tujuan pemeriksaan;
kriteria yang telah ditetapkan;
bukti pemeriksaan; dan
kesimpulan hasil pengujian bukti.
Dalam menyusun suatu temuan pemeriksaan kinerja, hal yang sangat utama untuk
diperhatikan adalah apakah temuan pemeriksaan yang dibuat oleh pemeriksa merupakan
jawaban atas pertanyaan/dugaan/hipotesis yang telah dituangkan dalam suatu tujuan
pemeriksaan yang telah ditetapkan. Suatu temuan pemeriksaan seharusnya merupakan
kesimpulan hasil pengujian atas bukti pemeriksaan yang diperoleh pemeriksa dalam
usahanya untuk mencapai tujuan pemeriksaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Bila
suatu tujuan pemeriksaan tidak terpenuhi, disebabkan unsur-unsur temuan pemeriksaan
tidak menggambarkan apa yang seharusnya hendak dicapai dalam suatu pelaksanaan
pemeriksaan kinerja maka dapat dikatakan pelaksanaan pemeriksaan tersebut gagal untuk
dilaksanakan dengan baik.
Ada beberapa butir yang perlu diperhatikan oleh pemeriksa dalam menyusun suatu
temuan pemeriksaan kinerja, yaitu:
1) Temuan pemeriksaan kinerja harus dapat menjawab tujuan pemeriksaan yang telah
ditetapkan;
2) Secara umum, unsur temuan pemeriksaan terbagi atas, kondisi, kriteria, akibat, dan
sebab. Namun demikian, di dalam penyusunan temuan pemeriksaan kinerja, unsur
yang dibutuhkan tergantung tujuan yang ingin dicapai sehingga dapat saja unsur
sebab dapat menjadi suatu unsur yang optional. Contoh: jika tujuan pemeriksaan
yang ditetapkan adalah menentukan kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan atau memperkirakan pengaruh suatu program terhadap perubahan fisik,
sosial, atau ekonomi suatu masyarakat, maka unsur sebab akan menjadi kurang/tidak
relevan untuk disajikan;
3) Suatu temuan pemeriksaan harus didukung oleh bukti pemeriksaan yang cukup,
kompeten, dan relevan;
4) Temuan pemeriksaan sedapat mungkin disajikan dalam suatu urutan yang logis,
akurat, dan lengkap; dan
5) Suatu temuan pemeriksaan merupakan hasil proses analisis pemeriksaan tim
pemeriksa di lapangan. Pembahasan atas temuan pemeriksaan ini dilakukan pada akhir
tahap pelaksanaan pemeriksaan. Sangat dimungkinkan pada saat pembahasan ini,
entitas yang diperiksa berjanji memberikan bukti-bukti baru yang belum dapat
diberikan pada saat pembahasan temuan pemeriksaan dan mungkin bukti baru tersebut
dapat mengubah esensi dari temuan pemeriksaan. Atas hal itu, maka dimungkinkan
juga pada akhir LHP, suatu temuan pemeriksaan tidak dijadikan Hasil Pemeriksaan
karena berdasarkan bukti baru yang diberikan oleh entitas dan diyakini oleh pemeriksa
ternyata temuan pemeriksaan itu sudah tidak layak lagi untuk disajikan.
Di dalam Studi Kasus 8, dituliskan bahwa tujuan pemeriksaan KPA Adipura adalah
untuk mengetahui apakah sudah ada mekanisme yang jelas antara front office dan back
office dalam memberikan pelayanan. Temuan pemeriksaan di dalam Studi Kasus 8 ini
menurut kami sudah menjawab tujuan pemeriksaan yang telah dibuat, yakni belum ada
mekanisme yang jelas antara front office dan back office dalam memberikan pelayanan,
dimana koordinator bertanggung jawab atas seluruh proses kegiatan suatu jenis pelayanan
mulai dari penerimaan berkas hingga produk atas jenis pelayanan tersebut jadi.
Unsur-unusr temuan pemeriksaan di dalam Studi Kasus 8 menurut kami sudah
lengkap dimana terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1) Kondisi
Pemeriksa menuliskan kondisi yang terjadi di lapangan secara jelas dan menyeluruh,
mulai dari mekanisme yang berjalan di front office dan back office hingga tahap-tahap
prosedur kegiatan pelayanan di KPA Adipura;
2) Kriteria
Kriteria yang dituliskan oleh pemeriksa ialah Instruksi Kepala Badan Agraria No.3
Tahun 1998 tanggal 20 Juli 1998 tentang Peningkatan Efisiensi dan Kualitas
Pelayanan Masyarakat di Bidang Pertanahan; dan Surat Keputusan Kepala Kantor
Wilayah Badan Agraria No. 610-587-2000 tanggal 1 April 2000 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Loket Pelayanan Kegiatan Seksi Pengukuran dan
Pendaftaran Tanah. Tidak terdapat Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan
Pelayanan di dalam kriteria yang ditetapkan oleh pemeriksa. Pun, seharusnya butir 3
di dalam kriteria sebaiknya dihapuskan karena merupakan redundansi dari tujuan
pemeriksaan terhadap KPA Adipura tersebut. Selain itu seharusnya dimasukkan pula
3
SK Kepala Kantor tentang Pembagian Tugas dan SK Kepala Kantor Wilayah tentang
Mekanisme Pelayanan sebagaimana yang terdapat di dalam Studi Kasus 5.
3) Sebab
Pemeriksa menuliskan di dalam temuan pemeriksaannya bahwa penyebab terjadinya
temuan adalah belum adanya ketentuan dari Badan Agraria yang mengatur mengenai
teknis pelaksanaan pelayanan yang membagi dan memisahkan tugas antara front
office dan back office sehingga penerapan teknis pelayanan bergantung pada KPA
masing-masing dimana dalam hal ini KPA Adipura dianggap belum memberikan
upaya maksimal untuk membagi dan memisahkan tugas antara front office dan back
office. Terdapat kerancuan disini akibat kurangnya informasi yang diterima kelompok
kami. Jika mengacu kepada SK Kepala Kantor tentang Pembagian Tugas dan Standar
Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan maka dapat dilihat upaya KPA Adipura
dalam membagi tugas di dalam kantornya, akan tetapi perlu dilihat kembali isi dari SK
dan SPO tersebut apakah memang tidak terdapat pembagian tugas yang jelas antara
front office dan back office di dalam KPA Adipura. Jika isi dari SK dan SPO tersebut
sudah mengatur adanya pembagian dan pemisahan tugas yang jelas maka yang patut
menjadi sebab ialah praktik di lapangan yang berbeda dengan SK dan SPO yang
tertulis.
4) Akibat
Akibat dari tidak adanya pembagian tugas yang jelas serta terlampau besarnya
kewenangan dan tanggung jawab koordinator menimbulkan potensi terjadinya
penyalahgunaan wewenang dalam jabatan. Kami sependapat dengan pemeriksa dalam
hal ini, apalagi jabatan koordinator tidak ada di dalam struktur organisasi dan hanya
mengacu kepada Surat Tugas yang dibuat oleh KPA Adipura sendiri dengan nama
Pembantu Kepala Subseksi.
C. Penyusunan dan Pengembangan Temuan Pemeriksaan
Langkah-langkah yang diperlukan dalam kegiatan menyusun temuan pemeriksaan
adalah sebagai berikut:
1) Berdasarkan kesimpulan hasil pengujian bukti, apabila terdapat perbedaan (gap) yang
signifikan antara kondisi dan kriteria, tentukan apakah perbedaan tersebut positif atau
negatif. Perbedaan positif terjadi apabila kondisi yang ditemukan lebih baik daripada
kriteria. Perbedaan negatif terjadi apabila kondisi yang ditemukan tidak mencapai
kriteria.
meskipun terdapat beberapa hal yang tidak dituliskan. Langkah pertama dan kedua tidak
ditemukan di dalam temuan pemeriksaan di Studi Kasus 8 dimana pemeriksa hanya
menjabarkan temuan negatif (langsung ke langkah ketiga). Selain langkah pertama dan
kedua yang tidak terdapat di dalam Studi Kasus 8, langkah-langkah lainnya sudah
dilakukan oleh pemeriksa, bahkan tanggapan yang merupakan opsional pun ada di dalam
temuan pemeriksaan, yaitu di bagian Komentar Instansi.
Merujuk pada hubungan antara sebab, kondisi dan akibat, sebagaimana dinyatakan
oleh I Gusti Agung Rai dalam bukunya Audit Kinerja pada Sektor Publik (2010) di
halaman 184-185 dituliskan bahwa fakta-fakta yang didapatkan oleh pemeriksa tidak dapat
dilihat secara terpisah atau berdiri sendiri karena fakta-fakta tersebut dapat memainkan
ketiga peran, yaitu sebagai kondisi, sebab, maupun akibat. Oleh karenanya pemeriksa
harus dapat menganalisis secara cermat fakta-fakta yang ditemukan untuk menentukan
hubungan antara sebab, kondisi, serta akibat yang mungkin atau sudah terjadi.
Merujuk kepada Studi Kasus 8, kami berpendapat bahwa pemeriksa tampaknya
telah menganalisis secara cermat hubungan antara sebab, kondisi, serta akibat yang
muncul. Meskipun kami menilai bahwa sebab yang dituliskan oleh pemeriksa kurang
menyeluruh dikarenakan kriteria yang dituliskan di dalam LHP tidak lengkap, yaitu tidak
terdapat SK Kepala Kantor tentang Pembagian Tugas dan Standar Prosedur Operasi
Pengaturan dan Pelayanan sebagaimana tertulis di dalam Studi Kasus 5 yang akan
berakibat adanya kemungkinan terjadinya perubahan terhadap rekomendasi nomor 2
menjadi Kepala KPA Adipura agar melaksanakan SK Kepala Kantor tentang Pembagian
Tugas dan Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan sebagaimana yang telah
ditetapkan (dalam hal SK dan SPO telah memberikan pembagian dan pemisahan tugas
yang jelas). Selain itu kami memberikan rekomendasi tambahan agar tugas dan fungsi
koordinator diperjelas serta diberikan dasar hukum yang kuat dalam melaksanakan
tugasnya (tidak hanya berupa Surat Tugas tetapi melalui SK yang dibuat oleh instansi
vertikal diatasnya).
Daftar Referensi
6
Rai, I Gusti Agung. 2010. Audit Kinerja pada Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat
Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 9/K/1-XIII.2/12/2011 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja.