien yang tidak memiliki masalah, yaitu klien yang
bergerak di atas tempat tidur maupun kursi dengan mandiri dan mempunyai
otot yang cukup kuat untuk mengangkat sesuatu sambil bergerak. Mampu
mempertahankan posisi yang baik di atas tempat tidur atau kursi.
Nilai total pada pada skala Braden ini berada pada rentang 6-23, tergantung
pada hasil penilaian perawat tersebut. Total nilai rendah menunjukkan risiko
tinggi dekubitus, sehingga perlu pencegahan segera. Klien dewasa di rumah
sakit dengan nilai 16 atau kurang dan klien lansia dengan 17 ataupun 18
dianggap berisiko.
Item

Skor

Persepsi sensorik
Terbatas total
Sangat terbatas
Sedikit terbatas
Tidak ada gangguan
Kelembaban
Kelembaban kulit yang konstan
Sangat lembab
Kadang-kadang lembab
Jarang lembab
Aktivitas
Tirah baring
Diatas kursi
Kadang-kadang berjalan
Sering berjalan
Mobilisasi
Imobilisasi total
Sangat terbatas
Agak terbatas
Tidak terbatas
Nutrisi
Sangat buruk
Mungkin kurang
Cukup

1
2
3
4

1
2
3
4

1
2
3
4

1
2
3
4

Baik
Friksi dan gesekan
Masalah
Masalah yang berpotensi
Tidak ada masalah

1
2
3
4

1
2
3
4
Total skor

8. Tempat terjadinya luka decubitus


Beberapa tempat yang paling sering terjadi dekubitus adalah sakrum,
tumit, siku, maleolus lateral, trokanter besar, dan tuberostis iskial (Meehan,
1994). Menurut Bouwhuizen (1986) menyebutkan daerah tubuh yang sering
terkena luka dekubitus adalah :
a. Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang kepala,
daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit.
b. Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama
daun telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan
kaki dan bagian atas jari-jari kaki.
c. Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang
iga, dan

d. lutut.

9. Proses penyembuhan luka


Proses penyembuhan luka dibagi menjadi empat fase, yaitu:
a. Fase hemostatis/koagulasi
Platelet mensekresikan vasokontriktor untuk mencegah kerusakan kerusakan
kapiler darah lebih lanjut sehingga perdarahan berhenti. Agregasi platelet
diproduksi untuk mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut dan mensejresi
matrik kolagen. Disamping itu juga mensekresi faktor pembekuan seperti

thrombin

yang

bermanfaat

dalam

inisiasi

fibrin

menjadi

fibrinogen.

Hemostasis terjadi beberapa menit setelah terjadi injuri sampai dengan


perdarahan berhenti.
b. Fase inflamasi
Pada fase inflamasi luka akan nampak bengkak, kemerahan, terasa hangat,
dan nyeri. Pada fase ini biasanya berlangsung dalam empat hari setelah
terjadi injuri. Pada fase ini terjadi destruksi dan penghancuran debris yang
dilakukan oleh neutrophil atau PMN yang menyebabkan pembuluh darah
melepaskan plasma dan PMN ke sekitar jaringan. Neutrophil menfagosit
debris dan mikroorganisme sebagai pertahan primer terhadap terjadinya
infeksi. Fibrin dihancurkan dan didegradasi. Makrofag berperan sebagai
pertahanan seunder yang akan memfagosit bakteri.
c. Fase proliferative
Proses granulasi terjadi dalam durasi 4-21 hari yang ditujukan dengan
terbentuknya jaringan berwarna kemerahan dan adanya kontraksi pada luka.
Proses angiogenesis untuk membentuk sel-sel endotel sebagai cikal bakal
terbentuknya kapiler-kapiler darah. Sel-sel keratinosit juga diproduksi yang
bertanggung jawab dalam proses epitelisasi.
d. Fase remodeling atau maturasi
Fase ini dimulai pada hari ke 21 sampai dengan 2 tahun. Pada fase
remodeling dan maturasi melibatkan peran fibroblast dan mikrofibroblas
untuk membentuk suatu struktur jaringan yang lebih kuat. Secara klinis luka
akan tampak lebih berkontraksi sampai mencapai maturasi.
Referensi:
-

Lahmann, Nils

A.; Tannen, Antje;

Dassen,

Theo

dan

Kottner, Jan.

2009. Friction and shear highly associated with pressure ulcers of residents
in long-term care Classification Tree Analysis (CHAID) of Braden
items. Journal of Evaluation in Clinical Practice, Blackwell Ltd. ISSN 13561294.
-

Braden

B,

Bergstrom

N.

(2000).

Braden

http : //www.thomashilfen de?thevo/e/Braden Scale.htm

Scale.

From

Page, Karen

Nicola;

Barker,

Anna

Lucia

dan

Kamar,

Jeannette.

2010. Development and validation of a pressure ulcer risk assessment tool


for acute hospital patients. The Wound Healing Society.
-

Potter, Patricia A dan Perry, Anne Griffin. 2006. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik, E/4, Vol. 2. Jakarta, EGC

Suriadi, Sanada H, Kitagawa A, et.al. Study of reliability and validity of the


braden scale translated into indonesia. 2002. Master thesis. Kanazawa
University, Japan

Anda mungkin juga menyukai