Anda di halaman 1dari 23

Ketika Tangan Dijilat Anjing

Feb 08, 2012Muhammad Abduh Tuasikal, MScThoharoh4 Komentar

Anjing sudah kita ketahui bersama termasuk hewan yang najis. Sehingga kita diperintahkan
ketika anjing menjilat bejana semacam piring untuk mencucinya sebanyak tujuh kali. Namun
kasusnya sekarang bukanlah piring yang dijilat, namun tangan kita sendiri. Apakah
diperintahkan hal yang sama?
Mengenai hal ini kita bisa menarik pelajaran dari hadits Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Jika anjing minumm di salah satu bejana di antara kalian, maka cucilah bejana tersebut
sebanyak tujuh kali (HR. Bukhari no. 172 dan Muslim no. 279).
Dalam riwayat lain disebutkan,



Yang pertama dengan tanah (debu) (HR. Muslim no. 279)
Dalam hadits Abdullah bin Mughoffal, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,




Jika anjing menjilat (walagho) di salah satu bejana kalian, cucilah sebanyak tujuh kali dan
gosoklah yang kedelapan dengan tanah (debu) (HR. Muslim no. 280).
Pelajaran penting dari hadits di atas:
Pertama: Kata ( jika) merupakan kata bantu dalam kalimat syarat. Yang bisa dipahami
dari kalimat ini adalah jika anjing minum dari bejana atau menjilat, maka hendaklah bejana
tersebut dicuci 7 kali. Selain dari meminum atau menjilat tidaklah disebutkan dalam hadits di
atas, maka tidak wajib mencuci tujuh kali. Seandainya anjing tersebut hanya meletakkan
tangannya di bejana atau mencelupkan tangan di air dan tidak meminumnya, maka tidak
wajib mencuci bejana tersebut tujuh kali. Karena syariba (meminum) adalah dengan
menghirup air dan walagho (menjilat) adalah dengan memasukkan lidah ke dalam air.

Termasuk pula jika air liur anjing jatuh di sesuatu yang bukan zat cair, tidak pula diwajibkan
mencuci tujuh kali.
Sama halnya pula jika anjing menjilat atau menyentuh tangan manusia, maka tidak ada
kewajiban mencuci tujuh kali. Karena yang dibacarakan dalam hadits hanyalah menjilat
atau meminum, tidak untuk yang lainnya. Sehingga yang lainnya tidak berlaku hukum tujuh
kali.
Air liurnya tetap najis, namun tidak diharuskan dicuci tujuh kali ketika tangan atau badan
kita dijilat anjing.
Kedua: Mencuci bejana tujuh kali di atas hanya berlaku untuk anjing saja, tidak untuk babi
atau binatang lainnya. Tidak berlaku qiyas dalam hal ini karena kita sendiri tidak
diberitahukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam kenapa bejana harus dicuci ketika
dijilat anjing.
Ketiga: Wajib mencuci bejana seperti piring, gelas, dan ember yang telah dijilat anjing dan
pencuciannya sebanyak tujuh kali. Karena dalam hadits di atas digunakan kata perintah
, yang bermakna cucilah, bermakna wajib. Inilah yang menjadi pendapat jumhur
ulama, yaitu Syafiiyah, Hambali dan Hanafiyah.
, yang awal dengan tanah. Dalam
Keempat: Dalam hadits di atas disebutkan
riwayat Abu Hurairah disebutkan , salah satunya dengan tanah. Pada riwayat
, yang awal atau terakhir
Tirmidzi dari Abu Hurairah disebutkan
dengan tanah. Syaikhuna guru kami- Dr. Saad bin Nashir Asy Syitsri menyatakan,
Pernyataan hadits dengan pertama atau kedua, itu bukanlah keharusan, hanya pilihan.
Karena jika ada lafazh mutlak yang di tempat lain disebutkan dua sifat berbeda (yaitu disebut
pertama atau terakhir), maka lafazh tersebut tidak terkait dengan dua sifat tersebut. . Jadi
boleh saja pencucian dengan tanah itu dilakukan di awal, atau pada pencucian kedua, atau
terakhir.
Kelima: Dalam riwayat lain disebutkan , cucilah sebanyak tujuh kali
dan gosoklah yang kedelapan dengan tanah (debu). Yang dimaksud di sini adalah salah satu
cucian bisa dengan campuran tanah dan air. Jika kita pisah campuran tersebut, maka jadinya
tanah dan air itu sendiri-sendiri. Sehingga jadi delapan cucian, padahal yang ada hanyalah
tujuh.
Keenam: Apakah pencucian di sini hanya dibatasi dengan turob atau debu? Ulama Hambali
menyatakan boleh menggunakan sabun atau shampoo sebab tujuannya untuk membersihkan
dan sabun semisal dengan debu bahkan lebih bersih nantinya dari debu. Sedangkan ulama
lainnya berpendapat hanya boleh dengan debu atau tanah karena tidak diketahui illah (sebab)
mengapa dengan tanah.
Ketujuh: Kita tahu di sini bahwa anjing menjilat bejana yang ada airnya. Dan kita
diperintahkan untuk mencuci bejana tersebut dan itu berarti airnya dibuang. Di sini dapat
dipahami bahwa air tersebut sudah tidak suci lagi. Padahal jilatan anjing belum tentu
merubah keadaan air walau itu sedikit. Namun tetap mesti dibuang. Menurut Syaikh Asy
Syitsri, hal ini berlaku untuk masalah jilatan anjing saja. Sedangkan untuk masalah lainnya
jika ada najis yang jatuh pada air yang sedikit kurang dari dua qullah (200 liter)-, maka tidak
berlaku demikian. Namun dikembalikan kepada sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,



Sesungguhnya air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya. (HR. Tirmidzi, Abu Daud,
An Nasai, Ahmad. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul
Mashobih no. 478). Artinya, jika air itu sedikit atau banyak- berubah rasa, bau atau
warnanya karena najis, barulah air tersebut dihukumi najis. Jika tidak, maka tetap suci.
Inilah beberapa pelajaran yang kami peroleh dari kitab yang sangat kami kagumi, dari ulama
yang amat cerdas sebagaimana pujian Syaikh Abdul Aziz bin Baz kepadanya. Syaikh Ibnu
Baz berkata mengenai beliau, Huwa azkar rojul fil ardh, beliau adalah orang tercerdas di
muka bumi. Beliau adalah Syaikh Saad bin Nashir Asy Syitsri hafizhohullah yang dulunya
masuk dalam jajaran Hay-ah Kibaril Ulama, kumpulan ulama besar di Kerajaan Saudi Arabia
dan sangat pakar dalam Ushul Fiqih. Kitab yang jadi rujukan kami adalah dari ceramah
kajian beliau yang dibukukan, Syarh Umdatul Ahkam, 1: 22-28, terbitan Dar Kanuz Isybiliya, cetakan pertama, tahun 1429 H.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Sumber: https://rumaysho.com/2244-ketika-tangan-dijilat-anjing.html

AIR LIUR ANJING


Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Semua orang mengetahui hewan yang namanya anjing. Hewan ini biasa ditemukan disekitar
masyarakat. Dewasa ini anjing sengaja dimiliki dan dibiarkan keluar masuk rumah, bahkan
ada yang memberlakukannya lebih istimewa dari kucing. Interaksi hewan anjing ini dengan
pemiliknya atau bejana-bejana yang ada di rumah sang pemilik pasti terjadi, lalu bagaimana
syariat Islam menyikapi hal ini terkhusus permasalahan kenajisan anjing dan hukum-hukum
seputar bejana-bejana yang dijilat hewan tersebut.
APAKAH SEMUA ANGGOTA BADAN ANJING NAJIS?
Para Ulama berbeda pendapat tentang kenajisan anjing dalam tiga pendapat, sebagaimana
disampaikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :
Adapun anjing, para Ulama terbagi atas tiga pendapat. Pertama; Bahwa anjing najis
seluruhnya termasuk bulunya. Inilah pendapat Imam asy-Syfii rahimahullah dan Ahmad
rahimahullah . Kedua; Bahwa anjing adalah suci termasuk liurnya. Inilah pendapat yang
masyhur (terkenal) dari Imam Mlik rahimahullah. Ketiga; Bahwa air liurnya najis, dan
bulunya adalah suci. Inilah madzhab yang masyhur dari Imam Abu Hanfah rahimahullah ,
dan inilah riwayat yang didukung oleh mayoritas pengikutnya, dan inilah riwayat lain dari
Ahmad rahimahullah. Inilah pendapat yang lebih kuat. [Majm al Fatw, 5/51]
Berikut Perincian Pendapat-Pendapat Tersebut:
Pertama: Anjing Itu Suci Semuanya Termasuk Air Liurnya.
Ini adalah riwayat yang masyhur dari Imam Mlik rahimahullah (lihat al-Jmi li Ahkmil
Qur`n karya al-Qurthubi 13/45) dan ini juga satu riwayat dalam madzhab Hanabilah. (lihat
al-Inshf 1/310).
Diantara argumen pendapat ini adalah:
1. Mereka berdalil dengan firman Allh Azza wa Jalla :


Mereka menanyakan kepadamu, Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah,
Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang
telah kamu ajari dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang
telah diajarkan Allh kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan
sebutlah nama Allh atas binatang buas itu (waktu melepaskannya) dan bertakwalah kepada
Allh, Sesungguhnya Allh amat cepat hisab-Nya. [Al-Midah/5:4].
Hal ini karena hewan buruan itu mesti terkena liur anjing, sehingga adanya penegasan tentang
kehalalan (binatang buruan yang berhasil ditangkap oleh anjing itu-red) menunjukkan
sucinya air liur anjing (yang menangkapnya-red). Apalagi tidak ada perintah untuk mencuci

bagian yang tersentuh mulut anjing pada hewan buruan tersebut. [Lihat Aridhatul Ahwadzi,
Ibnul Arabi 1/35]
2. Mereka mengatakan bahwa perintah membasuh tujuh kali untuk bejana yang diminum
airnya atau dijilat oleh anjing adalah untuk taabbud (ibadah) dan tidak ada kaitannya dengan
kenajisan liur anjing. Mereka berpendapat demikian dengan merujuk kepada hadits-hadits
lain dari Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam yang membenarkan penggunaan anjing
terlatih untuk berburu dan seekor anjing memburu dan membunuh mangsanya pasti dengan
melalui gigitan mulutnya. [Lihat Subulus Salm, ash-Shanani 1/22]
3. Kalaupun masalah membasuh tujuh kali bukan termasuk taabbudi, ada kemungkinan
anjing yang menjilat bejana tersebut terkena penyakit rabies sehingga ditakutkan racunnya
berbahaya, oleh karena itu dicuci tujuh kali. Karena syariat juga menggunakan hitungan
bilangan tujuh untuk pengobatan dan terapi dari penyakit seperti sabda Raslullh Shallallahu
alaihi wa sallam :



Siapa yang dipagi hari makan tujuh kurma ajwa maka racun dan sihir tidak akan
membahayakannya pada hari tersebut. [Muttafaqun alaihi].
Alasan-alasan ini dikritisi oleh sebagian Ulama, diantaranya:
Ibnu Daqqiqil Ied rahimahullah berkata dalam Ihkm al-Ahkm 1/27 bahwa membawa
kepada najisnya air liur anjing lebih pas; karena bila sifat satu hukum berkisar antara
taabbudi (tidak dapat dicerna akal) dengan maql al-mana (dapat dicerna akal
pengertiannya), maka membawanya kepada y ang dapat dicerna akal lebih pas. Karena
perkara taabbud lebih langka dibandingkan dengan hukum-hukum yang dapat dicerna secara
akal.
Ibnu Qudmah rahimahullah dalam al-Mughni 1/42 berkata: Seandainya itu bersifat
taabbudiyah tentu Beliau n tidak memerintahkan untuk dibuang airnya dan tentunya tidak
ada pengkhususan mencuci bagian yang terkena jilatan karena keumuman lafazh pada bejana
semuanya.
4. Perkataan Ibnu Umar Radhiyallahu anhu.


Anjing-anjing keluar masuk masjid di zaman Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam lalu
mereka tidak menyiram sedikitpun darinya. [HR. al-Bukhri 1/51]
Dalam riwayat Ibrhm bin Maqil dalam Shahh al-Bukhri:

Anjing kencing dan keluar masuk.


Tambahan kata ( )hanya ada dalam naskah Ibnu Hajar rahimahullah dan beliau
rahimahullah berkata, Hadits Ahmad bin Syabib dari bapaknya bersambung dalam riwayat
Abu Nuaim dalam al-Mustakhrajnya dan al-Baihaqi dan selainnya (lihat Hdi as-Sri, hlm
24). Demikian juga al-Hfizh rahimahullah menjelaskan dalam Taghlq at-Talq 1/109,
Lafazh tambahan ini tidak ada dalam naskah-naskah ash-Shahih, namun disampaikan alAshili bahwa dalam riwayat Ibrhm bin Maqil an-Nasafi ada lafazh: () .
Pendapat ini menyatakan riwayat ini menunjukkan kesucian anjing, khususnya Ibnu Umar c
yang menyandarkannya kepada zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam . Sehingga
zhahirnya menunjukkan kesucian bekas anjing; karena kebiasaan anjing adalah mengikuti
bekas-bekas makanannya. Sebagian Shahabat dahulu tidak memiliki rumah dan tinggal di
masjid, sehingga liur anjing akan menempel pada sebagian dari masjid. [Lihat Syarhu alBukhari, karya Ibnu Bathl 3/268]
Hal ini memiliki kelemahan ; Karena madzhab Malikiyah sendiri sepakat dengan mayoritas
Ulama tentang kenajisan kencing anjing. Sehingga zhahirnya hadits Ibnu Umar c bahwa
anjing kencing di masjid dan tidak disiram kencingnya, mungkin itu terjadi diawal keadaan
yang berdasar kepada asal kesucian, kemudian ada perintah untuk memuliakan masjid.
Dengan demikian terjawab argumen tentang kesucian anjing ini.
Atau bisa dijawab dengan adanya sinar matahari khususnya di kota Madinah yang sangat
panas yang mensucikan tempat sehingga ada dalil buat orang yang menyatakan bahwa najis
suci dengan perubahan. Apabila hilang bekas kencing dan baunya sehingga tidak ada sisanya
maka tempat tersebut sudah suci.
5. Sebagian Ulama yang berpendapat kesucian anjing berargumentasi dengan
menganalogikan anjing dengan kucing, karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
menjelaskan kesucian bekas kucing dengan alasan kucing termasuk yang selalu berada
disekitar manusia [ath-Thawfun alaihim].
Kedua: Seluruh Bagian Tubuh Anjing Sebagai Najis.
Ini adalah pendapat madzhab Syfiiyah dan mayoritas Ulama madzhab Hanbilah. Dalam
fiqh empat mazhab al Jaziri disebutkan tentang penetapan kalangan Syfiiyah bahwa seluruh
badan anjing adalah najis. [Fiqh ala Mazhhibil Arbaah, 1/18]
Pendapat ini pula yang dipegang oleh sebagian besar Ulama kalangan Hanabilah. [Lihat alFiqh al-Islmi wa Adilatuhu,1/305, Mughni al-Muhtj, 1/78, Kasy-syf al-Qanna` 1/ 208,
Al-Mughni 1/52]
Diantara argumen pendapat ini adalah:
1. Hadits yang kita bahas yaitu sabda Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam :

Sucinya bejana salah seorang diantara kalian yang dijilat anjing adalah dengan cara
mencucinya sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan tanah. [Mutafaqqun alaih].
Sisi pendalilannya:
a. Lafazh thuhru (suci atau kesucian) itu tidak ada kecuali bersuci dari hadats atau najis.
Dalam konteks bejana yang dijilat anjing, tidak mungkin ada hadats dalam bejana, jika tidak
ada hadats berarti hanya ada bersuci dari najis.
b. Perintah mencuci bejana padahal yang terkena oleh air liur anjing adalah air; sebab
seandainya yang terkena adalah bejana, tentu dikatakan:

Apabila anjing menjilat bejana
Imam ash Shanani rahimahullah berkata, Perintah mencuci bejana adalah karena air liur
anjing. Ini menunjukkan zhahir (isyarat nyata) bahwa mulut anjing adalah najis (karena
tempat melekatnya air liur). Ketika dia menjilati seluruh badannya maka itu menjadi qiys
(atas najisnya seluruh badannya). [Subulus Salm, 1/22]
c. Perintah membuang air menunjukkan air liur anjing itu najis.
d. Jika air liur anjing itu najis, padahal air liurnya adalah bagian termulianya, maka anggota
tubuh yang lain selain air liur lebih pas untuk dihukumi najis.
2. Mereka mengatakan : Perintah dalam hadits untuk membasuh bejana ketika anjing
menjilatnya menunjukkan bahwa najis yang timbul dari anjing adalah benar-benar najis berat.
Jika tidak demikian, tentu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam cukup memerintahkan untuk
membuang sisa air yang diminum anjing tersebut. Sehingga kalangan yang memegang
pendapat ini menyatakan, najisnya anjing tidak mungkin hanya berasal dari mulut dan air
liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya. Maka badannya itu juga merupakan
sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu juga, baik kencing, kotoran dan juga
keringatnya. Lagi pula anjing memiliki kebiasaan menjilat-jilat tubuhnya, sehingga tubuhnya
terlumuri oleh liurnya yang najis.
Ketiga: Air Liur Anjing Yang Najis Dan Tubuhnya Tidak Najis.
Pendapat yang menghukumi bahwa yang najis dari anjing hanya air liurnya saja, sedangkan
anggota tubuh lainnya suci. Ini adalah pendapat jumhr (mayoritas) Ulama. [Lihat Fiqh Ala
Madzhibil Arbaah, 1/18, Majm al Fatw, 5/51 dan lainnya]
Diantara argument pendapat ini adalah :
1. sabda Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam :
.

Sucinya bejana kamu yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali
dan yang pertama dengan tanah. [Mutafaqqun alaih].
Hadits ini menunjukkan bejana menjadi najis dengan sebab air liur.
Hal ini sama dengan pendapat yang kedua dalam masalah najisnya air liur anjing.
2. Perintah mencucinya tujuh kali dalam riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan
delapan kali dalam riwayat Ibnu al-Mughaffal Radhiyallahu anhu salah satunya dengan tanah
merupakan dalil najisnya air liur anjing.
3. Al-Hfizh Ibnu Hajar rahimahullah membawakan hadits Ibnu Abbs Radhiyallahu anhu
yang jelas-jelas menunjukkan mencuci dari jilatan anjing karena najis. Hadits ini
diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah dengan sanad yang
shahih. Al-Hfizh rahimahullah menyatakan, Dengan sanad yang sahih dan tidak ada
seorangpun dari Shahabat yang menyelisihinya. [Fathul Bri, 1/276].
4. Sabda Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam dalam riwayat Imam Muslim ( ), yang
artinya, Maka hendaklah dia menumpahkannya, menguatkan pendapat yang menyatakan
najisnya air liur anjing ini karena mencucinya disebabkan najis, karena membuangnya lebih
umum dari bentuk air atau makanan. Seandainya suci tentulah tidak diperintahkan untuk
membuangnya karena beresiko pembuangan harta. Kadang yang dibuang adalah air yang
dibutuhkan untuk wudhu atau mandi.
5. Sedangkan kesucian bulu anjing, dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah t dalam Majm al-Fatw
21/38-39 : Bulu anjing dan babi apabila terendam di air , maka itu tidak mengapa menurut
pendapat rjih dari dua pendapat para Ulama. Karena ia suci menurut salah satu pendapat
mereka dan itu adalah salah satu riwayat (dalam mazhab Hambali). Inilah pendapat yang rjih
dalam dalil, sebab semua rambut, bulu dan wol suci baik ada dikulit hewan yang boleh
dimakan dagingnya atau kulit hewan yang tidak dimakan dagingnya. Baik dalam keadaan
hidup atau telah mati. Inilah pendapat yang rjih dari pendapat para Ulama dan ini juga salah
satu riwayat dari Ahmad bin Hambal rahimahullah .
Pendapat Yang Rjih,
Ibnu Taimiyah rahimahullah merjihkan pendapat ketiga ini dengan menyatakan: Ini adalah
pendapat yang rjih [Lihat Majm al-Fatw 21/39 dan 21/530].
Hukum Air Yang Terkena Liur Anjing
Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum air yang terkena liur anjing dalam beberapa
pendapat:
Pertama: Airnya najis, oleh karena itu ada perintah membuangnya.
Inilah pendapat madzhab Hanafiyah, Syfiiyah dan Hanabilah serta riwayat dari imam Mlik
rahimahullah . Imam an-Nawawi rahimahullah menisbatkannya kepada mayoritas Ulama,
dalam pernyataan beliau, Hadits ini berisi najisnya semua yang dijilat anjing. Kalau berupa

makanan cair maka haram memakannya; karena (ada perintah untuk membuangnya, padahalred) membuangnya adalah menyia-nyiakannya. Seandainya hal itu suci tentu Raslullh
Shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan kita untuk membuangnya, ditambah lagi
dengan adanya larangan membuang-buang harta. Inilah madzhab kami dan madzhab
mayoritas Ulama bahwa najis semua yang terkena liur anjing tanpa membedakan antara
anjing yang diizinkan kepemilikannya dan sealiannya, baik anjing pedalaman atau
perkampungan karena keumuman lafazhnya. [Syarh Shahh Muslim, 3/184].
Kedua: Airnya tetap suci, karena perintah mencuci dengan bilangan tujuh dan menggunakan
tanah adalah bersifat taabbud atau perintah itu difahami dan dilakukan dalam keadaan
khusus yaitu ketika anjingnya yang menjilat itu kena penyakit rabies. Ini adalah salah satu
riwayat dari imam Mlik rahimahullah dan ini didasarkan pada pendapat beliau tentang
kesucian anjing.
Ketiga: Membedakan antara anjing yang diizinkan kepemilikannya dengan yang tidak. bila
diizinkan kepemilikannya maka suci dan bila tidak maka najis.
Keempat: Membedakan antara anjing pedalaman dengan perkotaan.
Ini dinukilkan dari imam Abdul Mlik Ibnu Mjisyun al-Mliki rahimahullah. Pendapat ini
jelas lemahnya.
Kelima: Air yang dijilat itu tidak najis kecuali bila berubah salah satu sifatnya akibat jilatan
itu.
Pendapat ini cukup kuat karena masuk ke pembahasan masalah ini dengan kaidah umum
bahwa air apabila berubah salah satu sifatnya karena tercampur najis maka menjadi najis,
baik jumlahnya banyak atau sedikit. Artinya, jika tidak terjadi perubahan sifat dan tidak
tampak pengaruh najisnya maka airnya tetap suci.
Adapun hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:


Sucinya bejana kamu yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali
dan yang pertama dengan tanah. [Mutafaqqun alaih].
Maka bejana yang dijilati anjing umumnya kecil dan sangat memungkinkan tampak pengaruh
najisnya. Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majm al-Fatw
(21/531): Susu apabila dijilati anjing dan jumlahnya banyak, maka tidak najis.
Wallahu alam.
Hukum Membuang Air Yang Dijilat Anjing
Para Ulama berbeda pendapat tentang kesucian air yang terkena jilatan anjing sebagaiman
diatas. Juga berbeda pendapat dalam hukum membuang air yang terkena jilatan anjing,
apakah wajib membuangnya karena najis atau tidak wajib kecuali bila ingin menggunakan
bejana tersebut?

Pertama: Tidak wajib membuang airnya, tapi hanya sunnah saja hukumnya. Apabila ingin
menggunakan bejana tersebut maka airnya dibuang, karena air liurnya najis seperti najis-najis
lainnya. Apabila tidak ingin menggunakannya dan membiarkannya maka tidak berdosa.
Inilah pendapat mayoritas Ulama dan dinisbatkan imam an-Nawawi t kepada mayoritas
Ulama syfiiyah [Syarah Shahh Muslim, 3/185].
Kedua: Wajib membuang air yang dijilat anjing tersebut dengan segera walaupun tidak ingin
menggunakan bejana itu karena airnya najis juga karena adanya perintah membuangnya.
Inilah madzhab Zhahiriyah (al-Muhalla, 1/142) dan sebagian Ulama Syfiiyah (lihat alMajm 2/588 dan Fathul Bri 1/ 275) dan selain mereka.
Jumlah Pencucian
Para Ulama berbeda pendapat tentang jumlah cucian bejana yang terkena jilatan anjing dalam
dua pendapat:
Pertama: wajib dicuci tujuh kali. Inilah pendapat mayoritas Ulama diantaranya pendapat yang
masyhur dalam madzhab Mlikiyah, pendapat Imam as-Syfii, Ahmad dan madzhab
Zhhiriyah.
Mereka mengambil makna tekstual dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu di atas,
dimana ada perintah dari Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam untuk mencuci tujuh kali
dan perintah menunjukka kewajiban tanpa adanya indikator kuat mengalihkan dari
penunjukkan kewajiban tersebut.
Kedua: tidak membedakan antara mencuci dari najis liur anjing dengan najis-najis lainnya
yang tidak disyaratkan dalam menghilangkannya bilangan tertentu. Inilah pendapat imam
Abu Hanfah (lihat Syarah Manil Atsar ath-Thahwi 1/22) dengan membawa perintah
dalam hadits kepada hukum sunnah saja. Pendapat ini berargumentasi dengan beberapa
alasan:
a. Fatwa Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan Imam ath-Thahawi dalam
Syarh Mani al-Atsr 1/23 dan ad-Daraquthni dalam Sunannya 1/66 dari jalan Abdulmalik
bin Abi Sulaiman dari Atha dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang bejana yang
dijilati anjing atau kucing, beliau Radhiyallahu anhu menjawab, Dicuci tiga kali. Imam adDaraquthni berkata, (Pernyatan Abu Hurairah) Ini mauqf yang tidak diriwayatkan selain
Abdulmalik dari Ath dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa apabila anjing menjilat
bejana, maka beliau buang airnya dan mencucinya tiga kali.
Al-Baihaqi berkata, Fatwa ini tidak diriwayatkan kecuali dari Abdulmalik. Abdulmalik ini
tidak diterima semua riwayatnya yang menyelisihi para tsiqt. Lalu berkata: Yang benar
adalah hadits Abu Hurairah karena jalan periwayatannya shahih dan sanadnya kuat. [Lihat alMarifah 2/311-312 dan as-Sunan al-Kubra 1/242].
b. Mereka menganalogikan dengan kencing dan kotoran manusia yang menurut merekalebih berat dan tidak ada perintah wajib dengan bilangan tertentu mencucinya.

c. Juga berdalil dengan hadits Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu anhu yang mencuci
delapan kali.
Pendapat yang rjih adalah pendapat mayoritas Ulama yang mewajibkan mencucinya tujuh
kali, karena keabsahan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan yang lainnya.
Seandainya dianggap benar mendahulukan fatwa Abu Hurairah Radhiyallahu anhu daripada
riwayatnya, lalu bagaimana dengan riwayat lainnya seperti riwayat Abdullah bin Mughaffal
Radhiyallahu anhu yang berbunyi:



Apabila Anjing menjilati bejana maka cucilah bejana tersebut tujuh kali dan taburilah yang
kedelapan dengan debu. [HR. Muslim no. 93]
Lalu ada masalah yang terfahami dari hadits Abdullah bin Mughaffal bahwa mencucinya
delapan kali, karena terdapat lafazh, yang artinya, Dan taburilah yang kedelapan dengan
debu. sehingga ini menjadi dasar wajibnya mencuci delapan kali.
Ibnu Abdilbarr rahimahullah menyatakan, Dengan dasar hadits ini al-Hasan al-Bashri
berfatwa mencuci bejana tujuh kali dan kedelapannya dengan menggunakan debu (tanah).
Saya tidak mengetahui ada yang berfatwa demikian selain beliau. [at-Tamhd 18/266].
Nampaknya, yang dimaksudkan oleh Ibnu Abdilbarr rahimahullah dengan perkataannya,
Saya tidak mengetahui ada yang berfatwa demikian selain beliau, dari kalangan Ulamaulama terdahulu. Padahal ini juga pendapat yang diriwayatkan dari imam Ahmad, seperti
dalam al-Mughni 1/73 dan dari Imam Mlik seperti dijelaskna dalam kitab at-Talkhsh 1/36
Diantara Ulama ada yang merajihkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan cuciannya
hanya 7 kali. Mereka menjawab hadits Ibnu Mughaffal Radhiyallahu anh dengan beberapa
jawaban:
a. Cucian dijadikan delapan, karena tanah (debu) satu jenis bukan termasuk air, sehingga
menjadikan bersatunya air dengan tanah dalam satu cucian dihitung dua. Sekan-akan tanah
menduduki posisi satu cucian sehingga disebut kedelapan.
b. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu orang yang paling hafal hadits dizamannya, sehingga
riwayatnya lebih didahulukan.
Diantara Ulama ada yang merajihkan hadits Ibnu Mughaffal Radhiyallahu anhu ; karena
beliau menambah cucian kedelapan. Tambahan ini diterima khususnya dari beliau. Hal ini
tidak mengapa karena mengamalkan pengertian yang terfahami dari nash dan berisi
pengertian kehati-hatian.
Yang rajih adalah pendapat pertama yang mewajibkan mencucinya sebanyak tujuh kali.
Wallahu alam.

Urutan Pencucian Dengan Tanah (Debu)


Bila melihat beberapa riwayat hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang menjelaskan
, ada juga :

posisi pencucian dengan tanah, didapatkan ada riwayat :
serta ada juga dengan lafazh: . Sedangkan dalam riwayat ath-Thahawi (Syarah
. ini semua tidak masalah dan
Musykil al-Atsr 1/21) dengan lafazh:
tidak mengharuskan untuk menghilangkan pensyariatan penggunaan tanah hanya karena
adanya perbedaan ini, sebagaimana pendapat madzhab Hanafiyah dan Mlikiyah (lihat
Syarhu al-Umdah karya Ibnul Mulaqqin 1/308 dan Tharhu at-Tatsrb 2/129-130). Hal ini
( yang pertama); karena ia
karena masih bisa dirajihkan dengan merajihkan lafazh
adalah riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari jalan periwayatan Muhammad bin Sirin
rahimahullah. Riwayat Ibnu Sirin rahimahullah ini dibawakan oleh tiga perawi yaitu Hisym
bin Hisn rahimahullah, Habb bin asy-Syahd rahimahullah dan Ayub as-Sakhtiyni
rahimahullah. Imam Muslim mengeluarkan riwayat ini dari riwayat Hisym. Riwayat ini rjih
dengan tiga hal:
a. Banyak perawinya
b. Salah seorang dari syaikhain (al-Bukhri dan Muslim) mengeluarkannya.
c. Dari sisi pengertiannya; karena pencucian dengan tanah lebih pas kalau pertama, sebab
dibutuhkan setelah pencucian dengan air yang menghilangkan sisa tanah tersebut. Beda kalau
dijadikan yang ketujuh maka ia membutuhkan pencucian lagi setelahnya.
Adapun riwayat at-tirmidzi yang berbunyi :


Yang pertama atau paling akhir
Apabila ini berasal dari pernyataan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam maka ini menunjukkan
adanya pilihan antara keduanya. Apabila itu bentuk keraguan dari sebagian perawi maka
terjadilah satu hal yang kontradiktif, sehingga kembali kepada tarjh dan yang rjih adalah
yang pertama sebagaimana di atas.
Sedangkan riwayat ( )hal ini tidak ada dalam kutubussittah, adanya pada sunan adDaraquthni dan al-Bazr (lihat al-Badru al-Munr 2/330). Hal ini tidak bertentangan dengan
riwayat sebelumnya karena ia tidak ada penentuan, debu bisa pada urutan pertama atau urutan
lainnya. Kemudian riwayat ini terfahami dengan jelas dengan melihat riwayat lain dengan
) .
lafazh (
Demikian juga dengan hadits maka kedelapan ini ditinjau pada tambahan
atas tujuh kali cucian memakai air bukan sebagai yang terakhir. Dengan demikian inipun
tidak menyelisihi riwayat-riwayat diatas.
Kewajiban Menggunakan Tanah Dalam Mensucikan Bejana Terkena Jilatan Anjing
Para Ulama berbeda pendapat tentang kewajiban menggunakan tanah pada salah satu dari
tujuh cucian tersebut :

1. Pertama: Wajib menggunakan tanah.


Inilah pendapat madzhab Syfiiyah (al-Umm 1/6) dan Hanbilah (al-Muharrar, 1 /4).
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Shahh Muslim 1/185 : Madzhab kami
dan madzhab mayoritas Ulama bahwa yang dimaksud dengan cucilah tujuh kali dan salah
satunya adalah dengan tanah dicampur air.
2. Kedua: Tidak wajib menggunakan tanah.
Inilah pendapat madzhab Mlikiyah dan Hanafiyah. Hanafiyah memahami perintah mencuci
tujuh kali dan dengan tanah sebagai sunnah tidak wajib. (lihat Syarh Mani al-Atsar 1/2224). Sedangkan Mlikiyah memandang kewajiban tujuh kali namun tidak mewajibkan
menggunakan tanah dalam salah satu cuciannya.
Pendapat yang rajih pendapat mayoritas Ulama. wallahu alam.
Demikian beberapa masalah fikih seputar hadits ini, semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVIII/1436H/2014M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Sumber: https://almanhaj.or.id/4227-air-liur-anjing.html

Menyoal Hadis tentang Anjing


Percik Pemikiran 24/10/2013 Comments: 16

Dalam debat umat Islam mengenai status anjing, persoalan yang terjadi tidaklah sesimpel
ejekan terhadap keterbelakangan umat Islam yang, setelah menjejakkan kaki di abad 21,
masih juga berdebat mengenai hukum anjing. Orang bisa saja melakukan kritik semacam itu.
Silakan. Namun, kritik itu tidaklah menyentuh jantung problemnya. Kritik itu hanya mudah
diterima oleh yang berpandangan hadis yang bertentangan dengan nalar mestinya
diabaikan. Kenyataannya, mayoritas muslim saat ini punya iman yang kuat terhadap teks
hadis. Artinya, kita akan terus tidak layak didengar oleh banyak umat Islam selama argumen
yang kita bangun berdasar penalaran semata dan tak berlandas pada teks atau metodologi
yang diakui.
Faktanya ialah ada sekian banyak hadis sahih berbicara hal yang cenderung negatif mengenai
anjing. Sebagian darinya termaktub di Shahih Bukhari dan Muslim. Dua kitab itu,
sebagaimana diakui mayoritas ulama Sunni, adalah kitab tersahih, terselektif dalam
menyeleksi para perawi dalam transmisi (sanad), tervalidasi paling akurat setelah Al-Quran
(ashahh al-kutub bada kitbillh). Umat Islamterutama Sunnisaat ini tidak punya akses
menuju apa yang dikatakan Nabi Muhamamad yang melebihi validitas kedua kitab sahih itu.
Di sini problemnya ialah: kalau kita semata-mata menolak suatu hadis atas dasar nalar
semata, maka yang terjadi ialah cherry picking (mengambil yang manis [yang masuk akal],
membuang yang sepah [yang tak rasional]). Dalam logika demikian, yang terjadi adalah
inkonsistensi. Karena itulah, sangat dimaklumi ketika mayoritas umat Islam, dalam menafsiri
hadis-hadis tentang anjing yang tak masuk akal, berusaha sebisa mungkin melakukan
kompromi, baik dengan menghadapkannya dengan Al-Quran yang lebih tinggi statusnya,
membandingkannya dengan hadis lain, atau kalau tak bisa ya ditakwil. Yang penting tidak
sampai membuang hadis itu, selama sanadnya sahih. [Sayangnya, kritik mata rantai
periwayatan hadis (sanad) amat berkembang dalam khazanah Islam, namun kritik isi hadis
(matan) relatif minim].
Dengan memahami hal itu, cukup wajar bila sikap kebanyakan umat Islam amat hati-hati saat
berbicara tentang hadis sahihsekalipun itu tak masuk akal dalam nalar orang modern.
Tulisan tentang status anjing dalam tinjaun hadis-hadis sahih ini hendak mengutarakan
pandangan dalam kerangka itu: mencoba menggunakan metodologi yang diakui oleh
argumen audien. Dua hal yang hendak dibahas di sini: status kenajisannya dan hukum
memeliharanya.
***
Dalam soal status kenajisan anjing, sebenarnya tiada masalah berarti. Status kenajisan anjing
menjadi bahan perbedaan yang masyhur di kalangan pakar hukum Islam klasik: (1) menurut
Mazhab Syafii dan Hanbali, tubuh anjing seluruhnya najis; (2) menurut mazhab Abu

Hanifah, hanya mulut dan air liurnya saja yang najis; (3) menurut Mazhab Maliki, anjing
tidaklah najis secara mutlak.
Mengapa perbedaaan pandangan ini bisa terjadi? Redaksi asli hadis tentang najisnya anjing
itu begini: Sucinya bejanamu yang dijilat anjing ialah dengan membasuhnya tujuh kali,
salah satunya dengan debu (HR Bukhari & Muslim). Kata kunci dalam hadis ini ialah
dijilat (Arabnya: walagha, wulgh).
Interpretasi ulama fiqh terhadap kata dijilat itu tak sesederhana yang terlintas di pikiran
awam. Menurut Syafiiyah dan Hanabilah: kalau jilatannya saja najis, sementara lidah hanya
menjilat yang bersih-bersih, apalagi tubuhnya yang belepotan kotoran. Di sini berlaku qiyasawlawy (contoh lainnya: logika tafsir terhadap ayat jangan dekati zina yang kemudian
dihasilkan kesimpulan kalau mendekati saja tak boleh apalagi melakukannya). Maka tubuh,
kulit, dan keringat anjing pun najis.
Menurut Hanafiyah, anjing itu tidak najis di dalam dirinya sendiri (najis al-ain). Al-Quran
hanya menyebut babi sebagai satu-satunya hewan yang najis (rijs) di dalam dirinya sendiri
(lihat QS 6:145). Maka, Hanafiyah berpegang pada teks hadis itu semata: Karena hadisnya
hanya menyebut jilatan, maka mulut & liurnya saja yang najis. Selebihnya tidak.
Sedang menurut Malikiyah, bahwa ada perintah membasuh tujuh kali itu sama sekali tak
berhubungan dengan kenajisan anjing. Logikanya simpel saja: bukan saja anjing, ayam,
kucing, burung, dan hewan-hewan lain yang minum di gelas anda pun kemudian akan anda
basuh gelas itu. Alasan di balik hadis itu adalah faktor kebersihan belaka. Adapun ketentuan
tujuh kali dan salah satunya pakai debu itu tak lain bersifat taabbudi (ritual; tak punya
rasionalisasi).
Tentang perbedaan pandangan tentang kenajisan anjing ini sebenarnya bukan hal baru. Bagi
yang akrab dengan studi fikih lintas mazhab, beda interpretasi semacam itu sudah biasa.
[Note: Di sini ada pelajaran menarik. Yakni, bahwa teks hadis yang segamblang itu ternyata
menghasilkan tiga pendapat yang berbeda. Jangankan satu teks, satu katabahkan satu
harakat dalam sebuah katadi dalam teks yang sama saja, bisa menyisakan perbedaan
mazhab. Karena itu hindarilah pikiran simplistis dalam menafsirkan teks, baik ayat maupun
hadis.]
***
Persoalan yang lebih rumit terkait hukum anjing sebenarnya adalah hukum memeliharanya.
Ada setidaknya dua hadis sahih yang susah diterima nalar modern.
Pertama, hadis sahih riwayat Bukhari (no. 3225, 3322, & 4002sesuai penomoran di alMaktabah asy-Syamilah). Ketiga hadis itu menyatakan dengan redaksi berbeda, tapi intinya
sama: Malaikat tidak masuk ke rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar/patung.

Hadis yang senada juga ada di Shahih Muslim (no. 5633, 5635, & 5636sesuai penomoran
di al-Maktabah asy-Syamilah)
Kedua, hadis sahih riwayat Bukhari (no. 2145) & Muslim (no. 2974, 2943), yang intinya:
siapa yang memelihara anjing maka dikurangi pahalanya di setiap harinya sebesar satu
qrth, kecuali dengan alasan untuk berburu atau menjaga ternak. (Note: Saya agak tergelitik
baca hadis ini: kok pahala punya ukuran dengan satuan berat: qirath [sekitar setengah gram,
bahkan ada yang bilang sebesar gunung Uhud]?)
Dari kedua hadis itu, sebagian besar ulama, bahkan yang terhitung moderat seperti lembaga
fatwa Mesir (Dar al-Ifta al-Mishriyyah) yang berisi ulama Al-Azhar, menyatakan: haram
hukumnya memelihara anjing kecuali atas alasan untuk berburu dan menjaga ternak/rumah.
Jadi, kalau memelihara anjing atas dasar hobi, menurut sebagian besar ulama, itu haram
hukumnya.
***
Ada tiga hal yang perlu jadi pertimbangan sebelum kita bulat menerima kedua hadis anjing
itu.
Pertama, terhadap kedua hadis di atas, tentu nalar kita dengan segera akan mengajukan
banyak pertanyaan: Bukankah Al-Quran justru menghargai anjing dengan menjadikanya
hewan yang terlatih untuk berburu (QS 4:107) juga bagian dari kisah magis Ashabul Kahfi?
Mengapa anjing dipandang sedemikian hitamnya di hadis di atas?
Bukankah hadis shahih Bukhari sendiri juga mengisahkan seorang lelaki (menurut cerita
yang populer tapi belum saya tahu validitasnya: seorang pelacur) yang masuk surga dengan
wasilah memberi minum anjing yang kehausan? Bukankah kalau rumah yang ada anjingnya
tak dimasuki malaikat maka orang bisa bebas berbuat dosa & tak akan mati di dalam rumah
itu (sebab malaikat Izrail, Raqib, & Atid masih menunggu di luar rumah)? Singkat kalimat,
keliaran akal dalam mengambil kesimpulan dari hadis di atas tak bisa dibendung. Ia
menyentuh bukan saja status anjing melainkan juga bangunan teologi Islam. Nyatanya,
pertanyaan-pertanyaan itu sudah dirasakan oleh bukan saja orang modern, tapi ulama klasik.
Maka, agar tak terjadi paradoks, sementara iman kepada malaikat adalah salah satu dari 6
rukun iman, sebagian ulama kemudian melakukan spesifikasi (takhshish).
Diketengahkan oleh Ibn Hajar al-Asqalani terhadap hadis malaikat tak masuk rumah yang
ada anjingnya itu bahwa Ibn Waddhah dan al-Khattabi menyatakan: Malaikat hafazhah
(penjaga, pencatat amal) tetap ikut masuk, sebab malaikat hafazhah harus terus membersamai
manusia di segala kondisi. Sebagian ulama lain menyatakan, kata malaikat di situ hanya
berlaku spesifik untuk Jibril, berdasar pada asbabul-wurud bahwa suatu ketika Rasulullah
tiba-tiba tak mau keluar dari rumah yang ada anjingnya tersebab malaikat Jibril tak mau
masuk ke dalam rumah itu, sehingga wahyu tak bisa tersampaikan.

Tentang memelihara anjing (kecuali atas tujuan syari) yang mengurangi pahala itu pun beda
pendapat terjadi. Beda pendapat terjadi sebab satu nalar: bukankah seseorang berkurangbertambah pahalanya sebab amalnya, dan bukan sebab anjing? Terhadap pertanyaan ini,
pandangan terkuat menyatakan: pahala itu dikurangi karena si pemiara melanggar teks hadis
larangan memelihara anjing itu sendiri. Sangat tampak dalam kesimpulan ini, sekalipun
menyisakan banyak kritik, teks hadis itu tetap dipaksakan agar dipertahankan.
Pendapat-pendapat terkait interpretasi terhadap hadis itu amat banyak. Anda bisa
membacanya di syarah hadis-hadis itu (Fath al-Bari, Umdah al-Qari, & Syarh Shahih
Muslim). Tentu akan memanjangkan tulisan ini jika semua pendapat diketengahkan. [Note:
saya sendiri merasa capek baca komentar-komentar ulama tentang hadis itu. Pendapatnya
amat beragam. Kadang-kadang, komentar mereka ada yang sangat tak logis sebab kuat terasa
adanya kehendak ingin memaksakan agar hadis itu tetap bisa diterima; tidak diabaikan, sebab
sudah diriwayatkan al-Bukhari]
Poin saya adalah: jelas bahwa sejak masa ulama klasik pun sudah dirasakan ada yang
paradoks di dalam hadis anjing itu. Selain bertentangan dengan statemen Al-Quran bahwa
setiap jiwa senantiasa diiringi oleh malaikat penjaga (in kullu nafsin lama alayha hfizh),
hadis itu juga mengandung idhtirb (kacau): tafsir harfiah dari hadis itu menyisakan tak
sedikit silogisme yang tak sinkron dengan bangunan teologi.
***
Kedua, setelah mendapati bahwa komentar mayoritas ulama tetap berusaha agar hadis itu
diterima, kita layak bertanya: Bagaimana anjing diperlakukan di masa Nabi Muhammad?
Di Shahih Bukhari sendiri terdapati riwayat, di bab Wudhu, tepat di bahwa hadis tentang
pemberi minum anjing kehausan yang kemudian masuk surga: Anjing-anjing kencing,
masuk-keluar masjid di masa Nabi, dan para Sahabat tidak menyiramnya (knat al-kilb
tablu wa tuqbilu wa tudbiru fi zaman an-Nabiy shallallhu alayhi wa sallam falam yakn
yarusysyna syaian min dzlik).
Terkait hadis ini, perdebatan ulama berkisar di persoalan mengapa para Sahabat tidak
menyiramnya? Itu bahasan tersendiri, tidak diketengahkan di tulisan ini. Tapi bahwa di masa
Nabi ada anjing-anjing berkeliaran di masjid (menurut satu pendapat itu maksudnya di
emperan masjid), adalah data sejarah yang sahih teriwayat oleh al-Bukhari.
Mungkin atas dasar data sejarah itulah, kemudian Mazhab Malikidisamping alasan di
bagian awal tulisan inimenyatakan anjing itu tidak najis. Data sejarah itu merupakan the
living sunnah (tradisi yang hidup). Mazhab Maliki menjadikan amal ahl al-madnah
(praktek kehidupan orang Madinah) sebagai salah satu sandaran epistemologis.
Data sejarah di Madinah itu menarik, sebab dengan data itu kita tahu tentang tradisi yang
hidup di Madinah. Dari data itu kita tahu: Bukan sekedar di rumah, bahkan di masjid yang
mestinya suci pun berkeliarannya anjing bukan persoalan yang menimbulkan anti-pati

sebagaimana masyarakat muslim kini. Artinya, kenyataan itu kontradiktif dengan praktek di
masyarakat muslim saat inikhususnya di komunitas muslim bermazhab Syafii dan Hanbali
yang menistakan anjing.
Poin saya: data sejarah tentang berkeliarnya anjing di Madinah di masa Nabi itu ialah
sunnah. Sedangkan informasi bahwa malaikat tak masuk rumah yang ada anjingnya ialah
hadis. Sunnah itu lebih umum daripada hadis. Sunnah itu kenyataan yang cair, sedangkan
hadis adalah catatan yang beku. Kita mestinya tidak membekukan fakta cair itu dan
mereduksinya dalam tafsiran yang simplistis nan beku sebagaimana termaktub dalam
hadis. Sunnah (tradisi) menjelaskan generasi muslim awal tiada memiliki masalah berarti
dengan anjing. Problem terhadap anjing mulai membudaya sejak hadis-hadis ahad soal anjing
itu menyebar luas.
***
Ketiga, hadis ahad (bukan mutawatir), meski sahih, statusnya adalah zhannyyul-wurd
(diduga berasal dari Nabi). Status zhanny berarti kemungkinan besar ia pernah dikatakan
Nabi, tapi tetap saja ia tidak pasti 100 persen dari Nabi; tidak qathiyyul-wurud. Yang
tersepakati qathiyyul-wurd ialah Al-Quran dan hadis-hadis yang mutawatir.
Bagaimana Al-Quran berbicara tentang anjing? Al-Quran tidak pernah menista anjing. AlQuran justru memberi penghargaan bahwa anjing adalah hewan yang terlatihbahkan yang
paling terlatihuntuk diajak berburu (QS 4:107). Al-Quran mengisahkan tentang anjing yang
setia menjaga Para Pemuda Gua (QS 18: 20-22).
Kalau kita sepakat bahwa yang zhanny mestinya tidak boleh dominan dibanding yang qathiy
(pasti), maka kita mestinya lebih memenangkan bagaimana Al-Quran mencitrakan anjing
dibanding statemen hadis yang menista anjing. Lagipula, apa yang salah terhadap anjing,
padahal mazhab Maliki dan Hanafi tidak menganggapnya najis secara mutlak? Bukankah
yang tidak najis pada dirinya sendiri itu adalah bukti bahwa ia juga sebagaimana hewan
bersih lainnya? Sayangnya, kebanyakan umat Islam lebih mengutamakan apologi, menerima
hadis anjing di atas tanpa tanpa rasionalisasi; memang benar-benar tak memerlukan alasan.
Begitulah, dari bahasan soal anjing ini, ada satu pelajaran penting: hadis-hadis itu begitu
superior mencengkeram dan mendikte budaya umat Islam, bahkan kadang lebih populer dari
Al-Quran sendiri. Budaya dominan dalam masyarakat Islam akan terus begitu selama tiada
rekonstruksi, reintepretasi, reformasi, atau apalah namanya, pada bagaimana kita semestinya
berinteraksi dengan hadis.

Apakah Seluruh Tubuh Anjing Itu Najis?

Apr 04, 2010Muhammad Abduh Tuasikal, MScThoharoh38 Komentar

Berikut kami sertakan fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengenai najisnya anjing.
Apakah seluruh tubuhnya najis atau cuma air liurnya saja? Silakan temukan jawabannya
dalam fatwa beliau berikut ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa Al Kubro 1/263[1] ditanyakan mengenai
pertanyaan di atas dan beliau berkata :
[Perselisihan tentang najisnya anjing]
Adapun mengenai najis pada anjing terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama :
Pertama, seluruh tubuhnya najis bahkan termasuk bulu (rambutnya). Ini adalah pendapat
Imam Syafii dan salah satu dari dua riwayat (pendapat) Imam Ahmad.
Kedua, anjing itu suci termasuk pula air liurnya. Inilah pendapat yang masyhur dari Imam
Malik.
Ketiga, air liurnya itu najis dan bulunya itu suci. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan
pendapat lain dari Imam Ahmad.
[Apakah bulu hewan yang tumbuh pada hewan yang najis termasuk najis?]
Sedangkan pendapat Imam Ahmad mengenai najisnya bulu hewan (rambutnya) yang tumbuh
pada hewan yang najis ada tiga pendapat dari beliau:
Pertama, semua bulu hewan tersebut suci termasuk bulu anjing dan babi. Ini adalah pendapat
yang dipilih oleh Abu Bakr Abdul Aziz.
Kedua, semua bulu hewan tersebut najis. Pendapat Imam Ahmad yang kedua ini sama
dengan pendapat Imam Syafii (yang menyatakan seluruh tubuh hewan yang najis, maka
bulunya juga najis).
Ketiga, apabila bulu bangkai itu suci ketika dia hidup maka suci pula ketika dia menjadi
bangkai seperti kambing dan tikus. Adapun bulu hewan yang najis ketika hidup seperti anjing
dan babi, maka najis pula ketika jadi bangkai. Pendapat ketiga inilah yang banyak dikuatkan
oleh para pengikut Imam Ahmad.

Pendapat yang kuat (yang dipilih oleh Syaikhul Islam, pen) bahwa seluruh bulu hewan itu
suci termasuk bulu anjing, babi dan lainnya, berbeda dengan air liur anjing.
[Jika Bulu Anjing yang Basah Mengenai Pakaian]
Berdasarkan penjelasan di atas, apabila bulu anjing yang basah dan mengenai pakaian
seseorang, maka tidak ada kewajiban baginya untuk bersuci sebagaimana hal ini adalah
pendapat mayoritas pakar fiqih yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan salah satu dari dua
pendapat Imam Ahmad. Dinyatakan demikian karena hukum asal segala sesuatu adalah
suci. Tidak boleh seseorang menajiskan atau mengharamkan sesuatu kecuali jika terdapat
dalil yang mendukungnya karena Allah Taala berfirman,




Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. (QS. Al Anam [6] : 119)
Allah Taala juga berfirman,



Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk
kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. (QS.
At Taubah [9] : 115)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits yang shohih,


Seorang muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang ditanyakan tentang sesuatu
yang tidak diharamkan (oleh syariat) lalu dia mengharamkannya karena sebab ditanya.
(HR. Bukhari no. 6859)
Dalam sunan, dari Salman Al Farisy secara marfu (sampai kepada Nabi shallallahu alaihi
wa sallam) ada pula yang mengatakannya mauquf (sampai pada sahabat) -, beliau berkata,



Halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya dan haram adalah sesuatu yang
Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan sesuatu yang Allah diamkan adalah sesuatu
yang dimaafkan. (HR. Ibnu Majah no. 3367 dan Tirmidzi no. 5506. Syaikh Al Albani dalam
Shohih wa Dhoif Sunan Ibnu Majah dan Shohih wa Dhoif Sunan Tirmidzi mengatakan
hadits ini hasan)
[Bagian Anjing yang Najis adalah Ujung Lidahnya]

Jika memang demikian, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,



Sucinya bejana di antara kalian yaitu apabila anjing menjilatnya adalah dengan dicuci
tujuh kali dan awalnya dengan tanah. (HR. Muslim no. 279)
Dalam hadits lain dikatakan,


Apabila anjing menjilat (bejana). (HR. Muslim no. 279)
Seluruh hadits yang menjelaskan hal ini, semuanya menggunakan lafazh walagho (minum
dengan ujung lidah) dan tidak menyebutkan anggota tubuh yang lainnya. Kalau bagian
tubuh anjing lainnya mau dikatakan najis, maka ini hanya bisa dilakukan melalui qiyas
(analogi).
[Berikut beberapa qiyas yang bisa dilakukan, namun hal ini disanggah oleh Syaikh]
[Jika ada yang mengatakan air kencing lebih kotor dari air liur anjing]
Jika ada yang mengatakan bahwa air kencing itu lebih kotor dari air liur, maka ini tergantung
sudut pandang masing-masing (mutawajjihan).
[Sanggahan untuk yang menyamakan bulu dan air liur]
Adapun menyatakan sama najisnya antara bulu dan air liur, maka itu suatu hal yang tidak
mungkin karena air liur keluar dari dalam tubuh. Hal ini berbeda dengan bulu yang tumbuh di
kulit.
Semua pakar fiqih juga telah membedakan kedua hal ini. Mayoritas ulama mengatakan
bahwa bulu bangkai itu suci, berbeda dengan air liurnya.
Imam Syafii dan mayoritas pengikutnya mengatakan bahwa tanaman yang tumbuh di tanah
yang najis tetap suci.
Oleh karena itu, sebagaimana tumbuhan yang tumbuh di tanah yang najis tetap suci, begitu
pula bulu anjing yang tumbuh di kulit yang najis lebih tepat dikatakan suci. Berbeda dengan
tanaman, dia bisa mendapatkan pengaruh dari tanah yang najis, sedangkan bulu adalah
sesuatu yang padat (keras) sehingga tidak mungkin dipengaruhi layaknya tanah.
Para pengikut Imam Ahmad seperti Ibnu Aqil dan lainnya mengatakan bahwa tanaman (yang
tumbuh di tanah yang najis) tetap suci, lebih-lebih lagi bulu hewan. Barangsiapa menyatakan

tanaman tersebut najis maka ada perbedaan di antara keduanya sebagaimana yang telah
disebutkan.
Jadi, setiap hewan yang dikatakan najis, maka pembicaraan mengenai rambut dan bulunya
sebagaimana pembicaraan pada bulu anjing.
[Dari penjelasan beliau ini, berarti bulu babi juga suci sebagaimana bulu anjing]
[Bagaimana dengan bulu hewan buas, najis ataukah tidak?]
Apabila dikatakan bahwa hewan buas yang bertaring dan burung yang bercakar kecuali
kucing dan selainnya yang serupa adalah najis -sebagaimana ini adalah pendapat mayoritas
ulama yaitu para ulama Iraq dan juga salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad-, maka
pembicaraan mengenai bulu dan rambutnya terdapat perselisihan, apakah najis atau tidak?
Imam Ahmad memiliki dua pendapat dalam masalah ini :
Pendapat pertama Imam Ahmad, bulu hewan-hewan tersebut suci. Inilah pendapat
mayoritas ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafii dan Imam Malik.
Pendapat kedua Imam Ahmad, bulu hewan-hewan tersebut najis sebagaimana yang dipilih
oleh mayoritas ulama-ulama belakangan dari Hanabilah.
Pendapat yang benar adalah bahwa bulu hewan-hewan tersebut suci sebagaimana
penjelasan yang telah lewat.
[Keringanan pada air liur anjing pada hewan buruan]
Begitu pula Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberi keringanan pada hasil tangkapan
anjing buruan, anjing yang menjaga hewan ternak, dan anjing yang menjaga tanah garapan.
Dan pasti bulu anjing seperti ini akan ditemukan dalam keadaan basah sebagaimana hal ini
terjadi pula pada bagal (peranakan kuda dan keledai) dan keledai, dan hewan semacam itu.
Mengenai najisnya bulu anjing (yang terbasahi seperti ini) dan keadaan tanah garapan yang
najis, tidak ada dari umat ini yang menganggap demikian. Begitu pula air liur anjing yang
ditemukan pada hewan hasil tangkapan buruan, tidak wajib untuk dicuci menurut pendapat
yang paling kuat. Inilah salah satu pendapat dari dua pendapat Imam Ahmad.
Alasan tidak wajibnya hal ini karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan
untuk mencuci air liur anjing semacam ini. Air liur anjing seperti ini dimaafkan ketika dalam
kondisi dibutuhkan (mendesak). Namun, tetap diperintahkan untuk dicuci jika tidak dalam
kondisi demikian. Hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam sangat memperhatikan
kemaslahatan dan kebutuhan hamba-Nya. Wallahu alam.
Keterangan :

Yang berada dalam kurung seperti ini [] adalah tambahan dari penyusun (penulis) agar
memudahkan dalam pemahaman.
Semoga fatwa ini bermanfaat.

Muhammad Abduh Tuasikal


Artikel https://rumaysho.com

Sumber: https://rumaysho.com/944-apakah-seluruh-tubuh-anjing-itu-najis.html

Anda mungkin juga menyukai