Anda di halaman 1dari 9

Antelmintik

Antelmintika atau obat cacing (Yunani, anti = lawan, helmintes = cacing) adalah obat yang
dapat memusnahkan cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Dalam istilah ini termasuk
semua zat yang bekerja lokal menghalau cacing dari saluran cerna maupun obat-obat sistemik
yang membasmi cacing serta larvanya, yang menghinggapi organ dan jaringan tubuh (Tjay,
2007)
Kebanyakan antelmintik efektif terhadap satu macam cacing, sehingga diperlukan
diagnosis tepat sebelum menggunakan obat tertentu. Kebanyakan antelmintik diberikan
secara oral, pada saat makan atau sesudah makan. Beberapa senyawa antelmintik yang lama,
sudah tergeser oleh obat baru seperti Mebendazole, Piperazin, Levamisol, Albendazole,
Tiabendazole, dan sebagainya. Karena obat tersebut kurang dimanfaatkan. (Gunawan, 2009)
dalam Waddah (2012)
Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan
menjangkiti lebih dari 2 miliar manusia diseluruh dunia. Walaupun tersedia obat-obat baru
yang lebih spesifik dangan kerja lebih efektif, pembasmian penyakit ini masih tetap
merupakan salah satu masalah antara lain disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi di
beberapa bagian dunia. Jumlah manusia yang dihinggapinya juga semakin bertambah akibat
migrasi, lalu-lintas dan kepariwisataan udara dapat menyebabkan perluasan kemungkinan
infeksi. (Tjay, 2007)
Terdapat tiga golongan cacing yang menyerang manusia yaitu matoda, trematoda, dan
cestoda. Sebagaimana penggunaan antibiotika, antelmintik ditujukan pada target metabolic
yang terdapat dalam parasite tetapi tidak mempengaruhi atau berfungsi lain untuk pejamu.
(Mycek, 2001).

Obat Antelmintik yang Lazim Digunakan


1. Piperazin
Efektif terhadap A. lumbricoides dan E.vermicularis. Mekanisme kerjanya menyebabkan
blokade respon otot cacing terhadap asetilkolin-paralisis dan cacing mudah dikeluarkan oleh
peristaltik usus. Absorpsi melalui saluran cerna, ekskresi melalui urine. (Biworo, 2010)
Piperazin pertama kali digunakan sebagai antelmintik oleh Fayard (1949). Pengalaman klinik
menunjukkan bahwa piperazin efektif sekali terhadap A. lumbricoides dan E.
vermicularis sebelumnya pernah dipakai untuk penyakit pirai. Piperazin juga terdapat sebagai
heksahidrat yang mengandung 44% basa. Juga didapat sebagai garam sitrat, kalsium edetat
dan tartrat. Garam-garam ini bersifat stabil non higroskopis, berupa kristal putih yang sangat
larut dalam air, larutannnya bersifat sedikit asam. (Biworo, 2010)
a. Efek antelmintik
Piperazin menyebabkan blokade respon otot cacing terhadap asetilkolin sehinggga
terjadi paralisis dan cacing mudah dikeluarkan oleh peristaltik usus. Cacing biasanya keluar
1-3 hari setelah pengobatan dan tidak diperlukan pencahar untuk mengeluarkan cacing itu.
Cacing yang telah terkena obat dapat menjadi normal kembali bila ditaruh dalam larutan
garam faal pada suhu 37°C. (Biworo, 2010)
Diduga cara kerja piperazin pada otot cacing dengan mengganggu permeabilitas membran sel
terhadap ion-ion yang berperan dalam mempertahankan potensial istirahat, sehingga
menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai paralisis. (Biworo, 2010)
Pada suatu studi yang dilakukan terhadap sukarelawan yang diberi piperazin ternyata
dalam urin dan lambungnya ditemukan suatu derivat nitrosamine yakni N-
monistrosopiperazine dan arti klinis dari penemuan ini belum diketahui. (Biworo, 2010)
b. Farmakokinetik
Penyerapan piperazin melalui saluran cerna, baik. Sebagian obat yang diserap mengalami
metabolisme, sisanya diekskresi melalui urin. Menurut, Rogers (1958) tidak ada perbedaan
yang berarti antara garam sitrat, fosfat dan adipat dalam kecepatan ekskresinya melalui urin.
Tetapi ditemukan variasi yang besar pada kecepatan ekskresi antar individu. Yang diekskresi
lewat urin sebanyak 20% dan dalam bentuk utuh. Obat yang diekskresi lewat urin ini
berlangsung selama 24 jam. (Biworo, 2010)
c. Efek nonterapi dan kontraindikasi
Piperazin memiliki batas keamanan yang lebar. Pada dosis terapi umumnya tidak
menyebabkan efek samping, kecuali kadang-kadang nausea, vomitus, diare, dan alergi.
Pemberian i.v menyebabkan penurunan tekanan darah selintas. Dosis letal menyebabkan
konvulsi dan depresi pernapasan. Pada takar lajak atau pada akumulasi obat karena gangguan
faal ginjal dapat terjadi inkoordinasi otot, atau kelemahan otot, vertigo, kesulitan bicara,
bingung yang akan hilang setelah pengobatan dihentikan. Piperazin dapat memperkuat efek
kejang pada penderita epilepsi. Karena itu piperazin tidak boleh diberikan pada penderita
epilepsi dan gangguan hati dan ginjal. Pemberian obat ini pada penderita malnutrisi dan
anemia berat, perlu mendapatkan pengawasan ekstra. Karena piperazin menghasilkan
nitrosamin, penggunaannya untuk wanita hamil hanya kalau benar-benar perlu atau kalau tak
tersedia obat alternatif. (Biworo, 2010)
d. Sediaan dan posologi
Piperazin sitrat tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan sirop 500 mg/ml, sedangkan
piperazin tartrat dalam tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis dewasa pada askariasis adalah 3,5 g
sekali sehari. Dosis pada anak 75 mg/kgBB (maksimum 3,5 g) sekali sehari. Obat diberikan 2
hari berturut-turut. Untuk cacing kremi (enterobiasis) dosis dewasa dan anak adalah 65
mg/kgBB (maksimum 2,5 g) sekali sehari selama 7 hari. Terapi hendaknya diulangi sesudah
1-2 minggu. (Biworo, 2010)
2. Pirantel Pamoat
Untuk cacing gelang, cacing kremi dan cacing tambang. Mekanisme kerjanya
menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi imfuls, menghambat
enzim kolinesterase. Absorpsi melalui usus tidak baik, ekskresi sebagian besar bersama tinja,
<15% lewat urine. (Biworo, 2010)
Pirantel pamoat sangat efektif terhadap Ascaris, Oxyuris dan Cacing tambang, tetapi
tidak efektif terhadap trichiuris. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan penerusan
impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh
oleh gerak peristaltik usus. Cacing yang lumpuh akan mudah terbawa keluar bersama tinja.
Setelah keluar dari tubuh, cacing akan segera mati. Di samping itu pirantel pamoat juga
berkhasiat laksans lemah. (Tjay & Rhardja, 2002).

Anti Bakteri
Antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan bahkan
mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba
yang merugikan manusia. Obat yang digunakan untuk membasmi
bakteri penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas
yang selektif. Berdasarkan sifat toksisitas yang selektif, zat- zat
antibakteri dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu bakterisid
dan bakteriostatik. Bakterisid bersifat membunuh bakteri, sedangkan
bakteriostatik memiliki kemampuan menghambatt perkembangbiakan
bakteri tetapi tidak dapat membunuh bakteri (Ganiswarna, 1995).
Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan
mikroba atau membunuhnya dikenal sebagai kadar hambat minimum
(KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM). Antimikroba tertentu
aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatikmenjadi bakterisid
bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM (Ganiswarna,
1995). Mekanisme kerja dari senyawa antibakteri diantaranya yaitu
menghambat sintesis dinding sel bakteri, menghambat keutuhan
permeabilitas dinding sel bakteri, menghambat kerja enzim dan
menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Dwidjoseputro,
1980).Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya sel
mikroba oleh antimikroba (Setiabudy dan Gan, 1995). Resistensi
mikroba terhadap obat terjadi akibat perubahan genetik dan
dilanjutkan serangkaian proses seleksi oleh obat antimikroba. Faktor
yang mempengaruhi sifat resistensi mikroba terhadap antimikroba
terdapat pada unsur yang bersifat genetik seperti DNA, plasmid dan
kromosom (Jawetz, 2001). Adanya fenomena ketahanan tumbuhan
sacara alami terhadap mikrobamenyebabkan pengembangan sejumlah
senyawa yang berasal dari tanaman yang mempunyai kandungan
antibakteri dan antifungi (Griffin, 1981). Dalam penelitian ini,
tanaman yang digunakan sebagai kandidat antibakteri adalah jahe
merah (Zingiber officinale var rubrum). Jahe merupakan tanaman
obat dan rempah berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Jahe
tumbuh diindonesia ditemukan di semua wilayah Indonesia yang
ditanam secara monokultur dan polikultur (Hapsoh, et al., 2008).
Berdasarkan bentuk, warna dan ukuran rimpang, ada 3 jenis jahe yang
dikenal, yaitu jahe putih besar/jahe badak, jahe putih kecil atau emprit
dan jahe merah. Secara umum ketiga jenis jahe tersebut mengandung
pati, minyak atsiri, serat, sejumlah kecil protein, vitamin, mineral dan
enzim proteolitik (zingibain) (Hernani dan Christina, 2002).Selain
memiliki kegunaan sebagai bahan dasar dari pembuatan obat-obat
tradisional maupun modern, antioksidan dan antibakteri senyawa
metabolit sekunder yang dihasilkan tumbuhan Zingiberaceae ini
umumnya dapat menghambat pertumbuhan patogen yang merugikan
kehidupan manusia, diantaranya bakteri Escherichia coli, Bacillus
subtilis, Staphylococcus aureus, jamur Neurospora sp, Rhizopus sp,
penicillium sp (Sari, et al., 2013).
Rimpang jahe merah mengandung senyawa yang memiliki aktivitas
antioksidan, antibakteri, antiinflamasi, antikarsinogenik,
antimutagenik dan antitumor (Kim et al. 2005). Kandungan senyawa
metabolit sekunder padatanaman jahe terutama dari golongan
flavonoid, fenol, terpenoid dan minyak atsiri (Nursal et al., 2006).
Penelitian Juasa (2013) menjelaskan bahwa ekstrak etanol jahe merah
(Zingiber officinale) memiliki kandungan flavonoid, polifenol yang
diketahui memiliki aktivitas antimikroba, dengan daya hambat bakteri
pada konsentrasi 0,5% b/v, 1% b/v, 2% b/v, 5%b/v, 10% b/v dan 20%
b/v terhadap aktivitas antibakteri Staphylococcus aureus. Senyawa
kimia memiliki aktivitas anitibakteri pada rimpang jahe merah adalah
flavonoid dengan mekanisme sebagai antibakteri yaitu terlarut dengan
membetuk komplek dengan protein dan dengan dinding mikroba atau
flavonoid berperan secara langsung dengan mengganggu fungsi sel
mikroorganisme dan penghambatan siklus sel mikroba. Sedangkan
mekanisme kerja polifenol sebagai antibakteri adalah merusak
dinding sel sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat proses
pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh, mengubah
permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran
nutrien dari dalam sel, mendeturasi protein sel, dan merusak sistem
metabolisme di dalam sel (Fatmawati, 2009).

Anti Virus
Selama bertahun-tahun terdapat anggapan bahwa sangatlah sulit untuk mendapat kemoterapi
antivirus dengan selektifitas yang tinggi. Siklus replikasi virus yang dianggap sangat mirip
dengan metabolisme normal manusia menyebabkan setiap usaha untuk menekan reproduksi
virus juga dapat membahayakan sel yang terinfeksi. Bersamaan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan pengertian yang lebih dalam mengenai tahap-tahap spesifik dalam replikasi
virus sebagai target kemoterapi anti virus, semakin jelas bahwa kemoterapi pada infeksi virus
dapat dicapai dan reproduksi virus dapat ditekan dengan efek yang minimal pada sel horpes.
Perkembangan obat anti virus baik sebagai profilaksis ataupun terapi belum mencapai hasil
seperti apa yang diinginkan oleh umat manusia. Berbeda dengan anti mikroba lainya,
antiviral yang dapat menghambat atau membunuh virus juga akan dapat merusak sel hospes
dimana virus itu berada. Ini karena replikasi virus RNA maupun DNA berlangsung didalam
sel hospes dan membutuhkan enzim dan bahan lain dari hospes. Tantangan bagi penelitian
ialah bagaimana menemukan suatu obat yang dapat menghambat secara spesifik salah satu
proses replikasi virus seperti : peletakan, uncoanting dan replikasi. Analisis biokimiawi dari
proses sintesis virus telah membuka tabir bagi terapi yang efektif untuk beberapa infeksi
seperti : virus hespes, beberapa virus saluran napas dan human immunodeficiency virus
(HIV).
Dengan mencuatnya masalah penyakit acquired-immuno-deficiency-syndrom (AIDS)
maupun virus lainnya, maka kegiatan penelitian mencari obat anti viral telah mendapat
dukungan yang lebih luas dari berbagai pihak baik swasta maupun pemerintah, terutama di
Negara maju.
Sejumlah obat anti virus dapat dikembangkan didekade 50 dan 60 saat ini memiliki
pemamfaatan terbatas. Obat ini adalah idoksuridin, vidarabin dan sitarabin.
Obat ini bersifat tidak selektif dalam menghambat replikasi virus sehingga banyak fungsi sel
hospes juga dihambat. Toksisitas misalnya supresi sumsum tulang telah menghalangi obat di
atas digunakan secara parental kecuali vidarabin. Hanya idoksuridin dan vidarabin yang saat
ini masih dapat digunakan secara topikal sebagai obat pilihan kedua dan ketiga pada herpes
simplex keratin konjunctifitis. Obat anti virus generasi baru pada umumnya bekerja lebih
selektif terutama asiklovir sehingga toksisitasnya lebih rendah.

ANTI FUNGI
anti jamur adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh
jamur.
Sebuah jamur adalah anggota kelompok besar eukariotik organisme yang meliputi
mikroorganisme seperti ragi dan jamur, serta lebih akrab jamur. Kadang disebt juga Fungi
yang diklasifikasikan sebagai sebuah kerajaan yang terpisah dari tanaman, hewan dan bakteri.
Salah satu perbedaan utama adalah bahwa sel-sel jamur memiliki dinding sel yang
mengandung kitin, tidak seperti dinding sel tumbuhan, yang mengandung selulosa. Ini dan
perbedaan lainnya menunjukkan bahwa jamur membentuk kelompok satu organisme yang
terkait, bernama Eumycota (benar jamur atau Eumycetes), yang berbagi nenek moyang (a
monophyletic group). Kelompok jamur ini berbeda dari yang secara struktural mirip jamur
lendir (myxomycetes) dan jamur air (Oomycetes).
Disiplin biologi yang ditujukan untuk mempelajari jamur ini dikenal sebagai ilmu jamur,
yang sering dianggap sebagai cabang botani, meskipun penelitian genetik menunjukkan
bahwa jamur yang lebih dekat dengan binatang daripada tumbuhan. Berlimpah di seluruh
dunia, kebanyakan fungi tidak mencolok karena ukuran kecil struktur mereka, dan mereka
samar gaya hidup di tanah, pada benda mati, dan sebagai symbionts tanaman, hewan, atau
jamur lain. Mereka mungkin menjadi terlihat ketika berbuah, baik sebagai jamur atau
cetakan. Jamur melakukan suatu peran penting dalam dekomposisi materi organik dan
memiliki peran penting dalam siklus hara dan pertukaran.
Mereka telah lama digunakan sebagai sumber makanan langsung, seperti jamur dan
cendawan, sebagai ragi roti agen, dan di fermentasi berbagai produk makanan, seperti anggur,
bir, dan kecap.. Sejak tahun 1940-an, jamur telah digunakan untuk produksi antibiotik, dan,
baru-baru ini, berbagai enzim yang diproduksi oleh jamur digunakan industri dan deterjen..
Jamur juga digunakan sebagai agen biologi untuk mengendalikan gulma dan hama. Banyak
spesies menghasilkan bioaktif senyawa yang disebut mycotoxins, seperti alkaloid dan
polyketides, yang beracun untuk hewan termasuk manusia.
Struktur yang berbuah beberapa spesies mengandung psikotropika senyawa dan dikonsumsi
recreationally atau tradisional upacara spiritual. Jamur dapat mematahkan dibuat bahan dan
bangunan, dan menjadi signifikan patogen manusia dan hewan lainnya. Kerugian tanaman
akibat jamur penyakit (misalnya penyakit ledakan beras) atau makanan busuk dapat memiliki
dampak besar manusia pasokan makanan dan ekonomi lokal.
Kerajaan jamur meliputi keragaman besar taksa dengan bervariasi ekologi, siklus hidup
strategi, dan morfologi mulai dari perairan bersel tunggal chytrids jamur besar. Namun,
sedikit yang diketahui tentang benar keanekaragaman hayati dari Kerajaan Jamur, yang telah
diperkirakan sekitar 1,5 juta spesies, dengan sekitar 5% dari ini telah secara resmi
diklasifikasikan.
Perintis sejak 18 dan abad ke-19 taxonomical karya Carl Linnaeus, Hendrik Kristen persoon,
dan Elias Magnus Fries, jamur telah diklasifikasikan menurut morfologi (misalnya,
karakteristik seperti warna atau mikroskopis spora fitur) atau fisiologi. Kemajuan dalam
genetika molekuler telah membuka jalan bagi analisis DNA untuk dimasukkan ke dalam
taksonomi, yang kadang-kadang menantang sejarah pengelompokan berdasarkan morfologi
dan sifat-sifat lainnya. Filogenetik penelitian yang diterbitkan dalam dekade terakhir telah
membantu membentuk kembali klasifikasi Kerajaan Jamur, yang terbagi menjadi satu
Subkerajaan, tujuh filum, dan sepuluh Subfilum.

Macam-Macam Obat Anti Jamur


Ada beberapa jenis obat-obatan anti jamur, yaitu:
1. Anti Jamur Cream : Digunakan untuk mengobati infeksi jamur pada kulit dan vagina.
Antara lain ketoconazole, fenticonazole, miconazole, sulconazole, dan tioconazole.
2. Anti Jamur Peroral: Amphotericin dan nystatin dalam bentuk cairan dan lozenges.
Obat-obatan ini tidak terserap melalui usus ke dalam tubuh. Obat tersebut digunakan untuk
mengobati infeksi Candida (guam) pada mulut dan tenggorokan. Itraconazole, fluconazole,
ketoconazole, dan griseofulvin dalam bentuk tablet yang diserap ke dalam tubuh. Digunakan
untuk mengobati berbagai infeksi jamur. Penggunaannya tergantung pada jenis infeksi yang
ada. Example: a) Terbinafine umumnya digunakan untuk mengobati infeksi kuku yang
biasanya disebabkan oleh jenis jamur tinea; b) Fluconazole umumnya digunakan untuk
mengobati jamur Vaginal. Juga dapat digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi
jamur pada tubuh.
3. Anti Jamur Injeksi : Amphotericin, flucytosine, itraconazole, voriconazole dan
caspofungin adalah obat-obatan anti jamur yang sering digunakan dalam injeksi.

Anti Protozoa
Protozoa adalah suatu mikroorganisme berselsatu yang dapat menyebabkan infeksi pada
sirkulasi darah ,saluran pencernaan dan kandung kemih. Infeksi akibat protozoa yg paling
terkenal adalah malaria, disentri dan trikomoniasis. Obat antiprotozoa adalah senyawa yang
digunakan untuk pencegahan atau pengobatan penyakit parasit yang disebabkan oleh
protozoa.
Karakteristik Umum
 Protozoa adalah eukariotik (inti dilindungi membrane inti) sehinggasubstansi genetik/
kromosom terpisah dengan sitoplasma karena ada pembatas membran inti ( caryotheca).
 Selnya tidak memiliki dinding sel, namun jika lingkungan kurang baik dapat
membentuk lapisan pelindung yang tebal disebut kista atau cysta setelah lingkungan baik
kista pecah.
 Bentuk sel umumnya tetap kecuali Rhizopoda.
 Bersifat heterotrof artinya makanannya tergantung pada organisme lain (mencari
makanan dengan phagositosis atau pinositosis).
 Dalam rantai makanan sebagai zooplankton.
 Beberapa jenis bersifat parasit dan menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan
ternak.
 Memiliki bentuk tubuh yang berbeda pada tiap fase dalam siklus hidupnya.
 Beberapa protozoa memiliki fase vegetative yang bersifat aktif yang disebut tropozoit
dan fase dorman dalam bentuk sista. Tropozoit akan aktif mencari makan dan berproduksi
selama kondisi lingkungan memungkinkan. Jika kondisi tidak memungkinkan kehidupan
tropozoit maka protozoa akan membentuk cysta.
 Cysta merupakan bentuk sel protozoa yang terdehidrasi dan berdinding tebal mirip
dengan endospora yang terjadi pada bakteri. Pada saat sista protozoa mampu bertahan hidup
dalam lingkungan kering maupun basah.
 Umumnya berkembang biak dengan membelah diri, ada juga yang secara konjugasi.
 Protozoa memiliki alat gerak yaitu ada yang berupa kaki semu, bulu getar (cillia) dan
bulu cambak (flagel) atau dengan sel itu sendiri.
 Pengambilan nutrisi yaitu dengan holozoik (memakan organisme hidup lain),
saprozoik (memakan organisme yang telah mati), holofitik atau autotrof (dapat membentuk
makanan sendiri melalui fotosintesis), saprofitik (menyerap zat yang terlarut di sekitarnya).

Daftar Pustaka
Katzung.1989.Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3.EGC: Jakarta
Tjay, Tan Hoan, Rahardja, Kirana, 2002, Obat – Obat Penting, PT. Elex Media Komputindo,
Jakarta
Jawetz, E., Melnick, J. L., dan Adelberg, E. A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran.
Anonim, 2009. Farmakologi dan terapi obat antivirus. http://blog.rileks.com.//farmakologi-
dan-terapi/obat//antivirus diakses Sabtu, 30 Maret 2024.

Anda mungkin juga menyukai