Anda di halaman 1dari 13

1

Rekomendasi Omnibus Law Bidang Kesehatan pada Sub Sistem Penelitian


dan Pengembangan Kesehatan sesuai Sistem Kesehatan Nasional 2012
Ade Heryana, Dien Kurtanty, Eka Pujiyanti, Muh. Amin Bakri, Nurfanida Librianty, Yanti Harjono
Mahasiswa Program Doktor IKM FKM Universitas Indonesia

PENDAHULUAN

Pada awal 2020 pemerintah bersama dengan DPR akan membahas omnibus law dan
memasukkannya dalam program legislasi nasional (prolegnas). Omnibus law merupakan upaya
mengintegrasikan kebijakan-kebijakan di bidang tertentu menjadi satu regulasi yang mengikat
dan mengatur berbagai masalah, termasuk di bidang kesehatan. Omnibus law sudah
dilaksanakan di berbagai negara terutama yang menjalankan sistem common law. Penerapan
omnibus law kesehatan di beberapa negara dapat dilihat dari regulasi kesehatan yang dipakai,
misalnya:

a. Canada Health Act yang mengatur jaminan kesehatan negara-negara bagian dan
merupakan prinsip-prinsip yang mengendalikan sistem jaminan kesehatan di negara
Kanada. Prinsip tersebut adalah namely, public administration, comprehensiveness,
universality, portability, dan accessability. Keseluruh prinsip ini mencerminkan nilai-
nilai hidup warga Kanada yaitu equity dan solidarity [1].
b. Australia memiliki National Health Act 1953 No.95 sebagai regulasi bidang kesehatan.
Regulasi kesehatan Australia sampai dengan Juli 2017 telah mengalami 124 kali
kompilasi temasuk amandemen dan memiliki 459 halaman termasuk lampiran.
Terdapat lima hal utama (Bagian) yang diatur dalam National Health Act 1953 yaitu:
Preliminary, Continence aids payment scheme, Pharmaceutical benefits, Committees
of Inquiry, Miscellaneous. Sebagian besar isi regulasi atau sebanyak 250 halaman
mengatur tentang pharmaceutical benefit [2].
c. New Zealand memiliki Health Act 1956 No 65 yang telah mengalami beberapa kali
amandemen hingga Agustus 2019. Regulasi kesehatan negara ini terdiri 253 halaman
dengan bagian-bagian pengaturan sebagai berikut: Administration, Powers and duties
of local authorities, Infectious and notifiable diseases, Quarantine, Artificial UV
tanning services, Regulations, dan Miscellaneous provisions [3].

Indonesia memiliki Undang-Undang No.36 tahun 2009 tetang Kesehatan yang berlaku sejak
13 Oktober 2009. Regulasi ini menggantikan UU No.23 tahun 1992 yang sudah tidak sesuai

©2020: A. Heryana, D. Kurtanty, E. Pujiyanti, M. A. Bakri, N. Libriyanty, Y. Harjono


2

dengan perkembangan. Dalam UU ini diatur tentang: Hak dan kewajiban; Tanggung jawab
pemerintah; Sumber daya di bidang Kesehatan; Upaya kesehatan; Kesehatan ibu, bayi, anak,
remaja, lanjut usia, dan penyandang Cacat; Gizi; Kesehatan jiwa; Penyakit menular dan tidak
menular; Kesehatan lingkungan; Kesehatan kerja; Pengelolaan kesehatan; Informasi
kesehatan; Pembiayaan kesehatan; Peran serta masyarakat; Badan Pertimbangan Kesehatan;
Pembinaan dan pengawasan; Penyidikan; dan Ketentuan Pidana. Terdapat 70 pasal yang harus
ditindaklajuti dengan peraturan di bawahnya seperti PP dan Permenkes [4].

Pada tahun 2012 terbit Peraturan Presiden No.72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan
Nasional (SKN) sebagai pelaksanaan pasal 167 ayat (4) UU No.36 tahun 2009. Namun
sebenarnya pada tahun 2003 Menteri Kesehatan Achmad Sujudi pernah mewacanakan
pembentukan UU Sistem Kesehatan Nasional yang akan mejadi acuan bagi peraturan
kesehatan di Indonesia serta menggantikan UU No.23 tahun 1992 [5]. Namun dalam
perjalanannya SKN dimasukkan sebagai bagian dari UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Kini menjelang tahun 2020, RUU tentang Sistem Kesehatan Nasional kembali diajukan dalam
program legislasi nasional untuk mengubah UU No.36 tahun 2009 dan merupakan omnibus
law bidang kesehatan [6].

Penerapan omnibus law diharapkan dapat merampingkan jumlah kebijakan di bidang kesehatan
di Indonesia sehingga pembangunan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dapat
berjalan efektif dan efisien. Permasalahan yang akan dijawab pada penyusunan paper ini
adalah:

1. Bagaimana kerangka kebijakan Sistem Kesehatan Nasional pada sub sistem Penelitian dan
Pengembangan?
2. Bagaimanakah kondisi riil saat ini dari kerangka SKN yang diajukan sebagai rancangan
omnibus law?
3. Manakah pasal-pasal pada berbagai kebijakan bidang kesehatan yang dapat digabungkan ke
dalam kerangka SKN atau dihilangkan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas kelompok kami menggunakan metode penelusuran bahan
pustaka antara lain kebijakan bidang kesehatan pada rentang tahun 2003-2019 (Undang-
undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Kesehatan), jurnal penelitian terkait
implementasi kebijakan kesehatan, dan berita di media massa. Hasil penelusuran bahan pustaka
kemudian dibahas berdasarkan kondisi empiris saat ini untuk menghasilkan rekomendasi
penyusunan omnibus law.

©2020: A. Heryana, D. Kurtanty, E. Pujiyanti, M. A. Bakri, N. Libriyanty, Y. Harjono


3

KERANGKA KEBIJAKAN

Berdasarkan Perpres No.72 Tahun 2012 kerangka sub sistem penelitian dan pengembangan
kesehatan terdiri dari lima komponen utama, yaitu pengertian, tujuan, unsur-unsur, prinsip dan
penyelenggaraan. Tabel berikut meringkas pokok-pokok kerangka sub sistem penelitian dan
pengembangan kesehatan:

Tabel 1. Pokok-pokok Sub Sistem Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

No Komponen Rincian komponen


1 Pengertian Definisi dari:
a. Penelitian dan pengembangan kesehatan
b. Pemanfaatan teknologi dan produk teknologi kesehatan
c. Penapisan teknologi dan produk teknologi kesehatan
d. Data kesehatan berbasis bukti
2 Tujuan Menghasilkan informasi kesehatan, teknologi, produk teknologi,
dan teknologi informasi kesehatan untuk mendukung
pembangunan kesehatan
3 Unsur-unsur a. Biomedis dan teknologi dasar kesehatan
b. Teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik
c. Teknologi intervensi kesehatan masyarakat
d. Humaniora, kebijakan kesehatan, dan pemberdayaan
masyarakat
4 Prinsip 1. Terpadu, berkesinambungan, dan paripurna
2. Akurat dan akuntabel
3. Persetujuan setelah penjelasan
4. Bekerja dalam tim secara cepat dan tepat
5. Norma agama
6. Kebenaran ilmiah
7. Perlindungan terhadap subyek penelitian dan etik, termasuk
subyek manusia, hewan, atau keduanya
5 Penyelenggaraan a. Sesuai dengan ketentuan Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HKI) dan dimanfaatkan bagi kesehatan masyarakat
b. Luaran:
• Pencegahan, pendeteksian, pengurangan penderitaan,
penyembuhan, dan pengurangan komplikasi penyakit
• Pemulihan kesehatan setelah sakit
• Analisis dan formulasi permasalahan dalam pengelolaan
kesehatan
c. Ditujukan untuk peningkatan mutu pengelolaan upaya
kesehatan dan mendukung pembangunan kesehatan secara
keseluruhan
d. Diselenggarakan oleh pusat-pusat penelitian dan
pengembangan milik masyarakat, swasta, pemerintah dan
pemda untuk menghasilkan Iptek kesehatan. Penelitian data
dasar kesehatan dilakukan oleh pemerintah secara nasional

©2020: A. Heryana, D. Kurtanty, E. Pujiyanti, M. A. Bakri, N. Libriyanty, Y. Harjono


4

No Komponen Rincian komponen


seperti Riskesdas, litbang upaya kesehatan dan sumber daya
kesehatan.
e. Pemanfaatan dan penyebarluasan Iptek kesehatan diatur
pemerintah dengan dukungan organisasi profesi, dengan
membentuk pusat-pusat litbang unggulan, jaringan informasi,
dan dokumentasi
f. Perijinan dan pengawasan penelitian dan pengembangan
kesehatan dilakukan jika dilaksanakan oleh badan asing
dan/atau individu WNA, serta memiliki risiko tinggi dan
berbahaya bagi kesehatan
g. Harus terdapat jaminan tidak merugikan subyek penelitian
jika memerlukan uji coba terhadap manusia
h. Harus terdapat jaminan terhadap kelestarian subyek penelitian
jika dilakukan terhadap hewan dan makhluk hidup lainnya
i. Mempertimbangkan kemanfaatan (benefit sharing) dan
penelusuran ulang asal muasal penyakit (tracking system) jika
penelitian dilakukan terhadap penyakit baru atau berulang
(new atau re-emerging disease)

SITUASI DAN KONDISI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

Peningkatan kualitas riset dan pengembangan di suatu negara, termasuk di bidang kesehatan,
memang harus diupayakan secara terus menerus. Hal ini disebabkan oleh paling tidak tiga
factor utama. Pertama, kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kebujakan dan
pengelolaan riset di negara tersebut. Kedua, riset yang berkualitas dan sustainable akan
menentukan akselerasi pembangunan negara tersebut. Ketiga, dalam banyak survey diprediksi
bahwa Indonesia adalah salah satu kandidat negara dengan ekonomi terkuat di dunia. Oleh
karena itu, dibutuhkan kebijakan riset yang kuat dan tepat untuk mendukung pencapaian
prestasi yang membanggakan tersebut.

Namun selama ini Indonesia belum memiliki paying hukum yang secara khusus mengatur
penelitian dan pengembangan kesehatan. UU No.36 tahun 2009 hanya mengatur penelitian
yang berkaitan dengan kewajiban pelayanan kesehatan membuka akses penelitian (pasal 31),
penelitian yang melibatkan hewan (pasal 44), peran tenaga kesehatan dalam penelitian (pasal
67), dan bedah mayat klinis di rumah sakit (pasal 119). Pengaturan kegiatan penelitian diatur
secara parsial dalam beberapa undang-undang (UU):

a. UU No.6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang menyatakan penelitian


dan pengembangan sebagai sumberdaya (pasal 71 dan 77)

©2020: A. Heryana, D. Kurtanty, E. Pujiyanti, M. A. Bakri, N. Libriyanty, Y. Harjono


5

b. UU No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan yang mengatur peran dosen keperawatan
(pasal 14), dan kewenangan perawat yang melakukan penelitian (pasal 31)
c. UU No.18 tahun 2014 Kesehatan Jiwa yang mengatur peran pemerintah dalam
penelitian kesehatan jiwa (pasal 65)
d. UU No.20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang mengatur: persyaratan RS
pendidikan harus ada program penelitian (pasal 13), fungsi RS pendidikan dalam
penelitian (pasal 14), peran penelitian oleh dosen di RS pendidikan (pasal 21), standar
penelitian (pasal 24), jenis penelitian serta penelitian subyek hewan dan manusia (pasal
46)
e. UU No.52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga yang mengatur: peran pemerintah dalam penelitian dan pengembangan alat
kontrasepsi (pasal 29)
f. UU No.4 tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang mengatur tempat penelitian (pasal 5),
persayaratan Gedung RS sebagai tempat penelitian (pasal 10), dan penelitian terpadu
(pasal 23)
g. UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengatur peran
DJSN dalam penelitian jaminan kesehatan (pasal 7)

Kondisi di atas menyebabkan pelaksanaan penelitian kesehatan di Indonesia masih berjalan


sendiri-sendiri di antara pusat-pusat penelitian dan terkesan tidak ada koordinasi yang kuat.
Kondisi ini menyebabkan adanya keterputusan antara hasil penelitian yang dilakukan peneliti-
peneliti di Indonesia dengan masukan-masukan terhadap kebijakan kesehatan yang diinginkan
perencana dan manajemen program. Studi yang dilakukan konsultan eksternal terhadap
proposal peneltian yang dibuat peneliti Balitbangkes untuk pendanaan 2018-2019 ditemukan
30 proposal tidak terkait dengan program-program di Kementerian Kesehatan. Hal ini
diperkuat dengan fakta bahwa penelti akademik jarang terlibat dalam diskusi kebijakan
kesehatan [7]. Untuk itu sesuai kerangka SKN perlu dikembangkan unsur penelitian kebijakan
kesehatan. Penelitian kesehatan dengan luaran policy brief masih sangat jarang dilakukan.
Sebenarnya sejak tahun 2015 Balitbangkes sudah menerapkan pendekatan Client-oriented
Research Activity (CORA) yang cocok untuk mengimplementasikan evidence-based health
policy [8].

Dengan melihat persoalan-persoalan di atas, kebijakan dan regulasi yang mengatur penelitian
dan pengembangan bidang kesehatan, betul-betul harus dilakukan denggunakan pendekatan
evidence-based policy making. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang

©2020: A. Heryana, D. Kurtanty, E. Pujiyanti, M. A. Bakri, N. Libriyanty, Y. Harjono


6

dikembangkan tersebut, benar-benar berpijak pada evidence yang ada, dan terlepas dari
berbagai persepsi yang dikembangkan karena kepentingan-kepentingan lain. Untuk
memastikan hal tersebut, maka proses legislasi nasional di bidang ini harus mengkritisi hal-hal
berikut:

1. Evidence apa saja yang digunakan sebagai pijakan kebijakan, termasuk aspek
ketercukupan dan validitasnya
2. Bagaimana evidence tersebut dipahami oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
pembuatan kebijakan
3. Bagaimana memastikan alokasi anggaran tidak hanya dituangkan dalam kebijakan di
level nasional, tetai juga harus konsisten sampai di level kementrian koordinasi dan
teknis, hingga implementasi di lapangan. Harus ada pengawalan agar seluruh kalusul
anggaran yang telah disepakati tersebut tidak hilang begitu saja pada level-level yang
lebih teknis.
Kalaupun pada akhirnya realisasi anggaran tidak bisa terwujud sebagaimana yang telah
sepakati, maka anggaran penelitian dan pengembangan harus memiliki backup dengan
menggunakan sumber pendanaan lain.

Penyebarluasan hasil penelitian dasar oleh pemerintah menunjukkan perbaikan sejak


diberlakukan kebijakan One Data. Salah satu yang mengalami perbaikan adalah hasil
Riskesdas 2018 yang dilaksanakan terintegrasi dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) BPS. Bentuk integrasi tersebut antara lain: 1) Sampel Susenas Maret 2018 akan
dikunjungi kembali oleh Riskesdas 2018 dan pemutakhiran sampel dilakukan oleh BPS; 2)
Balitbangkes mengumpulkan indicator kesehatan spesifik, sedangkan indicator kesehatan
umum oleh BPS; 3) Pelaporan hasil Riskesdas dilakukan Balitbangkes dilengkapi karakteristik
yang dikumpulkan Susenas 2018, sedangkan hasil Susenas 2018 dilaporkan BPS yang dapat
menggunakan variabel Riskesdas [9]. Riskesdas merupakan survey kesehatan yang
diselenggarakan setiap 5 tahun untuk mendapatkan data dan pemetaan kesehatan sehingga
pengembangan rencana intervensi masalah kesehatan di berbagai daerah di Indonesia dapat
dikembangkan [10].

Faktor lain yang menghambat pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesehatan adalah
perijinan yang terkesan rumit dan berbelit-belit. Kondisi ini menyebabkan sumberdaya yang
dibutuhkan untuk melakukan penelitian dan pengembangan semakin bertambah. Kinerja
aparatur juga berperan dalam mempersulit perijinan penelitian. Komite Pemantauan

©2020: A. Heryana, D. Kurtanty, E. Pujiyanti, M. A. Bakri, N. Libriyanty, Y. Harjono


7

Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dalam penelitiannya tentang perijinan penelitian di


Indonesia menyimpulkan bahwa pada level nasional terdapat keragaman dari sisi regulasi.
Perijinan penelitian di Indonesia mengacu pada Permendagri No.3 tahun 2018 tentang Surat
Keterangan Penelitian. Namun regulasi ini menurut analisis KPPOD memiliki kelemahan yaitu
tidak memiliki kelengkapan dari sisi yuridis, tidak menempatkan penelitian sebagai esensi
utama, lebih menguatkan sisi pengawasan, terdapat multitafsir pada penyebutan dampak
negatif, dan ketentuan persetujuan lurah yang memberatkan. Ketentuan yang ada dalam
Permendagri ini juga bertentangan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik yang secara
implisit tidak mewajibkan perijinan untuk mengakses data. Terkait dengan hasil penelitiannya,
KPPOD merekomendasikan revisi kebijakan perijinan penelitian atau penghapusan peraturan
dan praktik birokrasi perizinan, serta mengaplikasikan sistem e-gov agar data penelitian dapat
mudah diakses peneliti [11].

REKOMENDASI TERHADAP OMNIBUS LAW

Berdasarkan pembahasan, kami merekomendasikan hal-hal sebagai berikut untuk sub sistem
penelitian dan pengembangan kesehatan:

1. Omnibus law bidang kesehatan sub sistem penelitian dan pengembangan kesehatan
sebaiknya memuat aturan-aturan normatif yang berlaku secara umum dengan tetap
mengacu pada kebijakan nasional riset dan Rencana Induk Nasional
2. RUU SKN yang diajukan agar mengatur kegiatan penelitian pada pelayanan kesehatan,
perguruan tinggi kesehatan, serta substansi kesehatan seperti kesehatan jiwa, kesehatan ibu
anak, kependudukan, dan sebagainya
3. Ditetapkan satu aturan yang mewajibkan penelitian dan pengembangan kesehatan
mengikuti program-program yang dibuat oleh Kemenkes RI, serta penyelarasan kebijakan
penelitian setiap institusi dengan tingkat pusat.
4. Mengatur kemudahan akses One Data khususnya bidang kesehatan untuk meningkatkan
kinerja penelitian dan pengembangan kesehatan
5. Menghapus kewajiban perijinan penelitian bagi kepentingan kesehatan masyarakat,
kecuali penelitian yang dilakukan individu/lembaga asing dan yang dapat menimbulkan
bahaya bagi masyarakat
6. Menyertakan kebijakan yang scara eksplisit mendorong peningkatan daya saing penelitian
dan pengembangan kesehatan nasional memiliki daya saing dan daya jual di pasar global

©2020: A. Heryana, D. Kurtanty, E. Pujiyanti, M. A. Bakri, N. Libriyanty, Y. Harjono


8

REFERENSI

[1] Minister of Health, “Canada Health Act: Annual Report 2014-2015,” Ottawa.
[2] Australian Government, “National Health Act 1953,” Federal Register of Legislation,
2017. [Online]. Available: https://www.legislation.gov.au/Details/C2017C00250.
[Accessed: 22-Dec-2019].
[3] Parliamentary Counsel Office, “Health Act 1956,” New Zealand Legislation, 2019.
[Online]. Available:
http://www.legislation.govt.nz/act/public/1956/0065/latest/whole.html#DLM305840.
[Accessed: 22-Dec-2019].
[4] Dewan Perwakilan Rakyat RI, “Kesehatan,” JDIH, 2019. [Online]. Available:
http://www.dpr.go.id/jdih/index/id/571. [Accessed: 22-Dec-2019].
[5] D. A. Candraningrum, “Depkes Akan Bentuk UU Sistem Kesehatan Nasional,”
Tempo.co, 2003. [Online]. Available: https://nasional.tempo.co/read/9192/depkes-
akan-bentuk-uu-sistem-kesehatan-nasional. [Accessed: 22-Dec-2019].
[6] C. A. Putri, “Prolegnas 2020, Ada UU Larang Perempuan Pulang Malam?,” CNBC
Indonesia, 2019. [Online]. Available:
https://www.cnbcindonesia.com/news/20191217204814-4-123940/prolegnas-2020-
ada-uu-larang-perempuan-pulang-malam. [Accessed: 22-Dec-2019].
[7] M. Budiharsa, “Mengapa riset kesehatan jarang mempengaruhi kebijakan di
Indonesia,” The Conversation, 2018. [Online]. Available:
http://theconversation.com/mengapa-riset-kesehatan-jarang-mempengaruhi-kebijakan-
di-indonesia-90767. [Accessed: 24-Dec-2019].
[8] C. Indriaty, “Mendayagunakan Penelitian untuk Meningkatkan Kualitas Kebijakan
Kesehatan,” https://www.ksi-indonesia.org/, 2016. [Online]. Available:
https://www.ksi-indonesia.org/in/news/detail/mendayagunakan-penelitian-untuk-
meningkatkan-kualitas-kebijakan-kesehatan. [Accessed: 24-Dec-2019].
[9] Pengelola Web Kemdikbud, “Revolusi Kebijakan One Data, Riskesdas 2018 Tampil
Beda,” Kemdikbud.go.id, 2018. [Online]. Available:
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2018/03/revolusi-kebijakan-one-data-
riskesdas-2018-tampil-beda. [Accessed: 24-Dec-2019].
[10] Biro Komunikasi Kemenkes RI, “Penelitian Kesehatan Penting Untuk Tingkatkan
Status Kesehatan Masyarakat,” Sehatnegeriku.kemkes.go.id, 2011. [Online]. Available:
http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20111117/471965/penelitian-
kesehatan-penting-untuk-tingkatkan-status-kesehatan-masyarakat/. [Accessed: 24-Dec-
2019].
[11] B. Rheza, “Problem Izin Penelitian di Indonesia: Studi Kasus di Provinsi D.I.
Yogyakarta dan Provinsi Jaa Timur,” Jakarta, 2018.

©2020: A. Heryana, D. Kurtanty, E. Pujiyanti, M. A. Bakri, N. Libriyanty, Y. Harjono


9

LAMPIRAN: Subsistem Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Perpres No.72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional)

a. Pengertian
Pengelolaan penelitian dan pengembangan, pemanfaatan dan penapisan teknologi dan produk teknologi kesehatan yang diselenggarakan dan
dikoordinasikan guna memberikan data kesehatan yang berbasis bukti untuk menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya.

b. Tujuan

Terselenggaranya kegiatan penelitian, pengembangan, dan penapisan teknologi dan produk teknologi kesehatan, yang ditujukan untuk
menghasilkan informasi kesehatan, teknologi, produk teknologi, dan teknologi informasi (TI) kesehatan untuk mendukung pembangunan
kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya

c. Unsur-unsur

Area penelitian, pengembangan, dan penapisan:


a. Biomedis dan teknologi dasar kesehatan: kegiatan riset untuk memecahkan permasalahan ditinjau dari aspek host, agent, dan lingkungan
dengan pendekatan biologi molekular, bioteknologi, dan kedokteran guna peningkatan mutu upaya kesehatan yang berhasil guna dan
berdaya guna
b. Teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klnik: kegiatan riset untuk menilai faktor risiko penyakit, penyebab penyakit, prognosa
penyakit, dan risiko penerapan teknologi dan produk teknologi kesehatan, termasuk obat bahan alam, terhadap manusia guna peningkatan
mutu upaya kesehatan yang berhasil guna dan berdaya guna
c. Teknologi intervensi kesehatan masyarakat: kegiatan riset untuk menilai besaran masalah kesehatan masyarakat, mengembangkan
teknologi intervensi, serta menilai reaksi lingkungan terhadap penerapan teknologi dan produk teknologi guna peningkatan mutu upaya
kesehatan yang berhasil guna dan berdaya guna
d. Humaniora, kebijakan kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat: kegiatan riset untuk menganalisis bidang sosial, ekonomi, budaya, etika,
hukum, psikologi, formulasi-implementasi, dan evaluasi kebijakan, perilaku, peran serta, dan pemberdayaan masyarakat terkait dengan
perkembangan teknologi dan produk teknologi kesehatan guna peningkatan mutu upaya kesehatan yang berhasil guna dan berdaya guna
• [UU No.20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran]:
1. Pasal 46(1): FK dan FKG wajib melaksanakan penelitian ilmu biomedis, ilmu kedokteran gigi dasar, ilmu kedokteran klinis, ilmu kedokteran
gigi klinis, ilmu bioetika/humaniora kesehatan, ilmu pendidikan kedokteran, serta ilmu kedokteran komunitas dan kesehatan masyarakat
yang disesuaikan dengan kemajuan ilmu kedokteran dan/atau ilmu kedokteran gigi

©2020: A. Heryana, D. Kurtanty, E. Pujiyanti, M. A. Bakri, N. Libriyanty, Y. Harjono


10

d. Prinsip
a. Terpadu, berkesinambungan, dan paripurna; diselenggarakan secara berkala dan sebagai kelanjutan hasil riset sebelumnya serta dilakukan
menyeluruh di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
b. Akurat dan akuntabel; dilakukan secara teliti dan berbasis bukti yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
c. Persetujuan setelah penjelasan: dilakukan atas dasar persetujuan dari Pemerintah dan apabila melibatkan manusia harus atas dasar
persetujuan bersangkutan setelah diberikan penjelasan terlebih dahulu.
d. Bekerja dalam tim secara cepat dan tepat: dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang terkait dan kompeten, bekerja sama, dan
dilakukan secara cepat dengan ketepatan yang tinggi, termasuk dalam rangka peningkatan kapasitas dan kompetensi tenaga peneliti
kesehatan serta pemanfaatan fasilitas penelitian, pengembangan dan penapisan teknologi kesehatan sebagai wahana pendidikan tenaga
peneliti mencapai jenjang keahlian tertinggi.
e. Norma agama: dilakukan tidak boleh bertentangan dengan norma agama dan yang dapat menurunkan harkat dan martabat manusia.
f. Kebenaran ilmiah: dilakukan harus didasarkan pada kebenaran ilmiah, yakni kebenaran yang didapatkan melalui tahap-tahap (proses,
prosedur) metode ilmiah
g. Perlindungan terhadap subjek penelitian dan etik:
1. Apabila subjek penelitian tersebut adalah manusia maka harus: -
- Dilakukan sesuai dengan prinsip etik umum, yaitu menghormati harkat dan martabat manusia (respect for person) yang bertujuan
menghormati otonomi dan melindungi manusia yang otonominya terganggu/kurang, berbuat baik (beneficience), tidak merugikan
(non-maleficence), dan keadilan (justice).
- Kerahasiaan identitas dan data kesehatan subjek penelitian harus dijaga.
- Hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan tertulis dari manusia yang menjadi subjek penelitian.
• [UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan]
a. Pasal 119(1): untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan, dapat dilakukan bedah mayat klinis di RS, yang
ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian, dilakukan atas persetujuan tertulis pasien semasa
hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien
2. Apabila subjek penelitian tersebut adalah hewan maka perlu memperhatikan prinsip reduction, refinement, dan replacement untuk
menghilangkan segi-segi yang tidak manusiawi (inhumane) pada penggunaan hewan percobaan. Langkah-langkahnya:
- Memilih hewan yang kurang rasa atau tidak rasa (sentient, non-sentient) sebagai tindakan replacement.
- Melengkapi tindakan replacement harus diupayakan tindakan refinement untuk mengurangi atau menghilangkan sejauh mungkin
rasa nyeri, ketidaknyamanan, dan kesusahan (distress) yang diderita hewan percobaan.
- Menerapkan reduction yaitu upaya mengurangi jumlah hewan yang digunakan sesedikit mungkin. Penggunaan hewan dalam jumlah
besar tidak dapat diterima lagi.

©2020: A. Heryana, D. Kurtanty, E. Pujiyanti, M. A. Bakri, N. Libriyanty, Y. Harjono


11

• [UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan]:


a. Pasal 44(4): penelitian terhadap hewan harus dijamin untuk melindungi kelestarian hewan tersebut serta mencegah dampak buruk yang
tidak langsung bagi kesehatan manusia
h. Penelitian dan pengembangan yang menggunakan manusia dan hewan percobaan harus mendapatkan persetujuan etik (ethical clearance).
• [UU No.20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran]:
a. Pasal 46(2): Penelitian kedokteran dan kedokteran gigi yang menggunakan manusia dan hewan percobaan sebagai subyek penelitian harus
memenuhi lolos kaji etik, dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundangan

e. Penyelenggaraan

1. Penelitian, pengembangan, penapisan teknologi, produk teknologi, teknologi informasi, dan informasi kesehatan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) dan dimanfaatkan bagi kesehatan masyarakat.
• [UU No.20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran]:
a. Pasal 24(6): Standar nasional pendidikan kedokteran paling sedikit memuat: …. B. Standar penelitian…
2. Penelitian, pengembangan, penapisan teknologi dan produk teknologi kesehatan diselenggarakan untuk mencegah terjadinya penyakit,
mendeteksi adanya penyakit, meringankan penderitaan akibat penyakit, menyembuhkan, memperkecil komplikasi, dan memulihkan kesehatan
setelah sakit serta menganalisis dan memformulasikan berbagai permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan kesehatan.
• [UU No.6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan]:
1. Pasal 71(c), sumberdaya kekarantinaan kesehatan adalan penelitian dan pengembangan
2. Pasal 77, penelitian dan pengembangan
3. Penelitian, pengembangan, penapisan, pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang memadai ditujukan untuk meningkatkan
mutu pengelolaan upaya kesehatan. Sesuai dengan perkembangan dan keperluannya, pengembangan dan pemanfaatan IPTEK perlu diperluas
untuk mendukung pembangunan kesehatan secara keseluruhan.
• [UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan]
a. Pasal 31: fasilitas pelayanan kesehatan wajib: a. memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan di bidang
kesehatan; b. mengirimkan hasil penelitian dan pengembangan kepada pemda dan Menteri
4. Pengembangan dan pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), meliputi:
a. IPTEK kesehatan dihasilkan dari penelitian dan pengembangan kesehatan yang diselenggarakan oleh pusat-pusat penelitian dan
pengembangan milik masyarakat, swasta, dan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pemerintah melaksanakan penelitian data dasar
kesehatan seperti Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dan riset lainnya secara berkala, penelitian dan pengembangan upaya kesehatan dan
sumber daya kesehatan
• [UU No.4 tahun 2009 tentang Rumah Sakit]:

©2020: A. Heryana, D. Kurtanty, E. Pujiyanti, M. A. Bakri, N. Libriyanty, Y. Harjono


12

a. Pasal 5 (d), fungsi RS sebagai tempat penelitian dan pengembangan


b. Pasal 10(1), gedung RS harus dapat digunakan sebagai kegiatan penelitian
c. Pasal 23 (1), RS Pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan & pelatihan terpadu bidang profesi kedokteran, pendidikan dokter
berkelanjutan, dan pendidikan nakes lainnya
• [UU No.18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa]:
a. Pasal 65(1): pemerintah, pemda, dan masyarakat melakukan penelitian, pengembangan, pengadaan dan pemanfaatan teknologi dalam
upaya kesehatan jiwa
b. Pasal 65(3): Menteri menetapkan institusi/Lembaga yang melaksanakan fungsi sebagai pusat penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan
teknologi dan produk teknologi dalam bidang kesehatan jiwa
• [UU No.36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan]
a. Pasal 67(1),(2),(3): tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik dapat melakukan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kesehatan, yang ditujukan untuk menghasilka informasi kesehatan, teknologi, produk teknologi, dan teknologi informasi
kesehatan untuk mendukung pembangunan kesehatan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan
• [UU No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan]
a. Pasal 14(1): dosen dalam wahana pendidikan keperawatan memberikan pendidikan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat dan pelayanan kesehatan
b. Pasal 31(3): dalam menjalankan tugas sebagai peneliti keperawatan, perawat berwenang: a) melakukan penelitian sesuai dengan standar
dan etika; b) menggunakan sumberdaya pada fasilitas pelayanan kesehatan atas izin pimpinan; c) menggunakan pasien sebagai subyek
penelitian sesuai dengan etika profesi dan ketentuan peraturan perundang-undangan
• [UU No.20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran]:
a. Pasal 13(3); persyaratan RS pendidikan: … c. mempunyai program penelitian secara rutin
b. Pasal 14(1): rumah sakit pendidikan memiliki fungsi pendidikan, penelitian, dan pelayanan yang dilaksanakan sesuai ketentuan perundangan,
dan membutuhkan sistem informasi kedokteran termasuk penggunaan dokumen medik. Fungsi penelitian menjadi tanggung jawab Bersama
Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kesehatan, berkoordinasi dengan Menteri yang
menyelengarakan urusan pemerintahan di bidang riset dan teknologi
c. Pasal 21(2): dosen di rs pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran melakukan pendidikan, pelatihan, pengabdian kepada masyarakat
dan pelayanan kesehatan
• [UU No.52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga]:
a. Pasal 29: penelitian dan pengembangan teknologi alat, obat, dan cara kontrasepsi dilakukan oleh pemerintah dan pemda dan/atau
masyarakat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
• [UU No.04 tahun 2004 tentang SJSN]
a. Pasal 7(3): DJSN melakukan kajian dan peneltiian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial

©2020: A. Heryana, D. Kurtanty, E. Pujiyanti, M. A. Bakri, N. Libriyanty, Y. Harjono


13

b. Pemanfaatan dan penyebarluasan IPTEK kesehatan diatur oleh Pemerintah dengan dukungan organisasi profesi, dilakukan dengan
membentuk pusat-pusat penelitian dan pengembangan unggulan, jaringan informasi, dan dokumentasi IPTEK kesehatan.
5. Penelitian kesehatan yang dilaksanakan oleh badan asing dan/atau individu warga negara asing (WNA), serta penelitian yang berisiko tinggi
dan berbahaya bagi kesehatan harus atas izin dan diawasi oleh Pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Penyelenggaraan penelitian, pengembangan, penapisan teknologi dan produk teknologi kesehatan yang memerlukan uji coba terhadap manusia
dilakukan dengan jaminan tidak merugikan manusia yang dijadikan uji coba.
7. Penyelenggaraan penelitian, pengembangan, penapisan teknologi dan produk teknologi kesehatan yang dilakukan terhadap hewan dan makhluk
hidup lainnya harus dijamin untuk melindungi kelestarian hewan dan makhluk hidup lainnya tersebut
8. Untuk penelitian penyakit infeksi yang muncul baru atau berulang (new emerging atau re-emerging diseases) yang dapat menyebabkan
kepedulian kesehatan dan kedaruratan kesehatan masyarakat (public health emergency of international concern/PHEIC) harus dipertimbangkan
kemanfaatan (benefit sharing) dan penelusuran ulang asal muasalnya (tracking system) demi untuk kepentingan nasional.
9. Penyelenggaraan penelitian, pengembangan, penapisan teknologi dan produk teknologi kesehatan yang membawa risiko buruk terhadap
kesehatan masyarakat tidak diizinkan dan dilarang untuk dilakukan
• Bertentangan dengan UU No.12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi pasal 46(2): hasil penelitian wajib disebarluaskan dengan cara
diseminarkan, dipublikasikan, dan/atau dipatenkan oleh PT, kecuali hasil penelitian yang bersifat rahasia, mengganggu dan/atau membahayakan
kepentingan umum

©2020: A. Heryana, D. Kurtanty, E. Pujiyanti, M. A. Bakri, N. Libriyanty, Y. Harjono

Anda mungkin juga menyukai