PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang Masalah
Setiap bahan memiliki daya awet yang berbeda tergantung dari sifat bahan
pangan itu sendiri dan penanganannya selama pengolahan dan penyimpanan.
Salah satu penyebab utama kerusakan bahan pangan selama penyimpanan
adalah kontaminasi oleh mikroba dari luar maupun yang secara alami terdapat
dalam bahan pangan tersebut. Untuk memperpanjang daya simpan bahan
pangan dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya penyimpanan pada suhu
dingin, pengolahan menggunakan panas, irradiasi, pengaturan kelembaban, pH,
penambahan bahan kimia, fermentasi, pengemasan atau dengan pengaturan
pada gas atmosfir. Selain itu dapat dilakukan penambahan bahan pengawet yang
mampu menghambat pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan produk
pangan.
Kebutuhan akan produk pangan yang aman semakin dirasakan di tengah
maraknya penggunaan berbagai bahan tambahan pangan yang berbahaya bagi
kesehatan. Bahan pengawet termasuk salah satu bahan tambahan pangan yang
penggunaannya dimaksudkan untuk memperpanjang daya simpan produk
pangan. Bahan pengawet yang dihasilkan oleh Bakteri Asam Laktat (BAL) disebut
bakteriosin. Nisin adalah salah satu jenis bakteriosin yang dihasilkan oleh BAL
Lactococcus lactis, dinilai aman dan diijinkan penggunaannya di banyak negara,
termasuk Indonesia.
Penggunaan bakteri asam laktat sebagai bahan pengawet (biopreservatif)
sudah dikenal sejak lama, terutama dalam pengolahan pangan. Efek dari
pengawetan dengan biopreservatif disebabkan oleh salah satu metabolit yang
dihasilkan oleh bakteri tersebut, yaitu bakteriosin (Winkowski dan Montville, 1992;
Barefoot dan Nettles, 1993). Bakteriosin mempunyai efek bakterisida atau
bakteriostatik terhadap bakteri yang sensitif baik yang patogen maupun bakteri
perusak atau pembusuk (Liao et al., 1994; Schillinger et al., 1995). Nisin adalah
bakteriosin yang diakui penggunaannya dalam bahan makanan oleh Food and
Drugs Administration (FDA) Amerika Serikat, Food and Agriculture Organization
(FAO) dan World Health Organization (WHO) (Holzapfel et al., 1995). Oleh karena
itu, pembahasan mengenai nisin sebagai produk bioproses akan dijelaskan lebih
lanjut dalam makalah ini.
1.1 Rumusan Masalah
1
1. Apa yang dimaksud dengan nisin dan bagaimana karakteristik yang dimiliki oleh
salah satu jenis bakteriosin tersebut dalam aktivitas penghambatan?
2. Bagaimana proses pembuatan atau sintesis dari nisin?
3. Bagaimana aplikasi nisin sebagai bahan preservatif?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian, sejarah serta karakteristik yang dimiliki oleh salah satu
jenis bakteriosin yaitu nisin.
2. Mengetahui metode atau teknologi yang digunakan dalam proses pembuatan
nisin.
3. Dapat menjelaskan aplikasi penggunaan nisin sebagai bahan preservatif
berbagai bahan terutama bahan pangan.
1.4 Manfaat
1. Sebagai bahan untuk mengetahui peranan dari salah satu bakteriosin yaitu nisin.
2. Memberikan data dan informasi bagi para peneliti untuk melaksanakan penelitian
lanjutan terkait teknologi proses pembuatan maupun aplikasi lanjutan dari
penggunaan nisin.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Nisin
Nisin merupakan salah satu jenis bakteriosin yang mengandung senyawa peptida
bersifat antimikrobia yang dihasilkan oleh BAL Lactococcus lactis. Peptida ini dapat
2
Mattick & Hirsch tahun 1947 berdasarkan penemuan mereka yang dilaporkan pada
tahun 1944 sebagai produk dari lactic streptococci atau lactococci (yang kemudian
dikenal dengan nama nisin) yang dapat menghambat beberapa jenis bakteri patogen
(De Vuyst & Vandamme, 1994). Pada perkembangan selanjutnya nisin dikenal sebagai
bakteriosin, merupakan senyawa biopreservatif yang dihasilkan oleh Lactococcus lactis
subsp. Lactis digunakan secara komersial pada produk pangan (Delves-Broughton,
1990; Kim, 1993; Guinane et al., 2005).
Bakteriosin adalah protein yang bersifat toksin, dihasilkan oleh bakteri dan
memiliki kemampuan menghambat bakteri lain (dari spesies yang sama, berbeda strain
untuk spektrum yang sempit atau bakteri lain yang berbeda spesies untuk spektrum
yang luas) (Reunanen, 2007). Bakteriosin ini dikategorikan dalam 3 kelompok yaitu Klas
I, Klas IIa/b/c, dan Klas III. Secara lebih spesifik, nisin termasuk dalam kelompok
Bakteriosin Klas I sebagai antibiotik tipe A berupa molekul panjang non globular. Nissin
termasuk ke dalam bakteriosin Kelas I. Bakteriosin kelas ini disebut sebagai Lantibiotik.
Peptida pada bakteriosin ini merupakan peptida berbobot molekul kecil (<5 kDa) yang
dimodifikasi pada fase post-transkripsi dan mengandung satu atau lebih asam amino
seperti
lanthionine,
E-Methyllanthionine
serta
residu
dehydroalanine
dan
2.1.2
Memilki
Spektrum
Penghambatan
yang
Luas.
Sebagai
bakteriosin,
Hanya Aktif Terhadap Bakteri Gram Positif. Umumnya bakteriosin hanya aktif
terhadap bakteri Gram positif, tetapi nisin dilaporkan juga mampu menghambat
beberapa jenis bakteri Gram negatif terutama apabila digunakan bersama-sama
dengan cara/bahan pengawet lainnya (Delves-Broughton, 1993), seperti
penggunaan nisin yang dikombinasikan dengan surfaktan, bahan pengkelat, dan
ajuvan (El-Shafie et al., 2008). Makanan). Bakteri gram negatif lebih tahan
terhadap nisin. Walaupun demikian, nisin dapat digunakan untuk menghambat
bakteri gram negatif jika dikombinasikan dengan senyawa pengkelat (EDTA,
citrate monohidrat, dan trisodium orthophopat) atau perlakuan lain yang dapat
mengubah sensitivitas organisme terhadap nisin.
2.1.3
2.2.1
Upstream Proses
Seperti yang telah dijelaskan diatas, nisin dapat diproduksi menggunakan media
sintetis & alami dalam batch fermentations. Produksi nisin yang optimal biasanya
membutuhkan media yang kompleks
volume kerja. Suhu, agitasi kecepatan, dan pH selama fermentasi jar pada suhu 30 C,
250 rpm, dan 5,5 dengan 5 N natrium hidroksida, masing-masing.
2.2.2
Downstream Proses
Dalam usaha untuk memperoleh senyawa nisin sendiri, setelah melalui proses
fermentasi di atas, isolasi bakteriosin dilakukan melalui sentrifugasi hasil fermentasi di
atas. Proses downstream (purifikasi) dilakukan dengan pengendapan ammonium sulfat
(70-80%), dilanjutkan dengan kromatografi. Beberapa metode pemurnian dengan kolom
kromatografi yang dilaporkan antara lain penggunaan kromatografi imunoafinitas
interaksi hidrofobik dan kromatografi gel (Gujarathi et al., 2005) dan penggunaan cation
exchange chromatography (DEAEcellulose). Dalam produksi nisin faktor harus
diperhatikan yaitu pH, suhu, sumber karbon dan nitrogen, garam, serta fase
pertumbuhannya agar diperoleh aktivitas yang maksimal. Proses purifikasi nisin
menggunakan ion exchange chromatography dan gel filtration chromatography.
Kemudian selanjutnya dilakukan analisis. Yang pertama adalah Analisis Densitas sel.
Densitas sel diukur dengan absorbansi pada 560 nm menggunakan spektrofotometer
dan dikonversi ke berat kering sel (DCW) dari kurva standar. Yang kedua adalah
pengukuran glukosa dan konsentrasi nisin. Broth berisi kultur disaring melalui membran
selulosa asetat (0,45 um Minisart, Sartorius KK, Tokyo) dan filtrat digunakan sebagai
sampel untuk analisis berikut. Kemudian konsentrasi glukosa dan nisin dalam filtrat
diukur dengan kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC, Waters 2690, Waters Corp,
Milford, MA, USA) dengan kolom penukar kation (HPX-87H, Bio-Rad, Hercules, CA,
USA) , menggunakan 0,01 N asam sulfat sebagai fase gerak dengan laju alir 0,5 ml /
menit. Yang terakhir adalah konsentrasi Nisin. Analisis kuantifikasi nisin A dalam filtrat
yang dihasilkan oleh galur ATCC 11454 dilakukan dengan HPLC (Waters 2690)
dilengkapi dengan kolom fase terbalik (ODP-50 6E Shodex Asahipak, Showa Denko,
Tokyo), dengan menggunakan asetonitril yang mengandung 0,05% trifluoroasetat acid
(A) dan air suling yang mengandung 0,05% asam trifluoroasetat (B) sebagai fase gerak.
Elusi dilakukan pada laju alir 1,0 ml / menit dengan gradien linier dari 26% -34% dari A
untuk 40 menit; untuk selanjutnya 15 menit, elusi dilakukan dengan gradien linier dari
34% -100% dari A. Nisin konsentrasi A dihitung dari kurva standar menggunakan otentik
nisin A (2,5% nisin, Sigma-Aldrich Jepang, Tokyo). Dalam studi ini, Nisin Konsentrasi
yang diberikan oleh analisis HPLC sangat berkorelasi (R 2> 0,95).
Hal-hal yang berpengaruh pada produksi nisin adalah :
-
2.3
dikeluarkan ke media
Temperatur
Agitasi
Aerasi
Aplikasi Nisin Sebagai Bahan Preservatif
Sebagai bahan pengawet alami, nisin dapat diaplikasikan pada berbagai jenis
produk pangan seperti produk olahan susu (keju, susu pasteurisasi), produk pangan
asam (salad dressing), sosis, makanan dalam kaleng, dan minuman beralkohol (DelvesBroughton, 2005) seperti disajikan pada Tabel 1. Meskipun dinilai aman (GRAS:
Generally Recognized As Safe) (De Vuyst & Vandamme, 1994; Jones et al., 2005),
penggunaan nisin harus dalam jumlah tertentu, tidak melebihi dosis yang dipersyaratkan,
sesuai jenis produk pangan yang ditambah. Batas penggunaan nisin yang ditetapkan
10
oleh setiap negara berbeda, misalnya JECFA (The Joint Expert Committee on Food
Additives) di AS merekomendasikan batas penggunaan nisin adalah 60 mg nisin murni
per 70 kg bobot badan/hari, sebagai contoh FDA menetapkan batas maksimum
penggunaan nisin adalah 10,000 IU/g; tetapi di Australia, Perancis, dan Inggris tidak ada
batas maksimum yang ditetapkan untuk penggunaan nisin pada produk keju (Jones et
al., 2005).
Penggunaan nisin sebagai biopreservasi dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu : (1)
penambahan nisin murni pada produk pangan, (2) inokulasi produk pangan dengan
bakteri asam laktat (BAL), dan (3) penggunaan bahan bantu proses pengolahan produk
pangan yang sebelumnya telah difermentasi dengan bakteri penghasil bakteriosin
(Jones et al., 2005).
Tabel 1. Aplikasi nisin pada produk pangan
2000).
Berikut adalah beberapa aplikasi preservative dari nisin, antara lain :
1. Bahan Pengawet Daging
Dari sekian banyak bakteriosin yang diketahui, nisin masih merupakan satusatunya bakteriosin yang secara komersial digunakan sebagai biopreservativ
(pengawet alami) dan diakui aman oleh WHO (World Health Organization) dan telah
menerima denominasi dari GRAS (Generally Recognized and Safe) dan juga oleh
Food and Drug Administration (FAO). Ini karena nisin bersifat tidak toksin, diproduksi
secara alami oleh Lactococcus lactis, stabil pemanasan, stabil penyimpanan, tidak
mempengaruhi rasa dan aroma bahan pangan, terdegradasi oleh enzim digesta, dan
sifat antimikrobanya (menghambat pertumbuhan bakteri gram positive).
Dalam produksi makanan sangatlah penting untuk menjaga kualitas dan
stabilitas produk selama penyimpanan. Salah satu cara untuk menjaga kualitas dan
stabilitas produk adalah dengan mencegah terjadinya kerusakan bahan karena
kegiatan fisik, kimia, mekanik maupun mikrobiologis.
Saat ini sedang marak adanya penggunaan bahan kimia formalin untuk
pengawet daging untuk mempertahankan kesegaran daging ayam yang sebenarnya
hanya tampak secara fisik. Pada dasarnya proses pembusukan dalam daging tetap
berlangsung mengingat terjadinya degradasi protein secara alamiah selama
penyimpanan. Salah satu alternatif untuk mempertahankan kesegaran daging ayam
secara aman adalah dengan penggunaan biopreservatif diantaranya bakteriosin yang
dapat disintesis oleh bakteri asam laktat (BAL) yang banyak di Indonesia.
Tersedianya bakteriosin diharapkan menjadi solusi agar pengawet kimia yang
berbahaya bagi kesehatan konsumen tidak digunakan lagi. Selain itu dengan
merebaknya kasus flu burung penggunaan bakteriosin diharapkan dapat menghindari
penularan penyakit tersebut dari unggas hidup kepada manusia dalam wilayah
tertentu. Daging ayam dalam bentuk karkas yang dilindungi oleh bakteriosin dapat
tetap segar dalam waktu cukup panjang selama beredar di pasar (distribusi).
Daging adalah sebagai semua jaringan hewan dan produk hasil pengolahan
jaringan-jaringan yang sesuai untuk dimakan dan tidak menimbulkan gangguan
kesehatan bagi yang mengkonsumsi (Soeparno, 1998). Daging digolongkan kedalam
dua kelompok yaitu kelompok daging yang berasal dari ternak besar (sapi, kerbau,
kambing) dan umumnya merupakan daging merah, serta kelompok daging dari ternak
kecil (burung, ayam, itik) dan umumnya adalah daging putih.
Daging mengandung zat gizi yang tinggi. Kandungan gizi yang tinggi terutama
protein dengan komposisi asam amino yang seimbang hal ini sangat bermanfaat bagi
tubuh manusia. Lemak merupakan komponen utama dalam daging. Lemak berfungsi
12
sebagai pembentuk energi dan komposisi lemak terdiri atas gliserol dan asam lemak.
Karbohidrat merupakan komponen yang memegang peranan utama di dalam bahanbahan organik. Kebanyakan karbohidrat di dalam jaringan tubuh hewan terdiri atas
polisakarida kompleks dan beberapa diantaranya berkaitan dengan komponen
protein serta sulit dipisahkan. Glikogen merupakan karbohidrat yang utama di dalam
daging.
Kandungan gizi yang tinggi ini menyebabkan daging mempunyai sifat mudah
rusak (perishable) karena mikroba dapat tumbuh dan berkembang biak di dalamnya.
Menurut Gill (1986), daging digolongkan sebagai bahan pangan yang mudah rusak
karena merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini
disebabkan oleh karena kadar air daging termasuk tinggi, kaya akan zat gizi yang
mengandung nitrogen, karbohidrat yang dapat difermentasi, kaya akan mineral untuk
pertumbuhan mikroba, dan memiliki pH yang baik untuk pertumbuhan mikroba (5,36,5) (Soeparno, 1998).
Kualitas daging diantaranya dipengaruhi oleh faktor metode penyimpanan dan
preservasi. Daging yang disimpan pada suhu kamar dalam waktu tertentu akan cepat
rusak. Kerusakan daging yang berakibat terhadap penurunan mutu daging segar
antara lain disebabkan oleh kontaminasi mikroba. Secara internal daging akan
terkontaminasi bila tidak didinginkan setelah proses penyembelihan. Jumlah dan jenis
mikroba yang mencemari daging ditentukan oleh tingkat pengendalian higienis yang
dilaksanakan
selama
penanganan
diawali
saat
penyembelihan
ternak
dan
et al., 2004).
Ammor et al. (2006a) menyatakan bahwa senyawa serupa bakteriosin
(bacteriocin-like) dari bakteri Vagococcus carniphilus dan Lactococcus garvieae yang
diisolasi dari sosis kering aktif menyerang L.monocytogenes dan Staphylococcus
aureus. Antimikrobial ini merupakan senyawa untuk mencegah pertumbuhan mikroba
yang tidak diinginkan yang mengkontaminasi peralatan selama pengolahan produk
daging. Masih menurut Ammor et al. (2006b), beberapa BAL yang menghasilkan
senyawa serupa bakteriosin dapat menekan pertumbuhan mikroba yang tidak
diharapkan sehingga merupakan barrier terjadinya kontaminasi dari alat-alat dan
lingkungan selama penanganan daging segar.
Penggunaan biopreservatif berhubungan dengan makin maraknya penggunaan
pengawet kimia formalin pada daging segar akhir-akhir ini yang membahayakan
kesehatan konsumen. Pengawet tersebut digunakan untuk mencegah terjadinya
pembusukan oleh bakteri patogen pada bahan pangan terutama yang berkadar air
dan gizi tinggi seperti daging. Dengan merebaknya kasus flu burung, maka
penggunaan biopreservatif bakteriosin merupakan salah satu alternatif yang aman
dan baik dalam mempertahankan kesegaran dan keamanan pangan daging
ayam/unggas. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
telah menghasilkan bakteriosin cair yang dapat digunakan sebagai biopreservatif
pada daging ayam. Hasil aplikasi bakteriosin cair pada daging ayam menunjukkan
bahwa daging ayam dapat dipertahankan kesegarannya selama 18 jam, padahal
daging ayam secara normal tanpa pengawet dapat bertahan segar selama 10 jam
(bila ditangani relatif bersih) dan 6 jam (bila ditangani tidak bersih).
2. Bahan Preservatif pada Susu dan Keju
Mekanisme penambahan senyawa antimikroba alami ini pada pembuatan produkproduk fermentasi misalnya pada keju, penambahan senyawa antimikroba ini
digunakan sebagai starter. Mikroba yang berperan sebagai aenyawa antimikroba ini
yaitu Streptococcus lactis. Caranya, mikroba ini diinokulasikan pada dadih susu,
kemudian bakteri ini menghasilkan asam laktat sehingga dapat menciptakan suasana
asam pada media tumbuhnya, sehingga bakteri pathogen yang tidak tahan suasana
asam ini akan dihambat pertumbuhannya. Penambahan mikroba ini akan membentuk
tekstur, warna, serta aroma yang khas. Tekstur akan berubah menjadi padat karena
asam laktat yang dihasilkan oleh S. lactis akan menggumpalkan protein.
Nisin efektif menghambat pertumbuhan Listeria monocytogenes pada keju.
Selain itu nisin juga dapat digunakan dalam pasteurisasi produk-produk dairy dan
makanan kaleng untuk mencegah pertumbuhan spora Clostridium. Nisaplin dan nisin
14
pembusuk
Gram
positif
seperti
C.
pasteurianum,C.butyricum,
16
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1. Nisin merupakan salah satu jenis bakteriosin yang mengandung senyawa peptida
bersifat antimikrobia yang dihasilkan oleh BAL Lactococcus lactis.
2. Proses produksinya dilakukan dengan cara menginokulasi kultur bakteri kedalam
medium cair, kemudian diisolasi dan dipurifikasi menggunakan gel kromatografi
dan ion exchange kromatografi.
3. Nisin dapat dihasilkan dari BAL umumnya terdapat pada genus Lactococcus,
Lactobacillus, Pediococcus.
4. Aplikasi dari nisin dapat digunakan sebagai bahan preservatif pada produk pangan
diantaranya
bahan
pengawet
daging,
produk
olahan
susu
(keju,
susu
DAFTAR PUSTAKA
17
Delves-Broughton, J. 1990. Nisin and its uses as a food preservative. Food Technol. 100
112.
De Vuyst, L. and Vandamme, E.J. 1994. Bacteriocins of Lactic Acid Bacteria ed. De Vuyst, L.
and Vandamme, E.J. London: Blackie Academic & Professional
El-Shafie, H. A., Ibrahim, N., El-Sabour, H.A., and Mostafa, Y.A. 2008. Purification and
Characterization of Bacteriocin Produced by Isolated Strain of Lactococcus lactis. Journal
of Applied Sciences Research 4(11): 13151321.\
Guinane, C.M., Cotter, P.D., Hill, C., and Ross, R.P. 2005. A Review: Microbial solution to
microbial problems; lactococcal bacteriocins for the control of undesirable biota in food. J.
Appl. Microbiol. 98:13161325.
Jones, E., Salin, V., and Williams, G.W. 2005. Nisin And The Market For Commercial
Bacteriocins. TAMRC Consumer and Product Research Report No. CP-0 1 - 0 5 .
http://afcerc.tamu.edu/publications/PublicationPDFs/CP%2001%2005%20Nisin
%20Report.pdf. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2010.
Kim, J.W. 1993. Bacteriocins of lactic acid bacteria : their potential as food biopreservatives.
Food Reviews International 9: 299313.
Liu, W. and Hansen, J.N. 1990. Some chemical and physical properties of nisin, a smallprotein antibiotic produced by Lactococcus lactis. Appl. Environ Microbiol. 56 (8): 2551
2558.
Reunanen, J. 2007. Lantibiotic Nisin and Its Detection Methods. Dissertation. Department of
Applied Chemistry and Microbiology. Division of Microbiology. Faculty of Agriculture and
Forestry and Viikki Graduate School in Biosciences University of Helsinki. 42 pp.
Sahl, H.G. 1991. Pore formation in bacterial membranes by cationic lantibiotics. In: Jung G
and Sahl HG (Eds) Nisin and Novel antibiotics. Proceedings of the First International
Workshop on Lantibiotics, Escom, Leiden, The Netherlands. p. 347358.
West, C.A. and Warner, P.J. 1988. Plantacin B, a bacteriocin produced by Lactobacillus
plantarum NCDO 1193. FEMS Microbiology Letters 49 (2): 163 165.
18