Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ANALISIS FARMASI
Analisis Golongan Antibiotik
“Naladixica”

OLEH:
Nama: GERIL. A
Nim :16.01.119
Kelas : STIFA D

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI


MAKASSAR
2020
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Pendahuluan

Sejarah Antibiotik

Sejarah Antibiotik Sejak zaman dahulu orang kuno telah mempraktekkan


fitoterapi dengan jalan mencoba−coba. Orang Yunani dan Aztec (Mexico)
menggunakan masing masing pakis pria (filix mas) dan minyak chenopodi untuk
membasmi cacing dalam usus. Orang Hindu sudah beribu−ribu tahun lalu
mengobati lepra dengan minyak chaulmogra dan di China serta di Pulau
Mentawai (Sumatera Barat) sejak dahulu borok diobati dengan menggunakan
jamur−jamur tertentu sebagai pelopor antibiotika. China dan Vietnam sejak dua
ribu tahun lalu menggunakan tanaman qinghaosu (mengandung artemisin) untuk
mengobati malaria, sedangkan suku−suku Indian di Amerika Selatan
memanfaatkan kulit pohon kina. Pada abad ke-16 air raksa (merkuti) mulai
digunakan sebagai kemoterapetikum pertama terhadap sifilis (Tjay & Rahardja,
2010). 9 Penemuan antibiotik diinisiasi oleh Paul Ehrlich yang pertama kali
menemukan apa yang disebut “magic bullet”, yang dirancang untuk menangani
infeksi mikroba. Pada tahun 1910, Ehrlich menemukan antibiotika pertama,
salvarsan yang digunakan untuk melawan syphilis. Ehrlich kemudian diikuti oleh
Alexander Fleming yang secara tidak sengaja menemukan penisilin pada tahun
1928. Tujuh tahun kemudian, Gerhard Domagk menemukan sulfa, yang membuka
jalan penemuan obat anti TB, isoniazid. Pada tahun 1943, anti TB pertama
streptomycin, ditemukan oleh Selkman Wakzman dan Albert Schatz. Wakzman
juga orang pertama yang memperkenalkan terminologi antibiotik. Sejak saat itu
antibiotika ramai digunakan klinisi untuk menangani berbagai penyakit infeksi
(Utami, 2011). Setelah penisilin, mulai banyaknya antibiotik yang ditemukan
seperti kloramfenikol dan kelompok sefalosforin, tetrasiklin, aminoglikosida,
makrolida, polipeptida, linkomisin dan rifampisin. Selain sulfonamida
dikembangkan juga kemoterapeutika sintesis, seperti senyawa nirofuran pada
tahun 1944, asam nalidiksat pada tahun 1962, serta turunannya flurokuinolon pada
tahun 1985, obat−obatan TBC (PAS, INH) dan obat protozoa (kloroquin, progua-
nil, metronidazol, dll. Dewasa ini banyak obat antimikroba baru yang telah
dikembangkan yang mampu menyembuhkan hampir semua infeksi antimikroba
(Tjay & Rahardja, 2010). 10 Antibiotik yang seperti yang kita ketahui saat ini
berasal dari bakteri yang telah dilemahkan, tidak ada yang menduga bahwa
bakteri yang telah dilemahkan tersebut dapat membunuh bakteri lain yang
berkembang didalam tubuh makhluk hidup. Antibiotik adalah zat yang dihasilkan
oleh mikroba terutama jamur, yang dapat menghambat atau membunuh
pertumbuhan dari mikroba lain (Nastiti, 2011). Namun seiring berjalannya waktu,
satu demi satu bakteri mulai resisten terhadap pemberian antibiotik. Pada tahun
1950-an telah muncul jenis bakteri baru yang tidak dapat dilawan dengan penislin.
Tetapi ilmuan terus menerus melakukan berbagai penelitian, sehingga
antibiotik−antibiotik baru terus ditemukan. Antara tahun 1950 sampai 1960-an
jenis bakteri yang resisten masih belum menghawatirkan, karena penemuan
antibiotik baru masih bisa membasminya. Namun sejak akhir 1960-an, tidak ada
lagi penemuan yang bisa diandalkan. Baru pada tahun 1999 ilmuan berhasil
mengembangkan antibiotik baru, tetapi sudah semakin banyak bakteri yang
resisten terhadap antibiotik (Borong, 2012).
Sediaan Nalidixica yang ada dipasaran

Asam nalidiksat adalah obat yang tua, digunakan di klinik sejak tahun


1967. Obat ini sudah hampir lenyap di pasaran, di Amerika obat ini sudah tidak
lagi di beredar, sedangkan di Indonesia satu-satunya produsen yang masih
“menghidupkan” obat ini yaitu pabrik yang bermarkas di daerah Puncak Kab
Cianjur, PT Armoxindo, dengan brand “Urineg”.

Cukup sulit mencari informasi obat ini di buku-buku Farmakologi terkini


karena obat ini memang obat yang sudah langka. Sebuah literatur lama karangan
Ganiswara tahun 1995 membahas lengkap obat ini di halaman 594 dalam sub-
topik Antiseptik Saluran Kemih.

Asam nalidiksat (En: nalidixic acid), merupakan senyawa purwarupa


dari golongan antimikroba yang sangat terkenal saat ini, fluorokuinolon. Asam
nalidiksat tidak dapat digunakan untuk mengobati infeksi sistemik yang berasal
dari dari saluran kemih karena bioavaibilitasnya dalam plasma tidak mencukupi.
Namun pada tubuli renalis, asam nalidiksat mengalami pemekatan dan berdifusi
kembali ke parenkim ginjal sehingga bermanfaat untuk pengobatan infeksi
saluran kemih. Oleh karena kadarnya hanya cukup tinggi pada saluran kemih
saja, maka obat ini dianggap sebagai antiseptik lokal untuk infeksi saluran
kemih. Ketika rekan sejawat mencari obat ini di buku ISO 46, Anda tidak akan
menemukannya dalam kolom Kuinolon, tapi masuk ke bagian 30.3 Obat yang
mempengaruhi saluran kemih | Antiseptik.

Asam nalidiksat bekerja dengan menghambat enzim DNA girase


bakteri dan biasanya bersifat bakterisidterhadap kebanyakan kuman patogen
penyebab infeksi saluran kemih. Obat ini menghambat E. coli, Proteus spp.,
Klebsiella spp. dan kuman-kuman koliform lainnya.

Asam nalidiksat tersedia dalam sediaan tablet 500 mg. Dosis untuk


dewasa adalah 4 kali 500 mg/hari. Asam nalidiksat diindikasikan
untuk mengobati infeksi saluran kemih bawah tanpa penyulit (misalnya
sistitis akut). Obat ini tidak efektif untuk infeksi saluran kemih atas, misalnya
pielonefritis. Obat ini dikontraindikasikan pada wanita hamil trimester
pertama dan juga anak dalam masa pubertas.
Asam nalidiksat adalah obat langka, untungnya ada “sahabat baik” yang
masih hidup dan lestari sampai sekarang yaitu asam pipemidat (En: pipemidic
acid). Asam pipemidat mempunyai indikasi sama dengan asam nalidiksat.
Dosisnya adalah 2 kali 400 mg/hari. Jadi, jika rekan sejawat sulit menemukan
asam nalidiksat (Urineg), asam pipemidat bisa digunakan dengan berbagai pilihan
berikut:

 Impresal (Zambon Spa)


 Palin (Lek, Pharpros)
 Urinter (Interbat)
 Urixin (Abbot)
 Urotracictin (Sanbe Farma)

Asam nalidiksat dan asam pipemidat mungkin akan semakin langka di


masa depan, karena obat-obat baru seperti ciprofloksasin dan generasi lebih baru
semakin populer dan efektivitasnya yang lebih baik.
BAB II

METODE PEMISAHAN

II.1 ANALISIS KUANTITATIF

2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Tanaman stevia (Stevia rebaudiana Bertonii M.) mempunyai sistematika


sebagai berikut (Rukmana 2003):

Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Campanulatae
Famili : Compositae (Asteraceae)
Genus : Stevia
Spesies : Stevia rebaudiana Bertonii M.
2.1.2 Deskripsi Tanaman

Stevia Rebaudiana (Bertoni) adalah bahan pemanis alami yang


mempunyai tingkat kemanisan 200-300 kali lebih manis daripada gula tebu
(Ratnani, 2005). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa steviosida pada daun
stevia mengandung kalori yang rendah bahkan sampai dengan nol kalori, sehingga
aman bagi penderita diabetes atau konsumen yang sedang melakukan diet.
Berdasarkan hasil penelitian, steviosida aman dikonsumsi oleh masyarakat umum
karena tidak mempunyai efek teratogenik, mutagenik atau karsinogenik. Daun
stevia memiliki aktivitas antioksidan sehingga memiliki kemampuan untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan mencegah radikal bebas penyebab
penyakit. Konstituen utama dalam daun stevia adalah glikosida diterpenoid yang
berpotensi sebagai pemanis diantaranya adalah steviosida, rebaudiosides dan
dulcosida (Chaturvedula, 2011).
2.1.3 Kandungan Kimia

Kandungan senyawa kimia yang terdapat pada daun stevia adalah alkaloid,
flavonoid, tannin, dan senyawa fenol yang memiliki efek antibakteri. Aktivitas
antibakteri daun stevia ini mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan bakteri
Streptococcus mutans. Bakteri Streptococcus mutans merupakan bakteri gram
positif yang dinding selnya terdiri dari peptidoglikan, asam teikoat, teikuronat
polisakarida dan protein. Kerusakan lapisan ini mengakibatkan kerusakan
kekakuan dinding sel bakteri, sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan
bakteri (Lamonthe et al, 2009).

2.1.4 Manfaat

Daun stevia memiliki manfaat yang sangat banyak bagi kesehatan


diantaranya, tidak mempengaruhi gula darah sehingga aman bagi penderita
diabetes, mencegah kerusakan gigi dengan menghambat pertumbuhan bakteri
dimulut, membantu memperbaiki pencernaan dan meredakan sakit perut. Baik
untuk mengatur berat badan, untuk membatasi makanan manis berkalori tinggi
(Raini & Isnawati, 2011)

II.2 Teori Umum

II.2.1 Pengertian Standarisasi

Standarisasi adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran


yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma untuk kefarmasian, mutu
dalam arti memenuhi syarat standar, termasuk jaminan stabilitas sebagai produk
kefarmasian umumnya.

Standarisasi simplisia dan ekstrak dilakukan untuk menetapkan parameter


standar simplisia dan ekstrak. Penetapan standar mutu simplisia dan ekstrak
meliputi parameter spesifik dan non-spesifik (Yuri et al, 2017).

II.2.2 Pembagian Parameter

A. Parameter Standar Simplisia


Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat, kecuali
dinyatakan lan berupa bahan yang telah dikeringkan. Standarisasi simplisia
mengacu pada tiga konsep antara lain sebagai berikut:
 Simplisia sebagai bahan baku harus memiliki 3 parameter mutu umum
(nonspesifik) suatu bahan yaitu kebenaran jenis (identifikasi),
kemurnian, aturan penstabilan (wadah, penyimpanan, distribusi).
 Simplisia sebagai bahan dan produk sia pakai harus memenuhi trilogy
Quality-Safety-Efficacy
 Simpilisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang berkontribusi
terhadap respon biologis harus memiliki spesifikasi kimia yaitu (jenis
dan kadar) senyawa kandungan (Depkes RI, 1985)
Parameter standarisasi simplisia terbagi menjadi tiga yaitu :
a) Kebenaran simplisia
Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan dengan cara organoleptik,
makroskopik, dan mikroskopik. Pemeriksaan organoleptik dan
makroskopik dilakukan dengan menggunakan indra manusia dengan
memeriksa kemurnian dan mutu simplisia dengan mengamati bentuk
ciri – ciri luar serta warna dan bau simplisia. Sebaiknya pemeriksaan
mutu organoleptik dilanjutkan dengan mengamati ciri – ciri anatomi
histologi terutama untuk menegaskan keaslian simplisia.
b) Parameter spesifik parameter nonspesifik
Parameter nonspesifik meliputi uji terkait dengan pencemaran yang
disebabkan oleh pestisida, jamur, aflatoxin, logam berat, penetapan
kadar abu, kadar air, kadar minyak atsiri, penetapan susut pengering.
c) Parameter spesifik
Parameter ini digunakan untuk mengetahui identitas kimia dari
simplisia. Uji kandungan kimia simplisia digunakan untuk menetapkan
kandungan senyawa tertentu dari simplisia. Biasanya dilakukan dengan
analisis kromatografi lapis tipis (Depkes RI,1985).
B. Parameter Standar Ekstrak

Parameter standar ekstrak dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Paremeter spesifik
1. Pemeriksaan identitas: Parameter identitas simplisia
bertujuan untuk memberikan identitas obyektif nama
secara spesifik (Depkes RI, 2000).
2. Uji makroskopik: Pengujian makroskopis bertujuan untuk
mencari kekhususan bentuk morfologi dan warna
simplisia (Eliyanoor, 2012).
3. Uji mikroskopis: Pengujian mikroskopis dilakukan
terhadap serbuk simplisia (Eliyanoor, 2012).
4. Pemeriksaan organoleptik: Parameter organoleptik
bertujuan untuk memberikan pengenalan awal terhadap
simplisia menggunakan panca indera dengan
mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa (Depkes
RI, 2000)
5. Uji kandungan kimia: Uji kandungan kimia bertujuan
untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan
kimia (Depkes RI, 2000)
6. Penetapan kadar sari terlarut pada pelarut air dan etanol:
Bertujuan sebagai perkiraan banyaknya kandungan
senyawa-senyawa aktif yang bersifat polar (larut dalam
air) dan polar-non polar (larut dalam etanol) (Saifudin
dkk, 2011).
b. Parameter Non-Spesifik
1. Penetapan bobot jenis. Piknometer dibersihkan dan
dikeringkan. Ekstrak diencerkan 5% menggunakan air.
Ekstrak cair dimasukkan ke dalam piknometer, dibuang
kelebihan ekstrak cair dan ditimbang. Bobot piknometer
kosong dikurangi dengan bobot piknometer yang telah
diisi. Bobot jenis ekstrak cair adalah hasil yang diperoleh
dengan membagi kerapatan ekstrak dengan kerapatan
air dalam piknometer pada suhu 25°C
2. Penetapan Kadar Abu Total. Simplisia dan ekstrak
masing-masing sebanyak 2 g ditimbang dan dimasukkan
ke dalam krus silikat yang telah dipijar dan ditara,
pijarkan perlahan-lahan hingga suhu yang menyebabkan
senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan
menguap sampai tinggal unsur mineral dan anorganik saja
yaitu pada suhu 600 ± 25°C, dinginkan dan timbang.
Kadar abu total dihitung terhadap berat bahan uji,
dinyatakan dalam % b/b (Depkes RI., 2008)
3. Penetapan Kadar Abu. Tidak Larut Asam Abu yang
diperoleh pada penetapan kadar abu
total dididih-kan dengan 25 mL asam klorida encer
LP selama 5 menit. Bagian yang tidak larut dalam
asam dikumpulkan, saring melalui kertas saring bebas
abu, Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung
terhadap berat bahan uji, dinyatakan dalam % b/b
(Depkes RI., 2008).

Bobot abu
Bobot abu = x 100 %
Bobot ekstrak

4. Penetapan Kadar Air. Kadar air ditetapkan dengan cara


destilasi toluen. Toluen yang digunakan dijenuhkan
dengan air terlebih dahulu, kemudian simplisia dan
ekstrak masing-masing sebanyak 5 g ditimbang dan
dimasukkan ke dalam labu alas bulat dan ditambahkan
toluen yang telah dijenuhkan. Labu dipanaskan selama 15
menit, setelah toluen mulai mendidih, penyulingan diatur
2 tetes/detik, lalu 4 tetes/detik. Setelah semua air
tersuling, pemanasan dilanjutkan selama 5 menit. Biarkan
tabung penerima dalam keadaan dingin mencapai hingga
suhu kamar. Volume air dibaca sesudah toluen dan air
memisah sempurna (Depkes RI., 2008).
5. Penetapan Susut Pengeringan. Simplisia dan ekstrak
masing-masing sebanyak 2g dimasukkan ke dalam krus
porselin bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada
suhu 105°C selama 30 menit dan telah ditara. Krus
dimasukkan ke dalam oven dalam keadaan tutup krus
terbuka, keringkan pada suhu 105°C hingga bobot tetap,
dinginkan dalam eksikator. Replikasi dilakukan sebanyak
tiga kali kemudian dihitung presentasenya (Depkes RI.,
2000).
6. Cemaran Mikroba. Ekstrak sebanyak 1 g dilarutkan
dalam 10 mL pengencer yaitu larutan NaCl, dikocok
hingga homogen didapatkan pengenceran 10-1. Tabung
sebanyak 3 buah disiapkan, lalu 9 mL pengencer
dimasukkan
pada masing-masing tabung. Pengenceran 10-1 dipipet
sebanyak 1 mL ke dalam tabung pertama, kocok hingga
homogen sehingga pengenceran 10-2 didapatkan,
selanjutnya pengen-ceran 10-3 dan 10-4 dilanjutkan.

II.2.3 Definisi Kadar Sari

Kadar sari merupakan metode kuantitatif untuk jumlah kandungan


senyawa dalam simplisia dan ekstrak yang bisa tersari dalam pelarut tertentu.
Penetapan ini bisa dilakukan dengan dua cara yaitu kadar sari larut atir dan kadar
sari larut etanol (Martiani, 2012).

Penetapan kadar sari yang larut dalam air dimaksudkan untuk mengetahui
jumlah senyawa yang dapat tersari dengan air dari suatu simplisia dan ekstrak.
Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol untuk mnegetahui jumlah senyawa
yang dapat tersari dengan etanol dari suatu simplisia dan ekstrak (Fauzi, 2013).

Rumus untuk menetapkan kadar sari larut air:

%=
W 2−W 0 100
X X 100 %
W 1−W 0 20
Keterangan:

W0 = Bobot cawan kosong

W1 = Bobot cawan + sampel yang digunakan

W2= Bobot cawan + hasil pengeringan

Rumus untuk menetepkan kadar sari larut etanol:

%=
W 2−W 0 100
X X 100 %
W 1−W 0 20
Keterangan:

W0 = Bobot cawan kosong

W1 = Bobot cawan + sampel yang digunakan

W2= Bobot cawan + hasil pengeringan

II.2.4 Pengendalian Mutu

Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu ektrak:

c. Faktor biologi, meliputi: speries tanaman, lokasi tumbuh, waktu


pemanenan, penyimpanan bahan tanaman, umur tanaman, dan
bagian yang digunakan
d. Faktor kimia meliputi:
1. Faktor eksternal: metode ekstraksi, perbandingan ukuran,
alat ekstraksi, ukuran kekerasan, kekeringan bahan, pelarut
yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat,
dan kandungan pestisida
2. Faktor internal: jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi
kualitatif senyawa aktif, komposisi senyawa aktif,
komposisi kuantitatif senyawa aktif, dan kadar total
senyawa aktif (Depkes RI,2000).

II.2.5 Uraian Bahan

1. Aquadest ( FI III, 1979)


Nama Resmi : AQUA DESTILLATA
Nama Lain : Aquadest
RM/BM : H20/ 18,02
Pemerian : cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
Berasa

2. Alkohol (FI III, 1979)


Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Alkohol, Etanol, Etil Alkohol
RM/BM : C2H6O/ 46,07
Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah
menguap,dan

mudah bergerak, bau khas, rasa panas, mudah


terbakar dan memberikan nyala biru yang
tidak berasap.

Kelarutan: : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P,


dan dalam eter P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terhindar dari cahaya,
ditempat sejuk, dan jauh dari nyala api
3. Toluen (FI III, 1979)
Nama Resmi : TOLUEN
Nama Lain : Fenilmetana, Toluol, Metilbenzena
RM/ BM : C7H8 (C6H5CH3) / 92,14
Pemerian : Cairan tidak berwarna, berbau manis, pedas seperti
benzen
Kelarutan : Larut dalam dietileter, etanol. Benzen, kloroform,
asam asetat glasial, carbondisulfida dan aseton,
praktis tidak larut dalam air dingin.
Penyimpanan : Disimpan di tempat yang sejuk dan kering dan di
tempat tertutup rapat
BAB III

METODE KERJA
III.1 ALAT
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan
analitik, alat-alat gelas laboratorium, krus silikat, kertas saring bebas abu,
seperangkat alat soxhlet, tanur pemanas, oven, dan evaporator.
III.2 Bahan
Adapun bahan-bahannya adalah simplisia daun Stevia rebaudiana
(Bertoni) diambil dari daerah Cipanas Bogor, Malang dan Tawangmangu, serta
pelarut etanol, toluene, aquadest.
III.3 Prosedur Kerja
3.1 Simplisia
3.1.1 Pembuatan Serbuk Simplisia
Penanganan pasca panen daun Stevia rebaudiana yang telah bersih lalu
dikeringkan di bawah sinar matahari dengan ditutupi kain hitam dan alas
pengering terbuat dari bambu. Setelah kering simplisia diserbuk dengan
menggunakan blender.
3.1.2 Karakterisasi simplisia
Karakterisasi simplisia meliputi : susut pengeringan, kadar sari larut
etanol, dan kadar sari larut air. Cara penetapan diatas dilakukan sesuai prosedur
yang telah ditetapkan
3.2 Ekstrak
3.2.1 Pembuatan ekstrak 50% secara maserasi
Ekstrak etanol daun stevia dibuat dengan metode maserasi menggunakan
penyari etanol 50%. Maserat yang diperoleh kemudian diuapkan pelarutnya
dengan menggunakan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak cair. Penguapan
dilanjutkan diatas waterbath pada suhu terjaga sampai diperoleh ekstrak kental.
3.2.2 Karakterisasi ekstrak
Karakterisasi ekstrak meliputi: penetapan kadar air, penetapan kadar abu,
dan penetapan kadar abu tidak larut asam.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Pengamatan Organoleptik
Parameter organoleptik bertujuan memberikan pengenalan awal simplisia
dan ekstrak berupa bentuk, warna, bau, dan rasa. Data ini dapat digunakan sebagai
dasar untuk menguji simplisia dan ekstrak selama penyimpanan, dan hal tersebut
tentu saja dapat mempengaruhi khasiatnya. Hasil pemeriksaan organoleptik dapat
dilihat pada tabel I.

Tabel I. Data Organoleptik Simplisia dan Ekstrak Daun S.rebaudiana


Parameter Jenis Daerah Pengambilan Simplisia
Tawangmangu Bogor Malang
organoleptik
Bentuk Simplisia Serbuk Serbuk Serbuk
Ekstrak Kental Kental Kental
Warna Simplisia Hijau Hijau Hijau
kecoklatan kecoklatan kecoklatan
Ekstrak Hitam Hitam Hitam
Bau Simplisia Khas Khas Khas
Ekstrak Caramel Caramel Caramel
Rasa Simplisia Manis Manis Manis
Ekstrak Manis agak Manis agak Manis agak
pahit pahit pahit
Hasil penelitian menunjukkan simplisia daun S. rebaudiana yang berasal
dari daerah Malang, Bogor, dan Tawangmangu berbentuk serbuk, berwarna hijau
kecoklatan, berbau khas, dan berasa manis, sedangkan ekstrak etanol 50% daun S.
rebaudiana dari ketiga tempat tumbuh berbentuk kental, berwarna hitam, berbau
karamel, dan berasa manis agak pahit.
IV.2 simplisia
Hasil Karakterisasi Simplisia
Daun S. rebaudiana diperoleh dari 3 tempat tumbuh yang memiliki
ketinggian berbeda-beda. Daerah Malang mempunyai ketinggian sekitar 500 m di
atas permukaan laut (dpl), daerah Tawangmangu sekitar 700 m dpl, dan Bogor
sekitar 200 m dpl. Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu memberikan
gambaran tentang kandungan senyawa yang dapat diekstraksi. Penentuan
parameter ini dilakukan secara gravimetri dan mempersyaratkan untuk
menggunakan dua pelarut, yaitu air dan etanol. Pelarut air dimaksudkan untuk
melarutkan senyawa polar sedangkan etanol untuk melarutkan senyawa yang
kurang polar yang terdapat dalam simplisia. Pada penelitian ini persentase kadar
senyawa terlarut dalam air dapat dilihat pada tabel II dan persentase kadar
senyawa terlarut dalam etanol dapat dilihat pada tabel III.

Nama Repli Berat Cawan Cawan Cawan Sari I Sari Kadar Ratarata±
daerah kasi awal porselen porselen porselen (g) II (g) sari SD
simplisia (g) + sari II + sari I (%)
(g) (g) (g)
Malang 1 50,820 51,227 51,219 0,399 0,406 81,200 89,933±
2 89,233 89,681 89,675 0,442 0,447 89,400
2,500 51,955
3 90,843 91,340 91,320 0,477 0,496 99,200

Bogor 1 49,233 49,711 49,706 0,473 0,478 95,600 95,666±


2 77,914 78,399 78,387 0,473 0,485 97,000
2,500 2,646
3 89,674 90,148 90,140 0,466 0,474 94,400
Tawang 1 78,058 78,465 78,458 0,400 0,407 81,400 86,266±
2 49,315 49,773 49,759 0,444 0,457 91,400
mangu 2,500 31,259
3 89,293 89,724 89,711 0,418 0,430 86,000

Tabel II. Kadar Sari Larut Air Simplisia Daun S. Rebaudiana

Tabel III. Kadar Sari Larut Etanol Simplisia Daun S. rebaudiana

Nama Replik Berat Cawan Cawan Cawan Sari Sari I Kadar Ratarata
daerah asi awal porsele porselen+ porselen II(g) (g) sari ±SD
simpli n (g) sari II (g) + sari I (%)
sia (g) (g)
Malang 1 49,134 49,250 49,189 0,116 0,055 23,200 27,733±
2 89,122 89,343 89,319 0,221 0,197 44,200
2,500 346,89
3 77,863 77,942 77,936 0,079 0,073 15,800
Bogor 1 89,172 89,435 89,424 0,262 0,252 52,400 45,800±
2 77,942 78,173 78,170 0,230 0,228 46,000
2,500 29,76
3 49,254 49,450 49,421 0,195 0,167 39,000
Tawan 1 49,272 49,466 49,452 0,194 0,180 38,800 30,933±
2 81,787 81,948 81,942 0,161 0,155 32,200
g 2,500 51,178
3 77,995 78,105 78,096 0,109 0,101 21,800
mangu

Pada penelitian ini diperoleh kadar sari larut air tertinggi pada simplisia
dari Bogor yaitu 95,666 ± 2,646, sedangkan kadar sari larut etanol tertinggi pada
simplisia dari Bogor juga yaitu 45,800 ± 29,76.
Hasil uji susut pengeringan merupakan indikator tentang besarnya
senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Persentase susut pengeringan
dapat dilihat pada tabel IV. Penelitian ini menunjukkan bahwa persentase susut
pengeringan tertinggi pada simplisia dari Tawangmangu yaitu 11,972 ± 0,188.

Tabel IV. Kadar Susut Pengeringan Simplisia Daun S. rebaudiana


Nama Repl Berat Berat Berat Berat Berat Susut Susut Kadar Ratarata
daerah ikasi awal Cawan Cawan + cawan stlh cawan stlh penger pengerin (%) ±
simplisia (g) simplisia susut susut ingan g an II SD
(g) (g) pengeringan pengeringa I (g) (g)
II (g) n
I (g)
Malang 1 2,003 91,572 93,575 93,473 93,469 1,897 1,901 5,092 4,859±
93,480 93,476 1,904 1,908 4,743
2 0,253
93,480 93,477 1,905 1,908 4,742
3
Bogor 1 2,002 82,663 84,665 84,475 84,468 1,823 1,812 9,490 11,188±
84,474 84,470 1,807 1,811 9,540
2 10,015
84,374 84,369 1,706 1,711 14,535
3
Tawan 1 1,999 86,385 88,385 88,148 88,140 1,755 1,763 11,805 11,972±
88,145 88,137 1,752 1,760 11,955
g 2 0,188
88,141 88,134 1,749 1,756 12,156
mangu 3
IV.3 Ekstrak

Hasil Ekstraksi

Metode maserasi dipilih sebagai metode dalam proses ekstraksi karena


sifat daun yang lunak dan mudah mengembang dalam cairan pengekstraksi. Selain
itu, maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana karena cairan penyari
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif. Zat aktif akan larut dan adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat
aktif di dalam dengan di luar sel menyebabkan larutan yang terpekat keluar
hingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dengan di luar sel
(Markham, 1988).

Rendemen ekstrak yaitu perbandingan berat ekstrak yang diperoleh setelah


proses pemekatan dengan berat simplisia awal. Penetapan rendemen bertujuan
untuk mengetahui jumlah kira-kira simplisia yang dibutuhkan untuk pembuatan
sejumlah tertentu ekstrak kental. Besarnya rendemen masing-masing ekstrak dapat
dilihat pada tabel V.

Tabel V. Rendemen Ekstrak Etanol Daun S. rebaudiana


No. Asal simplisia Berat (gram) Rendemen (%)
Simplisia Ekstrak kental
1. Malang 1300,00 338,41 26,03
2. Tawangmangu 2000,00 369,14 18,46
3. Bogor 1300,00 409,06 31,47
Tabel V merupakan rendemen ekstrak yang diperoleh dari ketiga tempat
tumbuh dan hasilnya berkisar antara 18,46 - 31,47 %. Hasil rendemen yang tinggi
menunjukkan bahwa senyawa-senyawa kimia yang dapat tersari dalam ekstrak
juga cukup besar. Hal ini dimungkinkan karena banyaknya senyawa kimia yang
ada dalam simplisia. Dalam rangka memperoleh ekstrak yang dikehendaki sebagai
produk kefarmasian, maka ekstrak tersebut harus memenuhi persyaratan mutu
ekstrak berdasarkan beberapa parameter pengujian yang telah ditetapkan
Farmakope Herbal Indonesia (2008). Hasil penetapan kadar air dalam ekstrak
dapat dilihat pada tabel VI.
Tabel VI. Kadar Air Ekstrak Etanol Daun S. rebaudiana
Nama Replikas Berat Berat Berat Jumlah Kadar Ratarata
daerah i aluminium Aluminium Ekstrak air (ml) air (%) ±SD
foil (g) foil + ekstrak (g)
(g)
Malang 1 0,406 9,765 9,359 0,800 8,547 8,372±
2 0,392 10,158 9,766 0,800 8,191
0,207
3 0,405 10,001 9,596 0,800 8,378
Bogor 1 0,375 9,923 9,548 0,800 8,378 8,562±
2 0,357 11,357 10,024 0,900 8,978
0,383
3 0,424 11,226 10,802 0,900 8,331
Tawan 1 0,373 10,859 10,486 0,900 8,582 8,759±
g 2 0,389 10,633 10,243 0,900 8,786
0,189
mangu 3 0,373 10,473 10,100 0,900 8,910

Penentuan kadar air menggunakan metode gravimetri dengan cara


dipanaskan menggunakan pereaksi toluene hingga seluruh air yang terkandung di
dalam ekstrak terpisah. Hasil penelitian menunjukkan persentase kadar air dalam
ekstrak daun S. rebaudiana memenuhi syarat. Menurut literatur, kadar air dalam
ekstrak tidak boleh melebihi 10%. Hal ini bertujuan untuk menghindari cepatnya
pertumbuhan jamur dalam ekstrak (Soetarno dan Soediro, 1997).

Hasil penelitian kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam dalam
ekstrak daun S. rebaudiana dapat dilihat pada tabel VII dan VIII. Abu adalah zat
anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan
komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu
ada hubungannya dengan mineral suatu bahan.

Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat berasal dari dua macam
garam yaitu:

1. Garam-garam organik, misalnya garam dari asam malat, oksalat, asetat, pektat,
dan lainlain.
2. Garam-garam anorganik, misalnya fosfat, karbonat, klorida, sulfat nitrat dan
logam alkali.
Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral dapat terbentuk sebagai
senyawa kompleks yang bersifat organik. Apabila akan ditentukan jumlah mineral
dalam bentuk aslinya adalah sangat sulit. Oleh karena itu biasanya dilakukan
dengan menentukan sisa pembakaran garam mineral tersebut yang dikenal dengan
pengabuan (Sudarmadji dkk., 1986
Tabel VII. Kadar Abu Total Ekstrak Etanol Daun S. rebaudiana
Nama Repli Krus+ Krus+tutup Ekstrak (g) Krus+tutup + Abu I Krus+tutup Abu II Ratarata±
daerah kasi tutup + ekstrak abu I (g) (%) + abu II (g) (%) SD
(g) (g)
Malang 1 35,452 38,164 2,999 35,750 9,936 35,753 10,036 9,819±
2 34,807 37,812 3,005 35,097 9,650 35,098 9,683
0,238
3 32,612 35,610 2,998 32,900 9,606 32,904 9,739
Bogor 1 34,683 37,675 2,992 34,918 7,854 34,921 7,954 7,993±
2 35,109 38,113 3,004 35,352 8,089 35,355 8,189
0,089
3 36,957 39,956 2,999 37,190 7,769 37,192 7,835
Tawang 1 36,642 39,647 3,005 36,909 8,885 36,913 8,985 10,632±
mangu 2 35,033 38,034 3,001 35,328 9,830 35,330 9,896
5,032
3 35,462 38,458 2,996 35,849 12,917 35,852 13,017

Tabel VIII. Kadar Abu Tidak Larut Asam Ekstrak Etanol Daun
S.rebaudiana
Nama Replikasi Krus+tutu Krus+tutup Ekstra Krus+tutup Abu Krus+tutu Abu Ratarata±
daerah p + ekstrak k (g) + abu I (g) I (%) p + abu II II SD
(g) (g) (g) (%)
Malang 1 35,483 38,482 2,999 35,500 0,566 35,502 0,633 0,654±
2 34,842 37,847 3,005 34,861 0,632 34,863 0,698
0.023
3 32,624 35,622 2,998 32,640 0,533 32,643 0,633
Bogor 1 34,684 37,676 2,992 34,711 0,902 34,713 0,969 0,889±
2 34,692 37,696 3,004 34,714 0,732 34,716 0,798
0,088
3 37,008 40,007 2,999 37,031 0,766 37,035 0,900
Tawan 1 36,642 39,647 3,005 36,651 0,299 36,653 0,366 0,422±
g 2 35,046 38,047 3,001 35,055 0,299 35,059 0,433
0,057
mangu 3 35,510 38,506 2,996 35,520 0,333 35,524 0,467
Besarnya kadar abu total dalam setiap ekstrak daun S.rebaudiana
mengindikasikan bahwa ekstrak yang diperoleh dari proses maserasi banyak
mengandung mineral. Adanya kandungan abu tidak larut dalam asam yang rendah
menunjukkan adanya pasir atau pengotor yang lain dalam kadar rendah.
BAB V
PENUTUP
IV.1 KESIMPULAN
Daun bertoni ( Stevia rabaudiana) merupakan tanaman berbentuk perdu
(semak), tingginya antara 60-90 cm dengan panjang daun 3-7 cm dan memiliki
banyak cabang. Tanaman ini mengandung campuran dari diterpen, triterpen,
tannin, stigmasterol, minyak yang mudah menguap, dan delapan senyawa manis
diterpen glikosida. Tanaman ini memiliki tingkat kemanisan 200 hingga 300 kali
gula sukrosa.
Hasil penelitian ini telah memperoleh nilai rentang pada karakterisasi
simplisia maupun ekstrak daun S. rebaudiana (Bertoni) yang diperoleh dari
daerah Bogor, Malang, dan Tawangmangu.
DAFTAR PUSTAKA

Mariana Y, Setiabudy R, 1995, Sulfonamid, Kotrimoksazol dan Antiseptik


Saluran Kemih, dalam Ganiswara SG (Ed), Farmakologi dan Terapi Edisi 4,
Jakarta, Bagian Farmakologi FKUI, hal 594.

ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia 46, 2011-2012, Obat yang


mempengaruhi saluran kemih, ISFI Penerbitan, hal 600.

Anda mungkin juga menyukai