Anda di halaman 1dari 34

TUGAS ILMU DASAR KEPERAWATAN

DI KERJAKAN OLEH :
ARIEL MARSELON SAINGO (231111043)

UNIVERSITAS CITRA BANGSA


TAHUN 2024/2025

Cari pengertian, etiologi-patologi, gejala klinis, gambar, tata laksana


1. Spina bifida
2. Labioskizis
3. Hidrosefalus
4. Anensefali
5. Omfalokel
6. Atresia esofagus
7. Atresia duodenum dan stenosis
8. Obstrupsi kolon
9. Atresia ani
10. PJB (penyakit jantung bawaan)

JAWABAN

SPINA BIFIDA
A . Pengertian
Spina bifida atau tulang belakang terbelah adalah kelainan sejak lahir yang terjadi ketika tulang
belakang dan sumsum tulang belakang tidak terbentuk secara tepat. Penyakit ini merupakan suatu
bentuk kelainan tuba neural.

Pada spina bifida, tuba neural tidak menutup dengan sempurna, sehingga tulang belakang yang melapisi
dan melindunginya tidak terbentuk dan menutup sebagaimana mestinya.

Kondisi ini akhirnya menyebabkan kerusakan pada kedua komponen tersebut (sumsum tulang belakang
dan tulang belakang).

B. Etiologi-Patologi
Etiologi

Etiologi spina bifida bersifat multifaktorial, artinya terjadinya penyakit ini disebabkan oleh interaksi
berbagai faktor, terutama genetik, maternal, dan lingkungan.

Penelitian pada hewan menunjukkan sebanyak lebih dari 200 gen berperan dalam penutupan tuba
neural. Berbagai gen tersebut memiliki berbagai fungsi, antara lain meregulasi sitoskeletal, proliferasi
sel, menjaga integritas epitel, berperan dalam pembentukan protein, serta enzim yang penting dalam
proses neurogenesis. Mutasi akan menyebabkan malformasi dan defek tuba neural yang salah satunya
bermanifestasi sebagai spina bifida.
Faktor lingkungan atau non genetik juga memiliki peran penting dalam terjadinya spina bifida. Faktor
lingkungan biasanya memiliki peran pada janin yang sudah memiliki kelainan genetik sehingga
lingkungan lebih berfungsi sebagai faktor predisposisi.

Selain faktor genetik, faktor maternal merupakan etiologi spina bifida yang krusial. Beberapa faktor
maternal yang berperan, antara lain diet, kebiasaan seperti alkoholisme, dan konsumsi obat anti epilepsi
seperti asam valproat dan karbamazepine selama masa kehamilan.

Faktor Risiko
Secara umum, faktor risiko terjadinya spina bifida dapat dibagi menjadi 2, yaitu faktor maternal dan
faktor lingkungan.

Faktor Maternal

Faktor maternal yang meningkatkan risiko terjadinya spina bifida, antara lain :

 Faktor nutrisi : rendahnya asupan asam folat, metionin, kolin, vitamin B12, zinc dan vitamin C
 Diet : konsumsi inositol, gula sederhana, dan air klorinasi

 Kebiasaan merokok, alkohol, dan kafein

 Kondisi hipertermia

 Konsumsi obat-obatan, terutama asam valproat

 Penyakit atau gangguan yang dialami oleh ibu, seperti diabetes gestasional, obesitas[5,16,17]
Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko spina bifida pada janin adalah polusi
udara, baik di dalam maupun luar ruangan, terutama CO dan NO2.. Selain itu paparan terhadap zat
pestisida, pelarut organik, senyawa yang terkontaminasi nitrat, hidrokarbon polisiklik aromatik juga
dilaporkan meningkatkan risiko spina bifida.
Patologi

Spina bifida disebabkan oleh kegagalan tabung saraf untuk menutup selama bulan pertama embrio
Pembangunan (sering sebelum ibu tahu dia hamil). Biasanya penutupan tabung saraf terjadi pada
sekitar 28 hari setelah pembuahan. Namun, jika sesuatu yang menggangu dan tabung gagal untuk
menutup dengan baik, cacat tabung saraf akan terjadi. Obat seperti beberapa Antikonvulsan,
diabetes, setelah seorang kerabat menderita spina bifida, obesitas, dan peningkatan suhu tubuh dari
demam atausumber-sumber Listrik eksternal seperti bak air panas dan selimut dapat meningkatkan
kemungkinan seorang Wanita akan mengandung bayi dengan spina bifida. Namun, Sebagian besar
Wanita melahirkan bayi denga spina bifida tidak mempunyai factor tersebut, sehingga meskipun
banyak penelitian, masih belum diketahui apa yang menyebabkan sebagian besar kasus prevalensi.
Spina bifida beragam dalam populasi manusia yang berbeda dan bukti luas strain tikus dengan spina
bifida menunjukan dasar genetik untuk kondisi manusia lainnya seperti penyakit kanker dan
hipertensiaterosklerosis (penyakit arteri koroner), spina bifida kemungkinan hasil dari interaksi
beberapa gen dan factor lingkungan. Penelitian telah menunjukan bahwa kekurangan asam folat
dalah factor dalam pathogenesis cacat tabung saraf, termasuk spina bifida.

C. Gejala Klinis
Gejala spina bifida berbeda-beda, tergantung jenisnya. Pada bayi baru lahir yang mengalami spina bifida
okulta, terdapat sejumput rambut di punggung, atau ada lekukan (lesung) kecil di punggung bawahnya.
Sementara pada meningokel dan mielomeningokel, terdapat kantung yang mencuat di punggung bayi.
Pada bayi dengan meningokel, kantung ini memiliki lapisan kulit tipis. Sedangkan pada mieomeningokel,
kantung tersebut tidak memiliki lapisan kulit sehingga cairan dan serabut saraf di dalamnya bisa terlihat.
Selain kantung di punggung bayi, bayi baru lahir dengan mielomeningokel juga bisa mengalami sejumlah
gejala di bawah ini:

 Tidak dapat menggerakkan tungkainya sama sekali


 Bentuk kaki, pinggul, atau tulang belakangnya tidak normal
 Gangguan berkemih
 Kejang
D. Gambar Spina Bifida

E. Tata Laksana

Penatalaksanaan spina bifida secara umum terdiri dari 2 komponen, yaitu pembedahan dan penanganan
komorbid penderita. Pembedahan dapat dilakukan pada saat bayi sudah lahir atau masih dalam
kandungan. Pembedahan selama intrauter

Tindakan Operatif

Tata laksana utama neural tube defect adalah pembedahan. Pembedahan dapat dilakukan saat bayi
masih di dalam kandungan atau setelah bayi lahir.

Operasi Pasca Lahir

Tindakan pembedahan merupakan tata laksana utama pada kasus spina bifida dan sebaiknya dilakukan
dalam 48 jam pertama kehidupan. Penutupan lesi spina bifida dilakukan untuk melindungi sumsum
tulang dan saraf serta mencegah terjadinya meningitis. Semakin dini operasi penutupan dilakukan,
semakin baik proteksi terhadap organ tersebut. Tindakan operasi tidak dapat memperbaiki atau
menggantikan saraf yang sudah mengalami kerusakan.[3,5,40]

Lesi spina bifida ditutup dengan menggunakan kulit dan flap dari otot atau patch sintetik yang terbuat
dari gelatin, kolagen, dan sebagainya. Tindakan operasi dapat dilakukan juga saat janin masih berada
dalam kandungan. Tujuan dari operasi prenatal selain mencegah kerusakan saraf adalah menghentikan
kebocoran cerebrospinal fluid (CSF).
Operasi Fetus

Operasi pada fetus dapat dilaksanakan pada usia gestasi 19-25 minggu dan sangat terbatas yakni yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang terdapat pada tabel 2. Operasi yang dilakukan saat prenatal
memiliki risiko, seperti kelahiran prematur, dehiscence uterus, ketuban pecah dini, dan peningkatan
risiko kematian fetus maupun neonatus.[3,40]

Tabel 2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Operasi Fetus

Kriteria Eksklusi

Kriteria Inklusi Faktor maternal Faktor fetus atau kehamilan

Usia ibu minimal 18 tahun Inkompetensi serviks Kehamilan ganda

Usia gestasi 19 minggu 0 hari Kelainan pada fetus yang tidak


hingga 25 minggu 6 hari Riwayat kelahiran prematur berkorelasi dengan spina bifida

Lesi terletak pada S1 atau lebih


tinggi Isoimunisasi rhesus ibu dan anak Kifosis ≥ 30 derajat

Karyotype normal Obesitas

Diabetes pregestasional yang


membutuhkan insulin

Kelainan uterus

Mengidap HIV, hepatitis B atau C

Mengalami komorbid penyakit lain


yang serius

Herniasi otak belakang yang sudah Keterbatasan psikososial atau


dikonfirmasi melalui pemeriksaan tidak mampu untuk
USG dan MRI melakukan follow-up Plasenta previa

Sumber: dr. Giovanni Gilberta, 2019.

Penatalaksanaan Komorbid

Penanganan komorbid penderita, terdiri dari tata laksana komorbid neurologis, urologi,
muskuloskeletal, dan dermatologi.

Neurologis

Ventrikulomegali dan hidrosefalus kerap kali dijumpai sebagai penyakit penyerta penderita spina bifida.
Penanganan operatif untuk menangani komorbid ini, antara lain:
 Koagulasi pleksus koroid untuk mencegah produksi cerebrospinal fluid (CSF) yang dapat
memperparah kondisi hidrosefalus

 Membuat shunt ventrikuloperitoneal untuk membantu aliran CSF

 Ventrikulostomi pada ventrikel 3 untuk membantu aliran CSF dan mengurangi hidrosefalus[3,40]

Urologi

Kateterisasi intermiten, terapi medikamentosa, dan operasi merupakan tata laksana terkait komorbid
saluran kemih. Tujuan tata laksana awal adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal. Seiring dengan
peningkatan usia, pengendalian berkemih, buang air besar, dan fungsi seksual menjadi tujuan
penatalaksanaan.

Terapi farmakologis, seperti antikolinergik, dan penggunaan kateter diberikan berdasarkan temuan klinis
yang didapatkan dari pemeriksaan urodinamik yang menunjukkan adanya perburukan atau kondisi
hidronefrosis. Tindakan operasi diindikasikan apabila medikamentosa tidak memberikan perbaikan dan
meningkatkan kualitas hidup anak melalui independensi dan pengendalian fungsi berkemih dan fekal.
[1,40]

Muskuloskeletal

Semakin tinggi lokasi lesi, semakin banyak otot yang mengalami abnormalitas sehingga semakin parah
manifestasi kelemahan yang dialami oleh penderita spina bifida. Penderita seringkali mengalami
ketidakseimbangan dan kelainan ortopedi, seperti displasia panggul, talipes equinovarus , dan vertical
talus. Penggunaan orthosis dan tindakan operasi merupakan pilihan tata laksana kondisi ini. Operasi
korektif dapat dilakukan setelah lahir dan memerlukan follow-up jangka panjang.

Dermatologi

Kondisi pressure ulcer sering dialami oleh penderita terkait dengan penggunaan kursi roda akibat
kelemahan motorik yang dialami. Untuk menghindari kejadian tersebut, perlu dilakukan perubahan
posisi setiap 10-15 menit. Selain itu, gangguan sensorik pada daerah kulit juga membuat penderita
mengalami luka bakar yang dapat ditata laksana tergantung kedalaman luka.

Penggunaan obat topikal, seperti basitrasin, silver sulfadiazine, dan silver nitrat dapat digunakan.
Namun, perlu diperhatikan silver sulfadiazine tidak boleh digunakan pada penderita yang berusia kurang
dari 2 tahun karena dapat meningkatkan risiko kernikterus.
Labioskizis
A . Pengertian

Labioskizis atau yang dikenal dengan bibir sumbing adalah deformitas(kelainan) daerah mulut berupa
celah atau sumbing atau pembentukan yang kurang sempurna semasa embrional berkembang, dengan
tanda bibir atas bagian kanan dan bagian kiri tidak tumbuh bersatu dan seringkali disertai dengan
munculnya celah. Normalnya, proses penyatuan tersebut terjadi pada trimester pertama kehamilan.
Bibir sumbing sering kali disertai dengan munculnya celah di langit-langit mulut yang sering disebut
dengan langit sumbing (palatoskizis).

B. Etiologi-Patologi

Etiologi

Penyebab terjadinya labioschisis belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan ilmuwan berpendapat
bahwa labioschisis muncul sebagai akibat dari kombinasi faktor genetik dan factor-faktor lingkungan. Di
Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para peneliti melaporkan bahwa 40% orang yang mempunyai
riwayat keluarga labioschisis akan mengalami labioschisis. Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan
labioschisis meningkat bila keturunan garis pertama (ibu, ayah, saudara kandung) mempunyai riwayat
labioschisis. Ibu yang mengkonsumsi alcohol dan narkotika, kekurangan vitamin (terutama asam folat)
selama trimester pertama kehamilan, atau menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/
anak dengan labioschisis. (33) Menurut Mansjoer dan kawan-kawan, hipotesis yang diajukan antara lain:
(18) Ø Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional dalam hal kuantitas (pada
gangguan sirkulasi feto-maternal) dan kualitas (defisiensi asam folat, vitamin C, dan Zn) Ø Penggunaan
obat teratologik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal Ø Infeksi, terutama pada infeksi toxoplasma
dan klamidia. Ø Faktor genetik Kelainan ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena
tidak terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu (prosesus
nasalis dan maksilaris) pecah kembali. (18) Pada hewan percobaan vitamin A dikenal sebagai "teratogen
universal". Namun kemungkinan teratogenitas pada manusia yang mengkonsumsi suplemen vitamin A
masih kontroversi.(35) Vitamin B-6 memiliki peran vital dalam metabolisme asam amino. Defisiensi
vitamin B-6 tunggal telah terbukti dapat menyebabkan langit-langit mulut sumbing dan kelainan defek
lahior lainnya pada tikus percobaan. Dan Miller (1972) menunjukkan bahwa pemberian vitamin B-6
dapat mencegah terjadinya celah orofasial. (35) Salah satu penyebab terjadinya celah orofasial ialah
heterogenitas, sebanyak sekitar 20% menyertai sindrom yang disebabkan mutasi yang spesifik. Namun
juga terjadinya celah orofasil juga berhubungan dengan asam folat dan multivitamin lainnya. Beberapa
mungkin memiliki etiologi karena asam folat namun sebagian lagi tidak, sehingga menyulitkan untuk
mencari efeknya

 Pertumbuhan jaringan antara bibir dan langit-langit mulut yang tidak sempurna, sehingga
menimbulkan adanya ‘celah’.

 Faktor genetis. Atau keturunan.


 Janin yang terpapar oleh rokok, alkohol, virus dan obat-obatan.

 Bibir sumbing lebih sering mengenai bayi laki-laki dan ibu mengandung yang mengalami
obesitas.

Patologi

Ketika proses perkembangan embriologi dari kepala dan leher terjadi, akan diikuti dengan proses
pembentukan celah pada wajah.6,11 Selama minggu ketiga dan kedelapan, lima prominences pada wajah
digabungkan. Bibir kemudian berkembang antara minggu ketiga dan ketujuh yang diikuti dengan langit-
langit antara minggu kelima dan kedua belas minggu. Karena proses ini sangat rumit, beberapa faktor-
faktor genetik dan lingkungan dapat mempengaruhi jenis dan tingkat keparahan celah bibir dan langit-
langit dan mengakibatkan kerusakan jaringan berbagai yang terlibat.

Terjadi fusi antara prominensia maxillaris, nasal media dan lateral melalui apoptosis, diferensiasi
epithelial, dan subepitelial mesenkim. Celah bibir dan celah palatum terjadi jika terdapat kegagalan fusi
dari jaringan ini. Beberapa penelitian menunjukkan kelainan ini merupakan akibat sekunder dari defek
pertumbuhan mesenkim atau differensiasi epitel. Selain itu kesalahan dari pemprograman genetic juga
dapat mengganggu fusi prominensia maxillaries dan nasal medial. Akibatnya, suplai darah dan otot
terganggu dan mengakibatkan terjadinya cacat pada bibir dan palatum.

C. Gejala Klinis

Pembentukan bibir terjadi pada usia kehamilan 4–7 minggu, sedangkan langit-langit mulut akan
terbentuk di antara minggu ke-6 hingga minggu ke-9. Gangguan pada proses tersebut bisa menyebabkan
terbentuknya celah pada bibir atau langit-langit mulut.

Tanda yang umum nampak pada bibir sumbing adalah:

 Celah di bibir bagian atas atau di langit-langit mulut yang bisa terjadi di salah satu sisi atau kedua
sisi

 Celah yang terlihat seperti sobekan kecil dari bibir ke gusi atas dan langit-langit mulut hingga ke
bawah hidung

 Perubahan bentuk hidung akibat celah yang terbentuk di bibir atau langit-langit mulut

 Gangguan pertumbuhan gigi atau susunan gigi yang tidak teratur

Di samping itu, ada jenis sumbing yang jarang terjadi, yaitu sumbing submukosa. Sumbing ini ditandai
dengan munculnya celah di bagian langit-langit mulut yang lunak dan ditutupi lapisan mulut.

Gejala sumbing submukosa yang umum terjadi adalah:

 Sulit menyusu dan makan

 Sulit menelan, bahkan makanan dan minuman bisa keluar kembali dari hidung

 Bicara dengan suara sengau atau terdengar tidak jelas


 Infeksi telinga kronis

D. Gambar Labiokizis

E. Tata Laksana

Tatalaksana dan penanganan celah bibir dan langitan merupakan suatu bentuk kerjasama tim yang
melibatkan multidisiplin dalam sebuah rumah sakit. Hal ini dikarenakan tingkat kesulitan yang kompleks
dan variatif dengan memakan waktu yang cukup lama. Diantara disiplin ilmu yang terlibat diantaranya
dokter anak, dokter bedah palstik, dokter bedah mulut, dokter gigi anak, orthodontist, prostodonti,
dokter THT, terapis wicara, psikater dan psikolog.

Setiap rumah sakit memiliki protokol masing-masing dalam menangani kasus celah bibir dan langitan.
Hal ini mengenai keterlibatan multidisiplin dalam rumah sakit dan perawatan jangka panjang yang akan
dilakukan di rumah sakit tersebut. Tatalaksana pada pasien dengan celah bibir dan langitan dimulai sejak
usia 0 minggu hingga 18 tahun. Hal tersebut dapat dijelaskan dalam table berikut :

Usia Tindakan

0-1 minggu Pemberian nutrisi dengan kepala miring 45 derajat

1-2 minggu Pemsasangan obturator untuk menutup celah pada


langitan agara dapat menghisap susu atau memakai dot
lubang besar kearah bawah untuk mencegah aspirasi

10 minggu Labioplasty dengan memenuhi Rules of Ten

1. Usia 10 minggu

2. Berat 10 pounds

3. Hb > 10 gr%

1,5-2 tahun Palatoplasty karena bayi mulai bicara

2-4 tahun Terapi Wicara

4-6 tshun Veropharyngopasty untuk mengembalikan fungsi katup


yang dibentuk m. tensor veli palatine dan m.levator veli
palatine sebagai pembentuk huruf konsonan dan latihan
dengan cara meniup

6-8 tahun Ortodonsi {pengaturan lengkung gigi}

8-9 tahun Alveolar bone grafting

9-17 tahun Ortodons iulang

17-18 tahun Cek kesimetrisan mandibula dan maksila

Tabel 1. {Bagian Bedah FK UGM, 2012)

Secara umum, tahapan dalam tatalaksana pada pasien dengan celah bibir dan langitan sangat
komprehensif meliputi beberapa aspek medis dan non-medis seperti :

1. Keperawatan

 Masalah yang dapat terjadi adalah resiko tersedak

 Ibu harus dilatih untuk memberikan Asi, yang harus diberikan secara hati – hati dan sering
beristirahat jika tetap mengalami kesukaran. Asi dapat di pompa dan diberikan dengan
sedotan sedikit – sedikit. Perhatikan agar pompa payudara dan gelas penampung Asi selalu
diseduh agar tidak terjadi terkontaminasi.

2. Medis

 Tindakan operasi pertama di kerjakan untuk menutup celah bibir berdasarkan kriteria rule of ten
yaitu umur > 10 minggu (3 bulan) > 10 pon (5 kg), Hb > 10 gr/dl, leukosit < 10.000/ui.

 Tahapan bedah korektif

a) Kelahiran (bulan ke 18) : meluruskan segmen maksilaris

b) 2-5 tahun : reposisi maksilaris segmen dan koreksi cross bite

c) 10-11 tahun : mengoreksi proses pembentukan gigi


d) 2-18 tahun : treatment gigi permanen yang telah terbentuk

 Speech Therapy

Tindakan ini dilakukan setelah bedah korektif dilakukan yang bertujuan agar anak dapat berbicara
normal seperti anak-anak normal lainnya.

3. Pencegahan infeksi.

Menaati praktek pencegahan infeksi terutama kebersihan tangan serta memakai sarung tangan.

4. Pasca-operasi

 Imobilisasi tangan untuk mencegah bayi menyentuh jahitan

 Pemberian makan dan minum untuk membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan cairan dan
elektrolit sesuai program pengobatan. Waktu pemberian makan dapat segera dimulai setelah
bayi sadar dan refleks menelan sudah ditegakkan.

 Perencanaan pulang dan perawatan dirumah. Ajarkan pada orangtua tentang perawatan area
operasi,praktik pemberian makan-minum, tanda-tanda infeksi, dan pengaturan posisi anak saat
menyusu. Beri semangat dan dukungan moral untuk orangtua. Tekankan pada orangtua
pentingnya penatalaksanaan jangka panjang untuk mencegah munculnya masalah berbicara
dan bahasa,hilangnya/berkurangnya pendengaran,dan masalah gigi. Informasikan tentang
lembaga-lembaga atau kelompok pendukung untuk anak dengan celah palatum dan atau celah
bibir

 Hasil yang diharapkan:

~ Luka bayi sembuh tanpa komplikasi

~ Pertumbuhan BB-TB bayi/anak sesuai dengan standar

~ Orangtua dapat menunjukkan teknik menyusui yang benar

~ Orangtua akan memperlihatkan penerimaan terhadap kondisi anak

5. Pendidikan kesehatan

 Cara pemasangan selang OGT

 Pemberian dot khusus yang bentuknya lebih panjang dan lubangnya lebih lebardaripada dot biasa.
Tujuannya untuk menutupi lubang langit-langit mulut sehingga susu bisa langsung masuk ke
kerongkongan, lubang lebih besar karena daya hisap bayi rendah

 Bila usia anak sudah mencapai 1-4 tahun dilakukan evaluasi berbicara, dan usia 6 tahun evaluasi gigi
dan rahang

 Fasilitasi tumbuh kembang anak

 Ajarkan cara mencegah komplikasi (menjaga kebersihan area operasi, meminimalisisr gerakan yang
dapat menyebabkan luka operasi terbuka).
Hidrosefalus

A . Pengertian

Hidrosefalus adalah gumpalan cairan di rongga otak sehingga meningkatkan tekanan pada otak . Pada
bayi dan anak-anak, hidrosefalus membuat ukuran kepala membesar. Sedangkan pada orang dewasa,
kondisi ini bisa menimbulkan sakit kepala hebat. Cairan otak diproduksi oleh otak secara terus menerus,
dan diserap oleh pembuluh darah.

B. Etiologi-Patologi

Etiologi

Etiologi hydrocephalus dibagi menjadi kelainan kongenital, didapat (acquired),


dan normal pressure hydrocephalus serta hydrocephalus ex-vacuo.[8,9]

Hydrocephalus Kongenital

Etiologi hydrocephalus kongenital antara lain adalah spina bifida, bayi yang lahir prematur,
hydrocephalus x-linked, kelainan genetik, dan kista arachnoid.

Spina Bifida

Beberapa anak dengan spina bifida, biasanya disertai dengan malformasi Arnold-Chiari II, serta
mengalami herniasi jaringan otak lewat foramen magnum. Hal ini menyebabkan oklusi pada ventrikel
keempat, serta sumbatan aliran CSF.[13]

Bayi Prematur

Bayi prematur (lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu) rentan mengalami post hemorrhagic
hydrocephalus (PHH) sebagai komplikasi dari perdarahan intraventrikular, terutama mereka yang lahir
pada usia kehamilan <29 minggu (20-30%). Pada neonatus yang lahir prematur, PHH terjadi karena
obstruksi aliran CSF serta respon inflamasi ependim, sehingga terjadi gangguan komplians dan
menurunnya kemampuan reabsorbsi CSF.

Hydrocephalus X-linked

Hydrocephalus x-linked disebabkan karena mutasi kromosom X yang menyebabkan stenosis aquaductus
cerebri.

Kelainan Genetik
Pada gangguan genetik seperti malformasi Dandy-Walker, dapat terjadi dilatasi ventrikel ketiga dan
lateral, sehingga menyebabkan atrioventrikular hydrocephalus dengan atrofi otak bilateral.

Kista Arachnoid

Kista arachnoid adalah kantung berisi cairan serebrospinal pada arachnoid. Manifestasi tipikal pada
keadaan ini adalah hydrocephalus kronik pada ventrikel keempat, vertigo, ataxia, dan terkadang disertai
dengan gejala yang timbul karena kompresi batang otak.

Hydrocephalus Didapat

Hydrocephalus yang didapat (acquired) biasanya terjadi karena komplikasi infeksi, clotting pada
pembuluh darah di otak, tumor otak, cedera kepala, dan stroke juga dapat menjadi penyebab
terjadinya acquired hydrocephalus.

Komplikasi Infeksi

Infeksi selaput otak atau meningitis serta infeksi sistem saraf pusat saat intrauterin, seperti pada
infeksi Toxoplasma gondii, dapat menyebabkan hydrocephalus obstruktif. Proses inflamasi menyebabkan
timbulnya agregasi infiltrat, eksudat, serta jaringan fibrosis, terutama pada ruang subarachnoid, sehingga
mengganggu absorbsi cairan serebrospinal.

Dengan kata lain, hydrocephalus obstruktif di sini terjadi karena adanya penyempitan atau oklusi
pada aqueductus, karena kompresi sirkumferensial batang otak oleh eksudat meningeal maupun adhesi
dan septum intraventrikular yang terbentuk oleh proses inflamasi.

Clotting Pembuluh Darah di Otak

Clotting pembuluh darah atau trombosis pada vena menyebabkan hydrocephalus lewat sumbatan yang
mengganggu drainase CSF dan aliran balik vena.

Tumor Otak

Tumor otak dapat menyebabkan hydrocephalus obstruktif apabila terjadi sumbatan pada aliran cairan
serebrospinal di dalam ventrikel otak.

Cedera Kepala dan Stroke Hemorrhagic

Cedera kepala dan stroke hemorrhagic yang menyebabkan perdarahan intraventrikular dapat
menyebabkan terjadinya hydrocephalus obstruktif maupun non-obstruktif.

Normal Pressure Hydrocephalus dan Hydrocephalus Ex-Vacuo

Normal pressure hydrocephalus (NPH) pada orang dewasa dapat terjadi setelah cedera kepala,
perdarahan otak, maupun infeksi. Akan tetapi, pada banyak kasus etiologinya dapat bersifat idiopatik.
Sedangkan hydrocephalus ex-vacuo disebabkan oleh pengerutan jaringan otak sehingga terjadi
peningkatan volume ruang ventrikel yang dikompensasi dengan peningkatan produksi CSF.

Faktor Risiko
Faktor risiko hydrocephalus pada neonatus, bayi, dan anak-anak meliputi laki-laki,
kelahiran prematur (usia kehamilan <28 minggu), berat badan lahir rendah (di bawah persentil 10), dan
anak pertama. Sedangkan faktor risiko maternal meliputi:

 Infeksi intrauterin, antara lain cytomegalovirus dan Toxoplasma gondii

 Gangguan metabolik serta penyakit yang dialami ibu, antara lain hipertensi pada
kehamilan, preeklamsia, dan diabetes gestasional

 Konsumsi obat-obatan oleh ibu saat kehamilan, antara lain metronidazole intravaginal,
antidepresan serotonin selective reuptake inhibitor/SSRI

 Riwayat konsumsi alkohol saat kehamilan

Faktor risiko pada NPH antara lain adalah kondisi yang menyebabkan gangguan aliran darah,
misalnya diabetes mellitus, penyakit jantung, atau dislipidemia.

Patologi

hydrocephalus adalah ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal


(cerebrospinal fluid/CSF). Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi CSF pada ruang ventrikel dan/atau
subarachnoid, serta dilatasi dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Berdasarkan mekanisme
terjadinya, hydrocephalus dibagi menjadi dua, yaitu:

 Hydrocephalus obstruktif (non-communicating), terjadi karena adanya obstruksi pada sistem


ventrikel sehingga CSF tidak dapat mengalir dengan mudah sampai ke sinus sagitalis superior,
tempat villi arachnoid mengabsorbsi CSF

 Hydrocephalus non-obstruktif (communicating), terjadi karena gangguan absorpsi atau sekresi


CSF, tanpa adanya sumbatan pada sistem ventrikel sampai ke ruang subarachnoid.

Di dalam ventrikel terdapat jaringan yang disebut dengan plexus choroid yang berfungsi untuk
memproduksi CSF. Cairan yang telah diproduksi kemudian sebagian besar diabsorbsi oleh villi arachnoid,
serta lapisan ependimal pada ventrikel dan ruang subarachnoid dengan kecepatan yang sama dengan
kecepatan produksinya. Normalnya produksi CSF 0,20-0,35 mL/menit, sedangkan kapasitas ventrikel
pada orang sehat adalah 20 mL. Total volume CSF pada orang dewasa adalah 120 mL.

Volume CSF yang meningkat di dalam ventrikel dikompensasi melalui penyerapan transventrikular (aliran
subependymal) dan sepanjang selubung nerve root. Proses kompensasi ini dapat menyebabkan selubung
saraf optik membesar. Akibat peningkatan CSF, kornu temporal dan frontal membesar terlebih dahulu,
seringkali asimetris.

D. Gambar Hidrosefalus
E. Tata Laksana

Tata laksana utama pada hydrocephalus adalah teknik pembedahan, yaitu pemasangan shunting yang
berfungsi sebagai drainage. Tindakan ini bukan untuk menyembuhkan, tetapi untuk mengontrol gejala
akibat peningkatan tekanan intrakranial. Pada hydrocephalus kongenital, pembedahan pada bayi
berpotensi komplikasi sehingga ahli bedah saraf mungkin menunda melakukannya (terutama bayi
prematur).

Untuk mengurangi progresifitas kerusakan otak, bayi hydrocephalus dapat diberikan terapi farmakologi
dahulu sampai pembedahan aman dikerjakan. Pada keadaan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) akut,
yang sering ditemukan pada hydrocephalus usia kanak-kanak atau dewasa, diperlukan tindakan
pembedahan secepatnya. Pada beberapa kasus hydrocephalus tipe acquired, pembedahan tidak
diperlukan bila etiologinya telah membaik, misalnya pada perdarahan intraventrikular yang sudah
reabsorbsi tanpa skar.[1,50,52]

Terapi Pembedahan

Pembedahan merupakan tata laksana yang paling efektif untuk mengontrol gejala hydrocephalus karena
peningkatan tekanan intrakranial. Pembedahan yang bisa dilakukan adalah metode
pemasangan shunt, endoscopic third ventriculostomy (ETV), atau alternatif lainnya.

Anensefali

A . Pengertian

Anencephaly atau Anensefali adalah sebuah kelainan pembentukan sistem saraf yang menyebabkan otak
dan tulang tengkorak tidak terbentuk. Otak besar (serebrum) dan otak kecil (serebelum) terbentuk kecil
atau tidak terbentuk sama sekali. Anensefali merupakan salah satu kelainan pembentukan saraf yang
cukup sering terjadi, mempengaruhi 1 dari 1.000 kehamilan. Namun, biasanya kehamilan ini berakhir
dengan keguguran sehingga bayi yang lahir dalam kondisi ini jauh lebih sedikit jumlahnya.

B. Etiologi-Patologi

Etiologi

Etiologi anensefali atau anencephaly masih belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga berkaitan
dengan faktor genetik dan lingkungan. Contoh faktor lingkungan yang dapat menyebabkan anensefali
adalah racun, obat tertentu, gaya hidup, nutrisi, dan penyakit yang dimiliki ibu.[3,5,6,12]

Etiologi Lingkungan

Etiologi ini meliputi faktor kondisi lingkungan di sekitar ibu hamil, gaya hidup buruk, status sosioekonomi,
nutrisi, penggunaan obat-obatan, dan penyakit pada ibu.

Patologi

anensefali atau anencephaly terjadi antara hari ke-23 dan ke-26 gestasi. Perkembangan neural
plate menjadi neural tube dimulai pada minggu ke-3 kehamilan. Gangguan pada minggu ke-4 kehamilan
seperti faktor lingkungan, nutrisi, penyakit pada ibu, dan usia ibu saat hamil berpotensi menyebabkan
anensefali.

Anensefali terjadi akibat kegagalan penutupan neural tube pada ujung kranial embrio yang sedang
berkembang. Anensefali ditandai dengan tidak adanya otak dan calvaria, baik sebagian atau
seluruhnya. Neural tube defect (NTD) muncul ketika ada gangguan selama neurulasi.

Gangguan neurulasi bagian kranial yang menyebabkan jaringan saraf tidak ditutupi tulang tengkorak
mengakibatkan defek perkembangan serius sistem saraf pusat. Neurulasi adalah proses mekanis yang
terjadi selama embriogenesis awal.

C. Gejala Klinis

gejala anencephaly atau anensefali yang paling terlihat jelas yakni hilangnya bagian tengkorak bayi yang
seharusnya ada menjadi bagian dari tulang di belakang kepala. Selain itu, tulang yang ada di bagian
samping atau depan tengkorak juga bisa hilang maupun terbentuk tetapi dengan kondisi yang kurang
baik. Bahkan, otak janin biasanya juga tidak terbentuk dengan jelas. Padahal, tanpa adanya otak kecil
yang berfungsi dengan baik, kecil kemungkinannya bagi bayi untuk mampu bertahan hidup. Beberapa
tanda lain yang dapat terlihat akibat anencephaly atau anensefali yakni kondisi lipatan telinga, langit-
langit mulut, serta refleks tubuh yang kurang baik. Tak hanya itu, ada beberapa bayi yang lahir dengan
anensefali juga mengalami kelainan jantung.

D. Gambar Anensefali
E. Tata Laksana

Anensefali atau anencephaly tidak memiliki penatalaksanaan kuratif. Kondisi ini adalah defek fatal yang
menyebabkan janin tidak kompatibel untuk hidup di luar uterus. Akan tetapi, tata laksana suportif untuk
keluarga berupa konseling psikologis perlu dilakukan. Konseling genetik juga dapat dianjurkan bagi orang
tua dengan janin anensefali.

Konseling

Konseling dilakukan untuk memberitahukan hasil pemeriksaan dan prognosis. Tujuan konseling ini
adalah untuk mempersiapkan mental orang tua terkait terminasi kehamilan (jika ibu masih hamil dengan
usia gestasi yang previable) atau memberikan kabar tentang bayi yang baru lahir dengan defek serius
tersebut. Tenaga medis yang memberi konseling harus mengetahui cara menyampaikan kabar
buruk yang tepat.

Omfalokel

A . Pengertian

Omphalocele atau omfalokel adalah kondisi cacat lahir pada bayi yang membuat usus, hati, maupun
organ tubuh bayi lainnya berada di luar perut. Keluarnya organ perut bayi pada kondisi omphalocele atau
omfalokel terjadi karena adanya lubang di daerah pusar. Baik usus, hati, serta organ tubuh bayi lainnya
yang keluar dari perut melalui lubang di pusar hanya ditutupi oleh kantung atau lapisan tipis hampir
transparan. Dikarenakan hanya dilindungi oleh lapisan atau kantung tipis, hal ini membuat organ tubuh
bayi yang keluar dari perut dapat dengan mudah terlihat. Omphalocele terjadi sangat awal selama masa
kehamilan atau lebih tepatnya saat proses pembentukkan rongga perut bayi tidak berjalan dengan baik.
Rongga perut bayi biasanya mulai terbentuk di usia kehamilan 3 minggu sampai usia kehamilan 4
minggu. Kemudian saat perkembangan bayi sudah masuk usia kehamilan 6 minggu sampai usia
kehamilan 10 minggu, ukuran usus menjadi lebih panjang. Usus yang bertambah panjang tersebut
membuat posisinya terdorong sehingga keluar dari perut ke tali pusar bayi. Normalnya, di usia kehamilan
11 minggu posisi usus akan kembali masuk ke dalam perut. Namun, jika usus tidak kunjung kembali
masuk ke dalam perut di usia kehamilan tersebut, omphalocele atau omfalokel bisa terjadi.

B. Etiologi-Patologi

Etiologi

Etiologi omfalokel atau omphalocele adalah defek pada dinding abdomen. Faktor risiko dari omfalokel di
antaranya adalah usia ibu hamil yang terlalu muda atau terlalu tua, multiparitas, konsumsi alkohol pada
masa prenatal, dan merokok.

Omfalokel terjadi akibat defek dinding abdomen. Menurut sebuah penelitian pada hewan, diduga defek
tersebut disebabkan oleh kekurangan asam folat, kekurangan salisilat, dan kondisi hipoksia.

Patologi

omfalokel atau omphalocele adalah kegagalan organ intraabdomen untuk masuk kembali ke dalam
rongga abdominal, sehingga herniasi fisiologis terjadi berkepanjangan. Herniasi fisiologis seharusnya
terjadi pada minggu ke-6 hingga minggu ke-10 pertumbuhan fetal.

Embriologi Traktus Gastrointestinal Normal

Traktus gastrointestinal berkembang dari tuba digestif primitif yang merupakan derivat dari yolk sac.
Pada masa awal gestasi, sebagian dari usus (midgut) bertumbuh ke arah tengah bagian depan dari yolk
sac. Pada minggu ketiga, usus akan menjadi terpisah dari yolk sac. Diskus embrionik akan berlipat-lipat
hingga menjadi 4 lipatan embriologik yang terpisah, yakni sefalik, kaudal kanan, kaudal kiri, dan lipatan
lateral.

C. Gejala Klinis

Omphalocele mudah dikenali karena gejalanya cukup jelas, yaitu keluarnya organ dalam perut melalui
lubang pusar. Organ yang keluar dari pusar tersebut diselubungi oleh selaput pelindung.

Pada omphalocele ringan, lubang yang terbentuk tidak terlalu besar sehingga hanya salah satu organ
atau hanya sebagian usus yang keluar. Sementara pada kasus yang parah, lubang yang terbentuk cukup
besar sehingga usus, hati, kandung kemih, lambung, dan testis juga bisa keluar.

D. Gambar Omfalokel
E. Tata Laksana

Penatalaksanaan pada omfalokel atau omphalocele terbagi menjadi beberapa tahap, hal ini dikarenakan
kondisi ini biasanya sudah diketahui sebelum bayi lahir, sehingga penatalaksanaan yang diberikan
sifatnya bertahap, yakni dapat dimulai sejak asuhan perinatal, kemudian pada saat kelahiran yakni
resusitasi dan manajemen neonates, hingga tindakan operatif.

Asuhan Perinatal

Asuhan perinatal yang dapat diperhatikan pada kasus bayi dengan omfalokel adalah pemilihan metode
persalinan pada bayi. Jenis metode persalinan yang lebih dianjurkan (apakah sectio caesarea atau
persalinan pervaginam) hingga saat ini tidak ada.

Atresia Esofagus

A . Pengertian

Atresia esofagus adalah kelainan bawaan bayi yang menyebabkan kerongkongan atau esofagus tidak
terbentuk sempurna. Kondisi ini membuat makanan yang masuk ke mulut bayi tidak dapat mengalir ke
lambung, sehingga perlu segera ditangani untuk mencegah terjadinya berbagai komplikasi.

Kerongkongan atau esofagus adalah tabung yang menghubungkan mulut dengan lambung. Pada atresia
esofagus, terjadi kelainan yang menyebabkan kerongkongan seperti terputus di tengah-tengah dan
terbagi menjadi dua tabung. Atresia esofagus tergolong jarang terjadi, yakni hanya 1 dari 3.000–4.500
kelahiran.
B. Etiologi-Patologi

Etiologi

Etiologi atresia esofagus pernah dilaporkan berhubungan dengan trisomi. Risiko mengalami atresia
esofagus akan meningkat jika terdapat riwayat keluarga yang mengalami atresia esofagus, terutama
riwayat pada saudara kandung.

Akan tetapi, banyak ahli yang berpendapat kelainan atresia esofagus tidak bersifat diturunkan.
Kebanyakan kasus sementara timbul secara acak tanpa adanya bukti penyebab keturunan atau
teratogenik dari lingkungan. Etiologi teratogenik yang dapat menyebabkan atresia esofagus sampai saat
ini belum diketahui.

Patologi

TEF dan EA diakibatkan oleh kerusakan pemisahan lateral usus depan ke dalam esofagus dan trakea.
Saluran fistula antara esofagus dan trakea kemungkinan terbentuk akibat kerusakan interaksi epitel-
mesenkim. TEF dan EA muncul bersamaan pada sekitar 90 persen kasus. EA dan TEF diklasifikasikan
menjadi 5 kategori (tipe AE) berdasarkan konfigurasi anatomi.

Tipe A merupakan atresia esofagus terisolasi tanpa disertai fistula trakeoesofagus dan mempunyai
prevalensi sebesar 8%. Tipe B adalah atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus proksimal. Ini
adalah yang paling langka dengan prevalensi 1%. Atresia esofagus tipe C adalah yang paling umum yaitu
84% dan melibatkan EA proksimal dengan fistula trakeoesofagus distal. Tipe D adalah atresia esofagus
dengan TEF proksimal dan distal. Jarang terjadi pada 3%. Atresia esofagus tipe E hanyalah sebuah fistula
trakeoesofagus terisolasi tanpa disertai atresia esofagus. Penyakit ini dikenal sebagai tipe "H", dengan
prevalensi sekitar 4%.

C. Gejala Klinis

Gejala atresia esofagus biasanya muncul segera setelah bayi lahir. Beberapa keluhan yang umumnya
muncul adalah:

 Air liur menetes terus-menerus (ngeces)

 Mulut berbusa

 Sulit menyusu

 Batuk, tersedak, atau muntah, terutama saat menyusu

 Kulit membiru (sianosis), terutama ketika menyusu

 Sulit bernapas atau napas berbunyi


Kebanyakan bayi yang mengalami atresia esofagus juga dapat mengalami kelainan bentuk tubuh lain,
seperti:

 Kelainan tulang belakang, seperti skoliosis

 Lubang anus tidak terbentuk (anal atresia)

 Kelainan pada bentuk atau proporsi wajah

 Cacat pada kaki atau tangan, seperti polidaktili

 Penis terlalu kecil atau testis tidak turun (kantung buah zakar kosong)

 Kelainan bentuk telinga, misalnya telinga tidak memiliki cuping

 Bibir sumbing

D. Gambar Atresia Esofagus

E. Tata Laksana

Penatalaksanaan atresia esofagus diawali dengan stabilisasi hemodinamik dan jalan napas, kemudian
dilakukan dengan pembedahan seperti retropleural drainage dan transanastomotic stenting sebagai tata
laksana definitif. Intubasi dilakukan untuk mencegah aspirasi dan perawatan neonatus juga perlu
dilakukan sebagai tata laksana penunjang untuk meningkatkan luaran prognosis pasien.
Persiapan Rujukan

Pasien dengan atresia esofagus seringkali sudah terdiagnosis sebelum lahir, saat dilakukan antenatal
care, dengan tanda seperti polihidramnion. Pada keadaan ini sebaiknya persalinan tidak dilakukan di
fasilitas kesehatan primer, karena neonatus baru lahir mungkin memerlukan resusitasi akan memerlukan
penatalaksanaan lebih lanjut di NICU.

Atresia duodenum dan stenosis

A . Pengertian

Atresia duodenum adalah kondisi di mana duodenum tidak berkembang dengan baik. Pada kondisi ini,
duodenum tidak terbuka secara sempurna sehingga menghalangi jalannya makanan dari lambung
menuju usus untuk dicerna. Ini menyebabkan terjadinya peningkatan kadar cairan ketuban selama
kehamilan (polihidramnion) dan obstruksi usus pada bayi yang baru lahir. Sebagian besar kasus ini juga
disertai dengan kelainan lahir yang lain, termasuk kelainan trisomi 21 atau Down syndrome.

B. Etiologi-Patologi

Etiologi

Obstruksi duodenum menyebabkan atresia duodenum, biasanya distal dari ampula Vater di bagian kedua
duodenum. Selama minggu kedelapan hingga minggu kesepuluh perkembangan embriologi, kesalahan
kanalisasi ulang duodenum merupakan penyebab utama atresia duodenum. Pada atresia duodenum,
terdapat obstruksi total pada lumen duodenum. Stenosis duodenum adalah istilah yang digunakan untuk
penyempitan, yang mengakibatkan obstruksi lumen duodenum yang tidak tuntas. Jaringan duodenum
adalah penyebab obstruksi duodenum yang lebih jarang, yang cenderung menyebabkan deformitas
windsock pada lumen duodenum.

Patologi

Atresia duodenum diyakini terjadi karena kegagalan rekanalisasi jaringan epitel solid cord atau proliferasi
endodermal yang berlebihan. Namun, etiologi pastinya masih belum diketahui hingga saat ini.

C. Gejala Klinis
tresia duodenum dapat dikenali dalam beberapa jam setelah kelahiran, terutama dalam rentang 24-38
jam pertama setelah kelahiran. Gejala yang dapat muncul adalah:

 Muntah. Muntah biasanya terjadi setelah minum ASI pertama dan semakin memburuk dengan
pemberian ASI berikutnya. Muntah dapat bersifat menyemprot dan dapat berwarna putih
seperti susu atau kehijauan karena bercampur dengan getah empedu. Muntah yang bercampur
getah empedu dapat menyebabkan gangguan elektrolit apabila tidak segera ditangani dengan
pemberian cairan

 Perut buncit dan tegang

 Ketiadaan pergerakan usus

D. Gambar Atresia Duodenum

E. Tata Laksana

Tata laksana awal (sebelum pembedahan) pada anak dengan atresia duodenum adalah:

1. Pemasangan selang makan atau sonde. Pemasangan selang makan akan dilakukan untuk
menurunkan tekanan pada perut, terutama apabila bayi tampak begah

2. Pemberian cairan dan elektrolit. Dikarenakan anak tidak bisa mencerna sebagaimana mestinya,
nutrisi akan diberikan melalui infus sesuai kebutuhan

Tata laksana utama atresia duodenum adalah pembedahan. Pembedahan ini disebut sebagai
duodenoduodenostomi, yaitu sebuah prosedur untuk menyambungkan bagian usus 12 jari yang
mengalami penyumbatan dan bagian usus halus yang terbuka selanjutnya. Pembedahan ini dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

 Operasi secara terbuka (Laparotomi)

 Operasi sayatan kecil (Laparoskopi). Operasi ini dilakukan dengan bantuan laparoskopi, sebuah
alat dengan kamera di ujungnya yang memungkinkan pembedahan dilakukan tanpa membuka
lubang yang terlalu besar
Tata laksana ini bersifat wajib, namun bukan merupakan prosedur kegawatdaruratan. Apabila ada kondisi
bawaan lainnya yang dapat mengancam keselamatan bayi (seperti penyakit jantung bawaan), kondisi lain
tersebut dapat diselesaikan terlebih dahulu atau dipantau dengan waspada.

Saat pembedahan, bayi akan dijaga agar tetap hangat. Setelah pembedahan selesai dilakukan, nutrisi
akan diberikan lewat infus sampai bayi bisa buang air besar sendiri. Setelah itu, pemberian nutrisi
melalui infus dapat berangsur-angsur diubah menjadi minum ASI eksklusif melalui mulut. Bayi dapat
dirawat inap selama beberapa hari sebelum dipulangkan untuk memantau kondisi setelah operasi.

Setelah dua minggu, kontrol dapat dilakukan untuk memeriksa penyembuhan luka, kecukupan nutrisi,
dan fungsi pencernaan tubuh. Setelah itu, bayi dapat kontrol setiap tahun untuk memantau kondisi dan
memastikan tidak ada komplikasi jangka panjang yang terjadi.

Obstrupsi kolon

A . Pengertian

Obstruksi usus adalah kondisi ketika usus mengalami penyumbatan, baik pada usus besar maupun usus
halus. Kondisi ini biasanya terjadi karena sumbatan makanan, feses, atau sumbatan dari luar usus yang
menekan rongga usus, seperti tumor atau masa yang lain.

Penyumbatan di usus bisa terjadi sebagian atau total. Obstruksi total dapat menyebabkan penderitanya
kesulitan buang gas atau buang air besar. Sedangkan, obstruksi sebagian sering kali memicu terjadinya
gangguan pencernaan, seperti diare.

B. Etiologi-Patologi

Etilogi

Etiologi ileus obstruktif bisa berupa adhesi usus, hernia strangulata, neoplasma, proses inflamasi seperti
divertikulitis, striktur, impaksi tinja, atau volvulus. Etiologi obstruksi ini bisa dibedakan secara lebih detail
menjadi etiologi ekstrinsik dan etiologi intrinsik.
Etiologi Ekstrinsik

Etiologi tersering pada negara berkembang adalah hernia, yaitu sekitar 30–40%, diikuti oleh adhesi
(30%), dan tuberkulosis (10%). Etiologi lainnya adalah keganasan, penyakit Crohn, volvulus, dan infeksi
parasit. Namun, tren cenderung mengalami pergeseran ke arah adhesi seiring dengan meningkatnya
jumlah tindakan laparotomi.

Patologi

Patofisiologi ileus obstruktif adalah adanya sumbatan pada usus yang menyebabkan dilatasi usus di
proksimal dari sumbatan dan kolapsnya usus di distal dari sumbatan. Obstruksi ini dapat terjadi pada
usus halus maupun usus besar.

Obstruksi Usus Halus

Sumbatan usus halus dapat berupa sumbatan parsial atau komplit. Selain itu, sumbatan juga bisa
dibedakan menjadi sumbatan sederhana (non-strangulata) atau strangulata. Adanya sumbatan di distal
bisa menyebabkan dilatasi di proksimal akibat akumulasi sekresi gastrointestinal dan udara yang tertelan.

C. Gejala Klinis

gejala obstruksi usus tergantung dari seberapa parah gangguan ini terjadi. Meski begitu, gejala yang
timbul umumnya disertai dengan sakit perut dan kram di area sekitar pusar. Beberapa tanda lainnya
adalah:

 Sembelit.

 Kesulitan untuk buang angin.

 Kehilangan nafsu makan.

 Mual dan/atau muntah.

 Pembengkakan pada perut.

 Diare.

Jika alami gejala ini, ada baiknya segera melakukan pemeriksaan untuk memastikannya. Selain itu,
banyak orang yang alami obstruksi usus sudah berumur lanjut dan memiliki penyakit serius lainnya. Jika
dibiarkan, hal ini dapat menimbulkan kondisi yang dapat mengancam jiwa. Maka dari itu, sekali lagi,
pastikan segera gejala yang dirasakan agar bisa mendapatkan penanganan dini.

D. Gambar Obstruksi Kolon


E. Tata laksana

Penatalaksanaan ileus obstruktif komplit umumnya dilakukan secara bedah, sedangkan penatalaksanaan
ileus obstruktif parsial kadang bisa dilakukan secara nonbedah. Bila ada ketidakstabilan hemodinamik
akibat dehidrasi dan gangguan elektrolit, manajemen kegawatdaruratan harus dilakukan terlebih dahulu
sebelum terapi lebih lanjut.

Penatalaksanaan Kegawatdaruratan

Manajemen awal ileus obstruktif melibatkan pemeriksaan ABC, yaitu airway, breathing, dan circulation.
Bila resusitasi diperlukan, gunakan cairan salin isotonik dan pengganti elektrolit. Dokter dapat memasang
kateter Foley untuk memonitor keluaran urine jika pasien tidak stabil atau dalam kondisi sepsis.

Atresia ani

A . Pengertian

Atresia ani adalah kelainan kongenital berupa tidak adanya anus pada daerah perineum. Kelainan ini
termasuk ke dalam malformasi anorektal, yang terjadi akibat kegagalan perkembangan hindgut pada usia
kehamilan 8–12 minggu. Kegagalan ini menyebabkan septum urorektal tidak terbentuk, dan adanya
membran kloaka pada bagian dorsal. Akibatnya, hindgut dan sinus urogenitalis akan tetap berhubungan.
[1–3]

Insidensi atresia ani diperkirakan 1 dari 5.000 kelahiran hidup, dan lebih banyak dijumpai pada bayi laki-
laki. Atresia ani seringkali disertai dengan kelainan kongenital pada sistem lain, misalnya pada sistem
genitourinaria, muskuloskeletal, dan kardiovaskular, seperti ventricular septal defect, atrial septal
defect, atau tetralogy of Fallot.
B. Etiologi-Patologi

Etiologi

Etiologi atresia ani diduga berhubungan dengan riwayat keluarga dan peranan genetik. Atresia ani sering
terjadi bersamaan dengan kelainan kongenital lainnya, seperti defek pada tulang belakang atau pada
jantung.

Etiologi atresia ani merupakan multifaktorial, dan masih terus diteliti hingga saat ini. Diduga, etiologinya
berhubungan dengan riwayat keluarga dan faktor genetik. Atresia ani juga erat dihubungkan dengan
suatu sindrom yang terdiri dari vertebral defects, anal defects, cardiac defects, tracheoesophageal
fistula, renal defects, dan limb defects atau disebut sindrom VACTERL.

Patologi

atresia ani melibatkan gangguan proses embriologi dalam kandungan, khususnya karena gangguan
perkembangan septum kloaka. Kelainan pada migrasi rektum juga diduga berhubungan dengan terjadi
malformasi anus.

Embriogenesis Normal

Rektum dan anus berasal dari bagian dorsal hindgut atau kavum kloaka. Septum urorektal terbentuk dari
mesenkim yang bertumbuh dari lateral. Septum tersebut akan memisahkan rektum dan kanal anal dari
vesika urinaria dan uretra.

C. Gejala Klinis

Atresia ani ditandai dengan kelainan pada bentuk bagian akhir usus besar (rektum) sampai lubang anus
bayi. Tingkat keparahannya dapat berbeda pada tiap penderita.

Atresia ani dapat ditandai dengan beberapa kondisi berikut:

 Lubang anus yang menyempit atau tertutup total

 Rektrum yang tidak terhubung dengan usus besar

 Terbentuknya fisula atau saluran yang menghubungkan rektum dengan kandung kemih, uretra,
pangkal penis, atau vagina

Normalnya, perkembangan lubang anus, saluran kemih, dan kelamin janin, terjadi pada trimester
pertama kehamilan atau saat usia kehamilan mencapai 7–8 minggu. Atresia ani terjadi jika organ-organ
ini mengalami gangguan perkembangan pada masa tersebut.

Bayi yang mengalami atresia ani umumnya menunjukkan tanda-tanda berikut ini:

 Lubang anus tidak berada di tempat yang semestinya, atau justru lahir tanpa lubang anus
 Lubang anus sangat dekat dengan vagina pada bayi perempuan

 Tinja pertama (mekonium) tidak keluar dalam jangka waktu 24–48 jam setelah lahir

 Tinja keluar dari vagina, pangkal penis, skrotum, atau uretra

 Perut tampak membesar

D. Gambar Atresia ani

E. Tata Laksana

Pengobatan atresia ani dilakukan dengan operasi. Pertolongan pertama yang dilakukan sesaat setelah
bayi lahir adalah:

 Memasukkan selang melalui hidung bayi menuju lambung (pipa nasogastrik) untuk
mengosongkan lambung bayi

 Memberikan bayi cairan melalui infus

 Melakukan perumusan rencana pengobatan berdasarkan anatomi anus, rektum, dan sistem
berkemih bayi.

 Membuat kolostomi, yaitu bukaan pada perut yang dihubungkan dengan kantong untuk
membantu mengeluarkan kotoran sebelum operasi definitif dilakukan.

Setelah bayi cukup bulan, metode operasi yang dilakukan untuk mengobati atresia ani adalah Posterior
Sagittal Anorectoplasty (PSARP) atau Anorectoplasy. Prosedur ini dilakukan dengan memindahkan anus
ke lokasi sfingter anus, sehingga anus dapat mengatur pengeluaran kotoran dan gas. Dokter dapat
melakukan prosedur ini secara laparoskopi (minimally-invasive) atau dengan operasi terbuka. Setelah
operasi, kotoran bayi akan lebih encer dan sering menyebabkan iritasi pada kulit bayi. Setelah beberapa
minggu, kotoran bayi akan lebih padat dan keras. Walaupun telah melalui operasi, bayi dapat tetap
mengalami konstipasi (sembelit), sehingga anak perlu mengonsumsi makanan tinggi serat dan laksatif
(obat pelancar buang air besar (BAB)) untuk menangani konstipasinya. Dokter akan meminta Anda untuk
melakukan pemeriksaan lanjutan beberapa minggu setelah operasi.

Anak dengan atresia ani akan mengalami kesulitan untuk mengontrol pembuangan kotorannya. Dokter
Anda dapat merekomendasikan toilet training setelah usia anak cukup. Konsultasikan metode toilet
training dengan dokter Anda.

Anak tetap memerlukan pengawasan jangka panjang dari dokter spesialis urologi, ginekologi,
gastroenterologi, nutrisionis, dan rehabilitasi medik.

PJB (penyakit jantung bawaan)

A . Pengertian

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) atau congenital heart disease adalah kelainan struktur jantung yang
terjadi sejak lahir. Kelainan ini bisa terjadi pada bagian arteri, pembuluh darah, dinding jantung, katup
jantung, maupun hal lainnya yang terkait fungsi jantung. Kelainan tersebut dapat menyebabkan
perubahan aliran darah dari dan ke jantung. Aliran darah bisa melambat, mengalir ke tempat yang salah,
hingga tersumbat sepenuhnya. Oleh karena itu, beberapa kasus penyakit jantung pada bayi, anak, atau
orang dewasa memang dapat berakibat fatal.

B. Etiologi-Patologi

Etiologi

Etiologi penyakit jantung bawaan atau congenital heart disease umumnya bersifat multifaktorial. Faktor
lingkungan dan genetika dilaporkan sama-sama berperan, tetapi sering kali etiologi tidak bisa ditegakkan
secara pasti. Hanya sekitar 20% kasus disebabkan oleh abnormalitas kromosom, kelainan genetika, dan
pengaruh lingkungan yang jelas.

Kelainan Genetik

Mutasi kromosom yang menyebabkan kelebihan atau kehilangan kromosom dapat bermanifestasi
sebagai penyakit jantung bawaan. Contoh kelainan ini adalah sindrom Down karena trisomi 21 yang
paling sering ditemui dengan penyakit jantung bawaan, sindrom Edward (trisomi 18), dan sindrom Patau
(trisomi 13). Selain itu, ada juga sindrom Turner (monosomi X), sindrom Klinefelter, dan cat eye.

Patologi

penyakit jantung bawaan atau congenital heart disease berhubungan dengan proses perkembangan
jantung sejak masa embrio. Penyakit jantung bawaan sianotik terjadi bila terdapat hubungan pirau
sehingga darah mengalir dari bilik jantung kanan ke kiri. Sebaliknya, pada penyakit jantung bawaan
asianotik, hubungan pirau terjadi dari kiri ke kanan.

Embriologi Jantung

Perkembangan embriologi kardiovaskular dimulai dengan migrasi sel-sel progenitor jantung di epiblast.
Sel-sel progenitor ini akan berkembang menjadi mioblas jantung. Pada bagian dalam lapisan splanknikus
yang sama dari mesoderm, terdapat "pulau darah" yang akan mengalami vaskulogenesis untuk
membentuk struktur vaskular.

C. Gejala Klinis

Penyakit jantung bawaan bisa terdeteksi saat USG kehamilan rutin atau sesaat setelah bayi dilahirkan.
Salah satu gejala penyakit jantung bawaan pada janin adalah bunyi detak jantung yang tidak beraturan
(aritmia).

Sedangkan pada bayi, gejala penyakit jantung bawaan yang umum terjadi adalah:

 Warna kebiruan atau kehitaman di bibir, kulit, atau jari-jari kuku (sianosis)

 Kelelahan dan kesulitan bernapas, terutama ketika disusui

 Berat badan rendah

 Pertumbuhan terhambat

 Pembengkakan di tungkai, perut, atau area sekitar mata

 Infeksi paru-paru yang berulang

 Sering mengeluarkan keringat dingin

Pada kasus tertentu, gejala penyakit jantung bawaan baru muncul beberapa tahun setelah bayi
dilahirkan, bisa ketika masa kanak-kanak atau remaja. Gejalanya bisa berupa:

 Detak jantung tidak beraturan (aritmia)

 Pusing dan mudah lelah, terutama saat berolahraga

 Sulit bernapas atau napas terengah-engah

 Pembengkakan (edema) di kaki, pergelangan kaki, atau tangan

 Kulit berwarna kebiruan (sianosis)

 Mudah pingsan

Pada beberapa kasus, penyakit jantung bawaan tidak menyebabkan nyeri dada atau keluhan lain, bahkan
dapat terjadi tanpa gejala tertentu.

D. Gambar PJB
E. Tata Laksana

Dengan berkembangnya ilmu kardiologi anak, banyak pasien dengan penyakit jantung bawaan dapat
diselamatkan dan mempunyai nilai harapan hidup yang lebih panjang. Umumnya tata laksana penyakit
jantung bawaan meliputi tata laksana non-bedah dan 158 Sari Pediatri. Tata laksana non-bedah meliputi
tata laksana medikamentosa dan kardiologi intervensi.1,9,10 Tata laksana medikamentosa umumnya
bersifat sekunder sebagai akibat komplikasi dari penyakit jantungnya sendiri atau akibat adanya kelainan
lain yang menyertai. Dalam hal ini tujuan terapi medikamentosa untuk menghilangkan gejala dan tanda
di samping untuk mempersiapkan operasi. Lama dan cara pemberian obat-obatan tergantung pada jenis
penyakit yang dihadapi. Hipoksemia, syok kardiogenik, dan gagal jantung merupakan tiga penyulit yang
sering ditemukan pada neonatus atau anak dengan kelainan jantung bawaan. Perburukan keadaan
umum pada dua penyulit pertama ada hubungannya dengan progresivitas penutupan duktus arterious,
dalam hal ini terdapat ketergantungan pada tetap terbukanya duktus. Keadaan ini termasuk ke dalam
golongan penyakit jantung bawaan kritis. Tetap terbukanya duktus ini diperlukan untuk (1) percampuran
darah pulmonal dan sistemik, misalnya pada transposisi arteri besar dengan septum ventrikel utuh, (2)
penyediaan darah ke aliran pulmonal, misalnya pada tetralogi Fallot berat, stenosis pulmonal berat,
atresia pulmonal, dan atresia trikuspid, (3) penyediaan darah untuk aliran sistemik, misalnya pada
stenosis aorta berat, koarktasio aorta berat, interupsi arkus aorta dan sindrom hipoplasia jantung kiri.
Perlu diketahui bahwa penanganan terhadap penyulit ini hanya bersifat sementara dan merupakan
upaya untuk‘menstabilkan keadaan pasien, menunggu tindakan operatif yang dapat berupa paliatif atau
koreksi total terhadap kelainan struktural jantung yang mendasarinya. Jika menghadapi neonatus atau
anak dengan hipoksia berat, tindakan yang harus dilakukan adalah (1) mempertahankan suhu lingkungan
yang netral misalnya pasien ditempatkan dalam inkubator pada neonatus, untuk mengurangi kebutuhan
oksigen, (2) kadar hemoglobin dipertahankan dalam jumlah yang cukup, pada neonatus dipertahankan
di atas 15 g/dl, (3) memberikan cairan parenteral dan mengatasi gangguan asam basa, (4) memberikan
oksigen menurunkan resistensi paru sehingga dapat menambah aliran darah ke paru, (5) pemberian
prostaglandin E1 supaya duktus arteriosus tetap terbuka dengan dosis permulaan 0,1 µg/kg/menit dan
bila sudah terjadi perbaikan maka dosis dapat diturunkan menjadi 0,05 µg/kg/menit. Obat ini akan
bekerja dalam waktu 10- 30 menit sejak pemberian dan efek terapi ditandai dengan kenaikan PaO2 15-
20 mmHg dan perbaikan pH. Pada PJB dengan sirkulasi pulmonal tergantung duktus arteriosus, duktus
arteriosus yang terbuka lebar dapat memperbaiki sirkulasi paru sehingga sianosis akan berkurang. Pada
PJB dengan sirkulasi sistemik yang tergantung duktus arteriosus, duktus arteriosus yang terbuka akan
menjamin sirkulasi sistemik lebih baik. Pada transposisi arteri besar, meskipun bukan merupakan lesi
yang bergantung duktus arteriosus, duktus arteriosus yang terbuka akan memperbaiki percampuran
darah. Pada pasien yang mengalami syok kardiogenik harus segera diberikan pengobatan yang agresif
dan pemantauan invasif. Oksigen harus segera diberikan dengan memakai sungkup atau kanula hidung.
Bila ventilasi kurang adekuat harus dilakukan intubasi endotrakeal dan bila perlu dibantu dengan
ventilasi mekanis. Prostaglandin E1 0,1 µg/kg/menit dapat diberikan untuk melebarkan kembali dan
menjaga duktus arteriosus tetap terbuka. Obat-obatan lain seperti inotropik, vasodilator dan furosemid
diberikan dengan dosis dan cara yang sama dengan tata laksana gagal jantung. Pada pasien PJB dengan
gagal jantung , tata laksana yang ideal adalah memperbaiki kelainan struktural jantung yang
mendasarinya. Pemberian obat-obatan bertujuan untuk memperbaiki perubahan hemodinamik, dan
harus dipandang sebagai terapi sementara sebelum tindakan definitif dilaksanakan. Pengobatan gagal
jantung meliputi (1) penatalaksanaan umum yaitu istirahat, posisi setengah duduk, pemberian oksigen,
pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi terhadap gangguan asam basa dan gangguan elektrolit
yang ada. Bila pasien menunjukkan gagal napas, perlu dilakukan ventilasi mekanis (2) pengobatan
medikamentosa dengan menggunakan obat-obatan. Obatobat yang digunakan pada gagal jantung antara
lain (a) obat inotropik seperti digoksin atau obat inotropik lain seperti dobutamin atau dopamin.
Digoksin untuk neonatus misalnya, dipakai dosis 30 µg/kg. Dosis pertama diberikan setengah dosis
digitalisasi, yang kedua diberikan 8 jam kemudian sebesar seperempat dosis sedangkan dosis ketiga
diberikan 8 jam berikutnya sebesar seperempat dosis. Dosis rumat diberikan setelah 8-12 jam
pemberian dosis terakhir dengan dosis seperempat dari dosis digitalisasi. Obat inotropik isoproterenol
dengan dosis 0,05-1 µg/kg/menit diberikan bila terdapat bradikardia, sedangkan bila terdapat takikardia
diberikan dobutamin 5-10 µg/ kg/menit atau dopamin bila laju jantung tidak begitu tinggi dengan dosis
2-5 µg/kg/menit. Digoksin tidak boleh diberikan pada pasien dengan perfusi sistemik yang buruk dan jika
ada penurunan fungsi ginjal, karena akan memperbesar kemungkinan intoksikasi digitalis. (b) vasodilator,
yang biasa dipakai adalah kaptopril dengan dosis 0,1-0,5 mg/kg/hari terbagi 2-3 kali per oral. Terakhir (c)
diuretik, yang sering digunakan adalah furosemid dengan dosis 1-2 mg/kg/ hari per oral atau intravena.

Anda mungkin juga menyukai