Anda di halaman 1dari 14

1.

Mazhab Al-Hanafiyah
Dalam mazhab ini, yang najis dari anjing hanyalah air liurnya, mulutnya dan kotorannya. Sedangkan tubuh dan
bagian lainnya tidak dapat diqiyaskan (dianalogikan) sehingga tidak dapat dianggap najis. Kedudukannya
sebagaimana hewan yang lainnya, bahkan umumnya anjing bermanfaat banyak buat manusia. Misalnya sebagai
hewan penjaga atau pun hewan untuk berburu. Sebab dalam hadits tentang najisnya anjing, yang ditetapkan
sebagai najis hanya bila anjing itu minum di suatu wadah air. Maka hanya bagian mulut dan air liurnya saja
(termasuk kotorannya) yang dianggap najis.

2. Mazhab As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah


Kedua mazhab ini sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi seluruh tubuh
anjing itu hukumnya najis berat, termasuk keringatnya. Bahkan hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut
hukum yang sama pula. Dan untuk mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya
dengan tanah.

3. Mazhab Al-Malikiyah
Madzhab ini menyatakan bahwa anjing tidak najis keseluruhannya. Sedangkan perintah Rasulullah S.A.W untuk
membasuh bekas bejana yang diminum oleh anjing bukanlah disebabkan oleh kenajisan mulut, lidah dan air liur
anjing tersebut, tetapi disebabkan ketaatan kepada Allah semata-mata (ta’abudi).

Mereka berpendapat demikian dengan merujuk kepada hadis-hadis Rasulullah s.a.w. lainnya yang
membenarkan penggunaan anjing terlatih untuk berburu dan tidak ada seekor anjing pemburu pun yang
membunuh mangsanya melainkan melalui gigitan mulutnya. Hewan yang ditangkap oleh anjing buruan tersebut
adalah tetap suci untuk dimakan seluruhnya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala:

ِ‫ﻳَﺴْﺄَﻟُﻮﻧَﻚَ ﻣَﺎﺫَﺍ ﺃُﺣِﻞَّ ﻟَﻬُﻢْ ﻗُﻞْ ﺃُﺣِﻞَّ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟﻄَّﻴِّﺒَﺎﺕُ ﻭَﻣَﺎ ﻋَﻠَّﻤْﺘُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﻮَﺍﺭِﺡِ ﻣُﻜَﻠِّﺒِﻴﻦَ ﺗُﻌَ ِﻠّﻤُﻮﻧَﻬُﻦَّ ﻣِﻤَّﺎ ﻋَﻠَّﻤَﻜُﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓَﻜُﻠُﻮﺍ ﻣِﻤَّﺎ ﺃَﻣْﺴَﻜْﻦَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﺍﺫْﻛُﺮُﻭﺍ ﺍﺳْﻢَ ﺍﻟﻠَّﻪ‬
ِ‫ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺳَﺮِﻳﻊُ ﺍﻟْﺤِﺴَﺎﺏ‬
Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang
baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk
berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah dari apa yang
ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya”. )QS. Al-Maidah: 4

Lebih dalam tentang bagaimana perbezaan pendapat di kalangan ulama tentang kenajisan anjing ini, kita bedah
satu persatu sesuai dengan yang terdapat dalam kitab-kitab Feqah rujukan utama.

Mazhab Al-Hanafiyah

Dalam mazhab ini, yang najis dari anjing hanyalah air liurnya, mulutnya dan kotorannya sedangkan tubuh dan
bahagian lainnya tidak dianggap najis. Kedudukannya sebagaimana haiwan yang lainnya, bahkan umumnya
anjing bermanfaat banyak buat manusia contohnya sebagai haiwan penjaga ataupun haiwan untuk berburu.
Mengapa demikian ?

Sebab dalam hadis berkenaan najisnya anjing, yang ditetapkan sebagai najis hanya bila anjing itu minum di
suatu wadah air. Maka hanya bahagian mulut dan air liurnya sahaja (termasuk kotorannya) yang dianggap najis.

1) Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Bila anjing minum dari
wadah air milikmu, harus dicuci tujuh kali" (Riwayat Bukhari dan Muslim).

2) Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sucinya wadah minummu yang telah diminum anjing
adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah" (Riwayat Muslim dan Imam Ahmad)

Mazhab Al-Malikiyah

Mazhab ini juga mengatakan bahawa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Bila air liur
anjing jatuh masuk ke dalam wadah air, wajiblah dicuci tujuh kali sebagai bentuk penyucianny
Mazhab As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah

Kedua mazhab ini bersepakat mengatakan bahawa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi seluruh tubuh
anjing itu hukumnya najis berat, termasuk keringat peluhnya. Bahkan haiwan lain yang kahwin dengan anjing
pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk menyucikannya harus dengan mencuci tujuh kali dan salah satunya
dengan tanah.

Logik yang digunakan oleh mazhab ini adalah tidak mungkin kita mengatakan bahawa yang najis dari anjing
hanya mulut dan air liurnya saja sebab sumber air liur itu dari badannya. Maka, badannya itu juga merupakan
sumber najis termasuk air yang keluar dari tubuh itu juga baik kencing, kotoran dan juga keringatnya.

Pendapat tentang najisnya seluruh tubuh anjing ini juga dikuatkan dengan hadis lainnya antara lain :

Bahawa Rasululah shollallahu 'alaihi wa sallam diundang masuk ke rumah salah seorang kaum dan beliau
mendatangi undangan itu. Di kala lainya, kaum yang lain mengundangnya dan beliau tidak mendatanginya.
Ketika ditanyakan kepada beliau apa sebabnya beliau tidak mendatangi undangan yang kedua, beliau bersabda :
"Di rumah yang kedua ada anjing sedangkan di rumah yang pertama hanya ada kucing. Dan kucing itu itu tidak
najis" (Riwayat Al-Hakim dan Ad-Daruquthuny).

Dari hadis ini difahami bahawa kucing itu tidak najis sedangkan anjing itu najis.

a. Mazhab Al-Hanafiyah

Dalam mazhab Al-Hanafiyah , yang najis dari anjing hanyalah air liur mulut dan kotorannya saja. Sedangkan
tubuh dan bagian lainnya tidak dianggap najis.

Kedudukan anjing sebagaimana hewan yang lainnya bahkan umumnya anjing bermanfaat banyak buat manusia.
Misalnya sebagai hewan penjaga ataupun hewan untuk berburu.

Mengapa demikian ?

Sebab menurut Hanafiyah, dalam hadits tentang najisnya anjing, yang ditetapkan sebagai najis hanya bila anjing
itu minum di suatu wadah air. Maka hanya bagian mulut dan air liurnya saja (termasuk kotorannya) yang
dianggap najis. Dalilnya adalah dua hadis berikut ini:

1. “Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahw Rasulullah SAW bersabda”Bila anjing minum dari wadah air
milikmu harus dicuci tujuh kali.” (HR. Bukhari dan Muslim).

2. “Sucinya wadah minummu yang telah diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah
satunya dengan tanah.” (HR. Muslim dan Ahmad)

b. Mazhab Al-Malikiyah

Mazhab Al-Malikiyah juga mengatakan bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Bila
air liur anjing jatuh masuk ke dalam wadah air, maka wajiblah dicuci tujuh kali sebagai bentuk ritual
pensuciannya.

c. Mazhab As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah

Yang agak berbeda adalah Mazhab As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah. Kedua mazhab ini sepakat mengatakan
bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat, termasuk
keringatnya.Bahkan haiwan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk
mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.
Dalil aqli yang digunakan oleh mazhab ini adalah tidak mungkin kita hanya mengatakan bahwa yang najis dari
anjing hanya mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya.

Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu pun secara logika
juga najis, baik air kencing, kotoran atau keringatnya.

Pendapat tentang najisnya seluruh tubuh anjing ini juga dikuatkan dengan hadis yang meriwayatkan bahwa
Rasululah SAW diundang masuk ke rumah salah seorang kaum dan beliau mendatangi undangan itu. Di kala
lainya kaum yang lain mengundangnya dan beliau tidak mendatanginya. Ketika ditanyakan kepada beliau apa
sebabnya beliau tidak mendatangi undangan yang kedua beliau bersabda”Di rumah yang kedua ada anjing
sedangkan di rumah yang pertama hanya ada kucing. Dan kucing itu itu tidak najis.” (HR. Al-Hakim) []

1. Air Musta’mal Menurut Mazhab Al-Hanafiyah

Di dalam kitab mazhab Al-Hanafiyah, yaitu Syarah Fathul Qadir ‘ala Al-Hidayah, disebutkan bahwa ada
perbedaan pendapat menurut pandangan mazhab Al-Hanafiyah antara sesama ulama di dalamnya. [1]

Ada empat ulama besar dimana masing-masing punya definisi tentang air musta’mal, yaitu pendapat Imam Abu
Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad dan Zufar.

a. Al-Imam Abu Hanifah bersama Abu Yusuf

Al-Imam Abu Hanifah bersama Abu Yusuf berpendapat bahwa air musta’mal adalah :

‫ﻋﻠَى َﻭجْ ِﻪ ْﺍﻟﻘُ ْﺮ َب ِة‬ ٌ َ‫ْﺍﻟ َﻤﺎ ُء ﺍﻟَّذِي ﺃ ُ ِزﻳﻞ بِ ِﻪ َﺣد‬


َ ‫ث ﺃ َ ِﻭ ﺍ ْﺳﺘُﻌْﻤِ ﻞ ﻓِي ْﺍﻟﺒَدَ ِﻥ‬
Air yang digunakan untuk menghilangkan hadats atau digunakan pada badan dalam bentuk qurbah.

Contohnya adalah wudhu’ atas wudhu’ dengan niat taqarrub atau untuk menjalankan kewajiban.

b. Muhammad

Nama Muhammad dalam mazhab Al-Hanafiyah sudah tidak asing lagi. Beliau adalah salah satu tokoh besar
mazhab Al-Hanafiyah, murid langsung dari Al-Imam Abu Hanifah. Seringkali nama beliau disebut dengan
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani.

Dalam pendapat beliau, yang disebut air musta’mal adalah :

‫ْﺍﻟ َﻤﺎ ُء ﺍﻟَّذِي ﺍ ْﺳﺘُﻌْﻤِ ﻞ ِإلﻗَﺎ َﻣ ِة ﻗُ ْﺮبَة‬

Air yang digunakan untuk menegakkan qurbah.

c. Zufar

Nama Zufar juga bukan nama yang asing dalam mazhab Al-Hanafiyah. Beliau termasuk tokoh besar yang
represntatif mewakili mazhabnya. Dalam pandangan beliau, air musta’mal adalah :

ِ َ‫ْﺍﻟ َﻤﺎ ُء ْﺍﻟ ُﻤ ْﺴﺘ َ ْﻌ َﻤﻞ ِإلزَ ﺍﻟَ ِة ْﺍﻟ َﺤد‬


‫ث‬

Air yang digunakan untuk menghilangkan hadats


Dengan perbedaan definisi air musta’mal ini, maka bisa kita simpulkan hal-hal berikut :

Pertama : Qurbah

Terkait dengan hukum air yang bekas dipakai untuk berwudhu’ dengan niat qurbah, yaitu untuk shalat fardhu,
shalat jenazah, menyentuh mushaf, membaca Al-Quran dan seterusnya.

Kalau orang itu dalam keadaan berhadats, maka tidak ada khilafiyah bahwa air bekas wudhu’nya itu adalah air
musta’mal. Penyebabnya ada dua, yaitu karena wudhu’ itu menghilangkan hadats dan juga karena bernilai
qurbah.

Namun yang jadi perbedaan pendapat apabila orang tersebut dalam keadaan suci masih punya wudhu’ alias
tidak berhadats.

Musta’mal : Menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad, air bekas dipakai untuk wudhu’ yang
hukumnya sunnah dan tujuannya bukan untuk menghilangkan hadats termasuk air musta’mal.

Bukan Musta’mal : Sedangkan menurut Zufar, hukum air itu bukan air musta’mal. Alasannya, karena wudhu’
yang dilakukan tidak dalam rangka menghilangkan hadats. Hal ini sebagaimana pengertian air musta’mal dalam
pandangan Zufar, yaitu air yang sudah digunakan untuk mengangkat hadats.

Kedua : Tabrid

Makna kata tabrid secara harfiyah adalah mendinginkan. Maksudnya, seseorang berwudhu atau mandi tidak
dengan niat untuk qurbah atau mengangkat hadatas, melainkan sekedar untuk mendinginkan badan. Mungkin
yang lebih tergambar untuk kebiasaan di negeri kita, mandi untuk sekedar menyegarkan diri.

Apabila dia tidak dalam keadaan berhadats, air bekas wudhu’ atau mandinya disepakati oleh para ulama mazhab
Al-Hanafiyah bukan air musta’mal .

Namun hukumnya menjadi khilafiyah di antara mereka apabila orang tersebut dalam keadaan berhadats. Ada
yang mengatakan air itu musta’mal dan ada yang tidak.

Musta’mal : Menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Zufar, bila orang itu berhadatas, maka air bekas wudhu dan
mandinya menjadi musta’mal. Alasannya karena telah terjadi penghilangan hadats, meski pun niatnya hanya
untuk mendinginkan atau menyegarkan.

Bukan Musta’mal : Menurut Muhammad, air bekas wudhu’ atau mandinya bukan air musta’mal. Alasannya
karena syaratnya tidak terjadi, yaitu qurbah.

Ketiga : Air Muqayyad

Menurut mazhab Al-Hanafiyah, bila seseorang berwudhu atau mandi janabah dengan menggunakan air
muqayyad, maka air bekasnya itu tidak menjadi musta’mal.

Tapi apa yang dimaksud dengan air muqayyad?

Selama ini kita lebih sering mendengar istilah air mutlak, seperti air sumur, air hujan, air es, air embun dan
lainnya. Selain air mutlaq dalam fiqih juga dikenal air muqayyad, yaitu air yang tercampur dengan benda lain
yang suci, namun tidak mengubah wujud asli air itu.

Contohnya adalah air bunga mawar, air yang tercampur dengan kapur barus dan juga air yang tercampur dengan
bekas tepung.

Hukum air muqayyad ini masih boleh digunakan untuk berwudhu dan mandi janabah, karena wujudnya masih
air walaupun agak keruh oleh campuran benda lain dalam jumlah yang sedikit.

Sedangkan air yang sudah berubah secara fisik karena tercampur dengan benda lain dengan sangat banyak
sehingga membuatnya menjadi pekat, maka tidak sah untuk digunakan berwudhu atau mandi janabah. Contoh
air yang seperti ini adalah air teh, air susu, air kopi, kuah sayur, kecap, dan seterusnya.
Keempat : Mencuci Benda Suci

Dalam kasus dimana air digunakan untuk mencuci benda-benda yang suci secara hukum, maka para ulama
mazhab Al-Hanafyah sepakat bahwa air itu tidak menjadi musta’mal.

Misalnya air digunakan untuk mencuci tangan, buah, sayuran, tempat makan, bebatuan, asalkan semua benda itu
tidak najis, maka air bekas cuciannya tidak musta’mal.

2. Air Musta’mal Menurut Mazhab Al-Malikiyah

Adapun pandangan mazhab Al-Maliliyah tentang air musta’mal adalah :

a. Air Musta’mal Hukumnya Tetap Suci dan Mensucikan

Ini adalah hal yang paling unik dan menarik dari mazhab Al-Malikiyah. Boleh dibilang inilah satu-satunya
mazhab yang berpandangan bahwa air musta’mal dalam pandangan mereka tetap berstatus tahir mutahhir, atau
suci dan mensucikan.

Wudhu’ dan Mandi Yang Wajib

Para ulama mazhab Al-Malikiyah berpandangan air yang bekas dipakai untuk wudhu’ dan mandi yang sifatnya
mengangkat hadats, hukumnya tetap sah untuk digunakan berwudhu’ atau mandi janabah lagi.

Wudhu’ dan Mandi Sunnah : Makruh

Namun dalam kasus wudhu’ atau mandi sunnah, dan masih ada air yang tidak musta’mal, maka hukumnya
berubah menjadi makruh.

Membersihkan Najis : Boleh Digunakan Lagi

Sedangkan air yang sudah digunakan untuk membersihkan najis atau bekas mencuci tempat makan, hukumnya
boleh untuk digunakan lagi untuk membersihkan najis.

b. Pengertian

‫َﻣﺎ ﺍ ْﺳﺘُﻌْﻤِ ﻞ ﻓِي َﺭ ْﻓﻊِ َﺣدَث ﺃ َ ْﻭ ﻓِي ﺇِزَ ﺍﻟَ ِة ُﺣ ْﻜ ِﻢ َخﺒَث‬

Air yang digunakan untuk mengangkat hadats atau mengilangkan hukum khabats.

Dan yang dimaksud dengan air musta’mal untuk mengangkat hadats adalah air yang menetes dari anggota
badang, atau yang tersambung dengan air itu, atau terlepas darinya, termasuk bila mencelupkan anggota badan
ke dalam air itu. [2]

Ad-Dasuki mengatakan bahwa hukum makruhnya menggunakan air musta’mal terkait dengan dua hal. Pertama,
apabila air itu jumlahnya sedikit, seperti seember wadah untuk wudhu’ dan mandi. Kedua, apabila masih ada air
lain yang tidak musta’mal.

Masih menurut Ad-Dasuki, apabila ditambahkan ke dalam air musta’mal yang sedikit itu sejumlah air yang
banyak dan statusnya bukan musta’mal, hukum makruhnya pun menjadi hilang.

Ad-Dardir berpendapat bahwa hukum makruh itu terjadi apabila jumlah air itu sedikit, digunakan untuk
mengangkat hadats dan bukan hukum khabats, serta ketika digunakan untuk mengangkat hadits yang kedua
kalinya.[3]

3. Air Musta’mal Menurut Mazhab Asy-Syafi’iyyah

Adapun pandangan mazhab Asy-syafi’iyah dalam masalah air musta’mal sebagai berikut :

a. Pengertian

‫ﻋ ْﻦ َﺣدَث ﺃ َ ْﻭ ﻓِي ﺇِزَ ﺍﻟَ ِة ﻧَ َﺠس‬


َ ِ‫ﺎﺭة‬ َّ ‫ض‬
َ ‫ﺍﻟﻄ َﻬ‬ ِ ‫ْﺍﻟ َﻤﺎ ُء ْﺍﻟﻘَﻠِﻴﻞ ْﺍﻟ ُﻤ ْﺴﺘ َ ْﻌ َﻤﻞ ﻓِي ﻓَ ْﺮ‬
Air yang sedikit dan digunakan untuk berthaharah fardhu demi mengangkat hadats atau menghilangkan najis.[4]
Dalam versi qaul jadid dari mazhab Asy-syafi’iyah memang disebutkan bahwa yang dimaksud dengan thaharah
fardhu adalah cucian pertama ketika berwudhu’. Sehingga air yang bekas digunakan untuk cucian kedua dan
ketiga, bukan termasuk air musta’mal.

b. Air Sedikit

Dalam pandangan mazhab Asy-syafi’iyah versi qaul jadid disebutkan bahwa hukum air musta’mal yang
jumlahnya sedikit adalah suci tetapi tidak mencusikan ( ‫)طﺎهﺮ غﻴﺮ ﻣﻄﻬﺮ‬. Air itu suci dalam arti bukan air najis,
namun tidak bisa digunakan bersuci.

Maka air itu tidak sah untuk berwudhu atau mandi janabah dan juga untuk membersihkan najis juga tidak sah.

Alasannya adalah apa yang dilakukan oleh para salafuna ash-shalih, dimana mereka tidak menjaga diri dari air
itu dan juga atas apa yang menetes darinya. Disebutkan dalam hadits bahwa Rasulullah SAW menuangkan air
bekas wudhu atas dirinya yang sedang sakit.

ُ‫ي ﻣِ ْﻦ َﻭضُﻮئِ ِﻪ ﻓَ َﻌﻘَ ْﻠت‬


َّ َ‫ﻋﻠ‬ َ ‫ضﺄ َ َﻭ‬
َ َّ‫صب‬ َّ ‫ﻳض الَ ﺃَ ْﻋﻘِﻞ ﻓَﺘ َ َﻮ‬
ٌ ‫َّللاِ ﻳَﻌُﻮدُﻧِي َﻭﺃَﻧَﺎ َﻣ ِﺮ‬
َّ ‫ﺳﻮل‬
ُ ‫َجﺎ َء َﺭ‬
Rasululllah SAW menjengukku ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri. Maka beliau berwudhu dan
memercikkan air bekas wudhunya kepadaku hingga aku sadar. (HR. Bukhari dan Muslim)

Alasan lainnya kenapa air ini tidak mensucikan, karena perbuatan salafuna ash-shalih yang tidak mengumulkan
air ini hingga menjadi banyak. Ketika hanya ada air sedikit dan musta’mal, mereka langsung bertayammum
saja.

Adapun yang menjadi ‘illat dari tidak bisanya air musta’mal untuk bersuci, menurut Asy-Syarbini karena air
musta’mal bukan lagi air mutlak. Dan ‘illat ini dibenarkan juga oleh An-Nawawi dan lainnya.

c. Air Musta’mal Yang Sedikit Dikumpulkan Menjadi Banyak

Para ulama di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah berbeda pendapat tentang air musa’mal yang jumlahnya sedikit,
kemudian dikumpulkan dan dicampur menjadi satu sehingga menjadi air yang banyak jumlahnya.

Yang lebih shahih (al-ashah) dalam pandangan mazhab ini, air itu berubah hukumnya menjadi air yang
mensucikan, apabila dicampur dengan air lain sehingga jumlahnya menjadi dua qullah atau lebih.

Alasanya, karena dalam pandangan mereka, air najis yang dicampurkan dengan air suci hingga jumlahnya
menjadi banyak, hukumnya menjadi suci. Maka tentu air musta’mal pun lebih utama untuk berubah menjadi
suci, dengan jalan dicampurkan dengan air suci hingga jumlahnya menjadi banyak.

Sedangkan lawan dari pendapat ini, bahwa hukum air itu tidak berubah menjadi mensucikan. Alasannya, karena
kekuatan air itu telah habis lantaran telah digunakan, kemudian bertemu dengan air kembang dan sejenisnya.

d. Batasan Volume 2 Qullah

Para ulama mazhab Asy-syafi’iyah ketika membedakan air musta’mal dan bukan (ghairu) musta’mal membuat
batas dengan ukuran volume air. Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air menjadi
musta’mal.

Bila volume air itu telah melebihi volume minimal maka air itu terbebas dari kemungkinan musta’mal. Itu
berarti air dalam jumlah tertentu meski telah digunakan untuk wudhu atau mandi janabah tidak terkena hukum
sebagai air musta’mal.

Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :

ْ ‫ ﻟَ ْﻢ ﻳَ ْن ُﺠ‬:‫ َﻭﻓِي ﻟَ ْفظ‬- َ‫ﺇِﺫَﺍ َﻛﺎﻥَ ﺍ َ ْﻟ َﻤﺎ َء ﻗُ َّﻠﺘَﻴ ِْﻦ ﻟَ ْﻢ ﻳَﺤْ ﻤِ ْﻞ ﺍ َ ْﻟ َخ َﺒث‬
‫س‬

Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu Mengatakan “Rasulullah SAW telah bersabda: “Jika air itu telah mencapai
dua qullah tidak mengandung kotoran. Dalam lafadz lain:”tidak najis”. (HR Abu Dawud Tirmidhi Nasa’i Ibnu
Majah)
Hadits inilah yang mendasari keberadaan volume air dua qullah yang menjadi batas volume air sedikit.

a. Qullah Ukuran Volume Air

Disebutkan di dalam hadits ini bahwa ukuran volume air yang membatasai kemusta’malan air adalah 2 qullah.
Jadi istilah qullah adalah ukuran volume air. Ukuran volume air ini pasti asing buat telinga kita. Sebab ukuran
ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter
kubik atau barrel.

c. Ukuran Masa Kini

Wahbah Az-Zuhaili = 270 Liter

Dr. Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu menuliskan bahwa dua qullah itu kira-
kira sejumlah 270 liter. [5]

Mushthafa Dib al-Bugha = 190 Liter

Sedangkan dalam kitab al-Tadzhib fi Adillat Matn al-Ghayat wa al-Taqrib, Mushthafa Dib al-Bugha,
menyebutkan bahwa jumlah itu setara dengan 190 liter. [6]

Pendapat Lain = 160,5 liter

Ulama lain menyebutkan bahwa 2 qullah itu setara dengan 160,5 liter. [7]

4. Air Musta’mal Menurut Mazhab Al-Hanabilah

Terkait dengan pengertian dan hukum air musta’mal, umumnya para ulama di dalam mazhab Al-Hanabilah
banyak saling berbeda antara satu dan lainnya

a. Pengertian

Dzhahirul mazhab menyebutkan bahwa batasan air musta’mal dan hukumnya adalah sebagai berikut :

ً ‫ﻄ ِ ّﻬﺮ الَ ﻳَ ْﺮﻓَ ُﻊ َﺣدَثًﺎ َﻭالَ ﻳ ُِزﻳﻞ ﻧ َِﺠ‬


‫ﺴﺎ‬ َ ‫غﻴ ُْﺮ ُﻣ‬ َ ‫ْﺍﻟ َﻤﺎ ُء ﺍﻟَّذِي ﺍ ْﺳﺘُﻌْﻤِ ﻞ ﻓِي َﺭ ْﻓﻊِ َﺣدَث ﺃ َ ْﻭ ﺇِزَ ﺍ َﻟ ِة ﻧَ َﺠس َﻭﻟَ ْﻢ َﻳﺘَغَﻴ َّْﺮ ﺃ َ َﺣدُ ﺃ َ ْﻭ‬
َ ‫صﺎﻓِ ِﻪ‬
َ ‫طﺎه ٌِﺮ‬

Air yang telah digunakan untuk mengangkat hadatas atau menghilangkan najis, dimana salah satu sifatnya tidak
berubah. Dan hukumnya suci namun tidak mensucikan, sehingga tidak mengangkat hadats dan menghilangkan
najis.

Namun ada riwayat yang menyebutkan bahwa Al-Imam Ahmad sendiri berpendapat bahwa hukum air itu
tahirun mutahhir, yaitu suci dan mensucikan.[8]

b. Air Musta’mal Untuk Thaharah Mustahabbah

Para ulama dalam mazhab Al-Hanabilah ini juga berbeda pendapat dalam hukum air musta’mal yang digunakan
untuk thaharah yang sifatnya mustahabbah.

Misalnya wudhu’ mustahabbah yang dilakukan seseorang yang tidak berhadats. Sehingga niat ataupun tujuan
wudhu’nya bukan untuk mengangkat hadats, melainkan hanya sekedar untuk memperbaharui wudhu’nya.

Contoh lainnya adalah air yang telah digunakan untuk membasuh anggota wudhu’ pada basuhan yang kedua dan
ketiga. Yang hukumnya wajib hanya basuhan pertama, sedangkan basuhan yang kedua dan ketiga hukumnya
mustahabbah.

Dan termasuk ke dalam kasus ini adalah mandi yang hukumnya sunnah, seperti mandi untuk melakukan shalat
Jumat dan shalat Idul Fithri serta Idul Adha.

Pendapat pertama mengatakan bahwa hukumnya sebagaimana air musta’mal. Namu pendapat kedua
menyebutkan bahwa air itu tidak menjadi musta’mal dan tidak ada alasan untuk menghalangi kesucian
dengannya.
c. Tabrid dan Tandzif

Dalam mazhab Al-Hanabilah, air yang digunakan dalam rangka tabrid atau mendinginkan badan dan tandzif
atau membersihkan badan, keduanya tidak termasuk air musta’mal.

Bahkan Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa tidak ada khilafiyah dalam hal ini.

d. Ta’abbud Selain Mengangkat Hadats

Namun ada perbedaan pendapat dalam kasus dimana air digunakan untuk amalan yang bersifat ta’abbudi namun
di luar dari mengangkat hadats. Contohnya adalah mencuci tangan ketiga bangun tidur, yang merupakan
perintah agama (ta’abbudi) sebagaimana hadits berikut ini :

ُ‫َت ﻳَدُه‬ ِ ِ ‫ظ ﺃ َ َﺣدُ ُﻛ ْﻢ ﻣِ ْﻦ ﻧ َْﻮﻣِ ِﻪ َﻓ ْﻠﻴَ ْغﺴ ِْﻞ ﻳَدَهُ ﻗَ ْﺒ َﻞ ﺃ َ ْﻥ ﻳُ ْدخِ ﻠَ َﻬﺎ ﻓي‬
ْ ‫ﺍإلﻧَﺎءِ ﻓَإ ِ َّﻥ ﺃَ َﺣدَ ُﻛ ْﻢ الَ ﻳَد ِْﺭي ﺃَﻳْﻦَ بَﺎﺗ‬ َ َ‫ﺇﺫَﺍ ﺍ ْﺳﺘَ ْﻴﻘ‬

Bila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya hendaklah dia mencuci kedua tangannya sebelum
memasukkannya ke dalam wadah air. Karena kalian tidak tahu dimana tangannya semalam. (HR. Bukhari
Muslim)

Abu Al-Khattab menyebutkan bahwa ada dua riwayat tentang masalah ini. Riwayat pertama memandang bahwa
air bekas cuci tangan itu termasuk musta’mal. Namun riwayat yang lain memandang air itu bukan termasuk air
musta’mal‫ز‬

Madzhab Malikiyah

Menurut madzhab Malikiyah air musta'mal bersifat thahur artinya dia suci dan mensucikan namun kendati
demikian mereka mengatakan hukum menggunakan air musta'mal dalan bersuci adalah makruh.

Kemudian para ulama Malikiyah berbeda pendapat terkait alasan kemakruhan hal tersebut, diantara mereka ada
mengatakan makruhnya karena air musta'mal cenderung kotor, air musta'mal telah dipakai untuk menghapus
dosa, dan ada juga yang mengatakan bahwa alasan makruhnya ialah hilangnya percikan semangat ibadah karena
telah dipakai dahulu dengan ibadah lainnya. (Mawahibul jalil fi syarh mukhtashar khalil).

Namun yang harus digaris bawahi bahwa madzhab Malikiyah menghukumi air musta'mal dengan makruh
dengan dua syarat: Hendaknya airnya sedikit, misalkan air musta'mal yang dibejana wudhu. Hendaknya masih
ada air mutlak yang digunakan untuk bersuci. (syarh al kabir 41/1).

Sebab sebuah air menjadi air musta’mal dalam madzhab Malikiyah:

Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Malikiy mengatakan ada 25 sebab menjadi air musta’mal diantaranya:

· Air yang digunakan untuk bersuci dari hadat atau najis

· Bersuci dengan sifat sunnah misalkan memperbarui wudhu dalam keadaan suci

· Air yang digunakan untuk mencuci bejana

· Maka itu semua akan menjadi air musta’mal, makruh ketika dipakai untuk bersuci.

Madzhab Syafi'iyah

Air musta'mal suci namu tidak bisa untuk mensucikan. Sebab sebuah air menjadi musta'mal:

1. Air menjadi musta'mal disebabkan karena telah digunakan untuk mengangkat hadats, misalkan air
wudhu wajib yang telah dipakai, maka ini menjadi musta'mal, namun jika sebuah air digunakan untuk
tajdid wudhu
(memperbaharui wudhu) maka tidak menjadi air musta'mal dengan kata lain air tersebut dapat kita pakai
untuk berwudhu wajib atau mandi wajib. (304/1/ al-Hawi al-Kabir)

2. Bila digunakan untuk menghilangkan najis , maka dilihat dalam 2 keadaan: Bila air (lebih dari 2 kullah)
terkena najis kemudian merubah sifat air berupa warna, rasa, dan baunya maka ia dihukumi air najis. Jika air
(lebuh dari 2 kullah) terkena najis akan tetapi tidak merubah salah satu dari sifat air, maka dilihat dalam 2
keadaan: Jika najisnya tertinggal maka airnya menjadi najis, namun jika najisnya hilang dengan air itu sendiri
maka airnya menjadi air musta'mal (al-Hawi al-Kabir 302/1).

Sebab menjadi air musta'mal Madzhab Hanabilah :

Dalam madzhab Hambali ada dua riwayat tentang sifat ait musta'mal , pertama Air musta'mal bersifat suci
namun tidak mensucikan, ke-dua air musta'mal bersifat suci dan mensucikan, seperti misalnya air bekas diapaki
berwudhu dalam keadaan tidak berhadats, menurut riwayat pertama air tersebut tidak dapat digunakan untuk
berwudhu wajib dan menurut riwayat kedua air tersebut bisa dipakai untuk berwudhu wajib. (37/1/ibadah ala
madzhab Syafi'i)

Dan diantara sifat Air musta'mal juga ialah tidak dapat mengangkat najis, air tersebut hanya bisa digunakan
untuk ritual di luar ibadah misalkan untuk masak, minum, dan lainnya. Sebab menjadikan ait musta'mal;
Mengangkat hadats dan juga menghilangkan najis. Jika air tercampur dengan benda yang suci kemudian tidak
merubah sifat air maka masih dihukumi menjadi air mutlak. Namun jika zat suci tersebut merubah air tersebut
secara Signifikan maka air tersebut berubah menjadi air musta'mal. Hal tersebut berlandaskan dengan hadits
nabi :

«‫ ﻛﺎﻥ ﻳغﺘﺴﻞ هﻮ ﻭﻣﻴﻤﻮﻧة ﻣﻦ جفنة ﻓﻴﻬﺎ ﺃثﺮ ﺍﻟﻌﺠﻴﻦ‬- ‫ صﻠى ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫" ﺃﻥ ﺍﻟنﺒي‬

“Bahwa nabi Saw mandi bersma Maimunah istri nabi, dari air dalam suatu wadah yang terdapat dalamnya bekas
adonan". (Al- mughni/14/1).

Begitu juga ketika air telah dipakai untuk thaharah sunnah seperti wudhu dalam keadaan tidak berhadats, maka
dalam riwayat madzhab hanabilah ada dua riwayat, pertama air tersebut menjadi air musta'mal dan kedua air
tersebut tetap suci dan mensucikan. (Al-mughni/18/1).

a. Ulama Al-Hanafiyah

Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu`
untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah (wudhu` sunnah dan mandi sunnah).

Yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air
itu langsung memiliki hukum musta`mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.

Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta`mal.

Bagi mereka, air musta`mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi
tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.

b. Ulama Al-Malikiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu`
atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan
untuk menghilangkan khabats (barang najis).

Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air bekas wudhu
atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang.

Namun yang membedakan adalah bahwa air musta`mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan.
Artinya, bisa dan syah digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk
berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah.

c. Ulama Asy-Syafi`iyyah

Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats
dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta`mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat
untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`

Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap
musta`mal. Termasuk dalam air musta`mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau
mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta`mal kalau sudah
lepas / menetes dari tubuh.

Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk
mencuci najis. Karean statusnya suci tapi tidak mensucikan. (Lihat Mughni Al-Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab
jilid 5 hal. 1,8)

d. Ulama Al-Hanabilah

Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil
(wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali
pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.

2.0 PENGGUNAAN NEWATER DARI SUDUT PANDANGAN ISLAM

2.1 HUKUM NEWATER

Newater ialah air kumbahan sama ada air musta’mal (sudah dipakai) atau air mutanajjis (bernajis), kemudian air
kumbahan ini dikitar semula melalui proses penyulingan. Mengikut laporan yang dikeluarkan oleh pihak
berkuasa mengenai ‘Newater’ ini bahawa air sulingan ini terjamin bersih dan selamat untuk diminum.
Kemudian air yang telah diproses itu akan dicampur terlebih dahulu di dalam kolam (takungan air simpanan)
sebelum kegunaan awam .

Kedudukan Air Dua Kolah

Berdasarkan hukum syara', air mutlak yang dua qullah atau lebih tetap suci sekalipun ia terkena najis
sebagaimana sabda Baginda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:

‫(ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻤﺎء ﻗﻠﺘﻴﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻤﻞ ﺍﻟخﺒث‬

Maksudnya: Jika air itu dua qullah ia tidak menanggung najis .

Dalam hadis yang lain Baginda bersabda:

‫ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻤﺎء ﻗﻠﺘﻴﻦ ﻟﻢ ﻳنﺠﺴﻪ شيء‬

Maksudnya: Jika air itu dua qullah tidaklah ia dinajiskan oleh sesuatu .
Imam at-Tirmidzi mengatakan, dalam hal ini Imam asy-Syafi'e, Imam Ahmad dan Ishaq mengatakan, jika air itu
dua qullah tidaklah ia dinajiskan oleh sesuatu melainkan berubah bau atau rasanya. Hal ini juga disebutkan oleh
Imam an-Nawawi dalam al-Minhaj, katanya:

‫ﻓإﻥ غﻴﺮه ﻓنﺠس‬

Ertinya: Sekiranya (benda najis itu) mengubah air (dua qullah) berkenaan, maka ia menjadi najis. "

Air Kurang Daripada Dua Qullah

Manakala air yang kurang daripada dua qullah, apabila terkena najis, ia akan menjadi air mutanajjis. Air tersebut
tidak suci dan tidak menyucikan .

Air Yang Berubah

Mengikut kaedah syara', air yang najis disebabkan oleh taghayyur (perubahan pada sifat air sama ada warna, bau
atau rasanya) dan ia melebihi dua qullah akan menjadi suci dengan sebab hilangnya perubahan atau taghayyur
tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Imam asy-Syirazi dalam kitabnya al-Muhadzdzab, katanya:

‫ ﺃﻭ بﺄﻥ‬، ‫ ﺃﻭ بﺄﻥ ﻳضﺎف ﺇﻟﻴﻪ ﻣﺎء آخﺮ‬، ‫ ﻓإﻥ ﻛﺎﻧت ﻧﺠﺎﺳﺘﻪ بﺎﻟﺘغﻴﺮ ﻭهﻮ ﺃﻛثﺮ ﻣﻦ ﻗﻠﺘﻴﻦ طﻬﺮ بﺄﻥ ﻳزﻭل ﺍﻟﺘغﻴﺮ بنفﺴﻪ‬، ‫ﺇﺫﺍ ﺃﺭﺍد ﺗﻄﻬﻴﺮ ﺍﻟﻤﺎء ﺍﻟنﺠس ﻧظﺮ‬
‫ ألﻥ ﺍﻟنﺠﺎﺳة بﺎﻟﺘغﻴﺮ ﻭﻗد زﺍل‬، ‫ﻳؤخذ بﻌضﻪ‬

Ertinya: Jika hendak menyucikan air yang kena najis itu maka perlu dilihat (kepada keadaannya), sekiranya
najisnya air itu dengan sebab taghayyur (perubahan pada warna, bau atau rasanya) sedang ia melebihi dua
qullah, maka ia menjadi bersih dengan hilangnya taghayyur itu dengan sendirinya, atau (hilang taghayyur)
dengan mencampurkan kepadanya air yang lain, atau (hilang taghayyur) dengan membuang sebahagiannya,
kerana najis itu disebabkan taghayyur (perubahan warna, bau atau rasa) dan ia telah hilang.

Dalam kitab al-Majmu', Imam an-Nawawi mengatakan dalam bab ‫ ﻣﺎ ﻳفﺴد ﺍﻟﻤﺎء ﻣﻦ ﺍﻟنﺠﺎﺳة ﻭﻣﺎ ال ﻳفﺴده‬, jika air itu
hilang taghayyurnya dengan mengambiI sebahagiannya, mestilah baki air yang tinggal itu mencukupi dua
qullah. Jika baki air tersebut kurang daripada dua qullah maka ia tetap najis.

Maka berdasarkan kaedah ini, sekiranya 'Newater' itu betul sepertimana yang dikhabarkan iaitu air yang
mutanajjis itu dibersihkan terlebih dahulu sehingga tidak lagi ada sifat-sifat taghayyurnya, kemudian
dicampurkan dalam kolam simpanan air biasa dua qullah atau lebih (dua qullah ialah lebih kurang 13 tin minyak
tanah biasa, atau 317 kati, atau dua hasta setengah tinggi dan bulatannya satu hasta), maka air tersebut
dihukumkan suci lagi menyucikan.

2.2 TEORI-TEORI UMUM FIQH

Islam telah menggariskan beberapa teori umum khususnya dalam bidang kepenggunaan. Teori-teori ini
dianggap mantap kerana ia dinyatakan secara jelas oleh al-Quran, Sunnah Rasulullah s.a.w., Ijmak, al-Qiyas dan
kaedah al-Istishab.Oleh itu, sekiranya ada pandangan bercanggah dengan teori-teori ini dalam mana-mana kes
kepenggunaan maka pandangan tersebut akan terbatal melainkan dalam sesetengah kes yang dikecualikan dan
disokong oleh dalil Syarak lain yang muktabar secara jelas.

Antara prinsip umum yang dimaksudkan ialah “Hukum asal bagi setiap bahan (yang bermanfaat contohnya
dalam makanan, minuman, pakaian, ubat-ubatan dan lain-lain kecuali dalam hal berkaitan ibadat) adalah harus
(halal) selagi mana tiada dalil lain yang menyatakan sebaliknya” dan “Hukum asal bagi setiap bahan (Jirim: ٌ‫ﻋﻴْﻦ‬
َ
contohnya haiwan, tumbuhan, makanan, minuman, ubat-ubatan dan lain-lain) adalah suci selagi mana tiada dalil
Syarak yang menghukumkannya sebagai najis” . Prinsip ini adalah berdasarkan kepada firman Allah s.w.t.:

ِ ‫ه َُﻮ ﺍﻟَّذِي َخ َﻠقَ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َﻣﺎ ﻓِي ﺍأل َ ْﺭ‬


ً ‫ض َجﻤِ ﻴﻌﺎ‬

Maksudnya: Dia lah (Allah) yang menjadikan untuk kamu segala apa yang ada di bumi (untuk dimanfaatkan
dalam kehidupan) .

Selain itu, para ulama turut mengemukakan beberapa prinsip asas yang lain seperti “Sesuatu makanan mestilah
tergolong dalam kategori bahan-bahan yang elok ( Tayyibat: ‫”)طﻴّﺒﺎﺕ‬, “Tidak tergolong dalam bahan-bahan yang
jijik ( Khaba’ith:‫”) خﺒآئث‬, “Tidak memudaratkan kesihatan atau kehidupan manusia” serta “Ia hendaklah diambil
dalam kadar yang sederhana dan tidak melampau”.

Dan firmanNya:

َ‫ﺕ َﻣﺎ َﺭزَ ْﻗنَﺎ ُﻛ ْﻢ َﻭﺍ ْش ُﻜ ُﺮﻭﺍ ِ َّلِلِ ِﺇ ْﻥ ُﻛنﺘ ُ ْﻢ ِﺇﻳَّﺎهُ ﺗ َ ْﻌﺒُدُﻭﻥ‬ َ ‫ﻳَﺎﺃَﻳُّ َﻬﺎ َّﺍﻟذِﻳﻦَ آ َﻣنُﻮﺍ ُﻛﻠُﻮﺍ ﻣِ ْﻦ‬
ِ ‫ط ِﻴّﺒَﺎ‬

Maksudnya: Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari benda-benda yang baik (halal) yang telah Kami
berikan kepada kamu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar kamu hanya beribadat kepadanya .

2.3 KONSEP AL-ISTIHALAH

Al-Istihalah boleh didefinisikan sebagai perubahan jirim atau zat sesuatu bahan sehingga ia menjadi bahan yang
berlainan daripada keadaannya yang asal.Sebagai contoh, jika sesuatu bahan najis atau haram telah mengalami
perubahan pada zatnya sehingga berubah menjadi bahan lain yang berbeza daripada sifat asalnya sama ada dari
segi warna, rasa dan bau maka hukumnya juga turut berubah di mana ia dianggap suci dan halal .

Di samping kaedah al-Istihalah, para ulama turut mengutarakan satu lagi kaedah yang mempunyai konsep yang
hampir sama iaitu al-Istihlak yang boleh didefinisikan sebagai teori penguraian jirim.Kaedah ini merujuk kepada
konsep percampuran jirim sesuatu bahan dengan jirim bahan yang lain seperti dua cecair yang bercampur
sehingga menyebabkan cecair pertama terurai dalam cecair yang kedua dan zat asalnya hilang. Sebagai contoh,
jika beberapa titisan air najis jatuh ke dalam takungan air mutlaq lalu terurai di dalamnya sehingga langsung
tidak meninggalkan kesan, maka takungan air tersebut tetap dianggap air mutlaq memandangkan sifat fizikalnya
masih kekal suci.

Oleh itu, boleh disimpulkan bahawa al-Istihalah melibatkan perubahan sifat jirim bagi satu bahan yang sama
sedangkan al-Istihlak pula melibatkan percampuran jirim dua bahan yang berbeza sehingga salah satu
daripadanya terurai dalam jirim bahan yang kedua. Namun begitu, konsep penentuan hukum daripada kedua-dua
kaedah ini adalah tetap sama di mana hukum (sama ada suci/halal atau najis/haram) yang akan diputuskan
adalah berdasarkan kepada sifat atau ciri baru yang terhasil pada bahan akhir dan bukannya berdasarkan sifat
atau ciri sebelum proses ini berlaku.

3.0 ISU

Secara khusus mengenai urine atau air kencing seperti yang sediamaklum ia tergolong dalam erti kata najis
mutawassitah atau najispertengahan. Setakat ini tiada Fatwa khusus mengenai urine yang
telahdineutralkan/dirawat/disuling yang dikeluarkan oleh Majlis FatwaKebangsaan tetapi ia mempunyai kaitan
dengan Hukum Penggunaan Air Baru (NeWater) setelah isu ini timbul daripada keraguan masyarakat dari
suduthukum tentang status kesucian air NeWater yang diperkenal oleh kerajaanRepublik Singapura .

Jawatankuasa Fatwa Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS) pada 22 Mei 2001

telah membincangkan isu ini dan memutuskan Fatwa seperti berikut:

" Air yang diproses secara penyulingan dikira air suci lagi menyucikan ". Air Baru (NeWater) adalah suci dan
bersih dan ia tergolong daripada airmutlak yang suci lagi menyucikan. Ini berasaskan kepada hujah dan
dalilseperti berikut:

(a) Pendapat Syeikh Abd al-Rahman Abd al-Khalik ketika menghuraikan maksud hadith bahawa Zat
(molekul) air adalah selama-lamanya bersih (ini bertepatan dengan penemuan sains yang menyatakan bahawa
air terdiri daripada molekul-molekul yang berasingan yang tidak boleh disebati oleh molekul-molekul lain). Air
tidak akan menjadi najis dengan sendirinya dan tidak larut dengan sesuatu elemen najis yang bercampur
dengannya, tetapiair bertukar menjadi najis disebabkan ia membawa najis. Bahkan jika air yang terkena najis
dirawat dengan dipisahkan najis tersebut daripadanya, maka air tersebut kembali suci lagi menyucikan.
(b) Pendapat Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu' yang menyatakan cara-cara menghilangkan najis
daripada air yang melebihi dua kolah adalah seperti berikut :

i. Perubahan dengan cara sendiri (semulajadi) iaitu dengan perubahan masa, matahari atau tiupan angin.

ii. Perubahan dengan ditambah air ke atasnya.

iii. Perubahan dengan dikeluarkan najis tersebut daripad air.

(c) Fatwa Majlis Ulama-ulama Besar Kerajaan Arab Saudi yang memutuskan seperti berikut:

" Berdasarkan kepada apa yang telah dijelaskan oleh ahli-ahli ilmu bahawaair yang banyak yang terkena najis
dihukumkan suci apabila ianya berubahdengan semulajadi atau dengan dimasukkan air bersih ke dalamnya
atauberubah disebabkan ianya terlalu lama atau terkesan dengan cahaya matahariatau dengan tiupan atau
seumpamanya. Ini kerana kaedah Usul Fiqh adamenjelaskan " Sesuatu hukum bergantung pada illahnya (
sebabnya )".Sebagai penerangan kepada kaedah ini, air tersebut dihukumkan najisdisebabkan ada najis dan
apabila sudah hilang najis maka air tersebutdikira suci.Memandangkan air yang najis boleh dipisahkan daripada
najisnya denganbeberapa cara seperti yang disebutkan di atas, lebih-lebih lagi najistersebut dapat dipisahkan
atau dikeluarkan dengan menggunakan peralatanterkini yang canggih sepertimana yang diputuskan oleh pakar
dalam bidangini maka pengalaman dan kepakaran mereka tidak boleh diragui lagi .

Sehubungan itu Majlis Ulama-ulama Besar Kerajaan Arab Saudi memutuskanbahawa air tersebut dihukum suci
setelah dikitar semula dan air tersebutkembali kepada hukum asalnya iaitu suci. Air tersebut boleh
digunakanuntuk mengangkat hadas, membersih kotoran dan sah bersuci dengannya.Walau bagaimanapun majlis
berpendapat sekiranya masih ada punca air lainyang boleh digunakan maka keutamaan hendaklah diberi kepada
penggunaan airlain yang didapati daripada sumber alam.

Muzakarah Jawatankuasa Fatwa kebangsaan telah meneliti beberapa pandangan

daripada ahli-ahli antaranya:

i. Kaedah kitar semula air kumbahan di Singapura adalah berbeza dengan Malaysia. Di Malaysia air
kumbahan dirawat dan dialirkan ke sungai secara proses semulajadi manakala di Singapura pula bekalan air
kumbahan dirawat secara teknologi moden. Hasilnya air yang telah diproseskan iaitu Air Baru NeWater akan
dicampur dengan air mutlak dalam kolam takungan untuk meneutralkan kembali dengan kadar peratusan 30 %
air baru dan 70 % air mutlak.

ii. Secara psikologi, zahirnya air baru NeWater adalah menjijikkan. Apatah lagi masyarakat kita tidak
mungkin boleh menerimanya walaupun hukumnya adalah suci. Jika dilihat pada peristiwa ketika Rasulullah
SAW dihidangkan dengan dhab dan baginda tidak memakan dan tidak pula melarang memakan hidangan dhab
tersebut. Oleh itu air NeWater patut diletak hukumnya di tahap makruh.

Berdasarkan kepada hujah di atas, Muzakarah bersetuju membuat keputusanseperti berikut:

"Air Baru NeWater adalah bersih dan harus digunakan dari sudut hukum syarak" .

4.0 KESIMPULAN

Kesimpulannya Air baru (Newater) adalah suci dan bersih dan ia tergolong daripada air mutlak yang suci lagi
menyucikan. Ini berasaskan kepada hujah dan dalil seperti berikut:

Berdasarkan pendapat Sheikh Abd al-Rahman Abd al-Khalik ketika menghuraikan maksud hadith
beliau menjelaskan:

Zat (molekul) air adalah selama-lamanya bersih (ini bertepatan dengan penemuan sains yang
menyatakan bahawa air terdiri daripada molekul-molekul yang berasingan yang tidak boleh disebati oleh
molekul lain).

Air tidak akan menjadi najis dengan sendirinya dan tidak larut dengan sesuatu elemen najis yang
bercampur dengannya, tetapi air bertukar menjadi najis disebabkan ia membawa elemen najis.
Jika air yang terkena najis dirawat dengan dipisahkan najis tersebut daripadanya, maka air tersebut
kembali suci lagi menyucikan.

Berdasarkan kepada pendapat Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ yang menyatakan cara-cara
menghilangkan najis daripada air yang melebihi dua kolah adalah seperti berikut:

1. Perubahan dengan cara sendiri (semulajadi) iaitu dengan perubahan masa, matahari atau tiupan angin.

2. Perubahan dengan ditambah air ke atasnya.

3. Perubahan dengan dikeluarkan najis tersebut daripada air.

Dari itu cara penyucian atau proses mewujudkan air baru (Newater) adalah bertepatan dengan pendapat Imam
al-Nawawi iaitu melalui perubahan cara (2) dan (3) di atas.

Berdasarkan fatwa Majlis Ulama-ulama Besar Kerajaan Arab Saudi yang memutuskan seperti berikut:

Berdasarkan kepada apa yang telah dijelaskan oleh ahli-ahli ilmu bahawa air yang banyak yang terkena najis
dihukumkan suci apabila ianya berubah dengan semulajadi atau dengan dimasukkan air bersih ke dalamnya atau
berubah disebabkan ianya terlalu lama atau terkesan dengan cahaya matahari atau dengan tiupan angin atau
seumpamanya.

Ini kerana kaedah Usul Fiqh ada menjelaskan “Sesuatu hukum bergantung pada illahnya (sebabnya)”. Sebagai
penerangan kepada kaedah ini, air tersebut dihukumkan najis disebabkan ada najis, dan apabila sudah hilang
najis maka air tersebut dikira suci .

Memandangkan air yang najis boleh dipisahkan daripada najisnya dengan beberapa cara seperti yang disebutkan
di atas, lebih-lebih lagi najis tersebut dapat dipisahkan atau dikeluarkan dengan menggunakan peralatan terkini
yang canggih sepertimana yang diputuskan oleh pakar dalam bidang ini maka pengalaman dan kepakaran
mereka tidak boleh diragui lagi.

Sehubungan itu Majlis Ulama-ulama Besar Kerajaan Arab Saudi memutuskan bahawa air tersebut dihukum suci
setelah dikitar semula dan air tersebut kembali kepada hukum asalnya iaitu suci. Air tersebut boleh digunakan
untuk mengangkat hadas, membersih kotoran dan sah bersuci dengannya.

Walaubagaimanapun, Majlis berpendapat sekiranya masih ada punca air lain yang boleh digunakan maka
keutamaan hendaklah diberi kepada penggunaan air lain yang didapati daripada sumber alam .

Anda mungkin juga menyukai